54
37 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Usaha Kecil Dan Kebutuhan Kredit Di Indonesia usaha mikro dan kecil menjadi penopang utama kegiatan ekonomi, terutama dilihat dari kontribusi dalam hal penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit usaha. Kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam penyerapan tenaga kerja mencapai 94.59 persen dari seluruh pasar tenaga kerja di Indonesia, sedangkan kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam hal jumlah unit usaha di semua sektor ekonomi mencapai 99.91 persen dari total unit usaha di Indonesia (Kemenkop dan UKM, 2009). Secara umum usaha mikro, kecil dan menengah memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian, kondisi yang hampir sama juga terdapat di negara-negara lain bahkan di negara maju sekalipun. Negara-negara maju sering mengatur pola kemitraan tertentu melalui undang-undang anti-trust, untuk menghambat praktek monopoli. Di Amerika Serikat jumlah perusahan berbentuk sole proprietorship mencapai 73.70 persen atau sekitar 14.78 juta unit usaha, perusahaan berbentuk corporation mencapai 18.50 persen atau 3.72 juta unit, dan perusahaan berbentuk partnership mencapai 9.75 persen atau sekitar 1.55 juta unit (Hyman, 1997). Disini terlihat di Amerika Serikat jumlah perusahaan perorangan (sole proprietorship), yang identik dengan perusahan skala kecil juga merupakan mayoritas usaha dan menjadi penopang struktur usaha yang lebih besar diatasnya. Berdasarkan aspek kepemilikan usaha dan legal bisnis, menurut Hyman (1997), terdapat beberapa bentuk perusahaan bisnis, yaitu: (1) sole proprietorship adalah usaha yang dimiliki dan dilakukan oleh perorangan, serta bertanggung jawab atas hutang bisnis, usaha ini merupakan bentuk struktur bisnis legal yang

Bab iii kerangka pemikiran teoritis

Embed Size (px)

Citation preview

37

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

3.1. Usaha Kecil Dan Kebutuhan Kredit

Di Indonesia usaha mikro dan kecil menjadi penopang utama kegiatan

ekonomi, terutama dilihat dari kontribusi dalam hal penyerapan tenaga kerja dan

jumlah unit usaha. Kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam penyerapan

tenaga kerja mencapai 94.59 persen dari seluruh pasar tenaga kerja di Indonesia,

sedangkan kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam hal jumlah unit usaha

di semua sektor ekonomi mencapai 99.91 persen dari total unit usaha di Indonesia

(Kemenkop dan UKM, 2009). Secara umum usaha mikro, kecil dan menengah

memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian, kondisi yang hampir

sama juga terdapat di negara-negara lain bahkan di negara maju sekalipun.

Negara-negara maju sering mengatur pola kemitraan tertentu melalui

undang-undang anti-trust, untuk menghambat praktek monopoli. Di Amerika

Serikat jumlah perusahan berbentuk sole proprietorship mencapai 73.70 persen

atau sekitar 14.78 juta unit usaha, perusahaan berbentuk corporation mencapai

18.50 persen atau 3.72 juta unit, dan perusahaan berbentuk partnership mencapai

9.75 persen atau sekitar 1.55 juta unit (Hyman, 1997). Disini terlihat di Amerika

Serikat jumlah perusahaan perorangan (sole proprietorship), yang identik dengan

perusahan skala kecil juga merupakan mayoritas usaha dan menjadi penopang

struktur usaha yang lebih besar diatasnya.

Berdasarkan aspek kepemilikan usaha dan legal bisnis, menurut Hyman

(1997), terdapat beberapa bentuk perusahaan bisnis, yaitu: (1) sole proprietorship

adalah usaha yang dimiliki dan dilakukan oleh perorangan, serta bertanggung

jawab atas hutang bisnis, usaha ini merupakan bentuk struktur bisnis legal yang

38

paling dasar dan sederhana, (2) corporation adalah bisnis legal yang didirikan

berdasarkan undang-undang negara, dimana ada pemisahan antara kepemilikan

pribadi dan kepemilikan perusahaan, korporasi merupakan produk hukum

perusahaan, dan ada aturan yang menyeimbangkan kepentingan manajemen yang

mengoperasikan perusahaan, kreditur, pemegang saham, dan buruh yang

menyumbangkan tenaga, dan (3) partnership adalah bisnis yang dimiliki oleh dua

atau lebih, dimana ada pengaturan entitas dan / atau individu yang sepakat untuk

bekerja sama untuk memajukan kepentingan mereka. Kemitraan ini terbentuk

antara satu atau lebih bisnis di mana mitra (pemilik) bekerja untuk mencapai dan

berbagi keuntungan atau kerugian.

Perilaku ekonomi dari usaha kecil sebagai perusahaan (firm) memiliki

perbedaan dengan perilaku ekonomi dari rumahtangga (household). Perusahaan

adalah organisasi ekonomi yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan

(profit) dengan menggunakan sejumlah sumberdaya yang dikuasainya. Sedangkan

pada rumahtangga tujuan yang hendak dicapai adalah untuk memaksimumkan

kegunaan (utility) dengan bertindak rasional dalam mengalokasikan modal dan

waktu rumahtangga, dan menggunakan pendapatan untuk konsumsi barang dan

jasa (Becker, 1965; Evenson, 1976; Kusnadi, 2005; Fariyanti, 2008).

Pelaku usaha kecil sebagai produsen dengan asumsi dasar fungsi produksi

(Henderson dan Quandt, 1980), memiliki perilaku ekonomi lebih didasarkan pada

usaha untuk mencari keuntungan (laba) maksimum, dan untuk memaksimumkan

keluaran serta mengoptimumkan penggunaan faktor produksi. Dalam jangka

pendek, keuntungan merupakan selisih antara nilai keluaran dengan nilai masukan

variabel, sedangkan dalam jangka panjang keuntungan merupakan selisih antara

39

nilai keluaran dengan total biaya masukan. Karena itu menurut Nazar (1980), bagi

usaha kecil semua kegiatan produktif tersebut dilakukannya dengan tujuan untuk

memaksimumkan keuntungan (laba), dengan tergantung pada harga relatif

masukan dan keluaran, dan hubungan teknik dari produksi. Langkah yang

dilakukan oleh produsen ini secara teori dikenal sebagai optimisasi.

Pada tahap awal kegiatan produksi, usaha kecil akan berusaha

memaksimuman produksi dengan kendala anggaran (modal) sehingga dicapai titik

keseimbangan produsen. Selanjutnya apabila usaha kecil ingin melakukan

perluasan usaha (mencapai titik keseimbangan produsen yang lebih tinggi), maka

dibutuhkan tambahan anggaran biaya untuk membeli bahan baku (masukan atau

input). Tambahan anggaran biaya ini bisa didapatkan dengan 2 (dua) cara, yaitu:

(1) dari internal berupa akumulasi keuntungan (laba) yang dapat disisihkan, dan

(2) dari eksternal berupa kredit atau pinjaman (dari lembaga keuangan atau dari

pihak luar lainnya).

3.1.1. Perilaku Ekonomi Usaha Kecil

Asumsi ekonomi berupa maksimisasi keuntungan (laba) sangat sering

dipakai, karena dapat meramalkan perilaku usaha serta mempermudah dalam

analisis yang diperlukan. Untuk kegiatan usaha seperti usaha kecil yang dikelola

langsung pemiliknya, keuntungan masih mendominasi hampir seluruh keputusan

perusahaan (Pindyck dan Rubinfeld, 2001). Namun demikian dalam jangka

pendek tujuan lain seperti maksimisasi penerimaan untuk mencapai pertumbuhan

pasar, juga sering lebih diprioritaskan oleh pelaku usaha. Hal ini juga didorong

oleh kebutuhan manajerial usaha untuk menjaga aspek likuiditas dan aktivitas

usaha, sebelum pada akhirnya aspek profitabilitas usaha akan dapat dicapai.

40

3.1.1.1. Kegiatan Produksi dan Biaya Produksi

Dalam suatu kegiatan usaha, hubungan antara masukan (input) pada proses

produksi dan keluaran (output) digambarkan oleh fungsi produksi. Suatu fungsi

produksi (production function) menunjukkan keluaran (y) yang dihasilkan oleh

produsen untuk setiap kombinasi masukan (xi) tertentu. Untuk menyederhanakan

diasumsikan ada dua masukan, yaitu tenaga kerja (x1) dan modal (x2), sehingga

fungsi produksi dapat ditulis sebagai:

y = f (x1,x2) ......................................................................................... (01)

Pada tingkat teknologi tertentu kombinasi antara masukan x1 dan x2 ini akan

menghasilkan keluaran (y) yang sama dan menghasilkan informasi yang disebut

isokuan (isoquant). Produsen apabila dimungkinkan oleh garis iso-biaya (isocosts

line), maka akan selalu berusaha mencapai titik keseimbangan produsen (keluaran

atau output) yang lebih tinggi pada isokuan yang lebih tinggi atau dikenal dengan

istilah maksimisasi keluaran dengan kendala biaya. Hal ini secara rasional

dilakukan sebagai upaya untuk mengikuti jalur perluasan usaha (expansion path)

yang secara teknologi dimungkinkan. Namun demikian pada umumnya produsen

akan terkendala oleh modal dari dalam (modal internal) untuk membiayai

masukan (input) produksinya, sehingga memerlukan tambahan modal yang

berasal dari luar.

Dalam kegiatan produksi, kredit sangat berperan sebagai penambah modal

dari luar (eksternal) untuk membiayai masukan produksi sehingga produsen dapat

meningkatkan produksi menjadi lebih tinggi. Masukan produksi yang dibiayai

dengan kredit mempunyai biaya tambahan yang nilai sebesar tingkat bunga kredit.

Dengan adanya kredit maka akan ada tambahan biaya untuk kegiatan produksi,

41

sehingga dapat mempengaruhi komposisi penggunaan input optimum pada jalur

perluasan usaha (expansion path).

Dengan pendekatan konsep biaya produksi, produsen akan menghadapi

fungsi produksi sebagai berikut (Baker, 1968).

y = f (x1, x2 | xf) ................................................................................... (02)

dimana:

y = keluaran; dan f menyatakan fungsi daripada

xi = masukan variabel

xf = masukan lainnya yang dianggap tetap

Berdasarkan fungsi produksi tersebut, persamaan biaya dapat dinyatakan

sebagai berikut:

c = p1x1 + p2x2 + b ............................................................................. (03)

dimana:

c = biaya total yang dikeluarkan

pi = harga per satuan masukan variabel xi

b = total biaya tetap

Apabila saat ini biaya total c diketahui sejumlah modal tertentu, misalnya sebesar

co, maka persamaan biaya menjadi:

co = p1x1 + p2x2 + b ........................................................................... (04)

Berdasarkan persamaan biaya diatas, maka dapat diperoleh persamaan garis iso-

biaya, yang menggambarkan permintaan masukan variabel x1 dan x2 pada jumlah

modal co tersebut. Persamaan iso-biaya tersebut adalah:

x1 = 1pbco −

- 1

2

pp

x2 ........................................................................... (05)

42

x2 = 2pbco −

- 2

1

pp

x1 ........................................................................... (06)

Berdasarkan hubungan x1 dan x2 pada sejumlah biaya co, produsen dapat

memaksimalkan keluaran y pada kondisi:

− =1

2

dxdx

2

1

pp

........................................................................................ (07)

dimana – 1

2

dxdx menunjukan daya substitusi masukan x1 terhadap masukan x2 dan

juga merupakan sudut kemiringan garis iso-biaya, yaitu merupakan tempat

kedudukan titik-titik kombinasi penggunaan masukan x1 dan x2 yang dapat

dilakukan dalam batas anggaran yang dimiliki, untuk produksi tertentu (Kuntjoro,

1983). Apabila co meningkat jumlahnya, maka akan diperoleh garis perluasan

usaha (expansion path).

