UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEK IMUNOMODULATOR CAMPURAN KOMPONEN
MENYIRIH [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2]
DENGAN PELARUT AIR TERHADAP KADAR CD19
DALAM DARAH
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
RATNIKA SARI
1112102000089
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
JAKARTA
JANUARI 2017
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEK IMUNOMODULATOR CAMPURAN KOMPONEN
MENYIRIH [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2]
DENGAN PELARUT AIR TERHADAP KADAR CD19
DALAM DARAH
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
RATNIKA SARI
1112102000089
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
JAKARTA
JANUARI 2017
TIALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi adalah benar hasil karya saya sendirio
dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
NIM
Tanda tangan
Tanggal
Ratnika Sari
1112102000089
11 Januari 2017
til
EALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama : Ratnika Sari
MM :1112102000089
Program Studi : Farmasi
Judul : Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih
lUncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)21 dengan
Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah
Disetujui oleh:
Pembimbing II
Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc.. Apt.NrP. 19560106 198510 1001
Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie. Sp.KFRNrP. 19620720 199043 1 402
Mengetahui,Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu KesehatanIIIN Syarif Hidayatullah lakarta
/uf,Dr. Nurmeilis- M.Si.. Apt.
NIP. 19740730 200501 2 003
tv
Telah berhasil rlipertahankan dihadapan Dewan penguji dan diterima
sebagai hagian persyaratan yang diperlukan unfuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Skripsi
Nama
NIM
Program Studi
Judul Skripsi
Pembimbing 1
Pembimbing I
Penguji I
Penguji 2
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 1l Januari 2017
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Ratnika Sari
1 I 12102000089
Farmasi
Uji Efek Imuromodulator Campuran Komponen MenyirihlUncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)21 denganPelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah
DEWAN PENGUJI
: Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt
: Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR
: Yardi, Ph.D., Apt
: dr. Alyya Siddiqa, Sp. FK
,u^"N-
,dt\&y&
vi
ABSTRAK
Nama : Ratnika Sari
Program Studi : Farmasi
Judul : Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih
[Uncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)2] dengan
Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah
Menyirih merupakan kombinasi tanaman obat yang dipercaya nenek moyang
dapat menjaga pertahanan tubuh. Kombinasi campuran menyirih yang paling
sederhana terdiri dari gambir, daun sirih, dan kapur sirih. Ketiga bahan dibuat
menjadi sediaan kapsul yang berfungsi sebagai imunomodulator dengan metode
pencampuran kemudian di freeze dry. Pada penelitian ini dilakukan dilakukan
pengembangan sediaan berupa kapsul. Dilakukan evaluasi terhadap sediaan
kapsul komponen menyirih meliputi uji keseragaman bobot, uji waktu hancur, dan
uji higroskopisitas. Kapsul komponen menyirih diberikan kepada responden sehat
dengan dosis 972 mg dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari. Digunakan
Imboost® Force sebagai kontrol positif dan tidak ada perlakuan untuk kontrol
negatif. Percobaan dilakukan selama 14 hari dengan parameter pengukuran kadar
CD19 dalam darah. Pengujian CD19 dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan
perlakuan terhadap responden. Hasil dari evaluasi sediaan untuk uji keseragaman
bobot dan uji waktu hancur memenuhi syarat, namun hasil uji higroskopisitas
menunjukkan bahwa sediaan bersifat higroskopis. Berdasarkan analisa statistik,
hasil pemeriksaan CD19 dalam darah didapatkan nilai ρ > 0,05. Hasil ini
menunjukkan bahwa kapsul komponen menyirih tidak memiliki perbedaan secara
signifikan terhadap peningkatan kadar CD19 dalam darah.
Kata kunci : Gambir (Uncaria gambir Roxb.), Daun Sirih (Piper betle L.), Kapur
Sirih [Ca(OH)2], Imunomodulator, CD19.
vii
ABSTRACT
Name : Ratnika Sari
Study Program : Pharmacy
Title : Immunomodulatory Effect trial of Mixture Component
Chewing [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L. and
Ca(OH)2] with water solvent to the levels of CD19 in the
blood.
Chewing is a combination of medicinal plants that is believed ancestors to
maintain the body's defenses. The combination of chewing simplest mixture
consisting of gambir, betel leaf, and slake lime. Three materials are made into a
capsule that serves as an immunomodulator with the mixing method then freeze
dry. In this research, the development of a capsule dosage form. Capsule
evaluation of chewing components include weight uniformity test, disintegration
time test, and hygrocopicity test. Capsule chewing components given to healthy
respondents with immunomodulatory then tested to healthy respondents with a
dose of 972 mg three times a day. Used Imboost® Force as positive control and
no treatment for negative control. Experiments were carried out for 14 days with a
measurement parameter CD19 levels in the blood. CD19 Tests performed before
and after treatment of the respondents. The result of evaluation for weight
uniformity test and disintegration time test qualified, but hygroscopicity test
showed that preparation is hygroscopic. Based on statistical analysis, the result of
CD19 in the blood obtained the value of p > 0,05. These results showed that the
capsule chewing components have no significant difference to increased levels of
CD19 in the blood.
Keywords : Gambier (Uncaria gambir Roxb.), Betel Leaf (Piper betle L.),
Slake Lime [Ca (OH)2], Immunomodulatory, CD19
viii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi
dengan judul “Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih
[Uncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)2] dengan Pelarut Air terhadap
Kadar CD19 dalam Darah”. Skripsi ini telah diajukan sebagai salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan program pendidikan tingkat Strata 1 (S1) pada
Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt. dan Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie,
Sp.KFR selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran,
bimbingan serta motivasi kepada penulis selama penelitian
2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
4. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. dan dr. Alyya siddiqa, Sp.FK selaku penguji yang
telah memberikan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan serta motivasi kepada
penulis selama penelitian
5. Ibunda Mawarni dan ayahanda Syamsul Hamid selaku orangtua, saudara-
saudara terkasih Edwin Sumarhadi Wijaya, Achmad Mulyadi dan
Muhammad Hidayat, serta keluarga besar yang senantiasa memberi dukungan
dan tak lupa doa yang senantiasa dipanjatkan dalam setiap langkah penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini
6. Dosen-dosen, staf, karyawan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Islam Negeri (uIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Para laboran yang telah memberi bantuan kepada penulis selama penelitian
8. Sahabat-sahabat tercinta Siti Nurbaiti, V/eny Zulatha Nasution, Novitasari
dan Ulfa Kurniasih. Terima kasih atas doa dan dukungan selama ini
9. Sahabat-sahabat tersayang Resha Adriana Putri, Lilis Hermawati, Elsa
Rahmi, Chalila Deli Gayo, Safizah Ummu Harisah, Apriliana Nur, Ayu
Nopita, Vesty Anis Triana dan Dwi Putri Rahmawati. Terima kasih untuk
bantuan, dukungan, doa", dan motivasi selarna ini
10. J'eman-teman seperjuangan skripsi Amelia Agustin, Mita Saputri Lestari,
Nur;afniah serta teman-teman Fannasi 2012 tenttairtta kelas BD. Terima kasih
atas kebersamaan, ilmu, motivasi, semangat, canda dan tawa yang telah kita
lewati. Semoga silaturahim senantiasa terjaga
I 1. Keluarga besar Santri Ja.di Dokter Sumatera Selatan. Terima kasih atas
motivasi, doa dan kebersamaan selama ini
12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan skripsi ini
Penulis menyadari penelitian dan penulisan skripsi ini terdapat kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati
menerima kritik dan saran dari pernbaca.
Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dicatat sebagai amal
ibadah dan dibalas oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga penelitian ini
dapat bermanfaat bagi masyarakat dan dalain pengembangan ilmu pengetahuan.
Jaka.rta, Jafl:anlQ17
e*Penulis
tx
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN SKRIPSI
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Ratnika Sari
NIM :1112102000089
Program Studi : F'armasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetq'ui skripsilkarya ilmiah saya,
denganjudul :
Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih fUncuriu garubir
Roxb., Piper betleL. dan Ca(OH)21 dengan Pelarut Air terhadap Kadar
CD19 dalam Darah
untuk dipublikasi atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri Of$ Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pemyataan persetujuan publikasi karya ihniah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
PadaTanggal : 11 Januari}}lT
Yang menyatakan,
( Ratnika Sari )
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii
HALAMAN PENYATAAN ORISINALITAS .............................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
ABSTRACT ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... x
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 4
1.3 Hipotesis ............................................................................................ 4
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 5
2.1 Deskripsi Tanaman Gambir............................................................... 5
2.1.1 Klasifikasi ...................................................................................... 5
2.1.2 Nama Daerah ........................................................................... 5
2.1.3 Uraian Tanaman ...................................................................... 6
2.1.4 Morfologi ................................................................................ 6
2.1.5 Kandungan Kimia ................................................................... 7
2.2 Deskripsi Tanaman Sirih ................................................................... 8
2.2.1 Klasifikasi................................................................................ 8
2.2.2 Nama Daerah ........................................................................... 8
2.2.3 Uraian Tanaman ...................................................................... 9
xii
2.2.4 Morfologi ................................................................................ 9
2.2.5 Ekologi dan Penyebaran ........................................................ 10
2.2.6 Kandungan Kimia ................................................................. 10
2.2.7 Khasiat Tanaman ................................................................... 11
2.3 Kapur Sirih ..................................................................................... 11
2.4 Simplisia .......................................................................................... 12
2.4.1 Pengolahan Simplisia ............................................................ 13
2.4.2 Pemeriksaan Mutu Simplisia ................................................. 15
2.5 Ekstrak dan Ekstraksi ...................................................................... 15
2.5.1 Definisi .................................................................................. 15
2.5.2 Metode Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut .................. 16
2.5.2.1 Cara Dingin ............................................................... 16
2.5.2.2 Cara Panas ................................................................ 16
2.5.3 Pengeringan Ekstrak dengan Metode Freeze Drying ............ 17
2.6 Kapsul .............................................................................................. 18
2.6.1 Definisi Kapsul ...................................................................... 18
2.6.2 Keuntungan dan Kerugian Kapsul ........................................ 18
2.6.3 Klasifikasi Kapsul ................................................................. 18
2.6.3.1 Kapsul Keras ............................................................. 18
2.6.3.2 Kapsul Lunak ............................................................ 19
2.6.4 Cara Penyimpanan................................................................. 20
2.6.5 Evaluasi Sediaan Kapsul ....................................................... 20
2.7 Sistem Imun ..................................................................................... 22
2.7.1 Respon Imun Non spesifik .................................................... 24
2.7.2 Respon Imun Spesifik ........................................................... 25
2.7.2.1 Respon Imun Selular ................................................. 26
2.7.2.2 Respon Imun Humoral .............................................. 27
2.7.3 Limfosit T .............................................................................. 27
2.7.4 Limfosit B ............................................................................. 28
2.8 Imunomodulator ............................................................................... 29
2.8.1 Definisi .................................................................................. 29
2.8.2 Mekanisme Kerja .................................................................. 30
xiii
2.8.3 Uji Pemeriksaan Sistem Imun ............................................... 32
2.9 CD19 (Cluster of Differentiation 19) .............................................. 33
2.10 Flowsitometri .................................................................................. 34
2.11 Kontrol Pembanding ....................................................................... 35
2.12 Literatur Review ............................................................................. 36
2.13 Kerangka Teori Penelitian .............................................................. 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 38
3.1 Desain Penelitian .............................................................................. 38
3.2 Varibel Penelitian ............................................................................. 38
3.2.1 Variabel Independen ................................................................ 38
3.2.2 Variabel Dependen .................................................................. 38
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 38
3.4 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................ 39
3.4.1 Alat Penelitian ......................................................................... 39
3.4.2 Bahan Penelitian ...................................................................... 39
3.5 Alur Penelitian ................................................................................. 39
3.5.1 Determinasi Gambir dan Daun Sirih ....................................... 39
3.5.2 Penyiapan Simplisia yang digunakan ...................................... 40
3.5.3 Karakteristik Ekstrak ............................................................... 40
3.5.4 Identifikasi Gambir .................................................................. 41
3.5.5 Identifikasi Cemaran Urea ....................................................... 41
3.5.6 Penapisan Fitokimia ................................................................ 41
3.5.7 Pembuatan Campuran Komponen Menyirih ........................... 44
3.5.8 Penentuan Dosis ...................................................................... 44
3.5.9 Evaluasi Sediaan Kapsul ......................................................... 45
3.5.10 Pemeriksaan CD19 ................................................................ 45
3.5.11 Analisa Data .......................................................................... 47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 48
4.1 Hasil ................................................................................................... 48
4.1.1 Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih .............................. 48
4.1.2 Hasil Karakterisasi Gambir dan Daun Sirih ............................ 48
4.1.3 Hasil Identifikasi Gambir dan Cemaran Urea ......................... 49
xiv
4.1.4 Hasil Penapisan Fitokimia ....................................................... 49
4.1.5 Hasil Pembuatan Campuran Komponen Menyirih .................. 50
4.1.6 Hasil Penentuan Dosis ............................................................. 50
4.1.7 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul ................................................ 50
4.1.8 Hasil Pemeriksaan CD19 ......................................................... 53
4.2 Pembahasan ....................................................................................... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 65
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 65
5.2 Saran .................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 66
LAMPIRAN ..................................................................................................... 70
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Volume dan Kapasitas Cangkang Kapsul ........................................ 19
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Parameter Spesifik Gambir .................................... 48
Tabel 4.2 Hasil Pengujian Parameter Spesifik Daun Sirih ............................... 48
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik Gambir ............................ 49
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik Daun Sirih ....................... 49
Tabel 4.5 Hasil Identifikasi Gambir dan Cemaran Urea .................................. 49
Tabel 4.6 Hasil Penapisan Fitokimia ............................................................... 50
Tabel 4.7 Hasil Uji Keseragaman Bobot .......................................................... 51
Tabel 4.8 Hasil Uji Waktu Hancur ................................................................... 51
Tabel 4.9 Hasil Uji Higroskopisitas ................................................................. 52
Tabel 4.10 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul ....................................................... 52
Tabel 4.11 Karakteristik Responden ................................................................ 53
Tabel 4.12 Persentase CD19 dalam darah ........................................................ 53
Tabel 5.1 Konversi Dosis Hewan ke Dosis Manusia (HED)
berdasarkan Luas Permukaan ........................................................... 82
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tanaman Gambir ........................................................................... 6
Gambar 2.2 Bongkahan Gambir ........................................................................ 7
Gambar 2.3 Daun Sirih ...................................................................................... 9
Gambar 2.4 Kapur Sirih .................................................................................. 12
Gambar 2.5 Diagram Sistem Imun .................................................................. 24
Gambar 2.6 Diagram Asal Sel B dan Sel T ..................................................... 26
Gambar 4.1 Grafik Persentase CD19 dalam Darah ......................................... 54
Gambar 5.1 Hasil Uji Higroskopisitas ............................................................. 85
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Penelitian ............................................................................ 70
Lampiran 2. Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih ................................. 71
Lampiran 3. Sertifikat Analisis (COA) Kapur Sirih ....................................... 72
Lampiran 4. Alat dan bahan yang digunakan .................................................. 73
Lampiran 5. Penyiapan Campuran Komponen Menyirih ............................... 75
Lampiran 6. Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik .................................... 76
Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia .......................................................... 77
Lampiran 8. Perhitungan Pengujian Parameter Non Spesifik ......................... 78
Lampiran 9. Proses Pembuatan Campuran Komponen Menyirih ................... 80
Lampiran 10. Perhitungan Hasil Freeze Drying ............................................. 81
Lampiran 11. Perhitungan Dosis ..................................................................... 82
Lampiran 12. Perhitungan Pengambilan Sampel ............................................ 84
Lampiran 13. Perhitungan Hasil Evaluasi Kapsul........................................... 85
Lampiran 14. Surat Persetujuan (Inform Concern) ......................................... 86
Lampiran 15. Surat Pengajuan Izin Etik (Ethical Clearance) ........................ 87
Lampiran 16. Hasil Pemeriksaan CD19 .......................................................... 88
Lampiran 17. Hasil Uji Statistik .................................................................... 104
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menyirih merupakan kombinasi tanaman obat yang banyak digunakan
nenek moyang sejak jaman dahulu (Musdja et al., 2011). Menyirih
merupakan proses meramu campuran dari bahan-bahan seperti sirih, pinang,
kapur, gambir, kemudian dikunyah. (Gandhi et al., 2005). Kebiasaan
menyirih dipercaya nenek moyang kita dapat menjaga pertahanan tubuh.
Kebiasaan menyirih secara tradisional oleh masyarakat terutama untuk
preventif dan terapi penyakit infeksi tetapi sebagian masyarakat meyakini
juga menyirih dapat bersifat promotif terhadap sistem pertahanan tubuh.
Komposisi menyirih sangat bervariasi dari satu wilayah dengan wilayah
lainnya. Pada umumnya menyirih yang paling sederhana adalah terdiri atas 3
bahan, yakni daun sirih, gambir dan kapur sirih (Kumar et al., 2010).
Gambir memiliki khasiat sebagai campuran obat untuk mengobati luka
bakar, sakit kepala, diare, disentri, obat kumur, sariawan, serta dapat
mengobati sakit kulit (Hariana, 2006). Kandungan utama dari gambir adalah
senyawa katekin, yaitu 40-80% (Amos, 2010). Katekin memiliki khasiat
sebagai antioksidan (Anggraeni et al., 2011) dan dapat meningkatkan sistem
imun (Dewi, 2012). Selain katekin, terdapat senyawa lain yaitu eugenol.
Senyawa eugenol dapat digunakan sebagai antioksidan, antifungi, aromatik,
dan stimulant (Juminar, 2012).
Daun sirih memiliki khasiat sebagai anti sariawan, anti batuk,
adstringen, antiseptik (Depkes RI, 1980) dan imunomodulator (Dalimartha,
2006). Daun sirih juga memperlihatkan efek antioksidan (Jaiswal et al., 2014)
Daun sirih memiliki kandungan kimia diantaranya hidroksi kavikol,
kavibetol, estragol, eugenol, metil eugenol, karvakrol, terpinen, seskuiterpen,
fenilpropan dan tannin (Depkes RI,1980).
Kapur sirih atau Ca(OH)2 merupakan senyawa atau bahan oksida,
hidroksida, dan karbonat dari kalsium (Ca). Secara umum, kalsium
merupakan mineral yang amat penting bagi manusia terutama sebagai
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pembentuk massa tulang. Ca2+
pada kapur sirih telah terbukti merupakan
agen pembangkit imun dan pembentukan antibodi (Musdja et al., 2011).
