SEMIOTIKA DRESSCODE DALAM ARISAN
(Studi Kasus Dresscode Sebagai Alat Komunikasi Pada Kelompok
Arisan TheBeauty, Mojokerto)
Ratnaningrum Zusyana Dewi
(Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Majapahit)
ABSTRAK
Gaya hidup dan busana adalah bagian integral dari kehidupan sosial
seorang wanita. Keduanya merupakan satu paket yang saling melengkapi.
Terpaan media yang mendunia dan globalisasi ekonomi sangat
berpengaruh terhadap gaya hidup wanita. Gaya hidup yang berlandaskan
kapitalisme ini banyak terbawa dalam kehidupan sosial. Salah satunya
dalam bentuk arisan. Arisan bukan lagi sekedar wadah silaturahmi, tapi
sudah menjadi arena eksistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari
makna dari dresscode yang dipakai ketika arisan. Metode yang dipakai
adalah metode kualitatif. Analisa yang digunakan adalah analisa
semiotika. Semiotika dipakai untuk menganalisa makna dresscode sebagai
alat komunikasi dalam penelitian ini. Sumber data yang dipakai adalah
observasi, wawancara, diskusi, dan studi literatur. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pertama, fungsi dresscode tidak sekedar busana , tapi
juga menjadi tempat aktualisasi para peserta arisan. Kebutuhan aktualisasi
ini justru menjadi kebutuhan utama anggota arisan, mengalahkan besarnya
jumlah uang yang menjadi obyek arisan. Kedua, dresscode dipakai sebagai
penanda identitas kelompok. Anggota merasa tersanjung bisa diterima
sebagai anggota kelompok ini. Karena mereka mempunyai identitas
sebagai anggota kelompok tertentu. Ketiga, kohesivitas tinggi antar
anggota dapat terjadi karena rasa kebersamaan antar anggota yang
dimediakan oleh dresscode. Keempat, bertambahnya jaringan dan relasi
yang membuat keuntungan sosial, ekonomi, dan politik.
Kata Kunci : Semiotika, Dresscode, Gaya Hidup
PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat dari
waktu ke waktu cenderung konsumtif.
Tingkat konsumsi masyarakat sangat
tinggi, yaitu 1,09 kali lebih banyak dari
rata-rata pendapatan total masyarakat.
Artinya, anggaran belanja yang mereka
keluarkan lebih besar daripada
penghasilannya, sehingga hampir
seluruh pendapatan mereka habis untuk
dikonsumsi. Hal ini berdasar temuan
Priyonggo Suseno, ketua tim peneliti
PPS-LP UII dalam penelitiannya
tentang Pola Konsumsi Masyarakat :
Faktor yang Mempengaruhinya dan
Kaitannnya dengan Inflasi (Kompas,
24 Nop 2005). Dalam penelitian itu
dikatakan bahwa profesional memiliki
tingkat konsumsi tertinggi, diikuti
pegawai, pensiunan, dan mahasiswa.
Di sisi lain, buruh, manajer, dan
wiraswasta, tingkat konsumsinya lebih
rendah. Meningkatnya pola hidup yang
cenderung konsumtif ini mengubah
perilaku sosial masyarakat. Kaum
wanita dan anak muda adalah sasaran
empuk. Kedua kelompok tersebut
adalah pasar yang setiap saat selalu
berkembang.
Kaum wanita merupakan
sasaran utama bagi kapitalisme. Dalam
mengambil keputusan pembelian,
seringkali mereka lebih mengandalkan
emosi daripada rasionya. Hidup dalam
riuhnya pola konsumerisme memaksa
mereka untuk mendapatkan barang
yang belum dimilikinya. Feel need
lebih penting daripada real need.
Sedikit banyak perilaku
konsumtif ini dipengaruhi oleh
globalisasi industri media. Globalisasi
media didukung oleh globalisasi
ekonomi. Menjamurnya pusat-pusat
belanja yang menyediakan berbagai
keperluan adalah salah satu contohnya.
Gaya promosi yang dikemas dalam
bentuk sinetron, talkshow, fashion
show, adalah makanan kita sehari-hari.
Kemajuan teknologi menjadikan nilai
materialistik mendominasi kehidupan
keluarga modern.
Secara sosiologis, Featherstone
mengatakan bahwa gaya hidup
(lifestyle) adalah tata cara hidup yang
khas pada kelompok tertentu
(Featherstone, 2001). Tetapi dalam
budaya kontemporer (masyarakat
modern) istilah gaya hidup
mengkonotasikan tentang
individualisme, ekspresi diri, serta
kesadaran diri untuk bergaya (stylistic).
Tubuh, busana, cara bicara, hiburan
saat luang, pilihan makanan dan
minuman, kendaraan, bahkan pilihan
sumber informasi, dan lain-lain,
dipandang sebagai indikator dari gaya
dan selera perseorangan (Featherstone,
2001).
Gaya hidup dilukiskan sebagai
ruang yang bersifat plural, anggota
yang berada di dalamnya membangun
kelompok sosial, lengkap dengan
kebiasaan-kebiasaan sosial mereka
(Bourdieu, 1994).
Dari berbagai pemaknaan
tersebut, gaya hidup dilihat sebagai
wujud paling ekspresif dari cara
manusia menjalani dan memaknai
kehidupannya. Gaya hidup dipahami
sebagai cara-cara terpola dalam
menginvestasikan aspek-aspek tertentu
dari kehidupan sehari-hari dengan nilai
sosial atau simbolis. Dengan demikian,
gaya hidup menjadi cara untuk
mengidentifikasi diri sekaligus
membedakan diri dalam relasi sosial.
