21
BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan yang terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak
dimulai dari kelainan kongenital pada mata, infeksi / peradangan pada mata,
hingga tingginya angka kebutaan di Indonesia. Keratitis atau peradangan pada
kornea adalah permasalahan mata yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan
kornea merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar
sehingga rentan terjadinya trauma atau infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis
akan mengganggu penglihatan seseorang yang pada akhirnya akan menurunkan
kualitas hidup seseorang. Karena itu penting sebagai dokter umum untuk dapat
mengenali dan menanggulangi kasus keratitis sejauh kompetensi sebagai dokter
umum yang terjadi dimasyarakat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
membuat pembahasan referat mengenai keratitis khususnya yang disebabkan oleh
virus Herpes – Zoster, disertai anatomi kornea dan persarafan nervus trigeminus
beserta percabangannya yang berhubungan dengan herpes zoster oftalmikus.1
Herpes zoster adalah suatu penyakit infeksi virus yang ditandai dengan
adanya nyeri radicular unilateral dan erupsi vesicular dengan dasar yang
eritematous pada dermatom yang diinervasi oleh ganglion sensori cranial maupun
spinal.2
Virus herpes zoster dapat memberikan infeksi pada ganglion Gaseri saraf
trigeminus. Bila yang terkena cabang pertama dari nervus trigeminus yaitu
ganglion cabang oftalmik maka akan terlihat gejala – gejala herpes zoster pada
mata. Gejala ini tidak akan melampaui garis median kepala. Biasanya herpes
zoster akan mengenai orang dengan usia lanjut. 3
Pada varicella jarang terjadi manifestasi di mata, pada herpes zoster sering
terjadi manifestasi pada mata. Berbeda dari lesi kornea varicella yang jarang dan
jinak, zoster oftalmik yang relative banyak dijumpai kerap kali disertai dengan
keratouveitis yang bervariasi beratnya tergantung status kekebalan pasien.
Meskipun keratouveitis zoster pada anak umumnya tergolong penyakit jinak,
penyakit ini tergolong berat pada dewasa bahkan dapat menimbulkan kebutaan.4
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kornea
Kornea merupakan jaringan yang avascular, bersifat transparan, berukuran
11–12 mm horizontal dan 10 – 11 mm vertical, serta memiliki indeks refraksi 1,
37. Kornea memberikan konstribusi 74 % atau setara dengan 43, 25 dioptri (D)
dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber
astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueos humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata.
Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung – ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane Bowman
melepas selubung Schwannya. Kornea terdiri sari 5 lapis, yaitu :
Gambar 1. Anatomi Kornea
21
1. Epitel
Tebalnya 550 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih.Satu lapis sel basal, sel polygonal, dan sel gepeng. Pada
sel batang sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel polygonal
didepannya melalui desmosome dan macula okludens .Ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.Sel basal
menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm
permukaan.5
2. Membrane Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi. 5
3. Stroma
Menyusun 90 % ketebalan kornea.Terdiri atas lamel yang merupakan
susunan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya, pada permukaan
terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang.Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan.Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma.Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma. 5
4. Membrane descement
Merupakan membrane aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.Bersifat
sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 μm. 5
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20 –
40 μm.Endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosos dan
zonula okluden. 5
21
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk kedalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan
didaerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan.5
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi. Kornea merupakan bagian
mata tembus cahaya dan menutup bola mata dibagian depan. Pembiasan sinar
terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar,
masuk kornea.5
2.2 Fisiologi Kornea
Kornea sebagai membrane pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Kornea merupakan komponen utama sistem optik mata
dimana 70% pembiasan sinar dilakukannya. Untuk fungsinya ini, kornea harus
mempunyai permukaan yang licin. Permukaan ini akan lebih licin bila terdapat
film air mata didepan kornea. Sinar yang masuk dibiaskan oleh kornea untuk
difokuskan pada macula lutea. 1
Sifat tembus cahaya karena struktur yang uniform, avaskuler, dan
deturgenses. Deturgenses atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea,
dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting dari pada epitel
dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi dan fisik pada endotel jauh lebih
berat daripada cedera epitel. Kerusakan sel – sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya
menyebabkan edema local sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel –
sel epitel itu telah beregenerasi. Penguapan air dari film air mata prakornea
berakibat film air mata menjadi hipertonik. Proses itu dan penguapan langsung
21
adalah factor-faktor yang menarik air dari stroma kornea superfisial untuk
mempertahankan keadaan dehidrasi.1
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut air dapat melalui stroma yang
utuh.Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut lemak dan larut air
sekaligus.1
2.3 Fisiologi Nervus Trigeminus
Nervus trigeminus merupakan nervus cranial terbesar, sensorik pada leher
dan kepala serta merupakan nervus motorik pada otot-otot pengunyahan. Nervus
trigeminus muncul dari pons, dekat dengan batas sebelah atas dengan radiks
motorik kecil yang terletak di depan dan radiks sensorik besar yang terletak di
medial. Nervus trigeminus terdiri atas tiga cabang (rami) utama yang menyatu
pada ganglion Gasseri. Ketiga cabang tersebut adalah:8
1. Nervus opthalmicus
2. Nervus maxillaris
3. Nervus Mandibularis
Gambar 2. Cabang – cabang nervus trigeminus
21
a). Nervus Opthalmicus
Nervus opthalmicus merupakan divisi pertama dari trigeminus dan
merupakan saraf sensorik. Nervus opthalmicus adalah nervus terkecil dari ketiga
divisi trigeminus. Nervus opthalmicus muncul dari bagian atas ganglion semilunar
sebagai berkas yang pendek dan rata kira-kira sepanjang 2.5 cm yang melewati
dinding lateral sinus cavernous, di bawah nervus occulomotor (N III) dan nervus
trochlear (N IV). Saraf ini memasuki cavum orbita melalui fissura orbitalis
superior kemudian bercabang menjadi tiga cabang:8
1. N. Lacrimalis
2. N. Frontalis dan
3. N. Nasociliaris
Cabang-cabang n. opthalmicus menginervasi kornea, corpus ciliaris, iris,
glandula lacrimalis, konjunctiva, bagian membran mukosa cavum nasal, kulit
palpebral, alis, dahi, hidung, selaput otak, dan sinus paranasalis. 8
Gambar 3.cabang – cabang nervus oftalmikus
21
1. Nervus Lacrimalis
Merupakan nervus terkecil dari cabang-cabang opthalmicus. Nervus
lacrimalis menginervasi glandula lacrimalis dan konjunctiva. Akhirnya, nervus ini
menembus septum orbital dan berakhir pada palpebra superior bergabung dengan
cabang-cabang nervus facialis.8
2. Nervus Frontalis
Merupakan cabang terbesar dari opthalmicus. Nervus ini memasuki cavum
orbita melewati fissura orbitalis superior dan masuk diantara palpebra levator
superioris dan periosteum. Di pertengahan perjalanan diantara apeks dan basis
orbita bercabang menjadi dua cabang yaitu nervus supratrochlear dan
supraorbital.8
3. Nervus Nasociliaris
Nervus ini juga menginervasi kornea, korpus siliaris, iris, dan konjungtiva.
Nervus nasosiliaris terdiri dari 3 cabang, yaitu : 8
Ganglion ciliaris radiks longi
Nervus ciliaris longi
Nervus ethmoidalis
b). Nervus maxillaries
Nervus maxillaris merupakan divisi dua dan merupakan nervus sensorik.
Ukuran dan posisinya berada di tengah-tengah nervus opthalmicus dan
mandibularis. Mempersarafi rahang atas serta gigi-gigi rahang atas, bibir atas,
pipi, palatum durum, sinus maxillaries dan selaput lendir hidung. Saraf ini
memasuki rongga tengkorak melalui foramen rotundum. 8
c). Nervus mandibularis
Nervus mandibularis disebut juga nervus maxillaris inferior. Merupakan
nervus terbesar dari ketiga divisi dan terdiri atas dua radiks : 1. radiks sensorik
mayor, keluar dari sudut inferior ganglion semilunar dan 2. radiks motorik minor.
