PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PERTANIAN
BAB I . Pendahuluan
I. Hakikat Penyuluhan
Banyak pihak menilai bahwa penyuluhan pertanian mempunyai andil yang
sangat besar dalam keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia. Bimbingan
masal atau yang dikenal bimas dengan metode latihan dan kunjungannya telah
berhasil mendifusikan suatu inovasi sehingga transfer pengetahuan dan teknologi
dapat terjadi secara berkelanjutan dan faktanya adalah Indonesia mencapai
swasembada beras untuk pertama kalinya pada tahun 1984.
Penyuluhan pada dasarnya adalah pendidikan non formal dimana
target/sasarannya yaitu para petani/peternak harus mengalami perubahan perilaku,
dari mulai aspek yang bersifat pengetahuan, perasaan dan akhirnya aspek prilaku.
Tentang hal ini diakui bahwa, penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku
melalui pendidikan akan memakan waktu lebih lama, tetapi perubahan perilaku yang
terjadi akan berlangsung lebih kekal. Sebaliknya, meskipun perubahan perilaku
melalui pemaksaan dapat lebih cepat dan mudah dilakukan, tetapi perubahan
perilaku tersebut akan segera hilang, manakala faktor pemaksanya sudah
dihentikan. Oleh karena itu penyuluhan merupakan investasi untuk masa depan.
Hasil dari penyuluhan tidak dapat diketahui dalam waktu yang singkat terlebih lagi
jika tujuan utama suatu program penyuluhan adalah terjadinya adopsi suatu inovasi
yang ditawarkan atau terjadinya perubahan perilaku sasaran, tentu akan
membutuhkan waktu yang relatif lama.
Kegiatan penyuluhan banyak melibatkan pertimbangan nilai. Tidak jarang
penyuluh dihadapkan pada keharusan memberi informasi tidak saja demi
kepentingan petani sendiri tetapi juga untuk kepentingan masyarakatnya secara
1
keseluruhan. Dengan demikian, dari penyuluh diinginkan kemampuannya untuk
dapat mendorong petani belajar sekaligus melakukan perubahan perilaku sasaran
tanpa mengabaikan falsafah, etika dan prinsip penyuluhan. Hal ini penting dilakukan
demi tercapainya tujuan penyuluhan itu sendiri.
II. Peranan Penyuluhan Dalam Pembangunan
Kaitan antara kemiskinan dan petani terlihat cukup erat. Di negeri ini suasana
hidup miskin memang masih terlihat melekat kuat dalam citra diri petani. Petani
bukan saja terjerat oleh kemiskinan yang bersifat alamiah, namun jika dilihat dari
penguasaan terhadap sumber daya yang ada, mereka pun tetap terjebak dalam
kondisi kemiskinan struktural.
Akhir-akhir ini sering terdengar bahwa Pemerintah sedang ramai membahas
rencana Undang Undang Sistem Penyuluhan Pertanian. Sistem penyuluhan
pertanian memang penting untuk untuk dikemas dalam suatu Undang Undang.
Pertama, karena penyuluhan pertanian adalah proses sebuah pemberdayaan dan
pemartabatan petani, dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan yang
sarat dengan pesan moral. Kedua, karena penyuluhan pertanian yang selama ini
kita lakukan, memang terbukti mampu menghantarkan petani, bahkan bangsa
Indonesia secara keseluruhan menjadi lebih terhormat.
Mengingat bahwa penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan non formal dan
bahwa pendidikan merupakan proses yang diharapkan membawa kepada
perubahan perilaku yang diinginkan, karenanya diperlukan beragam cara untuk
menciptakan situasi belajar yang baik. Cara-cara menciptakan situasi belajar
tersebut secara populer disebut dengan metode penyuluhan. Metode-metode
penyuluhan ini merupakan pendekatan dasar untuk melakukan pendekatan,
2
mendorong dan mempengaruhi anggota masyarakat petani untuk belajar (Leagans
1960; Dahama dan Bhatnagar 1980).
Pemberdayaan masyarakat sebenarnya sangat erat hubungannya dengan
empowerwnent. Pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah
penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem
yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat
yang demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu, bukan sebagai
objek, tetapi justru sebagai subjek pelaku pembangunan yang ikut menentukan
masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum.
Pada masa pembangunan seperti sekarang ini, pandangan, perhatian dan
pemeliharaan terhadap para petani di pedesaan sudah semestinya diperhatikan.
Kenyataannya kehidupan para petani di pedesaan tingkat kesejahteraannya masih
rendah. Mereka buta akan pendidikan, teknologi, sehingga produksi yang mereka
lakukan kurang maksimal. Petani di desa sangat menginginkan perubahan. Para
petani di desa tidak dapat melakukan perubahan karena terbentur pada keadaan
mereka sendiri, mereka kurang menguasai ilmu-ilmu yang dapat memajukan hasil
tani mereka. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan Entang Sastraatmadja,
(1993: 6), bahwa melalui kegiatan penyuluhan pertanian maka diharapkan dapat
dihilangkan terjadinya kelaparan dan kemiskinan di Indonesia.
Pada masa pembangunan seperti sekarang ini, pemerintah sangat
memperhatikan pendidikan bagi mereka. Pendidikan yang cocok bagi mereka
adalah pendidikan non formal yang praktis, mudah diterapkan dalam usaha-usaha
produksi produk pertanian. Untuk menumbuhkan kemandirian dan kepercayaan
masyarakat akan kemampuan mereka yang selama ini kurang berdaya diperlukan
3
adanya seorang pekerja masyarakat. Seorang pekerja masyarakat ini bisa disebut
juga sebagai penyuluh.
Peranan penyuluhan dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu: 1) menyadarkan
masyarakat atas peluang yang ada untuk merencanakan hingga menikmati hasil
pembangunan, 2) memberikan kemampuan masyarakat untuk menentukan program
pembangunan, 3) memberi kemampuan masyarakat dalam mengontrol masa
depannya sendiri, dan 4) memberi kemampuan dalam menguasai lingkungan
sosialnya.
Menurut Tonny (2003), peran seorang pekerja pengembangan masyarakat
dapat dikategorikan ke dalam empat peran, yaitu : (1) peran fasilitator (Facilitative
Roles), (2) peran pendidik (Educational Roles), (3) peran utusan atau wakil
(Representasional Roles), (4) peran teknikal (Technical Roles). Peranan fasilitator
yang dilakukan oleh pekerja pengembangan masyarakat antara lain sebagai orang
yang mampu membantu masyarakat agar masyarakat mau berpartisipasi dalam
kegiatan bertani, orang yang mampu mendengar dan memahami aspirasi
masyarakat, mampu memberikan dukungan, mampu memberikan fasilitas kepada
masyarakat.
Seorang penyuluh juga harus mampu dalam memberikan pendidikan kepada
masyarakat tani. Memberikan proses belajar yang terus menerus agar
menumbuhkan kesadara. Penyuluh juga memberikan informasi, dan memberikan
pelatihan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Funfsi lain adalah untuk
mengembangkan masyarakat, penyuluhan berperan sebagai utusan atau wakil yang
berkaitan dengan interaksi pekerja pengembangan masyarakat melalui penggunaan
media, hubungan masyarakat, jaringan antara pekerja pengembangan masyarakat
dan pekerja yang relevan, dan berbagi pengalaman dan pengetahuan baik secara
4
formal maupun informal antara pekerja pengembangan masyarakat dan antara
masyarakat.
Fungsi penyuluhan lainnya adalah menjembatani kesenjangan antara praktek
yang biasa dijalankan oleh para petani dengan pengetahuan dan teknologi yang
selalu berkembang menjadi kebutuhan para petani tersebut. Fungsi penyuluhan
dapat dianggap sebagai penyampai dan penyesuaian program nasional dan regional
agar dapat diikuti dan dilaksanakan oleh petani, sehingga program-program
masyarakat petani yang disusun dengan itikad baik akan berhasil dan mendapat
partisipasi masyarakat.
Fungsi penyuluhan yang terakhir adalah fungsi pemberian pendidikan dan
bimbingan yang berkelanjutan, yang artinya penyuluhan tidak akan berhenti begitu
saja ketika mengetahui bahwa petani di tempat mereka berikan pendidikan, ternyata
telah dapat melakukan perubahan. Namun, penyuluh tetap membantu mereka ke
arah yang lebih baik lagi.
5
BAB II. Terminologi Pengertian penyuluhan pertanian
A. Pengertian Penyuluhan
Terminologi penyuluhan (extension), pertama kali dikenal pada pertengahan
abad 19 oleh universitas Oxford dan Cambridge pada sekitar tahun 1850 (Swanson,
1997). Dalam perjalanananya, van den Ban (1985) mencatat beberapa istilah
seperti di Belanda disebut voorlichting yang berarti obor yang berfungsi untuk
menerangi, di Jerman lebih dikenal sebagai “advisory work=laporan kerja”
(beratung), vulgarization (Perancis), dan capacitacion (Spanyol). Roling=peranan
(1988) mengemukakan bahwa Freire (1973) pernah melakukan protes terhadap
kegiatan penyuluhan yang lebih bersifat top-down. Karena itu, dia kemudian
menawarkan beragam istilah pengganti extension seperti: animation, mobilization,
conscientisation. Di Malaysia, digunakan istilah perkembangan sebagai terjemahan
dari extension, dan di Indonesia menggunakan istilah penyuluhan sebagai
terjemahan dari voorlichting (Adjid, 2001).
Diskusi tentang penggunaan istilah “penyuluhan” di Indonesia akhir-akhir ini
semakin semarak. Pemicunya adalah, karena penggunaan istilah penyuluhan dirasa
semakin kurang diminati atau kurang dihargai oleh masyarakat. Hal ini, disebabkan
karena penggunaan istilah penyuluhan yang kurang tepat, terutama oleh banyak
kalangan yang sebenarnya “tidak memahami” esensi makna yang terkandung dalam
istilah penyuluhan itu sendiri. Di lain pihak, seiring dengan perbaikan tingkat
pendidikan masyarakat dan kemajuan teknologi informasi, peran penyuluhan
semakin menurun dibanding sebelum dasawarsa delapan-puluhan.
Rahmat Pambudi, pada awal 1996 mulai melontarkan pentingnya istilah
pengganti penyuluhan, dan untuk iitu dia menawarkan penggunaan istilah transfer
teknologi sebagaimana yang digunakan oleh Lionberger dan Gwin (1982). Pada
6
tahun 1998, Mardikanto menawarkan penggunaan istilah edfikasi, yang merupakan
akronim dari fungsi-fungsi penyuluhan yang meliputi: edukasi, diseminasi inovasi,
fasilitasi, konsultasi, supervisi, pemantauan dan evaluasi. Meskipun tidak ada
keinginan untuk mengganti istilah penyuluhan, Margono Slamet pada kesempatan
seminar penyuluhan pembangunan (2000) menekankan esensi penyuluhan sebagai
kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah mulai lazim digunakan oleh banyak
pihak sejak Program Pengentasan Kemiskinan pada dasawarsa1990-an.
