11
RUANG TUJUH 7

Ruang tujuh

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cerpen

Citation preview

Page 1: Ruang tujuh

RUANG TUJUH

7

Page 2: Ruang tujuh

Ruang Tujuh

Jika kau lari dari sesuatu,,,, pastikan tak ada yang tertinggal dibelakangmu,,,, jika kau merasakan sesuatu,,,, jangan diam dan cepat cari tahu,,,, semua itu yang aku lupakan saat aku berada diruang ketujuh,,,, karena ini kisahku,,,, saat aku duduk terdiam diruang tujuh,,,,

Namaku Dedi dan aku hendak menceritakan sebuah kisah yang aku alami, dari ruangan yang bernomor tujuh.

Ada apa dengan angka tujuh,,, banyak orang percaya kalau angka tujuh merupakan angka keberuntungan, dan ada lagi yang percaya kalau itu angka sial, kalau menurutmu,,,

Angka tujuh awalnya bagiku adalah angka keberuntungan, aku mengfavoritkan angka tujuh, tapi sekarang aku sangat gelisah bila mengingat angka tujuh, setelah apa yang aku alami diruang tujuh.

Ini semua dimulai saat aku memasuki masa perkuliahan, betapa gembiranya aku hingga melihat gambar dari khayalanku menempel dikaca bus kota, karna aku telah diterima disebuah universitas negeri, universitas yang sangat megah juga populer. Sepanjang perjalananku terbayangkan bagaimana aku nanti, terbayang aku sedang berjalan diantara para mahasiswa yang sedang duduk ditaman berumput dan memangku laptopnya, dan kemudian aku duduk dibawah pohon rindang disamping seorang gadis, dan aku menyapanya, dan,,,, ternyata sudah sampai dikota, aku sudahi khayalanku dan bergegas turun.

Aku menginjakkan kakiku untuk petualangan pertamaku dalam mencari ilmu disebuah kampus, dikota ini, di tempat yang sejuk ini.

Sepanjang mataku memandang terdapat banyak pohon rindang disini, bayang-bayangnya membentuk lukisan disepanjang jalan setapak yang aku lalui, anginnya bertiup pelan menggelitiki leherku, dedaunan bermain bersama irama angin dibawah kakiku, tapi masih ada yang mengganggu semua ketenangan ini, sebuah kegelisahan karna aku kemari tanpa rencana matang, belum menemukan tempat tinggal, berbeda dengan yang lain, yang pastinya sudah ada yang menjemput mereka begitu mereka menurunkan kaki dari bus, orang tuaku melepasku, dan hanya kiriman sejumlah uang dari mereka yang menemaniku disini.

Aku belum mendapatkan tempat tinggal, aku harus mempercepat langkah kakiku bila tidak ingin tidur dijalanan, aku harus mencari kost untuk kujadikan tempat tinggalku dikota ini, lama aku memutari kota ini tapi masih belum menemui kost yang cocok, semuanya meminta harga yang mahal dengan fasilitas seadanya, sangat tidak adil buatku, aku terus mencari sambil berjalan, menaruh kedua tanganku disaku celana jeansku, dan sesekali menoleh kekanan dan kiri dengan harapan menemukan papan putih bertuliskan “terima kost putra”, aku terus berjalan dan belum menemukan yang menurutku sesuai, aku terus berjalan

Page 3: Ruang tujuh

dan semakin jauh hingga semakin jarang rumah yang aku temui, “ini malah seperti hutan” gumamku dalam hati, tapi aku terus melanjutkan perjalananku hingga akhirnya sampai ke sebuah rumah yang sangat besar yang jauh dari penduduk, rumah yang sangat besar bahkan kalau kulihat dari samping panjangnya hampir satu kilometer, model dan coraknya seperti bangunan kuno namun terlihat rapi dan bersih, halamannya sangat luas, membuatku penasaran dengan bentuk dibagian dalam, sangat tidak pantas ada papan putih bertuliskan “terima kost” yang tergantung dipagar mewah dengan warna kuning seperti emas, atau itu memang emas sungguhan,,,, aku berdiri merapatkan kakiku dan sedikit menjinjit dengan badan yang agak miring untuk melihat kedalam,

tiba-tiba ada seorang gadis cantik dibelakangku,

“mas,,, cari kost ya?”,

Aku sangat terkejut, berbalik, dan melompat kaget, aku sama sekali tidak menyadari kehadirannya,

