Upload
unnes
View
129
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Teori Interdependensi
Teori pertukaran social (interdependency theory) adalah salah satu pandangan
tentang pertukaran social terpenting dalam psikologi social. Salah satu cara untuk
mengonseptualisasikan interaksi ini adalah dalam term “hasil” (outcome) yang
diberikan dan diterima partner. Saat masih anak-anak, kita belajar aturan umum
resiprositas : kita diharuskan membalas jasa kepada orang yang berjasa kepada kita.
Manfaat dan Biaya
Manfaat atau perolehan/imbalan (reward) adalah segala sesuatu yang positif
yang kita peroleh dari interaksi, seperti perasaan dicintai atau mendapat bantuan
financial.
Foa dan Foa yang mengidentifikasi enam tipe perolehan utama :cinta, uang,
status, informasi, barang dan jasa. Ini dapat diklasifikasikan menjadi dua
dimensi.Dimensi partikularisme berkaitan dengan sejauh mana nilai perolehan
bergantung pada orang yang memberikannya.Dimensi kedua, kekonkretan adalah
perbedaan antara imbalan yang nyata yang dapat kita lihat, cium dan sentuh , dan
nonkonkret atau simbolis, seperti nasihat atau persetujuan social.
Biaya atau kerugian adalah kensekuensi negative dari interaksi atau
hubungan.Sebuah interaksi mungkin merugikan karena membuang banyak waktu dan
energi, karena menimbulkan banyak konflik, atau karena orang tidak menyetujui
hubungan itu dan mengkritik kita karena kita terlibat dalam hubungan itu.
Mengevaluasi Hasil
Teori interdependensi mengasumsikan bahwa orang selalu meneliti manfaat
dan biaya dari interaksi atau hubungan tertentu.Orang menggunakan beberapa standar
untuk mengevaluasi hasil hubungan.Ada dua standar perbandingan yang amat
penting.Standar pertama adalah comparison level (level perbandingan).Ini
merefleksikan kualitas hasil yang menurut seseorang pantas untuk diterima.Standar
kedua adalah comparison level for alternatives. Yakni, menilai bagaimana satu
hubungan dibandingkan dengan hubungan lain yang saat ini kita jalani.
Mengoordinasikan Hasil
Seberapa sulit atau mudahkah dua orang mengoordinasikan hasil akan
tergantung pada seberapa banyak kesamaan minat dan tujuan mereka. Ketika partner
menyukai banyak hal yang serupa dan menyukai aktivitas yang sama, mereka akan
relative mudah mengatasi problem koordinasi. Mereka dikatakan memiliki “hasil yang
berkorespondensi” karena hasilnya berhubungan satu sama lain. Ketika partner
memiliki preferensi dan nilai yang berbeda, mereka akan mendapakan “hasil yang tidak
berkorespondensi” dan, akibatnya, cenderung terjadi konflik kepentingan dan timbul
problem koordinasi. Salah satu solusi yang lazim adalah memilih alternative yang bisa
diterima kedua belah pihak.
Peran memberikan solusi untuk beberapa problem koordinasi yang mungkin
dihadapi orang.Didalam banyak hubungan, aturan cultural menetapkan pola kooordniasi
tertentu. Ditempat kerja, misalnya, biasanya ada aturan yang jelas tentang siapa atasan
dan siapa bawahan.ketika individu bertindak berdasarkan aturan cultural yang sudah
ada, mereka melakukan proses pengambilan peran. Kita dapa mengontraskan proses
pengambilan peran ini, dimana orang mengadopsi atau menyesuaikan diri dengan peran
cultural, dengan proses penciptaan peran, dimana orang menciptakan norma sendiri
untuk berinteraksi secara social. Ketika pedoman social tampak kabur dalam proses
perubahan, individu memiliki lebih banyak kebebasan untuk bertindak, namun dia juga
mungkin harus lebih banyak berusaha keras untuk mengoordinasikan interaksinya agar
sukses.
Teori Keadilan
Sebenarnya teori ini merupakan turutan dari teori pertukaran sosial. Sebab
pada prinsipnya teori ini juga berpendapat bahwa pola hubungan manusia melibatkan
proses tukar menukar,dimana supaya pertukaran itu bisa menumbuhkan keharmonisan
dan perasaan senang atau kepuasan maka harus dilandasi prinsip keadilan. Teori ini juga
mengemukakan bahwa dalam pertukaran itu kita menuruti strategi minimal (minimal
strategy) yaitu berusaha untuk meminimalkan pengeluaran (cost),dan memaksimalkan
ganjaran (reward). Dengan demikian, orang cenderung untuk tetap meneruskan
hubungan yang dipersepsi terlalu besar pengeluarannya.
Pertukaran yang adil
Terdapat tiga prinsip dalam pertukaran yang adil, yakni :
a. Prinsip ekualitas atau kaidah kesamaan, yakni setiap orang mendapatkan proporsi
yang sama.
b. Prinsip yang mempertimbangkan kebutuhan semua orang yang terlibat dalam
hubungan itu
c. Prinsip equity (ekuitas), juga dikenal sebagai aturan distributive. Ide utamanya adalah
manfaat yang diterima seseorang harus sebanding dengan kontribusinya.