Terkait dengan hal tersebut, dalam perjalanannya, kegiatan penyuluhan
diartikan dengan berbagai pemahaman, seperti:
1) Penyebarluasan (informasi)
2) Penerangan/penjelasan
3) Pendidikan non-formal (luar-sekolah)
4) Perubahan perilaku
5) Rekayasa sosial
6) Pemasaran inovasi (teknis dan sosial)
7) Perubahan sosial (perilaku individu, nilai-nilai, hubungan antar individu, dan
kelembagaan, dll)
8) Pemberdayaan masyarakat (community empowerment)
9) Penguatan komunitas (community strengthening)
1. Penyuluhan Sebagai Proses Penyebarluasan Informasi
Sebagai terjemahan dari kata “extension”, penyuluhan dapat diartikan sebagai
proses penyebarluasan. Dalam hal ini, penyuluhan merupakan peyebarluasan
informasi tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dihasilkan oleh
7
perguruan tinggi ke dalam praktek atau kegiatan praktis. Implikasi dari pengertian ini
adalah:
1) Sebagai agen penyebaran informasi, penyuluh tidak boleh hanya menunggu
aliran informasi dari sumber-sumber informasi (peneliti, pusat informasi,
institusi pemerintah, dll) melainkan harus secara aktif berburu informasi yang
bermanfaat dan atau dibutuhkan oleh masyarakat yang menjadi kliennya.
Dalam hubungan ini, penyuluh harus mengoptimalkan pemanfaatan segala
sumberdaya yang dimiliki serta segala media/ saluran informasi yang dapat
digunakan (media-masa, internet, dll) agar tidak ketinggalan dan tetap
dipercaya sebagai sumber informasi “baru” oleh kliennya.
2) Penyuluh harus aktif untuk menyaring informasi yang diberikan atau yang
diperoleh kliennya dari sumber-sumber yang lain, baik yang menyangkut
kebijakan, produk, metoda, nilai-nilai perilaku, dll. Hal ini penting, karena di
samping dari penyuluh, masyarakat seringkali juga memperoleh
informasi/inovasi dari sumber-sumber lain (aparat pemerintah, produsen/
pelaku bisnis, media masa, LSM) yang tidak selalu “benar” dan bermanfaat/
menguntungkan masyarakat/kliennya. Sebab, dari pengalaman menunjukkan,
bahwa informasi yang datang dari “luar” seringkali lebih berorientasi kepada
“kepentingan luar” dibanding keberpihakannya kepada kepentingan
masyarakat yang menjadi kliennya.
3) Penyuluh perlu lebih memperhatikan informasi dari “dalam” baik yang berupa
“kearifan tradisional” maupun “endegenuous technology”. Hal ini penting,
karena informasi yang berasal dari dalam, di samping telah teruji oleh waktu,
seringkali juga lebih sesuai dengan kondisi setempat, baik ditinjau dari kondisi
8
fisik, teknis, ekonomis, sosial/budaya, maupun kesesuainnya dengan
kebutuhan pengembangan komunitas setempat.
4) Pentingnya informasi yang menyangkut hak-hak politik masyarakat, di
samping inovasi teknologi, kebijakan, manajemen, dll. Hal ini penting, karena
yang untuk pelaksanaan kegiatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
seringkali sangat tergantung kepada kemauan dan keputusan politik. Sebagai
contoh, program intensifikasi padi, jagung dan kedelai terbukti tidak banyak
memberikan perbaikan kesejahteraan petani. Demikian juga yang terjadi
kaitannya dengan kebijakan impor beras, gula, daging, dll.
2. Penyuluhan Sebagai Proses Penerangan/Pemberian Penjelasan
Penyuluhan yang berasal dari kata dasar “suluh” atau obor, sekaligus sebagai
terjemahan dari kata “voorlichting” dapat diartikan sebagai kegiatan penerangan
atau memberikan terang bagi yang dalam kegelapan. Sehingga, penyuluhan juga
sering diartikan sebagai kegiatan penerangan. Sebagai proses penerangan,
kegiatan penyuluhan tidak saja terbatas pada memberikan penerangan, tetapi juga
menjelaskan mengenai segala informasi yang ingin disampaikan kepada kelompok-
kelompok sasaran yang akan menerima manfaat penyuluhan (beneficiaries),
sehingga mereka benar-benar memahaminya seperti yang dimaksudkan oleh
penyuluh atau juru-penerangnya. Terkait dengan istilah penerangan, penyuluhan
yang dilakukan oleh penyuluh tidak boleh hanya bersifat “searah” melainkan harus
diupayakan berlangsungnya komunikasi “timbal-balik” yang memusat (convergence)
sehingga penyuluh juga dapat memahami aspirasi masyarakat, manakala mereka
menolak atau belum siap menerima informasi yang diberikan . hal ini dapat ditempuh
melalui media diskusi antara pihak dinas terkait, penyuluh dan petani sasaran.
9
Hal ini penting, agar penyuluhan yang dilakukan haruslah tidak bersifat
“pemaksaan kehendak” (indoktrinasi, agitasi, dll) melainkan tetap menjamin
hubungan yang harmonis antara penyuluh dan masyarakatnya secara berkelanjutan.
3. Penyuluhan Sebagai Proses Perubahan Perilaku
Dalam perkembangannya, pengertian tentang penyuluhan tidak sekadar
diartikan sebagai kegiatan penerangan yang bersifat searah (one way) dan pasif.
Tetapi, penyuluhan adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara penyuluh
dan yang disuluh agar terbangun proses perubahan “perilaku” (behaviour) yang
merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan ketrampilan seseorang yang
dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa: ucapan,
tindakan, bahasa tubuh, dll) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil
kerjanya). Dengan kata lain, kegiatan penyuluhan tidak berhenti pada “penyebar-
luasan informasi/inovasi”, dan “memberikan penerangan”, tetapi merupakan proses
yang dilakukan secara terus-menerus, sekuat tenaga dan pikiran, memakan waktu
dan melelahkan, sampai terjadinya perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh
penerima manfaat penyuluhan (beneficiaries) yang menjadi “klien” penyuluhan”.
Sebagai contoh: Pada penyuluhan penggunaan pupuk terhadap tanaman
tertentu, kegiatan penyuluhan tidak boleh hanya berhenti pada pemberian
penerangan atau penjelasan penggunaan pupuk kepada petani, tetapi diharapkan
harus dilakukan secara terus-menerus sampai petani tersebut mau menggunakan,
bahkan secara mandiri mau berswadaya untuk membeli atau memproduksi sendiri
pupuk tersebut. Implikasi dari pengertian perubahan perilaku ini adalah:
1) Harus diingat bahwa, perubahan perilaku yang diharapkan tidak hanya
terbatas pada masyarakat/klien yang menjadi “sasaran utama” penyuluhan,
tetapi penyuluhan harus mampu mengubah perilaku semua stakeholders
10
pembangunan, terutama aparat pemerintah selaku pengambil keputusan,
(bisa aparat desa, aparat kecamatan atau pihak dinas terkait), pakar
teknologi, peneliti, pelaku bisnis, aktiivis LSM, tokoh masyarakat dan
stakeholders pembangunan yang lainnya.
2) Perubahan perilaku yang terjadi, tidak terbatas atau berhenti setelah
masyarakat/klien mangadopsi (menerima, menerapkan, mengikuti)
informasi/inovasi yang disampaikan, tetapi juga termasuk untuk selalu siap
melakukan perubahan-perubahan terhadap inovasi yang sudah diyakininya,
manakala ada informasi/inovasi/kebijakan baru yang lebih bermanfaat bagi
perbaikan kesejahteraannya.
3) Dari contoh penyuluhan pemupukan di atas, kegiatan penyuluhan tidak
berhenti sampai pada tumbuhnya swadaya masyarakat untuk menggunakan,
memproduksi atau membeli pupuk sendiri, tetapi juga kesiapannya untuk
menerima “pupuk baru” sebagai pengganti pupuk yang disuluhkan itu.
4) Perubahan perilaku yang dimaksudkan tidak terbatas pada kesediaanya
untuk menerapkan/menggunakan inovasi yang ditawarkan, tetapi yang lebih
penting dari kesemuanya itu adalah kesediaannya untuk terus belajar
sepanjang kehidupannya secara berkelanjutan demi keberlangsungan usaha
yang dikelolanya (life long education).
4. Penyuluhan Sebagai Proses Pendidikan / Proses Belajar.
Penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar diartikan bahwa,
kegiatan penyebarluasan informasi dan penjelasan yang diberikan dapat
merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses
pendidikan atau kegiatan belajar. Artinya, perubahan perilaku yang terjadi/dilakukan
oleh sasaran tersebut berlangsung melalui proses belajar. Hal ini penting untuk
11
dipahami, karena perubahan perilaku dapat dilakukan melalui beragam cara, seperti:
pembujukan, pemberian insentif/hadiah, atau bahkan melalui kegiatan-kegiatan
pemaksaan (baik melalui penciptaan kondisi lingkungan fisik maupun sosial-
ekonomi, maupun pemaksaan melalui aturan dan ancaman-ancaman).
Berbeda dengan perubahan perilaku yang dilakukan bukan melalui pendidikan,
perubahan perilaku melalui proses belajar biasanya berlangsung lebih lambat, tetapi
perubahannya relatif lebih kekal. Perubahan seperti itu, baru akan meluntur kembali,
manakala ada pengganti atau sesuatu yang dapat menggantikannya, yang memiliki
keunggulan-keunggulan “baru” yang diyakininya memiliki manfaat lebih baik secara
ekonomi maupun non-ekonomi. Lain halnya dengan perubahan perilaku yang terjadi
karena bujukan/hadiah atau pemaksaan, perubahan tersebut biasanya dapat terjadi
dalam waktu yang relatif singkat, tetapi lebih cepat pula meluntur, yaitu jika
bujukan/hadiah/pemaksaan tersebut dihentikan, berhenti atau tidak mampu lagi
melanggengkan kegiatannya.
