BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Ragam Hias Suku
Dayak adalah karena Negara Indonesia adalah negara kepulauan, yang terdiri dari pulau
Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, dan masih banyak kepulauan kecil
yang termasuk dalam wilayah kenegaraan Republik Indonesia.
Salah satu pulau di Indonesia adalah pulau Kalimantan yang lazim disebut “Borneo”
dan berada di garis khatulistiwa, terkenal dengan sebutan “Jamrud” khatulistiwa. Pulau
Kalimantan terdiri dari 4 bagian; yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan, selain empat wilayah yang termasuk dalam wilayah
kenegaraan Republik Indonesia (Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Selatan), daerah yang berada di pulau Kalimantan adalah Sabah, Serawak,
dan Brunai Darussalam. Ketiga daerah ini (Sabah, Serawak, dan Brunai Darussalam)
bukanlah bagian dari Negara Republik Indonesia, akan tetapi merupakan bagian dari Negara
Malaysia.
Kalimantan terbagi atas empat wilayah propinsi yaitu propinsi Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, dengan masing-masing
Ibukota ; Samarinda (Kalimantan Timur), Pontianak (Kalimantan Barat), Palangkaraya
(Kalimantan Tengah), dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan).
Propinsi Kalimantan Timur yang memiliki luas wilayah kurang lebih 211.440 Km2
terletak di daerah katulistiwa antara 113.44’ bujur timur dan 119.00’ Bujur barat dan 4.241 –
2.25 lintang utara. Dibagian sebelah utara berbatasan dengan Negara Sabah / Malaysia.
Sebelah timur membentang dataran rendah sepanjang lebih kurang 500 mil menyusuri pantai
laut selatan dan selat Makasar, yang merupakan perbatasan disebelah timur, sedangkan
sebelah barat membentang dinding pegunungan Iban dan pegunungan Muller, sebelah timur
berbatasan dengan laut Sulawesi dan selat Makasar yang merupakan alur perhubungan
strategis untuk perdagangan lintas nasional dan internasional.
Kondisi geografis Kalimantan Timur terdiri dari dataran rendah, perbukitan dan
pegunungan. Di sebelah barat terdapat bentangan pegunungan Iban dan pegunungan Muller,
yang merupakan batas alam dan wilayah Sabah / Malaysia Timur. Di sebelah selatan
membujur pegunungan Muller yang merupakan batas alam dengan propinsi Kalimantan
Selatan. Selanjutnya beberapa pegunungan dan gunung-gunung yang berada di bagian
1
tengah, dengan beberapa puncak gunung yang tinggi, merupakan batas alam bagi daerah
kabupaten dan kota. Hamparan dataran rendah terdapat pada daerah aliran sungai yang
mengalir di antara daerah pegunungan tersebut.
Kalimantan Timur mempunyai sejarah tersendiri, berbeda dengan propinsi-propinsi
lainnya di Negara Indonesia ini. Perkembangan sejarah politik dan budaya tersebut antara
lain adanya kerajaan tertua (abad ke IV) yaitu kerajaan Mulawarman yang terletak di Muara
Kaman, dengan raja yang terkenal, Mulawarman Nala Dewa. Kekuasaan raja Mulawarman
ini terus belangsung secara turun temurun hingga keturunannya yang ke – 25, raja yang
bernama Maharaja Derma Setia (Abad ke XIII) dengan kerajaan Kutai Ing Martapura.
Menjelang kepudaran kerajaan tersebut telah berdiri beberapa kerajaan di Kalimantan Timur,
diantaranya adalah kerajaan Kutai Kartanegara (Dijaitan Layar), Kerajaan Berau, Kerajaan
Bulungan,dan Kerajaan Pasir. Semua kerajaan-kerajaan tersebut berlangsung dan memerintah
diwilayahnya masing-masing tanpa ada peperangan diantara mereka. Hingga masuknya
Belanda dan menjajah Kalimantan Timur ini pada tahun 1844. Kemudian Jepang pada tahun
1941 – 1945. Perjuangan untuk merebut kemerdekaan dilakukan oleh seluruh rakyat, bahkan
perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan itu sendiri, puncaknya pada peristiwa
Sanga-Sanga (Januari 1947). Sementara federasi Kalimantan Timur yang di bentuk Belanda
merupakan gabungan 4 kerajaan di Kalimantan Timur, malah menjadi bumerang bagi
Belanda sendiri karena bukan negara federasi yang terbentuk, ke 4 kerajaan tersebut
menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia di Yogyakarta (April 1947). Sistem
pemerintahan pun mengalami transisi, dari mulai kerajaan, kemudian menjadi daerah
istimewa (1956), dan akhirnya menjadi kabupaten (1960). Kerajaan yang 4 semula menjadi
kabupaten Kutai, kabupaten Berau, kabupaten Pasir, dan kabupaten Bulungan, dan ditambah
kotapraja Samarinda dan kotapraja Balikpapan. Semua kabupaten dan kotapraja tersebut
berada di bawah naungan propinsi Kalimantan Timur (Januari 1957).
Masalah ini diangkat dari persoalan kebudayaan khas Kalimantan Timur. Budaya
yang diangkat dari peradaban suku asli Kalimantan Timur atau lebih dikenal dengan sebutan
suku Dayak. Kebudayaan sendiri adalah adat istiadat, kebiasaaan dan tata cara hidup suatu
masyarakat.
Berbagai ragam kebudayaan lahir di Negara Indonesia yang merupakan Negara
Kepulauan. Wujud dari kebudayaan seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat dalam
bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (2000 : 186) ada tiga, salah satunya adalah wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Salah satu aspek kebudayaan yang
telah diwujudkan adalah kesenian, yang dijadikan ciri khas dari masing-masing suku di
2
Indonesia, khususnya suku Dayak yang ada di Kalimantan. Salah satu bentuk kesenian itu
adalah seni ragam hias. Yang menjadi simbol dan ciri khas dari masing-masing suku Dayak.
Ragam hias suku Dayak Kalimantan Timur mempunyai pola khas tersendiri dan
disetiap pola / bentuk seni ragam hiasnya mengandung arti tersendiri pula. Ragam hias itu
sendiri telah menjadi suatu simbol yang memiliki makna luhur. Ragam hias suku Dayak
Kalimantan Timur memiliki tingkat keunikan dan kerumitan yang berbeda dengan seni ragam
hias daerah lainnya seperti daerah kepualuan Jawa, Sumatra dan lainnya. Seperti contohnya
dapat kita lihat dalam motifnya, ragam hias dari pulau Jawa lebih banyak menggunakan alur
daun atau garis melengkung yang menyerupai sulur tanaman, awan, dan lain sebagainya,
sedangkan daerah Sumatra, ada beberapa yang menggunakan simbol hewan, tetapi juga
banyak yang cenderung menggunakan motif seperti halnya di Pulau Jawa.
Pembahasan ini dimaksudkan agar masyarakat luas dapat lebih mengenal seni ragam
hias yang ada di suku Dayak, yang terutama terdapat dalam ragam hias kain, pakaian, di
bangunan dan bahkan sebagai tatoo di anggota tubuh.
Suku Dayak sendiri adalah penduduk yang konon datang dari daerah bagian Utara dan
Selatan Pulau Kalimantan. Di Kalimantan Timur, suku Dayak terbagi atas 6 rumpun suku
Dayak, yaitu suku Dayak Bahau, suku Dayak Kenyah, suku Dayak Kayan, suku Dayak
Banua, suku Dayak Tunjung, dan suku Dayak Punan. Mereka tersebar luas di seluruh wilayah
Kalimantan Timur. Suku Dayak Bahau dan suku Dayak Kenyah yang berasal dari Utara
wilayah Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Sementara suku
Dayak Banua, suku Dayak Tunjung dan suku Dayak Punan berasal dari daerah Selatan (selat
Malaka).
1.2 Rumusan masalah
1.2.1. Jenis-Jenis Ragam Hias Suku Dayak Bahau
1.2.2. Cara Ungkap dan Tujuan Ungkap Ragam Hias
1.2.3. Naga Asoq Ditinjau secara visual
1.3. Ruang Lingkup Masalah
3
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir semester genap
1.4.2.
1.5. Sistematika Penyajian
Karya ilmiah ini terdiri dari 3 Bab,yaitu BAB I Pendahuluan,BAB II
Pembahasan,BAB III Penutup.Masing-masing bab memiliki subbab dengan garis besar isinya
sebagai berikut,yaitu :
BAB I Berisi pendahuluan.Pada bab ini diuraikan Latar Belakang Masalah,Rumusan
Masalah,Ruang Lingkup Masalah,Tujuan Penelitian,Metode Penelitian dan Sitematika
Penyajian.
BAB II Memaparkan pembahasan.Pada bab ini diuraikan beberapa penjelasan.
Selanjutnya,bagian terakhir yaitu BAB III.
