1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah gizi masih cukup rawan terutama pada pasien yang
mengalami gangguan dalam pencernaan, dimana kondisi masyarakat
tersebut banyak yang kekurangan gizi atau gizi buruk. Gizi buruk / gizi
kurang sering terjadi karena makanan yang tidak seimbang, terutama
dalam hal protein. Kekurangan protein juga akan menimbulkan
penyakit, seperti kwashiorkor, marasmus, dan obesitas. Protein adalah
bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh
setelah air (Alimul H, A. Aziz.2009).
Protein tersusun atas senyawa organik yang mengandung unsur-
unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Unsur nitrogen (N)
adalah ciri protein yang membedakan dari karbohidrat dan lemak.
Protein merupakan bahan baku sel dan jaringan karena merupakan
komponen penting dari otot, kulit, dan tulang. Protein mempunyai fungsi
khas yang tidak dapat digantikan oleh zat kimia lain, yaitu membangun
serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Protein merupakan zat gizi
yang paling penting, karena yang paling erat hubungannya dengan
proses kehidupan. Didalam sel protein terdapat protein struktural
maupun protein metabolik, molekul protein mengandung unsur-
unsur C,H,O dan unsur khusus yang terdapat didalam protein dan tidak
terdapat didalam molekul karbohidrat maupun lemak yaitu nitrogen (N).
Protein adalah senyawa kompleks yang tersusun atas unsur-unsur C,
2
H, O dan N, namun demikian ada pula protein yang mengandung unsur
S dan P. Setiap sel yang hidup tersusun oleh protein, protein
merupakan bahan pembangun tubuh yang utama (Almatsier, S. 2009).
Pada kasus pembedahan digestif akan mengalami hambatan
dalam proses absorbsi makanan terutama protein sehingga kebutuhan
protein perlu diperhatikan. Fungsi protein didalam tubuh sangat erat
hubungannya dengan kehidupan sel, selain itu, protein juga berfungsi
sebagai zat pertahanan tubuh melawan berbagai mikroba dan zat
toksik lain yang datang dari luar dan masuk kedalam lingkungan
internal tubuh. Protein juga sebagai zat pengatur proses-proses
metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon. Protein dalam bahan
makanan yang dikonsumsi manusia akan diserap oleh usus dalam
bentuk asam amino, protein mengandung asam amino essensial dan
non essensial (Alimul H, A. Aziz, 2009).
Kebutuhan protein untuk orang dewasa adalah 1 gram/kg.BB/hari
dan untuk pasien yang mengalami stress fisik, infeksi berat,
pembedahan maka kebutuhan proteinya ditambah sepertiga
kebutuhan. Jika kebutuhan tersebut berlebih, maka kelebihannya akan
dibuang melalui ginjal dalam bentuk urea, inilah yang disebut Nitrogen
Balans (Murwani, 2010).
Kebutuhan zat besi tergantung kepada jenis kelamin dan umur,
kecukupan yang dianjurkan untuk laki-laki dewasa sebesar 13 mg/hari
dan wanita dewasa sebesar 26 mg/hari. Zat besi dalam makanan dapat
berasal dari sumber nabati dengan ketersediaan hayati 2-3% dan
3
sumber hewani dengan ketersediaan hayati 20-23% (Almatsier, S.
2009).
Protein dan zat besi (Fe) sangat erat hubungannya dalam
metabolisme tubuh manusia. Protein yang disintesis di dalam hati
berupa transferin mengangkut besi ke sumsum tulang untuk
pembentukan hemoglobin, apabila terjadi kekurangan besi dan protein,
maka dapat menyebabkan terjadinya kekurangan hemoglobin atau
yang lebih dikenal dengan anemia. Defisiensi zat besi adalah kondisi
dimana seseorang tidak memiliki zat besi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuhnya atau pengurangan sel darah karena kurangnya zat
besi (Stang J, 2005).
Penurunan absorpsi zat besi terjadi pada banyak keadaan klinis
seperti pada pembedahan digestive, setelah gastrektomi parsial atau
total, asimilasi zat besi dari makanan terganggu, terutama akibat
peningkatan motilitas dan bypass usus halus proximal yang menjadi
tempat utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau
malabsorpsi usus halus juga dapat menderita defisiensi zat besi,
terutama jika duodenum dan jejunum proximal ikut terlibat, defisiensi
zat besi merupakan pelopor dari radang usus non tropical (Almatsier, S.
2009).
Kehilangan zat besi, dapat terjadi secara fisiologis atau patologis,
perdarahan saluran cerna akibat pembedahan digestive merupakan
penyebab paling sering kehilangan zat besi secara patologis dan akan
menyebabkan anemia defisiensi besi. Defisiensi zat besi mengganggu
4
proliferasi dan pertumbuhan sel, seperti sel dari sum-sum tulang,
setelah itu sel dari saluran makan, akibatnya banyak tanda dan gejala
anemia defisiensi besi terlokalisasi pada sistem organ ini seperti
glositis, stomatitisangular, a trofi lambung, koilonikia, menoragia (Alimul
H, A. Aziz. 2009).
Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan cara membuka atau menampilkan
bagian tubuh yang akan ditangani melalui sayatan yang diakhiri dengan
penutupan dan penjahitan luka. Bedah digestif adalah tindakan
pembedahan pada saluran cerna, selain itu pada masa setelah
pembedahan terjadi katabolisme dan anabolisme (Susetyowati, 2007
dalam Megawati, 2010).
Pasien bedah digestif baik sebelum maupun setelah pembedahan
akan mengalami peningkatan stres metabolisme serta peningkatan
kebutuhan energi dan protein. Selain itu pasien juga mengalami
gangguan dalam absorbsi zat besi sehingga hal ini perlu diperhatikan
akan kebutuhan zat gizi agar tidak mengakibatkan komplikasi penyakit
setelah dilakukan pembedahan. Tingkat stres yang timbul tersebut
tergantung dari beberapa faktor, antara lain jenis penyakit yang diderita,
lama penyakitnya, status gizi sebelum operasi dan penyakit-penyakit
penyertanya (Susetia, O. Dkk. 2006).
