147
Pratik Islam Nusantara i PRAKTIK ISLAM NUSANTARA DI BEBERAPA KELENTENG DI INDONESIA (Studi Atas Pemujaan Terhadap Cheng Ho (Muslim Tionghoa) di Kelenteng Ancol, Sam Poo Kong, dan Ritual Islam di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban) Oleh: M. Ikhsan Tanggok

PRAKTIK ISLAM NUSANTARA DI BEBERAPA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40951...vi Dalam Kelenteng-Kelenteng 4. RITUAL UMAT ISLAM DALAM KELENTENG ANCOL __151 4.1

  • Upload
    lamnhan

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Pratik Islam Nusantara i

PRAKTIK ISLAM NUSANTARA DI

BEBERAPA KELENTENG DI

INDONESIA

(Studi Atas Pemujaan Terhadap Cheng Ho (Muslim

Tionghoa) di Kelenteng Ancol, Sam Poo Kong, dan

Ritual Islam di Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban)

Oleh:

M. Ikhsan Tanggok

ii Dalam Kelenteng-Kelenteng

USHUL PRESS

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

Cetakan Pertama: Desember 2015

Diterbitkan Dalam versi Indonesia oleh:

Ushul Press

Fakultas Ushuluddin UIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta

Jl. Ir.H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan 15412

Tel +62.21.7493677 Fax. +62.21.7493677

E-mail: [email protected]

Penulis: M. Ikhsan Tanggok

ISBN: 978-602-8700-12-2

Editor: Nawiruddin

Desain Sampul: Ikhsan

Gambar Sampul: Kelenteng Sam Poo Kong Semarang

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk

dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

Pratik Islam Nusantara iii

KATA PENGANTAR

Penulisan buku dengan judul: “Praktik Islam

Nusantara Di Beberapa Kelenteng Di Indonesia (Studi

Atas Pemujaan Terhadap Cheng Ho (Muslim Tionghoa) di

Kelenteng Ancol, Sam Poo Kong, dan Ritual Islam di

Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban) dapat diselesaikan

dengan baik berkat bantuan dana dari Diktis (Direktur

Perguruan Tinggi Agama Is lam) Kementerian Agama

RI. Penulisan buku ini didasarkan atas penelitian di

lapangan dan kepustakaan di kelenteng Ancol, Sam

Poo Kong Semarang, Sam Po Kong Singkawang dan

Kwan Sing Bio di Tuban Jawa Timur. Penelitian dan

penulisan buku ini dilakukan pada tahun 2015 dan

didanahi melalui anggaran Diktis Kementerian Agama

Republik Indonesia tahun 2015.

Islam Nusantara yang dimaksud dalam tulisan

ini adalah Islam yang dipengaruhi oleh berbagai

kebudayaan sukubangsa yang ada di Indonesia. Para

penganut Islam mengaku diri mereka sebagai umat

Islam dan juga disisi lain mereka meyakini berbagai

kekuatan supernatural yang dapat membantu

menyelesaikanberbagai persoalan dalam hidup mereka.

Salah satu contohnya adalah praktik-praktik beberapa

umat Islam dalam berbagai kelenteng milik orang

Tionghoa non Islam di Indonesia.

iv Dalam Kelenteng-Kelenteng

Atas dasar itu, saya tidak lupa mengucapkan

terima kasih kepada: Kementerian Agama Republik

Indonesia, khususnya kepada Prof. Dr. Amsal

Bakhtiar, MA (Direktur Diktis), Dr. Muhammad Zein,

dan para stafnya yang menangani buku Islam

Nusantara ini di Kementerian Agama RI. Atas jasa-

jasa mereka, penulisan buku tentang Praktik Islam

Nusantara Di Beberapa Kelenteng Di Indonesia dapat

diselesaikan dengan baik.

Jakarta, 25 Desember 2015

Penulis

Pratik Islam Nusantara v

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN __ 1

1.1. Masalah Penulisan __13

1.2. Sumber Data dan Fokus Penulisan__16

2. CHENG HO DAN NEGARA-NEGARA DI LUAR

TIONGKOK __17

2.1. Mengenal Cheng Ho __18

2.2. Perjalanan Cheng Ho ke Nusantara __36

2.2.1. Perjalanan Pertama __43

2.2.2. Perjalanan Kedua __45

2.2.3. Perjalanan Ketiga __46

2.2.4. Perjalanan Keempat __50

2.2.5. Perjalanan Kelima __54

2.2.6. Perjalanan Keenam __58

2.2.7. Perjalanan Ketujuh __60

3. RITUAL UMAT ISLAM DALAM KELENTENG SAM

POO KONG__63

3.1. Kunjungan Cheng Ho di Semarang __63

3.2. Pemujaan Terhadap Sam Poo Tay Kam __78

3.3. Pemujaan Juru Mudi Dampo Awang __96

3.4. Pemujaan Dewa Bumi __111

3.5. Pemujaan Kiyai Jangkar __115

3.6. Mitos Akar Kayu __118

3.7. Sembahyang Rebutan __120

3.8. Selamatan Gua Sam Poo Kong __133

vi Dalam Kelenteng-Kelenteng

4. RITUAL UMAT ISLAM DALAM KELENTENG

ANCOL __151

4.1. Asal Usul Kelenteng Ancol __151

4.2. Makam Melayu Islam di Kelenteng Ancol__159

5. RITUAL UMAT ISLAM DI KELENTENG

KWAN SING BIO __189

5.1. Kelenteng Kwan Sing Bio Sebagai Wadah

Persatuan __189

5.2. Istri Presiden RI ke–4 Sahur Bersama

di Kelenteng __210

6. PENUTUP __207

Bahan Bacaan __213

Riwayat Hidup__218

Pratik Islam Nusantara 1

1

PENDAHULUAN

Jika kita berkunjung ke kota Semarang, maka

belumlah lengkap jika kita tidak berkunjung ke kelenteng Sam

Poo Kong Semarang. Sama sama artinya dengan jika kita

berkunjung ke Jakarta, maka belumlah dianggap lengkap jika

kita belum berkunjung ke Monumen Nasional (Monas).

Demikian juga, jika kita berkunjung ke tempat wisata Ancol,

maka belum lengkap jika kita tidak berkunjung ke kelenteng

bersejarah yaitu kelenteng Ancol. Jika kita berkunjung ke

Kalimantan Barat, maka belumlah lengkap jika kita belum

mengunjungi kelenteng Sam Po Kong di wilayah Pantai

Samudera Indah, Dusun Tanjung Gundul, Desa Karimunting,

Kecamatan Sei Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang.

Demikian juga jika kita berkunjung ke Melaka Malaysia, maka

belumlah lengkap jika kita belum berkunjung ke Musium

2 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Cheng Ho di Bandar Melaka dan jika kita berkunjung ke

Tuban, maka belumlah terasa lengkap jika kita belum

berkunjung ke kelenteng Kwan Sing Bio Tuban.

Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang merupakan

salah satu objek wisata dari beberapa objek wisata di kota

Semarang yang cukup terkenal. Banyak orang berkunjung ke

Semarang menyempatkan diri untuk berkunjung ke Kelenteng

Sam Poo Kong ini, karena kelenteng ini adalah salah satu objek

wisata terkenal di kota Semarang. Para pengunjungnya tidak

hanya dari kalangan orang Tionghoa, namun juga orang-orang

non Tionghoa yang beragama Islam ikut meramaikan suasana

di kelenteng ini.

Salah satu kelenteng yang terkenal di Semarang adalah

kelenteng Sam Poo Kong atau lebih dikenal dengan kelenteng

Gedung Batu. Disebut kelenteng Gedung Batu karena

kelenteng tersebut menyerupai gua batu dan dalam kompleks

kelenteng itu juga terdapat gua batu yang diyakini tempat

bersemedinya Cheng Ho. Kelenteng Gedung Batu atau dikenal

dengan kelenteng Sam Po Kong di Semarang adalah sebuah

peninggalan sejarah masa lalu yang usianya sudah ratusan

tahun dan sudah mengalami beberapa kali perombakan atau

perbaikan. Banyak orang menduga bahwa tempat ini

merupakan tempat persinggahan dan pendaratan pertama

Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok yang beragama Islam.

Berdasarkan sejarah dia datang ke Semarang dengan membawa

ribuan anak buah, ratusan kapal dan terdiri dari berbagai

sukubangsa dan agama. Berdasarkan catatan sejarah, Cheng Ho

pernah datang ke Nusantara tujuh kali. Setiap berkunjung ke

Nusantara, dia dan anak buahnya selalu menyempatkan diri

untuk mampir ke Semarang. Di sana dia dan anak buahnya

menjalin hubungan persahabatan dengan penduduk setempat,

membawa dan memasukkan barang rempah-rempah dan

Pratik Islam Nusantara 3

barang-barang makanan lainnya ke Semarang. Di masa lalu,

Semarang adalah kota paporitnya Cheng Ho dan anak buahnya,

ini terbukti bahwa kota ini tidak hanya sekali ia kunjungi, tapi

beberapa kali.

Selain kelenteng Sam Poo Kong, Semarang juga

memiliki Kelenteng Tay Kak Sie yang terletak di Gang

Lombok kota Semarang. Lokasi kelenteng ini di tengah-tengah

kota Semarang dan mudah untuk dijangkau oleh para

pengunjung. Di dalam kelenteng ini disimpan duplikat patung

Cheng Ho dan kapal Cheng Ho. Kelenteng ini memiliki sejarah

yang berhubungan dengan kelenteng Sam Poo Kong Semarang.

Kelenteng ini juga dianggap kelenteng yang sudah cukup tua di

kota semarang. Karena usianya sudah ratusan tahun, maka

kelenteng ini juga menjadi tempat wisata bagi orang-orang

yang berkunjung ke kota Semarang. Setiap tahunnya kelenteng

ini ramai dikunjungi orang Islam dan non Islam, karena di

tempat ini—pada saat diadakannya perayaan ulang tahun

Cheng Ho, maka duplikat patung Cheng Ho yang ada di

kelenteng ini di bawa (diarak) oleh banyak orang ke kelenteng

Sam Poo Kong atau kelenteng Gedung Batu di Semarang.

Duplikat patung Cheng Ho itu diinapkan satu malam di

kelenteng Sam Poo Kong dan keesokan paginya dibawa

kembali ke kelenteng Tai Kak Sie. Ritual semacam ini tidak

hanya melibatkan orang-orang Tionghoa, tapi juga beberapa

orang muslim yang ikut di dalamya. Ini artinya kedua agama

yang berbeda saling bersatu dan saling membantu dalam

mewujudkan uapacara untuk merayakan hari lahirnya Cheng

Ho yang setiap tahun diadakan.

Setelah menyoroti dua kelenteng di Semarang, kita

alihkan perhatian kita untuk melihat kelenteng Ancol di

Jakarta. Sama dengan dengan kelenteng Sam Poo Kong dan

kelenteng Tai Kak Sie di Semarang, Kelenteng Ancol di

4 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Jakarta Utara juga banyak dikunjungi orang Islam dan non

Islam, karena di dalamnya terdapat kuburan seorang muslim

yang diduga adalah kuburan juru masaknya Cheng Ho. Ini

artinya bahwa tidak hanya Cheng Ho yang menjadi pusat

perhatian umat Islam dan non Islam, tapi juru masaknya juga

menjadi pusat perhatian masyarakat. Ini menunjukkan bahwa

orang Indonesia (Islam maupun non Islam) sangat

menghormati Cheng Ho dan anak buahnya.

Dalam kompleks kelenteng Ancol ini terdapat empat

orang muslim yang dimakamkan di sini. Mereka itu adalah:

Embah Said Arelly Dato Kembang dan ibu Enneng, Sam Po

Soe Soe (juru masaknya Cheng Ho dan ibu Sittiwati). Dari

empat orang Islam yang dikuburkan di kompleks kelenteng ini,

tiga di antaranya berasal dari Indonesia dan satu dari Tiongkok.

Sam Po Soe Soe berasal dari Tiongkok dan memiliki seorang

istri yang bernama ibu Sitiwati. Ibu Sitiwati adalah anak dari

Embah Said Arelly Dato Kembang dan ibu Enneng. Jadi,

keempat orang muslim yang dimakamkan di kompleks

kelenteng Ancol ini masih ada ikatan kekerabatan di antara

mereka.

Kelenteng Ancol ini sama dengan kelenteng Sam Poo

kong di Semarang, yaitu juga menjadi pusat kunjungan umat

Islam dan non Islam. Salah satu alasan beberapa umat Islam

datang ke tempat ini karena ingin mengunjungi makam muslim

di sana. Tujuan mereka datang ke sana ada yang hanya untuk

berziarah dan ada juga yang berziarah dan sekaligus memohon

pertolongan dari mereka (orang-orang yang dikuburkan di

tempat itu) untuk mewujudkan keinginan-keinginan mereka.

Di Kalimantan Barat, kita juga mengenal kelenteng

Cheng Ho yang di bangun di sana. Sama dengan Semarang,

kelenteng ini juga diberi nama kelenteng Sam Po Kong.

Kelenteng Sam Po Kong ini terletak di objek wisata pantai

Pratik Islam Nusantara 5

Samudera Indah, Dusun Tanjung Gundul, Desa Karimunting,

Kecamatan Sei Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang

Kalimantan Barat. Kelenteng ini juga banyak dikunjungi orang

Islam dan non Islam, karena di dalamnya ada potongan kaki

patung Cheng Ho yang terbuat dari batu yang menyimbolkan

kedatangan Cheng Ho ke daerah itu di masa lalu. Berdasarkan

cerita rakyat, pada abad ke-18 patung Cheng Ho itu dicuri

orang-orang yang menginginkannya, maka pada saat mereka

mengambil patung itu, maka tertinggallah dua buah telapak

kaki patung tersebut. Sampai saat ini, kedua telapak kaki itu

masih tersimpan dengan baik di kelenteng Sam po Kong di

kabupaten Bengkayang. Semua kelenteng di Indonesia dan

Malaysia yang memliki keterkaitan dengan kedatangan Cheng

Ho di masa lalu, telah menjadi pusat perhatian umat Islam dan

non Islam dari berbagai daerah dan negara. Sebagian umat

Islam meyakini bahwa potongan patung kaki Cheng Ho yang

terdapat di samping kelenteng tersebut adalah benar dahulunya

adalah patung Cheng Ho yang dibuat untuk menyimbolkan

kedatangan Cheng Ho di daerah itu.

Di Malaysia, khususnya di pulau Penang juga ada

kelenteng Cheng Ho, yang di dalamnya ada dipamerkan bekas

telapak kaki Cheng Ho. Berdasarkan keyakinan sebagian orang

Tionghoa di Penang, bekas telapak kaki Cheng Ho yang ada di

dalam kelenteng itu adalah benar bekas telapak kakinya.

Kelenteng Cheng Ho di Penang Malaysia juga tidak sedikit

dikunjungi oleh orang Islam dan non Islam, karena di

dalamnya terdapat patung Cheng Ho yang di datangkan dari

Tiongkok dan bekas telapak kaki Cheng Ho yang menandakan

kedatangannya pada masa lalu. Apakah benar di dalam

kelenteng Cheng Ho di pulau Penang di Malaysia adalah

benar-benar bekas telapak kaki Cheng Ho atau bisa saja itu

duplikat bekas telapak kaki Cheng Ho. Sampai saat ini belum

6 Dalam Kelenteng-Kelenteng

ada sebuah hasil penelitian yang membuktikan kebenaran

telapak kaki yang diduga sebagai telapak kaki Cheng Ho.

Di Tuban Jawa Timur, juga ada sebuah kelenteng

bersejarah yang juga setiap tahun selalu dikunjungi oleh umat

Islam. Kelenteng ini bernama Kwan Sing Bio. Kelenteng ini

tidak mempunyai hubungan dengan kedatangan Cheng Ho

pada abad ke-15 di Semarang dan beberapa daerah di

Nusantara. Dalam kelenteng ini juga tidak ada disediakan

patung Cheng Ho untuk sebagai daya tarik orang muslim

berkunjung ke tempat ini. Meskipun tidak disediakan patung

Cheng Ho dan juga tidak memiliki kuburan muslim di

dalamnya, namun setiap bulan ramadhan banyak orang Islam

yang tinggal di sekitarnya berkunjung di sini. Alasannya bahwa

sepanjang bulan ramadhan para pengurus kelenteng ini selalu

menyediakan makanan untuk sahur dan berbuka bersama. Oleh

karena itu, kelenteng ini bukan saja sebagai tempat ibadah

untuk umat tertentu, tapi juga sebagai simbol pemersatu antar

berbagai agama.

Kelenteng yang terletak di daerah Simongan itu

dinamakan kelenteng Sam Poo Kong. Kelenteng Sam Po Kong

yang menyediakan patung Cheng Ho di dalamnya terletak di

daerah Simongan, di sebelah barat daya Kota Semarang. Di

samping apa yang disebutkan di atas, di dalamnya terdapat

tanda yang menunjukan bekas peninggalan sejarah yang berciri

keislamanan dengan ditemukannya sebuah tulisan yang

berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan

mendengarkan bacaan Al Qur'an." Tidak hanya itu, dalam

kelenteng ini juga dapat dijumpai kuburan seorang muslim

yang diduga sebagai kuburan juru mudi Cheng Ho. Tulisan dan

kuburan muslim ini telah membuat banyak orang

menghubungkannya dengan kedatangan Cheng Ho dengan

penyebaran Islam di Nusantara di masa lalu. Atas dasar itu,

Pratik Islam Nusantara 7

banyak orang yang datang ke tempat ini untuk meminta

pertolongan pada juru mudi Cheng atau kuburan juru mudi

Cheng Ho. Mereka meyakini, bukan saja Cheng Ho yang

memiliki kemampuan untuk menolong orang, tapi juga juru

mudinya.

Kelenteng Sam Poo Kong di semarang lebih dikenal

sebagai kelenteng dengan sebutan Kelenteng Gedung Batu.

Disebut Gedung Batu karena bentuknya menyerupai sebuah

Gua Batu besar yang terletak pada sebuah bukit batu, tepatnya

batu besar tersebut berada di belakang kelenteng. Orang

Indonesia keturunan Cina atau orang Tionghoa pada masa lalu

menganggap bangunan itu sebagai sebuah kelenteng, karena

bentuknya berasitektur Cina sehingga mirip dengan sebuah

kelenteng. Sekarang tempat tersebut dijadikan tempat

peringatan dan tempat pemujaan atau bersembahyang serta

tempat untuk berziarah, tempat ibadah dan tempat upacara-

upacara untuk hari-hari besar orang Tionghoa. Untuk keperluan

pemujaan terhadap Cheng Ho, di dalam gua batu itu diletakan

sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien (Cheng

Ho), dan patung-patung lainnya (Joe, 1931). Laksamana Cheng

Ho adalah orang muslim, tapi karena jasa-jasa masa lalunya

yang luar biasa, maka para pemuja yang datang ke tempat ini

menganggapnya sebagai dewa. Mereka beranggapan, roh

Cheng Ho dapat memberikan pertolongan pada siapa saja yang

memohon kepadanya. Ini adalah keyakinan dan siapa saja bias

berkeyakinan demikian. Kita tidak bias melarang orang

berkeyakinan seperti itu dan itu merupakan haknya.

Berdasarkan sejarah yang yang ditulis oleh beberapa

ahli sejarah, bahwa pada masa itu Laksamana Zheng Ho

sedang berlayar dari Tiongkok melewati laut Jawa, namun ada

seorang awak kapalnya yang sakit, dan ia memerintahkan anak

buahnya yang lain untuk membuang sauh atau

8 Dalam Kelenteng-Kelenteng

memberhentikan kapalnya untuk sementara waktu. Kemudian

ia merapat ke pantai utara semarang dan membuat tempat

peristirahatan sementara dan memfungsikan tempat itu sebagai

tempat untuk bersembahyang. Sekarang tempat itu berubah

fungsinya sebagai kelenteng dan digunakan masyarakat

Tionghoa untuk melakukan pemujaan atau penghormatan

kepadanya. Bangunan itu sekarang telah berada di tengah kota

Semarang atau tidak begitu jauh dari kota Semarang. Karena

pantai utara Jawa selalu mangalami pendangkalan diakibatkan

adanya sedimentasi sehingga lambat-laun daratan akan

semakin bertambah luas kearah utara dan memperluas

permukaan bumi (Yuangzhi, 2000 dan Tanggok, 2006). Posisi

kelenteng yang dahulunya berada di pinggir laut, akibat

pendangkalan, maka letak kelenteng berada jauh dari laut.

Sekarang lokasi kelenteng ini sangat sangat jauh dari laut dan

daratannya sudah dipenuhi dengan bangunan-bangunan rumah

dan ruko-ruku tempat berdagang.

Berdasarkan cerita yang berkembang, setelah Zheng He

meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan

perjalanannya ke Negara-negara lain, ada beberapa awak

kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan kawin mawin

dengan penduduk setempat. Dalam cerita itu tidak disebutkan

dengan jelas siapa nama-nama awak kapal Cheng Ho yang

menetap di Simongan. Mereka menggarap pertanian di daerah

tersebut dan menjadikan tempat itu sebagai tempat mereka

menggantungkan hidupnya. Berdasarkan sumber-sumber

tertulis, pada saat Cheng Ho berada di darat, dia memberikan

pelajaran bercocok-tanam pada masyarakat sekitarnya dan

karena ia beragama Islam, maka ia juga mengajarkan penduduk

setempat agama Islam (Tio, tanpa tahun). Agama Islam yang

disebarkan tidak dengan mudah diterima masyarakat, karena

keyakinan masyarakat pada masa itu masih kuat dengan agama

Pratik Islam Nusantara 9

tradisional mereka yang masih dekat dengan animisme dan

dinamisme. Sebagaimana kita ketahui, sebelum masuknya

agama Islam, masyarakat Nusantara menganut keyakinan

animism dan dinamisme yang sangat kuat.

Masyarakat nusantara sangat menghargai para tokoh-

tokoh yang pernah berjasa kepada mereka, termasuk Cheng Ho

yang mereka anggap pernah berjasa kepadanya. Oleh karena

itu, pada bulan Oktober 1724 diadakan upacara besar-besaran

sekaligus pembangunan kuil sebagai ungkapan terima kasih

orang-orang kepada Sam Po Tay Djien atau Cheng Ho di

daerah kelenteng Sam Po Kong sekarang ini. Dua puluh tahun

sebelumnya diberitakan bahwa gua yang dipercaya sebagai

tempat ibadanya Sam Po Kong atau Cheng Ho itu runtuh

disambar petir. Tidak lama setelah itu, tempat tersebut

dibangun kembali dan di dalamnya ditempatkan patung Sam

Po atau Cheng Ho dengan empat patung lainnya (patung anak

buahnya) yang didatangkan dari Tiongkok. Ini menunjukkan

bahwa masyarakat pada waktu itu sangat menghargai

perjuangan Cheng Ho masa lampau di Semarang. Oleh karena

itu, pada perayaan tahun 1724 di kelenteng tersebut telah

ditambahkan bangunan emperan di depan gua (Khong Yuan

Zhi, 2000). Bangunan ini menjadi cikal bakal bangunan

tambahan kelenteng.

Untuk mengenang kedatangan Cheng Ho di Semarang,

maka rakyat semarang memperingati kedatangannya itu dengan

agenda-agenda tertentu. Agenda-agenda tersebut dikenal

dengan perayaan tahunan Cheng Ho. Perayaan tahunan untuk

memperingati kedatangan Cheng Ho di Semarang, merupakan

salah satu agenda utama di kota Semarang dan juga merupakan

cara untuk menarik wisatawan datang ke Semarang. Dan

perayaan ini menjadi pusat perhatian masyarakat Semarang

setiap tahunnya. Perayaan itu berbentuk upacara agama yang

10 Dalam Kelenteng-Kelenteng

diadakan di kelenteng Tay Kak Sie, di Gang Lombok kota

Semarang. Upacara selanjutnya adalah arak-arakan patung Sam

Po Kong (Cheng Ho) yang di bawa dari kuil Tay Kak Sie ke

kelenteng Sam Po Kong di Gedong Batu Semarang. Patung

Cheng Ho tersebut kemudian diletakkan berdampingan dengan

patung Sam Po Kong yang asli di Gedong Batu. Jadi, patung

Sam Po Kong yang ada di kelenteng Tay Kak Sie di Semarang

diyakini sebagian orang sebagai duplikat patung Sam Po Kong

yang ada di Semarang. Kelenteng Tay Kak Sie benar-benar

berolakasi di tengah-tengah kota Semarang. Di depan

kelenteng Tay Kak Sie dapat kita jumpai duplikat kapal Cheng

Ho yang terbuat dari kayu. Warna coklat dan sudah tampak

kehitam-hitaman karena kehujanan dan kepanasan.

Setiap orang yang datang ke tempat ini mempunyai

keyakinan berbeda-beda tentang Cheng Ho tergantung dia

memandang Cheng Ho itu seperti apa. Ada sebagian orang

muslim maupun non muslim menganggap bahwa Cheng Ho

diduga tidak hanya sekedar tokoh muslim dari daratan tiongkok

yang melakukan perdagangan, melakukan hubungan

diplomatik di wilayah-wilayah yang ia kunjungi dan

menyebarkan agama Islam di Nusantara, tapi juga dianggap

sebagai dewa yang dapat dimintai bantuannya. Atas dasar itu,

banyak orang Islam maupun non Islam yang datang ke

kelenteng-kelenteng yang masih ada kaitannya dengan Cheng

Ho, terutama kelenteng Sam Poo Kong Semarang hanya untuk

meminta pertolongan kepadanya. Bukan saja meminta

pertolongan, tapi memberikan penghormatan kepadanya.

Sebagian besar orang muslim percaya bahwa Cheng Ho

adalah seorang muslim dari Tiongkok yang pernah datang

beberapa kali ke Semarang pada abad ke 15, namun tidak

semua orang muslim percaya bahwa Laksamana Cheng Ho itu

berubah menjadi dewa setelah kematiannya. Ditak juga semua

Pratik Islam Nusantara 11

orang muslim percaya bahwa Cheng Ho yang diyakini oleh

sebagian orang muslim lainnya sebagai dewa itu dapat

menolong orang sesuai dengan keinginan mereka. Bagi mereka

yang percaya bahwa Cheng Ho itu berubah jadi dewa dan dapat

membantu manusia yang membutuhkan pertolongan, maka

mereka pergi ke kelenteng Sam Poo Kong adalah untuk tujuan

meminta pertolongan. Bagi mereka yang tidak percaya, maka

kedatangan mereka ke kelenteng Sam Poo Kong adalah hanya

untuk wisata. Oleh karena itu, kita dapat membagi orang

muslim yang datang ke kelenteng Sam Poo Kong ke dalam dua

bagian: (1) Orang muslim yang datang ke sana untuk meminta

pertolongan kepada dewa Sam Poo Kong. Permintaannya

bermacam-macam sesuai dengan keinginan dan permasalahaan

yang mereka hadapi. (2) Orang muslim yang datang ke

kelenteng Sam Poo Kong hanya untuk wisata atau untuk

melihat lebih dekat kelenteng Sam Poo Kong. Oleh karena itu,

pengurus kelenteng memfungsikan kelenteng ini bukan hanya

sekedar untuk tempat orang melakukan ibadah, tapi juga

sebagai tempat wisata. Karena fungsinya juga sebagai tempat

wisata, maka pengurus kelenteng mewajibkan orang yang

masuk ke komplek kelenteng ini harus menggunakan tiket,

sebagaimana masuk tempat-tempat wisata lainnya.

Ditempatkannya patung Cheng Ho di beberapa

kelenteng di Indonesia, bukan saja menjadi pusat penyembahan

oleh sebagian orang Islam dan non Islam, tapi juga sebagai

perekat hubungan muslim dan non muslim yang terjadi di

dalam kelenteng. Di dalam kelenteng mereka tidak hanya

sekedar melakukan pemujaan terhadap dan memohon

pertolongan pada Cheng Ho, tapi juga dapat saling berkumpul

bersama, saling kenal mengenal satu dengan yang lainnya

(Tanggok, 2006) dan juga mempererat tali persahabatan satu

dengan yang lainnya.

12 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Kelenteng Sam Po Kong dan kelenteng Tay Kak Sie di

Semarang merupakan simbol kedatangan Cheng Ho pada abad

ke 15 di wilayah tersebut. Meskipun mempunyai sejarah yang

berhubungan, namun jumlah kedatangan orang muslim ke dua

kelenteng ini berbeda satu dengan yang lainnya. Kelenteng

Sam Po Kong di Semarang menjadi pusat perhatian dan tempat

orang memohon sesuatu pada Cheng Ho oleh sebagian orang

Islam di Semarang dan yang datang di luar semarang,

sedangkan kelenteng Tay Kak Sie menjadi pusat perhatian dan

pemujaan oleh orang-orang Tionghoa non muslim. Kelenteng

di luar Semarang, misalnya kelenteng Ancol di Jakarta, juga

mempunyai kaitan dengan kedatangan Cheng Ho pada abad ke-

15 di Batavia. Kasus yang sama, banyak umat Islam yang

datang ke kelenteng ini untuk memohon pertolongan pada juru

masak Cheng Ho. Kelenteng Sam Po Kung di Singkawang,

juga banyak dikunjungi oleh para pemuja dari kalangan non

Islam dan kelenteng Tuban Jawa Timur juga banyak

dikunjungi orang untuk tujuan sahur dan buka puasa bersama.