BAB III menguraikan kesimpulan dari penulis dan saran-saran yang ditujukan bagi
para pembaca dan penulis lain.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
Suku Dayak
Dayak atau Daya adalah kumpulan berbagai subetnis Austronesia yang dianggap sebagai
penduduk asli[1] yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki
budaya sungai dimasa sekarang yaitu setelah berkembangnya agama Islam di Borneo,
sebelumnya Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua
nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
"perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Seperti sebutan Bidayuh dari bahasa kekeluargaan Dayak Bidayauh itu sendiri yaitu asal kata
"Bi" yang bearti "orang" dan Dayuh yang bearti " Hulu" jadi Bidayuh bearti "orang hulu".
Sebutan Ot Danum yang berasal dari bahasa mereka sendiri yaitu asal kata "Ot" yang bearti
hulu dan Danum yang bearti "air" jadi Ot Danum bearti Hulu Air ( sungai ) yaitu orang-orang
yang bermukim di daerah hulu. Sebutan Biaju dari bahasa Biaju ( Lama / kuno ) sendiri yang
berasal dari kata "Bi" yang bermakna "Orang" dan kata "Aju / Ngaju" yang bermakna hulu
jadi Biaju bermakna "orang hulu". Di daerah sarawak Malaysia suku Dayak rumpun
Apokayan ( Kayan, Kenyah dan Bahau ) sering disebut "Orang Ulu" ini juga merupakan pe-
melayu-an dari kata " Apokayan" itu sendiri. Sementara itu warga Dayak Kendayan setelah
kedatangan Islam oleh orang luar juga sering disebut "orang hulu" dan diterjemahkan ke
dalam bahasa mereka sendiri dengan kata " Daya". Jadi sangat jelas bahwa sebutan Dayak ini
adalah sebutan kolektif karena orang Dayak terdiri dari beragam budaya dan bahasa, yang
kehidupannya sangat erat berhubungan dengan sungai ( Budaya Sungai ), hal ini disebabkan
karena setelah kedatangan Islam hampir seluruh perkampungan orang-orang Borneo asli yang
masih berbudaya asli ( Dayak ) banyak terdapat tidak di pesisir pantai laut lagi ( meski di
beberapa wilayah masih terdapat di pesisir pantai Laut ), melainkan di sepanjang daerah
aliran sungai ( DAS ). Kata Dayak sendiri selain berasal dari bahasa Dayak Kendayan, juga
berasal dari bahasa Dayak kenyah dan Dayak lainnya, yakni dari istilah kata " Daya" yang
memiliki dua arti yakni "daerah hulu" dan "kekuatan". ketika ada orang lain yang menanyai
seseorang yang hendak ke daerah hulu dimasa lampau dengan kalimat dalam bahasa Dayak
Kendayan seperti ini: Ampus Ka mane kau? maka akan di jawab oleh orang yang di tanyai
sebagai berikut: Aku Ampus ka daya...yang artinya " pergi ke mana kau? aku pergi ke hulu".
5
Dimasa dahulu dalam naskah-naskah Jawa kuno pulau kalimantan disebut "Nusa Kencana"
yang bearti pulau emas, namun oleh orang Jawa kebanyakkan lebih sering disebut "Tanah
Sabrang" penghuninya adalah "Orang Sabrang" sebutan orang Dayak oleh orang Jawa di
masa lampau. Jadi jelaslah bahwa istilah "Dayak" bukan berasal dari bahasa Jawa yang
bermakna sebagai sesuatu yang compang-camping, urakan dan sejenisnya. istilah
"ndayakan" dalam bahasa Jawa sendiri tergolong masih baru yaitu terbentuk dimasa
penjajahan Belanda. Istilah ini di populerkan oleh para prajurit Belanda yang berasal dari
orang Jawa yang ketika mereka datang ke pedalaman jauh kalimantan ( Yang sangat jauh dari
pantai ) mereka melihat banyak orang Dayak yang berpakaian seadanya yang terbuat dari
kulit kayu atau kain yang sudah compang-camping, lusuh dan urakan. suku bangsa Dayak
terdiri atas enam Stanmenras atau rumpun yakni Rumpun atau stanmenras Klemantan alias
Kalimantan, Stanmenras Iban, Stanmenras Apokayan yaitu Dayak Kayan,kenyah dan bahau,
Stanmenras Murut, Stanmenras Ot Danum-Ngaju dan Stanmenras Punan. Penduduk
Madagaskar adalah keturunan para pelaut Dayak Ma'anyan dimasa lampau yaitu dimasa
Islam belum datang ke Indonesia. mereka masih menggunakan bahasa Dayak Ma'anyan
(Bahasa Barito) yang bercampur dengan sedikit bahasa jawa dan melayu.
Budaya Dayak
Hampir semua Orang Dayak kecuali Dayak punan dan Dayak Meratus, mempunyai rumah
panjang di masa lampau. Rumah panjang merupakan gabungan atau gandengan rumah-rumah
tunggal warga Dayak dalam satu desa. Rumah panjang di bangun agar persatuan atau
kekuatan dari warga desa terkonsentrasi, ketika menghadapi serangan dari luar kampung atau
luar kelompok ( Kayau ) atau serangan binatang buas. Rumah panjang di dibangun dalam
rupa rumah panggung yang memanjang. Semua material rumah panjang dibuat dari kayu
keras seperti kayu ulin atau belian. Mulai dari sirap ( atap kayu ),tiang, rangka, dinding, lantai
hingga tangga. Dimasa kini rumah panjang yang tersisa sudah sangat sedikit. Umumnya
rumah panjang di bongkar karena warga penghuninya memilih membangun rumah tinggal
tunggal. Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami Borneo.
Berdasarkan data pengukuran karbon yang terdapat pada fosil tengkorak yang pernah
ditemukan di gua Niah Sarawak Malaysia [11] [12] diketahui bahwa tengkorak yang sangat
mirip dengan tengkorak orang Dayak Punan tersebut telah berusia mencapai 40.000 tahun.
Jadi dengan berasumsikan bahwa tengkorak tersebut benar-benar tengkorak Dayak punan,
6
maka jelas bahwa Dayak Punan merupakan salah satu puak nenek moyang Bangsa Dayak
Borneo setelah berasimilasi dengan puak nenek moyang Dayak yang berasal dari Yunnan.
Dengan mengetahui betapa tuanya keberadaan Dayak Punan di borneo ( bahwa mereka
datang jauh sebelum peradaban manusia planet bumi mengenal logam ), maka dapat
dimaklumi jika mereka kurang memiliki peradaban desa dan lebih menyukai cara-cara
hidup nomaden, karena itu rumah mereka dibangun seadanya ( umumnya hanya berupa
gubuk ). Meskipun demikian sampai detik ini hanya segelintir warga Dayak punan saja yang
masih senang hidup nomaden, sementara kelompok mayoritas telah membangun pemukiman
seperti masyarakat Dayak Lain. Pada masyarakat Dayak Meratus ( Bukit ) rumah mereka di
kenal dengan sebutan Balai. Istilah suku Dayak Bukit menurut Hairus Salim dari kosa kata
lokal di daerah tersebut istilah "bukit" berarti "bagian bawah dari suatu pohon" alias pangkal
pohon, yang juga bermakna "orang atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang
pertama yang merupakan cikal bakal masyarakat lainnya". Kata Bukit yang bermakna "
Pangkal " ini jelas menunjukan asal mereka yaitu berpangkal dari Banua bukit di
Kalimantan Barat jadi pada dasarnya istilah Bukit ini tidak bearti Bukit / gunung, hanya saja
sudah telanjur di maknai dengan arti orang gunung oleh orang luar. Dayak Bukit merupakan
masyarakat yang masih memegang adat tradisi budaya Banjar lama. Suku Banjar sendiri jika
diperhatikan dari bahasanya merupakan campuran antara bahasa Dayak Biaju, Dayak
Maanyan, bahasa Jawa dan Bahasa Dayak Kendayan, Tetapi oleh sebagian kecil kelompok
masyarakat Banjar yang fanatik menyatakan bahwa moyang mereka adalah melayu sumatera
hal ini dapat di fahami karena akibat pengaruh Islam ( bahwa di masa lampau agama Islam
oleh orang Dayak di sebut agama Melayu ). Jika kita runut kembali sejarah terbentuknya
suku Banjar yang bermula Sejak Kerajaan Banjar menjadi Islam, disitu akan kita ketahui
bahwa Raja Banjarmasin yang menganut agama Islam pertama yaitu pangeran Suriansyah
(seorang Blasteran Jawa-keling ) beliau di angkat menjadi raja oleh dua belas orang Demang
Dayak Ngaju dan patih Masih, yang dikatakan sebagai seorang Patih melayu. Harap di ingat
dan di fahami bahwa Pangeran Suriansyah sendiri pada waktu itu tidak pernah
memerintahkan agar rakyatnya yang terdiri atas orang Biaju, orang Maanyan, orang
Kendayan yang dikira melayu ( mengingat pada waktu itu istilah suku Kendayan /
Kannayatn sendiri belum terbentuk [13], dan seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa
nama salah satu Banua Dayak Kendayan Kalimantan Barat adalah Banua bukit jadi jelas
bahwa keturunan masyarakat Dayak Kendayan yang berasal dari Banua bukit inilah yang
dikenal sebagai Dayak Bukit / Meratus di kalimantan selatan itu )[14]. dan sekelompok kecil
orang jawa untuk mengubah nama suku-nya. Patih melayu? Dalam sejarah di ketahui bahwa
7
Gelar patih pertamakali atau mayoritas merupakan Gelar orang-orang penting atau
raja-raja Dayak Kalimantan Barat. Di sumatra sendiri tidak ada gelar patih. Dimasa lalu
yaitu masa dimana kepercayaan adat ( Kaharingan ), budaya Kayau dan budaya rumah
Panjang ( Budaya Kayau dan Rumah Panjang muncul secara bersamaan tujuan rumah
panjang ini di buat agar kekuatan terkonsentrasi untuk menghadapi kayau ) belum di
kenal oleh bangsa Dayak. para pelaut Dayak Kendayan telah menyusuri pantai-pantai
pulau Borneo baik ke arah utara maupun ke arah selatan. Pelaut Dayak Kendayan yang
sampai ke utara Borneo membangun pemukiman di daerah sarawak timur dan Brunei
sekarang ini, keturunannya di kenal dengan sebutan suku Dayak Kedayan. sementara yang
menyusuri pantai ke arah selatan borneo membangun pemukiman di tengah-tengah Dayak
Biaju / Ngaju, orang Dayak Kendayan ini masih memakai Bahasa Dayak Kendayan. Karena
Bahasa Dayak kendayan mirip dengan bahasa melayu, oleh orang Ngaju di kira orang
Melayu ( mengingat pada waktu itu istilah Kendayan / Kannayatn sendiri belum
terbentuk). Dan Patih Masih adalah satu-satunya petinggi Dayak Kendayan di tanah rantau
di daerah itu. Jadi pada dasarnya warga yang didefenisikan sebagai melayu oleh orang
Ngaju itu tidak lain dan tidak bukan merupakan keturunan para pelaut atau perantau
Dayak Kendayan yang tidak kembali. Dan mengembangkan adat tradisi serta bahasa
Dayak Kendayan yang sampai saat ini dapat disaksikan pada keturunannya yang tidak mau
menganut Islam, yang di sebut suku Dayak Meratus / Bukit. Dan Bahkan penamaan sebuah
sungai besar di daerah Kalimantan Tengah yang oleh masyarakat Dayak Biaju sering disebut
batang Biaju Kecil, dengan nama sungai Kapuas, juga merupakan nama pemberian oleh
para pelaut atau perantau Dayak Kendayan ( karena waktu pertamakali mereka datang, nama
sungai tersebut tidak diketahui oleh mereka ), sama seperti nama sungai besar di daerah
asalnya yaitu sungai kapuas di kalimantan Barat. Intinya bahwa suku Banjar merupakan
keturunan Blasteran antara Dayak Kendayan dengan Dayak Biaju, Dayak Maanyan dan
sedikit pendatang Jawa.Di masa sekarang Budaya unik masyarakat Dayak yang satu ini
hanya dapat disaksikan pada warga Dayak Stanmenras / rumpun Apokayan (Kenyah, Kayan
dan Bahau) serta sedikit warga Dayak Iban dan Dayak Punan saja, sementara pada
masyarakat Dayak Lainnya sudah tidak ditemukan. Apakah Masyarakat Dayak lain tidak
punya budaya ini? Sejujurnya hampir semua sub etnis Dayak dimasa lampau punya tradisi ini
hanya saja sudah lama di tinggalkan. Kebanyakan tradisi ini ditinggalkan sejak kedatangan
orang luar ke kalimantan, yaitu sejak datangnya para pelaut India dan arab serta China atau
etnis Indonesia lainnya ke kalimantan, dengan alasan merasa malu. namun tidak sedikit yang
meninggalkan budaya ini di masa awal penjajahan Belanda hingga dimasa penjajahan Jepang.
8
Pada masyarakat Dayak Kendayan yang berdialek Banyadu misalnya, dari cerita orang tua di
kampung Tititareng kecamatan Menyuke darit disebutkan bahwa dimasa penjajahan Jepang
masih terdapat seorang nenek yang mempertahankan Telinga panjangnya. Sepeninggalan
Nenek tersebut maka berakhirlah masa budaya telinga panjang pada masyarakat Dayak
Banyadu. Ada satu hal yang menarik yang mungkin menjadi alasan kenapa masyarakat
Dayak rumpun Apokayan masih setia mempertahankan budaya telinga panjang ini, Jika kita
perhatikan bahwa kebanyakan sesepuh adat atau orang yang dituakan atau orang-orang
penting dalam strata sosial adat masyarakat Dayak rumpun apokayan ini kebanyakan adalah
kaum wanita. Kaum wanita umumnya dikenal cenderung sangat teguh mempertahankan
kebiasaan atau tradisi yang berkembang dalam masyarakat ketimbang kaum pria, apalagi jika
tradisi tersebut sudah dianggap sebagian dari adat yang harus dilestarikan, maka sudah tentu
akan di pertahankan, dan terutama jika para orang penting yang umumnya kaum wanita
tersebut selalu menganjurkan agar kaum wanita tetap memanjangkan telinganya. Namun
meski demikian seiring perkembangan jaman hal tersebut akhir-akhir ini nampaknya sudah
berada pada kondisi yang kritis dimana banyak kaum wanita masyarakat Dayak rumpun
apokayan ini meninggalkan budaya telinga panjang dengan cara memotongnya.Tatto pada
masyarakat Dayak dimasa lampau merupakan simbol fisik yang secara langsung
memperlihatkan strata seseorang dalam masyarakat. Baik kaum pria maupun kaum wanita
sama-sama mempunyai tatto. Sementara motif-motif gambar tatto juga disesuaikan dengan
strata sosial yang berlaku di masyarakat. Gambar tatto antara orang biasa berbeda dengan
orang-orang penting seperti para temenggung, para Balian, para Demang dan para Panglima
perang. Dimasa kini budaya ini sepertinya juga sudah banyak ditinggalkan, dengan berbagai
alasan, meski cukup banyak juga generasi Dayak yang sadar untuk terus
mengembangkannya.Kata Kayau bermakna sebagai kegiatan perburuan kepala tokoh-
tokoh masyarakat yang menjadi musuh, dimana kepala hasil buruan tersebut akan
digunakan dalam ritual Notokng ( Istilah Dayak Kendayan ). Jadi pada dasarnya yang
dimaksud dengan Kayau bukanlah perang antar suku seperti perang dalam kerusuhan-
kerusuhan yang pernah terjadi di Kalimantan beberapa waktu yang lalu, yang korbannya
tidak pandang bulu apakah seorang biasa atau seorang yang berpengaruh pada kelompok
musuh. Kayau tidak sembarangan di lakukan, demikian juga tokoh-tokoh musuh yang di
incar, semua dipertimbangkan dengan penuh seksama. Sementara itu, jumlah pasukan Kayau
yang akan bertugas di medan minimal tujuh orang. Dimasa silam Kayau umumnya dilakukan
terhadap tokoh-tokoh musuh yang memang kebanyakan berbeda sub etnis Dayak-nya.
Peristiwa Kayau yang terekam sejarah dan cukup terkenal adalah peristiwa Kayau Kepala
9
Raja Patih Gumantar dari kerajaan Mempawah (Kerajaan Dayak Kendayan ) Kalimantan
Barat oleh pasukan Kayau Dayak Biaju / Ngaju Kalimantan tengah, meskipun cerita yang
beredar di kalangan masyarakat Dayak Kendayan dimasa kini menyebutkan bahwa nama
Biaju ini sering di katakan sebagai Dayak Bidayuh sungkung, dan hal ini diperparah oleh
para penulis buku-buku tentang sejarah Kalimantan Barat yang menerima begitu saja cerita
dalam Masyarakat tanpa ditelaah lebih lanjut dan bahkan beberapa penulis dengan
gampangnya menyebutkan bahwa Dayak Biaju ini punya pulau tersendiri di luar Borneo
hanya karena mendengar cerita rakyat yang mengatakan bahwa mereka datang memakai
Ajong / Kapal, padahal sebenarnya satu pulau dengan Dayak Kendayan hanya saja untuk
sampai ke daerah asalnya memang melalui sungai dan laut. Hal ini terjadi ditengarai oleh
awalan kata Biaju dan Bidayuh yang sama-sama diawali oleh kata "Bi" dan kedua-duanya
mempunyai bunyi kata yang hampir mirip (BI-AJU dan BI-dAYUh), padahal yang namanya
cerita lisan pasti cukup beresiko mengalami perubahan. Namun yang sangat pasti dan jelas
kata Biaju secara tegas di sebutkan dalam cerita tersebut.
Ragam hias
Ragam hias adalah bentuk dasar hiasan yang biasanya akan menjadi pola yang diulang-ulang
dalam suatu karya kerajinan atau seni. Karya ini dapat berupa tenunan, tulisan pada kain
(misalnya batik), songket, ukiran, atau pahatan pada kayu/batu. Ragam hias dapat distilisasi
(stilir) sehingga bentuknya bervariasi.
