65
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah gizi masih cukup rawan terutama pada pasien yang mengalami gangguan dalam pencernaan, dimana kondisi masyarakat tersebut banyak yang kekurangan gizi atau gizi buruk. Gizi buruk / gizi kurang sering terjadi karena makanan yang tidak seimbang, terutama dalam hal protein. Kekurangan protein juga akan menimbulkan penyakit, seperti kwashiorkor, marasmus, dan obesitas. Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh setelah air (Alimul H, A. Aziz.2009). Protein tersusun atas senyawa organik yang mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Unsur nitrogen (N) adalah ciri protein yang membedakan dari karbohidrat dan lemak. Protein merupakan bahan baku sel dan jaringan karena merupakan komponen penting dari otot, kulit, dan tulang. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak

PROPOSAL gmbaran konsumsi protein dan zat besi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pada pasien pasca bedah dibutuhkan protein dan zat besi untuk membantu proses penyembuhan luka. gambaran konsumsi protein dan zat besi pasien pasca bedah digestif.

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah gizi masih cukup rawan terutama pada pasien yang

mengalami gangguan dalam pencernaan, dimana kondisi masyarakat

tersebut banyak yang kekurangan gizi atau gizi buruk. Gizi buruk / gizi

kurang sering terjadi karena makanan yang tidak seimbang, terutama

dalam hal protein. Kekurangan protein juga akan menimbulkan

penyakit, seperti kwashiorkor, marasmus, dan obesitas. Protein adalah

bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh

setelah air (Alimul H, A. Aziz.2009).

Protein tersusun atas senyawa organik yang mengandung unsur-

unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Unsur nitrogen (N)

adalah ciri protein yang membedakan dari karbohidrat dan lemak.

Protein merupakan bahan baku sel dan jaringan karena merupakan

komponen penting dari otot, kulit, dan tulang. Protein mempunyai fungsi

khas yang tidak dapat digantikan oleh zat kimia lain, yaitu membangun

serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Protein merupakan zat gizi

yang paling penting, karena yang paling erat hubungannya dengan

proses kehidupan. Didalam sel protein terdapat protein struktural

maupun protein metabolik, molekul protein mengandung unsur-

unsur  C,H,O dan unsur khusus yang terdapat didalam protein dan tidak

terdapat didalam molekul karbohidrat maupun lemak yaitu nitrogen (N).

Protein adalah senyawa kompleks yang tersusun atas unsur-unsur C,

2

H, O dan N, namun demikian ada pula protein yang mengandung unsur

S dan P. Setiap sel yang hidup tersusun oleh protein, protein

merupakan bahan pembangun tubuh yang utama (Almatsier, S. 2009).

Pada kasus pembedahan digestif akan mengalami hambatan

dalam proses absorbsi makanan terutama protein sehingga kebutuhan

protein perlu diperhatikan. Fungsi protein  didalam tubuh sangat erat

hubungannya dengan kehidupan sel, selain itu, protein juga berfungsi

sebagai zat pertahanan tubuh melawan berbagai mikroba dan zat

toksik lain yang datang dari luar dan masuk kedalam lingkungan

internal tubuh. Protein juga sebagai zat pengatur proses-proses

metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon. Protein dalam bahan

makanan yang dikonsumsi manusia akan diserap oleh usus dalam

bentuk asam amino, protein mengandung asam amino essensial dan

non essensial (Alimul H, A. Aziz, 2009).

Kebutuhan protein untuk orang dewasa adalah 1 gram/kg.BB/hari

dan untuk pasien yang mengalami stress fisik, infeksi berat,

pembedahan maka kebutuhan proteinya ditambah sepertiga

kebutuhan. Jika kebutuhan tersebut berlebih, maka kelebihannya akan

dibuang melalui ginjal dalam bentuk urea, inilah yang disebut Nitrogen

Balans (Murwani, 2010).

Kebutuhan zat besi tergantung kepada jenis kelamin dan umur,

kecukupan yang dianjurkan untuk laki-laki dewasa sebesar 13 mg/hari

dan wanita dewasa sebesar 26 mg/hari. Zat besi dalam makanan dapat

berasal dari sumber nabati dengan ketersediaan hayati 2-3% dan

3

sumber hewani dengan ketersediaan hayati 20-23% (Almatsier, S.

2009).

Protein dan zat besi (Fe) sangat erat hubungannya dalam

metabolisme tubuh manusia. Protein yang disintesis di dalam hati

berupa transferin mengangkut besi ke sumsum tulang untuk

pembentukan hemoglobin, apabila terjadi kekurangan besi dan protein,

maka dapat menyebabkan terjadinya kekurangan hemoglobin atau

yang lebih dikenal dengan anemia. Defisiensi zat besi adalah kondisi

dimana seseorang tidak memiliki zat besi yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan tubuhnya atau pengurangan sel darah karena kurangnya zat

besi (Stang J, 2005).

Penurunan absorpsi zat besi terjadi pada banyak keadaan klinis

seperti pada pembedahan digestive, setelah gastrektomi parsial atau

total, asimilasi zat besi dari makanan terganggu, terutama akibat

peningkatan motilitas dan bypass usus halus proximal yang menjadi

tempat utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau

malabsorpsi usus halus juga dapat menderita defisiensi zat besi,

terutama jika duodenum dan jejunum proximal ikut terlibat, defisiensi

zat besi merupakan pelopor dari radang usus non tropical (Almatsier, S.

2009).

Kehilangan zat besi, dapat terjadi secara fisiologis atau patologis,

perdarahan saluran cerna akibat pembedahan digestive merupakan

penyebab paling sering kehilangan zat besi secara patologis dan akan

menyebabkan anemia defisiensi besi. Defisiensi zat besi mengganggu

4

proliferasi dan pertumbuhan sel, seperti sel dari sum-sum tulang,

setelah itu sel dari saluran makan, akibatnya banyak tanda dan gejala

anemia defisiensi besi terlokalisasi pada sistem organ ini seperti

glositis, stomatitisangular, a trofi lambung, koilonikia, menoragia (Alimul

H, A. Aziz. 2009).

Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang

menggunakan cara invasif dengan cara membuka atau menampilkan

bagian tubuh yang akan ditangani melalui sayatan yang diakhiri dengan

penutupan dan penjahitan luka. Bedah digestif adalah tindakan

pembedahan pada saluran cerna, selain itu pada masa setelah

pembedahan terjadi katabolisme dan anabolisme (Susetyowati, 2007

dalam Megawati, 2010).