Kapur sirih bisa digunakan sebagai obat bersamaan dengan bahan lain, seperti
untuk mengatasi gusi bengkak, bisul, masalah haid, digigit serangga serta
penyakit kulit misalnya panu, kurap, dan kutil (Perpustakaan Negeri
Malaysia, 2001). Kapur sirih atau kalsium hidroksida ini juga telah diuji
dalam pengobatan radang pada pulpa anjing (Hendry et al., 2005), serta kapur
sirih memiliki sifat sebagai imunomodulator (Putrisa, 2010).
Ekstrak gambir dapat berkhasiat sebagai imunomodulator secara in-vivo
diketahui ekstrak etanol gambir efektif pada dosis 400mg/kgBB untuk hewan
(Amalia, 2009), sedangkan untuk ekstrak daun sirih memiliki efek
imunomodulator secara in-vivo dari ekstrak etanol 70% daun sirih pada dosis
125, 250, 500 mg/kgBB yang dapat dilihat dari peningkatan terhadap
aktivitas fagositosis (Dian, 2009). Komponen campuran menyirih dengan
bahan gambir, daun sirih dan kapur sirih terbukti memiliki efek
imunomodulator pada mencit. Masing-masing bahan terdiri dari daun sirih,
gambir, kapur sirih sebanyak 421 : 70 : 9 gram. Ekstrak air dari campuran
daun sirih, gambir dan kapur sirih berkhasiat sebagai imunomodulator pada
dosis 200 mg/kgBB menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dosis
100 atau 400 mg/kgBB (Musdja et al., 2011). Efek yang paling baik diberikan
oleh campuran bahan menyirih dosis sedang (200 mg/kg BB) (Musdja et al.,
2011). Telah dilakukan juga penelitian mengenai nilai LD50 (letal dose)
gambir dan daun sirih. Batas maksimum penggunaan gambir dan daun sirih
sebesar 13,99 g/kgBB (Sari, 2006) dan termasuk ke dalam kategori praktis
tidak toksik.
Tanaman yang memiliki efek imunomodulator pada umumnya memiliki
aktivitas merangsang imunitas spesifik dan non spesifik (Wagner and Proksh,
1985). Beberapa diantara tanaman tersebut merangsang imunitas humoral
maupun selular, sedang yang lainnya hanya mengaktifkan komponen seluler
dari sistem imun, misalnya seperti fungsi fagositosis tanpa berpengaruh pada
imunitas humoral maupun selular (Bafna dan Missha, 2004). Imunomodulator
adalah obat atau substansi yang dapat mengembalikan dan memperbaiki
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya
berlebihan (Baratawidjaja, 2002). Sistem imun merupakan sebuah mekanisme
dalam tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan
terhadap bahaya benda asing atau antigen (Baratawidjaja, 2009). Mekanisme
pertahanan kekebalan tubuh melibatkan aksi sel darah putih atau leukosit.
Sistem pertahanan tubuh ada yang alamiah dan juga sistem pertahanan tubuh
yang didapat. Sistem pertahanan tubuh yang didapat dalam hal ini berupa
antibodi, memegang peranan utama (Raven et al., 2001) dalam mengambil
alih kerja imunomodulator sebagai imunostimulasi. Dalam mengenal
molekul asing yang masuk ke dalam tubuh reseptor dibentuk dengan cara
menyatukan beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu reseptor
yang spesifik untuk molekul tertentu (Handojo, 2003). Molekul yang
bertanggungjawab dalam proses pembentukan antibodi adalah limfosit B
dengan molekul penanda berupa CD19. Berdasarkan inilah CD19 dipilih
sebagai salah satu parameter pengukuran kerja imunomodulator sebagai
imunostimulan.
Masyarakat umumnya masih menyirih dengan cara yang tergolong
kurang praktis. Cara tersebut kurang diminati hampir semua kalangan usia
produktif sehingga perlu dilakukan inovasi baru untuk memudahkan saat
penggunaan dan menarik minat kalangan usia produktif yang selama ini
beranggapan menyirih itu hanya untuk kalangan lansia (lanjut usia).
Penelitian ini dilakukan dengan mencampurkan ketiga komponen
tersebut dengan air sebagai pelarut. Pelarut air dipilih karena mengacu pada
penggunaan masyarakat, terdapat kandungan air dalam daun sirih dan kapur
sirih. Komponen menyirih diekstraksi dengan metode freeze drying kemudian
dikemas dalam sediaan kapsul. Pemilihan sediaan kapsul bertujuan untuk
menutupi rasa (Hadisoewignyo, 2013) dari ketiga bahan komponen menyirih
yang cenderung kurang nyaman saat dikonsumsi.
Berdasarkan uraian inilah dilakukan penelitian untuk mengetahui
manfaat campuran komponen menyirih, yaitu daun sirih (Piper betle L.),
gambir (Uncaria gambir Roxb.), dan kapur sirih [Ca(OH)2] yang diharapkan
memberi efek sinergis sebagai imunomodulator terhadap manusia.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah campuran
komponen menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2]
dengan pelarut air dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah?
1.3 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah campuran komponen menyirih
[Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2] dengan pelarut air
dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah komponen
menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2] dengan
pelarut air dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pengaruh campuran komponen menyirih sebagai imunomodulator dalam
sediaan kapsul sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi pengembangan
penelitian dan dunia kesehatan.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tanaman Gambir
2.1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Uncaria
Spesies : Uncaria gambir Roxb
Sinonim : Ourouparia gambir Roxb. Nauclea gambir (Hariana, 2004).
2.1.2 Nama Daerah
Sumatera : Gambe, gani (Aceh), kacu (Gayo), sontang (Batak),
gambe (Nias), gambie (Minangkabau), pengilom, sepelet
(Lampung).
Jawa : Santun, Gambir (Jawa), ghambhir (Madura).
Kalimantan : Kelare (Dayak), abi (Kayan).
Sulawesi : Gambere (Sangir), gambele (Gorontalo), gambere
(Makassar), gaber (Majene).
Nusa Tenggara : Tagambe (Bima), gamur (Sumba), gabi (Sawu), gambe
(Flores), nggame (Roti) (Depkes RI, 1989).
Maluku : Kampir, kambir, ngamir, gaamer, tagabere, gambe.
Halmahera : Gabi, gagabere (Hariana, 2004).
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.3 Uraian Tanaman
Gambir merupakan ekstrak yang dihasilkan dari daun dan ranting
tanaman gambir yang dipanen atau dipangkas setelah tanaman berumur 1,5
tahun dan dilakukan 2-3 kali setahun dengan selang waktu 4-6 bulan.
Pangkasan daun dan ranting harus segera diolah karena jika pengolahan ini
ditunda lebih dari 24 jam, volume getahnya akan berkurang (Hayani, 2003).
Gambir berasal dari tumbuhan perdu yang membelit dan memiliki
batang keras. Tinggi 1-3 cm. Batang tegak, bulat, percabangan simpodial
warna cokelat pucat. Daun tunggal, berhadapan, bentuk elips, tepi bergerigi,
pangkal bulat, ujung meruncing, panjang 8-13 cm, lebar 4-7 cm, warna
hijau. Bunga majemuk, bentuk lonceng, di ketiak daun, panjang lebih
kurang 5 cm, mahkota 5 helai berbentuk lonceng, tongkol-bulat, terdiri dari
bunga kecil-kecil yang berwarna putih. Buah berbentuk bulat telur, panjang
lebih kurang 1,5 cm berwarna hitam (Haryanto, 2009).
2.1.4 Morfologi
Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu tanaman yang
telah lama ada di Indonesia. Tanaman ini termasuk salah satu tanaman atau
obat tradisional yang sering digunakan oleh orang jaman dahulu. Tetapi
masih banyak yang belum mengetahui apa itu gambir.
Gambir adalah sari getah yang diekstraksi dari daun tanamannya
dengan cara pengepresan. Tanaman ini banyak tumbuh di Indonesia
terutama Sumatera Barat yang merupakan penghasil gambir terbesar di
dunia (Amos, 2004).
Gambar 2.1 Tanaman Gambir
(Sumber : Rindit Pambayun, 2013)
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.2 Bongkahan gambir
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Salah satu tumbuhan asal Indonesia yang telah digunakan sebagai obat
tradisional yaitu Gambir (Uncaria gambir Roxb.). Manfaat gambir adalah
sebagai campuran obat, seperti luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, obat
sariawan, serta obat sakit kulit. Selain itu juga gambir digunakan sebagai
pelengkap untuk mengkonsumsi sirih. Saat ini penggunaan gambir
berkembang menjadi bahan kebutuhan berbagai jenis industri, seperti
industri farmasi, kosmetik, batik, cat, penyamak kulit, biopestisida, hormon
pertumbuhan, pigmen dan sebagai bahan campuran pelengkap makanan
(Ermiati, 2004).
2.1.5 Kandungan Kimia
Menurut Thorpe dan Whiteley, senyawa utama yang terkandung
dalam gambir adalah pseudotanin katekin dan phlobatanin asam katekutanat
dengan persentase masing masing yaitu 7-30% dan 22-55%. Adanya
perbedaan kadar katekin pada gambir dipengaruhi oleh kondisi daun yang
diekstrak. Daun gambir muda memiliki rendemen ekstrak lebih tinggi
daripada daun tua. Komponen yang terdapat dalam gambir yaitu katekin 7-
33%, asam katekutanat 20-55%, pyrocathecol 20-30%, gambir fluoresensi
1-3%, red catechu 3-5%, quersetin 2-4%, fixed oil 1-2%, lilin 1-2% dan
sedikit alkaloid (Amos, 2010).
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2 Deskripsi Daun Sirih
2.2.1 Klasifikasi
Klasifikasi ilmiah atau taksonomi dari daun sirih adalah sebagai berikut.
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Piperales
Divisi : Magnoliophyta
Suku : Piperaceae
Marga : Piper
Jenis : Piper betle L.
Sinonim : Chavica auriculata Miq. Artanthe hixagona
(Haryanto, 2009).
2.2.2 Nama Daerah
Sumatera : furu kuwe (enggano); ranub (Aceh); blo, sereh (Gayo);
belo (Batak Karo); demban (Batak Toba); burangir
(Angkola Mandailing); tawuo (Nias); cabai (Mentawai);
sirieh, sirih, suruh (Palembang, Minangkabau); canbai
(Lampung).
Jawa : seureuh (Sunda); sedah, suruh (Jawa); sere (Madura).
Bali : base, sedah
Nusa Tenggara : nahi (Bima); kuta (Sumba); mota (Flores); oreangi
(Ende); taa (Sikka); malu (Solor); mokeh (Alor).
Kalimantan : uwit (Dayak); buyu (Bulungan); uduh sifat (Kenya); sirih
(Sampit); uruesipa (Seputan).
Sulawesi : ganjang, gapura (Bugis); baulu (Bare); buya, dondili
(Buol); bolu (Parigi); komba (Selayar); lalama, sangi
(Talaud).
Maluku : ani-ani (Hok); papek, raunge, rambika (Alfuru); nein
(Bonfia); kakina (Waru); amu (Rumakai, Elpaputi,Ambon,
Ulias); garmo (Buru); bido (Bacan).
Irian : reman (Wendebi); Manaw (Makimi); namuera (Saberi);
eouwon (Armahi); nai wadok (Saarmi); mera (Sewan);
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mirtan (Berik); afo (Sentani); wangi (Sawe); freedor
(Awija); dedami (Marind) (Depkes RI, 1980).
2.2.3 Uraian Tanaman
Saat ini telah banyak dilakukan penelitian mengenai bahan alam yang
dimanfaatkan dalam mencegah dan mengatasi penyakit. Tanaman sirih
merupakan salah satu tanaman herbal yang berhubungan erat dengan
pengendalian karies, penyakit periodontal dan mengontrol halitosis. Daun
sirih juga menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Streptococcus
mutans dan Staphylococcus aurens (Nalina 2007, Moeljanto 2003).
2.2.4 Morfologi
Daun sirih (Piper betle L.) merupakan tanaman merambat yang bisa
mencapai tinggi 5-15 m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk
bulat, beruas, dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya berseling
atau tersebar,helaian daun bulat telur sampai memanjang, dengan pangkal
daun berbentuk jantung atau pangkal miring dan ujung meruncing. Panjang
daunnya sekitar 5-8 cm dan lebar 2-5 cm. Bunga berkelamin 1, bulir berdiri
sendiri, di ujung dan berhadapan dengan daun, daun pelindung ± 1 mm
berbentuk bulat telur terbalik atau bulat memanjang. Pada bulir jantan
panjangnya sekitar 1,5-3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek
sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 2,5-6 cm dan terdapat kepala
putik 3 -5. Buah buni dengan ujung bebas dan berbentuk bulat, berwarna
hijau kebau-abuan dan tebalnya 1-1,5 cm. Akarnya tunggang, bulat dan
berwarna coklat kekuningan, biji berbentuk lingkaran (Van Steenis, 2008).
Daun sirih memiliki warna yang bervariasi yaitu kuning, hijau sampai hijau
tua dan berbau aromatis (Moeljanto, 2003).
Gambar 2.3 Daun Sirih
(Sumber : Musdja et al., 2011)
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.5 Ekologi dan Penyebaran
Sirih ditemukan dibagian timur pantai Afrika, di sekitar Pulau
Zanzibar, daerah sekitar sungai Indus ke Timur menelusuri sungai Yang Tse
Kiang, Kepulauan Bonin, Kepulauan Fijji, dan Kepulauan Indonesia. Sirih
tersebar di Nusantara dalam skala yang tidak terlalu luas. Di Jawa tumbuh
liar di hutan jati atau hutan hujan sampai ketinggian 300 m diatas
permukaan laut (Depkes RI, 1980).
2.2.6 Kandungan Kimia
Daun sirih mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak
atsiri 1-4,2%, air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A, B,
C, yodium, gula dan pati. Dari berbagai kandungan tersebut, dalam minyak
atsiri terdapat fenol alam yang mempunyai daya antiseptik 5 kali lebih kuat
dibandingkan fenol biasa (Bakterisid dan Fungisid) tetapi tidak sporasid.
Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap dan mengandung
aroma atau wangi yang khas. Minyak atsiri dari daun sirih mengandung
30% fenol dan beberapa derivatnya. Minyak atsiri terdiri dari hidroksi
kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karbakrol, terpen,
seskuiterpen, fenilpropan, dan tannin. Kavikol merupakan komponen paling
banyak dalam minyak atsiri yang memberi bau khas pada sirih. Kavikol
bersifat mudah teroksidasi dan dapat menyebabkan perubahan warna
(Moeljanto, 2003).
Mekanisme fenol sebagai agen anti bakteri berperan sebagai toksin
dalam protoplasma, merusak dan menembus dinding serta mengendapkan
protein sel bakteri. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu
menginaktifkan enzim essensial di dalam sel bakteri meskipun dalam
konsentrasi yang sangat rendah. Fenol dapat menyebabkan kerusakan
padasel bakteri, denaturasi protein, menginaktifkan enzim dan menyebabkan
kebocoran sel (Heyne, 1987).
Daun sirih juga mengandung karvakrol, diastase, tiamin, riboflavin,
vitamin C, gula pati, dan asam amino (Dalimartha, 2006).
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.7 Khasiat Tumbuhan
Daun sirih berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, antibakteri,
penghenti perdarahan (hemostatis), pereda batuk, mencegah infeksi cacing,
menghilangkan gatal dan penenang (Dalimartha, 2006). Juga memiliki
khasiat sebagai antisariawan, anti batuk dan adstringen (Depkes RI, 1980).
Ekstraknya dapat digunakan, baik secara internal maupun eksternal untuk
varises serta mencegah radang gusi dan radang tenggorokan (Moeljanto,
2003).
2.3 Kapur Sirih
Kapur dalam arti luas adalah senyawa atau bahan oksida, hidroksida,
dan karbonat dari kalsium (Ca). Kapur atau cunam (kapur mati) berwarna
putih likat seperti krim yang dihasilkan dari cangkang siput laut yang telah
dibakar. Hasil dari debu cangkang tersebut perlu dicampurkan dengan air
untuk mempermudah pengolesan ke atas daun sirih. Selain dari cangkang
siput, kapur dapat diperoleh dengan membakar batu kapur (kalsium
karbonat/CaCO₃). Apabila dibakar dengan suhu tertentu CaCO₃ dapat
mengeluarkan gas yang disebut dengan karbondioksida (CO₂) dan menjadi
kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida kemudian dicampur dengan sedikit
air yang menyebabkan CaO mengembang dan menghasilkan panas serta
menjadi serbuk kapur yang dikenal sebagai kalsium hidroksida [Ca(OH)₂].
Proses tersebut disebut dengan slaking dan serbuk kapur adalah kapur
terhidrat. Serbuk kapur akan menjadi cair jika campuran airnya berlebihan.
Serbuk kapur jika didiamkan terlalu lama, kandungan airnya akan hilang
dan mengikat karbondioksida di udara sehingga kembali menjadi kalsium
karbonat seperti semula (Perpustakaan Negeri Malaysia, 2001).
Kapur sirih mempunyai rumus kimia Ca (OH)₂ sehingga kandungan
utama dari kapur sirih adalah kalsium. Secara umum, kalsium merupakan
mineral yang amat penting bagi manusia terutama sebagai pembentuk massa
tulang. Kapur sirih bisa digunakan sebagai obat bersamaan dengan bahan
lain, seperti untuk mengatasi gusi bengkak, bisul, masalah haid, digigit
serangga serta penyakit kulit misalnya panu, kurap, dan kutil (Perpustakaan
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Negeri Malaysia, 2001). Kapur sirih atau kalsium hidroksida ini juga telah
diuji dalam pengobatan radang pada pulpa anjing (Hendry et al., 2005).
Gambar 2.4 Kapur sirih
(Sumber : dokumentasi pribadi)
2.4 Simplisia
Keberadaan simplisia atau sumber bahan baku obat tradisional di
Indonesia cukup melimpah di setiap daerah tumbuh tanaman obat.
Pemilihan simplisia yang mutunya baik merupakan langkah awal yang harus
diperhatikan untuk menjamin mutu suatu obat tradisional. Masing-masing
industri obat tradisional hendaknya mempunyai standar minimal untuk
simplisia yang digunakan untuk memberi keyakinan akan kebenaran dan
kualitas simplisia yang diperoleh (Depkes RI, 1999).
