13
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lepra merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia (Halim dan Menaldi, 2010). Indonesia merupakan penyumbang penderita lepra terbesar ketiga di dunia setelah India dan Brazil, sementara Provinsi Jawa Timur sendiri menduduki peringkat pertama di Indonesia sebagai penyumbang kasus lepra (Anonim 1 , 2010). Sampang, Sumenep, Tuban, dan Lamongan adalah kabupaten/kota yang memiliki prevalensi penyakit lepra diatas satu per 10.000 warga. Hingga tahun 2008 terdapat 17.441 penderita baru lepra (Anonim 2 , 2009 dalam Halim dan Menaldi, 2010). Prevelansi penyakit lepra di Indonesia tahun 2006 berdasarkan data WHO adalah 0,97/10.000 populasi (Anonim 3 , 2010 dalam Halim dan Menaldi, 2010). Menurut data profil kesehatan provinsi Jawa Timur (2010) Kusta tipe MB merupakan penyakit terbanyak ditemukan pada Rumah Sakit Sentinel di Provinsi Jawa Timur dengan presentase sebesar 0,51%. Untuk mengurangi angka prevalensi penyakit lepra maka pemerintah provinsi Jawa Timur harus mencanangkan program dalam memberantas penyakit melalui usaha preventif (pencegahan dini) dan atau memutuskan rantai penularan.

Micobacterium leprosy

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Indonesia menduduki angka prevalensi 3 berpenyakit lepra di dunia. dan jawa timur adalah provinsi penyumbang terbanyak nomer pertama di Indonesia. Maka pengetahuan tentang lepra kini dibutuhkan sebagai usaha preventif pendistribusian penyakit.

Citation preview

Page 1: Micobacterium leprosy

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangLepra merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan

di Indonesia (Halim dan Menaldi, 2010). Indonesia merupakan penyumbang

penderita lepra terbesar ketiga di dunia setelah India dan Brazil, sementara

Provinsi Jawa Timur sendiri menduduki peringkat pertama di Indonesia sebagai

penyumbang kasus lepra (Anonim1, 2010). Sampang, Sumenep, Tuban, dan

Lamongan adalah kabupaten/kota yang memiliki prevalensi penyakit lepra diatas

satu per 10.000 warga. Hingga tahun 2008 terdapat 17.441 penderita baru lepra

(Anonim2, 2009 dalam Halim dan Menaldi, 2010). Prevelansi penyakit lepra di

Indonesia tahun 2006 berdasarkan data WHO adalah 0,97/10.000 populasi

(Anonim3, 2010 dalam Halim dan Menaldi, 2010).

Menurut data profil kesehatan provinsi Jawa Timur (2010) Kusta tipe MB

merupakan penyakit terbanyak ditemukan pada Rumah Sakit Sentinel di Provinsi

Jawa Timur dengan presentase sebesar 0,51%. Untuk mengurangi angka

prevalensi penyakit lepra maka pemerintah provinsi Jawa Timur harus

mencanangkan program dalam memberantas penyakit melalui usaha preventif

(pencegahan dini) dan atau memutuskan rantai penularan.

Dari statement yang sudah dipaparkan di atas, maka penulis merasa

dibutuhkannya pengetahuan mengenai penyakit lepra dan sudut pandang lepra

secara mikrobiologi agar kita dapat mencegah dan memberantas penyakitnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berikut adalah rumusan masalah dari makalah ini adalah :

a. Apakah penyakit lepra itu?

b. Bagaimana cara mencegah dan menangani penyakit lepra?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

a. Mendeskripsikan mengenai penyakit lepra.

b. Menerapkan pencegahan dan penanganan penyakit lepra.

Page 2: Micobacterium leprosy

2

BAB II

ISI

2.1 Definisi Penyakit Lepra

Penyakit Lepra atau disebut juga dengan Kusta, yaitu penyakit infeksi yang

bersifat kronis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang

kulit dan saraf tepi dan selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran

nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis

(Amirudin dkk, 1997 dalam Lubis, 2008).

2.1.1 Etiologi Penyakit Lepra

Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae, yang ditemukan oleh

warganegara Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan sampai

sekarang belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Kuman Mycobacterium

leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alkohol

serta bersifat gram positif. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan

mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sistem retikulo

endotelial. Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan

rata-rata 3-5 tahun. Masa inkubasi berkaitan dengan pembelahan sel yang lama,

yaitu antara 2-3 minggu dan di luar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta

dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada

tikus pada suhu suhu 27-300C (Prawoto, 2008). M. lepra dimasukkan ke dalam

genus Mycobacterium, famili Mycobacteriaceae, ordo Actinomycetales, kelas

Schyzomycetes dengan bentuk pleomorf, lurus, batang ramping dan sisanya

berbentuk paralel dengan kedua ujungnya membulat. Basil ini menyerupai bakteri

bentuk batang gram positif, tidak bergerak, dan tidak berspora. Dengan mikroskop

elektron, bakteri inin akan terlihat gambaran ultrastruktur yang umumnya sama

dengan mikobakteria lain. M. leprae terdiri atas:

Kapsul: terdiri atas 2 macam lemak yaitu phtioceral dimycerosate, lemak

yang berperan sebagai protektif pasif dan phenolic glycolipid 1 (PGL1),

lemak dengan 3 molekul gula metilat yang melekat pada molekul fenol

pada lemak phtioceral. Kapsul lemak akan melindungi bakteri dari efek

toksis enzim lisosom dan metabolit oksigen reaktif lainnya dalam

Page 3: Micobacterium leprosy

3

makrofag host. Adaanya ikatan trisakarida spesifik pada PGL1 terhadap

laminin-2 lamina basalis sel schwan saraf menyebabkan M. leprae dapat

memasuki sel saraf perifer.

