Upload
agus-saefudin
View
970
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pedagogi
Citation preview
http://www.psb-psma.org/content/blog/pengertian-pendekatan-strategi-metode-teknik-taktik-dan-model-pembelajaran
Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode,
Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran
Tanggal: 03 Oktober 2008
oleh: Akhmad Sudrajat
Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga
seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut adalah: (1)
pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3) metode pembelajaran; (4) teknik
pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan
istilah-istilah tersebut, dengan harapan dapat memberikan kejelasaan tentang penggunaan istilah
tersebut.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari
metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya,
pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi
pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat
unsur strategi dari setiap usaha, yaitu :
1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran
(target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat
yang memerlukannya.
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif
untuk mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak
titik awal sampai dengan sasaran.
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard)
untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil
perilaku dan pribadi peserta didik.
2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang
paling efektif.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik
pembelajaran.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan
ukuran baku keberhasilan.
Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran
adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran
J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung
makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang
keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari
strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-
discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008).
Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan
antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan
berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of
operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Wina
Senjaya (2008). Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat
digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2)
demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7)
brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya.
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan
demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam
mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah
pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang
tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang
jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan
teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya
tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor
metode yang sama.
Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau
teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama
menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang
digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena
memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki
sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang
sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan
dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari
guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus
juga seni (kiat)
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah
terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model
pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model
pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan
teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A.
Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1)
model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4)
model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model
pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat
divisualisasikan sebagai berikut:
Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah desain
pembelajaran. Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur
umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada cara-cara
merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah ditetapkan strategi pembelajaran
tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah, strategi membicarakan tentang berbagai
kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah
modern, dan sebagainya), masing-masing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda
dan unik. Sedangkan desain adalah menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan
dibangun beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya,
maupun kriteria penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir, setelah
ditetapkan tipe rumah yang akan dibangun.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional,
seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam
mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan,
sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru
atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang
kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan)
sangat sulit menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru) telah
dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta
konsep dan teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada dasarnya guru
pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang
khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya
akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin
memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.
Sumber:
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Remaja.
Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990. Strategi Belajar Mengajar (Diktat
Kuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung.
Udin S. Winataputra. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran
(http://smacepiring.wordpress.com/)
Teori-Teori Belajar
Tanggal: 04 Oktober 2008
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari
aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori belajar,
yaitu: (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori pemrosesan
informasi dari Gagne, dan (D) teori belajar gestalt.
<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
<!--[if !supportLists]-->1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya:
<!--[if !supportLists]-->
1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan,
maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak
memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang
terjadi antara Stimulus- Respons.
2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan
organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana
unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu.
3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan
semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang
atau tidak dilatih.
<!--[endif]--><!--[if !supportLists]--><!--[endif]--><!--[if !supportLists]--><!--[endif]--> <!--[if
!supportLists]-->2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov<!--[endif]-->
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya :
<!--[if !supportLists]-->
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang
sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
<!--[endif]--><!--[if !supportLists]--><!--[endif]--> <!--[if !supportLists]-->3. Operant Conditioning
menurut B.F. Skinner<!--[endif]-->
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
<!--[if !supportLists]-->
1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut
akan menurun bahkan musnah.
<!--[endif]--><!--[if !supportLists]--><!--[endif]--> Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa
yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama
terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya
adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun
tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
<!--[if !supportLists]-->4. Social Learning menurut Albert Bandura<!--[endif]-->
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar
yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil
interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar
menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih
memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang
individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini,
seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan
teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold
method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The
Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan
untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan
individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1)
sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran
lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi.
James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person
takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of
their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts
by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya
dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan
kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. <!--[if !supportLists]-->Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa.
Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara
berfikir anak.
2. <!--[if !supportLists]-->Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi
lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya.
3. <!--[if !supportLists]-->Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi
tidak asing.
4. <!--[if !supportLists]-->Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya.
5. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang
untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
<!--[if !supportLists]-->C. <!--[endif]-->Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat
penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.
Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk
kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam
pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi
eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk
mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses
pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2)
pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7)
perlakuan dan (8) umpan balik.
