S o c i a l W o r k J o u r n a l
S h a r e
ISSN : 2339-0042-6
Vol. 4. No. 1, Januari 2014
KEHIDUPAN SUKU LAUT DI BATAM: SEBUAH FENOMENA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PULAU BERTAM
KOTA BATAM Oleh: Atik Rahmawati, M.Kesos.
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DARI SUDUT PANDANG PERUSAHAAN Oleh: Meilanny Budiarti S., & Santoso Tri Raharjo
STRATEGI KOMUNIKASI PEKERJA SOSIAL DENGAN PASIEN SKIZOFRENIA DALAM PROSES REHABILITASI
DI RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEROYO MAGELANG JAWA TENGAH Oleh: Sugiyanto
PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL MELALUI PELATIHAN PERENCANAAN BISNIS UNTUK WIRAUSAHA PEMULA Oleh: Risna Resnawaty, Nurliana Cipta Apsari, Budhi Wibhawa dan Sahadi Humaedi
EFEKTIFITAS PROGRAM BINA KELUARGA BALITA Oleh: Resti Fauziah, Nandang Mulyana, Santoso Tri Raharjo
HAK ASASI MANUSIA DAN PEKERJAAN SOSIAL Oleh: Eva Nuriyah Hidayat
DEPARTEMEN KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN 2014
ii
S h a r e S o c i a l W o r k J o u r n a l
ISSN: 2339-0042-6
Jurnal Pekerjaan Sosial Departemen Kesejahteraan Sosial
Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD
DEWAN REDAKSI
Penanggung Jawab : Drs. Budi Wibhawa, MS.
Ketua Dewan Redaksi: Dr. Santoso Tri Raharjo, S.Sos., M.Si
Sekretaris : Drs. Nandang Mulyana, M.Si
Mitra Bestari : Prof. Drs. Isbandi Rukminto Adi, Ph.D
Dr. Dra. Sri Sulastri, M.Si.
Dr. Edi Suharto
Dr. Kanya Eka Santi, MSW.
Dewan Redaksi : Dr. Soni A. Nulhaqim, S.Sos.,M.Si.
Dr. Nunung Nurwati, dra., M.Si.
Dra. Binahayati Rusyidi, MSW., Ph.D
Anggota dewan redaksi: Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., MSW.
Risna Resnawaty, S.Sos., MP.
Heri Wibowo, S.Psi., MM
.
Layout dan Distribusi : Sahadi Humaedi, S.Sos., M.Si
Meilany Budiarti S, S.Sos., SH., M.Si
Alamat Penerbit/Redaksi :
Laboratorium Ilmu Kesejahteraan Sosial (Lab Kesos)
Gedung B FISIP-UNPAD
Jl. Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor, Sumedang
Telepon/Fax (022) 7796974, 7796416 dan
e-mail : [email protected] dan
iii
PENGANTAR REDAKSI
Share Volume 4 nomor 1 Januari 2014 ini menerbitkan enam artikel ilmiah yang
merupakan hasil penelitian serta kajian beberapa penulis. Volume ini diawali dengan tulisan Atik
Rahmawati, M.Kesos mengenai Kehidupan Suku Laut Di Batam:
Sebuah Fenomena Kebijakan Pembangunan Di Pulau Bertam Kota Batam. Selanjutnya diikuti
dengan artikel menyinggung mengenai CSR dari sudut pandang perusahaan yang ditulis oleh
Santoso T. Raharjo dan Meilanny Budiarti.
Berikutnya adalah artikel berjudul Strategi Komunikasi Pekerja Sosial Dengan Pasien
Skizofrenia Dalam Proses Rehabilitasi Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeroyo Magelang Jawa Tengah
yang ditulis oleh Sugiyanto, selain itu juga ada artikel berdasarkan pengabdian kepada masyarakat
yang ditulis oleh Risna Resnawaty, Nurliana Cipta Apsari, Budhi Wibhawa dan Sahadi Humaedi
dengan judul Pemberdayaan Ekonomi Lokal Melalui Pelatihan Perencanaan Bisnis Untuk
Wirausaha Pemula. Dua penulis berikutnya masing-masing menyinggung mengenai Efektifitas
Program Bina Keluarga Balita oleh Resti Fauziah, Nandang Mulyana, Santoso Tri Raharjo dan
Hak Azazi Manusia berkaitan dengan Pekerjaan Sosial yang ditulis oleh Eva Nuriyah Hidayat
Para pembaca dapat memperoleh informasi lengkap dan utuh tentang topik-topik tersebut
di atas pada artikel jurnal edisi ini. Semoga informasi yang diperoleh dari artikel-artikel yang
diterbitkan dalam edisi ini bermanfaat dan dijadikan rujukan yang berarti.
Selamat membaca,
Redaksi
iv
Share Vol. 4. No. 1, Januari 2014
S o c i a l W o r k J o u r n a l ISSN: 2339-0042-6
1. KEHIDUPAN SUKU LAUT DI BATAM: SEBUAH FENOMENA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI PULAU BERTAM KOTA BATAM Oleh: Atik Rahmawati 1 -12
2. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DARI SUDUT PANDANG
PERUSAHAAN Oleh: Meilanny Budiarti S., & Santoso Tri Raharjo 13 – 29
3. STRATEGI KOMUNIKASI PEKERJA SOSIAL DENGAN PASIEN SKIZOFRENIA
DALAM PROSES REHABILITASI DI RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEROYO MAGELANG JAWA TENGAH Oleh: Sugiyanto 30 - 49
4. PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL MELALUI PELATIHAN PERENCANAAN
BISNIS UNTUK WIRAUSAHA PEMULA Oleh: Risna Resnawaty, Nurliana Cipta Apsari, Budhi Wibhawa dan Sahadi Humaedi 50 - 58
5. EFEKTIFITAS PROGRAM BINA KELUARGA BALITA
Oleh: Resti Fauziah, Nandang Mulyana, dan Santoso Tri Raharjo 59 - 68 6. HAK ASASI MANUSIA DAN PEKERJAAN SOSIAL
Oleh: Eva Nuriyah Hidayat 69 - 77
PANDUAN PENULISAN ARTIKEL UNTUK PENULIS 78 - 80
13
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
DARI SUDUT PANDANG PERUSAHAAN
Oleh:
Meilanny Budiarti S. & Santoso Tri Raharjo
Abstrak
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu bagian dari Corporate Responsibility sehingga diminta atau tidak dan ada aturan atau tidak terkait dengan pelaksanaan CSR, pihak perusahaan akan tetap melakukan kegiatan CSR kepada masyarakat lokal.
