Upload
homeworkping6
View
275
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Get Homework/Assignment Done
Homeworkping.com
Homework Help
https://www.homeworkping.com/
Research Paper help
https://www.homeworkping.com/
Online Tutoring
https://www.homeworkping.com/
click here for freelancing tutoring sites
LAPORAN KASUS
Dengue Hemorrhagic Fever
Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi
Pembimbing :
dr. Hj. Siti Rahmah, Sp.A
Penyusun :
Citra Anggraeny
(030.08.071)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 18 AGUSTUS – 25 OKTOBER 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (”mosquito
borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, demam dengue (DD) dan demam
2
berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue
shock syndrome/DSS).
Dikenal 4 serotipe virus dengue yang saling tidak mempunyai imunitas silang (infeksi
dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap infeksi oleh serotipe lain). Sabin adalah
orang pertama yang berhasil mengisolasi virus dengue.
Infeksi dengue dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat serotipe virus yang dikenal
(DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4). Infeksi salah satu serotipe akan memicu imunitas protektif
terhadap serotipe tersebut tetapi tidak terhadap serotipe yang lain, sehingga infeksi kedua akan
memberikan dampak yang lebih buruk. Hal ini dikenal sebagai fenomena yang disebut antibody
dependent enhancement (ADE), dimana antibodi akibat serotipe pertama memperberat infeksi
serotipe kedua.
Sampai saat ini telah diketahui beberapa jenis nyamuk sebagai vektor dengue. Aedes
aegypti bersifat antropofilik (senang sekali menggigit manusia) dan hanya nyamuk betina yang
menggigit. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters), yaitu
menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Keadaan ini sangat membantu
Aedes aegypti dalam memindahkan virus dengue ke beberapa orang sekaligus, sehingga
dilaporkan adanya beberapa penderita demam dengue atau DHF di satu rumah.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien dan Orangtua
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. R Tn. D Ny. T
3
Umur 11 tahun 34 tahun 30 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan
Alamat Pekayon Raya, Bekasi
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa - Jawa Jawa
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan Pelajar SD Swasta Ibu Rumah Tangga
Keterangan Hubungan dengan
orang tua : Anak
kandung
Ayah kandung Ibu kandung
II. Anamnesis
Dilakukan secara Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan pasien dan ibu pasien pada
hari Kamis, 17 September 2014 pukul 8.00 WIB di bangsal melati RSUD Kota Bekasi.
Keluhan Utama :
Os datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS.
Keluhan Tambahan :
Mual Muntah, nyeri sendi, dan nyeri perut.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Anak R usia 11 tahun datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan demam sejak
5 hari SMRS, demam terjadi mendadak, terus menerus, dan hanya turun ketika diberi obat
penurun panas. Pasien merasakan adanya pusing berputar, dan terdapat nyeri pada sendi-sendi
pada bagian tubuh, terutama sendi tungkai atas dan sendi tungkai bawah. Menurut pengakuan ibu
pasien, pasien cepat merasa lelah dan lemas. Pasien juga mengeluh nyeri perut tepatnya di ulu
hati, mual dan muntah 1-2 kali 2 hari SMRS, muntah berisikan makanan dan minuman yang
barusan di makan pasien. Nafsu makan pasien berkurang karena mual. BAB pasien mencret,
frekuensi 2 kali perhari, warna kuning kecoklatan, encer dan berampas, tidak berlendir tidak
berdarah. Keluhan BAK disangkal. Keluhan perdarahan diakui pasien tepatnya di gusi.
Pasien mengatakan bahwa di lingkungan sekolahnya (pesantren) terdapat siswa yang
mengalami keluhan yang sama, dan pasien menyangkal pernah bepergian ke daerah endemik
malaria.
