TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK ASUH ( H }} }}AD {{ {{A >> >>NAH) BAGI ANAK HASIL HUBUNGAN
INCEST
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:
NAZULA HARFIYATI NIM. 04350123
PEMBIMBING:
1. Prof. Dr. H. KHOIRUDDIN NASUTION, M.A. 2. UDIYO BASUKI, S.H., M.Hum.
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2012
ii
ABSTRAK
Secara epistimologis, incest (zina dengan saudara) didefinisikan sebagai relasi-relasi seksual di antara orang-orang berbeda jenis kelamin yang berkaitan darah dekat sekali lewat ikatan darah, atau hubungan seks di antara pria dan wanita di dalam atau di luar ikatan perkawinan, di mana mereka terkait dalam hubungan kekerabatan/keturunan yang dekat sekali. Beberapa tahun terakhir ini banyak terdengar dari berbagai media terjadinya kekerasan terhadap anak yang banyak dilakukan orang terdekat, yang merupakan keluarga mereka sendiri, dimana umumnya anak lebih merupakan korban perkosaan. Korban tidak boleh menikah dengan orang yang menghamilinya yang dalam hal ini adalah ayah atau saudara kandungnya sendiri karena dalam Islam dikenal istilah mahram (orang-orang yang haram dinikahi). Sedangkan dari kacamata medis, perkawinan incest tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan menimbulkan akibat medis pada keturunan selanjutnya. Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika anak yang dikandung oleh korban incest tersebut ternyata terlahir dalam keadaan hidup dan sehat, karena belum tentu anak yang dilahirkan dari hasil hubungan incest akan terlahir cacat atau meninggal. Berdasarkan hal tersebut, penyusun ingin mengangkat dan menganalisa dua pokok permasalahan, yaitu bagaimana status nasab anak dari hasil hubungan incest dan tinjauan hukum Islam terhadap hak asuh (h{ad{a>nah) bagi anak hasil hubungan incest.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang dimaksudkan untuk menyelidiki secara mendalam ketentuan-ketentuan doktrinal dari nash al-Qur’an maupun hadis Nabi dikaitkan dengan pendapat ulama maŜhab khususnya maŜhab Syāfi’ ī, tentang masalah hak asuh anak hasil hubungan incest. Penelaahan secara normatif dilakukan dengan meneliti secara runtut argumentasi dan pertimbangan hukum yang digunakan dalam menentukan hak asuh bagi anak hasil hubungan incest berdasarkan norma-norma hukum Islam dan kaidah mas}lah}ah mursalah.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa status anak hasil incest sama dengan status anak zina. Imam Hanafi maupun asy-Syāfi’ ī sepakat bahwa nasab anak zina tidak dinisbatkan kepada pasangan ibunya, tetapi dinisbatkan kepada ibunya. Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan dasar untuk menarik maslahat dan dengan seizin dari ibu dan keluarga ibu si anak, maka ayah sekaligus kakek sang anak hasil incest dimungkinkan untuk mengasuhnya, begitu juga dengan kasus incest yang terjadi dengan saudara lain yang masih mahram, di mana sang ibu dan keluarga ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan pemeliharaan sang anak, maka ayah biologisnya dapat membantu pemeliharaannya, karena meskipun orang tua dari anak hasil hubungan incest tidak diperbolehkan menikah dalam hukum Islam, namun mereka tetap harus bertanggung jawab atas pengasuhan dan pemeliharaan anak. Keputusan untuk menyerahkan pengasuhan anak korban incest kepada ayahnya adalah berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dan jika dilihat dari sudut pandang maqa>s}id asy-syari>’ah, hal ini sesuai dengan kemaslahatan sebagai tujuan dari dibentuknya hukum Islam.
iii
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga FM-UINSK-BM-05-03/RO
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI
Hal : Surat Persetujuan Skripsi/Tugas Akhir Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah membaca, meneliti, memberi petunjuk dan mengoreksi, serta mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami selaku pembimbing berpendapat bahwa skripsi Saudari: Nama : Nazula Harfiyati NIM : 04350123 Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam terhadap Hak Asuh (H }ad{a>nah) bagi Anak Hasil Hubungan Incest sudah dapat diajukan kembali kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan/Program Studi Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam Ilmu Hukum Islam. Dengan ini kami mengharap agar skripsi/tugas akhir Saudari tersebut di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 4 Ramadhan 1433 H
24 Juli 2012 M Pembimbing I
Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A. NIP. 19641008 199103 1 002
iv
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga FM-UINSK-BM-05-03/RO
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI
Hal : Surat Persetujuan Skripsi/Tugas Akhir Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah membaca, meneliti, memberi petunjuk dan mengoreksi, serta mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami selaku pembimbing berpendapat bahwa skripsi Saudari: Nama : Nazula Harfiyati NIM : 04350123 Judul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam terhadap Hak Asuh (H }ad{a>nah) bagi Anak Hasil Hubungan Incest sudah dapat diajukan kembali kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan/Program Studi Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam Ilmu Hukum Islam. Dengan ini kami mengharap agar skripsi/tugas akhir Saudari tersebut di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 4 Ramadhan 1433 H
24 Juli 2012 M
v
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini berpedoman pada
keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI No. 158 Tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987. Secara garis besar uraiannya
adalah sebagai berikut:
I. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا
ba‘ b be ب
ta’ t te ت
sa s| es (dengan titik di atas) ث
jim j je ج
h h{ ha (dengan titik di bawah) ح
kha’ kh Ka dan ha خ
dal d de د
zal z| ze (dengan titik di atas) ذ
ra’ r er ر
zai z zet ز
sin s es س
syin sy es dan ye ش
sad s} es (dengan titik di bawah) ص
dad d{ de (dengan titik di bawah) ض
ta’ t} te (dengan titik di bawah) ط
za’ z{ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain ‘ koma terbalik ke atas‘ ع
gain g ge غ
fa’ f ef ف
qaf q qi ق
vii
kaf k ka ك
lam l ‘el ل
mim m ‘em م
nun n ‘en ن
waw w w و
ha’ h ha هـ
hamzah ’ apostrof ء
ya’ y ye ي
II. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis rangkap
Ditulis muta’addidah ����دة Ditulis ‘iddah ��ة
III. Ta’ MarbMarbMarbMarbūtttt}} }}ahahahah di akhir kata
a. Bila dimatikan tulis h
�� Ditulis h{ikmah �� � Ditulis jizyah
(Ketentuan ini tidak diperlukan, bila kata-kata arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti zakat, salat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya)
b. Bila ta’ marbūt}ah diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua
itu terpisah, maka ditulis dengan h
’ditulis karāmah al-auliyā آ�ا�� ا�و���ء
c. Bila ta’ marbūt}ah hidup atau dengan harakat, fath}ah, kasrah dan d{ammah ditulis t
ditulis zakāt al-fit}r زآ�ة ا����
IV. Vokal Pendek
fath}ah ditulis a ـَـ
ـِـ kasrah ditulis i ـ
ـُـ d{ammah ditulis u
viii
V. Vokal Panjang
1. Fath}ah + alif ditulis ā ��� ditulis jāhiliyah ��ه
2. Fath}ah + ya’ mati ditulis ā � ditulis tansā "!ـ�
3. Kasrah + ya’ mati ditulis ī ditulis karīm آـ� �#
4. D{ammah + wawu mati ditulis ū {ditulis furūd %�وض
VI. Vokal Rangkap
1. Fath}ah + ya’ mati ditulis ai #!�& ditulis bainakum
2. Fath}ah + wawu mati ditulis au ditulis qaul ()ل
VII. Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof
ditulis a’antum أأ*�# ditulis u’iddat أ��ت
ـ�"#- ./� ditulis la’in syakartum VIII. Kata Sandang Alif + Lam
a. Bila diikuti huruf Qamariyyah
ditulis al-Qur’ān ا�1�2ن ditulis al-Qiyās ا���2س
b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya.
’ditulis as-Samā ا���ء ditulis asy-Syams ا�54
IX. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat
Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya.
}ditulis z|awi al-furūd ذوى ا���وض ditulis ahl as-Sunnah أه8 ا��!�
ix
MOTTOMOTTOMOTTOMOTTO
”Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil”
“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang”
(Imam Syafi’i)
x
PERSEMBAHANPERSEMBAHANPERSEMBAHANPERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
Ayahanda dan Ibunda tercinta, do’a dan kesabaran kalian berdua yang tiada henti selalu menjadi motivasi di
setiap langkah hidup Ananda.
