TUGAS PRESENTASI UNDANG – UNDANG
KASUS FIRMAN BUDI, JAKARTA UTARA
Penyusun :Nyoman Arya Adi Wangsa/FK Trisakti
Putri Melati/FK TrisaktiTiara Sarambu/FK Ukrida
Ni Putu Devia S/FK Trisakti
Pembimbing :
dr. Wawan S., SpBS
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR.ESNAWANUNIVERSITAS KEDOKTERAN TRISAKTI
APRIL 2014
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah “malpraktek” tidak dijumpai dalam KUHP, karena memang bukan
merupakan istilah yuridis, istilah “malpraktek” hanya digunakan untuk menyatakan
adanya tidakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi; baik dibidang
kedokteran maupun dibidang hukum.
Saat ini semakin banyak kasus malpraktek yang diadukan oleh pihak pasien
kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Hal ini seiring dengan majunya
sarana informasi yang dapat dijadikan sumber pengetahuan ataupun perbandingan oleh
pasien. Malpraktik yang diadukan oleh keluarga pasien sebagian besar diduga karena ada
kelalaian dari piha k dokter sehingga pasien mengalami kerugian berupa keadaan
kesehatannya yang memburuk bahkan sampai menyebabkan kematian..
Dugaan malpraktek kedokteran harus mendapatkan prioritas penanganan lebih
saat ini. Tingginta kasus malpraktek yang terjadi akibat kelalaian dokter, memaksa
pemerintah untuk turut serta secara pro-aktif memberikan perlindungan kepada
masyarakat selakuk pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang – undang serta sanksi
– sanksi hukum yang tegas. Dahulu profesi kedokteran seirng dianggap sebagai sebuah
profesi yang terkesan terisolir dan tidak pernah mendapat sentuhan hukum sama sekali.
Namun doktrin – doktrin usang tersebut kini seakan tidak berlaku lagi karena menurut
hukum, tidak terdapat suatu tingkat superiositas kelas di dalam masyarakat, semua
dianggap sama dihadapan hukum (equality before the law). Dalam menjalankan
rangkaian diagnosa (menentukan kriteria penyakit serta obat yang harus dipergunakan
oleh pasien), seorang dokter dituntut untuk selalu berhati – hati, karena satu insiden
pelanggaran medis saja mampu menimbulkan kerugian fisik hingga resiko hilangnya
nyawa pasien. Dalam hal seperti inilah seirngkali dokter terjebak dalam problematika
medis. Semua itu harus disesuaikan dengan standard operasional prosedur yang telah
digariskan oleh organisasi profesi kedokteran. Karena sebagai seorang pekerja
profesional tidak dibenarkan memiliki suatu sikap batin yang ceroboh mengenai standar
profesinya sendiri. Sikap batin seperti demikianlah yang sangat berbahaya serta dapat
mengancam kelangsungan kesehatan pasien.
BAB II
KRONOLOGI KASUS
Oktober 2005,
Pada saat itu pasien sebut saja Firman Budi (nama samaran) yang berkedudukan
di kelapa gading Jakarta utara mengeluh bahwa mengalami rasa nyeri pada punggung,
yang rasa sakitnya belum pernah di rasakan sebelumnya dan sangat mengganggu karena
rasa sakitnya ini Firman Budi tidak bisa melaksanakan kegiatan sehari-hari, lalu Firman
Budi memutuskan untuk pergi RS SGI Lippo Karawaci untuk diperiksa apa penyebab
sakit pinggang yang di alaminya di RS SGI Lippo Karawaci dengan pemeriksan yang di
lakukan oleh dr. Eka Susilo dokter ahli saraf (nama samaran), yang berkedudukan
perumahan Lippo Karawaci Tenggerang dan mendapatkan Hasil negatif (-). Maka dr. Eka
Susilo menyarankan untuk dilakukan terapi dengan obat dan penggunaan korset kepada
Firman Budi . Namun pada tanggal 6 Desember 2005 Firman Budi kembali merasakan
nyeri pada pinggangnya yang pada bulan oktober itu, dan Firman Budi kembali ke RS
SGI Lippo Karawaci dan kembali di periksa oleh dr. Eka Susilo dan di lakukan rontgen
dan MRI(Magnetic resonance imaging) pada pinggang yang di rasakan sakit guna
mengatahui lebih jelasnya penyakit yang menimbulkan rasa sakit yang di alami oleh
Firman Budi agar bisa di lakukan pengobatan lebih lanjut lagi.
