RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN SEPSIS
Patrick J. Neligan, Niall Fanning
Respons kardiovaskular metabolik dan neurohormonal terhadap sepsis ditandai oleh
proses temporal bifasik. Fase pertama, yang terjadi lebih duluan, ditandai dengan fase
hiperfungsional yaitu peningkatan transpor, ekstraksi, dan penggunaan oksigen. Hal ini
menyebabkan peningkatan cardiac output dan peningkatan aliran darah ke jaringan yang
berhubungan dengan pengisian transkapiler dan defisit cairan ekstravaskuler. Hal lain yang
mempengaruhi adalah umur pasien, status kesehatan, dan tingkat keparahan trauma dan hasilnya
berupa ketidakseimbangan supply dan demand oksigen. Hal ini dapat dilihat dari SVO2 yang
menurun dan peningkatan konsentrasi laktat arteri dan vena. Ada hubungan yang jelas antara
penurunan SVO2, besarnya asidosis laktat, dan tingkat keparahan trauma.
Setelah fase hiperfungsional, yang menyerupai respons stress akut terhadap pembedahan
atau trauma, dimulailah fase kedua yaitu fase hipofungsional, yang ditandai dengan depresi
miokard, vasoplegia, dan disfungsi neuroendokrin. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas
mitokondria yang tidak sesuai. Waktu pemberian resusitasi cairan memiliki efek yang berbeda,
tergantung pada fase hiperfungsional atau fase hipofungsional. Data menyebutkan bahwa
resusitasi yang tepat pada fase hiperfungsional dapat mencegah perkembangan menjadi sepsis
hipofungsional dan kerusakan multiorgan,
Pada bab ini, kita bertujuan untuk menjawab pertanyaan “ Cara resusitasi apa yang paling
tepat dilakukan pada pasien dengan sepsis?”. Ada 3 komponen penting yang harus dibahas yaitu
waktu pemberian resusitasi, volume yang dimasukkan, jenis cairan resusitasi yang digunakan.
Waktu Pemberian Resusitasi
Kemampuan pasien untuk menghasilkan respons neurohormonal dan hemodinamik untuk
menjaga homeostasis disebut dengan respons fisiologik. Shoemaker dkk pada tahun 1973
menggambarkan hubungan antara demand, supply, dan outcome. Syok dapat menyebabkan
perfusi oksigen ke jaringan menjadi terganggu. Shoemaker dkk melakukan suatu eksperimen
yaitu memberikan cairan dan obat inotropik untuk menjaga perfusi oksigen ke jaringan tetap
1
bagus pada pasien yang menderita sakit berat. Dengan kata lain, jika pasien tidak dapat
mempertahankan hemodinamik yang stabil, maka intervensi terapeutik perlu dilakukan untuk
menyelamatkan nyawa. Dalam hal ini pasien yang tergolong menderita sakit berat adalah pasien
yang menjalani operasi mayor. Shoemaker dkk meneliti 422 pasien dalam 2 kriteria yaitu pasien
yang menggunakan Pulmonary Artery Catheter (PAC) untuk mencapai target resusitasi dan
pasien yang menggunakan Central Venous Pressure (CVP) untuk mencapai target. Dari hasil
penelitian didapatkan risiko kematian berkurang pada kedua kriteria tersebut yaitu sekitar 13%.
Fleming dkk melakukan intervensi dan mengembalikan beberapa hal ke nilai normal
seperti indeks jantung (>4,52 L/min/m2), transpor oksigen (>670 mL/min/m2), dan konsumsi
oksigen (>166 mL/min/m2) pada pasien trauma yang sudah mengalami perdarahan sekitar 2000
cc atau lebih. Mereka meneliti 77 pasien dalam waktu 6 bulan. 33 orang termasuk protokol
supranormalisasi dan 34 orang pasien yang menjadi kontrol. 8 pasien protokol meninggal dan 15
pasien kontrol meninggal. Pasien protokol memiliki sedikit kerusakan organ, waktu rawat inap di
ICU yang lebih pendek, dan beberapa hari lebih sedikit memerlukan ventilator dibandingakan
pasien kontrol. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Bishop dkk.