Simplisia ada yang lunak seperti rimpang, daun, dan akar kelembak.
Ada yang keras seperti biji, kulit kayu, kulit akar. Simplisia yang lunak
mudah ditembus oleh cairan penyari, oleh karena itu pada penyarian tidak
perlu diserbuk sampai halus. Sebaliknya pada simplisia yang keras perlu
dihaluskan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyarian. Faktor yang
mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut
melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang
mengandung zat tersebut. Zat aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia
dapat digolongkan ke dalam alkaloid, glikosida, flavonoid dan lain-lain.
Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta
stabilitas senyawa terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya dan
derajat keasaman. Dengan diketahuinya zat aktif yang dikandung simplisia
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat
(Depkes RI, 1999).
2.4.1 Pengelolaan Simplisia
a. Pengumpulan Bahan Baku
Tahapan pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan
baku. Faktor yang paling berperan dalam tahapan ini adalah masa panen.
Berdasarkan garis besar pedoman panen, pengambilan bahan baku tanaman
dilakukan sebagai berikut (Gunawan, 2004) :
Daun dan Ranting
Panen daun atau herba dilakukan pada saat proses fotosintesis
berlangsung maksimal, yaitu ditandai dengan saat-saat tanaman mulai
berbunga atau buah mulai masak. Untuk pengambilan pucuk daun,
dianjurkan dipungut pada saat warna pucuk daun berubah menjadi daun
tua.
b. Sortasi Basah
Sortasi basah adalah proses pemilahan hasil panen ketika tanaman
masih segar yang dilakukan terhadap tanah, kerikil, rumput-rumputan,
bahan tanaman lain atau bagian lain dari tanaman yang tidak digunakan, dan
bagian tanaman yang rusak yang terdapat dalam simplisia. Sortasi basah
dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing
lainnya dari bahan simplisia.
c. Pencucian
Pencucian simplisia dilakukan untuk membersihkan kotoran yang
melekat, terutama bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga
bahan-bahan yang tercemar pestisida. Pencucian bisa dilakukan dengan
menggunakan air yang berasal dari mata air, sumur dan PAM. Pencucian
yang dilakukan dengan mata air harus memperhatikan kemungkinan
pencemaran yang diakibatkan oleh adanya mikroba dan pestisida. Pencucian
yang dilakukan dengan air sumur perlu memperhatikan pencemaran yang
mungkin timbul akibat mikroba dan air limbah buangan rumah tangga.
Pencucian yang dilakukan dengan air PAM (ledeng) sering tercemar oleh
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kapur klor (Cl). Sebelum pencucian terkadang diperlukan proses
pengupasan kulit luar, terutama untuk simplisia yang berasal dari kulit
batang, kayu, buah, biji, rimpang dan bulbus.
d. Pengubahan bentuk
Tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk memperluas
permukaan bahan baku. Semakin luas permukaan bahan baku, maka akan
semakin cepat kering. Proses pengubahan bentuk meliputi perajangan untuk
rimpang, daun dan herba; pengupasan untuk buah, kayu, kulit kayu, dan
biji-bijian ukuran besar; pemiprilan untuk biji-bijian; pemotongan untuk
akar, batang, kayu, kulit kayu dan ranting; dan penyerutan untuk kayu.
e. Pengeringan
Tujuan proses pengeringan simplisia, yaitu untuk menurunkan kadar
air agar simplisia tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, untuk
menghilangkan aktivitas enzim yang dapat mengurai lebih lanjut kandungan
zat aktif, dan memudahkan pengelolaan proses selanjutnya dalam hal mudah
disimpan dan lebih tahan lama. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama
proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran
udara, waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan.
f. Sortasi kering
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses
pengeringan. Pemilihan dilakukan untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bahan-bahan yang rusak, benda-benda asing yang tertinggal atau dari
kotoran-kotoran.
g. Penyimpanan
Setelah mengalami proses pengeringan dan sortasi kering, maka
simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling
bercampur antara simplisia satu dengan yang lainnya. Faktor-faktor yang
harus diperhatikan dalam proses penyimpanan simplisia, yaitu cahaya,
oksigen atau sirkulasi udara, reaksi kimia yang mungkin terjadi antara
kandungan zat aktif tanaman dengan wadah, kemungkinan terjadinya
dehidrasi, dan pengotoran atau pencemaran baik yang disebabkan oleh
serangga, kapang atau hewan lain.
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus
simplisia adalah harus inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan
lain, tidak beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran
mikroba, kotoran, serangga, penguapan kandungan aktif serta dari pengaruh
cahaya, oksigen dan uap air.
2.4.2 Pemeriksaan Mutu Simplisia
Dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan organoleptik
(makroskopik), pemeriksaan mikroskopik (anatomi histologi simplisia),
memisahkan bahan organik lain, pemeriksaan cemaran mikroba, cemaran
jamur dan cemaran pestisida. Faktor-faktor yang harus diperhatikan
sehubungan dengan pemeriksaan mutu simplisia, yaitu simplisia harus
memenuhi persyaratan umum dari pustaka resmi, tersedia contoh sebagai
simplisia pembanding dalam jangka waktu tertentu, harus dilakukan
pemeriksaan mutu lengkap dan fisik simplisia. Untuk memperoleh prosedur
baku ketersediaan dan pengerjaan bahan yang memenuhi persyaratan umum
maka harus didapat dari sumber-sumber resmi yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan RI (Gunawan, 2004).
2.5 Ekstrak dan Ekstraksi
2.5.1 Definisi
Ekstrak adalah sediaan cair yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukakn sedemikian sehingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Simplisia yang akan diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut
dan senyawa yang tidak dapat larut dan mempunyai struktur kimia yang
berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
senyawa tersebut terhadap suhu, udara, cahaya, dan logam berat (Depkes RI,
2000).
2.5.2 Metode Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut (Depkes RI, 2000)
2.5.2.1 Cara dingin
a) Maserasi
Suatu metode ekstrak menggunakan pelarut dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara
teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinyu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
pertama dan seterusnya.
b) Perkolasi
Proses ekstraksi dengan pelarut yang baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan
ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang
jumlahnya 1-5 kali bertahan.
2.5.2.2 Cara panas
a) Refluks
Proses ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan
proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk
proses ekstraksi sempurna.
b) Soxhlet
Proses ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik.
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c) Digesti
Proses maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40–50°C.
d) Infus
Proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98°C selama waktu tertentu (15-20 menit).
e) Dekok
Proses infus pada waktu yang lebih lama ≥30 menit dan temperatur
sampai titik didih air.
2.5.3 Ekstrak dengan Metode Freeze Drying
Pengeringan secara umum bermaksud untuk menghilangkan pelarut
dari material yang akan dikeringkan. Salah satu tipe pengeringan yaitu
freeze drying. Pengeringan-beku atau lyophilization adalah proses
pengeringan di mana pelarut dan atau media suspensi yang mengkristal pada
temperatur rendah dan sesudahnya mensublimasi dari padat langsung ke
fase uap. Pengeringan-beku lebih banyak dilakukan dengan air sebagai
pelarut. Pengeringan mengubah es atau air dalam fase amorf menjadi uap.
Karena tekanan uap es rendah, volume uap menjadi besar. Tujuan
pengeringan-beku adalah untuk memproduksi suatu substansi dengan
stabilitas yang baik dan tidak berubah setelah rekonstitusi dengan air.
Meskipun hal ini sangat tergantung juga pada langkah terakhir proses
pengemasan dan kondisi penyimpanan. Keuntungan proses pengeringan-
beku adalah sebagai berikut :
1. Pengeringan pada suhu rendah dapat mengurangi penurunan produk
sensitif – panas
2. Produk cair dapat secara akurat terdosiskan
3. Kandungan air dari produk akhir dapat dikontrol selama proses
4. Produk obat dapat memiliki bentuk fisik yang menarik
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Produk obat dengan luas permukaan spesifik yang tinggi dengan
cepat kembali (Oetjen & Haseley, 2004).
2.6 Kapsul (Hadisoewignyo, 2013)
2.6.1 Definisi Kapsul
Sediaan kapsul, menurut Farmakope Indonesia IV, 1995 adalah
sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang
dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, bisa juga dari pati atau
bahan lain yang sesuai.
2.6.2 Keuntungan dan Kerugian Kapsul
Ada beberapa keuntungan dari sediaan kapsul, antara lain dapat
meningkatkan stabilitas dan menutup rasa dan bau yang tidak enak, efek
cepat (dibanding dengan tablet), mudah penggunaannya (dibandingkan
dengan serbuk), dapat mengubah obat bentuk cair menjadi bentuk padat,
dapat dilakukan pengaturan pelepasan obat, dan cocok untuk peracikan
extemporaneous, dosis dan komposis obat mudah dikombinasi sesuai
keperluan pasien. Sedangkan keterbatasan bentuk kapsul adalah kesukaran
untuk menelan pada beberapa pasien, tidak dapat digunakan untuk bahan-
bahan yang bersifat effervescent (kapsul akan menjadi lunak) dan
deliquescent (kapsul akan rapuh dan mudah pecah).
2.6.3 Klasifikasi Kapsul
Klasifikasi kapsul berdasarkan pada konsistensi, dibedakan menjadi
hard capsule (kapsul keras) dan soft capsule (kapsul lunak), sedangkan
berdasarkan cara pemakaian, dibedakan menjadi kapsul yang dilakukan per-
oral, per-rektal, per-vaginal, dan topikal.
2.6.3.1 Kapsul Keras (hard capsule)
Kapsul keras adalah kapsul yang terbuat dari cangkang keras yang
umumnya dibuat dari gelatin, dengan bahan obat dan bahan tambahan di
dalamnya.
Kapsul keras memeiliki keuntungan, antara lain memiliki
bioavailabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan tablet, memungkinkan
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk pelepasan yang cepat, mudah diformulasi, multiple filling sehingga
memungkinkan untuk mencegah terjadinya inkompatibilitas dan
memudahkan untuk kontrol pelepasan, dan cangkang kapsul keras
merupakan barrier yang baik terhadap oksigen di atmosfer.
Keterbatasan kapsul keras, adalah harga relatif mahal, serbuk yang
terlalu banyak (very bulky material) dapat menimbulkan masalah, perlu
perhatian terhadap kelembapan dari cangkang (kelembapan yang baik untuk
cangkang : 13-15%), jika terlalu kering cangkang akan rapuh, dan jika
terlalu basah maka cangkang akan melunak dan lengket satu sama lain,
menyebabkan kesukaran pada waktu menelan, pada beberapa pasien.
Cangkang kapsul keras terdapat dalam berbagai ukuran. Ada 8 macam
ukuran cangkang seperti yang terlihat pada tabel berikut.
Tabel 2.1 Volume (ml) dan kapasitas (mg) cangkang kapsul
Ukuran 000 00 0 1 2 3 4 5
Vol. (ml) 1,37 0,95 0,68 0,50 0,37 0,30 0,21 0,13
Kapasitas
(mg),
p = 0,8 g/ml
1096 728 544 400 296 240 168 104
2.6.3.2 Kapsul Lunak (soft capsule)
Keuntungan kapsul lunak adalah sesuai untuk obat bentuk cair, obat
mudah menguap. obat dalam bentuk larutan atau suspensi; dengan
pelepasan yang cepat dapat memperbaiki bioavailabilitasnya, dapat ditutup
kedap udara sehingga sesuai untuk obat yang yang mudah teroksidasi,
mengurangi debu dalam pembuatannya, memungkinkan untuk mengurangi
iritasi lambung (dibandingkan dengan tablet dan kapsul keras), tersedia
dalam banyak bentuk dan ukuran (tube form dan bead form), penampilan
lebih elegan, dan mudah untuk ditelan.
Kerugian kapsul lunak, adalah lebih mahal dibandingkan tablet dan
kapsul keras, karena memerlukan mesin pengisian khusus dan keahlian
khusus dan meningkatkan kemungkinan interaksi antara isi dan cangkang.
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6.4 Cara Penyimpanan Kapsul
Gelatin bersifat stabil di udara bila dalam keadaan kering akan tetapi
mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembab atau bila
disimpan dalam larutan berair. Oleh karena itu, kapsul gelatin yang lunak
pada pembuatannya ditambahkan bahan pengawet untuk mencegah
timbulnya jamur dalam cangkang kapsul. Bila mana di simpan dalam
lingkungan dengan kelembaban yang tinggi, penambahan uap air akan di
absorpsi (diserap) oleh cangkang kapsul dan kapsul tersebut akan
mengalami kerusakan dari bentuk dan kekerasannya (Ansel, 1989).
Cangkang kapsul kelihatannya keras, tetapi sebenarnya masih
mengandung air dengan kadar 10-15% menurut Farmakope Indonesia edisi
IV dan 12-16% menurut literatur dari Syamsuni 2006. Jika disimpan di
tempat yang lembab, kapsul akan menjadi lunak dan melengket satu sama
lain serta sukar dibuka karena kapsul itu dapat menyerap air dari udara yang
lembab. Sebaliknya, jika disimpan di tempat yang terlalu kering, kapsul itu
akan kehilangan airnya sehingga menjadi rapuh dan mudah pecah.
(Syamsuni, 2006).
Oleh karena itu, menurut Syamsuni (2006), penyimpanan kapsul
sebaiknya dalam tempat atau ruangan yang :
1. tidak terlalu lembab atau dingin dan kering
2. terbuat dari botol-gelas, tertutup rapat, dan diberi bahan pengering
(silika gel)
3. terbuat dari aluminium-foil dalam blister atau strip.
2.6.5 Evaluasi Sediaan Kapsul
a. Uji Keseragaman Bobot
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian keseragaman
bobot sediaan kapsul yang dihasilkan dengan persyaratan keseragaman
bobot dari Farmakope Indonesia edisi III (Depkes, 1979). Perbedaan
dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-rata isi kapsul
tidak boleh lebih dari yang ditetapkan kolom A dan untuk setiap 2
kapsul tidak lebih dari yang ditetapkan kolom B.
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bobot rata-rata
isi kapsul
Perbedaan bobot isi kapsul dalam %
A B
120 mg atau lebih ± 10% ± 20%
Lebih dari 120 mg ± 7,5% ± 15%
b. Uji Waktu Hancur
Uji ini dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu
hancur yang tertera dalam masing-masing monografi, kecuali pada
etiket dinyatakan bahwa tablet atau kapsul digunakan sebagai tablet
isap atau dikunyah atau dirancang untuk pelepasan kandungan obat
secara bertahap dalam jangka waktu tertentu atau melepaskan obat
dalam dua periode berbeda atau lebih dengan jarak waktu yang jelas di
antara periode pelepasan tersebut.
Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan
aktifnya terlarut sempurna. Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila
sisa sediaan, yang tertinggal pada kasa alat uji merupakan masa lunak
yang tidak mempunyai inti yang jelas, kecuali bagian dari penyalut atau
cangkang kapsul yang tidak larut (Roselyndiar, 2012).
Persyaratan uji waktu hancur untuk kapsul adalah kecuali
dinyatakan lain tidak lebih dari 15 menit (Depkes, 1979).
c. Uji Higroskopisitas
Suatu sediaan dikatakan stabil secara fisik apabila tidak
menunjukkan perubahan-perubahan sifat fisik selama masa
penyimpanan. Salah satu sifat fisik yang perlu diamati adalah sifat
higroskopisitas sediaan.
Uji higroskopisitas merupakan cara menguji kemampuan bahan
obat untuk menyerap uap dari udara setelah dibiarkan dalam suatu
kondisi dan satuan waktu yang diamati.
Sejumlah kapsul ditempatkan perlakuan pengaturan kelembaban
tertentu dan pada temperatur kamar. Masing-masing perlakuan diamati
setiap hari dalam seminggu dan tiap minggu selama satu bulan.
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengamatan dilakukan terhadap perubahan bobot kasul, betuk kapsul,
dan isi kapsul (Roselyndiar, 2012).
2.7 Sistem Imun
Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh, baik manusia maupun
hewan, yang mempunyai kemampuan mengenal suatu benda asing terhadap
tubuh dan selanjutnya tubuh akan memberikan respon dalam bentuk
netralisasi, melenyapkan atau memasukkan dalam proses metabolisme
dengan akibat dapat menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan
bagi jaringan tubuhnya (Subowo, 1993).
Semua makhluk hidup vertebrata mampu memberikan tanggapan dan
menolak benda-benda atau konfigurasi yang dianggap asing oleh tubuhnya.
Kemampuan ini disebabkan oleh sel-sel khusus yang mampu mengenali dan
membedakan konfigurasi asing (non-self) dari konfigurasi yang berasal dari
tubuhnya sendiri (self). Sel khusus tersebut adalah limfosit yang merupakan
sel imunokompeten dalam sistem imun. Konfigurasi asing tersebut
dinamakan antigen atau imunogen, sedangkan proses serta fenomena yang
menyertainya dinamakan respon imun (Subowo, 1993).
Mekanisme pertahanan tubuh dibagi atas 3 fase, yaitu :
1. Immediate phase, ditandai oleh terdapatnya komponen sistim imun
kongenital (makrofag dan neutrofil), yang beraksi langsung terhadap
patogen tanpa diinduksi. Jika mikroorganisme memiliki molekul
permukaan yang dikenali oleh fagosit (makrofag dan neutrofil) sebagai
benda asing, akan diserang atau dihancurkan secara langsung. Bila m.o
dikenali sebagai antibodi, maka protein komplemen yang sesuai yang
berada diplasma akan berikatan dengan mikroorganisme, kompleks ini
kemudian dikenal sebagai benda asing oleh fagosit dan kemudian
diserang atau dihancurkan.
2. Acute-phase proteins atau early phase, muncul beberapa jam kemudian,
diinduksi, tetapi masih bersifat nonspesifik, timbul bila fagosit gagal
mengenal mikroorganisme melalui jalur diatas. Mikroorganisme akan
terpapar terhadap acute-phase proteins (APPs) yang diproduksi oleh
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hepatosit dan kemudian dikenali oleh protein komplemen. Kompleks
mikroorganisme, APPs, dan protein komplemen kemudian dikenali oleh
fagosit dan diserang serta dihancurkan.
3. Late phase, merupakan respon imun didapat timbul 4 hari setelah
infeksi pertama, ditandai oleh clonal selection limfosit spesifik. Pada
fase ini dibentuk molekul dan sel efektor pertama (Flachsmann, 2001).