Pada 17 Desember 2005 Firman Budi kembali ke RS SGI Lipo Karawaci untuk
mengambil hasil pemriksan MRI, di sini Firman Budi kembali menemui dr. Eka Susilo
untuk membicarakan hasil pemeriksaan MRI, dan pada hasil pemeriksan MRI di temukan
sutu penyakit yang bernama Spondilitis TB di torakal 7 dan 8. Selain itu, Firman
Budi mengalami juga bronkitis dan harus di lakukan dirawat inap selama lima hari agar
di lakukan pengobtan lebih intensif oleh dr. Eka Susilo. Pada setiap kontrol Firman Budi
di lakukan injeksi cement (anestesi lokal) (ruas T7-8) oleh dr.Eka Susilo untuk mencegah
dampak lebih fatal pada Firman Budi, seperti kelumpuhan total jika suatu saat nanti
ketika Firman Budi mengalami kecelakan seperti terjatuh atau terpeleset.
Pada 8 Maret 2008 Firman Budi kembali datang ke RS SGI Lipo karawaci untuk
melakukan kontrol rutin seperti biasanya, dan di lakukan injeksi cement pada Firman
Budi dengan kondisi tubuhnya sehat dan dapat berjalan seperti biasanya, Sebelum injeksi
perawat meminta Firman Budi menandatangani persetujuan tindakan medis. Firman
Budi sempat menanyakan untuk apa di lakukan injeksi cement (pengobatan untuk
mengatasi kelumpuhan) oleh dokter anetesi yang di sebut
general anestesi, menyatakan bahwa kalau pengobatan ini tidak ada efek samping dan
selalu berhasil, namun tidak ada informasi yang jelas di berikan terhadap Firman Budi
oleh pihak medis. Namun tanpa seijin Firman Budi, injeksi tersebut dilakukan
oleh asisten dr. Eka Susilo yaitu dr. Miria Noor (Nama samaran), yang menggantikan
tugas dr. Eka Susilo karena dr. Eka Susilo sedang bertugas di luar, ternyata injeksi
tersebut mengalami kesalahan dan menimbulkan dampak yang sangat fatal terhadap
Firman Budi. Ternyata injeksi ini menyebabkan pembengkakan pada seluruh tubuh dan
gula darah naik lalu rumah sakit melakukan scan dan menemukan cement yang di injeksi
ternyata masuk ke bagian yang bukan tempatnya, yang menyebabkan kelumpuhan pada
tungkai kiri Firman Budi, yang di sebabkan oleh jarum suntik menyentuh sumsum tulang
belakang yang di lakukan oleh dr. Miria Noor (asisten dr. Eka Susilo). Lalu keluarga
Firman Budi meminta rekam medis Firman Budi kepada RS SGI Lipo Karawaci namun
pihak Rumah Sakit menolak memberikan rekam medis Firman Budi dengan dalih bahwa
rekam mendis adalah milik Rumah Sakit, padahal keluarga sangat membutuhkan hasil
dari pemeriksan medis Firman Budi, guna melakukan tindakan medis sangat di perlukan
untuk kesembuhan Firman Budi tersebut, walaupun sudah menjelaskan seperti itu dan
sudah di beri hak oleh Firman Budi akan tetapi pihak rumah sakit enggan memberikan
rekam medis itu, menurut rumah sakit rekam medis tidak boleh di bawa keluar dari
rumah sakit.