Kondisi pasien seringkali semakin memburuk karena tidak
diperhatikan keadaan gizinya, sehingga mengakibatkan Protein Energy
Malnutrition (PEM) pada bangsal-bangsal bedah terutama pada pasien
5
dengan kasus bedah digestive. Lebih dari 50% pasien yang masa
perawatannya lebih lama akibat komplikasi pasca bedah mengalami
PEM, setengah dari pasien yang dirawat lebih dari seminggu menderita
anemia, malnutrisi ataupun defisiensi vitamin (Djalinz, 1992).
Pada satu survei populasi pasien bedah disebuah Rumah Sakit
pendidikan didapatkan bahwa 1 (20%) dari 5 pasien mengalami PEM.
Pada pasien bedah umum dengan penyakit gastrointestinal mayor, 1
dari 2 sampai 3 pasien memperlihatkan bukti PEM, walaupun
derajatnya mungkin ringan dan tidak bermakna klinis (Hill,G.L 2000).
Pembedahan dapat menyebabkan anoreksia atau restriksi intake
makanan dalam beberapa hari/minggu, menurunnya status gizi dan
kehilangan berat badan. Dalam beberapa kasus, dapat terjadi vomiting,
diare dan pendarahan yang dapat menyebabkan kehilangan natrium,
klorida, kalium, dan zat besi. Apabila malabsorbsi terjadi dalam jangka
waktu yang panjang, pasien dapat mengalami kekurangan protein
mineral dan vitamin lainnya (Krause, 2004 dalam Lena,2012).
Pada pasien dengan pembedahan terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan keadaan gizi kurang. Faktor utama adalah kurangnya
asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan katabolisme
meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat terlihat pada
penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot. Asupan energi dan
protein yang diberikan pada tindakan bedah akan mengurangi
katabolisme protein dan menstabilkan kadar serum albumin. Hal itu
menunjukkan bahwa kebutuhan protein pada pasien bedah digestif
6
sangat penting agar dapat mempercepat proses penyembuhan luka
pada paska operasi dan menstabilkan keadaan serum albumin dan
hemoglobin (Djalinz,M. 1992).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Kota
Mataram jumlah pasien yang menjalani pembedahan digestif pada
bulan Januari sampai Desember tahun 2014 yaitu sebanyak 204 orang.
Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan diatas, maka
peneliti tertarik untuk meneliti Gambaran Konsumsi Protein dan Zat
Besi pada pasien bedah digestive di Rumah Sakit Umum Kota
Mataram.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran konsumsi protein dan zat besi pasien bedah
digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran konsumsi protein dan zat besi pasien
bedah digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik sampel meliputi umur, jenis
kelamin, jenis pembedahan dan status gizi.
b. Mendeskripsikan konsumsi protein sampel sebelum dan setelah
pembedahan.
c. Mendeskripsikan konsumsi Fe (zat besi) sampel sebelum dan
setelah pembedahan.
7
D. Manfaat Penelitian
a. Bagi peneliti
Penelitian ini dilakukan agar dapat menambah pengetahuan,
wawasan, pengalaman khususnya mengenai gambaran
konsumsi protein dan Fe pasien bedah digestif di Rumah Sakit
Umum Kota Mataram.
b. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pengembangan
ilmu pengetahuan dan membantu mengembangkan cara berfikir
ilmiah mengenai gambaran konsumsi protein dan Fe pasien
bedah digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram.
c. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
bagi pasien dan masyarakat tentang gambaran konsumsi
protein dan Fe bagi pasien bedah digestif.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Pembedahan
a. Pengertian Pembedahan
Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan cara membuka atau
menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan
bagian tubuh ini pada umumnya dilakukan dengan membuat
sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani tampak, dilakukan
tindakan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan
penjahitan luka (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
b. Jenis –Jenis Pembedahan
Pembedahan menurut jenisnya dibedakan menjadi dua jenis
yaitu bedah mayor dan bedah minor. Bedah mayor merupakan
tindakan bedah yang mengandung risiko cukup tinggi bagi
pasien dan biasanya menggunakan anestesi umum/general
anesthesi. Sebagai contohnya yaitu bedah pada saluran cerna
(lambung, usus halus, dan usus besar) dan bedah di luar saluran
cerna (jantung, ginjal, paru, saluran kemih, tulang, dan
sebagainya) (Baradero, M, dkk. 2009).
Bedah minor adalah pembedahan yang sederhana dan
tingkat risikonya lebih sedikit dibandingkan dengan bedah mayor
9
sebagai contohnya tindakan insisi, ekstirpasi, dan sirkumsisi atau
khitan dengan menggunakan anastesi regional dan lokal
anestesi (Almatsier, 2009).
2. Bedah Digestif
a. Pengertian bedah digestif
Digestif adalah saluran pencernaan yang organnya dilewati
oleh makanan dari rongga mulut, faring, esophagus, gaster, usus
halus dan usus besar (Arjati,2006 dalam Megawati, 2010).
Bedah digestif adalah tindakan pembedahan pada saluran
cerna, selain itu pada masa setelah pembedahan terjadi
katabolisme, anabolisme dan metabolisme (Susetyowati, 2007
dalam Megawati,2010).
b. Jenis-jenis bedah digestif
Jenis-jenis bedah digestif adalah sebagai berikut:
1) Trauma abdomen
Trauma abdomen dapat dibagi menjadi trauma tembus dan
trauma tumpul. Akibat dari trauma abdomen dapat berupa
perforasi ataupun pendarahan. Kematian karena trauma
abdomen biasanya terjadi akibat sepsis atau pendarahan
(Mansjoer, 2008).
a) Trauma tembus abdomen
Usus merupakan organ yang paling sering terkena pada
luka tembus abdomen, ini disebabkan karena usus
10
mengisi sebagian besar rongga abdomen (Mansjoer,
2008).
Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai
dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritoneal. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari
gaster yag bersifat kimia sampai dengan kolon yang
berisi feses. Bila perforasi terjadi di bagian atas,
misalnya di daerah lambung, maka akan terjadi
perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat. Sedangkan bila terjadi di bagian
bawah seperti kolon, pada awalnya tidak terdapat gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak, baru setelah 24 jam kemudian timbul
gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium
(Mansjoer, 2008).
b) Trauma tumpul abdomen
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul
disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-
organ yang tidak mempunyai kelenturan (noncompliant
organ) seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal
(Mansjoer, 2008).