Mekanisme pertahanan kekebalan tubuh melibatkan aksi sel darah
putih atau leukosit. Leukosit ini mencakup neutrofil, eosinofil, basofil, dan
monosit, yang semuanya fagositik dan terlibat dalam garis pertahanan
kedua, serta dua jenis limfosit (sel T dan sel B), yang tidak fagositik tetapi
sangat penting untuk respon imun spesifik (Raven et al., 2001).
Sistem imun dibagi atas dua jenis, yaitu sistem imun kongenital atau
non spesifik dan sistem imun didapat atau adaptive atau spesifik.
Mekanisme pertahanan tubuh oleh sistem imun kongenital bersifat spontan,
tidak spesifik, dan tidak berubah baik secara kualitas maupun kuantitas
bahkan setelah paparan berulang dengan patogen yang sama. Sedangkan
sistem imun didapat muncul setelah proses mengenal oleh limfosit (clonal
selection), yang tergantung pada paparan terhadap patogen sebelumnya.
Adanya sistem imun kongenital memungkinkan respon imun dini untuk
melindungi tubuh selama 4-5 hari, yang merupakan waktu yang diperlukan
untuk mengaktivasi limfosit (imunitas didapat).
Tahap awal mekanisme tubuh dalam mengenal molekul asing adalah
tahap pengenalan. Ada dua sistem pertahanan tubuh yang berperan dalam
hal ini, yaitu:
1. Sistem pertahanan tubuh alamiah (innate immune system), yang
dibawa sejak lahir. Komplemen memegang peranan penting dalam
mengenal jasad mikroorganisme tertentu dan segera
menghancurkannya.
2. Sistem pertahanan tubuh yang didapat (adaptive immune system),
dalam hal ini antibodi memegang peranan utama. Dalam mengenal
molekul asing yang masuk ke dalam tubuh reseptor dibentuk dengan
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
cara menyatukan beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu
reseptor yang spesifik untuk molekul tertentu (Handojo, 2003).
Bila sistem imun bekerja pada zat yang diangap asing, maka ada dua
jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan
respon imun spesifik (Kresno, 2001).
Gambar 2.5 Diagram Sistem Imun (Baratawidjaja, 2001)
2.7.1 Respon Imun Non spesifik
Respon imun nonspesifik pada umumnya merupakan imunitas bawaan
(innate immunity), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk ke
dalam tubuh dapat terjadi walaupun tubuh belum pernah terpapar pada zat
tersebut (Kresno, 2001). Respon imun nonspesifik dapat mendeteksi adanya
zat asing dan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi
tidak mampu mengenali dan mengingat zat asing tersebut.
Selular Humoral Fisis/
mekanis
Larut Selular
Sel T Sel B
Fagosit
Mononuklear
(monosit dan makrofag)
Polimorfonuklear (eusinofil dan
Neutrofil)
Sel Nol
Natural Killer Cells (NK cells)
Interferon
C Reactive Protein
(CPR)
Sel Mediator
Basofil dan Matosit
Trombosit
Biokimia
Asam
lambung
Lisosixim
Laktoferin
Asam
neurominik
Humoral
Komplemen
Interferon
C Reactive
protein (CPR)
- Kulit
- Selaput
lendir - Silia
- Batuk
- Bersin
- Sel Th (Th1
dan Th2) - Sel Ts
- Sel Tc
Sel Plasma
Antibodi
Nonspesifik Spesifik
Sistem Imun
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Komponen-komponen utama respon imun nonspesifik adalah
pertahanan fisik dan kimiawi. Pertahanan ini meliputi epitel dan zat-zat
antimikroba yang dihasilkan dipermukaannya, berbagai jenis protein dalam
darah termasuk komplemen-komplemen sistem komplemen, mediator
inflamasi lainnya dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel
polimorfonuklear, makrofag dan sel natural killer (NK) (Kresno, 2001).
2.7.2 Respon Imun Spesifik
Respon imun spesifik merupakan imunitas yang didapat (adaptive
immunity) dimulai dari pengenalan zat asing hingga penghancuran zat asing
tersebut dengan berbagai mekanisme (Subowo, 1993). Dalam respon imun
spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena
sel ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh, baik
yang terdapat intraseluler maupun ekstraseluler. Secara umum, limfosit
dibedakan menjadi dua jenis yaitu limfosit T dan limfosit B. Respon imun
spesifik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu respon imun seluler, respon
imun humoral dan interaksi antara respon imun selular dengan respon imun
humoral (Kresno, 2001).
Limfosit T dan B (sel T dan B) berasal dari sel induk yang sama yaitu
di sumsum tulang belakang. Pada masa janin dan anak-anak, limfosit imatur
bermigrasi ke timus dan mengalami pengolahan lebih lanjut menjadi
limfosit T. Limfosit yang matang di tempat lain selain timus akan menjadi
limfosit B.
Sel darah merah
Trombosit
Monosit
Granulosit
Sumsum tulang
Sel prekursor Limfosit
Hemopoetik sumsum
Sel B Sel T
Timus
s
Jaringan Limfoid Perifer
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.6 Diagram Asal Sel B dan Sel T (Sherwood, 2001)
Sel B berasal dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum
tulang, sedangkan sel T berasal dari limfosit yang berasal dari sumsum
tulang tetapi matang di timus. Sel T dan B yang matang mengalir melalui
darah dan berdiam di jaringan limfoid perifer dan membentuk koloni. Kedua
sel ini akan berproliferasi setelah mendapat stimulasi dengan adanya invasi
asing (Sherwood, 2001).
2.7.2.1 Respon Imun Selular
Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Imunitas
selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi non spesifik
dengan mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan bakterisid, serta
sel fagosit lainnya; selain itu juga mengadakan proses sitolitik atau
sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang mengandung antigen. Imunitas
selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B untuk memproduksi
antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi limfosit T baik sel
Th/penginduksi maupun sel Tc/sel supresor. Fungsi lainnya adalah untuk
meregulasi respons imun dengan mengadakan regulasi negatif dan regulasi
positif terhadap respons imun (Abbas et al., 1991).
Adanya antigen akan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T
menjadi beberapa subpopulasi. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper
(Th) akan mengenali antigen pada permukaan sel makrofag atau sel yang
terinfeksi melalui T-cell receptors (TCR) dan molekul major
histocompatibility complex (MHC) kelas-II. Sinyal yang diberikan oleh sel
terinfeksi akan menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis
limfokin yang dapat membantu menghancurkan antigen tersebut.
Sel B Sel T
Invasi
asing
Respon Imun Humoral Respon Imun Selular
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Subpopulasi sel T lain yang disebut sel T-cytotoxic (Tc) akan
menghancurkan antigen melalui MHC kelas-I dengan cara kontak langsung
dengan sel (cell to cell contact). Selain itu, sel Tc memproduksi γ-interferon
yang mencegah penyebaran antigen lebih jauh (Kresno, 2001).
2.7.2.2 Respon Imun Humoral
Limfosit B adalah satu-satunya sel yang mampu memproduksi
antibodi, mengenali antigen ekstraseluler dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang mensekresi antibodi, berfungsi sebagai perantara imunitas
humoral. Fungsi terpenting antibodi adalah mencegah mikroba yang ada di
permukaan mukosal dan dalam darah, agar tidak masuk dan berkolonisasi
dalam sel inang dan jaringan-jaringannya sehingga antibodi ini mencegah
terjadinya infeksi tetap (Abbas et al., Abbas Lichtman, 2011).
Respon imun humoral dilakukan oleh sel B dan produknya, yaitu
antibodi. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu
populasi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke
dalam darah. Diferensiasi sel B dibantu oleh sel Th2. Adanya sinyal yang
diberikan oleh makrofag, sel Th2 akan merangsang sel B untuk
memproduksi antibodi. Sel T-supresor juga ikut berperan dalam pengaturan
produksi antibodi agar seimbang dan sesuai dengan kebutuhan. Antibodi
yang terbentuk akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks
antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan
hancurnya antigen tersebut. Pada respon imun humoral juga terjadi respon
primer yang membentuk populasi sel B memory (Kresno, 2001).
2.7.3 Limfosit T
Limfosit T atau sel T adalah sel yang bertanggung jawab dalam
respon imun selular. Sel T dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Sel Thelper (Sel Th)
Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel
B aktif menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel
T supresor yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat
dibedakan menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel
Th2 berperan dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B
menjadi sel plasma.
b. Sel Tsuppresor (Sel Ts)
Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun
melalui mekanisme “check and balance” dengan limfosit yang lain. Sel
Ts menekan akitivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan sel Ts akan
berinteraksi dengan adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel
Ts beraksi dan sel Ts akan menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel
Ts dapat menghambat respon imun yang berlebihan dan bersifat
antiinflamasi.
c. Sel Tcytotoxic (Sel Tc)
Sel Tc adalah sel yang mampu menghancurkan sel cangkokan dan
sel yang terinfeksi virus (Sherwood, 2001).
2.7.4 Limfosit B
Limfosit B atau sel B tidak melakukan perjalanan ke timus; sel ini
menyelesaikan pematangan di sumsum tulang. Dari sumsum tulang, sel B
dilepaskan bersirkulasi dalam darah dan getah bening. Sel B individual,
seperti sel-sel T, yang khusus untuk mengenali antigen asing tertentu.
Ketika sel B bertemu dengan antigen yang ditargetkan, sel B mulai
membelah dengan cepat, dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel
memori. Setiap sel plasma adalah pabrik yang memproduksi antibodi yang
menempel seperti bendera untuk antigen, menandai setiap sel membawa
antigen untuk dihancurkan. Sel B merupakan prekursor sel plasma; khusus
untuk mengenali antigen asing tertentu.
Sel B juga merespons helper sel T diaktifkan oleh interleukin-1.
Seperti sel T sitotoksik, sel B memiliki protein reseptor pada permukaannya,
satu jenis reseptor untuk setiap jenis sel B. Sel B mengenali mikroba
sebanyak sel T sitotoksik mengenali sel yang terinfeksi, tetapi tidak seperti
sel T sitotoksik, sel B tidak meyerang diri sendiri. Sebaliknya, mereka
menandai patogen untuk dihancurkan oleh mekanisme yang tidak memiliki
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
"ID cek" sistem sel B sendiri. Di awal respon imun, marker ditempatkan
oleh B sel protein komplemen peringatan untuk menyerang sel-sel yang
membawa mereka.
Cara sel-sel B melakukan penandaan sederhana dan sangat mudah.
Berbeda dengan reseptor pada sel T, yang mengikat hanya untuk antigen-
MHC kompleks protein pada sel antigen-presenting (APC), reseptor sel B
dapat mengikat bebas sehingga antigen belum diproses. Ketika sel B
bertemu antigen, partikel antigen akan masuk ke dalam sel B oleh
endositosis dan diproses. Sel Thelper yang mampu mengenali antigen
spesifik akan mengikat kompleks protein antigen-MHC pada sel B dan
melepaskan interleukin-2, yang merangsang sel B membelah. Di samping
bersifat bebas, antigen yang belum diproses menempel antibodi pada
permukaan sel B. Paparan antigen ini memicu lebih banyak lagi B
proliferasi sel. Sel B membelah untuk menghasilkan sel-sel memori B
berumur panjang dan sel plasma yang berfungsi pabrik antibodi sebagai
berumur pendek. Antibodi yang dilepaskan ke dalam plasma darah, getah
bening, dan cairan ekstraselular lainnya (Raven et al., 2001).
Limfosit B menanggapi antigen dengan memproduksi protein yang
disebut antibodi. Antibodi protein yang dihasilkan disekresikan ke dalam
darah dan tubuh lainnya cairan dan dengan demikian memberikan kekebalan
humoral. (Humor istilah di sini digunakan dalam arti kuno, mengacu pada
cairan tubuh). Limfosit lainnya yang disebut sel T tidak mengeluarkan
antibodi melainkan langsung menyerang sel-sel yang membawa antigen
spesifik. Sel-sel ini sehingga digambarkan sebagai menghasilkan imunitas
seluler. (Raven et al., 2001).
2.8 Imunomodulator
2.8.1 Definisi
Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan
memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan
yang fungsinya berlebihan (Baratawidjaja, 2002).
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.8.2 Mekanisme Kerja (Baratawidjaja, 2002).
Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui :
a. Imunorestorasi
b. Imunostimulasi
c. Imunosupresi
Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up
regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation.
a. Imunorestorasi
Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem
imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun,
sepertI immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG),
Hyperimmune Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis,
leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati dan timus.
1. ISG dan HSG
Diberikan untuk memperbaiki fungsi sistem imun pada penderita dengan
defisiensi imun humoral, baik primer maupun sekunder. ISG dapat
diberikan secara intravena dengan aman. Defisiensi imunoglobulin
sekunder dapat terjadi bila tubuh kehilangan Ig dalam jumlah besar,
misalnya pada sindrom nefrotik, limfangiektasi intestinal, dermatitis
eksfoliatif dan luka bakar.
2. Plasma
Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha
memperbaiki sistem imun. Keuntungan pemberian plasma adalah semua
jenis imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa
menimbulkan rasa sakit.
3. Plasmapheresis
Plasmapheresis (pemisahan sel darah dari plasma) digunakan untuk
memisahkan plasma yang mengandung banyak antibodi yang merusak
jaringan atau sel, seperti pada penyakit miastenia gravis, sindroma
goodpasture dan anemia hemolitik autoimun.
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Leukopheresis
Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam
usaha terapi artritis
b. Imunostimulasi
Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara
memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang
merangsang sistem tersebut. Biological Response Modifier (BRM) adalah
bahan-bahan yang dapat merubah respons imun, biasanya meningkatkan.
BRM ada yang berupa biologik, yakni :
Hormon timus
Sel epitel timus memproduksi beberapa jenis homon yang berfungsi
dalam pematangan sel T dan modulasi fungsi sel T yang sudah matang.
Ada 4 jenis hormon timus, yaitu timosin alfa, timolin, timopoietin dan
faktor humoral timus. Semuanya berfungsi untuk memperbaiki
gangguan fungsi imun (imunostimulasi non-spesifik) pada usia lanjut,
kanker, autoimunitas dan pada defek sistem imun (imunosupresi) akibat
pengobatan. Pemberian bahan-bahan tersebut jelas menunjukkan
peningkatan jumlah, fungsi dan reseptor sel T dan beberapa aspek
imunitas seluler. Efek sampingnya berupa reaksi alergi lokal atau
sistemik.
Limfokin
Disebut juga interleukin atau sitokin yang diproduksi oleh limfosit yang
diaktifkan. Contohnya ialah Macrophage Activating Factor (MAF),
Macrophage Growth Factor (MGF), T-cell Growth Factor atau
Interleukin-2 (IL-2), Colony Stimulating Factor (CSF) dan interferon
gama (IFN-γ). Gangguan sintetis IL-2 ditemukan pada kanker,
penderita AIDS, usia lanjut dan autoimunitas.
Interferon
Ada tiga jenis interferon yaitu alfa, beta dan gama. INF-α dibentuk oleh
leukosit, INF-β dibentuk oleh sel fibroblas yang bukan limfosit dan
IFN-γ dibentuk oleh sel T yang diaktifkan. Semua interferon dapat
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menghambat replikasi virus DNA dan RNA, sel normal dan sel ganas
serta memodulasi sistem imun.
Antibodi monoklonal
Diperoleh dari fusi dua sel yaitu sel yang dapat membentuk antibodi
dan sel yang dapat hidup terus menerus dalam biakan sehingga antibodi
tersebut dapat dihasilkan dalam jumlah yang besar. Antibodi tersebut
dapat mengikat komplemen, membunuh sel tumor manusia dan tikus in
vivo.
c. Imunosupresi
Merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun.
Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi
penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan
kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau auto-inflamasi.
2.8.3 Uji Pemeriksaan Sistem Imun (Rahma, 2011)
Terdapat beberapa uji untuk menilai sistem imun, antara lain :
a. Titer Antibodi
Uji titer antibodi ini berdasarkan uji hemaglutinasi. Hemaglutinasi
merupakan cara untuk menemukan antibodi atas dasar aglutinasi sel
darah merah. Sebagai antigen dapat di gunakan sel darah merah sendiri
atau antigen yang mensensitisasi sel darah merah. Antibodi adalah
imunoglobulin yang merupakan golongan protein yang dibentuk oleh
sel plasma dan berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak
dengan antigen. Titer antibodi yang tinggi menunjukkan bahwa sediaan
uji dapat meningkatkan sistem imun (Hargono, Winarno, dan Werawati,
2000).
b. Uji Proliferasi Limfosit
Uji proliferasi limfosit dilakukan untuk mengetahui apakah sel T dapat
memberikan respon terhadap antigen. Sel yang berproliferasi akan
memberikan peningkatakan jumlah limfosit setalah beberapa jam
disuntikkan antigen berulang (Wagner and Jurcic, 1991).
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe lambat, Cell
Mediated Immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau
reaksi tuberkulin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tersensitisasi
dengan
2.9 CD19 (Cluster of Differentiation 19)
Respon imun spesifik meliputi aktivasi dan maturasi sel T, sel mediator
dan sel B untuk memproduksi antibodi yang cukup untuk melawan antigen
(Kresno, 1996). Pada hakikatnya respon imun spesifik merupakan interaksi
antara berbagai komponen dalam sistem imun secara bersama-sama. Respon
imun spesifik terdiri dari respon imun seluler (cell-mediated immunity) dan
respon imun humoral. Perbedaan kedua respon imun tersebut terletak pada
molekul yang berperan dalam melawan agen infektif, namun tujuan utamanya
sama yaitu untuk menghilangkan antigen (Benjamini et al., 2000).
Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Antigen akan
menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi.
Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen
pada permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui T-cell
receptors (TCR) dan molekul major histocompatibility complex (MHC)
kelas-II (Kresno, 2001).
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral
yang akan menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah,
berasal dari sel B yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma. Fungsi utama antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi
ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya (Baratawidjaya,
2006). Sel B memiliki reseptor yang spesifik untuk tiap-tiap molekul antigen
dan dapat dideteksi melalui metode tertentu melalui marker seperti CD19,
CD21 dan MHC II (Abbas et.al., 2007).
CD19 merupakan molekul penanda dari sel B atau limfosit B. CD19
memiliki nama lain, yaitu B4. CD19 bekerja dengan cara berinteraksi dengan
reseptor antigen dan membentuk kompleks pada limfosit B yang
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menghasilkan antibodi. Antigen dapat berupa molekul yang berada di
permukaan unsur patogen maupun toksin yang diproduksi oleh antigen yang
bersangkutan (http://bdbiosciensces.com).