Variasi ragam hias biasanya khas untuk suatu unit budaya pada era tertentu, sehingga dapat
menjadi petunjuk bagi para sejarahwan atau arkeolog.
Ragam hias Nusantara
Ragam hias Nusantara dapat ditemukan pada motif batik, tenunan, anyaman, tembikar, ukiran
kayu, dan pahatan batu. Ragam hias ini muncul dalam bentuk-bentuk dasar yang sama namun
dengan variasi yang khas untuk setiap daerah. Dalam karya kerajinan atau seni Nusantara
tradisional, sering kali terdapat makna spiritual yang dituangkan dalam stilisasi ragam hias.
Terdapat ragam hias asli Nusantara, yang biasanya merupakan stilisasi dari bentuk alam atau
makhluk hidup (termasuk manusia), dan ada pula ragam hias adaptasi pengaruh budaya luar,
seperti dari Tiongkok, India, Persia, serta BaratPola
10
Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai
untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika
sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat
ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Deteksi pola
dasar disebut pengenalan pola.Pola yang paling sederhana didasarkan pada repetisi: beberapa
tiruan satu kerangka digabungkan tanpa modifikasi.
Asal mula
Secara umum seluruh penduduk dikepulauan nusantara disebut-sebut berasal dari China
selatan, demikian juga halnya dengan Bangsa Dayak. Tentang asal mula bangsa Dayak,
banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunnan di Cina
Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan
pada tahun 3000-1500 SM (sebelum masehi). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik
dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,
Taiwan dan Filipina.
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Benua Asia
dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang
memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di
Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-
Schwaner”.
Sebelum kedatangan islam ke kalimantan belum ada istilah Dayak dan istilah melayu. Semua
manusia penghuni pulau borneo merupakan manusia-manusia yang saling berkekerabatan
dan bersaudara ( Bangsa Dayak ). Penduduk-penduduk yang tinggal dipesisir pantai oleh
penduduk yang tinggal di pedalaman disebut sebagai Orang Laut sebaliknya penduduk yang
tinggal di pedalaman oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai di sebut Orang Darat .
Jauh sebelum agama Islam datang ke borneo Bangsa Dayak sudah mempunyai kerajaan-
kerajaan. Misal kerajaan Nek Riuh ( Mbah Riuh ) dan Kerajaan Bangkule Rajakng serta
kerajaan bujakng nyangkok di bagian barat kalimantan . Islam ke borneo di sebarkan oleh
orang-orang arab atau gujarat, namun mayoritas oleh orang melayu sumatra, karena itu oleh
orang Dayak agama islam disebut agama melayu, istilah islam sendiri jaman dahulu tidak
sepopuler istilah " agama melayu". Sejak itulah setiap orang Dayak pesisir yang masuk
islam disebut masuk melayu atau jadi orang melayu. namun oleh orang Dayak pedalaman,
11
saudara mereka yang masuk islam disebut sebagai " senganan" di kalimantan bagian barat
dan "halog" di kalimantan bagian timur. Dikarenakan adat budaya Dayak umumnya
bertentangan dengan agama islam maka hal ini membuat masyarakat Dayak pesisir yang
telah menjadi islam tadi meninggalkannya dan mengadopsi adat budaya para pendahwah
islam ( orang melayu) namun tidaklah semua adat aslinya di tinggalkan, cukup banyak juga
adat asli ( adat budaya Dayak ) yang di modifikasi agar selaras dengan islam, seperti tepung
tawar, betangas (Banjar: batimung), tumpang seribu dan lain-lain. selain masyarakat Dayak
pesisir pantai, masyarakat Dayak yang tinggal di kota-kota kerajaan juga akhirnya masuk
islam dengan alasan mengikuti jejak Rajanya. maka mulailah adat budaya melayu merasuki
adat budaya Dayak dalam keraton-keraton. Pada umumnya kerajaan-kerajaan di kalimantan
di dirikan oleh orang-orang yang berdarah daging Dayak asli seperti pada kerajaan
mempawah oleh Patih Gumantar, kerajaan Kutai ( Kerajaan Dayak Tunjung - Dayak
Benuaq ) oleh Kundung atau Kudungga dan kerajaan-kerajaan lain. sementara kerajaan-
kerajaan yang di dirikan oleh manusia-manusia yang berdarah daging blasteran Dayak
dengan pendatang seperti kerajaan pontianak ( blasteran Dayak dan arab ). kerajaan sanggau,
matan, ketapang dan sintang ( oleh blasteran Dayak Jawa ). sejak dahulu dalam pergaulannya
dengan sesama suku Dayak dan dengan suku-suku luar kalimantan orang Dayak telah
menggunakan bahasa melayu, hal ini terjadi mengingat suku dayak hampir setiap sub
sukunya mempunyai bahasa sendiri-sendiri. Hal ini tentu menyulitkan dalam berkomunikasi,
tentunya karena alasan semacam ini jugalah yang menyebabkan bahasa melayu dijadikan
bahasa persatuan Indonesia. Bahasa-bahasa melayu di kalimantan dikarenakan seluruh
manusia penuturnya mempunyai bahasa yang berbeda ( Manusia Dayak ) meyebabkan
bahasa melayu tersebut juga mempunyai banyak versi sesuai daerah asalnya, misal di daerah
sanggau kapuas dikarenakan bunyi vokal bahasa Dayak di daerah tersebut kebanyakan
berbunyi vokal " o " maka bahasa melayunya juga cenderung bervokal " O " misal kata ada
akan di ucapkan menjadi ado, kata Ngapa ( Mengapa ) di ucapkan menjadi ngapo dan lain
sebagainya. sementara di daerah kapuas hulu, sintang dan ketapang bahasa melayunya sangat
mendekati bahasa Dayak, cukup banyak istilah dalam bahasa Dayak asli yang masih di pakai
seperti Nuan, sidak dan lain-lain. Di bagian barat kalbar ada istilah Terigas yang asalnya dari
kata Tarigas dan istilah-istilah lainnya.
Di daerah selatan Borneo Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak didaerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa[6][7], yakni kerajaan
Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi
12
antara tahun 1309-1389.[8] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat
pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu
(sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam
tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang
Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai,
masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang
Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba.
Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang Raja Banjar Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat
menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-
1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah
Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain
Billah.
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan
penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan
orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak
seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung
Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah
ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah
menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang
Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah
belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
Pengertian Ragam Hias
13
“Ragam hias seperti apapun bentuknya, merupakan salah satu tayang kepuasan
rohani manusia yang tidak bisa ditawar-tawar lagi” (Dedi Suardi, 2000). Secara garis besar
ragam hias mempunyai pengertian “berbagai macam ornamen yang dibuat kedalam benda-
benda” (Dedi Suardi, 2000). Sementara pengertian ornamen dalam kamus standar Bahasa
Indonesia adalah hiasan yang dibuat pada candi gereja / bangunan dengan cara digambar atau
dipahat.
Beraneka macam jenis ragam hias dimiliki oleh setiap suku di Indonesia sebagai
simbol ciri khas sukunya, karena ragam hias merupakan salah satu unsur kebudayaan bagi
masyarakat tradisional Indonesia. Kepercayaan akan roh-roh penguasa alam mereka
wujudkan kedalam suatu bentuk simbol yang berisi konsep estetika dan mempunyai makna
luhur.
Ragam hias merupakan interprestasi dalam kehidupan spiritual mayarakat tradisional
Indonesia, dibuat dan diciptakan sebagai perwujudan rasa cinta dan hormat pada leluhur.
Dipakai dalam ritual-ritual dan upacara adat menurut kebudayaan dan kepercayaan mereka.
Ragam hias ini memiliki banyak corak dan warna, serta bentuk yang membangun ragam hias
ini pun beragam ada yang menyerupai manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sesuai
dengan makna yang terkandung didalamnya.
2.2. Ragam Hias Suku Dayak Bahau
Ragam hias yang dimiliki suku Dayak Bahau membedakan suku ini dengan suku
Dayak lainnya, dengan coraknya yang mudah sekali dikenali. Suku Dayak Bahau menganut
sistem bahan tunggal, mereka menolak sistem tempel dan sambung. Dengan demikian ukiran
yang dihasilkan akan lebih kuat dan tidak mudah patah. Sesuai dengan peralatan yang
dipergunakan biasanya ukiran dibuat tidak terlalu tinggi, bahkan kadang hanya berupa garis
saja (bass relief). Namun bukan berarti mereka tidak menggunakan penampilan relief tembus
maupun tinggi. Beberapa teknik dalam ukiran berusaha memberi kesan dimensional pada
ornamennya, mereka melakukan suatu bentuk penyederhanaan dengan meniadakan bagian
tertentu. Hal tersebut memberi kita kesempatan untuk menafsirkan sendiri bagian yang
ditiadakan tersebut.
Pengertian Ragam Hias Naga Asoq
Seperti yang telah dibahas di atas, ada beberapa bentuk ragam hias yang digunakan
oleh suku Dayak Bahau dalam mengidentitaskan dirinya. Salah satu bentuk ragam hias yang
paling sering digunakan oleh suku Dayak Bahau dalam mengidentitaskan dirinya adalah
bentuk ragam hias Naga Asoq.