Teori ekuitas memiliki empat asumsi dasar :
1. Dalam satu relasi atau kelompok, individu akan berusaha memaksimalkan
perolehannya
2. Pasangan dan kelompok dapat memaksimalkan manfaat kolektifnya dengan
menggunakan aturan atau norma tentang cara membagi manfaat secara adil untuk
semua pihak
3. Ketika individu merasa bahwa suatu hubungan tidak seimbang, mereka akan tertekan.
Semakin besar ketidakseimbangan, semakin besar tekanan yang dirasakan
4. Individu yang merasakan adanya ketidakseimbangan dalam hubungan akan berusaha
memulihkannya.
Ketika hubungan terasa tidak seimbang, kedua belah pihak akan merasa tertekan
aau sedih. Jika orang yang dirugikan akan merasa jengkel, namun riset menunjukkan
bahwa orang yang terlalu banyak mengambil keuntungan juga akan merasakan tekanan,
mungkin karena dia merasa bersalah atau tidak nyaman.
Orang berusaha memulihkan ekitas saat mereka merasakn ada ketidakadilan
dalam hubungan. Orang dapat melakukannya dengan dua cara. Pertama adalah
memulihkan ekuitas actual.Cara kedua adalah menggunakan strategi kognitif unntuk
mengubah persepsi ketidakseimbangan, dan karenanya memulihkan ekuitas psikologis.
Kepuasan dalam kencan dan perkawinan dipengaruhi oleh persepsi
ekuitas.Orang yang merasa dirugikan biasanya tidak puas. Dari waktu ke waktu,
individu mungkin mengembangkan rasa percaya pada niat baik partnernya dan
karenanya tidak memantau pola pertukaran secara ketat
Akan tetapi, ketika hubungan sudah lama itu menghadapi perubahan yang
menekan, seperti transisi menjadi orang ta partner mungkin sekali lagi akanmenilai
keadilan dalam hubungan mereka. Perise menunjukkan bahwa perasaan kurang bahagia
akan memicu usaha mencari sumber tekanan dan menyebabkan partner merasakan
keidakseimbangan yang mungkin terabaikan selama masa-masa bahagia.
Juga ada perbedaan individual dalam efek dari ekuitas terhadap kepuasan
hubungan. Individu yang mengutamakan keadilan dalam hubungan mungkin akan lebih
banyak dipengaruhi oleh ketidakseimbangan dalam hubungannya. Wanita yang
menganut pandangan feminis atau nontradisional tentang peran gender mungkin akan
sensitive terhadap persoanaln keseimbangan dan karenanya merasakan ketidakpuasan
yang lebih besar ketimbang wanita berpandangan tradisional.
Riset secara umum menemukan bahwa dalam hubungan yang erat, kebahagiaan
tidak terlalu dipengaruhi oleh ekuitas.Kepuasan sangat tinggi jika orang merasa mereka
mendapatkan banyak manfaat, entah itu distribusinya adil atau tidak.
Melampaui Pertukaran
Teori Pertukaran Sosial
Teori ini menyatakan bahwa rasa suka kepada orang lain didasarkan pada
penilaian kita terhadap kerugian dan keuntungan yang diberikan seseorang kepada kita.
Kita menyukai seseorang bila kita mempersepsi bahwa interaksi kita dengan orang itu
bersifat menguntungkan – yaitubila ganjaran yang kita peroleh dari hubungan itu lebih
besar daripada kerugiannya. Dalam penilaian itu, kita juga akan mengadakan
perbandingan,menilai keuntungan yang kita peroleh dari orang lain.
Menurut perspektif teori ini,ganjaran memiliki 6 bentuk dasar yaitu
cinta,uang,status,informasi,barang,dan jasa. Keenam bentuk itu diklasifikasikan menjadi
dua dimensi yaitu partikularisme dan non partikular (Sears,dkk.,1999). Dalam dimensi
partikularisme termasuk bentuk ganjaran yang nilainya bergantung pada pemberi. Nilai
cinta dengan bentuk-bentuk ungkapannya sangat bergantung pada siapa yang
memberi.sebaiknya uang akan selalu dipandang bermanfaat tanpa memperdulikan siapa
pemberinya. Uang merupakan ganjaran yang bersifat non partikular.
Sedangkan dilihat dari dimensi keberwujudan (concreatness) dapat dibedakan
antara ganjaran yang nyata , yaitu sesuatu dapat dilihat,dicium,dan diraba,ganjaran yang
niskala atau bersifat simbolik seperti nasihat atau kedekatan sosial. Kerugian merupakan
konsekuensi dari suatu hubungan . hubungan bisa mendatangkan kerugian,misalnya
memakan waktu dan tenaga terlampau banyak,banyak menimbulkan pertentangan dan
lain-lain.
