49
1 KAJIAN TERHADAP KEBERHASILAN REPRODUKSI: MELALUI PENDEKATAN BIOTEKNOLOGI REPRODUKSI TERNAK Dr. Ir. Mas Yedi Sumaryadi, MS. Fakultas Peternakan Unsoed Kotak Pos 110 Purwokerto 53123 I. PENDAHULUAN Dalam usaha peternakan yang ideal untuk mendatangkan keuntungan ekonomis adalah induk yang dipelihara mampu melahirkan anak yang sehat dengan selang beranak reltif pendek. Namun kenyataannya masalah yang dihadapi Indonesia sampai saat ini, bahwa peningkatan populasi di bidang peternakan baik sebagai penyangga produksi anak untuk menghasilkan daging maupun produksi susu dirasakan sangat lambat, terutama karena laju pemotongan jauh melebihi laju reproduksi induk yang ada (Soehadji, 1995).

Eb Biotik 1 Ar Masyedi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

1

KAJIAN TERHADAP KEBERHASILAN REPRODUKSI: MELALUI PENDEKATAN BIOTEKNOLOGI REPRODUKSI TERNAK

Dr. Ir. Mas Yedi Sumaryadi, MS.

Fakultas Peternakan Unsoed Kotak Pos 110 Purwokerto 53123

I. PENDAHULUAN

Dalam usaha peternakan yang ideal untuk mendatangkan keuntungan ekonomis adalah induk yang dipelihara mampu melahirkan anak yang sehat dengan selang beranak reltif pendek. Namun kenyataannya masalah yang dihadapi Indonesia sampai saat ini, bahwa peningkatan populasi di bidang peternakan baik sebagai penyangga produksi anak untuk menghasilkan daging maupun produksi susu dirasakan sangat lambat, terutama karena laju pemotongan jauh melebihi laju reproduksi induk yang ada (Soehadji, 1995).

Page 2: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

2

Terlepas dari laju pemotongan yang meningkat, rendahnya keberhasilan reproduksi juga merupakan penghambat utama peningkatan populasi. Keberhasilan reproduksi yang dimaksud adalah kemampuan menghasilkan jumlah atau bobot anak per satu siklus reproduksi. Dengan kata lain bahwa keberhasilan reproduksi untuk menghasilkan anak dalam satu siklus reproduksi, dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: kesiapan gamet jantan dan betina dan transport gamet hingga terjadi unifikasi gamet. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi di bidang reproduksi yang dikenal dengan bioteknologi reproduksi merupakan penerapan berbagai macam teknologi atau campur tangan manusia mengatur proses reproduksi secara biologis. Teknologi ini meliputi sex separation, manipulasi berahi dan multiple ovulation melalui perlakuan hormon eksogen maupun memperbanyak sumber (pabrik) penghasil hormon endogen, manipulasi in vitro fertilisasi, in vitro maturasi, manipulasi embrio dalam upaya melakukan in vitro produksi embrio untuk menunjang program embrio transfer.

Page 3: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

3

Perkembangan bioteknologi di bidang reproduksi ini dimulai pada awal abad ke-20 yang puncaknya dicapai saat kelahiran bayi tabung pertama Louis Brown pada tahun 70-an sampai berhasilnya proses cloning domba dolly pada tahun 1997 dari skandinavia group.

Berdasarkan hal tersebut perlu kiranya mengkaji beberapa keberhasilan teknologi dibidang reproduksi sebagai dasar untuk penerapan ilmu pengetahuan untuk menunjang keberhasilan reproduksi ternak di Indonesia.

Page 4: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

4

II. KAJIAN TERHADAP TEKNOLOGI SEX SEPARATION

2.1. Determinasi Sex

Sex atau jenis kelamin berasal dari kata Latin sexus artinya pemisahan. Sex didefinisikan sebagai perbedaan total jantan dan betina baik secara morfologis, fisiologis, maupun psikologis. Ini berarti meliputi

1)  genetik sex (distribusi kromosom sex selama pembelahan meiosis atau mitosis yang menghasilkan kromosom sex dalam gamet),

2) gonadal sex (morfogenesis gonadal yang berkaitan dengan corticomedullary), dan genital (fenotifik) sex (struktur genital pelengkap dan sekunder yang berkembang di bawah pengaruh regulasi endokrin) (Nalbandov, 1976; Hadley, 1984; McDonald, 1980; Berner dan Levy, 1991).