“eh,,, iya, kamu siapa?”,

“aku anaknya yang punya rumah”, jawab gadis itu sambil tesenyum,

Garis senyumanya melekuk sempurna, belum pernah aku bertemu gadis secantik ini, dan aku tertarik, aku merasa punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh bila aku berminat dengan kost itu, walaupun bangunannya agak aneh,

“ehm,,, kamarnya masih ada yang kosong ya?”, tanyaku,

“umur kamu berapa?” dia tiba-tiba menanyakan umurku,

“18 emangnya kenapa?”

“ngak kok, gak ada apa-apa, kamarnya ada”,

Dia pun mengajakku masuk kedalam, gerbangnya sangat besar hingga butuh dua orang pembantu untuk menariknya, jalan menuju pintu depan rumah cukup jauh karena halaman depan yang begitu luas, dan begitu masuk dari pintu depan, aku merasa seperti berada dimuseum, aku melihat banyak sekali lukisan-lukisan kuno, dan dindingnya diukir dengan corak-corak kuno,

“ruangan ini besar sekali”, aku menengok keatas seperti orang desa yang masuk istana, tidak karena mewah aku jadi seperti itu, tapi ukuran yang tidak lazim untuk sebuah rumah dikota seperti ini.

Rumah yang aneh dan aku lebih suka menyebutnya kastil, atau apapun itu tempat ini memang tidak lazim disebut rumah.

Tuan rumahpun datang, tetap terlihat muda walau dengan jas hitam dan sepatu kulitnya, dia menyuruhku duduk, kami berbincang-bincang disaat itu, dan aku menanyakan tentang keadaan kota, ternyata dia tahu semua tentang kota ini mulai dari sejarahnya hingga kebiasaan orang sini sejak dulu, dia seperti sejarawan. dia pun menggerakkan tangannya kesamping sebagai tanda pada pembantunya untuk menunjukkan kamar padaku,

Page 4: Ruang tujuh

ruangan kamar kost ada di halaman belakang, aku mengikuti pembantu itu melewati lorong sambil melirik kanan kiri, benar-benar suasana seperti kastil, tak lama kemudian akupun melihat cahaya tanda sebuah jalan keluar, ada banyak ruangan disana, dihalaman terbuka, semuanya berjejer membentuk lingkaran yang pada pusatnya terdapat air mancur, semua ruangan diberi nomor, berurutan dari 1 sampai 50, dan semua selambu jendela terbuka tanda sudah ada yang menempatinya, hanya nomor satu hingga delapan yang tertutup, mungkin itu kamar kosongnya.

Melihat deretan ini nampaknya tuan rumah mengisi kamarnya berurutan, tapi ternyata tidak, aku ditempatkan dikamar ketujuh, selat satu kamar dari kamar lain yang terisi,

“mm,, kenapa tidak dikamar yang nomor delapan saja mas?” tanyaku pada pembantunya

“oh kalau itu, tuan rumah yang menentukannya, saya tidak tahu, mungkin sudah ada yang boking”,

“terus kamar nomor 1 sampai 6 bagaimana?”,

“kalau itu sudah tidak pernah ditempati lagi,,”

Enam kamar yang tidak pernah di tempati, cukup mengerikan bila aku harus tinggal disampingnya.

Kuncipun diberikannya padaku, kunci yang berwarna kuning emas, sama dengan gerbang rumah ini.