Eksistensi perusahaan berpotensi besar mengubah lingkungan masyarakat, baik ke arah negatif maupun positif. Dengan demikian perusahaan perlu mencegah timbulnya dampak negatif, karena hal tersebut dapat memicu konflik dengan masyarakat, yang selanjutnya dapat mengganggu jalannya perusahaan dan aktifitas masyarakat.
Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul akibat berdirinya suatu kawasan industri, mengharuskan perusahaan untuk bertanggung jawab kepada publik khususnya masyarakat di sekitar wilayah perusahaan melalui aktivitas yang nyata sehingga dalam pelaksanaan kegiatan CSR, perusahaan harus berhati-hati dan dilakukan dengan cara-cara yang benar agar tidak memperkuat kondisi relasi ketergantungan dari masyarakat akan kehadiran perusahaan.
Kata kunci:
CSR, tanggung jawab sosial, perusahaan, persepsi perusahaan, masyarakat
A. PENDAHULUAN
Masyarakat memiliki local wisdom
yang berbeda di setiap daerah, sehingga
program-program tanggung jawab sosial
perusahaan harus disesuaikan dengan
kondisi masyarakat setempat tersebut. Hal
tersebut sebagai konsekuensi
keberadaannya perusahaan sebagai ‘agent
of development’ di tengah-tengah
masyarakat. Dengan demikian, sangat
penting bagi perusahaan untuk mengetahui
kondisi-kondisi sosial budaya masyarakat
sekitar.
Kegiatan-kegiatan tanggung jawab
sosial (corporate social responsibility)
perusahaan dengan demikian membutuhkan
pemahaman yang baik dan mendalam
mengenai kondisi masyarakat setempat
dimana kegiatan corporate social
responsibility (CSR) perusahaan tersebut
diwujudkan. Peran serta masyarakat dan
stakeholder menjadi penting untuk dilibatkan
dalam pelaksanaan kegiatan CSR tersebut.
Kegiatan CSR bagi masyarakat merupakan
suatu proses yang bergerak dan bertalian
dengan sumber-sumber yang ada di
masyarakat, yang saat ini mulai
14
dimanfaatkan secara maksimal oleh
perusahaan.
Di sisi lain, tanggung jawab sosial
merupakan salah satu bagian dari corporate
responsibility sehingga diminta atau tidak dan
ada aturan atau tidak terkait dengan
pelaksanaan corporate social responsibility
(CSR), pihak perusahaan akan tetap
melakukan kegiatan CSR kepada
masyarakat lokal. Namun, pada praktiknya,
program CSR yang dilakukan oleh
perusahaan masih banyak yang cenderung
ditujukan untuk ‘meredam’ munculnya gejolak
atau konflik antara masyarakat dengan
perusahaan.
Pelaksanaan otonomi daerah juga
memunculkan persoalan tersendiri yang
harus dihadapi oleh perusahaan
multinasional di daerah. Seiring pula dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat akan
hak-haknya untuk turut serta mengatur
penyelenggaraan negara, masyarakat mulai
ingin memperoleh manfaat dari keberadaan
perusahaan yang beroperasi di daerahnya.
Hal ini didukung oleh tuntutan penerapan
konsep CSR baik secara lokal melalui
berbagai aksi masyarakat, secara nasional
melalui legitimasi hukum, serta iklim
perindustrian di seluruh penjuru dunia.
Dalam penerapan CSR oleh
perusahaan, perlu hati-hati dan cara-cara
yang benar agar tidak memperkuat kondisi
relasi ketergantungan dari masyarakat akan
kehadiran perusahaan. Keuntungan-
keuntungan yang secara otomatis didapat
dari pelaksanaan kegiatan CSR bagi
masyarakat di sini adalah adanya
pengurangan resiko, meningkatnya good will,
mengurangi biaya, membangun sumber daya
manusia, serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
B. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
Penerapan kegiatan corporate social
responsibility didasarkan pada banyak alasan
dan tuntutan, sebagai paduan antara faktor
internal dan eksternal. Sebagaimana
dijelaskan lebih jauh oleh Frynas (2009) yang
melihat bahwa pertimbangan perusahaan
untuk melakukan kegiatan CSR antara lain
umumnya karena alasan-alasan berikut:
1) Untuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan
2) Sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan image yang positif
3) Bagian dari strategi bisnis perusahaan
4) Untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat
5) Bagian dari risk management perusahaan untuk meredam dan menghindari konflik sosial
Terkait dengan batasan mengenai
tanggung jawab sosial perusahaan atau
Corporate Social Responsibility (CSR) yang
dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda,
sesuai dengan sudut pandang dan
pemahaman masing-masing mengenai CSR.
Namun demikian perlu dikemukakan
beberapa definisi, sebagai koridor dan
memagari kajian mengenai CSR. Berikut
definisi CSR yang dikemukakan oleh
Pemerintah Inggris:
15
“The voluntary actions that business can take, over and above compliance with minimum requirements, to address both its own competitive interest and interests of wider society” (www.csr.gov.uk UK Government)
Lebih lanjut World Business Council and
Sustainability Development (WBCSD),
memberikan pengertian tanggung jawab
sosial perusahaan sebagai berikut:
“The continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”(WBCSD, 1999, Business Association)
Pendapat tanggung jawab sosial lainnya dikemukakan dalam www.csr-asia.com, sebagai berikut:
“A company’s commitment to operating in an economically, socially, and environmentally sustainable manner while balancing the interests of the diverse stakeholders”(www.csr-asia.com, social enterprise)
Definisi-definisi tersebut menunjukkan
adanya keragaman dalam mengartikan dan
mengimplementasikan CSR, sehingga,
hingga saat ini tidak ada terdapat
kesepakatan mengenai batasan tanggung
jawab sosial perusahaan (McWilliams, et.al,
dalam Radyati, M.R. & Nindita. 2008).