Dalam melakukan kegiatan produksi produsen masih terkendala oleh

modal yang dimilikinya, sehingga penggunaan masukan x1 dan x2 juga terbatas

jumlahnya. Dengan asumsi bahwa pelaku usaha kecil masih dalam tahap daerah

produksi II yang rasional, yaitu produk marjinal masih positif sehingga masih

dapat memperbanyak penggunaan masukan untuk menaikkan produksi, maka

tambahan modal dari luar (eksternal) dapat diperoleh melalui kredit.

Persamaan produksi diatas masih menggunakan masukan produksi yang

tidak dibiayai dengan kredit, sehingga harga masukan yang digunakan adalah

harga pasar. Jika masukan x1 dan x2 diperoleh dari kredit, maka harga masukan

menjadi lebih mahal, karena terbebani biaya kredit. Apabila r1 dan r2 masing-

masing adalah biaya marjinal dari modal yang mempengaruhi penggunaan satu

43

satuan masukan x1 dan x2, yaitu tambahan biaya yang dikeluarkan untuk

manambah penggunaan satu satuan masukan x1 dan x2, misalnya tingkat bunga

kredit, maka kesimbangan penggunaan masukan menjadi (Baker, 1968):

− =1

2

dxdx

22

11

rprp

++

............................................................................... (08)

Apabila kredit digunakan sebagai tambahan modal untuk membiayai

tambahan satu satuan masukan xi yang digunakan, maka harga satu satuan

masukan tersebut juga menjadi lebih tinggi dari harga pasar semula. Hal ini

tergantung pula pada tingkat bunga yang dibebankan pada masing-masing

masukan xi, apakah ada perbedaan tingkat bunga untuk masukan x1 dan x2 ataukah

tidak. Apabila ada perbedaan tingkat bunga untuk pinjaman xi sedangkan biaya-

biaya lainnya tetap, maka akan terjadi perubahan kombinasi penggunaan masukan

x1 dan x2.

Jika diasumsikan hanya masukan x1 yang dibiayai dari kredit, maka harga

satu satuan masukan x1 menjadi p1+r dimana r adalah biaya kredit yang

dibebankan tiap satu satuan masukan xi yang dibiayai. Sehingga persamaan

keseimbangan penggunaan input yang optimal akan mengalami perubahan

menjadi (Kusnadi, 1990):

− <1

2

dxdx

2

1

prp +

................................................................................. (09)

Untuk mengimbangi hal ini, maka produsen harus mengurangi jumlah

penggunaan masukan x1. Apabila jumlah keluaran atau isokuan y0 tertentu, tetap

dipertahankan seperti keadaan semula, maka kebutuhan modal harus ditambah

menjadi c1. Dengan menambah modal menjadi c1, maka akan didapat jalur

perluasan usaha (expansion path) yang baru. Tampak jalur perluasaan usaha yang

44

baru setelah mendapat kredit cenderung lebih banyak menggunakan masukan x2,

seperti tampak pada gambar berikut ini.

Gambar.1 memperlihatkan penggunaan masukan pada kondisi biaya

minimum tanpa adanya biaya kredit diperoleh pada titik A. Sedangkan jalur

perluasan usaha tanpa adanya biaya kredit diperlihatkan oleh garis S1. Apabila

penggunaan masukan x1 dibiayai dari kredit, maka harga masukan x1 meningkat

menjadi lebih mahal sebesar r, sehingga komposisi penggunaan masukan

optimum diperoleh pada titik B, selanjutnya jalur perluasan usaha akan berubah

menjadi garis S2 dengan menggunakan masukan x2 lebih besar dibanding

sebelumnya (Baker, 1968).

45

3.1.1.2. Penggunaan Kredit dan Maksimisasi Keuntungan

Peranan kredit terhadap perekonomian dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu

makro dan mikro. Dari sisi makro peranan kredit merupakan alat kebijakan untuk

pembangunan ekonomi yang antara lain bertujuan mendorong pertumbuhan

ekonomi, pengembangan dunia usaha, dan menciptakan kesempatan kerja.

Sedangkan dari sisi mikro, kredit berperan banyak sebagai penambah modal dari

luar usaha (modal eksternal), bahkan seringkali kredit dipandang identik dengan

masukan produksi (input). Pada sisi mikro ini pula peranan kredit produksi

terhadap usaha kecil menjadi sangat diperlukan, karena sifatnya yang dinamis dan

digunakan untuk kegiatan usaha yang dapat meningkatkan pendapatan usaha.

Pada prinsipnya peranan kredit bagi kegiatan produksi adalah merupakan

penambah modal, sehingga pengusaha dapat meningkatkan produksinya pada

tingkat yang lebih tinggi. Namun apabila proses produksi dibiayai dengan kredit,

maka harga masukan akan menjadi lebih mahal sebesar biaya kredit (tingkat suku

bunga kredit). Proses ini selanjutnya akan menyebabkan adanya perbedaan harga

masukan, sehingga pengusaha akan mengubah komposisi penggunaan masukan

optimal. Keadaan ini pada akhirnya akan mempengaruhi arah jalur perluasan

usaha (expansion path)yang akan dipilih oleh pengusaha.

Selanjutnya penggunaan masukan dalam proses produksi dengan

memanfaatkan tambahan modal yang berasal dari kredit, akan dapat dilanjutkan

untuk menganalisis tingkat keuntungan melalui fungsi keuntungan. Di dalam

model neo-klasik, diasumsikan bahwa pengusaha berupaya memaksimumkan

keuntungan (π) berdasarkan kondisi biaya produksi tidak melebihi dana yang

dimilikinya (Kuntjoro, 1983). Berdasarkan fungsi produksi pada persamaan (1),

46

dimana y adalah besarnya keluaran yang dihasilkan merupakan fungsi dari

besarnya masukan x1 dan x2 yang digunakan, dan xf ceteris paribus. Apabila

harga per satuan keluaran adalah P0, maka total penerimaan akan menjadi:

P0.f(x1,x2 | xf) ..................................................................................... (10)

sehingga dengan menggunakan persamaan biaya (3)

c = p1x1 + p2x2 + b

kemudian akan didapat fungsi keuntungan (π) sebesar:

π = P0.f(x1,x2 | xf) − p1x1 + p2x2 + b ................................................ (11)

Dengan menggunakan kaidah “first order condition”, maka keuntungan (π)

maksimum dapat ditentukan, yaitu turunan partial dari keuntungan (π) masing-

masing terhadap masukan x1 dan x2, sehingga akan diperoleh:

=∂∂

1xπ P0f1 − p1 = 0

Maka ; P0f1 = p1 .............................................................................. (12)

=∂∂

2xπ P0f2 − p2 = 0

Maka ; P0f2 = p2 ............................................................................... (13)

f1 = =∂∂

1xy PMx1 =

oPp1 ....................................................................... (14)

f2 = =∂∂

2xy PMx2 =

oPp2 ....................................................................... (15)

Dalam keadaan keseimbangan akan diperoleh P0f1 = p1 , dimana P0

adalah harga per satuan keluaran, f1 adalah produk marjinal penggunaan masukan

x1 dan keuntungan (π) maksimum akan tercapai. Atau pada penggunaan masukan

yang optimal, apabila untuk setiap masukan yang dipergunakan diperoleh harga

47

per satuan setiap masukan sama dengan nilai produk marjinal setiap masukan.

Nilai produk marjinal dari suatu masukan (PMxi) menunjukkan tingkat

penambahan penerimaan yang diperoleh pengusaha dengan bertambahnya

penggunaan masukan sebanyak satu satuan (Kuntjoro, 1983).

Jika pengusaha membiayai kegiatan produksi dengan dana dari pinjaman,

maka harga per satuan masukan x1 tersebut akan lebih mahal menjadi p1 (1+λ), di

mana nilai λ adalah biaya per satuan pinjaman. Penggunaan sumber produksi

dengan biaya yang lebih mahal ini akan menyebabkan produk total dan

keuntungan menjadi lebih rendah. Implikasi dari keadaan keseimbangan ini pada

alokasi penggunaan sumber produksi akan berpengaruh pada produk total dan

nilai produk marjinal dari input x1.

Tersedianya kredit produksi dengan tingkat bunga yang rendah (r), dapat

meningkatkan penggunaan masukan x1 menjadi lebih tinggi jika dibandingkan

dengan pinjaman dengan biaya modal sebesar (λ), karena harga p1(1+r) < harga

p1(1+λ). Namun demikian penggunaan masukan x1 dalam kegiatan produksi

masih lebih rendah atau dibawah penggunaan masukan optimal dengan harga

pasar p1(1+0), jika tambahan modal tersebut seluruhnya berasal dari dana sendiri

tanpa menggunakan kredit.

Implikasi dari adanya bunga kredit terhadap harga masukan seringkali kali

kurang diperhitungkan oleh pengambil kebijakan kredit, sehingga diasumsikan

harga masukan adalah sama dengan harga pasar. Sehingga besar kemungkinan

bahwa pengusaha sesungguhnya tidak menggunakan masukan secara optimal,

apabila tingkat bunga untuk memperoleh kredit ternyata fluktuatif dan bervariasi.

Penjelasan mengenai hal ini dipertajam oleh uraian dari Ray (1998), yang

48

menampilkan fungsi produksi dari pengusaha yang mengubah modal kerja (L)

menjadi keluaran (output). Apabila pengusaha memperoleh sejumlah pinjaman

dengan tingkat bunga (i*), maka biaya total pinjaman modal kerja L adalah

L(1+i*). Gambar 2. menunjukkan pemberi pinjaman sebenarnya menginginkan

garis biaya total pinjaman menjadi securam mungkin dengan membuat tingkat

bunga (i) menjadi besar, namun pada saat yang sama pemberi pinjaman tidak

dapat mendorong peminjam menerima tingkat bunga (i) melebihi i*. Pemberi

pinjaman hanya memiliki kekuatan monopoli terbatas secara lokal dan peminjam

akan selalu bisa meminjam dana dari sumber lain setelah tingkat bunga berada

diatas i*. Bagi peminjam akan optimal untuk mendapatkan jumlah pinjaman

(modal kerja) sebesar L*, karena ini akan memberikan keuntungan maksimum

sebesar garis A (perbedaan vertikal tertinggi antara fungsi produksi dan garis

biaya adalah pembentuk keuntungan dari kegiatan produktif), kondisi di mana

nilai produk marjinal sama dengan biaya marjinal pinjaman. Sehingga pada

dasarnya pemberi pinjaman tidak bisa menentukan tingkat bunga (i) begitu tinggi,

karena akan mendorong peminjam mencari pinjaman lain dengan tingkat bunga

(i) yang lebih murah.

Apabila dengan pertimbangan lainnya pemberi kredit melakukan

penjatahan kredit (credit rationing) sehingga memberikan jumlah pinjaman

sebesar <.L* (kurang dari L*) pada tingkat bunga (i*), maka peminjam hanya

akan mendapatkan keuntungan (surplus) sebesar <.A (kurang dari keuntungan

tertinggi pada tingkat bunga i*). Kondisi ini menunjukkan pada tingkat bunga i*,

peminjam tidak mendapatkan jumlah pinjaman yang optimal, sehingga surplus

atau keuntungan maksimal (garis A vertikal) tidak tercapai. Keadaan ini secara

49

tidak langsung dapat mendorong munculnya kredit macet oleh peminjam. Karena

itu penting bagi pemberi kredit atau pengambil kebijakan kredit untuk

memperhatikan jumlah pinjaman yang optimal pada masing-masing tingkat bunga

kredit yang berlaku. Pada daerah produksi rasional di daerah II (penggunaan

masukan efisien dan menguntungkan), penurunan tingkat bunga kredit (i) oleh

pemberi pinjaman akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah pinjaman (L)

oleh peminjam.