Tidak ubahnya dengan Indonesia, Jika kita telusuri praktek-

praktek umat Islam di dalam beberapa kelenteng tersebut, tentu

juga menjadi kajian menarik bagi para antropolog untuk

melihat praktek-praktek keberagamaan sebagian umat Islam

dan non Islam di dalam beberapa kelenteng-kelenteng tersebut.

Ini menjadi salah suatu alasan kenapa prktik-praktik sebagian

umat Islam dalam beberapa kelenteng di Indonesia menjadi

menarik untuk di teliti dan ditulis dalam suatu buku.

Alasan lain kenapa Kelenteng Sam Po Kong, kelenteng

Ancol, kelenteng Sam Po Kung di Singkawang dan kelenteng

Tuban Jawa Timur menjadi pusat perhatian, karena pertama,

Cheng Ho pada saat itu tidak hannya mengunjungi pulau Jawa,

tapi juga pulau-pulau di luar pulau Jawa. Kedua, Kelenteng-

kelenteng ini bukan hanya sekedar tempat ibadah bagi orang

Pratik Islam Nusantara 13

Tionghoa, tapi juga berfungsi sebagai tempat berjumpanya

semua umat beragama yang datang ke kelenteng ini dengan

tujuan bermacam-macam. Ketiga, patung Cheng Ho dan bekas-

bekas patung Cheng Ho dan bagian-bagian dari patung Cheng

Ho yang di letakkan dalam kelenteng-klenting ini untuk dipuja

dan dimintai pertolongannya dan keempat adalah kelenteng

yang tidak ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho di

masa lalu namun banyak dikunjungi umat Islam dari sekitar

kelenteng itu berada.

1.1. Masalah Penulisan Penulisan buku praktik Islam dalam beberapa kelenteng

ini dibatasi pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian

umat Islam di kelenteng Sam Poo Kong Semarang, kelenteng

Ancol di Jakarta dan kelenteng Tuban Surabaya dan kelenteng

Sam Po Kong di Kalimantan Barat. Kelenteng-kelenteng lain

yang ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho di Nusantara

juga menjadi data penunjang untuk melengkapi tulisan ini.

Sejak pertama kali orang Tionghoa datang ke Indonesia,

Kelenteng selalu menjadi tempat mereka untuk berkumpul,

melakukan ibadah dan memohon sesuatu kepada Tuhan

(Thian) dan dewa-dewa yang mereka yakini keberadaannya.

Apakah mereka beragama Tao, Khonghucu dan Buddha, selalu

menjadikan kelenteng sebagai tempat untuk beribadah.

Tradisi semacam ini sudah menjadi pemandangan biasa

untuk seluruh kelenteng di Indonesia dan di luar Indonesia,

terutama di Tiongkok. Sesuatu pemandangan yang tidak biasa

adalah apabila sebagian umat Islam berkunjung ke kelenteng,

khususnya kelenteng-kelenteng yang terkait dengan

kedatangan Cheng Ho (utusan kaisar Tionghoa dan seorang

muslim Tionghoa yang datang pada abad ke-15 di Nusantara)

dan tidak terkait dengan Cheng Ho, memuja dan memohon

14 Dalam Kelenteng-Kelenteng

sesuatu padanya agar semua keinginannya terkabulkan.

Kebiasaan sebagian umat Islam di Indonesia semacam ini

sudah berlangsung cukup lama dan terus berkembang sampai

sekarang. Oleh karena itu, untuk kasus beberapa kelenteng di

Indonesia, kelenteng bukan saja sebagai tempat ibadah orang

Tionghoa pada dewa dan roh-roh, tapi juga menjadi bagian dari

tempat ibadah sebagian umat Islam yang difokuskan untuk

memuja dan meminta sesuatu pada Cheng Ho, tempat

pembagian sembako dan tempat sahur, berbuka puasa bersama

dan tempat dialog kerukunan beragama.

Penulisan buku yang berhubungan dengan Islam

Nusantara ini mengacu pada beberapa pertanyaan sebagai

berikut: (1) Apakah benar ada orang Islam yang datang ke

kelenteng Sam Poo Kong Semarang, kelenteng Ancol di

Jakarta dan kelenteng-kelenteng lain yang ada kaitannya pada

Cheng Ho dan kelenteng-kelenteng yang tidak ada kaitannya

dengan kedatangan Cheng Ho, seperti kelenteng Tuban untuk

melakukan kegiatan yang berhubungan dengan Islam. (2) Jika

benar ada, apa saja yang mereka lakukan di sana. (3) Seperti

apa upacara pemujaan terhadap Cheng Ho di setiap kelenteng

Sam Po Kong dilakukan dan apa saja yang dilakukan oleh

sebagian umat Islam jika mereka berkunjung ke kelenteng yang

ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho. Apakah upacara

pemujaan di kelenteng dapat dilakukan secara individu,

kelompok atau dipimpin oleh seorang juru kunci kelenteng. (4)

Peralatan atau perlengkapan upacara apa saja yang diperlukan

atau yang harus disediakan dalam melakukan upacara

pemujaan terhadap Cheng Ho di dalam beberapa kelenteng

Sam Po Kong (5) Adakah persamaan dan perbedaan pemujaan

terhadap Cheng Ho yang ada di kelenteng Sam Po Kong

Semarang, Kelenteng Ancol di Jakarta dan Kelenteng Sam Po

Kung di Singkawang Kalimantan Barat (6) Apa dampak atau

Pratik Islam Nusantara 15

manfaat yang dirasakan oleh para pelaku upacara setelah

mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho atau

memohon sesuatu kepada Cheng Ho (7) Apakah para pelaku

upacara atau pemohon dari kalangan muslim ini tergolong

sebagai penganut agama (khususnya Islam) yang taat atau

mereka sebagai bagian dari kelompok Islam abangan (tidak taat

dalam menjalankan ajaran agama Islam).

Tujuan penulisan buku ini adalah: (1) untuk memahami

alasan sebagian umat Islam yang mendatangi, menghormati,

memuja dan memohon sesuatu pada Cheng Ho di dalam

kelenteng Sam Po Kong di Semarang, kelenteng Ancol di

Jakarta dan kelenteng Sam Po Kong di Singkawang

Kalimantan Barat (2) Untuk mengetahui, seperti apa upacara

pemujaan terhadap Cheng Ho di beberapa kelenteng dilakukan.

(3) untuk mengetahui, peralatan atau perlengkapan upacara apa

saja yang diperlukan atau yang harus disediakan dalam

melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho di dalam

beberapa kelenteng Sam Po Kong. (4) untuk mengetahui

persamaan dan perbedaan upacara pemujaan terhadap Cheng

Ho yang ada di kelenteng Sam Po Kong Semarang, Kelenteng

Ancol di Jakarta dan Kelenteng Sam Po Kong di Singkawang

Kalimantan Barat. (5) untuk mengetahui dampak atau manfaat

yang dirasakan oleh para pelaku upacara setelah mereka

melakukan upacara pemujaan terhadap Cheng Ho. (6) untuk

mengetahui, apakah para pelaku upacara dalam kelenteng-

kelenteng ini tergolong sebagai penganut agama (khususnya

Islam) yang taat atau mereka sebagai bagian dari kelompok

Islam abangan (tidak taat dalam menjalankan ajaran agama

Islam), sebagaimana diceritakan oleh Clifford Geertz dalam

bukunya yang berjudul: The Religion of Java (1960).

16 Dalam Kelenteng-Kelenteng

1.2. Sumber Data dan Fokus Penulisan Data untuk penulisan buku Islam Nusantara ini berasal

dari dua sumber: (1) penelitian lapangan yang dilakukan di

kelenteng Sam Poo Kong Semarang, kelenteng Ancol Jakarta

dan beberapa kelenteng yang terkait dengan kedatangan Cheng

Ho di Nusantara dan kelenteng Tuban di Jawa Timur. Data

lapangan dikumpulkan melalui observasi dan wawancara

mendalam dengan pengurus kelenteng, juru kunci kelenteng

dan peserta upacara. Wawancara pada beberapa informan tidak

hanya akan dilakukan di dalam beberapa kelenteng yang

dipilih, tapi juga dilakukan di luar kelenteng, misalnya di

rumah dan di kantor informan sesuai dengan kesepakatan

antara saya dengan orang informan. Observasi dilakukan

dengan mendatangi kelenteng-kelenteng tersebut dan

mengamati secara lansung praktek-praktek upacara yang

dilakukan orang-orang muslim dan non muslim di sana.

Dalam proses pengamatan ini, saya tidak hanya sekedar

mengamati proses ritual dari luar, tapi juga mengamati lebih

dekat upacara tersebut, supaya dapat merasakan apa yang

dirasakan oleh pelaku upacara di dalam kelenteng-kelenteng.

Observasi ini tidak hanya dilakukan dalam sekali datang ke

tempat-tempat atau sumber-sumber data, tapi beberapa kali

sampai data yang diperlukan dapat terkumpul dengan

sempurna. Selain observasi dan wawancara mendalam, data

yang berbentuk dokumen juga dikumpulkan dari kantor-kantor

pemeintah, perpustakaan daerah, perpustakaan nasional, dan

perpustakaan perguruan tinggi. Selain itu, surat kabar, dan

majalah juga dikumpulkan sebagai bahan pelengkap data.

Setelah data terkumpul, baru diadakan penulisan laporan yang

dibuat dalam bentuk buku dan sekaligus menganalisa data yang

sudah didapatkan selama proses pengumpulannya di beberapa

kelenteng.

Pratik Islam Nusantara 17

Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan data

lapangan adalah kamera (untuk mengambil gambar-gambar

untuk dimuat dalam buku), buku catatan harian yang

digunakan untuk menulis dan tape recorder untuk merekam

hasil wawancara dengan informan-informan yang telah dipilih

dan computer untuk menuliskan data yang didapatkan. Jika

perekaman wawancara memungkinkan dilakukan, misalnya

mendapat izin dari informan, maka perekaman dalam

wawancara baru bisa dilakukan. Jika tidak, hasil wawancara

hanya dicatat dalam buku harian penelitian.

Penulisan buku Islam Nusantara ini difokuskan pada

prakteik-praktik sebagian umat Islam di kelenteng-kelenteng

yang ada hubungannya dengan kedatangan Cheng Ho, benda-

benda yang terkait dengan kapal-kapal Cheng Ho di beberapa

kelenteng di Indonesia dan kelenteng yang tidak ada hubungan

dengan Cheng Ho namun dikunjungi banyak orang Islam.

Penulisan buku ini tidak banyak mengungkap sejarah

kedatangan Cheng Ho di Nusantara (Indonesia), tapi lebih

kepada mengungkap praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan

para pemuja, maksud dan tujuan para pemuja untuk meminta

pertolongan pada Cheng Ho, juru mudi Cheng Ho, dan tukang

masak Cheng Ho, mempelajari ritual-ritual dan makna-makna

dari praktik-praktik ritual yang mereka lakukan dan

mengungkap tujuan mereka datang ke kelenteng-kelenteng

yang tidak ada kaitannya dengan kedatangan Cheng Ho.

18 Dalam Kelenteng-Kelenteng

2

CHENG HO DAN NEGARA-

NEGARA DI LUAR TIONGKOK

2.1. Mengenal Cheng Ho

Dalam karya-karya yang ditulis oleh sarjana-

sarjana Barat dan Indonesia, kita sudah mengenal

nama Cheng Ho atau Zheng He yang datang ke

berbagai pulau di Nusantara sekitar abad ke-15.

Meskipun demikian, kita masih sulit untuk mengetahui

riwayat hidup Cheng Ho yang sesungguhnya, karena

sedikit sekali catatan-catatan yang menceritakan

Cheng Ho dari kecil sampai dengan dewasa yang

ditulis oleh sarjana-sarjana dari Tiongkok. Yang

banyak kita jumpai adalah catatan-catatan tentang

sejarah perjalanan Cheng Ho ke negara-negara di luar

Tiongkok, itupun berdasarkan catatan perjalanan para

pengikutnya, seperti Ma Huan, Fei Xin, dan sarjana -

Pratik Islam Nusantara 19

sarjana Timur maupun Barat yang mempunyai

ketertarikan untuk mengkaji tentang Cheng Ho. Cheng

Ho sendiri tidak pernah mencatat sejarah

perjalanannya ke Nusantara dan Negara-negara lain.

Semua yang kita dapat sampai saat ini adalah cerita

orang lain tentang dia dengan mendasarka pendapatnya

pada bukti-bukti sejarah. Keterbatasan mengenai sumber kepustakaan tentang

Cheng Ho tidak membuat kita kesulitan dalam

mempelajari Cheng Ho dan keluarganya, tapi kita

masih dapat mengetahuinya walaupun hanya sedikit.

Ada dua sumber yang dapat mengungkapkan tentang

latar belakang keluarga Cheng Ho, yang pertama

adalah Ming Shi (kitab sejarah resmi dinasti Ming) dan

inskripsi yang terdapat pada makam ayahnya Cheng

Ho yang masih terjaga dengan rapi sampai sekerang.

Biasanya di batu nisan kuburan Tionghoa, dapat kita

ketahui nama dan marga orang yang meninggal dunia. Dari

batu nisan ini dapat juga dijadikan alat bukti untuk menelusuri

orang yang sudah meninggal dunia berasal dari marga apa dan

keturunan anak laki-lakinya siapa saja. Biasanya di batu nisan

kuburan orang Tionghoa ditulis nama asli orang yang mati,

nama anak-anaknya dan juga dia dari marga apa. Dari

marganya tersebut kita dapat mengetahui bahawa yang mati

berasal dari keturunan apa. Marga diwariskan seterusnya pada

anak laki-laki dan bukan pada anak perempuan. Anak

perempuan mengikuti marga suaminya dan anak-anaknya juga

mengikuti marga ayahnya. Sedangkan Cucu dari keturunan

laki-laki disebut cucu dalam dan cucu dari keturunan

perempuan disebut cucu luar (Tanggok, 2006). Artinya cucu ini

sudah mengikuti marga orang tua laki-lakinya dan bukan

marga ibunya. Orang Tionghoa sama dengan orang Batak,

20 Dalam Kelenteng-Kelenteng

yaitu menganut garis keturunan patrilinial (berdasarkan garis

keturunan ayah) dan berbeda dengan orang Minang, yaitu

mendasarkan garis keturunan dari pihak wanita (matrilineal).

Cheng Ho mempunyai nama besar, dan popular di

masanya dan juga di masa sekarang. Tidak mungkin

nama seseorang tercatat dalam sejarah dinasti Ming,

jika seseorang tersebut bukanlah orang penting dan

mempunya jasa yang cukup banyak terhadap negara.

Demikian juga, tidak mungkinlah dia orang jahat, tentu

saja dia adalah orang baik-baik yang mempunyai jasa

terhadap masyarakat (Tanggok, 2006). Kaisar

Tiongkok mempercayainya sebagai pemimpin untuk

menjelajah dunia, menjalin hubungan antara Tiongkok

dan negara-negara di Asia Tenggara.

Ming Shi adalah kitab sejarah resmi dinasti Ming.

Dalam buku itu dapat kita lihat bagaimana sejarah

Cheng Ho dijelaskan secara singkat. Dalam buku itu

dapat dijumpai 30 huruf Tionghoa yang menjelaskan

tentang riwayat Cheng Ho. Meskipun hanya 30 huruf

Tionghoa, tapi sudah cukup membuktikan bahwa

Cheng Ho itu memang betul ada dalam sejarah. Kita

dapat menemukan riwayat hidup Cheng Ho Dalam

kitab Ming Shi, sebagaimana dijelaskan sebagai

berikut:

Dalam kitab Ming Shi dikatakan, bahwa Cheng Ho

adalah berasal dari provinsi Yunan. Dia dapat

dipanggil dengan nama San Bao Tai Jian. Pada

mulanya ia bekerja di istana raja Yan, karena ia ikut

terlibat dalam peperangan, kemudian ia terpilih

menjadi Taijian (Kasim Agung atau kasim yang

mulia). Ini adalah satu gelar yang amat mulia

diperuntukkan padanya. Atas dasar pemberian gelar

Pratik Islam Nusantara 21

tersebut dia mendapat penghormatan dari banyak

orang. Sebagaimana kita ketahui bahwa gelar kasim itu

tidak dimiliki banyak orang di kalangan istana

kerajaan di masa itu dan hanya orang tertentu saja

yang mendapatkannya. Kaisar melihat bahwa dia

adalah salah seorang yang pantas menerima gelar

tersebut.

Berdasarkan sejarah, Cheng Ho mempunyai banyak nama

panggilan, kadangkala ia disebut Sam Poo Tay Jin, Sam Po

Tao Lang, The Hoo, Cheng Ho, Zheng He dan ada juga

yang menyebutnya dengan Sam Poo Kong. Umumnya

masyarakat Tionghoa di Singkawang menyebutnya

dengan nama Sam Po Kong, dan klentenya juga diberi

nama kelenteng Sam Po Kong. Dikalangan masyarakat

Tionghoa Indonesia Cheng Ho lebih dikenal dengan

nama Sam Po Kong.

Selain dari kitab Ming Shi, kita juga dapat

mengetahui riwayat Cheng Ho dari inskripsi yang

tertulis di makam orang tuanya yang terdapat di

provinsi Yunnan. Inskripsi tersebut tidak lagi terdiri

dari 30 kata, sebagaimana yang terdapat dalam Ming

Shi, tapi sudah lebih banyak lagi, yaitu sekitar 14

baris. Inskripsi tersebut berbunyi sebagai berikut:

Ha Zhi (Haji) adalah nama dari tuan Ma, dan

sedangkan nama keluarganya adalah Ma. Ma berasal

dari distrik Kunyang di propinsi Yunnan. Dia memiliki

seorang kakek yang bernama Bay Yan, sedangkan

neneknya berasal dari keluarga Ma juga. Sebagaimana

disebutkan di atas, ayahnya bernama Ha Zhi, ibunya

berasal dari keluarga Wen, … anak laki -lakinya ada 2

orang, yang tertua bernama Wen Ming dan kedua

diberi nama Ho. Tuan Ma memiliki anak perempuan

22 Dalam Kelenteng-Kelenteng

sebanyak 4 orang. Seja muda, Ho sudah menunjukan

bakat dan kemampuannya. Ia mengabdi pada Putra

Langit (Kaisar Tionghoa) yang menghadiahkan nama

keluarga Zheng atau Cheng padanya serta

mengangkatnya sebagai Nei Guan Tai Jian, … Tuan

Ma dilahirkan pada hari ke 9, bulan ke 12, tahun Jia

Shen (12 Januari 1345) dan meninggal dunia pada hari

ke 3, bulan 7, tahun Ren Su pada masa pemerintahan

kaisar Hong Wo (12 Agustus 1382). Ia te lah mencapai

usia 69 tahun. Putra tertuanya yang bernama Wan

Ming memakamkan ayahnya di desa Hodai yang

terletak di distrik Baoshan (Tju Kie Hak Siep, 1954;

Tanggok, 2006). Tentu saja pemakaman ayahnya ini

dilakukan secara Islam, karena orang tua Cheng Ho

adalah beragama Islam. Sebagaimana kita ketahui

bahwa jumlah orang-orang Tionghoa pada masa itu

yang Bergama Islam sudah cukup banyak dan bahkan

masyarakatnya sudah banyak melakukan hubungan

dengan masyarakat di Timur Tengah.

Bukan saja Cheng Ho, Informasi tentang orang

tuanya juga dapat kita jumpai dalam suatu tulisan yang

ditulis di batu nisannya. Peryataan tersebut berbunyi

sebagai berikut:

Sebagaimana layaknya orang Islam secara umum,

orang tua Cheng Ho juga telah melaksanakan ibadah

haji di tanah suci Mekkah, dan tidak diketahui berapa

kali dia melaksanakan ibadah haji tersebut. Nama

leluhur atau marga dari orangtua Cheng Ho ialah Bhe,

kakeknya bernama Banyan. Nama leluhur ibunya

adalah Un. Orang tua Ho mempunyai dua orang putra

dan satu putrid yang hidup saling rukun satu dengan

yang lainnya. Anaknya yang pertama bernama Bun

Pratik Islam Nusantara 23

Bin, yang kedua bernama Ho dan yang ketiga adalah

seorang putri. Semasa mudanya, Ho sangat cerdik, kini

berhamba sebagai raja sebagai Lwee Kam, oleh

baginda raja ia dianugrahi nama leluhur Bhe yang

berbeda dengan nama leluhur dia sebelumnya

(Tanggok 2006). Sumber tertulis mengenai Cheng Ho

tampaknya berbeda-beda, namun sumber itu tetap

mengarah pada bahwa Cheng Ho adalah berasal dari

keluarga yang beragama Islam, dan juga berasal dar i

keluarga Islam.

Kelenteng Sam Poo Kong Semarang

(Sumber:Google)

Sumber-sumber di atas, kita mendapatkan dua

informasi yang berbeda mengenai keluarganya Cheng

Ho. Di dalam Ming Shi disebutkan bahwa nama

keluarga Ho adalah Ma, sedangkan dalam tulisan

Moerthiko di atas nama keluarga Ho adalah

24 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Bhe.Perbedaan lain adalah tentang nama dari anak

sulung atau tertuanya. Jika dalam Ming Shi dikatakan

bahwa anak atau kakak tertua dari Ho bernama Wen

Ming, sedangkan dalam tulisan Moerthiko nama anak

tertua atau kakak tertua Ho bernama Bun Bin.

Perbedaan ini diakibatkan ada kemungkinan Moerthiko

mengambil dari sumber yang berbeda, sehingga

menghasilkan informasi yang berbeda pula. Dalam

Ming Shi disebutkan bahwa orang tuanya Ho

mempunyai 4 orang anak perempuan, namun tidak

disebutkan nama-nama dari anak perempuan tersebut.

Dalam tulisan Moerthiko disebutkan bahwa orang tua

Ho mempunyai seorang anak perempuan. Kesamaannya

adalah yang berhubungan dengan nama kakeknya. Jika

dalam Ming Shi disebutkan bahwa nama kakek Cheng

Ho ialah Bay Yan, sedangkan dalam tulisan Moertiko

nama kakeknya Ho ialah Banyan (sebutannya hampir

sama), dan cuma saja tulisannya digabung (Tanggok,

2006; Moertika, tanpa tahun). Perbedaan itu tidak

menimbulkan masalah dan bahkan dapat mendorong

kita untuk mencari informasi yang lebih akurat dan

benar tentang asal-usul Cheng Ho.

Selain karya-karya disebutkan di atas, karyanya Ma

Huan (1433) juga memberikan Informasi yang banyak

tentang Cheng Ho. Mahuan adalah seorang penerjemah

Cheng Ho yang banyak menguasai bahasa-bahasa

Negara-negara lain.Dalam karyanya tersebut dikatakan

bahwa nama asli dari Cheng Ho ialah Ma Ho. Anggota

keluarganya hidup di daerah bagian K’un yang terletak

di ujung Baratdaya danau Tien chih di Provinsi Yunan.

Kakeknya bernama Bayan yang lahir di Mongol.

Karena ia lahir di Mongol, maka ada kemungkinan dia

Pratik Islam Nusantara 25

adalah seorang anggota pasukan Mongol yang berpusat

di Yunan. Bapaknyanya memiliki nama marga Ma dan

dengan gelar “Haji,” ini mengindikasikan bahwa dia

(orang tuanya Cheng Ho) adalah seorang muslim yang

sudah melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekkah,

sebagaimana dilakukan oleh orang-orang muslim yang

lainnya di masa itu.

Kita tidak dapat mengetahui apakah kakeknya

seorang muslim atau bukan, karena tidak ada sumber

yang menjelaskan tentang sejarah kehidupannya . Jika

dilihat dari anaknya yang telah melaksanakan ibadah

haji, maka kakeknya juga dapat diduga sebagai

seorang muslim yang taat. Ini hanya baru sekedar

dugaan saja mengenai kakeknya Cheng Ho, sebab

belum kita jumpai sumber yang jelas tentang

kehidupan keagamaan kakeknya Cheng Ho.

Diduga bahwa Cheng Ho lahir pada tahun 1371.

Dia adalah laki-laki kedua dari Ma dan memiliki empat

orang adik perempuan. Dalam tulisan Ma Huan tidak

dijelaskan tentang nama kakak tertuanya. Kakak

tertuanya ini apakah laki-laki atau perempuan. Tidak

dijelaskan juga dalam tulisan itu tentang adik-adiknya

dan siapa nama dari adik-adiknya. Dalam tulisan Ma

Huan ini juga tidak dijelaskan siapa nama asli

bapaknya, abang tertuanya dan empat orang adik

wanitanya.

Sebagai seorang laki-laki, dia memperlihatkan

tanda-tanda kemampuan yang luar biasa dan sudah

pasti dia dididik dan dibersarkan dalam keyakinan

orang muslim, karena bapaknya adalah seorang

muslim. Tidak hanya sekedar muslim, tapi juga telah

melaksanakan rukun Islam yang ke lima. Di dalam

26 Dalam Kelenteng-Kelenteng

usianya yang ke-21 tahun dia mengabdikan dirinya

pada pangeran Yen, yang bernama Chu Ti. Ia adalah

anak laki-laki keempat dari kaisar Hung-wu, yang

bertugas untuk memimpin suatu wilayah yang cukup

besar di bagian Timur Laut dan pada tahun 1403 ia

menjadi Kaisar Ch’eng-tsu. Sebagai seorang anak buah

dari pangeran Yen, Cheng Ho melaksanakan tugas

dengan baik dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, ia

sangat disenangi oleh pangeran Yen (lihat juga dalam

Tanggok 2006), karena sangat bertanggung jawab

dalam menjalankan tugas dari kaisar.

Berdasarkan pada beberapa sumber di atas, maka

dapat kita katakana bahwa Ma Ho adalah seorang yang

berpendidikan, yang mempelajari ilmu pengetahuan

dan seni berperang, dan dia tidak mau ikut campur

dalam penindasan dan pemberontakan di Yunan. Pada

tahun 1404, dia diberi nama marga baru, yaitu Cheng,

sebagai sebuah penghargaan atas jasa-jasanya terhadap

kerajaan dan kerajaan juga mempromosikannya untuk

menjadi seorang kasim agung, serta sebagai seorang

pemimpin. Dengan nama marga baru tersebut, nama

asli Ho berubah menjadi Cheng Ho atau Zheng He.

Sebagaimana orang Tionghoa umumnya bahwa nama

marga selalu digandengkan dengan nama aslinya.

Sebagai contoh Nio Yu Lan, di mana nama aslinya

adalah Yu Lan dan nama marganya adalah Nio

(Tanggok 2006), Bong Siau Lian, artinya bahwa nama

aslinya adalah Siai Lian dan nama marganya adalah

Bong. Menurut Tanggok (2006) bahwa bagi orang

Tionghoa, nama keluarga amatlah penting untuk

dicantumkan dalam nama asli agar yang mempunyai

nama dapat dikenal nama marganya. Bagi orang

Pratik Islam Nusantara 27

Tionghoa, menikah sesama marga tidak tidaklah boleh,

karena masih dianggap satu saudara.

Pada awalnya, Cheng Ho belum dikenal dikalangan

kasim-kasim sebagai seorang yang cerdas dan enak

dipandang, namun raja Ch’eng-tsu (Yong-lo) telah

mengankat dia sebagai wakil atau duta darinya dan ia

ditugaskan raja untuk memimpin enam armada laut

besar yang berlayar ke Samudera Barat. Perjalanan itu

terjadi antara tahun 1405 dan 1421. Perjalanan ini

adalah perjalanan pertama Cheng Ho yang ditugaskan

untuk memimpin kekuatan meliter yang cukup besar.

Suatu kepercayaan yang luar biasa yang diberikan oleh

kaisar kepadanya. Jika dia bukan orang yang jujur atau

dapat dipercaya dan cerdas, tidak mungkin tugas yang

begitu besar ini dilimpahkan kepadanya. Jika ia tidak

dipercaya oleh raja, tidaklah mungkin ia ditugaskan

untuk memimpin para armada untuk menyeberangi laut

bebas.

Pada abad ke-15, tepatnya pada tahun 1424, di

Tiongkok telah terjadi pergantian kekuasaan. Karena

pergantian kekuasaan itu, maka kebijakan

pemerintahpun berubah sesuai dengan irama

kepemimpinan pada masa itu. Oleh karena itu, raja

Jen-tsung menugaskan Cheng Ho sebagai pejuang yang

tugasnya sebagai pembela di wilayah Nanking. Namun

pada tahun 1428 raja Hsü-te meminta dia

menyelesaikan pembangunan tempat ibadah yang

cukup besar di Nanking. Tidak dapat diketahui, apa

nama tempat ibadah itu, apakah masih ada sampai

sekarang atau sudah musnah. Selama tahun 1430 dia

diperintahkan oleh raja untuk memimpin perjalanan

yang ketujuh atau terakhir ke laut bagian Barat.

28 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Diduga pada perjalanannya yang ke tujuh dia juga

mampir ke kepulauan Nusantara (Leo 2007 dan Kong

Yuanzhi 2000), termasuk semarang dan beberapa pulau

di Nusantara yang diduga pernah disinggahi kapal -

kapal Cheng Ho.

