37
Hal Utama Yang Mesti Diketahui Oleh Pemula Dalam Mempelajari Fiqh Defenisi “fiqhi” secara bahasa tidaklah jauh dari kata “paham”. Disebutkan dalam sebuah doa Rasulullah kepada Ibnu 'Abbas ; م هل ل ا هْ هِ ّ قَ ف ن ي الد ي ف"Ya Allah, jadikanlah ia sebagai orang yang paham terhadap agama.".[1] . Hanya saja ada dikalangan ahli bahasa yang memperluas maknanya hingga meliputi segala perkara; baik yang kecil maupun yang besar, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan

Muqaddimah fiqh

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Muqaddimah fiqh

Hal Utama Yang Mesti Diketahui Oleh PemulaDalam Mempelajari Fiqh

Defenisi “fiqhi” secara bahasa tidaklah jauh dari kata “paham”. Disebutkan dalam sebuah doa Rasulullah kepada Ibnu 'Abbas ;

في الدين فقهه اللهم

"Ya Allah, jadikanlah ia sebagai orang yang paham terhadap agama.".[1].

Hanya saja ada dikalangan ahli bahasa yang memperluas maknanya hingga meliputi segala perkara; baik yang kecil maupun yang besar, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan baik pemahaman terhadap sebuah perkataan atau pemahaman terhadap selain perkataan. Misalnya firman Allah;

91ما نفقه كثيرا مما تقول _ هود :

Page 2: Muqaddimah fiqh

"Wahai Syu'aib (kata kaumnya); kami tidak memahami (nafqahu) banyak dari perkataanmu.". (Huud; 91)

44ولكن ال تفقهون تسبيحهم _ اإلسراء :

"Tetapi kalian tidak memahami (tafqaahuun) cara makhluk Allah itu (selain manusia) bertasbih kepada Allah.". (al Israa; 44)

هم يفقهون _ األنعام : ف اآليات لعل 65انظر كيف نصر

"Perhatikan, bagaimana kami telah menjelaskan ayat-ayat kami agar mereka paham (yafqahuun).". (al An'aam; 65)

Selain itu, ada juga dikalangan ulama yang membatasi makna kata tersebut pada pengetahuan atau pemahaman terhadap sesuatu yang tersembunyi atau bersifat pelik. Abu Ishak as Syiraazi –rahimahullah- berkata;

الفقه فى اللغة إدراك األشياء الخفية

“Pengetahuan akan sesuatu yang bersifat halus dan tersembunyi”. Olehhya maka tidak

Page 3: Muqaddimah fiqh

benar bila dikatakan; ” فقهت السzzماء واألرض“ (saya memahami langit dan bumi), karena langit dan bumi bukanlah sesuatu yang halus dan tersembunyi. Tetapi mungkin seorang mengatakan; كالمك“ saya) ”فقهت paham pernyataan anda), karena maksud dari sebuah pernyataan seseorang adalah sesuatu yang belum tentu akan dipahami oleh semua orang yang mendengarnya.

Adapun secara istilah, maka fiqhi -secara singkat- dapat diartikan sebagai ilmu yang baik dan benar terhadap hukum-hukum syar’I (persoalan-persoalan agama yang bersifat amaliyyah) berdasarkan dalil-dalilnya secara terperinci.[2] .

Allah Subhanahu wa ta’ala sangat memuji orang-orang yang mendalam pengetahuannya terhadap agama. Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda;

]3من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين[

Page 4: Muqaddimah fiqh

“Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki kebaikan untuknya, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala akan memahamkannya terhadap agama ini”.