Dinding sel mempunyai ketebalan 20 nm yang terdiri atas 2 lapisan, yaitu:

a) Lapisan luar: transparan dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri

dari rantai cabang arabinogalaktan tersterifikasi dengan rantai panjang

asam nikolat, mirip dengan yang ditemukan pada mikobakterium lain

serta kompleks protein lipopolisakarida.

b) Lapisan dalam: terdiri atas peptidoglikan yang berbeda dengan

peptidoglikan mikobakteria lainnya, dimana L alanin diganti dengan

glisin.

Membran sel berada si bawah dinidng sel, penting untuk transportasi

molekul ke dalam dan ke luar mikroorganisme. Membran ini terdiri dari

lemak dan protein.

Sitoplasma merupakan isi sel dan terdiri dari granul – granul cadangan,

DNA, dan RNA (Amiruddin, 2013).

Gambar 1. Bakteri Mycobacterium leprae melalui pewarnaan metode Ziehl’s

2.1.2 Klasifikasi Penyakit Lepra

Sampai saat ini untuk klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah

klasifikasi Ridley dan Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,

hispatologis, dan mempunyai korelasi dengan tingkat immunologis, yaitu membagi

penyakit lepra dalam 5 tipe yaitu:

1. Tipe Tuberkoloid (TT);

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT);

3. Tipe Borderline (BB);

Page 4: Micobacterium leprosy

4

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL);

5. Tipe Lepromatous (LL).

Dalam pemakaian obat kombinasi (MDT) untuk pemberantasan penyakit lepra, maka

WHO mengelompokkan penyakit lepra atas dua kelompok berdasarkan jumlah lesi kulit

dan pemeriksaan apusa lesi kulit, yaitu:

1. Tipe Pausibasiler (PB) terdiri atas tipe Indeterminate (I), Tuberkuloid (TT),

Borderline Tuberkuloid (BT). Jumlah lesi sebanyak 1 hingga 5 lesi kulit. Hasil

pemeriksaan basil tahan asam (BTA) negatif.

2. Tipe Multibasiler (MB) terdiri atas tipe Borderline (BB), Borderline Lepromatous

(BL), Lepromatous (LL). Jumlah lesi lebih atau sama dengan 6 lesi kulit. Hasil

pemeriksaan BTA positif (Amiruddin dkk, 2013).

2.1.3 Epidemiologi Penyakit Kusta

Gambaran epidemiologis penyakit lepra adalah sebagai berikut:

a. Distribusi Menurut Tempat

Penyakit kusta tersebar di dunia dengan endemitas berbeda. Dari 122 negara endemis

tahun 1985, 98 negara telah mencapai elimanasi lepra dengan angka prevalensi < 1/

10.000 penduduk. Lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan dengan MDT pada

akhir 1999. Beberapa faktor yang dapa berperan dalam kejadian dan penyebaran lepra

yaitu: iklim (panas dan lembap), diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik.

Perkiraan jumlah penderita lepra di dunia pada tahun 2005 dan 2006 dapat dilihat pada

tabel di bawah ini:

Tabel 1. Situasi Penderita Lepra Menurut Regional WHO tahun 2005-2006 (diluar

regional Eropa)

Sedangkan situasi penderita kusta di Indonesia tahun 2000-2005 selengkapnya dapat

dilihat pada tabel di bawah ini:

Page 5: Micobacterium leprosy

5

Tabel 2. Situasi Penderita Lepra di Indonesia tahun 2000-2005

b. Distribusi Menurut Waktu

Pada tahun 2005 sebanyak 17 negara melaporkan 1000 atau lebih kasus baru, yang

semuanya menyumbang 94% kasus lepra baru di dunia. Secara global terjadi penurunan

kasus baru, tetapi sejak tahun 2002 terjadi peningkatan kasus baru di beberapa negara

seperti Republik Demokrasi Kongo, Philipina, dan Indonesia. Pada tahun 2005 Indonesia

menempati urutan ketiga dalam jumlah kasus baru setelah Brazil dan India.

c. Distribusi Menurut Orang

1. Distribusi Menurut Umur

Lepra dapat terjadi pada semua umur (antara 3 minggu sampai 70 tahun), terbanyak pada

umur muda dan produktif. Angka kejadian lepra meningkat sesuai umur dengan puncak

pada umur 20-30 kemudian menurun. Di Indonesia penderita lepra anak-anak dibawah 14

tahun sebanyak 13% tetapi anak dibawah 1 tahun jarang ditemukan.

