15
Hubungan Maqasid Al-Syari’ah dengan beberapa Metode Ijtihad KELOMPOK 6

Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Hubungan Maqasid Al-Syari’ah dengan beberapa

Metode Ijtihad

KELOMPOK 6

Page 2: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Maqashid merupakan bentuk jama’ dari -مقصد secara bahasa الشريعة maksud, tujuan قصدadalah tempat menuju ke sumber air tanpa terputus الشريعة secara makna syar’i adalah Sesuatu yang ditetapkan Allah SWT untuk hambanya berupa ajaran agama. Korelasi makna bahasa dan makna syar’I merupakan jalan ke arah sumber pokok kehidupan. مقاصد الشريعة berarti tujuan dan fungsi syariat berupa mendatangkan kemaslahatan, baik dalam bentuk mewujudkan maupun memelihara kemaslahatan tersebut.

Maqashid Syari’ah adalah konsep untuk mengetahui nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Hadits, ditetapkan oleh al-Syari' terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat (sekunder), dan Tahsiniat (tersier).

A. Pengertian

Page 3: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Ibnu Qayyim dan al-syatibi sepakat bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam .

Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.

Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat dharury, hajiy dan tahsiny.

B. Syari’ah ditetapkan Untuk Kemashlahatan Hamba di Dunia dan di Akhirat

Page 4: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Ijtihad merupakan pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar’i. ijtihad ini biasa digunakan oleh ahli ushul fiqih untuk mencari kemaslahatan suatu masalah. Berbagai macam istilah telah digunakan oleh ahli ushul fiqih untuk menyebut metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya semua metode tersebut bermuara pada upaya penemuan maslahat dan menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang permasalahannya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Maka atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa setiap metode penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli ushul fiqih bersumber dari Maqashid Al-Syari’ah.

C. Hubungan Antara Maqashid Al-Syari’ah Dengan Beberapa Metode Ijtihad

Page 5: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Adapun hubungan antara Maqashid Al-syari’ah dengan beberapa metode ijtihad dapat dikemukakan dalam beberapa aspek maslahat yang dapat dilihat dari:

1. Qiyas Dalam ilmu fiqih, qiyas pada umumnya dirumuskan sebagai kiat

untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara menyamakan dengan kasus yang terdapat dalam nash, disebabkan persamaan illat hukum. Berdasarkan rumusan ini maka dalam menggunakan metode qiyas, paling tidak empat unsur yang harus ada yaitu ‘ashl, far’u, hukmu al-‘ashl, dan illat. Dari keempat unsur itu unsur yang terakhir yaitu illat, sangat penting dan sangat menentukan. Ada atau tidak adanya suatu hukum dalam kasus baru sangat tergantung pada ada atau tidak adanya illat pada kasus tersebut.

Berbicara tentang illat perlu ditelusuri pengertiannya dalam perbedaan serta hubungan dengan hikmat. Dalam ilmu ushul fiqih, illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dapat diketahui secara obyektif ( zhahir ), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya dan sesuai dengan ketentuan hukum yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyari’atkan hukum dalam wujud kemasalahatan bagi manusia. Jadi perbedaan antara keduanya terletak pada peranannya dalam menentukan ada atau tidak adanya hukum. Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum. Sedangkan hikmat merupakan tujuan yang jauh dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum.

Page 6: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Adapun contoh yang sering digunakan oleh ahli ushul fiqih adalah mengenai shalat qashr. Untuk menetapkan boleh atau tidaknya shalat qashr telah ditetapkan bahwa berpergian merupakan illat dibolehkannya shalat qashr. Sedangkan kesulitannya merupakan hikmat dibolehkannya shalat tersebut. Jadi boleh atau tidaknya shalat qashr tergantung pada ada atau tidak adanya illat, yaitu berpergian sebab berpergian dianggap sebagai indicator adanya kesulitan. Sedangkan dalam bidang mu’amalah biasanya dikemukakan tentang hak syuf’at yaitu hak pembelian bagi seseorang yang berserikat dengan penjual dalam sebidang tanah atau tempat tinggal. Dalam hal ini persekutuan merupakan illat adanya hak syufa’at. Sedangkan hikmatnya adalah untuk menghindari kesulitan yang timbul disebabkan masuknya orang lain yang bukan sekutunya, dengan demikian persekutuan dijadikan adanya hak syuf’at. Karena diasumsikan bahwa karena masuknya unsur lain dalam persekutuan itu akan terjadi kesulitan.