Adanya darah atau cairan usus akan menimbulkan
rangsangan peritonium berupa nyeri tekan, nyeri ketok
11
dan nyeri lepas dan kekakuan dinding perut.
Rangsangan peritonium dapat pula berupa nyeri alih di
daerah bahu terutama sebelah kiri (Mansjoer, 2008).
2) Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan dari appendiks
vermivormis dan merupakan penyebab abdomen akut yang
paling sering. Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik
laki-laki maupun perempuan namun lebih sering menyerang
laki-laki berusia 10-30 tahun (Mansjoer, 2008).
Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di
daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan
dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke
kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat
apabila berjalan atau batuk.terdapat juga keluhan anoreksia,
malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga
terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual,
dan muntah (Mansjoer, 2008).
3) Hernia
Hernia dibagi menjadi 3 jenis yaitu:
a) Hernia abdominalis
Hernia abdominalis adalah benjolan isi perut dari
rongga yang normal melalui suatu defek pada fasia dan
muskuloaponeurotik dinding perut, baik secara
konginental atau didapat, yang memberi jalan keluar pada
12
setiap alat tubuh selain yang biasa melalui dinding
tersebut (Mansjoer, 2008).
b) Hernia ingunalis Lateralis (Indirek)
Hernia ingunalis Lateralis adalah hernia yang melalui
anulus inguinalis internus yang terletak di sebelah lateral
vasa epigastrika inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan
keluar ke rongga perut melalui inguinalis eksternus.
Umumnya pasien mengatakan turun berok, burut, atau
kelingsir, atau mengatakan adanya benjolan di
selangkangan/kemaluan. Benjolan tersebut bisa mengecil
atau menghilang pada waktu tidur, dan bila menangis,
mengejan atau mengangkat benda berat atau bila posisi
pasien berdiri dapat timbul kembali. Bila telah terjadi
komplikasi dapat ditemukan nyeri (Mansjoer, 2008).
c) Hernia inguinalis medialis (Direk)
Hernia inguinalis medialis adalah hernia yang melalui
dinding inguinal posteromedial dari vasa epigastrika
inferior di daerah yang dibatasi segitiga Hasselbach. Pada
pasien terlihat adanya massa bundar pada anulus
inguinalis eksterna yang mudah mengecil bila pasien tidur
(Mansjoer, 2008).
13
4) Ileus obstruktif
Menurut letak sumbatannya maka ileus obstruktif dibagi
menjadi dua yaitu : Obstruksi tinggi, bila mengenai usus
halus, dan Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar.
a) Obstruksi usus halus
Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh
pelekatan usus, hernia, neoplasma, intususepsi,
volvulus, benda asing, dan batu empedu yang masuk ke
usus melalui fistua kolesisenterik. Pada usus halus
proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak, yang
jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi
berlangsung lama. Nyeri abdomen bervariasi dan sering
dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian
atas (Mansjoer, 2008).
b) Obstruksi usus besar
Kira-kira 15% obstruksi terjadi di usus besar.
Obstruksi dapat terjadi di setiap bagian kolon tetapi
paling sering di sigmoid. Penyebabnya adalah
karsinoma, volvulus, kelainan divertikular, inflamasi,
tumor jinak, impaksi fekal, dan lain-lain. Obstruksi
mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri
akibat sumbatan biasanya terasa di daerah epigastrium.
Nyeri yang hebat dan terus-menerus menunjukkan
adanya iskemia atau peritonitis (Mansjoer, 2008).
14
3. PROTEIN
a. Pengertian Protein
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan
bagian terbesar tubuh sesudah air. Semua enzim, berbagai
hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler
dan sebagainya adalah protein. Protein mempunyai fungsi khas
yang tidak dapat tergantikan oleh zat gizi lain, yaitu
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh.
Protein dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia akan
diserap oleh usus dalam bentuk asam amino (Almatsier, S.
2009).
F. G. Winarno (2002) menjelaskan bahwa protein dalam
tubuh manusia, terutama dalam sel jaringan, bertindak sebagai
bahan membran sel, dapat membentuk jaringan pengikat
misalnya kolagen dan elastin yang merupakan bahan untuk
menutup atau menyembuhkan luka, serta membentuk rambut
dan kuku. Disamping itu, protein dapat bekerja sebagai enzim,
bertindak sebagai plasma (albumin), membentuk antibodi,
membentuk kompleks dengan molekul lain, serta dapat
bertindak sebagai bagian sel yang bergerak (protein otot).
b. Fungsi Protein
Protein mempunyai bermacam-macam fungsi bagi tubuh,
yaitu sebagai pembentuk ikatan-ikatan esensial tubuh,
mengatur keseimbangan ar, memelihara netralitas tubuh,
15
pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sumber
energi (Almatsier, S. 2009).
c. Kebutuhan protein
Memperkirakan kebutuhan protein dapat dilakukan secara
sederhana dengan pemeriksaan balans nitrogen. Pada orang
dewasa yang sehat umumnya terdapat keseimbangan nitrogen
sedangkan dalam keadaan sakit yang berat atau kronis, akan
terdapat balans nitrogen yang negatif (Hartono A, 2006).
Kebutuhan protein dalam kondisi sakit dengan
mempertimbangkan faktor stres tertera dalam tabel berikut:
Tabel 1. Perkiraan Kebutuhan Protein
Tingkat stres Kebutuhan protein (g/kg BB Ideal/hari
AKG 0,8Stres ringanPembedahan elektifInfeksi lokalDemam derajat rendah
1-1,2
Stres sedangKesembuhan pasca bedah yang lambatPankreatitisDemam yang bermakana (>39oC)Pembedahan
1,5-1,75
Stres beratTransplantasi sum-sum tulangLuka bakarSakit yang kritisMultitraumaPembedahan dengan malnutrisi prabedahInfeksi sistemik/sepsis
1,5-2,0
Sumber: Hartono, A. 2006.
16
Dalam keadaan normal, tubuh akan menggunakan protein
sebagai sumber energi pada dua keadaan: 1) asupan energi
dari karbohidrat dan lemak yang tidak mencukupi kebutuhan,
dan 2) asupan protein yang berlebihan. Pada pasien bedah,
penggunaan protein sebagai sumber energi terjadi karena
perubahan dalam metabolisme karbohidrat dan lemak.