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, dalam konsep “akademik” dapat
mudah dimaklumi, tetapi dalam prektek kegiatan, perlu dijelaskan lebih lanjut. Sebab
pendidikan yang dimaksud di sini tidak berlangsung vertikal yang lebih bersifat
“menggurui” tetapi merupakan pendidikan orang dewasa yang berlangsung
horizontal dan lateral yang lebih bersifat “partisipatif”. Dalam kaitan ini, keberhasilan
penyuluhan tidak diukur dari seberapa banyak ajaran yang disampaikan, tetapi
seberapa jauh terjadi proses belajar bersama yang dialogis, yang mampu
menumbuhkan kesadaran (sikap), pengetahuan, dan ketrampilan “baru” yang
mampu mengubah perilaku kelompok sasarannya ke arah kegiatan dan kehidupan
yang lebih menyejahterakan setiap individu, keluarga, dan masyarakatnya. Jadi,
pendidikan dalam penyuluhan adalah proses belajar bersama.
12
5. Penyuluhan Sebagai Proses Perubahan Sosial
Penyuluhan tidak sekadar merupakan proses perubahan perilaku pada diri
seseorang, tetapi merupakan proses perubahan sosial yang mencakup banyak
aspek, termasuk politik dan ekonomi yang dalam jangka panjang secara bertahap
mampu diandalkan menciptakan pilihan-pilihan baru untuk memperbaiki kehidupan
masyarakatnya .
Yang dimaksud dengan perubahan sosial di sini adalah, tidak saja perubahan
(perilaku) yang berlangsung pada diri seseorang, tetapi juga perubahan-perubahan
hubungan antar individu dalam masyarakat, termasuk struktur, nilai-nilai, dan
pranata sosialnya, seperti: demokratisasi, transparansi, supremasi hukum, dll.
6. Penyuluhan Sebagai Proses Rekayasa Sosial (Social Engineering)
Sejalan dengan pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses perubahan
sosial yang dikemukakan di atas, penyuluhan juga sering disebut sebagai proses
rekayasa sosial (social engineering) atau segala upaya yang dilakukan untuk
menyiapkan sumberdaya manusia agar mereka tahu, mau dan mampu
melaksanakan peran sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam sistem
sosialnya masing-masing. Karena kegiatan rekayasa-sosial dilakukan oleh ”pihak
luar”, maka rekayasa sosial bertujuan untuk terwujudnya proses perubahan sosial
demi terciptanya kondisi sosial yang diinginkan oleh pihak luar (perekayasa).
Pemahaman seperti itu tidak salah, tetapi tidak dapat sepenuhnya dapat diterima.
Sebab, rekayasa sosial yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki
kehidupan dan kesejahteraan kelompok sasarannya, seringkali dapat berakibat
negatif manakala hanya mengacu kepada kepentingan perekayasa, sementara
masyarakat dijadikan korban pemenuhan kehendak perekayasa.
13
Sebagai contoh: Upaya menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan memang diperlukan, tetapi jika dalam proses untuk berpartisipasi
tersebut masyarakat dituntut kesediaannya untuk banyak berkorban termasuk
mengorbankan hak-hak normatifnya sebagai warga negara (harus tunduk, tidak
boleh membantah, dll) maka proses rekayasa sosial seperti itu bukanlah perubahan
sosial sebagaimana yang dimaksud dan dikehendaki oleh kegiatan penyuluhan.
Penyuluhan Sebagai Proses Pemasaran Sosial (Social Marketing). Yang
dimaksud dengan “pemasaran sosial” adalah penerapan konsep dan atau teori-teori
pemasaran dalam proses perubahan sosial. Berbeda dengan rekayasa sosial yang
lebih berkonotasi untuk “membentuk” (to do to) atau menjadikan masyarakat menjadi
sesuatu yang “baru” sesuai yang dikehendaki oleh perekayasa, proses pemasaran
sosial dimaksudkan untuk “menawarkan” (to do for) sesuatu kepada masyarakat.
Jika dalam rekayasa sosial proses pengambilan keputusan sepenuhnya berada di
tangan perekayasa, pengambilan keputusan dalam pemasaran sosial sepenuhnya
berada di tangan masyarakat itu sendiri.
Termasuk dalam pengertian “menawarkan” di sini adalah penggunaan konsep-
konsep pemasaran dalam upaya menumbuhkan, menggerakkan dan
mengembangkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan yang
ditawarkan dan akan dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat yang bersangkutan.
Perbedaan hakiki di sini adalah, masyarakat berhak menawar bahkan menolak
segala sesuatu yang dinilai tidak bermanfaat, akan merugikan, atau membawa
konsekuensi pada keharusan masyarakat untuk berkorban dan atau mengorbankan
sesuatu yang lebih besar dibanding manfaat yang akan diterimanya.
7. Penyuluhan Sebagai Proses Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment).
14
Margono Slamet (2000) menegaskan bahwa inti dari kegiatan penyuluhan
adalah untuk memberdayakan masyarakat. Memberdayakan berarti memberi daya
kepada yang tidak berdaya dan atau mengembangkan daya yang sudah dimiliki
menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi masyarakat yang bersangkutan. Dalam
konsep pemberdayaan tersebut, terkandung pemahaman bahwa pemberdayaan
tersebut diarahkan terwujudnya masyarakat madani (yang beradab) dan mandiri
dalam pengertian dapat mengambil keputusan (yang terbaik) bagi kesejahteraannya
sendiri. Pemberdayaan masyarakat, dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan
(capacity strenghtening) masyarakat, agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif
dalam keseluruahn proses pembangunan, terutama pembangunan yang ditawarkan
oleh penguasa dan atau pihak luar yang lain (penyuluh, LSM, dll)
8. Penyuluhan Sebagai Proses Penguatan Kapasitas (Capacity Strenghtening)
Penguatan kapasitas yang dimaksudkan di sini adalah penguatan kemampuan
yang dimiliki oleh setiap individu (dalam masyarakat), kelembagaan, maupun
hubungan atau jejaring antar individu, kelompok organisasi sosial, serta pihak lain di
luar sistem masyarakatnya sampai di aras global. Kemampuan atau kapasitas
masyarakat, diartikan sebagai daya atau kekuatan yang dimiliki oleh setiap indiividu
dan masyarakatnya untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumber-daya yang
dimiliki secara lebih berhasil-guna (efektif) dan berdaya-guna (efisien) secara
berkelanjutan. Dalam hubungan ini, kekuatan atau daya yang dimiliki setiap individu
dan masyarakat bukan dalam arti pasif tetapi bersifat aktif yaitu terus menerus
dikembangkan/dikuatkan untuk “memproduksi” atau menghasilkan sesuatu yang
lebih bermanfaat.
15
Penguatan masyarakat disini, memiliki makna ganda yang bersifat timbal balik.
Di satu pihak, penguatan diarahkan untuk lebih memampukan indiividu agar lebih
mampu berperan di dalam kelompok dan masyarakat global, di tengah-tengah
ancaman yang dihadapi baik dalam kehidupan pribadi, kelompok dan masyarakat
global. Sebaliknya, penguatan masyarakat diarahkan untuk melihat peluang yang
berkembang di lingkungan kelompok dan masyarakat global agar dapat
dimanfaatkan bagi perbaikan kehidupan pribadi, kelompok, dan masyarakat global
(UNDP, 1998).
9. Penyuluhan Sebagai Proses Komunikasi Pembangunan
Sebagai proses komunikasi pembangunan, penyuluhan tidak sekadar sebagai
upaya untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan, tetapi yang lebih penting
dari itu adalah, untuk menumbuh-kembangkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan (Mardikanto, 1987). Di dalam pengertian “menumbuh-kembangkan”,
terkandung upaya-upaya untuk:
1) Menyadarkan masyarakat agar mau berpartisipasi secara sukarela, bukan
karena paksaan atau ancaman-ancaman.
2) Meningkatkan kemampuan masyarakat agar lebih mampu baik secara fisik,
mental, intelegensia, ekonomis dan non-ekonomis.
3) Menunjukkan adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk
lebih berpartisipasi.
Sedang yang dimaskud dengan “partisipasi” tidak hanya terbatas pada
kesediaan untuk berkorban, tetapi berpartisipasi dalam keseluruhan proses
pembangunan. Pengambilan keputusan tentang pentingnya pembangunan,
16
perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, dan
pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.
10.Redefenisi Penyuluhan PertanianDalam kepustakaan yang selama ini dapat dijumpai, dapat disimpulkan bahwa
penyuluhan pertanian diartikan sebagai pendidikan luar sekolah yang ditujukan
kepada petani dan keluarganya agar dapat bertani lebih baik dan berusahatani yang
lebih menguntungkan, demi terwujudnya kehidupan yang lebih sejahtera bagi
keluarga dan masyarakatnya (Wiriatmadja, 1976; Totok Mardikanto dan Sri Sutarni,
1981; Mardikanto, 1993)
Pemahaman tersebut tidak seluruhnya salah, tetapi seiring dengan terjadinya
perubahan-perubahan kehidupan masyarakat global dan tuntutan pembangunan
pertanian, baik yang menyangkut kontek dan kontennya, oleh Saragih (2002) dinilai
penting untuk melakukan “redefenisi” yang menyangkut pengertian “penyuluhan
pertanian” Perubahan-perubahan tersebut telah melanda semua “stakeholder”
pembangunan pertanian, yang membawa konsekuensi-konsekuensi terhadap
perubahan perilaku masing-masing pihak.
Meskipun demikian, dalam UU No 16 Tahun 2006, rumusan tentang pengertian
penyuluhan pertanian adalah: Proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku
usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya
dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya,
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Terhadap berbagai pengertian tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang
perlu dikritisi, yaitu:
17
a) Penyuluhan pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
pembangunan/pengembangan masyarakat dalam arti luas.
b) Dalam prakteknya, penyuluhan sebagai pendidikan selalu dikonotasikan
sebagai kegiatan pengajaran yang bersifat “menggurui” yang membedakan
status antara guru/pendidik yang selalu “lebih pintar” dengan murid/ peserta
didik yang harus menerima apa saja yang diajarkan oleh guru/pendidiknya.
c) Pemangku kepentingan (stakeholders) agribisnis tidak terbatas hanya pada
petani dan keluarganya, tetapi lebih banyak melibatkan peran masyarakat
luas.
d) Penyuluhan pertanian bukanlah kegiatan karitatif (bantuan cuma-cuma atas
dasar belas kasihan) yang menciptakan ketergantungan, tetapi diharapkan
lebih kepada kegiatan partisipatif dan perubahan prilaku yang mandiri.
e) Pembangunan pertanian harus selalu dapat memperbaiki produktivitas,
pendapatan dan kehidupan petani secara berkelanjutan.
Telaahan beragam pengertian yang terkandung dalam istilah “penyuluhan”
sebagaimana dikemukakan di atas, memberikan pemahaman bahwa penyuluhan
dapat diartikan sebagai: “proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk
memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar
bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua
stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses
pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan
partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan.