4
Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal -
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru -
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Operasi - Morbili -
Kesan : Os pernah tidak pernah dirawat di RS karena sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami sakit seperti ini.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :
KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan
Perawatan antenatal Setiap bulan periksa ke bidan
KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah Sakit
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Spontan
Masa gestasi ± 37 minggu
Keadaan bayi
Berat lahir 2800 g
Panjang badan tidak ingat
Lingkar kepala tidak ingat
Langsung menangis
Nilai apgar tidak tahu
Tidak ada kelainan bawaan
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Pertumbuhan gigi I : 8 bulan (normal: 5-9 bulan)
Psikomotor
5
Mengangkat kepala : 2 bulan (normal: 1-3 bulan)
Tengkurap : 4 bulan (normal: 2-5 bulan)
Duduk : 6 bulan (normal: 6 bulan)
Berdiri : 10 bulan (normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 14 bulan (normal: 13 bulan)
Bicara : 11 bulan (normal: 9-12 bulan)
Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai usia.
Riwayat Makanan :
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
0-2 ASI - - -
2-4 ASI - - -
4-6 ASI - - -
6-8 ASI + Susu
formula
Buah + biskuit Bubur susu Nasi tim
8-10 ASI + Susu
formula
Buah + biskuit Bubur susu Nasi tim
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik
Riwayat Imunisasi :
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG 2 bulan x X
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
POLIO 1 bulan 4 bulan 6 bulan
CAMPAK 9 bulan x X
HEPATITIS B Setelah lahir 1 bulan 6 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
6
Riwayat Keluarga :
Data Ayah Ibu
Nama Tn. D Ny. H
Perkawinan ke Pertama Pertama
Umur 34 30
Keadaan kesehatan Baik Baik
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik
Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Tinggal di rumah sendiri. Terdapat tiga kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air minum
dan air mandi berasal dari air pam.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.
III. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tanda Vital
- Kesadaran : Compos Mentis
- Frekuensi nadi : 110x/menit
- Tekanan darah : Tidak dihitung
- Frekuensi pernapasan : 20x/menit
- Suhu tubuh : 39,0˚C
Data antropometri
- Berat badan : 64 kg
- Panjang badan : 151 cm
- Status gizi menurut CDC :
o BB/U = 64/36 x 100% = 177%
o TB/U = 151/144 x 100% = 104 % (Normal)
o BB/TB = 64/36 x 100% = 177 % (overweight)
o BMI = 64/1512 x 100% = 28% (percentile 95)
7
o Kesan = Obesitas
8
Kepala
- Bentuk : Normocephali
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi baik
- Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor,
RCL +/+, RCTL +/+, lakrimasi +/+, injeksi konjungtiva
-/-, sekret -/- warna putih kekuningan
- Telinga : Normotia, serumen -/-
- Hidung : Septum deviasi (-), sekret -/- cuping hidung -/-
- Mulut : Bibir tampak kering (+), gusi berdarah (+), faring
hiperemis (+), koplik’s spot (-), tonsil T2-T2, kripta -/-, detritus -/-
- Leher : KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Thorax
Paru-paru
- Inspeksi : pergerakan napas statis dan dinamis
9
- Palpasi : vocal fremitus sama pada kedua paru
- Perkusi : sonor pada kedua paru
- Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
- Palpasi : Teraba iktus cordis pada ICS V, 1 cm medial linea
midklavikula kiri
- Perkusi
Batas kanan : Sela iga V linea parasternalis kanan.
Batas kiri : Sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri.
Batas atas : Sela iga II linea parasternal kiri.
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
- Inspeksi : Perut datar
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Supel, turgor kulit baik, pembesaran hepar dan lien sulit
dinilai. Terdapat nyeri tekan epigastrium (+)
- Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Kulit : Ikterik (-)
Ekstremitas : Akral dingin, sianosis (-), edema (-), CRT < 2”, ptekiae
(+) pada kedua kaki dan tangan.