Kakandaku, do’a dan pengorbanan waktumu selalu menjadi spirit dalam hidupku
Buah hatiku,
kau mengisi hidupku dengan kebahagiaan dan keceriaan
Adik-adikku yang semakin hari semakin aku banggakan, Teruslah berjuang dalam mencapai cita dan cinta
Almamaterku,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
xi
KATA PENGANTAR
‡à¨a@µ¾bÈÛa@lŠ@� , ‡à«@æc@‡è’c@ë@�a@üg@éÛg@ü@æc@‡è’ca �a@Þì�Š ,@
ã‡î�@óÜÇ@áÜ�ë@Ý–@áèÜÛa@b–ë@éÛa@óÜÇë@‡à«z‡Èi@bßc@µÈ»c@éj.
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah Swt atas segala nikmat dan
karunia-Nya yang tak terhingga, sehingga penyusun dapat mengarungi proses
pembelajaran akademik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Shalawat serta salam
semoga selalu terlimpah kepada Nabi agung Muhammad Saw beserta keluarga
dan para sahabat.
Setelah melalui proses panjang, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Hak Asuh (H}ad{a>nah) bagi
Anak Hasil Hubungan Incest”. Dalam kesempatan ini perkenankan penyusun
menghaturkan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak yang telah terlibat,
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam membantu penyusunan skripsi
ini, yaitu kepada:
1. Bapak Noorhaidi, S. Ag., M.A., M. Phil., Ph.D., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Bapak Dr. Samsul Hadi, S. Ag., M.Ag. selaku Ketua Jurusan al-Ahwal asy-
Syakhsiyyah.
3. Bapak Drs. Malik Ibrahim, M.Ag., selaku dosen Penasihat Akademik, yang
telah banyak memberikan arahan dan dukungan kepada penyusun.
xii
4. Bapak Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A., selaku pembimbing I yang
telah memberikan saran serta kritikan yang konstruktif dan bermanfaat
sehingga proses penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Bapak Udiyo Basuki, S.H., M.Hum., selaku pembimbing II yang telah
meluangkan waktu memberikan bimbingan, masukan, koreksi, sekaligus
kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Para pengajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, yang telah mengajarkan ilmunya dengan ikhlas dan tulus.
7. Segenap karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum, yang telah bekerja keras
dalam mendampingi seluruh proses administrasi penyusun untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan dari fakultas tercinta ini.
8. Abah dan Umiku tercinta, atas doa dan kesabarannya yang menjadi mutiara
tauladan bagi penyusun dalam memahami makna ikhlas, amanah, jujur, dan
istiqamah dalam mengarungi bahtera kehidupan.
9. Bpk. H. Chairun Asror dan Ibu Hj. Karimah Thoifur, atas doa dan motivasinya
kepada penyusun.
10. Suamiku Adib dan puteriku Nayla tersayang, yang telah menyemangati dan
mewarnai hari-hariku.
11. Kakakku Mbak Mila dan Mas Aji serta adik-adikku: Diddy, Emma, Naufal,
Fahri, dan Auny, yang aku banggakan.
12. Teman-teman AS C angkatan 2004, atas kesetiakawanan dan pertemanan yang
tidak akan terlupakan.
xiii
13. Semua pihak yang telah berjasa memberikan bantuan kepada penyusun, yang
tidak dapat penyusun sebutkan satu per satu.
Semoga doa, bantuan, dan motivasi yang telah diberikan menjadi amal
saleh dan mendapat balasan di sisi Allah Swt.
Penyusun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dan masih banyak terdapat kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu,
diharapkan saran dan masukan dari berbagai pihak. Semoga hasil penelitian ini
dapat memperkaya khasanah keilmuan dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan.
Akhirnya hanya kepada Allah Swt, penyusun memohon ampunan dan
berserah diri. Semoga kita senantiasa mendapat hidayah-Nya. A<mi>n ya> Rabbal
‘A <lami>n…
Yogyakarta, 7 Ramadhan 1433 H 27 Juli 2012 M
Penyusun,
Nazula Harfiyati
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
ABSTRAK ..................................................................................................... ii
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI .............................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .......................................... vi
HALAMAN MOTTO .................................................................................... ix
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... x
KATA PENGANTAR .................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pokok Masalah ........................................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 5
D. Telaah Pustaka ............................................................................ 6
E. Kerangka Teoretik ...................................................................... 9
F. Metode Penelitian ....................................................................... 14
G. Sistematika Pembahasan ............................................................. 16
BAB II HAK ASUH ANAK DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian H{ad {a >nah ................................................................... 19
B. Dasar Hukum H {ad {a >nah .............................................................. 20
C. Urutan Orang yang Berhak untuk Mengasuh Anak ..................... 21
D. Batas Waktu Pengasuhan Anak ................................................... 24
xv
E. Syarat-Syarat Pengasuhan Anak.................................................. 28
F. Biaya H {ad {a >nah ........................................................................... 31
BAB III TINJAUAN UMUM DAN PANDANGAN HUKUM ISLAM
TENTANG INCEST
A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Incest.......................................... 34
B. Faktor-Faktor Penyebab Incest .................................................... 42
C. Dampak yang Muncul Akibat Perilaku Incest ............................. 47
D. Incest dalam Pandangan Hukum Islam ........................................ 49
E. Incest sebagai Perbuatan Keji yang Bertentangan dengan Hak
Pengasuhan Anak ....................................................................... 55
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HAK ASUH ANAK
SEBAGAI IMPLIKASI TERJADINYA INCEST
A. Status Anak dari Hasil Hubungan Incest ..................................... 68
B. Analisis Hukum Islam terhadap Hak Asuh (H}ad{a>nah) bagi Anak
Hasil Hubungan Incest ................................................................ 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................. 81
B. Saran-saran ................................................................................. 83
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 85
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TERJEMAHAN .............................................................. I
BIOGRAFI ULAMA DAN SARJANA ........................................... VII
CURRICULUM VITAE .................................................................. X
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rumah tangga atau keluarga adalah unit terkecil dan terpenting dari
suatu masyarakat dimana manusia belajar untuk beradaptasi dan berinteraksi
dengan tujuan menciptakan dan memelihara norma-norma kebudayaan,
perkembangan fisik, mental, dan emosi setiap anggotanya.
Keluarga diartikan sebagai sanak saudara; kaum kerabat, juga
digunakan untuk pengertian: seisi rumah; anak bini; ibu bapak dan anak-
anaknya, juga berarti orang-orang seisi rumah yang menjadi tanggungan;
batih1, sedangkan dalam literatur Arab keluarga diistilahkan dengan ahlu
yang memiliki arti: keluarga (أه�ن ، اه�ل) jamaknya ahlūna dan āhāl (ا�ه�)
atau kerabat, 2 seperti tersebut dalam ayat-ayat berikut ini:
3 ���� ����� وا وأ��أه�� �����ة
4 ���ا ��ا ��أ�ا أ"&%$# واه��$# "�را � ءا�'
Rumah tangga dibentuk melalui perkawinan antara dua orang yang
karenanya statusnya menjadi suami dan isteri. Unsur keluarga terdiri dari
suami, isteri, dan anak. Anak yang notabene merupakan unsur termuda dalam
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penulis Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 413.
2 Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Ahmad Warson Munawwir, cet. ke-
25 (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hlm. 46. 3 T}a>ha> (20): 132. 4 At-Tah}ri>m (66): 6.
2
keluarga mengandalkan orang-orang dewasa di sekitarnya untuk melindungi,
mengasuh, memberikan dorongan, dan membantu mereka bertahan hidup.
Ironisnya, beberapa tahun terakhir ini banyak terdengar dari berbagai
media terjadinya kekerasan terhadap anak yang ternyata banyak dilakukan
oleh orang terdekat mereka yang merupakan keluarga mereka sendiri.
Beberapa LSM dan LBH juga telah melaporkan dan mencoba mengatasi
kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak, belum termasuk kasus yang
tidak dilaporkan karena korban tidak berani memberitahukan kepada orang
lain tentang kekerasan yang terjadi padanya karena adanya ancaman dari
pelaku kekerasan tersebut.
Menurut Fadmi Sustiwi, saat ini berbagai kasus kekerasan mengintip
dan membayangi kehidupan anak. Mulai dari penganiayaan, penculikan,
perdagangan anak, hingga kekerasan seksual.5 Kekerasan seksual sendiri
paling sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Hal
ini mugkin terjadi karena karakteristik fisik perempuan yang lebih lemah bila
dibandingkan laki-laki.
