Pratik Islam Nusantara i
PRAKTIK ISLAM NUSANTARA DI
BEBERAPA KELENTENG DI
INDONESIA
(Studi Atas Pemujaan Terhadap Cheng Ho (Muslim
Tionghoa) di Kelenteng Ancol, Sam Poo Kong, dan
Ritual Islam di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban)
Oleh:
M. Ikhsan Tanggok
ii Dalam Kelenteng-Kelenteng
USHUL PRESS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Cetakan Pertama: Desember 2015
Diterbitkan Dalam versi Indonesia oleh:
Ushul Press
Fakultas Ushuluddin UIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta
Jl. Ir.H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan 15412
Tel +62.21.7493677 Fax. +62.21.7493677
E-mail: [email protected]
Penulis: M. Ikhsan Tanggok
ISBN: 978-602-8700-12-2
Editor: Nawiruddin
Desain Sampul: Ikhsan
Gambar Sampul: Kelenteng Sam Poo Kong Semarang
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
Pratik Islam Nusantara iii
KATA PENGANTAR
Penulisan buku dengan judul: “Praktik Islam
Nusantara Di Beberapa Kelenteng Di Indonesia (Studi
Atas Pemujaan Terhadap Cheng Ho (Muslim Tionghoa) di
Kelenteng Ancol, Sam Poo Kong, dan Ritual Islam di
Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban) dapat diselesaikan
dengan baik berkat bantuan dana dari Diktis (Direktur
Perguruan Tinggi Agama Is lam) Kementerian Agama
RI. Penulisan buku ini didasarkan atas penelitian di
lapangan dan kepustakaan di kelenteng Ancol, Sam
Poo Kong Semarang, Sam Po Kong Singkawang dan
Kwan Sing Bio di Tuban Jawa Timur. Penelitian dan
penulisan buku ini dilakukan pada tahun 2015 dan
didanahi melalui anggaran Diktis Kementerian Agama
Republik Indonesia tahun 2015.
Islam Nusantara yang dimaksud dalam tulisan
ini adalah Islam yang dipengaruhi oleh berbagai
kebudayaan sukubangsa yang ada di Indonesia. Para
penganut Islam mengaku diri mereka sebagai umat
Islam dan juga disisi lain mereka meyakini berbagai
kekuatan supernatural yang dapat membantu
menyelesaikanberbagai persoalan dalam hidup mereka.
Salah satu contohnya adalah praktik-praktik beberapa
umat Islam dalam berbagai kelenteng milik orang
Tionghoa non Islam di Indonesia.
iv Dalam Kelenteng-Kelenteng
Atas dasar itu, saya tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada: Kementerian Agama Republik
Indonesia, khususnya kepada Prof. Dr. Amsal
Bakhtiar, MA (Direktur Diktis), Dr. Muhammad Zein,
dan para stafnya yang menangani buku Islam
Nusantara ini di Kementerian Agama RI. Atas jasa-
jasa mereka, penulisan buku tentang Praktik Islam
Nusantara Di Beberapa Kelenteng Di Indonesia dapat
diselesaikan dengan baik.
Jakarta, 25 Desember 2015
Penulis
Pratik Islam Nusantara v
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN __ 1
1.1. Masalah Penulisan __13
1.2. Sumber Data dan Fokus Penulisan__16
2. CHENG HO DAN NEGARA-NEGARA DI LUAR
TIONGKOK __17
2.1. Mengenal Cheng Ho __18
2.2. Perjalanan Cheng Ho ke Nusantara __36
2.2.1. Perjalanan Pertama __43
2.2.2. Perjalanan Kedua __45
2.2.3. Perjalanan Ketiga __46
2.2.4. Perjalanan Keempat __50
2.2.5. Perjalanan Kelima __54
2.2.6. Perjalanan Keenam __58
2.2.7. Perjalanan Ketujuh __60
3. RITUAL UMAT ISLAM DALAM KELENTENG SAM
POO KONG__63
3.1. Kunjungan Cheng Ho di Semarang __63
3.2. Pemujaan Terhadap Sam Poo Tay Kam __78
3.3. Pemujaan Juru Mudi Dampo Awang __96
3.4. Pemujaan Dewa Bumi __111
3.5. Pemujaan Kiyai Jangkar __115
3.6. Mitos Akar Kayu __118
3.7. Sembahyang Rebutan __120
3.8. Selamatan Gua Sam Poo Kong __133
vi Dalam Kelenteng-Kelenteng
4. RITUAL UMAT ISLAM DALAM KELENTENG
ANCOL __151
4.1. Asal Usul Kelenteng Ancol __151
4.2. Makam Melayu Islam di Kelenteng Ancol__159
5. RITUAL UMAT ISLAM DI KELENTENG
KWAN SING BIO __189
5.1. Kelenteng Kwan Sing Bio Sebagai Wadah
Persatuan __189
5.2. Istri Presiden RI ke–4 Sahur Bersama
di Kelenteng __210
6. PENUTUP __207
Bahan Bacaan __213
Riwayat Hidup__218
Pratik Islam Nusantara 1
1
PENDAHULUAN
Jika kita berkunjung ke kota Semarang, maka
belumlah lengkap jika kita tidak berkunjung ke kelenteng Sam
Poo Kong Semarang. Sama sama artinya dengan jika kita
berkunjung ke Jakarta, maka belumlah dianggap lengkap jika
kita belum berkunjung ke Monumen Nasional (Monas).
Demikian juga, jika kita berkunjung ke tempat wisata Ancol,
maka belum lengkap jika kita tidak berkunjung ke kelenteng
bersejarah yaitu kelenteng Ancol. Jika kita berkunjung ke
Kalimantan Barat, maka belumlah lengkap jika kita belum
mengunjungi kelenteng Sam Po Kong di wilayah Pantai
Samudera Indah, Dusun Tanjung Gundul, Desa Karimunting,
Kecamatan Sei Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang.
Demikian juga jika kita berkunjung ke Melaka Malaysia, maka
belumlah lengkap jika kita belum berkunjung ke Musium
2 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Cheng Ho di Bandar Melaka dan jika kita berkunjung ke
Tuban, maka belumlah terasa lengkap jika kita belum
berkunjung ke kelenteng Kwan Sing Bio Tuban.
Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang merupakan
salah satu objek wisata dari beberapa objek wisata di kota
Semarang yang cukup terkenal. Banyak orang berkunjung ke
Semarang menyempatkan diri untuk berkunjung ke Kelenteng
Sam Poo Kong ini, karena kelenteng ini adalah salah satu objek
wisata terkenal di kota Semarang. Para pengunjungnya tidak
hanya dari kalangan orang Tionghoa, namun juga orang-orang
non Tionghoa yang beragama Islam ikut meramaikan suasana
di kelenteng ini.
Salah satu kelenteng yang terkenal di Semarang adalah
kelenteng Sam Poo Kong atau lebih dikenal dengan kelenteng
Gedung Batu. Disebut kelenteng Gedung Batu karena
kelenteng tersebut menyerupai gua batu dan dalam kompleks
kelenteng itu juga terdapat gua batu yang diyakini tempat
bersemedinya Cheng Ho. Kelenteng Gedung Batu atau dikenal
dengan kelenteng Sam Po Kong di Semarang adalah sebuah
peninggalan sejarah masa lalu yang usianya sudah ratusan
tahun dan sudah mengalami beberapa kali perombakan atau
perbaikan. Banyak orang menduga bahwa tempat ini
merupakan tempat persinggahan dan pendaratan pertama
Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok yang beragama Islam.
Berdasarkan sejarah dia datang ke Semarang dengan membawa
ribuan anak buah, ratusan kapal dan terdiri dari berbagai
sukubangsa dan agama. Berdasarkan catatan sejarah, Cheng Ho
pernah datang ke Nusantara tujuh kali. Setiap berkunjung ke
Nusantara, dia dan anak buahnya selalu menyempatkan diri
untuk mampir ke Semarang. Di sana dia dan anak buahnya
menjalin hubungan persahabatan dengan penduduk setempat,
membawa dan memasukkan barang rempah-rempah dan
Pratik Islam Nusantara 3
barang-barang makanan lainnya ke Semarang. Di masa lalu,
Semarang adalah kota paporitnya Cheng Ho dan anak buahnya,
ini terbukti bahwa kota ini tidak hanya sekali ia kunjungi, tapi
beberapa kali.
Selain kelenteng Sam Poo Kong, Semarang juga
memiliki Kelenteng Tay Kak Sie yang terletak di Gang
Lombok kota Semarang. Lokasi kelenteng ini di tengah-tengah
kota Semarang dan mudah untuk dijangkau oleh para
pengunjung. Di dalam kelenteng ini disimpan duplikat patung
Cheng Ho dan kapal Cheng Ho. Kelenteng ini memiliki sejarah
yang berhubungan dengan kelenteng Sam Poo Kong Semarang.
Kelenteng ini juga dianggap kelenteng yang sudah cukup tua di
kota semarang. Karena usianya sudah ratusan tahun, maka
kelenteng ini juga menjadi tempat wisata bagi orang-orang
yang berkunjung ke kota Semarang. Setiap tahunnya kelenteng
ini ramai dikunjungi orang Islam dan non Islam, karena di
tempat ini—pada saat diadakannya perayaan ulang tahun
Cheng Ho, maka duplikat patung Cheng Ho yang ada di
kelenteng ini di bawa (diarak) oleh banyak orang ke kelenteng
Sam Poo Kong atau kelenteng Gedung Batu di Semarang.
Duplikat patung Cheng Ho itu diinapkan satu malam di
kelenteng Sam Poo Kong dan keesokan paginya dibawa
kembali ke kelenteng Tai Kak Sie. Ritual semacam ini tidak
hanya melibatkan orang-orang Tionghoa, tapi juga beberapa
orang muslim yang ikut di dalamya. Ini artinya kedua agama
yang berbeda saling bersatu dan saling membantu dalam
mewujudkan uapacara untuk merayakan hari lahirnya Cheng
Ho yang setiap tahun diadakan.
Setelah menyoroti dua kelenteng di Semarang, kita
alihkan perhatian kita untuk melihat kelenteng Ancol di
Jakarta. Sama dengan dengan kelenteng Sam Poo Kong dan
kelenteng Tai Kak Sie di Semarang, Kelenteng Ancol di
4 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Jakarta Utara juga banyak dikunjungi orang Islam dan non
Islam, karena di dalamnya terdapat kuburan seorang muslim
yang diduga adalah kuburan juru masaknya Cheng Ho. Ini
artinya bahwa tidak hanya Cheng Ho yang menjadi pusat
perhatian umat Islam dan non Islam, tapi juru masaknya juga
menjadi pusat perhatian masyarakat. Ini menunjukkan bahwa
orang Indonesia (Islam maupun non Islam) sangat
menghormati Cheng Ho dan anak buahnya.
Dalam kompleks kelenteng Ancol ini terdapat empat
orang muslim yang dimakamkan di sini. Mereka itu adalah:
Embah Said Arelly Dato Kembang dan ibu Enneng, Sam Po
Soe Soe (juru masaknya Cheng Ho dan ibu Sittiwati). Dari
empat orang Islam yang dikuburkan di kompleks kelenteng ini,
tiga di antaranya berasal dari Indonesia dan satu dari Tiongkok.
Sam Po Soe Soe berasal dari Tiongkok dan memiliki seorang
istri yang bernama ibu Sitiwati. Ibu Sitiwati adalah anak dari
Embah Said Arelly Dato Kembang dan ibu Enneng. Jadi,
keempat orang muslim yang dimakamkan di kompleks
kelenteng Ancol ini masih ada ikatan kekerabatan di antara
mereka.
Kelenteng Ancol ini sama dengan kelenteng Sam Poo
kong di Semarang, yaitu juga menjadi pusat kunjungan umat
Islam dan non Islam. Salah satu alasan beberapa umat Islam
datang ke tempat ini karena ingin mengunjungi makam muslim
di sana. Tujuan mereka datang ke sana ada yang hanya untuk
berziarah dan ada juga yang berziarah dan sekaligus memohon
pertolongan dari mereka (orang-orang yang dikuburkan di
tempat itu) untuk mewujudkan keinginan-keinginan mereka.
Di Kalimantan Barat, kita juga mengenal kelenteng
Cheng Ho yang di bangun di sana. Sama dengan Semarang,
kelenteng ini juga diberi nama kelenteng Sam Po Kong.
Kelenteng Sam Po Kong ini terletak di objek wisata pantai
Pratik Islam Nusantara 5
Samudera Indah, Dusun Tanjung Gundul, Desa Karimunting,
Kecamatan Sei Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang
Kalimantan Barat. Kelenteng ini juga banyak dikunjungi orang
Islam dan non Islam, karena di dalamnya ada potongan kaki
patung Cheng Ho yang terbuat dari batu yang menyimbolkan
kedatangan Cheng Ho ke daerah itu di masa lalu. Berdasarkan
cerita rakyat, pada abad ke-18 patung Cheng Ho itu dicuri
orang-orang yang menginginkannya, maka pada saat mereka
mengambil patung itu, maka tertinggallah dua buah telapak
kaki patung tersebut. Sampai saat ini, kedua telapak kaki itu
masih tersimpan dengan baik di kelenteng Sam po Kong di
kabupaten Bengkayang. Semua kelenteng di Indonesia dan
Malaysia yang memliki keterkaitan dengan kedatangan Cheng
Ho di masa lalu, telah menjadi pusat perhatian umat Islam dan
non Islam dari berbagai daerah dan negara. Sebagian umat
Islam meyakini bahwa potongan patung kaki Cheng Ho yang
terdapat di samping kelenteng tersebut adalah benar dahulunya
adalah patung Cheng Ho yang dibuat untuk menyimbolkan
kedatangan Cheng Ho di daerah itu.
Di Malaysia, khususnya di pulau Penang juga ada
kelenteng Cheng Ho, yang di dalamnya ada dipamerkan bekas
telapak kaki Cheng Ho. Berdasarkan keyakinan sebagian orang
Tionghoa di Penang, bekas telapak kaki Cheng Ho yang ada di
dalam kelenteng itu adalah benar bekas telapak kakinya.
Kelenteng Cheng Ho di Penang Malaysia juga tidak sedikit
dikunjungi oleh orang Islam dan non Islam, karena di
dalamnya terdapat patung Cheng Ho yang di datangkan dari
Tiongkok dan bekas telapak kaki Cheng Ho yang menandakan
kedatangannya pada masa lalu. Apakah benar di dalam
kelenteng Cheng Ho di pulau Penang di Malaysia adalah
benar-benar bekas telapak kaki Cheng Ho atau bisa saja itu
duplikat bekas telapak kaki Cheng Ho. Sampai saat ini belum
6 Dalam Kelenteng-Kelenteng
ada sebuah hasil penelitian yang membuktikan kebenaran
telapak kaki yang diduga sebagai telapak kaki Cheng Ho.
Di Tuban Jawa Timur, juga ada sebuah kelenteng
bersejarah yang juga setiap tahun selalu dikunjungi oleh umat
Islam. Kelenteng ini bernama Kwan Sing Bio. Kelenteng ini
tidak mempunyai hubungan dengan kedatangan Cheng Ho
pada abad ke-15 di Semarang dan beberapa daerah di
Nusantara. Dalam kelenteng ini juga tidak ada disediakan
patung Cheng Ho untuk sebagai daya tarik orang muslim
berkunjung ke tempat ini. Meskipun tidak disediakan patung
Cheng Ho dan juga tidak memiliki kuburan muslim di
dalamnya, namun setiap bulan ramadhan banyak orang Islam
yang tinggal di sekitarnya berkunjung di sini. Alasannya bahwa
sepanjang bulan ramadhan para pengurus kelenteng ini selalu
menyediakan makanan untuk sahur dan berbuka bersama. Oleh
karena itu, kelenteng ini bukan saja sebagai tempat ibadah
untuk umat tertentu, tapi juga sebagai simbol pemersatu antar
berbagai agama.
Kelenteng yang terletak di daerah Simongan itu
dinamakan kelenteng Sam Poo Kong. Kelenteng Sam Po Kong
yang menyediakan patung Cheng Ho di dalamnya terletak di
daerah Simongan, di sebelah barat daya Kota Semarang. Di
samping apa yang disebutkan di atas, di dalamnya terdapat
tanda yang menunjukan bekas peninggalan sejarah yang berciri
keislamanan dengan ditemukannya sebuah tulisan yang
berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan
mendengarkan bacaan Al Qur'an." Tidak hanya itu, dalam
kelenteng ini juga dapat dijumpai kuburan seorang muslim
yang diduga sebagai kuburan juru mudi Cheng Ho. Tulisan dan
kuburan muslim ini telah membuat banyak orang
menghubungkannya dengan kedatangan Cheng Ho dengan
penyebaran Islam di Nusantara di masa lalu. Atas dasar itu,
Pratik Islam Nusantara 7
banyak orang yang datang ke tempat ini untuk meminta
pertolongan pada juru mudi Cheng atau kuburan juru mudi
Cheng Ho. Mereka meyakini, bukan saja Cheng Ho yang
memiliki kemampuan untuk menolong orang, tapi juga juru
mudinya.
Kelenteng Sam Poo Kong di semarang lebih dikenal
sebagai kelenteng dengan sebutan Kelenteng Gedung Batu.
Disebut Gedung Batu karena bentuknya menyerupai sebuah
Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu, tepatnya
batu besar tersebut berada di belakang kelenteng. Orang
Indonesia keturunan Cina atau orang Tionghoa pada masa lalu
menganggap bangunan itu sebagai sebuah kelenteng, karena
bentuknya berasitektur Cina sehingga mirip dengan sebuah
kelenteng. Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat
peringatan dan tempat pemujaan atau bersembahyang serta
tempat untuk berziarah, tempat ibadah dan tempat upacara-
upacara untuk hari-hari besar orang Tionghoa. Untuk keperluan
pemujaan terhadap Cheng Ho, di dalam gua batu itu diletakan
sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien (Cheng
Ho), dan patung-patung lainnya (Joe, 1931). Laksamana Cheng
Ho adalah orang muslim, tapi karena jasa-jasa masa lalunya
yang luar biasa, maka para pemuja yang datang ke tempat ini
menganggapnya sebagai dewa. Mereka beranggapan, roh
Cheng Ho dapat memberikan pertolongan pada siapa saja yang
memohon kepadanya. Ini adalah keyakinan dan siapa saja bias
berkeyakinan demikian. Kita tidak bias melarang orang
berkeyakinan seperti itu dan itu merupakan haknya.
Berdasarkan sejarah yang yang ditulis oleh beberapa
ahli sejarah, bahwa pada masa itu Laksamana Zheng Ho
sedang berlayar dari Tiongkok melewati laut Jawa, namun ada
seorang awak kapalnya yang sakit, dan ia memerintahkan anak
buahnya yang lain untuk membuang sauh atau
8 Dalam Kelenteng-Kelenteng
memberhentikan kapalnya untuk sementara waktu. Kemudian
ia merapat ke pantai utara semarang dan membuat tempat
peristirahatan sementara dan memfungsikan tempat itu sebagai
tempat untuk bersembahyang. Sekarang tempat itu berubah
fungsinya sebagai kelenteng dan digunakan masyarakat
Tionghoa untuk melakukan pemujaan atau penghormatan
kepadanya. Bangunan itu sekarang telah berada di tengah kota
Semarang atau tidak begitu jauh dari kota Semarang. Karena
pantai utara Jawa selalu mangalami pendangkalan diakibatkan
adanya sedimentasi sehingga lambat-laun daratan akan
semakin bertambah luas kearah utara dan memperluas
permukaan bumi (Yuangzhi, 2000 dan Tanggok, 2006). Posisi
kelenteng yang dahulunya berada di pinggir laut, akibat
pendangkalan, maka letak kelenteng berada jauh dari laut.
Sekarang lokasi kelenteng ini sangat sangat jauh dari laut dan
daratannya sudah dipenuhi dengan bangunan-bangunan rumah
dan ruko-ruku tempat berdagang.
Berdasarkan cerita yang berkembang, setelah Zheng He
meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan
perjalanannya ke Negara-negara lain, ada beberapa awak
kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan kawin mawin
dengan penduduk setempat. Dalam cerita itu tidak disebutkan
dengan jelas siapa nama-nama awak kapal Cheng Ho yang
menetap di Simongan. Mereka menggarap pertanian di daerah
tersebut dan menjadikan tempat itu sebagai tempat mereka
menggantungkan hidupnya. Berdasarkan sumber-sumber
tertulis, pada saat Cheng Ho berada di darat, dia memberikan
pelajaran bercocok-tanam pada masyarakat sekitarnya dan
karena ia beragama Islam, maka ia juga mengajarkan penduduk
setempat agama Islam (Tio, tanpa tahun). Agama Islam yang
disebarkan tidak dengan mudah diterima masyarakat, karena
keyakinan masyarakat pada masa itu masih kuat dengan agama
Pratik Islam Nusantara 9
tradisional mereka yang masih dekat dengan animisme dan
dinamisme. Sebagaimana kita ketahui, sebelum masuknya
agama Islam, masyarakat Nusantara menganut keyakinan
animism dan dinamisme yang sangat kuat.
Masyarakat nusantara sangat menghargai para tokoh-
tokoh yang pernah berjasa kepada mereka, termasuk Cheng Ho
yang mereka anggap pernah berjasa kepadanya. Oleh karena
itu, pada bulan Oktober 1724 diadakan upacara besar-besaran
sekaligus pembangunan kuil sebagai ungkapan terima kasih
orang-orang kepada Sam Po Tay Djien atau Cheng Ho di
daerah kelenteng Sam Po Kong sekarang ini. Dua puluh tahun
sebelumnya diberitakan bahwa gua yang dipercaya sebagai
tempat ibadanya Sam Po Kong atau Cheng Ho itu runtuh
disambar petir. Tidak lama setelah itu, tempat tersebut
dibangun kembali dan di dalamnya ditempatkan patung Sam
Po atau Cheng Ho dengan empat patung lainnya (patung anak
buahnya) yang didatangkan dari Tiongkok. Ini menunjukkan
bahwa masyarakat pada waktu itu sangat menghargai
perjuangan Cheng Ho masa lampau di Semarang. Oleh karena
itu, pada perayaan tahun 1724 di kelenteng tersebut telah
ditambahkan bangunan emperan di depan gua (Khong Yuan
Zhi, 2000). Bangunan ini menjadi cikal bakal bangunan
tambahan kelenteng.
Untuk mengenang kedatangan Cheng Ho di Semarang,
maka rakyat semarang memperingati kedatangannya itu dengan
agenda-agenda tertentu. Agenda-agenda tersebut dikenal
dengan perayaan tahunan Cheng Ho. Perayaan tahunan untuk
memperingati kedatangan Cheng Ho di Semarang, merupakan
salah satu agenda utama di kota Semarang dan juga merupakan
cara untuk menarik wisatawan datang ke Semarang. Dan
perayaan ini menjadi pusat perhatian masyarakat Semarang
setiap tahunnya. Perayaan itu berbentuk upacara agama yang
10 Dalam Kelenteng-Kelenteng
diadakan di kelenteng Tay Kak Sie, di Gang Lombok kota
Semarang. Upacara selanjutnya adalah arak-arakan patung Sam
Po Kong (Cheng Ho) yang di bawa dari kuil Tay Kak Sie ke
kelenteng Sam Po Kong di Gedong Batu Semarang. Patung
Cheng Ho tersebut kemudian diletakkan berdampingan dengan
patung Sam Po Kong yang asli di Gedong Batu. Jadi, patung
Sam Po Kong yang ada di kelenteng Tay Kak Sie di Semarang
diyakini sebagian orang sebagai duplikat patung Sam Po Kong
yang ada di Semarang. Kelenteng Tay Kak Sie benar-benar
berolakasi di tengah-tengah kota Semarang. Di depan
kelenteng Tay Kak Sie dapat kita jumpai duplikat kapal Cheng
Ho yang terbuat dari kayu. Warna coklat dan sudah tampak
kehitam-hitaman karena kehujanan dan kepanasan.
Setiap orang yang datang ke tempat ini mempunyai
keyakinan berbeda-beda tentang Cheng Ho tergantung dia
memandang Cheng Ho itu seperti apa. Ada sebagian orang
muslim maupun non muslim menganggap bahwa Cheng Ho
diduga tidak hanya sekedar tokoh muslim dari daratan tiongkok
yang melakukan perdagangan, melakukan hubungan
diplomatik di wilayah-wilayah yang ia kunjungi dan
menyebarkan agama Islam di Nusantara, tapi juga dianggap
sebagai dewa yang dapat dimintai bantuannya. Atas dasar itu,
banyak orang Islam maupun non Islam yang datang ke
kelenteng-kelenteng yang masih ada kaitannya dengan Cheng
Ho, terutama kelenteng Sam Poo Kong Semarang hanya untuk
meminta pertolongan kepadanya. Bukan saja meminta
pertolongan, tapi memberikan penghormatan kepadanya.
Sebagian besar orang muslim percaya bahwa Cheng Ho
adalah seorang muslim dari Tiongkok yang pernah datang
beberapa kali ke Semarang pada abad ke 15, namun tidak
semua orang muslim percaya bahwa Laksamana Cheng Ho itu
berubah menjadi dewa setelah kematiannya. Ditak juga semua
Pratik Islam Nusantara 11
orang muslim percaya bahwa Cheng Ho yang diyakini oleh
sebagian orang muslim lainnya sebagai dewa itu dapat
menolong orang sesuai dengan keinginan mereka. Bagi mereka
yang percaya bahwa Cheng Ho itu berubah jadi dewa dan dapat
membantu manusia yang membutuhkan pertolongan, maka
mereka pergi ke kelenteng Sam Poo Kong adalah untuk tujuan
meminta pertolongan. Bagi mereka yang tidak percaya, maka
kedatangan mereka ke kelenteng Sam Poo Kong adalah hanya
untuk wisata. Oleh karena itu, kita dapat membagi orang
muslim yang datang ke kelenteng Sam Poo Kong ke dalam dua
bagian: (1) Orang muslim yang datang ke sana untuk meminta
pertolongan kepada dewa Sam Poo Kong. Permintaannya
bermacam-macam sesuai dengan keinginan dan permasalahaan
yang mereka hadapi. (2) Orang muslim yang datang ke
kelenteng Sam Poo Kong hanya untuk wisata atau untuk
melihat lebih dekat kelenteng Sam Poo Kong. Oleh karena itu,
pengurus kelenteng memfungsikan kelenteng ini bukan hanya
sekedar untuk tempat orang melakukan ibadah, tapi juga
sebagai tempat wisata. Karena fungsinya juga sebagai tempat
wisata, maka pengurus kelenteng mewajibkan orang yang
masuk ke komplek kelenteng ini harus menggunakan tiket,
sebagaimana masuk tempat-tempat wisata lainnya.
Ditempatkannya patung Cheng Ho di beberapa
kelenteng di Indonesia, bukan saja menjadi pusat penyembahan
oleh sebagian orang Islam dan non Islam, tapi juga sebagai
perekat hubungan muslim dan non muslim yang terjadi di
dalam kelenteng. Di dalam kelenteng mereka tidak hanya
sekedar melakukan pemujaan terhadap dan memohon
pertolongan pada Cheng Ho, tapi juga dapat saling berkumpul
bersama, saling kenal mengenal satu dengan yang lainnya
(Tanggok, 2006) dan juga mempererat tali persahabatan satu
dengan yang lainnya.
12 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Kelenteng Sam Po Kong dan kelenteng Tay Kak Sie di
Semarang merupakan simbol kedatangan Cheng Ho pada abad
ke 15 di wilayah tersebut. Meskipun mempunyai sejarah yang
berhubungan, namun jumlah kedatangan orang muslim ke dua
kelenteng ini berbeda satu dengan yang lainnya. Kelenteng
Sam Po Kong di Semarang menjadi pusat perhatian dan tempat
orang memohon sesuatu pada Cheng Ho oleh sebagian orang
Islam di Semarang dan yang datang di luar semarang,
sedangkan kelenteng Tay Kak Sie menjadi pusat perhatian dan
pemujaan oleh orang-orang Tionghoa non muslim. Kelenteng
di luar Semarang, misalnya kelenteng Ancol di Jakarta, juga
mempunyai kaitan dengan kedatangan Cheng Ho pada abad ke-
15 di Batavia. Kasus yang sama, banyak umat Islam yang
datang ke kelenteng ini untuk memohon pertolongan pada juru
masak Cheng Ho. Kelenteng Sam Po Kung di Singkawang,
juga banyak dikunjungi oleh para pemuja dari kalangan non
Islam dan kelenteng Tuban Jawa Timur juga banyak
dikunjungi orang untuk tujuan sahur dan buka puasa bersama.
Tidak ubahnya dengan Indonesia, Jika kita telusuri praktek-
praktek umat Islam di dalam beberapa kelenteng tersebut, tentu
juga menjadi kajian menarik bagi para antropolog untuk
melihat praktek-praktek keberagamaan sebagian umat Islam
dan non Islam di dalam beberapa kelenteng-kelenteng tersebut.
Ini menjadi salah suatu alasan kenapa prktik-praktik sebagian
umat Islam dalam beberapa kelenteng di Indonesia menjadi
menarik untuk di teliti dan ditulis dalam suatu buku.
Alasan lain kenapa Kelenteng Sam Po Kong, kelenteng
Ancol, kelenteng Sam Po Kung di Singkawang dan kelenteng
Tuban Jawa Timur menjadi pusat perhatian, karena pertama,
Cheng Ho pada saat itu tidak hannya mengunjungi pulau Jawa,
tapi juga pulau-pulau di luar pulau Jawa. Kedua, Kelenteng-
kelenteng ini bukan hanya sekedar tempat ibadah bagi orang
Pratik Islam Nusantara 13
Tionghoa, tapi juga berfungsi sebagai tempat berjumpanya
semua umat beragama yang datang ke kelenteng ini dengan
tujuan bermacam-macam. Ketiga, patung Cheng Ho dan bekas-
bekas patung Cheng Ho dan bagian-bagian dari patung Cheng
Ho yang di letakkan dalam kelenteng-klenting ini untuk dipuja
dan dimintai pertolongannya dan keempat adalah kelenteng
yang tidak ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho di
masa lalu namun banyak dikunjungi umat Islam dari sekitar
kelenteng itu berada.
1.1. Masalah Penulisan Penulisan buku praktik Islam dalam beberapa kelenteng
ini dibatasi pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian
umat Islam di kelenteng Sam Poo Kong Semarang, kelenteng
Ancol di Jakarta dan kelenteng Tuban Surabaya dan kelenteng
Sam Po Kong di Kalimantan Barat. Kelenteng-kelenteng lain
yang ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho di Nusantara
juga menjadi data penunjang untuk melengkapi tulisan ini.
Sejak pertama kali orang Tionghoa datang ke Indonesia,
Kelenteng selalu menjadi tempat mereka untuk berkumpul,
melakukan ibadah dan memohon sesuatu kepada Tuhan
(Thian) dan dewa-dewa yang mereka yakini keberadaannya.
Apakah mereka beragama Tao, Khonghucu dan Buddha, selalu
menjadikan kelenteng sebagai tempat untuk beribadah.
Tradisi semacam ini sudah menjadi pemandangan biasa
untuk seluruh kelenteng di Indonesia dan di luar Indonesia,
terutama di Tiongkok. Sesuatu pemandangan yang tidak biasa
adalah apabila sebagian umat Islam berkunjung ke kelenteng,
khususnya kelenteng-kelenteng yang terkait dengan
kedatangan Cheng Ho (utusan kaisar Tionghoa dan seorang
muslim Tionghoa yang datang pada abad ke-15 di Nusantara)
dan tidak terkait dengan Cheng Ho, memuja dan memohon
14 Dalam Kelenteng-Kelenteng
sesuatu padanya agar semua keinginannya terkabulkan.
Kebiasaan sebagian umat Islam di Indonesia semacam ini
sudah berlangsung cukup lama dan terus berkembang sampai
sekarang. Oleh karena itu, untuk kasus beberapa kelenteng di
Indonesia, kelenteng bukan saja sebagai tempat ibadah orang
Tionghoa pada dewa dan roh-roh, tapi juga menjadi bagian dari
tempat ibadah sebagian umat Islam yang difokuskan untuk
memuja dan meminta sesuatu pada Cheng Ho, tempat
pembagian sembako dan tempat sahur, berbuka puasa bersama
dan tempat dialog kerukunan beragama.