Dalam realitas interaksi nampaknya banyak dijumpai suatu hubungan yang
tetap berjalan dan dipertahankan meskipun tidak secara ketat mengikuti prinsip-prinsip
pertukaran ini
Clark dan Mills (1979) membedakan dua tipe hubungan : hubungan pertukaran
dan hubungan komunal. Dan kedua tipe hubungan ini, terjadi proses pertukaran namun
aturan member dan menerima manfaat berbeda secara signifikan. Dalam hubungan
pertukaran, orang member manfaat dengan harapan mendapatkan balasan yang setara.
Dalam exchange relationship (hubungan pertukaran) ini orang tidak merasa ada
tanggung jawab special untuk kesejahteraan orang lain sebaliknya, dalam hubungan
communal relationship (hubungan komunal), orang merasa bertanggung jawab secara
personal atas kebutuhan orang lain. Hubungan komunal biasanya terjadi antara anggota
keluarga, sahabat, dan pacar. Dalam hubungan ini, orang memberikan manfaat kepada
partnernya untuk menunjukkan perhatian dan merespon kebutuhan, tanpa mengharap
balasan yang sama di kemudian hari.
Berikut merupakan perbedaan antara dua orientasi hubungan ini menurut periset :
Orang lebih memerhatikan kebutuhan partnernya dalam hubungan komunal
ketimbang dalam hubungan pertukaran
Orang dalam hubungan komunal lebih memilih membeicarakan topic-topik
emosional, sedangkan orang dalam hubungan pertukaran menyukai topic non emosional
Orang dianggap lebih altruisik jika menawarkan bantuan kepada kenalan biasa
(hubungan komunal yang lemah dimana bantuan tidak diharapkan) ketimbang jika dia
memberikan bantuan kepada sahabt dekat (hubungan komunal yang kuat dimana
bantuan biasanya diharapkan)
Orang dianggap lebih memeningkan diri sendiri jika tidak memberikan bantuan
kepada sahabat dekat ketimbang jika dia tidak memberi bantuan kepada kenalan biasa.
Dalam subah riset, periset menemukan bahwa semakin besar komitmen orang dewasa
kepada pasangannya, semakin besar kemungkinan mereka menggunakan kata ganti
“kami” dan bentuk jamak lainnya ketimbang menggunakan kata ganti ”aku” dalam
mendeskripsikan hubungan mereka.
2.2 Intimasi
Intimasi merupakan istilah yang sulit didefiniskan seperti halnya cinta.
Pengungkapan diri adalah salah satu komponen intimasi, tetapi pengungkapan informasi
personal saja tidak cukup untuk menciptakan pengalaman kedekatan psikologis. Kita
mengalami hubungan yang intim apabila kita merasa dipahami, diakui, dan diperhatikan
oleh rekan kerja kita. Intimasi tercipta ketika kita memandang orang lain sebagai
responsif dan memberi perhatian pada kita dan bereaksi dengan cara yang suportif.
Model intimasi menurut Anne dan Betty.
Pengungkapan diri itu sendiri tidak menciptakan intimasi. Orang yang
mengungkapkan diri harus merasa bahwa pendengar menerima dan memahami perasaan
atau pandangannya. Responsivitas dan kesediaan pendengar untuk balik membuka diri
adalah penting. Pada gilirannya, interaksi yang intim akan meningkatkan perasaan
saling percaya dan kedekatan emosional yang fundamental bagi perkembangan
hubungan personal.
Gender dan Intimasi
Apakah pria dan wanita cenderung mendefinisikan keintiman secara berbeda?
Berdasarkan penelitian di AS, jawabannya adalah tidak. Ketika suami istri
ditanya tentang makna keintiman, keduanya menekankan perasaan personal dan kasih
sayang. Pria dan wanita menyebutkan pengungkapan perasaan pribadi, apresiasi,
kehangatan, dan aktivitas bersama sebagai aspek penting bagi intimasi. Penelitian ini
juga menunjukkan bahwa mereka menggunakan standar yang sama untuk menilai level
intimasi. Selain itu, pria dan wanita sama-sama menekankan pentingnya dukungan
emosional dalam hubungan yang erat.
Apakah pria dan wanita berbeda dalam hal derajat intimasi yang mereka
rasakan dalam hubungan mereja dengan kawan dan pasangan asmaranya?
Wanita cenderung mengungkap lebih banyak lebih banyak ketimbang pria dan
pola ini tampak jelas dalam persahabatan antara wanita dengan wanita. Interaksi antar
sahabat wanita juga cenderung lebih ekspresif secara emosional ketimbang antarsahabat
pria. Dalam studi itu, interaksi antar sesama pria kurang intim dibandingkan interaksi
antar sesama wanita. Namun, tidak ada perbedaan derajat intimasi pria dan wanita
dalam interaksi mereka dengan kawan lain jenis dan pacar. Penjelasan sosiokultural
mungkin menunjukkan bahwa wanita lebih mengutamakan perasaan dalam menjalin
hubungan pertemanan dan karenanya lebih mementingkan intimasi dan lebih ahli dalam
domain ini. Sebaliknya, pria mungkin telah diajari untuk membatasi pengungkapan diri
dan ekspresi emosinya, khususnya saat berinteraksi dengan sesama pria.
