REFLEKS PATOLOGIS
Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu
normal. Refleks patologis pada ekstremitas bawah dinilai leih konstan, lebih
mudah muncul, dan lebih mempunyai nilai klinis dibandingkan pada ekstremitas
atas. Refleks patologis dapat dibangkitkan dengan bermacam cara yang diberi
nama (dikenal) sesuai dengan penemunya.1
Refleks patologis pada ekstremitas bawah adalah sebagai berikut.1
1. Refleks Babinski. Pasien berbaring dengan tungkai diluruskan. Untuk
merangsang dapat digunakan benda yang agak runcing. Goresan harus
dilakukan secara cepat dan tidak menimbulkan nyeri karena dapat
menimbulkan refleks menarik kaki (flight reflex). Goresan dilakukan pada
telapak kaki bagian lateral, mulai dari tumit menuju pangkal ibu jari. Positif:
terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, yang dapat disertai pemekaran jari-
jari lain.
2. Refleks Chaddock. Rangsangan diberikan dengan menggoreskan lateral
malleolus pasien. Positif: terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, yang
dapat disertai pemekaran jari-jari lain.
3. Refleks Gordon. Dibangkitkan dengan memencet (mencubit) betis. Positif:
terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, yang dapat disertai pemekaran jari-
jari lain.
4. Refleks Oppenheim. Dengan mengurut kuat tibia dan otot tibialis anterior.
Arah mengurut dari atas (proksimal) ke bawah (distal). Positisf: terdapat
gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, yang dapat disertai pemekaran jari-jari lain.
Gambar 1. Refleks Babinski, refleks Chaddock, refleks Gordon dan refleks Oppenheim
5. Refleks Gonda. Dengan memencet jari manis kaki dan kemudian
melepaskannya dengan tiba-tiba. Positif: terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari
kaki, yang dapat disertai pemekaran jari-jari lain.
6. Refleks Schaefer. Dengan memencet (mencubit) tendon Achilles. Positif:
terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, yang dapat disertai pemekaran jari-
jari lain.
7. Refleks Bing. Dengan memberikan rangsang tusuk pada kulit yang menutupi
metatarsal ke lima (jari telunjuk kaki). Positif: terdapat gerakan dorsofleksi
ibu jari kaki, yang dapat disertai pemekaran jari-jari lain.
8. Refleks Rossolimo. Dengan melakukan pengetukan pada telapak kaki bagian
terdepan atau atas menggunakan hammer reflex. Positif: terdapat gerakan jari-
jari kaki yang berfleksi sejenak pada sendi-sendi interfalangealnya (plantar
fleksi).
9. Refleks Mendel-Bechtrew. Melakukan pengetukan pada kulit dorsum pedis
yang menutupi os. cuboideum. Positif: terdapat gerakan jari-jari kaki yang
berfleksi sejenak pada sendi-sendi interfalangealnya (plantar fleksi).
Pada refleks patologis ekstremitas atas, mekanisme refleks fleksor jari-jari tangan
sama sekali berbeda dengan jari-jari kaki. Refleks tersebut merupakan refleks
regang otot, dapat positif pada lesi pyramidal atau akibat peningkatan refleks yang
fungsional. Bila refleks pada sisi kanan berbeda dengan sisi kiri, maka hal ini
dianggap sebagai keadaan patologis.
1. Refleks Hoffman. Tangan pasien dalam posisi pronasi relaks. Tangan pasien
dipegang dengan pergelangan dan jari-jarinya dilemaskan. Kemudian jari
tengah pasien dijepit diantara telunjuk dan jari tengah pemeriksa. Ibu jari
pemeriksa menggores-kuat (snap) ujung jari tengah pasien. Positif: jari-jari
tangan fleksi sejenak.
2. Refleks Tromner. Posisi tangan sama seperti ketika akan memeriksa refleks
Hoffman, lalu dirangsang dengan mencolek kuat jari tengah pasien dari bawah
ke atas. Positif: jari-jari tangan fleksi sejenak.
Gambar 2. Refleks Hoffman dan Tromner1
3. Refleks Leri. Lengan pasien diluruskan dengan bagian ventralnya menghadap
ke atas. Kemudian jari-jari dan pergelangan tangan pasien ditekukkan dengan
kuat (fleksi). Pada orang normal, gerakan ini akan diikuti oleh fleksi lengan
bawah dan lengan atas pada siku. Refleks akan negatif bila terdapat lesi
piramidal. Tidak adanya refleks ini dinyatakan sebagai gejala Leri positif.
Gambar 3. Refleks Leri1
4. Refleks Mayer. Pasien diminta untuk mensupinasikan tangannya, telapak
tangan ke atas dan jari-jari difleksikan ringan serta ibu jari diabduksikan.
Kemudian jari tengah pasien ditekukkan dan ditekan pada telapak tangan
(fleksi maksimal). Pada orang normal, akan terjadi gerakan adduksi dan
oposisi ibu jari. Refleks akan negatif bila terdapat lesi piramidal. Tidak adanya
refleks ini dinyatakan sebagai gejala Mayer positif.
Gambar 4. Refleks Mayer1
PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS
Nervus Trigeminus (N. V)
Pemeriksaan nervus trigeminus meliputi fungsi motorik dan fungsi sensorik.
A. Pemeriksaan Motorik
Pasien diminta untuk menggigit giginya sekuat mungkin. Selama pasien
melakukannya, pemeriksa melakukan palpasi pada kontraksi otot maseter dan
otot temporalis sisi kanan dan kiri. Bila ada kelumpuhan unilateral, maka pada
sisi ipsilateral tidak terjadi kontraksi atau kelemahan kontraksi.
Pasien lalu diminta membuka mulut. Pemeriksa berdiri di depan pasien lalu
mengawasi rahang bawah pasien. Pada kelumpuhan unilateral, rahang bawah
akan menyimpang ke sisi ipsilateral pada waktu mulut dibuka karena m.
pterigoideus eksterna yang sehat mendorong kondilus mandibular dan rahang
bawah ke depan tanpa dorongan yang mengimbangi dari sisi yang lain.
Selanjutnya pasien diminta untuk menggerakkan rahang bawahnya ke
samping, sewaktu pasien melakukan, pemeriksa menahan gerakan rahang
tersebut. Jika terdapat kelumpuhan sesisi, maka gerakan ke samping yang
lumpuh kuat sedangkan gerakan ke samping yang sehat lemah atau tidak ada
sama sekali. Tindakan ini untuk menilai kekuatan kontraksi bersama otot-otot
pterigoideus interna dan eksterna.
Untuk menilai kekuatan otot maseter, pasien diminta menggigit spatel kayu
sekuat-kuatnya pada salah satu sisi geraham dan dibandingkan bekas cetakan
gigitan pada spatel kayu masing-masing sisi.
B. Pemeriksaan Sensorik
Sensibilitas yang harus diperiksa adalah sensibilitas kulit dan mukosa dalam
kawasan nervus trigeminus. Modalitas sensorik yang harus diteliti mencakup
rasa nyeri, panas, dingin dan raba dilakukan sesuai pola sensorik nervus
trigeminus, yaitu cabang optalmik, maksilaris dan mandibularis bila
mencurigai terdapat kelainan pada nervus trigeminus tipe perifer. Bila didapat
pola onion skin pada pemeriksaan sensorik, maka terdapat kelainan pada
nervus trigeminus tipe sentral dan letak lesi pada batang otak.
Gambar 1. Pola sensorik N. V
Nervus Fasialis (N. VII)
Pemeriksaan terhadap fungsi N. fasialis mencakup: (a) pemeriksaan motorik, (b)
pemeriksaan sensoris dan sensoris khusus (viserosensorik dan viseromotorik).
A. Pemeriksaan Motorik
Inspeksi (kondisi diam). Perhatikan kerutan dahi, kedipan mata, lipatan
nasolabialis dan sudut mulut. Pada sisi yang lumpuh, kedipan mata lambat dan
tidak kuat, sudut mulut letaknya lebih rendah dan lipatan nasolabialis lebih
datar.
Observasi gerakan otot wajah volunter (kondisi bergerak). Kontraksi otot
fasialis masing-masing diteliti dengan meminta pasien melakukan gerakan:
‒ Mengangkat alis
‒ Mengerutkan alis
‒ Menutup mata
‒ Meringis
‒ Memperlihatkan gigi atas
‒ Mengembungkan pipi
‒ Mengerucutkan bibir
‒ Bersiul
‒ Mengetatkan kulit dagu
Gambar 2. Gerakan otot wajah volunter
Tanda khas dari lesi N. VII tipe perifer adalah adanya lagoftalmus (kelopak
mata tidak dapat menutup ketika pasien memejamkan mata) dan terdapat
Bell’s sign (bola mata berguling ke atas ketika pasien memejamkan mata), jadi
kelumpuhannya separuh wajah. Sedangkan lesi N. VII tipe sentral
kelumpuhan di bawah mata ke bawah.
Gambar 3. Lesi N. VII tipe perifer (kiri) dan tipe sentral (kanan)
B. Pemeriksaan Sensorik dan Sensorik Khusus (Viserosensorik dan
Viseromotorik)
Pemeriksaan sensorik dan sensorik khusus dilakukan dengan tujuan untuk
menentukan letak tinggi lesi pada segmen mana lesi pada N. VII perifer.
Makin tinggi letak lesi, makin buruk prognosanya.
Viserosensorik. Perasaan viserosensorik khusus, yaitu pengecapan rasa.
Untuk menilainya, digunakan 4 perasaan pengecapan pokok, yaitu: manis,
asin, asam dan pahit. Bagian yang akan diteliti adalah 2/3 bagian depan lidah.
Bahan yang digunakan adalah:
‒ Glukosa 4% (manis)
‒ NaCl 2.5% (asin)
‒ Larutan asam sitrat (asam)
‒ HCl quinine 0.0075% (pahit)
Caranya: pasien menjulurkan lidah selama pemeriksaan, dengan lidi kapas
bahan tersebut disentuhkan pada 2/3 bagian depan. Kemudian pasien
menunjukkan kertas yang bertuliskan manis, asin, asam, atau pahit. Tiap
selesai pemeriksaan, pasien berkumur dahulu dengan air hangat kemudian
dilanjutkan pemeriksaan dengan bahan lain.
Gambar 4. Area perasa lidah
Viseromotorik. Pemeriksaan viseromotorik dapat dilakukan dengan uji
lakrimasi dan refleks stapedius.
‒ Uji lakrimasi (Schirmer test). Kertas lakmus merah ukuran 5x50mm, salah
satu ujungnya dilipat dan diselipkan pada conjunctiva sac di dekat sudut
mata medial kanan dan kiri. Biarkan 5menit dengan mata terpejam.
Interpretasi: normal jika airmata membasahi kertas lakmus merah dan
menjadi biru sepanjang 20-30mm dalam waktu 5menit, jika < 20mm atau
tidak ada berarti produksi air mata berkurang.
‒ Refleks stapedius (Stethoscope Loudness Balance Test). Letakkan
stetoskop pada telinga pasien kemudian diafragma stetoskop diketuk
lembut atau dengan garpu tala 256Hz di dekatkan pada diafragma
stetoskop. Interpretasi: bila terjadi hiperakusis pada salah satu telinga,
maka terdapat lesi pada N. VII sisi tersebut.
Nervus Akustikus (N. VIII)
Fungsi nervus akustikus dibagi dua, yaitu fungsi pendengaran (nervus kokhlearis)
dan fungsi keseimbangan (nervus vestibularis).
A. Pemeriksaan Pendengaran
Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan dengan menggunakan suara
gesekan jari ataupun garpu tala. Dengan menutup salah satu lubang telinga
secara bergantian, pasien disuruh untuk mendengarkan gesekan jari pemeriksa
yang didekatkan pada lubang telinga yang tidak ditutup. Untuk memastikan
apakah pasien menderita tuli konduksi atau tuli persepsi, maka diperlukan
pemeriksaan menggunakan garpu tala. Garpu tala yang sering digunakan
adalah frekuensi 512Hz.
1. Tes Schwabach. Setelah garputala digetarkan, garpu tala didekatkan pada
lubang telinga. Bila getaran garpu tala sudah berhenti, tanyakan pada
pasien apakah masih mendengar, kemudian alihkan garpu tala ke telinga
pemeriksa. Bila pemeriksa masih dapat mendengar bunyi garpu tala, maka
pasien mengalami tuli persepsi. Bila pemeriksa tidak mendengar, maka
pasien normal atau tuli konduksi.
2. Tes Rinne. Pemeriksaan ini adalah untuk membandingkan suara melalui
konduksi tulang dengan udara. Secara normal, konduksi suara melalui
udara lebih baik daripada melalui tulang. Garpu tala digetarkan dan
kakinya diletakkan tegak lurus diatas tulang mastoid pasien. Tanyakan
pasien apakah sudah tidak terdengar suara lagi, lalu dekatkan garputala di
depan lubang telinga pasien ipsilateral. Bila masih terdengar, maka Rinne
positif dan kemungkinan pasien normal atau tuli persepsi. Bila tidak
terdengar, maka Rinne negatif, kemungkinan pasien tuli konduksi.
3. Tes Weber. Tes ini untuk membandingkan pendengaran telinga kanan dan
kiri pasien. Garpu tala digetarkan dan kakinya diletakkan di verteks.
Normal jika suara garpu tala terdengar sama di kedua telinga. Bila ada
lateralisasi ke arah telinga yang sakit maka pasien tuli konduksi dan
sebaliknya, bila ada lateralisasi ke arah telinga yang sehat maka pasien tuli
persepsi.
Tabel 1. Interpretasi pemeriksaan garpu tala
Pemeriksaan Normal Tuli persepsi Tuli konduksiTes Rinne + + -Tes Schwabach - + -Tes Weber Sama Lateralisasi telinga
sehatLateralisasi telinga
sakit
B. Pemeriksaan Keseimbangan
1. Observasi sikap berdiri atau sikap badan sewaktu bergerak.
Tes Romberg. Pasien diminta untuk berdiri dengan kedua kaki dekat satu
dengan yang lain, mata tetap terbuka. Pada pasien dengan kelainan
vestibular, pasien akan terhuyung dan jatuh ke belakang.
Tes berjalan (stepping test). Pasien berjalan di tempat 50langkah, bila
tempat berubah melebihi jarak 1meter dan badan berputar lebih dari 30º
maka terdapat gangguan vestibular.
2. Observasi nistagmus spontan
3. Observasi nistagmus yang dibangkitkan.
Tes kalori. Untuk mengetes kelainan pada kanalis semisirkularis vertikalis
maka kepala harus tunduk 60º, sedangkan untuk mengetes kelainan pada
kanalis semisirkularis horizontalis maka kepala harus menengadah 30º.
Spuit 20cc, jarum ukuran 15 ujung dilindungi karet diisi dengan air suhu
30º untuk rangsangan dingin dan air suhu 44º untuk rangsangan panas.
Semprotkan ke liang telinga 1cc/detik, amati gerak nistagmus, frekuensi
dan lamanya. Normalnya, pada suhu dingin nistagmus akan berlawanan
dengan tempat rangsangan, pada suhu panas nistagmus akan searah
dengan tempat rangsangan.
Hallpike Maneuver. Pasien duduk diatas tempat tidur, tangan kanan dan
kiri pemeriksa memegang samping kepala pasien, kemudian pasien
dibaringkan diusahakan kepala menggantung di sisi ujung atas tempat
tidur dan kemudian kepala ditolehkan ke kiri dan dilihat adakah
nistagmusnya. Kemudian duduk kembali dan lihat nistagmusnya. Diulangi
lagi dan ditolehkan ke kanan.
Gambar 5. Hallpike Maneuver