Gattinoni dkk meneliti 762 pasien yang menderita sakit berat yang dibagi ke dalam 3
kategori yaitu membuat nilai indeks jantung menjadi normal, menaikkan indeks jantung lebih
besar dari 4,5 L/m2, dan menaikkan nilai SVO2 di atas 70%. Target resusitasi dicapai
menggunakan cairan, darah, inotropik, dan vasopresor. Pasien yang berada di kelompok
supranormalisasi secara signifikan memiliki transpor oksigen yang lebih bagus dan konsumsi
oksigen yang lebih banyak dibandingkan kelompok lain. Bagaimanapun, hanya sebagian dari
pasien di grup tersebut dan sekitar dua pertiga pasien di grup SVO2 yang mencapai target. Hal ini
lebih rendah jika dibandingkan dengan 93,4 % pasien yang berada pada kelompok normal. Tidak
ada perbedaan hasil antara ketiga kelompok tersebut. Inti dari penelitian tersebut adalah waktu
pemberian resusitasi yang tepat. Pasien tersebut memang sudah berada di ICU selama 72 jam
sebelum penelitian.
Hayes dkk meneliti 109 pasien yang dirawat di ICU yang diberikan dopamin dosis
rendah dan resusitasi cairan. 9 dari pasien tersebut mencapai target resusitasi dan tidak memasuki
protokol. 100 pasien lainnya secara acak dimasukkan ke protokol supranormalisasi atau protokol
kontrol. Dobutamin, yang merupakan intervensi terapeutik pada penelitian ini, hanya diberikan
2
jika indeks jantung kurang dari 2,8 L/m2. Pasien yang berada di kelompok supranormalisasi
memiliki transpor oksigen dan indeks jantung yang lebih baik dibandingkan kontrol. Namun, 35
pasien dari 50 pasien pada kelompok penyembuhan, 3 target tidak dicapai secara bersamaan
tanpa bantuan obat inotropik. Tetapi, pasien kontrol memiliki hasil yang lebih baik. Angka
kematian di rumah sakit lebih rendah pada kelompok kontrol yaitu sekitar 34% dibandingkan
kelompok penyembuhan sebesar 54%. Penelitian ini dikritik oleh sebab penggunaan dobutamin
dengan dosis yang berlebihan (dosis dobutamin maksimal 25ug/kgBB/min) yang diberikan ke
kelompok supranormalisasi dan resusitasi cairan yang tidak adekuat pada kedua kelompok.
Sebagai tambahan, ketidakmampuan mencapai target pada kelompok intervensi mungkin
disebabkan pasien tersebut lagi berada pada fase lanjut dari penyakit yang dideritanya ketika
dijadikan subjek penelitian. Shoemaker dkk menayarankan bahawa permulaan dari protokol
supranormalisasi sangat penting. Hal ini mengingat bahwa 31 pasien dari 33 pasien yang
mencapai target berhasil bertahan hidup.
Kern dan Shoemaker membuat meta-analisis dari 21 penelitian mengenai
supranormalisasi yang dipublikasikan pada tahun 2002. Penelitian dibagi menjadi grup-grup
berdasarkan onset waktu yaitu onset cepat (8-12 jam setelah operasi atau sebelum kerusakan
organ) dan onset lambat (kerusakan organ telah tejadi). Dan pembagian berdasarkan tingkat
keparahan penyakit yaitu mortalitas di atas 20% dan mortalitas di bawah 15%. Dari 6 penelitian,
terdapat 23% perbedaan angka kematian antara kelompok kontrol dan kelompok protokol
dengan onset waktu cepat. Tetapi 7 penelitian memiliki onset waktu lambat dan tidak ada
perbedaan angka kematian yang signifikan dengan pasien yang menderita sakit yang lebih
ringan. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa resusitasi untuk mencapai target
membahayakan pasien.