Gaya hidup juga menjadi cara bermain
dengan identitas (Ibrahim, 2011, 307)
Dalam abad gaya hidup,
penampilan adalah segalanya. Urusan
penampilan bukan lagi menjadi
perbincangan sosiologis. Penampilan
sudah bisa menjadi alat komunikasi
yang efektif. Erving Goffman bahkan
mengemukakan bahwa kehidupan
sosial merupakan penampilan teatrikal
yang diritualkan. Kita bertindak seolah-
olah di atas sebuah panggung.
Penggunaan ruang, barang, bahasa
tubuh, merupakan ritual interaksi sosial
untuk tampil dalam memfasilitasi
kehidupan sosial sehari-hari (Erving
Goffman dalam Chaney, 2004, 194).
Dalam abad gaya hidup pula,
penampilan diri banyak mengalami
estetisasi. Penampilan menjadi sebuah
proyek yang menggiurkan. Ibaratnya,
semakin gaya penampilan seseorang,
semakin berkualitas hidup mereka.
Artinya, “penampakan luar “ menjadi
indikator keberadaan diri. Substansi
dikalahkan oleh penampilan diri. Kulit
mengalahkan isi.
Chaney juga mengatakan
bahwa semua yang kita miliki akan
menjadi budaya tontonan. Semua orang
ingin menjadi penonton sekaligus
ditonton. Ingin melihat sekaligus
dilihat. Di titik ini, gaya mulai menjadi
modus keberadaan manusia modern.
Kamu bergaya, maka kamu ada! Kalau
kamu tidak gaya, siap-siaplah untuk
dianggap “tidak ada”. Diremehkan,
diabaikan, bahkan mungkin dilecehkan.
Itulah sebabnya, jaman sekarang orang
gemar sekali bersolek. Bersolek atau
merias diri menjadi hal yang biasa
dalam kehidupan sehari-hari. Jadilah
kita menjadi masyarakat pesolek
(dandy society). (Chaney, 2004, 179-
183)
Dalam hal solek-menyolek,
wanita adalah jagonya. Di semua lini,
wanita senantiasa suka memamerkan
dirinya. Baik di ruang privat ataupun
ruang publik. Eksistensi wanita seolah-
olah menebarkan tanda. Baudrillard
mengatakan bahwa ruang publik
sekarang sudah penuh dengan “tanda”.
“Tanda” memicu lahirnya keresahan
baru tentang hilangnya ruang publik
yang harusnya independen, menjadi
arena bebas guna mengaktualisasikan
diri atas masalah-masalah sosial. Tak
ada lagi batas mana yang privat dan
mana yang publik. Masyarakat telah
terjebak dalam lautan panggung yang
tidak memisahkan antara yang riil dan
tidak riil.(Baudrillard, 2006, 13-18).
Fenomena Baudrillard sedang
berlangsung. Fenomena sosialita marak
di berbagai daerah. Sosialita, makna
sesungguhnya adalah orang yang
berasal dari kalangan bangsawan, atau
orang yang sudah kaya karena
keturunannya, atau orang yang
berpengaruh dan memiliki kemampuan
untuk mengorganisir/menggerakkan
masyarakat. Di Amerika atau Eropa,
makna sosialita mengacu pada
sekelompok orang kaya yang senang
mengadakan kegiatan sosial, guna
membantu orang yang sedang
kesusahan. Misal : membantu korban
gempa bumi, banjir, dan lain-lain.
Sosialita berbeda dengan jetset.
Golongan jetset berisi manusia kelas
atas juga, tetapi kehidupannya tidak
bersentuhan dengan kegiatan sosial
sama sekali. Golongan ini hanya hidup
untuk dirinya sendiri, hidup dalam
kemewahan, foya-foya, dan gaya hidup
hedon lainnya.
Di Indonesia fenomena sosialita
banyak mengalami pergeseran makna.
Di kota-kota besar, istilah sosialita
mendekati arti asli dari sosialita.
Golongan kelas atas yang mempunyai
gaya hidup serba mewah dan penuh
dengan foya-foya. Golongan inipun
terbagi dua, sosialita yang
berkontribusi terhadap kegiatan sosial,
dan sosialita yang tidak sedikitpun
merambah dunia sosial.
Di daerah yang kotanya tidak
terlalu besar, ada juga fenomena
sosialita. Meski tidak semewah
sosialita kota besar, istilah sosialita di
daerah/kota kecil lebih mengacu pada
sekelompuk orang yang mapan strata
ekonominya, pejabat daerah,
wiraswasta, atau professional, dengan
gaya hidup lebih tinggi daripada
umumnya gaya hidup penduduk di
daerah tersebut. Di kelas lokal,
“persaingan” antar sosialita tidak
seekstrim anggota sosialita di kota
besar. Norma-norma sosial masih
berlaku kental di kelompok ini. Mereka
tidak semena-mena menghabiskan
uang sekian puluh juta hanya untuk
sepasang sepatu atau sebuah tas.
Mereka lebih „sopan‟ dalam mengatur
pengeluaran untuk benda-benda
konsumsi.
Kelompok ini biasanya mepunyai
agenda bulanan dalam bentuk arisan.
Linda Darmajanti, sosiolog Universitas
Indonesia mengatakan, arisan adalah
mekanisme kumpul-kumpul sebuah
komunitas. Yang penting bukan
arisannya, tapi komunitasnya.
Pasalnya, komunitas adalah konsep
paling konkret dari society.(Dalam Joy
Risma, 2013, 27) Sebuah komunitas
dibentuk karena kesamaan visi, misi,
needs, sense of belonging, dan karakter.
Itulah sebabnya mengapa arisan
merupakan kumpulan orang-orang
sejenis. Dalam arti orang-orang yang
mempunyai persamaan. Misal,
berdomisili di komplek yang sama,
bekerja di tempat yang sama,
mempunyai profesi yang sama, dan
lain-lain. Dalam perkembangannya,
arisan mengalami pergeseran fungsi.
