View
1.514
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 dalam Pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Citation preview
IMPLEMENTASI PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR
19 TAHUN 2011 DALAM PENGELOLAAN BEA PEROLEHAN HAK
ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) UNTUK
MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI
DAERAH (PAD)
SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Guna
Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Disusun Oleh:
Nama : DIDIT AZHARI
Nomor Induk Mahasiswa : 09.221.4250
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Kenegaraan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA
TAHUN 2012
HALAMAN PERSETUJUAN
IMPLEMENTASI PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR
19 TAHUN 2011 DALAM PENGELOLAAN BEA PEROLEHAN HAK
ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) UNTUK
MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI
DAERAH (PAD)
Penyusun:
Signed
DIDIT AZHARI
NIM: 09.221.4250
Disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing,
Signed
Hj. TRI WAHYUNI HERUWATI, S. H., C. N.
NIP: 1955121119870 3 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Signed and Stamped
BAKRI DENIN, B. E., S. H., M. H.
NIP: 1949051019860 1 1 001
HALAMAN PENGESAHAN
IMPLEMENTASI PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR
19 TAHUN 2011 DALAM PENGELOLAAN BEA PEROLEHAN HAK
ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) UNTUK
MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI
DAERAH (PAD)
Skripsi Ini Telah Dipertahankan Dihadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Pada Hari Senin, Tanggal 19 Maret 2012
Ketua,
Signed
Hj. TRI WAHYUNI HERUWATI, S. H., C. N.
NIP: 1955121119870 3 2 001
Anggota, Anggota,
Signed Signed
H. SUNARTA, S. H., M. Hum. Hj. IPUK ISTIQOMAH, S. H., M. H.
NIP: 1963122819900 3 1 002 NPK: 510.810.228
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Signed and Stamped
BAKRI DENIN, B. E., S. H., M. H.
NIP: 1949051019860 1 1 001
HALAMAN MOTTO
“EVERYDAY IS RACE,
THE LAST BUT NOT LEAST”
(Anonymous)
“Setiap hari langkah kehidupan begitu cepat, bagaikan pembalap berebut dan
melaju menjadi nomor satu, tetapi yang terakhir bukanlah yang terburuk.”
“SUCCESS IS THE ABILITY TO GO FROM ONE FAILURE TO ANOTHER
WITH NO LOSS OF ENTHUSIASM”
(Sir Winston Churchill, Great Britain Prime Minister on World War II)
“Kesuksesan adalah kemampuan untuk beranjak dari suatu kegagalan ke
kegagalan yang lain tanpa kehilangan keinginan untuk berhasil”
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur yang mendalam, dengan telah diselesaikannya Skripsi
ini Penulis mempersembahkannya kepada:
1. Keluarga besar Penulis yang telah senantiasa membantu menyelesaikan
Skripsi ini.
2. Segenap civitas akademika kampus Universitas Widya Mataram Yogyakarta,
staf pengajar, karyawan, dan seluruh mahasiswa semoga tetap semangat dalam
beraktivitas mengisi hari-harinya di kampus Universitas Widya Mataram
Yogyakarta.
3. Teman-teman Penulis baik itu teman kuliah seangkatan, adik kelas, kakak
kelas pada Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta, maupun
teman-teman dari fakultas dan universitas lain yang telah banyak memberi
masukan, semangat, dan arahan hingga akhirnya dapat terselesaikan Skripsi
ini.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas segala limpahan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan karya
tulis yang berbentuk Skripsi ini dengan judul: “IMPLEMENTASI
PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 19 TAHUN 2011
DALAM PENGELOLAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN (BPHTB) UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI
DAERAH (PAD)”.
Penyusunan Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Widya
Mataram Yogyakarta tempat dimana Penulis belajar ilmu hukum. Selain itu juga
untuk menerapkan teori-teori yang pernah Penulis dapatkan selama mengikuti
perkuliahan guna mengetahui pengelolaan BPHTB oleh Pemerintah Kota
Yogyakarta.
Dalam penyusunan Skripsi ini, Penulis banyak memperoleh bimbingan,
ide, bantuan, dorongan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan kali ini sudah selayaknya apabila Penulis menghaturkan terima kasih
yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta beserta seluruh staf pengajar
dan karyawan yang telah banyak memberikan berbagai pelayanan dan
kemudahan selama Penulis mengikuti pendidikan.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta beserta staf
pengajar dan karyawan yang telah memberikan kemudahan serta bekal ilmu
pengetahuan untuk mempelajari dan mendalami ilmu hukum selama Penulis
mengikuti pendidikan.
3. Ibu Hajjah Tri Wahyuni Heruwati, S. H., C. N., selaku dosen pembimbing
Skripsi yang telah banyak mamberikan bimbingan, nasehat, petunjuk,
semangat, dan arahan kepada Penulis serta yang selalu terbuka menerima
usulan dan ide dari Penulis dalam penyusunan Skripsi ini.
4. Bapak Santoso, S. E. selaku Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan Dinas
Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta beserta
stafnya yang telah banyak membantu dan memberikan informasi dan data-data
yang diperlukan Penulis dalam penyusunan Skripsi ini.
5. Keluarga besar dan teman-teman Penulis baik itu teman di Universitas Widya
Mataram Yogyakarta maupun universitas lain yang telah memberikan doa
restu dan dorongan baik secara moril maupun spirituil selama Penulis
mengikuti pendidikan di perguruan tinggi.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan.
Yogyakarta, 19 Maret 2012
Penulis,
Signed
DIDIT AZHARI
NIM: 09.221.4250
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
KATA PENGANTAR................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xiii
ABSTRAKSI/INTISARI ............................................................................ xiv
ABSTRACT/SUMMARY........................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................... 9
A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik .................................. 9
B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Publik............. 13
1. Pengertian Implementasi Kebijakan ............................. 13
2. Teori Implementasi Kebijakan ..................................... 17
C. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor
84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan
Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota Yogyakarta ............................................. 20
1. Perubahan Pada Pasal 1 Ayat (1) huruf f, Ayat (2)
huruf m, dan Ayat (3) huruf j........................................ 21
2. Kewenangan Pemerintah Kota Yogyakarta Dalam
Mengelola BPHTB....................................................... 23
D. Tinjauan Tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD)............. 28
BAB III METODE PENELITIAN ................................................... 32
A. Jenis Penelitian ................................................................. 32
B. Sumber Data ..................................................................... 33
1. Subjek Penelitian ........................................................... 33
2. Objek Penelitian............................................................. 33
C. Lokasi Penelitian............................................................... 34
D. Responden ........................................................................ 35
E. Metode Pengumpulan Data................................................ 35
1. Observasi (Pengamatan)................................................. 35
2. Document Research (Penelitian Kepustakaan)................ 35
3. Indepth Interview (Wawancara Mendalam) .................... 36
F. Metode Analisis Data ........................................................ 36
BAB IV PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN...................... 39
A. Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun
2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja
Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota
Yogyakarta Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) ................................................................... 39
1. Analisis Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8
Tahun 2010................................................................... 45
2. Analisis Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102
Tahun 2010................................................................... 48
3. Analisis Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19
Tahun 2011................................................................... 49
B. Evaluasi Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor
84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan
Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota Yogyakarta Untuk Meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) ......................................... 58
1. Faktor Pendukung ......................................................... 59
2. Faktor Penghambat ....................................................... 60
BAB V PENUTUP............................................................................ 62
A. Kesimpulan....................................................................... 62
B. Saran................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 68
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel I Proses Kebijakan Publik ........................................................ 75
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Bagan Struktur Organisasi Dinas Pajak Daerah dan
Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta ............... 75
ABSTRAKSI/INTISARI
Berawal dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya dalam pengelolaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sejak Januari 2011 maka kini
pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki pekerjaan baru sebagai pelimpahan
dari pemerintah pusat. Kota Yogyakarta telah dinilai siap untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota Yogyakarta
Nomor 8 Tahun 2010 tentang BPHTB, dan petunjuk pelaksanaannya dituangkan
dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010, sehingga dinas
yang melaksanakan pekerjaan tersebut yaitu Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota (DPDPK) Kota Yogyakarta sebagai ujung tombak dalam
pengelolaan BPHTB di Kota Yogyakarta. Dalam melakukan tugas tersebut maka
dikeluarkanlah Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian
Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK)
Kota Yogyakarta yang didalamnya terdapat poin-poin perubahan pasal dalam
rangka mengelola BPHTB. Penerimaan pajak daerah Kota Yogayakarta pada
akhir tutup buku tahun 2010 tercapai melampaui target begitu pula tahun 2011
juga melampaui target yang ditetapkan. Penerimaan sampai bulan Desember 2011
mencapai Rp 158.724.247.821,- dari target yang ditetapkan yakni Rp
131.034.709.856 atau mencapai 121,13%, sehingga penelitian ini dilaksanakan
untuk dalam rangka mengetahui implementasi atas diberlakukannya Peraturan
Walikota Nomor 19 Tahun 2011 dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
Berdasarkan uraian diatas maka Penulis memilih judul penelitian
“Implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011
Dalam Pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)”. Bagaimana
Implementasi Perwal tersebut dalam rangka meningkatkan PAD Kota Yogyakarta.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, lokasi penelitian berada di
Kantor Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota
Yogyakarta, teknik pengumpulan data dengan pengamatan, wawancara, dan studi
pustaka. Jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Sedangkan analisisnya
menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Dari hasil evaluasi data dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan fungsi
pengelolaan BPHTB oleh DPDPK Kota Yogyakarta tergolong sangat baik
tercermin dengan pencapaian target yang melampaui target yang ditetapkan dan
telah dikelolanya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) per Januari 2012, akan tetapi
kuantitas dan kualitas pegawai DPDPK Kota Yogyakarta cenderung masih perlu
untuk ditingkatkan, hal ini tercermin dari telah dilakukannya penyuluhan kepada
masyarakat/wajib pajak pembayar BPHTB namun masyarakat/wajib pajak
cenderung masih belum berkesadaran untuk membayar dan mengurus sendiri
BPHTB yang dibayarnya.
Kata Kunci: Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
ABSTRACT/SUMMARY
Starting from the enactment of Act Number 28 Year 2009 on Regional
Taxes and Levies, particularly in the management of Fees of Acquiring Land
Rights and Buildings (BPHTB/Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan)
since January 2011 but now a local government district/municipality has a new
job as a devolution of central government. Yogyakarta city has been judged ready
to carry out such work with the issuance of Local Regulation of Yogyakarta
Number 8 Year 2010 on BPHTB, and implementation instructions contained in
the Mayor of Yogyakarta Regulation Number 102 Year 2010, so the agency is
performing a task that the Regional Office of Tax and Financial Management of
Yogyakarta as the spearhead in the management BPHTB in the city of
Yogyakarta. In performing these duties the Mayor of Yogyakarta Regulation
Number 19 Year 2011 regarding Amendment in the Mayor of Yogyakarta
Regulation Number 84 Year 2008 regarding Function, Task Details, and
Administration of Regional Office of Tax and Financial Management of
Yogyakarta city in which there are points of article changes in order to manage
BPHTB. Local tax receipts Yogayakarta City closing at the end of 2010 exceeded
the target as well as achieved in 2011 also exceeded the target set. Acceptance
until the month of December 2011 reached Rp. 158.724.247.821,- of the target set
at Rp. 131.034.709.856,- or reach 121.13%, so that the research was conducted in
order to know the implementation of the enactment of Mayor of Yogyakarta
Regulation Number 19 Year 2011 in order to increase revenue.
Based on the description above, the study authors chose the title “The
Implementation of Mayor of Yogyakarta Regulation Number 19 Year 2011
in the Management of Acquisition Fees and Building Land Rights To
Increase Revenue”. How this regulation implementation projects in order to
increase the revenue of the city.
This type of research is descriptive research, the study site is located in the
Regional Office of Tax and Financial Management of Yogyakarta, data collection
techniques by observation, interview and literature study. This type of data is
primary data and secondary data. While the analysis using qualitative descriptive
analysis.