Mempersarafi rahang bawah, bibir bawah, mukosa pipi, lidah, sebagian dari
meatus accusticus externus, meatus accusticus internus dan selaput otak. Saraf ini
memasuki rongga tengkorak melalui foramen ovale. 8
21
2.4 Definisi Keratitis Herpes
Keratitis Herpes Zoster adalah peradangan pada kornea yang disebabkan
karena infeksi virus varisela zoster. (2)
2.5 Epidemiologi
Herpes zoster memiliki insiden paling tinggi dari seluruh penyakit
neurologi. Sekitar 95% orang dewasa di Amerika Serikat memiliki antibodi
terhadap virus varicella-zoster dan rentan terhadap munculnya reaktivasi.
Seseorang dengan usia berapapun dapat menderita zoster, namun insidensnya
meningkat seiring dengan usia akibat menurunnya kekebalan. Sekitar 4% pasien
dengan zoster akan mengalami episode berulang atau kekambuhan di kemudian
hari.6
Penelitian terhadap pasien di sebuah health maintenance organization
(HMO) di Amerika menunjukkan 1075 kasus sejak tahun 1990-1992. Berikut
karakteristik yang tercatat:
- Indisen saat itu 215 per 100.000 orang per tahun
- Pasien lanjut usia memiliki risiko lebih besar (1424 kasus per 100.000 orang
per tahun uuntuk usia >75 tahun)
- 3 dari 4 pasien dengan zoster yang rekuren atau kambuh menderita HIV
positif
Diantara kasus penyakit okular eksternal, insiden herpes zoster oftalmikus
adalah 2,4% sedangkan insiden kelainan mata pada herpes zoster, yaitu kelainan
pada daerah yang diinervasi oleh cabang pertama nervus trigeminus berkisar
antara 8,2 % - 56 %. Meskipun herpes zoster adalah suatu penyakit yang lebih
jarang dijumpai dibandingkan dengan varisela, tapi lebih sering mengenai mata.6
2.6 Etiologi
Virus Varisela-Zoster termasuk famili herpesvirus dan merupakan salah
satu dari delapan virus yang diketahui virus herpes yang menginfeksi manusia.
Diameter virus ini kurang lebih adalah 150-200 nm dan memiliki berat molekul
sekitar 80 juta. Ciri khas pada strukturnya adalah memiliki nukleokapsid
isosahedral dengan dikelilingi lipid envelop. DNA double stranded terletak
21
ditengah-tengah struktur virus tersebut. Genome VZV mengkode kurang lebih 70
gen yang unik, kebanyakan memiliki susunan DNA dan fungsi yang homolog
dengan virus herpes lainnya. Earlygene products meregulasi replikasi DNA,
misalnya polymerase DNA virus dan virus-specific tymidine kinase. Late genes
mengkode protein structural yang menjadi target oleh antibody dan respon imun
selular.2
Gambar4. Struktur Virus Varicella - Zoster
2.7 Patofisiologi
Varicella Zoster Virus (VZV) terdapat dimana-mana dan sangat menular,
dengan paparan pertama secara khas terjadi pada masa anak-anak. Pada paparan
pertama (infeksi varisella), virus masuk ke host melalui system respiratori bagian
atas, kemudian bereplikasi diperkirakan pada nasofaring. Paparan pertama ini
dapat juga menyebabkan keratitis zoster, walaupun sangat jarang terjadi. Virus
menginfiltrasi sistem retikuloendotelial, dan akhirnya menuju ke
sistemik (viremia). Selama serangkaian terjadinya varisela, VZV melewati lesi
pada permukaan kulit dan mukosa menuju saraf ending sensoris yang berdekatan
dan pindah secara sentripetal ke atas serabut sensoris pada ganglion sensoris
(ganglion dorsalis). Pada ganglia, virus menjadi infeksi laten yang tetap ada
selama kehidupan.2
Virus ini dapat reaktivasi menjadi infeksius oleh karena adanya gangguan
pada host-parasit dalam waktu beberapa tahun sampai puluhan tahun setelah
21
infeksi primer dan biasanya terjadi pada orang tua atau dewasa. Infeksi primer
merupakan penyakit yang self-limiting.7
Pada reaktivasi herpes zoster laten, sering timbul ganglionitis nekrotik dan
virus infeksius akan bergerak kembali menuju akson dan menimbulkan dermatitis
vesikularis yang infeksius pada dermatom yang terkena. Infeksi virus varisela
zoster pada mata dapat terjadi melalui satu atau dua mekanisme dibawah ini :7
1. Reaktivasi virus laten pada ganglion sensoris trigeminal
2. Masuknya virus eksogen melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan
penderita herpes zoster atau varisella, walaupun infektivitasnya rendah.