Setelah menyelesaikan tugasnya untuk berkunjung

ke berbagai negara, atau menyelesaikan perjalanannya

yang ke tujuh, tepatnya pada tahun 1433, Cheng Ho

kembali menjalankan tugasnya yang dahulu

ditinggalkannya, yaitu sebagai seorang pembela di di

wilayah Nanking. Pada saat dia berusia 65 tahun dia

meninggal dunia di Nankin, sebagai mana kuburan

tradisionalnya masih dapat dilihat di sana (Kong

Yuanzhi). Selama hidupnya, Cheng Ho membantu atau

mengabdikan dirinya pada tiga kerajaan dan menjadi

seorang duta besar amat penting di masa pemerintahan

Yong-lo dan Hsüan-te. Dia sangat disegani banyak

orang karena kemampuannya yang luar biasa dalam

memimpin anak buahnya mengarungi laut luas ke

berbegai Negara. Dia dianggap duta Tiongkok yang

dapat mengeratkan hubungan antara satu Negara

dengan Negara lain (Tanggok 2006). Dia juga

dianggap memiliki jasa besar memperkenalkan

kebudayaan Tiongkok ke Negara-negara lain.

Cheng Ho memiliki kemampuan luar biasa, dia

berhasil memimpin tujuh perjalanan laut yang cukup

besar dan mengunjungi lebih dari tiga puluh negara.

Ini sebuah keberhasilan yang luar biasa bagi seorang

kasim agung yang memimpin ribuan orang dalam

perjalanan laut dan bertanggung jawab dalam setiap

misi perjalanannya. Dalam beberapa perjalanannya, dia

meninggalkan catatan-catatan perjalanannya, termasuk

Pratik Islam Nusantara 29

catatan-catatan yang ditulis dalam tiga bahasa, yaitu

dalam bahasa Tionghoa,Tamil dan Persia, yang dapat

ditemukan di Galla di Ceylon (Tanggok 2006) dan

menjadi saksi sejarah bagi perjalanan Cheng Ho.

Andaikata tidak ada catatan-catatan itu, tentu saja sulit

bagi generasi sekarang untuk mengetahui apa yang

dikerjakan oleh Cheng Ho pada masa lalu. Dengan

demikian, generasi sekarang akan sulit mengetahui

sejarah masa lalu tentang hubungan Tiongkok dan

Nusantara.

Pintu Gerbang Depan Kelenteng Sam Poo Kong Semarang

(Sumber: Google)

Sebagian besar masyarakat Tiongkok mengenal

Cheng Ho dengan gelar yang diberikan kaisar padanya,

yaitu “San pao t’ai-chien, yaitu kasim agung San Po.”

San pao t’ai-chien, terdiri dari dua kata, “San Po”

dapat diartikan sebagai “tiga batu permata” yang

30 Dalam Kelenteng-Kelenteng

mencerminkan “triratna” dari ajaran Buddha.

Berdasarkan sejarah, dia adalah seorang muslim yang

juga mempelajari agama Buddha, namun dia tidak

meyakini agama Buddha sebagai agama. Dia adalah

seorang yang mempunyai watak dan penampilan yang

luar biasa, badannya tinggi besar dan kuat, sehingga

patung-patungnya yang dibuat menyerupainya

digambarkan sebagai orang yang tinggi besar dan

berbadan besar. Karena kemampuannya yang luar biasa

dalam memimpin pasukannya, maka ia sangat dikenal

banyak orang di lingkungan istana. Dia juga dikenal

sebagai seorang diplomat yang memiliki kemampuan

yang luar biasa, memiliki kemampuan dalam

memimpin, tidak takut dalam mengambil sebuah

keputusan yang dianggap benar dan menguntungkan,

dan memiliki strategi yang luar biasa dalam memimpin

anaknya. Strategi yang baik yang ia gunakan dalam

memimpin membuat ia sukses dalam setiap misinya ke

Negara-negara lain.Tidak hanya itu, setiap Negara

yang ia kunjungi, selalu disambut dengan meriah oleh

masyarakat setempat. Keberadaannya diwilayah yang

ia kunjungi tidak pernah menimbulkan konflik dan

bahkan dia dianggap sebagai simbol perekat hubungan

antar sukubangsa.

Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar penduduk

Thailand menganut agama Buddha. Masyarakat muslim

adalah masyarakat minoritas di sana. Masyarakat

Tionghoa perantau juga cukup besar jumlahnya di

sana. Berdasarkan sejarah yang ditulis oleh para ahli

sejarah, Cheng Ho dalam hidupnya juga pernah

berkunjung ke Siam (Thailand). Sehingga tidak heran

jika di sana juga memiliki sebuah kelenteng ( temple)

Pratik Islam Nusantara 31

San Po. Di kelenteng itu, patung San Po atau Cheng

Ho juga dihormati dan dipuja di sana oleh masyarakat

yang memiliki kepercayaan tertentu tentang Cheng Ho.

Di Formusa, nama Cheng Ho atau San Po digunakan

untuk tanaman jahe atau sebutan untuk tanaman jahe.

Di Malaka (Malaka), dia juga dikenal dengan sebutan

Sam Po Kung dan memiliki sebuah museum di sana

(Kong Yuanzhi 2000: 152-153). Musium ini milik dari Dr.

Tan Ta Sen dan diberi nama “Cheng Ho Cultural Museum.” Musium

ini mengkoleksi buku-buku yang berhubungan dengan Cheng Ho,

baik yang ia tulis sendiri maupun yang ditulis oleh sarjana-sarjana

barat, duplikat kapal-kapal Cheng Ho, kramik-kramik, peta pelayaran

Cheng Ho, dan benda-benda lain yang berhubungan dengan Cheng

Ho. Untuk mengetahui tentang sejarah Cheng Ho, kita dapat juga

membaca buku-buku yang ditulis oleh Dr. Tan Ta Sen (pemilik

Musium Cheng Ho di Malaka-Malaysia, tinggal di Singapura dan

mendapat gelar Doktor dari Universitas Indonesia). Salah satu

karyanya berjudul: Cheng Ho and Islam in Southeast Asia,

Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2009. Data untuk

penulisan buku ini diambil dari tesis Ph.D nya di

Universitas Indonesia.

Di Melaka-Malaysia, Cheng Ho dikenal dengan

adanya museum Cheng Ho di Pacinan Bandar (kota)

Melaka. Generasi muda Melaka mungkin kurang

mengenal Cheng Ho, namun karena adanya museum

Cheng Ho di Pecinan Bandar (Kota Malaka), maka

dapat memberikan informasi kepada mereka untuk

mengenal sejarah Cheng Ho. Musium Cheng Ho ini

terdapat di kota Melaka dan tepatnya di perkampungan

orang Tionghoa atau Pecinan. Para turis lokal maupun

macanegara yang datang ke Melaka dapat berkunjung

di museum ini dan meninkmati koleksi -koleksi

museum yang menunjukan bahwa Cheng Ho bukanlah

32 Dalam Kelenteng-Kelenteng

mitologi banyak orang, namun benar-benar pernah

berada di Melaka pada abad ke-15.

Di museum ini juga disediakan patung Cheng Ho

dan altar tempat pemujaan untuk Cheng Ho. Bagi para

pengunjung yang akan melakukan penghormatan pada

Cheng Ho, dapat dilakukan di tempat itu (sebelah

kanan dari pintu masuk museum). Di samping tempat

pemujaan untuk Cheng Ho, ada kantin atau Cape untuk

para pengunjung dan bukan pengunjung yang mau

makan dan minum di tempat ini. Musium Cheng Ho ini

menyediakan koleksi-koleksi yang berkaitan dengan

kedatangan Cheng Ho di Melaka pada abad ke 15 M.

Dalam museum Cheng Ho ini juga dipamerkan buku-

buku yang berhubungan dengan sejarah Cheng Ho,

baik ditulis oleh para penulis luar, dan juga di tulis

oleh penulis Singapura, seperti Dr. Tan Ta Seng, yaitu

pemilik museum Cheng Ho di Malaka ini.Pada saat

saya bertemu dengan dia (di Musium) pada bulan

Nopember 2015 lalu, dia mengatakan kepada saya

bahwa museum Cheng Ho juga akan dibangun di Kota

Tua Jakarta. Dia sudah menemukan mitra dan lokasi

untuk pembangunan museum Cheng Ho ini.

Saya melihat, setiap Negara mempunyai perbedaan

dalam memberikan nama panggilan terhadap Cheng

Ho.Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah penghalang

bagi kita untuk memahami lebih dekat siapa itu Cheng

Ho, namun lebih mendorong kita untuk lebih jauh

mencari atau meneliti kembali mengenai Cheng Ho

tersebut. Meskipun demikian, kita sudah mendapat

gambaran siapa sebenarnya Cheng Ho dan bermacam

nama panggilan yang diberikannya padanya. Dari tiga

kutipan di atas menunjukan bahwa Cheng Ho adalah

Pratik Islam Nusantara 33

berasal dari keluarga muslim yang taat dalam

menjalankan ajaran Islam.

Sebagaimana yang terpahat di batu nisan ayahnya

tersebut di atas, bahwa ayah dan kakeknya adalah

pernah melaksanakan ibadah Haji dan diberi gelar haji.

Ini adalah sebuah gelar yang diberikan oleh

masyarakat untuk orang muslim yang telah

melaksanakan rukun Islam ke lima di tanah suci

Mekkah. Begitu juga dengan pahatan yang ada di batu

nisan ayahnya ini juga menunjukan bahwa leluhurnya

adalah seorang muslim sehingga dia dibesarkan dan

dididik dalam keluarga muslim. Jika leluhurnya

muslim tergolong dalam keluarga muslim yang taat

menjalankan ajaran Islam, maka sudah dapat

dipastikan bahwa Ho adalah juga seorang muslim yang

taat melaksanakan ibadah, karena mengikuti jejak

orang tua dan kakeknya. Apa yang terpahat di nisan

ayahnya tersebut juga memperkuat pendapat banyak

ahli sejarah yang mengatakan bahwa Ho adalah

seorang muslim.

Tidak hanya kakek dan ayahnya yang sudah

menginjakkan kaki mereka ke tanah suci Mekkah, tapi

Ho juga telah berkunjung ke sana dan sekali gus

melaksanakan ibadah haji. Ini artinya bahwa Ho juga

sama dengan ayah dan kakeknya yaitu menyandang

gelar haji. Sebagaimana kita ketahui bahwa antara

Tiongkok dan Mekkah tidaklah begitu jauh sehingga

memungkinkan bagi orang-orang muslim di Tiongkok

dengan mudah.Ketika saya berkunjung ke Tingkok

Desember 2004 bersama almarhum Abdurrahman

Wahid, saya sempat bertanya kepada salah seorang

muslim Tionghoa di sana: “Apakah anda kenal dengan

34 Dalam Kelenteng-Kelenteng

beberapa Universitas Islam yang ada di Indonesia?”

Dia menjawab: “Tidak, dan dia hanya mengenal

beberapa Universitas Islam di Timur Tengah, seperti

Al-Azhar.”

Cheng Ho hidup di antara orang-orang yang

berbeda agama, seperti orang yang beragama Tao,

Khonghucu dan Buddha. Meskipun dia hidup di antara

orang yang berbeda agama, namun dia dan orang-orang

beragama lain di Tiongkok masih dalam satu

sukubangsa. Cheng Ho dipandang sebagai orang yang

tidak anti terhadap agama-agama di luar agama Islam

dan dia membuka diri pada tokoh-tokoh agama lain

seperti Tao, Khonghucu dan Buddha yang cukup

berkembang di Tiongkok pada masa itu. Atas dasar itu,

dalam hidupnya dia sempat belajar agama Buddha

untuk menambah pengetahuan mereka tentang agama-

agama di luar agama yang diyakininya dan bukan

dijadikan sebuah keyakinan baru dalam dir inya (Kong

Yuan Zhi, 2000). Agama Buddha yang ia pelajari

hanyalah sekedar ilmu pengetahuan, seperti layaknya

beberapa sarjana barat selama ini yang banyak belajar

tentang kebudayaan orang Islam tapi dia bukan Islam,

misalnya: Clifford Geertz (1960), Mark R Woodward

(1988), dan banyak lagi sarjana-sarjana non Islam di

Eropa yang ahli tentang Islam.

Pengetahuan Cheng Ho tentang agama-agama

orang lain ini cukup penting bagi dia, karena sebagai

seorang yang sering ditugaskan untuk menjalin

hubungan dagang dan persahabatan dengan negara-

negara lain, maka dia akan menjumpai beragam

sukubangsa dan keyakinan agama yang berbeda. Jika

pengetahuannya tentang kebudayaan dan agama orang

Pratik Islam Nusantara 35

lain banyak, maka dapat memudahkan baginya untuk

melakukan hubungan dengan orang-orang dari negara-

negara yang dia kunjungi. Mempelajari agama orang

lain adalah salah satu strategi bagi dia agar

memudahkannya berhubungan dengan masyarakat yang

bukan beragama Islam. Sebagaimana kita ketahuai,

Cheng Ho tidak semata-mata mengunjungi negara-

negara yang mayoritas penduduknya muslim, tapi juga

mengunjungi negara-negara yang mayoritas

penduduknya non muslim, seperti Tailand yang

sebagian besar penduduknya menganut agama Buddha.

Bagi Cheng Ho, agama Buddha tidaklah asing lagi

baginya karena di Tiongkokpun banyak orang yang

menganut agama Buddha (Tanggok 2010), terutama

agama Buddha aliran Mahayana (kereta besar). Sekarang

ini agama Buddha adalah agama yang terbanyak dianut

masyarakat Tiongkok. Agama ini menempati urutan pertama

dari agama Tao dan Khonghucu. Agama-agama di Tiongkok

adalah: Tao, Buddha, Khonghucu, Islam, dan Kristen. Agama

Buddha di Tiongkok dibawa oleh orang Tionghoa yang telah

belajar Buddhisme di India. Sepulangnya mereka dari India,

mereka mengajarkan agama Buddha di Tiongkok.

Cheng Ho belajar agama Buddha bukan bukan

karena dipaksa oleh orang tuanya atau oleh kaisar yang

berkuasa pada masa itu, karena murni untuk memahami

ajaran Buddha untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Salah satu bukti Ho mempelajari agama selain Islam,

khususnya Buddha dapat dilihat dalam kitab agama

Buddha Mouw Lik Kie. Dalam kitab tersebut dijelaskan

bahwa (Moerthiko, tampa tahun):

“Pada tahun Eng-lok pertama, tercatat bahwa Ho telah

diterima sebagai murid Pousat (Buddha) dan diberi

36 Dalam Kelenteng-Kelenteng

nama perguruan Hok-sian, dan segala pekerjaan yang

ditugaskan padanya telah diselesaikan dengan baik.”

Oleh karena itu dia disenangi oleh pendeta agama

Buddha.

Pengetahuan Cheng Ho tentang agama di luar

agama Islam, cukup banyak, hal ini mendorong dia

untuk bersikap toleran terhadap agama orang lain.

Dengan cara ini, akan terjadi toleransi beragama dan

kehidupan harmoni akan terwujud. Pengetahuan

tentang agama-agama selain agama yang dia yakini ini,

dapat dijadikan alat untuk berhubungan dengan orang-

orang yang beragama selain Islam. Sebelum agama

Buddha dan Islam masuk ke Tionghoa, orang-orang

Tionghoa sudah mengenal ajaran-ajaran agama

tradisional mereka, yaitu Taoisme dan Konfusianisme.

Saya yakin, pengetahuan Cheng Ho mengenai kedua

ajaran ini juga banyak, sehingga dapat dia jadikan

acuan dalam berbuat, bertindak dan dalam mengambil

sebuah keputusan (Tanggok 2006).Pengetahuan Cheng

Ho tentang agama Buddha sangatlah bermanfaat, sebab

pada abad ke-15 wilayah nusantara masyarakatnya

masih kuat dengan tradisi Hindu dan Buddha.

2.2. Perjalanan Cheng Ho ke Nusantara Banyak buku yang menceritakan perjalanan

kapal-kapal Cheng Ho ke Nusantara, namun dari

catatan kaki buku-buku tersebut tampaknya mengacu

pada karya Ma Huan (1979). Dalam karyanya Ma

Huan, Yin-yai Sheng-lan (Pemandangan Indah di

Seberang Samudera) dikatakan bahwa perjalanan

Cheng Ho ke nergara-negara di luar Tiongkok dapat

dibagi dalam tujuh bagian: perjalanan pertama

Pratik Islam Nusantara 37

dilakukan pada tahun 1405 sampai dengan 1407,

perjalanan kedua dilakukan pada tahun 1407 sampai

dengan 1409, perjalanan yang ketiga dilakukan pada

tahun 1409 sampai dengan 1411, peleyaran keempat

dimualai dari tahun 1413 sampai dengan tahun 1415,

perjalanan kelima dimualai dari tahun 1417 sampai

dengan tahun 1419, perjalanan keenam dimulai dari

tahun 1421 sampai dengan tahun 1422, dan perjalanan

ke tujuh dimulai dari tahun 1431 sampai dengan 1433.

Perjalanan Cheng Ho dan anak buahnya ini memakan

waktu kurang lebih dua tahun untuk mengunjungi

Nusantara dan beberapa Negara di luar Tiongkok

(Kong Yuan Zhi 2000; Tanggok 2006).

Cheng Ho

Ma Huan, penulis buku tentang Yingyai Shenglan

adalah difungsikan oleh Cheng Ho sebagai penerjemah dalam

pelayarannya yang keempat, keenam dan ketujuh. Dalam

menulis Yingyai Shenglan Ma bekerjasama dengan Guo

38 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Chongli. Dia ikut serta dalam pelayaran Cheng Ho sebanyak

tiga kali. Dua orang laki-laki inilah yang selalu mencatat

selama pelayaran Cheng Ho ke berbagai negara dan dituangkan

dalam buku Yingyai Shenglan (Mills 1970). Jika tidak ada dua

orang laki-laki ini yang ikut dalam beberapa pelayaran Cheng

Ho, tentu saja kita mengalami kesulitan untuk mengetahui

seperti apa pelayaran yang dilakukan oleh Cheng Ho dan

beserta anak buahnya di berbagai Negara pada abad ke-15.

Sumber lain yang agak berbeda dengan apa yang

dijelaskan dalam Yin-yai Sheng-lan di atas adalah

bersumber dari catatan komite Sam Po tahun 1929 di

Semarang (Moertiko, tt).

Berdasarkan Komite Sam Po tersebut, bahwa

angkatan perang Sam Po terdiri dari 62 kapal Wakang

(kapal yang digunakan oleh oleh orang-orang

Tionghoa dahulu ketika akan berpergian ke Negara

lain) yang cukup besar yang membawa sekitar 27.800

anak buah. Anak buah yang dia bawa semuanya terdiri

dari laki-laki dan kaum wanita menetap di negaranya.

Komite tersebut juga mencatat bahwa perjalanan

Cheng Ho (Sam Po Kong) keberbagai negara di luar

Tiongkok terdiri dari tujuh kali perjalanan, dan dengan

lama perjalanan berbeda-beda (Tanggok 2006). Ini

membuktikan bahwa setiap perjalanan yang dia

lakukan selalu memperoleh kesuksesan, sehingga dia

berkali-kali datang ke nusantara.

Kedatangan Cheng Ho ke Nusantara pada abad

ke-15 dengan menggunakan kapal-kapal besar,

sehingga dapat membawa armada yang besar dan

persediaan makananmencukupi selama perjalanan.

Sebagian besar orang Jawa menyebut kapal -kapal ini

dengan kapal Wangkang. Di beberapa daerah di

Pratik Islam Nusantara 39

Indonesia, seperti Pontianak, dan Medan, pada saat

sembahyang bulan 7 Imlek atau dikenal dengan

sembahyang pada roh-roh orang-orang yang mati yang

tanpa mempunyai keturunan, seperti mati bujangan,

mati dalam kecelakaaan, dan roh-roh leluhur yang

tidak diurus oleh sanak keluarganya d dunia. Menurut

keyakinan orang Tionghoa roh-roh mereka ini dalam

keadaan lapar, dan pada bulan 7 Imlek mereka ini

diberi kebebasan oleh Tuhan untuk untuk kembali ke

dunia dan mengunjungi anggota keluarganya.

Kedatangan mereka di dunia disambut dan dan

dipersembahkan berbagai makanan, dengan tujuan agar

mereka tidak mengganggu kehidupan manusia.

Sembahyang pada bulan 7 ini juga dikenal dengan

sebutan sembahyang rebutan, atau dalam masyarakat

Hakka di Singkawang Kalimantan Barat dikenal

dengan sebutan sembahyang Kachi, karena setelah

makanan yang dipersembahkan pada roh-roh saat

upacara sembahyang dilakukan diyakini telah dimakan

oleh roh-roh tersebut (meskipun hanya sekedar sari -

sarinya), dan sisanya dari makanan tersebut

diperebutkan oleh manusia. Bagi keyakinan orang-

orang Tionghoa peranankan, mendapat bagian dari

makanan itu adalah suatu keberuntungan, dan pertanda

akan memperoleh rejeki yang banyak di kemudian

hari. Tidak ubahnya dengan keyakinan sebagiam

muslim Jawa yang saat memperebutkan makanan pada

saat upacara maulidan di keratin Jogya dan Solo.

Untuk mengantar roh-roh itu pulang ke alam roh,

orang-orang Tionghoa membuat sebuah kapal yang

terbuat dari kertas, panjang kapal tersebut kira -kira 15

M, lebarnya 6 M, dan tingginga 3 M. Di dalam

40 Dalam Kelenteng-Kelenteng

duplikat kapal itu disediakan berbagai makanan,

patung-patung yang terbuat dari kertas, TV yang

terbuat dari kertas, duplikat tempat tidur dan alat -alat

rumah tangga lainnya, yang semuanya terbuat dari

kertas. Setelah kapal itu disembahyangkan dengan

menggunakan batang-batang hio yang telah dibakar,

baru kapal tersebut dibakar, yang artinya roh -roh

tersebut telah dikirim ke alam roh untuk kembali ke

tempat asalnya. Oleh orang-orang Tionghoa di

Pontianak, Kalimantan Barat, kapal tersebut disebut

dengan kapal Wangkang, yang mengacu pada nama

kapal yang digunakan oleh Cheng Ho dan anak

buahnya mengarungi lautan, dalam rangka

kunjungannya ke Nusantara dan Negara-negara lainnya

(Tanggok 2006). Duplikat kapal Cheng Ho ini juga

terdapat di kelenteng Tai Kak Shi di Semarang. Kapal

ini terbuat dari kayu dan bukan dari kertas.

Perjalanan-perjalanan Cheng Ho ke Nusantara

dapat dibagi dalam beberapa kali perjalanan, sebagai

berikut:

Perjalanan pertama Cheng Ho dan anak buahnya

berangkat pada tahun 1405 dan pulang pada tahun

1407, atau berangkat dalam tahun Eng-lok ketiga bulan

keenam dan kembali pada tahun Eng-lok kelima bulan

kesembilan. Total waktu yang dia habiskan untuk

perjalanan pertama ini selama tiga tahun. Perjalanan

kedua, dia berangkat pada tahun 1408 dan kembali

pada tahun 1411, atau berangkat pada tahun Eng-lok

keenam bulan kesembilan, ke India dan Ceylon dan

kembali pada tahun Eng-lok kesembilan bulan keenam.

Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan kedua

ini sebanyak tiga tahun. Perjalanan ketiga , berangkat

Pratik Islam Nusantara 41

pada tahun 1412 dan kembali pada tahun 1415, atau

berangkat pada tahun Eng-lok kesepuluh bulan

kesebelas, ke Sumatera, Malaka, dan pulau-pulau lain,

kemudian kembali pada tahun Eng-lok ketiga bulan

ketujuh. Total waktu yang dia habiskan untuk

perjalanan ketiga ini selama satu tahun. Perjalanan

keempat, berangkat pada tahun 1416, pulang pada

tahun 1419, atau berangkat pada tahun Eng-lok

keempatbelas di musim dingin dan kembali pada tahun

Eng-lok ketujuhbelas. Total waktu yang dia habiskan

untuk perjalanan ke empat ini selama tiga tahun.

Dalam perjalanan keempat ini, tidak diketahui kemana

rute perjalanannya dan pulau-pulau apa saja yang dia

kunjungi. Perjalanan kelima, berangkat pada tahun

1421 dan pulang pada tahun 1422, atau berangkat pada

tahun Eng-lok kesembilanbelas di musim semi dan

kembali pada tahun Eng-lok keduapuluh. Total waktu

yang dia habiskan untuk perjalanan yang kelima ini

sebanyak satu tahun. Dalam perjalanan kelima ini juga

tidak diketahui kemana rute perjalanannya dan pulau-

pulau apa saja yang dia kunjungi. Perjalanan keenam,

berangkat pada tahun 1424 atau berangkat dalam tahun

Eng-lok keduapuluh dua bulan ketujuh. Dalam

perjalanan keenam ini, tidak diketahu kapan

kembalinya dan kemana saja rute perjalanannya.

Perjalanan ketujuh, berangkat pada tahun 1430 dan

kembali pada tahun 1433, atau berangkat pada tahun

kelima bulan keenam, ke Burma serta tempat -

tempat lain, sejumlah negara, dan kembali pada

tahun Soan-tik kedelapan bulan tujuh (Moerthiko, tt).

Total waktu yang dia habiskan untuk perjalanan

ketujuh ini sebanyak tiga tahun. Perjalanan ke tujuh

42 Dalam Kelenteng-Kelenteng

ini kurang lebih dijalaninya selama 3 tahun. Tiga tahun

mengarungi lautan mendapatkan pengalaman yang

banyak baginya. Tentu saja suka duka di laut dan di

Negara-negara lain yang ia kunjungi banyak ia dapati

(Kong Yuan Shi dalam Taggok 2006).Salah satunya

Cheng Ho dengan dibantu anak buahnya adalah

mengusir para pembajak laut yang selama itu banyak

mengganggu kehidupan masyarakat dan akhirnya

perekonomian tidak dapat berjalan dengan lancar.

Duplikat Kapal Cheng Ho di depan kelenteng Tay Kak Shi Semarang

(Sumber: Foto Pribadi)

Bukan keinginan Cheng Ho untuk melakukan

perjalanan di luar Tiongkok, namun dia dan anak

buahnya mendapat perintah dari kaisar untuk

melakukan perjalanan ke luar Tiongkok untuk misi

perdamaian. Dalam perjalanan ini, Cheng Ho lah yang

dipilih kaisar untuk menjadi pimpinan dari semua

perjalanan, tapi dia tidak bermaksud mengunjungi

semua negara-negara yang jauh, karena keterbatasan

perlengkapan dan resiko juga ia pikirkan dengan teliti.

Pratik Islam Nusantara 43

Berdasarkan sebuah catatan, pada setiap kesempatan

perjalanan dia memimpin lebih dari 300 buah kapal,

membawa lebih dari 10.000 tentara dan hampir 28.000

orang (laki-laki) selain tentara yang ikut membantu

dalam perjalanan ini.Oleh karena itu, perlayaran

Cheng Ho ini dianggap sebagai perjalanan yang paling

besar dalam sejarah Tiongkok (Ma Huan 1997;

Tanggok 2006). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini

akan dijelaskan satu-persatu perjalanan Cheng Ho

bersama anak buahnya ke negara-negara di luar

Tiongkok dan kendala-kendala atau tantangan-

tantangan yang mereka hadapi selama dalam

perjalanan ke negara-negara lain.

2.2.1. Perjalanan Pertama Perjalanan pertama Cheng Ho ke luar Tiongkok,

merupakan perjalanan yang sama sekali belum

memiliki pengalaman dalam mengarungi lautan.

Keberhasilan dia dalam perjalanan pertama akan

menentukan perjalanan-perjalanan berikutnya. Cheng

Ho diperintahkan oleh kaisar untuk melakukan

kunjungan ke Negara-negara lain dalam rangka

menjalin hubungan antara Tiongkok dengan negara -

negara lain. Pada tanggal 11 Juli 1405 Cheng Ho

bersama dengan Wang Ching-hung (di Jawa dikenal

dengan sebutan Wang Jing Hong) diperintahkan oleh

kaisar untuk memimpin pelayaran pertamanya ke

negara-negara lain. Kapal yang digunakan untuk

perjalanan pertama ini terdiri dari 316 kapal, 62 kapal

di antaranya membawa perlengkapan, bahan makanan,

sejumlah petugas, prajurit-prajurit dari tentara yang

cukup berani, orang-orang sipil, pengusaha, dan

44 Dalam Kelenteng-Kelenteng

27.870 awak kapal (Ma Huan 1997). Dalam FJE Tan

disebutkan bahwa awak kapal yang menyertai Cheng

Ho dalam perjalanan pertama ini adalah 27.800 orang

dan bukan 27.870 orang sebagaimana di sebutkan

dalam Ma Huan di atas. Dalam perjalan pertama ini,

Cheng Ho mengunjungi Jawa, Semudera (Lho

Seumawe atau Lhoseumawe), Lambiri (Aceh), Ceylon,

dan ke Calicut, di mana yang berkuasa pada masa itu

ialah raja Sha-mi-ti-hsi (Samutiri). Pada saat itu,

Cheng Ho beserta anak buahnya juga pergi ke Champa,

Malacca (Melaka), Aru (Deli) dan Quilon. Kita dapat

menduga bahwa Cheng Ho dengan anak buahnya

tinggal sekitar 4 bulan di Calicut, yaitu sekitar

Desember 1407 sampai dengan April 1407. Dalam

kunjunga itu dia juga menghadiahkan sutra yang

dihiasi dengan emas kepada raja-raja atau kepala-

kepala negara yang dia kunjungi. Setelah mengunjungi

negara-negara dan daerah-daerah yang disebutkan di

atas, dia dengan anak buahnya kembali ke negaranya

dengan membawa upeti dari negara-negara yang dia

kunjungi. Kemudian dia mempersiapkan perjalanan

berikutnya dengan menunggu perintah dari kaisar.