Cluster of Diferentiation (kluster diferensiasi) adalah protokol yang
digunakan untuk identifikasi dan investigasi molekul yang terdapat pada
permukaan sel, khususnya sel darah putih. Molekul CD mempunyai beberapa
fungsi, misalnya sebagai reseptor atau ligan, atau pada adhesi sel. Manusia
dilengkapi sedikitnya 350 buah molekul CD (Zola et.al., 2005)
Nomenklatur CD dikembangkan HLDA (Human Leukocyte Antigen
Diferensiasi). Tujuannya adalah untuk memberikan standarisasi antibodi
monoklonal terhadap antigen manusia di laboratorium. Nomenklatur CD
tergantung pada selnya. Untuk sel T, molekul penanda pada manusia berupa
CD3, CD4,CD8; sel NK berupa CD56; dan sel B berupa CD19; dan lain-lain
(http://bdbiosciensces.com).
2.10 Flowsitometri
Flow cytometry adalah teknik untuk menganalisis dan menghitung
partikel secara mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Ningrum,
2010). Alat yang digunakan untuk metode ini dinamakan flow cytometer.
Flow cytometer adalah instrumen untuk menghitung jumlah sel dalam sekali
analisis, instrumen ini dilakukan secara otomatis, waktunya relatif singkat
yaitu kurang dari satu menit. Instrumen ini mampu mengukur ukuran sel,
jumlah komponen seperti jumlah total DNA, DNA yang baru disintesis,
ekspresi gen pada jumlah mRNA (messenger Ribonucleic acid), jumlah
reseptor spesifik, dan jumlah protein intraseluler (Martz, 2003). Menurut
Rowley (2013), flow cytometer digunakan untuk aplikasi dalam analisis
ekspresi green fluorescent protein (GFP), analisis DNA, diagnosis kanker,
penemuan obat, dan mikrobiologi.
Secara umum, flow cytometer adalah mikroskop fluoresensi yang
digunakan untuk analisis perpindahan partikel dalam suspensi, dilihat dengan
sinar UV atau laser dan pada saatnya akan memancarkan epi-fluoresensi
melalui cermin dichroic. Epi-fluoresensi terhadap jumlah sel yang
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dipancarkan akan dikonversikan menjadi sebuah grafik dengan suatu program
yang ada pada flow cytometer. Flow cytometer terdiri dari fluidik, optik dan
elektronik (Robinson, 2006). Flow cytometry bersifat preparatif, yaitu sel-sel
yang hidup diurutkan ke dalam tempat yang terpisah berdasarkan sifat dari
masing-masing sel (Martz, 2003).
Keuntungan dari metode flow cytometry yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk analisis sangat singkat, hasil yang didapat juga cepat, dapat memroses
hingga 100.000 partikel per detik, dapat memisahkan partikel tunggal dari
campuran populasi, dan adanya komputer yang modern dapat melakukan
analisis multiparameter. Sedangkan kekurangan dari metode ini lebih mahal
daripada radioimunoassay, lebih lambat dibandingkan dengan sistem
otomatis imageprocessing (Robinson, 2004).
2.11 Kontrol Pembanding
IM® mengandung Echinacea purpurea 250 mg, ekstrak Black
eldelberry 400 mg, dan Zinc picolinate 5 mg, dikemas dalam sediaan kaplet.
IM®membantu memperbaiki daya tahan tubuh atau respon imun tubuh, juga
digunakan sebagai terapi pendamping untuk infeksi yang akut dan kronis,
terutama untuk infeksi saluran pernafasan dan genitalia seperti kandidadiasis
dan vaginitis. Echinacea adalah tumbuhan pertama yang dibuktikan secara
ilmiah khasiat stimulasinya terhadap sistem imun (Tjay et al., 2002).
Mekanisme Echinacea yang bekerja dengan cara menginduksi sitokin,
sedangkan Zn picolinate mengaktivasi membran sel imun pada saat proses
transkripsi, sehingga kombinasi Echinaceadan Zn picolinate merupakan
kombinasi yang ideal untuk meningkatkan respon imun terutama pada
keadaan infeksi (Anonim, 2006).
Telah terbukti bahwa Echinacea merupakan imunostimulan non
spesifik, dengan kata lain Echinacea tidak mempunyai hubungan antigenik
dengan patogen-patogen spesifik. Hal ini merupakan hasil dari stimulasi
respon imun seluler seperti fagositosis dan pelepasan sitokin serta faktor-
faktor serum lainnya. Fagositosis (proses ingesti atau menghancurkan
mikroorganisme, sel dan partikel) oleh sel-sel pada sistem
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
retikuloendotelial, telah digunakan sebagai indikator aktifitas
imunostimulan dari Echinacea (Bradley, 2006).
2.12 Literatur Review
Telah dilakukan penelitian oleh Musdja (2011) tentang uji efek
imunomodulator ekstrak air campuran daun sirih (Piper betle Linn.),
gambir (Uncaria gambir Roxb.), dan kapur sirih pada sel fagositosis
mencit, pada dosis sedang 200 mg/kgBB terbukti memberikan efek
imunomodulator.
Penelitian Fatimah (2010) pada uji pendahuluan tablet hisap campuran
daun sirih dan gambir dengan perbandingan 0,636 : 0,333 gr yang
diberikan kepada 6 orang relawan selama 7 hari. Hasil pengukuran CD4
relawan sebelum pemberian dan sesudah pemberian 7 hari tablet hisap,
diperoleh hasil uji T berbeda secara bermakna dibandingkan dengan
control normal. Penelitian ini menunjukkan bahwa tablet hisap daun sirih
dan gambir juga memiliki potensi untuk melawan virus, yaitu dengan
meningkatkan kadar CD4 pada relawan.
Penelitian Nurnabila (2011) pada uji pendahuluan tablet hisap campuran
daun sirih dan kapur sirih (CaCO3) dengan mengambil darah 8 orang
panelis masing-masing sebanyak 3 ml, dengan 6 orang diberikan tablet
hisap ekstrak sirih dan kapur sirih, 1 orang kontrol positif yang diberikan
Imboost Force, dan 1 orang kontrol negatif yang tidak berikan perlakuan
selama 5 hari berturut-turut menunjukkan tidak adanya perbedaan
bermakna antara data sebelum dan sesudah perlakuan terhadap kontrol
positif dan terdapat perbedaan bermakna terhadap kontrol negatif
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Piper betle L.
Eugenol Katekin Ca2+
2.13 Kerangka Teori Penelitian
Uncaria gambir Roxb. Ca(OH)2
Antioksidan dan
Immunomodulator
Antioksidan
Imunomodulator
Campuran Komponen Menyirih
Meningkatkan aktifitas
fagositosit &
Meningkatkan kapasitas
fagositosit serta
menetralisir radikal bebas
di dalam tubuh
Menetralisir
radikal bebas di
dalam tubuh
Membentuk antibodi dan
aksi antagonis pada sel
poliferasi & sel diferensiasi
Imunomodulator
38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi
experimental research dengan non randomized control group pretest postest
design. Desain penelitian ini menggunakan kelompok pembanding
(kontrol), tetapi tidak berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-
vaeriabel luar yang mempengaruhi penelitian. Penelitian ini menggunakan
kelompok uji dan kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random.
Penelitian ini dilakukan dengan melihat perbedaan pretest (sebelum)
dan postest (sesudah) diberi perlakuan. Kelompok uji dan kelompok kontrol
yang tidak dipilih secara random. Untuk kelompok kontrol terbagi menjadi
kontrol positif dan kontrol negatif. Kelompok kontrol positif diberikan
Imboost® Force Kaplet Salut Selaput, sedangkan kelompok kontrol negatif
tidak diberikan perlakuan.
3.2 Variabel Penelitian
3.2.1 Variabel Independen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kapsul ekstrak air
komponen menyirih. Dosis yang digunakan adalah 972 mg sekali pakai.
Intervensi dilakukan selama 14 hari.
3.2.2 Variabel Dependen
Variabel independen dalam penelitian ini adalah jumlah kadar CD19
pada responden sehat sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan atau
intervensi.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fitokimia dan
Farmakognosi (PNA), Laboratorium Penelitian 1 (PDR), Laboratorium
Kimia Obat (PMC), dan Laboratorium Penelitian 2 (PBB) Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan Mei-
Oktober 2016.
3.4 Alat dan Bahan Penelitian
3.4.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan terdiri dari alu,timbangan analitik, kertas
saring, kertas perkamen, gelas beker, batang pengaduk, gelas ukur, kain
flannel, tabung reaksi, pipet tetes, spatula, kaca arloji, kapas, cawan
penguap, aluminium foil, corong, lemari asam, blender, freeze drier,
disintegration tester, sysmex pouch 100i dan FACSCalibur.
3.4.2 Bahan Penelitian
a. Bahan Tanaman
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak air
kering gambir (Uncaria gambir Roxb.) yang diperoleh dari Payakumbuh-
Sumatra Barat, daun sirih (Piper betle L.) dari Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (BALITRO) dan kapur sirih [Ca(OH)2] diperoleh dari
CV. Total Equipment Pharmacy Semarang.
b. Bahan Pereaksi
Bahan-bahan yang digunakan yaitu : aquadest, etanol 96%, asam
sulfat pekat, asam sulfat 10 N, natrium hidroksi 5%, ammonia 10%, amonia
25%, FeCl₃ 5%, asam nitrat pekat, HCl, lempeng Mg, HCl pekat, eter, asam
asetat anhidrat, serbuk natrium asetat, NaOH 1 N, kloroform; pereaksi
Stiasny, Dragendorf, Meyer, Buchard dan Liebermann-Buchard, reagen BD
Tritest CD19 dan BD DACS lysing solution.
c. Bahan lain
Imboost® Force Kaplet Salut Selaput dan cangkang kapsul ukuran 00.
3.5 Alur Penelitian
3.5.1 Determinasi Gambir dan Daun Sirih
Sebelum dilakukan penelitian terhadap tumbuhan, terlebih dahulu
dideterminasi masing-masing gambir dan daun sirih untuk mengidentifikasi
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jenis simplisia. Determinasi dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Bogor, Jawa Barat.
3.5.2 Penyiapan Simplisia yang Digunakan
Penyiapan gambir yaitu dengan cara membersihkannya dari pengotor,
gambir yang digunakan yaitu berupa bongkahan gambir yang diperoleh dari
Payakumbuh-Sumatera Barat. Bongkahan gambir kemudian dihaluskan
sampai menjadi serbuk. Serbuk gambir tersebut diidentifikasi dan skrining
fitokimia, sedangkan daun sirih sudah diperoleh dalam bentuk serbuk
kering, kemudian diidentifikasi dan dilakukan juga skrining fitokimia.
3.5.3 Karakterisasi Ekstrak
a. Parameter Spesifik
Parameter yang diamati berupa organoleptis, yaitu meliputi bentuk,
warna, bau, dan rasa ekstrak yang dibuat (Anonim, 2000).
b. Parameter Non spesifik
1. Susut Pengeringan
Ekstrak ditimbang dengan seksama sebanyak 1 gram sampai 2 gram
dan dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang
sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit dan
telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol
timbang dengan menggoyang-goyangkan botol, hingga merupakan
lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm, kemudian
dimasukan ke dalam oven, dibuka tutupnya. Pengeringan dilakukan
pada suhu 105oC hingga diperoleh bobot tetap lalu ditimbang.
Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan dalam keadaan tertutup
mendingin dalam eksikator hingga mencapai suhu kamar. Kekurangan
bobot dari sebelum pengeringan dengan sesudah pengeringan dihitung
sebagai susut pengeringan (Depkes RI, 2000).
% 𝑆𝑢𝑠𝑢𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑤𝑎𝑙 −𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑤𝑎𝑙 𝑥 100%
2. Kadar Air
Masukkan lebih kurang 10 gram simplisia/ekstrak dan timbang
seksama dalam wadah yang telah ditara. Keringkan pada suhu 105 oC
selama 5 jam, dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara dua penimbangan berturut-
turut tidak lebih dari 0,25% (FI IV, 1995).
3. Kadar Abu
Sebanyak 2 gram ekstrak yang telah digerus dan ditimbang
seksama, dimasukan kedalam krus platina atau krus silikat yang telah
dipijarkan dan ditara, lalu ekstrak diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan
hingga arang habis, didinginkan, ditimbang. Kadar abu dihitung
terhadap berat ekstrak dan dinyatakan dalam % b/b (Depkes RI,
2000).
% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 =𝑐−𝑎
𝑏−𝑎 𝑥 100%
Dimana :
a = berat ekstrak + wadah awal (gram)
b = berat ekstrak + wadah akhir (gram)
c = berat ekstrak (gram)
3.5.4 Identifikasi Gambir
a. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan 5 tetes asam sulfat P akan
menghasilkan warna coklat merah
b. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan asam sulfat 10 N akan
menghasilkan warna coklat muda
c. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan 5 tetes Na hidroksida 5%
dalam etanol menghasilkan warna coklat merah
d. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan 5 tetes ammonia 25% akan
menghasilkan warna coklat merah
e. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan 5 tetes larutan FeCl3 5%
akan menghasilkan coklat kehitaman (Depkes RI, 1989).
3.5.5 Identifikasi Cemaran Urea
Melarutkan 100 mg dalam 1 ml air, tambahkan 1 ml asam nitrat P;
terbentuk endapan hablur putih (Depkes, 1979).
3.5.6 Penapisan Fitokimia (Fransworth, 1969)
a. Identifikasi golongan Alkaloid
Sebanyak 2 gram sampel ditambahkan 5 ml ammonia 25%, digerus
dalam mortir, kemudian ditambahkan 20 ml etil asetat dan digerus
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kembali dengan kuat, kemudian disaring. Filtrat berupa larutan organik
diambil (sebagai larutan A), sebagian dari larutan A (10 ml) diekstraksi
dengan 10ml larutan HCl 1:10 dengan pengocokan dalam tabung reaksi,
diambil larutan bagian atasnya (larutan B). Larutan A diteteskan
beberapa tetes pada kertas saring dan ditetesi dengan pereaksi
Dragendorf. Jika terbentuk warna merah atau jingga pada kertas saring
maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan alkaloid dalam
sampel.
Larutan B dibagi dalam dua tabung reaksi, masing-masing
ditambahkan pereaksi Dragendorf dan Mayer. Jika terbentuk endapan
merah bata dengan pereaksi Dragendorf dan endapan putih dengan
pereaksi Mayer maka menunjukkan adanya senyawa golongan alkaloid.
b. Identifikasi golongan Flavonoid
Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan 50 ml air panas, dididihkan
5 menit dan disaring, filtrat yang akan digunakan sebagai larutan
percobaan. Ke dalam 5 ml larutan percobaan (dalam tabung reaksi)
ditambahkan serbuk atau lempeng magnesium secukupnya dan 1 ml HCl
pekat, serta 5 ml butanol, dikocok dengan kuat lalu dibiarkan hingga
memisah. Jika terbentuk warna pada lapisan butanol (lapisan atas) maka
hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan flavonoid.
c. Identifikasi golongan Saponin
Sebanyak 10 ml larutan percobaan yang diperoleh dari percobaan b
(identifikasi golongan flavonoid), dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dan dikocok secara vertikal selama 10 detik, kemudian dibiarkan selama
10 menit. Jika dalam tabung reaksi terbentuk busa yang stabil dan jika
ditambahkan 1 tetes HCl 1% busa tetap stabil maka hal itu menunjukkan
adanya senyawa golongan saponin.
d. Identifikasi golongan Steroid dan Triterpenoid
Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan dengan 20 ml eter, dibiarkan
selama 2 jam dalam wadah dengan penutup rapat lalu disaring dan
diambil filtratnya. 5 ml dari filtrat tersebut diuapkan dalam cawan
penguap hingga diperoleh residu. Ke dalam residu ditambahkan 2 tetes
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Libermann-
Burchard). Jika terbentuk warna hijau atau merah maka hal itu
menunjukkan adanya senyawa golongan steroid dan triterpenoid dalam
simplisia tersebut.
e. Identifikasi golongan Tannin
Sebanyak 2 gram sampel ditambahkan 100 ml air, dididihkan
selama 15 menit lalu didinginkan dan disaring dengan kertas saring,
filtrat yang diperoleh dibagi menjadi dua bagian. Ke dalam filtrat
pertama ditambahkan 10 ml larutan FeCl3 1%, jika terbentuk warna biru
tua atau hijau kehitaman maka hal itu menunjukkan adanya senyawa
golongan tanin. Ke dalam filtrat yang kedua ditambahkan 15 ml pereaksi
Stiasny (formaldehid 30% : HCl pekat = 2:1), lalu dipanaskan di atas
penangas air sambil digoyang-goyangkan. Jika terbentuk endapan warna
merah muda menunjukkan adanya tanin katekuat. Selanjutnya endapan
disaring, filtrat dijenuhkan dengan serbuk natrium asetat, ditambahkan
beberapa tetes larutan FeCl3 1%, jika terbentuk warna biru tinta maka
menunjukkan adanya tanin galat.
f. Identifikasi golongan Kuinon
Sebanyak 5 ml larutan percobaan dari percobaan b (identifikasi
golongan flavonoid), lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH 1 N. Jika terbentuk warna
merah maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan kuinon.
g. Identifikasi golongan Minyak Atsiri
Sejumlah 2 gram sampel dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml
pelarut petroleum eter dan dipasang corong (yang diberi lapisan kapas
yang telah dibasahi dengan air) pada mulut tabung, dipanaskan selama 10
menit di atas penangas air dan didinginkan lalu disaring dengan kertas
saring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dalam cawan penguap hingga
diperoleh residu. Residu dilarutkan dengan pelarut alkohol sebanyak 5 ml
lalu disaring dengan kertas saring. Filtratnya diuapkan dalam cawan
penguap, jika residu berbau aromatik/menyenangkan maka hal itu
menunjukkan adanya senyawa golongan minyak atsiri.
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
h. Identifikasi golongan Kumarin
Sebanyak 2 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan 10 ml pelarut kloroform dan dipasang corong (yang diberi
lapisan kapas yang telah dibasahi dengan air) pada mulut tabung,
dipanaskan selama 10 menit di atas penangas air dan didinginkan lalu
disaring dengan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dalam
cawan penguap hingga diperoleh residu. Residu ditambahkan air panas
sebanyak 10 ml lalu didinginkan. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam
tabung reaksi, ditambahkan 0,5 ml larutan ammonia (NH4OH) 10 %.