Tindak kekerasan seksual yang mungkin paling sulit dinalar adalah
incest. Dalam kasus incest antara ayah dengan anak, pada umumnya anak
merupakan korban perkosaan. Dengan demikian, ada unsur kekerasan seksual
yang dilakukan ayah terhadap putri kandungnya. Sebagai perkosaan, incest
adalah salah satu bentuk tindakan kekerasan seksual yang paling dikutuk
karena menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi korbannya. Namun,
5 Fadmi Sustiwi, “Kekerasan yang Membayangi Anak-anak (1): Terjadi di Rumah yang
Mestinya Melindungi,” Kedaulatan Rakyat, (Senin, 3 November 2003), hlm. 6.
3
yang mencemaskan, dari waktu ke waktu kasus incest sepertinya tetap saja
terjadi, dan bahkan anak-anak yang menjadi korban cenderung meluas. Anak-
anak dari keluarga miskin, anak yang memiliki orangtua pemabuk atau
pengguna narkotik, atau anak yang memiliki orangtua yang tidak harmonis,
biasanya cenderung rawan untuk diperlakukan salah termasuk menjadi korban
incest.
Jika kasus incest tidak segera diungkap ke publik, akibat yang nyata di
hadapan kita adalah sama saja dengan ‘membunuh’ karakter dan hidup korban
secara tidak langsung yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab
jelas Islam sebagai hukum umum melarang semua perbuatan keji baik secara
fisik, mental, emosional atau spiritual. Dengan mempertimbangkan nilai
kemanusiaan dan larangan berbuat keji di sini dapat dilihat bahwa Islam tidak
menyepakati tindakan perkosaan incest dan kekerasan.
Dalam kasus perkosaan incest, hanya dengan hamilnya korban dapat
merupakan bukti nyata akan kejadian yang selama ini ditutup-tutupi.
Kehamilan justru belum tentu membawa korban keluar dari lingkaran yang
menakutkannya, akan tetapi melahirkan pilihan-pilihan lain yang lebih
dilematis; aborsi atau siap dihina dan dipojokkan masyarakat. Korban tidak
bisa dan bahkan tidak boleh menikah dengan orang yang menghamilinya yang
dalam hal ini adalah ayah atau saudara kandungnya sendiri karena dalam
agama Islam hal itu dilarang. Dilarangnya perkawinan incest karena dalam
Islam dikenal istilah mahram (orang-orang yang haram dinikahi, termasuk
ayah kandung). Alasannya adalah bahwa orang-orang ini tanpa ikatan
4
pernikahan pun memiliki kewajiban sebagai pelindung. Sedangkan dari
kacamata medis, perkawinan incest tidak dianjurkan karena dikhawatirkan
akan menimbulkan akibat medis pada keturunan selanjutnya.
Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika anak yang dikandung
oleh korban incest tersebut ternyata terlahir dalam keadaan hidup dan sehat,
karena belum tentu anak yang dilahirkan dari hasil hubungan incest akan
terlahir cacat atau meninggal. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Ramonasari, Kepala
divisi Kesehatan Reproduksi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) Jakarta yang menyatakan bahwa tidak setiap pernikahan incest akan
melahirkan keturunan yang memiliki kelainan atau gangguan kesehatan. Bisa
saja gen-gen yang diturunkan baik dan melahirkan anak yang normal.
Walaupun begitu, kelemahan genetik lebih berpeluang muncul dan riwayat
genetik yang buruk akan bertambah dominan serta banyak muncul ketika lahir
dari orang tua yang memiliki kedekatan keturunan. Pada kasus incest,
penyakit resesif yang muncul dominan. Namun gangguan emosional juga bisa
timbul bila perlakuan buruk terjadi saat pertumbuhan dan perkembangan janin
pra dan pasca kelahiran.6
Terlepas dari apakah anak yang terlahir itu cacat atau tidak, yang pasti
jika anak tersebut terlahir dalam keadaan hidup, sang Ibu sebagai orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memeliharanya karena
bagaimanapun juga anak tersebut adalah darah dagingnya sendiri.
6 “Anak Perempuan Hasil Incest Lebih Rentan terhadap Penyakit Genetik,”
http://www.rahima.or.id/SR/08-03/Opini1.htm, akses 13 Agustus 2008.
5
Pelaku tindakan incest (ayah, kakek, kakak, paman, dan seterusnya)
yang seharusnya mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk melindungi,
mendidik, dan mengarahkan – yang dalam istilah hukum Islam bertindak
sebagai wali bagi harta dan jiwa korban (anak perempuan, cucu, adik
perempuan, keponakan, dan seterusnya) justru menjadi pelaku utama yang
menganiaya diri korban.
Dalam Islam, anak yang lahir di luar pernikahan yang sah bernasab
kepada ibunya. Lalu bagaimana dengan status nasab anak yang lahir dari
hubungan incest? dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap hak asuh
(h{ad{a>nah) bagi anak hasil hubungan incest?
Penyusun tertarik untuk menganalisa status nasab anak dan tinjauan
hukum Islam atas pengasuhan anak yang lahir dari hubungan incest menjadi
skripsi dengan judul ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Hak Asuh (H }ad{a>nah)
bagi Anak Hasil Hubungan Incest”.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penyusun mengangkat
beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana status nasab anak yang lahir dari hasil hubungan incest?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap hak asuh (h{ad{a>nah) bagi anak
hasil hubungan incest?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
6
a. Menjelaskan status nasab anak dari hasil hubungan incest.
b. Menjelaskan tinjauan hukum Islam terhadap hak asuh (h{ad{a>nah) bagi
anak hasil hubungan incest.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Ilmiah
Kajian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kotribusi pemikiran
bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan hukum Islam
pada khususnya, terutama yang berkaitan dengan hak asuh (h{ad{a>nah)
bagi anak hasil hubungan incest.
b. Kegunaan Praktis
Penyusun berharap skripsi ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan hukum Islam di lingkungan Peradilan
Agama dan masyarakat terutama dalam rangka meningkatkan usaha
perlindungan terhadap hak-hak anak.
D. Telaah Pustaka
Pada dasarnya cukup banyak studi dan karya ilmiah yang sudah
dilakukan untuk mengupas tentang hak asuh anak. Demikian halnya ada
beberapa karya yang berbicara mengenai masalah incest.
Ada beberapa karya ilmiah yang penyusun temukan berkaitan dengan
hak asuh anak dan incest namun terdapat perbedaan yang signifikan dengan
penelitian yang dikaji oleh penyusun.
7
Pertama, skripsi yang disusun oleh Isyarotul Aula dengan judul
”Kedudukan Anak Hasil Hubungan Incest dalam Kewarisan Islam”.7 Skripsi
ini hanya membahas tentang bagaimana kedudukan anak hasil hubungan
incest dengan melihat dari kelahirannya yang di luar perkawinan yang dalam
hukum Islam kedudukannya menjadi anak yang tidak sah atau anak zina.
Meskipun membahas tentang incest, skripsi ini tidak membahas mengenai hak
asuh bagi anak korban incest melainkan membahas mengenai kedudukan anak
hasil hubungan incest tersebut dalam kewarisan Islam.
Kedua, skripsi dengan judul ”Status Wali Nikah bagi Pelaku Incest”
yang disusun oleh Muhammad Arief Setiawan.8 Skripsi ini meneliti tentang
pengaruh incest terhadap status wali nikah seseorang yang telah melakukan
tindakan incest dan mendeskripsikan tentang incest dan berbagai faktor yang
melingkupinya, namun tidak membahas mengenai status nasab anak hasil
hubungan incest dan tinjauan hukum Islam terhadap hak asuh anak hasil
hubungan incest.
Ketiga, skripsi yang disusun oleh Arif Rudiansyah dengan judul ”Hak
Pengasuhan Anak Akibat Perceraian dalam Pandangan Hukum Islam dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak”.9 Dalam
skripsi ini dibahas mengenai pandangan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
7 Isyarotul Aula, “Kedudukan Anak Hasil Hubungan Incest dalam Kewarisan Islam,”
skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003), tidak diterbitkan. 8 Muhammad Arief Setiawan, ”Status Wali Nikah bagi Pelaku Incest,” skripsi Fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2005), tidak diterbitkan. 9 Arif Rudiansyah, ”Hak Pengasuhan Anak Akibat Perceraian dalam Pandangan Hukum
Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2008), tidak diterbitkan.