Namun demikian terdapat suatu pemahaman
yang sama di masyarakat Eropa mengenai
CSR, sebagaimana pernyataan berikut:
“There is broad agreement in Europe on the definition of CSR as a concept whereby companies integrate social and environmental concerns – on a voluntary basis- into their business
operations as well as their interactions with stakeholders”.(European Communities 2007)
Berdasarkan definisi-definisi tersebut
dapat ditarik inti bahwa CSR merupakan
konsep sebagai berikut:
1) Perusahaan harus mempunyai perhatian terhadap persoalan sosial dan lingkungannya
2) Berdasarkan prinsip sukarela 3) Kegiatan bisnis dan interaksi dengan
pemangku kepentingan harus memperhatikan persoalan sosial dan lingkungan
Setidaknya ada 2 (dua) landasan
berkenaan dengan corporate social
responsibility (CSR) yaitu berasal dari etika
bisnis (bisa berdasarkan agama, budaya atau
etika kebaikan lainnya) dan dimensi sosial
dari aktivitas bisnis. CSR atau sering
diartikan sebagai “being socially responsible”
jelas merupakan suatu cara-cara yang
berbeda untuk orang yang berbeda dalam
negara yang berbeda pula. Artinya
penerapan CSR di masing-masing negara
harus disesuaikan dengan konteks sosial dan
lingkungannya. Sehingga perlu kehati-hatian
dalam menerapkan konsep CSR dari negara-
negara maju di negara-negara yang sedang
berkembang (Frynas, 2009).
Blowfield dan Frynas (2005)
mengibaratkan CSR sebagai sebuah
‘payung’ bagi beragam teori dan praktek
yang mengakui dan memahami persoalan-
persoalan berikut:
1) Bahwa perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan alam, yang terkadang lebih jauh lagi
16
sekedar memenuhi aspek legal dan pertanggungjawaban individual.
2) Bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab untuk berperilaku dengan siapa mereka melakukan bisnis.
3) Bahwa bisnis harus (perlu) mengelola hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas, dengan alasan komersial atau untuk nilai tambah terhadap masyarakat.
Sebagai konsep ‘payung’ maka menjadi hal
yang lumrah ketika melihat banyak dan
beragamnya pengertian dan pemahaman
mengenai CSR, memunculkan banyak
interpretasi mengenai CSR sebagaimana
yang dikemukakan oleh Ameshi and Adi,
2007 dan dikutip oleh Frynas (2009:5), yaitu:
1) Etika dan moralitas bisnis 2) Akuntabilitas perusahaan 3) Corporate citizenship (perusahaan
warga) 4) Bantuan dan pilantropi perusahaan 5) Perusahaan hijau dan pemasaran
hijau 6) Manajemen keragaman 7) Tanggungjawab lingkungan 8) Hak asasi manusia 9) Rantai manajemen pembelian dan
penyediaan yang bertanggungjawab 10) Investasi sosial yang bertanggung
jawab 11) Perjanjian (kesepakatan) stakeholder 12) Keberlanjutan
Sementara itu, Garriga & Mele (2004:
51-71) mencoba memetakan konsep-konsep
CSR ke dalam empat kelompok besar,
sebagai berikut:
1) Kelompok pertama yang berasumsi bahwa perusahaan adalah instrumen untuk menciptakan kesejahteraan dan bahwa ini merupakan satu-satunya tanggung jawab sosial. Hanya aspek ekonomi dari interaksi antara bisnis dan masyarakat yang dipertimbangkan. Jadi sekiranya terdapat aktivitas sosial yang diterima,
jika dan hanya jika hal tersebut konsisten dengan penciptaan kesejahteraan. Kelompok teori ini dapat disebut instrumental theories karena mereka memahami CSR sebagai alat belaka untuk memperoleh keuntungan.
2) Kelompok kedua yang melihat kekuatan sosial dari perusahaan yang menjadi tekanan, khususnya dalam hubungannya dengan masyarakat dan tanggung jawabnya dalam arena politis berkaitan dengan kekuatan ini. Hal tersebut mengarahkan perusahaan untuk menerima tugas-tugas dan hak-hak sosial atau berpartisipasi dalam kerjasama sosial tertentu. Kita dapat menyebut kelompok ini dengan political theories.
3) Kelompok ketiga termasuk teori-teori yang mempertimbangkan bisnis seharusnya to integrate tuntutan sosial. Biasanya berpendapat bahwa bisnis tergantung pada masyarakat untuk kelanjutan dan pertumbuhannya, bahkan untuk keberadaan bisnisnya sendiri. Kelompok ini adalah integrative theories.
4) Kelompok keempat teori dari pemahaman hubungan antara bisnis dan masyarakat adalah penanaman nilai-nilai etis. Hal tersebut mengarahkan visi CSR dari suatu perspektif etis dan sebagai konsekuensinya, perusahaan harus menerima tanggung jawab sosial sebagai sebuah kewajiban etis di atas pertimbangan lainnya. kelompok ini disebut dengan ethical theories
1. Instrumental CSR
Kelompok pertama, kelompok
instrumental theories, menganggap bahwa
CSR atau kegiatan sosial adalah sebuah alat
untuk mencapai tujuan ekonomi yang pada
akhirnya adalah menghasilkan kekayaan.
Pendekatan instrumental theories ini
didukung oleh pandangan yang diungkapkan
oleh Friedman (1970) bahwa satu-satunya
17
tanggung jawab bisnis kepada masyarakat
adalah memaksimalkan profit untuk para
pemegang saham, sesuai dengan kerangka
hukum dan kebiasaan etika dari negara
tempat bisnis tersebut berada. Kelompok
teori ini kemudian banyak diakui dan diterima
oleh perusahaan, bahkan banyak
perusahaan yang melakukan program CSR
dengan menggunakan dasar teori ini.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Windsor (2001: hal. 226) bahwa “a leit-motiv
of wealth creation progressively dominates
the managerial conception of responsibility”.
Ada tiga tujuan ekonomi yang
kemudian dapat diidentifikasi dari kelompok
instrumental theories ini menurut Garriga &
Mele (2004: 53) yaitu maximization of
shareholder value; the strategic goal of
achieving competitive advantages; dan
cause-related marketing. Dalam tujuan
maximization of shareholder value, Garriga &
Mele (2004) menjelasan bahwa investasi
untuk menjawab tuntutan sosial yang akan
meningkatkan nilai para investor dimata
masyarakat harus dilakukan, sedangkan jika
tuntutan sosial tersebut mengakibatkan
kerugian bagi perusahaan, maka investasi
tersebut seharusnya ditolak. Konsep ini
memuat tujuan untuk pencarian nilai atau
value-seeking atau long-term values
maximization sebagai tujuan utamanya dan
pada saat yang bersamaan, tujuan ini
digunakan sebagai kriteria dalam transaksi
penting diantara para pemangku kepentingan
(Jensen, 2000; Garriga & Mele, 2004).