Dermatom yang paling sering terkena adalah yang diinervasi oleh
n.trigeminus, dimana cabang pertama (oftalmik) terkena 20 kali lebih sering dari
pada cabang kedua atau ketiga. Herpes zoster yang timbul pada daerah yang
diinervasi oleh cabang oftalmik n.trigeminus disebut sebagai herpes zoster
oftalmikus tanpa mempertimbangkan apakah mata tersebut mengalami inflamasi
atau tidak.7
Infeksi virus varisela zoster dapat menyebabkan kerusakan okular, invasi
virus secara langsung dapat menyebabkan keratitis dan konjungtivitis. Komplikasi
yang paling umum dari herpes zoster ke okula adalah inflamasi kornea, beberapa
vesikel kecil yang tumbuh di epitel kornea dan hal tersebut diikuti dengan
bengkaknya stroma kornea. Selain itu, suplai saraf yang terganggu di kornea
sebagaimana yang sering muncul pada herpes zoster dapat menyebabkan kornea
berkembang menjadi keratitis dengan erosi epitelial yang berbentuk pungtat
(Neuroparalitik keratitis).2
Gambar 5. Distribusi sensorik dari n.oftalmika cabang dari n.trigeminal
21
Pada cabang oftalmik yang juga paling sering terkena adalah n.frontalis
yang menginervasi palpebral superior, dahi, dan konjungtiva superior melalui
cabang supratroklear dan supraorbital. Cabang nasosiliaris dan lakrimal dari
n.oftalmikus juga bisa terserang bersama-sama maupun sesudahnya, dan bisa
disertai dengan kelainan cabang maksilaris n.trigeminus. Bila cabang nasosiliaris
terkena, disebut Hutchinson sign, ini menunjukkan bahwa mata terinfeksi virus
varisela zoster melalui cabang dari nasosiliaris. Hutchinson sign merupakan
indikasi untuk risiko lebih tinggi terkena gangguan penglihatan. Dalam suatu
studi, 76% pasien dengan tanda ini mempunyai gangguan penglihatan.7
2.8 Manifestasi Klinis
Infeksi virus varicella – zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk :4
1. Primer (varicella)
2. Rekurens (herpes zoster)
Pada varicella jarang terjadi manifestasi di mata, pada herpes zoster
oftalmik sering terjadi manifestasi pada mata. Pada varicella (cacar air), lesi mata
umumnya berupa lesi cacar di palpebral dan tepian palpebral. Jarang timbul
keratitis (khasnya, lesi stroma perifer dengan vaskularisasi) dan lebih jarang lagi
keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrit.4
Adapun gejala pada herpes zoster oftalmika antara lain adalah :9
a. Stadium prodromal : nyeri lateral sampai mengenai mata, demam, malaise,
dan sakit kepala
b. Dermatitis
c. Nyeri pada mata
d. Lakrimasi
e. Penurunan visus
f. Mata merah unilateral
Bagian - bagian pada mata yang terkena dan dapat menimbulkan gejala
pada infeksi VZV adalah :9
1. Kelopak mata : blefaritis
2. Konjungtiva : konjungtivitis yang ditandai dengan injeksi konjungtiva dan
edema
21
3. Sklera: Skelritis atau episkleritis mungkin berupa nodul yang biasa menetap
selama beberapa bulan
4. Kornea : keratitis
5. Traktus uvea : uveitis