D. <!--[endif]-->Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau
konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan
dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada
tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
1. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Hubungan bentuk dan latar (figure and gound
relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu
figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan,
warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar
bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling
berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang
sebagai satu bentuk tertentu.
3. <!--[if !supportLists]-->Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan
cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Arah bersama (common direction); bahwa unsur-
unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan
dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5. <!--[if !supportLists]-->Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata
bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung
membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. <!--[if !supportLists]-->Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi
kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari
dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam
bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku
dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain
sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna
dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah
membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan
geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral
merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-
olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan
suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal
atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan
obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius,
virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain,
gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Pemberian makna terhadap suatu rangsangan
sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi
yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam
memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang
peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta
didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur
dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. <!--[if !supportLists]-->Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning);
kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam
proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif
sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah,
khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-
hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan
proses kehidupannya.
3. <!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa
perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-
respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses
pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin
dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas
pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4. <!--[if !supportLists]--><!--[endif]-->Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku
individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu,
materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi
lingkungan kehidupan peserta didik.
5. <!--[if !supportLists]-->Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam
situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar
terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi
tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan
yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas
dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi).
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok
dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam
memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat
membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang
diajarkannya.
Teori-Teori Motivasi
Tanggal: 04 Oktober 2008
oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat
persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari
dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas
perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan
lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan
pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian
kinerja (prestasi) seseorang.
Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk
memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi
kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan
kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk
mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7)
tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8)
arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi,
antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori
Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua
Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan);
(8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
(disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo
Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167)1. Teori Abraham H. Maslow
(Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada
pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan
fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa
aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan
intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem
needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi
diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan
nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan
primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas
dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan
intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia
merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat
materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam
kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan
mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep
“hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai
tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga
berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep
tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan
berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan
tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan
pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin
mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang
diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan
manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang
pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman
serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia
digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu
ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang
akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari
pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi
dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah
memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi
pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif..2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan
Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for
Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan
kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan
kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau
pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik,
manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen
mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi.
Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak
lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri
umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan
moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka
sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan
umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang
berprestasi rendah.
3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan
huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R =
Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan
pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara
konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan
Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam
teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut
konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut
Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu
diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan
tampak bahwa :
a. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk
memuaskannya;
b. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila
kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
c. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar
keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena
menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang
dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin
dicapainya.
4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi
Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu
faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi
yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud
dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang
berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan
seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan
seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan
pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain
status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan
seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para
penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem
imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan
dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah
yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
5. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan
kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang
diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang
diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
a. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
b. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal
sebagai pembanding, yaitu :
a. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi
pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
b. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat
pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
c. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta
melakukan kegiatan sejenis;
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang
merupakan hak para pegawai
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan
petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan
timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul
berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi,
sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat
kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan
perpindahan pegawai ke organisasi lain.
