27
KELAS E MBTI 2011 PUTRI DAMATASHIA 1201110183

Corporate governence

Embed Size (px)

Citation preview

KELAS E MBTI 2011PUTRI DAMATASHIA

1201110183

Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntanbilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai.

Suatu kasus mengenai tidak sah nya suatu rapat umum luar biasa poerseroan terjadi pada PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 878/ K/SIP/19798 TANGGAL 23 MARET 1974 dalam perkara antara Sukarna (penggugat) dan PT Dasawarga (tergugat). Berdasarkan akta notaris Kurniati Endang tanggal 1 Agustus 1968 penggugat bersama-sama Rosjati, Cornelius Supena, Sinah Supena, Tirto Santoso, Henry Suwandi, Ny Dedeh mendirikan sebuah perusahan yaitu PT Dasawarga yang kemudian diganti namanya menjadi PT Dasawargaria.

Di tingkat banding, putusan pengadilan tinggi bandung dalam putusannya no 307/1973/perd/ptb tanggal 9 februari 1974 memutuskan yang amarnya berbunyi : Menbatalkan putusan pengadilan negeri di bandung no

146/72/c/bdg tanggal 8 februari 1973 Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima

Di tingkat kasasi majelis hakim mahkamah agung memberikan putusannya NO. 878/ K/SIP/19798 TANGGAL 23 MARET 1976 yang amarnya berbuny : Menerima permohonan kasasi dari penggugat Membatalkan putusan pengadilan tinggi bandung

no.307/1973/perd/ptb tanggal 9 februari 1974 dan putusan pengadilan negeri di bandung no 146/72/c/bdg tanggal 8 februari 1973

Membatalkan keputusan rapat luar biasa para pemegang saham PT Dasawargaria tanggal 13 Februari 1971

Majelis hakim kasasi berpendapat bahwa dengan tidak berubahnya status penggugat pada masa sebelum tanggal 13 Februari 1971 maka soal jatah minyaknya kembali seperti semula.

Kasus penyimpangan penjualan saham terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung No.556 K/Sip/1979 Tanggal 7 April 1981dalam perkara antara Rahman Sugiarto (penggugat) dan I Cheung Yin Lun (tergugat) . Kasus ini berawal dibelinya saham-saham PT Golsindo sebanyak 250 lembar oleh penggugat dengan akta notaris D. Muljadi, S.H,No.94 dari Tuan Thomas Suseno. PT Galsindo merupakan perusahaan joint adventure yang modalnya 75% saham para tergugat dan 25% saham penggugat.

Menurut penulis, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Selatan, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Putusan Mahkamah Agung itu sudah tepat dan benar. Beberapa hal yang dijadikan sebagai bahan pembenaran adalah : Tergugat I dan Tergugat II tidak mempunyai hubungan hukum dengan Penggugat

karena Penggugat adalah pihak luar yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan PT Golsindo.

PT Golsindo merupakan sebuah Perusahaan Joint Venture dengan Tergugat I dan Tergugat II sebagai peserta asing dan Thomas Suseno sebagai Direktur PT Pantja Muda Plastic Factory sebagai peserta Indonesia.

Berdasarkan Akta Notaris Djojo Muljadi, S.H. pada tanggal 27 Agustus 1971 No. 94 memang betul Penggugat telah membeli 250 lembar saham PT Golsindo dari Thomas Suseno yang bertindak sebagai kuasa dari dan untuk atas nama PT Pantja Muda Plastic Factory.

Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan Penggugat ternyata Penggugat belum dapat menunjukkan suatu persetujuan dari Badan Penanaman Modal Asing untuk sahnya Penggugat menjadi Pemegang Saham dari PT Golsindo itu hingga dengan demikian Penggugat belumlah menjadi Pemegang Saham dari PT Golsindo.

Dari Putusan Mahkamah Agung ini, terdapat kaidah hukum, yakni jual beli saham termaksud adalah bersyarat, sebab digantungkan pada persetujuan menteri, karena persetujuan ini belum ada, maka menurut hukum perjanjian tersebut belum ada.