From the evaluation results can be concluded that the implementation of
data management functions BPHTB by the city of Yogyakarta is in excellent as
reflected by the achievement of targets over the target and has managed land and
building tax (PBB/Pajak Bumi dan Bangunan) since January 2012, but the
quantity and quality of employees Regional Office of Tax and Financial
Management of Yogyakarta likely still need to be improved, it is reflected from
has done outreach to the community/taxpayers paying BPHTB but the
public/taxpayers are still not conscious tend to pay and manage their own BPHTB
which he paid.
Keyword: Fees of Acquiring Land Rights and Buildings (BPHTB/Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pemerintah pusat
kembali mengeluarkan regulasi tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD). Dengan UU ini maka telah dicabut UU Nomor 18 Tahun 1997,
sebagaimana sudah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000. Berlakunya
UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru di satu sisi akan
memberikan keuntungan bagi daerah kabupaten/kota karena adanya sumber-
sumber pendapatan baru. Dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 pajak yang dapat dipungut oleh kabupaten/kota ada 11 jenis
pajak, dimana 8 pajak merupakan jenis yang lama dan 3 jenis pajak lainnya
adalah jenis pajak baru, antara lain sebagai berikut:
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7. Pajak Parkir;
8. Pajak Air Tanah;
9. Pajak Sarang Burung Walet;
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan;
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Disebutkan juga secara eksplisit dalam Pasal 2 Ayat (3) bahwa daerah
dilarang memungut pajak selain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009. Ini berarti bahwa jenis-jenis pajak yang bisa dipungut daerah
bersifat terbatas dan tertutup. Daerah dilarang untuk menetapkan jenis pajak
lain untuk memungutnya.
Pajak-pajak jenis baru yang sebelumnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat dan yang kini diserahkan untuk dipungut dan dikelola oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota, antara lain sebagai berikut:
1. Pajak Sarang Burung Walet;
2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan, dan;
3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Dengan bertambahnya jenis pajak yang dikelola oleh daerah tersebut
tentunya akan menambah sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) apabila
potensi di daerah demikian besar, dan yang menjadi fokus pada penelitian ini
adalah mengenai BPHTB.
Pengalihan kewenangan pengelolaan BPHTB dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah dimulai pada tanggal 1 Januari 2011, ini berarti BPHTB
akan menjadi pajak daerah sekaligus sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD).
Sedangkan untuk pengelolan PBB masih akan dialihkan secara bertahap
hingga 1 Januari 2014. Pengalihan kewenangan pengelolaan pajak ini dapat
dikaitkan langsung dengan kebijakan otonomi daerah dimana penyelenggaraan
otonomi daerah memberikan indikasi bahwa daerah diharapkan dapat
menggali potensi sumber-sumber keuangan sendiri dalam rangka membiayai
urusan rumah tangganya. Hal ini dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 dimana kewenangan kabupaten/kota tidak diatur,
karena Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya meletakkan
semua kewenangan pemerintahan pada daerah kabupaten/kota, kecuali yang
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 95 Ayat
(1), meskipun pemungutan BPHTB menjadi hak daerah, namun tanpa
peraturan daerah (perda), pemerintah daerah tak boleh memungut BPHTB,
dan yang menjadi salah satu problema yang dihadapi oleh pemerintah
kabupaten/kota adalah tak semuanya siap menjadi pemungut pajak ini karena
belum semua daerah kabupaten/kota memiliki perda BPHTB sebagai landasan
untuk memungut dari masyarakat, salah satu kemungkinannya karena potensi
BPHTB di suatu daerah itu terlalu kecil dalam menyumbang pemasukan PAD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009.
Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
Mochamad Tjiptardjo, pemerintah daerah kabupaten/kota harus memiliki
payung hukum pemungutan BPHTB berupa peraturan daerah atau perda.
Selain itu, pemda juga harus menyiapkan sumber daya manusia dan prosedur
pemungutan BPHTB. Pemerintah daerah yang belum memiliki perda hingga 1
Januari 2011 tidak berhak menagih BPHTB. Artinya, selama belum memiliki
perda yang mengatur BPHTB, maka Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan di daerah tersebut sama saja gratis (Sumber: Surat Kabar Patroli
Bangsa, 1 April 2011).
Berdasarkan Pasal 95 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
andaikata suatu daerah baru memiliki perda pada bulan Februari 2011, maka
transaksi atau perolehan tanah dan bangunan selama bulan Januari 2011 di
daerah itu tidak bisa dikenai BPHTB. Disamping itu Perda BPHTB juga tidak
boleh berlaku surut. Jadi, tak ada istilah BPHTB terutang, ini artinya bisa
menjadi insentif bagi masyarakat di daerah tersebut.
Pemerintah pusat juga menggariskan, Perda BPHTB tak boleh
menetapkan tarif efektif melampaui tarif maksimum yang ditetapkan sebesar
5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)/Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), dimana besaran NPOPTKP serendah-
rendahnya Rp. 60.000.000,- (Sumber: Pasal 87 dan 88 UU Nomor 28 Tahun
2009).
Jika melihat ke belakang berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 tentang BPHTB, daerah tidak mendapat 100% penerimaan pajak
ini. Pemerintah pusat membagikan 20% penerimaan BPHTB secara merata ke
seluruh pemda, lalu 16% untuk provinsi dan kabupaten/kota tempat
dipungutnya BPHTB. Kini, berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 BPHTB
telah menjadi 100% hak pemerintah daerah kabupaten/kota yang menjadi
lokasi transaksi tanah dan/atau bangunan.
Kota Yogyakarta telah memiliki Peraturan Daerah Kota Yogyakarta
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), ini artinya Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta telah siap untuk
mengelola BPHTB dan potensi BPHTB di Kota Yogyakarta dianggap besar
atau penting sebagai sumber penerimaan daerah dalam meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Raperda BPHTB di Kota Yogyakarta telah
masuk program legislasi daerah sebelum Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 berlaku mulai 1 Januari 2011, yang berarti juga hubungan antara
eksekutif dan legislatif di Kota Yogyakarta dapat dibilang harmonis dengan
telah disahkannya perda tersebut.
Menurut Kepala Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan
(DPDPK) Kota Yogyakarta Arbak Yhoga Widodo, S.E., M. M. pada tutup
buku tahun 2010 realisasi pajak daerah Kota Yogyakarta tercapai 104,06%
atau melebihi target dari yang ditentukan anggaran dimana mampu terealisasi
Rp.78.254.579.242,- dari target sebesar Rp 75, 2 miliar. Sedangkan dari bagi
hasil PBB dan BPHTB tahun 2010 tercapai 91,02% (Sumber: www.
jogjakota.go.id, Rabu, 19 Januari 2011). Pajak daerah adalah penyumbang
konstribusi paling besar dalam PAD Kota Yogyakarta, yaitu sekitar 42%
(Sumber: Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2010).
Sejak diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 per 1 Januari 2011,
maka Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota
Yogyakarta mendapat tugas tambahan yaitu memungut dan mengelola
pendapatan pajak daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
Dalam melakukan pemungutan BPHTB di Kota Yogyakarta adalah
menjadi wewenang Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK)
Kota Yogyakarta yang dalam menjalankan fungsi dan tugasnya berdasarkan
pada Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi,
Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan
sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19
Tahun 2011 yang dimaksudkan khusus guna melaksanakan kewenangan
pemungutan dan pengelolaan atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) di Kota Yogyakarta. Hal merupakan sebuah tugas baru
dan terinci dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf f, Ayat (2) huruf m, dan Ayat (3)
huruf j, maka hal inilah yang akan Penulis teliti mengenai bagaimana
implementasi Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 dalam pengelolaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengingat dalam menetapkan dan memungut
BPHTB diperlukan sumber daya manusia dan prosedur pemungutan dan juga
sejauh mana BPHTB memberikan kontribusi dalam Pendapatan Asli Daerah
(PAD) sejak dikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pajak
Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta sejak 1 Januari 2011.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan penjelasan yang diuraikan diatas, maka pertanyaan yang
muncul berkenaan dengan substansi permasalahan dalam penelitian ini antara
lain sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja
Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta?
2. Apakah ada kendala yang dihadapi dalam implementasi Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi,
Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini dibagi menjadi
tujuan objektif dan tujuan subjektif, antara lain sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif:
a. Untuk mengetahui implementasi dari Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan
Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota
Yogyakarta.
b. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam implementasi
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008
tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan
Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta.
2. Tujuan Subjektif:
Guna melakukan penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi
untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian.
Kegunaan dari dilaksanakannya penelitian ini dikonsentrasikan sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan bacaan,
referensi kajian dan rujukan akademis serta menambah wawasan bagi
Penulis dalam perspektif analisis dan evaluasi sebuah peraturan khususnya
peraturan walikota.
2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum kenegaraan dalam
pembuatan peraturan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik.
Ruang lingkup dari kebijakan publik sangat luas karena mencakup
berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum,
dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hierarkinya kebijakan publik dapat
bersifat nasional, regional, maupun lokal seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah
daerah provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan
keputusan bupati/walikota.
Oleh karenanya dalam pembahasan kali ini Penulis akan menyajikan
teori-teori kebijakan publik, teori implementasi kebijakan publik, pendekatan
dalam studi kebijakan publik hingga proses kebijakan publik. Karena
hakekatnya Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang
Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota Yogyakarta merupakan salah satu bentuk dari kebijakan
publik.
Menurut H. Hugh Heglo dalam Said Zainal Abidin (2004:21), buku
yang berjudul Kebijakan Publik, menjelaskan bahwa kebijakan adalah suatu
tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan James
Anderson dalam Irfan Islamy (2000:4), buku yang berjudul Prinsip-Prinsip
Perumusan Kebijaksanaan Negara mendefinisikan kebijakan sebagai
serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah tertentu.
Dari kedua penjelasan diatas dapat ditarik konsep dasar bahwa
kebijakan itu adalah prosedur memformulasikan sesuatu berdasarkan aturan
tertentu yang kemudian digunakan sebagai alat untuk memecahkan
permasalahan dan mencapai suatu tujuan. Dalam setiap kebijakan pasti
membutuhkan orang-orang sebagai perencana atau pelaksana kebijakan
maupun objek dari kebijakan itu sendiri, dimana pelaksana kebijakan
memegang peranan penting dalam pelaksanaan sebuah kebijakan.
Sebagaimana penjelasan Irfan Islamy (2000:5) kebijakan adalah suatu
program kegiatan yang dipilih oleh seorang atau sekelompok orang dan dapat
dilaksanakan serta berpengaruh terhadap sejumlah besar orang dalam rangka
mencapai suatu tujuan tertentu.
Kebijakan dapat pula diartikan sebagai bentuk ketetapan yang
mengatur yang dikeluarkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan, jika
ketetapan tersebut memiliki sasaran kehidupan orang banyak atau masyarakat
luas maka kebijakan itu dikategorikan sebagai kebijakan publik.
Hogwood dan Peters dalam Fadillah Putra (2001: 115-116), buku yang
berjudul Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, menganggap ada
sebuah proses linier pada sebuah kebijakan yaitu policy innovation – policy
succession – policy maintenance – policy termination.
Policy innovation adalah saat dimana pemerintah berusaha
memasukkan sebuah permasalahan baru yang diambil dari hiruk pikuk
kepentingan yang ada di masyarakat untuk kemudian dikonstruksi menjadi
sebuah kebijakan yang relevan dengan konteks tersebut. Policy succession,
setelah aspirasi itu ditangkap maka pemerintah akan mengganti kebijakan
yang ada dengan kebijakan baru yang lebih baik dan tepat. Policy
maintenance adalah sebuah pengadaptasian atau penyesuaian kebijakan baru
yang dibuat tersebut untuk keep the policy on track agar kebijakan tersebut
dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Policy termination adalah saat dimana
kebijakan yang ada tersebut dan dianggap sudah tidak sesuai lagi maka
kebijakan tersebut dihentikan. Terdapat berbagai macam strategi untuk
menghentikan kebijakan, apakah itu dengan mencabut kebijakan,
membatalkannya, atau menggantinya dengan sebuah kebijakan baru. Substansi
utama dari proses linier yang digagas oleh Hogwood dan Peters secara lugas
mendeskripsikan kepada kita bahwa kebijakan publik merupakan siklus yang
mekanistik, dimana teori tersebut merupakan sebuah siklus yang terus
berputar terhadap sebuah kebijakan.