“mm,,, ya sudah ya mas,, makasih,” ujarku sambil melepas tas hitam yang lama kupikul dipundakku dan membawanya kedalam kamar,

Aku membuka kuncinya, butuh tiga kali putaran hingga benar-benar terbuka, “kunci ini,,, modelnya seperti kunci istana”, gumamku sambil menahan nafas karna beratnya pegangan pintu, dan pintupun terbuka dengan suara decit yang panjang, suara decit yang sering kudengar di film horor. Ruangannya tertata rapi, dindingnya putih dengan lampu gantung diatasnya, namun ada dua pintu lagi didalam kamar, terletak di kedua sisi kamar ini, sepertinya menghubungkan kamar ini dengan kamar lainnya, dan aku gelisah melihat pintu yang menuju kamar keenam, mengingat tidak pernah ada yang menghuninya, aku mendekatinya perlahan, dan memegang pengangan pintu lalu mencoba membukanya,”syukurlah ternyata terkunci” ujarku lega,

Terlalu banyak yang aneh dirumah ini, suasananya membuat aku takut. Dan akupun mulai menata ulang kamar ini, hanya ada satu lemari dan aku menggesernya hingga menutupi pintu yang menuju kamar keenam, untuk menghilangkan rasa takutku, tapi aku masih terus memandanginya sambil mengangkat alisku dan berpikir “apa aku bisa tidur tenang malam ini”.

Selesai menata ulang aku mulai melangkah keluar untuk berkenalan dengan penghuni kamar lainnya, aku mulai dengan kamar paling tengah, kamar dengan nomor 25, aku menanyakan tentang keadaan di kost ini,

“susasananya enak dek, saya sudah dua tahun disini, tuan rumahnya baik, banyak yang ingin kost disini tapi kadang gak diterima, temenku pernah mau ngekost disini tapi gak boleh

Page 5: Ruang tujuh

sama tuan rumahnya, katanya kamarnya penuh, padahal saat itu ada tiga kamar yang kosong, jadi adek termasuk beruntung boleh tinggal disini”,katanya, orang yang tampak berumur 30 tahunan,

“emm,,, dari dulu disini normal-normal aja kan pak gak ada yang aneh?” tanyaku lagi untuk memastikan,

“iya dari dulu dek, bahkan saya yang paling lama disini, soalnya saya yang pertamakali ngekost disini,”

“maksudnya?,, ini kost baru buka dua tahun yang lalu?,,”

“iya baru dua tahun yang lalu, kata orang-orang di kota ini sich, rumah ini sudah lama sekali gak buka kost, tapi dulu pernah, entah kapan tapi dulu sekali,”, jawabnya,

mengherankan, kenapa bangunan setua ini baru buka kost dua tahun belakangan ini padahal kalau kulihat dari bangunannya, kamar-kamar ini usianya tampak sudah berpuluh-puluh tahun, apa lagi dengan corak kunonya, kurasa kost ini ada sejak dulu.

“ya sudah pak,, saya permisi dulu”,

Aku meninggalkan ruangan itu menuju kamarku, aku lelah sekali karena perjalanan yang kulalui seharian, dan sekarangpun sudah gelap, aku menaiki ranjangku dengan sepatu yang masih ada dikakiku, saking lelahnya hingga aku tidur menggunakan sepatu,

Kesokan harinya aku bagun pagi-pagi, tidur yang sangat singkat untukku karena aku tidak memimpikan apapun, aku bangun lalu melepas sepatuku, duduk sejenak dengan kaki yang menggantung dibawah ranjangku dan tangan yang menyandar dibelakangku, aku menunudukkan kepala, memikirkan apa yang akan aku lakukan hari ini, karna aku tidak ada kegiatan hari ini dan masa aktif kuliah masih besok, jadi aku memutuskan untuk jalan-jalan di kota, aku mulai dengan mengunjungi kuliner yang ada, yang pertama aku singgahi adalah sebuah warung kecil yang tebuat dari kayu, dengan kain iklan sampo menutupi bagian depan untuk menghalangi sinar matahari, warung yang menjual berbagai macam makanan tradisional.