Dasar pengambilan hukum dalam masalah fiqhi adalah; Al-quran, hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam, ijma (konsensus para ulama setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam) dan qiyas.[4]

1. Al-quran

Al-quran adalah perkataan Allah Subhanahu wa ta’ala, yang Ia wahyukan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam dalam bahasa Arab dengan perantara Jibril. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman;

ه لتنزيل رب العzzالمين ( وح األمين (192وإن zzه الzzر zzزل ب ) نzzzذرين (193 zzzون من المن zzzك لتك ان194) على قلب zzzبلس (

195عربي مبين (

Page 5: Muqaddimah fiqh

Dan sesungguhnya Al-quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam, dia dibawa turun oleh Ar-ruh Al-amin (Jibril), ke dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy syuaraa; 192-195)

2. Hadits

Hadits atau sunnah adalah segala yang bersumber dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir (diamnya beliau (persetujuannya) terhadap sebuah perilaku yang dikerjakan dihadapannya).[5]

3. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan yang dihasilkan oleh para ulama mujtahid setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam

Page 6: Muqaddimah fiqh

terhadap hukum dari sebuah masalah agama.[6]

Kesepakatan yang terjadi dikalangan ulama dalam sebuah masalah adalah merupakan sumber hukum yang tidak terbantahkan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda;

إن الله تعالى ال يجمع أمتي على ضاللة

“Ummatku ini tidak akan (mungkin) bersepakat dalam sebuah kesesatan”[7].

4. Qiyas

Qiyas adalah konversi hukum yang dilakukan antara asal dengan percabangan karena adanya relevansi atau kesamaan ‘illah (sebab) penetapan hukum yang dilakukan pada asal. [8] Contoh, Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda;

Page 7: Muqaddimah fiqh

كل مسكر خمر وكل خمر حرام

“Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram”.[9]

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa setiap khamar adalah haram, dan diambil kesimpulan –dari hadits ini- bahwa sebab pengharamannya adalah karena khamar adalah zat yang memabukkan. Dari kesimpulan ini, diqiyaskanlah khamar (berasal dari anggur yang diproses hingga menjadi khamar) dengan zat-zat lain yang memiliki sifat (‘illah) yang sama dengannya, semisal; bir dan yang semisalnya.

Demikianlah empat sumber hukum yang dijadikan pedoman dalam pembahasan fiqhi. Tiga sumber yang pertama adalah sumber yang telah disepakati oleh para ulama. Adapun qiyas, maka meski ada sekelompok ulama yang menolaknya, namun jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa ia

Page 8: Muqaddimah fiqh

adalah salah satu diantara sumber pengambilan hukum dalam masalah fiqhi.[10]

Wajib Taat Kepada Allah dan Rasul-Nya

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman;

سول ه وأطيعوا الر ذين آمنوا أطيعوا الل ها ال يا أي

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya” (An-nisa’; 59)

Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda;

 تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما كتاب الله وسنتي

“Saya tinggalkan dua perkara bagi kalian. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu; Kitabullah dan sunnahku.”[11]

ة إال من أبى قالوا يا رسول الله كل أمتي يدخلون الجنة ومن عصاني فقد ومن يأبى قال من أطاعني دخل الجن

أبى

“Seluruh ummatku ini akan masuk ke dalam Surga kecuali orang-orang yang enggan.

Page 9: Muqaddimah fiqh

Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia akan masuk ke dalam Surga, dan barangsiapa yang menyelisihiku maka dia itulah yang enggan”[12].

Mengetahui hal ini, -khusunya dalam masalah ibadah- tidak diperkenankan seorang pun melaksanakan atau mengadakan syari’at tanpa adanya tuntunan dari agama. Bahkan agama mengancam mereka yang mengada-adakan hal ini, bahwa usaha yang mereka lakukan itu tidaklah akan diterima. Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda;

من عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang melakukan amalan ibadah yang tidak kami contohkan, niscaya amalan tersebut akan tertolak”[13].

Parameter Dalam Memahami Al-quran dan Sunnah

Page 10: Muqaddimah fiqh

Hal lain yang perlu dipahami bahwa saat ini telah menjamur berbagai macam pemahaman yang menggandeng nama Islam. Seluruh pemahaman sempalan itu -juga- menyatakan komitmen terhadap al-Quran dan Sunnah. Hanya permasalahannya ketika mereka memahami kedua sember rujukan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing hingga timbullah berbagai macam pendapat kontroversi, yang bukan sekedar kontroversi tetapi nyeleneh dan asal-asalan. Olehnya, maka para ulama menetapkan perlunya parameter yang jelas dalam memahami kedua sumber rujukan yang telah disebutkan.