Dalam konsep lainnya seorang pakar bernama William N. Dunn
(1998), buku yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua,
mengatakan proses analisis kebijakan publik merupakan serangkaian aktivitas
intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis.
Aktivitas politis itu nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Sementara serangkaian proses yang berkaitan dengan kebijakan yaitu
aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring,
dan evaluasi kebijakan sebagai aktivitas yang lebih bersifat intelektual, dapat
diamati melalui Tabel I.
Jika isu kebijaksanaan adalah usaha sistematis untuk merumuskan
masalah, evaluasi program kebijaksanaan adalah usaha sistematis untuk
menentukan tingkat seberapa jauh masalah telah secara nyata dapat diatasi.
Salah satu perbedaan pokok antara keduanya terletak pada waktu. Isu
kebijaksanaan disiapkan sebelum tindakan dilakukan (bersifat prospektif),
sedangkan program evaluasi kebijaksanaan dibuat setelah diambilnya suatu
kebijakan (retrospektif). Pandangan yang dikemukakan oleh William N. Dunn
(dalam M. Irfan Islamy, 2000:169) inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk
menilai hakekat pentingnya suatu evaluasi kebijakan.
Lebih lanjut William N. Dunn menjelaskan bahwa evaluasi program
kebijaksanaan dimulai dengan menjelaskan usaha-usaha yang telah dilakukan
dalam perumusan masalah, peramalan mengenai akibat-akibat dari alternatif,
dan pembuatan usulan. Evaluasi program kebijaksanaan yang dirancang
dengan berhasil membutuhkan cara penyusunan masalah yang kreatif, sikap
alternatif kebijaksanaan yang baru, dan kerangka arah tindakan yang baru atau
diperbaharui, meskipun evaluasi program kebijaksanaan normalnya berhenti
pada pembuatan usulan yang eksplisit.
Berbagai argumentasi William N. Dunn diatas merupakan bahan
pertimbangan yang menyebabkan Penulis lebih memilih untuk menggunakan
metode-metode evaluasi kebijakan daripada analisis kebijakan. Karena dengan
melakukan evaluasi kebijakan yang telah dikeluarkan, outputnya akan
menghasilkan rekomendasi tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun para pemangku kepentingan, maka tentunya sumbangsih
terhadap pemerintah daerah akan jauh lebih konkrit. Sementara analisis
kebijakan lebih bersifat peramalan (forecasting) yang belum dapat dipastikan
hasilnya.
B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Publik.
Pada dasarnya Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008
tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan
Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta sebagai variabel yang diteliti
merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kebijakan yang ada. Untuk
itulah Penulis menggunakan teori-teori implementasi kebijakan
sebagai kerangka pikir dalam memahami makna dari variabel tersebut. Dan
agar dapat dimaknai dengan benar, maka Penulis berupaya menjabarkannya
dengan melakukan pemilahan makna dari setiap variabel yang dimaksud,
antara lain sebagai berikut:
1. Pengertian Implementasi Kebijakan.
Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang
terencana dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan
didasarkan pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang.
Sebagaimana rumusan dari Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier
dalam Solichin Abdul Wahab (1990:51) buku yang berjudul Pengantar
Analisis Kebijaksanaan Negara mengemukakan bahwa implementasi
adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk
undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan
peradilan. Keputusan itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin
dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya.
Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya
diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang kemudian output
kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi)
pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap undang-
undang atau peraturan yang bersangkutan.
Berdasarkan pemahaman diatas konklusi dari implementasi jelas
mengarah kepada pelaksanaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh
eksekutif. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi
sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian
masalah tersebut. Dalam konsep implementasi ini rangkaian yang
terstruktur memiliki makna bahwa dalam prosesnya implementasi pasti
melibatkan berbagai komponen dan instrumen.
Dalam menganalisis implementasi kebijakan publik selain
dipengaruhi oleh banyaknya aktor yang terlibat didalamnya terutama para
stakeholder yang ikut berperan juga dipengaruhi oleh variabel
organisasional dari pelaksana kebijakan publik tersebut. Seperti yang
dikemukakan oleh A. G. Subarsono (2006:89) bahwa kompleksitas
implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit
organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi
dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang
individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel
pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.
Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian implementasi
kebijakan Lineberry dalam Fadillah Putra (2001:81) buku yang berjudul
Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik menspesifikasikan proses
implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen antara lain
sebagai berikut:
a. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana;
b. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (Standard
Operating Procedures/SOP);
c. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok
sasaran;
d. Pembagian tugas di dalam dan diantara dinas-dinas/badan pelaksana;
e. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.
Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu
pengambilan kebijakan (policy-making) tidaklah berakhir pada saat
kebijakan itu dikemukakan atau diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas
dari pembuatan kebijakan.
Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan
belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan
tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tataran implementasi
kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan tidak lebih dari suatu
perkiraan (forecasting) akan masa depan yang masih bersifat semu,
abstrak, dan konseptual. Oleh karena itu, setelah dilahirkannya sebuah
kebijakan maka kebijakan itu akan masuk pada tahap implementasi agar
dapat diketahui sejauh mana keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan.
Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi
interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah
keberhasilan maupun ketidakberhasilan kebijakan akan diketahui.
Udoji dalam Solichin Abdul Wahab (1997:59) buku yang berjudul
Evaluasi Kebijakan Publik dengan tegas mengatakan bahwa the execution
of policies is as important if not more important that policy-making.
Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are
implemented” (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting,
bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-
kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang
tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Oleh
karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi merupakan unsur
yang sangat penting sebagai kontinuitas dari munculnya suatu kebijakan.
Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek
kebijakan baik itu masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka
bermunculanlah dampak-dampak sebagai akibat dari kebijakan yang
dimaksud. Irfan Islamy (2000:28) mengatakan bahwa setiap kebijakan
yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu
terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang
negatif (unintended). Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain
pencapaian tujuan harus diupayakan pua untuk meminimalisir
ketidakpuasan (dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian
deviasi dari kebijakan tidak terlampau jauh dan niscaya akan mencegah
terjadinya konflik di masa yang akan datang.
2. Teori Implementasi Kebijakan.
Sebagaimana telah dibahas didalam konsep implementasi
kebijakan, terdapat berbagai variabel yang saling terikat, berinteraksi dan
mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Keseluruhan variabel tersebut
merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dan dapat menjadi
faktor pendorong (push factor) maupun faktor penekan (pull factor). Oleh
sebab itu para pengambil kebijakan (policy maker) hendaknya menyadari
akan substansi dari berbagai faktor tersebut sebelum kebijakan
diformulasikan dan diimplementasikan.
Menurut A. G. Subarsono (2006:89), buku yang berjudul Analisis
Kebijakan Publik ada berbagai macam teori implementasi, seperti dari
George C. Edwards III (1980), Merilee S. Grindle (1980), Daniel A.
Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983), Van Meter dan Van Horn (1975),
Cheema dan Rondinelli (1983), dan David L. Weimer dan Aidan R.
Vining (1999). Guna pembatasan teori implementasi dalam penelitian ini
maka Penulis memilih untuk memaparkan beberapa teori yang dianggap
relevan dengan materi pembahasan dari objek atau kebijakan publik yang
diteliti, namun bukan berarti Penulis menjustifikasi bahwa teori-teori lain
tidak lagi relevan dalam perkembangan teori implementasi kebijakan
publik, melainkan lebih kepada mengarahkan Penulis agar lebih fokus
terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui penelitian ini, beberapa
teori implementasi tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Teori Merilee S. Grindle.
Keberhasilan sebuah implementasi menurut Merilee S. Grindle
(1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan
(content of policy) dan lingkungan implementasi (context of
implementation), dimana dikatakan oleh Merilee S. Grindle bahwa isi
kebijakan (content of policy) terdiri dari kepentingan kelompok
sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan yang diinginkan, letak
pengambilan keputusan, pelaksanaan program, dan sumber daya yang
dilibatkan. Sementara lingkungan implementasi (context of
implementation) mengandung unsur keleluasaan kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta
kepatuhan dan daya tanggap.
Kemudian cara untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan
yang telah diimplementasikan, Merilee menjelaskan bahwa melalui
indikator keberhasilan dalam implementasi kebijakan adalah dengan
melihat konsistensi dari pelaksanaan program dan tingkat keberhasilan
pencapaian tujuan.
b. Teori Paul A. Sabatier dan Daniel A. Mazmanian.
Teori lainnya yang tidak jauh berbeda dengan teori Merilee
diatas ialah teori yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian
(1987). Karena dalam teorinya mereka menjabarkan dua variabel yang
mempengaruhi implementasi kebijakan yang hampir identik dengan
teori Merilee. Variabel pertama yaitu variabel daya dukung peraturan
yang mencakup instrumen yang memiliki keterlibatan langsung dalam
mempengaruhi suatu kebijakan. Dan variabel kedua ialah variabel non
peraturan yang mengandung unsur yang mirip dengan penjelasan
mengenai lingkungan implementasi Merilee.
Variabel tambahan yang diuraikan oleh Sabatier dan
Mazmanian adalah adanya karakteristik dari suatu masalah yang akan
mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan. Untuk itulah maka
dipandang perlu untuk melakukan identifikasi masalah (problem
identification), sebelum kebijakan diformulasikan. Karena dalam
permasalahan sosial tertentu khususnya di masyarakat Indonesia yang
heterogen, seni dalam mengolah kebijakan harus benar-benar
diperhatikan. Tidak jarang suatu kebijakan yang ditujukan demi
kemaslahatan justru menimbulkan konflik baru yang tidak diramalkan,
diakibatkan para pengambil kebijakan gagal dalam
mengkarakteristikkan suatu masalah.
Pemikiran Sabatier dan Mazmanian dalam Fadillah Putra
(2003:89) buku yang berjudul Partai Politik dan Kebijakan Publik
menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi
pelaksanaannya memenuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan
(petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis). Karena itu model top
down yang mereka kemukakan lebih dikenal dengan model top down
yang paling maju. Hal ini memang sangat relevan dengan konsep
penelitian, DPDPK Kota Yogyakarta selaku instansi pelaksana
kebijakan akan menjadi efektif apabila pelaksanaannya memenuhi apa
yang telah digariskan peraturan petunjuk pelaksana maupun petunjuk
teknis, dalam hal ini adalah Peraturan Walikota Nomor 102 Tahun
2010.
C. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian
Tugas, Dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah Dan Pengelolaan Keuangan
Kota Yogyakarta.
Dalam setiap pengambilan keputusan hendaknya mengidentifikasikan
masalah-masalah yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan
proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah
tahapan tertentu yang diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang
dalam hal ini UU Nomor 28 Tahun 2009 kemudian output kebijakan dalam
bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya
perbaikan-perbaikan penting terhadap undang-undang atau peraturan yang
bersangkutan, dan dalam hal ini adalah Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 19 Tahun 2011.
Dengan mendasarkan pada sejumlah teori dan konsep para ahli yang
telah diuraikan diatas, maka kita dapat mendefinisikan bahwa yang dimaksud
dengan implementasi Peraturan Walikota Yogyakarta adalah pelaksanaan
keputusan kebijaksanaan dasar, yang dibuat oleh Walikota Yogyakarta
berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting
dalam mengatur tata pemerintahan maupun tata masyarakat yang dapat
diamati pada beberapa hal antara lain sebagai berikut:
1. Perubahan Dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf f, Ayat (2) huruf m, dan Ayat (3)
huruf j.