6. Retina : retinitis
Komplikasi pada kornea terjadi 65 % dari kasus herpes zoster
oftalmik.Keratitis Herpes Zoster menimbulkan gejala yang umum terjadi pada
keratitis seperti nyeri, mata merah, dan dapat menyebabkan penurunan visus.Pada
kelopak akan terlihat vesikel dan infiltrate pada kornea. Vesikel tersebar sesuai
dengan dermatom yang dipersarafi saraf trigeminus yang dapat progresif dengan
terbentuknya jaringan parut. Daerah yang terkena tidak melewati garis media.3,9
Gambar 6. Keratitis Herpes Zoster
Herpes Zoster keratitis bermanifestasi dalam bentuk klinis yaitu :2
Keratitis epithelial akut
Gejala awal mulai muncul dua hari setelah onset kemerahan di kulit dan
sembuh secara spontan beberapa hari kemudian.Ditandai dengan adanya lesi
dendritik kecil dan halus (pseudodendrit) yang positif jika di tes fluoresen.2
Gambar 7. A. Lesi Dendritik pada Keratitis Herpes Zoster, B. dengan tes Fluoresen
21
Keratitis nummular
Keratitis nummular mungkin mengikuti keratitis epitelial akut,biasanya
sepuluh hari setelah onset kemerahan di kulit. Ditandai dengan adanya multiple
granular infiltrat pada stroma anterior dikelilingi oleh “halo of stromal haze” pada
daerah yang sebelumnya terkena punctate epitel dan pseudodendrit. Biasanya lesi
ini hanya bersifat sementara, tetapi dapat pula meninggalkan jaringan parut yang
samar-samar. Lesi memberi respon pada pemberian steroid tapi dapat
“recurrence” jika pemberian dihentikan terlalucepat.2
Gambar 8. Keratitis Nummularis
Keratitis Disciform
Keratitis Disciform adalah infiltrasi stroma yang mendalam biasanya
berkembang 3-4 bulan setelah fase akut awal, dan biasanya didahului oleh
keratitis stroma akut epitel atau anterior keratitis stroma. Pada pemeriksaanakan
tampak disk shaped, well defined, disertai edema stromal difus tanpa disertai
vaskularisasi. Pada tahap ini akan tampak jelas edema pada kornea dan inflamasi
pada bilik mata depan. Edema disciformik ini dapat mengakibatkan jaringan
parut, neovaskularisai atau kadang ditemukan adanya deposisi lemak.2
Gambar 9. Keratitis Disciform
Keratitis Neurotropik
Neurotropik keratitis ditandai dengan kehilangan sensasi kornea bisa
disertai dengan adanya perforasi pada kornea, dimana jika sudah terjadi perforasi,
21
maka proses epitelisasi akan sulit. Hal ini akan menyebabkan mudahnya terjadi
infeksi sekunder pada mata.2
Gambar 10. Tipe– tipe Keratitis Herpes – Zoster :
A. Punctate Ephitelial Keratitis, B. Microdendritic Epithelialulcer,
C.Nummular Keratitis, D. Disciform Keratitis
2.9 Pemeriksaan Penunjang 2
Diagnosa laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan :
1. Pemeriksaan langsung secara mikroskopik
Percobaan Tzanck : Kerokan pada palpebral diwarnai dengan Giemsa dan
akan didapati sel dantia berinti banyak. Namun tes ini tidak dapat
membedakan antara lesi akibat herpes zoster dengan herpes simpleks.