Pasien bedah digestif baik sebelum maupun setelah pembedahan

akan mengalami peningkatan stres metabolisme serta peningkatan

kebutuhan energi dan protein. Selain itu pasien juga mengalami

gangguan dalam absorbsi zat besi sehingga hal ini perlu diperhatikan

akan kebutuhan zat gizi agar tidak mengakibatkan komplikasi penyakit

setelah dilakukan pembedahan. Tingkat stres yang timbul tersebut

tergantung dari beberapa faktor, antara lain jenis penyakit yang diderita,

lama penyakitnya, status gizi sebelum operasi dan penyakit-penyakit

penyertanya (Susetia, O. Dkk. 2006).

Kondisi pasien seringkali semakin memburuk karena tidak

diperhatikan keadaan gizinya, sehingga mengakibatkan Protein Energy

Malnutrition (PEM) pada bangsal-bangsal bedah terutama pada pasien

5

dengan kasus bedah digestive. Lebih dari 50% pasien yang masa

perawatannya lebih lama akibat komplikasi pasca bedah mengalami

PEM, setengah dari pasien yang dirawat lebih dari seminggu menderita

anemia, malnutrisi ataupun defisiensi vitamin (Djalinz, 1992).

Pada satu survei populasi pasien bedah disebuah Rumah Sakit

pendidikan didapatkan bahwa 1 (20%) dari 5 pasien mengalami PEM.

Pada pasien bedah umum dengan penyakit gastrointestinal mayor, 1

dari 2 sampai 3 pasien memperlihatkan bukti PEM, walaupun

derajatnya mungkin ringan dan tidak bermakna klinis (Hill,G.L 2000).

Pembedahan dapat menyebabkan anoreksia atau restriksi intake

makanan dalam beberapa hari/minggu, menurunnya status gizi dan

kehilangan berat badan. Dalam beberapa kasus, dapat terjadi vomiting,

diare dan pendarahan yang dapat menyebabkan kehilangan natrium,

klorida, kalium, dan zat besi. Apabila malabsorbsi terjadi dalam jangka

waktu yang panjang, pasien dapat mengalami kekurangan protein

mineral dan vitamin lainnya (Krause, 2004 dalam Lena,2012).

Pada pasien dengan pembedahan terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan keadaan gizi kurang. Faktor utama adalah kurangnya

asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan katabolisme

meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat terlihat pada

penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot. Asupan energi dan

protein yang diberikan pada tindakan bedah akan mengurangi

katabolisme protein dan menstabilkan kadar serum albumin. Hal itu

menunjukkan bahwa kebutuhan protein pada pasien bedah digestif

6

sangat penting agar dapat mempercepat proses penyembuhan luka

pada paska operasi dan menstabilkan keadaan serum albumin dan

hemoglobin (Djalinz,M. 1992).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Kota

Mataram jumlah pasien yang menjalani pembedahan digestif pada

bulan Januari sampai Desember tahun 2014 yaitu sebanyak 204 orang.

Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan diatas, maka

peneliti tertarik untuk meneliti Gambaran Konsumsi Protein dan Zat

Besi pada pasien bedah digestive di Rumah Sakit Umum Kota

Mataram.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran konsumsi protein dan zat besi pasien bedah

digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran konsumsi protein dan zat besi pasien

bedah digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik sampel meliputi umur, jenis

kelamin, jenis pembedahan dan status gizi.

b. Mendeskripsikan konsumsi protein sampel sebelum dan setelah

pembedahan.

c. Mendeskripsikan konsumsi Fe (zat besi) sampel sebelum dan

setelah pembedahan.

7

D. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti

Penelitian ini dilakukan agar dapat menambah pengetahuan,

wawasan, pengalaman khususnya mengenai gambaran

konsumsi protein dan Fe pasien bedah digestif di Rumah Sakit

Umum Kota Mataram.

b. Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pengembangan

ilmu pengetahuan dan membantu mengembangkan cara berfikir

ilmiah mengenai gambaran konsumsi protein dan Fe pasien

bedah digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram.

c. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

bagi pasien dan masyarakat tentang gambaran konsumsi

protein dan Fe bagi pasien bedah digestif.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Pembedahan

a. Pengertian Pembedahan

Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang

menggunakan cara invasif dengan cara membuka atau

menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan

bagian tubuh ini pada umumnya dilakukan dengan membuat

sayatan. Setelah bagian yang akan ditangani tampak, dilakukan

tindakan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan

penjahitan luka (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).

b. Jenis –Jenis Pembedahan

Pembedahan menurut jenisnya dibedakan menjadi dua jenis

yaitu bedah mayor dan bedah minor. Bedah mayor merupakan

tindakan bedah yang mengandung risiko cukup tinggi bagi

pasien dan biasanya menggunakan anestesi umum/general

anesthesi. Sebagai contohnya yaitu bedah pada saluran cerna

(lambung, usus halus, dan usus besar) dan bedah di luar saluran

cerna (jantung, ginjal, paru, saluran kemih, tulang, dan

sebagainya) (Baradero, M, dkk. 2009).

Bedah minor adalah pembedahan yang sederhana dan

tingkat risikonya lebih sedikit dibandingkan dengan bedah mayor

9

sebagai contohnya tindakan insisi, ekstirpasi, dan sirkumsisi atau

khitan dengan menggunakan anastesi regional dan lokal

anestesi (Almatsier, 2009).

2. Bedah Digestif

a. Pengertian bedah digestif

Digestif adalah saluran pencernaan yang organnya dilewati

oleh makanan dari rongga mulut, faring, esophagus, gaster, usus

halus dan usus besar (Arjati,2006 dalam Megawati, 2010).

Bedah digestif adalah tindakan pembedahan pada saluran

cerna, selain itu pada masa setelah pembedahan terjadi

katabolisme, anabolisme dan metabolisme (Susetyowati, 2007

dalam Megawati,2010).

b. Jenis-jenis bedah digestif

Jenis-jenis bedah digestif adalah sebagai berikut:

1) Trauma abdomen

Trauma abdomen dapat dibagi menjadi trauma tembus dan

trauma tumpul. Akibat dari trauma abdomen dapat berupa

perforasi ataupun pendarahan. Kematian karena trauma

abdomen biasanya terjadi akibat sepsis atau pendarahan

(Mansjoer, 2008).

a) Trauma tembus abdomen

Usus merupakan organ yang paling sering terkena pada

luka tembus abdomen, ini disebabkan karena usus

10

mengisi sebagian besar rongga abdomen (Mansjoer,

2008).

Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai

dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra

peritoneal. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai

dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari

gaster yag bersifat kimia sampai dengan kolon yang

berisi feses. Bila perforasi terjadi di bagian atas,

misalnya di daerah lambung, maka akan terjadi

perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi

gejala peritonitis hebat. Sedangkan bila terjadi di bagian

bawah seperti kolon, pada awalnya tidak terdapat gejala

karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk

berkembang biak, baru setelah 24 jam kemudian timbul

gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium

(Mansjoer, 2008).

b) Trauma tumpul abdomen

Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul

disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya organ-

organ yang tidak mempunyai kelenturan (noncompliant

organ) seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal

(Mansjoer, 2008).

Adanya darah atau cairan usus akan menimbulkan

rangsangan peritonium berupa nyeri tekan, nyeri ketok

11

dan nyeri lepas dan kekakuan dinding perut.

Rangsangan peritonium dapat pula berupa nyeri alih di

daerah bahu terutama sebelah kiri (Mansjoer, 2008).

2) Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan dari appendiks

vermivormis dan merupakan penyebab abdomen akut yang

paling sering. Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik

laki-laki maupun perempuan namun lebih sering menyerang

laki-laki berusia 10-30 tahun (Mansjoer, 2008).

Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di

daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan

dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke

kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat

apabila berjalan atau batuk.terdapat juga keluhan anoreksia,

malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga

terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual,

dan muntah (Mansjoer, 2008).

3) Hernia

Hernia dibagi menjadi 3 jenis yaitu:

a) Hernia abdominalis

Hernia abdominalis adalah benjolan isi perut dari

rongga yang normal melalui suatu defek pada fasia dan

muskuloaponeurotik dinding perut, baik secara

konginental atau didapat, yang memberi jalan keluar pada

12

setiap alat tubuh selain yang biasa melalui dinding

tersebut (Mansjoer, 2008).

b) Hernia ingunalis Lateralis (Indirek)

Hernia ingunalis Lateralis adalah hernia yang melalui

anulus inguinalis internus yang terletak di sebelah lateral

vasa epigastrika inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan

keluar ke rongga perut melalui inguinalis eksternus.

Umumnya pasien mengatakan turun berok, burut, atau

kelingsir, atau mengatakan adanya benjolan di

selangkangan/kemaluan. Benjolan tersebut bisa mengecil

atau menghilang pada waktu tidur, dan bila menangis,

mengejan atau mengangkat benda berat atau bila posisi

pasien berdiri dapat timbul kembali. Bila telah terjadi

komplikasi dapat ditemukan nyeri (Mansjoer, 2008).

c) Hernia inguinalis medialis (Direk)

Hernia inguinalis medialis adalah hernia yang melalui

dinding inguinal posteromedial dari vasa epigastrika

inferior di daerah yang dibatasi segitiga Hasselbach. Pada

pasien terlihat adanya massa bundar pada anulus

inguinalis eksterna yang mudah mengecil bila pasien tidur

(Mansjoer, 2008).

13

4) Ileus obstruktif

Menurut letak sumbatannya maka ileus obstruktif dibagi

menjadi dua yaitu : Obstruksi tinggi, bila mengenai usus

halus, dan Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar.

a) Obstruksi usus halus

Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh

pelekatan usus, hernia, neoplasma, intususepsi,

volvulus, benda asing, dan batu empedu yang masuk ke

usus melalui fistua kolesisenterik. Pada usus halus

proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak, yang

jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi

berlangsung lama. Nyeri abdomen bervariasi dan sering

dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian

atas (Mansjoer, 2008).

b) Obstruksi usus besar

Kira-kira 15% obstruksi terjadi di usus besar.

Obstruksi dapat terjadi di setiap bagian kolon tetapi

paling sering di sigmoid. Penyebabnya adalah

karsinoma, volvulus, kelainan divertikular, inflamasi,

tumor jinak, impaksi fekal, dan lain-lain. Obstruksi

mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri

akibat sumbatan biasanya terasa di daerah epigastrium.

Nyeri yang hebat dan terus-menerus menunjukkan

adanya iskemia atau peritonitis (Mansjoer, 2008).

14

3. PROTEIN

a. Pengertian Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan

bagian terbesar tubuh sesudah air. Semua enzim, berbagai

hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler

dan sebagainya adalah protein. Protein mempunyai fungsi khas

yang tidak dapat tergantikan oleh zat gizi lain, yaitu

membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh.

Protein dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia akan

diserap oleh usus dalam bentuk asam amino (Almatsier, S.

2009).

F. G. Winarno (2002) menjelaskan bahwa protein dalam

tubuh manusia, terutama dalam sel jaringan, bertindak sebagai

bahan membran sel, dapat membentuk jaringan pengikat

misalnya kolagen dan elastin yang merupakan bahan untuk

menutup atau menyembuhkan luka, serta membentuk rambut

dan kuku. Disamping itu, protein dapat bekerja sebagai enzim,

bertindak sebagai plasma (albumin), membentuk antibodi,

membentuk kompleks dengan molekul lain, serta dapat

bertindak sebagai bagian sel yang bergerak (protein otot).

b. Fungsi Protein

Protein mempunyai bermacam-macam fungsi bagi tubuh,

yaitu sebagai pembentuk ikatan-ikatan esensial tubuh,

mengatur keseimbangan ar, memelihara netralitas tubuh,

15

pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sumber

energi (Almatsier, S. 2009).

c. Kebutuhan protein

Memperkirakan kebutuhan protein dapat dilakukan secara

sederhana dengan pemeriksaan balans nitrogen. Pada orang

dewasa yang sehat umumnya terdapat keseimbangan nitrogen

sedangkan dalam keadaan sakit yang berat atau kronis, akan

terdapat balans nitrogen yang negatif (Hartono A, 2006).

Kebutuhan protein dalam kondisi sakit dengan

mempertimbangkan faktor stres tertera dalam tabel berikut:

Tabel 1. Perkiraan Kebutuhan Protein

Tingkat stres Kebutuhan protein (g/kg BB Ideal/hari

AKG 0,8Stres ringanPembedahan elektifInfeksi lokalDemam derajat rendah

1-1,2

Stres sedangKesembuhan pasca bedah yang lambatPankreatitisDemam yang bermakana (>39oC)Pembedahan

1,5-1,75

Stres beratTransplantasi sum-sum tulangLuka bakarSakit yang kritisMultitraumaPembedahan dengan malnutrisi prabedahInfeksi sistemik/sepsis

1,5-2,0

Sumber: Hartono, A. 2006.