10
11
IV. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 16 September 2014
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI RUTIN
Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
4.4 ribu/μL
13.7 g/dL
38.3 %
123 ribu/ μL
5-10
12-16
40-45
150-400
Tanggal 17 September 2014
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi Rutin Jam 07.15 Jam 11.07 Jam 16.43
Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
4,4 ribu/μL14,8 g/dL
41,2%
46 ribu/ μL
5,6 ribu/μL
14,9 g/dL
41,8 %
44 ribu/ μL
5,0 ribu/μL
14,1 g/dL
38,3 %
44 ribu/ μL
5-10
12-16
40-45
150-400
Tanggal 18 September 2014
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi rutin Jam 12.00 Jam 16.00
Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
6,2 ribu/μL
12,4 g/dL
37,9 %
63 ribu/ μL
7,0 ribu/μL
13,7 g/dL
37,6 %
71 ribu/ μL
5-10
12-16
40-45
150-400
12
Tanggal 19 September 2014
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI RUTIN
Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
IMUNOSEROLOGI
Dengue IgG IgM
Dengue IgG
Dengue IgM
4,9 ribu/μL
12,1 g/dL
36,2 %
59 ribu/ μL
Reaktif
Reaktif
5-10
12-16
40-45
150-400
Non reaktif
Non reaktif
Tanggal 20 September 2014
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HEMATOLOGI RUTIN
Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
5,7 ribu/μL
11,8 g/dL
36,7 %
143 ribu/ μL
5-10
12-16
40-45
150-400
V. Resume
Anak R usia 11 tahun datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan keluhan demam sejak
5 hari SMRS, demam terjadi mendadak, terus menerus, dan hanya turun ketika diberi obat
penurun panas. Pasien merasakan adanya pusing berputar, dan terdapat nyeri pada sendi-sendi
pada bagian tubuh, terutama sendi tungkai atas dan sendi tungkai bawah. Pasien cepat merasa
lelah dan lemas. Pasien juga mengeluh nyeri perut tepatnya di ulu hati, mual dan muntah 1-2
kali 2 hari SMRS, muntah berisikan makanan dan minuman yang barusan di makan pasien.
Nafsu makan pasien berkurang karena mual. BAB pasien mencret, frekuensi 2 kali perhari,
warna kuning kecoklatan, encer, tidak berlendir tidak berdarah. Keluhan BAK disangkal.
Keluhan perdarahan diakui pasien tepatnya di gusi.
13
Pasien mengatakan bahwa di lingkungan sekolahnya (pesantren) terdapat siswa yang
mengalami keluhan yang sama, dan pasien menyangkal pernah bepergian ke daerah endemik
malaria.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran umum pasien tampak sakit sedang, dan juga
di sertai adanya nyeri tekan epigastrium serta ptekiae pada keempat extremitas.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya penurunan hematokrit dan juga
trombositopenia.
VI. Diagnosis Kerja
Dengue Hemorrhagic Fever Grade III
VII. Diagnosis Banding
Demam Thypoid
Demam chikungunya
VIII. Penatalaksanaan
Non medikamentosa :
1. Komunikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan pasien
2. Tirah baring
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Diit lunak dan banyak cairan
Medikamentosa :
1. IVFD RL 40 tetes/menit makro
2. Injeksi Ondancentron 3x4 mg/ iv
3. Ranitidin2x25 mg/iv
4. Sanmol 3x500 gr
IX. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
14
Ad sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
17/9/2014Perawatan hari II(hari ke 7 demam)
Demam (+) Mual (+) Muntah (-) Nyeri kepala
dan nyeri sendi (+)
BAB mencret (-)
CM, TSS N: 100x/menit S: 38,20C RR: 20x/menit Mukosa bibir
kering (+) Tonsil T2-T2
Gusi berdarah (-) Akral dingin (+) Nyeri tekan
epigastrium (+)
DHF Grade III Cairan intravena RL 150 tetes/ 30 menit
Infus gelofusin 100 tetes
Ondancentron 3x4 mg
Sanmol 3x500 mg
H2TL / 8 jam observasi
tanda-tanda syok
18/9/2014Perawatan hari III(hari ke 8 demam)
Demam (-) Mual (+) Muntah (-) Lemas (+)
CM, TSS N: 98x/menit
(melemah) S: 37,30C RR: 22 x/menit Mukosa bibir
kering (+) Nyeri tekan
epigastrium (+) Akral dingin (+)
DHF Grade III Cairan intravena RL 12 tetes/menit
Infus gelofusin 6 tetes/menit
Sanmol 3x500 mg
Ranitidin 2x25mg/iv
19/9/2014Perawatan hari IV(hari ke 9 demam)
Demam (-) Nyeri kepala
dan nyeri sendi berkurang
CM, TSR N: 90x/menit S: 36,40C RR: 19 x/menit Tampak lemah
DHF Grade III dengan perbaikan
Cairan intravena RL 6 tetes/menit
Sanmol 3x500 mg
Ranitidin 2x25 mg/iv
20/9/2014Perawatan hari V(hari ke 10 demam)
Demam (-) Mual (-)
CM, TSR N: 85x/menit S: 36,20C RR: 18 x/menit Tampak lemah
DHF Grade III dengan perbaikan
Sanmol 3x500 mg
Ranitidin 2x25 mg/iv
Pada tanggal 20 September 2014, sore. Pasien pulang
15
BAB III
ANALISIS KASUS
Pada pasien ini di diagnosis Dengue Hemorrhagic Fever Grade III yang ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien anak
berusia 11 tahun datang dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS, demam terjadi mendadak,
naik turun dan hanya turun ketika diberi obat penurun panas. Lalu di dapatkan adanya nyeri pada
ulu hati yang kemungkinan bisa berasal dari infeksi virus dengue. Pada pasien ini juga di
dapatkan adanya penurunan nafsu makan di karenakan adanya mual dan muntah 1-2x/hari.