Keseimbangan Kekuasaan
Sosial power adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perilaku,
pikiran, atau perasaan orang lain. Dalam beberapa hubungan, pria dan wanita punya
pengaruh seimbang.
Pasangan dapat mencapai keseimbangan kekuasaan dengan cara yang berbeda.
Beberapa pasangan berusaha berbagi keputusan sepenuhnya : mereka belanja bersama,
mendiskusikan rencana liburan, dan sebagainnya. Pasangan lainnya mengadopsi pola
dimana masing-masing pihak memiliki tanggung jawab “terpisah tetapi setara”. Secara
umum, kepuasan hubungan adalah tinggi dalam hubungan yang didominasi pria dan
hubungan yang egalitarian. Konsensus antara pria dan wanita mungkin lebih penting.
Perkecualian terjadi dalam hubungan yang didominasi wanita. Tampaknya lebih mudah
untuk mengikuti pola pria lebih dominan atau pola kesetaraan yang baru ketimbang
menjalani hubungan yang didominasi wanita.
Pergeseran Keseimbangan Kekuasaan
Terdapat tiga faktor penting yang mempengaruhi pergeseran keseimbangan
kekuasaan, yakni :
a. Sikap dan Norma Sosial
Pola kekuasaan dalam suatu hubungan sering ditentukan oleh norma sosial. Dalam
hubungan perkawinan heteroseksual, konvensi sosial biasanya memberi otoritas yang
lebih besar pada pria. Individu yang mendukung keyakinan tradisional tentang peran
jenis kelamin menganggap lelaki cocok sebagai pemimpin dan pembuat keputusan
dalam hubungan heteroseksual.
b. Sumber Daya Relatif
Teori pertukaran sosial mengatakan bahwa sumber daya relatif dari kedua belah pihak
juga akan mempengaruhi keseimbangan kekuasaan. Sumber daya adalah segala sesuatu
yang dapat dipakai untuk memuaskan atau mengurangi kebutuhan atau membantu atau
menghambat orang untuk mendekati tujuannya. Ketika sumber daya tidak berimbang,
orang yang memiliki lebih banyak sumber daya akan lebih besar kekuasaannya.
c. Prinsip Kepentingan Terendah
Ketika kedua belah pihak sama-sama tertarik dan berkomitmen satu sama lain,
kekuasaan cenderung seimbang. Ketika satu partner lebih tergantung pada hubungan
atau lebih peduli pada kelanjutan hubungan, maka akan muncul ketidakseimbangan.
Sosiolog Willard Waller menyebut ini sebagai principle of least interest (prinsip
kepentingan rendah). Partner yang lebih sedikit kepentingannya dalam suatu hubungan
akan memiliki kekuasaan lebih besar. Pihak yang lebih berkepntingan pada hubungan
akan tunduk pada keinginan pihak lain guna menjaga kesinambungan hubungan.
Hubungan yang didasarkan pada ketergantungan satu pihak biasanya tidak memuaskan
bagi kedua belah pihak. Hubungan ini cenderung berubah ke arah keseimbangan
kekuasaan atau menjadi putus berantakan.
2.3 Konflik
Konflik adalah proses yang terjadi ketika tindakan satu orang mengganggu
tindakan orang lain. Potensi konflik meningkat apabila dua orang menjadi saling
interdependen. Saat interakasi lebih sering terjadi dan mencakup lebih banyak aktivitas
dan isu, ada lebih banyak peluang terjadinya perbedaan pendapat. Problem konflik
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
a. Perilaku spesifik
Beberapa konflik terjadi pada perilaku spesifik dari pasangan. Contoh, seorang
mahasiswi akan merasa tersinggung ketika ia sedang belajar ada salah satu tetangga
kamarnya yang menyetel radio dengan volume yang keras.
b. Norma dan Peran
Beberapa konflik berfokus pada isu yang lebih umum seperti hak dan tanggung jawab
partner dalam suatu hubungan. Konflik jenis ini mungkin muncul akibat adanya janji
yang tak ditepati, kurangnya perhatian, atau diabaikannya tugas yang telah disepakati.
Contoh, seorang mahasiswi akan mengeluh ketika mendapati teman sekamarnya yang
tidak melaksanakan piket asrama.
c. Disposisi Personal
Beberapa konflik berfokus pada motif dan personalitas seseorang. Orang sering melihat
pada niat dan sikap pasangannya. Seseorang mungkin akan jengkel ketika melihat
pasangannya malas, tidak disiplin dsb.