16

Dalam keadaan normal, tubuh akan menggunakan protein

sebagai sumber energi pada dua keadaan: 1) asupan energi

dari karbohidrat dan lemak yang tidak mencukupi kebutuhan,

dan 2) asupan protein yang berlebihan. Pada pasien bedah,

penggunaan protein sebagai sumber energi terjadi karena

perubahan dalam metabolisme karbohidrat dan lemak.

Kebutuhan protein bisa diukur berdasarkan rasio kalori:nitrogen

150:1 untuk terapi diet yang standar, sedangkan untuk pasien

bedah dapat digunakan rasio 75-100:1 asalkan fungsi ginjalnya

normal (Hartono, A. 2006).

4. Zat Besi (Fe)

Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di

dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di

dalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi

esensial di dalam tubuh:sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru

ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan

sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan

tubuh (AlmatsierS,2009).

a. Absorpsi, transportasi dan penyimpanan besi (Fe)

Tubuh sangat efisien dalam penggunaan besi, sebelum

diabsorpsi, di dalam lambung besi dibebaskan dari ikatan

organik, seperti protein. Sebagian besar besi dalam bentuk feri

direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana

17

asam di dalam lambung dengan adanya HCl dan vitamin C yang

terdapat di dalam makanan (Almatsier S, 2009).

Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus

(duodenum) dengan bantuan alat angkut protein khusus. Ada

dua jenis alat angkut-protein di dalam sel mukosa usus halus

yang membantu penyerapan besi, yaitu transferin dan feritin.

Transferin, protein yang disintesis di dalam hati, terdapat dalam

dua bentuk.Transferin mukosa mengangkut besi dari saluran

cerna ke dalam sel mukosa dan memindahkannya ke transferin

reseptor yang ada di dalam sel mukosa. Transferin mukosa

kemudian kembali ke rongga saluran cerna untuk mengikat besi

lain, sedangkan transferin reseptor mengangkut besi melalui

darah untuk dibawa ke semua jaringan tubuh. Dua ion feri

diikatkan pada transferin untuk dibawa ke jaringan-jaringan

tubuh. Banyaknya reseptor transferin yang terdapat pada

membran sel bergantung pada kebutuhan tiap sel. Kekurangan

besi pertama dapat dilihat pada tingkat kejenuhan transferin

(Almatsier S,2009).

Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-hem seperti

terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan

besi-nonhem dalam makanan nabati. Besi-hem diabsorpsi ke

dalam sel mukosa sebagai kompleks porfirin utuh. Cincin porfirin

di dalam sel mukosa kemudian dipecah oleh enzim khusus

(hemoksigenase) dan besi dibebaskan. Besi-hem dan nonhem

18

kemudian melewati alur yang sama dan meninggalkan sel

mukosa dalam bentuk yang sama dengan menggunakan alat

angkut yang sama. Absorpsi besi-hem tidak banyak dipengaruhi

oleh komposisi makanan dan sekresi saluran cerna serta oleh

status besi seseorang. Besi-hem hanya merupakan bagian kecil

dari besi yang diperoleh dari makanan (kurang lebih 5% dari besi

total makanan), terutama di Indonsia, namun yang dapat

diabsorpsi dapat mencapai 25% sedangkan nonhem hanya 5%

(Almatsier S, 2009).

Agar dapat diabsorpsi, besi-nonhem di dalam usus halus

harus berada dalam bentuk terlarut. Besi-nonhem diionisasi oleh

asam lambung, direduksi menjadi bentuk fero dan dilarutkan

dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula dan asam

amino yang mengandung sulfur. Pada suasana pH hingga 7 di

dalam duodenum, sebagian besar besi dalam bentuk feri akan

mengendap, kecuali dalam keadaan terlarut seperti disebutkan

diatas. Besi fero lebih mudah larut pada pH 7, oleh karena itu

dapat diabsorpsi (Almatsier S, 2009).

Taraf absorpsi besi diatur oleh mukosa saluran cerna yang

ditentukan oleh kebutuhan tubuh. Transferin mukosa yang

dikeluarkan kedalam empedu berperan sebagai alat angkut

protein yang bolak-balik membawa besi ke permukaan usus

halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga

saluran cerna untuk mengangkut besi lain. Sel mukosa besi

19

dapat mengikat apoferitin dan membentuk feritin sebagai

simpanan besi sementara dalam sel. Sel mukosa apoferitin dan

feritin membentuk pool besi (Almatsier, S, 2009).

b. Peran besi (Fe) dalam Hemoglobin

Sebagai suatu senyawa yang berperan dalam pengikatan

dan pelepasan oksigen, hemoglobin bukanlah senyawa yang

hanya berupa protein saja. Hemoglobin merupakan suatu protein

yang kompleks, yang tersusun dari protein globin dan suatu

senyawa bukan protein yang dinamai hem. Hem adalah suatu

senyawa yang tersusun dari suatu senyawa lingkar yang

bernama porfirin, yang bagian pusatnya ditempati oleh logam

besi (Fe). Jadi, hem adalah senyawa porfirin besi (Fe-porfirin),

sedangkan hemoglobin adalah kompleks antara globin-hem.

Satu molekul hem mengandung 1 atom besi, demikian pula 1

protein globin hanya mengikat 1 molekul hem. Sebaliknya, 1

molekul hem terdiri atas 4 buah kompleks molekul globin dengan

hem.Jadi, dalam tiap molekul hemoglobin terkandung 4 atom

besi (Sadikin, M. 2001).

Besi yang berada di dalam molekul hemoglobin sangat

penting untuk menjalankan fungsi pengikatan dan pelepasan

oksigen. Sebenarnya, hanya dengan molekul besi yang ada di

dalam hemoglobin itulah oksigen diikat dan dibawa. Bila terjadi

kekurangan besi, jumlah hemoglobin akan berkurang pula. Hal

ini tampak jelas, misalnya dalam keadaan kekurangan

20

(defisiensi) besi, yang menimbulkan keadaan kurang darah atau

anemia, yang lebih tepat disebutkan sebagai kekurangan

hemoglobin (Sadikin, M. 2001).

5. Status Gizi

Status gizi (Nutrition Status) merupakan ekspresi dari keadaan

keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan

dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002).

a. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi

empat penilaian yaitu antropometri, fisik klinis, dan biokimia.