B. Saluran Komunikasi Dalam Penyuluhan
18
Saluran komununikasi dalam penyuluhan pertanian diartikan sebagai media
yang digunakan untuk meneruskan pesan dari penyuluh kepada petani sebagai
subjek penyuluhan. Dalam komunikasi tatap muka, indera penglihatan,
pendengaran, dan perabaan adalah tiga indera yang paling sering menerima
rangsangan atau pesan penyuluhan.
Rogers dan Shoemaker dalam Machmud menyatakan bahwa saluran
interpersonal memungkinkan terjadinya komunikasi efektif …. Hal ini dimungkinkan
oleh dua alasan utama. Pertama, komunikasi interpersonal memberikan pertukaran
komunikasi dua arah, di mana individu atau partisipan komunikasi dapat menjamin
adanya kejelasan atau bisa memberikan tambahan informasi tentang inovasi dari
orang lainnya secara langsung melalui suatu jaringan komunikasi. Kedua,
komunikasi interpersonal mampu membujuk individu untuk membentuk atau
merubah sikap secara kuat, khususnya sikap positif dan mau mengadopsi inovasi.
Saluran komunikasi ini adalah saluran komunikasi tatap muka yang dapat
meningkatkan umpan balik yang sangat mendukung dalam penciptaan komunikasi
partisipatif. Dalam komunikasi penyuluhan saluran yang lazim digunakan adalah
saluran tatap muka yang sangat mendukung terjadinya komunikasi penyuluhan yang
efektif.
Komunikasi tatap muka merupakan komunikasi bersaluran banyak. Dalam
waktu yang bersamaan, penyuluh mengolah informasi penyuluhan dengan sejumlah
saluran yang berbeda. Secara umum, semakin banyak saluran yang digunakan
dalam komunikasi, semakin banyak jumlah rangsangan komunikasi yang
disampaikan. Semakin banyaknya rangsangan komunikasi, makna pesan yang ingin
disampaikan oleh penyuluh akan semakin sama dengan yang di-interpretasikan oleh
subjek penyuluhan. Seorang penyuluh juga perlu mempertimbangakan tipe
19
pendekatan sebagai saluran komunikasi yang dilakukan dengan jenis metode
penyuluhan yang sangat mempengaruhi ke-efektifan penyampaian pesan
penyuluhan.
Table 1. hubungan Tipe Pendekatan (saluran komunikasi) dengan Jenis Metode Penyuluhan
Tipe pendekatan Jenis metode penyuluhan
Per-orangan Demonstrasi (demonstrasi hasil, demonstrasi cara, demplot, demonstrasi area)
Per-orangan dan kelompok
Ceramah umum, diskusi, informasi dari surat kabar, siaran radio dan TV, pameran, karyawisata, widyawisata, dan demonstrasi.
Massal Informasi dari surat kabar, majalah,poster, leaflet siaran radio dan TV
Massal dan kelompok Ceramah umum, diskusi, informasi dari kelompok, majalah, poster, leaflet, siaran radio dan TV, pameran dan widyawisata.
20
BAB III . Falsafah Penyuluhan Pertanian
Kata falsafah memiliki pengertian yang beragam. Butt (1961) mengartikan
falsafah sebagai suatu pandangan hidup. Dahama dan Bhatnagar (1980)
mengartikan falsafah sebagainya landasan pemikiran yang bersumber kepada
kebijkan moral tentang segala sesuatu yang akan dan harus diterapkan di dalam
praktek.
Dalam khasanah kepustakaan penyuluhan pertanian, banyak kita jumpai
beragam falsafah penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan itu, Ensminger (1962)
mencatat adanya 11 (sebelas) rumusan tentang falsafah penyuluhan. Di Amerika
Serikat juga telah lama dikembangkan falsafah 3-T: Teach, Truth, And Trust
(pendidikan, kebenaran dan kepercayaan/keyakinan). Artinya, penyuluhan
merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang
telah diyakini. Dengan kata lain, dalam penyuluhan pertanian, petani dididik untuk
menerapkan setiap informasi (baru) yang telah diuji kebenarannya dan telah diyakini
akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non ekonomi) bagi perbaikan
kesejahteraannya.
Rumusan lain yang lebih tua dan nampaknya paling banyak dikemukakan oleh
banyak pihak dalam banyak kesempatan adalah, yang dikutip Kelsey dan Hearne
(1955) yang menyatakan bahwa falsafah penyuluhan harus berpijak kepada
pentingnya pengembangan individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat
dan bangsanya. Karena itu, ia mengemukakan bahwa: falsafah penyuluhan adalah:
bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat
meningkatkan harkatnya sebagai manusia (helping people to help
themselves). Supadi (2006) memberikan catatan bahwa dalam budaya feodalistik,
21
pihak yang membantu selalu ditempatkan pada kedudukan yang ”lebih tinggi”
dibanding yang dibantu. Pemahaman seperti itu, sangat kontradiktif dengan teori
pendidikan kritis untuk pembebasan. Oleh karena itu, pemahaman konsep
”membantu masyarakat agar dapat membantu dirinya sendiri” harus dipahami
secara demokratis yang menempatkan kedua-belah pihak dalam kedudukan yang
setara. Dari pemahaman seperti itu, terkandung pengertian bahwa:
1) Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya bekerja
untuk masyarakat (Adicondro, 1990). Kehadiran penyuluh bukan sebagai
penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis
dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta
memelihara partisipasi masyarakat.
2) Penyuluhan tidak boleh menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu
mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat agar
semakin memiliki kemampuan untuk ber-swakarsa, swadaya, swadana, dan
swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan,
harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.
3) Penyuluhan yang dilaksanakan, harus selalu mengacu kepada terwujudnya
kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai
manusia.
Berkaitan dengan falsafah “helping people to help themselves” Ellerman (2001)
mencatat adanya 8 (delapan) peneliti yang menelusuri teori pemberian bantuan,
yaitu:
1) Hubungan Penasehat dan Aparat Birokrasi Pemerintah (Albert Hirschman),
melalui proses pembelajaran tentang: ide-ide baru, analisis keadaan dan
masalahnya yang diikuti dengan tawaran solusi dan minimalisasi
22
konfrontasi/ketegangan yang terjadi: antara aparat pemerintah dan
masyarakat, antar sesama aparat, dan antar kelompok-kelompok masyarakat
yang merasa dirugikan dan yang menikmati keuntungan dari kebijakan
pemerintah.
2) Hubungan Guru dan Murid (John Dewey), dengan memberikan:
a. Kesempatan untuk mengenali pengalamanannya,
b. Stimulus atau rangsangan untuk berpikir dan menemukan masalahnya
sendiri,
c. Memberikan kesempatan untuk melakukan “penelitian”
d. Tawaran solusi untuk dipelajari
e. Kesempatan untuk menguji idenya dengan aplikasi langsung
3) Hubungan Manajer dan Karyawan (Douglas McGregor), melalui pemberian
tanggung jawab sebagai alat kontrol diri (self controle).
4) Hubungan Dokter dan Pasien (Carl Rogers), melalui pemberian saran yang
konstruktif dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dan atau
diusahakannya sendiri. Uji-coba kegiatan melalui pemberian dana dan
manajemen dari luar, ternyata tidak akan memberikan hasil yang lebih baik.
5) Hubungan Guru Spiritual dan Murid (Soren Kierkegaard), melalui pemahaman
bahwa masalah atau kesalahan hanya dapat diketahui oleh yang
mengalaminya (diri sendiri). Guru tidak boleh menonjolkan kelebihannya,
tetapi harus merendah diri, siap melayani,dan menyediakan waktu dengan
sabar.
6) Hubungan Organisator dan Masyarakat (Saul Alinsky), melalui upaya
demokratisasi, menumbuh-kembangkan partisipasi, dan mengembangkan
keyakinan (rasa percaya diri) untuk memecahkan masalahnya sendiri.
23
7) Hubungan Pendidik dan Masyarakat (Paulo Freire), melalui proses
penyadaran dan memberikan kebebasan untuk melakukan segala sesuatu
yang terbaik menurut dirinya sendiri.
8) Hubungan Agen pembangunan dan Lembaga Lokal (E.F. Schumacher),
melalui program bantuan untuk mencermati apa yang dilakukan seseorang
(masyarakat) dan membantu agar mereka dapat melakukan perbaikan-
perbaikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.
Mengacu kepada pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses pendidikan,
di Indonesia dikenal adanya falsafah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar
Dewantoro yang berbunyi:
1) Ing ngarso sung tulodo, mampu memberikan contoh atau taladan bagi
masyarakat sasarannya;
2) Ing madyo mangun karso, mampu menumbuhkan inisiatif dan mendorong
kreativitas, serta semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba;
3) Tut wuri handayani, mau menghargai dan mengikuti keinginankeinginan
serta upaya yang dilakukan masyarakat petaninya, sepanjang tidak
menyimpang /meninggalkan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan
perbaikan kesejahteraan hidupnya.
Masih bertolak dari pemahaman penyuluhan merupakan salah satu sistem
pendidikan, Mudjiyo (1989) mengingatkan untuk mengaitkan falsafah penyuluhan
dengan pendidikan yang memiliki falsafah: idealisme, realisme dan pragmatisme,
yang berarti bahwa penyuluhan pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita
yang melandasi untuk selalu berfikir kreatif dan dinamis. Di samping itu, penyuluhan
pertanian harus selalu mengacu kepada kenyataan-kenyataan yang ada dan dapat
ditemui di lapang atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.
24
Meskipun demikian, penyuluhan harus melakukan hal-hal terbaik yang dapat
dilakukan, dan bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit direalisir.
Lebih lanjut, karena penyuluhan pada dasarnya harus merupakan bagian
integral dan sekaligus sarana pelancar atau bahkan penentu kegiatan
pembangunan, Slamet (1989) menekankan perlunya :
a) Perubahan administrasi penyuluhan dari yang bersifat “regulatif sentralistis”
menjadi “fasilitatif partisipatif ”, dan
b) Pentingnya kemauan penyuluh untuk memahami budaya lokal yang
seringkali juga mewarnai “local agriclutural practices”.
Pemahaman seperti itu, mengandung pengertian bahwa:
1) Administrasi penyuluhan tidak selalu dibatasi oleh peraturan-peraturan dari
“pusat” yang kaku, karena hal ini seringkali menjadikan petani tidak
memperoleh keleluasaan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Demikian juga halnya dengan administrasi yang terlalu “sentralistis”
seringkali tidak mampu secara cepat mengantisipasi permasalahan-
permasalahan yang timbul di daerah-daerah, karena masih menunggu
petunjuk atau restu dari pusat. Di pihak lain, dalam setiap permasalahan
yang dihadapi, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani seringkali
berdasarkan pertimbangan bagaimana untuk dapat “menyelamatkan
keluarganya”. Dalam kasus-kasus seperti itu, seharusnya penyuluh diberi
kewenangan untuk secepatnya pula mengambil inisiatifnya sendiri. Karena
itu, administrasi yang terlalu “regulatif” seringkali sangat membatasi
kemerdekaan petani untuk mengambil keputusan bagi usahataninya.