Hal-hal yang dianggap penting dan menakjubkan

dalam perjalanan Cheng Ho pertama ini juga dicatat

oleh Ma Huan, bahwa dalam perjalanan kembali dari

San Fo-ch’i (Sriwijaya, Palembang), tentara -tentara

Cheng Ho berhasil mengalahkan rombongan kapal

perompak yang dipimpin oleh Ch’en Tsu-i. Dalam

perperangan melawan perompak, Cheng Ho dan anak

buahnya berhasil membunuh lebih dari 5000 anak

perompak dan membakar 17 buah kapal perompak.

Dalam perperangan itu dia dan anak buahnya berhasil

Pratik Islam Nusantara 45

menangkap Ch’en Tsu-I, yang kemudian diserahkan

kepada raja di kota Nanking. Cheng Ho kembali ke

Nanking pada tanggal 2 Oktober 1407, terlambat

sekitar 3 bulan dari jadwal yang telah ditentukan

sebelumnya. Keterlambatan ini diduga karena melawan

atau memusnakan perompak-perompak laut yang

dipimpin Ch’en Tsu-I dalam perjalanan pulang

tersebut (Tanggok 2006). Perampok-perampok ini

dipandang dapat merusak nama baik Tionghoa di dunia

Internasional dan oleh karenanya mereka harus

menjadi sasaran utama Cheng Ho untuk ditumpas.

2.2.2. Perjalanan Kedua Perjalanan pertama sudah Cheng Ho dan anak

buahnya lakukan dengan baik dan dan lancar dan dia

lanjutkan lagi dengan perjalanan kedua (1407-1409) ke

berbagai negara. Perjalanan kedua ini dianggapnya

kurang begitu penting, karena tidak ada prestiwa-

prestiwa yang cukup menarik untuk dicatat atau

diceritakan, seperti halnya dalam perjalanan pertama

di mana dia dan anak buahnya dapat mengalahkan

perompak yang sering bereaksi di laut. Dalam

perjalanan kedua ini mereka tidak lagi menemukan

perompak-perompak yang berkeliaran di lautan,

mungkin karena merasa ketakutan atau pasukan mereka

sudah tidak kuat lagi. Perjalanan ini untuk memenuhi

undangan dari raja baru di Calicut, bernama Ma-na

Pieh-chia-la-man (Mana Vikaraman); meskipun Cheng

Ho menjadi pimpinan dalam perjalanan tersebut,

namun dia tidak benar-benar berkonsentrasi

menghadapi musuh-musuh di laut. Para perompak di

laut dia anggap sebagai pekerjaan sambilan saja, sebab

46 Dalam Kelenteng-Kelenteng

kekuatan pasukan Cheng Ho sudah melebihi kekuatan

para perompak laut.

Perjalanan Cheng Ho yang kedua ini bukanlah

atas perintah kaisar, namun ingin memenuhi undangan

yang disampaikan oleh Ma-na Pieh-chia-la-man (Mana

Vikaraman). Tanggal yang tertulis diundangan itu

adalah 13 Oktober 1407, yang langsung ditujukan pada

tiga orang penting dalam sejarah perjalanan Cheng Ho,

yaitu Cheng Ho, Wang Ching-hung (Wang Jing Hong)

dan Hou Hsien. Mereka bertiga ini memimpin 249

kapal dan tidak dapat diketahui berapa banyak pasukan

yang mereka bawa dalam perjalanan itu. Tempat -

tempat yang mereka kunjungi dalam perjalanan itu di

antaranya adalah: Thailand, Jawa, Aru, Lambri,

Coimbatore (Koyampadi), Kayal, Cohin, dan Calikut,

juga A-po-pa-tan, dan barangkali dalam perjalanan

tersebut Cheng Ho kembali mengunjungi Champa.

Dalam perjalanan kedua ini, Cheng Ho dengan anak

buahnya diperkirakan tinggal untuk sementara waktu

(sekitar 4 bulan) di Calikut, yaitu dari bulan Desember

1408 sampai denga April 1409 (Moertiko dalam

Tanggok 2006). Setelah itu ia dan anak buahnya

melanjutkan lagi perjalanannya ke tempat lain dengan

tujuan yang berbeda-beda.

2.2.3. Perjalanan ketiga Di atas saya sudah menjelaskan perjalanan

Cheng Ho yang pertama dan kedua. Bagian ini saya

menjelaskan perjalanan Cheng Ho yang ke tiga (1409 -

1411). Setiap perjalanan ke Negara-negara ke luar

Tiongkok, kaisar selalu menugaskan Cheng Ho untuk

memimpin anak buahnya, dan ini didasarkan

Pratik Islam Nusantara 47

kepercayaan yang kuat kaisar pada Cheng Ho. Dari

tanggal 16 Januari sampai dengan 14 Februari 1409,

Cheng Ho, Wang Ching-hung dan Hou Hsien berlayar

menuju laut bagian Barat. Dalam perjalanan ini,

mereka membawa tidak kurang dari 30.000 anak buah

dan menggunakan 48 buah kapal. Armada yang dia

pimpin ini berlayar dari Liu Chia Chiang dan menuju

Ch’ang Lo. Perjalanan ini memakan waktu selama

sembilan bulan (dari 9 Oktober sampai dengan 6

Nopember 1409). Mereka berada di Ch’ang lo pada

bulan kesebelas sampai dengan bulan keduabelas (dari

7 Nopember sampai dengan 6 Desember 1409). Mereka

juga berlayar dari Wu Hu Men menuju Champa.

Perjalanan ini memakan waktu selama 12 bulan (dari 5

Januari sampai dengan 3 Februari 1410). Waktu yang

mereka habiskan dalam perjalanan ini tidak kurang

dari 10 (sepuluh) hari dan 10 (sepuluh) malam tanpa

ada istirahat di daerah-daerah yang mereka kunjungi.

Sebagaimana diceritakan dalam sejarah

perjalanan Cheng Ho,bahwa dalam perjalanan yang

ketiga ini, mereka mengunjungi Champa, Jawa,

Malaka, Semudera, Ceylon, Quilon, Cochin, dan

Calikut. Mereka dikabarkan istirahat di Poulo (Pulau)

Sembilan, dekat Tamiang di bagian sebelah Timur

pulau Sumatera atau Semenanjung Malaka. Ketika

mampir di Pulau Sembilan tersebut, dia mengutus anak

buahnya untuk turun ke darat untuk mengambil kayu

bakar. Di Ceylon, Cheng Ho menyusun sebuah catatan

dalam tiga bahasa, bahasa Tionghoa, Tamil dan Persia.

Penyusunan catatan ini terjadi pada tanggal 15

Februari 1409. Tanggal, bulan dan tahun tersebut dia

tulis dalam bahasa Tionghoa.Setelah catatan

48 Dalam Kelenteng-Kelenteng

perjalanan itu selesai dilakukan, Cheng Ho

menghadiahkannya kepada kelenteng Buddha di

Ceylon, dan dia menyatakan terima kasihnya kepada

umat Buddha di Ceylon yang sangat bersemangat dan

berbahagia menyambut kedatangannya beserta

rombongan di Ceylon.

Meskipun kunjungan Cheng Ho dan anak

buahnya ke Ceylon ini menyenangkan, namun masih

ada prestiwa penting yang terjadi dan tidak mereka

duga sebelumnya. Peristiwa tersebut adalah

penangkapan raja Srilangka yang bernama Ya-lieh-k’u-

nai-erh (Alagakkonara) dan peristiwa ini terjadi pada

tahun 1411 dalam perjalanan pulang Cheng Ho dan

anak buahnya dari Ceylon. Dalam perjalanan pulang

itu, terjadi konflik antara anak buah Cheng Ho dengan

raja Alagakkonara dan anak buahnya, sehingga

menimbulkan peperangan di antara mereka.

Perlawanan yang cukup hebat ini telah

dimenangkan oleh Cheng Ho dan anak buahnya. Dalam

perkelahian tersebut, raja, istrinya, anak-anaknya dan

pendukung-pendukungnya ditangkap dan dibawa ke

Tiongkok untuk diadili dan sekaligus mendapat

hukuman (Moertiko, tt). Tidak dijelaskan lebih lanjut,

apakah raja dan keluarganya mendapatkan hukuman

seumur hidup atau hanya beberapa tahun saja. Tidak

juga dijelaskan apakah setelah menyelesaikan

hukuman raja dan anggota keluarganya diizinkan

pulang ke kampong halamannya atau menetap di

Tingkok.

Dalam catatan sejarah kerajaan Ming atau Ming

Shi, dan juga dalam catatan di Liu Jia Gang

diceritakan dengan singkat tentang penangkapan raja

Pratik Islam Nusantara 49

Srilangka tersebut. Dalam catatan itu diceritakan

bahwa ketika melihat emas dan sutra yang ada di

kapal-kapal Cheng Ho, raja Alagakkonara mencoba

memeras dan merampok barang-barang yang yang

dibawa Cheng Ho. Pemerasan dan perampokan tersebut

dilakukannya dengan cara mengirimkan pasukannya

untuk menyerang pasukan Cheng Ho. Melihat serangan

yang cukup membahayakan itu, Cheng Ho menyiapkan

2000 armada atau tentaranya untuk melawan serangan

lawan. Berkat kemampuan tentara Cheng Ho yang luar

biasa, maka serangan yang datangnya dari raja

Srilangka dan pasukannya dapat dengan mudah

dikalahkan. Akibat kekalahan tersebut, terpaksa raja,

permaisuri, anak-anak, dan para pengikutnya ditawan.

Semua tawanan itu dibawa ke Nanjing untuk

diserahkan pada kaisar Yong Lo. Tidak diduga

sebelumnya, bahwa kaisar adalah orang yang berbaik

hati, tawanan yang dibawa kepadanya bukan ditahan,

tapi dilepas kembali dan diizinkan pulang ke

negaranya, di Srilangka (Moertiko, tt). Setelah pulang

ke Srilangka, raja Alagakkonara tidak lagi menjadi

seorang raja, tapi kaisar telah menunjuk seorang

anggota atau anak buahnya yang lain untuk

menggantikannya sebagai raja.

Penangkapan raja Alagakkonara dan

keluarganya, bukan saja karena alasan raja tersebut

ingin merampok barang-barang bawaan Cheng Ho dan

anak buahnya dan kalah dalam peperangan,tapi raja

tersebut telah memperlakukan para utusan kaisar Ming

ini secara kurang sopan dan tidak menghargai tamu

yang diutus oleh kaisar Tiongkok. Dengan demikian,

perjalanan Cheng ketiga ini, tidak semata-mata

50 Dalam Kelenteng-Kelenteng

menjalin hubungan baik dan melakukan perdagangan,

tapi juga memberantas kejahatan-kejahatan yang

dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin negara-

negara yang mereka kunjungi. Bagi Cheng Ho,

perbuatan baik haruslah dibalas dengan kebaikan (ini

diperlihatkannya pada para pengikut Buddha di

Srilangka) dan kejahatan haruslah dibalas dengan

hukuman (ini diperlihatkannya dengan menawan raja

Alagakkonara, keluarga dan para pengikut setianya),

yang diakibatkan oleh perbuatannya yang kejam pada

rakyatnya.

2.2.4. Perjalanan keempat Perjalanan laut memang cukup melelahkan,

menghabiskan tenaga dan menguras pikiran. Inilah

yang dirasakan Cheng Ho dengan anak buahnya,

setelah ia kembali dari perjalanan ke berbagai negara,

termasuk Srilangka, Nusantara (khususnya Jawa),

Malaysia (khususnya Malaka) dan lain-lain Negara.

Setelah melakukan perjalanan ke tiga, Cheng Ho

besama armadanya tidak langsung melakukan

perjalanan kembali ke negara-negara yang sudah

mereka kunjungi atau negara-negara yang lain, tapi ia

beristirahat sejenak selama dua tahun untuk

menghilangkan kelelahannya. Dalam masa

peristirahatan tersebut, dia dan anak buahnya kembali

mengabdikan diri ke Kaisar Ming. Tentu saja, dalam

masa peristirahatan dua tahun ini, Cheng Ho tidak

begitu saja menyia-nyiakan waktunya, dia

mempersiapkan perjalanan mereka yang berikutnya,

sehingga dalam perjalanan yang keempat (1413-1415)

Pratik Islam Nusantara 51

mereka ingin lebih berhasil lagi dari perjalanan-

perjalanan sebelumnya.

Pintu Gerbang Belakang Kelenteng Sam Poo Kong Semarang

(Sumber: Google)

Setelah selesai melakukan peristirahatan yang

panjang, pada tanggal 18 Desember 1412, Cheng Ho

telah mendapat perintah dari kaisar untuk melakukan

perjalanan keempat ke negara-negara diluar Tiongkok.

Dalam perjalanan yang keempat ini, Cheng Ho

mempersiapkan 63 buah kapal dan 28.560 armada

(semuanya laki-laki) yang siap untuk mengarungi

lautan. Perjalanan Cheng Ho ini dimulai dari Nanking

(pada waktu musim gugur tahun 1413) dan kembali ke

pantai Fukien pada bulan Januari 1414. Perjalanan ini

berhasil mengunjungi Champa, Kelantan, Pahang,

52 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Jawa, San Ceylon, Kayal, kepulauan Maldive, Cochin,

Calikut, dan Hormuz, sebagai tambahan negara Pi -la

dan Sun-la (keduanya tidak dapat dibuktikan).

Perjalanan yang keempat ini merupakan kesempatan

pertama bagi Cheng Ho untuk berlayar lebih jauh ke

India, namun ada sebagian kapal-kapalnya yang

belayar menuju Bengal (Ma Huan 1977). Maksud dia

membagi waktu perjalanan ini agar dalam waktu yang

singkat, banyak Negara-negara yang bisa dikunjungi

dan banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari

perjalanan tersebut.

Perjalanan yang keempat adalah pengalaman

menarik bagi Cheng Ho, karena tidak pernah

dialaminya dalam perjalanan-perjalanan dia

sebelumnya. Dalam buku Ying-yai Sheng-lan

dinyatakan bahwa pristiwa penting dalam kunjungan

Cheng Ho yang keempat ini adalah penangkapan raja

palsu dari negeri Samudera. Pada saat kunjungan

pertamanya di kerajaan Samudera ini sedang

mengalami musibah besar, karena rajanya terbunuh

oleh raja negeri tetangganya, yang bernama Naguer

atau Nakur. Karena pada waktu kematian ayahnya,

putra mahkota kerajaan Samudera masih terlalu muda

untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, maka

permaisuri raja Samudera bersumpah bersedia menikah

dengan siapa saja yang dapat membalaskan dendamnya

dengan raja Nukar yang membunuh suaminya.

Tidak diduga, seorang nelayan biasa dapat

membalaskan dendam permaisuri. Permaisuri tidak

mengingkari janjinya, dan dia bersedia menikah

dengan seorang nelayan itu. Setelah menikah, seorang

nelayan tersebut mengangkat dirinya sebagai raja

Pratik Islam Nusantara 53

Samudera yang baru untuk menggantikan raja yang

lama. Pada tahun 1409, raja baru (seorang nelayan) ini

pergi ke Tiongkok untuk menyerahkan upeti kepada

kaisar Yong Lo. Kaisar sempat kaget karena dia sama

sekali belum mengetahu siapa pengganti raja Samudera

yang terbunuh pada waktu sebelumnya. Pada tahun

1412, raja baru ini kembali ke Tiongkok untuk

melaksanakan tugasnya sebagai raja. Pada saat

kembali, raja baru ini menyaksikan bahwa putra

mahkota raja yang yang dahulunya masih kecil sudah

menjadi dewasa. Putra mahkota ini menggalang

kekuatan dengan mengumpulkan orang-orang yang

masih setia dengan almarhum ayahnya. Penggalangan

kekuatan ini berhasil dan putra mahkota mengadakan

perebutan kekuasaan.

Usaha yang dilakukan oleh putra mahkota

berhasil dan raja baru yang berasal dari seorang

nelayan (ayah tirinya) ini mati terbunuh. Akan tetapi

anak dari raja nelayan yang bernama Suganla

(Sekandar) menuntut haknya atas tahta raja yang

didapat oleh Samudera. Pada tahun 1413, Sekandar

yang dikenal sebagai anak dari raja palsu yang

terbunuh tersebut menyerbu Samudera. Karena

khawatir mengalami kekalahan, maka putra mahkota

raja yang berhasil merebut tahta kerajaan dari raja

baru tadi, mengirim utusan ke Tiongkok untuk

meminta bantuan pada kaisar Yong Lo. Atas perintah

kaisar, maka pada tahun 1415, Cheng Ho dan anak

buahnya berhasil menangkap Sekandar dan

membawanya kehadapan kaisar. Atas kesalahannya

tersebut, Sekandar dijatuhi hukuman mati. Atas ucapan

terima kasihnya, maka sejak itu raja Samudera secara

54 Dalam Kelenteng-Kelenteng

teratur mengirimkan upeti ke kaisar Yong Lo di

Tiongkok (Ma Huan 1997). Tentu saja kaisar Yong Lo

merasa senang karena mendapat upeti dari putra

mahkota meskipun tanpa bekerja.

Perjalanan Cheng Ho kali ini bukan saja

berhasil dalam mengunjungi Negara-negara di luar

Tiongkok, tapi juga berhasil menangkap anak dari

palsu dan menyerahkannya ke kaisar di Tiongkok.

Melihat keberhasilan ini, kaisarpun semakin bertambah

keyakinannya pada Cheng Ho dalam memimpin

pasukannya dan dalam memerangi kejahatan di laut

dan di luar Tiongkok. Sebagai orang bawahan kaisar,

tentu saja Cheng Ho tidak menyia-nyiakan

kepercayaan kaisar kepadanya. Sejak itu, nama Cheng

Ho semakin popular dikalangan Negara-negara yang

pernah ia kunjungi. Tidak hanya itu, ketenaran Cheng

Ho ini telah membuat kaisar Tiongkok juga terangkat

kewibawaannya dan Tiongkok pada masa itu menjadi

Negara yang memiliki kekuatan besar di

Asia.Meskipun selalu berhasil dalam memberantas

bajak laut dan membantu perperangan raja di luar

Tiongkok, namun Cheng Ho dan kaisar sebagai

atasannya tidak berminat untuk menguasai daerah -

daerah di luar Tiongkok.

2.2.5. Perjalanan kelima Setelah melakukan perjalanan yang ke empat

dan dapat menumpas kejahatan raja palsu, Cheng Ho

kembali diperintahkan kaisar untuk melakukan

perjalanan kelima (1417-1419) ke negara-negara di

luar Tiongkok dengan misi yang berbeda dari

perjalanan-perjalanan sebelumnya. Perintah kaisar

Pratik Islam Nusantara 55

tersebut diterimanya pada tanggal 28 Desember 1416

dan segera ia melaksanakan tugas itu dengan baik tapa

merasa lelah. Perjalanan Cheng Ho yang ke lima ini

bertujuan untuk mengantarkan para utusan dari negara-

negara lain yang akan pulang ke negaranya masing-

masing sambil membawa hadiah-hadiah dari kaisar

Yong Lo untuk dihadiahkan pada raja-raja mereka

yang ada di luar Tiongkok (Ma Huan 1997).

Kedatangan untusan masing-masing kerajaan dari

negara-negara yang pernah dikunjungi Cheng Ho dan

para awak kapalnya ini, telah membuktikan bahwa

hubungan baik yang dijalin Cheng Ho dengan para

anak buahnya ini telah berhasil dengan baik. Tidak

mungkin para utusan dari Negara lain ini akan

mengadakan kunjungan balasan kalau tidak hubungan

yang diciptakan oleh Cheng Ho dan anak buahnya ini

tidak berhasil dengan baik.Salah satu keberhasilan

mereka adalah membantu Negara-negara lain dalam

memberantas kejahatan.

Dalam satu kali perjalanan, Cheng tidak pernah

mengunjungi hanya satu Negara, tapi lebih dari satu

Negara. Negara-negara yang dikunjungi Cheng Ho dan

anak buahnya dalam perjalanan yang ke lima ini tidak

kurang dari 18 negara. Ini adalah sebuah perjalanan

yang memakan waktu yang lama dan menguras tenaga

yang begitu besar. Negara-negara yang mereka

kunjungi adalah sebagai berikut: Champa, Pahang,

Jawa, Palembang, Malakka, Semudera, Lambri,

Ceylon, Kepulauan Maldive, Chochin, Calikut, Sha -li-

wan-ni, Hormuz, La-sa (La’-sa, dekat Mukalla), Aden,

Mogadishu, Brava, dan Malindi. Dalam perjalanan

yang ke lima ini, tidak dapat diketahui dengan jelas,

56 Dalam Kelenteng-Kelenteng

berapa jumlah kapal dan anak buah atau awak kapal

yang dikerahkan Cheng Ho dalam kunjungan ke

negara-negara ini (Ma Huan 1997).

Kunjungan ini juga tidak ubahnya dengan

kunjungan-kunjungan mereka sebelumnya yaitu

menjalin hubungan yang erat dengan negara-negara

yang mereka kunjungi dan melakukan perdagangan.

Negara-negara yang dikunjungi Cheng Ho,

sebagaimana yang disebutkan dalam Yeng-yai Sheng-

lan di atas, agak sedikit berbeda dengan data yang

didapatkan dari Zhu Xie (Tanggok 2006), yang

menyatakan bahwa negara-negara yang dikunjungi

Cheng Ho dalam perjalanan yang kelima ini adalah:

Champa, Pahang, Jenggala, Malaka, Lambri,

Kepulauan Andaman, Srilangka, Liushan (kepulauan

Maldive atau Maladewa), Cochin, Kalikut, Namburi,

Ormuz, Adan (Aden), Lasa (Rasa di Pantai Timur

Afrika), Mugudushu (Mogadishu di Pantai Afrika

Timur), Bulawa (Brawa di pantai Afrika Timur),

Zhubu (Jobo di Pantai Afrika Timur) dan Malin

(Malinde, juga di Pantai Timur Afrika). Di Afrika juga

memiliki populasi Islam yang sangat banyak hingga

sekarang ini.

Apabila dalam Ying-yai Sheng lan di atas

dijelaskan bahwa perjalanan Cheng Ho dan anak

buahnya yang ke lima ini juga kembali mengunjungi

Jawa dan Palembang, maka dalam perjalanan Zhu Xie

(dalam bukunya yang berjudul Zheng Ho) tidak kita

jumpai penjelasan yang menerangkan bahwa

perjalanan Cheng Ho yang ke lima ini mampir ke Jawa

dan Palembang. Adanya perbedaan dari dua sumber

yang disebutkan di atas, t idak membuat kita ragu atas

Pratik Islam Nusantara 57

keterangan yang diberikan, malahan membuat kita

kaya dengan informasi yang didapati. Kedua

keterangan yang berbeda tersebut, mungkin saja

sumber yang mereka jadikan acuan berbeda satu

dengan yang lainnya.

Dalam Ying-yai Sheng lan juga disebutkan

bahwa diperkirakan Cheng Ho dan anak buahnya

kembali dari perjalanan ke pantai Tiongkok pada

musim gugur dan tepatnya pada tahun 1417. Perjalanan

ke lima ini merupakan perjalanan pertama sampai ke

laut Aprika. Sedangkan perjalanannya yang

sebelumnya belum sampai ke laut Aprika. Ini

menunjukkan bahwa perlayaran Cheng Ho dan anak

buahnya kali ini cukup jauh dari perjalanan-perjalanan

sebelumnya. Disebutkan juga bahwa perjalanan Cheng

Ho dan anak buahnya untuk kembali ke Tiongkok,

tidak hanya membawa anak buahnya, tapi banyak juga

utusan dari negara-negara yang mereka kunjungi itu

ikut ke Tiongkok untuk mempersembahkan upeti ke

kaisar di Tiongkok.

Upeti-upeti atau hadiah-hadiah yang datang

dari kerajaan yang mereka kunjungi tersebut di

antaranya terdapat binatang-binatang berupa Jerapah,

Oryx, unta, Zebra dan binatang-binatang lain yang

cukup menyenangkan kaisar Tiongkok. Binatang-

binatang dan upeti-upeti lainnya yang dibawa ke

Tiongkok, diserahkan kepada kaisar Yong Lo (Ma

Huan 1997). Apa yang diperlihatkan oleh kerajaan-

kerajaan di luar Tiongkok kepada kaisar yang bertahta

di Tiongkok, menunjukkan bahwa misi yang dilakukan

oleh Cheng Ho dan anak buahnya untuk menjalin

hubungan baik dengan negara-negara yang ada di luar

58 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Tiongkok dapat berhasil dengan baik (Tanggok 2006).

Ini juga merupakan salah satu bentuk keberhasilan

Cheng Ho dalam menjalin persahabatan dengan

Negara-negara di luar Tiongkok.

2.2.6. Perjalanan keenam Bagian ini saya menjelaskan perjalanan Cheng

Ho yang ke enam (1421) yang juga tidak jauh berbeda

dengan perjalanan sebelumnya. Setelah menyelesaikan

perjalanan yang ke lima, kaisar di Tiongkok kembali

lagi memerintahkan Cheng Ho untuk melakukan

perjalanan ke negara-negara di luar Tiongkok. Perjalan

di luar Tiongkok kali ini dikenal dengan perjalanan ke

enam. Perjalanan ke enam ini terjadi pada tanggal 3

Maret 1421. Negara-negara yang mereka (Cheng Ho

dan anak buahnya) kunjungi dalam perjalanan yang ke

enam ini adalah: Malacca, Aru, Semudera, Lambiri,

Coimbatore, Kayal, Ceylon, kepulauan Maldive,

Cochin, Calicut, Hormuz, Dhufar (Dhafar, Djofar,

Zafar atau di pantai Selatan Arab), La’sa, Aden,

Mogadishu, dan Brava. Pada saat kembali dari

perjalanan yang ke enam ini, Cheng Ho dan anak

buahnya juga mampir ke Tailand. Dalam perjalanan

yang keenam ini, Cheng Ho menggunakan 41 buah

kapal, dan tidak dapat diketahui berapa jumlah awak

kapal yang menyertai Cheng Ho dalam perjalanan itu.

Tujuan dari perjalanan Cheng Ho yang ke enam ini

adalah untuk mengantarkan kembali utusan-utusan dari

Ormuz dan utusan dari 16 negara lainnya untuk

kembali ke negara mereka masing-masing. Tujuan

diantarkannya utusan-utusan ini pulang ke negerinya

masing-masing adalah agar mereka selamat dalam

Pratik Islam Nusantara 59

perjalanan pulang dan tidak mendapat gangguan lagi di

tengah perjalanan. Ini adalah salah satu penghormatan

kaisar Tiongkok pada para tamunya.

Perjalanan yang ke enam ini tidak ubahnya

seperti perjalanan sebelumnya, di mana Cheng Ho dan

anak buahnya kembali menyempatkan diri mengunjugi

negara-negara yang pernah mereka kunjungi

sebelumnya dan sekaligus melihat perkembangannya

dari sebelumnya. Dengan demikian, hubungan Cheng

Ho dan anak buahnya dengan orang-orang di masing-

masing negara yang mereka kunjungi semakin

bertambah akrab, karena saling bertemu dan

bekerjasama dalam segala hal dan pernah berjumpa

sebelumnya. Hal ini sesuai dengan misi mereka, yaitu

menjalin persahabatan pada orang-orang di negara-

negara yang mereka kunjungi dan membantu mereka

yang mengalami kesulitan. Saling berkunjung antara

satu dengan yang lainnya adalah salah satu cara untuk

menciptakan hubungan baik antar berbagai sukubangsa

yang ada di dunia ini dan saling mengenal kebudayaan

satu dengan yang lainnya (Tanggok 2006).Tidak hanya

mengenal dua atau tiga kebudayaan berbeda, tapi juga

dapat saling bantu membantu juga salah satuny berada

dalam kesulitan.

Tidak seperti perjalan sebelumnya, kali ini

waktu yang dihabiskan Cheng Ho dalam melakukan

lawatan ke Negara-negara luar Tiongkok hanya satu

tahun. Karena waktu yang begitu singkat ini, timbul

dugaan banyak orang bahwa Cheng Ho tidak mengikuti

semua perjalanan ini sampai ke laut Afrika Timur.

Atas dasar itu, Duyvendak mengatakan bahwa tidak

semua negara-negara yang disebutkan di atas telah

60 Dalam Kelenteng-Kelenteng

dikunjungi oleh Cheng Ho dalam waktu yang singkat,

tapi dia hanya mengunjungi sebagian dari negara-

negara tersebut, dan selebihnya hanya ditugaskan pada

anak buahnya untuk meneruskan perjalanan.

Sebagaimana dijelaskan Duyvendak bahwa pada

tanggal 10 Nopember 1421 kasim Hong Bao diutus

untuk mengantarkan utusan-utusan dari negeri lain

kembali ke negara mereka masing-masing (Moertiko

tt) agar dalam perjalanan tidak ada gangguan.