Maka parameter yang dimaksud tidak lain adalah perkataan para ulama salaf; para sahabat, ulama yang hidup setelah mereka (taabi’ien), ulama yang hidup setelah generasi taabi’ien, dan para ulama setelahnya yang komitmen dengan dasar-

Page 11: Muqaddimah fiqh

dasar keberagamaan yang telah ditetapkan oleh pendahulu mereka. Mereka inilah orang-orang yang telah mendapat rekomendasi langsung dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam untuk dijadikan standar dalam bergama. Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam bersabda;

ا ي zzدا حبشzz مع والطاعzzة وإن عب zzوى الله والسzzيكم بتق zzأوص zيرا فعليكم يرى اختالفzzا كث zدي فسzzه من يعش منكم بع فإنكوا بهzzا zzدين تمس zzاش ين الر ة الخلفzzاء المهzzدي ن zzتي وس ن zzبس zzل اكم ومحzzدثات األمzzور فzzإن ك واجzzذ وإي وعضوا عليها بالن

محدثة بدعة وكل بدعة ضاللة

“Saya berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah serta senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin meski ia adalah seorang hamba dari Habasyah. Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, niscaya ia akan menyaksikan pertentangan yang banyak. Karena itu, tetaplah komitmen

Page 12: Muqaddimah fiqh

dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang telah diberi petunjuk setelahku. Gigitlah petunjuk-petunjuk mereka itu dengan gigi gerahammu. Berhati-hatilah dengan perkara-perkara yang baru; sesungguhnya perkara-perkara yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat”[14].

ذين يلونهم ذين يلونهم ثم ال اس قرني ثم ال خير الن

“Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang berada pada zamanku (generasi sahabat), kemudian generasi setelahnya (para taabi’ien), dan generasi yang setelahnya (atbaaut taabi’ien)”[15].

إن العلماء ورثة األنبياء

“Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris sekalian nabi”[16].

Demikianlah beberapa keterangan Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam yang memuat penjelasan tentang parameter yang hendaknya dijadikan acuan dalam

Page 13: Muqaddimah fiqh

memahami agama yang mulia ini. Maka diharapkan dengan komitmen terhadap acauan ini, seorang tidak akan sesat dalam beragama dan tidak akan menyesatkan banyak orang serta membingungkan mereka.

Jauhi sikap fanatisme golongan

Sudah dimaklumi bersama bahwa perbedaan pendapat terhadap beberapa masalah agama adalah suatu hal yang sifatnya sunnatullah, tidak akan pernah berakhir hingga hari kiamat. Namun demikian, mesti diketahui bahwa perbedaan pendapat itu terbagi dalam 2 kelompok, yaitu;

a. Perbedaan pendapat yang dibolehkan

b. Perbedaan pendapat yang tercela

Perbedaan pendapat itu tercela, bilamana perbedaan tersebut terjadi pada hal-hal yang sifatnya telah pasti; baik karena adanya dalil

Page 14: Muqaddimah fiqh

Al-qur’an yang menyatakannya secara tegas, atau karena adanya sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- , atau karena adanya ijma’ (kesepakatan ulama ) dalam suatu masalah tertentu. Contoh dari perbedaan pendapat yang tercela, diantaranya adalah;

a. Perbedaan pendapat dalam masalah aqidah, seperti perbedaan pendapat tentang hal-hal mendasar dalam memahami nama dan sifat-sifat Allah, perbedaan pendapat tentang penetapan iman kepada takdir baik dan takdir buruk sebagai salah satu bahagian dari rukun iman, dll.

b. Perbedaan pendapat dalam hal penetapan waris; bagi laki-laki mendapat bagian seperti bagian 2 orang wanita.

c. Perbedaan pendapat akan wajibnya menutup aurat bagi wanita (memakai jilbab), dll.

Page 15: Muqaddimah fiqh

Seluruh contoh dari perbedaan pendapat yang telah disebutkan adalah merupakan bagian dari perbedaan pendapat yang tidak dibenarkan, karena perbedaan pendapat tersebut tidaklah didasari dengan dalil agama yang benar, tetapi hanyalah semata didasari oleh hawa nafsu, bahkan telah ada dalil-dalil yang sangat tegas –baik dari Al-qur’an, sunnah atau ijma’- yang justru bertolak belakang dari pendapat orang-orang yang menyelisihi kebenaran.