Penulisan buku yang berhubungan dengan Islam
Nusantara ini mengacu pada beberapa pertanyaan sebagai
berikut: (1) Apakah benar ada orang Islam yang datang ke
kelenteng Sam Poo Kong Semarang, kelenteng Ancol di
Jakarta dan kelenteng-kelenteng lain yang ada kaitannya pada
Cheng Ho dan kelenteng-kelenteng yang tidak ada kaitannya
dengan kedatangan Cheng Ho, seperti kelenteng Tuban untuk
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan Islam. (2) Jika
benar ada, apa saja yang mereka lakukan di sana. (3) Seperti
apa upacara pemujaan terhadap Cheng Ho di setiap kelenteng
Sam Po Kong dilakukan dan apa saja yang dilakukan oleh
sebagian umat Islam jika mereka berkunjung ke kelenteng yang
ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho. Apakah upacara
pemujaan di kelenteng dapat dilakukan secara individu,
kelompok atau dipimpin oleh seorang juru kunci kelenteng. (4)
Peralatan atau perlengkapan upacara apa saja yang diperlukan
atau yang harus disediakan dalam melakukan upacara
pemujaan terhadap Cheng Ho di dalam beberapa kelenteng
Sam Po Kong (5) Adakah persamaan dan perbedaan pemujaan
terhadap Cheng Ho yang ada di kelenteng Sam Po Kong
Semarang, Kelenteng Ancol di Jakarta dan Kelenteng Sam Po
Kung di Singkawang Kalimantan Barat (6) Apa dampak atau
Pratik Islam Nusantara 15
manfaat yang dirasakan oleh para pelaku upacara setelah
mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho atau
memohon sesuatu kepada Cheng Ho (7) Apakah para pelaku
upacara atau pemohon dari kalangan muslim ini tergolong
sebagai penganut agama (khususnya Islam) yang taat atau
mereka sebagai bagian dari kelompok Islam abangan (tidak taat
dalam menjalankan ajaran agama Islam).
Tujuan penulisan buku ini adalah: (1) untuk memahami
alasan sebagian umat Islam yang mendatangi, menghormati,
memuja dan memohon sesuatu pada Cheng Ho di dalam
kelenteng Sam Po Kong di Semarang, kelenteng Ancol di
Jakarta dan kelenteng Sam Po Kong di Singkawang
Kalimantan Barat (2) Untuk mengetahui, seperti apa upacara
pemujaan terhadap Cheng Ho di beberapa kelenteng dilakukan.
(3) untuk mengetahui, peralatan atau perlengkapan upacara apa
saja yang diperlukan atau yang harus disediakan dalam
melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho di dalam
beberapa kelenteng Sam Po Kong. (4) untuk mengetahui
persamaan dan perbedaan upacara pemujaan terhadap Cheng
Ho yang ada di kelenteng Sam Po Kong Semarang, Kelenteng
Ancol di Jakarta dan Kelenteng Sam Po Kong di Singkawang
Kalimantan Barat. (5) untuk mengetahui dampak atau manfaat
yang dirasakan oleh para pelaku upacara setelah mereka
melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho. (6) untuk
mengetahui, apakah para pelaku upacara dalam kelenteng-
kelenteng ini tergolong sebagai penganut agama (khususnya
Islam) yang taat atau mereka sebagai bagian dari kelompok
Islam abangan (tidak taat dalam menjalankan ajaran agama
Islam), sebagaimana diceritakan oleh Clifford Geertz dalam
bukunya yang berjudul: The Religion of Java (1960).
16 Dalam Kelenteng-Kelenteng
1.2. Sumber Data dan Fokus Penulisan Data untuk penulisan buku Islam Nusantara ini berasal
dari dua sumber: (1) penelitian lapangan yang dilakukan di
kelenteng Sam Poo Kong Semarang, kelenteng Ancol Jakarta
dan beberapa kelenteng yang terkait dengan kedatangan Cheng
Ho di Nusantara dan kelenteng Tuban di Jawa Timur. Data
lapangan dikumpulkan melalui observasi dan wawancara
mendalam dengan pengurus kelenteng, juru kunci kelenteng
dan peserta upacara. Wawancara pada beberapa informan tidak
hanya akan dilakukan di dalam beberapa kelenteng yang
dipilih, tapi juga dilakukan di luar kelenteng, misalnya di
rumah dan di kantor informan sesuai dengan kesepakatan
antara saya dengan orang informan. Observasi dilakukan
dengan mendatangi kelenteng-kelenteng tersebut dan
mengamati secara lansung praktek-praktek upacara yang
dilakukan orang-orang muslim dan non muslim di sana.
Dalam proses pengamatan ini, saya tidak hanya sekedar
mengamati proses ritual dari luar, tapi juga mengamati lebih
dekat upacara tersebut, supaya dapat merasakan apa yang
dirasakan oleh pelaku upacara di dalam kelenteng-kelenteng.
Observasi ini tidak hanya dilakukan dalam sekali datang ke
tempat-tempat atau sumber-sumber data, tapi beberapa kali
sampai data yang diperlukan dapat terkumpul dengan
sempurna. Selain observasi dan wawancara mendalam, data
yang berbentuk dokumen juga dikumpulkan dari kantor-kantor
pemeintah, perpustakaan daerah, perpustakaan nasional, dan
perpustakaan perguruan tinggi. Selain itu, surat kabar, dan
majalah juga dikumpulkan sebagai bahan pelengkap data.
Setelah data terkumpul, baru diadakan penulisan laporan yang
dibuat dalam bentuk buku dan sekaligus menganalisa data yang
sudah didapatkan selama proses pengumpulannya di beberapa
kelenteng.
Pratik Islam Nusantara 17
Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan data
lapangan adalah kamera (untuk mengambil gambar-gambar
untuk dimuat dalam buku), buku catatan harian yang
digunakan untuk menulis dan tape recorder untuk merekam
hasil wawancara dengan informan-informan yang telah dipilih
dan computer untuk menuliskan data yang didapatkan. Jika
perekaman wawancara memungkinkan dilakukan, misalnya
mendapat izin dari informan, maka perekaman dalam
wawancara baru bisa dilakukan. Jika tidak, hasil wawancara
hanya dicatat dalam buku harian penelitian.
Penulisan buku Islam Nusantara ini difokuskan pada
prakteik-praktik sebagian umat Islam di kelenteng-kelenteng
yang ada hubungannya dengan kedatangan Cheng Ho, benda-
benda yang terkait dengan kapal-kapal Cheng Ho di beberapa
kelenteng di Indonesia dan kelenteng yang tidak ada hubungan
dengan Cheng Ho namun dikunjungi banyak orang Islam.
Penulisan buku ini tidak banyak mengungkap sejarah
kedatangan Cheng Ho di Nusantara (Indonesia), tapi lebih
kepada mengungkap praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan
para pemuja, maksud dan tujuan para pemuja untuk meminta
pertolongan pada Cheng Ho, juru mudi Cheng Ho, dan tukang
masak Cheng Ho, mempelajari ritual-ritual dan makna-makna
dari praktik-praktik ritual yang mereka lakukan dan
mengungkap tujuan mereka datang ke kelenteng-kelenteng
yang tidak ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho.
18 Dalam Kelenteng-Kelenteng
2
CHENG HO DAN NEGARA-
NEGARA DI LUAR TIONGKOK
2.1. Mengenal Cheng Ho
Dalam karya-karya yang ditulis oleh sarjana-
sarjana Barat dan Indonesia, kita sudah mengenal
nama Cheng Ho atau Zheng He yang datang ke
berbagai pulau di Nusantara sekitar abad ke-15.
Meskipun demikian, kita masih sulit untuk mengetahui
riwayat hidup Cheng Ho yang sesungguhnya, karena
sedikit sekali catatan-catatan yang menceritakan
Cheng Ho dari kecil sampai dengan dewasa yang
ditulis oleh sarjana-sarjana dari Tiongkok. Yang
banyak kita jumpai adalah catatan-catatan tentang
sejarah perjalanan Cheng Ho ke negara-negara di luar
Tiongkok, itupun berdasarkan catatan perjalanan para
pengikutnya, seperti Ma Huan, Fei Xin, dan sarjana -
Pratik Islam Nusantara 19
sarjana Timur maupun Barat yang mempunyai
ketertarikan untuk mengkaji tentang Cheng Ho. Cheng
Ho sendiri tidak pernah mencatat sejarah
perjalanannya ke Nusantara dan Negara-negara lain.
Semua yang kita dapat sampai saat ini adalah cerita
orang lain tentang dia dengan mendasarka pendapatnya
pada bukti-bukti sejarah. Keterbatasan mengenai sumber kepustakaan tentang
Cheng Ho tidak membuat kita kesulitan dalam
mempelajari Cheng Ho dan keluarganya, tapi kita
masih dapat mengetahuinya walaupun hanya sedikit.
Ada dua sumber yang dapat mengungkapkan tentang
latar belakang keluarga Cheng Ho, yang pertama
adalah Ming Shi (kitab sejarah resmi dinasti Ming) dan
inskripsi yang terdapat pada makam ayahnya Cheng
Ho yang masih terjaga dengan rapi sampai sekerang.
Biasanya di batu nisan kuburan Tionghoa, dapat kita
ketahui nama dan marga orang yang meninggal dunia. Dari
batu nisan ini dapat juga dijadikan alat bukti untuk menelusuri
orang yang sudah meninggal dunia berasal dari marga apa dan
keturunan anak laki-lakinya siapa saja. Biasanya di batu nisan
kuburan orang Tionghoa ditulis nama asli orang yang mati,
nama anak-anaknya dan juga dia dari marga apa. Dari
marganya tersebut kita dapat mengetahui bahawa yang mati
berasal dari keturunan apa. Marga diwariskan seterusnya pada
anak laki-laki dan bukan pada anak perempuan. Anak
perempuan mengikuti marga suaminya dan anak-anaknya juga
mengikuti marga ayahnya. Sedangkan Cucu dari keturunan
laki-laki disebut cucu dalam dan cucu dari keturunan
perempuan disebut cucu luar (Tanggok, 2006). Artinya cucu ini
sudah mengikuti marga orang tua laki-lakinya dan bukan
marga ibunya. Orang Tionghoa sama dengan orang Batak,
20 Dalam Kelenteng-Kelenteng
yaitu menganut garis keturunan patrilinial (berdasarkan garis
keturunan ayah) dan berbeda dengan orang Minang, yaitu
mendasarkan garis keturunan dari pihak wanita (matrilineal).
Cheng Ho mempunyai nama besar, dan popular di
masanya dan juga di masa sekarang. Tidak mungkin
nama seseorang tercatat dalam sejarah dinasti Ming,
jika seseorang tersebut bukanlah orang penting dan
mempunya jasa yang cukup banyak terhadap negara.
Demikian juga, tidak mungkinlah dia orang jahat, tentu
saja dia adalah orang baik-baik yang mempunyai jasa
terhadap masyarakat (Tanggok, 2006). Kaisar
Tiongkok mempercayainya sebagai pemimpin untuk
menjelajah dunia, menjalin hubungan antara Tiongkok
dan negara-negara di Asia Tenggara.
Ming Shi adalah kitab sejarah resmi dinasti Ming.
Dalam buku itu dapat kita lihat bagaimana sejarah
Cheng Ho dijelaskan secara singkat. Dalam buku itu
dapat dijumpai 30 huruf Tionghoa yang menjelaskan
tentang riwayat Cheng Ho. Meskipun hanya 30 huruf
Tionghoa, tapi sudah cukup membuktikan bahwa
Cheng Ho itu memang betul ada dalam sejarah. Kita
dapat menemukan riwayat hidup Cheng Ho Dalam
kitab Ming Shi, sebagaimana dijelaskan sebagai
berikut:
Dalam kitab Ming Shi dikatakan, bahwa Cheng Ho
adalah berasal dari provinsi Yunan. Dia dapat
dipanggil dengan nama San Bao Tai Jian. Pada
mulanya ia bekerja di istana raja Yan, karena ia ikut
terlibat dalam peperangan, kemudian ia terpilih
menjadi Taijian (Kasim Agung atau kasim yang
mulia). Ini adalah satu gelar yang amat mulia
diperuntukkan padanya. Atas dasar pemberian gelar
Pratik Islam Nusantara 21
tersebut dia mendapat penghormatan dari banyak
orang. Sebagaimana kita ketahui bahwa gelar kasim itu
tidak dimiliki banyak orang di kalangan istana
kerajaan di masa itu dan hanya orang tertentu saja
yang mendapatkannya. Kaisar melihat bahwa dia
adalah salah seorang yang pantas menerima gelar
tersebut.
Berdasarkan sejarah, Cheng Ho mempunyai banyak nama
panggilan, kadangkala ia disebut Sam Poo Tay Jin, Sam Po
Tao Lang, The Hoo, Cheng Ho, Zheng He dan ada juga
yang menyebutnya dengan Sam Poo Kong. Umumnya
masyarakat Tionghoa di Singkawang menyebutnya
dengan nama Sam Po Kong, dan klentenya juga diberi
nama kelenteng Sam Po Kong. Dikalangan masyarakat
Tionghoa Indonesia Cheng Ho lebih dikenal dengan
nama Sam Po Kong.
Selain dari kitab Ming Shi, kita juga dapat
mengetahui riwayat Cheng Ho dari inskripsi yang
tertulis di makam orang tuanya yang terdapat di
provinsi Yunnan. Inskripsi tersebut tidak lagi terdiri
dari 30 kata, sebagaimana yang terdapat dalam Ming
Shi, tapi sudah lebih banyak lagi, yaitu sekitar 14
baris. Inskripsi tersebut berbunyi sebagai berikut:
Ha Zhi (Haji) adalah nama dari tuan Ma, dan
sedangkan nama keluarganya adalah Ma. Ma berasal
dari distrik Kunyang di propinsi Yunnan. Dia memiliki
seorang kakek yang bernama Bay Yan, sedangkan
neneknya berasal dari keluarga Ma juga. Sebagaimana
disebutkan di atas, ayahnya bernama Ha Zhi, ibunya
berasal dari keluarga Wen, … anak laki -lakinya ada 2
orang, yang tertua bernama Wen Ming dan kedua
diberi nama Ho. Tuan Ma memiliki anak perempuan
22 Dalam Kelenteng-Kelenteng
sebanyak 4 orang. Seja muda, Ho sudah menunjukan
bakat dan kemampuannya. Ia mengabdi pada Putra
Langit (Kaisar Tionghoa) yang menghadiahkan nama
keluarga Zheng atau Cheng padanya serta
mengangkatnya sebagai Nei Guan Tai Jian, … Tuan
Ma dilahirkan pada hari ke 9, bulan ke 12, tahun Jia
Shen (12 Januari 1345) dan meninggal dunia pada hari
ke 3, bulan 7, tahun Ren Su pada masa pemerintahan
kaisar Hong Wo (12 Agustus 1382). Ia te lah mencapai
usia 69 tahun. Putra tertuanya yang bernama Wan
Ming memakamkan ayahnya di desa Hodai yang
terletak di distrik Baoshan (Tju Kie Hak Siep, 1954;
Tanggok, 2006). Tentu saja pemakaman ayahnya ini
dilakukan secara Islam, karena orang tua Cheng Ho
adalah beragama Islam. Sebagaimana kita ketahui
bahwa jumlah orang-orang Tionghoa pada masa itu
yang Bergama Islam sudah cukup banyak dan bahkan
masyarakatnya sudah banyak melakukan hubungan
dengan masyarakat di Timur Tengah.
Bukan saja Cheng Ho, Informasi tentang orang
tuanya juga dapat kita jumpai dalam suatu tulisan yang
ditulis di batu nisannya. Peryataan tersebut berbunyi
sebagai berikut:
Sebagaimana layaknya orang Islam secara umum,
orang tua Cheng Ho juga telah melaksanakan ibadah
haji di tanah suci Mekkah, dan tidak diketahui berapa
kali dia melaksanakan ibadah haji tersebut. Nama
leluhur atau marga dari orangtua Cheng Ho ialah Bhe,
kakeknya bernama Banyan. Nama leluhur ibunya
adalah Un. Orang tua Ho mempunyai dua orang putra
dan satu putrid yang hidup saling rukun satu dengan
yang lainnya. Anaknya yang pertama bernama Bun
Pratik Islam Nusantara 23
Bin, yang kedua bernama Ho dan yang ketiga adalah
seorang putri. Semasa mudanya, Ho sangat cerdik, kini
berhamba sebagai raja sebagai Lwee Kam, oleh
baginda raja ia dianugrahi nama leluhur Bhe yang
berbeda dengan nama leluhur dia sebelumnya
(Tanggok 2006). Sumber tertulis mengenai Cheng Ho
tampaknya berbeda-beda, namun sumber itu tetap
mengarah pada bahwa Cheng Ho adalah berasal dari
keluarga yang beragama Islam, dan juga berasal dar i
keluarga Islam.
Kelenteng Sam Poo Kong Semarang
(Sumber:Google)
Sumber-sumber di atas, kita mendapatkan dua
informasi yang berbeda mengenai keluarganya Cheng
Ho. Di dalam Ming Shi disebutkan bahwa nama
keluarga Ho adalah Ma, sedangkan dalam tulisan
Moerthiko di atas nama keluarga Ho adalah
24 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Bhe.Perbedaan lain adalah tentang nama dari anak
sulung atau tertuanya. Jika dalam Ming Shi dikatakan
bahwa anak atau kakak tertua dari Ho bernama Wen
Ming, sedangkan dalam tulisan Moerthiko nama anak
tertua atau kakak tertua Ho bernama Bun Bin.
Perbedaan ini diakibatkan ada kemungkinan Moerthiko
mengambil dari sumber yang berbeda, sehingga
menghasilkan informasi yang berbeda pula. Dalam
Ming Shi disebutkan bahwa orang tuanya Ho
mempunyai 4 orang anak perempuan, namun tidak
disebutkan nama-nama dari anak perempuan tersebut.
Dalam tulisan Moerthiko disebutkan bahwa orang tua
Ho mempunyai seorang anak perempuan. Kesamaannya
adalah yang berhubungan dengan nama kakeknya. Jika
dalam Ming Shi disebutkan bahwa nama kakek Cheng
Ho ialah Bay Yan, sedangkan dalam tulisan Moertiko
nama kakeknya Ho ialah Banyan (sebutannya hampir
sama), dan cuma saja tulisannya digabung (Tanggok,
2006; Moertika, tanpa tahun). Perbedaan itu tidak
menimbulkan masalah dan bahkan dapat mendorong
kita untuk mencari informasi yang lebih akurat dan
benar tentang asal-usul Cheng Ho.
Selain karya-karya disebutkan di atas, karyanya Ma
Huan (1433) juga memberikan Informasi yang banyak
tentang Cheng Ho. Mahuan adalah seorang penerjemah
Cheng Ho yang banyak menguasai bahasa-bahasa
Negara-negara lain.Dalam karyanya tersebut dikatakan
bahwa nama asli dari Cheng Ho ialah Ma Ho. Anggota
keluarganya hidup di daerah bagian K’un yang terletak
di ujung Baratdaya danau Tien chih di Provinsi Yunan.
Kakeknya bernama Bayan yang lahir di Mongol.
Karena ia lahir di Mongol, maka ada kemungkinan dia
Pratik Islam Nusantara 25
adalah seorang anggota pasukan Mongol yang berpusat
di Yunan. Bapaknyanya memiliki nama marga Ma dan
dengan gelar “Haji,” ini mengindikasikan bahwa dia
(orang tuanya Cheng Ho) adalah seorang muslim yang
sudah melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekkah,
sebagaimana dilakukan oleh orang-orang muslim yang
lainnya di masa itu.
Kita tidak dapat mengetahui apakah kakeknya
seorang muslim atau bukan, karena tidak ada sumber
yang menjelaskan tentang sejarah kehidupannya . Jika
dilihat dari anaknya yang telah melaksanakan ibadah
haji, maka kakeknya juga dapat diduga sebagai
seorang muslim yang taat. Ini hanya baru sekedar
dugaan saja mengenai kakeknya Cheng Ho, sebab
belum kita jumpai sumber yang jelas tentang
kehidupan keagamaan kakeknya Cheng Ho.
Diduga bahwa Cheng Ho lahir pada tahun 1371.
Dia adalah laki-laki kedua dari Ma dan memiliki empat
orang adik perempuan. Dalam tulisan Ma Huan tidak
dijelaskan tentang nama kakak tertuanya. Kakak
tertuanya ini apakah laki-laki atau perempuan. Tidak
dijelaskan juga dalam tulisan itu tentang adik-adiknya
dan siapa nama dari adik-adiknya. Dalam tulisan Ma
Huan ini juga tidak dijelaskan siapa nama asli
bapaknya, abang tertuanya dan empat orang adik
wanitanya.
Sebagai seorang laki-laki, dia memperlihatkan
tanda-tanda kemampuan yang luar biasa dan sudah
pasti dia dididik dan dibersarkan dalam keyakinan
orang muslim, karena bapaknya adalah seorang
muslim. Tidak hanya sekedar muslim, tapi juga telah
melaksanakan rukun Islam yang ke lima. Di dalam
26 Dalam Kelenteng-Kelenteng
usianya yang ke-21 tahun dia mengabdikan dirinya
pada pangeran Yen, yang bernama Chu Ti. Ia adalah
anak laki-laki keempat dari kaisar Hung-wu, yang
bertugas untuk memimpin suatu wilayah yang cukup
besar di bagian Timur Laut dan pada tahun 1403 ia
menjadi Kaisar Ch’eng-tsu. Sebagai seorang anak buah
dari pangeran Yen, Cheng Ho melaksanakan tugas
dengan baik dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, ia
sangat disenangi oleh pangeran Yen (lihat juga dalam
Tanggok 2006), karena sangat bertanggung jawab
dalam menjalankan tugas dari kaisar.
Berdasarkan pada beberapa sumber di atas, maka
dapat kita katakana bahwa Ma Ho adalah seorang yang
berpendidikan, yang mempelajari ilmu pengetahuan
dan seni berperang, dan dia tidak mau ikut campur
dalam penindasan dan pemberontakan di Yunan. Pada
tahun 1404, dia diberi nama marga baru, yaitu Cheng,
sebagai sebuah penghargaan atas jasa-jasanya terhadap
kerajaan dan kerajaan juga mempromosikannya untuk
menjadi seorang kasim agung, serta sebagai seorang
pemimpin. Dengan nama marga baru tersebut, nama
asli Ho berubah menjadi Cheng Ho atau Zheng He.
Sebagaimana orang Tionghoa umumnya bahwa nama
marga selalu digandengkan dengan nama aslinya.
Sebagai contoh Nio Yu Lan, di mana nama aslinya
adalah Yu Lan dan nama marganya adalah Nio
(Tanggok 2006), Bong Siau Lian, artinya bahwa nama
aslinya adalah Siai Lian dan nama marganya adalah
Bong. Menurut Tanggok (2006) bahwa bagi orang
Tionghoa, nama keluarga amatlah penting untuk
dicantumkan dalam nama asli agar yang mempunyai
nama dapat dikenal nama marganya. Bagi orang
Pratik Islam Nusantara 27
Tionghoa, menikah sesama marga tidak tidaklah boleh,
karena masih dianggap satu saudara.
Pada awalnya, Cheng Ho belum dikenal dikalangan
kasim-kasim sebagai seorang yang cerdas dan enak
dipandang, namun raja Ch’eng-tsu (Yong-lo) telah
mengankat dia sebagai wakil atau duta darinya dan ia
ditugaskan raja untuk memimpin enam armada laut
besar yang berlayar ke Samudera Barat. Perjalanan itu
terjadi antara tahun 1405 dan 1421. Perjalanan ini
adalah perjalanan pertama Cheng Ho yang ditugaskan
untuk memimpin kekuatan meliter yang cukup besar.
Suatu kepercayaan yang luar biasa yang diberikan oleh
kaisar kepadanya. Jika dia bukan orang yang jujur atau
dapat dipercaya dan cerdas, tidak mungkin tugas yang
begitu besar ini dilimpahkan kepadanya. Jika ia tidak
dipercaya oleh raja, tidaklah mungkin ia ditugaskan
untuk memimpin para armada untuk menyeberangi laut
bebas.
Pada abad ke-15, tepatnya pada tahun 1424, di
Tiongkok telah terjadi pergantian kekuasaan. Karena
pergantian kekuasaan itu, maka kebijakan
pemerintahpun berubah sesuai dengan irama
kepemimpinan pada masa itu. Oleh karena itu, raja
Jen-tsung menugaskan Cheng Ho sebagai pejuang yang
tugasnya sebagai pembela di wilayah Nanking. Namun
pada tahun 1428 raja Hsü-te meminta dia
menyelesaikan pembangunan tempat ibadah yang
cukup besar di Nanking. Tidak dapat diketahui, apa
nama tempat ibadah itu, apakah masih ada sampai
sekarang atau sudah musnah. Selama tahun 1430 dia
diperintahkan oleh raja untuk memimpin perjalanan
yang ketujuh atau terakhir ke laut bagian Barat.
28 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Diduga pada perjalanannya yang ke tujuh dia juga
mampir ke kepulauan Nusantara (Leo 2007 dan Kong
Yuanzhi 2000), termasuk semarang dan beberapa pulau
di Nusantara yang diduga pernah disinggahi kapal -
kapal Cheng Ho.
Setelah menyelesaikan tugasnya untuk berkunjung
ke berbagai negara, atau menyelesaikan perjalanannya
yang ke tujuh, tepatnya pada tahun 1433, Cheng Ho
kembali menjalankan tugasnya yang dahulu
ditinggalkannya, yaitu sebagai seorang pembela di di
wilayah Nanking. Pada saat dia berusia 65 tahun dia
meninggal dunia di Nankin, sebagai mana kuburan
tradisionalnya masih dapat dilihat di sana (Kong
Yuanzhi). Selama hidupnya, Cheng Ho membantu atau
mengabdikan dirinya pada tiga kerajaan dan menjadi
seorang duta besar amat penting di masa pemerintahan
Yong-lo dan Hsüan-te. Dia sangat disegani banyak
orang karena kemampuannya yang luar biasa dalam
memimpin anak buahnya mengarungi laut luas ke
berbegai Negara. Dia dianggap duta Tiongkok yang
dapat mengeratkan hubungan antara satu Negara
dengan Negara lain (Tanggok 2006). Dia juga
dianggap memiliki jasa besar memperkenalkan
kebudayaan Tiongkok ke Negara-negara lain.
Cheng Ho memiliki kemampuan luar biasa, dia
berhasil memimpin tujuh perjalanan laut yang cukup
besar dan mengunjungi lebih dari tiga puluh negara.
Ini sebuah keberhasilan yang luar biasa bagi seorang
kasim agung yang memimpin ribuan orang dalam
perjalanan laut dan bertanggung jawab dalam setiap
misi perjalanannya. Dalam beberapa perjalanannya, dia
meninggalkan catatan-catatan perjalanannya, termasuk
Pratik Islam Nusantara 29
catatan-catatan yang ditulis dalam tiga bahasa, yaitu
dalam bahasa Tionghoa,Tamil dan Persia, yang dapat
ditemukan di Galla di Ceylon (Tanggok 2006) dan
menjadi saksi sejarah bagi perjalanan Cheng Ho.
Andaikata tidak ada catatan-catatan itu, tentu saja sulit
bagi generasi sekarang untuk mengetahui apa yang
dikerjakan oleh Cheng Ho pada masa lalu. Dengan
demikian, generasi sekarang akan sulit mengetahui
sejarah masa lalu tentang hubungan Tiongkok dan
Nusantara.
Pintu Gerbang Depan Kelenteng Sam Poo Kong Semarang
(Sumber: Google)
Sebagian besar masyarakat Tiongkok mengenal
Cheng Ho dengan gelar yang diberikan kaisar padanya,
yaitu “San pao t’ai-chien, yaitu kasim agung San Po.”
San pao t’ai-chien, terdiri dari dua kata, “San Po”
dapat diartikan sebagai “tiga batu permata” yang
30 Dalam Kelenteng-Kelenteng
mencerminkan “triratna” dari ajaran Buddha.
Berdasarkan sejarah, dia adalah seorang muslim yang
juga mempelajari agama Buddha, namun dia tidak
meyakini agama Buddha sebagai agama. Dia adalah
seorang yang mempunyai watak dan penampilan yang
luar biasa, badannya tinggi besar dan kuat, sehingga
patung-patungnya yang dibuat menyerupainya
digambarkan sebagai orang yang tinggi besar dan
berbadan besar. Karena kemampuannya yang luar biasa
dalam memimpin pasukannya, maka ia sangat dikenal
banyak orang di lingkungan istana. Dia juga dikenal
sebagai seorang diplomat yang memiliki kemampuan
yang luar biasa, memiliki kemampuan dalam
memimpin, tidak takut dalam mengambil sebuah
keputusan yang dianggap benar dan menguntungkan,
dan memiliki strategi yang luar biasa dalam memimpin
anaknya. Strategi yang baik yang ia gunakan dalam
memimpin membuat ia sukses dalam setiap misinya ke
Negara-negara lain.Tidak hanya itu, setiap Negara
yang ia kunjungi, selalu disambut dengan meriah oleh
masyarakat setempat. Keberadaannya diwilayah yang
ia kunjungi tidak pernah menimbulkan konflik dan
bahkan dia dianggap sebagai simbol perekat hubungan
antar sukubangsa.
Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar penduduk
Thailand menganut agama Buddha. Masyarakat muslim
adalah masyarakat minoritas di sana. Masyarakat
Tionghoa perantau juga cukup besar jumlahnya di
sana. Berdasarkan sejarah yang ditulis oleh para ahli
sejarah, Cheng Ho dalam hidupnya juga pernah
berkunjung ke Siam (Thailand). Sehingga tidak heran
jika di sana juga memiliki sebuah kelenteng ( temple)
Pratik Islam Nusantara 31
San Po. Di kelenteng itu, patung San Po atau Cheng
Ho juga dihormati dan dipuja di sana oleh masyarakat
yang memiliki kepercayaan tertentu tentang Cheng Ho.
Di Formusa, nama Cheng Ho atau San Po digunakan
untuk tanaman jahe atau sebutan untuk tanaman jahe.
Di Malaka (Malaka), dia juga dikenal dengan sebutan
Sam Po Kung dan memiliki sebuah museum di sana
(Kong Yuanzhi 2000: 152-153). Musium ini milik dari Dr.
Tan Ta Sen dan diberi nama “Cheng Ho Cultural Museum.” Musium
ini mengkoleksi buku-buku yang berhubungan dengan Cheng Ho,
baik yang ia tulis sendiri maupun yang ditulis oleh sarjana-sarjana
barat, duplikat kapal-kapal Cheng Ho, kramik-kramik, peta pelayaran
Cheng Ho, dan benda-benda lain yang berhubungan dengan Cheng
Ho. Untuk mengetahui tentang sejarah Cheng Ho, kita dapat juga
membaca buku-buku yang ditulis oleh Dr. Tan Ta Sen (pemilik
Musium Cheng Ho di Malaka-Malaysia, tinggal di Singapura dan
mendapat gelar Doktor dari Universitas Indonesia). Salah satu
karyanya berjudul: Cheng Ho and Islam in Southeast Asia,
Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2009. Data untuk
penulisan buku ini diambil dari tesis Ph.D nya di
Universitas Indonesia.
Di Melaka-Malaysia, Cheng Ho dikenal dengan
adanya museum Cheng Ho di Pacinan Bandar (kota)
Melaka. Generasi muda Melaka mungkin kurang
mengenal Cheng Ho, namun karena adanya museum
Cheng Ho di Pecinan Bandar (Kota Malaka), maka
dapat memberikan informasi kepada mereka untuk
mengenal sejarah Cheng Ho. Musium Cheng Ho ini
terdapat di kota Melaka dan tepatnya di perkampungan
orang Tionghoa atau Pecinan. Para turis lokal maupun
macanegara yang datang ke Melaka dapat berkunjung
di museum ini dan meninkmati koleksi -koleksi
museum yang menunjukan bahwa Cheng Ho bukanlah
32 Dalam Kelenteng-Kelenteng
mitologi banyak orang, namun benar-benar pernah
berada di Melaka pada abad ke-15.