2) Penyuluh, selain memberikan “ilmu”nya kepada petani, ia harus mau belajar
tentang “ngelmu”nya petani yang seringkali dianggap tidak rasional (karena
25
yang oleh penyuluh dianggap rasional adalah yang sudah menjadi petunjuk
pusat). Padahal, praktek-praktek usahatani yang berkembang dari budaya
lokal seringkali juga sangat rasional, karena telah mengalami proses “trial
and error” dan teruji oleh waktu.
26
BAB IV. Prinsip-Prinsip Penyuluhan Pertanian
Mathews menyatakan bahwa: prinsip adalah suatu pernyataan tentang
kebijaksanaan yang dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan dan
melaksanakan kegiatan secara konsisten. Karena itu, prinsip akan berlaku umum,
dapat diterima secara umum, dan telah diyakini kebenarannya dari berbagai
pengamatan dalam kondisi yang beragam. Dengan demikian “prinsip” dapat
dijadikan sebagai landasan pokok yang benar, bagi pelaksanaan kegiatan yang
akan dilaksanakan.
Meskipun “prinsip” biasanya diterapkan dalam dunia akademis ,
Leagans(1961) menilai bahwa setiap penyuluh dalam melaksanakan kegiatannya
harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip penyuluhan. Tanpa berpegang pada
prinsip-prinsip yang sudah disepakati, seorang penyuluh (apalagi administrator
penyuluhan) tidak mungkin dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Bertolak dari pemahaman penyuluhan sebagai salah satu sistem pendidikan, maka
penyuluhan memiliki prinsip-prinsip:
1) Mengerjakan, artinya, kegiatan penyuluhan harus sebanyak mungkin
melibatkan masyarakat untuk mengerjakan/ menerapkan sesuatu. Karena
melalui “mengerjakan” mereka akan mengalami proses belajar (baik dengan
menggunakan pikiran, perasaan, dan ketram-pilannya) yang akan terus
diingat untuk jangka waktu yang lebih lama.
2) Akibat, artinya, kegiatan penyuluhan harus memberikan akibat atau pengaruh
yang baik atau bermanfaat. Sebab, perasaan senang/puas atau tidak
senang/kecewa akan mempengaruhi semangatnya untuk mengikuti kegiatan
belajar/ penyuluhan dimasamasa mendatang.
27
3) Asosiasi, artinya, setiap kegiatan penyuluhan harus dikaitkan dengan
kegiatan lainnya. Sebab, setiap orang cenderung untuk mengaitkan/
menghubungkan kegiatannya dengan kegiatan / peristiwa yang lainnya,
misalnya, dengan melihat cangkul orang diingatkan kepada penyuluhan
tentang persiapan lahan yang baik; melihat tanaman yang kerdil/subur, akan
mengingatkannya kepada usahaa-usaha pemupukan, dll.
Lebih lanjut, Dahama dan Bhatnagar (1980) mengungkapkan prinsip-prinsip
penyuluhan yang lain yang mencakup:
1) Minat dan Kebutuhan, artinya, penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu
kepada minat dan kebutuhan masyarakat. Mengenai hal ini, harus dikaji
secara mendalam: apa yang benar-benar menjadi minat dan kebutuhan yang
dapat menyenangkan setiap individu maupun segenap warga masyarakatnya,
kebutuhan apa saja yang dapat dipenyui sesuai dengan terse-dianya
sumberdaya, serta minat dan kebutuhan mana yang perlu mendapat prioritas
untuk dipenuhi terlebih dahulu.
2) Organisasi masyarakat bawah, artinya penyuluhan akan efektif jika mampu
melibatkan/menyentuk organisasi masyarakat bawah, sejak da ri setiap
keluarga/kekerabatan.
3) Keragaman budaya, artinya, penyuluhan harus memperha-tikan adanya
keragaman budaya. Perencanaan penyuluhan harus selalu disesuaikan
dengan budaya lokal yang beragam. Di lain pihak, perencanaan penyuluhan
yang seragam untuk seti-ap wilayah seringkali akan menemui hambatan yang
bersumber pada keragaman budayanya.
4) Perubahan budaya, artinya setiap kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan
perubahan budaya. Kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan dengan bijak
28
dan hatihati agar perubahan yang terjadi tidak menimbulkan kejutan-kejutan
budaya. Karena itu, setiap penyuluh perlu untuk terlebih dahulu
memperhatikan nilai-nilai budaya lokal seperti tabu, kebiasaan-kebiasaan, dll.
5) Kerjasama dan partisipasi, artinya penyuluhan hanya akan efektif jika mampu
menggerakkan partisipasi masyarakat untuk selalu bekerjasama dalam
melaksanakan program-program penyuluhan yang telah dirancang.
6) Demokrasi dalam penerapan ilmu, artinya dalam penyuluhan harus selalu
memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menawar setiap ilmu
alternatif yang ingin diterapkan. Yang dimaksud demokrasi di sini, bukan
terbatas pada tawarmenawar tentang ilmu alternatif saja, tetapi juga dalam
penggunaan metoda penyuluhan, serta proses pengambilan keputusan yang
akan dialkukan oleh masyarakat sasarannya.
7) Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan penyuluhan harus diupayakan
agar masyarakat dapat “belajar sambil bekerja” atau belajar dari pengalaman
tentang segala sesuatu yang ia kerjakan. Dengan kata lain, penyuluhan tidak
hanya sekadar menyampaikan informasi atau konsep-konsep teoritis, tetapi
harus memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk mencoba
atau memperoleh pangalaman melalui pelaksanaan kegiatan secara nyata.
8) Penggunaan metoda yang sesuai, artinya penyuluhan harus dilakukan
dengan penerapan metoda yang selalu disesuaikan dengan kondisi
(lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai sosial budaya) sasarannya.
Dengan kata lain, tidak satupun metoda yang dapat diterapkan di semua
kondisi sasaran dengan efektif dan efisien.
9) Kepemimpinan, artinya, penyuluh tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang
hanya bertujuan untuk kepentingan/ kepuasannya sendiri dan harus mampu
29
mengembangkan mengembangkan kepemimpinan. Dalam hubungan ini,
penyuluh sebaiknya mampu menumbuhkan pemimpin-pemimpin lokal atau
memanfaatkan pemimpin lokal yang telah ada untuk membantu kegiatan
penyuluhannya.
10) Spesialis yang terlatih, artinya, penyuluh harus benar-benar pribadi yang
telah memperoleh latihan khusus tentang segala sesuatu yang sesuai
dengan fungsinya sebagai penyuluh. Penyuluh-penyuluh yang disiapkan
untuk menangani kegiatan kegiatan khusus akan lebih efektif dibanding
yang disiapkan untuk melakukan beragam kegiatan (meskipun masih
berkaitan dengan kegiatan pertanian).
11) Segenap keluarga, artinya penyuluh harus memperhatikan keluarga sebagai
satu kesatuan dari unit sosial. Dalam hal ini, terkandung pengertian-
pengertian:
a) Penyuluhan harus dapat mempengaruhi segenap anggota keluarga,
b) Setiap anggota keluarga memiliki peran/pengaruh dalam setiap
pengambilan keputusan,
c) Penyuluhan harus mampu mengembangkan pemahaman bersama
d) Penyuluhan mengajarkan pengelolaan keuangan keluarga
e) Penyuluhan mendorong keseimbangan antara kebutuhan keluarga dan
kebutuhan usahatani,
f) Penyuluhan harus mampu mendidik anggota keluarga yang masih
muda,
g) Penyuluhan harus mengembangkan kegiatan-kegiatan keluar-ga,
memperkokoh kesatuan keluarga, baik yang menyangkut masalah
sosial, ekonomi, maupun budaya.
30
h) Mengembangkan pelayanan keluarga terhadap masyarakat-nya.
12) Kepuasan, artinya, penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya
kepuasan. Adanya kepuasan, akan sangat menentukan keikutsertaan
sasaran pada programprogram penyuluhan selanjutnya.
Terkait dengan pergeseran kebijakan pembangunan pertanian dari
peningkatan produktivitas usahatani ke arah pengembangan agribisnis, dan di lain
pihak seiring dengan terjadinya perubahan sistem desentralisasi pemerintahan di
Indonesia, telah muncul pemikiran tentang pripn-sprinsip (Soedijanto, 2001 ):
1) Kesukarelaan, artinya, keterlibatan seseorang dalam kegiatan penyuluhan
tidak boleh berlangsung karena adanya pemaksaan, melainkan harus
dilandasi oleh kesadaran sendiri dan motivasinya untuk memperbaiki dan
memecahkan masalah kehidupan yang dirasakannya.
2) Otonom, yaitu kemampuannya untuk mandiri atau melepaskan diri dari
ketergantungan yang dimiliki oleh setiap individu, kelompok, maupun
kelembagaan yang lain.
3) Keswadayaan, yaitu kemampuannya untuk merumuskan melaksanakan
kegiatan dengan penuh tanggung jawab, tanpa menunggu atau
mengharapkan dukungan pihak luar.
4) Partisipatip, yaitu keterlibatan semua stakeholders sejak peng-ambilan
keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, eva-luasi, dan
pemanfaatan hasil-hasil kegiatannya.
5) Egaliter, yang menempatkan semua stakeholders dalam kedudukan yang
setara, sejajar, tidak ada yang ditinggikan dan tidak ada yang merasa
diirendahkan.
31
6) Demokrasi, yang memberikan hak kepada semua pihak untuk
mengemukakan pendapatnya, dan saling menghargai pendapat maupun
perbedaan di antara sesama stakeholders.
7) Keterbukaan, yang dilandasi kejujuran, saling percaya, dan saling
mempedulikan.
8) Kebersamaan, untuk saling berbagi rasa, saling membantu dan
mengembangkan sinergisme.
9) Akuntabilitas, yang dapat dipertanggung jawabkan dan terbuka untuk diawasi
oleh siapapun.
10)Desentralisasi, yang memberi kewenangan kepada setiap daerah otonom
(kabupaten dan kota) untuk mengoptimalkan sumberdaya pertanian bagi
sebesarbesar kemakmuran masyarakat dan kesinambungan pembangunan.