50

3.1.2. Permintaan Kredit

Agar kegiatan usaha kecil dapat terus berlangsung secara terus menerus

dan mejadi berkembang, maka yang harus diperhatikan dan dijaga oleh pelaku

usaha adalah, (1) likuiditas usaha agar semua kewajiban tunai untuk menjaga

kebutuhan modal kerja dan kebutuhan jangka pendek lainnya dapat terpenuhi, (2)

aktivitas usaha sehingga efektifitas perputaran usaha dalam menghasilkan barang

dan jasa akan selalu terjaga, dan (3) profitabilitas usaha yang merupakan hasil

akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan usaha sehingga membentuk

tambahan modal secara internal. Ketiga hal ini saling berkaitan satu sama lain,

karena itu tingkat likuiditas usaha merupakan langkah awal penting yang harus

diperhatikan.

Kredit sebagai salah satu pembiayaan usaha non-equity capital yang

utama, menurut Kuntjoro (1983) merupakan sumber penting untuk menjaga

likuiditas dan sekaligus merupakan suatu kekayaan (asset) yang dapat dikelola

untuk kegiatan produksi suatu usaha. Makna lain dari kredit bagi kegiatan usaha

adalah kredit merupakan sumber modal dari luar usaha dan sekaligus sebagai

barang ekonomi bagi kegiatan usaha.

Definisi kredit yang berkembang luas telah menyiratkan pengertian bahwa

kredit sangat dibutuhkan oleh semua pengusaha dalam menjalankan aktivitas

usahanya. Aktivitas ini membutuhkan keberadaan lembaga keuangan sebagai

intermediasi antara pihak yang memiliki kelebihan likuiditas dan pihak yang

memiliki kekurangan likuiditas. Peranan lembaga keuangan mikro sebagai

pemberi kredit dan pelaku usaha kecil sebagai penerima kredit, juga menyiratkan

pengertian bahwa kredit merupakan barang ekonomi. Kebutuhan akan kredit oleh

51

pelaku usaha terjadi karena adanya kebutuhan likuiditas eksternal akibat

ketersediaan likuiditas internal yang dimilikinya sendiri tidak mencukupi.

Permintaan kredit dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu tingkat suku

bunga kredit, skala usaha, tingkat upah, pengeluaran untuk riset, proporsi lahan,

tingkat pendidikan, ukuran keluarga, umur kepala keluarga, dan transitory income

(Iqbal, 1981). Faktor-faktor tersebut antara lain menggambarkan, perkembangan

pasar masukan (input), perubahan teknologi, karakteristik keluarga, dan kondisi

sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku usaha.

Sedangkan permintaan kredit secara tidak langsung merupakan permintaan

turunan (derived demand). Fungsi permintaan turunan ini dapat dianalisis

berdasarkan dua teori, yaitu (1) kegunaan (utility), teori ini digunakan untuk

menganalisis permintaan kredit dari sisi rumahtangga sebagai konsumen sekaligus

produsen dan (2) fungsi keuntungan (profit function), teori ini digunakan untuk

menganalisis permintaan kredit dari sisi perusahaan (badan usaha) sebagai

produsen yang berusaha memaksimumkan keuntungan (profit). Analisis

permintaan kredit secara tidak langsung ini, mengasumsikan bahwa kredit sebagai

sumber modal bagi kegiatan usaha.

Untuk menganalisis permintaan kredit oleh usaha kecil dapat dilakukan

dengan pendekatan permintaan langsung dan pendekatan permintaan tidak

langsung dengan analisis fungsi keuntungan.

3.1.2.1. Pendekatan Permintaan Langsung

Permintaan terhadap suatu barang untuk masukan kegiatan produksi oleh

usaha kecil ditentukan oleh beberapa faktor yang dapat dirumuskan dalam suatu

52

fungsi permintaan. Secara matematis fungsi permintaan suatu barang dapat

dirumuskan sebagai berikut:

qdx = ƒ (xi ) ................................................................................... (16)

dimana:

qdx = jumlah barang yang diminta

xi = faktor-faktor yang diduga turut mempengaruhi permintaan barang

tersebut

Teori permintaan menjelaskan tentang karakteristik hubungan antar jumlah

permintaan barang dan harga barang tersebut, dimana terdapat hubungan yang

negatif. Selain itu permintaan terhadap barang ditentukan juga oleh barang lain,

konsumen, dan faktor eksternal lainnya. Dengan demikian permintaan kredit

(sebagai barang) akan ditentukan oleh empat variabel utama, yaitu: (1) kredit itu

sendiri, meliputi tingkat bunga, biaya transaksi, skim kredit, jenis lembaga kredit,

(2) endowments dan karakteristik pelaku usaha (peminjam) antara lain meliputi,

aset yang dimiliki, skala usaha, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pengalaman

usaha, (3) pemberi kredit lainnya (kreditor pesaing) antara lain meliputi tingkat

bunga kredit lainnya, jenis skim kredit lainnya, struktur pasar kreditnya, dan (4)

faktor lainnya meliputi jumlah peminjam (debitor), musim, regulasi dari

pemerintah.

Hubungan antara tingkat bunga kredit dan jumlah kredit yang diminta

adalah negatif, artinya semakin tinggi tingkat bunga kredit maka jumlah kredit

yang diminta akan turun. Tingkat bunga kredit ini meliputi tingkat bunga nominal

yaitu bunga yang ditetapkan pemberi kredit, dan tingkat bunga efektif yaitu bunga

yang harus ditanggung oleh peminjam dimana tingkat bunga efektif ini meliputi

tingkat bunga nominal dan biaya peminjaman. Biaya peminjaman ini meliputi

53

biaya transportasi, biaya transaksi lainnya, dan waktu yang diperlukan untuk

pencairan kredit. Selain itu jenis lembaga pemberi pinjaman (kredit) diduga juga

berpengaruh terhadap permintaan akan kredit, dimana lembaga bank umumnya

memberikan kemungkinan plafon kredit yang lebih besar dibandingkan plafon

kredit dari lembaga non bank. Hal ini karena bank umumnya mempunyai skim

kredit yang lebih banyak dengan batas pengambilan kredit yang lebih tinggi pula.

Permintaan akan kredit dipengaruhi pula oleh kekayaan peminjam. Diduga

semakin besar kekayaan yang dimiliki maka akan semakin besar pula permintaan

terhadap kredit, hal ini terkait juga dengan kemampuan peminjam untuk

memenuhi persyaratan jaminan (collateral atau agunan) yang dipersyaratkan oleh

bank. Jumlah aset likuid seperti kendaraan, perhiasan, dan ternak besar, serta

saldo tabungan yang dimiliki peminjam juga menggambarkan kekayaan

peminjam. Tingkat skala usaha juga turut mempengaruhi permintaan kredit,

semakin besar skala usaha maka kebutuhan tambahan modal untuk modal kerja

(pembelian bahan baku dan bahan pendamping) dan investasi juga semakin besar

sehingga berhubungan positif dengan permintaan kredit. Selain itu tingkat

pendidikan dan pengalaman usaha diduga juga berpengaruh terhadap permintaan

akan kredit, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin lama

pengalaman usaha maka permintaan akan kredit akan semakin meningkat.

Sedangkan keberadaan pemberi pinjaman lainnya (jumlah bank dan non

bank, jenis skim kredit) juga mempengaruhi permintaan akan kredit. Banyaknya

jumlah bank dan jenis skim kredit yang ditawarkan akan membuat pasar kredit

menjadi semakin kompetitif, sehingga tingkat bunga kredit diharapkan akan

54

kompetitif pula. Karena itu struktur pasar kredit yang kompetitif akan mendorong

penurunan tingkat bunga kredit di suatu wilayah.

Jumlah peminjam (debitor) juga akan berpengaruh terhadap permintaan

terhadap kredit. Jika jumlah peminjam meningkat yang digambarkan oleh

tingginya jumlah usaha kecil disuatu wilayah, maka kebutuhan akan tambahan

modal usaha juga akan mampu mendorong peningkatan permintaan akan kredit.

Selain itu musim diduga juga turut berpengaruh terhadap permintaan akan kredit,

hal ini terjadi karena pada jenis usaha tertentu yang kebutuhan modal kerja untuk

bahan baku bersifat musiman sehingga kebutuhan kredit juga meningkat pada saat

bahan baku tersedia melimpah dan banyak dibutuhkan oleh pengusaha.

Dengan demikian permintaan terhadap kredit melalui pendekatan langsung

ini secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

Qc = f (rc, Ic, Sc, Ec) ..................................................................... (17)

dimana:

Qc = permintaan kredit

rc = tingkat bunga kredit

Ei = skim kredit, jenis lembaga pemberi kredit / pinjaman

Ii = karakteristik peminjam (umur, pendidikan, pengalaman usaha)

Si = endowments ( skala usaha, aset yang dimiliki, dll)

3.1.2.2. Pendekatan Permintaan Tidak Langsung

Peranan kredit dalam kegiatan produksi dari suatu usaha kecil sebagai

tambahan modal usaha menunjukkan bahwa secara tidak langsung kredit

mempunyai kaitan dalam kegiatan produksi. Kredit akan digunakan untuk

membiayai tambahan penggunaan faktor-faktor produksi (masukan atau input

produksi) dalam rangka mencapai titik keseimbangan produsen yang lebih tinggi

55

sesuai jalur perluasan usaha (expansion path). Oleh karena itu untuk menduga

permintaan terhadap kredit dapat dilakukan dengan pendekatan tidak langsung

(derived approach) melalui fungsi produksi (production function) dan fungsi

keuntungan (profit function). Asumsinya adalah penggunaan kredit dalam fungsi

produksi akan memberikan tambahan likuiditas untuk membiayai pembelian

masukan (input) produksi. Pengusaha memutuskan untuk meningkatkan

produksinya dalam rangka untuk memperbesar omset penjualan baik melalui

peningkatan skala usaha atau dengan meningkatkan perputaran usaha, karena

adanya peluang usaha yang lebih baik pada waktu mendatang. Karena

ketersediaan modal sendiri yang dimiliki usaha kecil relatif terbatas, maka

alternatif pemenuhan modal akan dapat dipenuhi dari sumber kredit. Fungsi

produksi yang menggambarkan hubungan teknis antara masukan dan keluaran

secara matematis dirumuskan seperti pada persamaan (2) sebagai berikut:

y = f (xi | xf)

dimana:

y = keluaran; dan f menyatakan fungsi daripada

xi = masukan variabel

xf = masukan lainnya yang dianggap tetap

Karakteristik fungsi produksi menurut Henderson dan Quandt (1980), adalah : (1)

merupakan fungsi kontinyu (non discrete) atau limit mendekati nol, (2) bernilai

tunggal (single value) yaitu setiap masukan (input) berpasangan dengan keluaran

(output) tertentu, (3) derivasi atau turunan pertama dan kedua bersifat kontinyu,

(4) nilai yang dipakai positif atau y = f (xi), dimana y dan xi > 0, dan (5) fungsi

produksi cembung (convex) terhadap titik nol.

56

Dengan asumsi bahwa pengusaha berusaha memaksimumkan keuntungan,

memaksimumkan keluaran (output), serta optimalisasi penggunaan masukan

produksi, maka keuntungan dalam jangka pendek yaitu merupakan selisih antara

nilai keluaran (total penerimaan) dengan total biaya masukan variabel. Sedangkan

dalam jangka panjang, karena semua masukan dianggap variabel, maka

keuntungan adalah nilai keluaran dikurangi biaya masukan. Dengan

memanfaatkan persamaan (2) dan persamaan (11), maka fungsi keuntungan juga

dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut :

π = P0 . f ( xi | xf ) – ( ∑ ci . xi + b ) ................................................... (18)

dimana :

π = keuntungan jangka pendek suatu perusahaan

P0 = harga keluaran per satuan

ci = harga per satuan masukan variabel x

Berdasarkan kaidah first order condition maka keuntungan maksimum

jangka pendek tercapai pada saat turunan pertama terhadap input xi dari fungsi

produksi sama dengan nol. Sehingga produk marjinal masukan xi sama dengan

harga per satuan xi , dan secara matematis akan di dapat persamaan :

=∂∂

ixπ P0 .

i

fi

xxxf

∂∂ );( − ci = 0 .............................................................. (19)

P0 . i

fi

xxxf

∂∂ );( = ci ............................................................................. (20)

atau

i

fi

xxxf

∂∂ );( =

o

i

Pc .............................................................................. (21)

dari persamaan (21) diketahui bahwa keuntungan maksimum akan tercapai bila

nilai produk marjinal sama dengan rasio harga masukan variabel (ci) dengan harga

57

keluaran (P0). Model persamaan ini secara teori dapat digunakan untuk

menganalisis beberapa bentuk fungsi produksi, dengan asumsi tersendiri.