8
tentang Perlindungan Anak, serta Hukum Islam mengenai hak pengasuhan
anak pasca perceraian dan dimana letak persamaan dan perbedaan dari kedua
perangkat hukum tersebut dalam konteks sekarang ini. Hasil dari penelitian ini
di antaranya adalah, dalam UU Perlindungan Anak orang tua mempunyai hak
yang setara dan sama untuk mengasuh dan memelihara anak sedangkan hak
pengasuhan anak pada hukum Islam diberikan secara eksplisit kepada ibunya
pasca perceraian. Skripsi ini hanya membandingkan pengaturan hak asuh anak
akibat perceraian dari segi agama dan negara namun tidak meneliti tentang
hak asuh anak korban incest.
Keempat, Skripsi tentang hak asuh anak angkat dengan judul ”Hak
Asuh (Hadanah) Anak Angkat Akibat Perceraian Orang Tua Angkat dalam
Perspektif Hukum Islam” yang disusun oleh Farida Nur Hayati.10 Hasil
analisis memperlihatkan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan
bahwa hak pemeliharaan anak selama anak angkat tersebut di bawah umur
adalah diberikan pada ibu angkat, jika telah dewasa atau cukup umur sang
anak angkat boleh memilih ingin ikut dengan siapa, meskipun demikian
semua biaya pemeliharaan anak angkat tersebut dibebankan kepada ayah
angkat. Hak pemeliharaan dan segala biaya kebutuhan sang anak angkat akan
berakhir sampai anak angkat tersebut dewasa, mandiri atau telah menikah.
Skripsi ini membahas tentang siapa yang berhak mendapatkan hak asuh anak
angkat setelah terjadi perceraian, bukan hak asuh anak korban incest.
10 Farida Nur Hayati, ”Hak Asuh (Hadanah) Anak Angkat Akibat Perceraian Orang Tua
Angkat dalam Perspektif Hukum Islam,” skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2008), tidak diterbitkan.
9
Kelima, Skripsi oleh Lati Gumilang Khayat Saputra dengan judul
”Penelantaran Anak (Studi Komparatif Hukum Islam dan UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak)”.11 Skripsi ini membahas tentang
penelantaran anak yang notabene adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap
anak, sama halnya dengan incest, dikaitkan dengan UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak serta perbandingannya dalam hukum Islam.
Skripsi ini tidak meneliti secara spesifik tentang perlindungan anak khusunya
pengasuhan anak yang merupakan korban incest.
E. Kerangka Teoretik
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hak asuh anak (h{ad{a>nah)
maka perlu adanya pembatasan pembahasan hanya pada konteks hukum Islam
Indonesia yang lebih cenderung mengadopsi pendapat-pendapat dari maŜhab
Syāfi’ ī karena pandangan maŜāhib mengenai hak asuh anak sangat luas dan
variatif. Selain itu, pembatasan ini diperlukan sebagai patokan pembahasan
karena memang realitas aturan hukum Islam yg digunakan oleh masyarakat
muslim Indonesia adalah Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi
hukum Islam yang ’ber-maŜhab’ asy-Syāfi’ ī. Namun demikian, bukan berarti
kemudian kita meninggalkan pandangan para ulama fikih (maŜhab) yang lain
dalam pembahasan ini. Pandangan-pandangan beberapa maŜhab justru perlu
dihadirkan dalam rangka mengkritisi dan meng-counter materi atau wacana
hukum Islam yang dikembangkan di Indonesia.
11 Lati Gumilang Khayat Saputra, ”Penelantaran Anak (Studi Komparatif Hukum Islam dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak),” skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2008), tidak diterbitkan.
10
Dalam hukum keluarga Islam, pembahasan mengenai h{ad{a>nah
menjadi cukup penting karena menyangkut hak-hak anak yang merupakan
generasi muda yang berperan sebagai penerus kelangsungan kehidupan
manusia di muka bumi. Hak asuh (h{ad{a>nah) merupakan hak bagi anak-anak
yang masih kecil karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksana
urusannya dan orang yang mendidiknya. Pendidikan yang paling penting ialah
anak kecil dalam pangkuan ibu-bapaknya karena dengan pengawasan dan
perlakuan mereka kepadanya secara baik akan menumbuhkan jasmani dan
akalnya, membersihkan jiwanya serta mempersiapkan diri anak menghadapi
kehidupannya di masa yang akan datang.
Pentingnya hak pengasuhan anak ini juga menjadi pembahasan dan
tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 pada Bab X tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak, yang
berbunyi:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.12
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.13
Selain itu juga tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XII
tentang hak dan kewajiban suami isteri yang berbunyi:
Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.14
12 Pasal 45 ayat (1). 13 Pasal 45 ayat (2). 14 Pasal 77 ayat (3).
11
Menurut dasar-dasar hukum di atas maka semakin jelas pentingnya hak
pengasuhan anak yang diberikan oleh orang tua mereka, baik saat kedua orang
tua masih hidup bersama maupun saat mereka sudah berpisah.
Di sisi lain tujuan utama disyariatkannya hukum (maqa>s}id asy-
syari>’ah) pada dasarnya adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus
menghindari kemafsadatan, baik di dunia maupun di akherat. Tujuan hukum
harus diketahui dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam
secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang
kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh al-Qur’an dan hadis. Lebih dari itu
dengan mengetahui tujuan hukum maka diharapkan dapat diketahui apakah
suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum, atau
karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat
diterapkan.
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan tersebut, berdasarkan teori
maqa>s}id asy-syari>’ah, menurut asy-Syātibī, tercakup di dalamnya kategorisasi
tingkat kepentingan atau kebutuhan atau skala prioritas penetapan hukum yang
meliputi d}arūriyyāt, h{ājiyyāt, dan tah{sīniyyāt.15
Lebih lanjut, dalam proses penggalian hukum ada lima unsur pokok
yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu: pertama, terpeliharanya agama
(h{ifŜ ad-dīn), kedua, terpeliharanya jiwa (h{ifŜ an-nafs), ketiga, terpeliharanya
akal (h{ifŜ al-’aql), keempat, terpeliharanya keturunan (h{ifŜ an-nasl), dan
15 Abu Ishaq Ibrahim asy-Syātibī, al-Muwāfaqāt fi Uṣūl al-Aḥkām (Mesir: Maktabah
Muhammad Ali Shabih wa Auladihi, t.t.), II: 4.
12
kelima, terpeliharanya harta (h{ifŜ al-māl).16 Dengan demikian, sebuah produk
hukum akan dianggap memberikan nilai kemaslahatan manakala ia dapat
memelihara kelima aspek tersebut. Sebaliknya, ia dianggap memberikan
mafsadat manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur tersebut dengan
baik.
Untuk menjaga kelima aspek tersebut dapat ditempuh dengan dua cara,
yaitu:
a. Dari segi eksistensinya (min na>h}iyyati al-wuju>d), yaitu dengan cara
menjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan
keberadaannya.
b. Dari segi penegasiannya (min na>h}iyyati al-‘adam) yaitu dengan cara
mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.
Urutan kelima d}arūriyyāt ini bersifat ijtiha>diy bukan naqliy, artinya ia
disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nas} yang diambil
dengan cara istiqra>’ . Dalam merangkai kelima d}arūriyyāt ini (ada juga yang
menyebutnya dengan al-kulliyya>t al-khamsah), Imam asy-Syātibī terkadang
lebih mendahulukan ‘aql daripada nasl, terkadang nasl terlebih dahulu
kemudian ‘aql, dan terkadang nasl kemudian ma>l dan terakhir ‘aql. Namun
satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam susunan yang manapun, asy-Syātibī
tetap selalu mengawalinya dengan ad-di>n dan an-nafs terlebih dahulu.
Dalam al-muwa>faqa>t ada dua versi urutan al-kulliyya>t al-khamsah ini.
Versi pertama urutannya adalah sebagai berikut: ad-di>n (agama), an-nafs
16 Ibid., hlm. 5.
13
(jiwa), an-nasl (keturunan), al-ma>l (harta), dan al-‘aql (akal). Versi kedua
adalah: ad-di>n, an-nafs, al-‘aql, an-nasl, dan al-ma>l. Sedangkan dalam al-
I’tis}a>m urutannya adalah: ad-di>n, an-nafs, an-nasl, al-‘aql, dan al-ma>l.