Pasal 1 Ayat (1) huruf f berbunyi melaksanakan pendaftaran dan
pendataan pengajuan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), Ayat (2) huruf m berbunyi melaksanakan penetapan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Ayat (3) huruf j
berbunyi melaksanakan penagihan dan keberatan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Sementara Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan dijelaskan
dalam Pasal 1 Angka 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 bahwa
Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan. Dengan adanya pajak daerah ini
sekaligus bermanfaat bagi pemerintah sebagai sumber pemasukan baru
bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Pemerintah Kota Yogyakarta
juga mempunyai tugas baru untuk mengelola jenis pajak daerah ini.
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan UU
Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 85 ayat (2) meliputi antara lain sebagai
berikut:
a. Pemindahan hak karena:
1) Jual beli;
2) Tukar-menukar;
3) Hibah;
4) Hibah wasiat;
5) Waris;
6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) Penunjukan pembeli dalam lelang;
9) Pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap;
10) Penggabungan usaha;
11) Peleburan usaha;
12) Pemekaran usaha, atau;
13) Hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:
1) Kelanjutan pelepasan hak, atau;
2) Diluar pelepasan hak.
2. Kewenangan Pemerintah Kota Yogyakarta Dalam Mengelola BPHTB.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara rinci telah
disebutkan pada Pasal 14 Ayat (1) kewenangan untuk daerah
kabupaten/kota meliputi 16 kewenangan dan pada Ayat (2) urusan
pemerintahan ada juga bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah
yang bersangkutan.
Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan dibidang
pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan
tersebut tetap menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud
dekonsentrasi dan tugas perbantuan.
Menurut Syaukani H. R., pada Jurnal Otonomi Daerah Nomor 3
(2001:10) menyatakan bahwa kebijakan otonomi daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan kebijakan yang lahir
dalam rangka menjawab dan memenuhi tuntutan reformasi dan
demokratisasi hubungan pusat dan daerah serta upaya pemberdayaan
daerah.
Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan.
Otonomi daerah sebagai demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat
dan daerah. Daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi
dan kepentingan daerah mendapat perhatian dalam setiap pengambilan
kebijakan oleh pusat, sedangkan otonomi daerah pemberdayaan daerah
merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk
mengatur, mengurus, dan mengelola kepentingan aspirasi masyarakatnya
sendiri. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah
Otonom tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi
daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan,
demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal, dan
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar inilah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang untuk mengatur
dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerahnya.
Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan
pemerintah pusat dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, karena
pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah provinsi hanya
diberi kewenangan sebatas yang telah ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000. Kewenangan pemerintah daerah
dilaksanakan secara luas, utuh, dan bulat yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek
pemerintahan.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan
diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah.
Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus
dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dasar pemikiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut
menunjukkan bahwa prinsip pemberian otonomi dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah meliputi beberapa hal antara lain sebagai berikut:
a. Mengutamakan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi
dan keanekaragaman daerah;
b. Otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung
jawab;
c. Otonomi daerah yang luas, utuh diletakkan pada daerah
kabupaten/kota, sedangkan daerah provinsi menunjukkan otonomi
yang terbatas;
d. Otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah;
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah otonom oleh sebab itu di daerah kabupaten dan kota tidak ada
lagi wilayah administratif;
f. Pelaksanaan otonomi daerah lebih meningkatkan peran dan fungsi
badan legislatif daerah;
g. Asas dekonsentrasi masih diberikan dan dilaksanakan di daerah
provinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah;
h. Tugas perbantuan dimungkinkan dari pemerintah kepada daerah
maupun dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai
pembiayaan dengan melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip otonomi yang dianut dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yaitu otonomi yang luas, nyata,
dan bertanggung jawab, maka tujuan pemberian otonomi kepada daerah
adalah dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah, maupun antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk mengantar
masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik melalui kegiatan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pemberian pelayananan
kepada masyarakat yang semakin dekat. Penyelenggaraan urusan
pemerintah yang terkandung dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 juga
telah diatur dalam Pasal 11, urusan pemerintahan dibagi berdasarkan
kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antara susunan pemerintahan, sehingga ada
keterkaitan, ketergantungan dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan
oleh sebab itu urusan pemerintahan ada yang wajib dan ada pilihan yang
nantinya dalam pelaksanaannya akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Dari uraian secara mendalam tersebut maka dapat digambarkan
bahwa kewenangan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengelola
BPHTB merupakan kewenangan penyelenggaraan urusan yang
dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Kota Yogyakarta
sebagai pemberdayaan daerah dalam rangka mencapai tujuan otonomi
daerah dan pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Kota Yogyakarta.
D. Tinjauan Tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, dimana kewenangan
kabupaten/kota tidak diatur, dan sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 yang pada dasarnya meletakkan semua kewenangan pemerintahan pada
daerah kabupaten/kota, kecuali yang telah diatur menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 sehingga penyelenggaraan otonomi daerah
memberikan indikasi bahwa daerah diharapakan dapat menggali potensi
sumber-sumber keuangan sendiri dalam rangka membiayai urusan rumah
tangganya. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri oleh karena merupakan
persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah.
Untuk penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber
keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang
merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, Bagir Manan (1994:208) buku yang
berjudul Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan UUD
1945 mengatakan bahwa desentralisasi khususnya otonomi dimanapun tidak
dapat dipisahkan dari masalah keuangan. Hak mengatur dan mengurus rumah
tangga sendiri menyiratkan makna membelanjai diri sendiri. Membelanjai diri
sendiri atau pendapatan sendiri menunjukkan bahwa daerah (harus)
mempunyai sumber pendapatan sendiri.
Hal senada dikemukakan juga oleh Andi Mallarangeng (2001:132)
buku yang berjudul Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan Praktis bahwa
tidak ada masalah yang lebih besar dalam pemerintahan lokal selain
kelangkaan sumber daya keuangan. Keuangan inilah yang sering menjadi
penghalang mengimplementasikan beberapa program pembangunan penting.
Dengan demikian peningkatan aministrasi pemerintahan dalam pembangunan
ditingkat lokal tidak akan ada artinya tanpa tanpa adanya peningkatan
keuangan daerah.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa pemerintahan
daerah tidak terlepas dari masalah keuangan daerah, sehingga pemerintah
daerah harus memacu upaya menggali sumber-sumber pendapatan karena
seluruh kegiatan pemerintah daerah harus dibiayai oleh pemerintah daerah
sendiri sesuai dengan kewenangan yang telah diserahkan. Oleh karena itu
untuk memungut pendapatan yang legal harus dibuat instrumen hukumnya
yaitu peraturan daerah yang pada penetapannya harus mendapat persetujuan
secara konstitusional dari lembaga legislatif/Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas mengatur
tentang sumber pendapatan daerah dalam Pasal 79, sedangkan pada Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2004 sumber pendapatan daerah tercantum pada
Pasal 157, antara lain sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi:
a. Hasil pajak daerah;
b. Hasil retribusi daerah;
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan;
d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;
2. Dana perimbangan;
3. Pinjaman daerah, dan;
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sumber-sumber pendapatan daerah sebagaimana tersebut di atas juga
ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan pada Pasal
6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 antara lain disebutkan bahwa
sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah
antara lain sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
2. Dana perimbangan;
3. Pinjaman daerah;
4. Lain-lain penerimaan yang sah.
Penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan pembangunan serta
pemberian pelayanan kepada masyarakat dimasa yang akan datang semakin
meningkat dan kompleks, yang membawa konsekuensi bagi pemerintah
daerah terutama untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Oleh karena itu
pemerintah daerah senantiasa melakukan upaya-upaya untuk menggali dan
meningkatkan penerimaan secara terus-menerus dan berkelanjutan agar
konstribusinya semakin dominan dalam pembiayaan pemerintah daerah.
Kenyataan yang kita hadapi saat ini bahwa Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dibuat pada
masa otonomi daerah seperti sekarang ini dalam rangka untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tentu memerlukan kesiapan dari pemerintah
daerah itu sendiri agar efektif baik dari segi sumber daya manusia maupun
teknis dalam mengelola pekerjaan yang dulu dilakukan oleh pemerintah pusat
dan kini dilimpahkan kepada pemerintah daerah sehingga implementasi dari
peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut tidak membebani
masyarakat dan sesuai dengan tujuan dibuatnya sebuah kebijakan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Yaitu
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu
variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau
menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain (Sugiyono,
2006:11).
Metode deskriptif dipilih karena Penulis ingin memperoleh gambaran
atau deskripsi fenomena yang terjadi dalam pengimplementasian Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi,
Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan
Kota Yogyakarta. Dengan menggunakan metode ini, Penulis berharap dapat
mengetahui dan memahami serta mendapatkan gambaran secara mendalam
mengenai pelaksanaan dari kebijakan yang diteliti.
Metode deskriptif diharapkan dapat mengungkap kondisi riil yang
terjadi di masyarakat dan menyingkap fenomena yang tersembunyi (hidden
values) dari seluruh dinamika masyarakat. Karena pada dasarnya penelitian
ini akan menggambarkan dan melakukan eksplorasi secara mendetail
mengenai permasalahan yang diteliti. Selain itu metode penelitian deskriptif
yang mengartikulasikan hasil penelitian dalam bentuk data deskriptif (kata-
kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-
orang yang diteliti) akan lebih bermakna serta meyakinkan para pembuat
kebijakan daripada pembahasan melalui angka-angka.
B. Sumber Data.
1. Subjek Penelitian.
Penentuan subjek dari penelitian ini dipilih dengan menggunakan
metode purposive sampling dan incidental sampling. Metode purposive
sampling yaitu teknik penentuan sampel bertujuan, maksudnya ialah
sampel yang dipilih oleh Penulis ialah orang-orang yang berkompeten
dalam memberikan informasi. Selain itu sampel memiliki keterkaitan
dengan masalah yang dikaji melalui penelitian. Untuk itu subjek
penelitian ini yang dapat ditemui oleh Penulis, yaitu Bapak Santosa, S. E.,
selaku Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan pada Dinas Pajak Daerah
dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta.
Kemudian untuk menentukan informan dari masyarakat peneliti
menggunakan teknik incidental sampling yaitu teknik penentuan sampel
berdasarkan kebetulan. Sebagaimana penjelasan Sugiyono (2003:96),
bahwa incidental sampling yaitu siapa saja yang secara
kebetulan/insidental bertemu dengan Penulis dapat digunakan sebagai
sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai
sumber data.
2. Objek Penelitian.
Objek penelitian Penulis adalah Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan
Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota
Yogyakarta.
C. Lokasi Penelitian.
Berdasarkan topik yang dikaji, maka lokasi penelitian ini ditetapkan
pada Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota
Yogyakarta. Dalam penentuan lokasi penelitian, ada beberapa faktor yang
dipertimbangkan oleh Penulis, terutama berkaitan dengan substansi dari lokasi
penelitian dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Secara
lengkap pemilihan instansi tersebut sebagai lokasi penelitian disebabkan oleh
beberapa sebab, antara lain sebagai berikut:
1. Pemungutan dan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) melibatkan Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota Yogyakarta.
2. Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta
merupakan instansi pelaksana dari Peraturan Daerah Kota Yogyakarta
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor
19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja
Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta.
3. Data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat diperoleh dengan mudah
pada instansi yang akan menjadi lokasi penelitian.
D. Responden.
1. Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan Kantor Dinas Pajak Daerah dan
Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta.
2. Kemudian untuk menentukan responden dari masyarakat, Penulis
menggunakan teknik sampling incidental yaitu teknik penentuan sampel
berdasarkan kebetulan baik yang merupakan wajib pajak maupun
pembayar BPHTB.