Suatu perkara mengenai tanggung Perseroan Terbatas terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 597 K/Sip/1983 tanggal 8 Mei 1984 dalam perkara antara Ny. Sardjiman P.S. (Penggugat) melawan Subardi (Tergugat I) dan PT Sapta Manggala (Tergugat II).

Duduk perkaranya adalah pada bulan Februari 1979 Tergugat I secara berturut-turut telah mengambil bahan bangunan dari penggugat untuk keperluan proyek bangunan Tergugat I dan Tergugat II seharga Rp. 1.625.625, yang belum dibayar, sehingga menimbulkan kerugian bagi Penggugat.

Dengan gugatan tersebut Pengadilan Negeri Yogyakarta memberikan putusannya No. 88/1979/Pdt/G/PN.YK tanggal 2 September 1980 yang amarnya: Menetapkan adanya hubungan hukum jual beli alat-alat bahan bangunan

antara Penggugat dan Tergugat dimana Tergugat mempertanggungjawabkan secara tanggung renteng.

Menetapkan para Tergugat melakukan wanprestasi. Menghukum para Tergugat sejumlah Rp. 1.625.626,- ditambah 2,5 kali

jumlah tersebut setiap bulannya terhitung sejak 1 Mei 1979 sampai dibayar lunas utang tersebut dari para Tergugat kepada Penggugat.

Di tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Yogyakarta memberikan putusannya No. 27/1982/Pdt/PT.YK. tanggal 18 Agustus 1982 yang amarnya: Menetapkan menurut hukum adanya hubungan jual beli mengenai alat-alat

bahan bangunan antara Penggugat dengan para Tergugat. Menetapkan Tergugat-Tergugat telah melakukan wanprestasi. Menghukum Tergugat II (PT Sapta Manggala Tunggal membayar kepada

Penggugat sejumlah Rp. 1.625.625).

Di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung memberikan putusannya No. 597 K/Sip/1983 tanggal 8 Mei 1984 yang amarnya : Menetapkan menurut hukum adanya hubungan jual beli

mengenai alat-alat bahan bangunan antara Penggugat dengan para Tergugat (Perseroan Terbatas Sapta Manggala Tunggal).

Menetapkan Tergugat-Tergugat telah melakukan wanprestasi. Menghukum Tergugat II (PT Sapta Manggala Tunggal membayar

uang kepada Penggugat sejumlah Rp. 1.625.625).

Dari Putusan Mahkamah Agung terdapat kaidah hukum antara lain gugatan terhadap Tergugat I ditolak karena dalam hal ini ia bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas, sehingga hanya Perseroan Terbatas sajakah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Putusan Mahkamah Agung no. 419K/PDT/1998 tanggal 20 jamuari 1993 menegaskan bahwa suatu perseroan terbatas merupakan badan hukum dan merupakan subjek hukum, maka tuntutan harus diajukan terhadap PT dan bukan terhadap direkturnya. Karena gugatan diajukan terhadap direktur pribadi, maka harus diyatakan tidak dapat diterima. Penegasan ini terdapat dalam perkara antara PT (persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja (pemohon kasasi I ) melawan Ir. Setiarko ( principal ) dan Ir. KRT. Rubyanto argonadi Hamidjojo ( termohon – termohon kasasi/ tergugat I/ turut terbanding atau tergugat II/pembanding/terbanding).

Perkara tersebut berawal pada tahun 1982 antara penggugat asli selaku surety dan tergugat asli I selaku principal dan tergugat asli II selakuindeminator telah ditandatangani suatu perjanjian umum tentang ganti rugi kepada surety. Sebagai akibat kelalaian / kegagalan tergugat asli I di dalam proyek Penyempurnaan Prasarana Badan Pendidikan Latihan Keuangan (BPLKI) dan pengggugat asli telah membayar kepada obligee kerugian tersebut sebanyak Rp. 137.486.005,78,

Perjanjian umum tentang ganti rugi kepada surety (P-3) tersebut tidak jelas dan nyata obyeknya yang harus mendapatkan ganti rugi, karena tidak dicantumkan nama proyek atau nama/nomor jaminan serta SPP, nomor berapa ataupun sejumlah berapa yang harus mendapatkan ganti rugi berdasarkan perjanjian tersebut, sehingga harus dinyatakan batal demi hukum. Disamping itu seseorang tidak dapat menuntut seorang direktur secara pribadi karena tuntutan tersebut harus ditujukan kpeada PT bersangkutan dimana direktur tersebut berasal. Dan PT tersebut yang seharusnya dituntut karena PT merupakan suatu badan hukum tersendiri.