Di museum ini juga disediakan patung Cheng Ho
dan altar tempat pemujaan untuk Cheng Ho. Bagi para
pengunjung yang akan melakukan penghormatan pada
Cheng Ho, dapat dilakukan di tempat itu (sebelah
kanan dari pintu masuk museum). Di samping tempat
pemujaan untuk Cheng Ho, ada kantin atau Cape untuk
para pengunjung dan bukan pengunjung yang mau
makan dan minum di tempat ini. Musium Cheng Ho ini
menyediakan koleksi-koleksi yang berkaitan dengan
kedatangan Cheng Ho di Melaka pada abad ke 15 M.
Dalam museum Cheng Ho ini juga dipamerkan buku-
buku yang berhubungan dengan sejarah Cheng Ho,
baik ditulis oleh para penulis luar, dan juga di tulis
oleh penulis Singapura, seperti Dr. Tan Ta Seng, yaitu
pemilik museum Cheng Ho di Malaka ini.Pada saat
saya bertemu dengan dia (di Musium) pada bulan
Nopember 2015 lalu, dia mengatakan kepada saya
bahwa museum Cheng Ho juga akan dibangun di Kota
Tua Jakarta. Dia sudah menemukan mitra dan lokasi
untuk pembangunan museum Cheng Ho ini.
Saya melihat, setiap Negara mempunyai perbedaan
dalam memberikan nama panggilan terhadap Cheng
Ho.Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah penghalang
bagi kita untuk memahami lebih dekat siapa itu Cheng
Ho, namun lebih mendorong kita untuk lebih jauh
mencari atau meneliti kembali mengenai Cheng Ho
tersebut. Meskipun demikian, kita sudah mendapat
gambaran siapa sebenarnya Cheng Ho dan bermacam
nama panggilan yang diberikannya padanya. Dari tiga
kutipan di atas menunjukan bahwa Cheng Ho adalah
Pratik Islam Nusantara 33
berasal dari keluarga muslim yang taat dalam
menjalankan ajaran Islam.
Sebagaimana yang terpahat di batu nisan ayahnya
tersebut di atas, bahwa ayah dan kakeknya adalah
pernah melaksanakan ibadah Haji dan diberi gelar haji.
Ini adalah sebuah gelar yang diberikan oleh
masyarakat untuk orang muslim yang telah
melaksanakan rukun Islam ke lima di tanah suci
Mekkah. Begitu juga dengan pahatan yang ada di batu
nisan ayahnya ini juga menunjukan bahwa leluhurnya
adalah seorang muslim sehingga dia dibesarkan dan
dididik dalam keluarga muslim. Jika leluhurnya
muslim tergolong dalam keluarga muslim yang taat
menjalankan ajaran Islam, maka sudah dapat
dipastikan bahwa Ho adalah juga seorang muslim yang
taat melaksanakan ibadah, karena mengikuti jejak
orang tua dan kakeknya. Apa yang terpahat di nisan
ayahnya tersebut juga memperkuat pendapat banyak
ahli sejarah yang mengatakan bahwa Ho adalah
seorang muslim.
Tidak hanya kakek dan ayahnya yang sudah
menginjakkan kaki mereka ke tanah suci Mekkah, tapi
Ho juga telah berkunjung ke sana dan sekali gus
melaksanakan ibadah haji. Ini artinya bahwa Ho juga
sama dengan ayah dan kakeknya yaitu menyandang
gelar haji. Sebagaimana kita ketahui bahwa antara
Tiongkok dan Mekkah tidaklah begitu jauh sehingga
memungkinkan bagi orang-orang muslim di Tiongkok
dengan mudah.Ketika saya berkunjung ke Tingkok
Desember 2004 bersama almarhum Abdurrahman
Wahid, saya sempat bertanya kepada salah seorang
muslim Tionghoa di sana: “Apakah anda kenal dengan
34 Dalam Kelenteng-Kelenteng
beberapa Universitas Islam yang ada di Indonesia?”
Dia menjawab: “Tidak, dan dia hanya mengenal
beberapa Universitas Islam di Timur Tengah, seperti
Al-Azhar.”
Cheng Ho hidup di antara orang-orang yang
berbeda agama, seperti orang yang beragama Tao,
Khonghucu dan Buddha. Meskipun dia hidup di antara
orang yang berbeda agama, namun dia dan orang-orang
beragama lain di Tiongkok masih dalam satu
sukubangsa. Cheng Ho dipandang sebagai orang yang
tidak anti terhadap agama-agama di luar agama Islam
dan dia membuka diri pada tokoh-tokoh agama lain
seperti Tao, Khonghucu dan Buddha yang cukup
berkembang di Tiongkok pada masa itu. Atas dasar itu,
dalam hidupnya dia sempat belajar agama Buddha
untuk menambah pengetahuan mereka tentang agama-
agama di luar agama yang diyakininya dan bukan
dijadikan sebuah keyakinan baru dalam dir inya (Kong
Yuan Zhi, 2000). Agama Buddha yang ia pelajari
hanyalah sekedar ilmu pengetahuan, seperti layaknya
beberapa sarjana barat selama ini yang banyak belajar
tentang kebudayaan orang Islam tapi dia bukan Islam,
misalnya: Clifford Geertz (1960), Mark R Woodward
(1988), dan banyak lagi sarjana-sarjana non Islam di
Eropa yang ahli tentang Islam.
Pengetahuan Cheng Ho tentang agama-agama
orang lain ini cukup penting bagi dia, karena sebagai
seorang yang sering ditugaskan untuk menjalin
hubungan dagang dan persahabatan dengan negara-
negara lain, maka dia akan menjumpai beragam
sukubangsa dan keyakinan agama yang berbeda. Jika
pengetahuannya tentang kebudayaan dan agama orang
Pratik Islam Nusantara 35
lain banyak, maka dapat memudahkan baginya untuk
melakukan hubungan dengan orang-orang dari negara-
negara yang dia kunjungi. Mempelajari agama orang
lain adalah salah satu strategi bagi dia agar
memudahkannya berhubungan dengan masyarakat yang
bukan beragama Islam. Sebagaimana kita ketahuai,
Cheng Ho tidak semata-mata mengunjungi negara-
negara yang mayoritas penduduknya muslim, tapi juga
mengunjungi negara-negara yang mayoritas
penduduknya non muslim, seperti Tailand yang
sebagian besar penduduknya menganut agama Buddha.
Bagi Cheng Ho, agama Buddha tidaklah asing lagi
baginya karena di Tiongkokpun banyak orang yang
menganut agama Buddha (Tanggok 2010), terutama
agama Buddha aliran Mahayana (kereta besar). Sekarang
ini agama Buddha adalah agama yang terbanyak dianut
masyarakat Tiongkok. Agama ini menempati urutan pertama
dari agama Tao dan Khonghucu. Agama-agama di Tiongkok
adalah: Tao, Buddha, Khonghucu, Islam, dan Kristen. Agama
Buddha di Tiongkok dibawa oleh orang Tionghoa yang telah
belajar Buddhisme di India. Sepulangnya mereka dari India,
mereka mengajarkan agama Buddha di Tiongkok.
Cheng Ho belajar agama Buddha bukan bukan
karena dipaksa oleh orang tuanya atau oleh kaisar yang
berkuasa pada masa itu, karena murni untuk memahami
ajaran Buddha untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Salah satu bukti Ho mempelajari agama selain Islam,
khususnya Buddha dapat dilihat dalam kitab agama
Buddha Mouw Lik Kie. Dalam kitab tersebut dijelaskan
bahwa (Moerthiko, tampa tahun):
“Pada tahun Eng-lok pertama, tercatat bahwa Ho telah
diterima sebagai murid Pousat (Buddha) dan diberi
36 Dalam Kelenteng-Kelenteng
nama perguruan Hok-sian, dan segala pekerjaan yang
ditugaskan padanya telah diselesaikan dengan baik.”
Oleh karena itu dia disenangi oleh pendeta agama
Buddha.
Pengetahuan Cheng Ho tentang agama di luar
agama Islam, cukup banyak, hal ini mendorong dia
untuk bersikap toleran terhadap agama orang lain.
Dengan cara ini, akan terjadi toleransi beragama dan
kehidupan harmoni akan terwujud. Pengetahuan
tentang agama-agama selain agama yang dia yakini ini,
dapat dijadikan alat untuk berhubungan dengan orang-
orang yang beragama selain Islam. Sebelum agama
Buddha dan Islam masuk ke Tionghoa, orang-orang
Tionghoa sudah mengenal ajaran-ajaran agama
tradisional mereka, yaitu Taoisme dan Konfusianisme.
Saya yakin, pengetahuan Cheng Ho mengenai kedua
ajaran ini juga banyak, sehingga dapat dia jadikan
acuan dalam berbuat, bertindak dan dalam mengambil
sebuah keputusan (Tanggok 2006).Pengetahuan Cheng
Ho tentang agama Buddha sangatlah bermanfaat, sebab
pada abad ke-15 wilayah nusantara masyarakatnya
masih kuat dengan tradisi Hindu dan Buddha.
2.2. Perjalanan Cheng Ho ke Nusantara Banyak buku yang menceritakan perjalanan
kapal-kapal Cheng Ho ke Nusantara, namun dari
catatan kaki buku-buku tersebut tampaknya mengacu
pada karya Ma Huan (1979). Dalam karyanya Ma
Huan, Yin-yai Sheng-lan (Pemandangan Indah di
Seberang Samudera) dikatakan bahwa perjalanan
Cheng Ho ke nergara-negara di luar Tiongkok dapat
dibagi dalam tujuh bagian: perjalanan pertama
Pratik Islam Nusantara 37
dilakukan pada tahun 1405 sampai dengan 1407,
perjalanan kedua dilakukan pada tahun 1407 sampai
dengan 1409, perjalanan yang ketiga dilakukan pada
tahun 1409 sampai dengan 1411, peleyaran keempat
dimualai dari tahun 1413 sampai dengan tahun 1415,
perjalanan kelima dimualai dari tahun 1417 sampai
dengan tahun 1419, perjalanan keenam dimulai dari
tahun 1421 sampai dengan tahun 1422, dan perjalanan
ke tujuh dimulai dari tahun 1431 sampai dengan 1433.
Perjalanan Cheng Ho dan anak buahnya ini memakan
waktu kurang lebih dua tahun untuk mengunjungi
Nusantara dan beberapa Negara di luar Tiongkok
(Kong Yuan Zhi 2000; Tanggok 2006).
Cheng Ho
Ma Huan, penulis buku tentang Yingyai Shenglan
adalah difungsikan oleh Cheng Ho sebagai penerjemah dalam
pelayarannya yang keempat, keenam dan ketujuh. Dalam
menulis Yingyai Shenglan Ma bekerjasama dengan Guo
38 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Chongli. Dia ikut serta dalam pelayaran Cheng Ho sebanyak
tiga kali. Dua orang laki-laki inilah yang selalu mencatat
selama pelayaran Cheng Ho ke berbagai negara dan dituangkan
dalam buku Yingyai Shenglan (Mills 1970). Jika tidak ada dua
orang laki-laki ini yang ikut dalam beberapa pelayaran Cheng
Ho, tentu saja kita mengalami kesulitan untuk mengetahui
seperti apa pelayaran yang dilakukan oleh Cheng Ho dan
beserta anak buahnya di berbagai Negara pada abad ke-15.
Sumber lain yang agak berbeda dengan apa yang
dijelaskan dalam Yin-yai Sheng-lan di atas adalah
bersumber dari catatan komite Sam Po tahun 1929 di
Semarang (Moertiko, tt).
Berdasarkan Komite Sam Po tersebut, bahwa
angkatan perang Sam Po terdiri dari 62 kapal Wakang
(kapal yang digunakan oleh oleh orang-orang
Tionghoa dahulu ketika akan berpergian ke Negara
lain) yang cukup besar yang membawa sekitar 27.800
anak buah. Anak buah yang dia bawa semuanya terdiri
dari laki-laki dan kaum wanita menetap di negaranya.
Komite tersebut juga mencatat bahwa perjalanan
Cheng Ho (Sam Po Kong) keberbagai negara di luar
Tiongkok terdiri dari tujuh kali perjalanan, dan dengan
lama perjalanan berbeda-beda (Tanggok 2006). Ini
membuktikan bahwa setiap perjalanan yang dia
lakukan selalu memperoleh kesuksesan, sehingga dia
berkali-kali datang ke nusantara.
Kedatangan Cheng Ho ke Nusantara pada abad
ke-15 dengan menggunakan kapal-kapal besar,
sehingga dapat membawa armada yang besar dan
persediaan makananmencukupi selama perjalanan.
Sebagian besar orang Jawa menyebut kapal -kapal ini
dengan kapal Wangkang. Di beberapa daerah di
Pratik Islam Nusantara 39
Indonesia, seperti Pontianak, dan Medan, pada saat
sembahyang bulan 7 Imlek atau dikenal dengan
sembahyang pada roh-roh orang-orang yang mati yang
tanpa mempunyai keturunan, seperti mati bujangan,
mati dalam kecelakaaan, dan roh-roh leluhur yang
tidak diurus oleh sanak keluarganya d dunia. Menurut
keyakinan orang Tionghoa roh-roh mereka ini dalam
keadaan lapar, dan pada bulan 7 Imlek mereka ini
diberi kebebasan oleh Tuhan untuk untuk kembali ke
dunia dan mengunjungi anggota keluarganya.
Kedatangan mereka di dunia disambut dan dan
dipersembahkan berbagai makanan, dengan tujuan agar
mereka tidak mengganggu kehidupan manusia.
Sembahyang pada bulan 7 ini juga dikenal dengan
sebutan sembahyang rebutan, atau dalam masyarakat
Hakka di Singkawang Kalimantan Barat dikenal
dengan sebutan sembahyang Kachi, karena setelah
makanan yang dipersembahkan pada roh-roh saat
upacara sembahyang dilakukan diyakini telah dimakan
oleh roh-roh tersebut (meskipun hanya sekedar sari -
sarinya), dan sisanya dari makanan tersebut
diperebutkan oleh manusia. Bagi keyakinan orang-
orang Tionghoa peranankan, mendapat bagian dari
makanan itu adalah suatu keberuntungan, dan pertanda
akan memperoleh rejeki yang banyak di kemudian
hari. Tidak ubahnya dengan keyakinan sebagiam
muslim Jawa yang saat memperebutkan makanan pada
saat upacara maulidan di keratin Jogya dan Solo.
Untuk mengantar roh-roh itu pulang ke alam roh,
orang-orang Tionghoa membuat sebuah kapal yang
terbuat dari kertas, panjang kapal tersebut kira -kira 15
M, lebarnya 6 M, dan tingginga 3 M. Di dalam
40 Dalam Kelenteng-Kelenteng
duplikat kapal itu disediakan berbagai makanan,
patung-patung yang terbuat dari kertas, TV yang
terbuat dari kertas, duplikat tempat tidur dan alat -alat
rumah tangga lainnya, yang semuanya terbuat dari
kertas. Setelah kapal itu disembahyangkan dengan
menggunakan batang-batang hio yang telah dibakar,
baru kapal tersebut dibakar, yang artinya roh -roh
tersebut telah dikirim ke alam roh untuk kembali ke
tempat asalnya. Oleh orang-orang Tionghoa di
Pontianak, Kalimantan Barat, kapal tersebut disebut
dengan kapal Wangkang, yang mengacu pada nama
kapal yang digunakan oleh Cheng Ho dan anak
buahnya mengarungi lautan, dalam rangka
kunjungannya ke Nusantara dan Negara-negara lainnya
(Tanggok 2006). Duplikat kapal Cheng Ho ini juga
terdapat di kelenteng Tai Kak Shi di Semarang. Kapal
ini terbuat dari kayu dan bukan dari kertas.
Perjalanan-perjalanan Cheng Ho ke Nusantara
dapat dibagi dalam beberapa kali perjalanan, sebagai
berikut:
Perjalanan pertama Cheng Ho dan anak buahnya
berangkat pada tahun 1405 dan pulang pada tahun
1407, atau berangkat dalam tahun Eng-lok ketiga bulan
keenam dan kembali pada tahun Eng-lok kelima bulan
kesembilan. Total waktu yang dia habiskan untuk
perjalanan pertama ini selama tiga tahun. Perjalanan
kedua, dia berangkat pada tahun 1408 dan kembali
pada tahun 1411, atau berangkat pada tahun Eng-lok
keenam bulan kesembilan, ke India dan Ceylon dan
kembali pada tahun Eng-lok kesembilan bulan keenam.
Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan kedua
ini sebanyak tiga tahun. Perjalanan ketiga , berangkat
Pratik Islam Nusantara 41
pada tahun 1412 dan kembali pada tahun 1415, atau
berangkat pada tahun Eng-lok kesepuluh bulan
kesebelas, ke Sumatera, Malaka, dan pulau-pulau lain,
kemudian kembali pada tahun Eng-lok ketiga bulan
ketujuh. Total waktu yang dia habiskan untuk
perjalanan ketiga ini selama satu tahun. Perjalanan
keempat, berangkat pada tahun 1416, pulang pada
tahun 1419, atau berangkat pada tahun Eng-lok
keempatbelas di musim dingin dan kembali pada tahun
Eng-lok ketujuhbelas. Total waktu yang dia habiskan
untuk perjalanan ke empat ini selama tiga tahun.
Dalam perjalanan keempat ini, tidak diketahui kemana
rute perjalanannya dan pulau-pulau apa saja yang dia
kunjungi. Perjalanan kelima, berangkat pada tahun
1421 dan pulang pada tahun 1422, atau berangkat pada
tahun Eng-lok kesembilanbelas di musim semi dan
kembali pada tahun Eng-lok keduapuluh. Total waktu
yang dia habiskan untuk perjalanan yang kelima ini
sebanyak satu tahun. Dalam perjalanan kelima ini juga
tidak diketahui kemana rute perjalanannya dan pulau-
pulau apa saja yang dia kunjungi. Perjalanan keenam,
berangkat pada tahun 1424 atau berangkat dalam tahun
Eng-lok keduapuluh dua bulan ketujuh. Dalam
perjalanan keenam ini, tidak diketahu kapan
kembalinya dan kemana saja rute perjalanannya.
Perjalanan ketujuh, berangkat pada tahun 1430 dan
kembali pada tahun 1433, atau berangkat pada tahun
kelima bulan keenam, ke Burma serta tempat -
tempat lain, sejumlah negara, dan kembali pada
tahun Soan-tik kedelapan bulan tujuh (Moerthiko, tt).
Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan
ketujuh ini sebanyak tiga tahun. Perjalanan ke tujuh
42 Dalam Kelenteng-Kelenteng
ini kurang lebih dijalaninya selama 3 tahun. Tiga tahun
mengarungi lautan mendapatkan pengalaman yang
banyak baginya. Tentu saja suka duka di laut dan di
Negara-negara lain yang ia kunjungi banyak ia dapati
(Kong Yuan Shi dalam Taggok 2006).Salah satunya
Cheng Ho dengan dibantu anak buahnya adalah
mengusir para pembajak laut yang selama itu banyak
mengganggu kehidupan masyarakat dan akhirnya
perekonomian tidak dapat berjalan dengan lancar.
Duplikat Kapal Cheng Ho di depan kelenteng Tay Kak Shi Semarang
(Sumber: Foto Pribadi)
Bukan keinginan Cheng Ho untuk melakukan
perjalanan di luar Tiongkok, namun dia dan anak
buahnya mendapat perintah dari kaisar untuk
melakukan perjalanan ke luar Tiongkok untuk misi
perdamaian. Dalam perjalanan ini, Cheng Ho lah yang
dipilih kaisar untuk menjadi pimpinan dari semua
perjalanan, tapi dia tidak bermaksud mengunjungi
semua negara-negara yang jauh, karena keterbatasan
perlengkapan dan resiko juga ia pikirkan dengan teliti.
Pratik Islam Nusantara 43
Berdasarkan sebuah catatan, pada setiap kesempatan
perjalanan dia memimpin lebih dari 300 buah kapal,
membawa lebih dari 10.000 tentara dan hampir 28.000
orang (laki-laki) selain tentara yang ikut membantu
dalam perjalanan ini.Oleh karena itu, perlayaran
Cheng Ho ini dianggap sebagai perjalanan yang paling
besar dalam sejarah Tiongkok (Ma Huan 1997;
Tanggok 2006). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini
akan dijelaskan satu-persatu perjalanan Cheng Ho
bersama anak buahnya ke negara-negara di luar
Tiongkok dan kendala-kendala atau tantangan-
tantangan yang mereka hadapi selama dalam
perjalanan ke negara-negara lain.
2.2.1. Perjalanan Pertama Perjalanan pertama Cheng Ho ke luar Tiongkok,
merupakan perjalanan yang sama sekali belum
memiliki pengalaman dalam mengarungi lautan.
Keberhasilan dia dalam perjalanan pertama akan
menentukan perjalanan-perjalanan berikutnya. Cheng
Ho diperintahkan oleh kaisar untuk melakukan
kunjungan ke Negara-negara lain dalam rangka
menjalin hubungan antara Tiongkok dengan negara -
negara lain. Pada tanggal 11 Juli 1405 Cheng Ho
bersama dengan Wang Ching-hung (di Jawa dikenal
dengan sebutan Wang Jing Hong) diperintahkan oleh
kaisar untuk memimpin pelayaran pertamanya ke
negara-negara lain. Kapal yang digunakan untuk
perjalanan pertama ini terdiri dari 316 kapal, 62 kapal
di antaranya membawa perlengkapan, bahan makanan,
sejumlah petugas, prajurit-prajurit dari tentara yang
cukup berani, orang-orang sipil, pengusaha, dan
44 Dalam Kelenteng-Kelenteng
27.870 awak kapal (Ma Huan 1997). Dalam FJE Tan
disebutkan bahwa awak kapal yang menyertai Cheng
Ho dalam perjalanan pertama ini adalah 27.800 orang
dan bukan 27.870 orang sebagaimana di sebutkan
dalam Ma Huan di atas. Dalam perjalan pertama ini,
Cheng Ho mengunjungi Jawa, Semudera (Lho
Seumawe atau Lhoseumawe), Lambiri (Aceh), Ceylon,
dan ke Calicut, di mana yang berkuasa pada masa itu
ialah raja Sha-mi-ti-hsi (Samutiri). Pada saat itu,
Cheng Ho beserta anak buahnya juga pergi ke Champa,
Malacca (Melaka), Aru (Deli) dan Quilon. Kita dapat
menduga bahwa Cheng Ho dengan anak buahnya
tinggal sekitar 4 bulan di Calicut, yaitu sekitar
Desember 1407 sampai dengan April 1407. Dalam
kunjunga itu dia juga menghadiahkan sutra yang
dihiasi dengan emas kepada raja-raja atau kepala-
kepala negara yang dia kunjungi. Setelah mengunjungi
negara-negara dan daerah-daerah yang disebutkan di
atas, dia dengan anak buahnya kembali ke negaranya
dengan membawa upeti dari negara-negara yang dia
kunjungi. Kemudian dia mempersiapkan perjalanan
berikutnya dengan menunggu perintah dari kaisar.
Hal-hal yang dianggap penting dan menakjubkan
dalam perjalanan Cheng Ho pertama ini juga dicatat
oleh Ma Huan, bahwa dalam perjalanan kembali dari
San Fo-ch’i (Sriwijaya, Palembang), tentara -tentara
Cheng Ho berhasil mengalahkan rombongan kapal
perompak yang dipimpin oleh Ch’en Tsu-i. Dalam
perperangan melawan perompak, Cheng Ho dan anak
buahnya berhasil membunuh lebih dari 5000 anak
perompak dan membakar 17 buah kapal perompak.
Dalam perperangan itu dia dan anak buahnya berhasil
Pratik Islam Nusantara 45
menangkap Ch’en Tsu-I, yang kemudian diserahkan
kepada raja di kota Nanking. Cheng Ho kembali ke
Nanking pada tanggal 2 Oktober 1407, terlambat
sekitar 3 bulan dari jadwal yang telah ditentukan
sebelumnya. Keterlambatan ini diduga karena melawan
atau memusnakan perompak-perompak laut yang
dipimpin Ch’en Tsu-I dalam perjalanan pulang
tersebut (Tanggok 2006). Perampok-perampok ini
dipandang dapat merusak nama baik Tionghoa di dunia
Internasional dan oleh karenanya mereka harus
menjadi sasaran utama Cheng Ho untuk ditumpas.
2.2.2. Perjalanan Kedua Perjalanan pertama sudah Cheng Ho dan anak
buahnya lakukan dengan baik dan dan lancar dan dia
lanjutkan lagi dengan perjalanan kedua (1407-1409) ke
berbagai negara. Perjalanan kedua ini dianggapnya
kurang begitu penting, karena tidak ada prestiwa-
prestiwa yang cukup menarik untuk dicatat atau
diceritakan, seperti halnya dalam perjalanan pertama
di mana dia dan anak buahnya dapat mengalahkan
perompak yang sering bereaksi di laut. Dalam
perjalanan kedua ini mereka tidak lagi menemukan
perompak-perompak yang berkeliaran di lautan,
mungkin karena merasa ketakutan atau pasukan mereka
sudah tidak kuat lagi. Perjalanan ini untuk memenuhi
undangan dari raja baru di Calicut, bernama Ma-na
Pieh-chia-la-man (Mana Vikaraman); meskipun Cheng
Ho menjadi pimpinan dalam perjalanan tersebut,
namun dia tidak benar-benar berkonsentrasi
menghadapi musuh-musuh di laut. Para perompak di
laut dia anggap sebagai pekerjaan sambilan saja, sebab
46 Dalam Kelenteng-Kelenteng
kekuatan pasukan Cheng Ho sudah melebihi kekuatan
para perompak laut.
Perjalanan Cheng Ho yang kedua ini bukanlah
atas perintah kaisar, namun ingin memenuhi undangan
yang disampaikan oleh Ma-na Pieh-chia-la-man (Mana
Vikaraman). Tanggal yang tertulis diundangan itu
adalah 13 Oktober 1407, yang langsung ditujukan pada
tiga orang penting dalam sejarah perjalanan Cheng Ho,
yaitu Cheng Ho, Wang Ching-hung (Wang Jing Hong)
dan Hou Hsien. Mereka bertiga ini memimpin 249
kapal dan tidak dapat diketahui berapa banyak pasukan
yang mereka bawa dalam perjalanan itu. Tempat -
tempat yang mereka kunjungi dalam perjalanan itu di
antaranya adalah: Thailand, Jawa, Aru, Lambri,
Coimbatore (Koyampadi), Kayal, Cohin, dan Calikut,
juga A-po-pa-tan, dan barangkali dalam perjalanan
tersebut Cheng Ho kembali mengunjungi Champa.
Dalam perjalanan kedua ini, Cheng Ho dengan anak
buahnya diperkirakan tinggal untuk sementara waktu
(sekitar 4 bulan) di Calikut, yaitu dari bulan Desember
1408 sampai denga April 1409 (Moertiko dalam
Tanggok 2006). Setelah itu ia dan anak buahnya
melanjutkan lagi perjalanannya ke tempat lain dengan
tujuan yang berbeda-beda.
2.2.3. Perjalanan ketiga Di atas saya sudah menjelaskan perjalanan
Cheng Ho yang pertama dan kedua. Bagian ini saya
menjelaskan perjalanan Cheng Ho yang ke tiga (1409 -
1411). Setiap perjalanan ke Negara-negara ke luar
Tiongkok, kaisar selalu menugaskan Cheng Ho untuk
memimpin anak buahnya, dan ini didasarkan
Pratik Islam Nusantara 47
kepercayaan yang kuat kaisar pada Cheng Ho. Dari
tanggal 16 Januari sampai dengan 14 Februari 1409,
Cheng Ho, Wang Ching-hung dan Hou Hsien berlayar
menuju laut bagian Barat. Dalam perjalanan ini,
mereka membawa tidak kurang dari 30.000 anak buah
dan menggunakan 48 buah kapal. Armada yang dia
pimpin ini berlayar dari Liu Chia Chiang dan menuju
Ch’ang Lo. Perjalanan ini memakan waktu selama
sembilan bulan (dari 9 Oktober sampai dengan 6
Nopember 1409). Mereka berada di Ch’ang lo pada
bulan kesebelas sampai dengan bulan keduabelas (dari
7 Nopember sampai dengan 6 Desember 1409). Mereka
juga berlayar dari Wu Hu Men menuju Champa.
Perjalanan ini memakan waktu selama 12 bulan (dari 5
Januari sampai dengan 3 Februari 1410). Waktu yang
mereka habiskan dalam perjalanan ini tidak kurang
dari 10 (sepuluh) hari dan 10 (sepuluh) malam tanpa
ada istirahat di daerah-daerah yang mereka kunjungi.
Sebagaimana diceritakan dalam sejarah
perjalanan Cheng Ho,bahwa dalam perjalanan yang
ketiga ini, mereka mengunjungi Champa, Jawa,
Malaka, Semudera, Ceylon, Quilon, Cochin, dan
Calikut. Mereka dikabarkan istirahat di Poulo (Pulau)
Sembilan, dekat Tamiang di bagian sebelah Timur
pulau Sumatera atau Semenanjung Malaka. Ketika
mampir di Pulau Sembilan tersebut, dia mengutus anak
buahnya untuk turun ke darat untuk mengambil kayu
bakar. Di Ceylon, Cheng Ho menyusun sebuah catatan
dalam tiga bahasa, bahasa Tionghoa, Tamil dan Persia.
Penyusunan catatan ini terjadi pada tanggal 15
Februari 1409. Tanggal, bulan dan tahun tersebut dia
tulis dalam bahasa Tionghoa.Setelah catatan
48 Dalam Kelenteng-Kelenteng
perjalanan itu selesai dilakukan, Cheng Ho
menghadiahkannya kepada kelenteng Buddha di
Ceylon, dan dia menyatakan terima kasihnya kepada
umat Buddha di Ceylon yang sangat bersemangat dan
berbahagia menyambut kedatangannya beserta
rombongan di Ceylon.
Meskipun kunjungan Cheng Ho dan anak
buahnya ke Ceylon ini menyenangkan, namun masih
ada prestiwa penting yang terjadi dan tidak mereka
duga sebelumnya. Peristiwa tersebut adalah
penangkapan raja Srilangka yang bernama Ya-lieh-k’u-
nai-erh (Alagakkonara) dan peristiwa ini terjadi pada
tahun 1411 dalam perjalanan pulang Cheng Ho dan
anak buahnya dari Ceylon. Dalam perjalanan pulang
itu, terjadi konflik antara anak buah Cheng Ho dengan
raja Alagakkonara dan anak buahnya, sehingga
menimbulkan peperangan di antara mereka.
Perlawanan yang cukup hebat ini telah
dimenangkan oleh Cheng Ho dan anak buahnya. Dalam
perkelahian tersebut, raja, istrinya, anak-anaknya dan
pendukung-pendukungnya ditangkap dan dibawa ke
Tiongkok untuk diadili dan sekaligus mendapat
hukuman (Moertiko, tt). Tidak dijelaskan lebih lanjut,
apakah raja dan keluarganya mendapatkan hukuman
seumur hidup atau hanya beberapa tahun saja. Tidak
juga dijelaskan apakah setelah menyelesaikan
hukuman raja dan anggota keluarganya diizinkan
pulang ke kampong halamannya atau menetap di
Tingkok.
Dalam catatan sejarah kerajaan Ming atau Ming
Shi, dan juga dalam catatan di Liu Jia Gang
diceritakan dengan singkat tentang penangkapan raja
Pratik Islam Nusantara 49
Srilangka tersebut. Dalam catatan itu diceritakan
bahwa ketika melihat emas dan sutra yang ada di
kapal-kapal Cheng Ho, raja Alagakkonara mencoba
memeras dan merampok barang-barang yang yang
dibawa Cheng Ho. Pemerasan dan perampokan tersebut
dilakukannya dengan cara mengirimkan pasukannya
untuk menyerang pasukan Cheng Ho. Melihat serangan
yang cukup membahayakan itu, Cheng Ho menyiapkan
2000 armada atau tentaranya untuk melawan serangan
lawan. Berkat kemampuan tentara Cheng Ho yang luar
biasa, maka serangan yang datangnya dari raja
Srilangka dan pasukannya dapat dengan mudah
dikalahkan. Akibat kekalahan tersebut, terpaksa raja,
permaisuri, anak-anak, dan para pengikutnya ditawan.