Tiga tipe konflik itu merefleksikan fakta bahwa orang adalah interdependen
pada tiga level. Pasa level behavioral, partner mengalami problem pengoordinasian
aktivitas tertentu. Pada level normatif, mereka mengalami problem dan menegosiasikan
aturan dan peran dalam hubungan mereka. pada level disposisional, mereka mungkin
berselisih soal personalias dan niat mereka. Konflik dapat membesar apabila satu pihak
menggunakan perilaku spesifik sebagai dasar untuk menilai atribut umum dari pihak
lain. Konflik dapat membahayakan atau mungkin malah menguntungkan suatu
hubungan, tergantung cara penyelesaiannya. Konflik bisa menimbulkan pertikaian fisik
dan kekerasan aktual. Di sisi lain, konflik dapat membuka kesempatan bagi pasangan
untuk mengklarifikasi perselisihan dan mengubah ekspektasi mereka tentang hubungan.
2.4 Kepuasan dan Komitmen
Kepuasan
Menurut teori interpedensi, kita akan puas jika hubungan kita menguntungkan,
yakni, jika manfaatnya lebih besar daripada biaya atau kerugiaannya. (Rusbult,
1980,1983). Dampak kerugian dari suatu hubungan bervariasi. Periset baru-baru ini
menunjukkan bahwa bervariasinya akibat dari kerugian itu mungkin karena
dikacaukannya antara konsep biaya dan pengorbanan ( Clark & Grote, 1998; Van
Lange et al, 1997). Biaya atau kerugian adalah kejadian yang kita anggap tak
menyenagkan, seperti ketika penampilan kita dikecam atau kita dipermalukan didepan
umum. Biaya selalu negative, sebaliknya pengorbanan selalu berkaitan dengan
kesejahteraan orang lain, seperi mengantar teman ke bandara atau bermain dengan adik
sang pacar yang bandel demi menyenangkan si pacar. Pengorbanan mengesampingkan
kepentinagn diri demi kepentingan hubungan, dan mungkin tidak dianggap sebagai
sesuatu yang merugikan.
Menurut teori interpedensi, kepuasan hubungan jadi dipengaruhi oleh level
perbandingan umum kita. Kita puas jika suatu hubungan sesuai dengan harapan dan
kebutuhan kita. Salah satu cara untuk merasa lebih baik adalah dengan mengatakan
kepada diri kita sendiri bahwa keadaan orang lain lebih buruk ketimbang kita (Buunk,
Oldersma, & De Dreu, 2001). Sedikit pertikaian dengan pasangan kita mungkin terlalu
menyusahkan jika kita ingat ada pasangan lain yang bertengakar setiap hari.
Persepsi keadilan memengaruhi kepuasan. Bahkan jika suatu hubungan
memberi banyak manfaat, mungkin kita tak puas jika kita yakin bahwa diri kita
diperlakukan secara tidak adil. Dalam bisnis, partner biasanya tak puas jika mereka
menganggap hubungan yang ada adalah berat sebelah. Demikian pula, dalam
persahabatan dan cinta, hubungan yang berat sebelah, di mana seseorang mendapat
lebih banyak ketimbang orang lainnya, biasanya tidak memuaskan (Cate & Llyod,
1992)
Karakteristik lain dari pasangan menikah atau pasangan kekasih yang relative
bahagia. Pasangan yang berbahagia menghabiskan lebih banyak waktu bersama dalam
aktivitas bersama. Bagi beberapa pasangan, melakukan aktivitas yang menentang
mungkin akan membantu membangkitkan kembali hasrat dan meningkatkan kepuasan
hubungan (Aron, Norman, Aron, & Lewandowski, 2002). Pasangan yang suka
berpetualang mungkin akan melakukan kegiatan arung jeram atau mendaki gunung;
pasangan lainnya mungkin lebih suka menonton turnamen atau travelling. Pasanagan
yang bahagia cenderung lebih banyak menggunakan humor dan tidak terlalu banyak
bertikai.
Komitmen
Orang yang sangat berkomitmen pada hubungan sangat mungkin untuk tetap
bersama “mengarungi suka duka” dan “demi tujuan bersama.” Dalam istilah teknis,
commitment in a relationship (komitmen dalam suatu hubungan) berarti semua
kekuatan positif dan negatif, yang menjaga individu tetap berada dalam suatundividu
tetap berada dalam suatu hubungan. Ada tiga faktor yang memengaruhi komitmen pada
suatu hubungan (Johnson, 1991; Surra &Gray, 2000).
Pertama, komitmen dipengaruhi oleh kekuatan daya tarik pada partner atau
hubungan tertentu. Jika kita suka pada orang lain, menikmati kehadirannya, dan merasa
orang itu ramah dan gaul, maka kita akan termotivasi untuk meneruskan hubungan kita
dengannya. Dengan kata lain, komitmen akan lebih kuat jika kepuasannya tinggi
(Rusbult & Van Lange, 1996). Komponen ini dinamakan “komitmen personal” karena
ia merujuk pada keinginan individu untuk mempertahankan atau mengingatkan
hubungan (Johnson, Caughlin, & Huston, 1999).