Suatu perkara mengenai perbuatan direktur utama perusahaan yang mengambil kewenangan RUPS dalam menentukan untung rugi perusahaan telah terjadi dalam putusan Mahkamah Agung no. 2743K/Pdt/1995 tanggal 18 juni 1996 dalam perkara antara handi Sujanto ( pemohon kasasi/tergugat/terbanding) melawan Ir. Bambang Riyadi Soegomo ( termohon kasasi/ penggugat / pembanding).

Di tingkat kasasi, perkara ini di putuskan dengan putusan Mahkamah Agung No.2743K/Pdt/1995 tanggal 18 juni 1996 yang menyebutkan bahwa yang berhak menentukan untung rugi suatu perusahaan adalah RUPS dan diaudit akuntan publik. Gugatan ganti rugi yang diajukan direktur utama perusahaan tanpa ada pengesahaan Rapat Umum pemegang Saham (RUPS) dan diaudit dari akuntan publik yang menyatakan perusahaan rugi , gugatan belum waktunya diajukan ke pengadilan.

Kasus kepailitan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 14 K/pailit/1999/PN.Niaga Jkt.Pst antara PT Environmental Network Indonesia, dkk (PT Enindo) sebagai permohon pailit melawan PT Putra Putri Fortuna Windu, dkk. Sebagai termohon Pailit, yang telah dijatuhkan putusan di pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 31 Maret 1999 adalah salah satu preseden konflik kewenangan antara pengadilan Niaga dengan Arbitrase terhadap perkara kepailitan. Dalam putusannya terhadap permohonan peninjauan kembali dalam kasus tersebut, Mahkamah Agung dalam Putusan NO.013 PK/N/1999 tanggal 2 Agustus 1999 membatalkan putusan Pengadilan Niaga berwenang mengadili permohonan pailit tersebut. Mahkamah Agung menyatakan bahwa pasal 280 ayat (1) Perpu NO 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang – Undang Nomor 4 tahun 1998 telah meletakkan Pengadilan Niaga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur Pengadilan Negeri dengan kewenangan khusus berupa yurisdiksi eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Dengan status hukum dan kewenangan (legal status and power), Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit.

Majelis Hakim Kasasi berkesimpulan bahwa akibat hukum dari Arbitrase sebagai extra judical tidak dapat menyingkirkan dan kewenangan pengadilan niaga untuk menyelesaikan permohonan pailit berdasarkan Undang – Undang No.4 Tahun 1998, meskipun lahirnya permasalahan pailit bersumber dari perjanjian utang yang mengandung klausula Arbitrase, tata cara penyelesaian yang diajuan dalam bentuk permohonan pailit kepada pengadilan niaga adalah penyelesaian yang berkarakter extra – ordinanry court melalui Undang – Undang No.4 Tahun 1998, bukan tata cara penyelesaian yang bersifat konvensional melalui gugat perdata kepada pengadilan Negeri.

Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam putusan MA No. 019 K/N/1999 tanggal 9 Agustus 1999, telah dikemukakansuatu kaidah hokum yang menegaskan status hokum dankapasitas hokum Pengadilan Niaga yang berkarakter extra ordinary court yang khusus menyelesaikan permohonan pailit, tidak dapat disingkirkan kewenangannya oleh arbitrase dalamkedudukan dan kapasitas hukumnya sebagai extra judicial.

Putusan Mahkamah Agung No. 019 K/N/1999 tanggal 9 Agustus 1999 terjadi dalam perkara antara PT. Basuki PratamaEngineering dan PT. Mitra Surya Tata Mandiri sebagaipemohon kasasi melawan PT. Megarimba Karyatama sebagaitermohon kasasi. Perkara bermula dari termohon yang telahberutang pada Pemohon I sebesar US$ 584.471,00 dan Rp. 151.321.734 dengan beberapa perjanjian.