Adapun terhadap masalah-masalah yang belum ada penetapannya secara pasti; baik dari Al-qur’an, sunnah ataupun ijma’; maka terhadap masalah-masalah ini, pintu ijtihad masilah terbuka bagi para ulama’, dengan satu asumsi bahwa persatuan itu adalah suatu yang –jauh- lebih baik dan perbedaan adalah suatu hal yang tidak baik, sebagaimana perkataan Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu-;

Page 16: Muqaddimah fiqh

الخالف شر

“Perbedaan itu adalah suatu hal yang tidak baik”[17].

Tinggallah permasalahannya, bila pendapat-pendapat tersebut sulit atau tidak mungkin dipertemukan, bagaimanakah sikap kita sebagai seorang penuntut ilmu ?.

Seorang penuntut ilmu seharusnya memiliki kelapangan hati untuk menerima segala perbedaan dan meyakininya sebagai sunnatullah hingga hari kiamat. Hendaklah ia menjauhkan dirinya dari sifat ta’ashshub (fanatisme) yang akan mengantarnya pada perpecahan. Hendaklah ia menyadari, bahwa syari’at ini telah membebani  para ulama untuk mengerahkan segala kemampuannya dalam memecahkan segala permasalahan yang ada dimasyarakat, dan mereka (para ulama) telah menjalankan tugas mulia itu

Page 17: Muqaddimah fiqh

dengan penuh amanah –semoga Allah merahmati mereka semua  atas segala jasanya-, dan tidaklah Allah membebankan kepada hamba-Nya sesuatu yang tidak mampu ia pikul.

Maka apakah merupakan suatu hal yang wajar, jika kita sebagai penuntut ilmu –lantas- berkata; “Yang benar dalam masalah ini adalah A, dan pendapat lain adalah salah”, padahal kita mengetahui  bahwa masalah tersebut adalah masalah yang telah lama menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Apakah kita berhak memastikan kebenaran itu ada pada perkataan ulama Fulan dan pendapat ulama lainnya adalah salah, sementara –kita- sendiri bukanlah seorang yang memiliki kapabelitas untuk itu ?!. Kalau diantara ulama mujtahid ada yang melakukan hal demikian, maka hal itu adalah wajar, karena mereka adalah orang yang telah mendalami

Page 18: Muqaddimah fiqh

masalah tersebut bertahun-tahun, bahkan –mungkin- mereka telah menghabiskan seluruh umurnya untuk mendalami masalah-masalah agama yang telah terjadi, sedang terjadi, bahkan masalah-masalah yang dipersepsikan akan terjadi-pun telah menjadi bahan penelitian mereka –sekali lagi, semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-. Kalau demikian, adakah kedudukan kita sama dengan mereka ?!. Fahamilah hal ini, semoga Allah memberikan kejelasan kepada kita.

Perlu diketahui, banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan pandangan dikalangan ulama terhadap suatu permasalahan; perbedaan pandangan dalam menilai sebuah hadits, perbedaan pandangan dalam memahami maksud dari sebuah dalil yang telah mereka sepakati keabsahannya, perbedaan pandangan dalam menyikapi kondisi yang lagi marak ditengah masyarakat, dan berbagai macam faktor

Page 19: Muqaddimah fiqh

lainnya merupakan contoh dari sekian banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dikalangan mereka.

Kalau demikian, adakah suatu yang wajar, jika kita sebagai seorang penuntut ilmu berkeras dengan suatu pendapat –bahkan terkesan memaksakannya- dan menutup mata terhadap pendapat-pendapat dari ulama lainnya, sedangkan kita tidak mengetahui faktor apa yang menyebabkan ulama Fulan berfatwa “A” ?!.