Kebutuhan protein bisa diukur berdasarkan rasio kalori:nitrogen
150:1 untuk terapi diet yang standar, sedangkan untuk pasien
bedah dapat digunakan rasio 75-100:1 asalkan fungsi ginjalnya
normal (Hartono, A. 2006).
4. Zat Besi (Fe)
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di
dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di
dalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi
esensial di dalam tubuh:sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru
ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan
sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan
tubuh (AlmatsierS,2009).
a. Absorpsi, transportasi dan penyimpanan besi (Fe)
Tubuh sangat efisien dalam penggunaan besi, sebelum
diabsorpsi, di dalam lambung besi dibebaskan dari ikatan
organik, seperti protein. Sebagian besar besi dalam bentuk feri
direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana
17
asam di dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang
terdapat di dalam makanan (Almatsier S, 2009).
Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus
(duodenum) dengan bantuan alat angkut protein khusus. Ada
dua jenis alat angkut-protein di dalam sel mukosa usus halus
yang membantu penyerapan besi, yaitu transferin dan feritin.
Transferin, protein yang disintesis di dalam hati, terdapat dalam
dua bentuk.Transferin mukosa mengangkut besi dari saluran
cerna ke dalam sel mukosa dan memindahkannya ke transferin
reseptor yang ada di dalam sel mukosa. Transferin mukosa
kemudian kembali ke rongga saluran cerna untuk mengikat besi
lain, sedangkan transferin reseptor mengangkut besi melalui
darah untuk dibawa ke semua jaringan tubuh. Dua ion feri
diikatkan pada transferin untuk dibawa ke jaringan-jaringan
tubuh. Banyaknya reseptor transferin yang terdapat pada
membran sel bergantung pada kebutuhan tiap sel. Kekurangan
besi pertama dapat dilihat pada tingkat kejenuhan transferin
(Almatsier S,2009).
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-hem seperti
terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan
besi-nonhem dalam makanan nabati. Besi-hem diabsorpsi ke
dalam sel mukosa sebagai kompleks porfirin utuh. Cincin porfirin
di dalam sel mukosa kemudian dipecah oleh enzim khusus
(hemoksigenase) dan besi dibebaskan. Besi-hem dan nonhem
18
kemudian melewati alur yang sama dan meninggalkan sel
mukosa dalam bentuk yang sama dengan menggunakan alat
angkut yang sama. Absorpsi besi-hem tidak banyak dipengaruhi
oleh komposisi makanan dan sekresi saluran cerna serta oleh
status besi seseorang. Besi-hem hanya merupakan bagian kecil
dari besi yang diperoleh dari makanan (kurang lebih 5% dari besi
total makanan), terutama di Indonsia, namun yang dapat
diabsorpsi dapat mencapai 25% sedangkan nonhem hanya 5%
(Almatsier S, 2009).
Agar dapat diabsorpsi, besi-nonhem di dalam usus halus
harus berada dalam bentuk terlarut. Besi-nonhem diionisasi oleh
asam lambung, direduksi menjadi bentuk fero dan dilarutkan
dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula dan asam
amino yang mengandung sulfur. Pada suasana pH hingga 7 di
dalam duodenum, sebagian besar besi dalam bentuk feri akan
mengendap, kecuali dalam keadaan terlarut seperti disebutkan
diatas. Besi fero lebih mudah larut pada pH 7, oleh karena itu
dapat diabsorpsi (Almatsier S, 2009).
Taraf absorpsi besi diatur oleh mukosa saluran cerna yang
ditentukan oleh kebutuhan tubuh. Transferin mukosa yang
dikeluarkan kedalam empedu berperan sebagai alat angkut
protein yang bolak-balik membawa besi ke permukaan usus
halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga
saluran cerna untuk mengangkut besi lain. Sel mukosa besi
19
dapat mengikat apoferitin dan membentuk feritin sebagai
simpanan besi sementara dalam sel. Sel mukosa apoferitin dan
feritin membentuk pool besi (Almatsier, S, 2009).
b. Peran besi (Fe) dalam Hemoglobin
Sebagai suatu senyawa yang berperan dalam pengikatan
dan pelepasan oksigen, hemoglobin bukanlah senyawa yang
hanya berupa protein saja. Hemoglobin merupakan suatu protein
yang kompleks, yang tersusun dari protein globin dan suatu
senyawa bukan protein yang dinamai hem. Hem adalah suatu
senyawa yang tersusun dari suatu senyawa lingkar yang
bernama porfirin, yang bagian pusatnya ditempati oleh logam
besi (Fe). Jadi, hem adalah senyawa porfirin besi (Fe-porfirin),
sedangkan hemoglobin adalah kompleks antara globin-hem.
Satu molekul hem mengandung 1 atom besi, demikian pula 1
protein globin hanya mengikat 1 molekul hem. Sebaliknya, 1
molekul hem terdiri atas 4 buah kompleks molekul globin dengan
hem.Jadi, dalam tiap molekul hemoglobin terkandung 4 atom
besi (Sadikin, M. 2001).
Besi yang berada di dalam molekul hemoglobin sangat
penting untuk menjalankan fungsi pengikatan dan pelepasan
oksigen. Sebenarnya, hanya dengan molekul besi yang ada di
dalam hemoglobin itulah oksigen diikat dan dibawa. Bila terjadi
kekurangan besi, jumlah hemoglobin akan berkurang pula. Hal
ini tampak jelas, misalnya dalam keadaan kekurangan
20
(defisiensi) besi, yang menimbulkan keadaan kurang darah atau
anemia, yang lebih tepat disebutkan sebagai kekurangan
hemoglobin (Sadikin, M. 2001).
5. Status Gizi
Status gizi (Nutrition Status) merupakan ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan
dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002).
a. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi
empat penilaian yaitu antropometri, fisik klinis, dan biokimia.
1) Penilaian Antropometri
Penilaian antropometri yaitu suatu metode penilaian
status gizi dengan cara menilai ukuran tubuh manusia.
Ukuran tubuh manusia sangat erat kaitannya dengan status
gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidak seimbangan asupan protein dan gizi. Ketidak
seimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan
proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air
dalam tubuh. Atas dasar hal tersebut, ukuran-ukuran
antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat
diandalkan bagi penentuan status gizi (Wahyuningsih,
Retno, 2013).
