Upload
iain-sunan-ampel-surabaya
View
4.291
Download
24
Embed Size (px)
Citation preview
TEORI DAN FUNGSI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM
A. Pengerrtian Konsumsi
Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun
konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama,
tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan
konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara
pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam
melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku
konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan
pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan
jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia
memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya
(resources) yang dimilikinya.1
B. Urgensi Konsumsi
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada
kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah
kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti
mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam
kehidupan.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan
mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-
roda perekonomian.2
C. Tujuan Konsumsi
1 Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
2 Ibid.,
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 1
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah
kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan
stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai
ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa
menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan,
tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi.
Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa
mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan
manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-
Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba
kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Karena itu tidak aneh, bila Islam mewajibkan manusia mengkonsumsi apa yang dapat
menghindarkan dari kerusakan dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan Allah kepadanya.
Sedangkan, konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar
dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya, baik kegiatan ekonomi
maupun bukan. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut
dengan teori: “Konsumen adalah raja”.3 Di mana teori ini mengatakan bahwa segala
keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk
memenuhi kebutuhan mereka sesuai kadar relatifitas keinginan tersebut. Bahkan teori
tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuannya
mengkonsumsi apa yang diinginkan.
D. Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam
berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain:4
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir. Harta diberikan Allah
SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi
3 Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas
University Press, 2006.
4 Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 2
digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah.
Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah
diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran. Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya
untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana
seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya
untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:
a. Menjauhi berhutang Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan
dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang
sangat terpaksa.
b. Menjaga asset yang mapan dan pokok. Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak
belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal.
Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk
membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.
3. Tidak hidup mewah dan boros. Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri
dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini
selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat.
Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi
nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama
karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena
biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.5
4. Kesederhanaan. Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah
sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan
pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk
menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar
bersifat pribadi.
6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah
untuk mewujudkan semangat islam.
5 Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), 1995.
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 3
7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh
agama islam.
E. Konsep Penting dalam Konsumsi
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau
kepuasan (manfaat).6 Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu
barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam
prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi)
dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan
sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan,
maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas
konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari
kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.
a) Kebutuhan (Hajat) "manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik
ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang
lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut
atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani,
makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu,
Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi
seluruh unsur tubuh".7
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang
kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di
sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari
unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan
kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki
manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan
anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani
kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus
6 Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
7 Ibid.,
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 4
berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan
penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan
potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga,
kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya
yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan
menjaga bumi dan isinya.
b) Kegunaan atau Kepuasan (manfaat) Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini
juga tercetak bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya
sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela
yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan
pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu
pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu
dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat
tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan
menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri.
Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang
dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.8
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi yang
dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an
mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan.
Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah
barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu,
barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan
tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh
anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya
kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak
negatif di kemudian hari.
8 Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta:
Rajawali Press, 2005.
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 5
F. Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility
atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum
syara' yang paling utama.9
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan
dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-
nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga
atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan
terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut
maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing
masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan
bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh
syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang
mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah
telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.
Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini
sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang
tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan
penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
a. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang
individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
9 Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006.
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 6
b. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan
berapa untuk maslahah jenis kedua
c. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya
yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka
mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat
pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang
menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal
yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang
memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua
barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep
'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita
perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah,
tahsiniyyah dan hajiyyah.
G. Prinsip-Prinsip Konsumsi
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu:10
1. Prinsip Keadilan Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan
tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak
bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada
dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan.
Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang
tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi
sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran
diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai
makanan untuk dimakan. Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang
dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2. Prinsip Kebersihan Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit
yang dapat merusak fisik dan mental manusia,11 misalnya: makanan harus baik dan cocok
untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam
10 Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas
University Press, 2006.
11 Ibid.,
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 7
arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang
dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR
Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor
dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup
makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR
Bukhari).
3. Prinsip Kesederhanaan Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan
merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini
mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan
hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam
menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia
sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa
kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan
berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
4. Prinsip Kemurahan hati. Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan
minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus
dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang
kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada
kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-
benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi
ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan
dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah
memberikan anugrah-Nya bagi manusia.