Kalau dahulu arisan hanya sekedar
mengumpulkan uang, dikocok,
kemudian pulang. Kemudian
berkembang tidak hanya sekedar uang,
tapi berupa barang. Misalnya lemari es,
emas, sepeda motor, dan lain-lain.
Akhir-akhir ini marak pula arisan
umroh. Entah bagaimana
perhitungannya, nyatanya arisan jenis
ini banyak pula pengikutnya, dan bisa
berjalan sampai beberapa putaran.
Belakangan arisan banyak
mengalami mutasi. Selain sebagai
sarana investasi, arisan juga dianggap
sebagai sarana refreshing. Sebagai
arena pelepas penat ketika lelah
menghadapi rutinitas sehari-hari. Juga
sebagai ajang pamer eksistensi. Para
arisan ladies, demikian sebutan modern
untuk anggota arisan, menginginkan
kemasan arisan yang lebih segar,
kreatif, dan ceria. Mereka mencari
terobosan agar arisan tidak lagi
menjadi acara yang monoton. Dan,
dresscode adalah jawabannya.
Fenomena dresscode marak lima
tahun terakhir sebagai salah satu alat
untuk memperkuat ikatan antar
anggota. Dresscode diterjemahkan
secara bebas sebagai instruksi
mengenai pakaian yang dikenakan
ketika menghadiri suatu acara.
Biasanya dicantumkan di undangan.
Hal ini dimaksudkan agar para
undangan bisa menyesuaikan antara
baju yang dikenakan dengan suasana
acara, sehingga tercipta nuansa acara
seperti yang diinginkan oleh si
empunya acara. Dresscode banyak
macamnya, mulai dari aneka warna,
batik, kebaya, bahkan yang diambil
dari karakter film (Superman, Nyi
Iteung, Barbie, dll). Anggota arisan
tanpa berkeberatan mematuhi
dresscode yang ditentukan.
METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam
penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Tekhnik pengumpulan data
yang digunakan adalah observasi,
wawancara, diskusi, dan studi literatur.
Sementara itu, tekhnik analisa yang
digunakan adalah analisa semiotika.
Tekhnik analisa ini dipakai untuk
menganalisa makna dresscode sebagai
alat komunikasi.
PEMBAHASAN
1. Gaya Hidup
Budaya dan masyarakat adalah
dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Keduanya pun tidak bisa dijauhkan dari
komunikasi. Inovasi budaya banyak
membawa perubahan dalam
berkomunikasi. Gaya hidup populer
yang sekarang sedang terjadi
merupakan hasil dari kita
berkomunikasi dan berinteraksi.
Bentuk-bentuk budaya jaman sekarang
menjadi semakin simbolik, kompleks,
dan dinamis.
Gaya hidup mengacu pada
frame of reference (kerangka acuan)
yang dipakai seseorang dalam
bertingkah laku. Dua aspek pentingnya
adalah, pertama individu berusaha
membuat seluruh aspek hidupnya
berhubungan dalam suatu pola tertentu
dan mengatur strategi bagaimana ia
ingin dipersepsi oleh orang lain.
Kedua, tiap individu punya kebebasan
untuk mengatur cara dia berkomunikasi
dengan orang lain. Kebebasan yang
dimaksud adalah kebebasan untuk
menentukan batasan struktural yang
diinginkannya, seperti kelas sosial,
usia, jenis kelamin, dan kelompok
tertentu.
Gaya hidup sering dihubungkan
dengan kelas sosial ekonomi dan citra
seseorang. Fenomena gaya hidup
dalam masyarakat (Ibrahim, 2007, 133-
135) bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, masyarakat konsumen
Indonesia tumbuh seiring dengan
sejarah globalisasi ekonomi dan
transformasi kapitalisme konsumsi
yang ditandai dengan menjamurnya
pusat-pusat perbelanjaan, industri
waktu luang, industri mode dan
fashion, industri kecantikan, industri
gossip, industri kuliner, kawasan
hunian mewah, gencarnya iklan
barang-barang luks, berdirinya sekolah-
sekolah mahal, kegemaran terhadap
merek-merek asing (branded),
makanan serba instan (fast food),
pemakaian telepon genggam canggih,
dan tidak ketinggalan pula serbuan
gaya hidup melalui media yang
mengusik ruang pribadi setiap orang.
Kedua, globalisasi industri
media dari mancanegara yang
bermodal besar, berupa serbuan
majalah-majalah mode dan gaya hidup
edisi bahasa Indonesia. Majalah-
majalah tersebut menawarkan gaya
hidup yang pada awalnya serasa tidak
terjangkau oleh sebagian besar rakyat
Indonesia. Terpaan media semakin
menjadi ketika TV kabel sudah tidak
eksklusif lagi. Dengan harga relatif
terjangkau, TV kabel sudah bisa
menjadi makanan sehari-hari rakyat
Indonesia kelas menengah.
Ketiga, munculnya gaya hidup
alternatif, yaitu gaya hidup “kembali ke
alam”. Gaya hidup ini adalah
representasi sebagian orang untuk
kembali hidup sederhana, semacam
kerinduan akan kampung halaman,
dengan skala spiritualisme yang lebih
besar. Gaya hidup ini seolah-olah
menjadi antitesis dari gaya hidup
glamour para kaum borjuasi, OKB
(orang kaya baru), yang tanpa malu-
malu memperlihatkannya di depan
umum.
Dengan kesadaran tertentu,
biasanya orang rela bergabung dalam
sebuah kelompok gerakan gaya hidup
yang tidak bersifat formal, dan
mengidentifikasikan diri mereka dalam
“komunitas makna” sebagai cara
mereka mengekspresikan “politik gaya
hidup”(Featherstone, 2001, 199).
Kontribusi media dan konsumsi
sebagai partisipan dalam kelompok-
kelompok sosial kontemporer/gaya
hidup sangat kentara di tengah-tengah
budaya konsumen yang dimediakan
(mediated consumer culture).