Aku kemudian duduk dikursi yang terbuat dari anyaman bambu, aku duduk didekat penjualnya, dia terlihat sangat tua dan lemah, aku mengambil salah satu makanan tradisional di piring yang berjejer di atas meja yang panjang, tak lama kemudian aku mulai mengajak bicara si penjual,

“mbok,,, orang asli sini ya?” tanyaku,,

“iya nak,,, kamu baru ya di sini?”

“iya saya baru datang tadi pagi,,, saya tinggal tidak jauh dari sini, saya tinggal dirumah besar diujung sana”,

“loh rumah tua itu ya nak?”, tanyanya dengan alis yang terangkat

“iya,,, emangnya ada apa nek?”,

“enggak apa-apa,,”

Page 6: Ruang tujuh

“mm,, ya sudah ya nek saya permisi dulu,,” ujarku sambil membayar makanan tadi,

Aku hanya sebentar di tampat itu karena makanannya sudah dingin, aku berlanjut ketempat lainnya, kali ini aku mengunjungi rumah makan yang lebih besar, dengan hidangan yang dipamerkan didalam kaca yang bertulis “warung padang”, aku membeli makan siang disitu,

“baru ya dek disini?”, sapa sipenjual,

“he he,, iya mbak,, saya dari luar kota, merantau kesini untuk kuliah,”

“ngekost dimana dek?”,

“emm,, di situ,, rumah besar ujung jalan”,

“kamu ngekost disitu?”, tanyanya dengan ekspresi yang sama dengan nenek tadi,

“iya mbak,, memangnya kenapa?”

“ngak sih,,, keluarga disitu banyak sekali orangnya, tapi jarang ada dirumah,, malah setahun sekali baru mereka pulang, setahu saya begitu”,

“ow,, gitu ya, tapi ada kok keluarga yang jaga, kemarin saya ketemu mereka,”,

“iya memang ada, sejak dua tahun lalu mereka sering kelihatan keluar rumah, tapi tahun sebelumnya mereka sangat tertutup, gak ada yang mau nunjukin diri, itu sejak saya kecil”, kata si penjual sambil menata kertas bungkus,

“loh,, emang sebelum dua tahun yang lalu rumah itu kosong ya mbak,?” tanyaku heran,

“ngak juga sih,, masih ada penghuninya, tapi gak ada yang pernah lihat, hanya ada beberapa mobil yang keluar masuk, mereka sombong sekali, seakan-akan tidak membutuhkan tetangga, tanah disekitar rumahnya juga milik mereka semua dan tidak mau di beli oleh orang lain, jadi sendirian tuh dihutan”,jawabnya dengan wajah kesal,

“mm,,, gitu ya mbak,”ujarku sambil membayar makanan yang aku bungkus,

Sepertinya orang-orang dikota ini tidak suka dengan pemilik kost yang aku tempati, tapi aku tidak begitu peduli, aku bergegas kembali kekostku karna aku tidak ingin makanannya menjadi dingin.

Setibaku dikost aku melihat ada penghuni baru dikamar nomor delapan,

“siipp,,, tetanggaku sudah datang,”, ujarku dalam hati,

Aku menemuinya dikamarnya, ternyata dia tampak seumuran denganku,

“hai mas,, anak baru ya,”, sapaku sok akrab,

“iya,, saya anak baru, saya kuliah disini,”

“sama’ donk,,, saya juga baru dan saya juga kuliah disini,”

Kamipun berkenalan dan berbagi cerita.