Semua tawanan itu dibawa ke Nanjing untuk
diserahkan pada kaisar Yong Lo. Tidak diduga
sebelumnya, bahwa kaisar adalah orang yang berbaik
hati, tawanan yang dibawa kepadanya bukan ditahan,
tapi dilepas kembali dan diizinkan pulang ke
negaranya, di Srilangka (Moertiko, tt). Setelah pulang
ke Srilangka, raja Alagakkonara tidak lagi menjadi
seorang raja, tapi kaisar telah menunjuk seorang
anggota atau anak buahnya yang lain untuk
menggantikannya sebagai raja.
Penangkapan raja Alagakkonara dan
keluarganya, bukan saja karena alasan raja tersebut
ingin merampok barang-barang bawaan Cheng Ho dan
anak buahnya dan kalah dalam peperangan,tapi raja
tersebut telah memperlakukan para utusan kaisar Ming
ini secara kurang sopan dan tidak menghargai tamu
yang diutus oleh kaisar Tiongkok. Dengan demikian,
perjalanan Cheng ketiga ini, tidak semata-mata
50 Dalam Kelenteng-Kelenteng
menjalin hubungan baik dan melakukan perdagangan,
tapi juga memberantas kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin negara-
negara yang mereka kunjungi. Bagi Cheng Ho,
perbuatan baik haruslah dibalas dengan kebaikan (ini
diperlihatkannya pada para pengikut Buddha di
Srilangka) dan kejahatan haruslah dibalas dengan
hukuman (ini diperlihatkannya dengan menawan raja
Alagakkonara, keluarga dan para pengikut setianya),
yang diakibatkan oleh perbuatannya yang kejam pada
rakyatnya.
2.2.4. Perjalanan keempat Perjalanan laut memang cukup melelahkan,
menghabiskan tenaga dan menguras pikiran. Inilah
yang dirasakan Cheng Ho dengan anak buahnya,
setelah ia kembali dari perjalanan ke berbagai negara,
termasuk Srilangka, Nusantara (khususnya Jawa),
Malaysia (khususnya Malaka) dan lain-lain Negara.
Setelah melakukan perjalanan ke tiga, Cheng Ho
besama armadanya tidak langsung melakukan
perjalanan kembali ke negara-negara yang sudah
mereka kunjungi atau negara-negara yang lain, tapi ia
beristirahat sejenak selama dua tahun untuk
menghilangkan kelelahannya. Dalam masa
peristirahatan tersebut, dia dan anak buahnya kembali
mengabdikan diri ke Kaisar Ming. Tentu saja, dalam
masa peristirahatan dua tahun ini, Cheng Ho tidak
begitu saja menyia-nyiakan waktunya, dia
mempersiapkan perjalanan mereka yang berikutnya,
sehingga dalam perjalanan yang keempat (1413-1415)
Pratik Islam Nusantara 51
mereka ingin lebih berhasil lagi dari perjalanan-
perjalanan sebelumnya.
Pintu Gerbang Belakang Kelenteng Sam Poo Kong Semarang
(Sumber: Google)
Setelah selesai melakukan peristirahatan yang
panjang, pada tanggal 18 Desember 1412, Cheng Ho
telah mendapat perintah dari kaisar untuk melakukan
perjalanan keempat ke negara-negara diluar Tiongkok.
Dalam perjalanan yang keempat ini, Cheng Ho
mempersiapkan 63 buah kapal dan 28.560 armada
(semuanya laki-laki) yang siap untuk mengarungi
lautan. Perjalanan Cheng Ho ini dimulai dari Nanking
(pada waktu musim gugur tahun 1413) dan kembali ke
pantai Fukien pada bulan Januari 1414. Perjalanan ini
berhasil mengunjungi Champa, Kelantan, Pahang,
52 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Jawa, San Ceylon, Kayal, kepulauan Maldive, Cochin,
Calikut, dan Hormuz, sebagai tambahan negara Pi -la
dan Sun-la (keduanya tidak dapat dibuktikan).
Perjalanan yang keempat ini merupakan kesempatan
pertama bagi Cheng Ho untuk berlayar lebih jauh ke
India, namun ada sebagian kapal-kapalnya yang
belayar menuju Bengal (Ma Huan 1977). Maksud dia
membagi waktu perjalanan ini agar dalam waktu yang
singkat, banyak Negara-negara yang bisa dikunjungi
dan banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari
perjalanan tersebut.
Perjalanan yang keempat adalah pengalaman
menarik bagi Cheng Ho, karena tidak pernah
dialaminya dalam perjalanan-perjalanan dia
sebelumnya. Dalam buku Ying-yai Sheng-lan
dinyatakan bahwa pristiwa penting dalam kunjungan
Cheng Ho yang keempat ini adalah penangkapan raja
palsu dari negeri Samudera. Pada saat kunjungan
pertamanya di kerajaan Samudera ini sedang
mengalami musibah besar, karena rajanya terbunuh
oleh raja negeri tetangganya, yang bernama Naguer
atau Nakur. Karena pada waktu kematian ayahnya,
putra mahkota kerajaan Samudera masih terlalu muda
untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, maka
permaisuri raja Samudera bersumpah bersedia menikah
dengan siapa saja yang dapat membalaskan dendamnya
dengan raja Nukar yang membunuh suaminya.
Tidak diduga, seorang nelayan biasa dapat
membalaskan dendam permaisuri. Permaisuri tidak
mengingkari janjinya, dan dia bersedia menikah
dengan seorang nelayan itu. Setelah menikah, seorang
nelayan tersebut mengangkat dirinya sebagai raja
Pratik Islam Nusantara 53
Samudera yang baru untuk menggantikan raja yang
lama. Pada tahun 1409, raja baru (seorang nelayan) ini
pergi ke Tiongkok untuk menyerahkan upeti kepada
kaisar Yong Lo. Kaisar sempat kaget karena dia sama
sekali belum mengetahu siapa pengganti raja Samudera
yang terbunuh pada waktu sebelumnya. Pada tahun
1412, raja baru ini kembali ke Tiongkok untuk
melaksanakan tugasnya sebagai raja. Pada saat
kembali, raja baru ini menyaksikan bahwa putra
mahkota raja yang yang dahulunya masih kecil sudah
menjadi dewasa. Putra mahkota ini menggalang
kekuatan dengan mengumpulkan orang-orang yang
masih setia dengan almarhum ayahnya. Penggalangan
kekuatan ini berhasil dan putra mahkota mengadakan
perebutan kekuasaan.
Usaha yang dilakukan oleh putra mahkota
berhasil dan raja baru yang berasal dari seorang
nelayan (ayah tirinya) ini mati terbunuh. Akan tetapi
anak dari raja nelayan yang bernama Suganla
(Sekandar) menuntut haknya atas tahta raja yang
didapat oleh Samudera. Pada tahun 1413, Sekandar
yang dikenal sebagai anak dari raja palsu yang
terbunuh tersebut menyerbu Samudera. Karena
khawatir mengalami kekalahan, maka putra mahkota
raja yang berhasil merebut tahta kerajaan dari raja
baru tadi, mengirim utusan ke Tiongkok untuk
meminta bantuan pada kaisar Yong Lo. Atas perintah
kaisar, maka pada tahun 1415, Cheng Ho dan anak
buahnya berhasil menangkap Sekandar dan
membawanya kehadapan kaisar. Atas kesalahannya
tersebut, Sekandar dijatuhi hukuman mati. Atas ucapan
terima kasihnya, maka sejak itu raja Samudera secara
54 Dalam Kelenteng-Kelenteng
teratur mengirimkan upeti ke kaisar Yong Lo di
Tiongkok (Ma Huan 1997). Tentu saja kaisar Yong Lo
merasa senang karena mendapat upeti dari putra
mahkota meskipun tanpa bekerja.
Perjalanan Cheng Ho kali ini bukan saja
berhasil dalam mengunjungi Negara-negara di luar
Tiongkok, tapi juga berhasil menangkap anak dari
palsu dan menyerahkannya ke kaisar di Tiongkok.
Melihat keberhasilan ini, kaisarpun semakin bertambah
keyakinannya pada Cheng Ho dalam memimpin
pasukannya dan dalam memerangi kejahatan di laut
dan di luar Tiongkok. Sebagai orang bawahan kaisar,
tentu saja Cheng Ho tidak menyia-nyiakan
kepercayaan kaisar kepadanya. Sejak itu, nama Cheng
Ho semakin popular dikalangan Negara-negara yang
pernah ia kunjungi. Tidak hanya itu, ketenaran Cheng
Ho ini telah membuat kaisar Tiongkok juga terangkat
kewibawaannya dan Tiongkok pada masa itu menjadi
Negara yang memiliki kekuatan besar di
Asia.Meskipun selalu berhasil dalam memberantas
bajak laut dan membantu perperangan raja di luar
Tiongkok, namun Cheng Ho dan kaisar sebagai
atasannya tidak berminat untuk menguasai daerah -
daerah di luar Tiongkok.
2.2.5. Perjalanan kelima Setelah melakukan perjalanan yang ke empat
dan dapat menumpas kejahatan raja palsu, Cheng Ho
kembali diperintahkan kaisar untuk melakukan
perjalanan kelima (1417-1419) ke negara-negara di
luar Tiongkok dengan misi yang berbeda dari
perjalanan-perjalanan sebelumnya. Perintah kaisar
Pratik Islam Nusantara 55
tersebut diterimanya pada tanggal 28 Desember 1416
dan segera ia melaksanakan tugas itu dengan baik tapa
merasa lelah. Perjalanan Cheng Ho yang ke lima ini
bertujuan untuk mengantarkan para utusan dari negara-
negara lain yang akan pulang ke negaranya masing-
masing sambil membawa hadiah-hadiah dari kaisar
Yong Lo untuk dihadiahkan pada raja-raja mereka
yang ada di luar Tiongkok (Ma Huan 1997).
Kedatangan untusan masing-masing kerajaan dari
negara-negara yang pernah dikunjungi Cheng Ho dan
para awak kapalnya ini, telah membuktikan bahwa
hubungan baik yang dijalin Cheng Ho dengan para
anak buahnya ini telah berhasil dengan baik. Tidak
mungkin para utusan dari Negara lain ini akan
mengadakan kunjungan balasan kalau tidak hubungan
yang diciptakan oleh Cheng Ho dan anak buahnya ini
tidak berhasil dengan baik.Salah satu keberhasilan
mereka adalah membantu Negara-negara lain dalam
memberantas kejahatan.
Dalam satu kali perjalanan, Cheng tidak pernah
mengunjungi hanya satu Negara, tapi lebih dari satu
Negara. Negara-negara yang dikunjungi Cheng Ho dan
anak buahnya dalam perjalanan yang ke lima ini tidak
kurang dari 18 negara. Ini adalah sebuah perjalanan
yang memakan waktu yang lama dan menguras tenaga
yang begitu besar. Negara-negara yang mereka
kunjungi adalah sebagai berikut: Champa, Pahang,
Jawa, Palembang, Malakka, Semudera, Lambri,
Ceylon, Kepulauan Maldive, Chochin, Calikut, Sha -li-
wan-ni, Hormuz, La-sa (La’-sa, dekat Mukalla), Aden,
Mogadishu, Brava, dan Malindi. Dalam perjalanan
yang ke lima ini, tidak dapat diketahui dengan jelas,
56 Dalam Kelenteng-Kelenteng
berapa jumlah kapal dan anak buah atau awak kapal
yang dikerahkan Cheng Ho dalam kunjungan ke
negara-negara ini (Ma Huan 1997).
Kunjungan ini juga tidak ubahnya dengan
kunjungan-kunjungan mereka sebelumnya yaitu
menjalin hubungan yang erat dengan negara-negara
yang mereka kunjungi dan melakukan perdagangan.
Negara-negara yang dikunjungi Cheng Ho,
sebagaimana yang disebutkan dalam Yeng-yai Sheng-
lan di atas, agak sedikit berbeda dengan data yang
didapatkan dari Zhu Xie (Tanggok 2006), yang
menyatakan bahwa negara-negara yang dikunjungi
Cheng Ho dalam perjalanan yang kelima ini adalah:
Champa, Pahang, Jenggala, Malaka, Lambri,
Kepulauan Andaman, Srilangka, Liushan (kepulauan
Maldive atau Maladewa), Cochin, Kalikut, Namburi,
Ormuz, Adan (Aden), Lasa (Rasa di Pantai Timur
Afrika), Mugudushu (Mogadishu di Pantai Afrika
Timur), Bulawa (Brawa di pantai Afrika Timur),
Zhubu (Jobo di Pantai Afrika Timur) dan Malin
(Malinde, juga di Pantai Timur Afrika). Di Afrika juga
memiliki populasi Islam yang sangat banyak hingga
sekarang ini.
Apabila dalam Ying-yai Sheng lan di atas
dijelaskan bahwa perjalanan Cheng Ho dan anak
buahnya yang ke lima ini juga kembali mengunjungi
Jawa dan Palembang, maka dalam perjalanan Zhu Xie
(dalam bukunya yang berjudul Zheng Ho) tidak kita
jumpai penjelasan yang menerangkan bahwa
perjalanan Cheng Ho yang ke lima ini mampir ke Jawa
dan Palembang. Adanya perbedaan dari dua sumber
yang disebutkan di atas, t idak membuat kita ragu atas
Pratik Islam Nusantara 57
keterangan yang diberikan, malahan membuat kita
kaya dengan informasi yang didapati. Kedua
keterangan yang berbeda tersebut, mungkin saja
sumber yang mereka jadikan acuan berbeda satu
dengan yang lainnya.
Dalam Ying-yai Sheng lan juga disebutkan
bahwa diperkirakan Cheng Ho dan anak buahnya
kembali dari perjalanan ke pantai Tiongkok pada
musim gugur dan tepatnya pada tahun 1417. Perjalanan
ke lima ini merupakan perjalanan pertama sampai ke
laut Aprika. Sedangkan perjalanannya yang
sebelumnya belum sampai ke laut Aprika. Ini
menunjukkan bahwa perlayaran Cheng Ho dan anak
buahnya kali ini cukup jauh dari perjalanan-perjalanan
sebelumnya. Disebutkan juga bahwa perjalanan Cheng
Ho dan anak buahnya untuk kembali ke Tiongkok,
tidak hanya membawa anak buahnya, tapi banyak juga
utusan dari negara-negara yang mereka kunjungi itu
ikut ke Tiongkok untuk mempersembahkan upeti ke
kaisar di Tiongkok.
Upeti-upeti atau hadiah-hadiah yang datang
dari kerajaan yang mereka kunjungi tersebut di
antaranya terdapat binatang-binatang berupa Jerapah,
Oryx, unta, Zebra dan binatang-binatang lain yang
cukup menyenangkan kaisar Tiongkok. Binatang-
binatang dan upeti-upeti lainnya yang dibawa ke
Tiongkok, diserahkan kepada kaisar Yong Lo (Ma
Huan 1997). Apa yang diperlihatkan oleh kerajaan-
kerajaan di luar Tiongkok kepada kaisar yang bertahta
di Tiongkok, menunjukkan bahwa misi yang dilakukan
oleh Cheng Ho dan anak buahnya untuk menjalin
hubungan baik dengan negara-negara yang ada di luar
58 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Tiongkok dapat berhasil dengan baik (Tanggok 2006).
Ini juga merupakan salah satu bentuk keberhasilan
Cheng Ho dalam menjalin persahabatan dengan
Negara-negara di luar Tiongkok.
2.2.6. Perjalanan keenam Bagian ini saya menjelaskan perjalanan Cheng
Ho yang ke enam (1421) yang juga tidak jauh berbeda
dengan perjalanan sebelumnya. Setelah menyelesaikan
perjalanan yang ke lima, kaisar di Tiongkok kembali
lagi memerintahkan Cheng Ho untuk melakukan
perjalanan ke negara-negara di luar Tiongkok. Perjalan
di luar Tiongkok kali ini dikenal dengan perjalanan ke
enam. Perjalanan ke enam ini terjadi pada tanggal 3
Maret 1421. Negara-negara yang mereka (Cheng Ho
dan anak buahnya) kunjungi dalam perjalanan yang ke
enam ini adalah: Malacca, Aru, Semudera, Lambiri,
Coimbatore, Kayal, Ceylon, kepulauan Maldive,
Cochin, Calicut, Hormuz, Dhufar (Dhafar, Djofar,
Zafar atau di pantai Selatan Arab), La’sa, Aden,
Mogadishu, dan Brava. Pada saat kembali dari
perjalanan yang ke enam ini, Cheng Ho dan anak
buahnya juga mampir ke Tailand. Dalam perjalanan
yang keenam ini, Cheng Ho menggunakan 41 buah
kapal, dan tidak dapat diketahui berapa jumlah awak
kapal yang menyertai Cheng Ho dalam perjalanan itu.
Tujuan dari perjalanan Cheng Ho yang ke enam ini
adalah untuk mengantarkan kembali utusan-utusan dari
Ormuz dan utusan dari 16 negara lainnya untuk
kembali ke negara mereka masing-masing. Tujuan
diantarkannya utusan-utusan ini pulang ke negerinya
masing-masing adalah agar mereka selamat dalam
Pratik Islam Nusantara 59
perjalanan pulang dan tidak mendapat gangguan lagi di
tengah perjalanan. Ini adalah salah satu penghormatan
kaisar Tiongkok pada para tamunya.
Perjalanan yang ke enam ini tidak ubahnya
seperti perjalanan sebelumnya, di mana Cheng Ho dan
anak buahnya kembali menyempatkan diri mengunjugi
negara-negara yang pernah mereka kunjungi
sebelumnya dan sekaligus melihat perkembangannya
dari sebelumnya. Dengan demikian, hubungan Cheng
Ho dan anak buahnya dengan orang-orang di masing-
masing negara yang mereka kunjungi semakin
bertambah akrab, karena saling bertemu dan
bekerjasama dalam segala hal dan pernah berjumpa
sebelumnya. Hal ini sesuai dengan misi mereka, yaitu
menjalin persahabatan pada orang-orang di negara-
negara yang mereka kunjungi dan membantu mereka
yang mengalami kesulitan. Saling berkunjung antara
satu dengan yang lainnya adalah salah satu cara untuk
menciptakan hubungan baik antar berbagai sukubangsa
yang ada di dunia ini dan saling mengenal kebudayaan
satu dengan yang lainnya (Tanggok 2006).Tidak hanya
mengenal dua atau tiga kebudayaan berbeda, tapi juga
dapat saling bantu membantu juga salah satuny berada
dalam kesulitan.
Tidak seperti perjalan sebelumnya, kali ini
waktu yang dihabiskan Cheng Ho dalam melakukan
lawatan ke Negara-negara luar Tiongkok hanya satu
tahun. Karena waktu yang begitu singkat ini, timbul
dugaan banyak orang bahwa Cheng Ho tidak mengikuti
semua perjalanan ini sampai ke laut Afrika Timur.
Atas dasar itu, Duyvendak mengatakan bahwa tidak
semua negara-negara yang disebutkan di atas telah
60 Dalam Kelenteng-Kelenteng
dikunjungi oleh Cheng Ho dalam waktu yang singkat,
tapi dia hanya mengunjungi sebagian dari negara-
negara tersebut, dan selebihnya hanya ditugaskan pada
anak buahnya untuk meneruskan perjalanan.
Sebagaimana dijelaskan Duyvendak bahwa pada
tanggal 10 Nopember 1421 kasim Hong Bao diutus
untuk mengantarkan utusan-utusan dari negeri lain
kembali ke negara mereka masing-masing (Moertiko
tt) agar dalam perjalanan tidak ada gangguan.
Dalam perjalanan yang ke enam ini juga
dikatakan sebagai perjalanan kedua untuk Ma Huan di
bawah kendali Cheng Ho. Dalam perjalanan Cheng Ho
yang ke enam ini, juga tidak dijelaskan kapan tanggal
kembalinya dia dan anak buahnya ke Tiongkok. Pada
kesempatan ini Cheng Ho dan anak buahnya juga tidak
mampir ke pulau Jawa. Ada kemungkinan Negara-
negara yang ia kunjungi dalam mengantarkan utusan-
utusan jaraknya sangat jauh dari pulau Jawa, sehingga
ia tidak sempat untuk mampir (Tanggok 2006). Ada
juga kemungkinan bahwa arah angin yang teerjadi
pada masa itu tidak mengarah ke pulau Jawa.Sebagai
mana kita ketahui, bahwa kapal-kapal Cheng Ho
belumlah menggunakan alat-alat mesin dan hanya
mengandalkan layar untuk menggerakkan kapal -
kapalnya.
2.2.7. Perjalanan ketujuh
Perjalanan Cheng Ho yang ke enam tidaklah
menghabiskan waktu yang lama, dia hanya
menghabiskan waktu sekitar satu tahun. Setelah selesai
melakukan perjalanan yang keenam, Cheng
diperintahkan oleh kaisar Hsüan-te untuk melakukan
Pratik Islam Nusantara 61
perjalanan yang terakhir atau ketujuh (1430) ke
negara-negara di luar Tiongkok. Perjalanan yang
terakhir ini dikenal sebagai perjalanannya yang
ketujuh. Perjalanan terakhir ini dilakukan pada tanggal
29 Juni 1430. Tujuan utama dari perjalanan Cheng Ho
yang ke tujuh ini hanyalah ke satu Negara, yaitu ke
Negara Ormuz. Adapun negara-negara dan daerah yang
mereka kunjungi adalah Xinzhougang (sebuah pulau di
Champa), Champa, Jawa, Palembang, Malaka,
Samudera, kepulauan Andaman, Srilangka, Cochin,
Kalikut, Ormuz dan Tianfang (Mekah) (Ma Huan
1997). Dalam perjalanan yang ke tujuh ini, Cheng Ho
dan anak buahnya tidak lagi mengunjungi Afrika,
sebagaimana perjalanan yang sebelumnya. Tidak ada
pristiwa-peristiwa penting dalam perjalanannya,
namun mereka dapat melaksanakannya dengan baik
tanpa ada hambatan-hambatan yang terjadi
diperjalanan. Setelah melakukan perjalanan atau
pelayaran selama 3 tahun, dan mengunjungi negara -
negara dan daerah-daerah yang menjadi tujuannya,
maka pada tahun 1433, Cheng Ho dan anak buahnya
kembali ke Tiongkok dengan selamat tanpa ada
hambatan apapun dalam perjalanan seperti dalam
beberapa perjalanan dia sebelumnya yang banyak
menghabiskan waktu dalam menumpas pembajak-
pembajak laut dan juga menangkap raja palsu (Ma
Huan 1997; Tanggok 2006). Ini menunjukan bahwa
Cheng Ho berhasil dalam membersihkan para
perompak yang selalu beroperasi di laut tanpa
mengindahkan unsur kemanusiaan.
62 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Tidak semua perjalanan Cheng Ho dan anak
buahnya di luar Tiongkok mengunjung kepulauan di
nusantara, namun ada juga beberapa perjalanannya
yang tidak mengunjungi nusantara. Jika pada
perjalanan ke enam dia tidak mengunjungi nusantara,
namun pada perjalanannya yang ke tujuh atau yang
terakhir ini, terlihat bahwa Cheng Ho dan anak
buahnya kembali mengunjungi beberapa pulau di
Indonesia, seperti Palembang dan Jawa. Ini
menunjukkan bahwa pulau Jawa dan Palembang
mendapat perhatian khusus oleh Cheng Ho dan anak
buahnya, ketimbang pulau-pulau lain. Hal ini mungkin
saja disebabkan bahwa para penduduk di daerah -
daerah yang mereka kunjungi ini tergolong orang yang
ramah dan sangat bersahabat dengan tamu-tamu yang
datang dar negara lain. Tidak mungkin Kaisar berkali -
kali mengutus Cheng Ho ke negara-negara dan daerah-
daerah yang sama, jika negara-negara dan daerah-
daerah atau negara-negara yang ia kunjungi tersebut
tidak aman untuk dikunjungi, dan rakyat yang
dikunjungi juga menerimanya dengan senang hati
(Tanggok 2006).Ini artinya bahwa Cheng Ho tidak
mempunyai niat lain dalam setiap kunjungannya,
kecuali hanya untuk menjalin persahabatan antara satu
negara dengan negara lain.
Pratik Islam Nusantara 63
3
RITUAL UMAT ISLAM
DALAM KELENTENG SAM
POO KONG
3.1. Kunjungan Cheng Ho di Semarang
Orang Tionghoa sudah cukup lama hidup di
Indonesia dan bahkan sudah turun menurun dan
mereka sudah tidak memiliki lagi keluarga dekat di
Tiongkok. Kedatangan mereka dari tiongkok ke
beberapa pulau di Indonesia diduga sudah terjadi
sekitar 600 tahun yang lalu. Tidak dapat dipastikan
kapan mereka pertama kali menginjakkan kakinya di
beberapa pulau di Indonesia, sebab sedikit sekali bukti
yang menunjukkan tentang tepatnya kedatangan itu.
64 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Menurut catatan sejarah, kedatangan mereka di
beberapa pulau di Indonesia diduga karena adanya
perperangan besar yang melanda negeri Tionghoa pada
waktu itu yang tidak kunjung selesai, sehingga banyak
rakyatnya merasa tidak tenang tinggal di negerinya
sendiri. Untuk menyelamatkan diri dan mencari
penghidupan baru yang lebih tenang, maka tidak
sedikit dari mereka yang merantau ke luar Tiongkok.
Mereka yang merantau ke luar Tiongkok ini sering
disebut huakiao atau oversies Chinese atau Tionghoa
perantauan (Tanggok 2010). Sekarang ini banyak juga
orang Tionghoa dari Tiongkok yang merantau ke
Indonesia, baik mereka mencari pekerjaan maupun
berlibur di beberapa pulau di Indonesia.Tidak sedikit
juga di antara mereka yang menjadi pendatang haram
dan melakukan kegiatan ilegal di Indonesia.
Pulau-pulau yang menjadi perhatian mereka
adalah pulau Sumatera dan Jawa, sebab di pulau-pulau
ini di samping cukup mudah dijangkau dengan kapal
laut dan juga banyak menghasilkan rempah-rempah
yang dapat diperjual belikan atau dibawa ke Tiongkok
untuk dijual kembali. Menurut catatan sejarah
Tiongkok masa lampau, bahwa orang Tionghoa
pertama kali datang ke Nusantara adalah di pulau
Batam (Sumatera atau perbatasan antara Sumatera dan
Singapura) barulah mereka menyusuri pulau-pulau lain
yang ada di Indonesia, seperti: Jepara, Lasem,
Rembang, Demak, Tanjung, Bojaran, dan akhi rnya
mereka mampir ke Semarang. Setelah itu mereka
melanjutkan lagi perjalanan ke pulau-pulau yang lain
di nusantara maupun di negara lain, untuk tujuan
membina hubungan baik atau persahabatan dan
Pratik Islam Nusantara 65
melakukan perdagangan dengan negara-negara tersebut
(Tanggok 2010). Karena banyaknya sumber daya alam
yang terdapat di bumi nusantara untuk diperjual
belikan, maka ini menjadi salah satu ketertarikan
mereka untuk merantau ke Nusantara dan juga
memperbaiki perekonomian mereka.
Tidak hanya pulau Sumatera yang dikunjungi
oleh orang Tionghoa, namun pulau lain seperti pulau
Jawa juga menjadi incaran orang Tionghoa pada masa
lalu. Banyak orang Tionghoa yang dating ke pulau
Jawa, namun yang sangat popular adalah Cheng Ho.
Bagi masyarakat Indonesia, khususnya orang-orang
Indonesia peranakan Tionghoa di Indonesia, khususnya
Semarang memiliki cerita mengenai kedatangan Cheng
Ho dan anak buahnya dibeberapa pulau di Indonesia
dan diduga karena adanya perperangan besar yang
melanda negeri Tiongkok pada masa itu yang tidak
kunjung selesai. Dengan alasan peperangan itu, banyak
orang-orang Tionghoa meninggalkan negerinya untuk
mencari penghidupan yang baru, negeri yang makmur
dan penuh dengan kedamaian. Negeri yang makmur itu
ternyata ada di kepulauan nusantara, khususnya di
pulau Sumatera dan Jawa.
Dalam catatan sejarah dinasti Ming ada
dijelaskan bahwa Kaisar Zhu dinasti Ming Tiongkok
pernah mengutus suatu armada yang cukup besar untuk
mengadakan kunjungan muhibah ke laut Selatan.
Kunjungan muhibah yang bersekala besar tersebut
dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Sam Poo Kong)
dan Wang Jing Hong (Ong King Hong) yang
merupakan orang kepercayaan Cheng Ho (Kong Yuanzhi
200), dan sekaligus sebagai juru mudinya. Keberhasilan
66 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Cheng Ho dalam beberapa kali melakukan pelayaran
ke luar Negara sangatlah ditopang oleh orang-orang
yang menjadi kepercayaannya.
Cerita tentang perjalanan Cheng Ho tidak hanya
berasal dari satu sumber, tapi juga dari sumber -sumber
yang lain. Sumber lain menyebutkan bahawa
rombongan besar kapal-kapal dari daratan Tiongkok
telah menyemberangi lautan menuju Indonesia dan
mendarat di Banten, Jawa Barat, kemudian kapal -kapal
tersebut berpencar antara satu dengan yang lain,
sebagian menyusuri pantai utara pulau Jawa ke arah
Timur dan menuju ke daerah Jakarta, Tanjoeng,
Jepara, Rembang, sebagian terus ke Timur Lasem,
Tuban dan seterusnya. Kapal-kapal yang berhenti di
Demak masuk ke daerah Boejaran dan menetap di
Bukit Simongan (Gedong Batu Semarang). Sulit
diketahui secara pasti kapan orang-orang Tionghoa
pertama kali menetap di sekitar Simongan, Semarang
(Jongkie Tio, tt). Saya menduga bahwa sebulum
kedatangan orang-orang Tionghoa di pulau Sumatera
dan Jawa pada abad ke 14 dan 15 yang lalu, sudah ada
orang-orang Tionghoa yang lebih awal menginjakkan
kakinya ke pulau-pulau tersebut. Orang-orang
Tionghoa yang lebih awal datang inilah yang mungkin
jadi petunjuk bagi orang-orang Tionghoa yang datang
belakangan atau saudara-saudara mereka yang datang
duluan mengundang saudara-saudara mereka lainnya
untuk merantau ke luar Tiongkok.
Menurut catatan sejarah bahwa orang Tionghoa
yang pertama kali datang ke Semarang adalah Cheng
Ho atau Sam Poo Kong atau Sam Poo Tay Djien, yang
punya peninggalan yang tidak bisa dilupakan ialah
Pratik Islam Nusantara 67
Gedung Batu atau Sam Poo Tong atau Sam Poo Kong.
Menurut beberapa cerita bahwa Sam Poo Tay Djin,
adalah Hoo, yang pada masa itu mendapat tugas
penting dari Baginda Soan Tik dari dinasti Bing untuk
mencari mustika di lautan bagian Barat (Jongkie Tio, tt).
Mustika apa yang akan dicari oleh Baginda Soan Tik,
dengan mengutus Sam Poo Tay Djien ke laut bagian
Barat juga tidak jelas. Dapat diperkirakan bahwa
perjalanan itu tidak lain adalah sama tujuannya dengan
perjalanan sebeumnya, yaitu di antaranya menjalin
hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa (Tanggok
2006) di luar Tiongkok.
Tidak sedikit orang mengatakan bahwa kalau
bercerita tentang Semarang, maka tidak akan lengkap
jika kita tidak menceritakan tentang seorang tokoh
sejarah yang cukup terkenal, yaitu seorang musafir
(orang yang sedang berpergian), beragama Islam yang
bernama Sam Poo Tao Lang, juga dikenal dengan nama
Sam Poo Tay Jin, seorang pelaut dari Tiongkok, yang
juga dikenal sebagai Cheng Ho, yaitu nama
sebenarnya. Orang-orang Tionghoa di semarang
khususnya dan Indonesia pada umumnya merasa
terhormat, karena dikunjungi oleh kaisar-kaisar
Tiongkok berulang kali dengan tujuan perdagangan
dan menjalin hubungan persahabatan dengan negara-
negara yang mereka kunjungi (Tanggok 2006). Usaha
menjalin hubungan persahabatan ini datang dari kaisar
agar Tiongkok memiliki suatu kekuatan karena
bersahabat dengan banyak negara.Kekuatan itu dapat
berupa kekuatan ekonomi, politik dan pertahanan
keamanan.