Lebih lanjut Padmowihardjo (2006) menyatakan bahwa; terdapat sepuluh
prinsip penyuluhan supaya proses belajar berlangsung efektif dan efisien yaitu: (1)
kemitraan, (2) pengalaman nyata, (3) kebersamaan, (4) partisipasi, (5)
keswadayaan, (6) kesinambungan, (7) manfaat, (8) kesiapan, (9) lokalitas, (10)
keterpaduan, penjelasannya sebagai berikut;
1. Prinsip kemitraan, dalam hal ini antara penyuluh dengan yang belajar/petani
berlaku sebagai mitra, kedudukan mereka sederajat.
2. Prinsip pengalaman nyata, penyuluhan berlangsung dalam kehidupan nyata (real
life situation). Jika petani belajar memupuk tanamaan padi maka sebaiknya
dilakukan di sawah, kalau mau belajar berdagang maka dilaksanakan di pasar,
dst,
32
3. Prinsip kebersamaan, penyuluhan dilaksasnakan dengan media kelompok,
interaksi antar sesama anggota kelompok yang belajar. Juga interaksi dengan
penyuluh melalui media kelompok dipentingkan.
4. Prinsip partisipasi, seluruh peserta belajar seyogyanya berpartisipasi aktif selama
proses belajar, yaitu baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
belajar.
5. Prinsip keswadayaan, yaitu suatu prinsip yang mendorong kemandirian, sebagai
seorang yang mampu melakukan peran sebagai subyek atau pelaku kegiatan.
6. Prinsip kesinambungan, prinsip ini menjamin terwujudnya konsep belajar seumur
hidup (live long education). Adanya materi belajar yang dihadapi pada masa
lalu, masa kini, dan masa mendatang.
7. Prinsip manfaat, apa yang dipelajari menjamin terwujudnya pemenuhan
kebutuhannya.
8. Prinsip kesiapan, para petani orang dewasa hanya akan belajar dengan baik jika
siap secara fisik maupun mentalnya. Walaupun petani orang dewasa, jika diajak
belajar proses pemupukan yang menggunakan rumus-rumus kimia, maka para
petani biasanya secara mental belum siap.
9. Prinsip lokalitas, materi yang dipelajari dalam pendidikan orang dewasa
sebaiknya bersifat lokal, hal-hal yang memang dihadapi oleh peserta
penyuluhan.
10.Prinsip Keterpaduan, materi atau pengalaman belajar petani sebaiknya tidak
parsial, tetapi terintrgrasi atau terdapat keterpaduan dalam materi yang dipelajari.
33
BAB V. Etika Penyuluhan
Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah “kegiatan penyuluhan”
bukan lagi menjadi kegiatan sukarela, tetapi telah berkembang menjadi “profesi”.
Meskipun demikian, pelaksanaan penyuluhan pertanian belum sungguh-sungguh
dilaksanakan secara profesional. Hal ini terlihat pada:
1) Kemampuan penyuluh untuk melayani kliennya yang masih terpusat pada
aspek teknis budidaya pertanian, sedang aspek manajemen, pendidikan
kewirausahaan, dan hak-hak politik petani relatif tidak tersentuh.
2) Kelambanan transfer inovasi yang dilakukan penyuluh dibanding
kecepatan inovasi yang ditawarkan kepada masyarakat oleh pelaku bisnis,
LSM, media-masa dan stakeholder yang lain.
3) Kebanggaan penyuluh terhadap jabatan fungsional yang disandangnya
yang lebih rendah dibanding harapannya untuk memperoleh kesempatan
menyandang jabatan struktural.
4) Kinerja penyuluh yang lebih mementingkan pengumpulan “credit point”
dibanding mutu layanannya kepada masyarakat.
5) Persepsi yang rendah terhadap kinerja penyuluh yang dikemukakan oleh
masyarakat petani dan stakeholder yang lain.
Kenyataan-kenyataan seperti itu, sudah lama disadari oleh masyarakat
penyuluhan pertanian di Indonesia, sehingga pada Kongres Penyuluhan Pertanian
ke I pada tahun 1986 disepakati untuk merumuskan “Etika Penyuluhan” yang
seharusnya dijadikan acuan perilaku penyuluh.
Pengertian tentang etika, senantiasa merujuk kepada tata pergaulan yang khas
atau ciri-ciri perilaku yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengasosiasikan
diri, dan dapat merupakan sumber motivasi untuk berkarya dan berprestasi bagi
34
kelompok tertentu yang memilikinya. Etika bukanlah peraturan, tetapi lebih dekat
kepada nilai-nilai moral untuk membangkitkan kesadaran untuk beriktikad baik dan
jika dilupakan atau dilanggar akan berakibat kepada tercemarnya pribadi yang
bersangkutan, kelompoknya, dan anggota kelompok yang lainnya (Muhamad, 1987).
Sehubungan dengan itu, Herman Soewardi mengingatkan bahwa penyuluh
harus mampu berperilaku agar masyarakat selalu memberikan dukungan yang tulus
ikhlas terhadap kepentingan nasional. Tentang hal ini, Padmanegara (1987)
mengemukakan beberapa perilaku yang perlu ditunjukkan atau diragakan oleh
setiap penyuluh (pertanian), yang meliputi:
1) Perilaku sebagai manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa, jujur, dan disiplin.
2) Perilaku sebagai anggota masyarakat, yaitu mau menghormati
adat/kebiasaan masyarakatnya, menghormati petani dan keluarganya
(apapun keadaan dan status sosial ekonominya), dan menghormati
sesama penyuluh.
3) Perilaku yang menunjukkan penampilannya sebagai penyuluh yang andal,
yaitu: berkeyakinan kuat atas manfaat tugasnya, memiliki tanggungjawab
yang besar untuk melaksanakan pekerjaannya, memiliki jiwa kerjasama
yang tinggi, dan berkemampuan untuk bekerja teratur.
4) Perilaku yang mencerminkan dinamika, yaitu ulet, daya mental dan
semangat kerja yang tinggi, selalu berusaha mencerdaskaan diri, dan
selalu berusaha meningkatkan kemampuannya
Proses belajar bersama dalam penyuluhan, sebenarnya tidak hanya diartikan
sebagai kegiatan belajar secara insidental untuk memecahkan masalah yang
sedang dihadapi, tetapi yang lebih penting dari itu adalah penumbuhan dan
35
pengembangan semangat belajar seumur hidup (long life learning) secara mandiri
dan berkelanjutan.
Selain etika, di dalam penyuluhan hendaknya juga harus memperhatikan
faktor teknik dan proses berkomunikasi, Sejalan dengan pemahaman tentang
“komunikasi memusat” Soemardjo (1999) mengemukakan bahwa dari hasil
penelitiannya terbukti memberikan pengaruh signifikan terhadap mutu penyuluhan
yang dilakukan oleh penyuluh untuk memandirikan petani. Dengan kata lain, proses
penyuluhan partisipatif yang dibarengi dengan proses komunikasi memusat tersebut
merupakan metoda yang layak dikembangkan.
Terkait dengan proses komunikasi memusat dalam kegiatan penyuluhan
tersebut, dapat ditarik pokok-pokok pemahaman sebagai berikut:
1. Proses komunikasi di dalam penyuluhan, harus merupakan proses komunikasi
timbal-balik, dan bukannya komunikasi searah yang sering dilakukan di dalam
proses penerangan yang dilakukan melalui media-masa.
2. Kedudukan penyuluh adalah sejajar dengan kliennya dan stakeholder yang lain.
Artinya, setiap penyuluh harus menghargai dan mau mendengarkan respon yang
diberikan oleh masyarakat yang menjadi kliennya, dalam proses belajar
bersama.
3. Respon yang diberikan oleh klien, tidak harus sesuai dengan yang diharapkan
oleh penyuluhnya. Yang penting, selama komunikasi harus terjadi interaksi yang
saling menghargai pendapat pihak yang lainnya, sebagai masukan yang perlu
dipikirkan sebagai rangsangan terjadinya proses belajar.
Dengan demikian, semua pihak benar-benar mengalami proses belajar
bersama.
36
Agar penyuluhan dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan, perlu
perhatian terhadap: "kejelasan komunikasi" yang sangat tergantung kepada
keempat unsur komuni-kasinya, yaitu:
1. Unsur penyuluh dan sasarannya, yang merupakan unsur-unsur utama yang
menentukan keberhasilan komunikasi
Di dalam kegiatan penyuluhan, sering muncul gangguan komunikasi yang
disebabkan oleh:
a) Kekurangtrampilan penyuluh/sasaran untuk berkomunikasi,
b) Kesenjangan tingkat pengetahuan penyuluh dan sasaran,
c) Sikap yang kurang saling menerima dengan baik, dan,
d) Perbedaan latar belakang sosial budaya yang dimiliki oleh penyuluh
dengan sasarannya.
Karena itu, penyuluh sangat dituntut untuk selalu berusaha:
a) Meningkatkan ketrampilannya berkomunikasi,
b) Menyampaikan pesan dengan cara/bahasa yang mudah dipahami,
c) Bersikap baik (meskipun sadar tidak disukai),
d) Memahami, mengikuti, atau setidak-tidaknya tidak menyinggung nilai-nilai
sosial budaya sasaran (meskipun dia sendiri benar-benar tidak
menyukainya).
2. Unsur pesan; Persyaratan utama agar pesan dapat diterima dengan jelas oleh
sasaran, haruslah:
a) Mengacu kepada kebutuhan masyarakat, dan disam-paikan pada saat
sedang dan atau segera akan dibutuh-kan.
37
b) Disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami
c) Tidak memerlukan korbanan yang memberatkan
d) Memberikan harapan peluang keberhasilan yang ting-gi, dengan tingkat
manfaat yang merangsang.
e) Dapat diterapkan sesuai dengan kondisi (pengetahuan, ketrampilan,
sumberdaya yang dimiliki/dapat diusaha-kan) masyarakatnya.
3. Unsur media/saluran komunikasi
Agar pesan dapat diterima dengan jelas, maka saluran yang digunakaan
harus terbebas dari gangguan. Baik gangguan teknis (jika menggunakaan media
masa), ataupun gangguan sosial budaya dan psikologis (jika menggunakan media
antar pribadi).
Di lain pihak, pilihan media yang akan digunakan, perlu disesuaikan dengan
selera masyarakat setempat, dengan senantiasa mempertimbangkan kemampuan
sumberdaya (dana, keterampilan, dan peralatan yang tersedia). Tentang hal ini,
harus dipahami bahwa media-masa (elektonik) yang modern, canggih dan mahal
tidak selalu lebih efektif dibanding media inter-personal dan media-tradisional.