2. Immunofloresensi direk dapat membedakan infeksi akibat varicella zoster atau
herpes simpleks
3. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik PRC (Polymerase Chain Reaction)
2.10 Diagnosis banding
1. Keratitis Herpes Simpleks
21
Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh
infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Penyakit ini dapat merupakan
infeksi primer dan bentuk kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya
bersifat epithelial dan ringan. Berbeda dengan keratitis Herpes Simplex Virus
(HSV) rekurens yang umumnya hanya mengenai epitel, keratitis VZV mengenai
stroma dan uvea anterior sejak awal terjadinya. Lesi epitelnya amorf dan
berbercak, sesekali terdapat pseudodendrit linear yang agak mirip dendrit-sejati
pada keratitis HSV.2
Dari ketidakseimbangan imunitas penderita dapat menyebabkan terjadinya
aktivasi virus herpes dan selanjutnya dapat menimbulkan keratitis.Kondisi
imunosupresi dapat terjadi akibat penggunaan kortikosteroid sistemik yang
menimbulkan aktivasi keratitis herpes simpleks. Mula-mula kadar IgM
meningkat, kemudian kadar IgG juga meningkat dan akhirnya tampak antibodi
IgA dalam sekresi mukosa. Selanjutnya dikatakan bahwa antibodi menghancurkan
virus ekstraseluler. Virus yang bergabung dengan antibodi terutama dengan IgA
akan dicegah perlekatannya dengan sel membran dan menginfeksi jaringan.2
Reaksi hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) yang ditingkatkan oleh IgG
antibody memudahkan fagositosis dan netralisasi virus. Virus herpes simpleks
yang stromal disertai reaksi tipe IV dapat terjadi pada penderita yang mengalami
depresi imun akibat penggunaan kortikosteroid, karena usia lanjut, atau karena
penyakit sistemik. Keratitis desciformis dapat merupakan hasil reaksi tipe
terhadap antigen virus herpes.2
lnfeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi
primer. Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion n.trigeminus,dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus.(2)
Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi : lakrimasi, fotofobia,
injeksi perikornea, dan penglihatan kabur (tergantung lokasi dan luasnya lesi).
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel
karena adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Perlu dibedakan dengan
keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, penggunaan lensa kontak,
21
keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes
simpleks ringan adalah tidak adanya fototobia.2
Keratitis herpes simpleks kambuhan dibedakan atas bentuk
superfisiaI,profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau keratouveitis. Keratitis
superfisial dapat berupa punctata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika
merupakan proses kelanjutan dari keratitis punctata yang diakibatkan oleh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkan kematian sel serta
membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat
berkembang menjadi keratitis geografika, akibat bentukan ulkus bercabang yang
melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi
seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus.2
Gambar 12. Keratitis Dendritika
2.
3.
4.
5.
Gambar 13. Keratitis Geografik
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques.Selain itu, bentuk dendriform lebih
kecil.Tirosinemia juga sering menimbulkan lesi dendriform, tetapi biasanya
21
bilateral dan terjadi pada anak-anak. Lesi semacam ini pernah pula dilaporkan
sebagai akibat infeksi Acanthamoeba, trauma kimia, dan akibat toksisitas
thiornerosal.2
Tabel 1. Perbedaan Keratitis herpes simplex dan Keratitis herpes zoster 2
Keratitis Herpes Simplex Keratitis Herpes Zoster
Usia Primary : 5 tahun
Kekambuhan : usia
pertengahan
Usia tua
Immunosupresi
Manifestasi pada mata
Nyeri Ringan Lebih berat
Dendritic
keratitis
Sentral Disekitar lokasi
Besar Kecil
Well-defined dendrite Berbentuk bintang
Ulkus sentral Plak yang meninggi
Spectrum 1. Blefarokonjungtivitis