Kedua, komitmen dipengaruhi oleh nilai dan prinsip moral kita, perasaan bahwa
kita seharusnya tetap berada dalam suatu hubungan. “Komitmen moral” ini didasarkan
pada perasaan kewajiban, kewajiban agama, atau tanggung jawab social. Bagi beberapa
orang, keyakinan atau kesucian pernikahan dan keinginan menjalin komitmen seumur
hidup akan membuat mereka tidak ingin bercerai.
Ketiga, koomitmen didasarkan pada kekuatan negatif atau penghalang yang
menyebabkan seseorang akan rugi besar jika meninggalkan hubungan. Faktor yang
dapat menahankita untuk tetap dalam hubungan antara lain adalah tidak adanya
alternatif hubungan dan investasi yang kita tanamkan dalam suatu hubungan. Orang
yang sudah menikah mungkin takut pada konsekuensi legal, social, dan financial yang
timbul dari perceraian dan karenanya mereka merasa terperangkap dalam perkawinan
yang tidak bahagia. Situasi ini, dimana seseorang merasa harus melanjutkan hubungan,
dinamakan “komitmen terpaksa.” Menurut teori interpedensi, dua tipe penghalang
penting adalah kurangnya alternatif yang lebih baik dan investasi yang sudah kita
tanamkan dalam suatu hubungan.
Ketersediaan Alternatif. Level perbandingan alternatif akan memengaruhi
komitmen kita. Kita mungkin berpacaran dengan orang yang tidak sesuai dengan selera
kita karena adalah satu-satunya orang yang mau dengan kita. Ketika kita tergantung
pada hubungan untuk mendapatkan hal-hal yang kita hargai dan tidak bisa mendapatkan
hal itu di tempat lain, maka kita sulit unutk meninggalkan hubungan (Attridge, Creed,
Berscheid, & Simpson, 1992). Kurangnya alternatif yang lebih baik akan meningkatkan
komitmen.
Investasi. Komitmen juga dipengaruhi oleh investasi yang kita tanamkan dalam
membentuk hubungan (Rusbult, 1980, 1983). Investasi itu antara lain waktu, energy,
uang, keterlibatan emosional, pengalaman kebersamaan, dan pengorbanan untuk
partner. Setelah banyak berinvestasi dalam suatu hubungan dan kemudian merasa
hubungan itu kurang bermanfaat akan menimbulkan disonansi kognitif pada diri kita.
Karenanya kita mungkin merasakan tekanan psikologis unutk melihat hubungan kita itu
dari sudut pandang yang lebih positif atau mengabaikan kekurangannya (Rubin, 1973).
Semakin banyak investasi kita, semakin mahal jika kita meninggalkan hubungan.
Asosiasi antara Kepuasan dan Komitmen.
Dalam banyak hubungan, ada asosiasi erat antara kepuasan dengan komitmen.
Ketika orang menenmukan manfaat khusus dari hubungan asmaranya, mereka akan
membangun komitmen. Mereka akan berhenti berpetualang asmara. Saat hubungan itu
kemudian kemudian berubah menjadi cinta kasih, mereka akan menunjukkan
perasaannya secara terang-terangan dan melangkah menuju masa depan bersama-sama.
Mereka akan menikah, membeli rumah, punya anak, hal seperti ini biasanya didasarkan
pada cinta dan keinginan kuat untuk membangun komitmen. Jika pasangan itu
mengalami masa sulit dan konflik, investasi mereka mungkin akan menjadi motivasi
untuk berusaha memperbaiki hubungan dan manyalakan kembali api asmaranya.
Namun, kepuasan dan komitmen tidak selalu berhubungan erat. Beberapa
pasangan yang tidak bahagia mampu meningkatkan kualitas hubungannya dengan
pasangan yang lainnya mungkin menghentikan hubungannya, dan bahkan ada yang
mampu mempertahankan hubungan seumur hidup meski hubungan itu kurang
memuaskan. Untuk memahami sumber komitmen dalam hubungan yang kurang
memuaskan ini, para periset membandingkan pengalaman mereka yang berada dalam
perkawinan yang tidak bahagia yang ingin mempertahankan perkawinannya dengan
orang yang mempertimbangkan untuk bercerai. Secara umum, semakin banyak investasi
yang diinvestasikan oleh pasangann itu semakin besar kemungkinan mereka bertahan
dan punya anak. Kurangnya alternatif mungkin juga berpengaruh. Bagi pria dan wanita,
keyakinan bahwa kehidupan akan lebih buruk jika mereka berpisah juga berperan dalam
menguatkan komitmen. Bagi wanita, mereka mungkin merasa terancam akan
kehilangan sumber ekonomi akibat perceraian. Bagi lelaki, mereka mungkin akan
merasa kehidupan seksnya bertambah buruk jika bercerai. Individu yang percaya bahwa
perkawinan adalah komitmen seumur hidup dan pasangan yang tetap bertahan demi
anak-anaknya akan lebih mungkin untuk terus bertahan meksi ada ketidakpuasan.