38
BAB VI. Metode Penyuluhan
Terdapat berbagai macam metode penyuluhan pertanian. Untuk
memperbandingkan berbagai metode tersebut bisa dilakukan berdasarkan teknik
komunikasi, jumlah sasaran dan indera penerima sasaran (Wiriatmadja, 1990).
6.1. Metode Berdasarkan teknik komunikasi
Berdasarkan teknik komunikasi metode penyuluhan dapat dibedakan antara
yang langsung (muka ke muka/ face to face communication) dan yang tidak
langsung (indirect communication). Metode yang langsung digunakan pada waktu
penyuluhan pertanian berhadapan muka dengan sasarannya sehingga memperoleh
respon dari sasarannya dalam waktu yang relatif isngkat (Mardikanto, 1993).
Misalnya pembicaraan di balai desa, di sawah, dalam kursus, demonstrasi dan
sebagainya. Metode yang langsung ini dianggap lebih efektif, meyakinkan dan
mengakrabkan hubungan antara penyuluh dan sasaran serta cepatnya respon atau
umpan balik dari sasaran (Martanegara, 1993). Dalam kondisi terbatasnya
personalia, kurangnya saranan transportsasi, terbatasnya biaya dan waktu maka
metode ini kurang efisien.
Metode yang tidak langsung digunakan oleh penyuluhan pertanian/peternakan
yang tidak langsung berhadapan dengan sasaran, tetapi menyampaikan pesannya
melalui perantara (medium atau media). Contohnya adalah media cetak (majalah,
koran), media elektronik (radio, televisi), media pertunjukan atau sandiwara,
pameran dan lain-lain. Metode tidak langsung ini dapat menolong banyak sekali
apabila metode langsung tidak memungkinkan digunakan. Terutama dalam upaya
menarik perhatian dan menggugah hati sasaran. Siaran lewat radio dan televisi
39
dapat menarik banyak perhatian, bila ditangani secara tepat. Pameran yang baik
diselenggarakannya akan baik memberikan kesan yang lama dan meyakinkan.
Demikian pula halnya dengan pertunjukan film atu slides yang sekaligus dapat
memberika hiburan dan pengetahuan umum kepada masyarakat di pedesaan.
Namun metode penyuluhan tak langsung tidak memungkinkan penyuluh
mendapatkan respon dari sasaran dalam waktu realtif singkat (Mardikanto, 1993).
6.2. Metode berdasarkan jumlah sasasaran dan proses adopsi
Berdasarkan jumlah sasaran dan proses adopsi maka penyuluhan dibedakan
menjadi hubungan perseorangan, hubungan kelompok dan hubungan masal.
Metode dengan hubungan perseorangan digunakan penyuluhan pertanian untuk
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan masing-masing orangnya.
Misalnya adalah kunjungan ke rumah, ke sawah, ke kantor, pengiriman surat kepada
perseorangan dan hubungan telepon. Dalam banyak hal, hubungan perseorangan
diperlukan agar petani menerapkan rekomendasi yang dianjurkan.
Metode dengan hubungan kelompok digunakan oleh penyuluhan pertanian
untuk menyampaikan pesan kepada kelompok. Metode ini sesuai dengan keadaan
dan norma sosial dari masyarakat pedesaan Indonesia, seperti hidup berkelompok,
bergotong-royong dan berjiwa musyawarah (Rasida, 1991 ; Martanegara, 1993).
Contohnya adalah pertemuan, demontrasi, karya wisata, pameran, perlombaan,
kursus, diskusi kelompok dan lain-lain. Metode ini dapat meningkatkan tahapan
minat dan perhatian ke tahapan evaluasi dan mencoba menerapkan rekomendasi
yang dianjurkan.
Metode dengan hubungan masal digunakan oleh penyuluhan pertanian untuk
menyampaikan pesan langsung atau tidak langsung kepada banyak orang sekaligus
40
pada waktu yang hampir bersamaan. Contohnya adalah pidato dalam pertemuan
besar, siaran pedesaan lewat radio dan televisi, pertunjukan wayang atau dagelan,
penyebaran bahan cetakan, penempelan poster, pembentangan spanduk dan lain-
lain. Metode ini digunakan untuk menarik minat dan perhatian masyarakat akan
sesuatu rekomendasi usaha tani.
6.3. Metode berdasarkan indera penerima
Berdasarkan indera penerima pada sasaran metode penyuluhan dapat
digolongkan menjadi metode yang dapat dilihat, metode yang dapat didengar serta
metode yang dapat dilihat dan didengar. Dalam metode yang dapat dilihat, pesan
penyuluhannya diterima oleh sasaran melauli indera penglihatan. Contohnya adalah
metode publikasi barang cetakan, gambar, poster, leaflet dan lain-lain. Pertunjukan
film bisu dan slide tanpa penjelasan lisan, pameran tanpa penjelasan lisan, surat-
menyurat dan sebagainya. Dalam metode yang dapat didengar pesan
penyuluhannya diterima oleh sasaran melalui indera pendengaran. Contohnya
siaran lewat radio dan tape recorder, hubungan melalui telepon, pidato ceramah dan
lain-lain. Sedangkan metode yang dapat dilihat dan didengar pesan penyuluhannya
diterima oleh sasaran melalui indera penglihatan dan pendengaran sekaligus.
Contohnya adalah metode pertunjukan film bersuara, siaran lewat televisi, wayang,
kursus berupa pelajaran dikelas dan prakteknya, karya wisata, pameran dengan
penjelasan lisan.
6.4. Metode Penyuluhan yang Efektif dan Efisien
Suatu metode disebut efektif apabila dengan metode yang digunakan dalam
suatu kegiatan penyuluhan, tujuan yang diinginkan tercapai (Martanegara, 1993).
41
Dalam ini metode penyuluhan dikatakan efektif apabila tercapainya tahap penerapan
(adoption) dalam proses adopsi. Unsur-unsur dari keefektifan metode penyuluhan
adalah (Martanegara, 1993) :
1. Tingkat kemampuan penyuluh, yaitu pengetahuan dan keterampilan penyuluh
dalam memberikan informasi penyuluhan.
2. Keadaan alat bantu penyuluhan yaitu ketersediaan alat bantu pada saat
penyuluhan.
3. Kesesuaian waktu dan tempat penyuluhan yaitu kesesuaian dan ketepatan
waktu pertemuan dan tempat pelaksanaannya.
4. Materi penyuluhan, yaitu ketepatan dan kesesuaian materi penyuluhan
dengan masalah yang dihadapi.
5. Kondisi dan tingkat adopsi petani.
6. Kesesuaian dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu kejelasan dan kesesuai
tujuan penyuluhan dengan kepentingan-kepentingan sasaran.
Sedangkan efisien berarti hemat, dalam arti menggunakan semua sumber
daya (tenga, waktu, pikiran dan biaya) sekecil mungkin untuk mendapatkan hasil
sebesar-besar (tujuan penyuluhan tercapai). Dengan kata lain, metode yang
digunakan dalam penyuluhan tidak menghabiskan banyak biaya, waktu, tenaga dan
pikiran.
6.5. Mengefektifkan Komunikasi Dalam Penyuluhan Pertanian
Kendala umum yang menyebabkan kegagalan komunikasi, adalah:
1. Komunikasi yang tidak efisien, yang disebabkan karena:
42
Tujuan komunikasi yang tidak jelas, baik menurut penyuluh maupun bagi
masyarakat sasarannya, terutama jika penyuluh kurang melakukan
persiapan menyuluh.
Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh komunika-tor (gerakan-gerakan,
ucapan-ucapan yang selalu dilakukan secara berulang-ulang)
2. Salah pengertian, yang disebabkan karena:
Perbedaan tujuan penyuluh yang berbeda dengan tujuan sasarannya, dan
Perbedaan latar belakang: pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya
penyuluh dengan sasarannya.
Sehubungan dengan itu, Cooley (1971) memberikan acuan untuk
mengefektifkan komunikasi dalam penyuluhan, yaitu dengan memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Harus diupayakan adanya kepentingan yang sama ("overlaping of interest")
antara kebutuhan yang dirasakan oleh penyuluh dan masyarakat sasarannya.
2. Pesan yang disampaikan harus merupakan (salah satu) pemecahan masalah
yang sedang dihadapi oleh masyarakat sasarannya.
3. Komunikator meyakini keunggulan pesan yaang disam-paikan, dan ia
memiliki keyakinan bahwa masyarakat sangat mengharapkan bantuannya.
4. Pesan yang disampaikaan harus mengacu kepada kepuasan dan perbaikan
mutu hidup kedua belah pihak (terutama bagi sasarannya).
Di samping itu, Katz (Mardikanto, 1983) menekankan agar setiap penyuluh
harus mampu menciptakan suasana (dalam dirinya sendiri maupun terhadap
masyarakat sasarannya):
43
1. Berkurangnya "ego defensif" (mepertahankan keakuan sebagai yang serba
paling hebat). Sebab, di dalam penyuluhan yang pada hakekatnya
merupakan suatu proses pendidikan orang dewasa, masing-masing pihak
dituntut untuk mau membuka dialog dalam arti mau menerima pendapat
orang lain, dan menempatkan dirinya sejajar atau bahkan berada di bawah
orang lain. Tanpa adanya kesediaan untuk menerima pendapat orang lain,
mustahil dialog itu dapat berlangsung dengan baik.
2. Berkurangnya "value expresif" (mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya
secara kaku). Sebagai proses komunikasi, dialog yang berlangsung di dalam
penyuluhan harus dilakukan dengan kesediaan masing-masing pihak yang
berkomunikasi untuk beremphati (dalam arti mampu memahami latar
belakang sosial budaya dan jalan pikiran serta sudut pandang orang lain).
3. Berkembangnya sikap "utilitarian" (mencari kebersamaan dan tumbuh
berkembangnya keinginan menambah pengetahuan ("knowledge").
44
BAB VII. PROSES ADOPSI INOVASI
I. Pengertian Adopsi
Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan
sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa:
pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri
seseorang setelah menerima "inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat
sasarannya.
Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-benar
dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta menghayatinya dalam
kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara
langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan
sikap, pengetahuan, dan atau ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di dalam
proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi itu sendiri lebih
merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk melakukan penyesuaian terhadap
kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar merupakan proses penerimaan sesuatu
yang "baru" (inovasi), yaitu menerima sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan
oleh pihak lain (penyuluh).Proses adopsi inovasi merupakan proses kejiwaan/mental
yang terjadi pada diri petani pada saat menghadapi suatu inovasi, dimana terjadi
proses penerapan suatu ide baru sejak diketahui atau didengar sampai
diterapkannya ide baru tersebut. Pada proses adopsi akan terjadi perubahan-
perubahan dalam perilaku sasaran umumnya akan menentukan suatu jarak waktu
tertentu. Cepat lambatnya proses adopsi akan bergantung dari sifat dinamika
sasaran.