Lalu diamati di bawah sinar lampu ultraviolet pada panjang gelombang
365 nm. Jika terjadi fluoresensi warna biru atau hijau maka hal itu
menunjukkan adanya senyawa golongan kumarin,
3.5.7 Pembuatan Campuran Komponen Menyirih
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan mencampurkan semua bahan
komponen menyirih. Sebanyak 421 gram daun sirih, 70 gram serbuk
ekstrak gambir dan 9 gram kapur sirih dicampurkan dengan penambahan
dengan pelarut air (aquades) hingga 1000 ml dengan cara diblender.
Hasilnya dikeringkan dengan freeze drier untuk menarik sisa kandungan air
yang masih terdapat di dalam ekstrak (Musdja et al., 2011). Selanjutnya
didapatkan hasil freeze drying berupa ekstrak kering dari campuran ketiga
bahan.
Kemudian dihitung persen hasil yang didapat dengan rumus sebagai
berikut :
% =Bobot ekstrak yang didapat
Bobot serbuk simplisia yang diekstraksi x 100%
3.5.8 Penentuan Dosis
Dosis bahan uji yang digunakan yaitu berdasarkan pada jurnal
penelitian sebelumnya sebagai imunomodulator pada mencit sebesar 200
mg/kg BB, kemudian dikonversikan menjadi dosis untuk manusia.
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.5.9 Evaluasi Sediaan Kapsul
a. Uji Keseragaman Bobot
Timbang 20 kapsul. Timbang lagi kapsul satu per satu. Keluarkan
isi semua kapsul, timbang seluruh bagian cangkang kapsul. Hitung
bobot isi kapsul dan bobot rata-rata isi kapsul (Depkes RI, 1979).
b. Uji Waktu Hancur
Uji dilakukan dengan 6 kapsul, masukkan ke dalam alat
disintegrator yang berisi media air dengan suhu 37º C. Amati waktu
hancurnya sampai tidak didapatkan kapsul yang tertinggal pada
keranjang alat disintegrator (Depkes RI, 1995).
c. Uji Higroskopisitas
Sejumlah 3 kapsul ditempatkan pada botol coklat disimpan dalam
desikator. Masing-masing perlakuan diamati setiap hari selama tujuh
hari dan setiap minggu selama sebulan. Pengamatan dilakukan terhadap
perubahan bobot kapsul, bentuk kapsul dan isi kapsul (Augsburger,
2000).
3.5.10 Pemeriksaan CD19
a. Perlakuan terhadap Responden
Untuk pengujian kadar CD19, tiap responden masing-masing
diambil darahnya sebanyak 3 ml, dengan jumlah responden sebanyak 8
orang. Dengan 6 orang sebagai kelompok uji yang diberikan kapsul
komponen menyirih, 1 orang kontrol positif yang diberikan Imboost®
Force, dan 1 orang kontrol negatif yang tidak diberikan perlakuan. Pada
penelitian ini menggunakan non randomized control group pretest
postest design sehingga pengambilan darah dilakukan sebanyak 2 kali
yaitu sebelum diberikan perlakuan dan sesudah diberikan perlakuan.
Perlakuan Jumlah Sampel Jenis Perlakuan Aturan Pakai
Kontrol (+) 1 orang
Imboost Force
Kaplet Salut
Selaput
3 x 1 kaplet
per hari sesudah
makan (MIMS)
Uji 6 orang Kapsul Komponen
Menyirih
3 x 3 kapsul
per hari sesudah
makan
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kontrol (-) 1 orang - -
Keterangan : tanda (-) = tidak diberikan perlakuan
b. Kriteria Responden
Pada penelitian ini, besar sampel yang digunakan ditentukan
menggunakan rumus Federer untuk uji eksperimental (Federer, 1967)
yaitu :
T (n-1) ≥ 15
Keterangan :
T = jumlah perlakuan
n = jumlah pengulangan
Responden harus memenuhi beberapa persyaratan sesuai kriteria
yang telah ditentukan oleh peneliti.
Kriteria Inklusi :
Responden memiliki rentang usia produktif
Responden memiliki Indeks Massa Tubuh normal (18,5-22,9
kg/m2)
Responden dalam kondisi sehat dan tidak mengkonsumsi obat
apapun selama penelitian berlangsung
Bersedia ikut dalam penelitian dan mengikuti prosedur yang
ditetapkan (inform concern).
Kriteria Eklusi :
Adanya efek samping terhadap obat yang diberikan pada masing-
masing kelompok perlakuan, menyebabkan kondisi subjek
memburuk, sehingga pengobatan harus dihentikan sebelum
waktunya
Adanya gangguan fungsi hati, ginjal dan jantung berat yang
diketahui dengan pemeriksaan fisik diagnostik dan laboratorium
Mengundurkan diri dari penelitian.
c. Prosedur Pengambilan darah
Alat dan bahan yang dibutuhkan dipersiapkan kemudian lengan
pasien dalam posisi lurus dan mengepalkan tangannya, tourniquet
dipasang dan dicari vena mediana kubiti atau sefalika, kemudian kulit
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada bagian yang akan diambil darahnya dibersihkan dengan alkohol
70%, setelah itu bagian vena ditusuk dengan lubang jarum menghadap
ke atas, dengan sudut kemiringan 15-30 derajat, setelah volume darah
dianggap cukup, tourniquet dilepaskan dan pasien diminta membuka
kepalan tangan, kemudian jarum dilepaskan dan segera diberi kapas
alkohol 70% untuk menekan bagian tusukan tersbut selama 2 menit,
setelah darah berhenti plaster pada bagian bekas penusukan.
d. Pengujian CD19
Sampel darah yang telah diambil dari responden segera diukur
kadar limfosit CD19 dengan alat Sysmex Pouch 100i. Sebanyak 25-30
µl sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup dan
ditambahkan reagen BD Tritest™ sebanyak 10 µl sambil tabung
digoyangkan secara perlahan. Tabung reaksi tersebut kemudian
diinkubasi di ruang gelap selama 20 menit pada suhu ruangan, dan
ditambahkan 450 µl lsying solution ke dalamnya lalu dihomogenkan.
Tabung reaksi berisi sampel tersebut kemudian diinkubasi kembali di
lemari pendingin pada suhu 4,8° selama 30 menit, selanjutnya
dimasukkan ke dalam alat flowsitometri BD FACSCalibur dan
diperoleh nilai CD19 dalam darah.
3.5.11 Analisa Data
Data hasil uji efek imunomodulator yang diperoleh, dianalisa dengan
menggunakan program pengolahan data statistik SPSS 16 dengan metode
Paired Sample T-test. Uji ini dilakukan terhadap dua sampel yang
berpasangan (paired), sampel yang berpasangan diartikan sebagai sebuah
sampel dengan subyek yang sama, namun mengalami dua perlakuan atau
pengukuran yang berbeda, subyek A akan mendapat perlakuan I kemudian
perlakuan II.
Pengambilan Keputusan :
Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima
Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak
48 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih
Determinasi gambir telah dilakukan di laboratorium Herbarium
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, Jawa Barat. Hasil
determinasi menunjukan bahwa gambir yang digunakan adalah Uncaria
gambir Roxb. dari famili Rubiaceae dan daun sirih yang digunakan adalah
Piper betle L. dari famili Piperaceae (lampiran 2).
4.1.2 Hasil Karakterisasi Gambir dan Daun Sirih
Hasil karakterisasi ekstrak berupa pengujian parameter spesifik dan
non spesifik terhadap gambir dan daun sirih dapat dilihat pada tabel berikut.
Hasil pengujian parameter spesifik berupa pemeriksaan organoleptis
dibandingkan dengan persyaratan pada Vademikum Bahan Obat Alam.
Untuk hasil pengujian parameter non spesifik dibandingkan dengan
pesyaratan pada Buku Standar Acuan Simplisia Bahan Obat Alam.
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Organoleptis Gambir (Depkes, 1989).
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Tertera dalam VBOA
Bentuk
Silinder/kubus tidak
beraturan
Silinder/kubus tidak
beraturan
Warna Kuning kecolatan Kuning kecoklatan
Bau Khas Khas
Rasa Sepat Sepat
Tabel 4.2 Hasil Pengujian Parameter Spesifik Daun Sirih (Depkes, 1989).
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Tertera dalam VBOA
Bentuk
Pipih menyerupai
jantung
Pipih menyerupai
jantung
Warna Hijau cerah Hijau cerah
Bau Khas Pedas
Rasa Pedas Pedas
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Parameter Non spesifik Gambir (lampiran 8)
Pengujian Hasil Persyaratan
Susut
Pengeringan
7% < 10% (SNI 01-3391-1994)
Kadar Air 4,24% < 14,5% (BPOM RI, 2006)
Kadar Abu 3,62% < 4% (SNI 01-3391-1994)
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Parameter Non spesifik Daun Sirih (lampiran 8)
Pengujian Hasil Persyaratan
Susut
Pengeringan
4,77% < 10% (Depkes, 2000)
Kadar Air 2,92% <8% (Standart Herbal Medicine,
1993)
Kadar Abu 11,4% <14% (Standart Herbal
Medicine, 1993)
4.1.3 Hasil Identifikasi Gambir dan Cemaran Urea
Bongkahan gambir yang telah diperoleh dilakukan identifikasi dengan
menggunakan H2SO4 P, H2SO410 N, NaOH 5 %, ammonia 25 %, dan FeCl3
5 % (Depkes, 1989) dan untuk uji cemaran urea dilarutkan dengan air dan
ditambahkan asam nitrat P (Depkes, 1979). Hasil dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 4.5 Identifikasi Gambir dan Cemaran Urea
Pengujian Syarat Hasil
Serbuk + H₂SO₄ P Coklat merah +
Serbuk + H₂SO₄ 10 N Coklat muda +
Serbuk + NaOH 5% Coklat merah +
Serbuk + Ammonia 25% Coklat merah +
Serbuk + FeCl₃ Coklat kehitaman +
Cemaran Urea Negatif -
Keterangan :
(+) = ada, (-) = tidak ada
4.1.4 Hasil Penapisan Fitokimia
Berdasarkan hasil penapisan fitokimia yang telah dilakukan pada
gambir (Uncaria gambir Roxb.) dan daun sirih (Piper betle L.), diperoleh
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beberapa golongan senyawa kimia yang hasilnya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 4.6 Hasil Penapisan Fitokimia
No. Golongan Senyawa Gambir Daun Sirih
1 Alkaloid + +
2 Flavonoid + +
3 Saponin + -
4 Steroid - +
5 Triterpenoid - +
6 Tanin + +
7 Kuinon + -
8 Kumarin - +
9 Minyak Atsiri - +
Keterangan :
(+) = ada, (-) = tidak ada
4.1.5 Hasil Pembuatan Campuran Komponen Menyirih
Pembuatan campuran komponen menyirih dilakukan dengan
menggunakan metode freeze dry (kering beku). Proses ini dilakukan di
laboratorium bidang Mikrobiologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia
(LIPI) Cibinong, Jawa Barat.
Dari 500 gr kombinasi gambir (70,2 gr), daun sirih (421,051 gr), dan
kapur sirih (9,07 gr) yang dicampurkan diperoleh ekstrak kering sebesar
73,21 % yaitu 366,05 gr (lampiran 10).
4.1.6 Penentuan Dosis
Dosis yang digunakan berdasarkan penelitian sebelumnya, yaitu 200
mg/kgBB pada mencit. Dosis ini kemudian dikonversi ke dosis manusia.
Dosis yang digunakan adalah 972 mg untuk sekali pakai pada manusia
(lampiran 11).
4.1.7 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul
Evaluasi sediaan kapsul yang dilakukan meliputi uji keseragaman
bobot, waktu hancur dan higroskopisitas. Hasil yang diperoleh adalah
sebagai berikut.
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.7 Hasil Uji Keseragaman Bobot
Dari hasil tabel di atas, dihitung persentase penyimpangan dari tiap
kapsul dan didapatkan dua kapsul menyimpang dari persyaratan kolom A (±
7,5%) dan untuk setiap 2 kapsul memenuhi persyaratan kolom B (± 15%)
(lampiran 13).
Tabel 4.8 Hasil Uji Waktu Hancur
No. Hasil Waktu Hancur
1 4 menit 28 detik
2 4 menit 10 detik
3 4 menit 43 detik
4 4 menit 9 detik
5 4 menit
6 4 menit 20 detik
Kapsul Netto(mg) % Penyimpangan
1 291,5 7,81
2 329,8 4,30
3 312,8 1,07
4 320,4 1,32
5 302,1 4,45
6 298,5 5,59
7 315,5 0,22
8 324,6 2,65
9 316,3 0,03
10 331,0 4,68
11 331,9 4,95
12 318,2 0,63
13 330,6 4,55
14 283,9 10,2
15 313,0 1,01
16 316,0 0,06
17 321,6 1,71
18 318,4 0,69
19 324,2 2,53
20 324,4 2,59
Rata-rata 316,2
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari tabel di atas, didapatkan rata-rata hasil waktu hancur sediaan
kapsul, yaitu 4 menit 18 detik.
Tabel 4.9 Hasil Uji Higroskopisitas
No. Bobot Minggu ke- (gr)
1 2 3 4
1. 0,4519±0,0094 0,4519±0,0094 0,4521±0,0096 0,4528±0,0092
2. 0,4674±0,0094 0,4674±0,0094 0,4675±0,0096 0,4679±0,0092
3. 0,4494±0,0094 0,4494±0,0094 0,4496±0,0096 0,451±0,0092
Hasil uji higroskopisitas menunjukkan kestabilan secara fisik pada
minggu ke-1 hingga minggu ke-3, sedangkan pada minggu ke-4 terlihat
perubahan secara fisik (lampiran 13).
Tabel 4.10 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul
Jenis Evaluasi Hasil Nilai berdasarkan
Literatur
Keseragaman Bobot 2 kapsul melebihi
persyaratan pada
kolom A dan tidak ada
satupun kapsul yang
melibihi persyaratan
kolom B
Kapsul dengan bobot rata-
rata lebih dari 120 mg tidak
boleh memiliki perbedaan
dalam persen bobot isi tiap
kapsul terhadap bobot rata-
rata isi kapsul pada kolom
A (± 7,5%) dan untuk setiap
2 kapsul tidak lebih dari
persyaratan pada kolom B
(± 15%) (Depkes RI, 1979).
Waktu Hancur 4 menit 18 detik Dibawah 15 menit (Depkes
RI, 1995)
Higroskopisitas Minggu ke-4 terjadi
perubahan
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.8 Hasil Pemeriksaan CD19
Tabel 4.11 Karakteristik Responden
Responden IMT Umur Jenis Kelamin
1 22,22 23 tahun PR
2 22,89 22 tahun PR
3 22,65 38 tahun PR
4 22,89 22 tahun PR
5 21,09 22 tahun PR
6 21,71 25 tahun LK
Kontrol positif 20,7 22 tahun PR
Kontrol negatif 22,43 22 tahun PR
Keterangan :
PR = Perempuan, LK = Laki-laki
Tabel 4.12 Persentase CD19 dalam darah
Responden % CD19 dalam darah
Rentang Persentase
CD19 Normal
Sebelum Sesudah
6-25%
1 15 13
2 13 13
3 19 19
4 14 13
5 14 15
6 13 12
Kontrol (+) 18 20
Kontrol (-) 17 18
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.1 Grafik Persentase CD19 dalam Darah
4.2 Pembahasan
Pada penelitian uji efek imunomodulator ini digunakan ekstrak air
campuran serbuk daun sirih kering, bongkahan gambir, dan kapur sirih yang
merupakan komponen menyirih dengan perbandingan 421 : 70 : 9 (daun sirih
: gambir : kapur sirih) yang telah digunakan dalam penelitian sebelumnya.
Daun Sirih (Piper betle L.) yang digunakan diperoleh dari Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor. Hal ini bertujuan
untuk meminimalkan variasi kandungan kimia karena variabel tempat tumbuh
dan iklim (Depkes, 2000). Kemudian dilakukan determinasi simplisia untuk
memastikan kebenaran simplisia. Hasil determinasi menunjukkan bahwa
simplisia yang digunakan adalah sirih (Piper betle L.) dari famili Piperaceae
(lampiran 2).
Bongkahan gambir (ekstrak air gambir) diperoleh dari kabupaten
Payakumbuh, Sumatera Barat yang dikenal sebagai daerah penghasil gambir.
Bongkahan gambir juga dilakukan determinasi dan hasilnya menunjukkan
gambir yang digunakan merupakan gambir (Uncaria gambir Roxb.) dengan
famili Rubiaceae (lampiran 2).
0
5
10
15
20
25
% C
D1
9
Responden
Persentase Kadar CD19
% CD19 dalam darah Sebelum
% CD19 dalam darah Sesudah
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kapur sirih yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ca(OH)2 yang
merupakan kapur sirih dalam bentuk basah atau tidak kering. Kapur sirih ini
diperoleh dari CV. Total Equipment Pharmacy Semarang. Kapur sirih yang
diperoleh memiliki Certificate of Analysis (COA) untuk memastikan bahwa
kapur sirih tersebut aman digunakan atau dengan kata lain tidak mengandung
cemaran logam berbahaya (lampiran 3).
Gambir dan daun sirih distandarisasi dengan karakterisasi ekstrak
dengan pengujian parameter spesifik dan non spesifik. Parameter spesifik
yang dilakukan adalah pemeriksaan organoleptik. Berdasarkan hasil
karakterisasi yang telah dilakukan diperoleh bahwa gambir dan daun sirih
yang digunakan pada penelitian ini memenuhi syarat yang tertera pada
literatur.
Selain pengujian parameter spesifik, dilakukan juga parameter non
spesifik terhadap gambir dan daun sirih. Parameter non spesifik dilakukan
dengan mengukur susut pengeringan, kadar air dan kadar abu. Penetapan
susut pengeringan bertujuan untuk memberikan batasan maksimal besarnya
senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Syarat untuk susut
pengeringan jika tidak dinyatakan lain adalah tidak lebih dari 10% untuk
gambir maupun daun sirih (Depkes RI, 2000 dan SNI 01-3391-1994). Hasil
pengukuran susut pengeringan pada gambir adalah 7% dan pada daun sirih
adalah 4,77%, kedua nilai ini memenuhi syarat sehingga dapat dikatakan
bahwa tidak banyak senyawa yang hilang saat proses pengeringan.
Selanjutnya penetapan kadar air. Penetapan kadar air pada ekstrak bertujuan
untuk memberikan batas maksimal besarnya kandungan air dalam ekstrak.