Adanya BAB mencret yang bisa menambah penurunan nutrisi pada pasien yang bisa
menyebabkan dehidrasi pada pasien dan dapat memperparah penyakitnya. Dari riwayat sakit di
atas, diagnosis dapat diarahkan ke penyakit virus dengue. Pada pasien ini didapatkan adanya
tanda perdarahan spontan yaitu, gusi berdarah yang merupakan tanda dari diagnosis DHF. Maka
dari itu di perlukan adanya pemeriksaan lanjutan berupa hitung jumlah trombosit pada pasien ini
yang merupakan salah satu kriteria dalam mendiagnosis DHF. Menurut pasien terdapat temannya
di sekolah (pesantren) yang menderita hal serupa. Ibu pasien menyangkal pasien pernah
bepergian ke daerah endemik malaria.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaran umum pasien tampak sakit sedang, dan
kesadaran compos mentis. Pemeriksaan kepala-leher dalam batas normal, bagian mulut
didapatkan mukosa bibir kering, gusi berdarah, thoraks dalam batas normal, pemeriksaan
abdomen ditemukan adanya nyeri tekan epigastrium, pemeriksaan kulit dan ekstremitas
ditemukan adanya bercak merah di tangan dan kaki.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya penurunan hematokrit, dan
trombositopenia.
Pasien ini dapat di diagnosis sebagai dengue dengan tanda bahaya dikarenakan adanya
perdarahan spontan, nadi yang cepat dan lemah, penurunan trombosit, serta obesitas sebagai
faktor resiko.
16
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan oleh ”arthropod
borne viruses” dengan ciri demam bifasik, mialgia atau atralgia, rash, leukopeni dan
limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akibat virus dengue
yang berat dan sering kali fatal.
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas vaskuler dan
bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan demam dengue (DD) dapat mengalami perdarahan
berat walaupun tidak memenuhi kriteria WHO untuk DBD.
Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm
dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-1,DEN-
2,DEN-3 dan DEN-4.
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes aegypty
merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti Aedes
albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan epidemi yang
ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.
Patofisiologi
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit dan
trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam dengue dan demam
berdarah dengue.
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. Beberapa teori dan hipotesis
yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
17
1. Teori virulensi virus
2. Teori imunopatologi
3. Teori antigen antibodi
4. Teori infection enchancing antibody
5. Teori mediator
6. Teori endotoksin
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Teori apoptosis.
Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris muncul teori infeksi
sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan aktivasi komplemen, dari sini
berkembang menjadi teori infection enhancing antibody kemudian muncul peran endotoksemia
dan limfosit T.
Gambar 2. Teori secondary heterologous infection yang pertama kali dipublikasikan oleh
Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan patofisiologi DD/DBD
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody
dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami.
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat
memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku pada
18
anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun
ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue dari ibu.
Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan penting
dalam patofisiologi DBD.
Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory
Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar
imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama perjalanan
infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear yang terinfeksi virus
dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui ini saat ini dikenal sebagai
”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis
DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder
dengan serotipe virus dengue heteroolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan DSS.
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan
masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan
masuk dalam monosit
- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum
tulang (terjadi viremia).
- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai sistem
humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen), sitokin dan
tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor
koagulasi.
Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:
- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)
- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody).