14
Bentuk tunggal ragam hias Naga Asoq, yaitu suatu perpaduan dari bentuk naga dan
anjing, pada bagian kepala berupa gambaran bentuk naga, sementara di bagian badannya
berupa bentuk badan anjing, suku Dayak Bahau lazimnya menyebut anjing dengan sebutan
Asoq. Kenapa suku ini lebih menonjolkan bentuk Naga dan Asoq, hal tersebut lebih
dikarenakan oleh suatau kepercayaan yang mereka anut. Pada ragam hias Naga Asoq ini, bila
kita mengkajinya lebih jauh akan terlihat suatu bentuk Naga dan Asoq yang seolah-olah
sedang berenang,. Perpaduan dalam bentuk tersebut adalah simbol atau suatu lambang yang
dipercaya memiliki kekuatan untuk menolak kejahatan. Sedangkan arti dari ragam hias
tersebut konon dipercaya bahwa Naga Asoq ini merupakan juru penyelamat dan petunjuk
jalan menuju alam setelah kematian. Dan mengapa aplikasi dari bentuk Naga dan Asoq ini
seolah-olah berenang, hal tersebut juga terjadi karena lebih kepada penghormatan mereka
pada sungai, yang mereka anggap telah memberikan jalan kehidupan bagi suku Dayak Bahau.
2.4. Aplikasi Ragam Hias Naga Asoq
Ragam hias suku Dayak Bahau telah diaplikasikan pada banyak benda dan tempat
sesuai dengan makna dan fungsinya. Ragam hias sendiri merupakan simbol identitas diri,
selain untuk menambah keindahan juga merupakan wujud dari tujuan ritual dan kepercayaan
masyarakat tradisional Dayak yang tertuang dalam berbagai kegiatan dan aktifitas kehidupan
masyarakat Dayak.
Kita melihat bahwa suku Dayak Bahau menggunakan bentuk Naga Asoq hampir
disetiap benda jadinya, dan merupakan ornamen bagi benda jadi itu sendiri. Ada berbagai
macam cara dalam penerapan bentuk Naga Asoq dalam berbagai benda dan tempat, hal ini
disesuaikan dengan bidang terapan Naga Asoq. Teknik penerapan Naga Asoq ini ada yang
dikombinasikan dengan beberapa bentuk lain yang menghasilkan bentuk lain dari bentuk
tunggal Naga Asoq.
Bentuk ragam hias diatas terdiri dari dua bentuk ragam hias, yaitu wajah Pen Lih (hantu petir)
dan dua pasang Naga Asoq yang ada di bagian atas dan bawah wajah Pen Lih yang seolah-
olah melingkupi wajah Pen Lih. Sepasang Naga Asoq di bgian atas seolah-olah memebentuk
alis Pen Lih, sedangkan sepasang Naga Asoq yang ada dibagian bawah seolah-olah
menyangga wajah Pen Lih. Gambaran wajah Pen Lih ini terlukis pada daun pintu lamin
kepala suku, dan kalangan keturunan raja dimaksudkan sebagai penangkal atau tolak bala
dari segala ancaman roh jahat dan orang yang bermaksud tidak baik pada keluarga
kepala suku, hal ini terwujud atas penghormatan seluruh warga pada kepala suku
mereka dan juga kepada keturunan raja.
15
patung Naga Asoq yang disebut Kayu Aran Naga Asoq, yang didirikan didepan rumah
(lamin) kepala adat suku. Maksudnya untuk memberi kekuatan pada keluarga kepala adat
suku sehubungan dengan kebijakan yang diambilnya dalam memerintah dan mengatur
warganya agar tidak menyebabkan adanya bencana bagi kampung tempatnya tinggal.
Kayu Aran ini terdiri dari dua bentuk Naga Asoq. Pada Naga Asoq yang berada di
bagian bawah sedang mengeluarkan Naga Asoq dari mulutnya, makna dari bentuk ini adalah
diharapkan bahwa kepala desa yang telahj dipilih oleh rakyatnya dapat melahirkan kebijakan
baru untuk memajukan kampung yang dipimpinnya, sementara Naga Asoq yang berada di
atas menghadap kebawah ke Naga Asoq yang mengelurkannya dari mulut, memakai hiasan
dikepala menyerupai mahkota, maksudnya adalah bahwa meskipun kepala desa tersebut telah
terpilih menjadi pemimpin, diharapakan tidak menjadi sombong dan angkuh, dapat melihat
ke bawah (rakyatnya) agar lebih memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
dua macam jenis les yang biasa digunakan di bangunan adat Dayak Bahau. Penempatan les
ini biasanya di dinding bagian bawah atau di pinggiran bawah atap. Makna dari ragam hias
ini adalah sebagai simbol identitas diri, menambah keindahan, serta lambang kesuburan.
Pada
les bagian atas ada bentuk Naga Asoq dan wajah Pen Lih. Pada pinggirannya terdapat
ragam hias geometris berupa rangkaian huruf ‘S’yang mendatar.
alat musik khas suku Dayak Bahau, karena ada ciri khas pada ragam hias yang digunakannya.
Seperti pada gambar yang pertama (atas) adalah sebuah gambar standar gong dengan motif
anjing yang sedang kawin, penggambaran badan anjing yang utuh lengkap dengan simbol
hubungan kelamin beserta pembuahan sel telur. Pada bagian kepala tampak gambar
Dug Gelong yang seolah-olah sedang berenang. Makna dari simbol ini adalah suatu
pengharapan bahwa kelak kesenian suku Dayak Bahau dapat terus berkembang dan
melhirkan karya seni yang dapat memperkaya khazanah kebudayaan suku Dayak Bahau.
Alat musik pada gambar yang kedua dan ketiga (bawah) adalah jenis alat musik tiup
atau keruding, terbuat dari bamboo dan terdapat bentuk gambar naga asoq yang
disederhanakan bentuknya, sehingga terkesan dinamis. Adanya bentuk Naga asoq disini
dimaksudkan untuk memberi semangat kepada yang menggunakan alat musik keruding ini.
Kedua alat musik ini digunakan pada upacara adat atau pesta perayaan.
Delae Keung kek Heliu, yang artinya Naga Gunung Sulau. Sulau dalam bahasa Dayak
sama dengan kulit lokan, yang dahulu sama artinya dengan mata uang. Ragam hias ini
terletak diujung pinggiran atap, sebagai lambang penolak bala, kesuburan dan lambang
kekayaan serta menarik kejayaan bagi pemilik rumah.
16
Bila diperhatikan gambar tersebut dengan lebih seksama, kita dapat melihat letak susunan
giginya tidak terletak pada satu sudut mulut, tetapi lebih mirip dengan mulut ular yang
rahangnya dapat terbuka lebar dan ditarik
kebelakang, ada bentuk yang menyerupai lengan yang sedang menyangga rahang
bagian bawah dari Delae Keung Kek Heliu.
hulu mandau (lebeun) yang terbuat dari kayu. Gambar hulu mandau yang disebelah
kiri diberi simpai dari ijuk sejenis aren Iman dengan hiasan mata uang Belanda ½ cent.
Ada sebuah mitos yang berkaitan dengan Mandau ini. Konon menurut kepercayaan
suku Dayak Bahau, apabila sebuah mandau telah menyentuh darah manusia (dalam hal ini
berkaitan dengan perburuan kepala yang dahulu dilakukan untuk memeperebutkan
kekuasaan) akan terus menerus meminta kembali darah manusia, sampai pemilik mandau ini
melepaskan mandaunya (dibuang dengan cara dibakar) atau pemilik mandau ini wafat.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
4.1 Sumber data
Dalam penelitian karya tulis ini,digunakan metode penulisan dengan cara peninjauan
dan cara tinjaua kepustakaan menurut buku………………………………tinjauan
kepustakaan disebut juga study kepustakaan yaitu mencari data dari kepustakaan misalnya
dari data buku jurnal masalah dan lain-lain.
Semakin banyak sumber bacaan semakin banyak pula pengetahuan yang diteliti
namun tidak semua buku bacaan dan laporan dapat diolah.
4.2 Cara memperoleh data
a. Mepelajari hasil yang diperoleh dari setiap sumber yang relevan dengan penelitian
yang akan dilakukan.
b. Mempelajari metode penelitian yang dilakukan termasuk metode penelitian
pengambilan sampel pengumpulan data sumber data dan satuan data
c. Mengumpulkan data dari sumber lain yang berhubungan dengan bidang penelitian.
d. Mempelajari analisis deduktif dari problem yang tertera(analisis berpikir secara
kronologis)
3.3 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian ini adalah penelitian sendiri karena subjek penelitiannya berupa
pustaka yang memerlukan pemahaman dan penafsiran penelitian,penulis mencatat hal-hal
yang berhubungan dengan pesan social budaya dalam menghasilkan generasi muda yang
berkualitas yang digunakan sebagai instruktur penelitian seluruh data dikumpulkan dalam
catatan khusus.