Dalam perjalanan yang ke enam ini juga

dikatakan sebagai perjalanan kedua untuk Ma Huan di

bawah kendali Cheng Ho. Dalam perjalanan Cheng Ho

yang ke enam ini, juga tidak dijelaskan kapan tanggal

kembalinya dia dan anak buahnya ke Tiongkok. Pada

kesempatan ini Cheng Ho dan anak buahnya juga tidak

mampir ke pulau Jawa. Ada kemungkinan Negara-

negara yang ia kunjungi dalam mengantarkan utusan-

utusan jaraknya sangat jauh dari pulau Jawa, sehingga

ia tidak sempat untuk mampir (Tanggok 2006). Ada

juga kemungkinan bahwa arah angin yang teerjadi

pada masa itu tidak mengarah ke pulau Jawa.Sebagai

mana kita ketahui, bahwa kapal-kapal Cheng Ho

belumlah menggunakan alat-alat mesin dan hanya

mengandalkan layar untuk menggerakkan kapal -

kapalnya.

2.2.7. Perjalanan ketujuh

Perjalanan Cheng Ho yang ke enam tidaklah

menghabiskan waktu yang lama, dia hanya

menghabiskan waktu sekitar satu tahun. Setelah selesai

melakukan perjalanan yang keenam, Cheng

diperintahkan oleh kaisar Hsüan-te untuk melakukan

Pratik Islam Nusantara 61

perjalanan yang terakhir atau ketujuh (1430) ke

negara-negara di luar Tiongkok. Perjalanan yang

terakhir ini dikenal sebagai perjalanannya yang

ketujuh. Perjalanan terakhir ini dilakukan pada tanggal

29 Juni 1430. Tujuan utama dari perjalanan Cheng Ho

yang ke tujuh ini hanyalah ke satu Negara, yaitu ke

Negara Ormuz. Adapun negara-negara dan daerah yang

mereka kunjungi adalah Xinzhougang (sebuah pulau di

Champa), Champa, Jawa, Palembang, Malaka,

Samudera, kepulauan Andaman, Srilangka, Cochin,

Kalikut, Ormuz dan Tianfang (Mekah) (Ma Huan

1997). Dalam perjalanan yang ke tujuh ini, Cheng Ho

dan anak buahnya tidak lagi mengunjungi Afrika,

sebagaimana perjalanan yang sebelumnya. Tidak ada

pristiwa-peristiwa penting dalam perjalanannya,

namun mereka dapat melaksanakannya dengan baik

tanpa ada hambatan-hambatan yang terjadi

diperjalanan. Setelah melakukan perjalanan atau

pelayaran selama 3 tahun, dan mengunjungi negara -

negara dan daerah-daerah yang menjadi tujuannya,

maka pada tahun 1433, Cheng Ho dan anak buahnya

kembali ke Tiongkok dengan selamat tanpa ada

hambatan apapun dalam perjalanan seperti dalam

beberapa perjalanan dia sebelumnya yang banyak

menghabiskan waktu dalam menumpas pembajak-

pembajak laut dan juga menangkap raja palsu (Ma

Huan 1997; Tanggok 2006). Ini menunjukan bahwa

Cheng Ho berhasil dalam membersihkan para

perompak yang selalu beroperasi di laut tanpa

mengindahkan unsur kemanusiaan.

62 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Tidak semua perjalanan Cheng Ho dan anak

buahnya di luar Tiongkok mengunjung kepulauan di

nusantara, namun ada juga beberapa perjalanannya

yang tidak mengunjungi nusantara. Jika pada

perjalanan ke enam dia tidak mengunjungi nusantara,

namun pada perjalanannya yang ke tujuh atau yang

terakhir ini, terlihat bahwa Cheng Ho dan anak

buahnya kembali mengunjungi beberapa pulau di

Indonesia, seperti Palembang dan Jawa. Ini

menunjukkan bahwa pulau Jawa dan Palembang

mendapat perhatian khusus oleh Cheng Ho dan anak

buahnya, ketimbang pulau-pulau lain. Hal ini mungkin

saja disebabkan bahwa para penduduk di daerah -

daerah yang mereka kunjungi ini tergolong orang yang

ramah dan sangat bersahabat dengan tamu-tamu yang

datang dar negara lain. Tidak mungkin Kaisar berkali -

kali mengutus Cheng Ho ke negara-negara dan daerah-

daerah yang sama, jika negara-negara dan daerah-

daerah atau negara-negara yang ia kunjungi tersebut

tidak aman untuk dikunjungi, dan rakyat yang

dikunjungi juga menerimanya dengan senang hati

(Tanggok 2006).Ini artinya bahwa Cheng Ho tidak

mempunyai niat lain dalam setiap kunjungannya,

kecuali hanya untuk menjalin persahabatan antara satu

negara dengan negara lain.

Pratik Islam Nusantara 63

3

RITUAL UMAT ISLAM

DALAM KELENTENG SAM

POO KONG

3.1. Kunjungan Cheng Ho di Semarang

Orang Tionghoa sudah cukup lama hidup di

Indonesia dan bahkan sudah turun menurun dan

mereka sudah tidak memiliki lagi keluarga dekat di

Tiongkok. Kedatangan mereka dari tiongkok ke

beberapa pulau di Indonesia diduga sudah terjadi

sekitar 600 tahun yang lalu. Tidak dapat dipastikan

kapan mereka pertama kali menginjakkan kakinya di

beberapa pulau di Indonesia, sebab sedikit sekali bukti

yang menunjukkan tentang tepatnya kedatangan itu.

64 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Menurut catatan sejarah, kedatangan mereka di

beberapa pulau di Indonesia diduga karena adanya

perperangan besar yang melanda negeri Tionghoa pada

waktu itu yang tidak kunjung selesai, sehingga banyak

rakyatnya merasa tidak tenang tinggal di negerinya

sendiri. Untuk menyelamatkan diri dan mencari

penghidupan baru yang lebih tenang, maka tidak

sedikit dari mereka yang merantau ke luar Tiongkok.

Mereka yang merantau ke luar Tiongkok ini sering

disebut huakiao atau oversies Chinese atau Tionghoa

perantauan (Tanggok 2010). Sekarang ini banyak juga

orang Tionghoa dari Tiongkok yang merantau ke

Indonesia, baik mereka mencari pekerjaan maupun

berlibur di beberapa pulau di Indonesia.Tidak sedikit

juga di antara mereka yang menjadi pendatang haram

dan melakukan kegiatan ilegal di Indonesia.

Pulau-pulau yang menjadi perhatian mereka

adalah pulau Sumatera dan Jawa, sebab di pulau-pulau

ini di samping cukup mudah dijangkau dengan kapal

laut dan juga banyak menghasilkan rempah-rempah

yang dapat diperjual belikan atau dibawa ke Tiongkok

untuk dijual kembali. Menurut catatan sejarah

Tiongkok masa lampau, bahwa orang Tionghoa

pertama kali datang ke Nusantara adalah di pulau

Batam (Sumatera atau perbatasan antara Sumatera dan

Singapura) barulah mereka menyusuri pulau-pulau lain

yang ada di Indonesia, seperti: Jepara, Lasem,

Rembang, Demak, Tanjung, Bojaran, dan akhi rnya

mereka mampir ke Semarang. Setelah itu mereka

melanjutkan lagi perjalanan ke pulau-pulau yang lain

di nusantara maupun di negara lain, untuk tujuan

membina hubungan baik atau persahabatan dan

Pratik Islam Nusantara 65

melakukan perdagangan dengan negara-negara tersebut

(Tanggok 2010). Karena banyaknya sumber daya alam

yang terdapat di bumi nusantara untuk diperjual

belikan, maka ini menjadi salah satu ketertarikan

mereka untuk merantau ke Nusantara dan juga

memperbaiki perekonomian mereka.

Tidak hanya pulau Sumatera yang dikunjungi

oleh orang Tionghoa, namun pulau lain seperti pulau

Jawa juga menjadi incaran orang Tionghoa pada masa

lalu. Banyak orang Tionghoa yang dating ke pulau

Jawa, namun yang sangat popular adalah Cheng Ho.

Bagi masyarakat Indonesia, khususnya orang-orang

Indonesia peranakan Tionghoa di Indonesia, khususnya

Semarang memiliki cerita mengenai kedatangan Cheng

Ho dan anak buahnya dibeberapa pulau di Indonesia

dan diduga karena adanya perperangan besar yang

melanda negeri Tiongkok pada masa itu yang tidak

kunjung selesai. Dengan alasan peperangan itu, banyak

orang-orang Tionghoa meninggalkan negerinya untuk

mencari penghidupan yang baru, negeri yang makmur

dan penuh dengan kedamaian. Negeri yang makmur itu

ternyata ada di kepulauan nusantara, khususnya di

pulau Sumatera dan Jawa.

Dalam catatan sejarah dinasti Ming ada

dijelaskan bahwa Kaisar Zhu dinasti Ming Tiongkok

pernah mengutus suatu armada yang cukup besar untuk

mengadakan kunjungan muhibah ke laut Selatan.

Kunjungan muhibah yang bersekala besar tersebut

dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Sam Poo Kong)

dan Wang Jing Hong (Ong King Hong) yang

merupakan orang kepercayaan Cheng Ho (Kong Yuanzhi

200), dan sekaligus sebagai juru mudinya. Keberhasilan

66 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Cheng Ho dalam beberapa kali melakukan pelayaran

ke luar Negara sangatlah ditopang oleh orang-orang

yang menjadi kepercayaannya.

Cerita tentang perjalanan Cheng Ho tidak hanya

berasal dari satu sumber, tapi juga dari sumber -sumber

yang lain. Sumber lain menyebutkan bahawa

rombongan besar kapal-kapal dari daratan Tiongkok

telah menyemberangi lautan menuju Indonesia dan

mendarat di Banten, Jawa Barat, kemudian kapal -kapal

tersebut berpencar antara satu dengan yang lain,

sebagian menyusuri pantai utara pulau Jawa ke arah

Timur dan menuju ke daerah Jakarta, Tanjoeng,

Jepara, Rembang, sebagian terus ke Timur Lasem,

Tuban dan seterusnya. Kapal-kapal yang berhenti di

Demak masuk ke daerah Boejaran dan menetap di

Bukit Simongan (Gedong Batu Semarang). Sulit

diketahui secara pasti kapan orang-orang Tionghoa

pertama kali menetap di sekitar Simongan, Semarang

(Jongkie Tio, tt). Saya menduga bahwa sebulum

kedatangan orang-orang Tionghoa di pulau Sumatera

dan Jawa pada abad ke 14 dan 15 yang lalu, sudah ada

orang-orang Tionghoa yang lebih awal menginjakkan

kakinya ke pulau-pulau tersebut. Orang-orang

Tionghoa yang lebih awal datang inilah yang mungkin

jadi petunjuk bagi orang-orang Tionghoa yang datang

belakangan atau saudara-saudara mereka yang datang

duluan mengundang saudara-saudara mereka lainnya

untuk merantau ke luar Tiongkok.

Menurut catatan sejarah bahwa orang Tionghoa

yang pertama kali datang ke Semarang adalah Cheng

Ho atau Sam Poo Kong atau Sam Poo Tay Djien, yang

punya peninggalan yang tidak bisa dilupakan ialah

Pratik Islam Nusantara 67

Gedung Batu atau Sam Poo Tong atau Sam Poo Kong.

Menurut beberapa cerita bahwa Sam Poo Tay Djin,

adalah Hoo, yang pada masa itu mendapat tugas

penting dari Baginda Soan Tik dari dinasti Bing untuk

mencari mustika di lautan bagian Barat (Jongkie Tio, tt).

Mustika apa yang akan dicari oleh Baginda Soan Tik,

dengan mengutus Sam Poo Tay Djien ke laut bagian

Barat juga tidak jelas. Dapat diperkirakan bahwa

perjalanan itu tidak lain adalah sama tujuannya dengan

perjalanan sebeumnya, yaitu di antaranya menjalin

hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa (Tanggok

2006) di luar Tiongkok.

Tidak sedikit orang mengatakan bahwa kalau

bercerita tentang Semarang, maka tidak akan lengkap

jika kita tidak menceritakan tentang seorang tokoh

sejarah yang cukup terkenal, yaitu seorang musafir

(orang yang sedang berpergian), beragama Islam yang

bernama Sam Poo Tao Lang, juga dikenal dengan nama

Sam Poo Tay Jin, seorang pelaut dari Tiongkok, yang

juga dikenal sebagai Cheng Ho, yaitu nama

sebenarnya. Orang-orang Tionghoa di semarang

khususnya dan Indonesia pada umumnya merasa

terhormat, karena dikunjungi oleh kaisar-kaisar

Tiongkok berulang kali dengan tujuan perdagangan

dan menjalin hubungan persahabatan dengan negara-

negara yang mereka kunjungi (Tanggok 2006). Usaha

menjalin hubungan persahabatan ini datang dari kaisar

agar Tiongkok memiliki suatu kekuatan karena

bersahabat dengan banyak negara.Kekuatan itu dapat

berupa kekuatan ekonomi, politik dan pertahanan

keamanan.

68 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Pada saat Cheng Ho dan anak buahnya

berkunjung ke Semarang, kota Semarang pada

dasarnya belum ada dan hanya merupakan hutan

belantara. Kota Semarang baru ada sejak tahun 1476

atau pada paroh pertama abad ke 15 (Kong Yuanzhi

2000). Pada saat Cheng Ho berkunjung ke Semarang,

penduduknya belum banyak, apakan lagi pertokohan

atau pusat-pusat perbelanjaan seperti yang terdapat

sekarang ini dan tempat-tempat wisata yang indah.

Namun Semarang sangat dikenal banyak orang karena

salah satunya di sana ada kelenteng Sam Poo Kong

yang terletak tidak begitu jauh dari kota Semarang dan

diyakini sebagai peninggalan dari Cheng Ho atau

dibuat oleh masyarakat pada jaman dahulu sebagai

tempat untuk mengenang kedatangan Laksamana

Cheng Ho. Tempat ini juga dikenal sebagai tempat

persinggahan Cheng Ho dan anak buahnya pertama

kali di pulau Jawa, dan dari kalangan sukubangsa

Tionghoa dan non-Tionghoa tempat ini dianggap

sebagai tempat yang sakral atau suci, yang dapat

memberikan manfaat bagi banyak orang. Tempat ini

juga digunakan orang untuk berdoa atau memohon

sesuatu pada dewa Sam Poo Kong dan perlindungan

dari segala bahaya (Tanggok 20060) yang dapat

mengganggunya dan anggota keluarganya.Bagi orang

Tionghoa dan non Tionghoa (muslim), segala bahaya

dapat berupa gangguan dari roh-roh jahat.

Orang-orang Indonesia peranakan Tionghoa di

Indonesia, khususnya peranakan Tionghoa yang

tinggal di sekitar Semarang, mempunyai cerita

tersendiri mengenai kedatangan laksamana Cheng Ho

dan anak buahnya di Semarang. Menurut mereka pada

Pratik Islam Nusantara 69

pertengahan abad ke 15, kaisar Zhu Di yang berkuasa

pada masa Dinasti Ming Tiongkok mengutus suatu

armada untuk mengadakan kunjungan ke Laut Selatan.

Armada dengan kapal-kapal yang besar ini dipimpin

oleh Laksamana Cheng Ho atau juga dikenal dengan

sebutan Sam Poo Kong. Dia dibantu oleh Wang Jing

Hong atau Ong King Hong sebagai orang kepercayaan

Cheng Ho. Siapa sebenarnya Ong King Hong ini, dan

apa tugasnya dalam perjalanan itu, tidak dapat

diketahui secara pasti, tapi orang-orang Semarang,

terutama yang sering datang ke kelenteng Sam Poo

Kong Semarang menganggap Ong king Hong adalah

juru mudinya Cheng Ho atau orang kepercayaan Cheng

Ho (Tanggok 2006), yang dapat mengantarkan Cheng

Ho kemana dia akan pergi. Jika Cheng Ho adalah

orang kepercayaan kaisar, maka Ong King Hong

adalah orang kepercayaan Cheng Ho.

Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang (Sumber: Google)

70 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Pada saat tiba di Semarang, Wang Jing Hong

dikatakan mendapat sakit keras, pada saat rombongan

kapal Cheng Ho ini berlayar menyusuri pantai utara

pulau Jawa. Dengan alasan itu, rombongan kapal

tersebut mampir di Simongan (kemudian hari berubah

namanya menjadi Mangkang), Semarang. Setelah

berhasil mendarat, Cheng Ho beserta anak buahnya

menemukan sebuah gua yang tidak jauh dari tempat

mereka menambatkan kapal-kapalnya. Gua ini mereka

jadikan suatu tempat untuk beristirahat sementara,

sambil berusaha mencarikan obat untuk mengobati

penyakit Wang Jing Hong, yaitu diyakini sebagai juru

mudi Cheng Ho atau Sam Poo Kong. Agar mereka

tidak kepanasan pada saat hari panas, kehujanan pada

saat hari hujan dan tidak kedinginan pada malam hari,

Cheng Ho bersama anak buahnya membuat sebuah

rumah kecil di luar gua untuk digunakan sebagai

tempat peristirahatan sementara, terutama untuk

tempat peristirahatan Wang Jing Hong yang sedang

sakit keras.

Berkat usaha keras Cheng Ho dalam mengobati

Wang Jing Hong, maka kesehatan orang

kepercayaannya ini sedikit demi sedikit membaik.

Karena kesehatan Wang Jing Hong semakin hari

semakin membaik, maka sepuluh hari kemudian Cheng

Ho melanjutkan perjalanannya ke Barat. Dalam

perjalanannya ke Barat, Cheng Ho tidak

mengikutsertakan Wang Jing Hong, karena dia

menganggap Wang Jing Hong (Hong) belum begitu

sehat betul dari penyakitnya. Untuk membantu segala

keperluan Hong di Goa Simongan, Cheng Ho

meninggalkan 10 orang anak buah kapalnya dan 1 buah

Pratik Islam Nusantara 71

kapal untuk keperluan transportasi dan juga dilengkapi

dengan perbekalannya. Setelah belayar ke Barat,

Cheng Ho tidak lagi kembali menemui Hong, dan

Hong merasa betah atau kerasan tinggal di Semarang.

Karena merasa betah tinggal di Semarang, Hong

bersama 10 orang awak kapal lainnya menebang hutan

dan membangun sebuah tempat tinggal untuk mereka

(Khong Yuan Zhi 2000). Ini merupakan cikal bakal

dari perkampungan yang ada di sekitar gedung batu

pada waktu. Sebagai mana kita ketahui, wilayah itu

adalah daerah yang penuh dengan hutan dan tidak ada

satu bangunan yang ada pada waktu itu.

Akibat ada di antara anak buahnya yang sakit,

terpaksa Cheng Ho harus memutuskan meninggalkan

sebuah kapal dan beberapa anak buahnya yang lain

untuk mengurus yang sakit. kapal yang ditinggalkan

oleh Cheng Ho dan 10 orang anak buahnya, tidak

hanya dipergunakan sebagai alat transportasi jika

Hong dan teman-temannya mau menyusul perjalanan

Cheng Ho, tapi juga mereka gunakan untuk melakukan

usaha perdagangan di sepanjang pantai pulau Jawa.

Karena anak buah Cheng Ho umumnya adalah

bujangan, termasuk 10 orang yang ditugaskan

menunggu Hong di Semarang, maka mereka melakukan

kawin mawin dengan penduduk setempat.Penduduk

setempat merasa senang dengan kedatangan tamu dari

luar negara. Mulai saat itu, daerah Simongan menjadi

sebuah perkampungan dan lama kelamaan menjadi

ramai dikunjungi oleh orang dan penduduknya semakin

banyak. Daerah sekitar gua tersebut menjadi daerah

yang subur, dan banyak orang yang melakukan cocok

tanam. Hasil cocok tanamnya sebagian digunakan

72 Dalam Kelenteng-Kelenteng

untuk keperluan sehari-hari dan sebagian lagi ada yang

diperdagangkan dan diperjualbelikan di antara mereka.

Bukan saja Cheng Ho yang terkenal sebagai

seorang muslim yang taat terhadapat ajaran agamanya,

Wang Jing Hong, juga dikenal sebagai seorang muslim

yang taat melaksanakan perintah Tuhan dan sehingga

dia juga menjadi sangat disayangi Cheng Ho. Dia juga

dikisahkan sebagai orang yang banyak berjuang

menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Berkat

usahanya, banyak penduduk setempat yang menganut

agama Islam. Untuk mengenang jasa-jasa Cheng Ho,

oleh Wang Jing Hong, didirikan sebuah patung Cheng

Ho untuk disembah atau dipuja orang. Wang Jing Hong

dikabarkan meninggal dunia pada usia 87 tahun dan

jenazahnya dikuburkan secara agama Islam di dekat

gua batu. Karena jasanya yang cukup besar terhadap

masyarakat sekitarnya, maka Hong diberi julukan

sebagai Juru Mudi Dampo Awang. Makam dari Juru

Mudi Dampo Awang ini terdapat di lokasi kel enteng

Sam Poo Kong di Semarang, tepatnya di samping gua

batu, tempat diletakkannya patung Cheng Ho sekarang

ini. Jika orang-orang datang ke kelenteng Sam Poo

Kong untuk melakukan pemujaan terhadap patung

Cheng Ho, maka belum dirasakan lengkap jika mereka

belum melakukan pemujaan dan pemohonan sesuatu di

makam Juru Mudi Dampo Awang ini. Makam ini

diyakini oleh masyarakat yang datang ke sini sebagai

makam yang sakral dan diyakini apa saja yang

dimohonkan dapat dikabulkan.

Sebagai layaknya tempat pemujaan lain di

lingkungan kelenteng Sam Po Kong, di depan makam

tersebut terdapat sebuah altar, dan di atas altar

Pratik Islam Nusantara 73

terdapat hiolo, tempat untuk menancapkan hio bagi

orang yang selesai melakukan pemujaan. Di depan

meja altar itu terdapat lukisan yang melukiskan kapal -

kapal Cheng Ho yang sedang melakukan perjalanan di

tengah lautan yang luas dengan membawa armada yang

jumlahnya ribuan. Lukisan-lukisan ini sengaja dibuat

untuk mengingatkan kembali kepada generasi muda

tentang kisah perjalanan Cheng Ho dari Tiongkok ke

berbagai negara di dunia.

Berkaca pada sejarah kedatangan Cheng Ho ke

berbagai pulau di nusantara, maka sejak saat itu, setiap

tanggal 1 dan 15 bulan Imlek orang berbondong-

bondong datang untuk memuja dan memohon sesuatu

kepada dewa Sam Poo Kong di Gua Sam Poo Kong

atau Gua Batu, dan sekaligus mereka berziarah ke

makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Tidak hanya

itu, mereka juga meminta sesuatu kepada Kyai Juru

Mudi Dampo Awang dengan perantaraan seorang juru

kunci kelenteng Sam Poo Kong. Sekarang ini, setiap

tanggal 1 dan 15 bulan Imlek, kebanyakan yang datang

ke sini adalah orang-orang Indonesia peranakan Cina

dari Semarang dan daerah-daerah lain yang meyakini

dewa Sam Poo Kong dapat memberikan sesuatu kepada

mereka. Sedangkan pada setiap malam Jumat Kliwon

(tiap bulan), orang-orang yang datang ke sini

umumnya adalah orang-orang non peranakan

Tionghoa, khususnya orang-orang Jawa di sekitar

Semarang, dan daerah-daerah lain, untuk memuja dan

meminta sesuatu pada dewa Sam Poo Kong dan pada

makam Kyai Juru Mudi Dampo Awang. Mereka ini

adalah orang-orang Islam dan umumnya mereka adalah

pedagang, baik dari Semarang sendiri, maupun di luar

74 Dalam Kelenteng-Kelenteng

semarang (Tanggok 2006). Ada juga di antara mereka

yang datang dari luar Negara, misalnya dari Tiongkok,

Malaysia, Singapura dan lain-lain.

Pembangunan kelenteng Sam Poo Kong

mempunyai tujuan tersendiri, yaitu agar orang bisa

mengingat kembali jasa-jasa Cheng Ho yang dalam

sejarahnya sempat beberapa kali mengunjungi

Semarang dan menghormatinya. Atas dasar mengingat

dan menghormati itu, maka dibangunlah Kelenteng

Sam Poo Kong. Kelenteng ini pada awalnya sangatlah

sederhana, dan tidak seperti sekarang ini, di mana

pembangunannya sudah sangat luar biasa. Dalam Gua

tempat kelenteng itu hanya terdapat patung Cheng Ho.

Pada tahun 1704 Gua tersebut diberitakan runtuh

akibat angin serta hujan yang besar. Akibatnya

sepasang pengantin ikut tertimbun pada saat memuja di

situ. Tak lama kemudian gua tersebut dipugar kembali

seperti bentuknya yang semula. Pemugaran gua itu

dilakukan oleh orang-orang Tionghoa setempat pada

tahun 1724. Berarti 20 tahun setelah gua itu runtuh

baru dipugar kembali (Khong Yuan Zhi 2000).

Di tempat itu tidak hanya ada gua batu, tapi

juga ada bangunan untuk melindungi orang-orang dari

hujan dan panas pada saat melakukan ri tual. Bangunan

inilah yang dikemudian hari dikenal sebagai kelenteng.

Di dalam lingkungan kelenteng ada ada gua batu dan

oleh karena itu kelenteng ini juga dikenal sebagai

kelenteng gedung batu. Dalam waktu dua puluh tahun

tentu saja sisa-sisa bangunan kelenteng yang lama

sudah tidak ada lagi dan bahkan tempat tersebut sudah

menjadi hutan kembali (Tanggok 2006). Meskipun

puing-puing kelenteng yang lama sudah tidak ada lagi,

Pratik Islam Nusantara 75

namun masyarakat sekitarnya masih mengingat

keberadaan kelenteng tersebut di masa la lu. Inilah

salah satu alasan kenapa masyarakat setempat

mendorong dibangunnya kembali kelenteng Sam Poo

Kong.

Ada juga sebagian orang yang meragukan bahwa

Cheng Ho pernah mampir di Semarang. Untuk itu,

untuk membuktikan apakah benar Cheng Ho pernah

mampir di Semarang, maka di sini saya kutip pendapat

M. O Parlindungan (Parlindungan 1964), dalam

bukunya yang berjudul: Tuanku Rao, yang

mengisahkan tentang mendaratnya kapal Cheng Ho di

Semarang pada abad ke-15. Menurut Parlindungan,

bahwa Cheng Ho pernah singgah ke Semarang pada

tahun 1413. Menurutnya juga, Cheng Ho bersama

dengan Ma Huan dan Fei Xin seringkali mengunjungi

masjid untuk melakukan sembahyang. Ma Huan dan

Fei Xin adalah orang kepercayaan Cheng Ho dan

selalu ikut serta dalam berbagai perjalanan Cheng Ho.

Masjid yang dimaksud di sini adalah masjid yang

terletak di daerah Gedung Batu Semarang. Menurut

cerita rakyat setempat, bahwa kelenteng Sam Poo

Kong yang ada di daearah Gedung Batu Semarang

sekarang ini dulunya adalah sebuah masjid yang selalu

digunakan oleh Cheng Ho dan anak buahnya untuk

melakukan sembahyang (Harian Merdeka, 25 Maret

1984 dan juga Singgih 1998: 141).

Tanggok menduga bahwa pendapat Soewarno ini

didasarkan pada agama yang dianut oleh Cheng Ho dan

teman-temannya, yaitu Islam, sehingga bangunan yang

ada di gedung batu itu dianggap Masjid. Orang Islam

yang taat, selalu melakukan sembahyang di manapun

76 Dalam Kelenteng-Kelenteng

mereka berada dan untuk sembahyang berjamaah

mereka membutuhkan tempat yang besar seperti masjid

(Tanggok 2006).Masjid tidak hanya sekedar tempat

sembahyang tapi juga tempat orang berkumpul dan

bermusyawarah antara satu dengan yang lainnya.

Andaikata pendapat Parlindungan itu benar,

berarti Masjid yang digunakan oleh Cheng Ho dan

anak buahnya itu untuk melakukan sembahyang adalah

Masjid bikinan mereka sendiri. Jika benar mereka

membikin sebuah Mesjid untuk tempat melakukan

sembahyang, berarti Mesjid yang mereka bikin itu

pastilah bercorak asitektur Tionghoa, yang mirip

dengan bangunan mesjid dan kelenteng yang ada di

Tionghoa, maupun bangunan kelenteng umumnya di

Indonesia. Jika dugaan itu benar, maka pendapat

Parlindungan itu dapat dibenarkan dan Gedung Batu

yang menjadi tempat bangunan Kelenteng Sam Poo

Kong yang ada di Semarang sekarang ini, diduga

dulunya adalah sebuah Mesjid tempat Cheng Ho dan

anak buahnya melakukan sembahyang dan kemudian

hari fungsinya berbeda (Tanggok 2006). Meskipun

demikian, umumnya umat Islam dewasa ini tidak

pernah menuntut agar bangunan itu dikembalikan

fungsinya sebagai masjid. Ini menunjukkan bahwa

umat Islam memiliki rasa toleransi yang besar terhadap

umat agama lain.

Sebagian besar masyarakat Semarang menyebut

Kelenteng Sam Poo Kong ini dengan nama kelenteng

Gedung Batu, yang terletak di kaki bukit Simongan.

Disebut kelenteng Gedung Batu karena lokasi

kelenteng ini terdapat sebuah gua batu yang dianggap

tempat Cheng Ho dan anak buahnya pada masa lalu

Pratik Islam Nusantara 77

beristirahat sebelum melanjutkan perjalanannya ke

wilayah lain di nusantara. Sehubungan dengan hal

tersebut, Tju Kie Hak Siep (1954), menceritakan

dengan panjang lebar tentang berdirinya kelenteng

gedung batu tersebut. Pada tahun 1406, sebagaimana

diceritakan oleh Tju Kie Hak Siep, bahwa Cheng Ho

dengan kapal-kapalnya mendarat di sebuah desa

(Singgih 1986) yang tidak disebutkan nama desanya.