Evaluasi hasil pengukuran antropometri yaitu dengan
cara membandingkan hasil yang diperoleh dengan
21
reference values atau dengan menggunakan angka
pembatas/cut off points (Wahyuningsih, Retno, 2013).
2) Pengukuran Berat Badan
Berat badan adalah salah satu parameter yang
memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak.
Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat
labil. Dalam keadaan normal, dimana kesehatan baik dan
keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi
terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan
umur. Sebaliknya, dalam keadaan yang abnormal, terdapat
2 kemungkinan perubahan berat badan, yaitu dapat
berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal
(Anggraeni,2012).
a) Pengukuran berat badan pada orang normal
Dalam pengukuran berat badan pada orang normal, alat
yang biasa digunakan yaitu timbangan injak. Timbangan
injak biasa digunakan untuk mengetahui berat badan
pada orang normal remaja dan dewasa
(Anggraeni,2012).
22
b) Perkiraan Berat Badan Ideal (BBI)
Tabel 2. Rumus Berat Badan Ideal dalam
Wahyuningsih, Retno 2013.
Usia Rumus Berat Badan ideal0-11 Bulan
DBW = atau + 3 s/d 4
(n adalah usia dalam bulan)DBW = Desirable Body Weight/Berat badan yang diinginkan
1-6 tahun BBI = 2n+8 (n adalah usia dalam tahun)
7-12 tahunBBI = (n adalah usia dalam tahun)
>12 tahun Rumus Brocca:BBI = (TB-100) – 10% atau 0,9 x (TB-100)Apabila tinggi badan (TB) pasien wanita <150 cm, dan apabila tinggi badan (TB) pasien pria < 160 cm, maka menggunakan rumus modifikasi Brocca: BBI= (TB - 100) x 1 kg)
3) Pengukuran Tinggi Badan
Tinggi/panjang badan merupakan salah satu parameter
yang dapat melihat keadaan status gizi sekarang dan
keadaan yang telah lau. Pertumbuhan tinggi/panjang badan
tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif pada
masalah kekurangan gizi dalam waktu singkat. Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi/panjang badan akan
nampak dalam waktu yang relatif lama.
Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan alat
pengukur tinggi badan yaitu microtoise (mikrotoa) yang
mempunyai ketelitian 0,1 cm(Murwani, 2010).
23
4) Penentuan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari
perhitungan antara berat badan dibandingkan dengan tinggi
badan. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang
dewasa berumur diatas 18 tahun. IMT tidak dapat
diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan
olahragawan. Disamping itu, IMT juga tidak bisa diterapkan
pada keadaan khusus (penyakit) seperti adanya oedema,
ascites, dan hepatomegali.
Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
IMT =
Kriteria penilaian IMT untuk orang Eropa, Asia, dan
Indonesia adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Kriteria penilaian IMT untuk orang Eropa, Asia, dan Indonesia
Eropa Asia IndonesiaStatus Gizi IMT
(kg/m2)Status Gizi IMT
(kg/m2)Status Gizi IMT
(kg/m2)KurusNormalKegemukanPre ObesObes IObes IIObes III
≤18,518,5-24,9≥2525,0-29,930,0-34,935,0-39,9≥40
BB KurangBB NormalBB LebihDengan ResikoObes IObes II
<18,518,5-22,9≥23,023,0-24,9
25,0-29,9>30
Kurus SekaliKurusNormalGemukGemuk Sekali
<17,017,0-18,418,5-25,025,1-27,0>27,0
Sumber: WHO,1995 Sumber: WHO/WPR/IASO/ IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its Treatment
Sumber: Depkes RI, 2003
24
(Wahyuningsih, Retno 2013)
5) Penilaian Fisik dan Klinis
Penilaian fisik yaitu suatu metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan),
dan melihat perubahan struktur dan jaringan. Penilaian
klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat, dimana didasarkan atas perubahan-
perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan
epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata,
rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang
dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid
(Wahyuningsih, Retno 2013).
Penggunaan metode ini umumnya untuk survey klinis
secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan
salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan
untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan
melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala
(symptom) atau riwayat penyakit.Evaluasi hasil pengukuran
fisik dan klinis yaitu dengan cara membandingkan hasil
yang diperoleh dengan reference values atau dengan
menggunakan angka pembatas/ cut off points untuk
beberapa pemeriksaan pada klinis misalnya pada
25
pemeriksaan tekanan darah, suhu, nadi, dan pernafasan
(Wahyuningsih, Retno, 2013).
6) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah penilaian
status gizi dengan cara melakukan pemeriksaan spesimen
yang diuji secara labolatoris yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh, antara lain darah, urin, tinja dan
juga berbagai jaringan tubuh seperti hati dan otot
(Wahyuningsih, Retno, 2013).
Evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium yaitu dengan
cara membandingkan hasil yang diperoleh dengan
reference values atau dengan menggunakan angka
pembatas/cut off points(Murwani, 2010).
7) Penilaian konsumsi makan
Penilaian konsumsi makan yaitu suatu metode
penentuan status gizi secara tidak langsung dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi, sehingga
dapat memberikan gambaran tentang konsumsi zat gizi
pasien apakah dalam kondisi kekurangan atau kelebihan
zat gizi (Wahyuningsih, Retno, 2013).
Metode yang digunakan dalam penilaian konsumsi
makan pasien yaitu:
a) Metode recall 24 jam
b) Metode pencatatan perkiraan makanan
26
c) Food frequency questionaire/FFQ (Kuesioner frekuensi
makanan)
d) Food Weighing method (Metode penimbangan
makanan)
Metode penimbangan makanan ini bertujuan untuk
menentukan seberapa banyak makanan atau minuman
yang benar-benar dikonsumsi oleh seseorang atau
sekelompok masyarakat. Dalam metode ini, petugas
menimbang dan mencatat seluruh makanan yang
dikonsumsi pasien selama 1 (satu) hari (Widajanti,
Laksmi, 2009).