Perbedaan urutan di atas menunjukkan bahwa semuanya sah-sah saja
karena sifatnya ijtihadi. Para ulama ushul lainnya pun tidak pernah ada kata
sepakat tentang hal ini. Menurut al-Amidi, urutannya adalah: ad-di>n, an-nafs,
an-nasl, dan al-ma>l.17 Sedangkan bagi al-Qarafi, urutannya adalah: an-nufu>s,
al adya>n, al-ans}a>b, al-‘uqu>l, al-amwa>l atau al-a’rad}.18 Sementara menurut al-
Ghazali urutannya adalah: ad-di>n, an-nafs, al-‘aql, an-nasl, dan al-ma>l.19
Cara kerja kelima d}arūriyyāt di atas adalah masing-masing harus
berjalan sesuai urutannya. Menjaga ad-di>n harus lebih didahulukan daripada
menjaga yang lainnya, menjaga an-nafs harus lebih didahulukan daripada al-
‘aql dan an-nasl, begitu seterusnya.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori mas}lah}ah, yaitu
suatu perbuatan yang mengandung manfaat dan menolak kemadaratan dalam
rangka memelihara tujuan syara’. Tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah
untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan
tersier, atau dalam istilah fikih disebut darūriyyāt, h{ājiyyāt, dan tah{sīniyyāt,
seperti tersebut di atas. Sebagian ulama atau intelektual menggunakan
mas}lah}ah mursalah dalam istinbat hukum. Mas}lah}ah mursalah yaitu
17 Al-Amidi, Al-Ihka>m fi Us}ul al-Ahka>m (ttp.: Muassasahal-Halaby, 1991), IV: 252. 18 Al-Qarafi, Syarh} Tanqi>h al-Fus}u>l (ttp.: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, t.t.), hlm.
391. 19 Al-Ghazali, Al-Mustasfa (Beirut: Da>r al-Fikr, 1997), I: 258.
14
mas}lah}ah yang tidak didukung oleh nas atau syara’ yang rinci tetapi didukung
oleh sekumpulan makna nas yang berupa ayat ataupun hadis.20
Dengan kerangka teoretik sebagaimana yang telah dipaparkan,
penyusun mencoba membahas dan meneliti mengenai tinjauan mas}lah}ah
terhadap hak asuh bagi anak hasil hubungan incest.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan jenis penelitian
pustaka (library research). Penelitian pustaka adalah teknik pengumpulan
data dengan cara mempelajari, mengkaji dan memahami sumber-sumber
data yang ada pada beberapa buku yang terkait dalam penelitian21, yaitu
dengan mempelajari dan mengakaji buku-buku, kitab-kitab fiqh, atau nash-
nash al-Qur’an yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan status
nasab dan hak asuh anak hasil hubungan incest.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu dengan cara mengumpulkan
data-data sesuai dengan yang sebenarnya kemudian data-data tersebut
disusun, diolah dan dianalisis untuk dapat memberikan gambaran
mengenai masalah yang ada.22 Penyusun akan mengumpulkan data-data
mengenai incest dan hak asuh anak, kemudian menyusun dan mengolah
20 Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, cet. ke-1 (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 115-116. 21 Moh. Nasir, Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 65. 22 Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, cet. ke-12 (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2008),
hlm. 105.
15
data-data tersebut untuk memberikan gambaran mengenai status nasab
anak dari hasil hubungan incest dan selanjutnya dianalisis sehingga
didapatkan jawaban mengenai hak asuh bagi anak hasil hubungan incest
tersebut.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Penelitian
hukum normatif (yuridis normatif)23 adalah metode penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.24
Penelitian ini dimaksudkan untuk menyelidiki secara mendalam ketentuan-
ketentuan doktrinal dari nash al-Qur’an maupun hadis Nabi dikaitkan
dengan pendapat ulama maŜhab tentang masalah hak asuh anak hasil
hubungan incest. Penelaahan secara normatif dilakukan dengan meneliti
secara runtut argumentasi dan pertimbangan hukum yang digunakan dalam
menentukan hak asuh bagi anak hasil hubungan incest berdasarkan norma-
norma hukum Islam dan kaidah mas}lah}ah mursalah.
4. Metode Pengumpulan Data
23 Mengenai istilah penelitian hukum normatif, tidak terdapat keseragaman diantara para
ahli hukum. Diantara pendapat beberapa ahli hukum dimaksud, yakni: Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.); Soetandyo Wignjosoebroto, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum doktrinal (Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam dan Huma, 2002), hlm. 147); Sunaryati Hartono, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif (C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20 (Bandung: Alumni, 1994), hlm. 139); dan Ronny Hanitjo Soemitro, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum yang normatif atau metode penelitian hukum yang doktrinal (Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet. ke-5 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 10).
24 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.
16
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka. Oleh karena itu, teknik
yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer,
yaitu bahan-bahan pustaka yang koheren dengan objek pembahasan yang
dimaksud.25 Penyusun akan menelusuri, mengkaji, dan menelaah berbagai
literatur serta bahan pustaka lainnya seperti buku-buku, majalah-majalah,
koran, dan lainnya yang berhubungan dengan hak asuh anak dan incest.
5. Analisis Data
Dalam menganalisa data yang terkumpul, penyusun menggunakan metode
berpikir deduktif, yaitu cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang
ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia
benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus.26
Dalam hal ini sesuatu yang umum itu adalah norma tentang hak asuh anak
yang kemudian ditarik kesimpulan yang khusus yaitu hak asuh anak hasil
hubungan incest.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan, penyusun menggunakan
sistematika pembahasan yang terbagi dalam lima bab sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka
teoretik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Unsur-unsur ini
25 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), hlm. 24. 26 Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian (Bandung: CV. Mandar
Maju, 2002), hlm. 23.
17
dikemukakan terlebih dahulu untuk mengetahui secara persis signifikansi
penelitian, sejauh mana penelitian terhadap subyek yang sama telah dilakukan,
pendekatan dan teori apa yang akan digunakan, serta apa yang menjadi pokok
permasalahnya.
Bab kedua mengulas tentang tinjauan umum tentang incest yang
mencakup mengenai pengertian umum incest, bentuk-bentuk incest, faktor-
faktor penyebab incest, akibat yang ditimbulkan oleh pelaku incest, dan incest
dalam pandangan hukum Islam. Pengetahuan ini penting untuk memahami
dengan baik tentang sebab dan akibat yang muncul dari tindakan incest yang
kemudian akan dikaitkan dengan masalah hak asuh anak (h{ad{a>nah) pada bab
selanjutnya.
Bab ketiga mengupas tentang hak asuh anak (h{ad{a>nah) dalam hukum
Islam yang di dalamnya memuat pengertian h{ad{a>nah, dasar hukumnya, urutan
orang yang berhak untuk mengasuh anak, batas waktu pengasuhan anak,
syarat-syarat pengasuhan anak, dan biaya h{ad{a>nah. Bab ini merupakan salah
satu pokok penelitian yang diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas
dan obyektif tentang konsep h{ad{a>nah menurut pandangan para fuqahā’ ,
Undang-undang Perkawinan, serta Kompilasi Hukum Islam yang ada di
Indonesia.
Bab keempat berisi analisis tentang implikasi incest terhadap hak asuh
anak menurut hukum Islam yang terdiri dari pemaparan mengenai incest
sebagai perbuatan keji yang bertentangan dengan hak pengasuhan anak,
analisa ist{inbāt hukum para fuqahā’ dalam menetapkan status anak dari hasil
18
hubungan incest, dan tinjauan hukum Islam terhadap hak asuh (h}ad{a>nah) bagi
anak hasil hubungan incest.