1) Penilaian Antropometri

Penilaian antropometri yaitu suatu metode penilaian

status gizi dengan cara menilai ukuran tubuh manusia.

Ukuran tubuh manusia sangat erat kaitannya dengan status

gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat

ketidak seimbangan asupan protein dan gizi. Ketidak

seimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan

proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air

dalam tubuh. Atas dasar hal tersebut, ukuran-ukuran

antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat

diandalkan bagi penentuan status gizi (Wahyuningsih,

Retno, 2013).

Evaluasi hasil pengukuran antropometri yaitu dengan

cara membandingkan hasil yang diperoleh dengan

21

reference values atau dengan menggunakan angka

pembatas/cut off points (Wahyuningsih, Retno, 2013).

2) Pengukuran Berat Badan

Berat badan adalah salah satu parameter yang

memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat

sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak.

Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat

labil. Dalam keadaan normal, dimana kesehatan baik dan

keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi

terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan

umur. Sebaliknya, dalam keadaan yang abnormal, terdapat

2 kemungkinan perubahan berat badan, yaitu dapat

berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal

(Anggraeni,2012).

a) Pengukuran berat badan pada orang normal

Dalam pengukuran berat badan pada orang normal, alat

yang biasa digunakan yaitu timbangan injak. Timbangan

injak biasa digunakan untuk mengetahui berat badan

pada orang normal remaja dan dewasa

(Anggraeni,2012).

22

b) Perkiraan Berat Badan Ideal (BBI)

Tabel 2. Rumus Berat Badan Ideal dalam

Wahyuningsih, Retno 2013.

Usia Rumus Berat Badan ideal0-11 Bulan

DBW = atau + 3 s/d 4

(n adalah usia dalam bulan)DBW = Desirable Body Weight/Berat badan yang diinginkan

1-6 tahun BBI = 2n+8 (n adalah usia dalam tahun)

7-12 tahunBBI = (n adalah usia dalam tahun)

>12 tahun Rumus Brocca:BBI = (TB-100) – 10% atau 0,9 x (TB-100)Apabila tinggi badan (TB) pasien wanita <150 cm, dan apabila tinggi badan (TB) pasien pria < 160 cm, maka menggunakan rumus modifikasi Brocca: BBI= (TB - 100) x 1 kg)

3) Pengukuran Tinggi Badan

Tinggi/panjang badan merupakan salah satu parameter

yang dapat melihat keadaan status gizi sekarang dan

keadaan yang telah lau. Pertumbuhan tinggi/panjang badan

tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif pada

masalah kekurangan gizi dalam waktu singkat. Pengaruh

defisiensi zat gizi terhadap tinggi/panjang badan akan

nampak dalam waktu yang relatif lama.

Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan alat

pengukur tinggi badan yaitu microtoise (mikrotoa) yang

mempunyai ketelitian 0,1 cm(Murwani, 2010).

23

4) Penentuan Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari

perhitungan antara berat badan dibandingkan dengan tinggi

badan. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang

dewasa berumur diatas 18 tahun. IMT tidak dapat

diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan

olahragawan. Disamping itu, IMT juga tidak bisa diterapkan

pada keadaan khusus (penyakit) seperti adanya oedema,

ascites, dan hepatomegali.

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

IMT =

Kriteria penilaian IMT untuk orang Eropa, Asia, dan

Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Kriteria penilaian IMT untuk orang Eropa, Asia, dan Indonesia

Eropa Asia IndonesiaStatus Gizi IMT

(kg/m2)Status Gizi IMT

(kg/m2)Status Gizi IMT

(kg/m2)KurusNormalKegemukanPre ObesObes IObes IIObes III

≤18,518,5-24,9≥2525,0-29,930,0-34,935,0-39,9≥40

BB KurangBB NormalBB LebihDengan ResikoObes IObes II

<18,518,5-22,9≥23,023,0-24,9

25,0-29,9>30

Kurus SekaliKurusNormalGemukGemuk Sekali

<17,017,0-18,418,5-25,025,1-27,0>27,0

Sumber: WHO,1995 Sumber: WHO/WPR/IASO/ IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its Treatment

Sumber: Depkes RI, 2003

24

(Wahyuningsih, Retno 2013)

5) Penilaian Fisik dan Klinis

Penilaian fisik yaitu suatu metode penentuan status gizi

dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan),

dan melihat perubahan struktur dan jaringan. Penilaian

klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai

status gizi masyarakat, dimana didasarkan atas perubahan-

perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan

ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan

epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata,

rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang

dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid

(Wahyuningsih, Retno 2013).

Penggunaan metode ini umumnya untuk survey klinis

secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan

salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan

untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan

melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala

(symptom) atau riwayat penyakit.Evaluasi hasil pengukuran

fisik dan klinis yaitu dengan cara membandingkan hasil

yang diperoleh dengan reference values atau dengan

menggunakan angka pembatas/ cut off points untuk

beberapa pemeriksaan pada klinis misalnya pada

25

pemeriksaan tekanan darah, suhu, nadi, dan pernafasan

(Wahyuningsih, Retno, 2013).

6) Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah penilaian

status gizi dengan cara melakukan pemeriksaan spesimen

yang diuji secara labolatoris yang dilakukan pada berbagai

macam jaringan tubuh, antara lain darah, urin, tinja dan

juga berbagai jaringan tubuh seperti hati dan otot

(Wahyuningsih, Retno, 2013).

Evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium yaitu dengan

cara membandingkan hasil yang diperoleh dengan

reference values atau dengan menggunakan angka

pembatas/cut off points(Murwani, 2010).

7) Penilaian konsumsi makan

Penilaian konsumsi makan yaitu suatu metode

penentuan status gizi secara tidak langsung dengan

melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi, sehingga

dapat memberikan gambaran tentang konsumsi zat gizi

pasien apakah dalam kondisi kekurangan atau kelebihan

zat gizi (Wahyuningsih, Retno, 2013).

Metode yang digunakan dalam penilaian konsumsi

makan pasien yaitu:

a) Metode recall 24 jam

b) Metode pencatatan perkiraan makanan

26

c) Food frequency questionaire/FFQ (Kuesioner frekuensi

makanan)

d) Food Weighing method (Metode penimbangan

makanan)

Metode penimbangan makanan ini bertujuan untuk

menentukan seberapa banyak makanan atau minuman

yang benar-benar dikonsumsi oleh seseorang atau

sekelompok masyarakat. Dalam metode ini, petugas

menimbang dan mencatat seluruh makanan yang

dikonsumsi pasien selama 1 (satu) hari (Widajanti,

Laksmi, 2009).