Genetik sex secara individual ditentukan oleh komplemen kromosom dari telur yang terfertilisasi yang secara langsung akan mempengaruhi diferensiasi gonad (Gordon dan Ruddle, 1981). Selanjutnya gonadal sex mengatur perkembangan fenotifik sex meliputi diferensiasi organ sex internal dan eksternal (Jost et al., 1973; Short, 1979).

Page 5: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

5

2.1.1. Genetik sex

Potensi jantan maupun betina telah ada pada setiap embrio. Umumnya individu berdiferensiasi menurut kromosom sexnya. Penentuan jenis kelamin secara genetik di dasarkan pada perbedaan bentuk kromosom kelamin X dan Y. Pada mammalia semua sel telur yang dihasilkan mempunyai kromosom kelamin X, tetapi spermatozoa berkromosom kelamin X dan Y. Pada proses pembuahan (fertilisasi) dihasilkan dua macam kromosom kelamin XX (homogametik) untuk betina dan XY (heterogametik) untuk jantan. Untuk unggas pasangan kromosom kelamin ZW (heterogametik, betina) dan ZZ (homogametik, jantan).

Sex jantan ditentukan secara positif oleh kromosom Y. Sex jantan normal memiliki 44 autosom kromosom komplemen dan dua sex kromosom (XY).

Sebaliknya sex betina sebagian ditentukan secara positif oleh adanya kromosom X dan secara negatif tidak adanya kromosom Y. Sex betina normal memiliki 44 autosom kromosom komplemen dan dua sex kromosom (XX).

Page 6: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

6

2.1.2. Gonadal sex

Gonad pada saat ini secara sexual masih bipotensi yang terdiri dari bagian dalam medulla dan bagian luar kortek masing-masing sebagai pengatur jantan dan betina. Medulla berperan mensekresi subtansi induktor jantan yang disebut medullarin, sedangkan krotek mensekresi subtansi induktor jantan yang disebut korteksin. Pada saat gen maskulinitas Y dari kromosom XY berhasil membuahi, bagian medulla berkembang di bawah pengaruh medullarin dan perkembangan korteks dihambat. Demikian sebaliknya pada saat gen feminim mendominasi dalam embrio XX, bagian medulla dihambat, dan korteks berkembang.

Diferensiasi testis berkaitan dengan adanya H-Y antigen. Dengan demikian sex primer ditentukan tidak hanya oleh ada tidaknya kromosom Y, tetapi ekspresi tidaknya H-Y antigen. Sel-sel XY membawa H-Y antigen yang berperan penting dalam perkembangan jantan (McDonald, 1980). H-Yantigen adalah protein yang dihasilkan oleh sel yang mengandung kromosom XY (Wachtel, 1979). Subtansi ini disekresi pada awal perkembagan embrional dan menyebabkan diferensiasi elemen gonad primordial. H-Y anti gen dipertimbangkan sebagai hormon protein yang diproduksi tersebar oleh sel-sel awal embrio. Tidak adanya H-Y antigen menyebabkan gonad mammalia akan berdiferendiasi membentuk ovarium.

Page 7: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

7

1.1.3. Genital sex (fenotifik)

Selama tahap tidak berdiferensiasi duktus muller maupun wolffian, keduanya masih tampak ada. Diferensiasi hasil duktus muller akan membentuk tuba fallopii yang berkaitan dengan uterus dan vagina. Sebaliknya duktus wolffian menghasilkan perkembangan epididimis, ductus deferens dan vesikula seminalis. Pada fetus jantan, sel-sel sertoli testes menghasilkan Mullerian Regression Factor (MRF). MRF bekerja menginduksi atropi duktus mullerian (Joso et al., 1977). Pemeliharaan dan perkembangan selanjutnya dari duktus wolffian tergantung adanya androgen testis.

Setelah diferensiasi gonadal, organ genitalia pelengkap berkembang di bawah pengaruh gonad. Pada saat testis telah dibentuk, sistem saluran betina (mullerian) regresi dan elemen jantan (wolffian) berkembang di bawah pengaruh agen morfogenik dari testis. Pada saat ovarium telah dibentuk, tidak adanya evocator testis menyebabkan sistem mullerian berkembang, sedangkan saluran wolffian regresi. Anti mullerian hormone (AMH) telah diisolasi dari testis sapi, kelinci dan manusia yang dihasilkan oleh sel sertoli fetus jantan (McDonald, 1980; Berner dan Levy, 1991).