Kebutuhan tambahan modal bagi kegiatan produksi usaha kecil dapat pula

berasal dari pendapatan bersih usaha dari periode-periode sebelumnya.

Pendapatan bersih usaha ini merupakan sumber cadangan dana (modal) secara

internal sebagai komponen utama pembentukan modal (capital formation) bagi

usaha kecil dalam bentuk tabungan, pembelian dan peningkatan alat-alat produksi,

serta menjadi sumber dana untuk pengeluaran pendidikan dan sosial

kemasyarakatan. Hal ini terjadi karena usaha kecil yang sebagian besar berada di

wilayah perdesaan umumnya belum mampu memisahkan secara tegas

pengeluaran untuk kebutuhan produksi, investasi dan konsumsi (Rachmina,

1994). Pada saat yang bersamaan apabila kebutuhan tersebut harus dipenuhi maka

prioritas lebih condong untuk membiayai pengeluaran pendidikan dan kesehatan

bagi keluarganya, serta pengeluaran untuk kebutuhan sosial kemasyarakatan

(sumbangan kematian, hajatan, pembangunan sarana umum dan tempat ibadah),

yang sebenarnya juga merupakan investasi jangka panjang menguntungkan bagi

pengembangan sumberdaya manusia dan modal sosial di masyarakat.

Bagi usaha kecil tambahan modal usaha yang diperoleh dari kredit akan

menjadi komponen modal usaha untuk menambah pembelian masukan (input)

produksi berupa bahan baku utama dan bahan baku pendamping. Salah satu faktor

yang menentukan dalam jumlah penggunaan masukan produksi adalah harga per

satuan masukan, apabila harga masukan turun maka jumlah masukan yang

digunakan akan bertambah. Selanjutnya penggunaan bahan baku ini dalam proses

produksi akan meningkatan kapasitas produksi atau keluaran (produk atau output)

58

sehingga akan penerimaan usaha (total produk) meningkat pula. Penerimaan

usaha juga akan meningkat apabila harga jual produk meningkat. Pada proses

inilah fungsi produksi, fungsi biaya, dan fungsi penerimaan secara bersama-sama

akan menghasilkan fungsi keuntungan yang merupakan keuntungan bersih usaha

atau surplus usaha (π), yaitu penerimaan usaha setelah dikurangi biaya produksi.

Secara sederhana pembentukan surplus usaha dapat dirumuskan dalam

persamaan sebagai berikut:

πt = TRt-1 – TCt-1 ................................................................................ (22)

dimana :

πt = surplus usaha pada periode t

TRt-1 = total penerimaan pada periode t sebelumnya

TCt-1 = total biaya produksi pada periode t sebelumnya

Adanya asumsi bahwa pelaku usaha kecil yang pada umumnya masih

belum mampu memisahkan secara tegas antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan

usaha kecil, serta asumsi bahwa modal usaha yang dimiliki oleh usaha kecil masih

terbatas, maka tambahan modal dari luar (non equity capital) berupa kredit sangat

diperlukan untuk menciptakan keuntungan usaha (surplus) yang lebih besar.

3.1.2.3. Kondisi Pasar Kredit Mikro dan Kecil

Ada dua macam pasar kredit di perdesaan, yaitu (1) pasar kredit informal

yang sangat fleksibel dan mudah diakses, (2) dan pasar kredit formal yang

mengikuti mekanis pasar (Syukur et al., 2003). Menurut Ray (1998), masih

adanya tingkat bunga yang tinggi terutama pada di pasar kredit mikro dan kecil

(pasar kredit informal), terjadi karena pemberi pinjaman memiliki kekuatan

monopoli eksklusif atas peminjam, sehingga dapat menetapkan tingkat bunga

59

yang lebih tinggi untuk suatu pinjaman dibanding dengan tingkat bunga pada

kredit komersial lainnya yang lebih kompetitif. Secara empiris ini terjadi karena

pasar kredit ini tersegmentasi dan pihak pemberi pinjaman memiliki “monopoli

lokal’ atas peminjam secara terbatas. Selain itu secara teoritis berkaitan dengan

risiko dalam kredit. Risiko kredit macet di pasar kredit ini terjadi karena

peminjam mungkin macet dalam pembayaran bunga, atau sebagian dan bahkan

seluruh jumlah kredit yang dipinjam. Risiko ini bersumber, (1) dari risiko kredit

macet yang tidak disengaja, seperti: gagal panen, pengangguran, sakit, atau

kematian, sehingga peminjam mungkin tidak memiliki cukup uang saat pinjaman

jatuh tempo, (2) ada risiko kredit macet yang mungkin disengaja secara strategis,

dimana peminjam mengambil uang itu dan lari, atau bersikeras tetap menolak

untuk membayar, terjadi karena hukum tidak kuat atau berfungsi sangat lemah.

Selanjutnya secara sederhana dapat dijelaskan, ada probabilitas p eksogen

dari kegagalan pada setiap dana yang dipinjamkan. Persaingan antara pemberi

pinjaman dalam mengendalikan tingkat bunga kredit ke titik di mana masing-

masing pemberi pinjaman, rata-rata memperoleh keuntungan yang diharapkan

sama dengan nol (setara kredit komersial bank formal). Diasumsikan pasar kredit

adalah kompetitif. Misalkan L adalah jumlah total dana yang dipinjamkan,

sedangkan r adalah tingkat bunga komersial / formal (opportunity cost), dan i

adalah tingkat bunga (kredit mikro dan kecil / informal). Karena hanya sebagian

dari p pinjaman akan dilunasi (tidak terjadi kredit macet), maka keuntungan

pemberi pinjaman yang diharapkan adalah p (1 + i) L - (1 + r) L.

L = jumlah dana yang dipinjamkan (jumlah kredit)

p = probabilitas kredit macet (1 adalah tidak terjadi kredit macet)

r = tingkat bunga kredit komersial / formal (opprtunity cost pemberi

60

pinjaman)

i = tingkat bunga kredit mikro dan kecil / informal

Kondisi laba nol menyiratkan nilai ini harus nol dalam keseimbangan, yaitu,

p(1 + i)L - (1 + r)L = 0 atau

i = 1)1(−

+p

r

Ketika p = 1, yaitu kondisi tidak ada risiko kredit macet, dimana i = r, tingkat

bunga komersial (formal) atau (i) sama dengan tingkat bunga kredit mikro dan

kecil (formal) atau (r). Namun, jika p < 1, maka i > r, yaitu tingkat bunga kredit

mikro dan kecil akan meningkat lebih tinggi untuk menutupi terjadinya risiko

kredit macet (default). Contoh, apabila tingkat bunga kredit komersial / formal (r)

sebesar 10 persen per tahun dan peluang terjadinya kredit macet sebesar 20

persen, sehingga p = 0.8. Maka akan menghasilkan nilai tingkat bunga (i) kredit

mikro dan kecil / informal sebesar 37.5 persen. Jelaslah, pada kondisi pasar kredit

yang kompetitif, maka tingkat bunga kredit mikro dan kecil / informal akan sangat

sensitif terhadap risiko kredit macet (default). Seringkali untuk menjaga agar

tingkat bunga kredit mikro dan kecil tidak terlalu besar, maka kredit macet

diupayakan sebesar 5 persen.

Ini merupakan aspek penting dari realitas pasar kredit mikro dan kecil

terutama di perdesaan dan adanya risiko kredit macet. Di pasar kredit terutama di

negara maju, risiko ini secara substansial menjadi lebih rendah, terutama karena

telah berkembangnya dengan baik sistem hukum yang memaksa berlakunya

kontrak pinjaman (akad kredit) dan banyak pinjaman yang dijamin. Tidak adanya

jaminan hukum (standar yang kuat), akan memunculkan fitur yang membentuk

beberapa karakteristik unik dari pasar kredit mikro dan kecil /informal.

61

Karena itu untuk mengatasi adanya kredit macet, terutama pada kredit

mikro dan kecil di perdesaan perlu diperhatikan beberapa faktor:

1. Ukuran dan Penggunaan Pinjaman: jumlah kredit yang besar akan

menyebabkan risiko kredit macet yang lebih besar pula, karena hal ini

berkaitan dengan peluang peminjam untuk memperoleh kesempatan

meninggalkan tempat usaha lama, karena jumlah pinjaman yang besar tadi.

Selain itu jenis pinjaman juga berperanan terhadap terjadinya kredit macet, jika

pinjaman tersebut bisa digunakan peminjam untuk secara permanen

menempatkan dalam situasi, di mana peminjam tidak pernah meminjam lagi,

maka risiko kredit macet semakin besar. Misalnya, seorang buruh di perdesaan

meminjam sejumlah dana sehingga dapat bermigrasi ke kota dan punya usaha

kecil di sana, maka risiko kredit macet akan makin besar. Karena itu seringkali

terjadi jumlah kredit mikro dan kecil di wilayah perdesaan yang diberikan

relatif kecil dan umumnya hanya diperuntukkan bagi kegiatan usaha rutin

(modal kerja) atau konsumsi saja.

2. Agunan (Jaminan): rasa takut akan terjadinya kredit macet juga menciptakan

kecenderungan bagi pemberi pinjaman untuk meminta jaminan, selama

dimungkinkan. Agunan bisa dalam berbagai bentuk, tanah dapat diagunkan

sebagai jaminan ke pemberi pinjaman, dan hak untuk menggunakan hasil dari

lahan oleh pemberi pinjaman selama pinjaman berlangsung (ijon). Pada

dasarnya, agunan terdiri dari dua jenis, (a) agunan yang oleh kedua belah

pihak, yaitu pemberi pinjaman dan peminjam dianggap sangat bernilai, agunan

jenis ini (bernilai bagi kedua belah pihak) memiliki keuntungan tambahan guna

menutup pemberi pinjaman terhadap standar paksa apabila terjadi kredit macet,

62

(b) agunan yang dianggap oleh peminjam sangat bernilai, tetapi oleh pemberi

pinjaman tidak dianggap bernilai tinggi, agunan ini bagi pemberi pinjaman

tidak terlalu diperhatikan dan akan dijual dengan harga yang kurang baik jika

peminjam gagal membayar pinjaman, sementara bagi peminjam sangat bernilai

(historis atau sentimentil) misalnya: tanah warisan, dan karenanya akan

berusaha membayar kembali pinjamannya bahkan apabila tingkat bunga yang

harus dibayarkan sangat tinggi sekalipun.

3. Penjatahan Kredit (credit rationing): adalah situasi di mana pada tingkat

bunga kredit yang berlaku di psar kredit, peminjam ingin memperoleh

pinjaman dana lebih banyak, tetapi tidak diijinkan atau disetujui oleh pemberi

pinjaman. Penjatahan kredit ini umumnya berkaitan dengan adanya informasi

yang asimetris (asymmetric information). Tidak semua peminjam memiliki

risiko yang sama, ada peminjam berisiko tinggi dan ada peminjam berisiko

rendah. Resiko pinjaman dapat bervariasi secara signifikan dari satu peminjam

ke peminjam yang lain. Risiko ini berkorelasi dengan karakteristik peminjam

yang diamati pemberi pinjaman (seperti: kepemilikan aset, omset, atau akses

pemasaran), namun secara substansial juga tergantung pada kualitas dari

karakteristik peminjam lainnya, yang tidak diamati oleh pemberi pinjaman

(seperti: keterampilan, ketajaman mental dalam menghadapi krisis, kualitas

manajemen, dan sebagainya). Ketika terlihat karakteristik yang diamati itu

berisiko tinggi, pemberi pinjaman dapat mengenakan tingkat bunga yang

sesuai untuk menutup risiko tersebut. Namun, bila ada karateristik peminjam

yang tidak diamati dianggap berisiko tinggi oleh pemberi pinjaman, maka

akan ada tambahan dimensi baru untuk transaksi pasar kredit tersebut.