68 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Pada saat Cheng Ho dan anak buahnya
berkunjung ke Semarang, kota Semarang pada
dasarnya belum ada dan hanya merupakan hutan
belantara. Kota Semarang baru ada sejak tahun 1476
atau pada paroh pertama abad ke 15 (Kong Yuanzhi
2000). Pada saat Cheng Ho berkunjung ke Semarang,
penduduknya belum banyak, apakan lagi pertokohan
atau pusat-pusat perbelanjaan seperti yang terdapat
sekarang ini dan tempat-tempat wisata yang indah.
Namun Semarang sangat dikenal banyak orang karena
salah satunya di sana ada kelenteng Sam Poo Kong
yang terletak tidak begitu jauh dari kota Semarang dan
diyakini sebagai peninggalan dari Cheng Ho atau
dibuat oleh masyarakat pada jaman dahulu sebagai
tempat untuk mengenang kedatangan Laksamana
Cheng Ho. Tempat ini juga dikenal sebagai tempat
persinggahan Cheng Ho dan anak buahnya pertama
kali di pulau Jawa, dan dari kalangan sukubangsa
Tionghoa dan non-Tionghoa tempat ini dianggap
sebagai tempat yang sakral atau suci, yang dapat
memberikan manfaat bagi banyak orang. Tempat ini
juga digunakan orang untuk berdoa atau memohon
sesuatu pada dewa Sam Poo Kong dan perlindungan
dari segala bahaya (Tanggok 20060) yang dapat
mengganggunya dan anggota keluarganya.Bagi orang
Tionghoa dan non Tionghoa (muslim), segala bahaya
dapat berupa gangguan dari roh-roh jahat.
Orang-orang Indonesia peranakan Tionghoa di
Indonesia, khususnya peranakan Tionghoa yang
tinggal di sekitar Semarang, mempunyai cerita
tersendiri mengenai kedatangan laksamana Cheng Ho
dan anak buahnya di Semarang. Menurut mereka pada
Pratik Islam Nusantara 69
pertengahan abad ke 15, kaisar Zhu Di yang berkuasa
pada masa Dinasti Ming Tiongkok mengutus suatu
armada untuk mengadakan kunjungan ke Laut Selatan.
Armada dengan kapal-kapal yang besar ini dipimpin
oleh Laksamana Cheng Ho atau juga dikenal dengan
sebutan Sam Poo Kong. Dia dibantu oleh Wang Jing
Hong atau Ong King Hong sebagai orang kepercayaan
Cheng Ho. Siapa sebenarnya Ong King Hong ini, dan
apa tugasnya dalam perjalanan itu, tidak dapat
diketahui secara pasti, tapi orang-orang Semarang,
terutama yang sering datang ke kelenteng Sam Poo
Kong Semarang menganggap Ong king Hong adalah
juru mudinya Cheng Ho atau orang kepercayaan Cheng
Ho (Tanggok 2006), yang dapat mengantarkan Cheng
Ho kemana dia akan pergi. Jika Cheng Ho adalah
orang kepercayaan kaisar, maka Ong King Hong
adalah orang kepercayaan Cheng Ho.
Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang (Sumber: Google)
70 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Pada saat tiba di Semarang, Wang Jing Hong
dikatakan mendapat sakit keras, pada saat rombongan
kapal Cheng Ho ini berlayar menyusuri pantai utara
pulau Jawa. Dengan alasan itu, rombongan kapal
tersebut mampir di Simongan (kemudian hari berubah
namanya menjadi Mangkang), Semarang. Setelah
berhasil mendarat, Cheng Ho beserta anak buahnya
menemukan sebuah gua yang tidak jauh dari tempat
mereka menambatkan kapal-kapalnya. Gua ini mereka
jadikan suatu tempat untuk beristirahat sementara,
sambil berusaha mencarikan obat untuk mengobati
penyakit Wang Jing Hong, yaitu diyakini sebagai juru
mudi Cheng Ho atau Sam Poo Kong. Agar mereka
tidak kepanasan pada saat hari panas, kehujanan pada
saat hari hujan dan tidak kedinginan pada malam hari,
Cheng Ho bersama anak buahnya membuat sebuah
rumah kecil di luar gua untuk digunakan sebagai
tempat peristirahatan sementara, terutama untuk
tempat peristirahatan Wang Jing Hong yang sedang
sakit keras.
Berkat usaha keras Cheng Ho dalam mengobati
Wang Jing Hong, maka kesehatan orang
kepercayaannya ini sedikit demi sedikit membaik.
Karena kesehatan Wang Jing Hong semakin hari
semakin membaik, maka sepuluh hari kemudian Cheng
Ho melanjutkan perjalanannya ke Barat. Dalam
perjalanannya ke Barat, Cheng Ho tidak
mengikutsertakan Wang Jing Hong, karena dia
menganggap Wang Jing Hong (Hong) belum begitu
sehat betul dari penyakitnya. Untuk membantu segala
keperluan Hong di Goa Simongan, Cheng Ho
meninggalkan 10 orang anak buah kapalnya dan 1 buah
Pratik Islam Nusantara 71
kapal untuk keperluan transportasi dan juga dilengkapi
dengan perbekalannya. Setelah belayar ke Barat,
Cheng Ho tidak lagi kembali menemui Hong, dan
Hong merasa betah atau kerasan tinggal di Semarang.
Karena merasa betah tinggal di Semarang, Hong
bersama 10 orang awak kapal lainnya menebang hutan
dan membangun sebuah tempat tinggal untuk mereka
(Khong Yuan Zhi 2000). Ini merupakan cikal bakal
dari perkampungan yang ada di sekitar gedung batu
pada waktu. Sebagai mana kita ketahui, wilayah itu
adalah daerah yang penuh dengan hutan dan tidak ada
satu bangunan yang ada pada waktu itu.
Akibat ada di antara anak buahnya yang sakit,
terpaksa Cheng Ho harus memutuskan meninggalkan
sebuah kapal dan beberapa anak buahnya yang lain
untuk mengurus yang sakit. kapal yang ditinggalkan
oleh Cheng Ho dan 10 orang anak buahnya, tidak
hanya dipergunakan sebagai alat transportasi jika
Hong dan teman-temannya mau menyusul perjalanan
Cheng Ho, tapi juga mereka gunakan untuk melakukan
usaha perdagangan di sepanjang pantai pulau Jawa.
Karena anak buah Cheng Ho umumnya adalah
bujangan, termasuk 10 orang yang ditugaskan
menunggu Hong di Semarang, maka mereka melakukan
kawin mawin dengan penduduk setempat.Penduduk
setempat merasa senang dengan kedatangan tamu dari
luar negara. Mulai saat itu, daerah Simongan menjadi
sebuah perkampungan dan lama kelamaan menjadi
ramai dikunjungi oleh orang dan penduduknya semakin
banyak. Daerah sekitar gua tersebut menjadi daerah
yang subur, dan banyak orang yang melakukan cocok
tanam. Hasil cocok tanamnya sebagian digunakan
72 Dalam Kelenteng-Kelenteng
untuk keperluan sehari-hari dan sebagian lagi ada yang
diperdagangkan dan diperjualbelikan di antara mereka.
Bukan saja Cheng Ho yang terkenal sebagai
seorang muslim yang taat terhadapat ajaran agamanya,
Wang Jing Hong, juga dikenal sebagai seorang muslim
yang taat melaksanakan perintah Tuhan dan sehingga
dia juga menjadi sangat disayangi Cheng Ho. Dia juga
dikisahkan sebagai orang yang banyak berjuang
menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Berkat
usahanya, banyak penduduk setempat yang menganut
agama Islam. Untuk mengenang jasa-jasa Cheng Ho,
oleh Wang Jing Hong, didirikan sebuah patung Cheng
Ho untuk disembah atau dipuja orang. Wang Jing Hong
dikabarkan meninggal dunia pada usia 87 tahun dan
jenazahnya dikuburkan secara agama Islam di dekat
gua batu. Karena jasanya yang cukup besar terhadap
masyarakat sekitarnya, maka Hong diberi julukan
sebagai Juru Mudi Dampo Awang. Makam dari Juru
Mudi Dampo Awang ini terdapat di lokasi kel enteng
Sam Poo Kong di Semarang, tepatnya di samping gua
batu, tempat diletakkannya patung Cheng Ho sekarang
ini. Jika orang-orang datang ke kelenteng Sam Poo
Kong untuk melakukan pemujaan terhadap patung
Cheng Ho, maka belum dirasakan lengkap jika mereka
belum melakukan pemujaan dan pemohonan sesuatu di
makam Juru Mudi Dampo Awang ini. Makam ini
diyakini oleh masyarakat yang datang ke sini sebagai
makam yang sakral dan diyakini apa saja yang
dimohonkan dapat dikabulkan.
Sebagai layaknya tempat pemujaan lain di
lingkungan kelenteng Sam Po Kong, di depan makam
tersebut terdapat sebuah altar, dan di atas altar
Pratik Islam Nusantara 73
terdapat hiolo, tempat untuk menancapkan hio bagi
orang yang selesai melakukan pemujaan. Di depan
meja altar itu terdapat lukisan yang melukiskan kapal -
kapal Cheng Ho yang sedang melakukan perjalanan di
tengah lautan yang luas dengan membawa armada yang
jumlahnya ribuan. Lukisan-lukisan ini sengaja dibuat
untuk mengingatkan kembali kepada generasi muda
tentang kisah perjalanan Cheng Ho dari Tiongkok ke
berbagai negara di dunia.
Berkaca pada sejarah kedatangan Cheng Ho ke
berbagai pulau di nusantara, maka sejak saat itu, setiap
tanggal 1 dan 15 bulan Imlek orang berbondong-
bondong datang untuk memuja dan memohon sesuatu
kepada dewa Sam Poo Kong di Gua Sam Poo Kong
atau Gua Batu, dan sekaligus mereka berziarah ke
makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Tidak hanya
itu, mereka juga meminta sesuatu kepada Kyai Juru
Mudi Dampo Awang dengan perantaraan seorang juru
kunci kelenteng Sam Poo Kong. Sekarang ini, setiap
tanggal 1 dan 15 bulan Imlek, kebanyakan yang datang
ke sini adalah orang-orang Indonesia peranakan Cina
dari Semarang dan daerah-daerah lain yang meyakini
dewa Sam Poo Kong dapat memberikan sesuatu kepada
mereka. Sedangkan pada setiap malam Jumat Kliwon
(tiap bulan), orang-orang yang datang ke sini
umumnya adalah orang-orang non peranakan
Tionghoa, khususnya orang-orang Jawa di sekitar
Semarang, dan daerah-daerah lain, untuk memuja dan
meminta sesuatu pada dewa Sam Poo Kong dan pada
makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Mereka ini
adalah orang-orang Islam dan umumnya mereka adalah
pedagang, baik dari Semarang sendiri, maupun di luar
74 Dalam Kelenteng-Kelenteng
semarang (Tanggok 2006). Ada juga di antara mereka
yang datang dari luar Negara, misalnya dari Tiongkok,
Malaysia, Singapura dan lain-lain.
Pembangunan kelenteng Sam Poo Kong
mempunyai tujuan tersendiri, yaitu agar orang bisa
mengingat kembali jasa-jasa Cheng Ho yang dalam
sejarahnya sempat beberapa kali mengunjungi
Semarang dan menghormatinya. Atas dasar mengingat
dan menghormati itu, maka dibangunlah Kelenteng
Sam Poo Kong. Kelenteng ini pada awalnya sangatlah
sederhana, dan tidak seperti sekarang ini, di mana
pembangunannya sudah sangat luar biasa. Dalam Gua
tempat kelenteng itu hanya terdapat patung Cheng Ho.
Pada tahun 1704 Gua tersebut diberitakan runtuh
akibat angin serta hujan yang besar. Akibatnya
sepasang pengantin ikut tertimbun pada saat memuja di
situ. Tak lama kemudian gua tersebut dipugar kembali
seperti bentuknya yang semula. Pemugaran gua itu
dilakukan oleh orang-orang Tionghoa setempat pada
tahun 1724. Berarti 20 tahun setelah gua itu runtuh
baru dipugar kembali (Khong Yuan Zhi 2000).
Di tempat itu tidak hanya ada gua batu, tapi
juga ada bangunan untuk melindungi orang-orang dari
hujan dan panas pada saat melakukan ri tual. Bangunan
inilah yang dikemudian hari dikenal sebagai kelenteng.
Di dalam lingkungan kelenteng ada ada gua batu dan
oleh karena itu kelenteng ini juga dikenal sebagai
kelenteng gedung batu. Dalam waktu dua puluh tahun
tentu saja sisa-sisa bangunan kelenteng yang lama
sudah tidak ada lagi dan bahkan tempat tersebut sudah
menjadi hutan kembali (Tanggok 2006). Meskipun
puing-puing kelenteng yang lama sudah tidak ada lagi,
Pratik Islam Nusantara 75
namun masyarakat sekitarnya masih mengingat
keberadaan kelenteng tersebut di masa la lu. Inilah
salah satu alasan kenapa masyarakat setempat
mendorong dibangunnya kembali kelenteng Sam Poo
Kong.
Ada juga sebagian orang yang meragukan bahwa
Cheng Ho pernah mampir di Semarang. Untuk itu,
untuk membuktikan apakah benar Cheng Ho pernah
mampir di Semarang, maka di sini saya kutip pendapat
M. O Parlindungan (Parlindungan 1964), dalam
bukunya yang berjudul: Tuanku Rao, yang
mengisahkan tentang mendaratnya kapal Cheng Ho di
Semarang pada abad ke-15. Menurut Parlindungan,
bahwa Cheng Ho pernah singgah ke Semarang pada
tahun 1413. Menurutnya juga, Cheng Ho bersama
dengan Ma Huan dan Fei Xin seringkali mengunjungi
masjid untuk melakukan sembahyang. Ma Huan dan
Fei Xin adalah orang kepercayaan Cheng Ho dan
selalu ikut serta dalam berbagai perjalanan Cheng Ho.
Masjid yang dimaksud di sini adalah masjid yang
terletak di daerah Gedung Batu Semarang. Menurut
cerita rakyat setempat, bahwa kelenteng Sam Poo
Kong yang ada di daearah Gedung Batu Semarang
sekarang ini dulunya adalah sebuah masjid yang selalu
digunakan oleh Cheng Ho dan anak buahnya untuk
melakukan sembahyang (Harian Merdeka, 25 Maret
1984 dan juga Singgih 1998: 141).
Tanggok menduga bahwa pendapat Soewarno ini
didasarkan pada agama yang dianut oleh Cheng Ho dan
teman-temannya, yaitu Islam, sehingga bangunan yang
ada di gedung batu itu dianggap Masjid. Orang Islam
yang taat, selalu melakukan sembahyang di manapun
76 Dalam Kelenteng-Kelenteng
mereka berada dan untuk sembahyang berjamaah
mereka membutuhkan tempat yang besar seperti masjid
(Tanggok 2006).Masjid tidak hanya sekedar tempat
sembahyang tapi juga tempat orang berkumpul dan
bermusyawarah antara satu dengan yang lainnya.
Andaikata pendapat Parlindungan itu benar,
berarti Masjid yang digunakan oleh Cheng Ho dan
anak buahnya itu untuk melakukan sembahyang adalah
Masjid bikinan mereka sendiri. Jika benar mereka
membikin sebuah Mesjid untuk tempat melakukan
sembahyang, berarti Mesjid yang mereka bikin itu
pastilah bercorak asitektur Tionghoa, yang mirip
dengan bangunan mesjid dan kelenteng yang ada di
Tionghoa, maupun bangunan kelenteng umumnya di
Indonesia. Jika dugaan itu benar, maka pendapat
Parlindungan itu dapat dibenarkan dan Gedung Batu
yang menjadi tempat bangunan Kelenteng Sam Poo
Kong yang ada di Semarang sekarang ini, diduga
dulunya adalah sebuah Mesjid tempat Cheng Ho dan
anak buahnya melakukan sembahyang dan kemudian
hari fungsinya berbeda (Tanggok 2006). Meskipun
demikian, umumnya umat Islam dewasa ini tidak
pernah menuntut agar bangunan itu dikembalikan
fungsinya sebagai masjid. Ini menunjukkan bahwa
umat Islam memiliki rasa toleransi yang besar terhadap
umat agama lain.
Sebagian besar masyarakat Semarang menyebut
Kelenteng Sam Poo Kong ini dengan nama kelenteng
Gedung Batu, yang terletak di kaki bukit Simongan.
Disebut kelenteng Gedung Batu karena lokasi
kelenteng ini terdapat sebuah gua batu yang dianggap
tempat Cheng Ho dan anak buahnya pada masa lalu
Pratik Islam Nusantara 77
beristirahat sebelum melanjutkan perjalanannya ke
wilayah lain di nusantara. Sehubungan dengan hal
tersebut, Tju Kie Hak Siep (1954), menceritakan
dengan panjang lebar tentang berdirinya kelenteng
gedung batu tersebut. Pada tahun 1406, sebagaimana
diceritakan oleh Tju Kie Hak Siep, bahwa Cheng Ho
dengan kapal-kapalnya mendarat di sebuah desa
(Singgih 1986) yang tidak disebutkan nama desanya.
Setelah mendarat, kemudian Cheng Ho dengan
anak buahnya melanjutkan perjalanannya dengan
menyusuri pantai pulau Jawa, dan akhirnya mereka
tiba di daerah Simongan. Simongan adalah merupakan
daerah pelabuhan yang merupakan tempat dari kapal -
kapal perdagangan luar negeri untuk beristirahat
sejenak. Cheng Ho bersama anak buahnya tidak
beristirahat di kapal, tapi beristirahat di sebuah gua
yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan Gedung
Batu. Karena terjadi angin topan yang cukup besar,
maka Gua Batu itu mengalami kerusakan parah dan
menghilangkan bentuk aslinya. Untuk jasa-jasa Cheng
Ho dan anak buahnya, maka pda tahun 1704
dibangunlah sebuah Gua Batu tiruan yang menyerupai
Gua Batu yang dahulu.
Gua Batu tiruan tersebut diletakkan ditengah-
tengah kelenteng Gedung Batu Semarang. Supaya Gua
Batu ini tidak kehilangan makna, dan ada tempat bagi
para pengunjung untuk melakukan pemujaan, maka
didatangkanlah patung Cheng Ho dari daratan
Tiongkok dan 4 buah patung dari pengikut Cheng Ho
untuk diletakkan di dalam Gua Batu tiruan terseb ut.
Kemudian oleh masyarakat Tionghoa di sekitar
Semarang dilakukan sembahyang untuk mengucapkan
78 Dalam Kelenteng-Kelenteng
syukuran atas dibangunnya Gua Batu tiruan dan
penempatan patung Cheng Ho dan pengikutnya di Gua
tersebut. Upacara sembahyang ini dilakukan secara
besar-besaran, dan terjadi pada tahun 1724 (Liem
Thian Joe 1993; Singgih 1986).
Hasil sumbangan orang-orang yang datang untuk
melakukan sembahyang di Gedung Batu ini, oleh
pengurus tempat ini digunakan untuk memelihara Goa
Gedung Batu tersebut, dan sampai sekarang Gua
tersebut menjadi tempat yang sakral, karena
disakralkan oleh manusia. Demikianlah cerita lain dari
Gua Batu yang ada di Semarang. Pada masa sekarang,
Gua Gedung Batu tersebut berada dalam bangunan
sebuah kelenteng, yang dikenal dengan kelenteng Sam
Poo Kong atau kelenteng Gedung Batu Semarang.Gua
itu dirawat dengan baik dan dianggap sakral oleh
seabagian masyarakat Islam dan non Islam.
3.2. Pemujaan Terhadap Sam Poo Tay Kam
Mungkin kita bertanya-tanya, siapakah Sam Poo
Tay Kam itu? Menurut cerita, bahwa pada masa
kerajaan Bing bertakhta di Tiongkok, Kaisar Bing Sing
Cou yang terkenal itu menggunakan gelar Eng Lok
Kun. Di kerajaan Bing terdapat banyak panglima, ada
panglima pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, sesuai
dengan jabatan yang dipegang oleh panglima tersebut
dalam kerajaan. Bing Sing Cou, mempunyai seorang
pengawal istana (lwee kam) yang bernama The Ho.
Karena kesetiaannya terhadap raja, The Ho
dianugerahi gelar kebangsawanan oleh raja. Gelar
kebangsawanan itu ialah Sam Poo Kong Tay Kam. Sam
Poo Kong artinya panglima ketiga, dan Tay Kam
Pratik Islam Nusantara 79
artinya pengawal istana. Jadi, Sam Poo Kong Tay Kam
artinya pengawal ketiga di kerajaan yang bertugas
mengawal istana.
Sejak penganugerahan gelar itu, nama The Ho
hampir tidak dipakai lagi dan orang menyebutnya
dengan sebutan Sam Poo Tay Kam. Arti yang
sebenarnya dari Sam Poo Tay Kam ialah “panglima
ketiga pengawal istana” (Moerthiko 1980) Sam Poo
Tay Kam sebenarnya adalah sebutan lain dari Cheng
Ho, namun nama Cheng Ho tidak tidaklah kita jumpai
di kelenteng Sam Poo Kong Semarang, yang ada
adalah Sam Poo Tay Jin. Nama ini tertulis di papan
nama di ruang tempat pemujaan Cheng Ho. Para
pengurus kelenteng dan para tamu yang hadir untuk
meminta sesuatu pada Zheng Ho, tidak terlalu akrab
dengan nama Che Ho, tapi mereka lebih senang
menyebutnya dengan sebutan Sam Poo Tay Jin dan
bukan Sam Po Tay Kam. Siapakah Sam Poo Tay Jin
itu? Sam Poo Tay Jin tidak lain adalah Cheng Ho, dan
nama yang tertulis di pintu gerbang masuk kelenteng
Sam Poo Kong ini tertulis “Kelenteng Sam Poo Kong”
dan tidak menggunakan nama wihara seperti yang
dipakai oleh kebanyakan kelenteng di Indonesia sejak
Orde Baru dan tidak juga menggunakan nama
kelenteng Cheng Ho untuk mengacu pada tokoh utama
yang dipuja di dalamnya. Kelenteng ini tidak juga
menggunakan nama wihara sebagai mana kelenteng-
kelenteng lainnya di Indonesia (Tanggok 2005). Jika
menggunakan nama wihara, berarti kelenteng tersebut
berada di bawah naungan dan pengawasan Dirjen
Agama Buddha, sebagai mana banyak kelenteng
dewasa ini.
80 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Pemujaan pada Sam Poo Tay Kam (Cheng Ho)
Sebagaimana saya katakana sebelumnya, orang
yang dateng ke kelenteng Sam Poo Kong mempunyai
niat tertentu, dan umumnya mereka datang ke tempat
ini untuk minta sesuatu kepada Sam Poo Tai Jin atau
Cheng Ho dan kebanyakan diantara mereka berprofesi
sebagai pedagang, seperti yang saya sebutkan
sebelunya, baik laki maupun perempuan. Karena
mereka menganggap Cheng Ho atau Sam Poo Tay Kam
atau Sam Poo Tai Jin atau Sam Poo Kong dulunya
adalah seorang pedagang yang berhasil dari Cina dan
melakukan perdagangan di berbagai negara dan daerah.
Oleh karena itu, pada saat ini dia dianggap sebagai
dewa dagang oleh sebagian orang-orang datang ke
kelenteng ini untuk memohon sesuatu kepadanya,
terutama para pedagang yang datang ke sini dan
berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya
itu, dia juga dianggap sebagai dewa penyelamat bagi
para pedagang, karena sebagian besar pedagang yang
Pratik Islam Nusantara 81
memohon kepadanya mendapatkan keberuntungan dan
usahnya maju dengan pesat. Itulah sebabnya ban yak
diantara orang yang datang ke sini adalah pedagang
yang menginginkan agar usaha dagangannya berhasil.
Karena dia adalah seorang muslim yang taat, maka
tidak heran jika yang datang ke kelenteng ini tidak
hanya orang-orang non muslim (Tanggok 2006), tapi
juga beberapa orang muslim dari berbagai daerah di
Indonesia dan bahkan ada yang datang dari Malaysia,
Singapura dan Berunai.
Pada umumnya orang yang datang ke kelenteng
Sam Poo Kong Kong ini adalah para pedagang kecil
dan ada juga sebagian dari mereka pedagang besar atau
pengusaha. Baik itu dari kalangan muslim maupun dari
kalangan non muslim dari berbagai daerah di
Indonesia. Pada malam Jumat kliwon, sebagian besar
mereka yang datang ke kelenteng Sam Poo Kong Kong
ini adalah mereka yang beragama Islam. Beberapa
orang yang saya tanyakan bahwa mereka adalah
beragama Islam. Di samping itu juga dapat dilihat dari
atribut yang dipakainya, seperti memakai jilbab yang
menunjukkan bahwa mereka adalah seorang muslimah.
Sedangkan pada tanggal 1 dan 15 Imlek, menurut
informasi yang dapatkan dari para juru kunci kelenteng
adalah kebanyakan mereka yang datang ke sini adalah
yang beragama Khonghucu, Buddha dan ada juga
sebagian kecil mereka yang beragama Katolik maupun
Kristen. Ada sebagian orang mengatakan bahwa
kelenteng Sam Poo Kong ini tidak hanya sekedar
tempat ibadah, tempat meminta sesuatu pada dewa-
dewa, tapi juga sebagai wadah mempersatukan
sukubangsa, dan dari berbagai agama. Kelenteng ini
82 Dalam Kelenteng-Kelenteng
dapat dipandang sebagai simbol persatuan antar
sukubangsa yang ada di Indonesia (Tanggok 2006),
karena berbagai sukubangsa dapat dapat berkumpul di
tempat ini untuk melakukan ritual.
Karena tujuan orang-orang datang ke kelenteng
ini bermacam-macam, maka permintaannya bermacam-
macam juga. Ada di antara mereka memohon kepada
dewa Sam Poo Kong agar usaha dagangnya menjadi
maju dan berhasil, ada juga mereka yang datang ke
sini untuk minta agar cepat mendapat jodoh, ada juga
yang datang ke sini untuk minta obat, dan ada juga
yang datang ke sini untuk diberi nomor (togel) yang
tepat, sehingga apabila mereka memasang nomor
tersebut dia menjadi menang dan menjadi kaya. Jika
mereka dikasi nomor yang tepat oleh Sam Poo Kong,
maka mereka akan datang kembali. Jika mereka tidak
dikasi nomor yang tepat oleh Sam Poo Kong dan
akhirnya mereka menjadi kalah dalam berjudi, maka
mereka tidak akan datang lagi unuk meminta nomor.
Ada juga seorang ibu yang datang ke sini memohon
agar suaminya berhenti berjudi, dan mabuk-mabukan,
dan ada juga yang datang ke sini agar perjalanan studi
anaknya di perguruan tinggi lancar, tanpa ada satu
hambatan apapun. Walaupu juru kunci atau biokong
selalu mengatakan kepada pengunjung bahwa dewa
Sam Poo Kong tidak dapat memberikan angka yang
tepat, namun selalu ada pengunjung yang datang ke
sini untuk minta nomor, dan tetu saja ini didasarkan
pada keyakinan orang masing-masing. Anggapan
mereka dewa Sam Poo Kong sama dengan dewa-dewa
yang lain, yaitu dapat memberi nomor yang tepat dan
dapat memberikan keberuntungan pada mereka. Ada
Pratik Islam Nusantara 83
juga orang yang hanya sekedar coba-coba meninta
nomor kepada dewa Sam Poo Kong, dan apabila angka
tersebut dia dapatkan (melalui mimpin atau dengan
cara lain), maka dia beranggapan itu adalah berkat
pertolongan Sam Poo Kong.
Para pedagang mempunyai cerita yang lain jika
datang ke tempat ini, mereka bukan minta nomor, tapi
minta agar dagangannya laku keras atau laris. Jika
dagangannya laris, maka dia akan memperoleh
keuntungan yang banyak. Jika keuntungannya banyak,
dia tidak akan lupa berterima kasih pada dewa Sam
Poo Kong. Seorang ibu yang mengunakan jilbab datang
ke kelenteng Sam Poo Kong pada malam Jumat Kliwon
untuk minta pertolongan padanya. Dia mengatakan:
“Saya sudah tiga kali datang ke kelenteng ini tepatnya
pada malam jumat kliwon. Saya minta pada dewa agar
usaha dagang saya lancar, dan alhamdulillah usaha
dagang saya berjalan dengan lancar. Saya juga pernah
meminta kepada dewa Sam Poo Kong agar anak saya
yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi
negeri di Bogor berjalan tanpa ada halangan, dan
alhamdulillah sekarang kuliah anak saya sudah selesai
dan sekarang sudah bekerja di salah satu perusahaan
terkenal di Jakarta. Meskipun anak saya sudah
berhasil, saya tidak lupa untuk selalu mengunjungi
kelenteng ini untuk memohon sesesuatu yang saya
inginkan, sebab saya sangat berutang budi kepadanya.”
Rahasia keberhasilan ibu ini tidak hanya dia simpan
sendiri, tapi diajuga ceritakan kepada teman-temannya.
Di antara temannya yang percaya terhadap cerita itu,
maka dia mengikuti jejak ibu tersebut untuk memohon
sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong.
84 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Bagi orang yang hadir ke sini dengan tujuan
untuk sembahyang pada Sam Poo Kong, dia harus
membeli hio di tempat penjualan hio. Kemudian hio
tersebut dibawa ketempat pemujaan Sam Poo Kong.
Bagi orang muslim yang datang ke sini, hio tersebut
diserahkan kepada biokong (juru kunci), kemudian juru
kunci menanyakan maksud orang yang datang,
namanya, dari mana dia berasal dan apa saja maslah
yang ia hadapi. Kemudian biokong membakar hio
tersebut dan melakukan sembahyang kepada Thian
(Tuhan). Sembahyang kepada Thian (Tuhan) sama
artinya melaporkan kepada Tuhan untuk minta restu
melakukan sembahyang di tempat ini. Selesai
melakukan sembahyang kepada Tuhan seperti cara
yang dilakukan oleh orang Tionghoa bersembahyang
kepada Thian, barulah memohon sesuatu keada dewa
Sam Poo Kong.
Sembahyang kepada Tuhan atau Thian dengan
cara menghadap keluar atau ke langit, menganggkat
hio setinggi kepala sebanyak 3 kali dan menundukkan
kepala sebanyak 3 atau 4 kali.8 Setelah selesai
melakukan sembahyang pada Thian, hio tersebut
ditancapkan ke hiolo (tempat menancapkan hio)
sebanyak 2 atau 3 batang, kemudian sisa hio tersebut
digunakan oleh juru kunci untuk memuja atau
melaporkan pada Men Shen, dewa pintu (altar
pemujaannya terletak dibagian tengah sebelum masuk
ke dalam tempat pemujaan Sam Poo Kong), setelah itu,
hio tersebut ditancapkan lagi ke hiolo milik dewa
penjaga pintu, yang artinya meminta izin untuk
melakukan sembahyang pada dewa Sam Poo Kong.
Meminta izin kepada Thian tidak semestinya
Pratik Islam Nusantara 85
menunggu jawaban dari Thian apakah diizinkan atau
tidak, namun ini hanya sekedar melapor kepada Thian.
Apabila sembahyang kepada Thian sudah
dianggap selesai, maka juru kunci masuk dalam sebuah
ruangan tempat pemujaan Sam Poo Kong sambil
membawa 3 atau 4 batang hio yang merupakan sisa
dari pemujaan pada Thian dan dewa pintu. Di depan
altar tempat pemujaan Sam Poo Kong, juru kunci
kembali melakukan sembahyang atau pemujaan
terhadap dewa Sam Poo Kong, dan memohon kepada
dewa Sam Poo Kong agar apa yang menjadi keinginan
orang yang datang ke sini dapat dikabulkan. Sementara
orang yang minta sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong
ini berada dibelakang juru kunci. Setelah melakukan
pemujaan atau memohon kepada dewa Sam Poo Kong,
juru kunci menancapkan hio di hiolo yang ada
dihadapan patung Sam Poo Kong yang menandakan
bahwa sembahyang atau memuja kepadanya selesai
dilaksanakan (Tanggok 2006) dan kegiatan berikutnya
dapat dilanjutkan.