Page 8: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

8

2.2. Anomali Sex

Beberapa kemungkinan terjadinya kelainan kromosom (Hafez, 1968) sebagai berikut.

Spermatozoa\ Sel telur ->      Normal Nondisjungsi

X            XX 0

Normal X            XX (betina) XXX X0

Y             XY (jantan) XXY Y0

Nondisjungsi XY           XXY 0 X0

Penggabungan kromosom kelamin pada saat fertilisasi menghasilkan susunan tidak normal (Nalbandov, 1976; McDonald, 1980; Berner dan Levy, 1991), antara lain:

Page 9: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

9

1. Turner's Syndrome, individu dengan jumlah kromosom 45 dan kromosom kelamin X0 sehingga bentuk tubuh eksterior betina, tetapi tidak mempunyai gonad atau rudimenter, bentuk badan dan kelenjar susu kecil.

2. Kneilfelter Syndrome, jumlah kromosom 47 dan kromosom kelaminnya berupa XXY sehingga individu ini mempunyai testis yang tidak berkembang, bentuknya kecil dan tidak ada spermatozoa.

3.  Superfemale, individu yang mempunyai kromosom kelamin XXX, sehingga kelenjar susu sangat besar tetapi tanda kelamin sekunder tidak berkembang dan umumnya infertil.

4.  Freemartin, betina steril yang lahir kembar bersama jantan. Individu freemartin secara genetik betina (mempunyai kariotip XX) yang dimodifikasi secara langsung oleh faktor maskulin dari heterosigot jantan pasangan kembarnya, karena evokator dari jantan masuk melalui anastomosis pembuluh darah plasenta yang mempengaruhi sebelum perkembangan ovarium dan sistem mullerian betina (Lllie, 1961). Sekitar 91.4% sapi betina yang lahir kembar bersama jantan adalah steril (Robert, 1971)

2.3. Sex Ratio (Imbangan Jenis Kelamin)

Imbangan jenis kelamin didefinisikan sebagai persentase dari jantan atau jumlah jantan per 100 betina. Pada seluruh betina normal akan membawa kromosom X, sedangkan 50% spermatozoa membawa kromosom X dan 50% membawa kromosom Y, sehingga secara teoritis 50% dari sigot hendaknya berupa jantan dan 50% betina.

Page 10: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

10

Imbangan jenis kelamin dibedakan menjadi tiga: primer, sekunder, dan tertier (Nalbandov, 1976).

Imbangan jenis kelamin primer adalah angka yang menunjukkan perbandingan jumlah jantan terhadap jumlah betina pada waktu konsepsi (fertilisasi-lahir). Ini adalah nilai teoritis, namun dapat didekati dengan pemeriksaan teknik sex chromatin yang hanya dimiliki betina pada awal perkembangan embrio melalui biopsi sel atau pemeriksaan antimullerian hormon pada jantan.

Imbangan jenis kelamin sekunder adalah angka yang menunjukkan perbandingan jumlah jantan terhadap jumlah betina pada waktu lahir. Oleh karena selama prenatal bisa terjadi kematian yang tidak seimbang antara jantan dan betina.

Imbangan jenis kelamin tertier adalah angka yang menunjukkan perbandingan jumlah jantan terhadap jumlah betina pada setiap waktu postnatal seperti pubertas.

Beberapa faktor yang mengubah imbangan jenis kelamin antara lain seleksi genetik (inbreeding dan seleksi), frekuensi ejakulasi, dan paritas induk. Usaha-usaha untuk mengubah imbangan jenis kelamin antara lain:22

Page 11: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

11

1. Pemisahan spermatozoa X dan Y di luar tubuh melalui: a). Ionisasi dengan elektroforesis

(Schroeder, 1941), perbedaan membran potensial menginduksi migrasi spermatozoa Y bergerak menuju katoda dan X ke anoda, b). Sentrifugasi (Lindaal, 1956), spermatozoa Y di bagian atas (lebih ringan dan X di bawah), c). Filterisasi dengan kolom sepadex, spermatozoa Y keluar dari kolom (lebih kecil), dan X tertahan.

2. Mengatur lingkungan di dalam saluran kelamin betina agar ingkungan tersebut menjadilebih baik untuk spermatozoa X daripada Y atau sebaliknya melalui regulasi nutrisi dan biokimiawi, (Y senang lingkungan asam).