Dalam tujuan the strategic goal of
achieving competitive advantages,
perusahaan fokus kepada bagaimana
mengalokasikan sumber daya untuk
mencapai tujuan sosial jangka panjang dan
menciptakan keuntungan yang kompetitif. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Husted & Allen, 2000, yang dikutip oleh
Garriga & Mele (2004:54) “…focused on how
to allocate resources in order to achieve long-
term social objectives and create competitive
advantage”. Ada tiga pendekatan yang dapat
digunakan dalam mencapai tujuan tersebut,
yaitu social investments in a competitive
context melalui philanthropic activities;
natural resource-based view of the firm and
dynamic capabilities melalui unique interplay
of human, organizational and physical
resources over time; dan strategies for the
bottom of the economic pyramid melalui
disruptive innovations (Garriga & Mele, 2004;
Porter & Kramer, 2002; Christensen, et al.,
2001; Christensen & Overdorf, 2000; Barney,
1991; Wernerfelt, 1984).
Cause-related marketing, merupakan
sebuah proses kegiatan pemasaran
perusahaan yang menghasilkan keuntungan
melalui adanya pertukaran yang
menguntungkan yang sesuai dengan tujuan
perusahaan dan juga individual. Misalnya
dengan menjual produk dengan label bebas
pestisida atau non-animal tested. Varadjan &
Menon (1988:60) mendefinisikan cause-
related marketing sebagai:
The process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the
18
firm to contribute a specified amount to a designated cause when costumers engage in a revenue-providing exchange that satisfy organizational and invididual objectives.
Tujuan dari cause-related marketing
dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan
adalah meningkatkan pendapatan
perusahaan dan penjualan atau hubungan
konsumen dengan membangun merk
perusahaan melalui akuisisi dan asosiasi
dengan dimensi etika atau dimensi tanggung
jawab sosial, sehingga menghasilkan situasi
yang saling menguntungkan, dalam konteks
perusahaan dan sosial (Gerriga & Mele,
2004; Murray & Montanari, 1986;
Varadarajan & Menon, 1988).
2. Politik CSR
Kelompok teori kedua yang dipetakan
oleh Garriga & Mele (2004) adalah kelompok
political theories. Kelompok teori ini
memusatkan perhatiannya pada bagaimana
menggunakan tanggung jawab dari kekuatan
bisnis dalam arena politik. Yang dimaksud
dengan political theories, menurut Garriga &
Mele (2004:55) adalah “a group of CSR
theories and approaches focus on
interactions and connections between
business and society and on the power and
position of business and its inherent
responsibility”. (sekelompok teori-teori dan
pendekatan CSR yang memusatkan
perhatiannya pada interaksi dan koneksi
antara bisnis dan masyarakat dan pada
kekuasaan dan posisi bisnis dan tanggung
jawab yang melekat pada bisnis tersebut).
Ada tiga teori utama yang diungkapkan oleh
Garriga & Mele (2004), yaitu Corporate
Constitutionalism, Integrative Social Contract
Theory dan Corporate Citizenship.
Teori Corporate Constitutionalism
pertama kali dikemukakan oleh Davis (1960).
Ia adalah orang pertama yang berpendapat
bahwa bisnis adalah institusi sosial dan
sehingga bisnis harus menggunakan
kekuasaannya secara bertanggung jawab.
Garriga & Mele (2004:55) mengungkapkan
bahwa Davis (1960) “was one of the first to
explore the role of power that business has in
society and the social impact of this power”.
Kemudian Davis (1960) memperkenalkan
kekuatan bisnis sebagai sebuah elemen baru
dalam debat mengenai CSR. Davis (1960)
menekankan pada pendapat bahwa
tanggung jawab sosial bisnis tergantung
pada kekuasaan sosial yang dimiliki bisnis
tersebut. Hal ini kemudian diperkuat dengan
yang diungkapkan oleh Davis (1967:48)
“social responsibilities of businessmen arise
from the amount of social power that they
have ….the equation of social power
responsibility has to be understood through
the functional role of business and
managers”. Ini berarti bahwa tanggung jawab
sosial kekuasaan dimanifestasikan melalui
peran fungsional bisnis dan manager dalam
masyarakat.
Teori integrative social contract theory
yang diungkapkan oleh Donaldson & Dunfee
(1994, 1999) berawal dari pertimbangan
bahwa ada hubungan antara bisnis dan
masyarakat berdasarkan pada tradisi kontrak
sosial. Kontrak sosial ini kemudian
19
berimplikasi kepada beberapa kewajiban
tidak langsung dari bisnis untuk masyarakat
(Garriga & Mele, 2004; Prayogo, 2011). Lebih
lanjut, teori ini mengungkapkan sebuah
proses yang memberikan legitimasi kepada
kontrak yang terjadi diantara sistem industri,
departemen, dan ekonomi (Garriga & Mele,
2004). Sementara itu, Prayogo (2011:74)
mengungkapkan bahwa:
Kontrak sosial merupakan kesepakatan yang bersifat “implicit” masyarakat memberikan legitimasi sosial (the right to exist) atas kehadiran korporasi dan sebaliknya manfaat ekonomi yang dihasilkan bisnis harus terdistribusi pula kepada masyarakat (in return for certain benefits).
Sementara itu, teori corporate
citizenship lebih memusatkan perhatiannya
pada hak-hak, tanggung jawab dan
kemungkinan partnership dari bisnis dalam
masyarakat. Sebelumnya, corporate
citizenship selalu dikaitkan dengan “a sense
of belonging to a community” atau rasa
kepemilikan kepada sebuah masyarakat
(Matten, et al., 2003; Wood & Lodgson,
2002), sehingga sudah menjadi hal yang
biasa diantara para manager dan pengelola
bisnis untuk melihat bahwa bisnis perlu
memperhatikan masyarakat tempat bisnis itu
beroperasi. Oleh karena itu, menurut teori ini,
bisnis dipahami sebagai seperti warga
dengan keterlibatan tertentu dalam
masyarakat.
3. Integratif CSR
Kelompok teori ketiga yang
diungkapkan oleh Garriga & Mele (2004)
adalah kelompok integrative theories.