Pada gambir, syarat kadar air jika tidak dinyatakan dengan lain adalah tidak
lebih dari 14,5% (BPOM RI, 2006), sedangkan pada daun sirih adalah tidak
lebih dari 8% (Standart Herbal Medicine, 1993). Hasil dari pengukuran kadar
air pada gambir adalah sebesar 4,24%, sedangkan pada daun sirih diperoleh
sebesar 2,92%. Nilai ini menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung
dalam ekstrak keduanya masih memenuhi persyaratan. Kemudian dilakukan
penetapan kadar abu. Penetapan kadar abu dilakukan untuk memberikan
gambaran mengenai kandungan mineral internal maupun eksternal yang
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berasal dari peoses awal sampai terbentuknya ekstrak. Pada gambir, syarat
kadar abu jika tidak dinyatakan dengan lain kurang dari 4% (SNI 01-3391-
1994), sedangkan pada daun sirih adalah kurang dari 14% (Standart Herbal
Medicine, 1993). Hasil dari pengukuran kadar abu pada gambir adalah
sebesar 3,62%, sedangkan pada daun sirih adalah sebesar 11,4%. Nilai ini
menunjukkan bahwa kadar abu keduanya memenuhi persyaratan.
Kemudian dilakukan identifikasi gambir dan cemaran urea. Identifikasi
ini dilakukan untuk memastikan bahwa bahan yang identifikasi adalah
gambir. Hasil identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa bahan yang
digunakan adalah gambir. Selanjutnya adalah pengujian cemaran urea
terhadap gambir. Pengujian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah
bahan yang digunakan mengandung cemaran urea yang berbahaya. Hasil
pengujian cemaran urea terhadap gambir menunjukkan bahwa gambir yang
digunakan tidak mengandung cemaran urea.
Tahap selanjutnya adalah penapisan fitokimia. Hasil penapisan
fitokimia yang dilakukan pada gambir positif mengandung senyawa alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, dan kuinon, sedangkan pada daun sirih positif
mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, steroid dan triterpenoid, tanin,
kumarin, dan minyak atsiri. Penapisan ini dilakukan untuk mengetahui
berbagai macam zat kandungan yang terdapat di dalam jaringan tanaman
(Depkes, 1987).
Kemudian dilakukan pembuatan campuran komponen menyirih. Proses
pembuatan campuran komponen menyirih dengan cara memblender
kombinasi ketiga bahan yaitu daun sirih, serbuk bongkahan gambir, dan
kapur sirih [Ca(OH)2]. Metode ini digunakan karena merupakan metode yang
sederhana, mudah dilakukan dan baik untuk senyawa-senyawa yang tidak
tahan panas serta disesuaikan dengan cara menyirih (Puspitasari, 2012).
Sedangkan pemilihan pelarut air karena mengacu pada penggunaan
masyarakat, terdapat kandungan air dalam daun sirih dan kapur sirih
(Puspitasari, 2012). Selanjutnya campuran ketiga bahan di freeze drying
untuk mendapatkan senyawa yang ada termasuk senyawa yang tidak stabil.
Proses freeze drying dilakukan di laboratorium bidang Mikrobiologi Lembaga
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) Cibinong, Jawa Barat. Proses ini
berlangsung selama 8 hari. Hasil freeze drying yang didapat berupa ekstrak
kering sebanyak 73,21 % dari 500 gr campuran komponen menyirih
(lampiran 9).
Dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah dosis pada mencit
yang dikonversikan ke dosis manusia, yaitu 972 mg (lampiran 10). Dosis ini
adalah hasil konversi dari kebiasaan menyirih dengan menggunakan daun
sirih untuk dosis sedang yaitu daun sirih 8 helai, gambir 800 mg dan kapur
sirih 110 mg per hari. Pada penelitian ini juga dilakukan peningkatan dosis
972 mg dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari. Peningkatan dosis ini
bertujuan untuk meningkatkan efek sediaan uji pada responden. Dosis yang
digunakan masih dalam batas aman, mengacu pada penelitian sebelumnya
mengenai batas maksimum penggunaan daun sirih dan gambir yaitu 67,9914
gr (lampiran 10). Frekuensi menyirih yang umumnya dilakukan oleh
masyarakat antara 3 kali sampai dengan 10 kali sehari (Musdja et al., 2011).
Tahapan selanjutnya adalah pengemasan hasil freeze drying dari
campuran komponen menyirih ke dalam kapsul. Sediaan kapsul dipilih
karena praktis, dapat menutupi obat yang memiliki rasa atau bau yang tidak
enak, mudah ditelan, cepat hancur atau larut dalam lambung sehingga obat
cepat diabsorpsi, kapsul tidak memerlukan bahan zat tambahan atau penolong
seperti pada pembuatan bentuk sediaan lainnya (Syamsuni, 2006) serta efek
cepat (dibanding dengan tablet), dosis dan komposis obat mudah dikombinasi
sesuai keperluan pasien (Hadisoewignyo, 2013). Ekstrak kering hasil freeze
drying dimasukkan kedalam cangkang kapsul. Ukuran cangkang kapsul yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran 00 dengan kapasitas 728 mg
(massa jenis = 0,8gr/ml). Untuk dosis 972 mg digunakan 3 kapsul masing-
masing ± 324 mg ekstrak dimasukkan ke dalam cangkang kapsul. Kemudian,
dilakukan evaluasi terhadap sediaan kapsul ekstrak komponen menyirih.
Evaluasi tersebut meliputi uji keseragaman bobot, uji waktu hancur dan uji
higroskopisitas
Uji keseragaman bobot dilakukan bertujuan untuk memastikan bahwa
bobot yang terdapat di dalam kapsul pada suatu formula memiliki jumlah
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sama dan zat aktif yang sama dengan anggapan serbuk formula
terdistribusi homogen. Berdasarkan persyaratan Farmakope Indonesia edisi
III bahwa kapsul dengan bobot rata-rata lebih dari 120 mg tidak boleh
memiliki perbedaan dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-
rata isi kapsul ± 7,5% dan untuk setiap 2 kapsul tidak lebih dari ± 15%.
Berdasarkan uji keseragaman bobot, didapatkan hasil untuk persyaratan tiap
kapsul terdapat dua kapsul yang menyimpang lebih dari persyaratan pada
kolom A (± 7,5%) dan tidak ada satupun kapsul yang menyimpang untuk
persyaratan kolom B (± 15%). Hal ini menunjukkan bahwa sediaan kapsul
tersebut memenuhi kriteria untuk keseragaman bobot.
Uji waktu hancur dilakukan bertujuan untuk mengetahui waktu hancur
sediaan tablet atau kapsul. Untuk memberikan efek terapi, tablet harus hancur
terlebih dahulu hancur menjadi partukel yang lebih kecil, begitu pula untuk
kapsul agar isi kapsul dapat terabsorpsi pada saluran cerna. Uji waktu hancur
untuk sediaan kapsul ekstrak komponen menyirih menunjukkan waktu hancur
rata-rata ± 4 menit 18 detik. Hasil uji waktu hancur menunjukkan bahwa
sediaan kapsul komponen menyirih memenuhi syarat uji waktu hancur kapsul
Farmakope Indonesia edisi IV yaitu waktu hancur dibawah 15 menit.
Uji higroskopisitas bertujuan untuk menguji kemampuan bahan obat
untuk menyerap uap dari udara setelah dibiarkan dalam kondisi tertentu
selama beberapa waktu. Pengujian dilakukan dengan mengamati perubahan
bobot dan warna dari isi sediaan kapsul. Perubahan bobot kapsul dan warna
isi kapsul setiap waktunya dapat menggambarkan perubahan kadar air yang
terdapat dalam sediaan. Pengujian tersebut diamati bobotnya setiap minggu
selama 4 minggu. Berdasarkan hasil uji higroskopisitas, pada minggu ke-1,2
dan 3 menunjukkan sediaan kapsul komponen menyirih relatif stabil karena
tidak terjadi perubahan bentuk kapsul dan warna isi serbuk. Pada minggu ke-
3 terjadi peningkatan bobot kapsul komponen menyirih. Namun, pada minggu
ke-4 terjadi perubahan bentuk dan bobot kapsul komponen menyirih serta
tidak terjadi perubahan pada warna isi kapsul (lampiran 12). Hal ini
menunjukkan bahwa sediaan kapsul komponen menyirih bersifat higroskopis
kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurang tepatnya
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pemilihan kapasitas cangkang kapsul yang digunakan sehingga masih
terdapat rongga udara di dalam kapsul yang mungkin bisa mempengaruhi
stabilitas senyawa maupun cangkang kapsul; dan kemungkinan karena tidak
diberi zat pengering seperti silica gel saat penyimpanan yang bisa digunakan
untuk mempertahankan kestabilan sediaan.
Pada penelitian ini dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok uji,
kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol. Kelompok uji diberikan
kapsul komponen menyirih (campuran ekstrak gambir, daun sirih dan kapur
sirih). Kelompok uji diberikan 972 mg campuran ekstrak komponen
menyirih, yang terbagi dalam 3 kapsul. Kelompok kontrol positif diberikan
Imboost® Force yang beredar di pasaran. Pada penelitian ini digunakan 8
responden berdasarkan perhitungan rumus federer (lampiran 11). Responden
tsb terdiri dari 6 orang sebagai kelompok uji, dan masing-masing 1 orang
untuk kontrol positif maupun negatif. Kelompok kontrol positif dan
kelompok uji diberikan perlakuan dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari,
mengacu pada aturan pakai kontrol positif yaitu Imboost® Force, sedangkan
kontrol negatif tidak diberikan perlakuan. Sebelumnya dilakukan
pemeriksaan terhadap responden terkait kriteria inklusi yang ditetapkan oleh
peneliti. Hasil pemeriksaan kriteri inklusi dapat dilihat pada tabel 4.11. Hasil
yang didapatkan adalah semua responden memenuhi kriteria inklusi yang
ditetapkan oleh peneliti baik dari segi umur, IMT, maupun kondisi kesehatan
yang terlihat secara fisik. Sebelum dilaksanakan intervensi terhadap
responden, peneliti meminta persetujuan dari responden di awal. Persetujuan
tersebut berupa inform concern (lampiran 13). Setelah semua responden
memenuhi kriteria inklusi, peneliti menyampaikan informasi terkait alur
penelitian yang akan dilakukan mulai dari pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, lama pemberian
sediaan, jadwal mengkonsumsi sediaan, cara penyimpanan sediaan, dan hal-
hal yang harus dihindari seperti mengkonsumsi obat, vitamin, dan sejenisnya
selama penelitian berlangsung. Pemantauan terhadap responden dilakukan
setiap hari oleh penelitian yang bertujuan untuk meminimalisir kesalahan-
kesalahan yang mungkin bisa berpengaruh pada hasil akhir.
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada penelitian ini, dosis pada kelompok uji ditingkatkan dari 972 mg
menjadi 972 mg 3 kali sehari. Peningkatan dosis ini bertujuan untuk
meningkatkan efek sediaan uji pada responden. Dosis yang digunakan masih
dalam batas aman, mengacu pada penelitian sebelumnya mengenai batas
maksimum penggunaan daun sirih dan gambir yaitu 67,9914 gr. Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan efek imunomodulator, tetapi tetap
mempertimbangkan keamanan dosis yakni tidak melebihi dosis maksimum.
Pengujian ini dilakukan selama 14 hari berturut-turut mengacu pada
penelitian yang dilakuan oleh Musdja (2011) menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak komponen menyirih dari hari pertama sampai hari 14 memperkuat
sistem pertahanan tubuh mencit sehingga lebih baik dalam melakukan
aktivitas dan kapasitas fagositosis terhadap S. epidermis dengan pemberian
dosis 200mg/kg BB.
Kontrol positif yang digunakan sebagai pembanding pada penelitian ini
adalah Imboost® Force Kaplet Salut Selaput. Pemilihan Imboost Force
sebagai kontrol positif mengacu pada bahan yang digunakan terdiri dari 3
bahan, yaitu ekstrak kering Echinaceae purpurea, Black elderberry dan Zn
Picolinate. Selain itu juga, Imboost Force merupakan salah satu sediaan
fitofarmaka yang telah beredar di Indonesia. Fitofarmaka adalah sediaan obat
bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di
standarisasi (BPOM, 2005). Fitofarmaka ini merupakan salah satu
fitofarmaka yang banyak digunakan masyarakat untuk meningkatkan sistem
imun tubuh atau sebagai imunomodulator yang telah beredar di Indonesia.
Metode yang digunakan untuk uji efek imunomodulator pada penelitian
ini adalah uji titer antibodi. Metode ini dipilih karena merupakan metode
yang mudah, cepat, dan relatif murah. Pemilihan CD19 dalam pengujian efek
imunomodulator ini karena kadar CD19 dapat dideteksi dalam sel darah
merah dan menunjukkan kadar limfosit B sebagai penghasil antibodi.
CD19 (Cluster of Differentiation 19) merupakan sebuah marker atau
penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih, terutama sel-sel
limfosit B. Limfosit B menanggapi antigen dengan memproduksi protein
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang disebut antibodi. Antibodi protein yang disekresikan ke dalam darah dan
tubuh lainnya cairan dan dengan demikian memberikan kekebalan humoral
(istilah humor disini digunakan dalam arti kuno, mengacu pada cairan tubuh).
Limfosit lainnya yang disebut sel T tidak mengeluarkan antibodi melainkan
langsung menyerang sel-sel yang membawa antigen spesifik sehingga sel-sel
ini digambarkan sebagai menghasilkan imunitas seluler. Berbeda dengan
antibodi, mereka tidak membunuh patogen secara langsung melainkan
menyebabkan kerusakan patogen dengan mengaktifkan sistem komplemen
dan dengan menargetkan patogen serangan oleh sel fagositik (Raven et al.,
2001).
Limfosit B atau sel B tidak melakukan perjalanan ke timus; sel ini
menyelesaikan pematangan di sumsum tulang. Dari sumsum tulang, sel B
dilepaskan bersirkulasi dalam darah dan getah bening. Sel B individual,
seperti sel-sel T, yang khusus untuk mengenali antigen asing tertentu. Ketika
sel B bertemu dengan antigen yang ditargetkan, sel B mulai membelah
dengan cepat, dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Setiap
sel plasma adalah pabrik yang memproduksi antibodi yang menempel seperti
bendera untuk antigen, menandai setiap sel membawa antigen untuk
dihancurkan. Sel B merupakan prekursor sel plasma; khusus untuk
mengenali antigen asing tertentu.
Sel B juga merespons helper sel T diaktifkan oleh interleukin-1. Seperti
sel T sitotoksik, sel B memiliki protein reseptor pada permukaannya, satu
jenis reseptor untuk setiap jenis sel B. Sel B mengenali mikroba sebanyak sel
T sitotoksik mengenali sel yang terinfeksi, tetapi tidak seperti sel T sitotoksik,
sel B tidak meyerang diri sendiri. Sebaliknya, mereka menandai patogen
untuk dihancurkan oleh mekanisme yang tidak memiliki "ID cek" sistem sel
B sendiri. Di awal respon imun, marker ditempatkan oleh B sel protein
komplemen peringatan untuk menyerang sel-sel yang membawa mereka.
Cara sel-sel B melakukan penandaan sederhana dan sangat mudah.
Berbeda dengan reseptor pada sel T, yang mengikat hanya untuk antigen-
MHC kompleks protein pada sel antigen-presenting (APC), reseptor sel B
dapat mengikat bebas sehingga antigen belum diproses. Ketika sel B bertemu
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
antigen, partikel antigen akan masuk ke dalam sel B oleh endositosis dan
diproses. Sel Thelper yang mampu mengenali antigen spesifik akan mengikat
kompleks protein antigen-MHC pada sel B dan melepaskan interleukin-2,
yang merangsang sel B membelah. Di samping bersifat bebas, antigen yang
belum diproses menempel antibodi pada permukaan sel B. Paparan antigen
ini memicu lebih banyak lagi B proliferasi sel. Sel B membelah untuk
menghasilkan sel-sel memori B berumur panjang dan sel plasma yang
berfungsi pabrik antibodi sebagai berumur pendek.
Molekul yang bertanggungjawab dalam proses pembentukan antibodi
adalah limfosit B dengan molekul penanda berupa CD19. Limfosit B berasal
dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum tulang. Limfosit B
yang matang mengalir melalui darah dan berdiam di jaringan limfoid perifer
dan membentuk koloni. Limfosit ini akan berproliferasi setelah mendapat
stimulasi dengan adanya invasi asing (Sherwood, 2001). Limfosit B
menanggapi antigen dengan memproduksi protein yang disebut antibodi.
Proses ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu populasi sel
plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah
(Kresno, 2001). Molekul yang disintesis oleh sel B terdapat dua molekul
dengan fungsi yang berbeda, yaitu sebagai reseptor permukaan (untuk
mengikat antigen) dan sebagai antibodi yang disekresikan ke dalam cairan
ekstraseluler. Molekul yang berperan sebagai reseptor permukaan adalah sel
B memori yang berfungsi mengingat sedangkan molekul yang disekresikan
ke dalam cairan ekstraseluler berupa sel plasma. Antibodi yang dilepaskan ke
dalam plasma darah, getah bening, dan cairan ekstraselular lainnya (Raven et
al., 2001). Oleh karena itu, pengujian CD19 bisa dideteksi melalui
pengambilan darah.
Pengujian CD19 dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sehari sebelum
responden diberi perlakuan dan setelah 14 hari pengujian yaitu pada hari ke
15. Pengujian CD19 ini dilakukan di Laboratorium Terpadu FKUI. Penelitian
ini belum memiliki ethical clearance karena penelitian ini merupakan uji
pendahuluan (trial). Penelitian ini juga menggunakan jumlah reponden yang
belum representatif jika dibandingkan dengan uji klinis fase 1 yang
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebenarnya, salah satunya karena keterbatasan biaya. Selama penelitian
berlangsung, tidak ditemukan adanya efek samping pada responden.
Sama seperti pengujian CD4 dan CD8, pengujian CD19 juga dapat
berubah-ubah yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain waktu
pengambilan darah, faktor fisik pasien, maupun faktor kondisi kejiwaan
pasien. Oleh karena itu, darah yang diambil pada jam yang sama dan
dilakukan di laboratorium yang sama untuk meminimalisir faktor kesalahan
(Nurnabila, 2011).