3. Pemanfaatan bioteknologi reproduksi melalui pemberian: a) Hormon eksogen, b) Transfer embrio (Callesen et al., 1996) melalui determinasi kelamin embrio dengan menggunakan probe DNA Y-spesifik (Madan dan Palta, 1996).

Page 12: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

12

III. KAJIAN TERHADAP MANIPULASI BERAHI

DAN POGRAM MULTIPLE OVULATION

Berahi atau micati (bahasa jawa/Banyumas) atau estrus merupakan bagian dari fase dalam dur berahi yang berjalan sepanjang tahun pada betina yang normal. Dalam satu daur berahi terdapat empat fase yaitu 1). Proestrus, yaitu saat menjelang berahi, 2 ) Estrus, yaitu berahi yang sesungguhnya saat betina siap menerima pejantan untuk kawin, 3). Metestrus, fase setelah berahi saat betina sudah tidak mau menerima pejantan untuk kawin, 4). Diestrus, fase luteal saat dihasilkan progesteron yang menghalangi timbulnya berahi.

Berahi adalah saat yang paling penting dalam tinjauan reproduksi ternak,

karena proses perkawinan hanya dapat terjadi pada saat ini, sedangkan

timbulnya berahi terjadi dalam siklus (daur) yang berjalan setiap 17-21 hari

sekali. Oleh sebab itu jika saat berahi ternak tertunda atau telambat

dikawinkan, maka berahinya baru dapat timbul pada berikutnya.

Page 13: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

13

Siklus berahi adalah integrasi hubungan antara hormon hipotalamus (GnRH)-hipofise (FSH-LH) ovarium (Estrogen-progesteron) uterus (prostaglandin). Selama satu siklus berahi ditandai dengan fase petumbuhan dan perkembangan folikel (fase folikuler 2-4 hari) dan fase pembentukan korpus luteum (fase luteal 13-15 hari). Berdasarkan hormon yang dihasil kan dan lama fase folikel maupun luteal dalam satu siklus berahi, kita dapat melakukan manipulasi berahi maupun multiple ovulasi (superovulasi).

Page 14: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

14

3.1. Cara Manipulasi Berahi

3.1.1. Secara alami, sinkronisasi berahi dapat dilakukan dengan mencampurkan betina yang sudah pernah beranak ke dalam satu kandang dengan ternak jantan. Setelah dikumpulkan kurang lebih satu minggu, kambing-kambing betina dalam satu kandang akan mengalami berahi secara bersamaan atau hampir bersamaan, dengan imbangan 1:8 (1 pejantan : 8 betina).

Kehadiran pejantan menyebabkan rangsangan fisiologis melalui penglihatan, suara atau bau sehingga meningkatkan proses ovulasi dan aktivitas berahi (Callaghan et al., 1994). Rangsangan ini tidak selamanya terjadi bila pejantan selalu disatukan dengan betina. Bila induk demikian disatukan atau didekatkan dengan pejantan selama 6 hari, berahi akan terjadi dengan diikuti oleh ovulasi. Dengan demikian pejantan sebaiknya didekatkan pada betina pada akhir periode menyusui anak.22

Page 15: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

15

3.1.2. Secara Hormonal, dilakukan dengan menggunakan terapi hormonal baik injeksi (i.m. atau s.c), implantasi s.c. (penanaman bawah kulit implan silastik), CIDR (controlled internal drug releasing) intravaginal sponge, device, capsul, dan preparat aktif secara oral. Hormon-hormon yang dapat digunakan untuk manipulasi berahi antara lain:

a. Prostaglandin F2` (merk dagang Reprodin Bayer, Prosolvin Intervet, Lutalyse [Dinopros

Tromethamine) Upjohn, dan Estrumet) dilaksanakan dengan penyuntikan secara intra muskular dosis 5-7.5 mg. Dilakukan injeksi prostaglandin (PGF2`), sehingga ternak akan mengalami berahi 72 jam setelah injeksi intramuskuler, sebagian besar akan mengalami berahi setelah 29-44 jam atau pada rataan 44 jam. Namun seringkali harus dilakukan injeksi ganda dengan interval 11 hari.

b. Progesteron derivat Medroxyprogesterone acetate (60 mg) dengan merk dagang Repromap