E. Metode Pengumpulan Data.
Dalam setiap penelitian baik itu bersifat kualitatif maupun kuantitatif
dibutuhkan data-data untuk diolah dan dijadikan kesimpulan dari
permasalahan yang diteliti. Untuk itulah pada penelitian yang menggunakan
teknik kualitatif ini, Penulis menggunakan beberapa cara guna mengumpulkan
data-data, yaitu:
1. Observasi (Pengamatan).
Observasi yaitu deskripsi secara sistematis tentang kejadian dan
tingkah laku dalam setting sosial yang dipilih untuk diteliti.
2. Document Research (Penelitian Kepustakaan).
Menurut Sugiyono (2007:82) dokumen merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar,
atau karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan
misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi,
peraturan, dan kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya
foto, gambar hidup, sketsa, dan lain-lain.
3. Indepth Interview (Wawancara Mendalam).
Wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan data yang
didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan dengan
pihak yang berkompeten..
F. Metode Analisis Data.
Penelitian ini menggunakan analisis Deskriptif Analitik, dimana
rancangan organisasional dikembangkan dari kategori-kategori yang
ditemukan dan hubungan-hubungan yang disarankan atau yang muncul dari
data.
Selanjutnya data yang diperoleh melalui sumber data primer dan
sekunder tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut secara bertahap dan terus
menerus, yaitu mulai sejak awal pengumpulan data hingga pengumpulan data
berakhir. Proses analisis data tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan,
antara lain sebagai berikut:
1. Analisis pada tahap pertama dilakukan sejak awal pengumpulan data
dengan maksud untuk mencari dan menentukan fokus serta untuk
mempertajam pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara;
2. Analisis pada tahap kedua dilakukan setelah data yang telah banyak
terkumpul. Penulis kemudian memilah-milah dan mengelompokkan data
yang telah ada berdasarkan tema atau kategori-kategori yang telah
ditentukan sebelumnya;
3. Analisis pada tahap ketiga dilakukan setelah semua data dianggap cukup,
Penulis mulai melihat hubungan-hubungan antara tema atau fenomena
secara menyeluruh dan sistematis, kemudian Penulis melakukan suatu
kontekstualisasi antara tujuan dan target penelitian dengan berbagai
macam temuan nyata atau riil yang ada di lapangan;
4. Setelah itu Penulis melakukan interpretasi dan melakukan evaluasi
terhadap data yang ada untuk mendalami tentang implementasi Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi,
Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota Yogyakarta. Dan hingga pada akhirnya Penulis
memperoleh suatu kesimpulan atau penjelasan mengenai bagaimana
implementasi dari kebijakan tersebut. Proses pengambilan kesimpulan
dilakukan secara bertahap, dimulai dari kesimpulan yang bersifat longgar
kemudian kesimpulan dianggap final ketika sudah ditemukan penjelasan
mengenai hubungan kontekstual yang utuh dan memadai sesuai dengan
tujuan dan target studi yang didapat berdasarkan dari data yang telah
disusun secara sistematis;
5. Hasil penelitian kemudian diungkapkan dalam bentuk Skripsi. Penulisan
Skripsi tersebut dilakukan dengan cara sistematis dan mendetail agar
mampu mengungkapkan evaluasi implementasi Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi, Rincian
Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan
Kota Yogyakarta.
BAB IV
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
A. Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan
Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota
Yogyakarta Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pusat perhatian yang pertama-tama dalam penelitian ini adalah
mengenai penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang dalam
masa otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti,
idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi
ketergantungan secara keuangan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi
lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah yang
sebelumnya cenderung membebani Dana Alokasi Umum (DAU) dimana dana
tersebut bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi yang dialokasikan oleh pemerintah pusat.
Dengan dikeluarkannya regulasi yang memberikan kewenangan kepada
daerah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di daerah, pemerintah
daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara
maksimal khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan
dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan
tentu saja dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk diantaranya adalah pajak daerah dalam hal ini kewenangan
memungut dan mengelola BPHTB yang menjadi unsur PAD yang utama di
Kota Yogyakarta pada khususnya.
Jika menilik sejarah BPHTB yang dimulai adanya Ordonansi Bea
Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291 yang berisikan bahwa pemungutan
biaya balik nama yang diakibatkan atas pemindahan hak termasuk hibah
wasiat dan harta tetap. Objek pajaknya adalah merupakan barang-barang tetap
dan hak-hak kebendaan atas tanah yang pemindahan haknya dilakukan dengan
Akta. Ordonansi tersebut tidak diberlakukan untuk Hak Agraris Eigendom
menurut Pasal 51 Ayat Indische Staatsregeling, yaitu objek-objek yang
terbatas pada titel hukum barat. Sementara itu, UU Nomor 50 tahun 1960
tidak mengenal hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Ordonansi Bea Balik
Nama Staatblad 1924 Nomor 291 tersebut karena dalam UUPA dikenal istilah
unifikasi hukum. Oleh karena itu pada tahun 1961 bea tersebut tidak dapat
dipungut. Namun dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
Selain itu apabila melihat konsep tanah yaitu sebagai kebutuhan dasar
(basic needs) untuk papan, lahan usaha, dan juga alat investasi yang
menguntungkan, maka sewajarnya bagi yang memperoleh hak atas tanah baik
seseorang maupun badan hukum yang memperoleh hak atas tanah dapat
memberikan kontribusi kepada negara dengan membayar pajak Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan, sedangkan pajak itu sendiri adalah pungutan yang merupakan hak
preogratif pemerintah, dimana pungutan tersebut harus berdasarkan undang-
undang yang dapat dilakukan secara paksa kepada subjek pajak dengan tidak
ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan/dirasakan pengunaannya.
Sementara itu yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Pengenaan atas pajak tersebut pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang berlaku hak atas
tanah meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak
milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.
Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan hak
pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal 3 Ayat (2) jo. PP
Nomor XX/2000 Kep. Men. Keu Nomor XX/KMK.04/2000. Hal ini diatur
agar lebih memberikan rasa keadilan. Dimana saat pewaris meninggal dunia
pada hakikatnya telah terjadi pemindahan hak dari pewaris kepada ahli waris.
Mengingat ahli waris memperoleh hak secara cuma-cuma, maka adalah wajar
apabila perolehan hak karena waris termasuk objek pajak. Hibah wasiat
merupakan penetapan wasiat khusus yang berlaku pada saat pemberi wasiat
meninggal dunia. Pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi
yang masih dalam hubungan keluarga yang tidak mampu atau badan sebagai
penghargaan. Jenis hak atas tanah yang dikenakan BPHTB adalah jenis hak
yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 dan UU Nomor 16 Tahun 1985.
Jenis hak yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 adalah meliputi hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, sedangkan jenis
hak yang diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 1985 adalah hak milik atas satuan
rumah susun dan hak pengelolaan.
Sedangkan objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB tertuang dalam
Pasal 3 Ayat (1) jo Kep.Men.Keu No.XX/KMK.04/2000 yang meliputi antara
lain sebagai berikut:
1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh
menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan
lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi;
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Terdapat 3 macam perbedaan antara ketentuan yang terkandung dalam
UU Nomor 20 Tahun 2000 (UU BPHTB) dan UU Nomor 28 Tahun 2009 (UU
PDRD) antara lain, dalam hal tarif dalam UU BPHTB dikenakan tarif tunggal
5%, sedangkan dalam UU PDRD paling tinggi 5%, kemudian untuk Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dalam UU BPHTB
paling banyak Rp. 300.000.000,- untuk waris dan hibah wasiat, dan paling
banyak Rp. 60.000.000,- untuk selain waris dan hibah wasiat, sedangkan
dalam UU PDRD paling rendah Rp. 300.000.000,- untuk waris dan hibah
wasiat, dan paling rendah Rp. 60.000.000,- untuk selain waris dan hibah
wasiat, dan yang terakhir adalah cara menghitung BPHTB terutang dalam UU
BPHTB 5% x (NPOP-NPOPTKP) sedangkan dalam UU PDRD 5%
(maksimal) x (NPOP-NPOPTKP).
Sedangkan untuk dasar pengenaan BPHTB ada 3 dasar antara lain
sebagai berikut:
1. Harga Transaksi, yaitu untuk jual beli, penunjukan pembeli dalam lelang;
2. Nilai Pasar, yaitu untuk tukar menukar, hibah, pemberian hak baru, hibah
wasiat, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan lain
lain;
3. NJOP PBB, hal ini apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari
NJOP PBB. (Untuk di Kota Yogyakarta NJOP PBB telah ditetapkan oleh
DPDPK Kota Yogyakarta sejak 1 Januari 2012).
Jika berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang
BPHTB, daerah tidak mendapat 100% penerimaan pajak ini. Pemerintah pusat
membagikan 20% penerimaan BPHTB secara merata ke seluruh pemda, lalu
16% untuk provinsi dan kabupaten/kota tempat dipungutnya BPHTB. Kini,
berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 BPHTB telah menjadi 100% hak
pemerintah daerah kabupaten/kota yang menjadi lokasi transaksi tanah
dan/atau bangunan.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat
melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi
daerah, UU Nomor 28 Tahun 2009 yang disahkan oleh Presiden RI pada
tanggal 15 September 2009 diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Kemudian untuk
melaksanakan salah satu materi dari UU tersebut yaitu BPHTB di Kota
Yogyakarta dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8
Tahun 2010 tentang BPHTB yang petunjuk pelaksanaan perda tersebut
dituangkan dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010
dan DPDPK Kota Yogyakarta sebagai instansi yang berwenang untuk
memungut dan mengelola BPHTB tertuang dalam Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011.
Untuk dapat mengetahui bagaimana implementasi dari Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 dalam pengelolaan BPHTB
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka harus meneliti
secara runtut mulai dari UU Nomor 28 Tahun 2009 yang telah Penulis
jelaskan secara umum, selanjutnya Perda Nomor 8 Tahun 2010, kemudian
Peraturan Walikota Nomor 102 Tahun 2010, setelah itu Penulis kemudian
dapat masuk untuk meneliti secara mengerucut pada Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 mengenai pelaksanaan rincian tugas dari
Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta
sebagai instansi yang berwenang dan ujung tombak dari pengeloaan BPHTB.
Sedangkan rumus untuk pengenaan Besaran BPHTB berdasarkan Pasal 2 Ayat
(4) Perwal Nomor 102 Tahun 2010 yang wajib dibayar dihitung sendiri oleh
wajib pajak (self assessment) adalah dengan cara sebagai berikut:
( (NPOP – NPOPTKP) x Tarif ) x prosentase pengenaan (Contoh terlampir
pada Lampiran).
1. Analisis Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010.
Penulis terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap waktu
disahkannya beberapa peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan
BPHTB, dalam Pasal 185 UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku sejak
tanggal 1 Januari 2010 dan dalam Pasal 180 Ayat (6) menyatakan bahwa
UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun
2000 tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya UU
Nomor 28 Tahun 2009, artinya sejak 1 Januari 2011 BPHTB telah menjadi
sepenuhnya kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk memungut dan
mengelolanya dimana sebelumnya merupakan pekerjaan yang dilakukan
pemerintah pusat.
Berdasarkan hal tersebut Pemerintah Kota Yogyakarta dapat
dikatakan telah siap untuk mengelola dan memungut BPHTB. Hal ini
tercermin dari dilahirkannya Perda Nomor 8 Tahun 2010, yang ditetapkan
tanggal 28 Desember 2010 karena berdasarkan Pasal 2 Ayat (4) UU
Nomor 28 Tahun 2009 pemerintah kabupaten/kota dapat saja untuk tidak
memungut BPHTB apabila potensinya kurang memadai dan/atau
disesuaikan dengan kebijakan daerah yang ditetapkan dengan peraturan
daerah, dan dengan telah adanya perda yang mengatur BPHTB artinya
Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki kewenangan penuh untuk
mengelola BPHTB.
Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk produk hukum
peraturan perundang-undangan tertinggi di daerah, oleh karena itu dalam
proses pembuatan peraturan daerah harus sesuai dengan asas-asas
perundang-undangan yang baik, agar sempurna teknik penyusunannya,
terjaga keabsahan penerbitannya, diakui secara formal dan dapat berlaku
efektif serta diterima oleh masyarakat.
Pasal 69 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan
bahwa kepala daerah menetapkan peraturan daerah atas persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004,
tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 136 Ayat (1) menyatakan bahwa
peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat
persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan sampai disini
Penulis telah mendapat kesimpulan pertama bahwa Pemerintah Kota
Yogyakarta telah siap untuk mengelola BPHTB per 1 Januari 2011 dengan
payung hukum berupa perda, dan Kota Yogyakarta memiliki potensi
BPHTB sesuai yang telah ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
Peraturan daerah sebagai payung hukum yang diamanatkan dalam UU
Nomor 28 Tahun 2009 dalam penyelenggaraanya bertujuan untuk
mengatur substansi materi muatannya dan Perda Kota Yogyakarta Nomor
8 Tahun 2010 telah berdasarkan peraturan yang lebih tinggi (tingkat
pusat), lain halnya dengan UU PDRD yang lama yaitu UU Nomor 34
Tahun 2000 dimana pemerintah kabupaten/kota dibebaskan untuk
menentukan jenis pajak dan retribusi lain (open list) diluar yang sudah
ditetapkan dalam UU dan pemerintah daerah (pemda) dapat menambahkan
jenis pajak dan retribusi baru sesuai dengan potensi daerah. Menurut
Penulis hal ini merupakan sebuah kemajuan karena apabila pemda diberi
kelonggaran untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi yang lain selain
yang telah ditetapkan dalam UU dapat saja jenis pajak dan retribusi itu
justru membebankan dunia usaha, karena didalam peraturan daerah yang
dibentuk untuk menyelenggarakan otonomi daerah objek pengaturannya
tidak saja meliputi yang bersifat substantif tetapi juga bersifat teknis tata
cara pelaksanaannya.
Sesuai Pasal 88 Ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009 daerah tidak
boleh menetapkan tarif efektif melampaui tarif maksimum yang ditetapkan
sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), namun berdasarkan
Pasal 9 Ayat (2) Perda Nomor 8 Tahun 2010, dikecualikan untuk
perolehan secara waris dan hibah wasiat hanya ditetapkan sebesar 2,5%.
Menurut Penulis hal ini merupakan sebuah dasar sosial kemanusiaan
sesuai kearifan lokal, karena perbuatan hukum waris dan hibah wasiat
merupakan perbuatan hukum yang lebih bersifat kekeluargaan dan kurang
bernilai ekonomis, sehingga wajar apabila dikenakan tarif dibawah
ketentuan maksimal berbeda ketika BPHTB masih dikelola pemerintah
pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak dimana tarif maksimum tetap 5%
untuk waris dan hibah wasiat. Sedangkan untuk penetapan Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak tetap sesuai dengan Pasal 87 Ayat (4) dan
(5) UU Nomor 28 Tahun 2009 dimana untuk setiap perolehan hak
dikenakan paling rendah Rp. 60.000.000,- dan khusus untuk waris dan
hibah wasiat paling rendah Rp. 300.000.000,-.
2. Analisis Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010.
Setelah Penulis menganalisis terhadap Perda Kota Yogyakarta
Nomor 8 Tahun 2010, kemudian Penulis meneliti peraturan turunannya
yaitu Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010 yang
mengatur mengenai petunjuk pelaksanaan dari Perda Kota Yogyakarta
Nomor 8 Tahun 2010. Karena apabila melihat pembentukan peraturan
daerah adalah dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah, maka peraturan
daerah sebagai penjabaran atau pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi bertujuan untuk memberi pengaturan lebih
lanjut mengenai tata cara pelaksanaannya di daerah.
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010
didalamnya mengatur tata cara pengenaan BPHTB, dimana berdasarkan
peraturan walikota tersebut maka terdapat berbagai macam prosentase
pengenaan sebagai contoh didalam Pasal 2 Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 102 Tahun 2010 mengenai prosentase pengenaan BPHTB terdapat
beberapa bagian antara lain sebagai berikut:
a. 0% (nol persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang, dalam hal
penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum
Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);
b. 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam
hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud pada huruf a. Dan
pengenaan BPHTB untuk wajib pajak orang pribadi yang menerima
hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah juga sebesar 50% (lima puluh persen);
c. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai bentuk penyertaan
modal dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah kepada wajib
pajak Badan Usaha Milik Daerah dikenakan BPHTB sebesar 0 % (nol
persen).
3. Analisis Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011.
Setelah memahami kedua analisis diatas, maka Penulis dapat
masuk ke tahap berikutnya untuk meneliti implementasi Perwal Nomor 19
Tahun 2011, yang merupakan bagian inti dari penelitian. Penulis telah
melakukan pengumpulan data dengan metode pengamatan pada Kantor
DPDPK di Komplek Balaikota Yogyakarta, wawancara dengan Kepala
Seksi Pembukuan dan Pelaporan DPDPK Kota Yogyakarta, studi pustaka
pada berbagai peraturan yang berkaitan pengelolaan BPHTB di Kota
Yogyakarta, dan wawancara dengan beberapa responden yang melakukan
pembayaran dan pelaporan BPHTB. Fokus penelitian terhadap
implementasi Perwal Nomor 19 Tahun 2011 Penulis kerucutkan pada
perubahan dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf f, Ayat (2) huruf m, dan Ayat (3)
huruf j, yang antara lain sebagai berikut:
a. Pasal 1 ayat (1) huruf f berbunyi, melaksanakan pendaftaran dan
pendataan pengajuan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB);
b. Ayat (2) huruf m berbunyi, melaksanakan penetapan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
c. Ayat (3) huruf j berbunyi, melaksanakan penagihan dan keberatan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Untuk memperoleh data atas implementasi dari ketiga perubahan
yang ada dalam Perwal Nomor 19 Tahun 2011 tersebut, Penulis
menggunakan beberapa cara untuk memperoleh data, antara lain sebagai
berikut:
a. Observasi (Pengamatan).
Ketika Penulis mengunjungi Kantor DPDPK Kota Yogyakarta
yang terletak didalam Komplek Balaikota Yogyakarta, kondisi sarana
dan prasarana dalam pelayanan pembayaran dan pelaporan BPHTB
tersedia sangat baik dimana masyarakat pembayar BPHTB dapat
membayar pada loket BPD DIY yang tersedia didalam Gedung Dinas
Perijinan Kota Yogyakarta. Sehingga masyarakat pembayar BPHTB
setelah membayar dapat langsung melaporkan atau mengajukan
permohonan validasi (penelitian) terhadap BPHTB yang dibayarnya.
Disamping itu karena pelayanan pembayaran BPHTB tersedia dalam
satu tempat dengan jenis pelayanan masyarakat yang lainnya, maka
memudahkan masyarakat untuk dapat mengurus keperluan yang lain
yang berhubungan dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam sekali
kunjungan ke Komplek Balaikota, dan kondisi Gedung Dinas Perijinan
terasa sangat nyaman yang dilengkapi dengan ruang tunggu ber-AC,
pengambilan nomor antrian secara elektronik, dan tersedianya tempat
untuk foto kopi berkas-berkas yang diperlukan.
b. Document Research (Penelitian Kepustakaan).
Penulis juga mendapatkan berbagai dokumen seperti buku-
buku yang berisi mengenai kumpulan Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta seperti Perda Nomor 8 Tahun Tahun 2010 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dapat
dipinjam di Perpustakaan Bagian Hukum Komplek Balaikota
Yogyakarta dan salinan berbagai macam Peraturan Walikota
Yogyakarta seperti Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun
2008 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak
Daerah dan Pengelolaan Keuangan Kota Yogyakarta, Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi,
Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota Yogyakarta, dan Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 102 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), maupun salinan contoh-
contoh formulir pelaporan BPHTB dan gambar bagan struktur
organisasi DPDPK Kota Yogyakarta pada Sekretariat Kantor DPDPK
Kota Yogyakarta dengan menunjukkan Surat Ijin Penelitian yang
Penulis dapatkan dari Dinas Perijinan Kota Yogyakarta.
Disamping itu untuk melengkapi bacaan dalam proses
penelitian ini Penulis juga meminjam buku dengan mendaftar sebagai
anggota pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Indepth Interview (Wawancara Mendalam).
Wawancara secara mendalam yang Penulis lakukan pada hari
Kamis, tanggal 5 Januari 2012 dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimana implementasi atas perubahan atas fungsi, rincian tugas, dan
tata kerja (rintuk) DPDPK Kota Yogyakarta sebagaimana tertuang
dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun
dimana yang berhasil Penulis temui pada waktu itu adalah Bapak
Santoso, S. E. selaku Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan DPDPK
Kota Yogyakarta yang berkantor di lantai 2 pada Gedung Dinas
Perijinan Kota Yogyakarta, adapun hasil wawancaranya setelah
Penulis rangkum menjadi 4 sesi, adalah sebagai berikut:
1) Sumber Daya.
DPDPK Kota Yogyakarta menyatakan telah siap dan
memang harus siap dalam mengelola BPHTB, dengan personil 70
orang yang melaksanakan tugas pengelolaan pajak daerah dan 15
orang diantaranya yang secara intensif mengelola BPHTB
disamping mengelola jenis pajak daerah yang lain. Hal ini secara
umum memang tercermin dengan capaian tutup buku tahun 2010
realisasi pajak daerah tercapai 104,06% atau melebihi target yang
ditentukan oleh anggaran dimana mampu tercapai target Rp.
78.254.579.242,- dari target sebesar 75,2 miliar.dan bagi hasil dari
PBB dan BPHTB pada tutup buku tahun 2010 tercapai 91,02%
sedangkan pada tutup buku tahun 2011 juga melampaui target yang
ditetapkan, dimana penerimaan sampai bulan Desember 2011
mencapai Rp. 158.724.247.821,- dari target yang ditetapkan yakni
Rp. 131.034.709.856 atau mencapai 121,13%.
Realisasi penerimaan pajak daerah yang mencapai 121,13%
dari target yang ditetapkan ini berasal dari hasil pajak daerah
sebesar Rp. 120.578,636,794,- dan bagi hasil pajak sebesar Rp 38,
145, 611,027,- dimana target yang ditetapkan untuk hasil pajak
daerah adalah Rp. 101.349.000.000,- dan target bagi hasil pajak
adalah Rp. 29.685.709.856,-.
Secara rinci hasil pajak yang mencapai Rp.
120.578,636,794,- ini berasal dari Pajak Hotel Rp.
37.861.435.936,-, Pajak Restoran Rp. 13.817.217.336,-, Pajak
Hiburan Rp. 4.684.984.072,-, Pajak Reklame Rp. 5.439.731.728,-
Pajak Penerangan Jalan Rp. 23.857.657.765,-, Pajak Parkir Rp.
776.411.843,-, Pajak Air Tanah Rp. 318.039.903,- Pajak Sarang
Burung Walet Rp. 3.050.000,- dan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) Rp. 33.820.108.301,-. Sementara itu dari
bagi hasil pajak yang diperoleh melalui bagi hasil Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) sebesar Rp. 38.145.611.027,-. Hal ini juga
merupakan cerminan atas ketaatan warga masyarakat Kota
Yogyakarta dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak dan
tentunya perolehan pajak daerah ini akan sangat bermanfaat bagi
pembangunan Kota Yogyakarta, dan mulai Januari 2012
pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga telah dilakukan
oleh DPDPK Kota Yogyakarta. Capaian dan tahapan maju
mengelola PBB tersebut merupakan cerminan prestasi mengingat
pengelolaan PBB yang dilakukan secara bertahap dari pemerintah
pusat kepada daerah, namun Pemerintah Kota Yogyakarta telah
melakukan pengelolaan pada Januari 2012 disamping itu pajak
daerah merupakan penyumbang kontribusi paling besar dalam
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogyakarta yaitu sekitar
42%.