Gambar ini dikemukakan oleh Rivers dkk. Grup ini meneliti Early Goal Directed
Therapy (EGDT) pada 263 pasien sepsis yang secara acak diberikan terapi standar dan terapi
agresif goal directed yang menggunakan oximetric CVP line. Alat ini berfungsi untuk mengukur
SVO2 pada distribusi vena cava superior. Penelitian ini mengambil subjek pasien di IRD dengan
dua atau lebih kriteria yang terpenuhi unutk SIRS. Dokter, perawat, dan resusitasi cairan serta
obat-obat inotropik beserta transfusi darah tersedia. Pasien di grup kontrol ditangani secara
konservatif hingga mereka dipindahkan ke ICU dan diberikan resusitasi. Pasien yang akan
3
diteliti mendapatkan cairan yang lebih banyak dibandingkan pasien kontrol dalam 6 jam
pertama, lebih banyak transfusi PRC, dan lebih banyak volume cairan intravena pada 72 jam
pertama. Ada penurunan angka kematian sebesar 16% dalam 28 hari pada grup EGDT.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah resusitasi agresif pada awal dapat meningkatkan perfusi ke
jaringan-jaringan. Setelah target tercapai, resusitasi lebih lanjut tidak dapat menolong dan
bahkan membahayakan.
Bagan 1. Protokol Goal-Directed Resuscitation
4
\
Terdapat kontroversi mengenai kegunaan alat monitoring hemodinamik untuk
penatalaksanaan pasien-pasien sepsis. Penggunaan PAC pernah diteliti pada 2 kota besar. Yang
pertama, Connor dkk, menggunakan data dari penelitian sebelumnya, menyatakan bahwa
monitoring menggunakan PAC sebenarnya memberikan hasil yang buruk. Kelemahan dari
penelitian ini adalah tidak adanya protokol tetap mengenai pemberian cairan dan titrasi dari obat
vasopressor. Akibat dari itu, penelitian ini menggambarkan bahwa tidak adanya PAC tidak
memperburuk keadaan pasien tetapi juga tidak memberikan keuntungan. Hal ini tidak
mengejutkan karena PAC merupakan alat monitoring bukan alat intervensi terapeutik.
Pendekatan terbaru mengenai monitoring dan pengukuran volume dan cairan
menggunakan berbagai macam alat. Tujuan pengukuran stroke volume adalah untuk mengukur
volume didasarkan pada hokum Frank Starling. Volume preload mencakup CVP, tekanan arteri
pulmonalis. Perubahan stroke volume lebih sensitive utuk perubahan volume sirkulasi
dibandingkan cardiac output dan cardiac index. Beberapa alat yang dapat mengukur stroke
volume atau cardiac output antara lain Esophageal Doppler Monitor(EDM), Peripherally Inserted
Continuous Cardiac Output Monitor (PICCO), lithium dilution cardiac output, Fick principle
CO2 rebreathing cardiac output (noninvasive cardiac output) (NICO), bioimpedance cardiac
output, dan echocardiography. Protokol resusitasi dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Pendekatan alternative digunakan untuk mengukur perfusi ke jaringan dan mengukur aliran
darah. Pendekatan ini menggunakan tonometri lambung dan pemeriksaan oksigen jaringan.
Beberapa penelitian menggunakan Esophageal Doppler Monitor sebagai acuan pemberian cairan
perioperatif. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, stress pada masa perioperatif dapat memicu
timbulnya sepsis. Kebanyakan pasien pada penelitian ini secara acak diberikan cairan koloid dan
cairan konvensional dengan hasil pasien yang diberikan cairan koloid memiliki hasil yang lebih
bagus yaitu perfusi lebih bagus ke splanchnicus, mengurangi ileus, komplikasi major lebih
sedikit, prestasi akibat pemberhentian pada masa awal, dan masa tinggal di rumah sakit dan ICU
yang lebih singkat.
5
Sebagai ringkasan, ada bukti yang mendukung bahwa penggunaan alat-alat monitoring
pada pasien sepsis, sebagai contoh kateter oxymeter (SVO2) atau monitor stroke volume (EDM,
PICCO) sebagai acuan untuk resusitasi cairan yang bersifat agresif. Untuk mencapai target
resusitasi, usaha resusitasi harus dilakukan pada awal karena sudah jelas bahwa waktu pemberian
resusitasi dan jumlah cairan yang dimasukkan penting.