Kelompok-kelompok tersebut oleh
Featherstone disebut sebagai
stylization-of-life form of lifestyle. Ciri
khas dari kelompok ini adalah adanya
kode-kode simbolik dan praktik
konsumsi yang tinggi.
Simbol, identitas, dan status,
membentuk satu garis linier yang
saling mempengaruhi. Dalam tingkatan
yang lebih tinggi, merek sebagai
simbol status seseorang memunculkan
harapan untuk “naik kelas”. Pakaian,
sepatu, tas, adalah merupakan bahasa
diam yang berkomunikasi melalui
tanda-tanda nonverbal. Goffman
(dalam Yusuf, 2001, 82) menyebut
simbol-simbol semacam itu sebagai
sign-vehicles atau cues yang
menyeleksi status seseorang dan tata
cara orang lain memperlakukan
mereka.
Busana adalah sarana
komunikasi nonverbal, karena tidak
menggunakan lisan ataupun tulisan.
Meskipun secara teoritis komunikasi
nonverbal dipisahkan dari komunikasi
verbal, tetapi dalam kenyataannya
kedua jenis komunikasi itu jalin
menjalin dalam komunikasi setiap hari.
Misalnya kalau kita menyatakan
ketidaksetujuan atas sesuatu hal,
biasanya secara otomatis kita akan
menggelengkan kepala.
Busana sering dipakai sebagai
penunjukan nilai sosial seseorang atau
status, dan orang kerap membuat
penilaian status seseorang berdasarkan
pakaian yang dikenakannya. Status dan
nilai sosial merupakan perkembangan
dari berbagai sumber, misalnya jabatan,
ras, ataupun keturunan keluarga. Dalam
abad gaya hidup, penampilan adalah
segalanya. Perhatian terhadap urusan
penampilan bukan barang baru dalam
abad ini. Erving Goffman (dalam
Chaney, 2004, 194) mengatakan bahwa
kehidupan sosial terutama terdiri dari
penampakan teatrikal yang diritualkan,
yang dikenal dengan pendekatan
dramaturgi (dramaturgical approach).
Artinya bahwa dalam keseharian kita
seolah-olah berada di atas sebuah
panggung. Berbagai penggunaan ruang,
barang-barang, bahasa tubuh, ritual
interaksi sosial, tampil untuk
memfasilitasi kehidupan sosial sehari-
hari. Semua orang ingin menjadi
penonton sekaligus ditonton. Ingin
melihat tetapi sekaligus juga dilihat.
Penampakan luar menjadi barang
penting bagi gaya hidup. Pakaian dan
fashion menjadi komoditas utama
untuk ditonjolkan. Para pekerja seni,
politisi, dan orang-orang yang sering
berhadapan denga audiens akan terus
berusaha memanipulasi penampakan
luar mereka. Citra diri mereka
ditempelkan pada pakaian yang
dikenakannya. .
Pentingnya peran busana,
dandanan, dan perhiasan dalam
komunikasi insani selalu mendapat
perhatian tersendiri. Busana dipandang
memiliki fungsi komunikatif. Sebagai
bentuk komunikasi, pakaian bisa
menyampaikan pesan artifaktual yang
bersifat nonverbal. Selain sebagai alat
pelindung, busana juga mempunyai
fungsi kesopanan.
2. Semiotika
Ilmu tentang tanda (semiotika)
mempelajari tentang hakikat
keberadaan suatu benda. Oleh karena
itu, salah satu cara untuk membaca
realitas (budaya, sosial, media) adalah
dengan memahami konteksnya. Lewat
konteks, orang dapat memahami
masalah yang ada dan pemecahannya
tidak berlaku untuk konteks yang lain.
Dalam kasus pemberitaan di sebuah
media, jurnalis dapat menuangkan
„madu‟ dan „racun‟ secara bersamaan
atau bergantian menurut konteksnya.
Sebuah berita buruk bisa diperhalus
untuk meminimalisir efek yang terjadi.
Sebaliknya , berita bagus bisa berakibat
runyam bila tidak pandai mengolahnya.
Dengan demikian, konteks menjadi alat
penting dalam memahami realitas.
Preminger (dalam Burhan Bungin,
2007, 173) mengatakan bahwa semua
semua fenomena sosial dan
kebudayaan itu adalah tanda-tanda.
Semiotika bertugas mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-
konvensi yang membuat tanda-tanda
tersebut mempunyai arti.
Charles Sanders Pierce
menjelaskan bahwa semiotika dapat
diklasifikasikan dengan keterangan
sebagai berikut :
1. Hubungan penalaran dengan jenis
penandanya,
a. Qualisigns.
Qualisigns adalah tanda
berdasarkan suatu sifat.
Contohnya sifat kuning. Kuning
merupakan tanda karena
mengacu pada perilaku tertentu.
Agar benar-benar berfungsi,
kuning harus memperoleh
bentuk. Maka, kuning dipakai
sebagai tanda. Misalnya,
sebagai pengungkap rasa
senang, sebagai tanda
peringatan dalam rambu-rambu
lalu lintas, sebagai warna
kebangsan Golkar. Dan
bentuknya adalah papan lalu
lintas, pita pesta pora
kemenangan, dan sebagai jaket
kebangsaan Golkar.
b. Sinsigns
Sinsigns adalah tanda dalam
kenyataan. Misalnya, gertakan
bisa berarti kekagetan,
ancaman, kemarahan. Bentuk
dari gertakan adalah suara keras
dan disertai sentakan.
c. Legisigns
Legisign adalah tanda atas suatu
peraturan berlaku umum,
konvensi. Contoh : tanda-tanda
lalu lintas, cara berjabat tangan,
mengangguk untuk mengatakan
ya, dan lain-lain.