- Folikular
- Siktrik
Herpes Zoster Akut :
1. Skleritis
2. Konjungtivitis
3. Keratitis
- Pungtat epiteliat
keratitis
- Mikrodendrit
- Keratitis
nummular
- Keratitis disciform
4. Uveitis anterior
5. Akut retinal necrosis
2. Kelainan epitel
- Ulkus dendrit
Herpes Zoster Kronik :
1. Konjungtivitis
2. Keratitis
- Keratitis
3. Keratitis stroma
- Keratitis nekrosis
21
- Keratitis non
nekrosis
- Keratitis disiform
- Keratitis intersisial
nummular
- Keratitis
disciform
- Keratitis
neurotropic
- Mukosa plak
keratitis
4. Komplikasi pada
kornea
- Stromal
vaskularisasi
konjungtivitis, skar
- Keratitis trophic
- Keratopaty lipid
5. Uveitis akut
6. Skleritis
7. Acute retinal necrosis
Terapi - Debridement
- Terapi obat dengan
antiviral
- Terapi bedah
- Pengendalian
mekanisme pemicu
yang mereaktifasi
infeksi HSV
- Obat antivirus oral
- Analgetik
- Steroid sistemik dan
topical
- Antibiotic topical
- Terapi bedah
2.11 Penatalaksanaan
Pengobatan biasanya tidak spesifik dan hanya simtomatis. Pengobatan
dengan memberikan asiklovir dan pada usia lanjut dapat diberi steroid. 3
Terapi sistemik:
21
1. Obat antivirus oral
Obat ini secara signifikan dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi
timbulnya vesikel, menghentikan perkembangan virus, dan mengurangi kejadian
serta komplikasi lebih lanjut. Agar efektif, pengobatan harus dimulai segera
setelah timbulnya ruam, namun hal ini tidak berpengaruh pada post herpetik
neuralgia. Pengobatan dapat diberikan acyclovir dengan dosis 800 mg, 5 kali
sehari selama10 hari atau Valasiklovir dengan dosis 1 g tiga kali sehari selama 10
hari,famciclovir, 500 mg/ 8 jam selama 7-10 hari. Terapi dimulainya 72 jam
sejak timbulnya kemerahan.2
2. Analgetik
Rasa nyeri terasa sangat parah pada 2 minggu pertama dari serangan.
Sehinggaharus diberikan pengobatan dengan analgesik seperti kombinasi dari
mefenamicacid dengan paracetamol atau pentazocin atau petidin (ketika sangat
berat).2
3. Steroid sistemik
Digunakan dengan dosis tinggi untuk menghambat perkembangan
penyakitpada post herpetic neuralgia. Namun resiko steroid dosis tinggi pada
lansia harusdipertimbangkan. Steroid pada umumnya digunakan untuk menangani
komplikasi dari kasus neurologis seperti kelumpuhan nervus okulomotorius dan
neuritis optik. Pemakaian steroid sistemik masih kontroversial.2
Terapi lokal untuk mata:2
1. Untuk keratitis zoster :.
a. Tetes mata steroid 4 kali sehari.
b. Obat tetes mata yang mengandung Cyclopegics seperti Cyclopentolate
atau salep mata atropin.
c. Salep mata acyclovir 3% diberikan 5 kali sehari selama 2 minggu.
2. Untuk mencegah adanya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topikal.
3. Apabila terdapat glaukoma sekunder
a. Obat tetes mata Timolol 0,5 % atau Betaxolol 0,5%
b. Acetazolamide oral 250 mg diberikan 4 kali sehari.
4. Untuk ulkus kornea neuroparalisis yang disebabkan oleh herpes zoster,
dilakukan Tarsorrhaphy lateral.
21
5. Kerusakan epitel yang menetap digunakan :
a. Tetes air mata buatan
b. Soft contact lens bandage
6. Keratoplasti
Tindakan ini diperlukan untuk rehabilitasi pengelihatan pasien herpes zoster
dengan jaringan parut yang tebal.Namun hal ini beresiko tinggi.
2.12 Komplikasi
Penyulit yang terjadi adalah uveitis, parase otot penggerak mata,
glaucoma, dan neuritis optic.2,3
2.13 Prognosis
Prognosis penyakit pada umumnya baik tergantung pada tindakan
perawatan.Tingkat kesembuhan penyakit ini umumnya tinggi pada dewasa dan
anak – anak dengan perawatan secara dini.Prognosa penyakit menjadi baik kerena
pemberian asiklovir yang dapat mencegah komplikasi ke mata sampai ke arah
penurunan visus dan pencegahan terjadinya paralisis motoric.Selain itu, bengkak
dan merah pada mata dapat hilang.Namun pada kulit dapat menimbulkan macula
hiperpigmentasi atau sikatrik.2
Pengobatan antiviral iv seharusnya di administrasi seperti yang telah
disebutkan dalam pengobatan di atas. Prognosa juga ditentukan dari waktu
pemberian antiviral yang sebaiknya diberikan 72 jam pertama setelah onset.