2. Distribusi Menurut Jenis Kelamin

Penyakit lepra dapat mengenai laki-laki maupun perempuan. Insiden prevelansi laki-laki

lebih banyak daripada wanita. Menurut laporan WHO tahun 2001 di Indonesia insidensi

laki-laki lebih tinggi pada usia 15-19 tahun, sebaliknya pada wanita menurun pada

rentang usia tersebut (Prawoto, 2008).

2.2 Tanda – Tanda Penyakit Lepra

Tanda – tanda penyakit lepra bermacam – macam, tergantung dari tingkat atau tipe

dari penyakit tersebut. Adapun tanda – tanda umum pada penyakit ini yaitu:

Adanya bercak tipis seperti panu pada badan / tubuh manusia

Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin

melebar dan banyak

Page 6: Micobacterium leprosy

6

Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis

magnus serta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi

tipis dan mengkilat

Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit

Rambut alis rontok

Muka berbenjol – benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)

Gejala – gejala umum pada lepra, reaksi:

Panas dari derajat rendah sampai dengan mengginggil

Anoreksia

Nausea, kadang – kadang disertai vomitus

Cephalgia

Kadang – kadang disertai iritasi, orchitis, dan pleuritis.

Kadang – kadang disertai dengan nephrosia, nepritis, dan hepatospleenomegali

Neuritis (Zulkifli, 2003).

2.3 Pengobatan Penyakit Lepra

Pengobatan penyakit lepra dilakukan dengan Dapson 1952 di Indonesia,

memperhatikan hasil yang cukup memuaskan, hanya saja pengobatan mono terapi ini

sering mengakibatkan timbul masalah resistensi, hal ini disebabkan karena;

Dosis rendah pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat dari reaksi lepra

Waktu makan obat sangat lama sehingga membosankan, akibatnya penderita

makan obat tidak teratur

Selain menggunakan Dapson (DDS), pengobatan penderita lepra dapat menggunakan

Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan

kulit yang bersisik).

2.4 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Lepra

Sampai saat ini ada berbagai penelitian vaksin untuk penyakit lepra, salah satu

diantaranya adalah vaksin BCG, baik menggunakan BCG saja maupun dengan

menggunakan campuran BCG dan kuman M. leprae. Dalam upaya pengembangan vaksin

lepra, ada 2 pendekatan, yaitu:

1. Immunoprofilaksis yang merupakan upaya untuk mendapatkan kekebalan pada

orang sehat yang mempunyai risiko untuk tertular lepra.

2. Immuniterapi yaitu untuk memperbaiki sistem immunitas seluler pada penderita

lepra lepromatosa di daerah endemik kusta yang tinggi (Amiruddin, 2013).

Page 7: Micobacterium leprosy

7

Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman lepra yang masih utuh bentuknya,

lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh.

Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana lepra dapat dihancurkan, sehingga

penularan dapat dicegah. Pengobatan pada penderita lepra adalah salah satu cara

pemutusan mata rantai penularan. Kuman lepra diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48

jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dengan cuaca di luar tubuh

manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman lepra mati. Jadi dalam hal

ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-

tempat yang lembap.

Penanggulangan penyakit lepra telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud

mengembalikan penderita lepra menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktid, dan

percaya diri. Metode penanggulangannya yakni berupa: metode pemberantasan dan

pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial,

rehabilitasi karya, dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari

rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat dapat membaur, sehingga tidak ada

kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut adalah sistem yang saling berkaitan dan

tidak dapat dipisahkan (Zulkifli, 2003).

Page 8: Micobacterium leprosy

8

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit lepra adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam (BTA)

Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi. Angka prevalensi lepra di Indonesia,

khususnya provinsi Jawa Timur sangat tinggi. Sehingga dibutuhkan pengetahuan

mengenai pengenalan, pencegahan dan pemberantasn terhadap penyakit lepra.

3.2 Saran

Harus ada penelitian lebih lanjut mengenai pemberantasan mikroba penyebab

penyakit lepra secara mikrobiologi.

Page 9: Micobacterium leprosy

9

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, M.D., dkk. 2013. Penyakit Kulit di Daerah Tropis Penyakit Kusta

dalam Bidang Kedokteran. LKPP Universitas Hasanudin.

Anonim1. 2010. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Dinas Kesehatan.

Anonim2. 2009. Online. Available from: (http: //cetak. kompas. com/read

/xml/2009/06/15/03432442/prevalensi.turun.indonesia.belum.aman.dari.kusta)

Jakarta: Kompas

Anonim3. 2010. Online. Available from: World Health Organization. South

East Asia region: Leprosy situation by country at the end of 2006. (http:

//www.who.int/lep/situation/ SEA-ROStatsEnd2006.pdf) Switzerland: WHO.

Lubis, R.D. 2008. Anemia Pada Penyakit Kusta. Departemen Ilmu Kesehatan

Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Prawoto. 2008. Faktor – Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap

Terjadinya Reaksi Kusta. Magister Epidemiologi Program Pascasarjana

Universitas Diponegoro.

Zulfikli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.