Pada 17 Maret 2008 keluarga membawa Firman Budi ke dr. Ahok Hong (nama
samaran) di ME Hospital di singapura, lalu di lakukan pemeriksaan kepada Firman Budi,
ternyata dari hasil pemeriksan di temukan bahwa injectie cement yang di lakukan di RS
SGI Lipo Karawaci oleh dr. Miria Noor itu salah sasaran, dan bahkan injeksi cement itu
tidak di perlukan oleh Firman Budi dalam pengobatan dirinya. Injeksi cement itu
berdampak fatal terhadap Firman Budi yaitu menyebabkan kelumpuhan dan harus harus
menjalani terapi fisik melalui air dan harus menggunakan kursi roda selama tiga bulan.
Sekarang masih memakai bantuan tongkat untuk berjalan, hal ini menyebabkan Firman
Budi tidak dapat bekerja lagi di The Jakarta Consulting Group dan sebagai Dekan
Fakultas Ekonomi Universitas Presiden.
Pada tanggal 1 Juli 2009 dan 14 Juli 2009, Firman Budi memberikan somasi ke
pada RS SGI Lipo Karawaci namun jawaban atau tanggapan dari pihak RS menurut
pihak keluarga tidak memuaskan. Chief Executive Officer RS Siloam, dr A, menyatakan
bahwa pihaknya berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi Firman Budi dan
telah beritikad baik untuk menyelesaikan dengan bantuan Prof. Harko (nama samaran).
Firman Budi juga melaporkan dr. Eka Susilo dr. Miria Noor kepada Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Agar di di berikan sangsi karena sudah di
anggap merugikan dirinya sebagi pasien, dan melakukan pengobatan yang salah
dan menyebakan dirinya menderita dan tersiksa bahkan tidak bisa melakukan kegiatan
seperti manusia yang merdeka yang di sebabkan oleh tindakan medis yang dilakukan oleh
dr. Eka Susilo dan dr. Miria Noor tersebut.
BAB III
ANALISA KASUS
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan
standar profesi atau standar prosedur operasional. Istilah “malpraktek” tidak dijumpai
dalam KUHP, karena memang bukan merupakan istilah yuridis, istilah “malpraktek”
hanya digunakan untuk menyatakan adanya tidakan yang salah dalam rangka pelaksanaan
suatu profesi; baik dibidang kedokteran maupun dibidang hukum. Tindakan yang salah
secara yuridis diartikan setalah melalui putusan pengadilan. Tindakan salah yang
dimaksud sebagai tindakan yang dapat menumbuhkan kerugian baik nyawa, maupun
harta benda.
Malpraktek menyangkut pelaksanaan profesi yang memiliki ciri sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan yang diperoleh secara sistematika dana dlam waktu relatif lama
Orientasi utama lebih pada kepentingan umum
Ada mekanisme kontrol terhadap perilaku pemegang profesi, melalui kode etik oleh
organisasi profesi
Ada rewaroad-sistem yang tidak didasarkan pada tujuan komersial.
Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal :
Tanggung jawab criminal
Malpraktik secara etik
Tanggung jawab sipil
Tanggung jawab publik
Malpraktek secara Umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian
melibatkan lima elemen : (1) tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang dilalaikan,
(3) kerugian yang ditimbulkan, (4) penyebabnya, dan (5) antisipasi yang dilakukan.
A. Malpraktek Kriminal.
Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus
telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan
kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh
Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk
ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat – obat narkotika,
pelanggaran dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual
pada pasien yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri
atau pasien yang tidak sadar karena efek obat anestesi. Peraturan hukum mengenai tindak
kriminal memang tidak memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota
masyarakat lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap
mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat dipercaya dan
keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien maka hal itu
pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak
malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal
pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini
menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai
dan tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta
tidak boleh membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan
dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak
bertanggung jawab dan tidak boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia
juga harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien.