Terakhir, orang yang percaya bahwa mereka memiliki kontrol yang kuat atas kehidupan
mereka sendiri dilaporkan tidak terlalu berkomitmen pada perkawinan yang tidak
memuaskan.
Kepuasan dan Komitmen dalam Hubungan Lesbiyan dan Gay.
Beberapa study membandingkan sampel pasangan gay, lesbian, dan
heteroseksual, menggunakan ukuran standar cinta, kepuasan, dan penyesuaian (Kurdek,
akan segera terbit; Peplau & Bealks, 2004). Tidak ada perbaedaan signifikan dalam
ukuran kualitas hubungan. Lesbian dan gay tidak lebih besar kemungkinannya untuk
memiliki hubungan yang membahagiakan.
Periset telah mulai mengidentifikasi faktor-faktor yang memperkaya atau
mengurangi kepuasan dalam hubungan sesama jenis (Peplau & Beals, 2004). Sesuai
dengan teori interpedensi, kepuasan akan tinggi bila seseorang merasa hubungannya
member manfaat dan lebih sedikit biaya. Kepuasan juga lebih tinggi bila partner gay
dan lesbian merasa mereka memiliki kekuasaan yang sama dan bisa mengambil
keputusan bersama.
Diperkirakan sekitar satu perkawinan heteroseksual dewasa ini akan berakhir
dengan perceraian. Tanpa catatan perkawinan resmi dan laporan sensus, adalah mustahil
untuk mengjukan estimasi yang sama untuk hubungan lesbian dan gay. Periset meneliti
faktor-faktor yang memengaruhi komitmen dalam hubungan gay dan lesbian (Beals,
Impett, & Peplau, 2002; Kurdek, 2000). Faktor yang diidentifikasi oleh teori
interdepedensi cukup berguna untuk memahami pasangan sesama jenis. Komitmen akan
tinggi jika partner merasa hubungannya member banyak daya tarik positif, apabila
mereka telah banyak berinvestasi dalam hubungan itu dan merasa tidak banyak
alternatif tersedia.
Perbedaan antara pasangan heteroseksual denagn homoseksual mungkin pada
hambatan untuk mengakhiri hubungan, bukan pada daya tarik positif hubungan.
Perkawinan heteroseksual menciptakan hambatan untuk bercerai seperti investasi dalam
prpoperti bersama, perhat an pada anak, atau ketergantungan financial. Rintangan ini
mungkin mendororng pasangan yang sudah menikah untuk berusaha memperbaiki
hubungan yang memburuk. Sebaliknya, pasangan gay dan lesbian lebih kecil
kemungkinannya untuk menglami hambatan ini. Dengan sedikit perkecualian, gay dan
lesbian tidak bisa menikah secara hukum. Mereka tidak menyatukan pendapatan
finansialnya atau menggabungkan propertinya, dan tidak mungkin punya anak kandung.
Tiadanya hambatan ini mengurangi peluang lesbian dan gay untuk terjebak dalam
hubungan yang kurang memuaskan. Akan tetapi, rintangan yang lemah mungkin juga
bisa menyebabkan partner untuk mengakhiri hubungan mereka. Ringkasnya, riset
menemukan banyak kemiripan antara hubungnan orang, terlepas dari orientasi
seksualnya.
2.5 Pemeliharaan Hubungan
Semua hubungan akan mengalami masalah dan kadang kekecewaan. Cara kita
merespons kekecewaan akan menjadi sebab sekaligus akibat dari kepuasan dan
komitmen kita. Di bawah ini beberapa pemikiran dan perilaku yang dapat memengaruhi
hubungan.
Ilusi Positif tentang Hubungan
Orang, terutama yang berada dalam hubungan yang memuaskan dan
berkomitmen, cenderung mengidealisasikan partnernya dan memandang hubungan
mereka lebih unggul ketimbang hubungan pasangan lainnya. Anggota dari pasangan
yang bahagia cenderung menekankan kebaikan pasangannya dan tidak terlalu peduli
dengan kelemahan masing-masing. Meskipun sulit mengabaikan perilaku yang
menjengkelkan, kekurangan ini biasanya diletakkan dalam konteks kualitas positif
global. Memandang pacar sepositif mungkin dapat menambah kepuasan hubungan dan
memperkuat kepercayaan kita bahwa kita telah menemukan pasangan yang tepat. Riset
tentang hal ini telah ditemukan di berbagai kultur.
Bias Masa Lalu
Cara lain untuk mempertahankan hubungan yaitu dengan menganggap bahwa
hubungan mereka terus berjalan kea rah cinta dan intimasi. Pada dasarnya, orang
mungkin merasa bahwa hubungan mereka tak sempurna, hubungan itu akan terus
membaik dari waktu ke waktu.