Setelah mendarat, kemudian Cheng Ho dengan

anak buahnya melanjutkan perjalanannya dengan

menyusuri pantai pulau Jawa, dan akhirnya mereka

tiba di daerah Simongan. Simongan adalah merupakan

daerah pelabuhan yang merupakan tempat dari kapal -

kapal perdagangan luar negeri untuk beristirahat

sejenak. Cheng Ho bersama anak buahnya tidak

beristirahat di kapal, tapi beristirahat di sebuah gua

yang sampai sekarang terkenal dengan sebutan Gedung

Batu. Karena terjadi angin topan yang cukup besar,

maka Gua Batu itu mengalami kerusakan parah dan

menghilangkan bentuk aslinya. Untuk jasa-jasa Cheng

Ho dan anak buahnya, maka pda tahun 1704

dibangunlah sebuah Gua Batu tiruan yang menyerupai

Gua Batu yang dahulu.

Gua Batu tiruan tersebut diletakkan ditengah-

tengah kelenteng Gedung Batu Semarang. Supaya Gua

Batu ini tidak kehilangan makna, dan ada tempat bagi

para pengunjung untuk melakukan pemujaan, maka

didatangkanlah patung Cheng Ho dari daratan

Tiongkok dan 4 buah patung dari pengikut Cheng Ho

untuk diletakkan di dalam Gua Batu tiruan terseb ut.

Kemudian oleh masyarakat Tionghoa di sekitar

Semarang dilakukan sembahyang untuk mengucapkan

78 Dalam Kelenteng-Kelenteng

syukuran atas dibangunnya Gua Batu tiruan dan

penempatan patung Cheng Ho dan pengikutnya di Gua

tersebut. Upacara sembahyang ini dilakukan secara

besar-besaran, dan terjadi pada tahun 1724 (Liem

Thian Joe 1993; Singgih 1986).

Hasil sumbangan orang-orang yang datang untuk

melakukan sembahyang di Gedung Batu ini, oleh

pengurus tempat ini digunakan untuk memelihara Goa

Gedung Batu tersebut, dan sampai sekarang Gua

tersebut menjadi tempat yang sakral, karena

disakralkan oleh manusia. Demikianlah cerita lain dari

Gua Batu yang ada di Semarang. Pada masa sekarang,

Gua Gedung Batu tersebut berada dalam bangunan

sebuah kelenteng, yang dikenal dengan kelenteng Sam

Poo Kong atau kelenteng Gedung Batu Semarang.Gua

itu dirawat dengan baik dan dianggap sakral oleh

seabagian masyarakat Islam dan non Islam.

3.2. Pemujaan Terhadap Sam Poo Tay Kam

Mungkin kita bertanya-tanya, siapakah Sam Poo

Tay Kam itu? Menurut cerita, bahwa pada masa

kerajaan Bing bertakhta di Tiongkok, Kaisar Bing Sing

Cou yang terkenal itu menggunakan gelar Eng Lok

Kun. Di kerajaan Bing terdapat banyak panglima, ada

panglima pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, sesuai

dengan jabatan yang dipegang oleh panglima tersebut

dalam kerajaan. Bing Sing Cou, mempunyai seorang

pengawal istana (lwee kam) yang bernama The Ho.

Karena kesetiaannya terhadap raja, The Ho

dianugerahi gelar kebangsawanan oleh raja. Gelar

kebangsawanan itu ialah Sam Poo Kong Tay Kam. Sam

Poo Kong artinya panglima ketiga, dan Tay Kam

Pratik Islam Nusantara 79

artinya pengawal istana. Jadi, Sam Poo Kong Tay Kam

artinya pengawal ketiga di kerajaan yang bertugas

mengawal istana.

Sejak penganugerahan gelar itu, nama The Ho

hampir tidak dipakai lagi dan orang menyebutnya

dengan sebutan Sam Poo Tay Kam. Arti yang

sebenarnya dari Sam Poo Tay Kam ialah “panglima

ketiga pengawal istana” (Moerthiko 1980) Sam Poo

Tay Kam sebenarnya adalah sebutan lain dari Cheng

Ho, namun nama Cheng Ho tidak tidaklah kita jumpai

di kelenteng Sam Poo Kong Semarang, yang ada

adalah Sam Poo Tay Jin. Nama ini tertulis di papan

nama di ruang tempat pemujaan Cheng Ho. Para

pengurus kelenteng dan para tamu yang hadir untuk

meminta sesuatu pada Zheng Ho, tidak terlalu akrab

dengan nama Che Ho, tapi mereka lebih senang

menyebutnya dengan sebutan Sam Poo Tay Jin dan

bukan Sam Po Tay Kam. Siapakah Sam Poo Tay Jin

itu? Sam Poo Tay Jin tidak lain adalah Cheng Ho, dan

nama yang tertulis di pintu gerbang masuk kelenteng

Sam Poo Kong ini tertulis “Kelenteng Sam Poo Kong”

dan tidak menggunakan nama wihara seperti yang

dipakai oleh kebanyakan kelenteng di Indonesia sejak

Orde Baru dan tidak juga menggunakan nama

kelenteng Cheng Ho untuk mengacu pada tokoh utama

yang dipuja di dalamnya. Kelenteng ini tidak juga

menggunakan nama wihara sebagai mana kelenteng-

kelenteng lainnya di Indonesia (Tanggok 2005). Jika

menggunakan nama wihara, berarti kelenteng tersebut

berada di bawah naungan dan pengawasan Dirjen

Agama Buddha, sebagai mana banyak kelenteng

dewasa ini.

80 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Pemujaan pada Sam Poo Tay Kam (Cheng Ho)

Sebagaimana saya katakana sebelumnya, orang

yang dateng ke kelenteng Sam Poo Kong mempunyai

niat tertentu, dan umumnya mereka datang ke tempat

ini untuk minta sesuatu kepada Sam Poo Tai Jin atau

Cheng Ho dan kebanyakan diantara mereka berprofesi

sebagai pedagang, seperti yang saya sebutkan

sebelunya, baik laki maupun perempuan. Karena

mereka menganggap Cheng Ho atau Sam Poo Tay Kam

atau Sam Poo Tai Jin atau Sam Poo Kong dulunya

adalah seorang pedagang yang berhasil dari Cina dan

melakukan perdagangan di berbagai negara dan daerah.

Oleh karena itu, pada saat ini dia dianggap sebagai

dewa dagang oleh sebagian orang-orang datang ke

kelenteng ini untuk memohon sesuatu kepadanya,

terutama para pedagang yang datang ke sini dan

berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya

itu, dia juga dianggap sebagai dewa penyelamat bagi

para pedagang, karena sebagian besar pedagang yang

Pratik Islam Nusantara 81

memohon kepadanya mendapatkan keberuntungan dan

usahnya maju dengan pesat. Itulah sebabnya ban yak

diantara orang yang datang ke sini adalah pedagang

yang menginginkan agar usaha dagangannya berhasil.

Karena dia adalah seorang muslim yang taat, maka

tidak heran jika yang datang ke kelenteng ini tidak

hanya orang-orang non muslim (Tanggok 2006), tapi

juga beberapa orang muslim dari berbagai daerah di

Indonesia dan bahkan ada yang datang dari Malaysia,

Singapura dan Berunai.

Pada umumnya orang yang datang ke kelenteng

Sam Poo Kong Kong ini adalah para pedagang kecil

dan ada juga sebagian dari mereka pedagang besar atau

pengusaha. Baik itu dari kalangan muslim maupun dari

kalangan non muslim dari berbagai daerah di

Indonesia. Pada malam Jumat kliwon, sebagian besar

mereka yang datang ke kelenteng Sam Poo Kong Kong

ini adalah mereka yang beragama Islam. Beberapa

orang yang saya tanyakan bahwa mereka adalah

beragama Islam. Di samping itu juga dapat dilihat dari

atribut yang dipakainya, seperti memakai jilbab yang

menunjukkan bahwa mereka adalah seorang muslimah.

Sedangkan pada tanggal 1 dan 15 Imlek, menurut

informasi yang dapatkan dari para juru kunci kelenteng

adalah kebanyakan mereka yang datang ke sini adalah

yang beragama Khonghucu, Buddha dan ada juga

sebagian kecil mereka yang beragama Katolik maupun

Kristen. Ada sebagian orang mengatakan bahwa

kelenteng Sam Poo Kong ini tidak hanya sekedar

tempat ibadah, tempat meminta sesuatu pada dewa-

dewa, tapi juga sebagai wadah mempersatukan

sukubangsa, dan dari berbagai agama. Kelenteng ini

82 Dalam Kelenteng-Kelenteng

dapat dipandang sebagai simbol persatuan antar

sukubangsa yang ada di Indonesia (Tanggok 2006),

karena berbagai sukubangsa dapat dapat berkumpul di

tempat ini untuk melakukan ritual.

Karena tujuan orang-orang datang ke kelenteng

ini bermacam-macam, maka permintaannya bermacam-

macam juga. Ada di antara mereka memohon kepada

dewa Sam Poo Kong agar usaha dagangnya menjadi

maju dan berhasil, ada juga mereka yang datang ke

sini untuk minta agar cepat mendapat jodoh, ada juga

yang datang ke sini untuk minta obat, dan ada juga

yang datang ke sini untuk diberi nomor (togel) yang

tepat, sehingga apabila mereka memasang nomor

tersebut dia menjadi menang dan menjadi kaya. Jika

mereka dikasi nomor yang tepat oleh Sam Poo Kong,

maka mereka akan datang kembali. Jika mereka tidak

dikasi nomor yang tepat oleh Sam Poo Kong dan

akhirnya mereka menjadi kalah dalam berjudi, maka

mereka tidak akan datang lagi unuk meminta nomor.

Ada juga seorang ibu yang datang ke sini memohon

agar suaminya berhenti berjudi, dan mabuk-mabukan,

dan ada juga yang datang ke sini agar perjalanan studi

anaknya di perguruan tinggi lancar, tanpa ada satu

hambatan apapun. Walaupu juru kunci atau biokong

selalu mengatakan kepada pengunjung bahwa dewa

Sam Poo Kong tidak dapat memberikan angka yang

tepat, namun selalu ada pengunjung yang datang ke

sini untuk minta nomor, dan tetu saja ini didasarkan

pada keyakinan orang masing-masing. Anggapan

mereka dewa Sam Poo Kong sama dengan dewa-dewa

yang lain, yaitu dapat memberi nomor yang tepat dan

dapat memberikan keberuntungan pada mereka. Ada

Pratik Islam Nusantara 83

juga orang yang hanya sekedar coba-coba meninta

nomor kepada dewa Sam Poo Kong, dan apabila angka

tersebut dia dapatkan (melalui mimpin atau dengan

cara lain), maka dia beranggapan itu adalah berkat

pertolongan Sam Poo Kong.

Para pedagang mempunyai cerita yang lain jika

datang ke tempat ini, mereka bukan minta nomor, tapi

minta agar dagangannya laku keras atau laris. Jika

dagangannya laris, maka dia akan memperoleh

keuntungan yang banyak. Jika keuntungannya banyak,

dia tidak akan lupa berterima kasih pada dewa Sam

Poo Kong. Seorang ibu yang mengunakan jilbab datang

ke kelenteng Sam Poo Kong pada malam Jumat Kliwon

untuk minta pertolongan padanya. Dia mengatakan:

“Saya sudah tiga kali datang ke kelenteng ini tepatnya

pada malam jumat kliwon. Saya minta pada dewa agar

usaha dagang saya lancar, dan alhamdulillah usaha

dagang saya berjalan dengan lancar. Saya juga pernah

meminta kepada dewa Sam Poo Kong agar anak saya

yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi

negeri di Bogor berjalan tanpa ada halangan, dan

alhamdulillah sekarang kuliah anak saya sudah selesai

dan sekarang sudah bekerja di salah satu perusahaan

terkenal di Jakarta. Meskipun anak saya sudah

berhasil, saya tidak lupa untuk selalu mengunjungi

kelenteng ini untuk memohon sesesuatu yang saya

inginkan, sebab saya sangat berutang budi kepadanya.”

Rahasia keberhasilan ibu ini tidak hanya dia simpan

sendiri, tapi diajuga ceritakan kepada teman-temannya.

Di antara temannya yang percaya terhadap cerita itu,

maka dia mengikuti jejak ibu tersebut untuk memohon

sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong.

84 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Bagi orang yang hadir ke sini dengan tujuan

untuk sembahyang pada Sam Poo Kong, dia harus

membeli hio di tempat penjualan hio. Kemudian hio

tersebut dibawa ketempat pemujaan Sam Poo Kong.

Bagi orang muslim yang datang ke sini, hio tersebut

diserahkan kepada biokong (juru kunci), kemudian juru

kunci menanyakan maksud orang yang datang,

namanya, dari mana dia berasal dan apa saja maslah

yang ia hadapi. Kemudian biokong membakar hio

tersebut dan melakukan sembahyang kepada Thian

(Tuhan). Sembahyang kepada Thian (Tuhan) sama

artinya melaporkan kepada Tuhan untuk minta restu

melakukan sembahyang di tempat ini. Selesai

melakukan sembahyang kepada Tuhan seperti cara

yang dilakukan oleh orang Tionghoa bersembahyang

kepada Thian, barulah memohon sesuatu keada dewa

Sam Poo Kong.

Sembahyang kepada Tuhan atau Thian dengan

cara menghadap keluar atau ke langit, menganggkat

hio setinggi kepala sebanyak 3 kali dan menundukkan

kepala sebanyak 3 atau 4 kali.8 Setelah selesai

melakukan sembahyang pada Thian, hio tersebut

ditancapkan ke hiolo (tempat menancapkan hio)

sebanyak 2 atau 3 batang, kemudian sisa hio tersebut

digunakan oleh juru kunci untuk memuja atau

melaporkan pada Men Shen, dewa pintu (altar

pemujaannya terletak dibagian tengah sebelum masuk

ke dalam tempat pemujaan Sam Poo Kong), setelah itu,

hio tersebut ditancapkan lagi ke hiolo milik dewa

penjaga pintu, yang artinya meminta izin untuk

melakukan sembahyang pada dewa Sam Poo Kong.

Meminta izin kepada Thian tidak semestinya

Pratik Islam Nusantara 85

menunggu jawaban dari Thian apakah diizinkan atau

tidak, namun ini hanya sekedar melapor kepada Thian.

Apabila sembahyang kepada Thian sudah

dianggap selesai, maka juru kunci masuk dalam sebuah

ruangan tempat pemujaan Sam Poo Kong sambil

membawa 3 atau 4 batang hio yang merupakan sisa

dari pemujaan pada Thian dan dewa pintu. Di depan

altar tempat pemujaan Sam Poo Kong, juru kunci

kembali melakukan sembahyang atau pemujaan

terhadap dewa Sam Poo Kong, dan memohon kepada

dewa Sam Poo Kong agar apa yang menjadi keinginan

orang yang datang ke sini dapat dikabulkan. Sementara

orang yang minta sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong

ini berada dibelakang juru kunci. Setelah melakukan

pemujaan atau memohon kepada dewa Sam Poo Kong,

juru kunci menancapkan hio di hiolo yang ada

dihadapan patung Sam Poo Kong yang menandakan

bahwa sembahyang atau memuja kepadanya selesai

dilaksanakan (Tanggok 2006) dan kegiatan berikutnya

dapat dilanjutkan.

Sebelumnya juga sudah dijelaskan bahwa

setelah selesai melakukan pemujaan atau meminta

sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong, juru kunci

mengambil tempat Ciam Si. Ciam Si adalah sebuah

benda berbentuk bila-bila bambu menyerupai sumpit

bertuliskan hurup Mandarin dan berisi ramalan.

Batangan Ciam Si adalah terbuat dari bambu yang

panjanga sekitar 20 cm, lebarnya 1cm, dan di batang

bambu-bambu tersebut tertuliskan nomor 1 -99. Jumlah

Ciam Si ini sebanyak 99 batang dan berisi 99 ramalan.

Ciam Si ini digunakan orang untuk melihat nasib atau

keberuntungan yang mereka peroleh di masa akan

86 Dalam Kelenteng-Kelenteng

datang. Angka atau nomor yang tertulis dibambu Ciam

Si tersebut memiliki terjemahan dalam bahasa

Indonesia yang telah tersedia di ruang bagian depan

tempat pemujaan Sam Poo Kong. Dari situ orang dapat

mengetahui maksudnya. Tempat Ciam Si terbuat dari

bambu atau bahan plastik dan besarnya seper ti gelas

minuman. Setelah tempat Ciam Si diambil, juru kunci

kembali duduk di depan altar sembahyang dan

mengoncang tempat Ciam Si sampai salah satu dari 99

batang Ciam Si keluar dari tempatnya. Hiolo adalah alat

atau tempat menancapkan dupa yang sudah dinyalakan dengan

api dan sudah digunakan untuk sembahyang. Sebagaimana

informasi yang di dapatkan dari sumber google, bahwa Hiolo

sebagai barang wajib yang disimpan atau diletakkan di atas

altar. Hiolo terbuat dari kuningan berkwalitas super dengan

harga terjangkau masyarakat. Salah satu spesifikasi hiolo

berdiameter 11,5 Cm, Tinggi 9 Cm, Berat 600 Gr dan bahan

terbuat dari kuningan murni. Harga hiolo jenis ini dijual

seharga Rp. 140.000 di pasaran.

Gambar Hiolo: Tempat abu hio

(Sumber: Google)

Pratik Islam Nusantara 87

Sebagaimana dikatakan oleh Yulianti dalam tulisannya

yang berjudul: ”Meramal nasib ala Tionghoa melalui kocokan

batang bambu” (Dalam:

https://ariellucky.wordpress.com/2008/06/13) bahwa

masyarakat Tionghoa dikenal handal dalam meramal, selain

meramalan melalui Feng Shui, meraman secara tradisional

kuno pun hingga kini masih membudaya dalam kehidupan

mereka. Ramalan itu dapat disebut sebagai ramalan Ciam Si.

Yulianti melanjutkan bahwa ramalan Ciam Si

merupakan sejenis permainan meramal nasib yang didasarkan

dari 100 kertas syair yang tersedia, yang setiap saat

dilaksanakan jika berada di Kelenteng. Ramalan Ciam Si ini

juga sebagai media untuk mengetahui peruntungan nasib dari

seseorang, di mana biasanya orang yang bersangkutan harus

terlebih dahulu mengikuti aturan tradisi yang ada dengan cara

mengocok batang bambu kecil, menyerupai sumpit berukuran

sekitar 10 cm yang diletakkan di dalam sebuah wadah gelas,

dimana setiap batang bambu tersebut memiliki nomor yang

sudah disesuaikan dengan jumlah kertas syair yang ada di

kelenteng. Sebelum kertas syair dikocok, seseorang harus

melakukan permohonan melalui persembayangan terlebih

dululu. Dengan cara menyebutkan nama dan usia dalam hati

kemudian mengajukan permohonan di hadapan patung dewa

yang berada di atas altar sembahyang, baru melempar dua

keping kayu berbentuk setengah lingkaran dengan masing-

masing sisinya harus berlainan. Jika hasil lemparan dua keping

kayu tadi sama-sama menunjukkan sisi yang sama, maka orang

yang akan diramal belum memperoleh izin dari sang dewa.

Namun bila sebaliknya, hasil lemparan dari dua keping kayu

tadi menunjukkan sisi yang berbeda, maka orang itu boleh

88 Dalam Kelenteng-Kelenteng

melakukan ramalan Ciam Si, dengan mengocok batang bambu

yang ada dalam wadah gelas.

Menurut Yulianti, bila sebatang bambu yang telah

dikocok, jatuh ke tanah maka angka yang tertera di batang

kayu, disesuaikan dengan secarik kertas yang ada di kotak

ramalan atau bisa juga dengan cara mencabut urutan kertas

yang tertempel didinding, menurut urutan angka yang keluar

setelah dilakukan pengocokan. Setiap kertas dalam ramalan

Ciam Si ini, memiliki syair dan ramalan yang berbeda-beda,

berupa peruntungan karir, jodoh, rezeki dan kehidupan rumah

tangga.

Menurut Yulianti bahwa sebagian masyarakat Tionghoa

sangat percaya terhadap ramalan ini dan mereka juga

mempercayai bahwa ramalan ini dapat menuntun mereka ke

arah kebahagiaan dan keberuntungan yang lebih baik, serta

menghapus nasib jelek atau minimal menguranginya, juga

terkadang dimanfaatkan untuk memulai atau mengembangkan

bisnis dan meningkatkan karir serta menapak masa depan yang

lebih baik pada saat peruntungan sedang baik, dan bersikap

hati-hati saat peruntungan sedang menurun.

Ramalan Cian Si ini bersifat tradisi, tidak di pungut biaya dan

ramai dilaksanakan menjelang imlek, utamanya pada tanggal

satu, delapan dan lima belas Februari.

Sejumlah wisatawan baik dalam maupun luar negeri, juga

terkadang menyempatkan waktu berkunjung ke Kelenteng

hanya sekedar meramal nasibnya atau keberuntungannya

dengan menggunakan Ciam Si.

Apa yang dijelaskan Yulianti ini masih tetap ada

dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di manapun

mereka berada. Bagi masyarakat muslim yang percaya

pada ramalan ini, biasanya dalam mempraktikannya,

mereka dapat mewakilkannya dengan juru kunci

Pratik Islam Nusantara 89

kelenteng. Juru kuncilah yang menjadi mediator antara

dia dengan dewa-dewa yang dipuja.

Setelah salah satu batangan Ciam Si di letakkan

di atas hiolo, juru kunci kemudian mengambil Po Pai.

Po Pai adalah dua keeping kayu yang berbentuk

setengah lingkaran yang terdapat di atas altar

sembahyang. Sebelum 2 buah Po Pai itu dilambung,

terlebih dahulu juru kunci meminta izin kepada dewa

Sam Poo Kong dengan cara menyembayangkannya,

setelah itu Po Pai dilambung dan dibiarkan jatuh ke

lantai. Jika 2 buah Po Pai ini jatuh dalam keadaan 1

buah telungkup dan 1 buahnya lagi jatuh dalam

keadaan telentang, berarti dewa Sam Poo Kong setuju,

dan jika kedua Po Pai itu jatuh ke lantai dalam

keadaan telentang kedua-duanya atau telungkup kedua-

duanya, berarti dewa Sam Poo Kong tidak setuju, dan

penggoncangan Ciam Si dan pelambungan Po Pai

harus diulang kembali sampai semuanya sesuai dengan

keinginan (Tanggok 2006). Jika apa yang mereka

lakukan sesuai dengan keinginannya, maka hatinya

akan merasa puas.

Setelah semuanya dianggap selesai, juru kunci

dan diikuti oleh orang yang minta sesuatu pada dewa

Sam Poo Kong, sambil membawa sebatang Ciam Si

yang didapat dari hasil penggoncangan menuju ke

suatu tempat atau sebuah lemari yang terdapat di ruang

bagian depan pemujaan pada dewa Sam Poo Kong,

tepatnya berada di sebelah kiri pintu masuk ruangan

tempat pemujaan dewa Sam Poo Kong. Ruang tersebut

adalah tempat menyimpan lembaran kertas terjemahan

Chiam Si ke dalam bahasa Indonesia. Jika dari hasil

penggoncangan Chiam Si tadi kita mendapat batang

90 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Chiam Si yang bernomor 1, maka batang Chiam Si

yang tertulis nomor satu tersebut ditukar dengan kertas

terjemahan Chiam Si yang juga tertulis nomor 1, dan

hal yang sama juga dilakukan untuk nomor-nomor

yang lain. Setiap nomor mempunyai kertas

terjemahannya masing-masing. Setiap orang ingin

memperoleh Ciam Si yang bagus, yang sesuai dengan

keinginannya.Jika mereka mendapatkan jawaban dari

Ciam Si cukup bagus, maka tenanglah hati mereka.

Banyak orang yang sudah mendapatkan

lembaran copi terjemahan Ciam Si mengalami

kesulitan memahami isi atau kata-kata yang tertulis

dalam lembaran tersebut, hal ini bukan karena

lembaran itu ditulis dalam bahasa Cina atau bahasa

Indonesia (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia) tapi karena kata-kata atau kalimatnya masih

bersifat umum dan untuk mengetahui maksudnya harus

dijelaskan oleh juru kunci kelenteng. Juru kunci

kelentenglah yang difungsikan oleh seorang pemuja

atau yang mempunyai keinginan tertentu untuk

menterjemahkan maksudnya. Untuk menjelaskan

maksud Ciam Si tersebut, paling tidak juru kunci

kelenteng membutuhkan waktu lebih kurang lima belas

menit atau setengah jam untuk menjelaskannya pada

orang yang membutuhkan pennjelasan dan mengetahui

maksud dari ramalan tersebut.

Penjelasan kertas Chiam Si tidaklah dilakukan

dalam bentuk formal, tapi dapat dilakukan sambil

berdiri dan sambil berjalan serta bisa didengar oleh

siapa saja yang ingin ikut mendengarkannya. Bisa juga

orang lain yang tidak mempunyai hubungan dengan

orang yang datang untuk maksud tertentu pada dewa

Pratik Islam Nusantara 91

Sam Poo Kong bertanya pada juru kunci kelenteng.

Juru kunci kelenteng mempunyai sifat terbuka kepada

siapa saja yang membutuhkan penjelasan kepadanya

dan sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki

dan juga tingkat pendidikannya.

Setelah selesai mendapatkan penjelasan dari

juru kunci kelenteng, seseorang atau sekelompok orang

yang mempunyai keinginan tertentu pada dewa Sam

Poo Kong membawa pulang kertas Chiam Si tersebut

dan disimpan di dompet bagi laki-laki dan di tempat-

tempat tertentu bagi wanita atau bagi laki -laki dapat

dilain tempat selain di dompet. Tapi umumnya laki -

laki menyimpannya di dompet untuk sebagai “jimat”

atau benda yang dapat menolak atau melindungi

seseorang dari segala bahaya yanga akan menimpa

mereka. Bisa saja kertas Chiam Si tersebut di simpan

ditempat yang khusus di rumah untuk sebagai penjaga

bagi keselamatan keluarga. Demikianlah beberapa

penafsiran orang tentang kertas Chiam Si.

“Menurut seorang pemuja bahwa kertas itu dapat

disimpan di dalam dompet untuk dijadikan jimat dan

dapat dibawa ke mana-mana, terutama dapat dibawa

bekerja atau berdagang, supaya dagangannya cepat

laku dan mendapatkan keuntungan yang banyak.

Alhamdulilla, kata seorang ibu (seorang pedagang)

bernama Aminah, dagangan kainnya laku banyak

setelah memohon kepada dewa dagang Sam Poo Kong

dan di mana saja dia berdagang, kertas Chiam Si selalu

dia bawa. Oleh karena itu dia tidak lupa minimal

seminggu sekali atau sebulan sekali setiap malam

jumat kliwon datang ke kelenteng Sam Poo Kong

untuk memohon sesuatu yang dia inginkan (Tanggok

92 Dalam Kelenteng-Kelenteng

2006)” atau hanya sekedar ucapan terima kasih kepada

dewa Sam Poo Kong.

Berdasarkan pengalaman dari beberapa

pengunjung kelenteng yang beragama Islam, memohon

sesuatu pada dewa Sam Poo Kong haruslah dilakukan

dengan cara berulang-ulang dan agar keinginannya

terkabulkan. Ada di antara pengunjung yang sekali

bermohon langsung dikabulkan, ada yang berulang kali

baru dikabulkan. Memohon sesuatu kepada dewa Sam

Poo Kong tidak semestinya datang ke kelenteng,

namun bias melalui jarak jauh, jika kita tidak sempat

untuk ke sana. Menurut seorang ibu, jika kita tidak

sempat datang ke kelenteng Sam Poo Kong di

Semarang, setiap malam Jumat Kliwon atau setiap

bulan, karena alasan sibuk, atau karena alasan jauh,

seseorang dapat melakukan pemujaan dan memohon

sesuatu pada dewa Sam Poo Kong dari jarak jauh,

misalnya dari rumah, yaitu dengan membuat altar

sembahyang di kamar pribadi dan meletakkan

perlengkapan sembahyang di sana. Perlengkapan

sembahyang dapat dibeli pada saat berkunjung ke

kelenteng Sam Poo Kong. Sekali membeli

perlengkapan sembahyang di sana cukup untuk

digunakan sebanyak 7 kali semabahyang, terutama

sembahyang pada malam Jumat Kliwon di rumah.

Namun dia juga mengatakan bahwa jika ada

kesempatan untuk datang ke kelenteng setiap bulan, itu

lebih bagus, karena memohon sesuatu dilakukan

ditempatnya dan bukan dari jarak jauh dianggap lebih

baik. Memohon dari jarak jauh tidak semestinya dari

rumah, dari tempat usaha juga diyakini dari beberapa

pemuja boleh dilakukan, seperti dari tempat usaha.