Hasil pemeriksaaan CD19 sebelum dan sesudah responden diberi
perlakuan bisa dilihat pada tabel 4.12. Persentase CD19 normal memiliki
rasio antara 5-25% atau 90-660 cells/μL (lampiran 15). Hasil ini
diinterpretasikan dalam bentuk tabel dan grafik yang bisa dilihat pada bab
hasil. Data hasil laboratorium kemudian dianalisa dengan menggunakan
program pengolahan data statistik SPSS 16 dengan metode Paired T-test.
Sebelumnya data di uji normalitas, hasilnya menunjukkan data tidak
terdistribusi normal sehingga menggunakan uji Wilcoxon. Berdasarkan
analisa data didapatkan nilai p > 0,05, Ho berarti diterima. Data ini
menunjukkan bahwa kapsul komponen menyirih tidak memiliki perbedaan
secara bermakna, dengan kata lain kapsul campuran komponen menyirih
tidak dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah secara bermakna. Hal ini
bisa disebabkan karena kurang representatifnya jumlah sampel yang diuji
antara kelompok uji dengan kelompok kontrol, seharusnya jumlah sampel
yang digunakan adalah sama, baik kelompok uji maupun kelompok kontrol.
Selain itu, bisa disebabkan karena kurang tepatnya pemberian dosis dan lama
waktu frekuensi pemberian sehingga senyawa yang diharapkan dapat
memberikan efek belum bekerja secara maksimal. Kondisi responden yang
sehat kemungkinan juga menjadi salah satu penyebab tidak terlihatnya
peningkatan yang signifikan pada kadar CD19 dalam darah. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena tidak adanya paparan antigen yang bisa
mengaktivasi kerja dari CD19 sehingga tidak terlihat jelas hasil interpretasi
dari kerja CD19 pada saat pemeriksaan laboratorium. Selain itu juga,
kemungkinan disebabkan sifat senyawa imunomodulator yang tidak akan
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menimbulkan sistem fungsi imun yang berlebihan. Sistem imun akan berhenti
bekerja meningkatkan kekebalan tubuh jika kondisi tubuh telah kembali
normal (Djauzi, 2003 dan Heru, 2001). Untuk mengetahui kadar obat atau
senyawa dalam darah bisa dilakukan pengujian farmakokinetik untuk
mengetahui proses perjalanan obat, berupa proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Tetapi proses tersebut tidak menjadi tahapan yang
dilakukan pada penelitian ini.
65 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap sediaan, kapsul campuran
komponen menyirih memenuhi syarat dari hasil evaluasi uji waktu
hancur, namun untuk hasil uji keseragaman bobot tidak memenuhi
sayarat serta uji higroskopisitas menunjukkan bahwa sediaan bersifat
higroskopis pada minggu ke-4.
2. Berdasarkan analisa data yang dilakukan, didapatkan nilai p > 0,05,
Ho berarti diterima. Data ini menunjukkan bahwa kapsul campuran
komponen menyirih tidak dapat meningkatkan kadar CD19 dalam
darah secara bermakna.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan variasi terkait dosis, frekuensi dan lama waktu
pemberian agar lebih terlihat jelas pengaruh campuran komponen
menyirih terhadap fungsinya sebagai imunomodulator.
2. Perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut terhadap sediaan.
3. Perlu dilakukan evaluasi terkait jumlah responden yang representatif.
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology.
Philadelphia: WE Saunders Company, 1991.
Abbas A, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology. 5th
ed. Philadelphia : Elsevier-Saunders; 2005
Amos, I. Zainuddin, A. Triputranto, B.Rusmandana, dan S. Ngudiwaluyo. 2004.
Teknologi Pasca Panen Gambir. Jakarta : BPPT Press
Amos. 2010. Kandungan Katekin Gambir Sentra Produksi di Indonesia. Pusat
Pengkajian Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi. Jurnal Standardisasi Vol. 12, No. 3
Anggraini, T., Tai, T., Yoshino, T and Itani, T. 2011. Antioxidative activity and
catechin content of four kinds of Uncaria gambir extracts from West
Sumatra, Indonesia. African Journal of Biochemistry Research. Vol. 5 (1):
33- 38
Ansel, H. C., Allen, L. V., and Popovich, N. G,. 2005. Ansel’s Pharmaceutical
Dosage Form and Drug Delivery System, Eight Edition. Lippincott
Williams and Wilkins a wotters Kluver Company. Philadelphia.
Anonim. 2006. Echinacea Imunoterapi Penyakit Saluran Pernapasan. Diambil
dari http://www.tempo.co.id
Augsburger, L. L. 2000. Modern Pharmaceutics : Hard and Soft Gelatin Capsules
Ed 2. New York : Mercel Dekker
Baratawidjaja, G.K., dan Rengganis, I. 2010. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
BPOM. 2005. http://sireka.pom.go.id diakses tanggal 26 Desember 2016
Bradley. Peter. 2006. British Herbal Compendium Vol 2. British Herbal Medicine
Association (BHMA), Great Britain : 129-141
Dalimartha, Setiawan. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta : Puspa
Swara.
Departemen Kesehatan RI. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 1999. Cara Pengelolaan Simplisia yang Baik.
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta
Dewi, May malia. 2012. Formulasi Sediaan Tablet Hisap Katekin Gambir
(Uncaria gambir Roxb.) sebagai Imunomodulator dengan Metode
Granulasi Basah. FKIK UIN Jakarta
Ermiati. 2004. Budidaya, Pengolahan Hasil dan Kelayakan Usaha Tani Gambir
(Uncaria gambir Roxb.) di Kabupaten 50 Kota. Buletin TRO.
Flachsmann. Echinacea purpurea Nonclonal Immuno Strategies and its modulations.
Phyto Novum 2001. Gandhi G, Kaur R, Sharma S. 2005. Chewing pan
masala and/or betel quid-fashionable attributes and/or cancer menaces.
Journal of Human Ecology
Gunawan, Didik & Mulyani, Sri. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1.
Penebar Swadaya, Jakarta
Hadisoewignyo, Lannie. 2013. Sediaan Solida. Pustaka Pelajar
Hariana, H. Arief. 2004. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri 1. Penebar
Swadaya, Jakarta
Hariana, Drs. H. Arief. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri 3. Penebar
Swadaya, Jakarta
Handojo, I. 2003. Pengantar Imunoasai Dasar. Surabaya : Airlangga University
Press
Haryanto, Sugeng. 2009. Ensiklopedi Tanaman Obat Indonesia. Pallmal,
Yogyakarta
Hayani, E. 2003. Analisis Kadar Catechin dari Gambir dengan Berbagai Metode.
Buletin Teknik Pertanian Vol. 8, No. 1.
Hendry, John A., Jeansonne, Billie G., Dummett, Clifton O., dan Burrell, William.
Comparison of Calcium Hydroxide and Zinc Oxide and Eugenol
Pulpectomies in Primary Teeth of Dogs. Oral Patology, Vol 54, 2005
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. 2nd
ed. Jakarta : Departemen
Kehutanan
Juminar, St Ratna. 2012. Formulasi Granul Kombinasi Katekin Gambir (Uncaria
gambir Roxb) dan Eugenol Sebagai Imunomodulator Dengan Metode
Granulasi Basah. Jakarta : FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Kresno, B.S. (2001). Imunologi : Diagnosis dan Proses Laboratorium Edisi
Kelima. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Martz, E. 2003. What Is Flow Cytometry? dari
http://www.bio.umass.edu/micro/immunology/facs542/facswhat.html
diakses pada 21 Desember 2016
Moeljanto, Rini Damayanti. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab
dari masa ke masa. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Musdja, Muhammad Yanis, Amir Syarif, Ernie Hernawati Poerwaningsih, Andria
Agusta. 2011. Modulation of Macrophage Immune Responses of Extract
Mixture of Betel Leaf (Piper betle, L), Gambier (Uncaria gambier, Roxb)
and Calcium Hydroxide on Phagocytic Cells of Mice. Jakarta : Islamic
State University
Nalina T, Rahim ZHA. The crude aqueous extract of piper betel L and its
antibacterial affect towards streptococcus mutans. Am J Biochem & Biotech
2007
Ningrum, I. P. 2010. Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides
Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa. Fakultas Biologi Institut Teknologi
Sepuluh Nopember Surabaya.
Oetjen, Georg-Wilhem & Haseley, Peter. 2004. Frezz-Drying. From Germany :
WILEY-VCH Verlag Gmbh & Co.KGaA
Pambayun, Rindit. 2013. Herbal Tradisional dengan Gambir (Uncaria gambir
Roxb) dan Pengembangannya untuk Pelayanan Kesehatan. Universitas
Sriwijaya Palembang
Perpustakaan Negeri Malaysia. 2001. Sirih Pinang. From
http://www.pnm.my/sirihpinang/sp-kapur.html diakses pada tanggal 10
Maret 2016
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Raven, Peter H. George B. Johnson. 2001. Biology sixth edition. McGraw-Hill
education.
Roselyndiar, 2012. Formulasi Kapsul Kombinasi Ekstrak Herba Seledri (Aoium
graveolens L. dan Daun Tempuyung (Sonchus arvenis L.). Universitas
Indonesia
Rowley, T. 2013 Flow Cytometry - A Survey and the Basics,
http://www.labome.com/method/Flow-Cytometry-A-Survey-and-the-
Basics.html diakses pada 21 Desember 2016
Robinson, J.P. 2006. Introduction to Flow Cytometry : Flow cytometry talks,
Purdue University Cytometry Laboratories,
http://www.cyto.purdue.edu/flowcyt/educated/pptslide.htm diakses pada
21 Desember 2016
Robinson, J.P. 2004. Flow Cytometry : Encyclopedia of Biomaterials and
Biomedical Engineering.
Sari, Retno dan Dewi Isadiartuti. 2006. Studi Efektivitas Sediaan Gel Antiseptik
Tangan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn.). Majalah Farmasi Indonesia
17 (4)
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Subowo. 1993. Imunobiologi. Bandung : Penerbit Angkasa
Sudirman. 2010. Pemanfaatan Kapur Sirih Sebagai Deodoran Alternatif
Pencegah Terjadinya Bau Badan (Bromhidrosis). Universitas Negeri
Malang, Malang
Syamsuni, H. A., 2006. Ilmu Resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. PT Elex Media Komputindo,
Jakarta
Van Steenis, C. G. G. J. 2008. Flora. PT Pradriya Paramita, Jakarta.
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Penelitian
Dideterminasi
Penapisan fitokimia Karakterisasi ekstrak
(pengujian parameter spesifik
dan non spesifik)
Ditimbang
Diblender
Freeze drying
Kapur Sirih
[Ca(OH)2]
Daun Sirih
(Piper betle L.)
Gambir
(Uncaria gambir Roxb)
Hasil determinasi
Ekstrak basah
Ekstrak kering
Uji efek
Imunomodulator
Analisa Data
Pengukuran
Kadar CD19
Komponen Menyirih
Responden
Kontrol (+) : Imboost® Force
Kontrol (-) : tidak diberikan
perlakuan
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Sertifikat Analisis (COA) Kapur Sirih
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Alat dan Bahan yang digunakan
Freeze Drier
(EYELA FDU-1200)
FACS Canto II
Blender Oven Tanur
Disintegration Tester
(ERWEKA) Timbangan Analitik Sysmex Pouch 100i
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Botol Gelap
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Penyiapan Campuran Komponen Menyirih
Dihaluskan
Ditimbang Ditimbang Ditimbang
Dicampur
Diblender
Freeze drying
Ekstrak kering
Bongkahan Gambir Daun Sirih
kering
Kapur Sirih
Serbuk kering
70 gram 9 gram 421 gram
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Hasil Pengujian Parameter Non spesifik
Hasil Susut Pengeringan
Daun Sirih
Hasil Kadar Abu
Gambir
Hasil Kadar Air
Gambir
Hasil Kadar Abu
Daun Sirih
Hasil Kadar Air
Daun Sirih
Hasil Susut Pengeringan
Gambir
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia
Gambir
Daun sirih
Saponin Alkaloid Kuinon
Flavonoid
Alkaloid Flavonoid Steroid
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Perhitungan Pengujian Parameter Non spesifik
Gambir
1. Susut Pengeringan
W1 = berat awal = 43,545 gr
W2 = berat akhir = 43,466 gr
Berat ekstrak = 1,043
% 𝑠𝑢𝑠𝑢𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 = W1 − W2
berat ekstrak x 100%
= 43,545 − 43,466
1,043 x 100%
= 7,57%
2. Kadar Air
Berat ekstrak + wadah awal (a) = 54,2255 gr
Berat ekstrak + wadah akhir (b) = 54,182 gr
Berat simplisia (c) = 1,0255 gr
Berat wadah kosong = 53,2 gram
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = a − b
c x 100%
= 54,2255 − 54,182
1,0255 x 100%
= 4,24%
3. Kadar Abu
Berat ekstrak + wadah awal (a) = 39,664 gr
Berat ekstrak + wadah akhir (b) = 39,6 gr
Berat simplisia (c) = 1,104 gr
Berat wadah kosong = 58,56 gram
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = a − b
c x 100%
= 39,6 − 38,56
1,104 x 100%
= 3,62%
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daun Sirih
1. Susut Pengeringan
W1 = berat awal = 31,056 gr
W2 = berat akhir = 31,007 gr
Berat ekstrak = 1,026 gr
% 𝑠𝑢𝑠𝑢𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 = W1 − W2
berat ekstrak x 100%
= 31,056 − 31,007
1,026 x 100%
= 4,77%
2. Kadar Air
Berat ekstrak + wadah awal (a) = 55,725gr
Berat ekstrak + wadah akhir (b) = 55,695gr
Berat simplisia (c) = 1,025 gr
Berat wadah kosong = 54,7 gram
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = a − b
c x 100%
= 55,725 − 55,695
1,025 x 100%
= 2,92%
3. Kadar Abu
Berat ekstrak + wadah awal = 38,767 gr
Berat ekstrak + wadah akhir (a) = 37,882 gr
Berat simplisia (c) = 1,067 gr
Berat wadah kosong (b) = 37,7 gram
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = a − b
c x 100%
= 37,822 − 37,7
1,067 x 100%
= 11,4%
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Proses Pembuatan Campuran Komponen Menyirih
Komponen Menyirih
hasil freeze dry
Komponen Menyirih
dalam kapsul
Penimbangan Hasil freeze dry
Proses pengemasan hasil freeze dry ke
dalam Kapsul
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Perhitungan Hasil Freeze drying
% =Bobot ekstrak yang didapat
Bobot serbuk simplisia yang diekstraksi x 100%
Berat serbuk yang diekstraksi (a) = 500 gr
Berat ekstrak kering yang didapat (b) = 366,05 gr
% =𝑏
𝑎 x 100%
=366,05 gr
500 gr x 100%
=73,21%
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Perhitungan Dosis
Dosis yang digunakan adalah dosis pada penelitian sebelumnya yaitu 200
mg/kgBB pada mencit. Kemudian dosis tersebut dikonversi ke dosis manusia.
Dosis harus dikonversi berdasarkan perhitungan menggunakan luas permukaan
tubuh yang berasal dari U.S. Departement of Health and Human Services, Food
and Drug Administration, Center for Drug Evaluation (Shaw et al., 2007).
Tabel 5.1 Konversi Dosis Hewan ke Dosis Manusia (HED) berdasarkan Luas
Permukaan (Shaw et al., 2007)
Spesies Bobot (kg) Luas Permukaan
Tubuh (m2) Faktor Km
Manusia
Dewasa
Anak-anak
60
20
1,6
0,8
37
25
Baboon 12 0,6 20
Anjing 10 0,5 20
Monyet 3 0,24 12
Kelinci 1,8 0,15 12
Guinea pig 0,4 0,05 8
Tikus 0,15 0,025 6
Hmaster 0,08 0,02 5
Mencit 0,02 0,007 3
HED = Animal dose x Animal Km
Human Km
= 200 mg/kgBB x 3
37
= 16,2 mg/kgBB x 60 kg
= 972 mg
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk letal dose atau LD50 yang digunakan, merujuk pada penelitian
sebelumnya yaitu 13,99g /kgBB pada mencit. Kemudian dikonversikan ke
LD50 pada manusia
LD50 = 13,99 g/kg/BB x 3
37
= 13,99 g/kgBB x 0,081
= 1,13319 g/kgBB x 60 kg
= 67,9914 g
= 67991,14 mg
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Perhitungan Pengambilan Sampel
Rumus Federer :
t (n-1) ≥ 15
(n-1) (3-1) ≥ 15
(n-1) (2) ≥ 15
2n - 2 ≥ 15
n ≥ 8,5 ≈ 8
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Perhitungan Hasil Evaluasi Kapsul
Perhitungan nilai persen penyimpangan pada Uji Keseragaman Bobot
% Penyimpangan = |𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎2 𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙| × 100%
Uji Higroskopisitas
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5.1 . Hasil Uji Higroskopisitas, (a) minggu ke-1, (b) minggu ke-
2, (c) minggu ke-3, (d) minggu ke-4
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Surat Persetujuan (Inform Concern)
Sehubungan dengan penelitian ini, saya sebagai responden menyatakan
sebagai berikut.
Nama :
Alamat :
No.telp/HP :
Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, saya menyatakan (bersedia /
tidak bersedia*) menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa
jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, atas nama Ratnika Sari dengan judul “Uji Efek
Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper
betle L., dan Ca(OH)2]” dengan Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah.
Demikian surat persetujuan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada
paksaan dan tekanan dari pihak manapun.
Jakarta, Oktober 2016
Responden
(…..…………………….)
Nama Terang
*) Coret salah satu
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Surat Pengajuan Ethical Clearance
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 16. Hasil Pemeriksaan CD19
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
101
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
102
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
103
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
104
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Hasil Uji Statistik
Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
CD19before .283 6 .144 .771 6 .032
CD19after .342 6 .027 .780 6 .039
a. Lilliefors Significance Correction
Ket : Jika probabilitas > 0,05, data terdistribusi normal
Jika probabilitas < 0,05, data tidak terdistribusi normal
Uji Wilcoxon
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Sebelum 8 15.38 2.326 13 19
Sesudah 8 15.38 3.159 12 20
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Sesudah - Sebelum Negative Ranks 3a 3.50 10.50
Positive Ranks 3b 3.50 10.50
Ties 2c
Total 8
a. Sesudah < Sebelum
b. Sesudah > Sebelum
c. Sesudah = Sebelum
105
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Test Statisticsb
Sesudah -
Sebelum
Z .000a
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
a. The sum of negative ranks equals the
sum of positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test