2. Hubungan kenyataan dengan jenis
dasarnya
a. Icon, sesuatu yang
melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang serupa dengan
bentuk obyeknya (adanya
kemiripan). Misal : foto dengan
peta
b. Index, sesuatu yang
melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang mengisyaratkan
petandanya. Misal, asap adalah
tanda adanya api
c. Symbol, sesuatu yang
melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang berlaku umum di
masyarakat (konvensi)
3. Hubungan pikiran dengan jenis
petandanya
a. Rheme/seme, adalah tanda yang
memungkinkan orang untuk
menafsirkan berdasar pilihan.
Missal, mata merah dapat
menandakan bahwa orang
tersebut barusaja menangis, tau
sedang sakit mata, atau baru
saja kemasukan serangga.
b. Dicent/decisign, adalah tanda
sesuai kenyataan. Penanda
yang menampilkan informasi
tentang petandanya. Missal,
bila di suatu tikungan sering
terjadi kecelakaan, maka disitu
dipasang rambu lalu lintas
yang menyatakan bahwa di
tempat itu sering terjadi
kecelakaan.
c. Argumen, adalah tanda yang
yang langsung memberi alasan
tentang sesuatu (kaidah)
Pierce lebih jauh mengatakan
bahwa tipe-tipe tanda seperti ikon,
indeks, dan simbol, memiliki nuansa-
nuansa yang dapat dibedakan. Ikonis
adalah sesuatu yang dapat dilihat
berupa gambar, lukisan, patung, foto.
Indeksial adalah sesuatu yang dapat
mengisyaratkan sesuatu hal melalui
suara, langkah-langkah, bau, dan gerak.
Sesuatu yang bersifat simbol adalah
tanda yang dapat diucapkan, baik oral
maupun dalam hati, yaitu makna dari
gambar, bau, lukisan, gerak.
Tanda dan makna memiliki
konsep dasar dari semua model makna
dan dimana secara luas memiliki
kemiripan. Masing-masing
memperhatikan tiga unsur yang selalu
ada dalam kajian tentang makna.
Ketiga unsur itu adalah; (a) tanda, (b)
acuan tanda, dan (c) pengguna tanda.
Berikut adalah model makna dan tipe
tanda meurut Pierce.
Gambar1.1.
Unsur Makna dari Pierce
Ta
nd
a
O
bj
ek
Inter
preta
n
Gambar 1. 2.
Kategori Tipe Tanda dari Pierce
Agar dapat dideskripsikan secara
jelas, rinci, dan mampu mendapatkan
data yang mendalam, maka penelitian
ini dirancang dengan menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatfi
.Pemilihan pendekatan kualitatif,
didasarkan atas karakteristik tema
penelitian yang lebih banyak
menghadirkan makna-makna dibalik
suatu peristiwa atau proses yang
berlangsung.
Data dalam penelitian ini
dikelompokkan menjadi dua macam,
yaitu data utama dan data pendukung (
Moleong, 2011). Data utama adalah
kata-kata dan pernyataan responden
berkaitan dengan fenomena dresscode
sebagai alat komunikasi. Sedangkan
data pendukungnya adalah data yang
terkait secara langsung maupun tidak
langsung dengan penelitian, seperti
profil kelompok arisan ini, visi dan
misi, data anggotat, sarana dan
prasarana, program kegiatan atau acara
arisan dan juga peraturan yang dibuat
dan berlaku dalam kelompok arisan ini.
4. Pembahasan
Arisan adalah bagian dari
budaya pop Indonesia yang
sesungguhnya sudah ada sejak lama.
Arisan pada dasarnya adalah
sekelompok orang (umumnya kaum
hawa) yang berkumpul dan
mengumpulkan uang secara teratur tiap
periode tertentu. Setelah uang
terkumpul, akan diundi nama yang
dinyatakan sebgai pemenang. Periode
putaran arisan berakhir bila semua
anggota telah mendapatkan undian.
Tujuan awal arisan adalah
menjalin silaturahmi antar keluarga
besar. Seiring berjalannya waktu,
keberadaan arisan banyak mengalami
perubahan. Dari sekedar wadah
silaturahmi, menjadi sarana pengakuan
sosial, sarana bertemu antar tetangga
yang dililit kesibukan bekerja, sampai
sarana bergunjing ibu-ibu kompleks.
Sosiolog Universitas Indonesia,
Linda Darmayanti (dalam Nadia dan
Joy, 2013, 28) mengatakan bahwa
arisan adalah mekanisme berkumpul
sebuah komunitas. Yang dipelajari dan
dianggap penting dalam sosiologi
bukan arisannya, tetapi komunitasnya.
Sebab komunitas adalah konsep paling
konkret dari society. Sebuah komunitas
terbentuk karena kesamaan visi, misi,
karakter, kebutuhan, dan perasaan
saling memiliki. Itulah sebabnya
mengapa arisan pada umumnya adalah
kumpulan orang-orang sejenis. Artinya
anggota arisan adalah orang-orang
yang punya persamaan. Misalnya,
mempunyai profesi yang sama,
bertempat tinggal di lingkungan yang
sama, maupun anak-anak yang
bersekolah di tempat yang sama.
Linda menambahkan,
komunitas itu pada dasarnya bervariasi.
Ada yang primordial, seperti
paguyuban atau arisan keluarga besar.
Ada juga yang berdasarkan profesi,
gaya hidup, sampai spasial seperti di
lingkungan RT atau RW. Dalam
perkembangannya, konsep arisan yang
sederhana ini membuat arisan dipakai
untuk dijadikan instrumen
mengembangkan komunitas.
Departemen Kesehatan melakukan
sosialisasi di daerah-daerah untuk
meningkatkan fasilitas sanitasi dan
perilaku sehat warga dari strata sosial
Ik
on
Si
m
bo
ll
Inde
ks
menengah ke bawah di desa-desa.