19
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan kompleks
imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari bahwa
infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian in vitro
menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam monosit
akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus tetap hidup dan
berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit terinfeksi sehingga
penyakit cenderung lebih berat.
Gambar 3. Teori secondary heterologous infection
Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun
meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa
kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek sinergistik
dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh.
20
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk
kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit (makrofag).
Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC memicu limfosit T
(CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang mengaktivasi sel lain termasuk
makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi
ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet,
produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.
Manifestasi Klinis
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu :
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
2. Demam dengue klasik
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
4. Dengue Shock Syndrome (DSS).
Gambar 5. Siklus transmisi demam dengue/ demam berdarah dengue
Demam Dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi ;
nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia.
Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota
badan dan ruam.
21
- Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam bersifat bifasik
yang berlangsung sekitar 5-7 hari.
- Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat terlihat pada
wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan kemungkinan
makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang muncul pada hari ke 3 atau
ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan
berlangsung 3-4 hari.
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofoi, berkeringat,
batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus
atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain
dapat menyertai.
Gambar 6. Spektrum Klinis DD dan DBD
Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut
- Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni
hingga periode demam berakhir
- Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme pembekuaan
darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
- Serum biokimia/enzim biasanya normal,kadar enzim hati mungkin meningkat.
22
Demam Berdarah Dengue
Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Kasus DBD ditandai 4 manifestasi
klinis yaitu :
- Demam tinggi
- Perdarahan terutama perdarahan kulit
- Hepatomegali
- Kegagalan peredaran darah (circulatory failure).
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada
tempat pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering
kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai
sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah
renjatan tidak dapat diatasi.
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm dibawah
tepi rusuk kanan. Pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan penyakit tetapi
hepatomegali sering ditemukan dalam kasus-kasus syok. Nyeri tekan hati terasa tetapi biasanya
tidak ikterik.
Pada pemeriksaan laboratoriun dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang hingga berat
disertai hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis utama menentukan tingkat keparahan DBD
dan membedakannya dengan DD ialah gangguan hemostasis dan kebocoran plasma yang
bermanifestasi sebagai trombositopenia dan peningkatan jumlah trombosit.
Status gizi seseorang berpengaruh terhadap resiko DBD menjadi DSS, hal tersebut
dijelaskan dalam Elmy et al (2009) dimana diteliti mengenai keterkaitan obesitas menjadi factor
resiko DSS. Hasilnya didapatkan besarnya risiko DSS pada anak obese 4,9 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak non-obese. Hal ini berkaitan dengan adanya penumpukan jaringan
lemak pada orang yang menderita obesitas akibat peningkatan jumlah dan besar sel adiposit.
23
Diantara jaringan lemak yang ada, jaringan lemak putih yaitu sel adiposit yang mensekresikan
dan melepaskan sitokin pro-inflamasi TNFα (tumour necrosis factor α) dan beberapa interleukin
(IL) yaitu IL-1β, IL-6, dan IL-8. Pada obesitas akan terjadi peningkatan ekspresi TNF α dan IL-6
sedangkan pada DSS terjadi produksi TNF α, IL-1, IL-6 dan IL-8.
IL-1, dan TNF-α, dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul demam. IL-1
langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan TNF-α bekerja tidak secara langsung
karena merekalah yang merangsang pelepasan IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1 menyebabkan demam?
Daerah spesifik IL-1 adalah pre-optik dan hipothalamus anterior dimana terdapat corpus
callosum lamina terminalis (OVLT). OVLT terletak di dinding rostral ventriculus III dan
merupakan sekelompok saraf termosensitif (cold dan hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke
dalam OVLT melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan PGE2. Selain
itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat menjadi PGE2. Selanjutnya
PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam hipothalamus atau bereaksi dengan cold sensitive
neurons. Hasil akhir mekanisme tersebut adalah peningkatan thermostatic set point yang
menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas (vasokontriksi) dan
memproduksi panas dengan menggigil.
Overproduksi IL-6 berperan besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-trombosit dan
anti-sel endotel, sehingga menyebabkan kerusakan trombosit.