Jenis Cairan
Pada keadaan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler. Hal ini menyebabkan
ekstravasasi cairan intravaskuler menuju ruang interstitial. Cairan yang pindah ini tidak dapat
pindah kembali sampai respon peradangan hilang. Pada keadaan ini, Sekitar 80% cairan
kristaloid yang digunakan untuk mengganti volume yang hilang, tertumpuk di ruang
ekstravaskuler. Hal ini menyebabkan penambahan berat badan dan edema jaringan, terutama
jaringan longgar dan pada perut. Hal ini menyebabkan transpor oksigen berkurang. Sebagai
akibat dari peningkatan permeabilitas vaskuler, terjadi penurunan tekanan onkotik yang
disebabkan berkurangnya konsentrasi albumin akibat dari proses dilusi, ekstravasasi, dan
penurunan metabolisme hati (respons akut negatif). Edema yang terjadi berbanding lurus dengan
volume cairan kristaloid yang dimasukkan.
Cairan koloid digunakan sebagai pengganti plasma. Cairan koloid adalah substansi
nonkristalin yang bersifat homogen, yang terdiri dari molekul-molekul besar atau partikel
ultramikroskopik dari satu substansi ke substansi kedua. Larutan koloid bertahan di ruang
intravaskuler karena ukuran molekulnya yang besar, yang menyebabkan membran bersifat
inpermeabel relatif. Cairan koloid juga dapat mengisi kebocoran kapiler dan meningkatkan
tekanan onkotik, jadi meningkatkan volume intravaskuler.
Walaupun koloid memiliki peranan penting untuk mempertahankan volume
intravaskuler, efek onkotik kurang penting untuk volume ekstraseluler dibandingkan efek
osmotik dari elektrolit seperti Natrium dan Klorida. Hal ini berhubungan dengan jumlah partikel
osmotik aktif yang terlibat.
Di balik pendapat tersebut, ada pernyataan sebaliknya yang menyatakan bahwa cairan
koloid mahal, mungkin dapat bocor ke ruang ekstraseluler, dan mempengaruhi koagulasi darah.
6
Tiga penelitian yang bersifat meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 1990 menyatakan
bahwa cairan koloid sebenarnya memperburuk keadaan pasien. Ada alasan yang kurang
meyakinkan mengenai hasil dari penelitian tersebut. Penelitian tersebut mengumpulkan data
selama periode 30 tahun dimana banyak terjadi perubahan mendasar mengenai praktek anestesi,
trauma, dan perawatan intensif. Kebanyakan penelitian tersebut tidak menggunakan kontrol
lingkungan, tidak menggunakan target spesifik untuk resusitasi, dan cenderung untuk
membandingkan larutan koloid dan larutan kristaloid, bukan kombinasi. Kebanyakan penelitian
membandingkan jenis cairan koloid dengan jenis cairan koloid lainnya, bukan membandingkan
dengan larutan kristaloid.
1. ALBUMIN
Albumin yang beredar di pasaran tersedia dalam konsentrasi 5% (250 ml dan 500 ml vial)
dan 25% (50 ml dan 100 ml vial). Sediaan 5% mengandung 50 mg albumin per millimeter NaCl
dan sediaan 25% mengandung konsentrasi albumin 250 mg/mL. Seluruh produk albumin
mengandung 130 – 160 mEq Na per liter. Albumin 5% bersifat iso-onkotik yang menyerupai
plasma manusia. Albumin 25% memiliki partikel osmotik 4-5 kali lebih banyak dibandingkan
plasma normal. Albumin memiliki insidens yang sangat rendah untuk kemungkinan terjadinya
reaksi alergik (0,5-1%) dan jika terjadi biasanya reaksinya ringan (rash, demam, menggigil,
mual). Albumin tidak menganggu koagulasi darah.
Pemberian albumin berhubungan dengan ekspansi volume plasma yang cepat dan tidak
diprediksi. Albumin secara luas digunakan untuk menurunkan berat badan, mencegah edema
pulmo, menghilangkan asites, dan mengurangi edema jaringan. Ada beberapa bukti yang
menyatakan bahwa albumin memiliki efek untuk meningkatkan fungsi organ dan memfasilitasi
nutrisi enteral. Tetapi di balik itu, tidak ada bukti yang menyatakan albumin dapat mengurangi
angka kematian. Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE) melakukan penelitian
menggunakan 7000 pasien sebagai sampel dan hasilnya tidak ada perbedaan hasil antara pasien
yang diberikan albumin 4% sebagai cairan resusitasi dengan yang menerima larutan saline.
Sebagai ringkasan, albumin aman untuk digunakan. Efektivitas biaya belum ditetapkan.
Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa pemberian albumin dapat memperbaiki keadaan pasien
sepsis.
7
2. HYDROXYETHYL STARCH
Hydroxyethyl starch (HES atau hetastarch) adalah modifikasi polisakarida alami, berasal
dari amilopektin, yang secara struktrual menyerupai glikogen. Larutan starch bersifat tidak stabil
karena larutan ini akan dihidrolisis segera oleh amilase. Larutan ini distabilkan oleh proses etilasi
dari hidroksil. Hasilnya adalah substitusi pada karbon 2 (c2), c3, dan c6 pada rantai glukosa.
Farmakokinetik dari starch ditentukan oleh derajat dan tipe hidroksilasi. Rasio substitusi c2/6
yang lebih tinggi mengakibatkan degradasi enzimatik lebih lambat. Berat molekul
mempengaruhi efek samping. Eliminasi terutama melalui urin. Sebuah fraksi diambil oleh sistem
retikuloendotelial dan kemudian secara lambat dieliminasi. Hetastarch mengandung molekul
yang memiliki berat molekul yang bervariasi, dan nilai tengah berat molekul biasanya tertulis
pada kemasan. Setelah resusitasi menggunakan HES, dispersi dari berat molekul mengalami
perubahan; awalnya molekul kecil secara cepat dieliminasi, dan kemudian molekul besar
dihidrolisis menjadi molekul sedang.
Produk HES terbagi menjadi tiga berdasarkan berat molekul; berat molekul tinggi (450 –
480 kD), berat molekul sedang (sekitar 200 kD), dan berat molekul rendah (70-130 kD).
Contoh : 6% Hetastarch berat molekul tinggi dalam larutan saline (Hespan), 6% Hetastarch berat
molekul tinggi dalam elektrolit yang seimbang (Hextend), Pentastarch berat molekul sedang
dalam larutan saline (Pentaspam, EloHAES, HAES-steril), dan Tetrastarch berat molekul rendah
dalam larutan saline (Voluven).
Hydroxyethyl starch yang paling umum digunakan di Amerika Serikat adalah Hespan,
cairan HES yang memiliki berat molekul tinggi dengan nilai rata-rata 450.000 D, 80% polimer
memiliki 3.000 – 2.400.000 D. Cairan HES ini biasanya digabungkan dalam NaCl 0,9%.
Tekanan onkotik larutan ini adalah 30 mmHg, dan setiap gram hetastarch memiliki water
binding capacity 20 mL. Sekitar 46-64% diekskresikan melalui urine dalam waktu 2-8 hari.
Waktu paruh sekitar 17 hari. Ekspansi volume plasma bertahan selama kurang lebih 48 jam,
dengan 40% peak effect bertahan setelah 24 jam.
8
HES dapat menganggu fungsi platelet, menyebabkan kelainan pada faktor von
Willebrand dan faktor VIIIc. Efek pada hemostasis tergantung dari dosis. Volume hetastarch
yang banyak secara in vivo dan in vitro dapat menyebabkan kelainan yang bersifat progresif
pada pemeriksaan thromboelastography (TEG). Tetapi, belum ada pernyataan yang menyatakan
bahwa HES meningkatkan risiko perdarahan. Para klinisi menyarankan dosis hetastarch 20
ml/kgBB/hari. HES berat molekul rendah dan larutan pentastarch berhubungan dengan risiko
koagulopati.
VISEP melakukan penelitian dengan mengambil pasien sepsis berat dengan kontrol gula
ketat dan diberikan resusitasi cairan secara acak dengan pentastarch 10%, HES berat molekul
sedang, dan RL. Peneliti mengambil waktu 28 hari dan mengevaluasi angka kematian dan
kerusakan organ. Pasien yang menjadi subjek penelitian adalah 537 pasien. Kontrol gula darah
tidak memberikan perbedaan pada hasil akhir yang diperoleh dalam 28 hari. Pasien pada
kelompok yang diberikan HES memiliki nilai rata-rata trombosit 179.600 / mm3 dibandingkan
yang diberikan RL (224.000 / mm3) dan menerima PRC lebih banyak dibandingkan pasien yang
diberikan RL. Sebagai tambahan, HES dapat meningkatkan angka kematian dalam 90 hari
sebesar 57,6% dengan peningkatan angka penderita gagal ginjal dan 9,1% peningkatan waktu
dialysis.