Setiap kepala keluarga atau beberapa
rumah tangga diminta menyumbangkan
sedikit uang setiap bulan. Mereka yang
mendapat arisan bulan tersebut akan
dibangunkan toilet di rumahnya. Berkat
sistem ini, terjadi peningkatan
pengguna WC di Sulawesi Selatan ,
dari 45% di tahun 2008, menjadi
hampir 80% di tahun 2011. (Nadya,
Joy, 2013, 30)
Praktik arisan tidak hanya ada
di Indonesia. Di Malaysia, arisan
dikenal dengan istilah “main kutu”.
Para pelaku “main kutu” di Malaysia
tidak berbeda dengan di Indonesia.
Mereka akan dengan senang hati
mendatangi tempat-tempat dimana
“main kutu” diadakan. Di Vietnam
arisan dikenal dengan sebutan
“ho”.Praktik “ho” dilakukan dengan
mengumpulkan iuran beras, bukan
uang atau emas. Di Filipina, arisan
dikenal dengan nama “paluwagan”,
yang diartikan sebagai media/sarana
untuk merangkul jejaring. Di Amerika ,
arisan dikenal denan istilah saving
club.
Secara ekonomis, peserta
banyak mendapat keuntungan dari
arisan ini. Peserta yang menang di awal
adalah peserta yang banyak mendapat
keuntungan. Layaknya mendapat
pinjaman tanpa bunga. Ini sangat
berarti bagi mereka yang memerlukan
modal bisnis atau dana saat kebutuhan
mendesak, seperti biaya sekolah anak.
Selain itu, mengacu pada inflasi, nilai
uang yang didapat lebih berharga
daripada yang menang terakhir, apalagi
bila kocokannya besar. Sementara yang
mendapat belakangan tidak mendapat
apa-apa, yang berarti yang
bersangkutan kehilangan opportunity
cost.
Tetapi setiap orang mempunyai
pertimbangan dan justifikasi sendiri.
Sebagai contoh, ibu A menginginkan
agar arisannya ditarik saat ia
membutuhkan dana tambahan untuk
liburan atau untuk uang pangkal masuk
sekolah anak, sehingga ia akan merasa
bahagia bila mendapat arisan bulan
Mei. Lain halnya ibu B yang lebih
menginginkan mendapat arisan saat
penutupan, agar tidak ada lagi
kewajiban membayar iuran.
Dresscode adalah salah satu
kecenderungan busana yang sedang
ramai saat ini. Pentingnya peran busana
dalam proses komunikasi insani telah
mendapat sorotan dari banyak pakar.
Busana dipandang memiliki suatu
fungsi komunikatif. Busana, kostum,
dan dandanan adalah bentuk
komunikasi artifaktual. Dalam buku-
buku komunikaasi, komunikasi
artifaktual biasanya didefinisikan
sebagai komunikasi yang berlangsung
melalui pakaian dan berbagai artefak.
Misalnya dandanan, perhiasan,
furniture, dekorasi rumah, dan lain
sebagainya. Busana yang kita pakai
bisa menampilkan berbagai fungsi.
Sebagai bentuk komunikasi, pakaian
bisa menyampaikan pesan artifaktual
yang bersifat non verbal. Pakaian bisa
melindungi kita dari cuaca buruk.
Pakaian juga membantu kita
menyembunyikan bagian-bagian tubuh,
sehingga pakaian mempunyai fungsi
kesopanan. Desmond Morris (dalam
Ibrahim, 2007, 242) mengatakan bahwa
pakaian juga menampilkan peran
sebagai pajangan budaya (cultural
display) karena ia mengkomunikasikan
budayanya. Pakaian bisa menunjukkan
identitas nasional dan kultural
pemakainya. Orang membuat
kesimpulan tentang kita sebagian bisa
juga dilihat dari apa yang kita pakai.
Kelas sosial kita, keseriusan kita,
afiliasi politik kita, sedikit banyak bisa
dilihat dari cara kita berbusana.
Dengan kata lain, pakaian bisa
dimetaforakan sebagai kulit sosial dan
budaya kita (Ibrahim, 2007, 245).
Pakaian merupakan ekspresi identitas
pribadi. Oleh karena itu, “memilih
pakaian, baik di toko, di rumah,
maupun di jalan, berarti
mendefinisikan dan menggambarkan
diri kita sendiri” (Lurie dalam Ibrahim,
2007, 244). Yang dimaksud disini
adalah gaya busana sebagai indikator
status yang jelas, tidak termasuk
seragam yang dipakai sebuah institusi
tertentu.
Busana adalah salah satu dari
seluruh rentang penandaan yang paling
jelas dari penampilan luar. Dengannya
orang menempatkan diri mereka
terpisah dari yang lain. Selanjutnya
mereka diidentifikasi sebagai suatu
kelompok tertentu. Di dalam
TheBeauty, dresscode hanyalah
patokan. Anggota tidak boleh terbebani
dengan kostum yang ditentukan.
Anggota wajib memakai busana yang
sudah ada di rumah. Misal, apabila
bulan ini ditentukan drescode yang
dipakai adalah kuning, maka anggota
boleh memakai kuning muda, kuning
tua, kembang-kembang kuning, atau
garis-garis kuning. Pendeknya, tidak
harus kuning polos. Itulah sebabnya
mengapa mereka menyebut kata
„nuansa‟ pada setiap warna yang
dijadikan dresscode.
Berikut adalah beberapa contoh
dresscode yang pernah dipakai
TheBeauty dalam rentang kegiatan 3
tahun.
1. Busana bernuansa warna putih
Putih adalah warna yang
banyak dimaknai secara positif.
Dalam bendera Indonesia, putih
artinya suci. Merah artinya berani.
Warna putih sangat bagus untuk
menampilkan kesucian,
kesederhanaan, kebersihan, dan
keamanan. Banyak anggota yang
menyukai warna ini karena
memberi kesan bersih dan
bercahaya bagi pemakainya.
Warna putih adalah warna yang
paling banyak diminta anggota..