Bab kelima berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-
saran.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menelaah data dan teori-teori yang dijadikan sumber rujukan
kemudian menganalisis mengenai hak asuh (h}ad{a>nah) bagi anak hasil
hubungan incest, maka penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Islam secara eksplisit (jelas) melarang dan mengharamkan tindakan incest,
karena merupakan salah satu bentuk perzinahan yang buruk dan
menjijikkan, termasuk yang menyebabkan diharamkannya incest adalah
karena adanya madharat yang ditimbulkan. Bahkan incest adalah
perbuatan yag lebih keji dari perzinahan itu sendiri. Karena secara umum,
incest adalah perbuatan perzinahan yang dilakukan terhadap saudara
mahram yang modus operandinya sering disertai dengan ‘pemaksaan dan
kekerasan’ oleh pelaku yang seharusnya menjadi pelindung dan penolong
bagi diri korban. Adapun status anak hasil incest sama dengan status anak
zina. Nasab anak zina tidak bisa dinisbatkan kepada pasangan zinanya,
karena status nasab dikembalikan pada pernikahan. Karena itu, baik Imam
Hanafi maupun Syafi’i, sepakat bahwa nasab anak zina tidak dinisbatkan
kepada pasangan ibunya, tetapi dinisbatkan kepada ibunya. Selain itu,
dalam Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa anak yang lahir di
luar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
82
2. Keputusan mengenai siapa yang lebih berhak mengasuh anak hasil
hubungan incest hendaknya dilakukan melalui pertimbangan dan
pemikiran yang matang. Pada dasarnya, yang paling berhak mengasuh
anak adalah ibunya, dan bila tidak memungkinkan baru kemudian keluarga
ibunya. Namun dalam hal pengasuhan anak korban incest, kadang kala
ibunya tidak mampu untuk mengasuh karena tidak memenuhi syarat-syarat
sebagai orang yang berhak mengasuh anak, seperti belum baligh atau
berkal sehat. Ketidakmampuannya itu membuat hak pengasuhan jatuh
kepada keluarga ibunya, namun keluarga sang ibu juga bergantung kepada
suaminya yang merupakan ayah sekaligus kakek dari sang bayi. Kasus
incest yang biasanya terjadi pada keluarga kurang mampu menyebabkan
terancamnya pengasuhan sang anak. Dengan dasar untuk menarik
maslahat dan dengan seizin dari ibu dan keluarga ibu si anak, maka ayah
sekaligus kakek sang anak hasil incest dimungkinkan untuk mengasuhnya
karena dalam hal ini hanya dia yang punya kemampuan untuk membiayai
pemeliharaan sang anak. Begitu juga dengan kasus incest yang terjadi
antara saudara kandung, dengan paman, atau saudara lain yang masih
mahram, dimana sang ibu dan keluarga ibu tidak mampu memenuhi
kebutuhan pemeliharaan sang anak, maka ayah biologisnya dapat
membantu pemeliharaannya dengan pengawasan dari keluarga ibunya.
Karena meskipun orang tua dari anak hasil hubungan incest tidak
diperbolehkan menikah dalam hukum Islam, namun mereka tetap harus
bertanggung jawab atas pengasuhan dan pemeliharaan anak. Keputusan
83
untuk menyerahkan pengasuhan anak korban incest kepada ayahnya
adalah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, dan jika
dilihat dari sudut pandang maqa>s}id asy-syari>’ah, hal ini sesuai dengan
kemaslahatan sebagai tujuan dari dibentuknya hukum Islam.
B. Saran-Saran
1. Munculnya incest merupakan pertanda bahwa moralitas manusia saat ini
sudah semakin parah. Rusaknya moralitas adalah lingkaran setan yang
saling berpautan, bahkan masuk hingga ke dalam ruang keluarga. Hal ini
sangat disayangkan mengingat keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat dimana manusia dididik dari awal. Oleh karena itu, untuk
menghindari terjadinya incest baik yang disertai maupun tidak disertai
kekerasan seksual, perlu dilakukan tindakan-tindakan berikut ini:
a. Memperkuat keimanan dengan menjalankan ajaran agama secara
benar. Bukan hanya mengutamakan ritual, tetapi terutama menghayati
nilai-nilai yang diajarkan sehingga menjadi bagian integral dari diri
sendiri
b. Memperkuat rasa empati, sehingga diri sendiri lebih sensitif terhadap
penderitaan orang lain, sekaligus tidak sampai hati membuat orang lain
sebagai korban
c. Mengisi waktu luang dengan kegiatan kreatif-positif
d. Menjauhkan diri dan keluarga dari hal-hal yang dapat membangkitkan
syahwat
84
e. Memberikan pengawasan dan bimbingan terhadap anggota keluarga,
sehingga dapat terkontrol
f. Memberikan pendidikan seks sejak dini, sesuai dengan usia anak.
Hal-hal tersebut dapat dicapai atas peran serta masyarakat. Oleh
karena itu, perlu adanya pendidikan moral berdasarkan tuntunan al-Qur’an
oleh para pemuka masyarakat dan pemuka agama sehingga keluarga
mempunyai pedoman yang kokoh dalam memberikan contoh bagi anggota
keluarga dalam menjalani hidup dengan nila-nilai agama. Selain itu juga
perlu diberikan pemahaman sejak dini tentang keharaman zina dan
dampaknya pada keturunan serta umat muslim khususnya.
2. Bagi para tokoh agama maupun tokoh masyarakat yang sering dijadikan
rujukan oleh umat, dalam memutuskan suatu hukum tentang masalah
kontemporer yang belum ada aturan pasti dalam al-Qur’an maupun
sunnah, tidak cukup hanya menggunakan metode ijtihad berdasarkan dalil-
dalil fiqih, tetapi juga perlu dibarengi dengan ijtihad maqa>s}idi >> sehingga
hukum yang dihasilkan pun lebih memprioritaskan kemaslahatan umat.
3. Terkait pelaksanaan hak asuh anak korban incest oleh sang ayah, perlu
adanya kontrol dari lembaga-lembaga terkaitt, termasuk lembaga
keagamaan agar proses pengasuhan anak itu dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Selain itu, perhatian dari lembaga-lembaga penghimpun dana
umat juga akan sangat berharga dalam keterlibatannya membantu biaya
pengasuhan anak korban incest dari keluarga tidak mampu, agar mereka
dapat hidup layak dan bangkit dari keterpurukan.
85
DAFTAR PUSTAKA
Kelompok al-Qur’an dan Tafsi >> >>r ‘Abidin, Ibn, Hasyiyah Radd al-Mukhtâr, Beirut: Dar al-Fikr, 1995. Departemen Agama RI, al Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2003. Sa>bu>ni, M. Ali as-, Rawai’ al-Bayan Tafsir A>ya>t al-Ah}ka>m min al-Qur’an,
Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004. Syafi’i, Imam as-, Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1991. Qurthubi, Al-, Al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al ‘Araby, 1387
H.
Kelompok Hadi >> >>s\\ \\ dan Ulu>> >>mul Hadi >> >>s\\ \\
‘Aini, Badr ad-Din al-, Umdah al-Qari’Syarh}i S}ahih Bukhari, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.
Hanbal, Ahmad ibn, Musnad al-Imam Ah}mad bin H}anbal, Beirut: Maktabah al-
Isla>mi>y, t.t. Ma>likiy, Ibn al-‘Arabiy al-, ‘A>rid}ah al-Ah}wazi> bisyarhi Sah}}}i>h at-Tirmizi>, Beirut:
Da>r Ihya>’, t.t. Naisaburiy, Abi Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairiy al-, S}ahih Muslim, Beirut:
Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1992 M/1413 H. ----, Mesir: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.t. Nawawi, Imam an-, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Saranfuri, Al-Imam al-Muhaddits al-Kabir as-Syaikh Khalil Ahmad as-, Bazlul
Majhudi fi halla Sunan Abi Daud, Beirut: Darl Basyairol Islamiyah, 2006.
Kelompok Fiqh dan Us}} }}u >> >>l Fiqh Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqh Munakahat II, 2 jilid, Yogyakarta: CV
Pustaka Setia, 1999.
86
Amidi, Al-, Al-Ihka>m fi Us}ul al-Ahka>m, ttp.: Muassasahal-Halaby, 1991. A. Rahman, Drs. H. Asjmuni, Qa’idah-Qa’idah Fiqih: Qawa’idul Fiqhiyah,
Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Aula, Isyarotul, “Kedudukan Anak Hasil Hubungan Incest dalam Kewarisan
Islam,” skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Barry, Zakariya Ahmad al, Hukum Anak-Anak dalam Islam, alih bahasa Dra.
Chadidjah Nasution, cet. ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fak. Hukum UII,
1999. Daly, Dr. Peunoh, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Dewan Ulama Al-Azhar, Ajaran Islam tentang Perawatan Anak, alih bahasa: al-
Wiyah Abdurrahman, Bandung: al-Bayan, 1996. Dimyati, Abu> Bakar ad-, I’a>nah at-T}a>libi>n, t.t.p: Da>r Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyah,
t.t. Ghazali, Al-, Al-Mustasfa, Beirut: Da>r al-Fikr, 1997. Hakim, Abd al-Hamid, al-Mu’in al-Mubin, Bukittinggi: Maktabat Nusantara,
1952. Harun, Nasrun, Ushul Fiqh I, cet. ke-1, Jakarta: Logos, 1996. Hayati, Farida Nur, ”Hak Asuh (Hadanah) Anak Angkat Akibat Perceraian Orang
Tua Angkat dalam Perspektif Hukum Islam,” skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
‘Jaziri, Abd al-Rahman al-, Kitab al-Fiqh ‘ala ‘l-Mazahib al-‘Arba’ah, Mesir: al-
Maktabat al-Tijariyyat al-Kubra, 1969. Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa oleh H. Moh. Zuhri dan
Ahmad Qorib, Semarang: Dina Utama, 1994. Muchtar, Kamal, Asas-asas hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Nabhani, Syaikh Taqiyuddin an-, Asy-Syakhshiyyah al-Isla>miyyah, edisi Muktamadah, Beirut: Dar al-Ummah, 2005.