Bias memori ini ditemukan dalam studi longitudinal selama 20 tahun terhadap
sekelompok istri. Kepuasan actual mereka dalam perkawinan menurun dari waktu ke
waktu. Namun, ketika diminta mengingat masa-masa awal perkawinan, para istri itu
melaporkan adanya peningkatan: mereka percaya bahwa perkawinan mereka saat ini
lebih baik ketimbang di masa lalu. Memori manusia sangat kreatif, menyusun cerita
tentang masa lalu yang mungkin berbeda dengan fakta guna menjaga komitmen saat ini.
Kemampuan untuk membayangkan adanya perbaikan mungkin memang merupakan
sumber dari harapan akan masa depan.
Godaan Partner Alternatif
Salah satu ancaman potensial terhadap suatu hubungan adalah adanya alternaif
pasangan yang menarik. Salah sau tujuan komitmen dan perkawinan adalah
mengumumkan bahwa seseorang telah terikat dengan satu pasangan. Orang yang
sangat berkomitmen kepada hubungan mungkin juga menggunakan mekanisme kognitif
untuk melindungi dan menjaga hubungannya. Misalnya, partner yang setia mungkin
akan secara aktif meremehkan alternative guna menolak godaannya. Meyakinkan diri
sendiri bahwa pasangan kita jauh lebih baik adalah salah satu cara untuk menjaga
kesetiaan.
Menjelaskan Perilaku Partner
Ketika partner melakukan sesuatu yang menjengkelkan atau mengecewakan,
kita termotivasi untuk mencari tahu alasan dari tindakannya. Riset menemukan bahwa
pada umumnya pasangan yang bahagia dan yang tertekan cenderung menjelaskan
tindakan partnernya dengan cara yang berbeda. Pasangan yang bahagia cenderung
membuat atribusi yang memperkaya hubungan. Sebaliknya, pasangan yang tidak
bahagia mungkin akan membuat atribusi yang mempertahankan kesedihannya.
Pasangan yang bahagia dan kurang bahagia juga berbeda dalam dimensi
atribusional umum. Dimensi ini berkaitan dengan apakah penyebab perilaku partner
adalah disebabkan oleh situasi tertentu atau sesuatu yang lebih umum yang
memengaruhi banyak situasi. Secara keseluruhan, perbedaan aribusi ini dapat
menyebabkan partner yang berada dalam hubungan yang tidak memuaskan akan saling
memandang curiga dan saling menyalahkan, dan partner dalam hubungan yang bahagia
akan saling memandang satu sama lain sebagai bertanggung jawab dan perhatian. Riset
menunjukkan bahwa atribusi seperti ini dapat menimbulkan konsekuensi penting dalam
hubungan yang erat. Bagi pasangan yang tidak bahagia, isu tanggung jawab dan
kesalahan sering lebih mengemuka. Menginterpretasikan perilaku partner sebagai
tindakan egois dapat memperbesar perasaan kecewa dan menimbulkan kritik dan
ledakan emosi.
Kesediaan untuk Berkorban
Dalam suatu hubungan, terkadang ada situasi di mana pilihan terbaik untuk
masing-masing pihak adalah berbeda. Ketika terjadi konflik kepentingan, satu pihak
mungkin memutuskan untuk berkorban demi kebaikan partnernya atau demi menjaga
hubungan. Semakin komitmen seseorang pada hubungan, semakin besar kemungkinan
dia bersedia berkorban.
Dampak dari pengorbanan terhadap hubungan mungkin akan tergantung pada
alasan seseorang yang melakukan pengorbanan. Adalah berguna untuk membedakan
antara alasan pendekatan dan penghindaran. Kadang orang berkorban demi partner
untuk menunjukkan cinta dan perhatiannya, pengorbanan semacam ini yang
bermotifkan untuk mendekati bisa menimbulkan rasa bahagia dan puas. Sebaliknya,
terkadang orang berkorban demi menghindari konflik atau takut membahayakan
hubungan, pengorbanan dengan motif penghindaran dapat menimbulkan perasaan
gelisah dan amarah
Bersabar : Akomodasi dan Maaf
Istilah teknis akomodasi berarti kesediaan untuk menahan diri dan member
respons yang lebih konstruktif saat pasangan melakukan perilaku yang buruk. Riset
menunjukkan bahwa kemampuan untuk menahan diri dari marah-marah merupakan
factor penting dalam menjaga kualitas hubungan yang dekat. Orang yang mampu
memahami perspektif pasangannya, yang berusaha mengerti pemikiran dan perasaan
partnernya, biasanya tidak akan membalas perilaku negative dengan cara negative.
Perbedaan individual dalam hal control diri, dalam hal kemampuan untuk menahan
amarah, juga bisa amat berpengaruh.
Individu dalam hubungan yang bahagia dan penuh komitmen kemungkinan
besar akan lebih mudah memaafkan ketimbang individu dalam hubungan yang kurang
bahagia. Orang yang berempati kepada partner yang menyakitinya kemungkinan besar
akan member maaf dan berusaha berdamai. Lebih jauh, ada bukti awal yang
menunjukkan bahwa pemberian maaf bisa memulihkan hubungan antar pasangan.
Memberi maaf bisa mengurangi stress dan menyehatkan fisik pula.