Sumber daya anggaran yang ada pada DPDPK Kota
Yogyakarta dalam melaksanakan implementasi Perwal Nomor 19
Tahun 2011 dimana sebelum perubahan sekitar senilai 19,4 miliar
dan realisasi setelah perubahan pada tahun 2011 meningkat
menjadi senilai 33 miliar untuk mengelola BPHTB dan jenis pajak
daerah yang lain.
Untuk sumber daya peralatan terjadi penambahan berbagai
jenis antara lain aplikasi, meteran, blangko, dan lain-lain sebagai
penunjang sarana dan prasarana pengelolaan dan validasi
(penelitian) BPHTB yang dimohonkan oleh wajib pajak.
Dalam pelaksanaan sumber daya manusia, anggaran, dan
peralatan tersebut diatas memang menemui berbagai macam
kendala antara lain dimana wajib pajak tidak mengajukan
permohonan yang dilampiri persyaratan yang lengkap seperti sket
lokasi dan mengisi formulir/blangko BPHTB sesuai dengan harga
perolehan dan keadaan yang sebenarnya, sehingga apabila
menimbulkan kecurigaan seperti luas bangunan yang jauh lebih
kecil daripada luas tanah perlu dilakukan cek lapangan, namun
segala kendala dan persoalan yang terjadi tetap bisa terpecahkan.
2) Personil.
Langkah aparatur DPDPK Kota Yogyakarta dalam
mengkomunikasikan mengenai pengelolaan BPHTB oleh DPDPK
kepada masyarakat telah dilakukan penyuluhan disetiap kelurahan
atau RT/RW diseluruh Kota Yogyakarta yang terakhir dilakukan
pada bulan Mei 2011 dan berencana akan melakukan penyuluhan
kepada masyarakat lagi pada bulan Maret 2012.
Dengan dilakukan penyuluhan tersebut berarti aparatur
DPDPK telah memahami dan mendalami dari aspek pengelolaan
BPHTB dimana sebelumnya dikelola pemerintah pusat, dimana
daerah tidak mengetahui bagaimana pemerintah pusat dalam
mengelola jenis pajak tersebut.
3) Kinerja Kebijakan.
Bentuk pelayanan yang diberikan oleh DPDPK Kota
Yogyakarta seperti tertuang dalam poin perubahan pasal dalam
perwal tersebut tentu saja melaksanakan pendaftaran dan pendataan
pengajuan permohonan BPHTB oleh wajib pajak, menetapkan
penetapan BPHTB yang harus dibayar, dan melaksanakan
penagihan dan keberatan atas BPHTB meskipun di Negara
Indonesia menganut sistem self assessment dimana wajib pajak
berhak untuk menghitung sendiri pajak yang harus dibayar, namun
apabila tidak sesuai dengan kenyataan seperti nilai perolehan
maupun luasan yang tidak sesuai maka DPDPK Kota Yogyakarta
dapat melakukan penagihan dan apabila wajib pajak keberatan
maka dapat mengajukan keberatan atas nilai BPHTB tersebut.
Harapan di masa mendatang pengelolaan BPHTB tentu saja
tetap akan dilakukan oleh DPDPK Kota Yogyakarta, namun
apabila terjadi perubahan atas UU Nomor 28 Tahun 2009, hal itu
menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat.
4) Kelompok Sasaran.
Rekomendasi atau saran dari DPDPK Kota Yogyakarta
kepada masyarakat wajib pajak pembayar BPHTB agar Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dapat meningkat adalah dalam mengisi nilai
perolehan untuk tetap mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) pada PBB dimana dengan telah dilakukannya pengelolaan
PBB oleh DPDPK Kota Yogyakarta sejak Januari 2012 maka
NJOP juga ditetapkan oleh DPDPK Kota Yogyakarta. Pemantauan
atas hal itu adalah dengan dilakukannya pengecekan lapangan.
Sedangkan respon masyarakat atau wajib pajak pembayar
BPHTB selama ini memang terdapat keluhan atau protes terutama
dari segi ketepatan waktu selesainya validasi (penelitian) yang
dilakukan oleh DPDPK Kota Yogyakarta. Hal ini sangat
tergantung dari banyaknya permohonan yang masuk. Persoalan
ketepatan waktu ini memang belum bisa diukur dari segi apapun,
apabila memang permohonan itu telah lengkap dan tidak
menimbulkan kecurigaan maka akan selesai dalam waktu singkat,
namun apabila sebaliknya akan dilakukan pengecekan lapangan
dimana waktu penyelesaiaannya belum dapat diukur dan sangat
tergantung dari jumlah permohonan.
Disamping itu selama ini mayoritas yang mengurus validasi
(penelitian) untuk datang ke Kantor DPDPK Kota Yogyakarta
adalah pegawai kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk
mengurus berbagai macam jenis perolehan kecuali perolehan
karena turun waris, sedangkan untuk perolehan karena turun waris
seringkali juga dilakukan oleh pegawai kelurahan atau kecamatan.
Hal ini dapat dilihat apabila dalam permohonan tersebut
menggunakan surat kuasa mengurus, bukan atas nama wajib pajak
itu sendiri. DPDPK Kota Yogyakarta sendiri tidak begitu
mempersoalkan mengenai siapa yang mengurus meskipun berbagai
penyuluhan telah dilakukan kepada masyarakat, karena hal tersebut
merupakan lahan tersendiri daripada stakeholder yang berkaitan
dengan BPHTB, dan DPDPK Kota Yogyakarta tidak dapat untuk
memerintahkan wajib pajak untuk mengurus sendiri pajak yang
dibayarkannya.
B. Evaluasi Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Fungsi, Rincian
Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan
Kota Yogyakarta Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Evaluasi terhadap kebijakan publik dimulai dengan menjelaskan
usaha-usaha yang telah dilakukan guna mencapai tujuan dari dikeluarkanya
kebijakan tersebut, seperti Penulis telah jelaskan bahwa DPDPK Kota
Yogyakarta telah melakukan berbagai macam usaha yang diantaranya
penyuluhan kepada masyarakat, dan hasil dari usaha tersebut memang
membuahkan prestasi dimana penerimaan pajak daerah Kota Yogyakarta
tercapai melampaui target yang diharapkan. Kemudian dari evaluasi terhadap
pelaksanaan implementasi kebijakan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor
19 Tahun 2011, Penulis membagi menjadi dua bagian evaluasi yaitu faktor
pendukung dan faktor penghambat berdasarkan data yang Penulis peroleh di
lapangan, antara lain sebagai berikut:
1. Faktor Pendukung.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap responden,
ditemukan berbagai faktor pendukung dalam implementasi Perwal Nomor
19 Tahun 2011. Faktor-faktor ini dapat terjadi baik secara internal maupun
eksternal. Faktor internal meliputi unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh
DPDPK Kota Yogyakarta. Kemudian faktor eksternal aspek yang
bersumber dari luar DPDPK Kota Yogyakarta seperti masyarakat atau
wajib pajak yang mengurus datang ke Kantor DPDPK Kota Yogyakarta.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara ditemukan faktor-
faktor tersebut yang meliputi antara lain sebagai berikut:
a. Adanya kesadaran dari pegawai DPDPK Kota Yogyakarta dalam
menjalankan peran dan fungsinya yang melayani masyarakat dengan
sebaik-baiknya;
b. Penggunaan anggaran untuk kebutuhan sarana dan prasarana
pengelolaan BPHTB, dukungan dan kerjasama dari pegawai yang
cukup solid;
c. Hubungan baik vertikal maupun horizontal berjalan dengan baik dalam
tubuh organisasi sehingga tercipta suasana harmonis;
d. Kesadaran dan partisipasi masyarakat cenderung dianggap sangat baik
dalam membayar BPHTB.
2. Faktor Penghambat.
Apabila dikonfirmasi antara data hasil wawancara dengan
kenyataan di lapangan dapat diketahui bahwa dalam implementasi Perwal
Nomor 19 Tahun 2011 terdapat beberapa hambatan utama yang juga
terdiri dari faktor internal dan eksternal antara lain sebagai berikut:
a. Kurangnya ketepatan waktu proses penyelesaian validasi (penelitian)
BPHTB yang dilakukan DPDPK Kota Yogyakarta terlebih apabila
dilakukan pengecekan lapangan;
b. Jumlah pegawai DPDPK Kota Yogyakarta yang relatif sedikit bila
dibanding kebutuhan kerja dalam mengelola BPHTB dan jenis pajak
yang lain di wilayah Kota Yogyakarta terutama dalam ketepatan waktu
penyelesaian penelitian/validasi terlebih lagi apabila melakukan
pengecekan lapangan dan berbagai penyuluhan sehingga
mempengaruhi efesiensi kerja, utamanya dalam mengejar kualitas
kerja;
c. Kesadaran masyarakat atau wajib pajak pembayar BPHTB dalam
mengurus pajak yang dibayarnya cenderung masih mengandalkan
pegawai PPAT maupun pegawai kecamatan atau kelurahan meskipun
telah dilakukan penyuluhan kepada masyarakat, hal ini dapat
mendorong munculnya makelar yang tidak dapat dipisahkan dari
kepentingan kalangan bisnis yang berupaya mendapatkan keuntungan
dengan memperkecil jumlah pajak yang seharusnya disetorkan kepada
negara/daerah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab I sampai dengan Bab IV,
maka dapat ditarik kesimpulan mengenai implementasi Peraturan Walikota
Nomor 19 Tahun 2011 antara lain sebagai berikut:
1. Implementasi Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 mengenai
Perubahan atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008
tentang Fungsi, Rincian Tugas, Tata Kerja pada Dinas Pajak Daerah dan
Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta terutama perubahan
yang berkaitan dengan pengelolaan BPHTB yaitu pada ketentuan Pasal 10
Ayat (1) huruf f, Ayat (2) huruf m, dan Ayat (3) huruf j, dapat
dikategorikan tergolong sangat baik dan bisa dibilang dahsyat atau
fantastis. Hal ini tercermin apabila melihat dari pencapaian target pajak
daerah secara keseluruhan akhir tahun 2010 yang mencapai 104,06% dan
akhir tahun 2011 mencapai 121,13% atau terus melebihi target dalam
meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), karena tidak semua
kabupaten/kota diseluruh Indonesia mampu untuk mencapai target
penerimaan pajak daerah yang telah ditetapkan. Secara rinci penerimaan
sampai bulan Desember 2011 mencapai Rp. 158.724.247.821,- dari target
yang ditetapkan yakni Rp. 131.034.709.856 atau mencapai 121,13%.
Realisasi penerimaan pajak daerah yang mencapai 121,13% dari target
yang ditetapkan ini berasal dari hasil pajak daerah sebesar Rp.
120.578,636,794,- yang salah satunya termasuk BPHTB dan bagi hasil
pajak sebesar Rp. 38, 145, 611,027,- dimana target yang ditetapkan untuk
hasil pajak daerah adalah Rp. 101.349.000.000,- dan target bagi hasil pajak
adalah Rp 29.685.709.856,-. Hasil pajak yang mencapai Rp.
120.578,636,794,- tersebut terdiri dari Pajak Hotel Rp. 37.861.435.936,-,
Pajak Restoran Rp. 13.817.217.336,-, Pajak Hiburan Rp. 4.684.984.072,-,
Pajak Reklame Rp. 5.439.731.728,- Pajak Penerangan Jalan Rp.
23.857.657.765,-, Pajak Parkir Rp. 776.411.843,-, Pajak Air Tanah Rp.
318.039.903,-, Pajak Sarang Burung Walet Rp. 3.050.000,-, dan yang
terakhir dan menjadi fokus penelitian ini adalah Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan mencapai Rp. 33.820.108.301,-. Sementara itu dari
bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp. 38.145.611.027,-.