87
Nasution, Khoiruddin, “Mensikapi Kitab-Kitab Fikih Konvensional dalam menjamin Hak Wanita Menentukan Pasangan Hidup,” Jurnal Ilmu Syari’ah asy-Syir’ah, Vol. XIII (2001).
Nur, Djaman, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama Semarang. Qaradawi, Yusuf al-, Halal dan Haram dalam Islam, Solo: Era Intermedia, 2000. Qarafi, Al-, Syarh} Tanqi>h al-Fus}u>l, ttp.: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, t.t. Rudiansyah, Arif, ”Hak Pengasuhan Anak Akibat Perceraian dalam Pandangan
Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Ruqy, Dr. Muhammad Ar-, Qawaid Al Fikhi Al Islami Min Khilali Kitab Al Iysraf
Ala Masail Al Khilaf Li Al Qadhi Abdul Wahhab Al Baghdadi Al Maliky, cet. ke-1, ttp.: Dar Al Qalam, 1419 H.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, alih bahasa Drs. Mohammad Thalib, cet. ke-20,
Bandung: PT Alma’arif, t.t. Saputra, Lati Gumilang Khayat, ”Penelantaran Anak (Studi Komparatif Hukum
Islam dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak),” skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Setiawan, Muhammad Arief, ”Status Wali Nikah bagi Pelaku Incest,” skripsi
Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005. Suyuti, Imam Jalaluddin Abdu Rahman bin Abi Bakar as-, al-Asybah wa an-
Nad}a>ir fi al-Furu’, Beirut: Da>r al-Fikr, 1995. Syātibī, Abu Ishaq Ibrahim asy-, al-Muwāfaqāt fi Us{ūl al-Ah{kām, Mesir:
Maktabah Muhammad Ali Shabih wa Auladihi, t.t. Ubaidiy, Hammady al-, Asy-Sya>t}ibi wa maqa>s}id asy-syari>’ah, Tripoli: Al-
Jamha>riyyah al-Uz}ma>, 1992. Zuhaili, Wahbah az-, Al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Da>r al-Fikr al-Mu’a>sir,
2002.
Lain-Lain “Anak Perempuan Hasil Incest Lebih Rentan terhadap Penyakit Genetik,”
http://www.rahima.or.id/SR/08-03/Opini1.htm, akses 13 Agustus 2008.
88
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
“Ayah perkosa anak kandung,“
http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=18199, akses 24 Februari 2009.
“Dilakukan Berulang Kali Sejak Isterinya Meninggal, Ayah Perkosa Anak
Kandung,” http://www.indosiar.com/news/patroli/78503/ayah-perkosa-anak-kandung, akses 24 Februari 2009.
Echols, Jhon M. dan Hasan Shadily, Kamus Bahasa Inggris, Jakarta: Gramedia,
1992. Fayumi, Badriyah, “Incest dan Perlindungan Perempuan,”
http://www.rahima.or.id/SR/08-03/Tafsir.htm, akses 24 Februari 2009. Hartono, C.F.G. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-
20, Bandung: Alumni, 1994. Hayati, Elli Nur, Pandangan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan
(Konseling Berwawaan Gender), Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Rifka Annisa, 2000.
“Jambi Geger, Seorang Ibu Dihamili Anaknya,”
http://kompas.co.id/read/xml/2008/07/24/08495639/jambi.geger.seorang.ibu.dihamili.anaknya, akses 24 Februari 2009.
Kartono, Kartini, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung:
Mandar Maju, 1989. LBH APIK Jakarta, “Catatan Penting dari Forum Komunitas: Membongkar
Praktek Incest: Fakta tentang kekerasan seksual terhadap Anak Perempuan dalam Lingkup Rumah Tangga/Domestik,” http://www.salahketik.com/bantuanhukum/incest-kp%20rawa.htm, akses 24 Februari 2009.
Manik, Sulaiman Zuhdi dkk., Korban dan Penanganan Anak Perempuan Korban
Incest, Sumatera Utara: Pusat Kajian dan Perlindungan anak (PKPA), 2002.
Martha, Aroma Elmina, Perempuan Kekerasan dan Hukum, Jogjakarta: UII Press,
2003. “Merusak Anak Demi Birahi,” http://berita.liputan6.com/read/39919/class=, akses
24 Februari 2009.
89
Mulia, Siti Musdah, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, cet. ke-1, Bandung: Mizan, 2004.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
cet. ke-25, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002. Nasir, Moh., Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005. Sa’bah, Marzuki Umar, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer
Umat Islam, Yogyakarta: UII Press, 2000. Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, Bandung: CV.
Mandar Maju, 2002. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2001. Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet. ke-5,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994. Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, cet. ke-12, Bandung: Penerbit Alfabeta,
2008. Supratiknya, A., Mengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta: Kanisius, 1995. Sustiwi, Fadmi, “Kekerasan yang Membayangi Anak-anak (1): Terjadi di Rumah
yang Mestinya Melindungi,” Kedaulatan Rakyat, Senin, 3 November 2003.
Tim Kashihiko, Kamus Biologi, Surabaya: Kashihiko Press, 2002. Tim Penulis Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007. Widyarini, M.M. Nilam, “Incest, Kekerasan Seksual pada Anak,”
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0502/18/105128.htm, akses 23 Februari 2009.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: Elsam dan Huma, 2002. Yafie, Ali, Teologi Sosial, Telaah Kritis Persoalan Agama dan Keagamaan,
Yogyakarta: LKPSM, 1977.
I
Lampiran 1
DAFTAR TERJEMAHAN
No Hlm FN Terjemahan BAB I
1 1 3 Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya…
2 1 4 Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…
BAB II 3 20 3 ...jika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah
semua amal dari dirinya kecuali tiga, yaitu sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kepadanya (kepada orang tuanya).
4 20 4 Idem Bab I footnote no. 4. 5 21 6 ...barangsiapa memisahkan orang tua dengan anaknya,
maka Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dikasihinya di hari kiamat kelak.
6 30 16 …dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
7 30 17 Dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amrin: Bahwasanya seorang wanita berkata: “ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini perut sayalah yang mengandungnya dan susu sayalah minumannya, dan pangkuan sayalah jadi penjaganya; sedangkan ayahnya telah menceraikan saya, dan ia bermaksud hendak memisahkan dia daripada saya”. Maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya: “engkau lebih berhak pada nakmu selama engkau belum kawin”.
8 31 20 Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
BAB III 9 49 27 Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
II
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
10 54 35 Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
11 56 38 Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh.
12 56 39 Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) Perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. dan Kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan
III
Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang kokoh.
13 56 40 Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
14 57 42 Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
15 57 43 Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka …, isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…
16 57 44 Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya…
17 57 45 …Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu…
18 58 46 Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
19 58 47 Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
20 58 48 Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…
21 58 49 Wanita-wanita hamil dan melahirkan yang sangat mengasihi anak-anak mereka kalaulah mereka tidak membentak (berpaling) kepada suami-suami mereka, pastilah Allah menjadikan surga sebagai tempat kebahagiaan mereka.
IV
22 58 50 Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
23 58 51 Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu memberikan biaya maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu baginya bisa menjadi obat.
24 59 52 Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
25 59 53 Apakah kalian orang-orang yang berkata demikian? Ketahuilah demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah, akan tetapi aku berpuasa juga berbuka, aku sholat juga tidur, dan aku (juga) menikahi perempuan. Maka barang siapa tidak menyukai sunnahku, ia bukanlah termasuk golonganku.