Tetapi demi menjaga kreativitas,
maka tiap satu warna hanya boleh
dipakai satu kali dalam setahun.
Warna ini adalah representasi
kebersihan hati perempuan dalam
mengelola rumah tangga. Cobaan
hidup dan godaan dalam
mengarungi rumah tangga
dihadapi dengan kebersihan hati
2. Busana bernuansa warna merah
Merah adalah warna yang
melambangkan kekuatan,
keberanian, dan rasa percaya diri
yang tinggi. Merah adalah warna
yang mempunyai banyak arti,
mulai dari cinta yang
menggairahkan sampai kekerasan
perang. Warna ini tak cuma
mempengaruhi psikologi
seseorang, tapi juga fisik.
Penelitian menunjukkan, menatap
warna merah bisa meningkatkan
detak jantung dan membuat kita
bernapas lebih cepat. Banyak
ragam warna merah yang dipakai
sebagai dresscode, misalnya
kebaya merah, jersey tim sepak
bola Manchester United, bahkan
baju kebesaran suku Madura garis-
garis merah. Warna merah bersifat
dinamis dan dramatis. Warna ini
pekat dengan keberanian dan
keceriaan. Pemakai warna merah
merasa terbangkitkan keberanian
dan optimisme dalam menghadapi
hidup. Warna merah sebagai warna
asesoris melambangkan keberanian
yang total. Hal ini dilambangkan
dengan gambar tengkorak merah
pada kalung yang dipakai beberapa
anggota. Secara mental, mereka
menjadi bertambah berani karena
banyak teman yang memakainya.
Perasaan senasib sepenanggungan
menjadi perekat antar anggota
3. Busana bernuansa warna hitam.
Hitam adalah warna kuat, elegan,
agung, sophisticated. Hitam punya
reputasi buruk. Warna ini dipakai
oleh para penjahat di komik atau di
film. Hitam juga melambangkan
duka dan muram. Di sisi lain,
hitam adalah warna abadi,
menyatakan sesuatu yang klasik,
dan secara universal dianggap
sebagai warna yang
melangsingkan. Meskipun warna
ini berkesan kotor, kusam, tapi
banyak sekali penyuka warna ini.
Kesan kuat, agung, sekaligus seksi,
sangat melekat di warna ini.
Warna hitam bersifat lentur,
mudah dikombinasikan dengan
warna lain, dan aksesori jenis
apapun. Anggota merasa bahwa
dengan memakai warna ini akan
merasa tenang, dominan, dan
berani menghadapi hidup. Hitam
juga identik dengan maskulinitas,
keperkasaan, ketangguhan dan
keuletan. Dengan hitam, mereka
siap, dan tidak takut menghadapi
cobaan apapun
4. Baju Kebaya
Kebaya menyimpan nila-nilai
filosofi kehidupan yang tinggi.
Bentuk kebaya yang sederhana
bisa dikatakan sebagai wujud
kesederhanaan masyarakat
Indonesia. Kebaya melambangkan
kepatuhan, kehalusan, dan
kelembutan tindak-tanduk seorang
wanita. Mengenakan kebaya
mampu merubah wanita menjadi
seorang yang anggun dan
berkepribadian. Tetapi dalam
sejarah TheBeauty belum pernah
sekalipun memakai kebaya
lengkap dengan kain dan setagen
yang dibebat di perut. Jenis kebaya
yang dipakai pada komunitas ini
adalah kebaya semi modern,
dengan model yang lebih simpel
dan warna yang lebih beragam.
Bahkan pernah kelompok ini
memakai atasan kebaya dan
bawahan celana jins. Responden
mengatakan bahwa hal tersebut
sah-sah saja selama filosofi kebaya
sebagai salah satu budaya
Indonesia masih melekat. Yaitu
kepatuhan, kesantunan, semeleh,
dan nrimo ing pandum. Dengan
feminitas kebaya, anggota tetap
dapat menyelesaikan permasalahan
hidup, tegar, tidak mudah
menyerah
5. Baju Jins
Jins adalah busana busana paling
universal di dunia. Jins
merepresentasikan persamaan
status, derajat dan menghilangkan
perbedaan. Pakaian dari jins
melambangkan kebebasan, casual,
santai, dan sporty. Sejarah jins
justru dimulai dari pakaian kaum
pekerja menengah ke bawah. Jins
berkonotasi jelek, berafiliasi
dengan geng motor dan kaum
hippies (Barnard, 1996, 183). Pada
perkembangannya semua strata
sosial sangat menyukai jins
beraneka warna dan desain. Jins
menjadi icon manusia-manusia
berjiwa muda dan trendi. Busana
jins adalah busana paling sering
menjadi dresscode di kelompok
TheBeauty. Sifatnya yang ringan,
santai, dan mudah didapat adalah
penyebab busana ini menjadi
busana idola. Baju ini baju
“kebangsaan” semua orang. Kesan
egaliter yang menempel pada
bahan ini adalah alasan utama
kenapa semua orang menyukainya.
Serius tapi santai melekat pada
kostum ini. Dalam menyelesaikan
masalah, seringkali rasa putus asa
lebih mendominasi. Tetapi
berbekal rasa yakin, pelan tapi
pasti, hal-hal penyulit hidup pasti
akan teratasi
6. Baju Batik .
Batik adalah salah satu baju asli
Indonesia yang banyak mengalami
metamorfose. Pada jaman dahulu,
batik adalah tradisi turun temurun,
sehingga dari motif baju batik
yang dipakainya dapat dikenali
darimana orang tersebut berasal.
Beberapa motif batik dapat
menunjukkan status seseorang.