B. Civil Malpractice
Adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat mengakibatkan
pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar hukum
pidana. Sementara Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien atau
keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai
ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien tersebut
kaya atau tidak mampu membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien
luka atau meningggal akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak benar
dan berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau
keluarganya dapat menggugat perdata.
C. Malpraktik secara Etik,
Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga pendukungnya serta hal
yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan menjadi
perhatian penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait
dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut
mengarah pada terjadinya inklusi atau eksklusi orang – orang yang terlibat dalam profesi
tersebut. Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum
tidak memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal
ini akan mempengaruhi keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal
tersebut dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik
kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar etika yang
ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang
ada umumnya hanya berurusan dengan komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman
yang diberikan termasuk pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus
yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.
Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29 tahun 2004 Bab IV
tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang menyebutkan pada bagian kesatu
pasal 36,37 dan 38 bahwa sorang dokter harus memiliki surat izin praktek, dan bagian
kedua tentang pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43. Pada bagian ketiga
menegaskan tentang pemberian pelayanan, dimana paragraf 1 membahas tentang standar
pelayanan yang diatur dengan Peraturan Menteri. Standar Pelayanan adalah pedoman
yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran. Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill
and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter
gigi untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri
yang dibuat oleh organisasi profesi. Standar profesi yang dimaksud adalah yang
tercantum dalam KODEKI Pasal 2 dimana Setiap dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, dimana tolak
ukuran tertinggi adalah yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika
umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan kesehatan
dan situasi setempat. Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Sebelum memberikan
persetujuan pasien harus diberi penjelasan yang lengkap akan tindakan yang akan
dilakukan oleh dokter.
E. Tinjauan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran
Pasal 45
1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c) Alternatif tindakan lain dan resikonya
d) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan.
5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan
6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
diatur dengan peraturan Menteri.3
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
1) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
2) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
3) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
4) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
5) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.3
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
1. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
2. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. menolak tindakan medis; dan mendapatkan isi rekam medis.
Pembahasan:
Pada kasus ini terjadi pelanggaran pasal 45 ayat 2 dan 3 dimana pasien tidak
mendapatkan informasi jelas mengenai tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien
dan juga resiko-resiko yang akan dialami bila melakukan tindakan tersebut. Selain itu
dokter juga melanggar pasal 51 ayat 1 dan 2 dimana dokter seharusnya melakukan
tindakan sesuai dengan standar profesi dan jika merasa belum sanggup untuk melakukan
tindakan medis tersebut, maka seharusnya dirujuk ke dokter lain yang mempunyai
keahlian itu. Dan yang terakhir dokter juga melanggar pasal 52 ayat 1 dimana pasien juga
tidak mendapatkan informasi secara jelas atas tindakan.
F. Tinjauan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 360 KUHP
(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka
berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun.
(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan
pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus juta rupiah.
Pembahasan :
Dalam kasus ini yang dilakukan dr. Eka Susilo lakukan termasuk pelanggaran Pasal
360 KUHP ayat 1 dan 2, dimana dokter akibat kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka – luka berat, sehingga pasien tidak dapat melakukan pekerjaanya dalam
waktu tertentu
Sedangkan luka uka berat yang dimaksud terdapat pada Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
Tidak mampu terus-menerus untuk menjalan kan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian;
Kehilangan salah satu pancaindera;
Mendapat cacat berat;
Menderita sakit lumpuh;
Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Pembahasan :
Pada kasus ini dokter Eko Susilo memenuhi kriteria yang disebutkan pada pasal 90
tersebut dimana pada pada point ke 5 yang dimaksudkan luka berat yaitu menderita sakit
lumpuh, dimana dalam kasus ini pasien juga mengalami kelumpuhan.