Hal ini tentu merupakan berita buruk bagi pabrik industry HES. Bagaimanapun, beberapa
kritik tentang penelitian harus disoroti. Pasien diberikan HES melebihi dosis yang
direkomendasikan dalam waktu yang lama (21 hari). HES adalah salah satu koloid yang bersifat
hiperonkotik yang menyerupai plasma. Tidak ada perbedaan angka kematian pada masa 28 hari
dan 90 hari. Angka kematian dalam 90 hari mungkin disebabkan efek toksik akibat akumulasi
HES bukan karena kegagalan terapi. Keunikan dari penelitian ini bahwa penelitian ini
menyimpulkan bahwa HES lebih membahayakan pasien ketimbang memberikan keuntungan.
Sebagai rangkuman, larutan HES digunakan secara luas sebagai resusitasi cairan pada
pasien sepsis yang memiliki keuntungan secara teori. Komponen-komponen yang memiliki berat
molekul tinggi seharusnya dihindari karena dapat menimbulkan kelainan pada koagulasi dan
akumulasi cairan, terutama pada pasien gagal ginjal.
3. LARUTAN KRISTALOID
9
Kristaloid, larutan yang mengandung elektrolit yang dapat bersifat isotonis, hipotonis,
atau hipertonis, secara universal digunakan sebagai resusitasi primer pada pasien sakit berat.
Tetapi, penggunaan kristaloid sedang dan akan tetap menjadi kontroversial. Pemberian cairan
kristaloid sebagai penunjang cenderung mengabaikan efek cairan ini pada jaringan (peningkatan
volume interstitial), disosiasi air (keseimbangan asam basa), komposisi elektrolit, keseimbagan
koloid, dan koagulasi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penunjang untuk sistem
alternative mengenai keseimbangan cairan perioperatif, pencapaian target resusitasi. Fisiologi
cairan dan tubuh lebih menekankan pada waktu pemberian ketimbang total cairan yang
diberikan. Hal ini biasanya mencakup pemberian kristaloid dan koloid/darah.
Resusitasi dengan cairan kristaloid dapat mengurangi penghantaran oksigen dan perfusi
jaringan. Funk dkk melakukan eksperimen laboratorium mengenai hemodilusi isovolemi
terhadap hamster Syrian Golden. Hamster tersebut diberikan larutan Ringer Laktat atau Dextran
60 untuk menggantikan darah yang hilang. Sebanyak 4 kali dari volume darah yang hilang
digantikan dengan ringer laktat untuk mempertahankan MAP, CVP, dan laju jantung. Perfusi
jaringan dan PaO2 tidak berubah dalam kelompok koloid, tapi pada kelompok kristaloid
berkurang berturut-turut sebesar 62% dan 58%.
Lang dkk meneliti efek dari terapi penggantian cairan koloid dengan kristaloid terhadap
tekanan oksigen jaringan pada pasien yang menjalani operasi abdomen mayor. Kepada 42 orang
pasien secara acak diberikan kombinasi cairan HES 6% dan Ringer Laktat maupun hanya cairan
Ringer laktat dalam 24 jam, dengan target CVP 8 hingga 12 mmHg. Peneliti mengukur tekanan
oksigen jaringan dalam otot deltoid; digunakan alat monitor LICOX CMP yang dipasang setelah
induksi anastesi. Pasien dengan kelompok kristaloid mendapatkan lebih banyak cairan setelah
akhir operasi ( 5490 ± 1910 berbanding 3920 ± 1350 mL; P <.05) dan pada akhir 24 jam
( 11,740 ± 2630 berbanding 5950 ± 800 mL, P <0.5). Pada kelompok pasien yang mendapatkan
gabungan antara cairan kristaloid-koloid secara signifikan memiliki perfusi jaringan yang lebih
besar (tekanan oksigen meningkat dari garis batas) dibandingkan dengan kelompok yang hanya
mendapat cairan kristaloid (tekanan oksigen menurun dari garis batas).
