Tri Sumono
Tukang Sapu Yang Menjadi pengusaha Sukses
Tri Sumono begitu nama aslinya. Seorang pria kelahiran Gunung kidul 7
Mei 1973 ini sekarang menjadi pengusaha sukses dengan omset ratusan juta
rupiah tiap bulannya. Dibesarkan ibunda tercinta yang merupakan seorang petani
miskin di sebuah desa Gunung Kidul, Yogyakarta, Tri Sumono kecil hidup
prihatin. Bertumbuh dengan gizi seadanya, ia juga harus membuang energi besar
demi mengenyam pendidikan di sekolah menengah atas (SMA) yang jaraknya 40
km dari desanya. Ke sekolah SMA itu, ia bolak-balik menggenjot sepeda setiap
harinya. Peringkat yang dianggapnya sempurna layak ditorehnya untuk itu: 39
dari 40 siswa.
Tri Sumono memutuskan untuk mengadu nasib di Jakarta pada tahun 1993
dengan hanya bekal ijazah SMA nya. Pria kelahiran 7 Mei 1973 di Gunung Kidul
tersebut bisa dibilang hanya bermodal nekat ketika memutuskan bekerja di Ibu
kota, karena ia sendiri bisa dibilang tidak memiliki keahlian khusus. Semua itu
berawal pada tahun 1993, Pak Tri merantau ke Ibukota, berbekal ijasah SMA dan
tidak mempunyai keahlian Pak Tri memberanikan diri untuk mencari pekerjaan di
Jakarta. Pria asli Gunung Kidul ini, mengaku untuk mempertahankan hidup di
Ibukota tak pernah pilih-pilih soal pekerjaan, apapun dijalaninya. Mulai dari kuli
bangunan, hingga tukang sapu di sebuah kantor. Semua pekerjaan dilakukan
dengan tekun dan sungguh-sungguh. Melihat kesungguhan dalam bekerja,
akhirnya kantor mengangkat Pak Tri menjadi office boy. Beberapa lama bekerja
menjadi office boy, pak Tri kemudian diangkat menjadi tenaga pasar, hingga
penanggung jawab masalah gudang.
Di tahun 1995, pak Tri berkeluarga dan mempunyai 2 anak. Kebutuhan
semakin besar, mau tidak mau pak Tri harus mencari penghasilan tambahan. Dari
situ pak Tri mencoba berpikir mencari tambahan penghasilan. Mulailah usaha
berjualan aksesori di Stadion GBK dilakoninya. Ikat rambut, kalung, produk
aksesori semua dijual demi menghidupi kebutuhan keluarga. Pelan-pelan, dari situ
mental dan jiwa pak Tri untuk membuka usaha semakin kuat.
Selama 2 tahun pak Tri menjalankan usahanya sekaligus bekerja di kantor,
kemudian pak Tri berpikir, lebih enak membuka usaha sendiri daripada ikut orang
karena melihat pendapatannya yang selalu pas-pasan. Di tahun 1997, pak Tri
akhirnya mengundurkan diri dari pekerjaan dan lebih memilih mengembangkan
usaha jualannya.
Dari bekal usaha jualan aksesoris, pak Tri akhirnya membeli kios
sederhana di daerah Mal Graha Cijantung. Tak disangka, bisnis aksesorisnya
berkembang pesat. Lalu di tahun 1999 kios dan usahanya ditawar oleh seseorang
dengan harga yang cukup tinggi. Sempat berpikir, akhirnya pak Tri melepas kios
tersebut beserta usahanya. Kemudian pak Tri membeli rumah di Bekasi Utara,
hasil dari penjualan kiosnya.
Setelah selesai berjualan aksesoris, pak Tri merintis usaha kontrakan dan
toko sembako. Pengalaman berjualan aksesoris membuat naluri bisnis pak Tri
terasah, dia melihat peluang toko sembako lumayan menjanjikan. Tetapi pada saat
itu kondisi sekitar toko sembakonya masih sepi. Ide cemerlang muncul dalam
benak pak Tri, agar kawasan disekitar tempat tinggalnya ramai, pak Tri lalu
membuat 10 rumah kontrakan. Harga yang ditawarkan sangat murah. Memang
kontrakan itu ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah seperti penjual
siomai, bakso dll. Pada akhirnya para pedagang yang ada di kontrakan pak Tri
menjadi pelanggan tokok sembakonya.