Dalam kasus tertentu dengan pendekatan pengambilan

data makanan di suatu institusi atau tempat kerja, maka

metode ini sangat membantu dalam menetapkan

konsumsi zat gizi seseorang atau masyarakat secara

tepat, termasuk dalam hal ingin menghubungkan

asupan zat gizi dengan biomarker tertentu (Widajanti,

Laksmi, 2009).

e) Dietary history method (Metode riwayat makanan)

f) Visual plate waste/comstock

27

B. KERANGKA KONSEP

Gambar 3.1

Bagan Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

: Hubungan yang diteliti

: Hubungan yang tidak diteliti

(Almatsier S, 2009).

konsumsi makanan

Faktor-faktor

penyebab :

a. Infeksi

b. Penyakit kronik

c. Genetik

d. Trauma/ injuri

Konsumsi Protein

Konsumsi zat besi

Bedah digestive: Status Gizi

28

C. ALUR PENELITIAN

Bedah Digestive

a. Herniab. Appendicitisc. Trauma

abdomend. Illeus

obstruktif

Status Gizi

Jenis Penyakit

Sebelum Pembedahan

Setelah Pembedahan

1. Zat Gizi Makro (Protein)

2. Zat Gizi Mikro (Fe)

1. Zat Gizi Makro (Protein)

2. Zat Gizi Mikro (Fe)

Status Gizi

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di ruang rawat inap pasien

pasca bedah digestif yaitu Ruang Perawatan Rumah Sakit Umum

Kota Mataram. Jumlah pasien yang menjalani pembedahan digestif

pada bulan Januari sampai Desember tahun 2014 di Rumah Sakit

Umum Kota Mataram yaitu sebanyak 204 orang.

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai

dengan Mei tahun 2015.

B. Rancangan penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif observasional dengan pendekatan survei yang ingin

memberikan gambaran mengenai konsumsi protein dan Fe pada

pasien bedah digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram.

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau subyek yang

diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh pasien bedah digestif yang dirawat inap di Rumah Sakit

Umum Kota Mataram yang tercatat pada bulan Maret sampai

dengan Mei tahun 2015.

30

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah purposive sampling yaitu suatu teknik pengambilan sampel

dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan

pertimbangan atau kriteria tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

berdasarkan karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya.

Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Pasien pra bedah digestif yang dirawat inap dan masih

mendapatkan diet oral.

2) Pasien pasca bedah digestif yang dirawat inap dan mulai

mendapatkan diet oral.

3) Pasien bersedia menjadi sampel penelitian.

D. Data yang dikumpulkan

1) Data primer

a. Data identitas sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin

b. Data antropometri sampel yang meliputi berat badan dan tinggi

badan untuk pasien yang bisa diukur dengan berdiri,

sedangkan untuk pasien yang tidak bisa diukur dengan berdiri

dilakukan pengukuran LILA dan panjang depa untuk

memperikan berat badan dan tinggi badannya. Data

antropometri ini akan digunakan untuk menentukan status gizi

sampel dan data berat badan akan digunakan untuk

menghitung kebutuhan Protein dan Fe sampel.

31

c. Konsumsi protein dan Fe sampel

2) Data sekunder

a. Gambaran umum lokasi penelitian

b. Data jumlah sampel di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB dan

Rumah Sakit Umum Kota Mataram.

c. Data catatan medik sampel meliputi: jenis pembedahan, jenis

pengobatan dan hasil pemeriksaan laboratorium.

E. Cara Pengumpulan Data

1. Data primer

a. Data identitas sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin

diperoleh dengan melakukan wawancara langsung pada sampel

dengan alat bantu form identitas.

b. Data antropometri dikumpulkan dengan cara :

1) Pengukuran pada pasien yang bisa diukur secara berdiri,

meliputi:

a) Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan

timbangan digital dengan ketelitian 0,1 kg.

b) Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan

mikrotoa (microtoise) dengan ketelitian 0,1 cm

2) Pengukuran pada pasien yang tidak bisa diukur secara

berdiri, meliputi:

a) Pengukuran LILA dilakukan dengan menggunakan Pita

LILA dengan ketelitian 0,1 cm.

32

b) Pengukuran Panjang Depa dilakukan dengan

menggunakan metline dengan ketelitian 0,1 cm.

c. Data konsumsi protein dan Fe sampel diperoleh dengan cara

melakukan food weighing (penimbangan makanan) Metode

penimbangan makanan dilakukan untuk memperoleh data

konsumsi yang lebih akurat dan teliti sehingga diketahui

seberapa banyak makanan atau minuman yang benar-benar

dikonsumsi oleh sampel.

Tahapan pelaksanaan metode penimbangan makanan yaitu:

1) Peneliti menimbang makanan dan minuman sampel sebelum

makan.

2) Setelah selesai makan dan minum sisa makanan dan

minuman ditimbang kembali. Selisih makanan dan minuman

awal adalah berat makanan yang dikonsumsi.

3) Hasil penimbangan dicatat dalam lembar kuesioner

penimbangan makanan yang telah dipersiapkan.

Penimbangan makanan dilakukan selama 2 hari setiap kali

pasien mengkonsumsi makanan dan minuman.

(Catatan : Bagi pasien mendapatkan nutrisi parenteral dan

suplementasi yang dapat meningkatkan konsumsi protein dan Fe

dicatat jenis dan jumlah nutrisi parenteral dan suplementasi yang

diberikan).

2. Data sekunder

33

a. Data gambaran umum Rumah Sakit Umum Kota Mataram

diperoleh dengan cara mencatat dari profil rumah sakit yang

kemudian dicatat pada log book penelitian.

b. Data jumlah sampel di Rumah Sakit Umum Kota Mataram

diperoleh dengan cara mencatat dari data rekam medik rumah

sakit yang kemudian dicatat pada log book penelitian.

c. Data catatan medik sampel meliputi: jenis pembedahan, jenis

pengobatan dan hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh

dengan cara mencatat dari buku rekam medik pasien yang

menjadi sampel penelitian yang kemudian dicatat pada log book

penelitian.