Dari uraian diatas maka dapat dilihat bahwa BPHTB menempati urutan
kedua terbesar dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
setelah Pajak Hotel. Peningkatan jumlah penerimaan pajak daerah tersebut
tentu akan sangat bermanfaat bagi pembangunan di Kota Yogyakarta.
Apabila mengingat definisi pajak itu sendiri yang merupakan pungutan
yang menjadi hak preogratif pemerintah, dimana pungutan tersebut harus
berdasarkan undang-undang dalam hal ini UU Nomor 28 Tahun 2009 yang
dapat dilakukan secara paksa kepada subyek pajak dengan tidak ada balas
jasa yang langsung dapat ditunjukkan/dirasakan pengunaannya, maka
peningkatan pendapatan melalui sektor pajak daerah ini tidak serta merta
hanya karena prestasi dari DPDPK Kota Yogyakarta semata sebagai ujung
tombak dalam pengelolaan Pajak Daerah akan tetapi peran serta dari
warga masyarakat Kota Yogyakarta yang memiliki kesadaran yang sangat
tinggi dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak daerah dan tentu
saja peran serta dari stakeholder yang lain seperti Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) maupun kelurahan/kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta
karena sampai sejauh ini cenderung masih sangat sedikit wajib pajak yang
berkesadaran mengurus sendiri proses pengajuan permohonan pendaftaran
dan pendataan BPHTB.
2. Mengenai kendala dalam implementasi Peraturan Walikota Nomor 19
Tahun 2011, secara umum hampir tidak ada kendala yang berarti.
Meskipun menurut Kepala Seksi Pembukuan dan Pelaporan DPDPK Kota
Yogyakarta mengakui adanya kendala namun hal itu segera dapat diatasi
sehingga tidak sampai menimbulkan hambatan yang berarti daripada
kinerja DPDPK Kota Yogyakarta itu sendiri, seperti dari segi jumlah
pegawai DPDPK Kota Yogyakarta yang bekerja untuk melaksanaan
pengelolaan pajak daerah tidak terbagi spesialisasinya hanya menangani
salah satu jenis pajak saja seperti BPHTB namun juga untuk menangani
jenis pajak yang lain, dan kendala yang paling signifikan adalah dimana
wajib pajak tidak mengisi nilai perolehan sesuai ketentuan dalam hal ini
sesuai dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dimana kadang hanya sesuai
dengan NJOP meski nilai perolehan sebenarnya jauh diatas NJOP, kendala
lainnya yaitu bilamana nilai luas tanah atau bangunan yang tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya. Hal ini tentu saja apabila menimbulkan
kecurigaan akan dilakukan pengecekan lapangan. Hal inilah yang menjadi
kendala proses ketepatan waktu penyelesaian pendataan atau validasi
menjadi memakan waktu lebih lama. Kendala ini juga berkaitan dengan
peran dari stakeholder yang lain seperti PPAT/Notaris maupun Camat
apabila sebagai PPAT Sementara dimana dalam blangko formulir juga
tertera nama dan tanda tangan PPAT/Notaris/Kepala Kantor
Lelang/Pejabat Lelang yang semestinya dapat menghimbau agar wajib
pajak mengisi sesuai ketentuan. Oleh karena itu koordinasi antara DPDPK
Kota Yogyakarta dengan PPAT/Notaris/Kepala Kantor Lelang/Pejabat
Lelang perlu untuk ditingkatkan agar proses penyelesaiaan validasi
menjadi lebih singkat. Disamping itu kualitas serta kuantitas pegawai
DPDPK Kota Yogyakarta yang tidak hanya menangani satu jenis pajak
juga dapat dikatakan kendala tersendiri, belum lagi tenaga untuk
melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Dari berbagai kendala diatas
sejauh ini masih segera dapat diatasi sehingga tidak menghambat kinerja
dari DPDPK Kota Yogyakarta itu sendiri.
B. Saran.
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka Penulis merekomendasikan
berupa saran-saran antara lain sebagai berikut:
1. Agar implementasi Peraturan Walikota Nomor 19 Tahun 2011 dapat
membuahkan hasil yang lebih maksimal, maka perlu ditingkatkan
kesadaran wajib pajak agar dapat membayar pajak dengan nilai sesuai
ketentuan. Meskipun berbagai penyuluhan telah dilakukan oleh DPDPK
Kota Yogyakarta kepada masyarakat namun apabila masyarakat masih
banyak yang enggan untuk mengurus sendiri permohonan pendataan
BPHTB maka akan sangat rentan munculnya makelar pajak karena
makelar pajak tidak dapat dipisahkan dari kepentingan kalangan bisnis
yang berupaya mendapatkan keuntungan dengan memperkecil jumlah
pajak yang seharusnya disetorkan kepada negara/daerah. Hal ini bisa saja
terjadi dengan adanya kongkalikong atau persekongkolan dengan para
stakeholder yang terlibat. Meski adanya prestasi peningkatan penerimaan
dari sektor pajak di Kota Yogyakarta, agar implementasi kebijakan dapat
tetap keep the policy on track sesuai dengan teori kebijakan publik
Hogwood and Peters, namun jika melihat proses pengelolaan BPHTB
yang dimulai dengan permohonan pendataan BPHTB atau validasi yang
dilakukan bukan oleh wajib pajak itu sendiri yang benar-benar memiliki
kesadaran untuk membayar pajak serta pengisian blangko formulir yang
tidak sesuai dengan ketentuan maka peluang untuk munculnya makelar
pajak sangat rentan. Dan apabila melihat dari kemampuan sumber daya
manusia pegawai DPDPK Kota Yogyakarta tentu akan sangat berat
apabila harus melakukan pengecekan lapangan satu per satu dari setiap
permohonan yang masuk. Oleh karena itu disamping perlu
ditingkatkannya kualitas dan kuantitas pegawai DPDPK Kota Yogyakarta,
kesadaran masyarakat wajib pajak untuk mengisi sesuai nilai dan keadaan
yang sebenarnya dan bersedia untuk mengurus sendiri BPHTB agar
memiliki kesadaran yang tinggi juga perlu ditingkatkan agar peluang
munculnya makelar pajak dapat dihindari.
2. Apabila melihat berbagai kendala yang ada maka dapat dikatakan bahwa
kendala peningkatan penerimaan sektor pajak daerah khususnya BPHTB
di Kota Yogyakarta tidak begitu berpengaruh secara signifikan terhadap
penerimaaan daerah, dengan terus meningkatnya prosentase penerimaan
sektor pajak daerah yang sangat berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Namun peningkatan tersebut dapat ditingkatkan lebih baik lagi
apabila kendala-kendala yang ada dapat diminimalisir. Untuk dapat
mengurangi kendala yang ada maka dapat dilakukan berbagai cara yang
diantaranya koordinasi diantara para stakeholder seperti dengan
PPAT/Notaris maupun Camat apabila sebagai PPAT Sementara agar lebih
menghimbau kepada wajib pajak untuk mengisi nilai perolehan sesuai
dengan ketentuan atau keadaan yang sebenarnya, dengan begitu proses
penyelesaian pendataan BPHTB yang dilakukan oleh DPDPK Kota
Yogyakarta menjadi dapat lebih singkat karena tidak perlu melakukan
pengecekan lapangan, dan penerimaan BPHTB pun juga akan meningkat
jika wajib pajak membayar sesuai dengan nilai atau keadaan yang
sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku.
Abdul Wahab, Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara.
Jakarta: Rineka Cipta.
Abdul Wahab, Solichin. 1997. Evaluasi Kebijakan Publik. Malang: Fakultas
Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
Abidin, Said Zaenal. 2004. Kebijakan Publik, Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan
Pancur Siwah.
Alexander, Harry. 2004. Panduan Perancangan Peraturan Daerah Di
Indonesia. Jakarta: PT XSYS Solusindo.
Ali, Achmad. 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis). Jakarta: Gunung Agung.
Anonim. 2001. Himpunan Peraturan Otonomi Daerah serta Peraturan
Pelaksanaannya. Jakarta Pusat: Pustaka Antara Utama.
---------. 1985. Tugas, Fungsi dan Perannya Dalam Pemerintahan di Daerah.
Jakarta: Departemen Dalam Negeri.
Asshiddigie, Jimly. 2002. Konsulidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
Kedua. Jakarta: Pustaka Negara, Fakultas Hukum UI.
Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hari Adi, Priyo. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi. Salatiga: Jurnal Kritis Universitas Kristen Satya Wacana.
Islamy, M. Irfan. 2000. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara.
Jakarta: Bumi Aksara.
Mallarangeng, Andi Dkk. 2001. Otonomi Daerah Prospektif Teoritis dan
Praktis. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Manan, Bagir. 1994. Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Mangkoesoebroto, G. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Muslim, Amrah. 1978. Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung:
Alumni.
Purbopranoto, Kuntjoro. 1981. Beberapa Catatan Hukum Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi. Bandung: Alumni.
Putra, Fadillah. 2001. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Riwu, Kaho Josef. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Republik Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press.
Sarundajang. 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Sinar
Harapan.
Soejito, Irawan. 1983. Teknik Membuat Peraturan Daerah. Jakarta: Bina
Aksara.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-
Dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius.
Subarsono, A. G. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subarsono, AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfabeta.
Sugiyono. 2006. Statistika Untuk Penelitian, Cetakan Ketujuh. Bandung: CV.
Alfabeta.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.
Sunggono, Bambang. 2001. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Srafindo Persada.
Suparmoko. 1992. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta:
BPFE.
Syafrudin, Ateng. 1999. Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki
Abad XXI. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Syarif, Amiroeddin. 1987. Perundang-Undangan Dasar, Jenis, dan Teknik
Membuatnya. Jakarta: Bina Aksara.
B. Undang-Undang.
Ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 No. 291.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB).
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD).
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
C. Peraturan.
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Peraturan Pemerintah Pasal 3 ayat (2) jo. PP Nomor XX/2000 Kep. Men. Keu
Nomor XX/KMK.04/2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi,
Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota Yogyakarta.
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 84 Tahun 2008 tentang Fungsi,
Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Kota Yogyakarta.
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 102 Tahun 2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2010
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
C. Jurnal.
Akhmad, Hatta. 2000. Otonomi Daerah Berkenaan Dengan Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Palu: Jurnal Toposantoro.
Djohan, Djohermansyah. 2001. Masalah Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jakarta: Jurnal Ilmu
Pemerintahan MIPI Edisi 14 Tahun 2001.
Syaukani, H. R. 2001. Seminar Otonomi Daerah Strategi Pemberdayaan
Daya Saing Daerah. Jurnal Otonomi Daerah.
Suwandi, I Made. 2003. Jurnal Otonomi Daerah. Tahun 2003.
Tabrani, Rab. 1999. Jurnal Depdagri. Jakarta: Depkeu.
D. Media Massa Cetak dan Elektronik.
Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2010.
Surat Kabar Patroli Bangsa, 1 April 2011.
www.jogjakota.go.id, Rabu, 19 Januari 2011.
Tabel I
Proses Kebijakan Publik
Tahap Karakteristik
Perumusan Masalah : Memberikan informasi mengenai kondisi-
kondisi yang menimbulkan masalah.
Forecasting (Peramalan) : Memberikan informasi mengenai
konsekuensi di masa mendatang dari
diterapkannya alternatif kebijakan, termasuk
apabila tidak membuat kebijakan.
Rekomendasi Kebijakan : Memberikan informasi mengenai manfaat
bersih dari setiap alternatif, dan
merekomendasikan alternatif kebijakan
yang memberikan manfaat bersih paling
tinggi.
Monitoring Kebijakan : Memberikan informasi mengenai
konsekuensi sekarang dan masa lalu dari
diterapkannya alternatif kebijakan termasuk
kendala-kendalanya.
Evaluasi Kebijakan : Memberikan informasi mengenai kinerja
atau hasil dari suatu kebijakan.
Sumber : A. G. Subarsono (2005:9)