(buatan pabrik Upjohn). Preparat ini berbentuk spon/busa dengan diameter 2 cm dan panjang 5 cm yang diberi tali plastik. Dapat pula digunakan sponge intravagina yang

Page 16: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

16

mengandung larutan progestagen sintetik berdaya (Sc-9880 atau Cronolone) dengan dosis 30-45 mg Cronolone diletakkan dalam vagina selama 14-16 hari bila perlakuan ini dimaksudkan untuk menghambat berahi dan untuk mengatasi distribusi acak stadium perkembangan folikel pada ruminansia kecil. Setelah spons dikeluarkan kambing akan menjadi berahi 24-72 jam kemudian. Untuk keberhasilan mengawinkan, biasanya setelah pengeluaran spons dilakukan injeksi tunggal 350-750 IU PMSG (Prenant Mare’s Serum Gonadotropin). Pemberian progestagen aktif-oral bersama pakan (Melengestrol Asetat [Upjohn]) selama 13-16 hari dan hewan akan berahi tiga hari setelah pemberian dihentikan. Digunakan implan silastik karet silikon yang mengandung MGA ditanamkan di bawah kulit di daerah leher selama 17-50 hari, setelah pengeluaran implan tadi, 24-72 jam kemudian ternak akan mengalami berahi. Dapat pula dilakukan dengan penyuntikan larutan progesteron untuk menstimulasi fase luteal dilaksanakan dengan penyuntikan berulang selama 13-16 hari.

c. Estradiol biasanya digunakan derivat oestradiol benzoat (OB), estron, estriol, dan estrogen 17-a.

Page 17: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

17

3.2. Multiple Ovulation and Embryo Transfer (MOET)

Untuk superovulasi biasanya GnRH, FSH-LH (Pluset, folltropin), PMSG-HCG (Foligon-Chorulon, Intervet, Pregnecol). Pada saat ini penggandaan ovulasi dapat dilakukan melalui metode immun terhadap estradiol, inhibin, dan androstenodion sebagai hormon-hormon yang secara fungsi fisiologis akan melakukan feed back negative terhadap hipofise untuk menghambat sekresi FSH. Dengan proses immunisasi akan menstimulasi pembentukan antibodi yang akan mengikat ketiga hormon (antigen) dari sistem sirkulasi, sehingga sekresi FSH tidak terhambat dan tumbuh kembang folikel terus beralngsung (Uoc et al., 1992; Norman, 1995; Tsonis, 1995). Laju ovulasi dapat ditentukan dengan metode laparascopy.

Page 18: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

18

Page 19: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

19

Page 20: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

20

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mengevaluasi keberhasilan program MOET (Callesen et al., 1996) adalah :

1). Superovulasi dari ternak donor (respon, waktu, dan efek superovulasi)

2). Seleksi dan penggunaan resipien (dara vs induk, sinkronisasi resipien, dan pengulangan transfer)

3). Problem selama embrio transfer (evaluasi korpus luteum, deposisi embrio, purpureum) 4). Kejadian selama kebuntingan (laju kebuntingan, estrus selama bunting, laju abortus) 5). Sifat-sifat anak yang dilahirkan ( jumlah anak, sex ratio, distokia)

Page 21: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

21

IV. KAJIAN TERHADAP BIOTEKNOLOGI PRODUKSI DAN TRANSFER EMBRIO

4.1. Sel Telur dan Spermatozoa

Program produksi embrio untuk program embrio transfer (Suzuki, 1993) dapat dilakukan, antara lain :

3.1.1.  Secara konvensional (in vivo) melalui flushing dengan metode surgical maupun non surgical.

3.1.2.  Secara in vitro embryo production (IVEP), sehingga diperlukan sumber ovum (sel telur) dan spermatozoa.

Page 22: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

22

Page 23: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

23

Page 24: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

24

Page 25: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

25

Page 26: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

26

Page 27: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

27

Page 28: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

28

Page 29: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

29

Page 30: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

30

Page 31: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

31

Page 32: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

32

Page 33: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

33

Page 34: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

34

Page 35: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

35

Page 36: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

36

Page 37: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

37

Page 38: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

38

Page 39: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

39

Page 40: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

40

Page 41: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

41

Page 42: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

42

Page 43: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

43

Page 44: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

44

Page 45: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

45

Page 46: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

46

Page 47: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

47

Page 48: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

48

Page 49: Eb Biotik 1 Ar Masyedi

49