3.4 Analisis data
` Data yang dikumpulkan dalam catatan khusus selanjutnya dianalisis,proses analisis
dilakukan dengan cermat dan dideskripsikan dengan lengkap sehingga menghasilkan analisis
yang representative teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini analisis isi.
18
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Jenis-Jenis Ragam Hias Suku Dayak Bahau
Ragam hias suku Dayak Bahau ini ada beberapa macam jenis, seperti :
Ragam hias Geometris
Ragam hias Hewan dan Manusia.
Dan beberapa bentuk yang diterapkan pada berbagai macam benda, baik pada
ornamen bangunan, peralatan rumah tangga, peralatan perang, dan barang-barang seni
lainnya.
Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum tentang jenis-jenis ragam hias yang
terdapat di Kalimantan, khususnya suku Dayak Kalimantan Timur, serta nama dan maknanya
yang terkandung didalamnya.
a. Ragam Hias Geometris.
Ragam hias geometris mengacu pada bentuk-bentuk ilmu ukur sebagai kerangka pola
ulang atau rincian bentuk (motif), hal ini menurut Hasanudin dalam batik Pesisiran
(2001 : 147). Peran kepercayaan pada penguasa alam dan para leluhur melandasi
penciptaan ragam hias geometris yang merupakan media penghubung manusia dengan
roh. Dengan adanya bukti-bukti dari yang ditemukan melalui peninggalan-peninggalan
masa silam, seperti peralatan rumah tangga, peralatan perang, alat-alat untuk berburu,
berbagai peralatan dari batu, jambangan, dan ukiran-ukiran yang terdapat pada bangunan
adat tradisional yang memiliki makna religius tersendiri bagi suku tersebut, memperkuat
pendapat bahwa ragam hias geometris adalah ragam hias yang cukup tua usianya
(Soegeng Toekio, 1987 : 39). Ragam hias yang memiliki nilai religius diciptakan sebagai
suatu karya yang berlatar belakang pada kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai
spiritual dengan landasan imajinasi yang begitu mengesankan.
Unsur garis dan tekstur pada ragam hias geometris menjadi satu kesatuan yang
membangun terlaksananya bentuk dan ukiran. Kita dapat melihat bagaimana setiap
goresan mempunyai peran tersendiri dan kita lihat garis baik yang lurus dan melengkung
serta goresan-goresan yang tajam dan keras dengan torehan ringan dan tiis ergumul dalam
satu kesatuan yang membentuk kaitan yang indah.
19
Ada beberapa ciri ragam hias geometris Indonesia yang diterapkan pada benda pakai
antar lain :
Ragam hias geometris dipakai untuk menghias bagian tepi atau pinggiran dari
suatu benda.
Ragam hias geometris yang diterapkan pada pengisian permukaan bidang
benda pakai.
Ragam hias geometris sebagai inti atau bagian yang berdiri sendiri, dan
merupakan bentuk estetik dalam ornamen arsitektural.
Berbagai jenis ragam hias yang digunakan sebagai pinggiran dari suatu benda seperti:
zigzag, relung atau alun, pilin, meander, garis-garis silang dan beberapa jenis lainnya.
Bentuk demikian sama dengan ragam hias diplylon dari Athena atau juga bentuk-bentuk
oedenbrug Hungaria yang banyak menjadi sumber ragam hias di benua Eropa (Soegeng
Toekio, 1987 : 39). Di Indonesia sendiri ragam hias pinggiran ini banyak digunakan
sebagai ragam hias yang diterapkan pada benda pakai dan bahkan pada bangunan
tradisional. Bentuk-bentuk zigzag, spiral, garis silang, empat persegi serta gabungan-
gabungan beberapa bentuk banyak dipergunakan sebagai ragam hias yang diterapkan
pada tepian benda pakai dalam kombinasi yang bermacam-macam.
Ragam hias geometris lebih banyak mengungkapkan unsur utamanya, dalam hal ini
bentuk pola yang utama ragam hias geometris terbagi menjadi 4 (empat) kelompok besar
yaitu:
Kaki silang, berupa bentuk persilangan garis yang bertumpu pada satu titik;
bentuk ini dapat berupa: silang dua, silang tiga dan silang empat, dapat berupa
garis yang tegak maupun lengkungan.
Pilin (spiral); berupa relung-relung yang saling bertumpuk atau bertumpang
seolah-olah membentuk ulir yang berupa huruf S atau kebalikannya. Bentuk
ulir ini dapat diperkaya dengan pengulangan pilin ganda atau kombinasi yang
dibuat dengan ukiran yang berbeda.
Kincir, bertolak dari mata angin yang mempunyai gerak ke kiri atau ke kanan.
Pada garisnya membentuk putaran yang berakhir dalam susunan melingkar
dengan putaran (spill).
Bidang, pada kelompok ini terdiri atas bidang segitiga, bundar, empat persegi,
dan gumpalan (blob) yang tak beraturan.
20
Keempat kelompok dasar ini dalam ragam hias geometris berbentuk dalam berbagai
macam variasi, baik itu bentuk tunggal maupun kombinasi. Bahkan dari segi ketebalan
garis atau ukuran garis serta pengulangan dalam tata letaknya akan memberi kesan yang
beda. Penampilan yang semu dengan adanya pemotongan atau pemberian tambahan unsur
akan menampilkan kesan yang dinamis dan berbeda dengan bentuk tunggalnya.
Dalam ragam hias suku Dayak Bahau, bentuk yang paling sering dijumpai dalam ragam
hias geometrisnya adalah bentuk dasar pilin (spiral), yang kemudian ditambahkan dengan
unsur lain sehingga tampak berbeda. Dari bentuk lengkung, berupa garis melingkar dan
alur, yang berupa garis patah-patah melahirkan bentuk yang beraneka ragam.
Menggambarkan dengan jelas ciri khas ornamen Dayak.
Bentuk lain dari kelompok ragam hias geometris yang dapat dilihat adalah bentuk dasar
yang berupa kincir dan bidang. Bentuk kincir dan bidang ini banyak dibuat dengan
bentuk yang seolah-olah berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena bagian-bagian yang
digambarkan terlihat lebih kuat. Sementara bentuk dengan pola dasar bidang atau
gumpalan sebenarnya merupakan bagian dari himpunan suatu ragam hias geometris.
Tetapi tidak jarang dibuat menjadi bagian sendiri secara tunggal. Bentuk-bentuknya
antara lain terbagi dalam 2 (dua) bagian:
Bentuk bidang beraturan, berupa segitiga, lingkaran, persegi empat atau segi
enam.
Bentuk bidang tidak beraturan, berupa gumpalan dengan bentuk mengarah
pada bulatan atau lengkungan, bentuk tajam seperti bintang dan sejenisnya.
Hal tersebut di atas menarik kesimpulan bahwa ragam hias geometris cenderung memiliki
sifat yang luwes, dengan pengertian dapat diterapkan pada berbagai benda dengan
berbagai bentuknya.
Pada bangunan tradisional adat Dayak Bahau ragam hias geometris terdapat dibeberapa
bagian bangunan, seperti di les dinding bagian bawah atau les plank (pinggiran atap).
b. Ragam Hias Makhluk Hidup (Fauna dan Manusia)
Pada ragam hias jenis ini visualisasi manusia dan hewan mendominasi ruang dan bidang
ukiran. Pada masa lampau kedua subjek ini telah dilukiskan dalam perjalanan kehidupan,
hal tersebut dapat dilihat pada kehidupan manusia prasejarah,
21
Perjalanan kehidupan manusia pada masa prasejarah dilukiskan beserta alam
kehidupannnya pada dinding-dinding gua tempat tinggal mereka. Kaitan kehidupan
manusia dengan alam sekitarnya digambarkan dalam adegan perburuan binatang, sebuah
pesta adat, bercocok tanam dan sebagainya. Karya-karya ini terlahir atas dasar ungkapan
manusia terhadap lingkungan hidupnya, bagaimana manusia menghargai dan
menghormati alam yang telah memberinya kehidupan. Lambat laun kemudian ungkapan
perasaan bertambah bukan hanya kepada alam, ungkapan manusia ini mengarah pada
penghormatan dan penghargaan manusia terhadap sesuatu yang lebih dari dirinya, bahkan
menjadikan suatu hubungan yang mengandung makna atau nilai yang sakral. Manusia
sendiri digambarkan sebagai figure dari nenek moyang yang menjadi panduan atas apa
yang telah dilakukannya pada lukisan yang telah dibuat. Penggambaran manusia sebagai
nenek moyang dilakukan terus menerus secara turun temurun. Berbagai ungkapan
perasaan yang terlukiskan ini berlangsung terus, tetapi bukan lagi di dinding-dinding gua,
melainkan pada benda-benda yang dengan sengaja diciptakan dengan membubuhkan
gambaran tentang ungkapan perasaan atau bahkan ritual kepercayaan. Seiring perubahan
waktu dan semakin berkembangnya pola pikir serta pengetahuan manusia gambaran
tentang perjalanan kehidupan nenek moyang ini pun telah menjadi bentuk ragam hias,
yang memperkaya khazanah kebudayaan dari suku-suku yang ada di Indonesia.