Bahkan sampai saat ini beberapa
motif batik tradisional hanya
dipakai oleh keluarga kraton
Yogyakarta dan Surakarta. Ragam
corak dan warna batik banyak
dipengaruhi oleh kehidupan sehari-
hari. Corak batik pesisir berbeda
dengan batik pedalaman. Batik
Jogja lain dengan batik
Pekalongan. Warna batik
tradisional yang hanya putih,
coklat, dan hitam, banyak
mengalami perubahan. Batik-batik
modern banyak mengekspose
warna-warna cerah. Seperti merah,
kuning, dan biru. Baju batik yang
aslinya berasal dari dalam kraton,
membuat pemakai merasa
tersanjung. Sebagai orang luar,
dianggap sebagai anggota keluarga
kraton adalah anugerah yang luar
biasa. Pemakai baju ini merasa
bahwa batik mampu membuat hati
terasa tentram, tidak terburu-buru,
tapi tetap optimis menghadapi
cobaan hidup. Batik tetap sebagai
representasi kostum yang elegan,
cantik, dan penuh improvisasi.
7. Baju Hippies
Hippie sebenarnya adalah gerakan
budaya di Amerika Serikat dan
Eropa Barat di akhir tahun 1960-
an. Ketika itu kaum muda
menentang kemapanan generasi
tua yang semakin materialistis.
Mereka juga menentang keinginan
negara yang memaksa untuk
menjalani Perang Vietnam.
Semboyan mereka adalah “make
love not war”. Mereka
menginginkan perdamaian. Simbol
yang mereka usung adalah gambar
bunga, sehingga disebut the flower
generation. Waktu itu banyak anak
orang kaya yang ingin merasakan
menjadi “orang miskin” dengan
cara berpakaian seadanya,
tumpang tindih, dan semau gue.
Dengan cara inilah mereka
melakukan protes terhadap
kenyataan yang ada. Cara busana
mereka yang terlalu seadanya,
cenderung compang-camping, dan
terkesan kumuh ini justru menjadi
daya tarik tersendiri bagi generasi
selanjutnya. Hal ini sebagai
representasi kebebasan dan
aktualisasi kaum muda. Baju
hippies adalah representasi hidup
yang penuh improvisasi. Teori
kehidupan dan praktek berjalan
berdampingan
PENUTUP Berdasarkan uraian di atas,
kesimpulan hasil peneliian adalah:
1. Aktualisasi diri sebagai kebutuhan
pertama manusia, oleh karena itu,
perempuan mendatangi arisan
dengan memakai dresscode untuk
mengaktualisasikan diri. Sarana
untuk pembuktian bahwa
keberadaan mereka diakui oleh
orang lain dan setara dengan para
professional yang lain.
2. Dresscode dipakai sebagai
penanda identitas, karena
merupakan simbol dari individu
dan kelompok tertentu. Dengan
ber-dresscode, seseorang merasa
menjadi anggota kelompok
tertentu sehingga dapat menambah
rasa percaya diri termasuk dalam
mengelola rumah tangga
3. Pemakaian dresscode dapat
mempengaruhi kohesivitas antar
anggota karena secara psikologis,
seringnya berkumpul dan bersama-
sama memakai busana yang senada
makin memperkuat ikatan
persaudaraan diantara anggota.
4. Kohesivitas yang tinggi dapat
meningkatkan relasi sosial,
ekonomi, dan politik antar
anggota.
Berdasarkan kesimpulan hasil
penelitian di atas, saran yang dapat
dijadikan rekomendasi adalah:
1. Meminimalisir hedonisme yang
selama ini melingkupi kegiatan yang
diadakan oleh kelompok tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, anggapan
bahwa kelompok tersebut adalah
kelompok borjuis disebabkan gaya
hidup sebagian anggota yang tidak
bisa mengendalikan diri dalam
pergaulan sosial. Penampilan
mencolok yang menjadi identitas
sebagian anggota hendaknya
diminimalisir. Kualitas anggota
hendaknya lebih ditingkatkan.
Workshop dan kursus singkat yang
sudah sering diadakan, akan lebih
baik kalau lebih diperbanyak
2. Memperbanyak frekuensi kegiatan
sosial yang selama ini sudah
dilakukan. Kegiatan sosial yang
biasanya 3 bulan sekali, bisa
diperbanyak menjadi 2 bulan sekali
Forum diskusi kecil ditingkatkan
dengan mengundang pakar yang
kompeten. Mini workshop perlu
segera direalisasikan.
3. Membuka keanggotaan untuk
masyarakat yang lebih luas. Tidak
hanya untuk lingkunngan terbatas
saja, supaya memperluas jaringan
daan relasi bisnis, sosial, dan politis.
Semakin banyak anggotanya,
semakin populis kelompok ini.
4. Dresscode tidak dijadikan sebagai
satu-satunya patokan eksklusivitas.
Kompetensi dan profesionalisme
harus lebih diutamakan. Manfaat
dari terbentuknya kelompok ini
harus lebih ditingkatkan. baik dari
segi personal maupun kelompok.
Kajian semotik yang diteliti
hendaknya dapat diambil manfaat
sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2010,Manajemen
Penelitian, edisi Revisi,
Jakarta, Rineka Cipta
Lull, James 2000, Media, Komunikasi,
Kebudayaan : Suatu
Pendekatan Global, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia
Moleong, L. J., (2011), Metodologi
Penelitian Kualitatif, Edisi
Revisi, Cetakan Keduapuluh
sembilan, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Moelyana, Deddy, 2009, Metode
Penelitian Kualitatif,
Bandung, PT Remaja Rosda
Karya
Moelyana, Deddy, ,2007, Komunikasi
Suatu Pengantar, Edisi Revisi,
Bandung, PT Remaja Rosda
Karya
Rahmat, Jalaludin, 2005, Psikologi
Komunikasi, edisi revisi,
Bandung, Remaja Roosda
Karya
Storey, John, 2006, Pengantar
Komprehensif Teori dan
Metode:Cultural Studies dan
Kajian Budaya Pop,Edisi
Terjemahan, Cetakan
1,Yogyakarta, Jalasutra