26 60 55 Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
27 61 56 Sesungguhnya pernikahan pada masa jahiliyah ada empat macam: Pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sekarang. Yaitu seseorang datang meminang wanita atau anak gadis kepada walinya, lalu ia memberi mahar kepadanya kemudian menikahinya. Jenis pernikahan lainnya, seorang lelaki berkata kepada istrinya apabila telah suci dari haidhnya, “pergilah menemui si Fulan lalu ambillah benih darinya,” kemudian suaminya menjauhi dan tidak menyentuhnya lagi hingga jelas kehamilannya dari benih si fulan tadi. Jika ternyata hamil, maka si suami boleh menyetubuhinya bila ia mau. Ia melakukan itu untuk mendapatkan anak. Pernikahan jenis ini disebut nikah istibda’ (untuk disetubuhi). Pernikahan jenis lain, yaitu berkumpullah beberapa orang lelaki yang berjumlah sekitar sepuluh orang. Mereka semua menyetubuhi seorang wanita. Apabila wanita itu hamil atau mengandung, dan telah lewat beberapa hari setelah melahirkan kandungannya, maka iapun mengirim bayinya kepada salah seorang dari laki-laki itu. Maka mereka pun
V
tidak bisa mengelak. Kemudian mereka semua berkumpul dengan wanita itu, lalu si wanita berkata kepada mereka: “Tentunya kalian telah mengetahui urusan kalian. Aku telah melahirkan seorang anak, dan anak ini adalah anakmu hai Fulan”. Si wanita menyebutkan nama salah seorang dari mereka yang ia sukai, dan anak tersebut dinisbatkan kepada lelaki itu tanpa bisa menolaknya lagi. Pernikahan jenis lain, yaitu sejumlah lelaki menyetubuhi seorang wanita tanpa menolak siapapun lelaki yang datang kepadanya. Dia ini ialah perempuan pelacur. Mereka menancapkan bendera pada pintu-pintu rumah sebagai tanda. Siapa saja lelaki yang ingin menyetubuhinya, ia bebas mendatanginya. Jika perempuan ini hamil dan melahirkan anak, maka para lelaki itupun dikumpulkan untuk menunjukkan kemiripan wajah mereka (dengan anak yang dilahirkan). Kemudian mereka nasabkan anak tersebut kepada orang yang paling nampak kemiripannya. Maka anak itupun dinisbatkan kepadanya tanpa bisa menolaknya. Tatkala Allah mengutus Rasulullah dengan membawa kebenaran, maka runtuhlah (batal) semua bentuk pernikahan pada jaman jahiliyyah kecuali bentuk pernikahan manusia yang ada sekarang ini.
BAB IV 28 68 1 Zina adalah istilah persenggamaan seorang pria dengan
wanita pada kemaluan (vagina)-nya tanpa didasari ikatan pernikahan, maupun syubhat pernikahan…
29 69 2 Idem Bab III footnote no. 55. 30 69 3 Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
deralah masing-masing dari keduanya seratus dali deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
31 69 4 Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam.
32 70 5 Idem Bab III footnote no. 27. 33 70 6 Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kalian,
(menganggap istrinya sebagai ibunya), padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain adalah wanita yang melahirkan mereka dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan
VI
mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
34 74 12 Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
35 75 15 Kemad{aratan itu harus dihilangkan.
VII
Lampiran 2
BIOGRAFI ULAMA DAN SARJANA
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh rasulullah SAW.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.
Diantara karya karya Imam Syafi’i yaitu Al Risalah, Al Umm yang mencakup isi beberapa kitabnya, selain itu juga buku Al Musnadberisi tentang hadis hadis rasulullahyang dihimpun dalam kitab Umm serta ikhtilaf Al hadis.
Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. dan mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi.
Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum islam, kendati beliau anak seorang saudagar kaya namun beliau sangat menjauhi hidup yang bermewah mewah, begitu pun setelah beliau menjadi seorang pedagang yang sukses, hartanya lebih banyak didermakan ketimbang untuk kepentingan sendiri.
VIII
Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i ” Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh “. karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum hukum islam serta menetapkan hukum hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.
Imam an-Nawawi
Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, atau lebih dikenal sebagai Imam Nawawi, adalah salah seorang ulama besar mazhab Syafi'i. Ia lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 1233 dan wafat pada tahun 1278. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama beliau, an-Nawawi ad-Dimasyqi. Ia adalah seorang pemikir muslim di bidang fiqih dan hadits.
Imam Nawawi pindah ke Damaskus pada tahun 649 H dan tinggal di distrik Rawahibiyah. Di tempat ini beliau belajar dan sanggup menghafal kitab at-Tanbih hanya dalam waktu empat setengah bulan. Kemudian beliau menghafal kitab al-Muhadzdzabb pada bulan-bulan yang tersisa dari tahun tersebut, dibawah bimbingan Syaikh Kamal Ibnu Ahmad.
Semasa hidupnya beliau selalu menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, menulis kitab, menyebarkan ilmu, ibadah, wirid, puasa, dzikir, sabar atas terpaan badai kehidupan. Pakaian beliau adalah kain kasar, sementara serban beliau berwarna hitam dan berukuran kecil.
Yusuf al-Qardhawi Yusuf al-Qardhawi dilahirkan di sebuah desa Shafth Turab di Republik Arab Mesir pada 9 September 1926. Nama lengkapnya ialah Muhammad Yusuf al-Qardhawi. Beliau lahir dalam keadaan yatim. Oleh karena itu, beliau dipelihara oleh pamannya. Pamannya inilah yang mengantarkan al-Qardhawi kecil ke surau tempat mengaji. Di tempat itu, al-Qardhawi terkenal sebagai seorang anak yang sangat cerdas. Dengan kecerdasannya, beliau mampu menghafal al-Qur’an dan menguasai hukum-hukum tajwidnya dengan sangat baik. Hal ini terjadi pada saat
IX
beliau masih berada di bawah umur 10 (sepuluh) tahun. Setelah itu, beliau bergabung dan menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan cabang al-Azhar. Kecerdasannya telah tampak sejak kecil, sehingga salah seorang gurunya memberi gelar al-Qardhawi dengan “allamah” (sebuah gelar yang biasanya diberikan kepada seseorang yang memiliki ilmu sangat luas). Al-Qardhawi adalah salah seorang tokoh umat Islam yang sangat menonjol dalam bidang ilmu pengetahuan, pemikiran, dakwah, pendidikan dan jihad. Kontribusinya sangat dirasakan di seluruh belahan bumi. Pengabdiannya untuk Islam tidak hanya terbatas pada satu sisi atau satu medan tertentu. Aktivitasnya sangat beragam dan sangat luas serta melebar ke banyak bidang dan sisi. Al-Qardhawi telah mengarang buku-buku keislaman hampir berjumlah seratus buku dengan orisinalitasnya tersendiri. Karya-karyanya mendapat sambutan yang menggembirakan dari berbagai kalangan di dunia Islam, salah satunya adalah al-Hala >l wal-Hara >m fil-Isla>m. Liek Kartini Kartono
Dilahirkan di Surabaya tahun 1929, adalah seorang dosen tetap di IKIP Bandung. Sejak 1969 ia merangkap mengajarkan psikologi umum dan psikologi sosial di FISIP/SOSPOL UNPAR Bandung. Kesarjanaannya di bidang ilmu pendidikan diperoleh dari IKIP Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 1964. Tahun 1972 melengkapi studi post graduate selama 18 bulan di Universiteit Amsterdam untuk Politieke Ontwikkeling, Verandering-Processen, Modernisatie, Urbanisatie en Sociologie van Indonesia. Di samping itu juga menamatkan studi untuk pekerjaan sosial selama 2 tahun pada Protestantse Voortgezette Opleiding voor Sociale Arbeid di Amsterdam (dipl.M.Sw.). Pada tahun 1986 berhasil meraih gelar Doktor kependidikan di IKIP Bandung. Karier kerjanya dimulai sebagai kopral TNI-AD (Brigade XVII TRIP Jawa Timur 1945-1950), wartawati surat kabar harian Suara Rakyat Surabaya, guru SD, SMP, SMEA, SGKP/SKKA, dosen 1965 sampai sekarang.
X
Lampiran 3
CURRICULUM VITAE
DATA PRIBADI
Nama : Nazula Harfiyati, S.E.
Tempat/Tanggal Lahir : Yogyakarta, 16 Juni 1985
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Babadan RT 23 No. 87 Gedong Kuning
Yogyakarta
NAMA ORANG TUA
Nama Ayah : Drs. H. Harsoyo, M.Si.
Nama Ibu : Hj. Sufaiyah, S. Sos.i.
DATA SUAMI DAN ANAK
Suami : Adib Zaidani Abdurrohman, S.E.
Anak : Nayla Azma Syarifa
RIWAYAT PENDIDIKAN FORMAL
TK ABA Sapen Yogyakarta 1990 – 1991
SD Muhammadiyah Sokonandi Yogyakarta 1991 – 1997
SLTP Muhammadiyah 2 Puteri Yogyakarta 1997 – 2000
SMU Negeri 4 Yogyakarta 2000 – 2003
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia 2003 – 2008
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga 2004 – sekarang
RIWAYAT PENDIDIKAN NON FORMAL
Pondok Pesantren Al Barokah, Yogyakarta 2000 – 2001
Pondok Pesantren Nurul Ummah, Yogyakarta 2007 – 2008