Adanya penggambaran nenek moyang dan kehidupannya dalam rangkaian bentuk ragam
hias hampir terdapat di setiap suku yang ada di kepulauan Nusantara. Seperti pada suku
Dayak yang ada di Kalimantan khususnya suku Dayak Bahau di Kaimantan Timur,
terdapat ragam hias dengan bentuk manusia dalam bentuk yang disederhanakan. Atau
hanya bagian-bagian dari tubuh manusia yang digambarkan dalam bentuk yang berbeda
dari kenyataannya, seperti Deing Wung Loh (hantu orang mati).
Deing Wung Loh
Beberapa contoh bentuk ragam hias daerah lain di Indonesia seperti di Nusa Tenggara
disebut Uis Neno, Uis Afu Neno, Keda; di Sulawesi disebut Sio Walian, Patung Sape,
Angke Bulawe; di Irian disebut Totem Mbitoro, Kowar; dan masih banyak lagi yang
lainnya.
22
Selain ragam hias yang menggunakan gambaran manusia, ada juga ragam hias yang
menggunakan bentuk fauna. Baik manusia maupun fauna keduanya merupkan kelompok
dari makhluk hidup yang memberikan banyak inspirasi penciptaan ragam hias.
Begitu banyaknya jenis fauna yang hidup di bumi ini, karena banyaknya jenis fauna kita
dapat memebagi kedalam 4 (empat) kelompok jenis secara garis besar, menurut cara
hidupnya, yaitu:
Fauna yang hidup di darat
Fauna yang hidup di air
Fauna yang hidup di udara atau bersayap
Fauna yang hidup di dua alam (darat dan air)
Dari jenis-jenis fauna yang ada, sangat banyak bentuk-bentuk yang dapat kita peroleh
sebagai gambaran corak ragam hias yang berlainan. Unsur kepercayaan dan adat istiadat
juga berperan dalam terciptanya bentuk ragam hias ini. Hal-hal magis juga lahir dari
terciptanya bentuk ragam hias, contoh yang paling sering dijumpai adalah bahwa ragam
hias ini digunakan sebagai penangkal atau tolak bala. Seperti di Sumatra binatang yang
dipercaya sebagai penangkal adalah cecak dalam ragam hiasnya disebut Beraspati, di
Toraja binatang kerbau dalam ragam hiasnya disebut Kabong’ngo, dan daerah-daerah lain
seperti di Jawa ada binatang burung garuda, ular, ikan dan udang, serta masih banyak lagi
jenis ragam hias yang bersumber dari binatang yang ada dilingkungan kehidupan
masyarakat kita.
Suku Dayak Bahau tidak jauh berbeda dengan suku lainnya di Indonesia, yang
menggunakan bentuk manusia dan fauna dalam ragam hiasnya. Ragam hias suku Dayak
Bahau banyak terdapat di berbagai benda, dan tempat tinggalnya atau di rumah lamin,
yang jelas memiliki makna tersendiri bagi suku Dayak Bahau.
Naga Asoq, yaitu suatu perpaduan dari bentuk naga dan anjing, pada bagian kepala
berupa gambaran bentuk naga, sementara di bagian badannya berupa bentuk badan anjing,
suku Dayak Bahau lazimnya menyebut anjing dengan sebutan Asoq.
patung Pen Lih (hantu Petir), yang dipercaya sebagai raja dari roh-roh jahat. Sebagai simbol
tolak bala, dan memiliki nilai kontradiktif (nilai yang bertentangan), yaitu apabila orang takut
malah akan ditakuti, sebaliknya apabila orang berani maka Pen Lih sendiri akan takut dan
tunduk. Patung Pen Lih diletakan di jalan masuk batas kampung, dimaksudkan untuk
23
menolak semua roh jahat yang dibawa oleh orang luar kampung yang akan masuk kedalam
perkampungan suku Dayak Bahau.
4.2 Cara Ungkap dan Tujuan Ungkap Ragam Hias
Menurut Dr. Hasanudin M.Sn. dalam bukunya Batik Pesisiran (2001:148) ada
beberapa cara ungkap dan tujuan ungkap dalam ragam hias batik, meskipun demikan ada
beberapa kesamaan prinsip dan dasar dalam pengungkapan ragam hias yang penulis bahas
dalam skripsi ini . Antara lain :
Dekoratif
Pengungkapan dekoratif ditujukan hanya untuk menonjolkan aspek hias atau
aspek keindahan saja. ada bagian yang diseleksi atau dihilangkan untuk tidak
diungkapkan apa adanya. Ada kecenderungan untuk mengungkapkan ragam hias
atau gambar secara datar, mempertimbangkan unsur keseimbangan bentuk-
komposisi-irama, dan menonjolkan sisi kekhasan dan hubungan pengulangan.
Tujuan utama cara ungkap dekoratif adalah menonjolkan semua unsur ragam hias
seacar seimbang dan indah. Karena itu kesan yang kuat dari bentuk ekoratif ini
adalaha pengaturan unsur bentuk secara datar. Semua unsur ditampilakn dalam
kedudukan yang sama dan dengan jarak yang sama.
Ragam hias dekoratif kemudian banayk dipakai sebagai hiasan pada candi di masa
kejayaan kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Ragam hias dekoratif pada masa
islam dipakai sebagai ragam hias ukiran pada masjid, makam, keraton, dan rumah
orang islam dengan objek gambar flora dan geometris.
Begitu pula pada ragam hias suku Dayak bahau, misalnya dapat kita temui pada
pinggiran bawah dinding dan pinggiran bawah atap yang biasa disebut les. Ada
yang hanya tediri dari pengulangan ragam hias geometris, juga ada yang berupa
bentuk pengulangan Naga Asoq dan Pen Lih.
Stilasi
Pengungkapan stilasi adalah bentuk yang menekankan pada gaya atau langgam
bentuk. Yang diutamakan dalam stilasi adalah gaya yang berpangkal dari
imajinasi seseorang setelah mengamati bentuk. Ketepatan bentuk dan persesuaian
bentuk denagn objek aslinya bukan tujuan utama. Yang terpenting adalah
penampilan yang menyandarkan imajinasi sehingga menghasilkan bentuk yang
24
imajinatif yang bisa diasosiasikan dengan dengan inti kehidupan, misalnya gerak,
pertumbuhan dan energi.
Ragam hias stilasi banyak dijumpai pada ragam hias pinggiran candi, pintu candi
dan keraton, serta bagian tertentu dari bangunan rumah, seperti tiang dan
sebagainya.
Pada ragam hias suku Dayak Bahau kita dapat menemukan cara ungkap stilasi
yang terdapat dihiasan pintu, kayu Aran Naga Asoq dan sebagainya yang akan
dibahas pada uraian berikutnya.
4.3 Naga Asoq Ditinjau secara visual
Jika dilihat lebih teliti, simbol visual Naga Asoq terdiri dari beberapa unsur grafis,
yaitu :
Garis
Bentuk atau Form
Tekstur
Keseimbangan
Proporsi
Warna
a. Garis
Garis secara umum terdiri dari unsur-unsur titik yang juga mempunyai peran
tersendiri, unsur titik juga bisa ikut mendukung keindahan.11 Pada bentuk Naga Asoq kita
akan melihat garis lengkung yang terdapat hampir diseluruh bagian Naga Asoq, dari bagian
kepala hingga ekor.
Garis Lengkung
Garis lurus yang ditekuk atau dibengkokan sehingga tercipta suatu lengkungan
yang disebut garis lengkung, garis ini mampu menimbulkan kesan yang
berbeda-beda, ada yang menimbulkan kesan kuat, lemah, sensitive, dinamis
dan ekspresif. Garis lengkung dapat dikelompokkan dalam: segmen lingkaran,
setengah lingkaran, lingkaran penuh, bentuk huruf ‘S’ bentuk bergelombang,
dan spiral.
Garis lengkung setengah lingkaran yang dianggap sebagai bentuk bulan sabit
tegak atau huruf ‘C’, motif ini berkesan lunak-me lunakkan atau lemah
melemahkan. Garis yang berbentuk lingkaran penuh adalah bentuk yang
25
sempurna, banyak ditemui dan sangat diperlukan dalam rangkaian bentuk
yang lain.
Apabila dua segmen dalam lingkaran digabungkan, akan terbentuk huruf ‘S’
yang mendatar, menimbulkan kesan dinamis, mengalir, enerjik, dan penuh
aktifitas yang pada abad ke-18 dianggap sebagai ‘garis yang indah’.
Garis spiral adalah garis yang seolah-olah menggambarkan proses
pertumbuhan yang terjadi di alam, seperti pusara air yang berpusat dari intinya
kemudian mengembang secara bertahap.