Tidak dipungkiri, bahwa dari pendapat-pendapat yang berbeda itu, pasti ada pendapat yang rajih (kuat) dan ada pendapat yang marjuh (lemah), namun itu pun sifatnya relatif. Karena itu, bukankah merupakan suatu hal yang bijak bagi seorang penuntut ilmu untuk berkata dalam sebuah masalah yang diperselisihkan;

Page 20: Muqaddimah fiqh

“Persoalan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama, namun yang lebih tepat –menurut hemat saya- adalah pendapat ulama A,dengan alasan sebagai berikut …” ?.

Bukankah perkataan demikian lebih mencerminkan adab seorang penuntut ilmu dan penghargaannya terhadap para ulama yang telah bersusah payah mencurahkan segenap potensi dan umur yang ia miliki dalam mempelajari suatu masalah agama ?!.

Ingatlah, menggiring seseorang pada suatu pendapat yang diperselisihkan dengan berusaha menutup mata mereka terhadap pendapat lain dari ulama yang juga memiliki kapabeliats  sebagai pemberi fatwa (tsiqah), akan menjerumuskan pelakunya –disadari atau tidak- kepada sikap ta’ashshub (fanatisme). Sebaliknya, memaparkan permasalahan secara jelas dan terbuka disertai dengan pemberian dalil (alasan) 

Page 21: Muqaddimah fiqh

terhadap pendapat yang rajih, hal tersebut merupakan upaya pembelajaran bagi ummat dan penyadaran bagi mereka agar terus belajar dan belajar, sebagaimana hal tersebut merupakan upaya yang sangat efektif untuk melepaskan mereka dari ikatan fanatisme yang merupakan sumber keterbelakangan dan perpecahan.

Penting untuk diketahui !

Berikut ini petikan beberapa pernyataan ulama tentang keharusan berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang dibolehkan, dan larangan memaksakan pendapat kepada seorang yang tidak meyakininya;

1. Sufyan ats-Tsauri –rahimahullah- berkata;

ما اختلف فيه الفقهاء ، فال أنهى أحدا من إخواني أن يأخذبه

“Saya tidak melarang orang-orang untuk meyakini dan beramal dengan sebuah

Page 22: Muqaddimah fiqh

pendapat (yang tidak bersesuaian dengan pendapatku), yaitu bila pendapat itu adalah pendapat yang diperselisihkan oleh para ulama.” Dalam pernyataannya yang lain beliau berkata;

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنتترى غيره فال تنهه

“Janganlah engkau melarang seorang melakukan amalan yang tidak sesuai dengan pendapatmu, yaitu jika masalahnya adalah masalah yang diperselisihkan.”[18]

2. Syaikh Taqiyuddin –rahimahullah- berkata;

ة وال إجمzzاع ولالجتهzzاد فيهzzا ن zzألة س zzإذا لم يكن في المس دا مساغ فال ينكر على من عمل بها مجتهدا أو مقل

“Tidaklah diingkari amalan seorang yang berbeda, baik orang yang mengamalkannya itu adalah seorang mujtahid atau seorang muqallid, yaitu dalam permasalahan yang dibenarkan adanya ijtihad didalamnya, tidak bersinggungan dengan nash hadits dan tidak

Page 23: Muqaddimah fiqh

pula bertolak belakang dengan ijma’ para ulama.[19]”

3. Imam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata;

التفرق واالختالف المخالف لالجتماع واالئتالف حتى يصzzير بعضzzهم يبغض بعضzzا ويعاديzzه ، ويحب بعضzzا ويواليzzه على غير ذات اللzzه ، وحzzتى يفضzzي األمzzر ببعضzzهم إلى الطعن واللعن والهمzzز واللمzzز ، وببعضzzهم إلى االقتتzzال باأليzzدي والسzzالح ، وببعضzzهم إلى المهzzاجرة والمقاطعzzة حzzتى ال يصلي بعضzzهم خلzzف بعض ، وهzzذا كلzzه من أعظم األمzzور التي حرمها الله ورسوله ، واالجتمzzاع واالئتالف من أعظم

األمور التي أوجبها الله ورسوله.