63

Dimensi baru ini mungkin menimbulkan situasi di mana pada tingkat bunga

yang ditetapkan, pemberi pinjaman cenderung tidak bersedia untuk memenuhi

permintaan dana sebesar yang diinginkan oleh peminjam, sehingga pemberi

pinjaman akan cenderung melakukan penjatahan kredit (credit rationing).

Kecilnya jumlah pinjaman yang diberikan ini pada akhirnya dapat

memperbesar munculnya kredit macet oleh peminjam.

3.2. Kinerja Usaha Kecil

Dalam kegiatan manajemen produksi istilah kinerja seringkali

dipergunakan secara bergantian dengan efisiensi dan produktivitas. Namun

demikian terdapat perbedaan yang cukup mendasar secara teknis. Efisiensi dan

produktivitas lebih menunjukkan kepada ratio keluaran (output) terhadap masukan

(input), sedangkan kinerja menunjukkan pengertian lebih luas dari efisiensi dan

produktivitas (Adam dan Ronald, 1986). Istilah produktivitas berasal dari kata

produk yang berarti barang atau jasa, sehingga merupakan ukuran dari seluruh

keluaran produksi dibagi masukan produksi.

Konsep kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja yang

padanannya dalam bahasa Inggris adalah performance. Kinerja dapat diartikan

sebagai keluaran yang dihasilkan oleh fungsi atau indikator suatu pekerjaan dalam

waktu tertentu. Dalam kegiatan usaha kecil, pekerjaan adalah aktivitas

memproduksi suatu barang dengan menggunakan bahan baku, tenaga kerja dan

ketrampilan tertentu. Suatu pekerjaan mempunyai sejumlah fungsi atau indikator

yang dapat digunakan untuk mengukur hasil pekerjaan tersebut (Wirawan, 2009).

Karena itu kinerja dari kegiatan usaha kecil dapat diukur secara luas, baik dengan

ukuran finansial maupun ukuran non finansial.

64

Menurut (Radnor dan Barnes, 2007), dalam manajemen operasi dari suatu

usaha kecil pengukuran kinerja usaha antara lain mengacu pada langkah di tingkat

perluasan (broadening) dari unit analisis dan kedalaman (deepening) ukuran

kinerja usaha. Hal ini akan memberikan gambaran tidak hanya secara kuantitatif,

tetapi juga secara kualitatif dari usaha kecil, sehingga dapat mendukung

perkembangan secara kualitatif dan meningkatkan daya saing (competitiveness)

dari usaha kecil.

Ukuran kinerja usaha ini seringkali merupakan sekumpulan pengharapan

yang diekspresikan sebagai sekumpulan sasaran yang dapat dirumuskan dalam

bentuk hasil penjualan, keuntungan usaha, pangsa pasar, pengembangan hasil

produksi, penurunan biaya, atau sasaran lainnya (Dharma, 2005). Sasaran-sasaran

yang merupakan kinerja usaha ini akan diukur dalam jangka waktu tertentu dan

mempunyai ukuran kuantitatif yang jelas, sehingga menjadi variabel kinerja yang

secara kuantitatif mudah dan dapat diukur.

Variabel Kinerja yang merupakan ukuran kinerja usaha dari suatu kegiatan

produksi dapat dilihat dari tiga perspektif, (1) keluaran produksi dari kegiatan

usaha terdiri dari aspek finansial dan non-finansial, (2) proses internal dari

kegiatan usaha terdiri antara lain aspek inovasi produk, proses operasi (produksi),

pemasaran produk, dan (3) kemampuan sumberdaya terdiri dari aspek tenaga

kerja, teknologi, dan organisasi.

Pada perspektif yang pertama yaitu keluaran produksi dari kegiatan usaha,

variabel kinerja finansial biasanya diukur dengan indikator : penerimaan usaha,

keuntungan usaha, pertumbuhan usaha, pangsa pasar, dan ratio keuangan.

Sedangkan variabel kinerja non finansial bisa dilihat dari tiga sisi, (1) konsumen,

65

antara lain terdiri: harga produk, tipe pasar, kualitas produk, distribusi dan waktu

antar produk, tingkat pembelian ulang, (2) masyarakat dan pemerintah, terdiri:

keterlibatan terhadap komunitas (kepedulian sosial), tingkat limbah, umpan balik

masyarakat, dan regulasi pemerintah, dan (3) pemasok bahan baku, terdiri: lokasi

pemasok dan ukuran pemasok (Wibisono, 2006).

Variabel kinerja finansial seringkali menjadi fokus perhatian bagi pihak

internal perusahaan sebagai ukuran keluaran produksi dari kegiatan usaha.

Perspektif Kinerja Usaha Indikator Kinerja Usaha

Sumber: Wibisono, 2006 Gambar 3. Ukuran Kinerja Dalam Suatu Kegiatan Produksi

Output Produksi

Proses Internal

Kemampuan Sumberdaya

Ukuran Kinerja Usaha

Kinerja finansial: - Penerimaan usaha - Keuntungan usaha - Pertumbuhan usaha - Pangsa pasar - Ratio keuangan

Kinerja non-finansial: - Konsumen : harga, kualitas, tipe pasar,distribusi - Masyarakat & Pemerintah: tingkat limbah, regulasi - Pemasok : ukuran & lokasi

Inovasi

Proses Produksi

Tenaga Kerja

Organisasi

Penggunaan Teknologi

66

Sedangkan variabel kinerja non finansial biasanya menjadi perhatian pelanggan

masyarakat dan pemerintah. Pengelolaan variabel kinerja finansial maupun non

finansial ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan

(stakeholder), dimana kebutuhan tersebut dapat berbeda bahkan seringkali

membutuhkan trade-off (memenuhi yang satu dengan mengorbankan yang lain)

bagi perusahaan untuk memenuhinya (Wibisono, 2006). Karena itu variabel

kinerja yang menjadi indikator kinerja bagi usaha kecil juga bisa berbeda,

tergantung kebutuhannya. Terdapat perubahan orientasi dari perusahaan dalam hal

indikator kinerja, dimana diketahui bahwa penentuan indikator kinerja bersifat

dinamis terutama karena kebutuhan konsumen yang terus berubah. Secara ringkas

gambaran tentang perspektif kinerja usaha dalam suatu kegiatan produksi dapat

dilihat pada Gambar 3.

Beberapa indikator yang digunakan untuk mendefinisikan dan

mengklasifikasikan usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah sering pula

dijadikan ukuran untuk menilai kinerja usaha kecil yaitu, (1) undang-undang

No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menggunakan

indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset) dan hasil penjualan

(omset) tahunan untuk menilai usaha kecil, (2) Badan Pusat Statistik (BPS)

menggunakan indikator jumlah tenaga kerja, (3) Kementrian Negara Koperasi dan

Usaha Kecil Menengah (UKM) menggunakan indikator, nilai kekayaan yang

dimiliki usaha kecil (asset) dan hasil penjualan (omset) tahunan, (4) Bank

Indonesia menggunakan indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil

(asset), hasil penjualan (omset) tahunan, pelaku usaha, sifat usaha, tingkat

penggunaan sumberdaya lokal, tingkat teknologi dan kemudahan keluar masuk

67

industri (barrier to entry and exit), dan (5) Bank Dunia menggunakan indikator,

jumlah tenaga kerja, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset), dan hasil

penjualan (omset) tahunan. Indikator-indikator dari berbagai lembaga nasional

dan internasional ini cukup beragam, karena disamping menilai kinerja internal

usaha yang meliputi keluaran produksi, proses produksi, dan kemampuan sumber

daya, juga bisa digunakan untuk menilai kinerja sektoral usaha tersebut.

3.3. Lembaga Keuangan Mikro Dan Ekonomi Wilayah

Ekonomi wilayah merupakan salah satu cabang kajian ilmu ekonomi yang

dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi satu wilayah dengan

wilayah lain. Kajian ekonomi yang memasukkan unsur-unsur perbedaan potensi

wilayah pada dasarnya digunakan untuk mencapai tujuan utama (pokok)

kebijakan ekonomi yang menyangkut: (1) pertumbuhan ekonomi, dan (2) full

employment (setidaknya terjadi tingkat pengangguran yang rendah) (Tarigan,

2006). Pengertian lebih spesifik dari wilayah dalam ekonomi wilayah ini adalah

ekonomi yang berada di bawah suatu daerah administrasi tertentu, misalnya

kabupaten. Sehingga wilayah disini merupakan pembagian daerah administratif

dalam suatu pemerintahan, atau merupakan wilayah administrasi (Arsyad, 1999).

Dalam kajian utama pada pertumbuhan ekonomi, indikator utama yang

digunakan adalah produk domestik regional bruto (PDRB) sektoral yang terdiri:

(1) PDRB pertanian, (2) PDRB pertambangan, (3) PDRB perindustrian, (4) PDRB

listrik, air bersih, dan gas, (5) PDRB bangunan, (6) PDRB perdagangan, (7)

PDRB angkutan dan komunikasi, (8) PDRB keuangan, dan (9) PDRB jasa-jasa.

Karena itu kaitan antara kredit yang berasal lembaga keuangan mikro sebagai

salah satu lembaga perbankan yang merupakan bagian dari alat kebijakan

68

moneter, diharapkan dapat turut serta mendorong perekonomian wilayah

khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor ekonomi.

Peranan lembaga keuangan mikro dalam peningkatan pertumbuhan

ekonomi dapat dilihat sebagai bagian dari peranan kebijakan moneter terhadap

kegiatan ekonomi, karena kredit sebagai produk kuangan mikro akan mendorong

kegiatan produksi dan konsumsi usaha mikro dan kecil. Mula-mula sistem

moneter akan terpengaruh oleh kebijakan moneter yang selanjutnya akan

mempengaruhi tingkat bunga, kredit yang disalurkan dan jumlah uang beredar,

serta investasi dan konsumsi sehingga produk domestik bruto akan terpengaruh.

Pengaruh kebijakan moneter ini akan direspon perbankan dan kemudian ditransfer

ke sektor riil melalui kegiatan investasi dan produksi oleh kelompok usaha kecil

di berbagai sektor ekonomi.

3.3.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil

Kebijakan moneter yang dilakukan melalui mekanisme transmisi pada

akhirnya akan dapat menggeser permintaan agregat, sehingga akan mengubah

keseimbangan tingkat pendapatan nasional (Nopirin, 2000). Terdapat beberapa

jenis mekanisme transmisi kebijakan moneter, menurut Warjiyo, (2004), meliputi:

1. Saluran Uang (Money Channel): mengacu pada dominasi peranan uang dalam

perekonomian oleh Quantity Theory of Money (Fisher,.1911), yang

menggambarkan hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan uang

beredar dan inflasi, dalam suatu identitas persamaan: MV = PT , dimana

jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama

dengan jumlah transaksi ekonomi (T) dikalikan dengan tingkat harga (P).

Dalam keadaan keseimbangan, jumlah uang beredar yang digunakan oleh

69

seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output

nominal, dihitung dengan harga yang berlaku, yang ditransaksikan dalam

ekonomi (PT). Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan

dan para pelaku ekonomi seperti diatas, mekanisme transmisi moneter melalui

saluran uang merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang

dalam perekonomian. Kemudian bank sentral melakukan pengendalian uang

beredar (M1, M2) melalui pencapaian sasaran operasional uang primer (M2).

Disisi lain, bank perlu mengelola likuiditasnya dalam bentuk cadangan dana

yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu (bank reserves) dari sisi aset dan

pendanaan dari simpanan masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1, M2)

dari sisi liabilities. Selanjutnya pelaku ekonomi menyimpan dan

menggunakan uang beredar (M1, M2) untuk kegiatan usahanya.