5. Prinsip Moralitas. Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus
dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata
memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk
keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 8
spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan
menyatakan terimakasih setelah makan.
H. Kaidah-Kaidah Konsumsi
Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam masalah konsumsi.
Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia tidak bisa memperolehnya, atau
tidak memiliki keinginan untuk mengkonsumsinya.12
Adapun konsumen muslim, maka dia komitmen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum
yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan
konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan
dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang selainnya.
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:13
1. Kaidah Syariah. Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan
konsumsi di mana terdiri dari:
a. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/
beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban
khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.
Jika seorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu
bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-
Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.
b. Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang
yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan dengannya, apakah merupakan
sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya,
maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai konsekuensi akidah dan ilmu
yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang
lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal
atau syubhat.
12 Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
13 Ibid.,.,
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 9
2. Kaidah Kuantitas. Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi
kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas
ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan
harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat. Boros dan pelit
adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial.
Karena itu terdapat banyak Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal
tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki
dampak-dampak yang buruk.
b. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam mengkonsumsi harus
disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.
c. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua kekayaan
digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan
itu sendiri.
3. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi. Yaitu, di mana konsumen harus
memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi
kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan
menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, yakni
nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni
memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer
kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan,
minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang
lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari
kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
c. Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam
kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana pemenuhan
kebutuhan primer dan sekunder.
4. Kaidah Sosial. Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas
dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga
tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 10
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya
suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain
juga akan merasakan sakitnya.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia
adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
c. Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan
memberikan madharat ke orang lain.
5. Kaidah Lingkungan. Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi
daya dukung sumber daya alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari
sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun non materi.
6. Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru. Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan
konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru
pola konsumsi masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya: suka
menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-
hamburkan harta.
I. Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami14
Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan
maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari
sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam
Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-
elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar
menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal),
keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang
dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada
setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi,
konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu
‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga
kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat
manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi.
Mencukupi kebutuhan – dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari
14 Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 11
aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam
beragama.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:15
1. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi
masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau
bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan
oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.
2. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini
sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang
tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan
penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu
produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Berdasarkan kelima elemen di
atas,maslahah dapat dibagi dua jenis: pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang
menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen
yang menyangkut hanya kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam akan
memiliki dua jenis pilihan:
1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan
berapa untuk maslahah jenis kedua.
2. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya
yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka
mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat.
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal
yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim.
Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa
yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua
barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep
‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita
perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah,
tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai berikut:
15 Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 12
1. Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi
penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen
dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual, keturunan dan keluarga
serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang
timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.
2. Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan.
Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi
melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.
3. Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya.
Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan
yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya
dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.
J. Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Perilaku Konsumen Konvensional16
Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya
tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan
sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik
mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus
dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari
ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam,
perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah
(hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).
Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Selain itu,
yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi
konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang
disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan
sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan bahwa umat
Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya .
K. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi.
16 Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali
Press, 2005.
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 13
Pendapatan memainkan yang sangat penting dalam teori konsumsi dan sangat menentukan
tingkat konsumsi. Selain pendapatan, sesungguhnya konsumsi ditentukan juga oleh factor-
faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:
1. Selera
2. Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan, dan keadaan keluarga.
3. Kekayaan
4. Keuntungan atau kerugian capital
5. Tingkat bunga
6. Tingkat harga
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa
(Pustaka Al-Kautsar Group), 2006.
Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas
University Press, 2006.
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 14
Joesron, Tati Suhartati. Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Salemba Empat, 2003.
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam),
1995.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta:
Rajawali Press, 2005.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006.
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Siddiqi, Muhammad Najetullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara,
1991.
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
Sukirno, Sadono. Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994.
Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro ,Yogyakarta: BPFE, 1998.
Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003
Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Muhammad Zulifan, “Seri Ekonomi Islam: Konsep Kebutuhan (1)”, dalam
http://muhammadzulifan. Multiply.com/journal/item/14 (17 Maret 2010)
Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 15