Kombinasi garis lengkung dan garis lurus banyak sekali dijumpai disekitar
kita, seperti contohnya dialam, terutama pada tanaman dan pohon. Sejak
jaman Yunani orang menggabungkan garis lurus dan garis lengkung menjadi
kesatuan agar tidak berkesan monoton dan menjemukan.
b. Bentuk Atau Form
Suatu bangun atau shape yang tampak dari suatu benda dinyatakan sebagai istilah
bentuk atau form. Bentuk atau form adalah suatu massa yang berisi garis-garis. Sementara
garis adalah bagian tepi atau pinggiran dari suatu benda atau biasa disebut ‘kontur benda’.
Kontur itu sendiri memperlihatkan bangun atau gerakan dari bentuk itu sendiri.
Bentuk Naga Asoq terlihat dengan jelas dari garis yang membangunnya, ada bentuk
Naga pada bagian kepala dan anjing pada bagian tubuhnya, sementara kakinya yang
berjumlah dua pasang seperti layaknya anjing biasa, tetapi bentuknya menyerupai bentuk
kaki naga.
Bentuk dari Naga Asoq merupakan suatu bidang, baik yang diaplikasikan pada bidang
datar maupun bidang ruang. Pada bidang datar biasanya berupa ukiran yang timbul,
sementara pada bidang ruang biasanya berbentuk tiga dimensi. Bidang ruang disini
contohnya didalam ukiran patung halaman. Yang memiliki panjang, tinggi dan berdiameter.
c. Tekstur
Tekstur adalah sifat fisik permukaan dari suatu bahan, seperti : kasar, halus,
mengkilap, kusam atau pudar, yang dapat diaplikasikan secara kontras, serasi atau berupa
pengulangan untuk suatu bentuk. Tekstur bisa berasal dari bahan-bahan alami yang berserat
maupun bahan yang diolah oleh manusia. Tekstur berkaitan erat dengan indera peraba dan
indera penglihat tekstur akan lebih jelas terasa bila kita meraba permukaannya serta terlihat
jelas tergantung pada cahaya serta bayangannya atau hanya disebabkan oleh ilusi optis.
26
Bahan materiil utama Naga Asoq adalah kayu, yang kemudian diukir sesuai dengan
kebutuhan. Kita dapat membuktikannya dengan meraba permukaannya, serta melihat serat
yang ada pada bentuk ragam hias Naga Asoq. Karena ukiran pada ragam hias yang ada di
ornamen bangunan ini merupakan ukiran yang timbul, kita juga dapat merasakan bentuk dari
ragam hias yang diukir ketika kita merabanya. Seolah-olah ada kesan ruang di dalamnya.
d. Keseimbangan
Prinsip dasar dari komposisi adalah keseimbangan yang paling mudah dikenali atau
dilihat. Keseimbangan bisa terjadi secara fisik maupun secara visual. Untuk menghayatinya
diperlukan suatu titik atau sumbu khayal, guna menentukan letak objek yang akan disusun
menurut prinsip keseimbangan. Bentuk keseimbangan yang paling sederhana yaitu
keseimbangan simetris yang berkesan resmi atau formal. Sedangkan keseimbangan asimetris
berkesan tidak resmi atau informal, tetapi bentuk ini tampak lebih dinamis.
Pada ragam hias suku Dayak Bahau sulit sekali ditemukan keseimbangan simetris,
terutama pada bentuk Naga Asoq, meskipun diaplikasikan pada beberapa tempat dengan
visualisasi yang lebih sederhana. Hal ini lebih dikarenakan oleh bentuk dasar Naga Asoq
yang bukan merupakan gambar geometris.
e. Proporsi
Proporsi merupakan perbandingan antara satu bagian dari suatu objek atau komposisi
terhadap bagian yang lain atau terhadap keseluruhan objek atau komposisi. Pada beberapa
aplikasi Naga Asoq, salah satunya adalah les, proporsinya lebih seimbang antara satu bagian
dengan bagian laninnya. Tetapi pada bentuk lain seperti ukiran pada daun pintu lebih tidak
teratur, hanya memenuhi bidang ukir yang ada di daun pintu tesebut.
f. Warna
Menurut Sulasmi Darma Prawira, dalam “Warna sebagai salah satu unsur Seni dan
Desain” (1989:5), pengertian warna yang diambil dari bahasa sansekerta mempunyai makna
yang lebih luas lagi, artinya : tabet, perangai, kasta, bunyi, huruf, suku kata, perkataan.
Perkataan warna berarti corak atau rupa berasal dari urat kata “wri” yang artinya tutup.Warna
adalah salah satu elemen dalam seni dan desain sebagai unsur keindahan dalam penciptaan
seni dan desain.
Di Negara Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam suku, warna mempunyai nilai
simbolik yang diungkapkan di dalam brbagai kegiatan seni dan kepercayaan.
Begitu juga bagi suku Dayak Bahau, warna mempunyai makna yang mendalam dalam
kehidupan tradisionalnya. Baik itu menyangkut keyakinan juga seni. Berbagai ragam hias
yang digunaan pada ornamen bangunannya suku Dayak Bahau hanya menggunakan empat
27
warna utama ; merah, putih, hitam, dan kuning. Warna merah yang melambangkan darah
diambil dari batu / getah malau, warna putih yang melambangkan air yang bergemuruh yang
memberi getaran jiwa dan perasaan diambil dari kapur, warna hitam yang melambangkan
kegelapan diambil dari arang kayu damar, warna kuning perpaduan matahari dan bulan yang
melambangkan senja diambil dari akar. Keempat warna tersebut dipercaya sebagai warna
yang mampu memberikan kesan getaran magis di jiwa.
28
BAB V
PENUTUP
Cerminan bahwa suku Dayak Bahau bukanlah lagi menjadi suatu suku yang terisolasi,
seperti yang diungkapakan oleh Dr. Yekti Maunati (2004 : 7) bahwa Pemerintah Orde Baru
juga telah mengadopsi representasi tentang orang-orang Dayak ini sebagai sebuah masyarakat
yang primitif, tidaklah benar. Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai media dan cara untuk
mengangkat kebudayaan Dayak dalam berbagai aspek dan kesempatan.
Dengan adanya perkembangan teknologi dan perubahan waktu, banyak hal telah berubah
di sistem kehidupan masayarakat Indonesia, salah satunya dalam sistem tata kehidupan
masyarakat Dayak. Berbagai fenomena sosial muncul dengan dalih mengikuti perkembangan
jaman dan modernisasi.
Sementara itu bentuk-bentuk ragam hias yang dimiliki suku Dayak Bahau Kalimantan
Timur yang tidak jauh berbeda dengan daerah Kalimantan lainnya, akan tetapi tetap saja
memiliki ciri khas tersendiri pun telah terkena imbas adanya perkembangan IPTEK.
Kita akan mendapati bahwa keunikan ragam hias suku Dayak Bahau kini tidak hanya
dapat dilihat ditempat asalnya yaitu desa Tering, kecamatan Long Iram, kabupaten Kutai.
Tetapi ragam hias ini sudah mulai keluar dari tempat beradanya suku Dayak Bahau, karena
salah satu bangunan yang dimiliki oleh pemerintahan kota Samarinda, memakai ragam hias
suku Dayak Bahau pada ornamen bangunannya. Apa yang terjadi pada ragam hias suku
Dayak Bahau ini, dengan adanya perkembangan teknologi dan perubahan waktu. Akankah
tetap berupa ragam hias yang mengandung arti dan niali filosofi, seperti halnya ketika ragam
hias ini diciptakan.
Perkembangan dan perubahan waktu, telah membuat ragam hias suku Dayak Bahau
tidak hanya digunakan oleh suku Dayak Bahau itu sendiri, tetapi oleh pemerintah kota
Samarinda juga telah diterapkan pada salah satu ornamen bangunan pemerintahannya.
29
DAFTAR PUSTAKA
---------. 1994. Kata Pengantar, Ketahanan Kebudayaan dan Kebudayaan Ketahanan,
Dalam: Paulus Florus (ed), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi,
Jakarta: LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
Garna, Judistira, K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program
Pascasarjana UNPAD.
Ignatius. 1998. Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kampung Menyumbung (Sub Suku Dayak
Rio), Dalam, Kristianus Atok, Paulus Florus, Agus Tamen (ed), Pemberdayaan
Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat, Pontianak: PPSDAK Pancur
Kasih.
Mering, Ngo. 1990. Inilah Peladang, dalam: Prospek No. 3 Tahun 1, 13 Oktober 1990.
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan Ekologi Peladang Berpindah, Pontianak: Dalam
Suara Almamater Universitas Tanjungpura, No. II Tahun V November 1990.
Soedjito, Herwasono. 1999. Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestarian
Plasma Nutfah, Dalam Kusnaka Adimihardja (editor), Petani Merajut Tradisi Era
Globalisasi, Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal Dalam Pembangunan,
Bandung: Humaniora Utama Press.
Ukur, Pridolin. 1994. Makna Religi Dari Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam
Paulus Florus (editor), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi, Jakarta:
LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.
30
Widjono, Roedy Haryo. 1995. Simpakng Munan Dayak Benuang, Suatu Kearifan Tradisional
Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Pontianak: Dalam Kalimantan Review, Nomor
13 Tahun IV, Oktober-Desember.
---------. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
31