G. Tinjauan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
P asal 1313 KUHPerdata
Adanya perjanjian antara dokter dan pasien menimbulkan perikatan diantara
kedua belah pihak. Pasien yang datang ke dokter agar dokter melakukan tindakan medik
yang bertujuan menyembuhkan sakit yang ia derita disebut perikatan inspanning
verbintenis, sehingga dokter berkewajiban untuk berusaha secara maksimal dalam
melakukan tindakan medik untuk kesembuhan pasiennya.
P asal 1243 KUHPerdata
Apabila dokter lalai dalam melakukan kewajibannya, maka dokter dapat
dikatakan melakukan wanprestasi. Tindakan wanprestasi dokter menimbulkan kerugian
bagi pasien baik secara materiil maupun immateriil, sehingga dokter dapat dituntut untuk
membayar biaya, rugi, dan bunga kepada pasien yang bersangkutan.
P asal 1866 KUHPerdata
Pasien dapat menuntut ganti rugi pada dokter baik berupa biaya yang termasuk
juga biaya pengobatannya, rugi dan bunga dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri dengan mengajukan bukti-bukti otentik adanya kesalahan yang dilakukan oleh
dokter terhadap dirinya dan alat-alat bukti ini berupa bukti tulisan, bukti dengan saksi-
saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Pasal 1366 KUH Perdata
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-
hatinya.
Pasal 1371 KUH Perdata
Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena
kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya
penyembuhan, menurut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau catat
tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan
kedua belah pihak dan menurut keadaan.
Pembahasan :
Pada kasus ini, dokter Eka Susilo melanggar pasal 1366 karena kurang hati – hati
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien tersebut, sedangkan dokter Miria Noor
dapat terkena pasal 1367 karena disini dokter Eka Susilo sebagai tanggungan dokter
Miria melakukan kelalaian sehingga menyebabkan kerugian bagi pasien dan menurut
pasal 1371 KUHPer karena dokter Eka Susilo harus bertanggung jawab atas kerugian
yang disebabkan perbuatannya atau karena kekurang hatiannya.
H. Tinjauan dari UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Pasal 13
Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki
Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang
berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan
pasien.
Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana `dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 29 Kewajiban Rumah Sakit
• Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat
• Memberi pelayanan kesehatan yg aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit
• Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya
• Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan
kemampuan pelayanannya
• Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat yang tidak mampu atau miskin
• Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien
tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis,
pelayanan korban bencana dan kejadian liar biasa, atau bakti sosial bagi misi
kemanusiaan
• Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah
Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien
• Menyelenggarakan rekam medis
• Menyediakan sarana dan prasarana yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang
tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, usia lanjut.
• Melaksanakan sistem rujukan.
• Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta
peraturan perundang-undangan.
• Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak & kewajiban
pasien
• Menghormati dan melindungi hak-hak pasien
• Melaksanakan etika Rumah Sakit
•Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana
• Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan secara regional maupun
nasional
• Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi
dan tenaga kesehatan lainnya.
• Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (Hospital By Laws)
• Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam
melaksanakan tugas, dan
• Memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan Tanpa Rokok
(KRT).
Pembahasan :
Pada Kasus ini rumah sakit tidak menghormati hak pasien dan melanggar pasal
13 karena tidak memberikan penjelasan yang lengkap sebelumnya dan pihak rumah sakit
tidak mengutamakan keselamatan pasien karena dokter Eka Susilo yang merupakan
asisten dari dokter Miria Noor melakukan tindakan tanpa pengawasan dari dokter Miria
Noor. Selain itu Pada kasus ini terdapat pelannggaran pada pasal 29 mengenai kewajiban
rumah sakit dimana pihak rumah sakit tidak memberikan pelayanan yang aman terhadap
pasien karena menurut dokter ahong hery tindakan penyuntikan cement ini dapat
membahayakan kesehatan pasien, pada kasus ini rumah sakit tidak memberikan informasi
yang jelas kepada pasien mengenai tindakan yang telah dilakukan oleh salah seorang
dokternya dan dengan tidak diberikan informasi yang jelas kepada pasien dokter tidak
menghormati dan melindungi hak – hak pasienya.
