Author
randdisaputra
View
423
Download
12
Embed Size (px)
Tugas individu Dosen pembimbing
Praktikum Komputer dan Adm. Perpajakan Sri Zuliarni, S.Sos, M.BA
Penagihan Pajak
Oleh:
Randi Saputra
1201112418
Administrasi Bisnis
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau
2013
Daftar Isi
Daftar isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Pembahasan Masalah
C. Tujuan
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Pajak
B. Pengertian Penagihan Pajak
C. Dasar Penagihan Pajak
D. Penagihan Pasif dan Penagihan Aktif
E. Pengertian Wajib Pajak dan Penanggung Pajak
F. Landasan Hukum Penagihan Pajak
G. Latar Belakang Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk melaksanakan
pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari warga negara Indonesia dan
menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dalam prakteknya sering
kali dijumpai adanya pihak-pihak yang tidak mempunyai kesadaran untuk membayar
pajaknya. Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa penagihan pajak dapat dipaksakan
penagihannya, sehingga kepada pihak-pihak yang tidak mau membayar pajaknya tersebut
dapat dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa.
Penagihan pajak dengan surat paksa dilakukan oleh pegawai kantor pajak di mana wajib
pajak yang bersangkutan tinggal. Dengan adanya penagihan pajak dengan surat paksa, wajib
pajak yang tidak mau membayar pajaknya dapat dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. Jika
setelah dilakukan penagihan menggunakan surat paksa, wajib pajak tersebut masih tetap tidak
mau membayar pajaknya, maka kepadanya dapat dikenakan sanksi kurungan atau penyitaan
atas hartanya. Sanksi kurungan dan penyitaan merupakan upaya paksa terakhir yang dapat
dilakukan dalam rangka menagih pajak.
Adanya sanksi kurungan ini mengakibatkan hilangnya kebebasan seseorang, dan adanya
penyitaan barang mengakibatkan harta orang tersebut tidak dapat dipergunakan lagi seperti
semula. Dilihat dari akibat-akibat penagihan pajak dengan surat paksa yang sangat tidak
menyenangkan itu, maka penagihan pajak dengan surat paksa tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang. Dibutuhkan landasan yuridis khusus yang dapat menjadi landasan hukum
bagi penagihan pajak dengan surat paksa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pajak....???
2. Apakah pengertian penagihan pajak...????
3. Apakah dasar penagihan pajak....??
4. Apakah perbedaan penagihan pajak pasif dan penagihan pajak aktif....??
5. Apakah landasan hukum penagihan pajak....????
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan pajak
2. Memahami pengaertian penagihan pajak
3. Mengetahui dasar penagihan pajak
4. Dapat menjelaskan perbedaan peagihan aktif dan penagihan pasif
5. Memahami landasan hukum penagihan pajak
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Pajak
prof. Dr. P. J. A. Adriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak
mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
•Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro S.H.
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut
kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari
pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya
digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
B. Pengertian Penagihan Pajak
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun
2000, Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Sedangkan Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak
atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. (pasal 1 angka 8 UU No.19 Tahun 2000)
C. Dasar Penagihan Pajak
Adapun dasar penagihan pajak sebagaimana dijelaskan dalam UU KUP pasal 20
ayat (1) yaitu :
STP
SKPKB
SKPKBT
SK Pembetulan
SK Keberatan
Putusan Banding
Putusan PK
Yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak
dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (3) dan (3a) UU KUP.
Sedangkan untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dasar penagihan pajak adalah sebagai berikut:
Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (STPPBB)
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKPKB),
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT)
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan(STB)
Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding
Putusan Peninjauan Kembali,
Yang menyebabkan jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
harus dibayar bertambah, kurang ayau tidak dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.
D. Penagihan Pasif dan Penagihan Aktif
Dengan adanya sistem self assessment , telah diberikan kepercayaan penuh
kepada masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan
melaporkan pajaknya sendiri. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat cukup banyak masyarakat
yang dengan sengaja atau dengan berbagai alasan tidak melaksanakan kewajiban membayar
pajaknya sesuai ketetapan pajak yang diterbitkan sehingga terjadi tunggakan pajak.
Penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penagihan aktif dan penagihan
pasif.