Perbedaan pendapat yang berseberangan dengan prinsip-prinsip persatuan dan ukhuwah, yang menyebabkan timbulnya permusuhan, munculnya persahabatan yang tidak didasari karena Allah -ta’ala-, sebagian menuduh, melaknat, mencela, memerangi, memboikot, bahkan tidak lagi mau menjadi makmum di belakang saudaranya; seluruh hal ini adalah sebesar-besar perkara yang

Page 24: Muqaddimah fiqh

diharamkan Allah -ta’ala- dan rasul-Nya shallalahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya, persatuan dan saling mengasihi adalah sebesar-besar hal yang diwajibkan oleh Allah -ta’ala- dan rasul-Nya shallalahu ‘alaihi wasallam.

Berlapang Dada Atau Memberi Nasehat ?

Mengetahui akan wajibnya berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang dibolehkan, menyisakan satu pertanyaan;

Bolehkah atas dasar itu, seorang da'I tidak menyampaikan hukum yang diketahuinya dari sebuah masalah khilafiyyah ?.

Atau,

Bolehkah ia mendiamkannya -sebagaimana yang biasa ditempel pada meja khathib, "Jangan / tidak

Page 25: Muqaddimah fiqh

boleh menyinggung masalah khilafiyyah"- ?!,

Sesungguhnya, jika seorang mengetahui dan mengamalkan adab dalam berbeda pendapat, maka kekhawatiran-kekhawatiran yang diprediksi dapat timbul akibat beda pendapat tidaklah akan menyeruak dan kemudian menjadi masalah.

Dan sesungguhnya, kewajiban berlapang dada bukan merupakan hal yang bertolakbelakang dengan kewajiban memberi nasehat. Masing-masing sangat mungkin dijalankan, jika diiringi dengan niat yang tulus dan keinginan kuat untuk dapat beragama secara benar. Dalam bingkai inilah, sebuah diskusi alot, hiwar, mudaarasah atau apapun namanya, akan menjadi sesuatu yang indah dan bermanfaat -in sya Allah-. Dan dalam konteks inilah -diantaranya-, sebagian ulama kita mengatakan bahwa "perbedaan itu adalah rahmat".

Page 26: Muqaddimah fiqh

Demikian beberapa hal penting yang kami anggap perlu diketahui oleh seorang penuntut ilmu agar mereka dapat berjalan di atas manhaj yang benar dalam perjalanannya menuntut ilmu. Semoga Allah -ta’ala- mengaruniakan kepada seluruh kaum muslimin keikhlasan dan petunjuk dalam mengikuti sunnah rasul-Nya.

Wallahu Al-musta’aan

[1] Lihat Zaunuddin ar Raazi, Mukhtaaru Ash shihaah, hal 242, al-Maktabah al-Islamiyyah, Vol. 2

[2] Mu’jam Lughah Al-fuqaha.

[3] Muttafaq ‘alaihi.

[4]Lihat Al Mustshfa, oleh Abu Hamid Al Ghazaali, juz 1 hal. 195, dan juz 2, hal. 203.

Page 27: Muqaddimah fiqh

Lihat juga Bidayatul Mujtahid, oleh al Qhadi Ahmad bin Rusyd al Qurthubi, juz 1, hal. 5.

[5] Al Qaamuus al Fiqhi, oleh Dr. Sa’di Abu Habiib, hal. 184.

[6] Mudzakkirah Ushuul al Fiqh, oleh Syaikh Muhammad Amiin asy Syanqhithi, hal. 61

[7] Lihat Shahiih al Jaami’e, oleh Syaih Muhammad Nashiruddin al Baani, no 1848.

[8] Lihat al Mustashfa, juz, 2, hal. 203. Imam al Ghazaali mendefenisikannya dengan pernyataannya;

“ حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من إثبات حكم أو صفة أو نفيهما

عنهما ”

[9] H.R Muslim, juz 10, hal. 260.

[10] Lihat Al Mustshfa, oleh Abu Hamid Al Ghazaali, juz 1 hal. 195, dan juz 2, hal. 203. Lihat juga Bidayatul Mujtahid, oleh al Qhadi Ahmad bin Rusyd al Qurthubi, juz 1, hal. 5.

[11] H.R Hakim, juz 1, hal. 307.