6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme
motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya;
(c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan
rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang
penetapan tujuan
7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu
teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat
suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa
tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang
sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang
bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang
menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang
bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya,
jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan
menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini
mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian
membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-
cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting
karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa
yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model
kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang
bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi
tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang
ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari
berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa
manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang
menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang
mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya
dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian
tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi
konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti,
akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar
menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya
diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran
dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan
kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat
pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap
memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-
cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha
mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai
kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di
kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang
mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi
seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e)
keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan
sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja;
(d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
Membuat Jadwal Pelajaran dengan CEPAT
Tanggal: 20 November 2008
Membuat jadwal dalam sebuah sekolah adalah kegiatan rutinitas tahunan bahkan
mungkin per semester. Gampang gampang susah kalimat yang cocok untuk mewakili
pekerjaan yang satu ini, gampang kalau permintaan guru tidak banyak modelnya, tapi jadi
pekerjaan yang susah jika jumlah guru banyak, masing-masing minta jadwal jam kosong
yang harinya tertentu, biasanya sabtu hehehehe, ditambah lagi model team teaching dan
moving class, bisa-bisa gak bisa tidur nyenyak seminggu hehehehehe. Akan menjadi
lebih ringan bila diawali dengan perhitungan awal sebagai berikut:
Kegiatan penyusunan jadual pelajaran akan terasa mudah dan cepat apabila mengikuti
langkah-langkah sistematik penyusunan jadual pelajaran. Langkah-langkah penyusunan
jadual pelajaran dalam manajemen kurikulum adalah sebagai berikut:
1. penyusunan struktur program kurikulum masing-masing mata pelajaran ( jenis
mata pelajaran yang diajarkan dan jumlah jam perminggu masing-masing maple
tiap jenjang kelas),
2. penyusunan pembagian tugas jam mengajar guru (berisi nama guru, jenis mata
pelajaran yang diajarkan, jumlah jam masing-masing mapel, dan kelas yang
diajar)
3. penentuan hari-hari atau jam-jam kosong masing-masing mata pelajaran dan guru
(misalnya; pelajaran Penjasorkes hanya jam ke 1 s.d 4, hari untuk kegiatan
MGMP, pembinaan, dan kegiatan sekolah lainnya),
4. penentuan jumlah jam pelajaran sekolah tiap hari atau tiap minggu (misalnya
senin s.d kamis: 8 jam pelajaran, jumat dan sabtu: 6 jam pelajaran; jadi jumlah
jam pelajaran sekolah perminggu adalah 44 jam pelajaran),
5. penentuan jumlah ruang mapel (khusus sekolah yang menyelenggarakan
moving class), jumlah ruang mapel adalah pembulatan ke atas (harus!) dari rasio
jumlah
jam pelajaran tiap mapel total dengan jumlah jam pelajaran sekolah perminggu,
yang dapat dihitung dengan rumus berikut:
Rasio ruang mapel= juml jam mapel total per minggu dibagi jumlah jam
pelajaran sekolah perminggu
Hasilnya pembagian dibulatkan keatas, misal ketemu 2,23 butuh ruang 3
6. penentuan jumlah jam pelajaran tiap ruang mapel perminggu
Untuk menentukan jumlah jam pelajaran dalam ruang tertentu harus merata, yaitu
tidak boleh melebihi jumlah jam mapel total perminggu dibagi jumlah ruang
mapel. Rumus menghitung jumlah jam pelajaran maksimum tiap ruang mapel
dirumuskan sebagai berikut:
Jumlah JP maks tiap ruang mapel =jumlah jam mapel total perminggu
dibagi jumlah ruang mapel
7. mendistribusikan jam-jam guru mata pelajaran pada kelas, jam, dan hari-hari yang
telah direncanakan
Sekarang semua komponen sudah tersedia dan Bapak Ibu sekarang siap membuat
jadwalnya, boleh dengan cara manual ataupun dengan cara kompterisasi, Kalau Bapak
Ibu menginginkan yang cara cepa silahkan diklik disini
Jadwal Pelajaran Otomatis dengan Asc Timetables
Ditulis oleh animhadi di/pada 20 Nopember, 2008
(http://animhadi.wordpress.com/2008/11/20/jadwal-pelajaran-otomatis-dengan-asc-
timetables/)
Landasan Bimbingan dan Konseling
Tanggal: 04 Oktober 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Abstrak :
Agar dapat berdiri tegak sebagai sebuah layanan profesional yang dapat diandalkan dan
memberikan manfaat bagi kehidupan, maka layanan bimbingan dan konseling perlu
dibangun di atas landasan yang kokoh, dengan mencakup: (1) landasan filosofis, (2)
landasan psikologis; (3) landasan sosial-budaya, dan (4) landasan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia,
selain berpijak pada keempat landasan tersebut juga perlu berlandaskan pada aspek
pedagogis, religius dan yuridis-formal. Untuk terhidar dari berbagai penyimpangan
dalam praktek layanan bimbingan dan konseling, setiap konselor mutlak perlu
memahami dan menguasai landasan-landasan tersebut sebagai pijakan dalam
melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.
Kata kunci : bimbingan dan konseling, landasan filosofis, landasan psikologis; landasan
sosial-budaya, landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
A. Pendahuluan
Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di
Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan
konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak
dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan
penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan
pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun
praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu
memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan
(klien). .
Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai
bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para
penerima jasa layanan (klien) maka pemahaman dan penguasaan tentang landasan
bimbingan dan konseling khususnya oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-
tawar lagi dan menjadi mutlak adanya..
Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan
dan konseling selama ini,– seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai
“polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan
dan konseling,- sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan
penguasaan konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain,
penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak dibangun
di atas landasan yang seharusnya.
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan
konseling, khususnya bagi para konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang
beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan
konseling.
B. Landasan Bimbingan dan Konseling
Membicarakan tentang landasan dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak
jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti
landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun
landasan pendidikan secara umum.
Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor
yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana
utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah
bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat
dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka
bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan
bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh
akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri
dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik,
berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok
yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan
filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan
(ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing
landasan bimbingan dan konseling tersebut :
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman
khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling
yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan
filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari
jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan
dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat
modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para
penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph,
dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk
meningkatkan perkembangan dirinya.
Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia
berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri
khususnya melalui pendidikan.
Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya
untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol
keburukan.
Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara
mendalam.
Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud
melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat
pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan
manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi
apa manusia itu.
Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun,
manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk
melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling
diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor
dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya
sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
2. Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi
konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk
kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai
oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c)
perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
a. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang
berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki
oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun
motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh
pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut
tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik)
maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental
atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan
mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak
lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti
struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian
tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan
untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana
individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada
individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan
rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan
sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu
yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang
memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara
optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang
kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi
bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu
yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya
meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial.
Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan,
diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan
kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual;
(3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang
perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori
dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan
sosial; dan (8) Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu
semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek
perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan
individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan
lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar
untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan
mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan
mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk
menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu.
Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah
tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun
psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar,
baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar
sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori
belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme;
(2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar
Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang
kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang
dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005)
menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari
studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian
yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi
dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang
unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian
kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003)
mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat
behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri,
ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat
dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh
keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon,
segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian
yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori
Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan
Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi
Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The
Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003)
mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya
dalam memegang pendirian atau pendapat.
Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau
perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal.
Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan
mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat
memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi
perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat
mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk
memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat
mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap
potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor
dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar
yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor
kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh
karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya
terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi
umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan
psikologi kepribadian.
3. Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman
kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan
produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan
dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-
budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat
mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang
melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan
perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang
bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka
tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat
menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang
besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan
klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang
berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan
yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu :
(a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan
menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-
pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun
sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang.
Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu
berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian
terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit
pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu
memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan
yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture
shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus
berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin
harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006)
mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan
dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya
plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan
semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan
dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara
nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-
dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang
bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan
berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes,
inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku
teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah
menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan
secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa
disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek
bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi,
filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama.
Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan
pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun
prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain
dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk
penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis
komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam
bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak
memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling
pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan
teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien)
tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui
hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”.
Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut
kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan
bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya
mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno,
2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu
mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik
berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan
penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno
(2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan
paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi,
yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan
salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan
konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan
konseling.
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal
pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong
perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-
kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya
secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi)
serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk
membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya
(2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan
konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat
yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan
kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang
berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai
spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan
konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang
berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber
dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas
landasan yang kokoh.
Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya
layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.
Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan filosofis, (b) landasan
psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia,
dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.
Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang
menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b)
pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.
Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan
bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman
budaya.
Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan
konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.
Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan
pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan
pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Sumber Bacaan :
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya
Remaja.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko
Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek
Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York :
McMillan Publishing.
Gerlald Corey. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara),
Bandung : Refika
Gerungan 1964. Psikologi Sosial. Bandung : PT ErescoH.M. Arifin. 2003. Teori-Teori
Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill
Book Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB - IKIP
Bandung
.———-2006. Profesionalisme Konselor dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (makalah). Majalengka : Sanggar BK SMP, SMA dan SMK
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung :
P.T. Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas
.———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta :
Rineka Cipta
.——–2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Sarlito Wirawan.2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT
Rosda Karya Remaja.