1. Penagihan Pasif
Penagihan pasif dilakukan melalui Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan
Pajak. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No.28 Tahun 2007 Pasal 9 Ayat (3), Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding,
serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Dan
pada pasal 9 ayat (3a) dijelaskan Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah
tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang
paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak dilunasi maka akan dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga 2% perbulan, dan bagian bulan dihitung penuh satu bulan,
sebagaimana disebutkan dalam UU KUP Pasal 19 ayat (1), Apabila Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat
jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal
pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan. Selain dengan penagihan pasif, dapat pula dilanjutkan dengan
penagihan aktif atau yang lebih dikenal dengan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
2. Penagihan Aktif
Penagihan pajak aktif atau penagihan pajak dengan Surat Paksa dilakukan diatur
dalam Undang-Undang No.19 tahun 1997 sebagaimana yang telah di ubah dengan Undang-
Undang No.19 tahun 2000. Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak
pasif, dimana dalam upaya penagihan ini Fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya
mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak, tetapi akan diikuti dengan tindakan sita
dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
Dalam pembahasan berikutnya yang dimaksud penagihan pajak adalah penagihan
aktif atau penagihan pajak dengan Surat Paksa.
E.Pengertiaan Wajib Pajak dan penanggung Pajak
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU KUP Wajib Pajak adalah orang pribadi atau
badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Selanjutnya, UU KUP mencantumkan pengertian badan adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PPSPPenanggung Pajak adalah
orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil
yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan
Termasuk "wakil" yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak.
Dijelaskan dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP yaitu sebagai berikut :
1) Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal :
badan oleh pengurus;
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau
pengampunya.
2) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau
secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan
meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak
mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
F. Landasan Hukum Penagihan Pajak
Landasan hukum penagihan pajak dengan surat paksa adalah
Pasal 20 – 24 UU Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
UU Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
G. Latar Belakang Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan sehingga
pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri berdasarkan prinsip
kemandirian. Peningkatan kesadaran masyarakat di bidang perpajakan harus ditunjang
dengan iklim yang mendukung peningkatan peran aktif masyarakat serta pemahaman akan
hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundangundangan perpajakan.
Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran
pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan. Namun, dalam kenyataannya
masih dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak
sebagaimana mestinya.
Perkembangan jumlah tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah
yang semakin besar. Peningkatan jumlah tunggakan pajak ini masih belum dapat diimbangi
dengan kegiatan pencairannya, namun demikian secara umum penerimaan di bidang pajak
semakin meningkat. Terhadap tunggakan pajak dimaksud perlu dilaksanakan tindakan
penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Kepatuhan Wajib Pajak
dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak.
Dengan demikian pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan
Wajib Pajak sangat perlu mendapatkan perhatian. Sebagaimana dikemukakan di atas, di
dalam sistem self assessment yang berlaku sekarang ini maka penagihan pajak yang
dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan merupakan wujud law enforcement
untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi Wajib Pajak.
Tindakan penagihan pajak yang selama ini dilaksanakan adalah berdasarkan pada
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dengan
undang-undang penagihan pajak yang demikian itu diharapkan dapat memberikan penekanan
yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak dan kepentingan
negara. Keseimbangan kepentingan dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh
kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil, serasi, dan selaras
dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian hukum.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian Indonesia saat ini dan didukung
dengan semangat reformasi, perlu kiranya dilakukan pembaharuan undang-undang penagihan
pajak, dengan dilandasi pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Memperhatikan ketentuan perundang-undangan lain, seperti Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
2. Menegakkan keadilan;
3. Memberikan perlindungan hukum, baik kepada Penanggung Pajak maupun pihak ketiga
berupa hak untuk mengajukan gugatan; dan Melaksanakan law enforcement secara konsisten
dengan berdasar pada jadwal waktu penagihan yang telah ditentukan.