Cairan resusitasi yang ideal dapat mempertahankan volume intravaskular tanpa menyebar
hingga ke ruang interstisial. Ernest dkk meneliti distribusi antara volume NaCl 0.9 % dengan
albumin 5% pada pasien dengan operasi jantung. Volume plasma dan cairan ekstraselular diukur
10
dengan dilusi dari radiolabeled albumin dan sodium. Penggunaan cairan saline isotonis
meningkatkan volume plasma sebesar 9% ± 23% dari volume yang dberikan. Penggunaan
albumin 5% meningkatkan volume plasma sebesar 52% ± 84% dari volume yang diberikan.
Albumin meningkatkan indeks jantung secara lebih signifikan dibandingkan larutan saline dan
memberikan efek yang setara pada dilusi hemoglobin. Pada kelompok yang diterapi dengan
larutan saline, nilai keseimbangan cairan rata-rata (infus cairan + cairan yang hilang) sekitar dua
kali dari peningkatan rata-rata volume cairan ekstraselular, yang terbagi rata antara volume
plasma dan volume cairan interstisial. Sedangkan, pada kelompok yang diterapi dengan cairan
albumin, rata-rata keseimbangan cairan mendekati peningkatan rata-rata volume cairan
ekstraselular, yang mendekati peningkatan rata-rata dari volume plasma.
Kecenderungan dari cairan kristaloid untuk ekstravasasi dapat menyebabkan hipoperfusi
relatif. Wilkes dkk mempelajari efek antara Saline – based intravenous fluid (kristaloid dan
HES) dengan Balance Salt Solution (BSS) – based fluids (kristaloid dan HES) terhadap status
asam-basa dan perfusi usus yang dapat diperkirakan dengan menggunakan tonometri lambung.
47 pasien yang menerima larutan saline secara signifikan lebih asidosis dan memiliki pH mukosa
lambung yang lebih rendah dibanding pasien yang menerima BSS. Hal ini secara kuat
berhubungan dengan peningkatan klorida dalam serum.
Terdapat bukti bahwa cairan intravena dapat memiliki komponen proinflamasi dan anti
inflamasi. Pada sebuah percobaan pada babi yang mengalami syok hemoragik dengan volume
yang dikontrol, Rhee dkk menunjukkan peningkatan signifikan terhadap aktivasi neutrofil dan
aktivitas oksidasi, yang berhubungan dengan pemberian larutan ringer laktat. Larutan ini
mengaktifkan inflamasi tanpa memperhatikan apakah darah telah diberikan. Hal ini tidak terjadi
ketika volume digantikan dengan whole blood atau larutan hipertonik saline 7.5%. Penemuan
yang sama juga didapatkan dengan penggunaan isotonik saline, dextran dan HES, tetapi tidak
dengan albumin (5% atau 25%), darah. Pemberian cairan ringer laktat berhubungan dengan
proses adhesi molekul yang dapat meningkat di paru-paru dan limpa baik yang merupakan
ataupun bukan merupakan tempat pendarahan. Hal ini tidak terlihat ketika hewan tidak
diresusitasi atau diresusitasi dengan darah segar. Meskipun begitu, ketika diikuti dengan syok,
resusitasi dengan cairan ringer laktat berhubungan dengan penemuan histologis dari edem paru
dan inflamasi.
11
Cairan intravena dengan buffer keton seperti etil piruvat mungkin memiliki efek anti
inflamasi yang berlawanan. Pada tikus, penggunaan antara etil piruvat dengan larutan ringer
laktat menunjukkan sedikit apoptosis sel paru-paru.
Dapat disimpulkan, cairan kristaloid secara luas digunakan untuk resusitasi volume awal
pada sepsis dan syok septik, yang berprinsip untuk “membayar kembali “ hutang cairan
interstisial. Ketika sepsis berlangsung terutama pada fase hipofungsional, terjadi akumulasi
cairan resusitasi pada jaringan, dan hal ini dapat menyebabkan efek yang sebaliknya. Larutan
saline isotonik, ketika diberikan dalam jumlah besar berhubungan dengan asidosis
hiperkloremia; hal ini dapat mempengaruhi aliran darah splanikus dan tentu saja bersifat
nefrotoksik. Cairan ringer laktat dan larutan kristaloid isotonik lainya dapat mengaktifkan
inflamasi dan menyebabkan apoptosis sel, yang kemungkinan memperburuk kerusakan paru-
paru.