Dalam kasus tertentu dengan pendekatan pengambilan
data makanan di suatu institusi atau tempat kerja, maka
metode ini sangat membantu dalam menetapkan
konsumsi zat gizi seseorang atau masyarakat secara
tepat, termasuk dalam hal ingin menghubungkan
asupan zat gizi dengan biomarker tertentu (Widajanti,
Laksmi, 2009).
e) Dietary history method (Metode riwayat makanan)
f) Visual plate waste/comstock
27
B. KERANGKA KONSEP
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan yang diteliti
: Hubungan yang tidak diteliti
(Almatsier S, 2009).
konsumsi makanan
Faktor-faktor
penyebab :
a. Infeksi
b. Penyakit kronik
c. Genetik
d. Trauma/ injuri
Konsumsi Protein
Konsumsi zat besi
Bedah digestive: Status Gizi
28
C. ALUR PENELITIAN
Bedah Digestive
a. Herniab. Appendicitisc. Trauma
abdomend. Illeus
obstruktif
Status Gizi
Jenis Penyakit
Sebelum Pembedahan
Setelah Pembedahan
1. Zat Gizi Makro (Protein)
2. Zat Gizi Mikro (Fe)
1. Zat Gizi Makro (Protein)
2. Zat Gizi Mikro (Fe)
Status Gizi
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di ruang rawat inap pasien
pasca bedah digestif yaitu Ruang Perawatan Rumah Sakit Umum
Kota Mataram. Jumlah pasien yang menjalani pembedahan digestif
pada bulan Januari sampai Desember tahun 2014 di Rumah Sakit
Umum Kota Mataram yaitu sebanyak 204 orang.
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai
dengan Mei tahun 2015.
B. Rancangan penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif observasional dengan pendekatan survei yang ingin
memberikan gambaran mengenai konsumsi protein dan Fe pada
pasien bedah digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram.
C. Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau subyek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien bedah digestif yang dirawat inap di Rumah Sakit
Umum Kota Mataram yang tercatat pada bulan Maret sampai
dengan Mei tahun 2015.
30
2. Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel
dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan
pertimbangan atau kriteria tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
berdasarkan karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya.
Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Pasien pra bedah digestif yang dirawat inap dan masih
mendapatkan diet oral.
2) Pasien pasca bedah digestif yang dirawat inap dan mulai
mendapatkan diet oral.
3) Pasien bersedia menjadi sampel penelitian.
D. Data yang dikumpulkan
1) Data primer
a. Data identitas sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin
b. Data antropometri sampel yang meliputi berat badan dan tinggi
badan untuk pasien yang bisa diukur dengan berdiri,
sedangkan untuk pasien yang tidak bisa diukur dengan berdiri
dilakukan pengukuran LILA dan panjang depa untuk
memperikan berat badan dan tinggi badannya. Data
antropometri ini akan digunakan untuk menentukan status gizi
sampel dan data berat badan akan digunakan untuk
menghitung kebutuhan Protein dan Fe sampel.
31
c. Konsumsi protein dan Fe sampel
2) Data sekunder
a. Gambaran umum lokasi penelitian
b. Data jumlah sampel di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB dan
Rumah Sakit Umum Kota Mataram.
c. Data catatan medik sampel meliputi: jenis pembedahan, jenis
pengobatan dan hasil pemeriksaan laboratorium.
E. Cara Pengumpulan Data
1. Data primer
a. Data identitas sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin
diperoleh dengan melakukan wawancara langsung pada sampel
dengan alat bantu form identitas.
b. Data antropometri dikumpulkan dengan cara :
1) Pengukuran pada pasien yang bisa diukur secara berdiri,
meliputi:
a) Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan
timbangan digital dengan ketelitian 0,1 kg.
b) Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan
mikrotoa (microtoise) dengan ketelitian 0,1 cm
2) Pengukuran pada pasien yang tidak bisa diukur secara
berdiri, meliputi:
a) Pengukuran LILA dilakukan dengan menggunakan Pita
LILA dengan ketelitian 0,1 cm.
32
b) Pengukuran Panjang Depa dilakukan dengan
menggunakan metline dengan ketelitian 0,1 cm.
c. Data konsumsi protein dan Fe sampel diperoleh dengan cara
melakukan food weighing (penimbangan makanan) Metode
penimbangan makanan dilakukan untuk memperoleh data
konsumsi yang lebih akurat dan teliti sehingga diketahui
seberapa banyak makanan atau minuman yang benar-benar
dikonsumsi oleh sampel.
Tahapan pelaksanaan metode penimbangan makanan yaitu:
1) Peneliti menimbang makanan dan minuman sampel sebelum
makan.
2) Setelah selesai makan dan minum sisa makanan dan
minuman ditimbang kembali. Selisih makanan dan minuman
awal adalah berat makanan yang dikonsumsi.
3) Hasil penimbangan dicatat dalam lembar kuesioner
penimbangan makanan yang telah dipersiapkan.
Penimbangan makanan dilakukan selama 2 hari setiap kali
pasien mengkonsumsi makanan dan minuman.
(Catatan : Bagi pasien mendapatkan nutrisi parenteral dan
suplementasi yang dapat meningkatkan konsumsi protein dan Fe
dicatat jenis dan jumlah nutrisi parenteral dan suplementasi yang
diberikan).
2. Data sekunder
33
a. Data gambaran umum Rumah Sakit Umum Kota Mataram
diperoleh dengan cara mencatat dari profil rumah sakit yang
kemudian dicatat pada log book penelitian.
b. Data jumlah sampel di Rumah Sakit Umum Kota Mataram
diperoleh dengan cara mencatat dari data rekam medik rumah
sakit yang kemudian dicatat pada log book penelitian.
c. Data catatan medik sampel meliputi: jenis pembedahan, jenis
pengobatan dan hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh
dengan cara mencatat dari buku rekam medik pasien yang
menjadi sampel penelitian yang kemudian dicatat pada log book
penelitian.