Sebelumnya juga sudah dijelaskan bahwa
setelah selesai melakukan pemujaan atau meminta
sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong, juru kunci
mengambil tempat Ciam Si. Ciam Si adalah sebuah
benda berbentuk bila-bila bambu menyerupai sumpit
bertuliskan hurup Mandarin dan berisi ramalan.
Batangan Ciam Si adalah terbuat dari bambu yang
panjanga sekitar 20 cm, lebarnya 1cm, dan di batang
bambu-bambu tersebut tertuliskan nomor 1 -99. Jumlah
Ciam Si ini sebanyak 99 batang dan berisi 99 ramalan.
Ciam Si ini digunakan orang untuk melihat nasib atau
keberuntungan yang mereka peroleh di masa akan
86 Dalam Kelenteng-Kelenteng
datang. Angka atau nomor yang tertulis dibambu Ciam
Si tersebut memiliki terjemahan dalam bahasa
Indonesia yang telah tersedia di ruang bagian depan
tempat pemujaan Sam Poo Kong. Dari situ orang dapat
mengetahui maksudnya. Tempat Ciam Si terbuat dari
bambu atau bahan plastik dan besarnya seper ti gelas
minuman. Setelah tempat Ciam Si diambil, juru kunci
kembali duduk di depan altar sembahyang dan
mengoncang tempat Ciam Si sampai salah satu dari 99
batang Ciam Si keluar dari tempatnya. Hiolo adalah alat
atau tempat menancapkan dupa yang sudah dinyalakan dengan
api dan sudah digunakan untuk sembahyang. Sebagaimana
informasi yang di dapatkan dari sumber google, bahwa Hiolo
sebagai barang wajib yang disimpan atau diletakkan di atas
altar. Hiolo terbuat dari kuningan berkwalitas super dengan
harga terjangkau masyarakat. Salah satu spesifikasi hiolo
berdiameter 11,5 Cm, Tinggi 9 Cm, Berat 600 Gr dan bahan
terbuat dari kuningan murni. Harga hiolo jenis ini dijual
seharga Rp. 140.000 di pasaran.
Gambar Hiolo: Tempat abu hio
(Sumber: Google)
Pratik Islam Nusantara 87
Sebagaimana dikatakan oleh Yulianti dalam tulisannya
yang berjudul: ”Meramal nasib ala Tionghoa melalui kocokan
batang bambu” (Dalam:
https://ariellucky.wordpress.com/2008/06/13) bahwa
masyarakat Tionghoa dikenal handal dalam meramal, selain
meramalan melalui Feng Shui, meraman secara tradisional
kuno pun hingga kini masih membudaya dalam kehidupan
mereka. Ramalan itu dapat disebut sebagai ramalan Ciam Si.
Yulianti melanjutkan bahwa ramalan Ciam Si
merupakan sejenis permainan meramal nasib yang didasarkan
dari 100 kertas syair yang tersedia, yang setiap saat
dilaksanakan jika berada di Kelenteng. Ramalan Ciam Si ini
juga sebagai media untuk mengetahui peruntungan nasib dari
seseorang, di mana biasanya orang yang bersangkutan harus
terlebih dahulu mengikuti aturan tradisi yang ada dengan cara
mengocok batang bambu kecil, menyerupai sumpit berukuran
sekitar 10 cm yang diletakkan di dalam sebuah wadah gelas,
dimana setiap batang bambu tersebut memiliki nomor yang
sudah disesuaikan dengan jumlah kertas syair yang ada di
kelenteng. Sebelum kertas syair dikocok, seseorang harus
melakukan permohonan melalui persembayangan terlebih
dululu. Dengan cara menyebutkan nama dan usia dalam hati
kemudian mengajukan permohonan di hadapan patung dewa
yang berada di atas altar sembahyang, baru melempar dua
keping kayu berbentuk setengah lingkaran dengan masing-
masing sisinya harus berlainan. Jika hasil lemparan dua keping
kayu tadi sama-sama menunjukkan sisi yang sama, maka orang
yang akan diramal belum memperoleh izin dari sang dewa.
Namun bila sebaliknya, hasil lemparan dari dua keping kayu
tadi menunjukkan sisi yang berbeda, maka orang itu boleh
88 Dalam Kelenteng-Kelenteng
melakukan ramalan Ciam Si, dengan mengocok batang bambu
yang ada dalam wadah gelas.
Menurut Yulianti, bila sebatang bambu yang telah
dikocok, jatuh ke tanah maka angka yang tertera di batang
kayu, disesuaikan dengan secarik kertas yang ada di kotak
ramalan atau bisa juga dengan cara mencabut urutan kertas
yang tertempel didinding, menurut urutan angka yang keluar
setelah dilakukan pengocokan. Setiap kertas dalam ramalan
Ciam Si ini, memiliki syair dan ramalan yang berbeda-beda,
berupa peruntungan karir, jodoh, rezeki dan kehidupan rumah
tangga.
Menurut Yulianti bahwa sebagian masyarakat Tionghoa
sangat percaya terhadap ramalan ini dan mereka juga
mempercayai bahwa ramalan ini dapat menuntun mereka ke
arah kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih baik, serta
menghapus nasib jelek atau minimal menguranginya, juga
terkadang dimanfaatkan untuk memulai atau mengembangkan
bisnis dan meningkatkan karir serta menapak masa depan yang
lebih baik pada saat peruntungan sedang baik, dan bersikap
hati-hati saat peruntungan sedang menurun.
Ramalan Cian Si ini bersifat tradisi, tidak di pungut biaya dan
ramai dilaksanakan menjelang imlek, utamanya pada tanggal
satu, delapan dan lima belas Februari.
Sejumlah wisatawan baik dalam maupun luar negeri, juga
terkadang menyempatkan waktu berkunjung ke Kelenteng
hanya sekedar meramal nasibnya atau keberuntungannya
dengan menggunakan Ciam Si.
Apa yang dijelaskan Yulianti ini masih tetap ada
dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di manapun
mereka berada. Bagi masyarakat muslim yang percaya
pada ramalan ini, biasanya dalam mempraktikannya,
mereka dapat mewakilkannya dengan juru kunci
Pratik Islam Nusantara 89
kelenteng. Juru kuncilah yang menjadi mediator antara
dia dengan dewa-dewa yang dipuja.
Setelah salah satu batangan Ciam Si di letakkan
di atas hiolo, juru kunci kemudian mengambil Po Pai.
Po Pai adalah dua keeping kayu yang berbentuk
setengah lingkaran yang terdapat di atas altar
sembahyang. Sebelum 2 buah Po Pai itu dilambung,
terlebih dahulu juru kunci meminta izin kepada dewa
Sam Poo Kong dengan cara menyembayangkannya,
setelah itu Po Pai dilambung dan dibiarkan jatuh ke
lantai. Jika 2 buah Po Pai ini jatuh dalam keadaan 1
buah telungkup dan 1 buahnya lagi jatuh dalam
keadaan telentang, berarti dewa Sam Poo Kong setuju,
dan jika kedua Po Pai itu jatuh ke lantai dalam
keadaan telentang kedua-duanya atau telungkup kedua-
duanya, berarti dewa Sam Poo Kong tidak setuju, dan
penggoncangan Ciam Si dan pelambungan Po Pai
harus diulang kembali sampai semuanya sesuai dengan
keinginan (Tanggok 2006). Jika apa yang mereka
lakukan sesuai dengan keinginannya, maka hatinya
akan merasa puas.
Setelah semuanya dianggap selesai, juru kunci
dan diikuti oleh orang yang minta sesuatu pada dewa
Sam Poo Kong, sambil membawa sebatang Ciam Si
yang didapat dari hasil penggoncangan menuju ke
suatu tempat atau sebuah lemari yang terdapat di ruang
bagian depan pemujaan pada dewa Sam Poo Kong,
tepatnya berada di sebelah kiri pintu masuk ruangan
tempat pemujaan dewa Sam Poo Kong. Ruang tersebut
adalah tempat menyimpan lembaran kertas terjemahan
Chiam Si ke dalam bahasa Indonesia. Jika dari hasil
penggoncangan Chiam Si tadi kita mendapat batang
90 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Chiam Si yang bernomor 1, maka batang Chiam Si
yang tertulis nomor satu tersebut ditukar dengan kertas
terjemahan Chiam Si yang juga tertulis nomor 1, dan
hal yang sama juga dilakukan untuk nomor-nomor
yang lain. Setiap nomor mempunyai kertas
terjemahannya masing-masing. Setiap orang ingin
memperoleh Ciam Si yang bagus, yang sesuai dengan
keinginannya.Jika mereka mendapatkan jawaban dari
Ciam Si cukup bagus, maka tenanglah hati mereka.
Banyak orang yang sudah mendapatkan
lembaran copi terjemahan Ciam Si mengalami
kesulitan memahami isi atau kata-kata yang tertulis
dalam lembaran tersebut, hal ini bukan karena
lembaran itu ditulis dalam bahasa Cina atau bahasa
Indonesia (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia) tapi karena kata-kata atau kalimatnya masih
bersifat umum dan untuk mengetahui maksudnya harus
dijelaskan oleh juru kunci kelenteng. Juru kunci
kelentenglah yang difungsikan oleh seorang pemuja
atau yang mempunyai keinginan tertentu untuk
menterjemahkan maksudnya. Untuk menjelaskan
maksud Ciam Si tersebut, paling tidak juru kunci
kelenteng membutuhkan waktu lebih kurang lima belas
menit atau setengah jam untuk menjelaskannya pada
orang yang membutuhkan pennjelasan dan mengetahui
maksud dari ramalan tersebut.
Penjelasan kertas Chiam Si tidaklah dilakukan
dalam bentuk formal, tapi dapat dilakukan sambil
berdiri dan sambil berjalan serta bisa didengar oleh
siapa saja yang ingin ikut mendengarkannya. Bisa juga
orang lain yang tidak mempunyai hubungan dengan
orang yang datang untuk maksud tertentu pada dewa
Pratik Islam Nusantara 91
Sam Poo Kong bertanya pada juru kunci kelenteng.
Juru kunci kelenteng mempunyai sifat terbuka kepada
siapa saja yang membutuhkan penjelasan kepadanya
dan sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki
dan juga tingkat pendidikannya.
Setelah selesai mendapatkan penjelasan dari
juru kunci kelenteng, seseorang atau sekelompok orang
yang mempunyai keinginan tertentu pada dewa Sam
Poo Kong membawa pulang kertas Chiam Si tersebut
dan disimpan di dompet bagi laki-laki dan di tempat-
tempat tertentu bagi wanita atau bagi laki -laki dapat
dilain tempat selain di dompet. Tapi umumnya laki -
laki menyimpannya di dompet untuk sebagai “jimat”
atau benda yang dapat menolak atau melindungi
seseorang dari segala bahaya yanga akan menimpa
mereka. Bisa saja kertas Chiam Si tersebut di simpan
ditempat yang khusus di rumah untuk sebagai penjaga
bagi keselamatan keluarga. Demikianlah beberapa
penafsiran orang tentang kertas Chiam Si.
“Menurut seorang pemuja bahwa kertas itu dapat
disimpan di dalam dompet untuk dijadikan jimat dan
dapat dibawa ke mana-mana, terutama dapat dibawa
bekerja atau berdagang, supaya dagangannya cepat
laku dan mendapatkan keuntungan yang banyak.
Alhamdulilla, kata seorang ibu (seorang pedagang)
bernama Aminah, dagangan kainnya laku banyak
setelah memohon kepada dewa dagang Sam Poo Kong
dan di mana saja dia berdagang, kertas Chiam Si selalu
dia bawa. Oleh karena itu dia tidak lupa minimal
seminggu sekali atau sebulan sekali setiap malam
jumat kliwon datang ke kelenteng Sam Poo Kong
untuk memohon sesuatu yang dia inginkan (Tanggok
92 Dalam Kelenteng-Kelenteng
2006)” atau hanya sekedar ucapan terima kasih kepada
dewa Sam Poo Kong.
Berdasarkan pengalaman dari beberapa
pengunjung kelenteng yang beragama Islam, memohon
sesuatu pada dewa Sam Poo Kong haruslah dilakukan
dengan cara berulang-ulang dan agar keinginannya
terkabulkan. Ada di antara pengunjung yang sekali
bermohon langsung dikabulkan, ada yang berulang kali
baru dikabulkan. Memohon sesuatu kepada dewa Sam
Poo Kong tidak semestinya datang ke kelenteng,
namun bias melalui jarak jauh, jika kita tidak sempat
untuk ke sana. Menurut seorang ibu, jika kita tidak
sempat datang ke kelenteng Sam Poo Kong di
Semarang, setiap malam Jumat Kliwon atau setiap
bulan, karena alasan sibuk, atau karena alasan jauh,
seseorang dapat melakukan pemujaan dan memohon
sesuatu pada dewa Sam Poo Kong dari jarak jauh,
misalnya dari rumah, yaitu dengan membuat altar
sembahyang di kamar pribadi dan meletakkan
perlengkapan sembahyang di sana. Perlengkapan
sembahyang dapat dibeli pada saat berkunjung ke
kelenteng Sam Poo Kong. Sekali membeli
perlengkapan sembahyang di sana cukup untuk
digunakan sebanyak 7 kali semabahyang, terutama
sembahyang pada malam Jumat Kliwon di rumah.
Namun dia juga mengatakan bahwa jika ada
kesempatan untuk datang ke kelenteng setiap bulan, itu
lebih bagus, karena memohon sesuatu dilakukan
ditempatnya dan bukan dari jarak jauh dianggap lebih
baik. Memohon dari jarak jauh tidak semestinya dari
rumah, dari tempat usaha juga diyakini dari beberapa
pemuja boleh dilakukan, seperti dari tempat usaha.
Pratik Islam Nusantara 93
Pada saat saya berkunjung ke kelenteng Sam Poo
Kong, saya sempat mewawancarai seorang ibu yang
sudah setengah baya, propesinya sebagai pedagang dan
memiliki tempat usaha sendiri. Dia mengungkapkan
pengalamannya kepada saya bahwa dia pernah
melakukan sembahyang kepada dewa Sam Poo Kong
dengan tidak datang ke kelenteng Sam Poo Kong tapi
cukup dilakukan di rumah saja. Sembahyang itu dia
lakukan di dalam kamar pribadinya dan tidak semua
orang dapat mengetahuinya. Di dalam kamar dia
menyediakan sebuah meja kecil yang difungsikan
sebagai altar sembahyang. Di atas altar itu dilengkap
dengan hiolo (tempat menancapkan hio), lilin merah 2
batang, sesajian beberapa piring makanan, beberapa
gelas minuman, untuk dipersembahkan pada dewa Sam
Poo Kong. Pada saat malam Jumat Kliwon tiba, dia
memohon kepada dewa Sam Poo Kong agar agar dapat
hadir ke rumahnya untuk mendengarkan
permohonannya. Setelah dia yakin benar dewa Sam
Poo Kong hadir di rumahnya, dia langsung memohon
sesuatu agar keinginannya terkabulkan. Cara
sembahyang dan memohon sesuatu dapat dilakukan
seperti cara sembahyang dan memohon yang dilakukan
di kelenteng.Praktik ritual yang dilakukan di rumah
atau di tempat usaha adalah duplikat dari cara
sembahyang yang dilakukan di kelenteng.
Dia melakukan sembahyang pada dewa Sam Poo
Kong di rumah, karena dia berkeyakinan bahwa dewa
Sam Poo Kong baru akan mengabulakan
permohonannya setelah 7 kali melakukan sembahyang
atau pemujaan kepadanya. Alasan lain adalah bahwa
untuk pergi ke kelenteng Sam Poo Kong di semarang
94 Dalam Kelenteng-Kelenteng
cukup jauh dari rumahnya dan harus menyediakan
biaya yang cukup besar untuk tranfortasi dan
akomodasi. Oleh sebab itu, cukup dia lakukan di
rumahnya saja meskipun tanpa mengunjungi kelenteng
Sam Poo Kong. Menurut ibu tersebut, pemujaan pada
dewa Sam Poo Kong yang dilakukan di rumah, kalau
bisa jangan sampai diketahui oleh tetangga dan
masyarakat sekitarnya, nanti dapat dianggap
memelihara tuyul dan tetangga akan menaruh curiga
padanya. Perasaan curiga, malu terhadap tetangga juga
ada pada ibu ini, sehingga dia pandai menyembunyikan
apa yang dia lakukan. Meskipun tetangga tidak
mengetahui apa yang dipraktikan ibu ini di rumah,
namun anggota keluarga pasti dengan mudah dapat
mengetahuinya. Dalam kasus ini, anggota keluarga
juga harus menjaga kerahasiaannya, agar informasinya
tidak menyebar ke mana-mana.
Seorang ibu datang dari Ambarawa, dia datang
ke tempat ini untuk meminta pada dewa Sam Poo Kong
agar kasus yang menimpa dirinya dapat diselesaikan.
Dia memiliki utang yang banyak pada pada orang lain,
akibat rugi dalam berdagang. Orang yang
mengutangkan selalu datang menagih hutangnya dan
kadangkala dia menggunakan jasa preman untuk
menakut-nakutinya.Dia minta pada dewa Sam Poo
Kong agar orang yang mengutangkan dapat dilunakan
hatinya dan tidak selalu datang menagih hutangnya.
Jika berhasil, dia akan datang lagi ke kelenteng untuk
menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada dewa
Sam Poo Kong.
Di samping meminta pertolongan pada Cheng
ho, orang yang datang ke sini juga biasanya berniat
Pratik Islam Nusantara 95
untuk menyumbangkan sesuatu kepada dewa Sam Poo
Kong kalau keinginannya diwujudkan atau usahanya
berhasil. Salah satu bentuk sumbangan yang diberikan
oleh para penyumbang yang usahanya telah berhasil
setelah memohon kepada dewa Sam Poo Kong adalah
“lilin merah” yang apabila dinyalakan bisa mencapai
10 bulan tidak dimatikan. Lilin adalah simbol dari
penerangan dan roh orang yang mati masih tetap hidup
mengawasi manusia (Tanggok 2006). Lilin merah
bukanlah sekedar alat penerangan, namun dibaliknya
penuh dengan makna.Setiap orang dan sukubangsa,
mempunyai penafsiran tersendiri terhadap lilin,
sehingga lilin penuh dengan makna simbolik.
Seorang tukang kebersihan kelenteng
menceritakan bahwa pada tahun 2002 ada seorang ibu
dari Jakarta yang pekerjaannya sebagai pedagang atau
pengusaha, namanya Hajah Jubaidah (seorang
muslimah). Setelah memohon sesuatu kepada dewa
Sam Poo Kong, usahanya berhasil, maka dia
menyumbangkan beberapa pasang lilin (kira -kira tiga
pasang atau enam batang) yang harga satu pasangnya
(dua batang) sekitar 3,5 juta rupiah. Diperkirakan garis
tengah lilin ini berukuran 30 cm dan panjangnya 200
cm, serta dilapisi plastik terang.
Tukang sapu kelenteng ini mengungkapkan
kegembiraannya karena pada saat menurunkan lilin -lin
tersebut dari mobil dan disimpan di teras bagian depan
kelenteng, dia di bayar 100 ribu rupian. “Maklumlah
gaji tukang sapu seperti saya ini kecil, demikian
ungkapnya dan ketika mendapat uang Rp. 100.000, -
alangkah bahagia rasanya.” Demikian ungkap tukang
sapu dengan rasa gembira telah mendapatkan upah dari
96 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Hajah Jubaidah (Tanggok 2006). Hajah Jubaidah
adalah salah satu dari seorang pedagang muslim yang
selalu mengunjungi kelenteng ini untuk memohon
sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong. Sedangkan
contoh muslim yang lain banyak lagi yang tidak b isa
disebutkan satu-persatu namanya.
Dua orang pemuja di kelenteng Sam Poo Kong
(Sumber: Google)
3.3. Pemujaan Juru Mudi Dampo Awang 3.3.1 Gambaran Umum Ruangan Pemujaan Dampo
Awang
Ruang pemujaan Dampo Awang adalah sebuah
ruangan yang sengaja di buat dan digunakan untuk
memuja Juru Mudi Dampo Awang. Sebagaimana
ruangan-ruangan pemujaan untuk dewa-dewa yang
lain, ruangan pemujaan Juru Mudi Dampo Awang juga
mempunyai altar sembahyang dan di atasnya
diletakkan semua perlengkapan sembahyang.
Pratik Islam Nusantara 97
Ruangan ini terletak di samping sebelah kanan tempat
pemujaan Cheng Ho, ada tempat pemujaan Kyai Juru
Mudi Dampo Awang, yang juga banyak dikunjungi
orang, terutama orang-orang Islam pada malam Jumat
Kliwon, terdapat sebuah ruangan khusus untuk
melakukan pemujaan pada Juru Mudi Dampo Awang.
Jika kita menghadap kearah kelenteng, maka ruangan tempat
pemujaan Juru Mudi Dampo Awang ini berada di sebelah
kanannya ruangan utama (tempat pemujaan Sam Poo Kong)
atau berada di sebelah kiri dari kelenteng tempat pemujaan
dewa bumi. Ruangan pemujaan Juru Mudi Dampo Awang ini
termasuk kedua dari kelenteng dewa bumi. Ruangan ini
sudah direnopasi dan kelihatannya sudah lebih baik
dari ruangan sebelumnya.Sebagaimana kita ketahui,
pada tahun 2002 kelenteng Sam Poo Kong ini sempat
di renopasi sehingga bangunan lama berubah menjadi
baru dan kelihatannya lebih moderen.
Ruangan tempat pemujaan Kyai Juru Mudi
Dampo Awang ini berukuran kira-kira 6 x 6 metter.
Sejak tahun 2002 yang lalu, tempat ini sudah
diperbaharui sejalan dengan pembangunan kembali
ruangan utama (tempat pemujaan Cheng Ho).
Kelenteng ini terbuka karena tidak ada pintu maupun
jendela, hanya ada tembok pembatas yang tingginya
sekitar 1 metter dan tidak ubahnya seperti pagar rumah
yang terbuat dari batu bata. Di dalam ruangan in i ada
sebuah meja besar (altar) yang ukurannya kira -kira 2 x
2 metter. Meja ini digunakan untuk meletakkan
perlengkapan sembahyang atau pemujaan, seperti hiolo
(tempat hio) yang kelihatannya terbuat dari tembaga
berwarna kuning, lilin, dan lain-lain. Meja ini dapat
juga disebut sebagai altar tempat sembahyang atau
98 Dalam Kelenteng-Kelenteng
pemujaan. Di dalam hiolo ada beberapa batang hio
yang sedang terbakar, yang menunjukkan bahwa ada
orang yang telah melakukan sembahyang sehingga hio
nya masih terlihat menyala. Dalam hiolo tersebut
dipenuhi dengan abu bekas pembakaran hio. Oleh
karena itu, diperlukan petugas kelenteng yang selalu
memperhatikan hiolo tersebut, yaitu jika dia penuh
dengan batangan hio yang sudah terbakar dan dipenuhi
oleh abu hio, maka petugas dengan segera
membersihkannya atau mengambil abu tersebut untuk
dikurangi sehingga memudahkan para pemuja untuk
menancapkan hio. Demikian juga jika batangan hio
yang sudah terbakar sudah memenuhi tempat tersebut,
maka petugas dengan segera mengambilnya untuk
dibawa ke tempat sampah atau ke tempat khusus
menampung batangan hio dengan abunya (Tanggok
2006). Kadangkala abu hio ini dibuang ke laut agar
tidak dibuang sembarang tempat, karena abu ini
dianggap abu suci bekas orang-orang melakukan
sembahyang.
Di belakang meja atau altar tersebut terdapat
sebuah kuburan atau makam tua yang dikeramatkan
oleh banyak orang, baik orang-orang yang mengaku
sebagai muslim, maupun orang-orang Tionghoa non
muslim. Makam ini diyakini sebagian orang sebagai
makam Juru Mudi Dampo Awang yang mati dan
dikuburkan di situ. Juru Mudi Dampo Awang adalah
juru mudi kapalnya Cheng Ho ketika berkunjung
berbagai negara pada abad ke-15. Ruangan tempat
makam Juru Mudi Dampo Awang ini tidaklah terlalu
luas, hanya kira-kira 2 x 6 metter. Ruangan inilah yang
menjadi tempat makam tua tersebut berada dan
Pratik Islam Nusantara 99
dikeramatkan banyak orang. Makam tersebut cukup
sederhana, tidak seperti makam-makam kebanyakan di
masa modern ini (Tanggok 2006). Namun sekarang
tempat keberadaan makam tersebut sudah diperbaiki
sehingga kelihatannya lebih moderen.
Ruangan ini dijaga oleh dua orang juru kunci
dengan cara bergiliran sebanyak 2 orang. Orang
pertama bekerja dari pukul 08;00 sampai dengan pukul
16:00, dan orang kedua bekerja dari pukul 16:00
sampai dengan pukul 22:00. Dia bertugas sebagai
perentara antara pemohon (orang yang datang untuk
memohon sesuatu kepada Dampo Awang) dengan roh
Dampo Awang yang diyakini keberadaannya di makam
tersebut. Juru kunci ini seorang laki -laki yang usianya
sekitar 50 tahun, memakai baju lengan panjang
berwarna hitam, peci hitam dan kain sarung,
kadangkala juga dia menggunakan celana hitam. Di
dalam ruangan ini tidak ada kursi dan para tamu yang
datang cukup dengan duduk bersila atau bersimpuh di
atas tikar di depan makam. Ada sebuah bangku yang
hanya bisa menampung 3 orang. Jika tidak ada
pengunjung, juru kunci selalu duduk di bangku ini.
Orang-orang yang akan memohon sesuatu tidak
dibolehkan masuk dengan menggunakan sandal atau
sepatu, tapi dilepas terlebih dahulu baru masuk ke
dalam ruangan tersebut. Ruangan ini hanya dapat diisi
sekitar lima orang, lebih dari itu mereka akan
mengalami kesulitan untuk duduk bersila karena
ukuran ruangan terlalu kecil dekat makam. Orang yang
tidak mempunyai keinginan untuk memohon sesuatu
pada Dampo Awang dan hanya sekedar ingin melihat-
lihat makam atau ingin melihat bagaimana cara juru
100 Dalam Kelenteng-Kelenteng
kunci memimpin upacara pada saat ada orang yang
akan memohon sesuatu pada Dampo Awang, juga tidak
dilarang untuk masuk asalkan minta izin kepada
penjaga makam atau ikut serta dalam rombongan orang
yang akan memohon sesuatu. Para pengunjung juga
tidak dibolehkan untuk bicara keras di depan makam,
karena makam itu dianggap suci dan kramat dan juga
dapat mengganggu kekhusukan orang lain untuk
berdoa di makam.
Pada malam hari, makam ini tidak disinari
lampu yang cukup terang, hanya diterangi bola lampu
sekitar 15 wat, sehingga terlihat dari jauh dalam
keadaan remang-remang. Apakan lagi sekarang ada
peraturan Yayasan Sam Poo Kong bahwa kelenteng
hanya buka dari pukul 8 pagi hingga pukul 9 malam,
tidak sama seperti 10 tahun lalu di mana kelenteng
buka selama 24 jam. Sehingga pada malam hari
ruangan makam tersebut tampak hanya sekedar
remang-remang yang agak menyeramkan bagi orang
yang belum terbiasa masuk ke ruangan ini. Tapi bagi
juru kunci yang sudah tiap hari bertugas di sini, ruanan
ini sudah seperti rumah mereka sendiri dan tidak ada
perasaan menakutkan atau menyeramkan. Bahkan
mereka dapat tidur dengan nyenyak di sini di sini
sampai keesokkan harinya. Meskipun makam ini
berada di dalam lokasi kelenteng Sam Poo Kong,
namun suasananya tidak menakutkan, mungkin karena
banyak para pengunjung yang datang ke sini sehingga
lokasi makam berubah menjadi lokasi rekreasi dan
membuat nyaman bagi setiap pengunjung untuk
melepaskan lelahnya di lokasi ini.
Pratik Islam Nusantara 101
Mengenai kisah makam Islam yang terdapat di
samping Goa Sam Poo Kong di Semarang, diceritakan
dalam karyanya Tju Kie Hak Siep (1954) Dalam
karyanya itu Tju Kie Hak Siep menceritakan tentang
temannya Cheng Ho yang oleh masyarakat Semarang
dikenal sebagai Kyai Guru dan juga dikenal sebagai
Juru Mudi Cheng Ho yang bernama Wang Jing Hong.
Di Indonesia terkenal pula dengan dialek Fujiannya
dengan sebutan Ong King Hong atau Ong Hing Tek.
Berdasarkan sejarah, pada saat kapal-kapal Cheng Ho
memasuki perairan pulau Jawa, dia jatuh sakit, maka
Cheng Ho memutuskan untuk mampir di suatu tempat,
yang sekarang dikenal dengan Semarang. Tempat
pendaratan Cheng Ho yang juga diikuti oleh 4 orang
pembantunya itu dikenal dengan daerah Mangkang.
Karena kapal-kapal yang besar tidak bisa merapat,
maka terpaksa Cheng Ho bersama 4 orang anak
buahnya menggunakan perahu-perahu wangkang
(perahu kecil) untuk membawa Wang Jing Hong
merapat ke darat. Mereka terus berlayar menyusuru
sungai, sehingga mereka menemukan daerah yang
dikenal dengan Gedung Batu. Di daerah itu mereka
menemukan sebuah gua batu besar. Letak gua batu itu
kira-kira jaraknya 50 m dari gua batu yang ada di
komplek kelenteng Gedung Batu atau kelenteng Sam
Poo Kong sekarang ini.
Untuk kepentingan peristirahatan, terutama
peristirahatan untuk Wang Jing Hong yang dalam
keadaan sakit, Cheng Ho memerintahkan kepada 4
orang anak buahnya membuka hutan untuk membangun
sebuah tempat peristirahatan. Setelah selesai
membangun tempat peristirahatan, lalu Wang Jing
102 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Hong ditempatkan di situ. Setelah 10 hari beristirahat
di situ, penyakit Wang Jing Hong belum juga sembuh.
Karena alasan waktu, maka Cheng Ho dan juru
mudinya yang lain memutuskan untuk meneruskan
perjalanan atau perjalanan ke daerah lain. Sementara
Cheng Ho dan anak buahnya yang lain meneruskan
perjalanan ke berbagai daerah, maka Wang Jing Hong
untuk sementara ditinggalkan ditempat peristirahatan
agar kesehatannya pulih kembali. Untuk mengurus
Wang Jing Hong yang dalam keadaan sakit tersebut,
Cheng Ho memerintahkan 10 orang anak buah
kapalnya yang beragama Islam untuk merawat dan
mengurus keperluannya sampai dia benar -benar
sembuh dari sakitnya dan dapat lagi bersama-sama
dengan Cheng Ho meneruskan perjalanan laut untuk
mengunjungi daerah-daerah yang telah dan belum
pernah dikunjungi. Untuk keperluan transportasi dan
kebutuhan hidup sehari-hari, Cheng Ho juga
meninggalkan sebuah perahu wangkang beserta dengan
perbekalannya (Tju Kie Hak Siep 1954) untuk
persediaan anak buahnya tinggal di darat.
Setelah sembuh dari sakitnya, Hong bersama 10
orang pembantunya tidak segera meninggalkan Gua
Batu untuk menyusul Cheng Ho dan teman-temannya
yang lain, tapi mereka membina kehidupan baru di
daerah itu dan sambil menjalankan ibadah sesuai
dengan agama yang mereka anut. Setelah 5 tahun
menetap di daerah Gedung Batu, Hong beserta
pembantunya memutuskan untuk berlayar dengan
menggunakan perahu wangkang. Dalam perjalanan itu
mereka menuju ke Timur sampai ke daerah
Banyuwangi dan meneruskan perjalanannya lagi
Pratik Islam Nusantara 103
sehingga sampai ke pelabuhan Jakarta. Karena dia
dianggap orang yang pandai atau menguasai ajaran
agama Islam, maka banyak orang yang menuntut ilmu
kepadanya, oleh murid-muridnya dia dipanggil Kyai
Guru, karena dia adalah mengajar tentang Islam untuk
kepentingan banyak orang (Tju Kie Hak Siep 1954).