2. Saluran Kredit (Bank Lending Channel): selain dana yang tersedia, perilaku

penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap

prospek usaha debitur dan kondisi perbankan itu sendiri, seperti: permodalan

(CAR), jumlah kredit macet (NPL), dan loan to deposit ratio (LDR). Selain

itu, tidak semua permintaan kredit debitur yang dinilai oleh bank tidak

feasible, antara lain karena: tingginya ratio utang terhadap modal (leverage),

risiko kredit macet, moral hazard, dan sebagainya. Adanya informasi yang

tidak simetris (assymetric information) antara bank dengan debitur seperti itu

dapat menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan.

Karena itu, fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan normal, dalam

arti kenaikan simpanan masyarakat tidak selalu diikuti dengan kenaikan secara

proporsional pada kredit yang disalurkan oleh perbankan. Sehingga, yang

70

lebih berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan dan bukanlah

simpanan masyarakat yang tercermin dalam jumlah uang beredar.

3. Saluran Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Channel): berbeda dengan saluran

uang dan saluran kredit yang mementingkan aspek kuantitas dari proses

perputaran uang dalam ekonomi, saluran tingkat suku bunga lebih

menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan terhadap berbagai

aktivitas ekonomi di sektor riil. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter yang

ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai

suku bunga di sektor keuangan dan selanjutnya akan berpengaruh pada tingkat

inflasi dan output riil. Dalam kaitan dengan interaksi antara bank sentral

dengan perbankan dan pelaku ekonomi dalam proses perputaran uang,

mekanisme saluran suku bunga ada beberapa tahap, (1) kebijakan moneter

dari bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga

jangka pendek (SBI dan PUAB) di pasar uang rupiah, selanjutnya akan

mempengaruhi suku bunga deposito yang diberikan perbankan pada simpanan

masyarakat dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada para

debiturnya, proses trasmisi suku bunga ini biasanya tidak berlangsung secara

segera sehingga terdapat tenggat waktu (time lag), terutama karena kondisi

internal perbankan dalam manajemen aset dan kewajibannya (asset and

liability management), (2) transmisi suku bunga dari perbankan ke sektor riil

akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan

investasi dalam perekonomian, pengaruh suku bunga terhadap permintaan

konsumsi ini terjadi terutama karena bunga deposito merupakan komponen

dari pendapatan masyarakat (income effect) dan bunga kredit sebagai

71

pembiayaan konsumsi (substitution effect), sementara itu pengaruh suku

bunga terhadap permintaan investasi terjadi karena suku bunga kredit

merupakan komponen biaya modal (cost of capital), disamping yield obligasi

dan dividen saham, dalam pembiayaan investasi pengaruh melalui investasi

dan konsumsi tersebut selanjutnya akan berdampak pada besarnya permintaan

agregat sehingga menentukan tingkat inflasi dan output riil dalam

perekonomian.

4. Saluran Nilai Tukar (Exchange Rate Channel): menekankan pentingnya

pengaruh perubahan harga aset finansial dalam bentuk valuta asing terhadap

berbagai aktivitas ekonomi. Pengaruhnya juga terjadi pada besarnya aliran

dana yang masuk dan keluar suatu negara yang terjadi karena aktivitas

perdagangan luar negeri maupun alairan modal investasi dalam neraca

pembayaran, selanjutnya perkembangan nilai tukar dan aliran dana luar negeri

akan berpengaruh terhadap inflasi dan output riil negara tersebut. Semakin

terbuka suatu perekonomian, disertai sistem nilai tukar yang mengambang dan

sistem devisa bebas, maka semakin besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran

modal luar negeri tersebut terhadap inflasi dan output riil negara.

5. Saluran Harga Aset (Asset Price Channel): selain pengaruh melalui nilai tukar

terhadap aset valutas asing, kebijakan moneter juga berpengaruh terhadap

perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset finansial seperti: yield

obligasi dan harga saham, harga aset fisik (properti dan emas). Transmisi ini

terjadi karena penanaman dana oleh investor dalam portofolio investasinya

tidak saja berupa simpanan di bank dan instrumen investasi lainnya (rupiah

dan valuta asing), tetapi juga dalam bentuk obligasi, saham dan aset fisik,

72

sehingga mempengaruhi kekayaan yang dimiliki (wealth effect) maupun

tingkat pendapatan yang dikonsumsi (disposible income) yang timbul dari

penerimaan aset finansial dan aset fisik yang dimiliki para investor

(substitution and income effect).

6. Saluran Ekspektasi (Expectation Channel): semakin meningkatnya

ketidakpastian dalam ekonomi dan keuangan, membuat saluran ekspektasi

semakin penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.

Pelaku ekonomi dalam menentukan tindakan bisnisnya, akan mendasarkan

pada prospek ekonomi dan keuangan ke depan, dan membentuk persepsi

tertentu terhadap kecenderungan perkembangan berbagai indikator ekonomi

dan keuangan. Semakin kredibel kebijakan moneter, semakin rendah pula

deviasi ekspektasi inflasi masyarakat dari sasaran inflasi yang ditetapkan bank

sentral, dan karenanya semakin kecil pula distorsi yang ditimbulkan baik

terhadap perkembangan output riil maupun efektivitas kebijakan moneter

dalam pencapaian sasaran inflasi tersebut.

Dalam konteks penyaluran dan permintaan kredit mikro dan kecil di

Indonesia, saluran kredit (bank lending channel) dan saluran tingkat suku bunga

(interst rate channel), lebih mengena untuk digunakan melihat transmisi

kebijakan moneter dalam mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi khususnya

output riil secara sektoral.

3.3.1.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil melalui Jalur Kredit

Transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur kredit (bank

lending channel) dapat digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan moneter

dalam menggerakkan penawaran kredit (Haryanto, 2007). Generasi pertama dari

73

model pinjaman perbankan di motivasi dari aksioma Modigliani-Miller dengan

dasar informasi asimetrik antara peminjam dan pemberi pinjaman tentang

karakteristik yang disepakati. Asumsinya pengusaha memiliki informasi pribadi

tentang bisnisnya, yang memiliki tingkat pengembalian yang sama tetapi dengan

tingkat keberhasilan yang berbeda. Faktor penting dari jalur pinjaman bank ini

adalah bank sentral dapat mempengaruhi penawaran kredit yang diberikan oleh

lembaga intermediasi keuangan dengan membatasi kuantitas uang, dan

peningkatan biaya modal bagi bank tergantung pada peminjam. Jalur kredit akan

mempengaruhi konsisi ekonomi dengan mengarahkan pada variasi dalam biaya

modal perusahaan dan kesehatan keuangan perusahaan, seperti pada Gambar 4.

Terdapat dua literatur yang menggambarkan mekanisme transmisi

kebijakan moneter jalur kredit (Haryanto, 2007), yaitu:

1. Jalur pinjaman bank yang menekankan akibat dari kebijakan moneter pada

neraca bank, khususnya pada sisi aset bank. Menurut jalur ini, perbankan

berpartisipasi dalam transmisi kebijakan moneter tidak hanya ditransmisikan

Operasi Pasar Terbuka Sumber: Warjiyo, 2004

Gambar.4. Mekanisme Transmisi Saluran Kredit ke Sektor Riil

Bank Sentral Perbankan

Reserves: Kas

Surat berharga

Dana Pihak III (Uang Beredar

M1, M2)

Kredit: Modal Kerja & Investasi

Modal Bank

Pasar Uang Rupiah

Tambahan Modal Kerja & Investasi Bagi Pelaku Usaha

PeningkatanKegiatan Ekonomi Sektoral

Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB)

74

melalui sisi hutang (pasiva) tetapi juga melalui asetnya (aktiva). Dalam

kondisi kontraksi moneter cadangan dan deposit perbankan akan menurun.

Dua kondisi yang perlu ada pada jalur ini adalah pinjaman bank dan saham

harus merupakan substitusi yang tidak sempurna bagi peminjam (bank yang

dependen) dan bank sentral harus dapat membatasi penawaran dari pinjaman

bank. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi penawaran perbankan terhadap

kredit, khususnya bank dengan skala usaha kecil dan hal ini tidak berlaku bagi

bank dengan skala besar yang dapat melindungi kebutuhan untuk menawarkan

pinjaman besar dengan mencari sumber dana murah dari luar negeri.

2. Jalur neraca dengan penekanan pada akibat dari kebijakan moneter di sisi

neraca perusahaan dan akses terhadap kredit perbankan. Nilai aset juga akan

memainkan peran penting pada jalur kredit dalam arti luas seperti yang

dikembangkan Bernarke dan Gertler (1995) dalam Haryanto (2007). Harga

aset adalah sesuatu yang penting terutama dalam menentukan nilai dari

jaminan (agunan) dari perusahaan atau konsumen yang mengajukan kredit.

Dalam pasar kredit, turunnya nilai jaminan akan meningkatkan beban bagi

peminjam karena harus membayar lebih tinggi sehingga menambah beban

bagi keuangan eksternal, yang pada gilirannya akan mengurangi aktivitas

konsumsi dan investasi. Pengaruh kebijakan ini akan mendorong perubahan

pada tingkat suku bunga yang memiliki pengaruh akselerator keuangan.

3.3.1.2. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil melalui Jalur Suku Bunga

Sedangkan transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur suku

bunga (interest rate channel) melengkapi kebijakan moneter dalam menggerakkan

75

penawaran kredit (Warjiyo, 2004). Studi yang dilakukan Kusmiarso et al. (2002),

menunjukkan bukti empiris mengenai bekerjanya transmisi saluran suku bunga

pada periode sebelum dan sesudah krisis. Secara teoritis mekanisme transmisi

saluran suku bunga dapat dilhat pada Gambar 5.

Hal ini dilakukan dengan menganalisis bagaimana biaya modal (cost of

capital) serta efek substitusi dan pendapatan (substitution and income effect)

mentransmisikan perubahan suku bunga yang terjadi karena kebijakan moneter

yang ditempuh bank sentral, periode sebelum dan sesudah krisis:

1. Periode sebelum krisis: bukti empiris menunjukkan suku bunga riil untuk

deposito dan kredit investasi dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan

suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Namun demikian pertumbuhan

Sumber: Warjiyo, 2004

Gambar 5. Mekanisme Transmisi Saluran Suku Bunga ke Sektor Riil

Kebijakan Moneter Bank

Sentral

Suku Bunga: * SBI * Pasar Uang Antar Bank

Suku BungaDeposito Transmisi

di Sektor Keuangan

Suku BungaKredit

Konsumsi Investasi

Peningkatan Aktivitas Produksi Pelaku Usaha

Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB)

Peningkatan Kegiatan Ekonomi Sektoral

Transmisi di Sektor Riil

76

investasi tidak sensitif terhadap perkembangan suku bunga kredit terutama

karena relatif mudahnya akses perbankan dan dunia usaha terhadap dana luar

negeri pada waktu itu. Demikian pula pertumbuhan konsumsi juga tidak

sensitif terhadap perubahan suku bunga deposito, antara lain karena suku

bunga yang relatif stabil dan rendah.

2. Periode sesudah krisis: menunjukkan bahwa respon suku bunga deposito dan

kredit terhadap suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) relatif lebih

lemah dibandingkan dengan periode sebelum krisis, antara lain karena

kekhawatiran perbankan terhadap risiko kredit macet dan berbagai kondisi

internal bank.