Pratik Islam Nusantara 93

Pada saat saya berkunjung ke kelenteng Sam Poo

Kong, saya sempat mewawancarai seorang ibu yang

sudah setengah baya, propesinya sebagai pedagang dan

memiliki tempat usaha sendiri. Dia mengungkapkan

pengalamannya kepada saya bahwa dia pernah

melakukan sembahyang kepada dewa Sam Poo Kong

dengan tidak datang ke kelenteng Sam Poo Kong tapi

cukup dilakukan di rumah saja. Sembahyang itu dia

lakukan di dalam kamar pribadinya dan tidak semua

orang dapat mengetahuinya. Di dalam kamar dia

menyediakan sebuah meja kecil yang difungsikan

sebagai altar sembahyang. Di atas altar itu dilengkap

dengan hiolo (tempat menancapkan hio), lilin merah 2

batang, sesajian beberapa piring makanan, beberapa

gelas minuman, untuk dipersembahkan pada dewa Sam

Poo Kong. Pada saat malam Jumat Kliwon tiba, dia

memohon kepada dewa Sam Poo Kong agar agar dapat

hadir ke rumahnya untuk mendengarkan

permohonannya. Setelah dia yakin benar dewa Sam

Poo Kong hadir di rumahnya, dia langsung memohon

sesuatu agar keinginannya terkabulkan. Cara

sembahyang dan memohon sesuatu dapat dilakukan

seperti cara sembahyang dan memohon yang dilakukan

di kelenteng.Praktik ritual yang dilakukan di rumah

atau di tempat usaha adalah duplikat dari cara

sembahyang yang dilakukan di kelenteng.

Dia melakukan sembahyang pada dewa Sam Poo

Kong di rumah, karena dia berkeyakinan bahwa dewa

Sam Poo Kong baru akan mengabulakan

permohonannya setelah 7 kali melakukan sembahyang

atau pemujaan kepadanya. Alasan lain adalah bahwa

untuk pergi ke kelenteng Sam Poo Kong di semarang

94 Dalam Kelenteng-Kelenteng

cukup jauh dari rumahnya dan harus menyediakan

biaya yang cukup besar untuk tranfortasi dan

akomodasi. Oleh sebab itu, cukup dia lakukan di

rumahnya saja meskipun tanpa mengunjungi kelenteng

Sam Poo Kong. Menurut ibu tersebut, pemujaan pada

dewa Sam Poo Kong yang dilakukan di rumah, kalau

bisa jangan sampai diketahui oleh tetangga dan

masyarakat sekitarnya, nanti dapat dianggap

memelihara tuyul dan tetangga akan menaruh curiga

padanya. Perasaan curiga, malu terhadap tetangga juga

ada pada ibu ini, sehingga dia pandai menyembunyikan

apa yang dia lakukan. Meskipun tetangga tidak

mengetahui apa yang dipraktikan ibu ini di rumah,

namun anggota keluarga pasti dengan mudah dapat

mengetahuinya. Dalam kasus ini, anggota keluarga

juga harus menjaga kerahasiaannya, agar informasinya

tidak menyebar ke mana-mana.

Seorang ibu datang dari Ambarawa, dia datang

ke tempat ini untuk meminta pada dewa Sam Poo Kong

agar kasus yang menimpa dirinya dapat diselesaikan.

Dia memiliki utang yang banyak pada pada orang lain,

akibat rugi dalam berdagang. Orang yang

mengutangkan selalu datang menagih hutangnya dan

kadangkala dia menggunakan jasa preman untuk

menakut-nakutinya.Dia minta pada dewa Sam Poo

Kong agar orang yang mengutangkan dapat dilunakan

hatinya dan tidak selalu datang menagih hutangnya.

Jika berhasil, dia akan datang lagi ke kelenteng untuk

menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada dewa

Sam Poo Kong.

Di samping meminta pertolongan pada Cheng

ho, orang yang datang ke sini juga biasanya berniat

Pratik Islam Nusantara 95

untuk menyumbangkan sesuatu kepada dewa Sam Poo

Kong kalau keinginannya diwujudkan atau usahanya

berhasil. Salah satu bentuk sumbangan yang diberikan

oleh para penyumbang yang usahanya telah berhasil

setelah memohon kepada dewa Sam Poo Kong adalah

“lilin merah” yang apabila dinyalakan bisa mencapai

10 bulan tidak dimatikan. Lilin adalah simbol dari

penerangan dan roh orang yang mati masih tetap hidup

mengawasi manusia (Tanggok 2006). Lilin merah

bukanlah sekedar alat penerangan, namun dibaliknya

penuh dengan makna.Setiap orang dan sukubangsa,

mempunyai penafsiran tersendiri terhadap lilin,

sehingga lilin penuh dengan makna simbolik.

Seorang tukang kebersihan kelenteng

menceritakan bahwa pada tahun 2002 ada seorang ibu

dari Jakarta yang pekerjaannya sebagai pedagang atau

pengusaha, namanya Hajah Jubaidah (seorang

muslimah). Setelah memohon sesuatu kepada dewa

Sam Poo Kong, usahanya berhasil, maka dia

menyumbangkan beberapa pasang lilin (kira -kira tiga

pasang atau enam batang) yang harga satu pasangnya

(dua batang) sekitar 3,5 juta rupiah. Diperkirakan garis

tengah lilin ini berukuran 30 cm dan panjangnya 200

cm, serta dilapisi plastik terang.

Tukang sapu kelenteng ini mengungkapkan

kegembiraannya karena pada saat menurunkan lilin -lin

tersebut dari mobil dan disimpan di teras bagian depan

kelenteng, dia di bayar 100 ribu rupian. “Maklumlah

gaji tukang sapu seperti saya ini kecil, demikian

ungkapnya dan ketika mendapat uang Rp. 100.000, -

alangkah bahagia rasanya.” Demikian ungkap tukang

sapu dengan rasa gembira telah mendapatkan upah dari

96 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Hajah Jubaidah (Tanggok 2006). Hajah Jubaidah

adalah salah satu dari seorang pedagang muslim yang

selalu mengunjungi kelenteng ini untuk memohon

sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong. Sedangkan

contoh muslim yang lain banyak lagi yang tidak b isa

disebutkan satu-persatu namanya.

Dua orang pemuja di kelenteng Sam Poo Kong

(Sumber: Google)

3.3. Pemujaan Juru Mudi Dampo Awang 3.3.1 Gambaran Umum Ruangan Pemujaan Dampo

Awang

Ruang pemujaan Dampo Awang adalah sebuah

ruangan yang sengaja di buat dan digunakan untuk

memuja Juru Mudi Dampo Awang. Sebagaimana

ruangan-ruangan pemujaan untuk dewa-dewa yang

lain, ruangan pemujaan Juru Mudi Dampo Awang juga

mempunyai altar sembahyang dan di atasnya

diletakkan semua perlengkapan sembahyang.

Pratik Islam Nusantara 97

Ruangan ini terletak di samping sebelah kanan tempat

pemujaan Cheng Ho, ada tempat pemujaan Kyai Juru

Mudi Dampo Awang, yang juga banyak dikunjungi

orang, terutama orang-orang Islam pada malam Jumat

Kliwon, terdapat sebuah ruangan khusus untuk

melakukan pemujaan pada Juru Mudi Dampo Awang.

Jika kita menghadap kearah kelenteng, maka ruangan tempat

pemujaan Juru Mudi Dampo Awang ini berada di sebelah

kanannya ruangan utama (tempat pemujaan Sam Poo Kong)

atau berada di sebelah kiri dari kelenteng tempat pemujaan

dewa bumi. Ruangan pemujaan Juru Mudi Dampo Awang ini

termasuk kedua dari kelenteng dewa bumi. Ruangan ini

sudah direnopasi dan kelihatannya sudah lebih baik

dari ruangan sebelumnya.Sebagaimana kita ketahui,

pada tahun 2002 kelenteng Sam Poo Kong ini sempat

di renopasi sehingga bangunan lama berubah menjadi

baru dan kelihatannya lebih moderen.

Ruangan tempat pemujaan Kyai Juru Mudi

Dampo Awang ini berukuran kira-kira 6 x 6 metter.

Sejak tahun 2002 yang lalu, tempat ini sudah

diperbaharui sejalan dengan pembangunan kembali

ruangan utama (tempat pemujaan Cheng Ho).

Kelenteng ini terbuka karena tidak ada pintu maupun

jendela, hanya ada tembok pembatas yang tingginya

sekitar 1 metter dan tidak ubahnya seperti pagar rumah

yang terbuat dari batu bata. Di dalam ruangan in i ada

sebuah meja besar (altar) yang ukurannya kira -kira 2 x

2 metter. Meja ini digunakan untuk meletakkan

perlengkapan sembahyang atau pemujaan, seperti hiolo

(tempat hio) yang kelihatannya terbuat dari tembaga

berwarna kuning, lilin, dan lain-lain. Meja ini dapat

juga disebut sebagai altar tempat sembahyang atau

98 Dalam Kelenteng-Kelenteng

pemujaan. Di dalam hiolo ada beberapa batang hio

yang sedang terbakar, yang menunjukkan bahwa ada

orang yang telah melakukan sembahyang sehingga hio

nya masih terlihat menyala. Dalam hiolo tersebut

dipenuhi dengan abu bekas pembakaran hio. Oleh

karena itu, diperlukan petugas kelenteng yang selalu

memperhatikan hiolo tersebut, yaitu jika dia penuh

dengan batangan hio yang sudah terbakar dan dipenuhi

oleh abu hio, maka petugas dengan segera

membersihkannya atau mengambil abu tersebut untuk

dikurangi sehingga memudahkan para pemuja untuk

menancapkan hio. Demikian juga jika batangan hio

yang sudah terbakar sudah memenuhi tempat tersebut,

maka petugas dengan segera mengambilnya untuk

dibawa ke tempat sampah atau ke tempat khusus

menampung batangan hio dengan abunya (Tanggok

2006). Kadangkala abu hio ini dibuang ke laut agar

tidak dibuang sembarang tempat, karena abu ini

dianggap abu suci bekas orang-orang melakukan

sembahyang.

Di belakang meja atau altar tersebut terdapat

sebuah kuburan atau makam tua yang dikeramatkan

oleh banyak orang, baik orang-orang yang mengaku

sebagai muslim, maupun orang-orang Tionghoa non

muslim. Makam ini diyakini sebagian orang sebagai

makam Juru Mudi Dampo Awang yang mati dan

dikuburkan di situ. Juru Mudi Dampo Awang adalah

juru mudi kapalnya Cheng Ho ketika berkunjung

berbagai negara pada abad ke-15. Ruangan tempat

makam Juru Mudi Dampo Awang ini tidaklah terlalu

luas, hanya kira-kira 2 x 6 metter. Ruangan inilah yang

menjadi tempat makam tua tersebut berada dan

Pratik Islam Nusantara 99

dikeramatkan banyak orang. Makam tersebut cukup

sederhana, tidak seperti makam-makam kebanyakan di

masa modern ini (Tanggok 2006). Namun sekarang

tempat keberadaan makam tersebut sudah diperbaiki

sehingga kelihatannya lebih moderen.

Ruangan ini dijaga oleh dua orang juru kunci

dengan cara bergiliran sebanyak 2 orang. Orang

pertama bekerja dari pukul 08;00 sampai dengan pukul

16:00, dan orang kedua bekerja dari pukul 16:00

sampai dengan pukul 22:00. Dia bertugas sebagai

perentara antara pemohon (orang yang datang untuk

memohon sesuatu kepada Dampo Awang) dengan roh

Dampo Awang yang diyakini keberadaannya di makam

tersebut. Juru kunci ini seorang laki -laki yang usianya

sekitar 50 tahun, memakai baju lengan panjang

berwarna hitam, peci hitam dan kain sarung,

kadangkala juga dia menggunakan celana hitam. Di

dalam ruangan ini tidak ada kursi dan para tamu yang

datang cukup dengan duduk bersila atau bersimpuh di

atas tikar di depan makam. Ada sebuah bangku yang

hanya bisa menampung 3 orang. Jika tidak ada

pengunjung, juru kunci selalu duduk di bangku ini.

Orang-orang yang akan memohon sesuatu tidak

dibolehkan masuk dengan menggunakan sandal atau

sepatu, tapi dilepas terlebih dahulu baru masuk ke

dalam ruangan tersebut. Ruangan ini hanya dapat diisi

sekitar lima orang, lebih dari itu mereka akan

mengalami kesulitan untuk duduk bersila karena

ukuran ruangan terlalu kecil dekat makam. Orang yang

tidak mempunyai keinginan untuk memohon sesuatu

pada Dampo Awang dan hanya sekedar ingin melihat-

lihat makam atau ingin melihat bagaimana cara juru

100 Dalam Kelenteng-Kelenteng

kunci memimpin upacara pada saat ada orang yang

akan memohon sesuatu pada Dampo Awang, juga tidak

dilarang untuk masuk asalkan minta izin kepada

penjaga makam atau ikut serta dalam rombongan orang

yang akan memohon sesuatu. Para pengunjung juga

tidak dibolehkan untuk bicara keras di depan makam,

karena makam itu dianggap suci dan kramat dan juga

dapat mengganggu kekhusukan orang lain untuk

berdoa di makam.

Pada malam hari, makam ini tidak disinari

lampu yang cukup terang, hanya diterangi bola lampu

sekitar 15 wat, sehingga terlihat dari jauh dalam

keadaan remang-remang. Apakan lagi sekarang ada

peraturan Yayasan Sam Poo Kong bahwa kelenteng

hanya buka dari pukul 8 pagi hingga pukul 9 malam,

tidak sama seperti 10 tahun lalu di mana kelenteng

buka selama 24 jam. Sehingga pada malam hari

ruangan makam tersebut tampak hanya sekedar

remang-remang yang agak menyeramkan bagi orang

yang belum terbiasa masuk ke ruangan ini. Tapi bagi

juru kunci yang sudah tiap hari bertugas di sini, ruanan

ini sudah seperti rumah mereka sendiri dan tidak ada

perasaan menakutkan atau menyeramkan. Bahkan

mereka dapat tidur dengan nyenyak di sini di sini

sampai keesokkan harinya. Meskipun makam ini

berada di dalam lokasi kelenteng Sam Poo Kong,

namun suasananya tidak menakutkan, mungkin karena

banyak para pengunjung yang datang ke sini sehingga

lokasi makam berubah menjadi lokasi rekreasi dan

membuat nyaman bagi setiap pengunjung untuk

melepaskan lelahnya di lokasi ini.

Pratik Islam Nusantara 101

Mengenai kisah makam Islam yang terdapat di

samping Goa Sam Poo Kong di Semarang, diceritakan

dalam karyanya Tju Kie Hak Siep (1954) Dalam

karyanya itu Tju Kie Hak Siep menceritakan tentang

temannya Cheng Ho yang oleh masyarakat Semarang

dikenal sebagai Kyai Guru dan juga dikenal sebagai

Juru Mudi Cheng Ho yang bernama Wang Jing Hong.

Di Indonesia terkenal pula dengan dialek Fujiannya

dengan sebutan Ong King Hong atau Ong Hing Tek.

Berdasarkan sejarah, pada saat kapal-kapal Cheng Ho

memasuki perairan pulau Jawa, dia jatuh sakit, maka

Cheng Ho memutuskan untuk mampir di suatu tempat,

yang sekarang dikenal dengan Semarang. Tempat

pendaratan Cheng Ho yang juga diikuti oleh 4 orang

pembantunya itu dikenal dengan daerah Mangkang.

Karena kapal-kapal yang besar tidak bisa merapat,

maka terpaksa Cheng Ho bersama 4 orang anak

buahnya menggunakan perahu-perahu wangkang

(perahu kecil) untuk membawa Wang Jing Hong

merapat ke darat. Mereka terus berlayar menyusuru

sungai, sehingga mereka menemukan daerah yang

dikenal dengan Gedung Batu. Di daerah itu mereka

menemukan sebuah gua batu besar. Letak gua batu itu

kira-kira jaraknya 50 m dari gua batu yang ada di

komplek kelenteng Gedung Batu atau kelenteng Sam

Poo Kong sekarang ini.

Untuk kepentingan peristirahatan, terutama

peristirahatan untuk Wang Jing Hong yang dalam

keadaan sakit, Cheng Ho memerintahkan kepada 4

orang anak buahnya membuka hutan untuk membangun

sebuah tempat peristirahatan. Setelah selesai

membangun tempat peristirahatan, lalu Wang Jing

102 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Hong ditempatkan di situ. Setelah 10 hari beristirahat

di situ, penyakit Wang Jing Hong belum juga sembuh.

Karena alasan waktu, maka Cheng Ho dan juru

mudinya yang lain memutuskan untuk meneruskan

perjalanan atau perjalanan ke daerah lain. Sementara

Cheng Ho dan anak buahnya yang lain meneruskan

perjalanan ke berbagai daerah, maka Wang Jing Hong

untuk sementara ditinggalkan ditempat peristirahatan

agar kesehatannya pulih kembali. Untuk mengurus

Wang Jing Hong yang dalam keadaan sakit tersebut,

Cheng Ho memerintahkan 10 orang anak buah

kapalnya yang beragama Islam untuk merawat dan

mengurus keperluannya sampai dia benar -benar

sembuh dari sakitnya dan dapat lagi bersama-sama

dengan Cheng Ho meneruskan perjalanan laut untuk

mengunjungi daerah-daerah yang telah dan belum

pernah dikunjungi. Untuk keperluan transportasi dan

kebutuhan hidup sehari-hari, Cheng Ho juga

meninggalkan sebuah perahu wangkang beserta dengan

perbekalannya (Tju Kie Hak Siep 1954) untuk

persediaan anak buahnya tinggal di darat.

Setelah sembuh dari sakitnya, Hong bersama 10

orang pembantunya tidak segera meninggalkan Gua

Batu untuk menyusul Cheng Ho dan teman-temannya

yang lain, tapi mereka membina kehidupan baru di

daerah itu dan sambil menjalankan ibadah sesuai

dengan agama yang mereka anut. Setelah 5 tahun

menetap di daerah Gedung Batu, Hong beserta

pembantunya memutuskan untuk berlayar dengan

menggunakan perahu wangkang. Dalam perjalanan itu

mereka menuju ke Timur sampai ke daerah

Banyuwangi dan meneruskan perjalanannya lagi

Pratik Islam Nusantara 103

sehingga sampai ke pelabuhan Jakarta. Karena dia

dianggap orang yang pandai atau menguasai ajaran

agama Islam, maka banyak orang yang menuntut ilmu

kepadanya, oleh murid-muridnya dia dipanggil Kyai

Guru, karena dia adalah mengajar tentang Islam untuk

kepentingan banyak orang (Tju Kie Hak Siep 1954).

Setelah Kyai guru ini meninggal dunia, banyaklah

orang datang kekuburannya untuk mendoakannya dan

juga memohon sesuatu kepadanya.

Meskipun sudah lama berpisah dengan Cheng

Ho, namun Hong masih tetap mengingat jasa baik

pemimpinnya itu. Untuk mengenang jasa-jasanya,

terpaksa Hong meluangkan sedikit waktunya untuk

membuat patung Cheng Ho dan 4 orang yang sangat

dipecayai oleh Cheng Ho. Untuk membuat patung-

patung tersebut, Hong memanfaatkan batu gunung

yang ada disekitar tempat tinggalnya. Setelah selesai

membuat patung-patung tersebut, Hong meletakkan

patung-patung tersebut ke dalam gua batu bekas Cheng

Ho dan teman-temannya, termasuk dia beristirahat

dahulu. Diberitakan bahwa hampir setiap hari Hong

dan murid-muridnya mengunjungi gua batu itu hanya

sekedar untuk menghormati patung Cheng Ho dan para

orang-orang kepercayaannya. Setelah 40 tahun Hong

dan para pengikutnya menempati lokasi gua batu

tersebu, Hong dipanggil Tuhan dalam usia 87 tahun.

Dia dimakamkan sesuai dengan agama yang dia anut,

yaitu Islam dan dia dimakamkan disebelah Utara

Gedung Batu. Sejak itulah, makamnya disebut sebagai

makam Juru Mudi Dampu Awang dan sampai saat ini

makam tersebut dianggap sebagai makam keramat atau

suci, sehingga banyak orang tertarik untu datang ke

104 Dalam Kelenteng-Kelenteng

tempat ini untuk memohon sesuatu kepadanya. Banyak

orang yang datang ke sini, namun mereka tidak tahu

dengan sejarahnya. Mereka hanya tahu bahwa makam

itu dianggap sakral oleh banyak orang dan tempat

orang-orang memohon sesuatu kepadanya.

Ada juga pendapat yang meragukan kebenaran

makam yang terdapat di kompleks kelenteng Sam Poo

Kong itu adalah makam Wang Jing Hong, karena

menurut mereka Wang Jing Hong pernah ditugaskan

oleh kaisar Chu chi untuk memimpin ekpedesi ke

Sumatera, dan pada saat itu dia mengalami nasib yang

tidak baik, yaitu meninggal dilautan yang jauh dari

laut Jawa. Oleh karena itu tidak mungkin dia

dimakamkan di situ, karena meninggalnya ditengah

lautan (Kong Yuan Zhi 2000). Walaupun ada pendapat

yang meragukan tentang keberadaan makam Wang Jing

Hong tersebut, namun banyak juga pendapat yang

membenarkan keberadaan makam tersebut. Bagi

masyarakat yang datang untuk memohon sesuatu pada

makam tersebut, tidak perduli apakah makam yang ada

di komplek kelenteng Sam Poo Kong tersebut adalah

makam Dampo Awang yang sebenarnya atau bukan,

yang jelas mereka datang ke sini untuk memohon

sesuatu dan berharap agar permohonannya dapat

dikabulkan oleh Wang Jing Hong.

3.3.2. Memuja Juru Mudi Dampo Awang

Di samping bagunan utama kelenteng Sam Poo Kong,

ada satu bagunan yang isinya adalah makam Wang Jing Hong.

Dia adalah juru mudi Cheng Ho dan juga seorang muslim

sebagaimana disebutkan sebelumnya. Nama lain dari Wang

Jing Hong ini Dampo Awang. Dampo Awang di sebut sebut

sebagai seorang Kasim sehingga ia tidak menikah sepanjang

Pratik Islam Nusantara 105

hidupnya. Makam Kiyai Jurumudi Dampo Awang ini terletak

dalam ruangan tersendiri sehingga tidak menyatu dengan

ruangan besar sebelahnya yang digunakan untuk pemujaan

umum dan disediakan altar untuk tempat meletakan makanan

dan alat-alat sembahyang. Menurut juru kuncinya, ruangan

makam ini dibuat terpisah sendiri untuk memberikan

kemudahan bagi orang untuk berziarah ke makam, terutama

bagi umat Islam yang akan melakukan ziarah. Bangunan

tempat pemujaan Dampo Awang ini terbagi dalam dua

ruangan, ruangan dalam dan ruangan luar. Ruangan dalam

untuk tempat makam dan ruangan luar untuk tempat pemujaan

umum yang disediakan altar tempat sembahyang, seperti

ruangan-ruangan kelenteng lainnya.

Pemujaan terhadap Dampo Awang sama dengan

pemujaan terhdap dewa-dewa lainnya. Ada dua cara

yang dilakukan orang untuk memuja Dampo Awang.

(1) orang dapat melakukan pemohonan atau minta

sesuatu dengan menyalakan beberapa batang hio di

depan altar sembahyang yang disediakan oleh

pengurus kelenteng. Umumnya mereka yang

melakukan pemujaan dengan menggunakan hio ini

adalah orang-orang peranakan Cina yang non-Islam.

Melalui pemujaan ini orang dapat meminta sesuatu

kepada Dampo Awang (2) Orang dapat memohon

sesuatu tanpa melalui pemujaan terlebih dahulu kepada

Kyai Juru Mudi Dampo Awang di depan altar

sembahyang sebagaimana dilakukan oleh orang-orang

Cina yang non-Islam, tapi dapat langsung menuju

ruangan tempat pemakaman Dampo Awang yang ada di

belakang altar sembahyang dengan melalui pintu

masuk di samping kanan ruangan atau altar. Cara

permohonan ini dapat dilakukan dengan menggunakan

106 Dalam Kelenteng-Kelenteng

bunga atau kembang yang dicampur dengan kemenyan.

Umumnya yang memohon dengan menggunakan bunga

dan menyan ini adalah mereka yang beragama Islam

(Tanggok 2006), sedangkan dengan hio biasanya

dilakukan oleh orang Tionghoa.

Apabila pemujaan akan dilakukan dengan hio,

para pemuja dapat membeli hio ditempat penjualan

perlengkapan sembahyang yang disebut Hio Swa yang

ada di komplek kelenteng Sam Poo Kong, tepatnya di

depan pintu masuk kelenteng Sam Poo Kong. Tempat

ini tidak hanya menjual perlengkapan sembahyang,

tapi juga menyediakan penyewaan pakaian adat

Tionghoa. Jika para pengunjung yang akan bergambar

di kelenteng Sam Poo Kong dengan menggunakan

pakaian adat Tionghoa, dia dapat menyewa di tempat

ini. Sewa pakaian adat tersebut sekitar delapan puluh

ribu rupiah. Tempat ini juga menjual makanan ringan,

seperti minuman, dan kue-kue lainnya yang dapat

dinikmati oleh para pengunjung sambil menikmati

pemandangan di kelenteng Sam Poo Kong.

Orang-orang yang akan melakukan pemujaan

terhadap Kyai Juru Mudi Dampo Awang dengan

menggunakan hio, dapat dia lakukan dengan terlebih

dahulu membeli hio ditempat penjualan hio, kemudian

hio tersebut dibawa ke altar tempat pemujaan Dampo

Awang, di sana hio tersebut dinyalakan, setelah itu

pemuja harus melakukan sembahyang terlebih dahulu

kepada Tuhan dengan menghadap ke luar ruangan atau

ke langit (maksudnya adalah sembahyang kepada

Thian atau Tuhan), dan setelah itu baru melakukan

pemujaan terhadap Dampo Awang. Akhir dari

pemujaan ditandai dengan menancapkan batangan hio

Pratik Islam Nusantara 107

di hiolo (tempat menancapkan hio) yang terletak di

meja atau altar tempat pemujaan Dampo Awang

(Tanggok 2006). Jika sembahyang menggunakan jasa

juru kunci kelenteng, maka hio ditancapkan sendiri

oleh juru kunci. Biasanya umat Islam tidak melakukan

sembahyang sendiri, namun mereka menggunakan jasa

juru kunci. Bagi umat Islam, sembahyang atau memuja

seperti yang dilakukan oleh orang Tionghoa, tidaklah

terbiasa baginya. Oleh karena itu lebih baik diserahkan

sepenuhnya oleh juri kunci yang membimbingnya.

Bagi masyarakat non Jawa, semua hari Jumat

adalah sama dan tidak mempunyai makna apa-apa.

Bagi masyarakat Jawa, hari Jumat mempunyai makna

tersendiri dan disakralkan. Dalam masyarakat Jawa

juga mengenal istilah Jumat kliwon. Jumat kliwon

merupakan hari yang penting bagi para pengunjung

kelenteng Sam Poo Kong, karena pada malam Jumat

inilah para pengunjung banyak yang datang ke

kelenteng untuk memohon sesuatu. Mereka

berkeyakinan jika memohon sesuatu pada malam Jumat

kliwom, maka doanya mudah terkabulakan. Pada

malam Jumat kliwon, merekapun berbondong-bondong

datang ke kelenteng ini karena ingin agar doanya cepat

terkabulkan. Permintaan mereka juga bermacam-

macam sesuai dengan keinginannya masing-masing.

Umumnya mereka yang datang pada malam Jumat

kliwon adalah umat Islam. Mereka datang dari

berbagai daerah di pulau Jawa dan untuk memohon

sesuatu kepada dewa Sam Poo Kong.

Orang muslim datang ke sini, dengan tujuan

untuk memohon sesuatu kepada Dampo Awang,

mereka harus membeli bunga atau kembang dan

108 Dalam Kelenteng-Kelenteng

menyan terlebih dahulu, kemudian bunga dan menyan

yang telah dibeli dibawa ke kuburan Dampo Awang

dan diserahkan kepada Juru kunci. Tujuannya agar juru

kunci dapat membantu menjadi perentara antara

pemohon dengan Kyai Juru Mudi Dampo Awang.

Caranya adalah para pemohon dan juru kuci duduk

dekat kuburan Juru Mudi, kemudian pemohon

menyerahkan bungkusan yang berisi kembang kepada

juru kunci dan juru kunci menanyakan keinginan

tamunya. Setelah mengetahui keinginan tamunya, juru

kunci membakar menyan dan kembang yang tempat

pembakarannya sudah disediakan di depan kuburan

tersebut. Setelah menyan yang dibakar itu

mengeluarkan asap, juru kunci membaca doa-doa yang

sering digunakan oleh orang Islam dan dicampur

dengan bahasa Jawa yang bersumber dari kejawen.

Kira-kira 5 menit berdoa dan menyampaikan keinginan

pemohon kepada Kyai Juru Mudi, maka upacara

memohon sesuatu kepada Kyai Juru Mudi Dampo

Awang dianggap selesai. Kemudian, juru kunci

mengambil sisa bunga yang belum dibakar dan

dicampur dengan menyan yang telah dibakar, lalu

dibungkus dengan kertas putih sebanyak 3 bungkus

dan diserahkan pada pemohon untuk dibawa pulang

(Tanggok 2006). Selesai menyampaikan keinginannya,

pemohon bias saja langsung pulang, dan bias juga

berbincang-bincang terlebih dahulu kepada juru kunci.