4. HIPERTONIK SALINE
Osmolaritas plasma normal adalah 280 hingga 295 mOsm/L. Cairan apapun yang
memiliki osmolaritas melampaui 310 mOsm/L merupakan cairan hipertonis. Pada prakteknya,
hal ini menunjuk kepada larutan hipertonik saline (HS) dan larutan sodium bikarbonat. Tersedia
beragam cairan hipertonik saline yang berbeda; yang tersering digunakan adalah 1.8% HS, 3%
HS, 7,5% HS, dan 23% HS.
Terdapat dua cara penggunaan cairan hipertonik yang telah ditetapkan. Yang pertama
adalah pada ekspansi volume intravaskuler pada pasien dengan syok hipovolemik, yang berarti
volume rendah, dan resusitasi memiliki peranan yang besar. Yang kedua adalah deplesi volume
intraselular. Pendekatan ini secara luas digunakan pada bedah saraf dan perawatan neurocritical
untuk mengurangi volume serebral dan tekanan intrakranial.
HS secara dramatis meningkatkan tekanan osmotik dalam ruangan tempat cairan ini
disuntikkan. Aliran air mengikuti gradient osmotik ke dalam ruangan dan volumenya meluas
selama beberapa jam. Pada ruang intravaskular HS menyebabkan penyusutan sel endotelial,
dilatasi arteriol, dan mengurangi viskositas sehingga menyebabkan peningkatan aliran. Hal ini
juga dapat meningkatkan kontraktilitas otot miokard (meskipun terdapat data yang berbeda dari
pernyataan ini). Akibat metabolik dari HS adalah hipernatremia, hiperosmolaritas, dan asidosis
12
hiperkloremia. Derajat hipernatremia dan hiperosmolaritas lebih rendah daripada yang
diharapkan berhubung pemberian volume yang relatif rendah.
Logika dibalik penggunaan HS pada keadaan syok berdasar dari dua pengamatan: (1)
larutan kristaloid merupakan larutan ekspansi volume plasma yang tidak efisien dan dapat
menyebabkan edema jaringan, dan (2) larutan hipertonik memperluas volume plasma lebih
banyak dibandingkan volume yang diberikan. Akibatnya, terdapat peningkatan keuntungan
hemodinamik dari pemberian jumlah cairan yang relatif rendah. Hal ini dapat digunakan pada
“combat situation”, dimana berat dan ukuran dan peralatan dan bahan merupakan hal yang cukup
penting.
Beberapa penelitian kecil dan laporan kasus menunjukkan bahwa pasien memiliki profil
hemodinamik yang lebih baik ketika diberikan HS dibanding kristaloid isotonis. Tidak ada studi
dari pemberian HS prehospital yang menunnjukkan keuntungan secara statistik. Sebagai contoh,
Mattox dkk memperlajari 422 pasien secara acak dan meneliti antara penggunaan HS prehospital
ditambah dengan dextran (HSD) dengan pemberian cairan kristaloid isotonik dengan volume
setara. Pasien yang telah mendapatkan HSD dan memerlukan operasi memiliki angka
kelangsungan hidup yang meningkat. Wade dkk melaporkan peningkatan angka kelangsungan
hidup pada pasien dengan trauma penetrasi yang diberikan HS. Sebuah meta analisis oleh
kelompok yang sama gagal mendemonstrasikan keuntungan menggunakan HS pada pasien
trauma. Terdapat satu lagi percobaan terbaru yang gagal mendemonstrasikan peningkatan hasil
klinis dalam 6 bulan. Sekarang ini, HS tidak digunakan pada keadaan ini. Kontroversi mayor
pada trauma bukan pada penggunaan HS melainkan pada waktu penggunaannya. Tidak terdapat
studi prospektif yang dari besar terhadap penggunaan HS pada pasien sepsis. Akan tetapi,
penggunaan dari cairan ini meningkat sebagai hasil dari perhatian atas waktu, efek, dan volume
absolut yang diberikan pada awal sepsis. Secara hipotesis, HS dapat meningkatkan seluruh
perfusi sistemik dan diperkirakan juga meningkatkan penghantaran oksigen, dan dapat mengatur
respon inflamasi.
Kesimpulannya, meskipun antusiasme yang besar terhadap hal ini, tidak ada data yang
tersedia untuk mendukung penggunaan HS untuk resusitasi pada pasien septik.
13
Recommended