F. Cara Pengolahan dan Analisis Data

1. Data primer

a. Data identitas sampel yang meliputi umur dan jenis kelamin

diolah dengan cara mengelompokkan data sebagai berikut :

1) Data umur dikelompokkan menjadi :

a) Masa balita =0 - 5 tahun

b) Masa kanak-kanak =5 - 11 tahun

c) Masa remaja awal =12 - 16 tahun

d) Masa remaja akhir =17 - 25 tahun

e) Masa dewasa awal =26 - 35 tahun

f) Masa dewasa akhir  =36- 45 tahun

g) Masa lansia awal      = 46- 55 tahun

h) Masa Lansia Akhir          = 56 - 65 tahun

34

i) Masa Manula                 = > 65 tahun

2) Data jenis kelamin dikelompokan menjadi :

1. Laki-laki

2. Perempuan

Data tersebut kemudian ditabulasikan dan disajikan secara

deskriptif dalam Ms. Word.

b. Data antropometri meliputi data berat badan dan tinggi badan

akan diolah menjadi status gizi berdasarkan IMT. Adapun rumus

dari perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

(Sumber : Prinsip Dasar Ilmu Gizi oleh Sunita Almatsier, 2009)

Tabel 4. Kategori status gizi berdasarkan IMT

Status Gizi IMT (kg/m2)BB Kurang <18,5BB Normal 18,5 – 22,9BB Lebih

Dengan risiko Obes I Obes II

≥23,023,0-24,924,9-29,9

>30,0

Pada pasien yang tidak bisa diukur berat badan dan tinggi badan

secara langsung, digunakan hasil pengukuran LILA sebagai

parameter untuk menentukan nilai IMT dengan rumus sebagai

berikut:

35

(Sumber : Powell-Tuck dan Hennessy, 2003 dalam UGM, 2013)

Tinggi badan pasien yang tidak bisa diukur secara langsung

diestimasi menggunakan hasil pengukuran panjang depa dengan

rumus :

Laki-

laki

Perempu

an

(Sumber : Fatmah, 2010)

Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan selain untuk

menentukan status gizi, digunakan pula untuk menentukan

kebutuhan protein dan Fe sampel. Berat badan yang digunakan

adalah Berat Badan Ideal (BBI) yang diperoleh dengan rumus

Brocca yaitu, sebagai berikut:

(Sumber : Retno Wahyuningsih, 2013)

(Catatan : Apabila tinggi badan (TB) pasien wanita <150 cm, dan

apabila tinggi badan (TB) pasien pria < 160 cm, maka menggunakan

rumus modifikasi Brocca: BBI= (TB - 100) x 1 kg)

c. Data Konsumsi Protein dan Fe Sampel

Data konsumsi protein dan Fe diperoleh dari hasil analisa

asupan berdasarkan hasil penimbangan makanan selama 1 hari

dengan menggunakan program Nutrisurvey 2007. Hasil analisa

asupan protein dan Fe kemudian dibandingkan dengan

kebutuhan protein dan Fe sampel dengan rumus:

36

Kategori Tingkat Konsumsi :

≥ 80% : pasien dinilai memiliki asupan yang normal

< 80% : pasien dinilai memiliki asupan yang kurang

(sumber : SK kemenkes no.129/menkes/SK/II/2008 tentang

standar pelayanan minimal rumah sakit, dengan indikator sisa

makanan yang tidak termakan oleh pasien).

(Catatan : Bagi pasien yang mendapatkan asupan protein dan

Fe dari nutrisi parenteral dan suplementasi maka total konsumsi

protein dan Fe adalah hasil penjumlahan dari asupan oral dan

parenteral dan suplementasi).

Kebutuhan protein sampel diperoleh dari hasil perhitungan

menggunakan rumus kebutuhan protein berdasarkan tingkat

stres, yaitu:

Tabel 5. Perkiraan Kebutuhan Protein

No. Tingkat stresKebutuhan Protein (g/kg

BB Ideal/hari1 Stres ringan

Pembedahan elektif1,0 -1,2

2 Stres sedang Kesembuhan pasca

bedah yang lambat 1,5 - 1,75

3 Stres berat Pembedahan dengan

malnutrisi prabedah 1,5 - 2,0

Sumber: Hartono, A. 2006.

37

Kebutuhan Fe ditentukan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi

(AKG) tahun 2013 yaitu:

Tabel 6. Angka Kecukupan Zat Besi (Fe)

Kelompok UmurKecukupanFe

(mg/hari)7-11 bulan 71-3 tahun 84-6 tahun 97-9 tahun 10

Pria 10-12 tahun 1313-15 tahun 1916-18 tahun 1519-29 tahun 1330-49 tahun 1350-64 tahun 1365-80 tahun 1380+ tahun 13

Wanita10-12 tahun 2013-15 tahun 2616-18 tahun 2619-29 tahun 2630-49 tahun 2650-64 tahun 1265-80 tahun 1280+ tahun 12

(Sumber : Kemenkes RI, 2013)

2. Data Sekunder

Data sekunder yang meliputi : gambaran umum Rumah Sakit

Umum Kota Mataram, jumlah pasien bedah digestif di Rumah Sakit

Umum Kota Mataram serta catatan medik sampel diolah secara

diskriptif yang dilengkapi dengan tabel atau grafik untuk

memperjelas data yang disajikan.

38

G. Alur Penelitian

Alur dalam penelitian ini yaitu :

1. Peneliti mendatangi bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum Kota

Mataram untuk memperoleh data tentang identitas pasien yang

akan menjalani pembedahan.

2. Peneliti menentukan pasien yang dijadikan sampel dan

mengunjungi sampel ke ruang perawatan sampel.

3. Peneliti melakukan rapport dengan sampel dan menjelaskan

maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan dengan cara

menyerahkan lembar informed consent yang selanjutnya

ditandatangani oleh sampel yang bersedia menjadi sampel

(Lampiran 1).

4. Peneliti mengumpulkan data sampel yang terdiri dari data tentang

karakteristik meliputi nama, umur, jenis kelamin, riwayat obat-

obatan yang dikonsumsi, dan riwayat konsumsi pasien.

Pengukuran antropometri dilakukan pada hari pertama visit.

5. Peneliti melakukan penimbangan makanan kemudian mencatat

makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam sehari ke dalam

formulir penimbangan makanan.

6. Setelah mengumpulkan semua data, mulai dari data identitas, data

antropometri, data konsumsi protein dan Fe, serta data catatan

rekam medik pasien, semua data kemudian diolah sesuai dengan

langkah yang terdapat pada cara pengolahan dan analisis data.

39

7. Peneliti melakukan proses tabulasi, cleaning dan editing dari data

hasil penelitian, kemudian melakukan pembahasan secara diskriptif

dan terstruktur agar mempermudah pemahaman pembaca

mengenai hasil penelitian.