Penentuan suku bunga kredit perbankan dipengaruhi oleh suku bunga

deposito dan kondisi likuiditas bank. Kondisi likuiditas menjadi faktor yang lebih

relevan pada bank swasta nasional dan bank pembangunan daerah, tetapi relatif

tidak signifikan pada bank persero dan bank asing-campuran. Dari hasil studi

Kusmiarso et al. (2002) ini terlihat bahwa saluran suku bunga (bank lending

channel) semakin berperan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter,

terutama pengaruhnya terhadap sektor riil melalui perkembangan konsumsi dan

investasi, namun demikian transmisi suku bunga di sektor keuangan belum

secepat yang diharapkan. Hal ini terutama disebabkan belum berfungsinya secara

normal intermediasi perbankan, sehingga respons bank terhadap perubahan suku

bunga bank sentral terjadi tenggat waktu (time lag) dan cenderung asimetris,

khususnya menjadi relatif lebih cepat reaksinya ketika terjadi kenaikan suku

bunga dari bank sentral.

77

Menurut Jhingan (2000), kebijakan moneter di negara-negara berkembang

dapat berfungsi untuk: (1) mendapatkan dan mengambil manfaat dari struktur

tingkat suku bunga yang paling sesuai, (2) meraih perimbangan yang tepat antara

permintaan dan penawaran uang, (3) manajemen utang, (4) pendirian, pelaksanaan

dan perluasan lembaga keuangan, dan (5) menyediakan fasilitas kredit yang tepat

bagi perekonomian yang sedang berkembang dan menghentikan perkembangan

yang tidak semestinya.

Ciri-ciri kebijakan moneter di negara berkembang yang berkaitan dengan

microcredit dari lembaga keuangan mikro, menurut ( Jhingan, 2000) adalah:

1. Pendirian dan perluasan lembaga keuangan: tujuannya adalah untuk

memperbaiki sistem uang dan sistem perkreditan, serta untuk menyiapkan

fasilitas kredit yang lebih besar dan untuk mengalihkan tabungan ke saluran

yang produktif. Cabang dan unit perbankan harus diperluas sampai ke

daerah perdesaan agar dapat menyediakan kredit kepada para petani dan

pedagang kecil. Cengkeraman lintah darat di daerah perdesaan hanya dapat

dilepaskan jika bank sentral membentuk lembaga perkreditan baru yang

dapat menyediakan kredit jangka pendek, jangka menengah maupun jangka

panjang kepada petani dengan suku bunga yang lebih rendah.

2. Pengendalian kredit: tujuannya untuk mempengaruhi pola investasi dan

produksi, serta mengendalikan tekanan inflasioner yang timbul di dalam

proses pembangunan. Ada dua metode yang efektif untuk mengendalikan

kredit, yaitu: (a) metode kuantitatif menggunakan rasio cadangan minimum

(reserve requirements), sehingga bank sentral dapat memantau perluasan

kredit dengan cara menaikkan rasio cadangan minimum, dan (b) metode

78

kualitatif dengan pengendalian kredit secara selektif melalui: persyaratan

pagu jaminan (collateral), pengaturan kredit konsumsi, dan rasionalisasi

kredit (credit rationing).

3.3.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi wilayah (daerah adalah suatu proses di mana

pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan

membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta

untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan

ekonomi di wilayah tersebut. Ada beberapa teori yang secara parsial yang dapat

membantu memahami arti penting pembangunan ekonomi wilayah. Teori-teori ini

membahas: (1) metoda dalam menganalisis perekonomian suatu daerah, dan (2)

faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu

(Arsyad, 1999).

Teori Pertumbuhan Neoklasik:

Model yang dikenal sebagai model Solow-Swan ini menggunakan unsur

pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi, akumulasi kapital, dan besarnya

output yang saling berinteraksi. Model ini menggunakan model fungsi produksi

yang memungkinkan terjadinya substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L).

Sumber pertumbuhan berasal dari: akumulasi modal, bertambahnya penawaran

tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Teknologi terlihat dari peningkatan skill,

dan dianggap fungsi dari waktu (Tarigan, 2006).

79

Model ini melihat bahwa mekanisme pasar dapat menciptakan

keseimbangan sehingga campur tangan pemerintah cukup sebatas kebijakan

moneter dan kebijakan fiskal. Karena itu fungsi produksinya adalah:

Yi = fi (K,L,t)

Dalam kerangka ekonomi wilayah, Richardson merumuskan menjadi:

Yi = aiki + (1-ai)ni + T

dimana:

Yi = besarnya output

ki = tingkat pertumbuhan modal

ni = tingkat pertumbuhan tenaga kerja

T = kemajuan teknologi

a = bagian yang dihasilkan dari faktor modal

(1-a) = bagian yang dihasilkan dari faktor di luar modal

Agar faktor produksi selalu berada pada kapasitas penuh (full employment) perlu

mekanisme yang menyamakan investasi (I) dengan tabungan (S). Sehingga

pertumbuhan mantap (steady growth) membutuhkan syarat:

MPKi = ai (Yi / Ki) = p

MPKi adalah marginal productivity of capital. Apabila p sudah tertentu, dan a

tetap konstan, maka Y (pertumbuhan pendapatan) dan K (pertumbuhan modal)

harus tumbuh dengan tingkat yang sama. Syarat keseimbangan seluruh sistem

adalah:

∑i=1 Ii = ∑i=1 Si

Suatu wilayah akan mengimpor modal jika tingkat pertumbuhan modalnya lebih

kecil dari rasio tabungan domestik terhadap modal. Dalam pasar persaingan

sempurna MPL (marginal productivity of labor) adalah merupakan fungsi

80

langsung tetapi memiliki hubungan terbalik dengan MPK (marginal productivity

of capital). Hal ini bisa dilihat dari rasio modal dan tenaga kerja (K/L).

Teori Neoklasik selalu mengarahkan kepada pasar persaingan sempurna

agar perekonomian bisa tumbuh optimal. Kebijakan yang ditempuh adalah

meniadakan berbagai hambatan dalam perdagangan, perpindahan orang, barang

dan modal. Sarana dan prasarana transportasi dibangun dengan baik dan

terjaminnya keamanan, ketertiban dam kestabilan politik (Tarigan, 2006).

3.4. Lembaga Keuangan Mikro dan Peningkatan Pendapatan

Keuangan mikro telah sejak lama dikembangkan, sehingga hampir setiap

negara memiliki sejarah lembaga keuangan mikro. Di Irlandia berdiri lembaga

pemberi pinjaman dana (Kreditkassen) di sekitar tahun 1720-an, yang

menekankan pada: pemantauan pinjaman yang ketat (peer monitoring), cicilan

mingguan (weekly instalments), bebas bunga di awal cicilan, dan sumber dana dari

donatur. Serta di Jerman pada sekitar tahun 1778 muncul sistem keuangan mikro,

yang bersumber pada simpan pinjam berbasis masyarakat (community-based), dan

koperasi kredit dan simpanan (savings and credit cooperatives). Lembaga

keuangan mikro ini terus berkembang hingga sekarang ini. Perkembangan ini

antara lain menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro yang digerakan oleh

simpanan (savings-driven) dapat berkembang di perkotaan dan perdesaan, serta

jika diawasi dan diatur sebagaimana mestinya (properly regulated and supervised)

akan menjadi potensi yang besar bagi pembangunan dan pengurangan kemiskinan

baik di perkotaan atau perdesaan (Seibel, 2003).

Keterkaitan antara kredit dari lembaga keuangan mikro dan peningkatan

pendapatan rumah tangga merupakan salah satu karakteristik kegiatan produksi di

81

negara-negara berkembang. Keterkaitan ini menunjukkan peran kredit mikro

dalam mengurangi kemiskinan terutama di wilayah perdesaan. Peranan lembaga

keuangan mikro dalam membantu usaha mikro dan mengentaskan kemiskinan

ditandai dengan berkembangnya skim kredit mikro yang dikembangkan oleh

Grameen Bank tahun 1976 di Bangladesh. Sejak awal beroperasinya Grameen

Bank tetap menjaga mandat untuk mengentaskan kemiskinan di perdesaan. Untuk

itu bank tidak hanya mengutamakan kelompok peminjam perempuan, akan tetapi

sejak tahun 1980-an bank lebih mengutamakan fokus pada kelompok perempuan.

Hal ini karena asumsi bahwa perempuan mempunyai kontribusi besar terhadap

kesejahteraan keluarga. Hipotesanya adalah perempuan selalu memprioritaskan

investasi yang menguntungkan anak-anaknya, karenanya pinjaman kepada

perempuan akan memberikan manfaat kualitatif terhadap keluarga yang lebih

dibanding pinjaman kepada kaum laki-laki. Dalam masyarakat yang lebih besar

ini merupakan bentuk pemberdayaan sosial-ekonomi (Rahman, 1999).

Grameen Bank dikenal sebagai sebuah bank bagi masyarakat miskin, yang

dalam operasinalnya tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential

banking), dengan memahami kemampuan sumberdaya masyarakat miskin. Skim

kredit bank ini dinilai berhasil membantu masyarakat miskin di wilayah perdesaan

di Bangladesh. Grameen Bank tidak mengharuskan masyarakat miskin untuk

menyediakan agunan (collateral) yang merupakan syarat utama dalam praktek

perbankan konvensional, yang umumnya tidak berpihak pada masyarakat miskin.

Ketidakperpihakan perbankan konvensional pada masyarakat miskin disebabkan

oleh beberapa faktor, diantaranya (1) keharusan adanya agunan (collateral),

sesuatu hal yang hampir pasti sulit dimiliki dan disediakan oleh masyarakat

82

miskin, (2) apabila tidak mungkin untuk menyediakan agunan, maka diperlukan

orang (pihak ketiga) yang dapat menjadi penjamin. Pada kenyataannya kaum

miskin sangat kecil peluangnya untuk mendapatkan orang yang bersedia menjadi

penjamin kredit bagi orang miskin, dan (3) jarak lokasi lembaga bank komersial

dengan wilayah perdesaan, sangat tidak memungkinkan kaum miskin untuk hadir

ke kantor bank yang seringkali jarak cukup jauh sehingga memerlukan tambahan

biaya yang memberatkan. Situasi ini yang antara lain mendorong Muhamad

Yunus melakukan pilot proyek bank untuk kaum miskin. Dimulai tahun 1976

dengan pilot proyek selama hampir tujuh tahun, maka pada tahun 1983 berdirilah

sebuah bank bagi kaum miskin di Bangladesh yang bernama Grameen Bank, yang

artinya bank perdesaan (Syukur, 2002).

Sebagai sebuah bank yang melayani kaum miskin, Grameen Bank

mengalami perkembangan yang sangat pesat di Bangladesh. Hal ini tidak terlepas

oleh adanya beberapa elemen esensial (Syukur, 2002), yaitu: (1) sasaran penerima

pinjaman ditentukan secara jelas dengan kriteria tertentu (exclusive targeting),

misalnya: memiliki lahan kurang dari 0.5 acre atau memiliki kekayaan tidak lebih

dari nilai sebidang lahan yang subur seluas 1.0 acre, (2) menekankan pada

peminjam perempuan, yang umumnya lebih disiplin dan hanya menggunakan

pinjaman untuk kegiatan produktif, (3) lembaga pelayanannya berada pada tingkat

yang paling bawah (grassroot level), dengan membentuk kelompok dengan

anggota lima orang dan kemudian membentuk enam kelompok, (4) peminjam

dikenakan bunga komersial dan pinjaman hanya boleh digunakan untuk kegiatan

produktif (income generating activities) dan pengajuannya tanpa agunan, (5)

aplikasi dan prosedur pinjaman yang sederhana, serta jumlah pinjaman yang

83

terkontrol (manageable) dan dibayar mingguan, (6) penyaluran pinjaman baru

(first loan) terhadap anggota dalam satu kelompok tersebut dilakukan secara

bergiliran dengan pola 2-2-1, (7) terdapat sistem insentif dan pinalti, serta

akuntabilitas transaksi pada pertemuan mingguan, (8) mobilisasi tabungan yang

juga bertujuan untuk mendidik disiplin anggota, (9) otonomi dalam kegiatan

operasional dilapangan, dan (10) pelatihan staf secara praktis, disiplin dan teliti,

serta kepemimpinan yang memiliki komitmen yang tinggi.