Setelah Kyai guru ini meninggal dunia, banyaklah
orang datang kekuburannya untuk mendoakannya dan
juga memohon sesuatu kepadanya.
Meskipun sudah lama berpisah dengan Cheng
Ho, namun Hong masih tetap mengingat jasa baik
pemimpinnya itu. Untuk mengenang jasa-jasanya,
terpaksa Hong meluangkan sedikit waktunya untuk
membuat patung Cheng Ho dan 4 orang yang sangat
dipecayai oleh Cheng Ho. Untuk membuat patung-
patung tersebut, Hong memanfaatkan batu gunung
yang ada disekitar tempat tinggalnya. Setelah selesai
membuat patung-patung tersebut, Hong meletakkan
patung-patung tersebut ke dalam gua batu bekas Cheng
Ho dan teman-temannya, termasuk dia beristirahat
dahulu. Diberitakan bahwa hampir setiap hari Hong
dan murid-muridnya mengunjungi gua batu itu hanya
sekedar untuk menghormati patung Cheng Ho dan para
orang-orang kepercayaannya. Setelah 40 tahun Hong
dan para pengikutnya menempati lokasi gua batu
tersebu, Hong dipanggil Tuhan dalam usia 87 tahun.
Dia dimakamkan sesuai dengan agama yang dia anut,
yaitu Islam dan dia dimakamkan disebelah Utara
Gedung Batu. Sejak itulah, makamnya disebut sebagai
makam Juru Mudi Dampu Awang dan sampai saat ini
makam tersebut dianggap sebagai makam keramat atau
suci, sehingga banyak orang tertarik untu datang ke
104 Dalam Kelenteng-Kelenteng
tempat ini untuk memohon sesuatu kepadanya. Banyak
orang yang datang ke sini, namun mereka tidak tahu
dengan sejarahnya. Mereka hanya tahu bahwa makam
itu dianggap sakral oleh banyak orang dan tempat
orang-orang memohon sesuatu kepadanya.
Ada juga pendapat yang meragukan kebenaran
makam yang terdapat di kompleks kelenteng Sam Poo
Kong itu adalah makam Wang Jing Hong, karena
menurut mereka Wang Jing Hong pernah ditugaskan
oleh kaisar Chu chi untuk memimpin ekpedesi ke
Sumatera, dan pada saat itu dia mengalami nasib yang
tidak baik, yaitu meninggal dilautan yang jauh dari
laut Jawa. Oleh karena itu tidak mungkin dia
dimakamkan di situ, karena meninggalnya ditengah
lautan (Kong Yuan Zhi 2000). Walaupun ada pendapat
yang meragukan tentang keberadaan makam Wang Jing
Hong tersebut, namun banyak juga pendapat yang
membenarkan keberadaan makam tersebut. Bagi
masyarakat yang datang untuk memohon sesuatu pada
makam tersebut, tidak perduli apakah makam yang ada
di komplek kelenteng Sam Poo Kong tersebut adalah
makam Dampo Awang yang sebenarnya atau bukan,
yang jelas mereka datang ke sini untuk memohon
sesuatu dan berharap agar permohonannya dapat
dikabulkan oleh Wang Jing Hong.
3.3.2. Memuja Juru Mudi Dampo Awang
Di samping bagunan utama kelenteng Sam Poo Kong,
ada satu bagunan yang isinya adalah makam Wang Jing Hong.
Dia adalah juru mudi Cheng Ho dan juga seorang muslim
sebagaimana disebutkan sebelumnya. Nama lain dari Wang
Jing Hong ini Dampo Awang. Dampo Awang di sebut sebut
sebagai seorang Kasim sehingga ia tidak menikah sepanjang
Pratik Islam Nusantara 105
hidupnya. Makam Kiyai Jurumudi Dampo Awang ini terletak
dalam ruangan tersendiri sehingga tidak menyatu dengan
ruangan besar sebelahnya yang digunakan untuk pemujaan
umum dan disediakan altar untuk tempat meletakan makanan
dan alat-alat sembahyang. Menurut juru kuncinya, ruangan
makam ini dibuat terpisah sendiri untuk memberikan
kemudahan bagi orang untuk berziarah ke makam, terutama
bagi umat Islam yang akan melakukan ziarah. Bangunan
tempat pemujaan Dampo Awang ini terbagi dalam dua
ruangan, ruangan dalam dan ruangan luar. Ruangan dalam
untuk tempat makam dan ruangan luar untuk tempat pemujaan
umum yang disediakan altar tempat sembahyang, seperti
ruangan-ruangan kelenteng lainnya.
Pemujaan terhadap Dampo Awang sama dengan
pemujaan terhdap dewa-dewa lainnya. Ada dua cara
yang dilakukan orang untuk memuja Dampo Awang.
(1) orang dapat melakukan pemohonan atau minta
sesuatu dengan menyalakan beberapa batang hio di
depan altar sembahyang yang disediakan oleh
pengurus kelenteng. Umumnya mereka yang
melakukan pemujaan dengan menggunakan hio ini
adalah orang-orang peranakan Cina yang non-Islam.
Melalui pemujaan ini orang dapat meminta sesuatu
kepada Dampo Awang (2) Orang dapat memohon
sesuatu tanpa melalui pemujaan terlebih dahulu kepada
Kyai Juru Mudi Dampo Awang di depan altar
sembahyang sebagaimana dilakukan oleh orang-orang
Cina yang non-Islam, tapi dapat langsung menuju
ruangan tempat pemakaman Dampo Awang yang ada di
belakang altar sembahyang dengan melalui pintu
masuk di samping kanan ruangan atau altar. Cara
permohonan ini dapat dilakukan dengan menggunakan
106 Dalam Kelenteng-Kelenteng
bunga atau kembang yang dicampur dengan kemenyan.
Umumnya yang memohon dengan menggunakan bunga
dan menyan ini adalah mereka yang beragama Islam
(Tanggok 2006), sedangkan dengan hio biasanya
dilakukan oleh orang Tionghoa.
Apabila pemujaan akan dilakukan dengan hio,
para pemuja dapat membeli hio ditempat penjualan
perlengkapan sembahyang yang disebut Hio Swa yang
ada di komplek kelenteng Sam Poo Kong, tepatnya di
depan pintu masuk kelenteng Sam Poo Kong. Tempat
ini tidak hanya menjual perlengkapan sembahyang,
tapi juga menyediakan penyewaan pakaian adat
Tionghoa. Jika para pengunjung yang akan bergambar
di kelenteng Sam Poo Kong dengan menggunakan
pakaian adat Tionghoa, dia dapat menyewa di tempat
ini. Sewa pakaian adat tersebut sekitar delapan puluh
ribu rupiah. Tempat ini juga menjual makanan ringan,
seperti minuman, dan kue-kue lainnya yang dapat
dinikmati oleh para pengunjung sambil menikmati
pemandangan di kelenteng Sam Poo Kong.
Orang-orang yang akan melakukan pemujaan
terhadap Kyai Juru Mudi Dampo Awang dengan
menggunakan hio, dapat dia lakukan dengan terlebih
dahulu membeli hio ditempat penjualan hio, kemudian
hio tersebut dibawa ke altar tempat pemujaan Dampo
Awang, di sana hio tersebut dinyalakan, setelah itu
pemuja harus melakukan sembahyang terlebih dahulu
kepada Tuhan dengan menghadap ke luar ruangan atau
ke langit (maksudnya adalah sembahyang kepada
Thian atau Tuhan), dan setelah itu baru melakukan
pemujaan terhadap Dampo Awang. Akhir dari
pemujaan ditandai dengan menancapkan batangan hio
Pratik Islam Nusantara 107
di hiolo (tempat menancapkan hio) yang terletak di
meja atau altar tempat pemujaan Dampo Awang
(Tanggok 2006). Jika sembahyang menggunakan jasa
juru kunci kelenteng, maka hio ditancapkan sendiri
oleh juru kunci. Biasanya umat Islam tidak melakukan
sembahyang sendiri, namun mereka menggunakan jasa
juru kunci. Bagi umat Islam, sembahyang atau memuja
seperti yang dilakukan oleh orang Tionghoa, tidaklah
terbiasa baginya. Oleh karena itu lebih baik diserahkan
sepenuhnya oleh juri kunci yang membimbingnya.
Bagi masyarakat non Jawa, semua hari Jumat
adalah sama dan tidak mempunyai makna apa-apa.
Bagi masyarakat Jawa, hari Jumat mempunyai makna
tersendiri dan disakralkan. Dalam masyarakat Jawa
juga mengenal istilah Jumat kliwon. Jumat kliwon
merupakan hari yang penting bagi para pengunjung
kelenteng Sam Poo Kong, karena pada malam Jumat
inilah para pengunjung banyak yang datang ke
kelenteng untuk memohon sesuatu. Mereka
berkeyakinan jika memohon sesuatu pada malam Jumat
kliwom, maka doanya mudah terkabulakan. Pada
malam Jumat kliwon, merekapun berbondong-bondong
datang ke kelenteng ini karena ingin agar doanya cepat
terkabulkan. Permintaan mereka juga bermacam-
macam sesuai dengan keinginannya masing-masing.
Umumnya mereka yang datang pada malam Jumat
kliwon adalah umat Islam. Mereka datang dari
berbagai daerah di pulau Jawa dan untuk memohon
sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong.
Orang muslim datang ke sini, dengan tujuan
untuk memohon sesuatu kepada Dampo Awang,
mereka harus membeli bunga atau kembang dan
108 Dalam Kelenteng-Kelenteng
menyan terlebih dahulu, kemudian bunga dan menyan
yang telah dibeli dibawa ke kuburan Dampo Awang
dan diserahkan kepada Juru kunci. Tujuannya agar juru
kunci dapat membantu menjadi perentara antara
pemohon dengan Kyai Juru Mudi Dampo Awang.
Caranya adalah para pemohon dan juru kuci duduk
dekat kuburan Juru Mudi, kemudian pemohon
menyerahkan bungkusan yang berisi kembang kepada
juru kunci dan juru kunci menanyakan keinginan
tamunya. Setelah mengetahui keinginan tamunya, juru
kunci membakar menyan dan kembang yang tempat
pembakarannya sudah disediakan di depan kuburan
tersebut. Setelah menyan yang dibakar itu
mengeluarkan asap, juru kunci membaca doa-doa yang
sering digunakan oleh orang Islam dan dicampur
dengan bahasa Jawa yang bersumber dari kejawen.
Kira-kira 5 menit berdoa dan menyampaikan keinginan
pemohon kepada Kyai Juru Mudi, maka upacara
memohon sesuatu kepada Kyai Juru Mudi Dampo
Awang dianggap selesai. Kemudian, juru kunci
mengambil sisa bunga yang belum dibakar dan
dicampur dengan menyan yang telah dibakar, lalu
dibungkus dengan kertas putih sebanyak 3 bungkus
dan diserahkan pada pemohon untuk dibawa pulang
(Tanggok 2006). Selesai menyampaikan keinginannya,
pemohon bias saja langsung pulang, dan bias juga
berbincang-bincang terlebih dahulu kepada juru kunci.
Sebagai ucapan terima kasih kepada juru kunci atas
jasa yang diberikannya, maka pemohon dapat memberi
sedikit uang kepada juru kunci. Jumlah uang yang
diberikan oleh pemohon kepada juru kunci tidaklah
ditentukan besarannya oleh juru kunci, tapi
Pratik Islam Nusantara 109
berdasarkan keikhlasan dari pemohon. Berapapun uang
yang kita berikan pada juru kunci pasti akan
diterimanya dengan sangat senang hati. Sebagaimana
tradisi dalam kehidupan sehari-hari, kita minta tolong
pada seseorang dan kita harus bertanggung jawab
membayar upahnya. Ungkapan ini juga berlaku bagi
juru kunci dan para pemuja, cuma saja tidak
diungkapkan. Juru kunci selalu menerima pemberian
orang apa adanya tanpa ada tawar menawar terlebih
dahulu.
Juru kunci kuburan Juru Mudi Dampo Awang ini
dikenal sebagai orang yang yang bergama Islam.
Dalam melaksanakan tugas, dia menggunakan peci
hitam, baju hitam dan celana hitam. Kadangkala juga
mereka mengenakan kain sarung hitam, dan usianya
diperkirakan di atas 50 tahunan. Juru kunci yang
bertugas melayani pemohon terdiri dari 2 orang, dan
mereka bertugas secara bergiliran. Pelayanan yang
mereka berikan dari pukul 08:00 sampai 21:00. Juru
kunci pertama bertugas dari pukul 08:00 sampai
dengan pukul 16:00 dan juru kunci kedua bertugas dari
pukul 16:00 sampai dengan pukul 21:00. Dari pukul
21:00 sampai pukul 07:00 kleneng ditutup untuk para
pemohon atau pemuja yang akan melakukan ritual.
Juru kunci tidak mendapatkan gaji dari yayasan
kelenteng, dan hanya mendapatkan upah dari orang-
orang yang menggunakan jasanya. Meskipun hanya
mengandalkan upah dari pemohon, namun mereka
tampak senang menjalani profesi sebagai juru kunci.
Menurut juru kunci yang bukan beragama Islam,
bahwa doa-doa yang dibaca oleh Juru kunci yang
beragama Islam pada saat berdoa didepan kuburan
110 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Kyai Juru Mudi Dampo Awang bukanlah doa-doa
Islam, tapi doa-doa kejawen. Dan menurut dia, mereka
(Juru Kunci) bukanlah beragama Islam, tapi mereka
adalah seorang penganut kejawen. Tapi pada saat saya
menanyakan pada juru kunci bahwa agama nya apa,
mereka menjawab bahwa agama mereka adalah Islam.
Mereka membedakan antara pengertian shalat dengan
sembahyang. Menurut mereka, shalat dilakukan di
rumah atau di mesjid, sedangkan sembahyang dapat
dilakukan di tempat pemujaan Juru Mudi Dampo
Awang.
Menurut informasi dari seorang ibu yang
berkunjung di situ, bahwa menyan atau kemenyan yang
disebutkan di atas dapat digunakan untuk jimat,
caranya dimasukkan dalam dompet atau di simpan di
rumah untuk sebagai pelindung anggota keluarga.
Kembang dapat dicampur dengan air mandi, kemudian
digunakan untuk mandi pada jam 12 malam. Fungsi
kembang untuk kesehatan tubuh, menjaga tubuh dari
segala penyakit, dan menolak segala bahaya yang
dapat menganggu manusia. Fungsi -fungsi lain dari
kembang adalah untuk menjaga tubuh dan wajah agar
tetap cantik jika dilihat orang lain dan menjaga diri
seseorang dari serangan mahluk halus atau gaib
(Tanggok 2006). Setiap orang mempunyai keyakinan
berbeda-beda terhadap menyan dan daun kembang
yang digunakan untuk memohon pada Dampo Awang.
Setiap orang juga mempunyai kebebasan untuk
menafsirkan fungsi atau manfaat dari kembang dan
menyan. Karena terbuka untuk ditafsirkan, maka
menyan, kembang dan alat ritual lainnya dapat
dianggap simbol dalam ritual.
Pratik Islam Nusantara 111
Kelenteng Utama Sam Poo Kong Semarang
(Sumber: Google)
3.4. Pemujaan Dewa Bumi Dewa Bumi juga disebut Fu De Zheng Shen,
umumnya disebut Tu Di Gong (Te Kong-Hokkian).
Dewa Bumi merupakan salah satu dewa yang tertua
usianya, dan dia juga disebut sebagai Hou Tu (E.
Setiawan 1990: 109). Selain tempat pemujaan Sam Poo
Kong atau Cheng Ho, Wang Jing Hong, terdapat juga
di dalam komplek kelenteng Sam Poo Khong tempat
pemujaan dewa tanah atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Fu De Zheng Shen (Hok Tek Tjing Sin) atau
dapat juga disebut dengan Tudi Gong (Tho Tee Kong)
atau De Bai Gong atau Dewa Bumi. Orang-orang Jawa,
khususnya orang Indonesia peranakan Tionghoa
umumnya menyebutnya dengan dewa tanah. Di
Tiongkok dewa ini dikenal dengan Tutikung atau di
Malaisia dikenal dengan sebutan Tua Pekong, artinya
orang yang dituakan (Tanggok 2006). Setiap kelenteng
112 Dalam Kelenteng-Kelenteng
di Indonesia selalu menyediakan satu ruangan dan altar
di dalamnya untuk para pengunjung yang akan memuja
dan memohon sesuatu pada Dewa Bumi.
Sebagian besar orang Tionghoa meyakini bahwa
dewa bumi dianggap sebagai dewa pemelihara
lingkungan yang sangat dekat dengan kehidupan
manusia. Dalam kepercayaan masyarakat Hakka di
Singkawang, setiap jengkal tanah di dunia ini ada yang
memiliki atau menguasainya, jadi kalau kita akan
mengunakan tanah tersebut untuk keperluan
pembangunan atau rumah dan tempat pemakaman,
maka kita harus meminta izin kepada yang menguasai
tanah tersebut. Karena yang menguasai tanah tersebut
adalah mahluk halus, maka kita harus meminta izin
kepadanya agar kita menjadi selamat dalam hidup ini
(Tanggok 2005). Tidak hanya sukubangsa Tionghoa,
sukubangsa lain di Indonesia juga memiliki
kepercayaan semacam ini, misalnya sukubangsa Dayak
di Kalimantan.
Orang Tionghoa juga menggambarkan dewa
bumi ini sebagai seorang tua yang berjenggot putih, di
tangan kanannya memegang uang emas dan ditangan
kirinya memegang tongkat. Uang emas menyimbolkan
sebagai murah rejeki, sedangkan tongkat
menyimbolkan bahwa dia adalah orang yang sudah tua.
Dalam kebudayaan Tionghoa, orang yang sudah tua
harus dihormati, sama dengan kita menghormati orang
tua kita sendiri. Tidak sedikit orang yang memuja
Dewa Bumi, bukan karena tuanya, tapi lebih pada
ingin mendapatkan rejeki yang banyak, usaha lancar
dan sebagainya. Dewa Bumi dianggap wakil dari Thian
(Tuhan) yang ada di bumi untuk mengawasi kehidupan
Pratik Islam Nusantara 113
manusia di bumi dan tempat manusia memohon sesuatu
padanya.
Dalam beberapa kelenteng di Indonesia,
termasuk kelenteng Tai Kak Shi di Semarang, patung
dewa tanah, selalu didampingi oleh seekor harimau.
Berdasarkan kepercayaan orang Tionghoa, harimau
putih adalah binatang peliharaan dewa bumi dan dia
dianggap sebagai pengawal pribadinya. Di manapun
dia (patungnya) ditempatkan pasti disandingkan
dengan patung harimau putih. Haksu Masyari
(rohaniawan agama Khonghucu) yang pernah
menjelaskan:
Ada seorang ibu yang mempunyai anak laki -laki
yang berusia sekitar 6 tahun. Pada satu hari anak
tersebut hilang. Hampir satu minggu dia mencari
anaknya tapi tidak juga ketemu. Atas kehilangan
anaknya tersebut dia sangat sedih sekali, bahkan dia
sempat tidak makan dan minum memikirkan anaknya.
Dalam keadaan sedih tersebut, tiba-tiba datang seekor
harimau putih yang mengatakan bahwa dialah yang
memakan anaknya. Atas kesalahannya itu, dia rela
dibutuh atau dihukum seberat-beratnya. Katulusan dan
kejujuran harimau putih tersebut membuat seorang ibu
yang kehilangan anaknya membatalkan niatnya untuk
membalas dendam. Karena ketulusan dan kejujuran
harimau itu pula yang membuat ibu tersebut kembali
menghormati harimau tersebut dan menjadi bersahabat
dengan dia (Tanggok 2006). Bagi orang Tionghoa,
siapapun yang dapat berbuat baik kepada manusia
wajib kita hormati, termasuk jenis binatang sekalipun.
Kesimpulan dari cerita di atas adalah kejujuran.
Kejujuran adalah kunci segala-galanya. Dalam rumah
114 Dalam Kelenteng-Kelenteng
tangga, dalam perusahaan, dalam masyarakat dan
dalam memimpin suatu Negara, dituntut adanya
kejujuran. Dalam kebudayaan orang Tionghoa, seorang
pegawai yang jujur dapat dapat dipercaya oleh
pimpinan ketimbang seorang anak kandung yang tidak
jujur. Ini artinya bahwa kejujuran itu dapat
mengalahkan ikatan kekeluargaan dan juga
persahabatan.
Bangunan atau ruang dalam kelenteng Sam Poo
Kong ini tidak hanya dikunjungi oleh orang-orang
Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia, tapi juga
orang-orang non Tionghoa. Tempat pemujaan dewa
tanah ini ditandai dengan disediakannya 1 buah altar
yang khusus untuk orang-orang memuja dewa tanah.
Di atas altar diletakkan alat-alat sembahyang dan hiolo
(tempat abu pembakaran hio). Tempat ini tidak hanya
digunakan oleh orang untuk memuja dewa tanah, tapi
juga digunakan untuk meminta sesuatu dengan dewa,
baik lewat perentraan juru kunci kelenteng maupun
dilakukan sendiri-sendiri. Setelah melakukan
pemujaan, seseorang atau sekelompok orang dapat juga
mengunakan ciamsi untuk meramal keberuntungan di
masa akan datang.
Ciamsi adalah salah satu jenis alat yang
digunakan oleh para pemuja untuk meramal masa
depan mereka. Meskipun alat ini tidak selalu tepat
dalam memberikan ramalan, namun para pengunjung
kelenteng masih tetap meyakininya. Sebagaimana alat -
alat ramalan lainnya, ada yang percaya seratus persen
dan ada juga yang tidak percaya sama sekali. Bagi
mereka yang percaya pada ramalan ini, mereka masih
tetap menggunakannya.
Pratik Islam Nusantara 115
Tempat Pemujaan Dewa Bumi
3.5. Pemujaan Kyai Jangkar Jika kita berkunjung ke kelenteng Sam Poo
Kong di Semarang, kita juga akan berjumpa dengan
suatu tempat atau rumah yang digunakan oleh para
pengunjung untuk meminta sesuatu kepadanya. Tempat
atau rumah ini terletak di dalam lokasi kel enteng Sam
Poo Kong. Isi dari rumah itu adalah jangkar kapal
yang usianya tidak dapat diketahui secara pasti berapa
usianya. Jangkar kapal ini berukuran besar dan
panjangya sekitar 2 metter dan panjang daun
jangkarnya sekitar 0,5 metter. Jangkar kapal ini di
simpan bagian kiri pojok bagian belakang bangunan.
Luas bangunan yang digunakan untuk menempatkan
jangkar kapal ini kira-kira berukuran 5 x 5 metter.
Bangunan yang digunakan untuk menempatkan
jangkar kapal ini hanya berbentuk rumah biasa,
sederhana, tidak ada pintu, dan tidak ada jendela.
Bagian depannya terbuka seperti bagian depan ruku,
116 Dalam Kelenteng-Kelenteng
sehingga para pengunjung dapat dengan bebas melihat
isi bangunan dari luar bangunan. Untuk melihat
jangkar yang ada di dalam bangunan, kita haru masuk
ke dalam bangunan tersebut, sehingga dengan leluasa
kita dapat melihat jangkar kapal secara dekat. Karena
tidak ada jendela, maka kondisi di dalam bangunan itu
agak sedikit gelap. Pada malam hari, lampu yang
dipasang dalam bangunan ini juga tidak begitu terang,
sehingga kondisi dalam ruangan ini tidak begitu
terang.
Kyai jangkar yang dimaksud dalam tulisan ini
bukanlah seorang manusia dan bukan pula seorang
yang memiliki pengetahuan keagmaan yang luas, tapi
dia adalah jangkar kapal yang sebenarnya dan yang
dimitologikan sebagai orang yang memiliki kekuatan
tersendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Budiman yang
dimaksud kyai jangkar yang menempati suatu ruangan
di kelenteng Sam Poo Kong ini ada sebuah jangkar
kapal ukuran besar yang dikeramatkan sebagai jangkar
kapal Cheng Ho. Jangkar kapal yang memata dua atau
berdaun dua ini, lebih mirip dengan jangkar kapal
buatan orang Eropa di masa pemerintahan Belanda
dahulu. Apakah jangkar kapal ini adalah jangkar kapal
Cheng Ho yang sebenarnya? Tentu saja belum ada
bahan-bahan tertulis yang menginformasikan tentang
kebenaran itu. Belum ada juga penelitian yang
mendalam tentang jangkar kapal itu dan oleh karena
itu kita belum dapat mengetahui kebenarannya.
Kebenaran itu hanya ada dalam keyakinan, namun sulit
juga membuktikannya secara ilmiah, karena belum ada
kebenaran ilmiah yang membuktikannya. Tidak
penting bahwa jangkar kapal itu apakah jangkar kapal
Pratik Islam Nusantara 117
Cheng Ho atau bukan, namun sebagian besar orang
Tionghoa di Semarang meyakini bahwa itu adalah
bekas jangkar kapal Cheng Ho (Tanggok 2006).
Meskipun demikian, para pemuja dan pengunjung
meyakininya sebagai jangkar kapal Cheng Ho.
Tentu saja dalam diri kita masih menyimpan
sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana jangkar kapal itu
sampai disimpan di salah satu ruangan atau tempat
pemujaan di kelenteng Sam Poo Kong? Menurut
Budiono, sebagaimana dikutif oleh Singgih (Singgih
1986:102), bahwa di Semarang ada sebuah kampung
yang dikenal dengan kampung Sebandaran.
Kampung yang dilalui kali Semarang ini disebut
juga dengan kampung She Ong. Karena itu kali yang
terdapat tidak jauh dari kelenteng Sam Poo Kong di
Semarang tersebut juga dikenal dengan kali She Ong.
Kampung Sebandaran ini dahulunya merupakan
pelabuhan sungai yang penting bagi Semarang, yang
selalu dilalui oleh kapal-kapal dari luar negeri, dan
ada kemungkinan kapal-kapal Cheng Ho juga melintasi
sungai ini dan jangkar kapalnya tertinggal di situ.
Dahulunya kampumg ini adalah dekat dengan
lautan sehingga memudahkan kapal -kapal besar
merapat di daerah ini . Sekarang kampung ini sudah
jauh dari lautan akibat dari daratan yang sudah
melebar ke laut. Akibatnya luas permukaan bumi
semakin tahun semakin bertambah. Bangunan
perumahan sudah banyak kita temukan di mana-mana
dan termasuk tempat ibadah umat beragama. Ruko-
ruku tempat orang berdagang barang-barang keperluan
sehari-hari juga sudah banyak dijumpai di mana-mana.
Tidak hanya itu, setiap tahun penduduknya semakin
118 Dalam Kelenteng-Kelenteng
bertambah banyak. Penduduknya tidak hanya berasal
dari daerah Semarang dan sekitarnya, tapi banyak juga
yang berasal dari daerah lain.
Diyakini Jangkar Kapal Cheng Ho
Sumber: Google
3.6. Mitos Akar Kayu Mitos akar kayu adalah cerita-cerita yang
berkaitan dengan akar kayu yang tumbuh di depan
bangunan Kyai Jangkar. Di depan bangunan atau di
halaman bangunan tempat pemujaan Kyai Jangkar, ada
sebuah pohon kayu besar, yang oleh juru kunci
kelenteng menganggap usia pohon itu sama dengan
usia pertama kali kedatangan Cheng Ho ke Semarang
pada abad 15. Menurut cerita yang saya dapatkan dari
salah seorang juru kunci yang menjaga tempat
pemujaan Kyai Jangkar bahwa pohon itu tumbuh
berasal dari rantai jangkar kapalnya Cheng Ho.
Dugaan ini dianggap cukup kuat karena melihat akar
dari pohon kayu tersebut mirip dengan rantai jangkar
Pratik Islam Nusantara 119
kapal saat ini. Akar kayu yang menyerupai rantai
jangkar kapal itu tidak hanya membentang di tanah,
tapi juga sudah melilit di dahan-dahan kayu dan
sampai ke atap bangunan tempat pemujaan Kyai Juru
Mudi Cheng Ho (Tanggok 2005; Tanggok 2006). Akar
kayu ini menjadi salah satu pusat perhatian oleh para
pengunjung kelenteng.
Akar kayu ini tidak ada yang berani
menganggunya, apalagi mau memotongnya, karena dia
dianggap punya sejarah yang panjang, dan bahkan
telah dikeramatkan orang karena bentuknya yang unik
(menyerupai jangkar kapal). Jika orang datang ke sini
banyak yang menyaksikan keunikan akar pohon kayu
tersebut. Ada orang yang percaya terhadap cerita -
cerita mengenai akar kayu tersebut dan ada yang hanya
sekedar mendengarkan cerita itu dan tidak
mempercayainya. Meskipun demikian banyak orang
yang datang ke sini merasa rugi jika tidak melihat
keunikan akar kayu yang menyerupai rantai jangkar
kapal tersebut (Tanggok 2006). Akar kayu ini
disakralkan, namun tidak dipuja, dan tidak dimintai
bantuannya oleh para pengunjung kelenteng.
Bagi para pengunjung kelenteng Sam Poo Kong
di Semarang yang ingin mendapatkan cerita tentang
akar kayu yang melilit di pohon dan menyerupai rantai
kapal, mereka dapat meminta keterangan itu pada juru
kunci kelenteng atau juru kunci yang menunggu tempat
pemujaan Kyai Jangkar. Dari keterangan juru kunci,
kita dapat mengetahui bagaimana sejarah dari akar
kayu yang melilit di pohon yang ada di depan tempat
pemujaan Kyai Jangkar. Dapat kita katakana bahwa
akar kayu ini menjadi pusat perhatian para pengunjung
120 Dalam Kelenteng-Kelenteng
kelenteng Sam Poo Kong, khususnya para pengunjung
tempat pemujaan Kyai Jangkar.
Tempat Pemujaan Kyai Jangkar dan Pohon Kayu Tua
yang memiliki akar seperti rantai kapal
(Sumber: indraprawiranegara.com)
3.7. Sembahyang Rebutan Sembahyang rebutan dalam bahasa Mandarin
atau Tionghoa dikenal dengan sebutan Zhong Yuan Jie ,
yaitu sebuah pesta atau perayaan keagamaan lainnya
yang juga terjadi di dalam masyarakat Tionghoa.
Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek
atau tahun yang berdasarkan pada peredaran bulan
(atau sekitar bulan September). Sembahyang ini juga
seringkali disebut sebagai pesta bulan ke 7 tahun
Imlek. Di Serawak-Malaysia perayaan ini dikenal
dengan sebutan Yu Lan Hui (Chinese All Souls’ Day)
(Chang 1993:50) atau di Indonesia dikenal dengan
sebutan “sembahyang rebutan,” dikalangan masyarakat
Hokkian di Jawa disebut sembahyang “Cio Ko, atau
dalam agama Buddha dikenal dengan sebutan hari
Pratik Islam Nusantara 121
“ulambana,” (Marcus 2002:151) dan di Singkawang
dikenal dengan sebutan “sembahyang kubur” atau
dalam bahasa Hakka disebut sembahyang Kha Chi
(Tanggok 2005). Kenapa di Indonesia disebut
sembahyang rebutan? Karena setelah melakukan
sembahyang atau pemujaan pada roh-roh yang tidak
diurus anggota keluarga mereka di dunia, semua
barang-barang berupa makanan yang dipersembahkan
pada roh-roh direbutkan oleh para pemuja, sehingga
setiap orang mendapatkan barang-barang atau makanan
dari hasil rebutannya (Tanggok 2005). Barang-barang
hasil rebutan ini di bawa pulang, dan merupakan
simbol keberuntungan bagi orang tersebut di masa
datang.