H. Definisi Operasional

Tabel 7. Definisi Operasional

No.Variebel

PenelitianDefinisi

OperasionalAlat Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur

1 Bedah digestive

Gangguan dalam sistem pencernaan dan memerlukan tindakan pembedahan antara lain: colonoscopy, herniotomy, laparatomy, appendictomy, hemoroidectomy, vesicolithomy, laparascopy, laparatomy appendikoloni, colostomy, dan visicolisiasis.

Diukur dengan menggunakan lembar ceklist yang sudah disediakan dengan melihat rekam medik sampel

a. Hernia b. Trauma

abdomenc. Appendicitisd. Illeus

obstruktif

Nominal

2 Status Gizi Ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi yang diindikasikanoleh berat badan dan tinggi badan.

Pengukuran BB dengan timbangan digital.

Pengukuran TB dengan mikrotoa.

Hasil pengukuran BB dan TB akan dijadikan Indeks nilai IMT untuk menentukan status gizi dengan kategori disamping.

(Apabila tidak bisa diukur langsung,

BB Kurang : <18,5

BB Normal : 18,5-22,9

BB Lebih : ≥23,0 Dgn risiko :

23,0-24,9 Obes I :

25,0-29,9 Obes II :

≥30,0

Ordinal

40

digunakan pengukuran LILA dengan Pita LILA sebagai estimasi BB dan pengukuran panjang depa dengan Metline untuk estimasi TB)

3 Konsumsi protein

Asupan protein dari makanan dan minuman yang dikonsumsi selama 1 hari.

Food Weighing dengan timbangan bahan makanan dengan ketelitian 1 gram

≥ 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang normal < 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang kurang

Nominal

4 Konsumsi Fe

Asupan Fe dari makanan dan minuman yang dikonsumsi selama 1 hari.

Food Weighing dengan timbangan bahan makanan dengan ketelitian 1 gram

≥ 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang normal < 80% : Pasien dinilai memiliki asupan yang kurang

Nominal

41

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Anggraeni, Adisty Cynthia. 2012. Asuhan Gizi Nutritional Care Process.

Graha Ilmu. Yogyakarta.

Baradero, M, dkk. 2009. Prinsip dan Praktik Keperawatan Perioperatif.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Dahlan,M. Sofiyudin. 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal

Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan. CV Sagung Seto.

Jakarta.

Djalinz, Misbah.1992. Pemberian Dini Makanan lewat Pipa pada Pasien

Postoperasi Bedah Digestif. Laboratorium Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas, Padang Cermin Dunia Kedokteran

No. 79, 1992. Di unduh dari

http://www.scribd.com/doc/86896290/12PemberianDiniMakanan07

9

Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Fitryana, Mahmudah. 2012.Hubungan Antara Kadar Albumin Pre

Operasi dengan Tingkat Kelelahan Pada Pasien Post Operasi

Bedah Mayor di RSUD Banyumas.Diunduh dari

http://nefrologyners.files.wordpress.com/2012/02/hubungan-antara-

kadar-albumin-pre-operasi.pdf

Hartono, Andry. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. EGC. Jakarta.

42

Hill, Graham L dan J.C. Goligher, 2000. Buku Ajar Nutrisi Bedah

(Disorders of Nutrition and Metabolisme InClinical Surgery :

Understanding and Management).Farmedia.

Lena. 2012. Peritonitis Diet Pasca Bedah (Generalisata e.c Appendicitis

Perforata Post Operasi Explorasi Laparatomi). Malang. http://leena-

gizi.blogspot.com/2012/04/peritonitis-diet-pasca-bedah.html.

diakses pada 24 September 2013.

Mansjoer, A., dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius.

Jakarta.

Megawati, LP. 2010. Gambaran Konsumsi Energi dan Protein dan

Keseimbangan Nitrogen Pasien Pasca Bedah Digestif di Rumah

Sakit Umum Daerah Kota Mataram.

Murwani Retno, 2010. Modul biokimia Protein dan Asam Nukleat.

UNDIP. Semarang.

Sadikin, Mohammad. 2001. Biokimia Darah. Widya Medika. Jakarta.

Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.

Supariasa, I Dewa Nyoman.2001.Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

Susetia, Ongko dkk.2006.Keseimbangan Nitrogen melalui Pengukuran

Intake Protein dan Urinary Urea Nitrogen (UUN) pada penderita

Post Operasi Digestif Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Ulin

Banjarmasin. Di unduh dari

http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/24758/9/Keseimbangan

43

-Nitrogen-melalui-Pengukuran-%20Intake-Protein-dan-Urinary-

Urea-Nitrogen-_UUN_-pada-penderita-Post-Operasi-Digestif-

Rawat-Inap-Rumah-Sakit-Umum-Daerah-Ulin-Banjarmasin-

_lengkap_.pdf

Wahyuningsih, Retno. 2013. Penatalaksanaan Diet Pada Pasien. Graha

Ilmu. Yogyakarta.

Widajanti, Laksmi. 2009. Survei Konsumsi Gizi. Badan Penerbit

Universitas Diponegoro. Semarang.

Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta.

44

Lampiran 1

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI SAMPEL

(INFORMED CONSENT)

Gambaran Konsumsi Protein dan Zat Besi Pasien Bedah Digestif di Rumah Sakit Umum Kota Mataram

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Jenis Kelamin : (P/L) ; Umur : Tahun

Alamat :

No.Telp/HP :

Setelah mendapat penjelasan, dengan ini saya menyatakan

bersedia untuk berpartisipasi menjadi sampel dalam penelitian yang

berjudul “gambaran konsumsi protein dan zat besi pasien bedah digestif di

Rumah Sakit Umum Kota Mataram”. Bentuk kesediaan saya adalah :

1. Bersedia memberi keterangan mengenai identitas saya, meliputi

nama, umur, obat yang dikonsumsi, riwayat konsumsi teh dan kopi

serta hal-hal terkait penelitian.

2. Bersedia untuk melakukan food weighing untuk penentuan tingkat

konsumsi serta hal-hal yang terkait penelitian.

45

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa

paksaan, dengan memahami bahwa keikutsertaan saya bermanfaat dan

terjaga kerahasiaannya.

Mataram, 2015

Peneliti Sampel

(Lehmi Nurulsuci) ( )

46

Lampiran 2

FORM PENIMBANGAN MAKANAN

Nama Pewawancara:

Hari/tanggal Wawancara:

No.

Nama Makanan Jenis bahan makanan

Berat awal (gram)

Berat sisa (gram)

Berat makanan (gram)

47