Cara menggabungkan file RAR
Tanggal: 09 Oktober 2008
Bahan Ajar yang diupload di situs PSB dirancang untuk dapat mudah di download
yaitu dengan memecah file bahan ajar menjadi beberapa file (split). Berikut ini cara
untuk menggabungkan kembali file bahan ajar sehingga dapat dibuka,
Instalasi program kompresi yang dapat membaca ekstensi .rar, dalam hal ini
menggunakan WinRAR. Untuk mendapatkan program WinRAR terbaru silahkan kunjungi
URL: http://www.rarlab.com
Download seluruh bagian-bagian file terkompresi di situs PSB
Untuk menggabungkan filenya ikuti langkah berikut:
Langkah No. 1, tempatkan semua hasil download pada satu folder
Langkah No. 2, klik dua kali bagian pertama file bahan ajar
Langkah No. 3, buka file bahan ajar yang dimaksud, setelah file terbuka save as bahan
ajar folder yang diinginkan.
Cara mengaktifkan makro pada MS
PowerPoint
Tanggal: 22 September 2008
Beberapa bahan ajar yang terdapat di situs PSB, terutama yang berformat ppt,
menggunakan makro dalam penyusunan contoh soal. Bahan ajar yang
menggunakan makro tidak akan berjalan jika sistem sekuriti makro tidak diturunkan ke level
Medium atau Low. Berikut ini adalah langkah-langkah penurunan level sekuriti,
1. Untuk MS PowerPoint 2003:
Langkah No. 1, klik Menu
Langkah No. 2, pilih Macro
Langkah No. 3, lalu klik Security ...
Langkah No. 4, klik Tab Security Level
Langkah No. 5, pilih level Medium atau Low, lalu klik OK.
Tutup Program MS PowerPoint 2003 lalu buka kembali, setelah itu buka file bahan ajar.
2. Untuk MS PowerPoint 2007:
Langkah No. 1, klik logo Microsoft Office
Langkah No. 2, lalu klik menu PowerPoint Options
Langkah No. 3, klik menu Popular
Langkah No. 4, lalu centang Show Developer tab
in the Ribbon, lalu klik OK
Langkah No. 5, klik menu Developer
Langkah No. 6, lalu klik Macro Security
Langkah No. 7, klik Macro Settings
Langkah No. 8, lalu pilih Enable all macros (not
recommended; potentially dangerous code can run), lalu klik OK.
Tutup Program MS PowerPoint 2007 lalu buka kembali, setelah itu buka file bahan ajar.
Penulis Artikel
Penulis:
Credit Text di PowerPoint
Tanggal: 06 Agustus 2008
Credit Text adalah tulisan yang bergerak dari bawah ke atas berulang-
ulang. Mungkin kita sering melihat animasi teks tersebut pada suatu
halaman website yang menyampaikan pesan khusus dengan animasi
Credit Text. Halaman website tersebut biasanya menggunakan
pemrograman javascript atau animasi flash. Sebetulnya PowerPoint sudah
menyediakan efek animasi Credit. Animasi kredit pada PowerPoint akan menggerakkan objek
bergerak dari bawah ke atas juga. Tetapi animasi ini menembus batas slide. Pada artikel kali ini,
akan dibahas membuat efek Credit Text yang dibatasi pada area tertentu saja atau sebuah
frame.
Sediakan sebuah slide dan tambahkan objek Shape berupa Box dan RoundBox. Round Box
akan dijadikan sebagai frame pembatas pergerakan teks. Di dalam RoundBox tambahkan
TextBox dan isikan teks sebagai objek yang akan diberi efek animasi Credit.
Pilih objek TextBox dan tampilkan Custom Animations. Tambahkan efek animasi Entrance
"Peek In" dengan arah "From Bottom". Kecepatan animasi pilih "Very Slow", dan mulai
pergerakan animasi (start) pilih "With Previous".
Tambahkan Efek Timing untuk menetukan perulangan dengan "Until end of slide".
Copy atau gandakan objek TextBox sehingga terbentuk objek TextBox kedua. Posisikan objek
TextBox kedua tepat sama dengan objek TextBox Pertama.
Pilih order animasi yang kedua dan ganti efek animasi dengan tombol [Change]. Tentukan efek
animasi Exit "Peek Out" dengan arah "To Top". Mulai pergerakan animasi (start) pilih "With
Previous".
Tampikan slide dengan menekan [Shift][F5].