F. Cara Pengolahan dan Analisis Data
1. Data primer
a. Data identitas sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin
diolah dengan cara mengelompokkan data sebagai berikut :
1) Data umur dikelompokkan menjadi :
a) Masa balita =0 - 5 tahun
b) Masa kanak-kanak =5 - 11 tahun
c) Masa remaja awal =12 - 16 tahun
d) Masa remaja akhir =17 - 25 tahun
e) Masa dewasa awal =26 - 35 tahun
f) Masa dewasa akhir =36- 45 tahun
g) Masa lansia awal = 46- 55 tahun
h) Masa Lansia Akhir = 56 - 65 tahun
34
i) Masa Manula = > 65 tahun
2) Data jenis kelamin dikelompokan menjadi :
1. Laki-laki
2. Perempuan
Data tersebut kemudian ditabulasikan dan disajikan secara
deskriptif dalam Ms. Word.
b. Data antropometri meliputi data berat badan dan tinggi badan
akan diolah menjadi status gizi berdasarkan IMT. Adapun rumus
dari perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
(Sumber : Prinsip Dasar Ilmu Gizi oleh Sunita Almatsier, 2009)
Tabel 4. Kategori status gizi berdasarkan IMT
Status Gizi IMT (kg/m2)BB Kurang <18,5BB Normal 18,5 – 22,9BB Lebih
Dengan risiko Obes I Obes II
≥23,023,0-24,924,9-29,9
>30,0
Pada pasien yang tidak bisa diukur berat badan dan tinggi badan
secara langsung, digunakan hasil pengukuran LILA sebagai
parameter untuk menentukan nilai IMT dengan rumus sebagai
berikut:
35
(Sumber : Powell-Tuck dan Hennessy, 2003 dalam UGM, 2013)
Tinggi badan pasien yang tidak bisa diukur secara langsung
diestimasi menggunakan hasil pengukuran panjang depa dengan
rumus :
Laki-
laki
Perempu
an
(Sumber : Fatmah, 2010)
Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan selain untuk
menentukan status gizi, digunakan pula untuk menentukan
kebutuhan protein dan Fe sampel. Berat badan yang digunakan
adalah Berat Badan Ideal (BBI) yang diperoleh dengan rumus
Brocca yaitu, sebagai berikut:
(Sumber : Retno Wahyuningsih, 2013)
(Catatan : Apabila tinggi badan (TB) pasien wanita <150 cm, dan
apabila tinggi badan (TB) pasien pria < 160 cm, maka menggunakan
rumus modifikasi Brocca: BBI= (TB - 100) x 1 kg)
c. Data Konsumsi Protein dan Fe Sampel
Data konsumsi protein dan Fe diperoleh dari hasil analisa
asupan berdasarkan hasil penimbangan makanan selama 1 hari
dengan menggunakan program Nutrisurvey 2007. Hasil analisa
asupan protein dan Fe kemudian dibandingkan dengan
kebutuhan protein dan Fe sampel dengan rumus:
36
Kategori Tingkat Konsumsi :
≥ 80% : pasien dinilai memiliki asupan yang normal
< 80% : pasien dinilai memiliki asupan yang kurang
(sumber : SK kemenkes no.129/menkes/SK/II/2008 tentang
standar pelayanan minimal rumah sakit, dengan indikator sisa
makanan yang tidak termakan oleh pasien).
(Catatan : Bagi pasien yang mendapatkan asupan protein dan
Fe dari nutrisi parenteral dan suplementasi maka total konsumsi
protein dan Fe adalah hasil penjumlahan dari asupan oral dan
parenteral dan suplementasi).
Kebutuhan protein sampel diperoleh dari hasil perhitungan
menggunakan rumus kebutuhan protein berdasarkan tingkat
stres, yaitu:
Tabel 5. Perkiraan Kebutuhan Protein
No. Tingkat stresKebutuhan Protein (g/kg
BB Ideal/hari1 Stres ringan
Pembedahan elektif1,0 -1,2
2 Stres sedang Kesembuhan pasca
bedah yang lambat 1,5 - 1,75
3 Stres berat Pembedahan dengan
malnutrisi prabedah 1,5 - 2,0
Sumber: Hartono, A. 2006.
37
Kebutuhan Fe ditentukan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) tahun 2013 yaitu:
Tabel 6. Angka Kecukupan Zat Besi (Fe)
Kelompok UmurKecukupanFe
(mg/hari)7-11 bulan 71-3 tahun 84-6 tahun 97-9 tahun 10
Pria 10-12 tahun 1313-15 tahun 1916-18 tahun 1519-29 tahun 1330-49 tahun 1350-64 tahun 1365-80 tahun 1380+ tahun 13
Wanita10-12 tahun 2013-15 tahun 2616-18 tahun 2619-29 tahun 2630-49 tahun 2650-64 tahun 1265-80 tahun 1280+ tahun 12
(Sumber : Kemenkes RI, 2013)
2. Data Sekunder
Data sekunder yang meliputi : gambaran umum Rumah Sakit
Umum Kota Mataram, jumlah pasien bedah digestif di Rumah Sakit
Umum Kota Mataram serta catatan medik sampel diolah secara
diskriptif yang dilengkapi dengan tabel atau grafik untuk
memperjelas data yang disajikan.
38
G. Alur Penelitian
Alur dalam penelitian ini yaitu :
1. Peneliti mendatangi bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum Kota
Mataram untuk memperoleh data tentang identitas pasien yang
akan menjalani pembedahan.
2. Peneliti menentukan pasien yang dijadikan sampel dan
mengunjungi sampel ke ruang perawatan sampel.
3. Peneliti melakukan rapport dengan sampel dan menjelaskan
maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan dengan cara
menyerahkan lembar informed consent yang selanjutnya
ditandatangani oleh sampel yang bersedia menjadi sampel
(Lampiran 1).
4. Peneliti mengumpulkan data sampel yang terdiri dari data tentang
karakteristik meliputi nama, umur, jenis kelamin, riwayat obat-
obatan yang dikonsumsi, dan riwayat konsumsi pasien.
Pengukuran antropometri dilakukan pada hari pertama visit.
5. Peneliti melakukan penimbangan makanan kemudian mencatat
makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam sehari ke dalam
formulir penimbangan makanan.
6. Setelah mengumpulkan semua data, mulai dari data identitas, data
antropometri, data konsumsi protein dan Fe, serta data catatan
rekam medik pasien, semua data kemudian diolah sesuai dengan
langkah yang terdapat pada cara pengolahan dan analisis data.
39
7. Peneliti melakukan proses tabulasi, cleaning dan editing dari data
hasil penelitian, kemudian melakukan pembahasan secara diskriptif
dan terstruktur agar mempermudah pemahaman pembaca
mengenai hasil penelitian.