Page 7: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Perlu ditambahkan bahwa meskipun contoh diatas mewakili dua aspek ilmu fiqih, ibadah dan mu’amalah namun perlu dibedakan antara illat dalam bidang ibadah dan illat dalam bidang mu’amalah. Dalam bidang bidang ibadah illat tidak boleh lebih dari sekedar manfa’at tidak ada pengaruhnya terhadap istinbath hukum. Dengan kata lain illat dalam bidang ibadah tidak efektif. Karena itu pada dasarnya qiyas dalam bidang ibadah tidak dapat diberlakukan. Sedangkan dalam bidang mu’amalah illat berlaku efektif dalam menetapkan hukum. Hal ini didasarkan pada satu teori, bahwa pada dasarnya aspek mu’amalah dapat diketahui hikmat dan rahasianya, sedangkan aspek ibadah tidak demikian.

Page 8: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Berdasarkan pernyataan diatas dapat dipahami bahwa dalam qiyas penemuan illat dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara metode qiyas dengan metode Maqashid Al-Syari’ah. Para ahli ushul fiqih mengolaborasikan keterkaitan antara keduanya. Menurut mereka hikmat baru dapat dijadikan illat setelah diketahui dan ditelusuri maksud disyari’atkan hukum itu. Dalam menentukan maksud dan tujuan hukum itu tidak dapat diabaikan pemahaman tentang mashlahat dan mafsadat yang merupakan inti dari kajian maqashid al-syari’ah.

Page 9: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

2. Istihsan Istihsan menurut istilah yaitu beralihnya pemikiran

seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada qiyas yang samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena ada mashlahat yang memenangkan perpindahan itu. Metode ini erat kaitannya dengan maqashid al-syari’ah.

Adapun beberapa macam istihsan yang langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan teori maqashid al-syari’ah yaitu :

a. Istihsan bi al-Nash yaitu istihsan berdasarkan pada nash lain yang menghendaki tidak berlakunya dalil yang pertama. Dalil yang pertama bersifat khusus sedangkan dalil yang kedua bersifat umum.

Contoh : Jual-beli salam, pada dasarnya jual beli salam itu

dilarang sebagaimana hadits nabi yang menjelaskan bahwa “janganlah kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu” akan tetapi nabi sendiri yang mengecualikan ketentuan itu untuk jual beli salam. Adapun hikmat dibenarkan jual-beli tersebut adalah untuk membantu pedagang yang tidak punya modal yang cukup sehingga ia memperoleh modal tambahan bagi calon pembeli. Hal ini pada umumnya untuk memelihara harta pedagang tersebut sekaligus mengembangkannya. Lebih dari itu akad ini mencerminkan kemudahan bermu’amalah. Memelihara harta dalam berbagai peringkat kebutuhannya termasuk ruang lingkup maqashid al-syari’ah.

Page 10: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

b. Istihsan bi al-mashlahat yaitu istihsan yang didasarkan pada mashlahat dalam berbagai peringkatnya padahal qiyas sendiri tidak menghendaki demikian. Adakalanya mashlahat itu masuk peringkat dharuriyat dan adakalanya masuk hajiyat. Sebenarnya berbicara tentang istihsan maka sudah dipastikan bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh kemashlahatan. Hanya saja kemashlahatan yang dimaksud adakalanya ditentukan oleh nash dan adakalanya tidak. Dalam hal yang disebut terakhir maka peranan mujtahid sangat penting untuk mengidentifikasi jenis kemaslahatan sekaligus memperhatikan peringkat kemaslahatan.