I. Tinjauan dari UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
Berbunyi : Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien
dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UU No. 8/1999).
Pasal 4
Hak Konsumen adalah:
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan / atau jasa;
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengani kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan
hak untuk mendapatkan advokasi, perlinndungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pembahasan :
Pada kasus ini yang dilanggar adalah
Pasien tidak mendapatkan hak atas keamanan akan jasa yang diberikan kepada
pasien karena terbukti tindakan tersebut dapat merugikan pasien dan membuat
kelumpuhan pada pasien.
pasien tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai jasa yang diberikan kepada
pasien
Pasien juga tidak mendapatkan pelayanan secara benar dan jujur, dimana pelayanan
ini seharusnya dilakukan oleh dokter yang lebih kompeten.
pasien berhak untuk mendapatkan ganti rugi atas tindakan yang telah terjadi pada
pasien ini.
Pasal 7 ( Kewajiban pelaku usaha):
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
Memberi komppensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
pengguunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
Memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
Pembahasan:
Pada kasus terjadi pelanggaran pada poin 2,3,6 dan 7 dimana
Pasien tidak mendapatkan informasi yang benar dan jelas mengenai jaminan jasa
yang diberikan, serta pelayanan konsumen yang kurang benar.
Dokter harus memberikan kompensasi ganti rugi terhadap pasien karena jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan
standar profesi atau standar prosedur operasional. Istilah “malpraktek” tidak dijumpai
dalam KUHP, karena memang bukan merupakan istilah yuridis, istilah “malpraktek”
hanya digunakan untuk menyatakan adanya tidakan yang salah dalam rangka pelaksanaan
suatu profesi; baik dibidang kedokteran maupun dibidang hukum. Dalam kasus ini diduga
telah terjadi kelalaian saat Firman Budi mendapatkan penatalaksanaan di rumah sakit
sehingga menyebabkan kaki kiri Firman Budi menjadi lumpuh. Ditambah lagi tindakan
tersebut dilakukan oleh dokter yang kurang berkompeten dan dilakukan tanpa
pengawsaan oleh dokter yang lebih berkompeten. Bila ditinjau dari hukum dan undang
undang yang berlaku, baik dari segi praktek kedokteran, pindana, perdata,
kerumahsakitan dan hak konsumen terdapat penyimpangan penyimpangan yang terjadi.
Di mana di dalam perundang – undangan jelas dibuat untuk melindungi pasien ataupun
dokter itu sendiri dari kerugian yang mungkin terjadi. Seharusnya pada kasus ini pasien
mendapatkan informasi yang jelas mengenai tindakan yang akan dilakukan diagnosa,
alternative, resiko dan komplikasi dari tindakan ataupun penyakit yang diderita oleh agus
sehingga pasien lebih mengerti dan menerima jika ternyata ada suatu komplikasi atau
resiko yang terjadi.
\
DAFTAR PUSTAKA
1. Kasus Malpraktek yang marak di indonesia dan pandangan hukumnya. Available at :
http://anapuspitapratama.blogspot.com/2011/01/contoh-malpraktek.html. Accessed on
April 10th 2014
2. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Available at :
http://www.depkes.go.id/downloads/UU_No._29_Th_2004_ttg_Praktik_Kedokteran.pdf.
Accessed on February 8th 2014.
3. UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Available at :
www.depkes.go.id/downloads/UU_No._44_Th_2009_ttg_Rumah_Sakit.pdf. Accessed on
February 8th 2014.
4. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Available at :
http://litbang.pu.go.id/sni/data/sni/upload/legalaspek/UU%20no%208%20Thn
%201999%20tentang%20perlindungan%20konsumen.pdf .Accessed on February 8th
2014.