H. Definisi Operasional
Tabel 7. Definisi Operasional
No.Variebel
PenelitianDefinisi
OperasionalAlat Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
1 Bedah digestive
Gangguan dalam sistem pencernaan dan memerlukan tindakan pembedahan antara lain: colonoscopy, herniotomy, laparatomy, appendictomy, hemoroidectomy, vesicolithomy, laparascopy, laparatomy appendikoloni, colostomy, dan visicolisiasis.
Diukur dengan menggunakan lembar ceklist yang sudah disediakan dengan melihat rekam medik sampel
a. Hernia b. Trauma
abdomenc. Appendicitisd. Illeus
obstruktif
Nominal
2 Status Gizi Ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi yang diindikasikanoleh berat badan dan tinggi badan.
Pengukuran BB dengan timbangan digital.
Pengukuran TB dengan mikrotoa.
Hasil pengukuran BB dan TB akan dijadikan Indeks nilai IMT untuk menentukan status gizi dengan kategori disamping.
(Apabila tidak bisa diukur langsung,
BB Kurang : <18,5
BB Normal : 18,5-22,9
BB Lebih : ≥23,0 Dgn risiko :
23,0-24,9 Obes I :
25,0-29,9 Obes II :
≥30,0
Ordinal
40
digunakan pengukuran LILA dengan Pita LILA sebagai estimasi BB dan pengukuran panjang depa dengan Metline untuk estimasi TB)
3 Konsumsi protein
Asupan protein dari makanan dan minuman yang dikonsumsi selama 1 hari.
Food Weighing dengan timbangan bahan makanan dengan ketelitian 1 gram
≥ 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang normal < 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang kurang
Nominal
4 Konsumsi Fe
Asupan Fe dari makanan dan minuman yang dikonsumsi selama 1 hari.
Food Weighing dengan timbangan bahan makanan dengan ketelitian 1 gram
≥ 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang normal < 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang kurang
Nominal
41
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Anggraeni, Adisty Cynthia. 2012. Asuhan Gizi Nutritional Care Process.
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Baradero, M, dkk. 2009. Prinsip dan Praktik Keperawatan Perioperatif.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Dahlan,M. Sofiyudin. 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal
Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan. CV Sagung Seto.
Jakarta.
Djalinz, Misbah.1992. Pemberian Dini Makanan lewat Pipa pada Pasien
Postoperasi Bedah Digestif. Laboratorium Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas, Padang Cermin Dunia Kedokteran
No. 79, 1992. Di unduh dari
http://www.scribd.com/doc/86896290/12PemberianDiniMakanan07
9
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Fitryana, Mahmudah. 2012.Hubungan Antara Kadar Albumin Pre
Operasi dengan Tingkat Kelelahan Pada Pasien Post Operasi
Bedah Mayor di RSUD Banyumas.Diunduh dari
http://nefrologyners.files.wordpress.com/2012/02/hubungan-antara-
kadar-albumin-pre-operasi.pdf
Hartono, Andry. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. EGC. Jakarta.
42
Hill, Graham L dan J.C. Goligher, 2000. Buku Ajar Nutrisi Bedah
(Disorders of Nutrition and Metabolisme InClinical Surgery :
Understanding and Management).Farmedia.
Lena. 2012. Peritonitis Diet Pasca Bedah (Generalisata e.c Appendicitis
Perforata Post Operasi Explorasi Laparatomi). Malang. http://leena-
gizi.blogspot.com/2012/04/peritonitis-diet-pasca-bedah.html.
diakses pada 24 September 2013.
Mansjoer, A., dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius.
Jakarta.
Megawati, LP. 2010. Gambaran Konsumsi Energi dan Protein dan
Keseimbangan Nitrogen Pasien Pasca Bedah Digestif di Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Mataram.
Murwani Retno, 2010. Modul biokimia Protein dan Asam Nukleat.
UNDIP. Semarang.
Sadikin, Mohammad. 2001. Biokimia Darah. Widya Medika. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Supariasa, I Dewa Nyoman.2001.Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Susetia, Ongko dkk.2006.Keseimbangan Nitrogen melalui Pengukuran
Intake Protein dan Urinary Urea Nitrogen (UUN) pada penderita
Post Operasi Digestif Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Ulin
Banjarmasin. Di unduh dari
http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/24758/9/Keseimbangan
43
-Nitrogen-melalui-Pengukuran-%20Intake-Protein-dan-Urinary-
Urea-Nitrogen-_UUN_-pada-penderita-Post-Operasi-Digestif-
Rawat-Inap-Rumah-Sakit-Umum-Daerah-Ulin-Banjarmasin-
_lengkap_.pdf
Wahyuningsih, Retno. 2013. Penatalaksanaan Diet Pada Pasien. Graha
Ilmu. Yogyakarta.
Widajanti, Laksmi. 2009. Survei Konsumsi Gizi. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
44
Lampiran 1
PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI SAMPEL
(INFORMED CONSENT)
Gambaran Konsumsi Protein dan Zat Besi Pasien Bedah Digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jenis Kelamin : (P/L) ; Umur : Tahun
Alamat :
No.Telp/HP :
Setelah mendapat penjelasan, dengan ini saya menyatakan
bersedia untuk berpartisipasi menjadi sampel dalam penelitian yang
berjudul “gambaran konsumsi protein dan zat besi pasien bedah digestif di
Rumah Sakit Umum Kota Mataram”. Bentuk kesediaan saya adalah :
1. Bersedia memberi keterangan mengenai identitas saya, meliputi
nama, umur, obat yang dikonsumsi, riwayat konsumsi teh dan kopi
serta hal-hal terkait penelitian.
2. Bersedia untuk melakukan food weighing untuk penentuan tingkat
konsumsi serta hal-hal yang terkait penelitian.
45
Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa
paksaan, dengan memahami bahwa keikutsertaan saya bermanfaat dan
terjaga kerahasiaannya.
Mataram, 2015
Peneliti Sampel
(Lehmi Nurulsuci) ( )
46
Lampiran 2
FORM PENIMBANGAN MAKANAN
Nama Pewawancara:
Hari/tanggal Wawancara:
No.
Nama Makanan Jenis bahan makanan
Berat awal (gram)
Berat sisa (gram)
Berat makanan (gram)