Adapun di tingkat Kasasi, Putusan Mahkamah Agung No. 019 K/N/1999 tanggal 9 Agustus 1999 memberikanputusannya dengan amarnya: Membatalklann Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

tanggal 17 Juni 1999 No. 32/Pailit/1999/PN. Niaga/Jkt.Pst.

Menyatakan PT. Megarimba Karyatama dalam keadaanpailit

Mengangkat Balai Harta Peninggalan DKI Jakarta sebagaicurator.

Memerintahkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusatmengangkat hakim pengawas.

Dalam permohonan kasasinya, Pemohon Kasasi telah mengemukakanpendapatnya. Majelis Hakim Kasasi berhasil diyakinkan oleh PemohonKasasi. Majelis Hakim Kasasi tidak sependapat dengan Majelis Hakim Niaga.

Menurut penulis, Majelis Hakim Kasasi, telah memaknai utang secara luasjelas bertentangan dengan pengertian uutang sebagaimana dimaksud olehPasal 1 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Menurut MajelisKasasi, pengertian utang yang dimaksudkan Pasal 1 ayat (1) UU no. 4 Tahun, tidak boleh terlepas dari konteksnya. Menurut penulis, MajelisHakim Kasasi mendasarkan pendapatnya di mana Pengadilan Niaga telahmelakukan kekeliruan dan kesalahan fatal dalam menerapkan hokum.

Dalam kasus ini, antara Majelis Hakim Pengadilan Niaga dan Majelis Hakim Kasasi, berbeda pendapat mengenai pengertian utang. Mejelis PengadilanNiaga menggunakan pengertian utang yang luas, sedangkan Majelis Hakim Kasasi menggunakan pengertian utang yang sempit.

Suatu perkara mengenai Permohonan Penyelenggaraan RapatUmum Pemegang Saham Luar Biasa PT Semen Padang Tbk. terungkap dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3253 K/Pdt/2002. Kasus Semen Padang merupakan imbas daripermasalahan setelah terjadinya perubahan pemberlakuansystem pemerintahan daerah dari system yang semulasentralistik menjadi pemerintahan daerah yang desentralistik, sehingga timbul gugatan-gugatan terhadap asset Negara yang berada di daerah.

Perubahan kebijakan Pemerintah Pusat dalam mengelolasebagian aset Negara yang ada di BUMN menjadi ke arahprivatisasi BUMN yang dianggap layak jual telah menimbulkanbanyak pro dan kontra.

1. MateriilA. Tanggung Jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas

i. Selain itu berdasarkan Pasal 82 UUPT, tugas Direksi meliputi 2 hal, yaitu:

Menjalankan pengurusan perseran dalam kejadian sehari-hari Menjalankan perwakilan,d alam arti mewakili perseroan dalam segala

tindakan.ii. Selanjutnya tugas Direksi dalam perbuatan dan kejadian sehari-hari,

menurut anggaran dasar adalah: Menandatangani saham-saham yang akan dikeluarkan, bersama-sama

Komisaris Menyusun laporan neraca untung rugi perseroan pada akhir tahun

sebagai pertanggungjawaban Direksi, dengan menyampaikan danmeminta untuk disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham

Melakukan pemanggilan RUPS dan memimpin RUPS

B. Rapat Umum Pemegang Saham.i. Telah dikatakan di atas bahwa Direksi menjalankan tugas

kepengurusan dari perseroan. Secara luas tindakan kepengurusanadalah segala perbuatan apapun tanpa kecuali dalam menjalankantujuan persekutuan.

ii. Perbuatan menjalankan pengurusan ini dibedakan atas: Menjalankan pekerjaan pengurusan Menjalankan pekerjaan kepemilikan atau pekerjaan

C. Hak Pemegang Sahami. Pemegang saham merupakan pihak yang berkepentingan terhadap

perseroan dalam hal: Berhubungan dengan dividen yang berhak diterimannya Terhadap harga saham dalam pasaran Memperoleh sisa harta kekayaan perseroan apabila perseroan

dilikuidasi.