Page 7: Ruang tujuh

Namanya hedrik, dia juga dari luar kota sama sepertiku, hanya saja dia lebih jauh lagi, kami berbincang-bincang, dan menceritakan pendapat kami tentang kota ini, disela pembicaraan dia menanyakan sesuatu,

“he,,, kamu tadi ditanyai umur ya,?,” tanyanya,

“iya,, emang kamu juga?” jawabku,,

“iya,, tapi tadi aku coba bohong aku bilang aku umur 18 biar ngak malu-maluin padahal aku umur 19, soalnya aku kuliahnya telat satu tahun, tapi dia langsung tahu,, dia bilang gini,, jangan bohong,, aku tahu kamu umur 19, ada kok kamar kosong,,, begitu katanya, dia hebat banget bisa tahu umurku mana orangnya cantik lagi, kamu udah ketemu anak tuan rumahnya belom? Beh,,, cantik bener,,”, Ujarnya panjang lebar

“iya aku udah ketemu, emang cantik sih,,,” jawabku sambil memandang keatas seolah-olah mengkhayalkannya

Kami pun terus berbincang-bincang dan tak terasa sudah larut malam,

“sudah malam nih,,, aku balik dulu ya,, kamarku disebelah kok”

“iya, ya sudah, makasih ya nasi bungkusnya”

Nasi bungkus tadi aku makan bersama dengannya, aku sangat senang mendapat teman seumuran yang asyik diajak ngobrol, mengingat penghuni dikost ini rata-rata berumur 20 tahun keatas, dan akupun menuju kamarku karena aku sudah mulai mengantuk, aku mulai berbaring diranjang dan menarik bantalku, sambil sesekali tersenyum mengingat lelucon yang kami ceritakan tadi, lalu aku tertidur.

Dalam tidurku aku bermimpi sangat aneh, aku bermimipi berada di sebuah kamar berwarna kuning tembaga, bentuk kamarnya sama seperti kamarku, ada tiga pintu, satu pintu keluar dan dua lagi pitu yang menghubungkan kamar lainnya, tapi ruangan ini sangat kuno bahkan pencahayaannya menggunakan obor di tiap sudut dinding, dan pintu dari sebelah kiri terbuka, ada sosok anak laki-laki seumuranku dengan luka berdarah dilehernya, dan dia berkata “kini semuanya sudah lengkap dan memenuhi syarat” dia berkata sambil menunjuk ke arah pintu luar, dan aku pun pergi keluar untuk melihatnya, tapi dia memegang tanganku sambil berkata “kau yang ketujuh” dengan suara yang serak, aku sangat kaget dan takut, wajahnya sangat pucat dengan ekspresi yang kosong, akupun aku berteriak ketakutan, dan tiba-tiba ada yang menusuknya dengan besi yang panjang dari belakang, ternyata yang menusuknya adalah seorang gadis yang cantik, dia berkata padaku “kamu sudah aman, ngak akan ada yang menggangumu lagi, kalau dia masih mengganggu panggil saja aku”.

Akupun terbangun dan sadar, badanku basah akan keringat dan aku sesak nafas, dan aku terus memandangi pintu yang kututupi dengan lemari, aku terdiam cukup lama melihatnya, dan aku melihat kesetiap sudut ruangan, tidak ada obor, tapi aku yakin ruangannya sama persis dengan kamar ini, aku bingung, aku ketakutan, aku tidak mengerti arti dari mimpiku tadi, namun semuanya masih teringat jelas, suasananya, suaranya, tapi siapa dia, kenapa dia begitu menyeramkan, dan siapa gadis itu kenapa dia menusuknya, aku benar-benar tidak mengerti, dan akupun melupakan semuanya seolah tidak ada apa-apa, lalu aku melihat kearah jam dinding, sudah jam tujuh, aku tidak mau terlambat untuk kegiatan ospek, dan akupun bergegas mandi.

Page 8: Ruang tujuh

Ini hari pertamaku masuk kuliah, walaupun hanya kegiatan orientasi, aku tetap semangat dan tidak sabar untuk menemui teman-teman baruku, aku berangkat bersama sahabat baruku hedrik, bersiap untuk kegiatan kuliah yang pertama, aku menggunakan jaket kesayanganku, jaket hitam dengan kain yang tipis, jarak menuju kampuspun cukup jauh hingga kami harus menaiki kendaraan umum.