Kelompok ini berpendapat bahwa bisnis
sangat tergantung pada masyarakat untuk
menjaga keberadaan, keberlanjutan dan
perkembangan bisnis tersebut. Integrative
theories memandang pada bagaimana bisnis
mengintegrasikan tuntutan sosial dan
biasanya fokus kepada mendeteksi, mencari
dan memberikan respon kepada tuntutan
sosial untuk mencapai legitimasi sosial,
penerimaan sosial yang lebih tinggi dan
prestige (Garriga & Mele, 2004). Pendekatan
yang diurai dalam kelompok teori ini adalah
issues management, the principle of public
responsibility, stakeholder management dan
corporate social performance (Garriga &
Mele, 2004:58-59).
Issues management menurut Wartick
& Rude (1986:124) diartikan sebagai “the
processes by which the corporation can
identify, evaluate and respond to those social
and political issues which may impact
significantly upon it”. Issues management
merupakan pelebaran dari konsep social
responsiveness yang muncul di tahun 1970-
an (Sethi, 1975). Konsep social
responsiveness ini menekankan pada
pentingnya untuk menutupi gap diantara apa
yang diharapkan oleh masyarakat kepada
perusahaan dan apa yang perusahaan
lakukan secara aktual. Gap ini biasanya ada
dalam zona yang disebut Ackerman
(1973:92) sebagai “zone of discretion (neither
20
regulated nor illegal nor sanctioned) where
the company receives some unclear signals
from the environment”. Ini berarti bahwa
issues management menekankan pada
proses memberikan respon dari pihak
perusahaan terhadap masalah-masalah
sosial dan bahwa issues management
berfungsi sebagai peringatan dini atas
potensi munculnya ancaman-ancaman
lingkungan dan juga kesempatan-
kesempatan, sehingga dapat meminimalisir
kejutan dari adanya perubahan sosial dan
politik (Garriga & Mele, 2004).
Pendekatan the principle of public
responsibility pertama kali diungkapkan oleh
Preston & Post (1975, 1981). Mereka
menekankan pada kegunaan kata “public”
daripada “social”, untuk menunjukkan pada
pentingnya proses publik dalam
mendefinisikan scope dari tanggung jawab,
daripada pandangan personal-morality atau
berdasarkan minat kelompok tertentu saja
(Garriga & Mele, 2004:58). Preston & Post
dalam Garriga & Mele (2004) berpendapat
bahwa aturan yang sesuai untuk melegitimasi
perilaku manajerial dapat ditemukan dalam
kerangka kebijakan publik yang relevan dan
bahwa kebijakan publik tidak hanya berisi
aturan-autran dan perundang-undangan
tetapi juga mengandung pola yang sangat
luas dari arah sosial yang terefleksikan dalam
opini publik, isu-isu yang muncul, kebutuhan
akan hukum formal dan praktik-praktik
dukungan atau implementasi.
Pendekatan berikutnya adalah
pendekatan stakeholder management.
Pendekatan ini berorientasi kepada para
stakeholders atau pihak-pihak atau orang-
orang yang mempengaruhi dan atau
dipengaruhi oleh kebijakan dan praktik
sebuah perusahaan. Pendekatan
Stakeholder management baru berkembang
secara akademik di akhir tahun 1970-an. Di
tahun 1978, Emshoff & Freeman (Garriga &
Mele, 2004: 59) mempresentasikan dua
prinsip dasar yang memperkuat pendekatan
ini, yaitu achieving maximum cooperation
between entire system of stakeholder groups
and the objectives of the corporation; and
efforts in dealing with issues affecting
multiple stakeholders. Pendekatan ini
mencoba mengintegrasikan kelompok-
kelompok dengan kepentingan-kepentingan
perusahaan ke dalam pembuatan keputusan
managerial (Garriga & Mele, 2004). Di masa
awal munculnya pendekatan ini, banyak
korporasi yang ditekan oleh NGO, aktifis,
masyarakat, pemerintah, media dan
kelompok-kelompok lainnya untuk melakukan
kegiatan yang disebut sebagai responsible
corporate practices (Garriga & Mele,
2004:59). Namun sekarang, berbagai
perusahaan berusaha mencari jawaban dari
berbagai tuntutan sosial melalui dialog
dengan beragam stakeholders. Dialog antar
stakeholder membantu menjawab
pertanyaan mengenai responsiveness dari
perusahaan dalam menerima sinyal yang
kurang jelas dari lingkungan. Kaptein & Van
Tulder (2003:208) menambahkan “this
dialogue not only enhances a company’s
sensitivity to its environment but also
21
increases the environments understanding of
the dilemmas facing the organization”.
Pendekatan corporate social
performance juga merupakan sebuah
pendekatan yang mencari legitimasi sosial.
Carroll (1979) yang memperkenalkan
pendekatan ini yang terdiri dari 3 elemen,
yaitu definisi dasar dari tanggung jawab
sosial, daftar isu yang memunculkan
tanggung jawab sosial, dan filosofi dari
respon terhadap isu-isu sosial (Garriga &
Mele, 2004). Sementara itu, Wartich &
Cochran (1985) menambahkan pendekatan
Carroll dengan menyarankan bahwa
corporate social involvement mengandung
prinsip-prinsip social responsibility, the
process of social responsiveness and the
policy of issues management (Garriga &
Mele, 2004:60). Perkembangan terkini dari
pendekatan ini kemudian diungkapkan oleh
Wood (1991) yang menyebutkan bahwa
corporate social performance terdiri dari
prinsip-prinsip CSR, proses dari corporate
social responsivenesss dan hasil dari
perilaku perusahaan.
4. Etik CSR
Kelompok teori terakhir untuk
memetakan konsep-konsep CSR adalah
ethical theories. Teori-teori yang tercakup
dalam kelompok ini berperan sebagai perekat
hubungan diantara perusahaan dan
masyarakat. Teori-teori ini merupakan
prinsip-prinsip yang mengungkapkan
mengenai hal-hal yang benar untuk dilakukan
atau hal-hal yang perlu dilakukan untuk
mencapai masyarakat yang sejahtera.