Beberapa pokok perubahan yang menjadi perhatian dalam pembaharuan
undangundang penagihan pajak ini adalah sebagai berikut:
1. Mempertegas proses pelaksanaan penagihan pajak dengan menambahkan ketentuan
penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan dan surat lain yang sejenis sebelum Surat Paksa
dilaksanakan;
2. Mempertegas jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif;
3. Mempertegas pengertian Penanggung Pajak yang meliputi juga komisaris, pemegang
saham, pemilik modal;
4. Menaikkan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan dalam rangka menjaga
kelangsungan usaha Penanggung Pajak;
5. Menambah jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari lelang;
6. Mempertegas besarnya biaya penagihan pajak, yang didasarkan atas prosentase tertentu dari
hasil penjualan;
7. Mempertegas bahwa pengajuan keberatan atau permohonan banding oleh Wajib Pajak tidak
menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak;
8. Memberi kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara memberi batasan nilai barang yang
diumumkan tidak melalui media massa dalam rangka efisiensi;
9. Memperjelas hak Penanggung Pajak untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan nama
baik dalam hal gugatannya dikabulkan; dan
10. Mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah, menghalang-
halangi atau menggagalkan pelaksanaan penagihan pajak.
2. Peraturan Pelaksana Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Berikut ini adalah peraturan pelaksana UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa:
a. Umum
1) KMK Nomor 562/KMK.04/2000 Tentang Syarat-Syarat, Tata Cara Pengangkatan Dan
Pemberhentian Jurusita Pajak
b. Surat Paksa dan Sita
1) PP No.135 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa
2) PMK Nomor 23/PMK.03/2006 tentang perubahan atas KMK Nomor 85/KMK.03/2002
Tentang Tata Cara Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang Dalam Rangka
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
3) PMK Nomor 24/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat
Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan Seketika Dan Sekaligus
4) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 459/PJ./2002 Tentang Tata Cara
Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang Dalam Rangka Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa
5) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 08/PJ.75/2000 Tentang Tata Cara
Penerbitan Ulang Surat Teguran, Penerbitan Surat Paksa Pengganti, Dan Pembetulan Atau
Penggantian Surat-Surat Dalam Rangka Pelaksanaan Penagihan Pajak
c. Lelang
1) PP Nomor 136 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan
Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
d. Pencegahan dan Penyanderaan
1) PP Nomor 137 Tahun 2000 Tentang Tempat Dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi
Nama Baik Penanggung Pajak, Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa
2) Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia Dan Menteri Kehakiman Dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 294/KMK.03/2003, M-02.Um.09.01 Tahun
2003 Tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak Yang Disandera Di Rumah Tahanan
Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 218/PJ/2003 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penyanderaan Dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak Yang
Disandera
4) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 158/PJ.75/2006 Tentang Permintaan Usulan
Pencegahan WP/PP Bepergian Ke Luar Negeri
5) Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-240/PJ.04/2009 Tentang
Penyanderaan Atas Penanggung Pajak Dalam Rangka Penagihan Pajak
6) Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-43/PJ.045/2007 Tentang Tata Cara
Permintaan Pencegahan, Perpanjangan, Dan Pencabutan Bepergian Ke Luar Negeri
e. Pemblokiran
1) KMK Nomor 563/KMK.04/2000 Tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta kekayaan
Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa
2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 109/PJ./2007 Tentang Perubahan Atas
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank
Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 627/PJ Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank
Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
4) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 05/PJ.04 Tentang Pengantar Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ/2007 Tentang Perubahan Atas Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank
Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
5) Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara
Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank
6) Surat Bank Indonesia Nomor 8/3/DGS/DPNP Perihal Pemblokiran Dalam Rangka
Penagihan Pajak
7) Surat Bank Indonesia Nomor 2/35/DpG/DHk/ Tahun 2000 Perihal Penyitaan Terhadap
Kekayaan Penanggung Pajak Yang Disimpan di Bank
8) Surat Bank Indonesia Nomor 7/9/GBI/DHk/ Tahun 2005 Perihal Evaluasi Pelaksanaan
Pemblokiran Dan Penyitaan Rekening Bank
9) Surat Bank Indonesia Nomor 7/6/Dhk Tahun 2005 Perihal Penjelasan Bank Berkenaan
Dengan Perintah Membuka Rahasia Bank Untuk Kepentingan Perpajakan
f. Angsuran dan Penundaan
1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 80/PMK.03/2010 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 Tentang Penentuan
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran
Pajak, Dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak, Serta Tata Cara
Pengangsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak
2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 Tentang
Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, Dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak, Serta Tata
Cara Pengangsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak
3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 38/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pemberian
Angsuran Atau Penundaan Pembayaran PajakDirektur Jenderal Pajak
4) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 14/PJ.33/1998 Tentang Pembatalan SK
Pemberian Angsuran Atau Penundaan Pembayaran Pajak Bagi Wajib Pajak Yang
Mengajukan Keberatan/Banding
g. Penghapusan
1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 565/KMK.04/2000 Tentang
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Dan Penetapan Besarnya Penghapusan
2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 539/KMK.03/2002 Tentang
Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak Dan Penetapan Besarnya Penghapusan
3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 625/PJ./2001 Tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak Dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Pajak
4) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 15/PJ./2004 Tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak Dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Pajak
h. Kebijakan Penagihan
1) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 08/PJ.75/2002 Tentang Pemeriksaan
Untuk Tujuan Penagihan Pajak (Delinquency Audit)
2) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 05/PJ.04/2008 Tentang Kebijakan
Penagihan Pajak
3) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 03/PJ.04/2009 Tentang Kebijakan
Penagihan Pajak
4) Kesepakatan Bersama Direktorat Jenderal Pajak dan Kepolisian Republik Indonesia Nomor
Kep-24/PJ./2004 Dan No.Pol: B/146/I/2004 Tanggal 23 Januari 2004 Tentang Penegakan
Hukum di Bidang Perpajakan
5) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 08/PJ/2009 Tentang Pedoman Akuntansi Piutang
Pajak
i. Penagihan PBB/BPHTB
1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 503/PJ./2000 Tentang Tata Cara
Penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Tata Cara Pelaksanaan
Penagihan Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 45/PJ.6/1996 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penghapusan Piutang Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Penetapan Besarnya
Penghapusan
3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 13/PJ.6/1999 Tentang Perubahan
Sebagian Atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-45/PJ.6/1996 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penghapusan Piutang Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Penetapan Besarnya
Penghap
4) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 02/PJ.6/2001 Tentang Usulan
Penghapusan Piutang PBB
5) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 48/PJ.6/2000 Tentang Tata Cara
Penerbitan Surat Tagihan Pajak PBB Dan Tata Cara Pelaksanaan Penagihan PBB Dan
BPHTB
6) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 48/PJ/2008 Tentang Batas Waktu
Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi Dan
Bangunan, Dan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Serta Daluwarsa Penagihan
Pajak Bumi Dan Bangunan
7) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 73/PJ/2008 Tentang Kebijakan
Perubahan Data SIP/SIPMOD/SISMIOP
j. Formulir dan Surat dalam Pelaksanaan Penagihan
1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 474/PJ./2002 Tentang Perubahan Atas
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-645/PJ./2001 Tentang Bentuk, Jenis, Dan
Kode Kartu, Formulir, Surat, Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa Keputusan Direktur Jenderal Pajak
2) Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 474/PJ./2002 Tentang
Perubahan Atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-645/PJ./2001 Tentang
Bentuk, Jenis, Dan Kode Kartu, Formulir, Surat, Dan Buku Yang Digunakan Dalam
Pelaksanaan Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Keputusan Direktur Jenderal Pajak
3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-645/PJ./2001 Tentang Bentuk, Jenis, Dan
Kode Kartu, Formulir, Surat, Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa Keputusan Direktur Jenderal Pajak
4) Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-645/PJ./2001 Tentang Bentuk,
Jenis, Dan Kode Kartu, Formulir, Surat, Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Keputusan Direktur Jenderal Pajak
5) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-15/PJ./2004 Tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak Dan Besarnya Penghapusan
6) Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-15/PJ./2004 Tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak Dan Besarnya Penghapusan
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut prof. Dr. P. J. A. Adriani, Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara
(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Sedangkan Penagihan Pajak
adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika
dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Dan Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak
atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. (pasal 1 angka 8 UU No.19 Tahun 2000)
Daftar Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.2009.Peraturan dan Kebijakan di Bidang Penagihan.Jakarta:Subdit Penagihan
Zulvina,Susi.2011. Bahan Ajar Pengantar Hukum Pajak,Tangerang Selatan:STAN Zuraida,Ida.2010.Bahan Ajar Penagihan dan Sengketa Pajak.Tangerang Selatan:STAN http://pajaktaxes.blogspot.com http://pou-pout.blogspot.com