2. FormilA. Prosedur Permohonan Penyelenggaraan RUPS

B. Legal Standing

C. Putusan Provisionil: Pasal 180 HIR

D. Uang Paksa (Dwangsom)i. Definisi dan sifat uang paksa

ii. Tata cara pengajuan dan pemeriksaan hakim terhadaptuntutan uang paksa

iii. Aspek-aspek yang dapat dijatuhi uang paksa

Perkara kepailitan terjadi antara IKB Deutsche Industriebank AG. (Pemohon kasasi I, dahulu Pemohonpailit I/Kreditor) dan Bayerische Hypo-Und VereinsbankAG (Pemohon Kasasi II, dahulu Pemohon Pailit II/Kreditor) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 030 PK/N/2001.

Para pemohon berdasarkan kondisi dan persyaratan yang ditentukan dalam Perjanjian Kredit tersebut akanmemberikan fasilitas Kredit sebesar DEM 25,135,921.00. Berdasarkan perjanjian kredit fasilitas kredit tersebutdigunakan oleh debitur untuk membiayai 85% dari total nilai kontrak sebesar DEM 29,571,672.

Terhadap permohonan pailit tersebut Pengadilan Niaga padaPengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 05 september 2001 Nomor: 037/PAILIT/2001/PN.NIAGA/JKT.PST. yang amarnya berbunyi : Menolak permohonan para pemohon

Membebankan biaya perkara kepada pemohon sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah)

Proses pembuktian perkara ini tidak dapat dilakukan secarasederhana (vide Pasal 6 ayat (3) Undang – Undang Kepailitan) , tidak merupakan kesalahan berat sebagaimana yang dimaksuddalam pasal 967 ayat (2) b Undang – Undang Kepailitan).

Suatu perkara kepailitan terjadi dalam putusan Mahkamah Agung No. 01 PK.N/2004 tanggal 23 Maret 2004 terhadap pailitanya PT Karunia Wana Ika Wood Industrial dan Tobeng Mahatani atas permohonan pailit dari PT Wijaya Indah Permai. Harga jual batas kayu gelondongan yang telah diterima oleh termohon I sebagaimana diuraikan diatas sebesar US$ 179.412,48 ditambah dengan DR dan IHH sebesar US$ 399.390.670 dan harga kayu gelondongan dari DR dan IHH harus dibayarkan secara tunai oleh Termhon I dan Permohon Pailit yaitu pada tanggal 7 November 1997.

Termohon Pailit I dan II terus menerus mencari berbagai alasan yang tidak masuk akal yang pada intinya berusaha menghindar dari kewajiban utangnya kepada permohon pailit. Akhirnya permohon pailit menyampaikan surat peringatan terakhir No.277/RAW-Law Firm/VII/2003 tanggal 8 Agustus 2003 kepada termohon pailit I dan II untuk segera menyelesaikan kewajibannya yang pada tanggal 15 Agustus 2003 sudah sebesar US$390,790,22 yang terdiri atas : Utang pokok US$179,412,48: Denda keterlambatan pembayaran US$211,377,74

Selain itu termohon pailit I juga mempunyai utang kepada kreditor lain yaitu :1. PT Bank Mandiri (persero) Tbk. Sesuai dengan konfirmasi dan penegasan

dari PT Bank Mandiri No. RMN.CRY/RCR.IX/392/2003 tanggal 1 Agustus 2003

2. PT Sinarinda Buana Selaras

Di tingkat Kasasi, Majelis Hakim Kasasi memberikan putusannya dengan putusan No. 030 K/N/2003 tanggal 20 November 2003 dengan amarnya:1. Membatalkan putusan pengadilan Niaga pada pengadilan Negeri

Surabaya tanggal 9 Oktober 2003 No. 07/PAILIT/2003/PN.NIAGASBY;2. Menyatakan bahwa termohon Pailit I dan termohon Pailit II mempunyai

utang yang telah jatuh tempo3. Menyatakan termohon Pailit I PT Karunia Wana Ika Wood Industrial

dalam keadaan pailit dengan segala aibat hukumnya4. Menyatakan termohon pailit II Tobeng Mahatani dalam keadaan pailit

dengan segala akibat hukumnya;5. Menyatakan harta milik termohon Pailit I dan II dalam sitaan umum.

TERIMA KASIH