Pendekatan pertama adalah
normative stakeholder theory. Teori ini
menekankan pada perlunya referensi dari
berbagai teori moral yang ada, seperti
misalnya Kantian moral teori, konsep
Libertian, prinsip-prinsip keadilan, dan masih
banyak lagi. Donaldson & Preston (1995: 67)
menyebutkan bahwa stakeholder theory
memiliki inti normative yang berdasarkan
pada dua ide utama, yaitu “(1) stakeholders
are persons or groups with legitimate
interests in procedural and/or substantive
aspects of corporate activity and (2) the
interests of all stakeholders are of intrinsic
values”. Berdasarkan hal tersebut, maka
dalam praktik CSR dengan menggunakan
pendekatan stakeholder teori, etika atau
moral merupakan pusat dari praktik tersebut.
Pendekatan Universal Rights melalui
Hak Asasi Manusia telah diambil sebagai
dasar bagi CSR (Cassel, 2001; Garriga &
Mele, 2004). Kini, banyak tanggung jawab
sosial yang dijalankan dikembangkan dengan
menggunakan pendekatan hak asasi
manusia. Selain hak asasi manusia,
pendekatan ini juga mendasarkan pada hak-
hak buruh dan juga perlindungan lingkungan.
Pendekatan pembangunan
berkelanjutan atau sustainable development
dimasukkan ke dalam kelompok ethical teori
karena konsep pembangunan berkelanjutan
menyebutkan bahwa pembangunan
berkelanjutan bertujuan untuk menjawab
kebutuhan di masa kini tanpa mengancam
22
kemampuan untuk melindungi generasi
penerus untuk memenuhi kebutuhannya.
Istilah sustainable development muncul pada
tahun 1987 dalam “Brutland Report”. Pada
awalnya, pembangunan berkelanjutan
menitikberatkan pada faktor lingkungan,
namun, World Business Council for
Sustainable Development (2002:2)
menyebutkan bahwa “sustainable
development requires the integration of
social, environmental, and economic
considerations to make balanced judgements
for the long term”. Kaitannya dengan CSR
adalah, seperti yang diungkapkan oleh
Wheeler, et al. (2003:17) bahwa
Sustainability is an ideal toward which society and business can continually strive, the way we strive is by creating value, creating outcomes that are consistent with the ideal of sustainability along social environmental and economic dimensions.
Dengan demikian, secara etika, CSR
perusahaan harus menggunakan pendekatan
“triple bottom line”, yaitu memasukkan aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga
akan dapat menjamin keberlanjutan
perusahaan tanpa merusak keberlanjutan
lingkungan dan masyarakat.
Pendekatan terakhir dalam kelompok
ethical theories adalah pendekatan common
good (kebajikan umum). Pendekatan ini
merupakan pendekatan klasik yang berakar
pada tradisi Aristotelian yang kemudian
dijadikan referensi kunci untuk etika bisnis
(Smith, 1999; Alford & Naughton, 2002; Mele,
2002). Pendekatan ini menyebutkan bahwa
perusahaan, sebagaimana kelompok sosial
atau individual dalam masyarakat, harus
berkontribusi untuk kebajikan umum, karena
sudah menjadi bagian dari masyarakat.
Perusahaan dapat berkontribusi untuk
kebajikan umum dengan berbagai macam
cara, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Garriga & Mele (2004:62):
“….creating wealth, providing goods and services in an efficient and fair way, at the same time respecting the dignity and the inalienable and fundamental rights of the individual”.
Dari uraian sebelumnya, dapat ditarik
benang merah bahwa banyak teori-teori CSR
fokus kepada 4 aspek utama, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Garriga & Mele
(2004:65) yaitu: (1) meeting objectives that
produce long-term profits, (2) using business
power in a responsible way, (3) integrating
social demands and (4) contributing to a
good society by doing what is ethically
correct.
Dalam tabel 2.1. dikemukakan secara
ringkas mengenai teori-teori dan pendekatan-
pendekatan yang berkaitan dengan tanggung
jawab sosial perusahaan menurut Garriga
and Mele (2004). Tabel tersebut sekaligus
merangkum penjelasan-penjelasan
sebelumnya, baik teori instrumental, teori
politik, teori integratif dan teori etik mengenai
CSR
23
Tabel 2.1
Corporate Social Responsibilities Theories and Related Approaches
Jenis Teori Pendekatan Penjelasan Singkat Beberapa Referensi
Kunci
1. Intrumental
theories (fokus
pada pencapaian sasaran ekonomi
melalui aktifitas sosial)
1. Maksimalisasi
nilai shareholder Maksimalisasi nilai jangka
panjang
Friedman (1970),
Jensen (2000)
2. Strategi untuk keuntungan
kompetitif
Investasi sosial dalam
konteks kompetitif Porter and Kramer (2002)
Strategi berdasarkan
pandangan sumber
alami dari perusahaan dan dinamika
kapabilitas perusahaan
Hart (1995), Lizt (1996
Strategi dari dasar
piramida ekonomi
Prahalad and Hammond (2002),
Hart and Christensen (2002), Prahalad
(2003)
3. Caused-related marketing
Pengakuan aktifitas sosial altruistik dimanfaatkan
sebagai alat pemasaran
Varadarajan and Menon (1986), Murray
and Montanari (1986)
2. Political
theories (fokus pada
pemanfaatan tanggung
jawab kekuatan
bisnis dalam
arena politik)
1. Konstitusiona-
lisme perusahaan (Corporate constitutiona-lism)
Tanggung jawab sosial bisnis
muncul dari sejumlah kekuatan sosial yang mereka
Davis (1960, 1967)
2. Teori Kontrak Sosial Integrative
(integrative social contract theories)
Asumsinya bahwa terdapat suatu kontrak sosial antara
perusahaan dan masyarakat
Donaldson & Dunfee (1994, 1999)
3. Corporate (or business) citizenship
Perusahaan dipahami
sebagaimana seorang warga dengan keterlibatan tertentu
dalam komunitas
Wood & Lodgson
(2002), Andriof & McIntosh (2001)
Matten & Crane (in
press)
3. Integrative theories
(fokus integrasi
tuntutan
sosial)
1. Manajemen isu (issues management)
Proses-proses perusahaan merespon isu sosial dan politik
yang mempengaruhinya.