Kredit mikro sebagai produk utama lembaga keuangan mikro diharapkan

dapat mengurangi kemiskinan dan memperkuat kapasitas kelembagaan dari sistem

keuangan tersebut dalam penyaluran pinjaman kepada rumahtangga miskin.

Rumahtangga miskin ini mempunyai corak tersendiri yang berbeda dari yang

dikehendaki oleh sistem perbankan komersial dalam hal agunan (collateral),

tetapi kredit mikro ini telah mampu menggali kelembagaan baru yang mampu

menekan resiko dan biaya menjadi lebih kecil pada pinjaman tanpa agunan

(uncollateralized loans). Lembaga ini juga telah mampu melayani lebih banyak

masyarakat miskin dibandingkan dengan yang dilayani oleh program-program

bersubsidi (Morduch, 2000).

Selain itu menurut (Schreiner, 2002) keuangan mikro juga akan

memberikan manfaat sosial (social benefits) bagi peningkatan kesejahteraan, jika

mampu memperbaiki aspek jangkauan (outreach) dengan bidang yang luas dan

lebar (wide breadth), jauh dan lama (long length), serta cukup beragam (ample).

Menurut Yaron et al. (1996), untuk meningkatkan kinerja lembaga keuangan ini

perlu memperkuat aspek jangkauan (outreach) dan keberlanjutan secra mandiri

84

(self-sustainability), sehingga memberikan dampak pembangunan pada

peningkatan pendapatan dan pengurangan kemiskinan.

Morduch (2000) mengatakan tentang pentingnya menghindari kesalahan

masa lalu dari program-program kredit bersubsidi, dimana lembaga keuangan

tersebut pada akhirnya menghadapi masalah : (1) biaya transaksi yang tinggi

ketika memberikan pinjaman pada usaha mikro dan kecil, (2) sulit sekali

menentukan potensi resiko peminjam dan monitoring perkembangan klien

kelompok masyarakat miskin dan bergerak di sektor informal, dan (3)

rumahtangga berpendapatan rendah umumnya kekurangan aset untuk dijadikan

agunan dalam memperoleh kredit.

3.5. Kerangka Pemikiran Operasional

Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran diatas, maka dapat

dibangun kerangka pemikiran yang meliputi dua aspek, yaitu: aspek usaha kecil,

serta aspek ekonomi wilayah, seperti terlihat pada Gambar.6 dan Gambar.7.

Adapun uraian dari kerangka pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:

Model Ekonomi Usaha Kecil (Gambar.6), diawali dengan Pengambilan

Kredit (PKM) yang dipengaruhi oleh Suku Bunga Kredit (SBK), Pengeluaran

Non Tenaga Kerja (PNTK), Tabungan (TABS), Pengalaman Usaha (LTU), dan

Dummy Sumber Kredit (DSK). Pengambilan kredit oleh usaha kecil ini akan

menjadi komponen utama Modal Usaha (MOUS) untuk mendorong peningkatan

kegiatan usaha, yang dicerminkan dengan kenaikan pengeluaran untuk

Penggunaan Bahan Baku (PBM), Penggunaan Bahan Bakar (PBB) dan

Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) sehingga berpengaruh terhadap peningkatan

Penerimaan Usaha (PENU) yang juga dipengaruhi oleh Harga Jual Produk (PO)

85

dan Dummy Pemasaran Produk (DPP). Peningkatan penerimaan usaha ini akan

meningkatkan Pendapatan Usaha (PEND) setelah dikurangi Total Biaya Produksi

(TBP), sehingga pada akhirnya akan mampu menaikkan Pengeluaran Pendidikan

dan Sosial (PPKS), Konsumsi (PKON), serta Tabungan (TABS). Data dari model

ini adalah data primer yang diambil dari 90 contoh usaha kecil makanan olahan,

sehingga merupakan data cross-section.

Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah (Gambar.7), diawali

dengan jumlah kredit mikro dan kecil yang disalurkan melalui tiga lembaga

keuangan mikro yaitu: BRI Unit dan bank umum, Bank Perkreditan Rakyat

(BPR), dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Kredit Kupedes BRI Unit (KBRI) ini

dipengaruhi oleh Suku Bunga Kredit Konsumsi (SBPK), Jumlah Unit Kantor BRI

Unit (JBRI), Jumlah Nasabah per Kantor BRI Unit (RNU), dan Jumlah Pinjaman

per Nasabah BRI Unit (RPN). Kredit Kupedes BRI Unit (KBRI) akan

mempengaruhi Kredit Modal Kerja KUK dan Kredit Konsumsi-Investasi KUK

(KIKK) yang selanjutnya mempengaruhi Total Kredit KUK dari Bank Umum

(KUK). Selanjutnya Total Kredit KUK dari Bank Umum (KUK) bersama Total

Kredit dari BPR (KBPR) dan Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP)

akan mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk Sektor

Pertanian (PDRB1), Sektor Industri Pengolahan (PDRB2), Sektor Perdagangan

(PDRB3), dan Sektor Jasa (PDRB4). Selanjutnya secara simultan PDRB Sektoral

ini juga akan mempengaruhi jumlah kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh

lembaga keuangan mikro tersebut. Data pada model ini adalah data primer pada

pengamatan di 29 Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah mulai tahun 2000 sampai

dengan tahun 2005, data ini merupakan data pool.

86

87

Keterangan Variabel:

SBK = Tingkat Bunga Kredit (persen per tahun)

ALK = Aset Kegiatan Usaha (Rp)

PO = Harga Jual Produk (Rp per satuan)

TP = Tingkat Pendidikan (skor 1 s/d 6)

JAK = Jumlah Anggota Keluarga (orang)

JTK = Jumlah Tenaga Kerja (HOK yg digunakan dalam usaha kecil)

PBBM = Penggunaan Bahan Bakar Minyak (Rp per tahun)

PTKP = Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan (Rp per tahun)

KTK = Konsumsi Tenaga Kerja (Rp per tahun)

JAS = Jumlah Anak Sekolah (anak sekolah yg ditanggung / orang)

DSK = Dummy Sumber Kredit (0 adalah non bank dan 1 adalah bank)

DJG = Dummy Jenis Kelamin (0 adalah perempuan dan 1 adalah laki-laki)

DPP = Dummy Daerah Pemasaran Produk (0 adalah Yogyakarta dan Jawa Tengah dan 1 adalah mencapai Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya)

PSO = Pengeluaran Sosial (Rp per tahun)

PNTK = Pengeluaran Untuk Non Tenaga Kerja (Rp per siklus usaha)

LTU = Pengalaman Usaha (tahun)

PI = Harga Input (harga input utama dalam usaha tsb, Rp per kg)

DJST = Dummy Kelembagaan Tabungan (0 disimpan dirumah / Kelompok, dan 1 disimpan koperasi / bank)

PKM = Kredit Yang Diambil Usaha Kecil (Rp)

MOUS = Modal Usaha ( Rp per tahun)

PBM = Penggunaan Bahan Mentah (Rp per tahun)

PBB = Penggunaan Bahan Bakar (Rp per tahun)

PTK = Penggunaan Tenaga Kerja (Rp per tahun)

TBP = Total Biaya Produksi (Rp per tahun)

PENU = Penerimaan Usaha Kecil (Rp per tahun, ukuran kinerja usaha)

PEND = Pendapatan Bersih Usaha Kecil (Rp per tahun)

TABS = Tabungan (Rp per tahun)

PKON = Konsumsi (Rp per tahun)

PPKS = Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (Rp per tahun)

88

KREDIT Invest- Kons BPR (KIKB)

KREDIT Modal Kerja BPR (KMB)

KREDIT Invst Kons KUK (KIKK)

KREDIT Modal Kerja KUK(KMK)

PRODUK DOMESTIK REGIONAL-BRUTO (PDRBi)

1.pert-2.industri-3.perdagangan-4.jasa

TOTAL KREDIT BPR (KBPR)

TOTAL KREDIT KUK (KUK)

KREDIT Kupedes BRI (KBRI)

Jumlah BPR

(JBPR)

Suku Bunga BPR (SBBM)

Suku Bunga Investasi (SBPI)

Jumlah Kantor

BRI (JBRI)Jumlah Nasabah/Kantor BRI-Unit (RNU)

Jumlah Angkatan

Kerja (JAK)

KUKi

Jumlah Penduduk (JP)

Blok PDRB

Blok Kredit Dari Lembaga Keuangan Mikro

Jumlah Deposito (JD)

Jumlah Pinj/Nasabah

(RPN)

Suku Bunga Modal Kerja

(SBPM)Jumlah

Tabungan (JT)Jml Nasabah BRI-Unit (JNB)

KREDIT dari KSP (KKSP)

Suku Bunga Kr.Modal Kerja

(SBSM)

Jumlah Kantor KSP(JKSP)

Jumlah Angg. KSP

(JAKO)

Aset Koperasi (AKO)

Jumlah Modal KSP (JMK)

Jumlah GIRO di Bank Umum(JG)

Suku Bunga BPR (SBBI)

Suku Bunga Kons (SBPK)

Keterangan: = Variabel Eksogen = Variabel Endogen

= Arah Variabel Penjelas

Gambar 7. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah

89

Keterangan Variabel

SBBM = Suku Bunga Kredit dari BPR untuk Kredit Modal Kerja (persen)

SBBI = Suku Bunga Kredit dari BPR untuk Kredit Investasi (persen)

JBPR = Jumlah Kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR) (unit)

SBPM = Suku Bunga Kredit, Bank Pemerintah untuk KMK (persen)

JT = Jumlah Simpanan Tabungan Masyarakat di Bank Umum (Rp)

JNB = Jumlah Nasabah Peminjam di BRI-Unit (orang)

SBPI = Suku Bunga Kredit Bank Pemerintah untuk Kredit Investasi (persen)

JD = Jumlah Simpanan Deposito Masyarakat di Bank Umum (Rp)

JBRI = Jumlah Kantor BRI-Unit (unit)

SBPK = Suku Bunga Kredit Bank Pemerintah untuk Kredit Konsumen (persen)

RPN = Jumlah Pinjaman per Nasabah BRI Unit (Rp)

RNU = Jumlah Rata-rata Nasabah Peminjam per BRI-Unit (orang)

SBSM = Suku Bunga Kredit dari Bank Swasta untuk KMK (persen)

JKSP = Jumlah Kantor Koperasi Simpan Pinjam (unit)

JAKO = Jumlah Anggota Koperasi Simpan Pinjam (orang)

AKO = Aset Koperasi Simpan Pinjam (Rp)

JMK = Jumlah Modal Koperasi Simpan Pinjam (Rp)

JP = Jumlah Penduduk (orang)

JAK = Jumlah Angkatan Kerja (orang)

KMB = Kredit Modal Kerja dari BPR (Rp)

KIKB = Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (Rp)

KMK = Kredit Modal Kerja dari KUK (Rp)

KIKK = Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK (Rp)

KBRI = Kredit Kupedes dari BRI-Unit (Rp)

KBPR = Total Kredit dari BPR (Rp)

KUK = Total Kredit dari KUK (Rp)

KKSP = Kredit / Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (Rp)

JG = Jumlah Simpanan Giro dari Masyarakat di Bank Umum (Rp)

PDRBi = PDRB sektoral ( PDRB1 = PDRB sektor Pertanian, PDRB2 = PDRB sektor Industri Pengolahan, PDRB3 = PDRB sektor Perdagangan, PDRB4 = PDRB sektor Jasa-jasa ) (Rp)

90

3.6. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan

kerangka pemikiran teoritis yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan

hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Pengambilan kredit oleh usaha kecil diduga akan mempengaruhi, penggunaan

bahan baku, penggunaan bahan bakar, penggunaan tenaga kerja, penerimaan

usaha, pendapatan usaha, serta konsumsi, tabungan, dan pengeluaran untuk

pendidikan dan sosial.

2. Kredit mikro dan kecil yang berasal dari lembaga keuangan mikro ( bank

umum, bank perkreditan rakyat, dan koperasi simpan pinjam), diduga akan

mempengaruhi produk domestik regional bruto sektor pertanian, industri

pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa.