BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di negara berkembang, angka kematian ibu (MMR) masih lebih tinggi dari 100
wanita per 100.000 hidup births. Statistik Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan
bahwa 25% dari kematian ibu disebabkan oleh perdarahan postpartum, terhitung
lebih dari 100.000 kematian ibu per tahun.2 Diperkirakan ada 140.000 ibu kematian
per tahun atau 1 wanita meninggal setiap 4 minutes.3
Demografi dan Kesehatan Indonesia Survey (SDKI) tahun 2007 menunjukkan
bahwa AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia (228 per 100.000
kelahiran hidup). Angka ini adalah sekitar 3-6 kali lebih tinggi dari MMRs di
Negara-negara Asia Tenggara dan lebih dari 50 kali MMR di negara maju. The
National Menengah Rencana Pembangunan Jangka (RPJMN) pada tahun 2005-2009
menargetkan pengurangan MMR dari 390 di 1990-228 per 100.000 kelahiran hidup
pada 2.007,4
Menurut Departemen Kesehatan Laporan pada tahun 1998, penyebab utama
kematian ibu (lebih dari 90%) di Indonesia adalah klasik triad, yaitu perdarahan
(40% -60%), toksemia gravidarum (20% -30%) dan infeksi (20% -30%). Penyebab
triad klasik dikenal sebagai "tiga terlambat": terlambat untuk mengenali tanda-tanda
bahaya kehamilan, terlambat untuk merujuk ibu ke pusat rujukan, dan terlambat
untuk mendapatkan bantuan dengan yang provider.5 kesehatan
Institut Nasional Penelitian Kesehatan dan Pembangunan yang dilakukan Riset
Kesehatan Dasar (Riset Kesehatan Nasional atau Riskesdas) pada tahun 2010. Satu
Aspek yang diamati dalam Riskesdas 2010 adalah kesehatan wanita hamil. Oleh
karena itu, Riskesdas 2010 adalah diharapkan dapat memberikan data berbasis bukti
tentang posting partum haemorrhage (PPH). Analisis ini bertujuan untuk dievaluasi
beberapa faktor risiko perdarahan postpartum
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui faktor resiko apa saja
yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan post partum di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1) PERDARAHAN POST PARTUM
1) DEFINISI
Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih
setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) (Wiknjosastro, 2000). Fase dalam
persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4 cm sampai
penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah membuka lengkap
sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian dilanjutkan dengan kala III
persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi dan berakhir dengan pengeluaran
plasenta. Perdarahan postpartum terjadi setelah kala III persalinan selesai (Saifuddin,
2002).
Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun
merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini juga
berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang mengakibatkan
wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok (Mochtar, 1995).
2) PENYEBAB PERDARAHAN POST PARTUM
Penyebab primer perdarahan post partum (PPH) beberapa tahun terakhir
banyak disingkat dengan empat T, yaitu:
1. Tone/tonus – atonia uteri
2. Trauma – perlukaan jalan lahir, inversi uteri
3. Tissue/jaringan – retensi plasenta, plasenta akreta
4. Trombin – gangguan koagulasi
a. Atonia uteri
Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPH, mungkin sekitar 70%
kasus. Pada kondisi ini otot polos uterus gagal berkoktraksi untuk menjepit
pembuluh2 darah spiral di tempat perlengketan plasenta sehingga perdarahan terjadi
sangat cepat. Kecepatan aliran darah pada uterus aterm diperkirakan 700 ml per
menit sehingga dapat dibayangkan kecepatan darah yang hilang.
Atonia dapat terjadi setelah persalinan vaginal, persalinan operatif ataupun
persalinan abdominal. Penelitian sejauh ini membuktikan bahwa atonia uteri lebih
tinggi pada persalinan abdominal dibandingkan dengan persalinan vaginal. Sebuah
studi kohort melaporkan insidensi atonia uteri setelah operasi sesar primer adalah 6%.
Analisis regresi analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor kehamilan kembar, ras
tertentu, induksi lebih dari 18 jam, janin besar, pemberian MgSO4 dan adanya KPD
berhubungan dengan risiko terjadinya atonia uteri. Terkait dengan persalinan vaginal,
kejadian atonia uteri lebih banyak pada ibu dengan gestational DM dan kala II lama
pada multipara sedangkan faktor lain tidak signifikan.
b. Trauma jalan lahir
Trauma jalan lahir seperti laserasi episiotomi, hematoma, ruptura uteri,
perluasan insisi pada saat operasi sesar dan inversi uteri merupakan beberapa trauma
yang menimbulkan perdarhan banyak. Risiko trauma jalan lahir bawah meningkat
bila terjadi kala II lama, penggunaan forcep atau vakum, epidiotomi atau adanya
varises vulva.
Episiotomi merupakan risiko terbesar untuk terjadinya hematoma selain risiko
lain seperti primipara, preeklamsia, kehamilan kembar, varises vulva dan gangguan
koagulasi. Adanya trauma jalan lahir merupakan 20% penyebab perdarahan post
partum. Inversio uteri atau ruptura uteri juga dapat menyebabkan perdarahan hebat.
Inversio uteri biasanya terjadi karena tarikan yang terlaalu dini atau kuat, tekanan
fundus yang berlebih namun juga dapat meningkat pada plasenta yang berimplantasi
di fundus, janin makrosomi, penggunaan oksitosin atau adanya riwayat inversi uteri
sebelumnya. Kehilangan darah bila terjadi inversi uteri sedikitnya 1000 ml, dan 65%
kasus inversi uteri akan disertai dengan perdarahan post partum dan lebih 45% akan
memerlukan tranfusi darah.
c. Tissue (retensi plasenta)
Waktu rata-rata lepasnya plasenta dari persalinan adalah 8-9 menit. Semakin
lama kala 3 berlangsung maka risiko PPH menjadi semakin tinggi dengan
peningkatan yang tajam setelah 18 menit. Retensi plasenta biasanya didefinisikan
sebagai plasenta tidak lahir setelah 30 menit, yang kejadiannya kurang dari 3%
persalinan vaginal. Plasenta yang lahir lebih dari 30 menit memiliki risiko mengalami
PPH 6 kali lipat dibanding persalinan normal.
Retensi plasenta terjadi 10% dari persalinan dan akan menimbulkan
perdarahan post partum. Sebagian besar retensi plasenta dapat diambil secara manual,
tetapi kadangkala pada kasus plasenta akreta, inkreta, perkreta maka perlu
penanganan lebih khusus. Retensi plasenta menyebabkan kehilangan darah yang
cukup hebat karena uterus gagal berkontraksi sempurna akibat masih tersisanya
jaringan plasenta di cavum uteri.
d. Thrombin (gangguan koagulasi)
Meskipun proporsi penyebab gangguan koagulasi tidak besar, namun tidak bisa
diremehkan. Karena kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan dengan beberapa
kondisi kehamilan lain seperti solusio plasenta, preeklamsia, septikemia dan sepsis
intrauteri, kematian janin lama, emboli air ketuban, tranfusi darah inkompatibel,
aborsi dengan NaCl hipertonik dan gangguan koagulasi yang sudah diderita
sebelumnya. Penyebab yang potensial menimbulkan gangguan koagulasi sudah dapat
diantisipasi sebelumnya sehingga persiapan untuk mencegah terjadinya perdarahan
post partum dapat dilakukan sebelumnya
3) KLASIFIKASI
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 1998) :
a. Perdarahan Postpartum Primer: yaitu perdarahan pasca persalinan yang
terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir
dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
b. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan pascapersalinan yang
terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder
disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta
yang tertinggal.
4) DIAGNOSIS PERDARAHAN POST PARTUM
5) PENCEGAHAN DAN MANAJEMEN
a. Pencegahan Perdarahan Postpartum
1) Perawatan masa kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus
yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan
tidak saja dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil
dengan melakukan antenatal care yang baik. Menangani anemia dalam
kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat
perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.
2) Persiapan persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,
golongan darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan
di bank darah. Pemasangan cateter intravena dengan lobang yang besar untuk
persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk pasien dengan anemia berat
sebaiknya langsung dilakukan transfusi. Sangat dianjurkan pada pasien
dengan resiko perdarahan postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan
digunakan saat persalinan.
3) Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular
atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik.
Massae yang berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama
ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi normal
myometrium dan bahkan mempercepat kontraksi akan menyebabkan
kehilangan darah yang berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan
postpartum.
4) Kala tiga dan Kala empat
Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Study
memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien
yang mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan
peningkatan insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik
berhati-hati pada pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak
ada USG untuk memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti
mengurangi volume darah yang hilang dan kejadian perdarahan
postpartum sebesar 40%.
Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit
setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada
untungnya justru dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan
terjadi ketika uterus mulai mengecil dan mengeras, tampak aliran darah
yang keluar mendadak dari vagina, uterus terlihat menonjol ke abdomen,
dan tali plasenta terlihat bergerak keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta
dapat dikeluarkan dengan cara menarik tali pusat secra hati-hati. Segera
sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau tidak. Untuk “
manual plasenta “ ada perbedaan pendapat waktu dilakukannya manual
plasenta. Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah tidak ada alas an
untuk menunggu pelepasan plasenta secara spontan dan manual plasenta
harus dilakukan tanpa ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan,
banyak yang menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit setelah
bayi lahir. Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap,
uterus terus di eksplorasi untuk mencari bagian-bagian kecil dari sisa
plasenta.
Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan
lahir yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang
cukup. Luka trauma ataupun episiotomi segera dijahit sesudah didapatkan
uterus yang mengeras dan berkontraksi dengan baik.
b. Manajemen Perdarahan Postpartum
Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum
adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat
mungkin.Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2
bagian pokok :
1. Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan
Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian
cairan dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ – organ penting.
Pantau terus perdarahan, kesadaran dan tanda-tanda vital pasien.
Pastikan dua kateler intravena ukuran besar untuk memudahkan pemberian
cairan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan cepat.
Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate
Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine
(dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam
1jam 30 cc atau lebih)
2. Manajemen penyebab hemorraghe postpartum
Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :
Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di
fundus uteri dan lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di
uterus dan vagina. Apabila terus teraba lembek dan tidak berkontraksi
dengan baik perlu dilakukan massase yang lebih keras dan pemberian
oxytocin. Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi
uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya. Lakukan kompres bimanual
apabila perdarahan masih berlanjut, letakkan satu tangan di belakang
fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan
ditekankan pada fornix anterior.
Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah
pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan
perdarahan, pilihan berikutnya adalah ergotamine. Siapkan rujukan
apabila perdarahan masih berlanjut, dan lakukan pemasangan kondom
kateter.
Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah
kompresi bimanual ataupun massase dihentikan, bersamaan pemberian
uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli menganjurkan eksplorasi
secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi
kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica
selama dilakukan eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan
kompresi bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian uterotonica.
Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan
manual removal. Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus
tidak baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan
tamponade uterrovaginal juga cukup berguna untuk menghentikan
perdarahan selama persiapan operasi
Trauma jalan lahir
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus
sudah berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan
eksplorasi jalan lahir untuk mencari perlukaan jalan lahir dengan
penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah diketahui
sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan
berakhir dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah
penjahitan selesai.
Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi
laserasi pembuluh darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa
dilakukan incise dan drainase. Apabila hematom sangat besar curigai
sumber hematom karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi untuk
menghentikan perdarahan.
Gangguan pembekuan darah
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri,
sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik
mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah gangguan pembekuan darah.
Lanjutkan dengan pemberian product darah pengganti ( trombosit,
fibrinogen).
2) PREEKLAMPSIA
1) DEFINISI
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah dan proteinuria (Cunningham et al, 2003, Matthew
warden, MD, 2005).
Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling banyak
terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan saja pada
pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari preeklampsia yang
ringan sampai preeklampsia yang berat (George, 2007).
2) ETIOLOGI
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak
teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan
penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”; namun belum ada yang
memberikan jawaban yang memuaskan. Diduga faktor imunologis memegang
peranan penting yg mengakibatkan terjadinya kerusakan organ organ secara
menyeluruh.
Adapun teori-teori tersebut adalah ;
a) Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial
plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal prostasiklin
meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul
vasokonstrikso generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat
perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%,
hipertensi dan penurunan volume plasma (Y. Joko, 2002).
b) Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan I karena pada kehamilan I
terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna. Pada preeklampsia terjadi komplek imun humoral dan aktivasi
komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
c) Peran Faktor Genetik
Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia meningkat
pada anak dari ibu yang menderita preeklampsia.
d) Iskemik dari uterus.
Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus
e) Defisiensi kalsium.
Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan
vasodilatasi dari pembuluh darah (Joanne, 2006).
f) Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting
dalam patogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin diketahui dilepaskan
oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan
dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin
sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan
meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan (Drajat koerniawan).
3) PATOFISIOLOGI
Perubahan pada organ-organ :
1. Perubahan kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya
berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload
jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis
hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan
onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke
dalam ruang ektravaskular terutama paru (Cunningham, 2003).
2. Metabolisme air dan elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak
diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak
pada penderita preeclampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa
atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini
disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali
tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan
perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan
klorida dalam serum biasanya dalam batas normal (Trijatmo, 2005 ).
3. Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah.
Selain itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler
dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan.
Gejala lain yang menunjukan tanda preklamsia berat yang mengarah pada
eklamsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan
oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks
serebri atau didalam retina (Rustam, 1998).
4. Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan
anemia pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan
perdarahan (Trijatmo, 2005).
5. Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada
plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena
kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklamsia
sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan,
sehingga terjadi partus prematur.
6. Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan
oleh edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena
terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru (Rustam, 1998).
7. Ginjal
Pada kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus
(LFG) meningkat secara bermakna. Pada preeklampsia dan eklampsia, perfusi
ginjal dan LFG menurun. Kadar asam urat biasanya meningkat, khususnya
pada wanita dengan penyakit yang lebih berat. Penurunan LFG akibat dari
berkurangnya volume plasma kadar kreatinin darah meningkat dua kali
lipat (0,5 mg/dL). Pada beberapa kasus preeklamsia berat, dapat terjadi
peningkatan kadar kreatinin darah menjadi 2 - 3 mg/dL .Setelah melahirkan,
tanpa adanya penyakit renovaskular kronik, pemulihan fungsi ginjal dapat
terjadi.
8. Hematologik
Trombositopenia, penurunan tingkat faktor pembekuan darah plasma,
dan trauma eritrosit sehingga bentuknya menjadi aneh dan cepat mengalami
hemolisis. Trombositopenia ditambah dengan gejala peningkatan kadar enzim
hati disebut juga sebagai sindrom HELLP (Hemolysis Elevated Liver
enzyme and Low Platelet).Kekurangan faktor pembekuan darah sangat jarang
terjadi kecuali pada keadaan yang memudahkan terjadinya koagulopati
konsumtif: abruptio placentae atau perdarahan akibat infark hati.
9. Hati
Nekrosis hemoragik periportal pada lobus hati perifer merupakan
penyebab yang paling mungkin dari peningkatan kadar enzim
serum.Perdarahan dari lesi ini dapat mengakibatkan rupture hepar atau
perdarahan tersebut dapat merembes ke bawah kapsul hati dan menjadikan
hematoma subkapsula
4) KLASIFIKASI
1. Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
a. Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau
lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu
kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.
b. Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada
urine kateter atau midsrteam.
2. Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
b. Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau
4+
c. Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
d. Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
e. Terdapat edema paru dan sianosis
f. Trombositopeni
g. Gangguan fungsi hati
h. Pertumbuhan janin terhambat (Lanak, 2004).
5) PENATALAKSANAAN
1. Preeklamsia berat (PEB)
Pada kehamilan dengan penyulit apapun, dilakukan pengelolaan dasar
sebagai berikut:
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya, yaitu medikamentosa
b. Setelah itu menentukan sikap terhadap janinnya yang tergantung umur
kehamilan
a. Sikap terhadap kehamilan dibagi 2, yaitu:
Ekpektatif atau konservatif, jika umur kehamilan <37 minggu. Artinya
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi
medikamentosa.
Aktif atau agresif, jika umur kehamilan ≥37 minggu,artinya kehamilan
diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
b. Pemberian terapi medikamentosa yaitu:
segera masuk RS
tirah baring miring ke kiri secara intermitten
infus RL atau Dextrose 5%
pemberian MgSO4 sebagai pencegah kejang, yaitu dengan:
o loading dose
o maintenance dose
Terapi medikamentosa pada PEB terdiri dari:
1. Magnesium Sulfat (MgSO4)
2. Obat anti hipertensi
3. Kortikosteroid berupa dexamethasone atau betamethasone untuk
maturasi paru janin
1. Magnesium Sulfat (MgSO4)
Tujuan utama pemberian MgSO4 adalah untuk mencegah dan
mengurangi kemungkinan terjadi kejang, sehingga dapat mengurangi
komplikasi pada ibu dan janin. Cara kerjanya sampai saat ini tidak seluruhnya
diketahui, diduga ia bekerja dengan beberapa mekanisme seperti:
mendilatasi pembuluh darah serebral sehingga mengurangi iskemia serebri
a. Mg memblok reseptor Kalsium (Ca) melalui inhibisi reseptor N-Metil
D-Aspartat (NMDA) di otak
b. Mg menyebabkan vasodilatasi perifer (terutama arteriola) sehingga
menurunkan tekanan darah
c. Mg secara kompetitif memblok masuknya Kalsium ke dalam synaptic
endings sehingga mengubah transmisi neuromuskular
d. Efek tokolitik yang belum jelas penyebabnya, diduga akibat hambatan
kanal Kalsium sehingga menginhibisi kontraksi otot.
Terdapat dua pilihan cara pemberian MgSO4, yaitu:
1. Pritchard Regimen
Loading dose dengan bolus 4 gram MgSO4 secara intravena
lambat dalam 5-10 menit; diikuti dengan 10 gr intramuscular
terbagi 5 gr per area injeksi (pantat kanan-kiri)
Maintenance dose dengan penyuntikan 5 gr intramuscular tiap 4
jam pada pantat, hungga 24 jam post partum (pada eklamsia
hingga 24 jam post last convulsion)
2. Zuspan Regimen
Loading dose dengan inisial dose sebanyak 4 gram MgSO4,
diberikan intravena lambat dalam 5-10 menit
Maintenance dose 1-2 gr MgSO4 per 1 jam, diberikan melalui
infus pump hingga 24 jam post partum partum (pada eklamsia
hingga 24 jam post last convulsion)
Dapat terjadi toksisitas akibat MgSO4, dengan tanda-tanda yang
berurutan muncul sesuai tinggi kadar MgSO4 serum,yaitu:11,12
1. reflek patella yang menurun ataupun hilang
2. pernapasan <16x/ menit
3. urine output <25ml/menit
4. rasa panas di muka, bicara sulit, kesadaran menurun
5. perubahan irama jantung akibat perubahan konduksi, hingga
cardiac arrest
Anti dotum bagi toksisitas MgSO4 adalah dengan Kalsium Glukonas larutan
10% sebanyak 1 gram, diberikan secara intravena pelan dalam 10 menit.11
2. Obat anti hipertensi
Pada hipertensi yang berat dimana tekanan darah >160/110 mmHg,
pemberian obat anti hipertensi direkomendasikan. Tujuannya adalah untuk
menurunkan tekanan darah sehingga mencegah komplikasi serebrovaskular
dan jantung sembari menjaga sirkulasi darah uteroplasenta. Tekanan darah
dijaga dalam tekanan 140/90 mmHg. Namun bagaimanapun obat anti
hipertensi dapat menurunkan isiden komplikasi serebrovaskular, penggunaan
obat ini tidak merubah progresivitas preeklamsia. Obat yang dapat digunakan
adalah:
a. Hidralazin
Merupakan vasodilator langsung dari arteriola perifer. Dahulu obat ini
digunakan secara luas sebagai lini pertama untuk hipertensi dalam kehamilan.
Agen ini memiliki onset yang lambat dalam aksinya yaitu dalam 10-20 manit
dan puncaknya kira-kira 20 menit setelah pemberian. Hidralazin dapat
diberikan dengan dosis 5-10 mg secara bolus intravena tergantung dari
beratnya hipertensi yang terjadi. Obat ini dapat diberikan tiap 20 menit hingga
dosis maksimal 30 mg.
Efek samping dari obat ini adalah adanya nyeri kepala, nausea, dan
vomitus. Efek penting yang patut diwaspadai adalah dapat menyebabkan
hipotensi maternal yang dapat diikuti perubahan denyut jantung janin. Pada
studi meta-analisis yang dilakukan Magee et al menemukan bahwa Hidralazin
berhubungan dengan outcome maternal dan perinatal yag lebih buruk
dibanding penggunaan Labetolol dan Nifedipin.
b. Labetalol
Labetalol adalah suatu selective Alpha Blocker dan non selective Beta
Blocker yang menyebabkan vasodilatasi dengan keluaran berupa penurunan
resistensi vaskular sistemik. Dosis pemberian Labetalol adalah 20mg intravena
dengan dosis ulangan tiap 10 menit (sebesar 40,80,80,80mg) hingga dosis
maksimal sebesar 300mg. Penurunan tekanan darah diobservasi setelah 5 menit
paska pemberian agen ini, dengan hasil penurunan tekanan darah yang lebih
minimal dibanding pemberian Hidralazin.
Labetalol dapat menurunkan ritme supraventrikel dan menurunkan
denyut jantung, sehingga mengurangi konsumsi oksigen miokardial, tanpa
mengurangi volume afterload jantung. Efek samping obat ini dapat
menyebabkan pusing, nyeri kepala dan mual. Jika kontrol tekanan darah telah
stabil dengan pemberian secara intravena maka obat dapat diberikan sebagai
maintenance secara oral.
c. Nifedipin
Merupakan Calcium Channel Blockers yang bekerja di dalam otot
polos arteriola dan menginduksi vasodilatasi melalui blocking masuknya
Kalsium ke dalam sel. Dosis Nifedipin adalah 10mg per oral setiap 15-30
menit dengan dosis maksimum 3 dosis pemberian. Efek sampingnya berupa
takikardi, palpitasi, dan nyeri kepala. Penggunaan secara bersamaan dengan
MgSO4 perlu dihindari. Nifedipin biasa digunakan pada masa post partum
pada pasien preeklamsia untuk kontrol tekanan darah.
d. Sodium Nitroprusside
Pada hipertensi berat hingga emergency, jika ketiga obat di atas tidak
berhasil menurunkan tekanan darah, maka dilakukan pemberian Sodium
Nitroprusside. Nitroprusside menyebabkan pelepasan nitric oxide yang dapat
menyebabkan vasodilatasi yang signifikan. Volume preload dan afterload
jantung turun secara nyata. Onset action-nya cepat dengan kemungkinan
terjadinya severe rebound hyprtension.
3. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid untuk maturitas paru janin hanya diberikan pada umur
kehamilan <34 minggu. Pemberiannya dalam bentuk Dexamethasone atau
Betamethasone. Dengan dosis Dexamethasone 6mg intravena 4 dosis interval
12jam, dan Betamethasone 12 mg intramuskular 2 dosis interval 24 jam
C. PENGARUH PREEKLAMPSIA TERHADAP PERDARAHAN POST
PARTUM
Hubungan antara preeclampsia dengan perdarahan post partum sampai saat
ini masih belum diketahui, namun preeclampsia diduga sebagai salah satu factor
resiko terjadinya PPP (Perdarahan Post Partum). Seperti pada suatu penelitian
didapatkan preeclampsia meningkatkan resiko terjadinya PPP 3,5 kali. Berikut
adalah beberapa teori yang menjelaskan hubungan antara preeclampsia dengan
kejadian perdarahan post partum.
1. PEMBERIAN MGSO4
MgSO4 sudah lama dikenal dan dipakai sebagai anti kejang pada penderita
preeklamsia sebagai anti kejang yang juga bersifat sebagai tokolitik. Di Amerika
Serikat obat ini dipakai sebagai obat tokolitik utama karena murah, mudah cara
pemakaiannya dan resiko terhadap sistem kardiovaskuler yang rendah serta
hanya menghasilkan efek samping yang minimal terhadap ibu, janin dan neonatal.
Kerugian terbesar yang signifikan dari penggunaan magnesium sulfat sebagai
obat tokolitik adalah harus diberikan secara parenteral
Pemberian MgSO4 pada beberapa penelitian dilaporkan sebagai factor
resiko terjadinya atonia uteri.
2. HELLP SYNDROME
Definisi dari sindroma HELLP masih kontroversi. Menurut Godlin (1982)
sindroma HELLP merupakan bentuk awal dari PEB. Weinstein (1982)
melaporkan sindroma HELLP merupakan varian yang unik dari preeklampsia,
tetapi Mackenna dkk (1983) melaporkan bahwa sindroma ini tidak berhubungan
dengan preeklampsia. Di lain pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindroma
HELLP merupakan bentuk lain dari disseminated intravascular coagulation (DIC)
yang terlewatkan karena proses pemeriksaan laboratorium yang tidak adekuat.
Audibert dkk (1996 ) melaporkan pembagian Sindroma HELLP
berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang didapati, yaitu: sindroma
HELLP murni bila didapati ketiga parameter, yaitu (1) hemolisis, peningkatan
enzim hepar, dan penurunan jumlah trombosit dengan karakteristik gambaran
darah tepi dijumpainya burr cell, schistocyte, atau spherocytes, LDH > 600
IU/L,, SGOT > 70 IU/ L, bilirubin >1,2 ml/dl, dan jumlah trombosit
<100.000/mm.
3. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan
dimana bekuan-bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan
yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. DIC menyebabkan perdarahan
post partum karena berkuranganya factor pembekuan darah (thrombin).
BAB III
HASIL DAN KESIMPULAN
Hasil: Pada analisis ini terdpat 601 subjek yang mengalami PPH dan 19.583
subjek tidak mengalami PPH. Eklamsia meningkatkan risiko PPH 3,5 kali
(95% interval kepercayaan (CI) = 2,53–4,69), ketuban pecah dini
meningkatkan risiko PPH 2,2 kali (95% CI = 1,69-2,83), placenta previa
meningkatkan risiko PPH 2,1 kali (95% CI = 1,29-3,31). Dibandingkan
kehamilan aterm, wanita dengan kehamilan prematur berisiko PPH 82% lebih
tinggi (95% CI = 1,33–2,49), sedangkan yang dengan kehamilan post-term
berisiko PPH 72% lebih tinggi (95% CI = 1,16–2,57). Dibandingkan wanita
dengan paritas 1-2, risiko PPH pada wanita yang berparitas 3-5 dan 6 atau
lebih berturut-turut adalah 24% dan 81% lebih tinggi.
Kesimpulan: Eklampsia merupakan faktor risiko PPH terkuat. Placenta
previa, ketuban pecah dini, kehamilan prematur atau post-term, serta paritas
yang tinggi juga meningkatkan risiko PPH.
DAFTAR PUSTAKA
Greer, IA, Piercy, CN. Low Molecular Weight Heparin for Thrombophylaxis and
Treatment of Venous Thromboembolism in Pregnancy: a Systematic
Review of Safety and Efficacy. American Society of Hematology, Blood
2005 106:401-407
Hirsh, J, Warkentin, TE,et al. Heparin and Low Molecular Weight Heparin
Mechanisms of Action, Pharmacokinetics, Dosing, Monitoring, Efficacy
and Safety. American College of Chest Physicians.2001;119:64S-94S
Kim, ESH, Bartholomew, JR. Venous Thromboembolism. Cleaveland Clinic
Med. Diunduh tanggal 14 November 2011 dari:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/c
ardiology/venous-thromboembolism
Marik, PE, Plante, LA, et al. Current Consepts: Venous Thromboembolic Disease
and Pregnancy. N Engl J Med 2008; 359:2025-33
Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi dan Patologi. EGC :
Jakarta.
Winknjosastro, H. 1999. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo : Jakarta.
Recommended