Ada banyak anak muda berpakaian rapi disini, nampaknya mereka juga punya tujuan yang sama dengan kami, dan sepanjang perjalanan aku berdiri karna tidak kebagian bangku, aku terus memperhatikan keluar jendela, aku melihat toko-toko dan para pedagang kaki lima yang berjejer, tapi saat itu tiba-tiba semua menjadi sepi, aku tidak bisa mendengarkan apapun, dan waktu menjadi begitu lambat hingga aku bisa melihat kerumunan banyak orang yang sedang berjual-beli dengan sangat jelas, namun di sela-sela kerumunan itu aku melihatnya lagi, anak laki-laki dimimpiku, masih dengan darah dilehernya, dia meneriakkan sesuatu kepadaku tapi aku tidak dapat mendengar apa-apa, aku terus melihatnya, sangat jelas dan lama seakan-akan bus ini berjalan sangat lambat, dan tiba-tiba ada yang memegangku hingga aku tersadar,

“hei,,, jangan melamun terus,,” ternyata dia, gadis cantik pemilik kost, aku tidak tahu kalau tadi dia juga naik bus ini karna tadi banyak sekali yang menunggu di halte bus

“eh,,, kamu ya,,, kamu berangkat sekolah?,” tanyaku sambil melihat seragam putih dengan rok mini berwarna biru yang dia kenakan,

“iya,, aku masih sekolah, aku kelas tiga sma,, sekolahku dekat kok dengan kampus, kalau gak ada jadwal jangan lupa main ke sekolahku ya,, nanti aku traktir dikantin”, jawabnya dengan jari yang dililitkan dirambutnya dan ekspresinya yang manja

“tentu,,,,,,,”

Aku sangat gemas melihatnya, sangat cantik dengan bando berwarna merah dirambutnya, bahkan temanku hedrik sampai tidak berkedip melihatnya,

Kamipun sampai ditujuan dan berpisah menuju ke arah yang berbeda, aku dan hedrik terus menuju kampus dengan agak tergesa-gesa karena takut terlambat, tapi dia masih saja mengajakku bicara sambil setangah berlari,

“wuuoooohhh,,,,, gilaaa’ mujur bener kamu diajak dia”,

“mujur apanya,,, biasa aja,,” jawabku yang juga setengah berlari

“canntik,, men,, susah cari yang kayak gitu”,

Aku sama sekali tidak mendengarkannya, aku masih terpikirkan oleh mimpi dan halusinasiku tadi, aku terus memikirkannya hingga sampai dikampus, aku tidak ingin mengingatnya tapi semua terlalu jelas seperti nyata, aku bahkan terus-terusan dihukum oleh seniorku karna tidak mendengarkan yang mereka ucapkan, bayangannya terus mengganggu pikiranku sehingga aku tidak bisa konsentrasi dengan apa yang aku lakukan, hingga tiba waktunya istirahat,, aku duduk dikantin bersama temanku hedrik, dan menaruh kedua sikuku dimeja, dengan kedua tangan bergenggaman dan menyangga kepalaku, aku

Page 9: Ruang tujuh

duduk dan diam begitu lama, tanpa aku sadari hedrik memanggil namaku sejak tadi, dan aku baru bisa mendengarnya sekarang, dia khawatir dan heran denganku,

“kamu dari tadi kenapa?”, tanyanya sambil menarik tanganku agar wajahku terlihat,

“gak ada apa-apa kok, aku cuma teringat urusan keluargaku, maaf itu pribadi,” jawabku sambil tersenyum seolah-olah sudah membaik,

Aku tidak mau menceritakannya pada hedrik, aku bahkan tidak ingin mempedulikannya, tapi aku selalu teringat mimipi itu dengan tidak sengaja, seperti ada yang menunjukkannya padaku, tapi aku benar-benar tidak ingin tahu.

Bersambung..............