Peningkatan sintesis IL-8 memegang peran penting dalam terjadinya kebocoran plasma
pada pasien DBD dan DSS. Hal ini dapat dilihat dalam serum pasien DBD/DSS berat terjadi
peningkatan level IL-8, dan dibuktikan secara in vitro oleh Bosch I dkk (2002) melalui kultur
primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue tipe 2, terjadi peningkatan level
IL-8 dalam supernatan kultur.
Dengue Shock Syndrome
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat,
tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan pasien tampak
gelisah.
24
Gambar 8. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma pada DBD
( Dikutip dari kepustakaan no. 13)
Diagnosis
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue
yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah kesehatan
masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Bila kriteria WHO tidak terpenuhi maka yang
dihadapi memang bukan DBD, mungkin DD atau infeksi virus lainnya. Kriteria WHO sangat
membantu dalam membuat diagnosis pulang (bukan diagnosis masuk rumah sakit), sehingga
catatan medis dapat dibuat lebih tepat.
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris yaitu
trombositopeni dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada) dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi.
Kriteria diagnosis DBD (Case definition) berdasarkan WHO 1997 ialah :
Kriteria klinis :
25
- Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7 hari
- Terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena
- Pembesaran hati
- Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi
Kriteria laboratorium :
- Trombositopenia (100.000/l atau kurang)
- Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit lebih dari 20%.
Pembagian derajat DBD menurut WHO 1975 dan 1986 ialah :
- Derajat I : Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
- Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
- Derajat III: Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan
penderita gelisah.
- Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa.
Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok
2. kelainan Ginjal akibat syok berkepanjangan
3. Edema paru, akibat over loading cairan.
Penatalaksanaan
26
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan
mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).
Penatalaksanaan Demam Dengue
Penatalaksanaan kasus DD bersifat simptomatis dan suportif meliputi :
- Tirah baring selama fase demam akut
- Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tbuh tetap dibawah 40 C, sebaiknya
diberikan parasetamol
- Analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu diberikan pada pasien yang mengalami nyeri
yang parah
- Terapi elektrolit dan cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang berkeringat lebih
atau muntah.
Penatalaksanaan Demam berdarah Dengue
Berdasarkan ciri patofisiologis maka jelas perjalanan penyakit DBD lebih berat sehingga
prognosis sangat tergantung pada pengenalan dini adanya kebocoran plasma. Penatalaksanaan
fase demam pada DBD dan DD tidak jauh berbeda. Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit
yang ketiga yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam
27
hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD
ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.
Perembesan atau kebocoran plasma pada DBD terjadi mulai hari demam ketiga hingga
ketujuh dan tidak lebih dari 48 jam sehingga fase kritis DBD ialah dari saat demam turun hingga
48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam
sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan.
Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil diatasi hanya
dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15% memerlukan transfusi darah.
Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk resusitasi awal syok ialah Ringer laktat,
Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer memiliki kelebihan karena mengandung natrium dan
sebagai base corrector untuk mengatasi hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai pada
DBD.
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk rumatan bukan
cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi.
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid
maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl
starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih besar sehingga dapat bertahan
dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada cairan kristaloid dan memiliki kapasitas
mempertahankan tekanan onkotik vaskular lebih baik.
Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid (20ml/kgBB/30menit)
dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada perbaikan maka diperlukan pemberian
transfusi darah minimal 100 ml dapat segera diberikan. Obat inotropik diberIkan apabila telah
dilakukan pemberian cairan yang memadai tetapi syok belum dapat diatasi.
28
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:
29
30
31
32
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).
Pencegahan
- Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat
perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
- Foging Focus dan Foging Masal
d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1
minggu
e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka
waktu 1 bulan
f. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan
Swing Fog
- Penyelidikan Epidemiologi
g. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah
menerima laporan kasus
h. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
- Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
- Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. 10
33
Kesimpulan
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (”mosquito
borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness,
demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat
yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS).
Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman
mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan klinis dan
laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksanan DBD. Akhirnya dalam menegakkan diagnosis
dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan dengan kondisi pasien.
Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan prognosis yang lebih baik.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic
Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book
13th National Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329-
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Current
Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-
3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia
: WB Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent
enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;
54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada Penderita
Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13 September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.
Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and Control
of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines. New Delhi :
WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro
SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi
Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus
DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,
Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit
Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55
35