Sethi (1975), Ackerman (1973),
Jones (1980), Vogel (1986), Wartick and
Mahon (1994)
2. Tanggung jawab publik (public responsibility)
Hukum dan adanya proses kebijakan publik diambil
sebagai rujukan untuk kinerja
sosial (social performance)
Preston and Post (1975, 1981)
24
Lanjutan tabel: Tabel 2.1
3. Manajemen
Pemangku Kepentingan
(stakeholder management)
Kesimbangan para pemangku
kepentingan
Mitchell et.al. (1997),
Agle and Mitchell (1999), Rowley
(1997),
4. Kinerja Sosial
Perusahaan (Corporate social performance)
Mencari legitimasi sosial dan
proses-proses untuk memberi respon yang tepat terhadap
isu-isu sosial
Carrol (1979), Wartick
and Cochran (1985), Wood (1991b),
Swanson (1995)
4. Ethical
theories (fokus pada
sesuatu yang baik untuk
mencapai suatu
masyarakat
yang baik)
1. Teori Normatif
Pemangku Kepentingan
(Stakeholder normative theories)
Pertimbangan tugas-
tugas yang tergadai dari perusahaan. Aplikasinya
membutuhkan rujukan sejumlah teori moral
Freeman (1984, 1994), Evan
and Freeman (1988), Donaldson and Preston
(1995), Freeman and Phillips (2002), Phillips et al.
(2003)
2. Hak-hak Azasi Universal
Kerangkanya berdasarkan hak-hak
azasi manusia, hak buruh
dan penghargaan lingkungan
The Global Sullivan Principles (1999), UN Global
Compact (1999)
3. Pembangunan
Berkelanjutan
Upaya mencapai
pembangunan manusia berdasarkan
pertimbangan saat ini dan generasi masa depan
World Commission on
Environment and Development (Brutland
Report) (1987), Gladwin and Kennelly (1995)
4. The Common good
Berorientasi pada
kebiasaan baik masyarakat
Alford and Naugghton
(2002), Mele (2002) Kaku (1997)
Sumber: Garriga & Mele, 2004: 63-64
.
C. PERSEPSI PERUSAHAAN TERHADAP KEGIATAN CSR
Keberadaan perusaaan di tengah
lingkungan masyarakat berpengaruh
langsung dan tidak langsung terhadap
lingkungan eksternal yaitu masyarakat.
Eksistensi perusahaan berpotensi besar
mengubah lingkungan masyarakat, baik ke
arah negatif maupun positif. Dengan
demikian perusahaan perlu mencegah
timbulnya dampak negatif, karena hal
tersebut dapat memicu konflik dengan
masyarakat, yang selanjutnya dapat
mengganggu jalannya perusahaan dan
aktifitas masyarakat.
Pada dasarnya tidak ada perspektis
teoritis atau metodologi kajian yang dapat
menjelaskan aktifitas CSR secara
memuaskan menjawab semua pertanyaan
(Lockett et al.2006, p.12). Namun demikian
terdapat terdapat dua teori dan satu
perspektif yang berkembang saat ini dalam
CSR sebagaimana yang diungkapkan oleh
Frynas (2009), yaitu:
25
1) Teori Stakeholder: menekankan
reaksi perusahaan (perseorangan)
dalam konteks hubungan dengan
stakeholder eksternal. Teori ini
menjelaskan respon strategis yang
berbeda dari perusahaan terhadap
tekanan-tekanan sosial walaupun
dalam industri sejenis atau negara
yang sama, berdasarkan pada sifat
hubungan eksternal.
2) Teori Institusional: menekankan daya
adaptif perusahaan secara
kelembagaan (aturan). Teori ini
menjelaskan mengapa perusahaan
dari negara atau industri berbeda
dalam merespon tekanan sosial dan
lingkungan, dan mengapa di negara
yang berbeda-beda dari perusahaan
multinasional yang sama memilih
strategi CSR yang berbeda, sebagai
hasil dari pemberlakuan norma atau
keyakinan nasional.
3) Perspektif Austrian Economics:
perspektif ini menyediakan wawasan
terhadap upaya strategi aktif CSR
dalam perusahaan dengan suatu
perspektif kewirausahaan.
Teori Stakeholder dan Teori
Institusional dapat membantu menjelaskan
bagaimana respon perusahaan terhadap
tekanan kondisi sosial eksternal dan
lingkungan. Namun demikian gagal untuk
menjelaskan pilihan strategi aktif dalam
perusahaan, yaitu mengapa perusahaan
tertentu menggunakan CSR sebagai sebuah
senjata melawan persaingan perusahaan
atau mengapa perusahaan tertentu
mengeluarkan jutaan dolar dalam pembaruan
energy.
Sementara, sebagai sebuah
perspektif, pendekatan Austrian Economic
dapat dipandang sebagai salah satu alternatif
pemikiran yang lebih maju dalam
memandang kegiatan CSR. Dalam kaitan
dengan kewirausahaan sosial sebagai suatu
pendekatan dalam mengatasi persoalan
sosial dan kemasyarakat; maka CSR dapat
sebagai sumber pemecahan masalah sosial
tersebut. Beberapa pemikiran Austrian
Economics mengenai CSR, adalah sebagai
berikut:
1) Wawasan ekonomi dan strategi
manajemen mengusulkan bahwa
strategi CSR dalam perusahaan
harus dipandang sebagai sebuah
keputusan investasi dan sebagai
suatu cara memperoleh keuntungan
kompetitif, sama halnya dengan
putusan-putusan investasi lain yang
harus diambil.
2) Pendekatan CSR yang berbeda dari
Austrian economics berkenaan
dengan tindakan kemanusiaan
bukanlah berdasarkan ‘external
constrains’ sebagai faktor
fundamental pembuatan keputusan.
3) Perspektif Austrian menekankan
peluang ‘future’ dan kewirausahaan
aktif dalam mengidentifikasi masa
depan.
4) Karakteristik utama keberhasilannya
‘capitalist entrepreneurship’; yaitu
26
bukan pada kemampuan mereka
beraksi kepada sesuatu atau
‘discover’ tuntutan eksternal, tetapi
lebih pada kemampuan mereka
dalam membuat keputusan yang
berhasil tentang masa depan (Frynas,
2009; hal.19-20)
Dilihat dari uraian tersebut, konsep-
konsep dari Austrian economics dapat lebih
berkaitan dengan upaya kewirausahaan
sosial di Indonesia khususnya dalam
penyelesaian permasalahan sosial dan
kemasyarakatan. Sudut pandang
kewirausahaan dalam CSR diharapkan dapat
memainkan peran kunci dalam membentuk
strategi perusahaan memandang
permasalahan sosial dan lingkungan.
Sebagai perbandingan dari ketiga
perpektif teoritis, dapat dilihat dalam tabel
berikut:
27
Tabel 2.2.
Perbandingan Perspektif Teoritis Terhadap Strategi CSR
Teori
Institusional Teori Stakeholder Austrian View
Fokus Utama Ketaatan pada aturan dan norma
Hubungan dengan faktor eksternal
Peran kewirausahaan
Determinan Strategi CSR
Hidup dengan konteks kelembagaan berbeda
Ketergantungan relative suatu perusahaan pada stakeholder
Tinjauan masa depan kewirausahaan
Lingkup untuk kebebasan aksi manajemen
Non-choice behavior
Pilihan perilaku terbatas
Pilihan perilaku yang substansial
Sumber: Frynas (2009: 122).
D. PENUTUP
Seluruh perusahaan dituntut untuk
melaksanakan kegiatan CSR tidak lagi
semata-mata bekerja untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik
modal atau pemegang saham, melainkan
juga memberikan manfaat pada masyarakat
pada umumnya dan pada komunitas sekitar
pada khususnya. Berbagai dampak sosial,
ekonomi, dan lingkungan yang timbul akibat
berdirinya suatu kawasan industri,
mengharuskan perusahaan untuk
bertanggung jawab kepada publik melalui
aktivitas yang nyata.
Namun, di sisi lain, komitmen
masyarakat untuk bermitra dengan
perusahaan dalam rangka kegiatan CSR
masih belum siap. Banyak program kegiatan
CSR yang mengarah untuk pemberdayaan
masyarakat terhenti di tengah jalan atau tidak
sinambung (sustainability). Persoalan teknis
yang menyangkut persyaratan administrasi,
pelaporan manajemen usaha dan
pengelolaan dana nampaknya menjadi
kendala utama kelompok-kelompok usaha
mikro kecil dan menengah (UMKM)
masyarakat.
SUMBER BACAAN:
Ackerman, R.W. 1973. How Companies Respond to Social Demands. Harvard University Review 51(4), hal. 88-98.
Alford, H. & Naughton, M. 2002. Beyond the Shareholder Model of the Firm: Working toward the Common Good of a Business, in S.A. Cortright and M. Naughton (Eds) Rethinking the purpose of Business. Interdisciplinary Essays from the
28
Catholic Social Tradition. Notre Dame: Notre Dame University Press.
Cassel, D. 2001. Human Rights Business Responsibilities in the Global Marketplace. Business Ethics Quarterly 11(2), hal. 261-274.
Donaldson, T. & Dunfee, T.W. 1994. Towards a Unified Conception of Business Ethics: Integrative Social Contracts Theory. Academy of Management Review 19, hal. 252-284.
Donaldson, T. & Preston, L.E. 1995. The Stakeholder theory of the Corporation: Concepts, Evidence and Implications. Academy of Management Review 20(1), hal. 65-91. Davis, K. 1960. Can Business Afford to Ignore Corporate Social Responsibilities? California Management Review 2, hal. 70-76.
Friedman, M. 1970. The Social Responsibility of Business is to increase its profits. New York Times Magazine, September 13th, pp. 32-33, 122, 126.
Frynas, JG. 2009. Beyond Corporate Social Responsibility, Oil Multinationals and Social Challenges. Cambridge: Cambridge University Press.
Garriga, E & Mele, D. 2004. Corporate Responsibility Theories: Mapping the Territory. Journal of Business Ethic 53: 51-71
Kaptein, M. & Van Tulder, R. 2003. Toward Effective Stakeholder Dialogues. Business and Society Review 108 (summer), hal. 203-225.
Lockett, A., Moon, J. & Wisser, W. 2006. Corporate social responsibility in management research: focus, nature, salience and sources of influence. Journal of Management Studies 43(1), hal. 115-136.
Matten, D., Crane, A. & Chapple, W. 2003. Behind deMask: Revealing the True Face of Corporate Citizenship. Journal of Business Ethics 45(1-2), hal. 109-120.
Mele, D. 2002. Not only Stakeholder Interest. The Firm Oriented toward the
Common Good. Notre Dame: University of Notre Dame Press.
Prayogo, D. 2011. Socially Responsible Corporation: Peta Masalah, Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri Tambang dan Migas. Jakarta: UI Press.
Preston, L.E. & Post, J.E. 1975. Private Management and Public Policy. The Principle of Public Responsibility. New Jersey: Prentice Hall.
Radyati, M.R. & Nindita. 2008. CSR untuk Pemberdayaan Ekonomi Lokal. Yayasan Indonesia Business Links: Jakarta.
Raharjo. Santoso Tri. 2013. Relasi Dinamis Antara Perusahaan Dengan Masyarakat Lokal (Studi Mengenai Kegiatan Tanggung Jawab Sosial Chevron Geothermal Indonesia, Ltd (CGI) Kepada Masyarakat Lokal Desa Karyamekar Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut). Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Bandung
Sethi, S.P. 1975. Dimensions of Corporate Social Performance: An Analytical Framework. California Management Review 17(3), 58-65.
Smith, T.W. 1999. Aristotle on the Condition for and Limits of the Common Good. American Political Science Review 93(3), hal. 625-637.
Wartick, S.L. & Rude, R.E. 1986. Issues Management: Corporate Fad or Corporate Function? California Management Review 29(1), hal. 124-132.
WBCSD. 2002. Corporate Social Responsibility. The WBCSD’s Journey. WBCSD.
Wheeler, D., Colbert, B., & Freeman, R.E. 2003. Focusing on Value: Reconciling Corporate Social Responsibility, Sustainability and a Stakeholder Approach in a Network World. Journal of General Management 28(3), hal 1-29.
29
Windsor, D. 2001. The Future of Corporate Social Responsibility. International Journal of Organizational Analysis 9 (3), hal. 225-256.
Wood, D.J. 1991. Corporate Social Performance Revisited. Academy of Management Review 16(4), hal. 691-718.
Wood, D.J. & Lodgson, J.M. 2002. Business Citizenship: From Individuals to
Organizations. Business Ethics Quarterly, Ruffin Series, No. 3, hal. 59-94.
Varadarajan, P.R., & Menon, A. 1988. Cause-Related Marketing: A Coalignment of Marketing Strategy and Corporate Philanthropy. Journal of Marketing 52(3), hal 58.