Pasien yang dirawat jalan seharusnya mempunyai tindak lanjut yang adekuat
untuk penanganan pada keratitis herpes zoster.Pemeriksaan ulang setelah
maksimum 1 minggu haruslah dijadwalkan pada stadium awal.Begitu juga dengan
pengobatan menggunakan antiviral haruslah dipraktikkan dan diteruskan seperti di
atas.2
BAB III
KESIMPULAN
21
Keratitis Herpes Zoster adalah peradangan pada kornea yang disebabkan
karena infeksi virus varisela zoster yang ditandai oleh gejala pada mata yaitu rasa
sakit pada daerah yang terkena dan badan terasa hangat, penglihatan berkurang
dan merah, pada palpebraakan terlihat vesikel dan infiltrate pada kornea. Vesikel
tersebar sesuai dengan dermatom yang dipersarafi saraf trigeminus yang dapat
progresif dengan terbentuknya jaringan parut.Daerah yang terkena tidak melewati
garis media.
Cara masuknya virus varicella zoster biasanya melalui droplet
pernapasan.Lalu kemudian masuk ke aliran darah dan menempati ganglion, dapat
juga masuk ke ujung-ujung saraf pada kulit dan membrane mukosa setelah kontak
dengan permukaan kulit yang terinfeksi.
Infeksi virus varisela zoster dapat menyebabkan kerusakan okular, invasi
virus secara langsung dapat menyebabkan keratitis dan konjungtivitis.Komplikasi
yang paling umum dari herpes zoster ke okula adalah inflamasi kornea, beberapa
vesikel kecil yang tumbuh di epitel kornea dan hal tersebut diikuti dengan
bengkaknya stroma kornea.Selain itu, suplai saraf yang terganggu di kornea
sebagaimana yang sering muncul pada herpes zoster dapat menyebabkan kornea
berkembang menjadi keratitis dengan erosi epithelial.
Keratitis herpes zoster bisa bermanifestasi dalam bentukkeratitis epithelial,
keratitis nummularis, keratitis disciform, dan keratitis neurotropic.Keratitis herpes
zoster harus dibedakan dengan keratitis yang disebabkan oleh herpes simpleks.
Prognosis penyakit pada umumnya baik tergantung pada tindakan
perawatan. Tingkat kesembuhan penyakit ini umumnya tinggi pada dewasa dan
anak – anak dengan perawatan secara dini. Prognosa penyakit menjadi baik
kerena pemberian asiklovir yang dapat mencegah komplikasi ke mata sampai ke
arah penurunan visus dan pencegahan terjadinya paralisis motorik.
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Ilyas, SH. Infeksi Herpes Zoster. Ilmu Penyakit Mata. Ed keempat cetakan
kedua. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2012. Hal.151-2
2. Biswell, MD .Kornea. In : Vaughan DG, Asbury T. Oftalmologi Umum.
17th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2012. Hal : 134-5
3. Ilyas, SH. Anatomi dan Fisiologis Mata. Ilmu Penyakit Mata. Ed keempat
cetakan kedua. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2012. Hal.5-6
4. S. Anny. Pengelolaan Komplikasi Herpes Zoster Oftalmikus. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Rumah Sakit Dokter Kariyadi.
Semarang, 1998
5. Anonim. Herpes Zoster. Available at
http://www.medispot.blogspot.com/2008/10/herpes-zoster.html
6. Anonim. Trigeminal Nerve. Available at
http://www.gudangmateri.com/2010/03/ trigeminal-nerve.html
7. Wahyuningtias, W. Herpes Zoster Oftalmikus. Available at
http://www.scribd.com/doc /76265944/Herpes-Zoster-Oftalmikus
8. Hendrawan, E. Herpes Zoster. Available at
http://www.scribd.com/doc/98742169/herpes -zoster
9. Hendrawan,E. Keratitis. Available at
http://www. scribd .com/doc/59034562/ KERATITIS