Sesudah mempunyai bisnis toko sembako dan kontrakan, tidak membuat
pak Tri berhenti melebarkan sayap bisnisnya. Di tahun 2006, Tri mulai tertarik
dengan bisnis pembuatan sari kelapa. Dari beberapa kabar yang diperolehnya
diketahui bahwa untuk membuat sari kelapa adalah proses dari fermentasi air
kelapa murni dengan bantuan bakteri Acetobacter xylium dan atas dasar tersebut,
Pak Tri mencoba merintis usaha minuman sari kelapa. Untuk bisa produksi sari
kelapa ini, ia harus membeli bakteri salah satunya dari LIPI Bogor. Sari kelapa
olahannya itu disalurkan ke beberapa perusahaan minuman di kawasan
JaBoTaBek, namun hal itu tidak bertahan lama. Karena banyak perusahaan yang
komplain terhadap kualitas produk sari kelapa pak Tri, akhirnya sementara
produksi minuman sari kelapa dihentikan.
Tapi Tri tidak patah semangat, ia terus belajar bagaimana untuk
menghasilkan sari kelapa yang baik dan berkualitas standar yang ditetapkan
perusahaan. Seorang dosen di IPB ditemuinya dengan maksud untuk belajar
fermentasi. Sang dosen awalnya enggan mengajari mengingat Tri yang hanya
lulusan SMA pasti akan kesulitan menerima penjelasannya.
Keseriusan Tri untuk belajar dan kecerdikannya merayu, Pak dosen pun
akhirnya mau mengajarinya selama dua bulan. Setelah banyak mengantongi ilmu,
Tri pun memulai kembali produksi sari kelapanya. Berawal dari situlah skill serta
kemampuan pak Tri meningkat, hingga bulan ke-3 pak Tri kembali merintis usaha
minuman sari kelapanya. Hasilnya, 10.000 nampan atau seharga Rp 70 juta
berhasil diproduksi oleh pak Tri dan banyak perusahaan yang menggunakan
produk sari kelapa pak Tri. Sampai saat ini, bisnis pak Tri masih berjalan dan
terus berkembang.
Meski awalnya sempat tersendat-sendat, dengan kesungguhannya usaha
produksi sari kelapa tersebut akhirnya bisa lancar bahkan Direktur PT San san
Abadi, Christian Setyadi tempat Tri memasok sari kelapanya mau mengucurkan
Rp 2 milyar sebagai modal usaha. Dengan modal tersebut rumah berlantai dua
dibelinya untuk gedung pabrik. Mesin kemasan puluhan juta diborongnya.
Masalah karyawan ia selesaikan dengan memanggil kerabatnya dari kampung
halaman. “Saya masih ingat, apakah ini mimpi atau tidak ketika pertama kali
melihat uang satu miliar rupiah,” tukasnya tertawa lebar. Uang sejumlah itu, ia
terima saat proyek sudah mulai berjalan untuk produksi 3 juta kemasan.
Setelah proyek tersebut selesai, ia pun melebar dengan mainan baru. Ia
memproduksi kopi jahe yang diberi label Hootrii. Lebih dari 50 ribu sachet kopi
tersebut telah beredar di seluruh Indonesia. Belum lagi, order kemasan susu yang
datangnya dari salah satu departemen pemerintah. Kini sebagai investasi ia
memiliki 6 unit rumah, beberapa mobil, beberapa usaha peternakan, pertanian
hingga perkebunan.
“Intinya kalau mau jadi pengusaha itu harus jujur, ulet, rajin dan tidak
putus asa,” pungkasnya. Kini dari tak memiliki apa-apa, Tri telah menjadi
miliarder. Uniknya, hingga kini ia masih bekerja di perusahaan ia bekerja dahulu.
Selain itu, ia juga menjadi guru spiritual beberapa pemangku jabatan di beberapa
perusahaan besar.