Sembahyang rebutan ini berasal dari tradisi
Taois dan Buddhis. Bagi para pengikut Taois
sembahyang rebutan ini ada sebuah pesta untuk
memberi makan roh-roh yang lapar (dalam bahasa
Melayu Malaysia sering disebut sembahyang hantu),
tapi para pengikut Buddhis menganggap sembahyang
ini adalah untuk memperingati roh-roh yang tidak
memiliki anggota keluarga di dunia. Pada masa
lampau, para pengikut Taois melakukan perayaan
Zhong Yuan Jie atau sembahyang rebutan ini selama
satu bulan penuh. Mereka meyakini bahwa pada bulan
ini pintu-pintu neraka dibuka lebar-leabar untuk
memberikan kesempatan pada roh-roh yang belum
terlahir kembali dan roh-roh yang bergentayangan
untuk turun ke bumi dan membaurkan diri dengan
manusia di dunia untuk menikmati makanan yang
disediakan oleh manusia dan barang-barang kebutuhan
lainnya. Roh-roh atau hantu-hantu yang lapar tersebut
122 Dalam Kelenteng-Kelenteng
disebabkan oleh beberapa hal: orang mati, tapi tidak
mempunyai keturunan yang dapat mengurusnya
(Marcus 2002:150), orang mati secara tidak wajar,
orang yang mati janda atau duda (Yang 1970) dan
orang mati yang usianya sudah ratusan tahun, sehingga
keturunan dekat dengannya sudah tidak ada lagi,
sehingga kuburannya tidak ada yang mengurus,
sedangka generasi mereka sekarang sudah tidak kenal
lagi dengannya. Mereka ini perlu dikasi makan pada
saat terjadi upacara sembahyang rebutan (Tanggok
2005).Jika tidak, mereka diyakini dapat mengganggu
kehidupan manusia di dunia.
Tujuan dari sembahyang rebutan ini tidak hanya
untuk memberi makan roh-roh lapar sebagaimana yang
disebutkan di atas, tapi yang lebih penting adalah
mendoakannya agar cepat mengalami proses kelahiran
kembali, dengan demikian mereka (roh-roh) tersebut
dapat memperbaiki diri menjadi lebih sempurna di
alam akhirat.
Sembahyang rebutan ini juga dilakukan oleh
sebagian besar orang Hakka di Singkawang, di mana
pada bulan 7 Imlek mereka yang tinggal di luar
Singkawang maupun di Singkawang kembali lagi
mengunjungi kuburan leluhurnya seperti pada saat
perayaan Ceng Beng. Namun setelah melaksanakan
sembahyang atau pemujaan leluhur di kuburan dan
membakar kertas uang, mereka juga melakukan
sembahyang pada roh-roh yang tidak ada hubungan
kekerabatan dengan mereka bersama-sama dengan
anggota masyarakat lainnya. Menurut keyakinan
mereka bahwa pada hari itu roh-roh yang tidak
diurus18 oleh sanak keluarganya di dunia keluar dari
Pratik Islam Nusantara 123
neraka dan mencari makan di dunia. Karena tidak
diurus, maka mereka tidak mendapatkan makanan dari
keluarga dan oleh karena itu mereka lapar dan
akhirnya diizinkan keluar dari neraka untuk mencari
makan di dunia. Menurut keyakinan orang Hakka di
Singkawang bahwa jika manusia yang hidup tidak
menyediakan makanan pada roh-roh yang lapar
tersebut, mereka dapat menganggu ketenangan hidup
rumah tangga orang dan menjadi “hantu
bergentayangan” di dunia dan mengganggu kehidupan
manusia. Fung Long, seorang informan yang selalu
memberikan informasi kepada saya mengatakan bahwa
hantu-hantu yang bergentayangan itu identik dengan
“hantu preman”. Di sini dia menyamakan hantu -hantu
itu dengan pereman di dunia nyata. Jika pereman
umumnya senang mengganggu orang lain jika perutnya
sedang lapar atau kebutuhannya tak terpenuhi, maka
“hantu yang lapar” juga tidak ubahnya seperti pereman
yang juga dapat mengganggu orang. Agar tidak
mengganggu orang hidup, maka dia (hantu-hantu
lapar) ini harus diberi makan. Di kalangan orang Cina
di Jawa, roh-roh yang tidak diurus oleh keluarganya
ini masuk dalam kelompok King Ho Ping (Moerthiko
1980:183), yaitu roh-roh orang mati yang tidak
mempunyai sanak famili lagi di dunia, dan tidak diurus
olah keluarganya. Oleh sebab itu, setiap kelenteng di
Jawa ada sebuah altar khusus untuk memuja King Ho
Ping tersebut, supaya mereka tidak mengganggu
kehidupan manusia.
Di Jawa, upacara sembahyang pada awal bulan 7
Imlek ini dikenal dengan sebutan sembahyang Cio-Ko
atau umumnya disebut sebagai “sembahyang rebutan,”
124 Dalam Kelenteng-Kelenteng
karena selesai sembahyang pada roh-roh tersebut,
makanan sisa dimakan oleh roh-roh yang tidak diurus
oleh keluarganya ini direbut oleh peserta upacara. Bagi
mereka, mendapat sisa makanan dari hantu -hantu
tersebut dianggap sebuah keberuntungan.
Umumnya masyarakat Tionghoa di Jawa
melaksanakan sembahyang Cio Ko pada tanggal 29
atau 30 bulan 6 (Lak-Gwee). Pelaksanaannya pada jam
18:00 atau 19:00. Tempat pelaksanaannya di tanah
lapangan atau biasa juga dilakukan di di halaman
depan kelenteng (Marcus 2002:147). Hal yang yang
sama juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di
Sarawak Malaysia (Tanggok 2005), dan juga di
negara-negara lain yang ada masyarakat Tionghoanya.
Pelaksanaannya bisa dilakukan di mana saja,
dan tidak ada aturan khusus mengenai tempat upacara,
tapi umumnya masyarakat Tionghoa melakukannya di
luar rumah, kelenteng, tanah lapang, halaman
kelenteng dan tempat-tempat yang lain. Di halaman
pekong atau kelenteng atau di halaman terbuka
diletakkan sebuah meja besar (ada juga di atas tanah
dan dialas dengan tikar) dan di atasnya disediakan
berbagai macam makanan dan alat-alat sembahyang.
Di kelenteng Sam Poo Kong di Semarang,
pelaksanaanya dilakukan di halaman depan kelenteng.
Di halaman kelenteng dipasang tenda, diatur meja-
meja, di atasnya disediakan berbagai makanan, barang-
barang lainnya seperti patung singa, diletakkan di atas
meja untuk disembahyangkan atau dipersembahkan
pada roh-roh yang diyakini oleh mereka dalam kondisi
lapar dan sangat membutuhkan makanan. Apa yang
mereka lakukan ini adalah didasarkan atas keyakinan
Pratik Islam Nusantara 125
kuat terhadap roh-roh (Tanggok 2006) yang dianggap
lapar dan membutuhkan makanan.
Alat-alat sembahyang yang disediakan
diantaranya: sepasang lilin kecil yang bewarna merah
yang dinyalakan di atas meja, sebuah gelas berisi beras
untuk menancapkan hio (hiolo), tiga piring manisan,
buah-buahan, kue-kue, tiga cangkir teh, dan makanan
lain yang mereka anggap layak untuk dipersembahakan
pada roh-roh yang tidak diurus anggota keluarga
mereka atau roh-roh lapar. Makanan yang disediakan
pada roh-roh ini juga tidak dibatasi, selahkan bagi
siapa saja yang mampu untuk menyediakan makanan
yang lebih banyak lagi.
Setelah perlengkapan upacara dipandang cukup,
mereka (para pemuja) melakukan sembahyang dengan
dipimpin oleh pemimpin upacara. Sembahyang atau
pemujaan dilakukan dengan masing-masing peserta
menyalakan beberapa batang hio, kemudian mereka
mengangkat hio setinggi kepala yang menandakan
bahwa mereka sedang melakukan sembahyang atau
pemujaan. Pada saat sembahyang mereka memohon
kepada Thian atau Tuhan agar dapat mengangkat roh -
roh ini ketempat yang dianggap layak baginya dan
mendoakan agar roh-roh ini cepat mengalami proses
kelahiran kembali. Mereka juga mengundang para roh
untuk menikmati makanan yang telah mereka
hidangkan, kemudian setelah menikmati makanan, roh -
roh diminta pulang ke tempat mereka semula dan
jangan sampai bergentayangan lagi di duni, dan
diharapkan tidak mengganggu kehidupan manusia.
Praktik sembahyang rebutan ini tidak ubahnya
seperti sembahyang yang mereka lakukan di kelenteng.
126 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Setelah sembahyang dianggap selesai, makanan yang
dipersembahkan di meja persembahan korban atau
altar dihamburkan ke tanah atau dibuang ke tanah, dan
kemudian diperebutkan oleh masing-masing peserta
upacara. Apa yang mereka dapat dari hasil rebutan
tersebut, mereka bawa pulang (jika barang tersebut
tahan lama) dan disimpan di rumah, tapi jika barang-
barang yang di dapat berupa makanan yang tidak tahan
lama di simpan, makanan tersebut mereka makan.
Sebagaimana di sebutkan sebelumnya, barang-barang
yang mereka dapat dari hasil rebutan itu adalah simbol
dari keberuntungan, karena makanan yang dihidangkan
untuk roh-roh dan alat-alat perlengkapan upacara yang
lain dipandang sakral dan yang sakral memiliki nilai
yang lebih tinggi dari yang biasa atau dianggap
memiliki mana atau kekuatan yang lebih besar. Ini
adalah salah satu keyakinan dari peserta upacara.
Ada keyakinan dari mereka, semakin banyak
barang yang mereka dapat dari hasil rebutan tersebut,
maka diyakini semakin banyak keberuntungan yang
akan mereka peroleh di dalam hidup ini di tahun-tahun
yang akan datang, itulah makna terpenting dari
“sembahyang rebutan” tersebut. Makna sosialnya dari
pelaksanaan upacara ini, mereka dapat berkumpul
dalam satu tempat untuk tujuan sama dari berbagai
marga untuk merekatkan hubungan sosial diantara
mereka, sebab pada hari-hari biasa jarang sekali
mereka dapat berkumpul bersama-sama karena
berbagai kesibukan bisnis. Di samping itu, upacara ini
adalah juga mendidik generasi muda untuk saling
memperhatikan roh-roh orang lain yang bukan leluhur
Pratik Islam Nusantara 127
mereka sendiri dan saling tolong menolong atau saling
memberi antara yang hidup dengan yang mati.
Gambar Sembahyang Rebutan (Sumber: Google)
Salah seorang informan saya yang ada di
kelenteng Sam Poo Kong di Semarang mengatakan
bahwa pelaksanaan sembahyang rebutan di sini cukup
ramai ditahun-tahun sebelumnya (sebelum tahun 2004)
karena para peserta sembahyang cukup ramai dan yang
merebutkan makanan itu juga cukup ramai. Dalam
memperubutkan makanan itu banyak orang-orang yang
luka atau tertimpa oleh orang lain. Dia merasa kasihan
dengan orang-orang tua yang juga ikut dalam
pelaksanaan upacara yang juga ikut memperebutkan
makanan, sehingga mereka terdesak oleh orang-orang
muda yang penuh semangat.
Tahun 2004 dan sampai sekarang, pelaksanaan
sembahyang rebutan di kelenteng Sam Poo Kong
berubah, pelaksanaan hanya terbatas pada orang-orang
tertentu, hanya dilakukan sekitas 40 sampai 50 orang.
128 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Namun tradisi merebutkan makanan setelah
pelaksanaan upacara tetap saja dilakukan, tapi tidak
lagi berdesak-desakan seperti pelaksanaan sembahyang
rebutan di tahun-tahun sebelumnya. Di samping itu,
panitia kelenteng Sam Poo kong pada hari yang sama,
jam yang sama juga membagikan sembako kepada
orang-orang miskin di sekitar kelenteng Sam Poo
Kong. Suasana ini cukup menarik, karena ratusan
orang-orang miskin mendatangi kelenteng hanya untuk
mendapatkan pembagian beras dari panitia kelenteng.
Banyak orang miskin di sekitar kelenteng merasa
terbantu dengan pembagian beras ini dan mereka tidak
memperdulikan dari mana sumber beras tersebut.
Jika kita menyebut orang miskin, maka yang
terpikir diotak kita adalah orang-orang Islam yang
tergolong sebagai orang yang kurang mampu.
Benarkah yang datang secara beramai-ramai ke
kelenteng Sam Poo Kong untuk mendapatkan sembako
adalah orang-orang Islam yang tinggal di semarang?
Tentu saja jawabannya ya, karena berdasarkan
pengamatan saya pada saat pembagian sembako dan
juga pada saat wawancara adalah mereka mengaku
dirinya sebagai orang Islam. Mereka tidak merasa tabu
untuk mendatangi kelenteng hanya sekedar untuk
mendapatkan sembako dari para penyumbang yang
dititipkan di kelenteng. Tradisi yang dilestarikan oleh
kelenteng setiap tahunnya ini bukan saja melestarikan
kebudayaan orang Tionghoa dari tahun ke tahun, tapi
juga dapat mempererat persatuan antara orang Islam
dan non Islam atau mempererat hubungan antara
sukubangsa Tionghoa dengan masyarakat non
Tionghoa yang ada di kota Semarang.
Pratik Islam Nusantara 129
Orang-orang Tionghoa tidak mengkaitkan
pemberian ini dengan ritual keagamaan dan murni
didasarkan pada kasih sayang terhadap sesama
manusia. Ajaran Buddha juga mengajarkan untuk
mencintai sesama mahluk hidup dan ini selalu
dipraktikan dalam kehidupan sehari -hari oleh umat
Buddha. Satu paket sumbangan kira-kira 5 kilogram
beras untuk 1 kupon yang dibagikan, dan bahkan pada
saat sembahyang ini dilaksanakan (awal sampai
pertengahan bulan ketujuh Imlek) tidak sedikit
sumbangan beras yang datang dari orang Cina, baik
yang datang dari orang-orang Tionghoa yang berasal
dari Semarang, maupun yang datang dari orang-orang
Tionghoa diluar Semarang.
Menurut informasi yang saya dapat, beras
tersebut sampai mencapai 2 sampai 3 ton untuk
disumbangkan pada orang miskin yang ada di sekitar
kelenteng. Dengan demikian, kegiatan ini dapat kita
bagi dalam dua sisi, yaitu sisi ritual, di mana hanya
terbatas pada lingkungan mereka (orang-orang
Tionghoa yang menganut agama Khonghucu dan
Buddha Tridharma) yang melaksanakannya dan sisi
sosial, yaitu membagi beras untuk orang-orang yang
tidak mampu. Sumbangan beras pada orang yang tidak
mampu dalam rangka kegiatan sembahyang rebutan
tersebut, tidak lain adalah salah satu bentuk dari
makna sosial dan makna kebersamaannya.
Setiap tahun sembahyang rebutan dilaksanakan
di kelenteng Sam Poo Kong. Sebelum pelaksanaan
sembahyang rebutan, diadakan karauke dan dihadiri
oleh orang-orang Tionghoa yang ada di sekitar
semarang. Mereka datang di tempat sembahyang yang
130 Dalam Kelenteng-Kelenteng
telah disediakan oleh panitia ini terlebih dahulu
melakukan sembahyang pada Thian (Tuhan) dan roh-
roh. Setelah itu, mereka duduk sambil mendengarkan
karaoke dan juga sambil memakan bubur babi yang
disediakan oleh panitia pelaksanaan sembahyang
rebutan. Tampaknya panitia sengaja mendatangkan
penyanyi lokal untuk menghibur para tamu dan
menarik masa agar suasana menjadi ramai (Tanggok
2006).Dalam suasana sembahyang rebutan, panitia
juga memberikan hiburan kepada masyarakat
disekitarnya. Salah satu tujuannya adalah untuk
menjalin persahabatan antara sesama.
Keesokan harinya sekitar jam 10.00 pelaksanaan
upacara sembahyang rebutan dilaksanakan. Upacara ini
dipimpin oleh bikuni dari agama Buddha dan diikuti
oleh orang-orang Tionghoa yang beragama Buddha.
Upacara ini berlangsung sekitar 2 jam dan setelah
upacara selesai dilaksanakan, makanan yang
dipersembahkan untuk roh-roh yang lapar atau roh-roh
yang tidak diurus anggota keluarga atau roh-roh yang
tidak mempunyai keturunan yang ada di atas meja
sembahyang, dibuang atau dihamburkan ke tanah,
kemudian diperebutkan oleh peserta upacara. Makanan
yang didapat oleh peserta upacara ada yang langsung
dimakan dan ada juga yang dibawa pulang, tergantung
dari keinginan para peserta upacara. Makanan yang
sudah disembahyangkan itu sudah mendapat berkah
dari dewa-dewa dan telah menjadi suci.
Sebagian besar orang Tionghoa yang
menganut agama Buddha di Semarang (juga orang
Buddha Tridharma), menghubungkan sembahyang
rebut itu dengan hari “ulambana” yaitu upacara
Pratik Islam Nusantara 131
sembahyang untuk memberikan doa kepada roh-roh
yang bergentayangan agar mereka cepat lahir kembali.
Atau kalau dalam kehidupan manusia, tidak ubahnya
seperti remisi yang diberikan oleh presiden kepada
tahanan yang ada di penjara. Mereka juga mengkaitkan
sembahyang rebut tersebut dengan ajaran Buddha,
yaitu menjadikan sembahyang atau upacara tersebut
sebagai hari “kasih saying.” Di mana pada hari ini
umat Buddha banyak memberikan sedekah pada orang
yang kurang mampu.
Dengan demikian, orang Tionghoa tidak hanya
melakukan pemujaan pada roh-roh leluhur yang masih
ada ikatan kekerabatan dengan mereka, tapi juga
memuja leluhur atau roh-roh yang sama sekali tidak
ada hubungan kekerabatan. Apa yang mereka lakukan
ini bukan di dasarkan atas xiau (berbakti atau setia)
pada leluhur atau pemimpin mereka, tapi lebih
didasarkan pada rasa takut atas gangguan dari roh-roh
yang tidak diurus oleh keluarganya yang jika tidak
diberi makan akan dapat mengganggu kehidupan
manusia, dan rasa solidaritas yang tinggi antara
mahluk hidup dan roh-roh. Solidaritas yang tinggi itu
tidak hanya ditujukan pada lelur mereka saja, roh-roh
orang lain, tapi juga sesama manusia. Hal ini tidak
ubahnya seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang
Jawa dengan upacara bersih desa, yaitu mengadakan
upacara, agar desa mereka terhindar dari gangguan
mahluk halus yang setiap saat dapat menganggu
kehidupannya. Dampak dari sembahyang rebutan ini
tidak hanya dirasakan oleh orang-orang Tionghoa, tapi
juga orang-orang Islam di sekitarnya yang
mendapatkan jatah sembako.
132 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Sembahyang rebutan ini adalah juga
sembahyang yang dinanti-nanti oleh masyarakat
muslim di sekitar kelenteng, sebab apabila
diadakannya sembahyang rebutan di kelenteng,
masyarakat muslim yang tinggal di sekitar kelenteng
juga mendapat kebagian rejeki. Biasanya masyarakat
Tionghoa membagi-bagikan sembako pada saat selesai
diselenggarakannya sembahyang rebutan. Sembako ini
berasal dari sumbangan para dermawan dan para
pengusaha. Sembako yang disumbangkan ini
dikumpulkan di kelenteng dan pada saatnya tiba
dibagikan pada orang-orang muslim yang kurang
mampu dari segi ekonomi. Pada saatinilah kita dapat
menyaksikan sebagian umat Islam berbondong-
bondong datang ke kelenteng untuk mendapatkan
sembako gratis dari orang Tionghoa non Islam.Mereka
tidak mempersoalkan dari mana sumber sembako itu
datang. Bagi mereka, sembako yang mereka dapatkan
dapat mengurangi uang belanja sehari -hari mereka.
Bahan Bacaan
Bingling, Yuan
2000 Chinese Democracies: A Study of Kongsis of
West Borneo (1776-1884).Netherlands:
Research School of Asean, and Amerindian
Studies
Chang Pat Foh
(1993) Chinese Festivals Customs in Sarawak.
Sarawak-Malaysia: Lee Ming Press Co
Clifford Geertz, Clifford
Pratik Islam Nusantara 133
1960 The Religion of Java.
Fei Hsin
1996 Hsing-Ch’a Sheng-Lan: The Overall
Survey of the Star Raft, Translated,
J.V.G. Mills, Harrassowits Verlag.
Wiesbaden.
Liem, Thian Joe
1931 Riwayat Semarang (Dari Djamannja Sam
Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan) ,
Semarang, Boekhandel Ho Kim Yoe.
Marcus, A.S.,
2000 Hari-Hari Raya Orang Tionghoa, Jakarta,
Marwin.
Mauss, M.
1967 The Gift, New York, W.W. Norton and
Company.
Moerthiko
tt Tanpa Tahun, Riwayat Kelenteng, Vihara,
Lithang, Tempat Ibadah Tridharma Se-
Jawa, Semarang.
Ma Huan
1433 Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of
the Ocean’s
Shores, ed. Feng Ch’eng-chun, dicetak
kembali di Thailan oleh White Lotus Co.,
Ltd. 1997.
Mills, J.V.G.
1970 Ying-yai Sheng-lan: 'The Overall Survey of the
Ocean's Shores' [1433]. Cambridge: Cambridge
University Press. ISBN 0-521-01032-2.
Moerthiko
134 Dalam Kelenteng-Kelenteng
tt Riwayat Kelenteng, Vihara, Lithang,
Tempat Ibadat Tridharma Se-Jawa,
Semarang, tt, Sekretariat Empeh Wong
Kam Fu.
Setiawan, E
1990 Dewa-Dewa Kelenteng , Semarang:
Yayasan Kelenteng Sampookong Dedung
Batu Semarang.
Singgih, Gagarin, Prianti
1986 Zheng Ho Suatu Pergeseran Posisi Dari
Tokoh Sejarah Cina Menjadi Tokoh Mitos
(Skripsi), Fakultas sastra Universitas
Indonesia.
Suparlan, Parsudi
1976 The Javanese in Surinam: Ethnicity in an
Ethnically Plural Society, Department of
Anthropology University of Illinois at
Urbana-Champaign.
Suparlan, Parsudi
1991 The Javanese Dukun , Jakarta, Peka
Publications.
Setiono, Benny G.
2002 Tionghoa Dalam Pusaran Politik , Jakarta,
Elkasa.
Salmon, Claudin dan Lombard, D
1985 Kelenteng-Kelenteng Masyarakat
Tionghoa di Jakarta, (terjemahan)
Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka.
Suryadinata, Leo
2007 Laksamana Cheng Ho dan Asia Tenggara ,
Editor, Jakarta: LP3ES.
Tan, Ta Sen,
Pratik Islam Nusantara 135
2009 Cheng Ho and Islam in Southeast Asia,
Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.
Tio, Jongkie
tt Kota Semarang Dalam Kenangan ,
Diterbitkan oleh Lembaga Kotamadya
Daerah Tingkat II Semarang.
Turner, Victor
1975 Ritual Process: Structure and Anti -
Structure, Ithaca, New York: Cornell
University Press.
Tanggok, M. Ikhsan,
2005 Mengenal Lebih Dekat Agama
Khonghucu di 2005 Indonesia,
Jakarta, Pelita Kebajikan.
Tanggok, M. Ikhsan,
2006 Cheng Ho Dianggap Dewa Dagang Dari
Tionghoa, Jakarta, Pelita Kebajikan.
Tanggok, M. Ikhsan
2000 Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
--------------
2005 Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di
Indonesia (Knowing Khonghucu Religion in
Indonesia). Jakarta: Pelita Kebajikan.
--------------
2006 Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (Knowing
Tao Religion in Indonesia). Jakarta: UIN Press.
--------------
2006 Agama Buddha (Buddhism). Jakarta: UIN Press.
--------------
136 Dalam Kelenteng-Kelenteng
2005 Pemujaan Leluhur Orang Hakka di Singkawang
(Hakka ancestor Worship in Singkawang).
Jakarta: Pukkat.
--------------
2006 “The Role of Chinese Communities to the
Spread of Islam in Indonesia,” Refleksi: Jurnal
Kajian Agama dan Filsafat (Journal of Religion
and Philosophy), Vol. VIII, No.3.
--------------
2010 “Ancestor Worship in Chinese Society in
Sarawak, Malaysia,” E-Journal, The Asian
Scholar, Asian Scholarship Foundation
Bangkok.
--------------
2011 “Between Islam and Buddhism Communication in
Indonesia,”Religion and Social Communication:
Journal of the Asian Research Centre for
Religion and Social Communication, Vol.9
No.2.
Turner, Victor
1980 The Forest of Symbols, Aspects of Ndebu
Ritual, Ithaca dan London: Cornell
University Press.
-------,
1987 Ritual Process: Structure and Anti -
Structure , Ithaca, New York: Cornell
University Press.
Tju Kie Hak Siep
1954 Riwayat Sam Poo Tay Djien.
Pratik Islam Nusantara 137
Van Voorst, Robert E.
2007 Anthropology of World Scriptures. US:
Thomson Wadsworth.
Yang, C.K
1970 Religion in Chinese Society. London: University
of California Press.
Yuanzhi, Kong
2000 Cheng Ho Muslim Tionghoa, Jakarta: Obor
Zarkhoviche, Baha
2014 Laksamana Cheng Ho, Alaska Publisher
Santosa, Iwan,
2005 “Pemakaman Melayu-Islam di Wihara Ancol,”
Senin, 01 Agustus lihat dalam:
http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0508/01/metro/1927795.htm
Woodward, Mark R
1988 Normative Piety and Mysticism in The Sultanate
of Yogyakarta.
RIWAYAT HIDUP
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MSi., lahir di
Desa Sei Purun Besar, Kabupaten Pontianak,
Kalimantan Barat, 29 Nopember 1966.
Pendidikan SD diselesaikan di Sei Purun
Besar (kabupaten Pontianak) tahun 1981,
138 Dalam Kelenteng-Kelenteng
SMP di Sei Pinyuh (kabupaten Pontianak) tahun 1984, dan
Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Pontianak tahun
1987. Setelah menyelesaikan Pendidikan Guru Agama, pindah
ke Jakarta dan melanjutkan studi S1 di Fakultas Ushuluddin
Jurusan Perbandingan Agama IA1N Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 1987 dan selesai pada 1992. Pada tahun 1999
menyelesaikan studi S-2 di Pasca Sarjana Universitas
Indonesia. Tahun 2003 mendapatkan beasiswa DAAD (dari
Pemerintah Germany) untuk studi kepustakaan dan
penyelesaian penulisan disertasi doktor di Institut fur
Ethnologie der Universitat Gottingen Germany. Pada tahun
2005, menyelesaikan Pendidikan Doktor (S3) dalam bidang
antropologi di Universitas Indonesia. September 2006 sampai
dengan Agustus 2007 mendapatkan beasiswa dari Asian
Scholarship Foundation (ASF) yang berpusat di Bangkok
untuk melakukan penelitian agama dan Kebudayaan orang
China di Sarawak-Malaysia. Pernah menyampaikan makalah
tentang agama dan kebudayaan Tionghoa dalam seminar di
beberapa University di Germany, Belanda, Prancis, Bangkok
dan Malaysia. Mulai tahun 1994, menjadi dosen tetap di
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
“Syarif Hidayatullah” Jakarta dan mengajar mata kuliah agama
Shinto, Tao, Khonghucu dan antropologi agama di Jurusan
Perbandingan Agama dan Sosiologi Agama. Oktober 2005
sampai dengan sekarang, menjabat sebagai ketua (Direktur)
Pusat Kajian Kawasan Asia Timur (Tionghoa, Jepang, dan
Korea) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Mulai 1
Desember 2007 dikukuhkan sebagai Guru Besar (Professor)
dalam bidang Antropologi Agama di Jurusan Perbandingan
Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta. Mulai 7 Juni 2010
diangkat sebagai Pembantu Dekan I bidang Akademik di
Pratik Islam Nusantara 139
Fakultas Ushuluddin (Theology), Universitas Islam Negeri
“Syarif Hidayatullah” Jakarta. Buku-buku yang sudah diterbitkan oleh PT.
Gramedia Pustaka Utama Jakarta adalah: Jalan
Keselamatan Melalui Agama Khonghucu (2000);
Menembus Birokrasi Indonesia (2004); Politik Lokal
dan Pembelajaran Politik (2004); Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (2004). Buku-buku yang
diterbitkan dipenerbit lain: Mengenal Lebih Dekat
Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Pelita Kebajikan, 2005, Pemujaan Leluhur Orang
Hakka di Singkawang , Jakarta: Pusat Kajian Kawasan
Asia Timur (PUKKAT) UIN Jakarta, 2005. Cheng Ho
dianggap Dewa Dagang Dari Cina , Jakarta, Pelita
Kebajikan, 2006. Mengenal Lebih Dekat Agama Tao,
Jakarta, UIN Press, 2007. Pedoman Perkawinan Dalam
Agama Tao Indonesia (Editor, 2008). Agama Buddha ,
Jakarta: UIN Press, 2009. Menghidupkan Kembali
Jalur Sutra Baru , Jakarta, PT.Gramedia Pustaka
Utama, 2010. Menciptakan Perdamaian Dunia Melalui
Buddhisme, Jakarta: Yayasan Yabumi 2014.
Telah menulis sebanyak 12 artikel dalam jurnal
ilmiah terakreditasi oleh Departemen Pendidikan
Nasional (Diknas) dan Internasional, dengan judul: (1)
“Agama Khonghucu Di Kalangan Etnis Cina di Indonesia” (Khonghucu Religion in Chinese ethnic in Indonesia), Jakarta,
Refleksi ( The Journal of Kajian Agama dan Filsafat), Fakultas
Ushuluddin IAIN Jakarta, Volume 1, No. 1, Novemver 1998.
ISSN: 0215-6253, (2). “Gambaran Umum Tentang Sikap
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Terhadap Pendidikan
Kewiraan” (The Attitude of Ushuluddin/theology Students
Toward Civic Education), Jakarta, Narasi (Jurnal Penelitian
140 Dalam Kelenteng-Kelenteng
Agama dan Sosial), Vol. 1. No.1. Juni 1999. ISSN: 1411-0482,
(3). “Penggunaan Metode Etnografi Dalam Penelitian
Agama” (The Using of Ethnograpy Metodology in Religious
Research) Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Vol. IV,
No. 3, 2002. ISSN: 0215-6253, (4). “The Cult of the Dead in
Chinese-Hakka Family and Society in Singkawang West
Kalimantan”, Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat,
Vol. VI. No. 3. 2004. ISSN: 0215-6253, (5). “Agama
Khonghucu Dalam Pandangan Pemerintah Indonesia” (The
Khonghucu Religions of Indonesia Governmental View),
Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XXI, No. 2, 2004. ISSN:
0854-5138, (6). “Laksamana Cheng Ho, Muslim Tionghoa
dan Tokoh Mitologi” (Admiral of Cheng Ho, Moslem of
Tionghoa and Mythology Figure). Al-Turas, Vol.11. No. 1,
Januari 2005. ISSN: 0853-1692, (7). “Upacara Selamatan
Gua Sam Po Kong di Semarang Dalam Persfektif
Multikultural” (The Ritual Selamatan of Gua Sam Po Kong in
Semarang in Multiculture View), Refleksi, Jurnal Kajian
Agama dan Filsafat Vol. VII, No. 1, 2005. ISSN: 0215-6253,
(8). “Agama Khoghucu di Indonesia dan Berbagai
Persoalan Yang Dihadapi Penganutnya” (Khonghucu
Religion in Indonesia and Some Problem for their Follower),
Harmoni, Volume IV, Number 15, July-September 2005.
ISSN: 1412-663X, (9). “Konsep Keberagamaan Orang
Tionghoa” (Religious Concept of Chinese), Refleksi, Jurnal
Kajian Agama dan Filsafat Vol. VII, No. 3, 2005. ISSN: 0215-
6253, dan (10). “The Role of Chinese Communities to the
Spread of Islam in Indonesia”, Refleksi, Jurnal Kajian
Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 3, 2006. ISSN: 0215-6253.
(11) “Between Islam and Buddhism Communication in
Indonesia,” Journal Religion And Social communication
(Bangkok), Vol. 9 No. 2 2011. (13) “Perayaan Tahun Baru
Pratik Islam Nusantara 141
Imlek Dalam Masyarakat Tionghoa di Indonesia,” Ushuluna (Jurnal Ilmu Ushuluddin), Vol 1, Nomor 1, April
2015. Telah menulis sebanyak 52 artikel baik di Koran dan
majalah. “Chinese Ancestor Worship in Sarawak
Malaysia,” Asian Scholar Journal , 2011.
Negara-negara yang pernah dikunjungi adalah:
Malaysia, Singapura, Jerman, Belanda, Prancis dan
Tiongkok (Hongkong, Macao) dan Thailand, Vetnam,
Cambodia dan Brunai Darussalam.