Page 11: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

3. Al-Mashlahat Al-Mursalat Sebagaimana halnya metode ijtihad lainnya al-

mashlahat al-mursalat juga merupakan metode penetapan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadits. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek mashlahat secara langsung. Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu ushul fiqih dikenal ada tiga macam mashlahat yaitu mashlahat mu’tabara yaitu mashlahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits. Maslahat mulghat yaitu maslahat yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum islam. Yang terakhir maslahat mursalat yaitu maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber hukum islam tersebut.

Page 12: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Pada dasarnya mayoritas ahli ushul fiqih menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunkan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Adapun beberapa syarat menurut Al-Ghazali agar maslahat dapat dijadikan dasar hukum adalah sebagai berikut :

1. Kemaslahatan itu termasuk dalam kategori dharuriyyat. Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan tingkat keperluannya harus diperhatikan. Apakah sampai mengancam lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tsb.

2. Kemaslahatan itu bersifat qath’i. Artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut benar-benar telah diyakini sebagai maslahat, tidak didasarkan pada dugaan (zhan) semata-mata.

3. Kemaslahatan itu bersifat kulli. Artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif tidak bersifat individual.

4. Berdasarkan persyaratan diatas maslahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode mashlahat mursalat dengan maqashid al-syari’ah. Ungkapan Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkan hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan kesulitan.

Page 13: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

4. Saddu Al-Zari’at Saddu Al-Zari’at dapat diartikan sebagai upaya mujtahid

untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah. Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang. Metode ini lebih bersifat preventif artinya segala sesuatu yang mubah tetapi membawa kepada perbuatan yang haram maka hukumnya menjadi haram. Diantara kasus yang diselesaikan dengan metode ini adalah kasus pemberian hadiah kepada hakim. Seorang hakim dilarang menerima hadiah dari para pihak yang sedang berperkara, sebelum pekara itu diputuskan. Karena dikhawatirkan akan membawa kepada ketidakadilan dalam menetapkan hukum mengenai kasus yang sedang ditangani. Pada dasarnya menerima pemberian adalah boleh akan tetapi dalam kasus ini harus dilarang.

Page 14: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Para ahli ushul fiqih membagi zari’at menjadi empat macam yaitu :

1. Zari’at yang secara pasti akan membawa mafsadat, seperti menggali sumur dijalan umum yang gelap. Terhadap zari’at seperti ini para ahli ushul fiqih sepakat melarangnya.

2. Zari’at yang jarang membawa mafsadat, seperti menanam dan membudidayakan anggur. Meskipun buah anggur kemungkinan dapat dibuat minuman keras namun hal tersebut termasuk jarang. Karena itu ahli ushul fiqih menanam anggur tidak perlu dilarang.

3. Zari’at yang berdasarkan dugaan yang kuat akan membawa pada mafsadat seperti menjual buah anggur kepada orang atau perusahaan yang biasa memproduksi minuman keras. Dan zari’at ini harus dilarang.

4. Zari’at yang sering kali membawa mafsadat namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai dugaan yang kuat melainkan atas dasar asumsi biasa saja. Misalnya transaksi jual-beli secara kredit. Diasumsikan dalam transaksi tersebut membawa mafsadat terutama bagi debitur. Mengenai hal ini ahli ushul fiqih berbeda pendapat ada yang berpendapat perbuatan itu harus dilarang dan ada pula yang berpendapat sebaliknya.

Page 15: Hubungan maqasid dg metode ijtihad

Terlepas dari kategori mana zari’at yang harus dilarang yang jelas dapat dipahami bahwa metode saddu al-zari’at secara langsung berhubungan dengan memelihara kemaslahatan sekaligus menghindari kemafsadatan. Itulah gambaran ringkasan tentang teori tentang ijtihad dan hubungannya dengan maqashid al-syari’ah. Ijtihad dapat dikatakan sebagai metode dalam penetapan hukum Islam. Sebagai metode tentu memiliki melebihan dan kekurangan. Begitu pula dengan teori maqashid al-syari’ah. Teori ini dikembangkan oleh syaitibi dari kalangan malikiyah. Kelebihan dari teori ini adalah adanya usaha untuk menelusuri aspek mashlahat dalam bidang hukum sehingga kita dapat melacak apa tujuan Allah menetapkan suatu hukum tertentu.