Rogers dan Shoemaker (1971) adopsi adalah proses mental, dalam
mengambil
45
keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut
tentang penerimaan dan penolakan ide baru tersebut. Sedangkan Feder dkk (1981)
adopsi didefenisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar, mengetahui
inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Di lain pihak Samsudin (1994) menyatakan
bahwa adopsi adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide-ide dari suatu pihak,
disampaikan kepada pihak kedua, sampai ide tersebut diterima oleh masyarakat
sebagai pihak kedua. Selanjutnya menurut Mardikanto (1993) adopsi dalam
penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang
berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah
menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Penerimaan
disini mengandung arti tidak sekedar “tahu” tetapi dengan benar-benar dapat
dilaksanakan atau diterapkan dengan benar serta menghayatinya. Penerimaan
inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung
oleh orang lain sebagai cerminan dari ada nya perubahan sikap, pengetahuan, dan
keterampilannya. Sehubungan dengan itu Rogers dan Shoemaker 1971 (dalam
Deptan 2001) mengemukakan lima tahap proses adopsi yaitu: (1) Awareness (tahu
dan sadar), pertama kali mendapat suatu ide dan praktek baru, (2) Interest (minat),
mencari rintisan informasi, (3) Evaluation (evaluasi), menilai manfaat inovasi yaitu
penilaian tentang untung ruginya sesuatu inovasi bila ia melaksanakannya
(dapatkah saya mengerjakannya), (4) Trial (mencoba), mencoba menerapkan
ivovasi pada skala kecil, (5) Adoption (adopsi), menerapkan inovasi pada skala
besar pada usahataninya.
Lima tahap adopsi ini bukan merupakan pola kaku yang pasti diikuti oleh
petani, tetapi sekedar menunjukkan adanya lima urutan yang sering ditemukan oleh
peneliti maupun petani. Peneliti menunjukkan perlunya waktu yang lama antara saat
46
pertama kali petani mendengar suatu inovasi dengan saat melakukan adopsi.
Pengklasifikasian kelompok pengadopsi. Ciri-ciri yang membedakan setiap
kelompok mengadopsi diringkas sebagai berikut:
1. Pembaharu (innovator)
a) Lahan usaha tani luas, pendapatan tinggi
b) Status sosial tinggi
c) Aktif di masyarakat
d) Banyak berhubungan dengan orang secara formal dan informal
e) Mencari informasi langsung ke lembaga penelitian dan penyuluh
pertanian
f) Tidak disebut sebagai sumber informasi oleh petani lainnya
2. Pengadopsi Awal (Early Adopter)
a) Usia lebih muda
b) Pendidikan lebih tinggi
c) Lebih aktif berpartisipasi di masyarakat
d) Lebih banyak berhubungan dengan penyuluh pertanian
e) Lebih banyak menggunakan surat kabar, majalah dan buletin
3. Mayoritas Awal (Early Majority)
a) Sedikit di atas rata-rata dalam umur, pendidikan dan pengalaman
petani
b) Sedikit lebih tinggi dalam status sosial
c) Lebih banyak menggunakan surat, majalah dan buletin
d) Lebih sering menghadiri pertemuan pertanian
e) Lebih awal dan lebih banyak mengadopsi dari pada mayoritas lambat.
4. Mayoritas Lambat (Late Majority)
47
a) Pendidikan kurang
b) Lebih tua
c) Kurang aktif berpartisipasi di masyarakat
d) Kurang berhubungan dengan penyuluhan pertanian
e) Kurang banyak menggunakan surat kabar, majalah, buletin.
5. Kelompok Lamban (Laggard)
a) Pendidikan kurang
b) Lebih tua
c) Kurang aktif berpatisipasi di masyarakat
d) Kurang berhubungan dengan penyuluhan
e) Kurang banyak menggunakan surat kabar, majalah, buletin.
Dalam tahap tahu media massa seperti radio, televisi, surat kabar dan bulletin
paling banyak digunakan. Peringkat berikutnya adalah teman dan tetangga,
terutama petani sejawat, menyusul penyuluh pertanian dan pedagang. Dalam tahap
minat memerlukan informasi yang rinci mengenai inovasi. Media masa atau petani
lain merupakan sumber informasi yang paling banyak disebut, selanjutnya penyuluh
pertanian dan pedagang. Dalam tahap evaluasi petani harus menilai manfaat inovasi
maupun kecocokannya dengan keadaan setempat.
Patani sejawat yang berpengalaman merupakan sumber informasi peringkat
pertama. Selanjutnya penyuluh pertanian, pedagang dan media massa. Dalam
tahap mencoba petani memerlukan informasi mengenai penggunaan inovasi. Teman
dan tetangga merupakan sumber informasi peringkat pertama, selanjutnya penyuluh
pertanian, pedagang dan media massa.
Dalam tahap adopsi pengalaman pribadi dan petani sejawat merupakan factor
yang paling penting dalam penggunaan inovasi yang berkesinambungan. Penyuluh
48
pertanian dan media massa dianggap penting manakala memperkuat keputusan
yang diambil atau memberikan informasi yang memperlancar keberhasilan.
II. Inovasi
Inovasi adalah segala sesuatu ide, cara-cara ataupun obyek yang
dipersepsikan oleh seorang sebagai sesuatu yang baru. Havelock 1973 (dalam
Nasution, 1990) menyatakan bahwa inovasi merupakan segala perubahan yang
dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh masyarakat yang mengalaminy
Seseorang menganggap baru, tetapi belum tentu ide yang sama itu baru bagi orang
lain. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi adalah suatu ide, perilaku,
produk, informasi, dan pratek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima,
dan digunakan/diterapkan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu
lokalitas tertentu, yang mendorong terjadi perubahan-perubahan disegala aspek
kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap
individu/warga masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Samsudin (1994) inovasi adalah sesuatu yang baru yang disampaikan
kepada masyarakat lebih baik dan lebih menguntungkan dari hal-hal sebelumnya.
Selain itu Depari (1995) menyatakan bahwa inovasi adalah gagasan, tindakan, atau
barang yang dianggap baru oleh seseorang .
Sifat-sifat Inovasi
Dilihat dari sifat inovasinya, dapat dibedakan dalam sifat intrinsik (yang
melekat pada inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik (yang dipengaruhi oleh
keadaan lingkungannya (Mardikanto, 1988).
Sifat-sifat intrinsik inovasi itu mencakup:
a. Informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasi-nya,
49
b. Nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial budaya, dan
politis) yang melekat pada inovasinya,
c. Tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi,
d. Mudah/tidaknya dikomunikasikan (kekomunikatifan) ino-vasi,
e. Mudah/tidaknya inovasi tersebut dicobakan (trialability),
f. Mudah/tidaknyaa inovasi tersebut diamati (observability).
Sedang sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputi:
a) Kesesuaian (compatibility) inovas dengan lingkungan setempat (baik
lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomis
masyarakatnya).
b) Tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan lain
yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada yang
akan diperbaharui/ digaantikannya; baik keunggulan teknis (kecocokan
dengan keadaan alam setempat, tingkat produktivitas-nya), ekonomis
(besarnya beaya atau keuntungannya), manfaat non ekonomi, maupun
dampak sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya.
Sehubungan dengan ragam sifat inovasi yang dikemu-kakan di atas, Roy
(1981) dari hasil penelitiannya berhasil memberikan urutan jenjang kepentingan dari
masing-masing sifat inovasi yang perlu diperhatikan di dalam kegiatan penyuluhan.
Adopsi Inovasi Dan Fakto-Faktor Yang Mempengaruhi Ada beberapa hasil
penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
inovasi. Suparlan (1986) menyatakan bahwa adopsi inovasi dipengaruhi oleh (a)
tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang telah ada, (b) struktur sosial
masyarakat dan pranata sosial, dan (c) persepsi masyarakat terhadap inovasi.
Menurut Deptan (2001), bahwa kecepatan proses adopsi dipengaruhi oleh klasifikasi
50
pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya dan lingkungan serta sumber informasi.
Dilain pihak Liongberger dan Gwin (1982) mengelompokkan faktor yang
mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variable internal (personal), variabel
eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan (pendukung).
Difusi Inovasi Dalam Penyuluhan Pertanian
Yang dimaksud dengan proses difusi inovasi adalah, perembesan adopsi
inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke individu yang lain dalam sistem
sosial masyarakat sasaran yang sama. Berlangsungnya proses difusi inovasi
sebenarnya tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Bedanya adalah, jika
dalam proses adopsi pembawa inovasinya berasal dari "luar" sistem sosial
masyarakat sasaran, sedang dalam proses difusi, sumber informasi berasal dari
dalam sistem sosial masyarakat sasaran itu sendiri.
51
DAFTAR PUSTAKA
Adjid, Dudung Abdul. 2001. Membangun Pertanian Modern. Yayasan Pengembangan Sinar Tani. Jakarta.
________________. 2001. Penyuluhan Pertanian. Yayasan Pengembangan Sinar Tani.Jakarta.
Campbell, A. Dunstan and St. Clair Barker . 1997. Selecting Appropriate Content And Methods In Programme Delivery. Food and Agriculture Organization. Rome.
Hornby, A. S. dan Parnwell. 1972. Learner’s Dictionary. Indira. Jakarta.
Kartasapoetra, A. G. 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.
Lionberger, H. F. 1961. Adoption of New Ideas and Practices. The Iowa State University Press. Iowa.
Lionberger dan Paul Gwin. 1982. Communication strategies. Illinois . the interstate printers and publisher.
Margono, Slamet. 1978. Kumpulan Bacaan Penyuluhan Pertanian. IPB. Bogor.
Mardikanto, Totok dan Sri Sutarni. 1993. Petunjuk Penyuluhan Pertanian. UsahaNasional. Surabaya.
Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Martanegara, Achmad B.D. 1993. Hubungan Antara Keefektifan Metode Penyuluhan Dan Karakteristik Serta Sikap Peternak Terhadap Cara Pemberian Pakan Pada Sapi Perah. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Unpad. Bandung.
Mosher. A.T. 1978. An Introduction To Agricultural Extension. New York Agricultural Development Council. New York.
Rogers. 1971. Communication of Inovation. The Free Press. New York.
Rosida, Dwi Agustiyah. 1991. Analisis Tingkat Adopsi Teknologi Sapta Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat Di Kabupaten Bogor. Tesis . Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI press. Jakarta
Sumitro, Maskun. 1992. Penyuluhan Pembangunan Masyarakat Di negara Sedang Berkembang : Dalam Penyuluhan Pembangunan Di Indonesia :
52