Sebagai ucapan terima kasih kepada juru kunci atas

jasa yang diberikannya, maka pemohon dapat memberi

sedikit uang kepada juru kunci. Jumlah uang yang

diberikan oleh pemohon kepada juru kunci tidaklah

ditentukan besarannya oleh juru kunci, tapi

Pratik Islam Nusantara 109

berdasarkan keikhlasan dari pemohon. Berapapun uang

yang kita berikan pada juru kunci pasti akan

diterimanya dengan sangat senang hati. Sebagaimana

tradisi dalam kehidupan sehari-hari, kita minta tolong

pada seseorang dan kita harus bertanggung jawab

membayar upahnya. Ungkapan ini juga berlaku bagi

juru kunci dan para pemuja, cuma saja tidak

diungkapkan. Juru kunci selalu menerima pemberian

orang apa adanya tanpa ada tawar menawar terlebih

dahulu.

Juru kunci kuburan Juru Mudi Dampo Awang ini

dikenal sebagai orang yang yang bergama Islam.

Dalam melaksanakan tugas, dia menggunakan peci

hitam, baju hitam dan celana hitam. Kadangkala juga

mereka mengenakan kain sarung hitam, dan usianya

diperkirakan di atas 50 tahunan. Juru kunci yang

bertugas melayani pemohon terdiri dari 2 orang, dan

mereka bertugas secara bergiliran. Pelayanan yang

mereka berikan dari pukul 08:00 sampai 21:00. Juru

kunci pertama bertugas dari pukul 08:00 sampai

dengan pukul 16:00 dan juru kunci kedua bertugas dari

pukul 16:00 sampai dengan pukul 21:00. Dari pukul

21:00 sampai pukul 07:00 kleneng ditutup untuk para

pemohon atau pemuja yang akan melakukan ritual.

Juru kunci tidak mendapatkan gaji dari yayasan

kelenteng, dan hanya mendapatkan upah dari orang-

orang yang menggunakan jasanya. Meskipun hanya

mengandalkan upah dari pemohon, namun mereka

tampak senang menjalani profesi sebagai juru kunci.

Menurut juru kunci yang bukan beragama Islam,

bahwa doa-doa yang dibaca oleh Juru kunci yang

beragama Islam pada saat berdoa didepan kuburan

110 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Kyai Juru Mudi Dampo Awang bukanlah doa-doa

Islam, tapi doa-doa kejawen. Dan menurut dia, mereka

(Juru Kunci) bukanlah beragama Islam, tapi mereka

adalah seorang penganut kejawen. Tapi pada saat saya

menanyakan pada juru kunci bahwa agama nya apa,

mereka menjawab bahwa agama mereka adalah Islam.

Mereka membedakan antara pengertian shalat dengan

sembahyang. Menurut mereka, shalat dilakukan di

rumah atau di mesjid, sedangkan sembahyang dapat

dilakukan di tempat pemujaan Juru Mudi Dampo

Awang.

Menurut informasi dari seorang ibu yang

berkunjung di situ, bahwa menyan atau kemenyan yang

disebutkan di atas dapat digunakan untuk jimat,

caranya dimasukkan dalam dompet atau di simpan di

rumah untuk sebagai pelindung anggota keluarga.

Kembang dapat dicampur dengan air mandi, kemudian

digunakan untuk mandi pada jam 12 malam. Fungsi

kembang untuk kesehatan tubuh, menjaga tubuh dari

segala penyakit, dan menolak segala bahaya yang

dapat menganggu manusia. Fungsi -fungsi lain dari

kembang adalah untuk menjaga tubuh dan wajah agar

tetap cantik jika dilihat orang lain dan menjaga diri

seseorang dari serangan mahluk halus atau gaib

(Tanggok 2006). Setiap orang mempunyai keyakinan

berbeda-beda terhadap menyan dan daun kembang

yang digunakan untuk memohon pada Dampo Awang.

Setiap orang juga mempunyai kebebasan untuk

menafsirkan fungsi atau manfaat dari kembang dan

menyan. Karena terbuka untuk ditafsirkan, maka

menyan, kembang dan alat ritual lainnya dapat

dianggap simbol dalam ritual.

Pratik Islam Nusantara 111

Kelenteng Utama Sam Poo Kong Semarang

(Sumber: Google)

3.4. Pemujaan Dewa Bumi Dewa Bumi juga disebut Fu De Zheng Shen,

umumnya disebut Tu Di Gong (Te Kong-Hokkian).

Dewa Bumi merupakan salah satu dewa yang tertua

usianya, dan dia juga disebut sebagai Hou Tu (E.

Setiawan 1990: 109). Selain tempat pemujaan Sam Poo

Kong atau Cheng Ho, Wang Jing Hong, terdapat juga

di dalam komplek kelenteng Sam Poo Khong tempat

pemujaan dewa tanah atau yang lebih dikenal dengan

sebutan Fu De Zheng Shen (Hok Tek Tjing Sin) atau

dapat juga disebut dengan Tudi Gong (Tho Tee Kong)

atau De Bai Gong atau Dewa Bumi. Orang-orang Jawa,

khususnya orang Indonesia peranakan Tionghoa

umumnya menyebutnya dengan dewa tanah. Di

Tiongkok dewa ini dikenal dengan Tutikung atau di

Malaisia dikenal dengan sebutan Tua Pekong, artinya

orang yang dituakan (Tanggok 2006). Setiap kelenteng

112 Dalam Kelenteng-Kelenteng

di Indonesia selalu menyediakan satu ruangan dan altar

di dalamnya untuk para pengunjung yang akan memuja

dan memohon sesuatu pada Dewa Bumi.

Sebagian besar orang Tionghoa meyakini bahwa

dewa bumi dianggap sebagai dewa pemelihara

lingkungan yang sangat dekat dengan kehidupan

manusia. Dalam kepercayaan masyarakat Hakka di

Singkawang, setiap jengkal tanah di dunia ini ada yang

memiliki atau menguasainya, jadi kalau kita akan

mengunakan tanah tersebut untuk keperluan

pembangunan atau rumah dan tempat pemakaman,

maka kita harus meminta izin kepada yang menguasai

tanah tersebut. Karena yang menguasai tanah tersebut

adalah mahluk halus, maka kita harus meminta izin

kepadanya agar kita menjadi selamat dalam hidup ini

(Tanggok 2005). Tidak hanya sukubangsa Tionghoa,

sukubangsa lain di Indonesia juga memiliki

kepercayaan semacam ini, misalnya sukubangsa Dayak

di Kalimantan.

Orang Tionghoa juga menggambarkan dewa

bumi ini sebagai seorang tua yang berjenggot putih, di

tangan kanannya memegang uang emas dan ditangan

kirinya memegang tongkat. Uang emas menyimbolkan

sebagai murah rejeki, sedangkan tongkat

menyimbolkan bahwa dia adalah orang yang sudah tua.

Dalam kebudayaan Tionghoa, orang yang sudah tua

harus dihormati, sama dengan kita menghormati orang

tua kita sendiri. Tidak sedikit orang yang memuja

Dewa Bumi, bukan karena tuanya, tapi lebih pada

ingin mendapatkan rejeki yang banyak, usaha lancar

dan sebagainya. Dewa Bumi dianggap wakil dari Thian

(Tuhan) yang ada di bumi untuk mengawasi kehidupan

Pratik Islam Nusantara 113

manusia di bumi dan tempat manusia memohon sesuatu

padanya.

Dalam beberapa kelenteng di Indonesia,

termasuk kelenteng Tai Kak Shi di Semarang, patung

dewa tanah, selalu didampingi oleh seekor harimau.

Berdasarkan kepercayaan orang Tionghoa, harimau

putih adalah binatang peliharaan dewa bumi dan dia

dianggap sebagai pengawal pribadinya. Di manapun

dia (patungnya) ditempatkan pasti disandingkan

dengan patung harimau putih. Haksu Masyari

(rohaniawan agama Khonghucu) yang pernah

menjelaskan:

Ada seorang ibu yang mempunyai anak laki -laki

yang berusia sekitar 6 tahun. Pada satu hari anak

tersebut hilang. Hampir satu minggu dia mencari

anaknya tapi tidak juga ketemu. Atas kehilangan

anaknya tersebut dia sangat sedih sekali, bahkan dia

sempat tidak makan dan minum memikirkan anaknya.

Dalam keadaan sedih tersebut, tiba-tiba datang seekor

harimau putih yang mengatakan bahwa dialah yang

memakan anaknya. Atas kesalahannya itu, dia rela

dibutuh atau dihukum seberat-beratnya. Katulusan dan

kejujuran harimau putih tersebut membuat seorang ibu

yang kehilangan anaknya membatalkan niatnya untuk

membalas dendam. Karena ketulusan dan kejujuran

harimau itu pula yang membuat ibu tersebut kembali

menghormati harimau tersebut dan menjadi bersahabat

dengan dia (Tanggok 2006). Bagi orang Tionghoa,

siapapun yang dapat berbuat baik kepada manusia

wajib kita hormati, termasuk jenis binatang sekalipun.

Kesimpulan dari cerita di atas adalah kejujuran.

Kejujuran adalah kunci segala-galanya. Dalam rumah

114 Dalam Kelenteng-Kelenteng

tangga, dalam perusahaan, dalam masyarakat dan

dalam memimpin suatu Negara, dituntut adanya

kejujuran. Dalam kebudayaan orang Tionghoa, seorang

pegawai yang jujur dapat dapat dipercaya oleh

pimpinan ketimbang seorang anak kandung yang tidak

jujur. Ini artinya bahwa kejujuran itu dapat

mengalahkan ikatan kekeluargaan dan juga

persahabatan.

Bangunan atau ruang dalam kelenteng Sam Poo

Kong ini tidak hanya dikunjungi oleh orang-orang

Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia, tapi juga

orang-orang non Tionghoa. Tempat pemujaan dewa

tanah ini ditandai dengan disediakannya 1 buah altar

yang khusus untuk orang-orang memuja dewa tanah.

Di atas altar diletakkan alat-alat sembahyang dan hiolo

(tempat abu pembakaran hio). Tempat ini tidak hanya

digunakan oleh orang untuk memuja dewa tanah, tapi

juga digunakan untuk meminta sesuatu dengan dewa,

baik lewat perentraan juru kunci kelenteng maupun

dilakukan sendiri-sendiri. Setelah melakukan

pemujaan, seseorang atau sekelompok orang dapat juga

mengunakan ciamsi untuk meramal keberuntungan di

masa akan datang.

Ciamsi adalah salah satu jenis alat yang

digunakan oleh para pemuja untuk meramal masa

depan mereka. Meskipun alat ini tidak selalu tepat

dalam memberikan ramalan, namun para pengunjung

kelenteng masih tetap meyakininya. Sebagaimana alat -

alat ramalan lainnya, ada yang percaya seratus persen

dan ada juga yang tidak percaya sama sekali. Bagi

mereka yang percaya pada ramalan ini, mereka masih

tetap menggunakannya.

Pratik Islam Nusantara 115

Tempat Pemujaan Dewa Bumi

3.5. Pemujaan Kyai Jangkar Jika kita berkunjung ke kelenteng Sam Poo

Kong di Semarang, kita juga akan berjumpa dengan

suatu tempat atau rumah yang digunakan oleh para

pengunjung untuk meminta sesuatu kepadanya. Tempat

atau rumah ini terletak di dalam lokasi kel enteng Sam

Poo Kong. Isi dari rumah itu adalah jangkar kapal

yang usianya tidak dapat diketahui secara pasti berapa

usianya. Jangkar kapal ini berukuran besar dan

panjangya sekitar 2 metter dan panjang daun

jangkarnya sekitar 0,5 metter. Jangkar kapal ini di

simpan bagian kiri pojok bagian belakang bangunan.

Luas bangunan yang digunakan untuk menempatkan

jangkar kapal ini kira-kira berukuran 5 x 5 metter.

Bangunan yang digunakan untuk menempatkan

jangkar kapal ini hanya berbentuk rumah biasa,

sederhana, tidak ada pintu, dan tidak ada jendela.

Bagian depannya terbuka seperti bagian depan ruku,

116 Dalam Kelenteng-Kelenteng

sehingga para pengunjung dapat dengan bebas melihat

isi bangunan dari luar bangunan. Untuk melihat

jangkar yang ada di dalam bangunan, kita haru masuk

ke dalam bangunan tersebut, sehingga dengan leluasa

kita dapat melihat jangkar kapal secara dekat. Karena

tidak ada jendela, maka kondisi di dalam bangunan itu

agak sedikit gelap. Pada malam hari, lampu yang

dipasang dalam bangunan ini juga tidak begitu terang,

sehingga kondisi dalam ruangan ini tidak begitu

terang.

Kyai jangkar yang dimaksud dalam tulisan ini

bukanlah seorang manusia dan bukan pula seorang

yang memiliki pengetahuan keagmaan yang luas, tapi

dia adalah jangkar kapal yang sebenarnya dan yang

dimitologikan sebagai orang yang memiliki kekuatan

tersendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Budiman yang

dimaksud kyai jangkar yang menempati suatu ruangan

di kelenteng Sam Poo Kong ini ada sebuah jangkar

kapal ukuran besar yang dikeramatkan sebagai jangkar

kapal Cheng Ho. Jangkar kapal yang memata dua atau

berdaun dua ini, lebih mirip dengan jangkar kapal

buatan orang Eropa di masa pemerintahan Belanda

dahulu. Apakah jangkar kapal ini adalah jangkar kapal

Cheng Ho yang sebenarnya? Tentu saja belum ada

bahan-bahan tertulis yang menginformasikan tentang

kebenaran itu. Belum ada juga penelitian yang

mendalam tentang jangkar kapal itu dan oleh karena

itu kita belum dapat mengetahui kebenarannya.

Kebenaran itu hanya ada dalam keyakinan, namun sulit

juga membuktikannya secara ilmiah, karena belum ada

kebenaran ilmiah yang membuktikannya. Tidak

penting bahwa jangkar kapal itu apakah jangkar kapal

Pratik Islam Nusantara 117

Cheng Ho atau bukan, namun sebagian besar orang

Tionghoa di Semarang meyakini bahwa itu adalah

bekas jangkar kapal Cheng Ho (Tanggok 2006).

Meskipun demikian, para pemuja dan pengunjung

meyakininya sebagai jangkar kapal Cheng Ho.

Tentu saja dalam diri kita masih menyimpan

sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana jangkar kapal itu

sampai disimpan di salah satu ruangan atau tempat

pemujaan di kelenteng Sam Poo Kong? Menurut

Budiono, sebagaimana dikutif oleh Singgih (Singgih

1986:102), bahwa di Semarang ada sebuah kampung

yang dikenal dengan kampung Sebandaran.

Kampung yang dilalui kali Semarang ini disebut

juga dengan kampung She Ong. Karena itu kali yang

terdapat tidak jauh dari kelenteng Sam Poo Kong di

Semarang tersebut juga dikenal dengan kali She Ong.

Kampung Sebandaran ini dahulunya merupakan

pelabuhan sungai yang penting bagi Semarang, yang

selalu dilalui oleh kapal-kapal dari luar negeri, dan

ada kemungkinan kapal-kapal Cheng Ho juga melintasi

sungai ini dan jangkar kapalnya tertinggal di situ.

Dahulunya kampumg ini adalah dekat dengan

lautan sehingga memudahkan kapal -kapal besar

merapat di daerah ini . Sekarang kampung ini sudah

jauh dari lautan akibat dari daratan yang sudah

melebar ke laut. Akibatnya luas permukaan bumi

semakin tahun semakin bertambah. Bangunan

perumahan sudah banyak kita temukan di mana-mana

dan termasuk tempat ibadah umat beragama. Ruko-

ruku tempat orang berdagang barang-barang keperluan

sehari-hari juga sudah banyak dijumpai di mana-mana.

Tidak hanya itu, setiap tahun penduduknya semakin

118 Dalam Kelenteng-Kelenteng

bertambah banyak. Penduduknya tidak hanya berasal

dari daerah Semarang dan sekitarnya, tapi banyak juga

yang berasal dari daerah lain.

Diyakini Jangkar Kapal Cheng Ho

Sumber: Google

3.6. Mitos Akar Kayu Mitos akar kayu adalah cerita-cerita yang

berkaitan dengan akar kayu yang tumbuh di depan

bangunan Kyai Jangkar. Di depan bangunan atau di

halaman bangunan tempat pemujaan Kyai Jangkar, ada

sebuah pohon kayu besar, yang oleh juru kunci

kelenteng menganggap usia pohon itu sama dengan

usia pertama kali kedatangan Cheng Ho ke Semarang

pada abad 15. Menurut cerita yang saya dapatkan dari

salah seorang juru kunci yang menjaga tempat

pemujaan Kyai Jangkar bahwa pohon itu tumbuh

berasal dari rantai jangkar kapalnya Cheng Ho.

Dugaan ini dianggap cukup kuat karena melihat akar

dari pohon kayu tersebut mirip dengan rantai jangkar

Pratik Islam Nusantara 119

kapal saat ini. Akar kayu yang menyerupai rantai

jangkar kapal itu tidak hanya membentang di tanah,

tapi juga sudah melilit di dahan-dahan kayu dan

sampai ke atap bangunan tempat pemujaan Kyai Juru

Mudi Cheng Ho (Tanggok 2005; Tanggok 2006). Akar

kayu ini menjadi salah satu pusat perhatian oleh para

pengunjung kelenteng.

Akar kayu ini tidak ada yang berani

menganggunya, apalagi mau memotongnya, karena dia

dianggap punya sejarah yang panjang, dan bahkan

telah dikeramatkan orang karena bentuknya yang unik

(menyerupai jangkar kapal). Jika orang datang ke sini

banyak yang menyaksikan keunikan akar pohon kayu

tersebut. Ada orang yang percaya terhadap cerita -

cerita mengenai akar kayu tersebut dan ada yang hanya

sekedar mendengarkan cerita itu dan tidak

mempercayainya. Meskipun demikian banyak orang

yang datang ke sini merasa rugi jika tidak melihat

keunikan akar kayu yang menyerupai rantai jangkar

kapal tersebut (Tanggok 2006). Akar kayu ini

disakralkan, namun tidak dipuja, dan tidak dimintai

bantuannya oleh para pengunjung kelenteng.

Bagi para pengunjung kelenteng Sam Poo Kong

di Semarang yang ingin mendapatkan cerita tentang

akar kayu yang melilit di pohon dan menyerupai rantai

kapal, mereka dapat meminta keterangan itu pada juru

kunci kelenteng atau juru kunci yang menunggu tempat

pemujaan Kyai Jangkar. Dari keterangan juru kunci,

kita dapat mengetahui bagaimana sejarah dari akar

kayu yang melilit di pohon yang ada di depan tempat

pemujaan Kyai Jangkar. Dapat kita katakana bahwa

akar kayu ini menjadi pusat perhatian para pengunjung

120 Dalam Kelenteng-Kelenteng

kelenteng Sam Poo Kong, khususnya para pengunjung

tempat pemujaan Kyai Jangkar.

Tempat Pemujaan Kyai Jangkar dan Pohon Kayu Tua

yang memiliki akar seperti rantai kapal

(Sumber: indraprawiranegara.com)

3.7. Sembahyang Rebutan Sembahyang rebutan dalam bahasa Mandarin

atau Tionghoa dikenal dengan sebutan Zhong Yuan Jie ,

yaitu sebuah pesta atau perayaan keagamaan lainnya

yang juga terjadi di dalam masyarakat Tionghoa.

Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 7 tahun Imlek

atau tahun yang berdasarkan pada peredaran bulan

(atau sekitar bulan September). Sembahyang ini juga

seringkali disebut sebagai pesta bulan ke 7 tahun

Imlek. Di Serawak-Malaysia perayaan ini dikenal

dengan sebutan Yu Lan Hui (Chinese All Souls’ Day)

(Chang 1993:50) atau di Indonesia dikenal dengan

sebutan “sembahyang rebutan,” dikalangan masyarakat

Hokkian di Jawa disebut sembahyang “Cio Ko, atau

dalam agama Buddha dikenal dengan sebutan hari

Pratik Islam Nusantara 121

“ulambana,” (Marcus 2002:151) dan di Singkawang

dikenal dengan sebutan “sembahyang kubur” atau

dalam bahasa Hakka disebut sembahyang Kha Chi

(Tanggok 2005). Kenapa di Indonesia disebut

sembahyang rebutan? Karena setelah melakukan

sembahyang atau pemujaan pada roh-roh yang tidak

diurus anggota keluarga mereka di dunia, semua

barang-barang berupa makanan yang dipersembahkan

pada roh-roh direbutkan oleh para pemuja, sehingga

setiap orang mendapatkan barang-barang atau makanan

dari hasil rebutannya (Tanggok 2005). Barang-barang

hasil rebutan ini di bawa pulang, dan merupakan

simbol keberuntungan bagi orang tersebut di masa

datang.

Sembahyang rebutan ini berasal dari tradisi

Taois dan Buddhis. Bagi para pengikut Taois

sembahyang rebutan ini ada sebuah pesta untuk

memberi makan roh-roh yang lapar (dalam bahasa

Melayu Malaysia sering disebut sembahyang hantu),

tapi para pengikut Buddhis menganggap sembahyang

ini adalah untuk memperingati roh-roh yang tidak

memiliki anggota keluarga di dunia. Pada masa

lampau, para pengikut Taois melakukan perayaan

Zhong Yuan Jie atau sembahyang rebutan ini selama

satu bulan penuh. Mereka meyakini bahwa pada bulan

ini pintu-pintu neraka dibuka lebar-leabar untuk

memberikan kesempatan pada roh-roh yang belum

terlahir kembali dan roh-roh yang bergentayangan

untuk turun ke bumi dan membaurkan diri dengan

manusia di dunia untuk menikmati makanan yang

disediakan oleh manusia dan barang-barang kebutuhan

lainnya. Roh-roh atau hantu-hantu yang lapar tersebut

122 Dalam Kelenteng-Kelenteng

disebabkan oleh beberapa hal: orang mati, tapi tidak

mempunyai keturunan yang dapat mengurusnya

(Marcus 2002:150), orang mati secara tidak wajar,

orang yang mati janda atau duda (Yang 1970) dan

orang mati yang usianya sudah ratusan tahun, sehingga

keturunan dekat dengannya sudah tidak ada lagi,

sehingga kuburannya tidak ada yang mengurus,

sedangka generasi mereka sekarang sudah tidak kenal

lagi dengannya. Mereka ini perlu dikasi makan pada

saat terjadi upacara sembahyang rebutan (Tanggok

2005).Jika tidak, mereka diyakini dapat mengganggu

kehidupan manusia di dunia.

Tujuan dari sembahyang rebutan ini tidak hanya

untuk memberi makan roh-roh lapar sebagaimana yang

disebutkan di atas, tapi yang lebih penting adalah

mendoakannya agar cepat mengalami proses kelahiran

kembali, dengan demikian mereka (roh-roh) tersebut

dapat memperbaiki diri menjadi lebih sempurna di

alam akhirat.

Sembahyang rebutan ini juga dilakukan oleh

sebagian besar orang Hakka di Singkawang, di mana

pada bulan 7 Imlek mereka yang tinggal di luar

Singkawang maupun di Singkawang kembali lagi

mengunjungi kuburan leluhurnya seperti pada saat

perayaan Ceng Beng. Namun setelah melaksanakan

sembahyang atau pemujaan leluhur di kuburan dan

membakar kertas uang, mereka juga melakukan

sembahyang pada roh-roh yang tidak ada hubungan

kekerabatan dengan mereka bersama-sama dengan

anggota masyarakat lainnya. Menurut keyakinan

mereka bahwa pada hari itu roh-roh yang tidak

diurus18 oleh sanak keluarganya di dunia keluar dari

Pratik Islam Nusantara 123

neraka dan mencari makan di dunia. Karena tidak

diurus, maka mereka tidak mendapatkan makanan dari

keluarga dan oleh karena itu mereka lapar dan

akhirnya diizinkan keluar dari neraka untuk mencari

makan di dunia. Menurut keyakinan orang Hakka di

Singkawang bahwa jika manusia yang hidup tidak

menyediakan makanan pada roh-roh yang lapar

tersebut, mereka dapat menganggu ketenangan hidup

rumah tangga orang dan menjadi “hantu

bergentayangan” di dunia dan mengganggu kehidupan

manusia. Fung Long, seorang informan yang selalu

memberikan informasi kepada saya mengatakan bahwa

hantu-hantu yang bergentayangan itu identik dengan

“hantu preman”. Di sini dia menyamakan hantu -hantu

itu dengan pereman di dunia nyata. Jika pereman

umumnya senang mengganggu orang lain jika perutnya

sedang lapar atau kebutuhannya tak terpenuhi, maka

“hantu yang lapar” juga tidak ubahnya seperti pereman

yang juga dapat mengganggu orang. Agar tidak

mengganggu orang hidup, maka dia (hantu-hantu

lapar) ini harus diberi makan. Di kalangan orang Cina

di Jawa, roh-roh yang tidak diurus oleh keluarganya

ini masuk dalam kelompok King Ho Ping (Moerthiko

1980:183), yaitu roh-roh orang mati yang tidak

mempunyai sanak famili lagi di dunia, dan tidak diurus

olah keluarganya. Oleh sebab itu, setiap kelenteng di

Jawa ada sebuah altar khusus untuk memuja King Ho

Ping tersebut, supaya mereka tidak mengganggu

kehidupan manusia.

Di Jawa, upacara sembahyang pada awal bulan 7

Imlek ini dikenal dengan sebutan sembahyang Cio-Ko

atau umumnya disebut sebagai “sembahyang rebutan,”

124 Dalam Kelenteng-Kelenteng

karena selesai sembahyang pada roh-roh tersebut,

makanan sisa dimakan oleh roh-roh yang tidak diurus

oleh keluarganya ini direbut oleh peserta upacara. Bagi

mereka, mendapat sisa makanan dari hantu -hantu

tersebut dianggap sebuah keberuntungan.

Umumnya masyarakat Tionghoa di Jawa

melaksanakan sembahyang Cio Ko pada tanggal 29

atau 30 bulan 6 (Lak-Gwee). Pelaksanaannya pada jam

18:00 atau 19:00. Tempat pelaksanaannya di tanah

lapangan atau biasa juga dilakukan di di halaman

depan kelenteng (Marcus 2002:147). Hal yang yang

sama juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di

Sarawak Malaysia (Tanggok 2005), dan juga di

negara-negara lain yang ada masyarakat Tionghoanya.

Pelaksanaannya bisa dilakukan di mana saja,

dan tidak ada aturan khusus mengenai tempat upacara,

tapi umumnya masyarakat Tionghoa melakukannya di

luar rumah, kelenteng, tanah lapang, halaman

kelenteng dan tempat-tempat yang lain. Di halaman

pekong atau kelenteng atau di halaman terbuka

diletakkan sebuah meja besar (ada juga di atas tanah

dan dialas dengan tikar) dan di atasnya disediakan

berbagai macam makanan dan alat-alat sembahyang.

Di kelenteng Sam Poo Kong di Semarang,

pelaksanaanya dilakukan di halaman depan kelenteng.

Di halaman kelenteng dipasang tenda, diatur meja-

meja, di atasnya disediakan berbagai makanan, barang-

barang lainnya seperti patung singa, diletakkan di atas

meja untuk disembahyangkan atau dipersembahkan

pada roh-roh yang diyakini oleh mereka dalam kondisi

lapar dan sangat membutuhkan makanan. Apa yang

mereka lakukan ini adalah didasarkan atas keyakinan

Pratik Islam Nusantara 125

kuat terhadap roh-roh (Tanggok 2006) yang dianggap

lapar dan membutuhkan makanan.

Alat-alat sembahyang yang disediakan

diantaranya: sepasang lilin kecil yang bewarna merah

yang dinyalakan di atas meja, sebuah gelas berisi beras

untuk menancapkan hio (hiolo), tiga piring manisan,

buah-buahan, kue-kue, tiga cangkir teh, dan makanan

lain yang mereka anggap layak untuk dipersembahakan

pada roh-roh yang tidak diurus anggota keluarga

mereka atau roh-roh lapar. Makanan yang disediakan

pada roh-roh ini juga tidak dibatasi, selahkan bagi

siapa saja yang mampu untuk menyediakan makanan

yang lebih banyak lagi.

Setelah perlengkapan upacara dipandang cukup,

mereka (para pemuja) melakukan sembahyang dengan

dipimpin oleh pemimpin upacara. Sembahyang atau

pemujaan dilakukan dengan masing-masing peserta

menyalakan beberapa batang hio, kemudian mereka

mengangkat hio setinggi kepala yang menandakan

bahwa mereka sedang melakukan sembahyang atau

pemujaan. Pada saat sembahyang mereka memohon

kepada Thian atau Tuhan agar dapat mengangkat roh -

roh ini ketempat yang dianggap layak baginya dan

mendoakan agar roh-roh ini cepat mengalami proses

kelahiran kembali. Mereka juga mengundang para roh

untuk menikmati makanan yang telah mereka

hidangkan, kemudian setelah menikmati makanan, roh -

roh diminta pulang ke tempat mereka semula dan

jangan sampai bergentayangan lagi di duni, dan

diharapkan tidak mengganggu kehidupan manusia.

Praktik sembahyang rebutan ini tidak ubahnya

seperti sembahyang yang mereka lakukan di kelenteng.

126 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Setelah sembahyang dianggap selesai, makanan yang

dipersembahkan di meja persembahan korban atau

altar dihamburkan ke tanah atau dibuang ke tanah, dan

kemudian diperebutkan oleh masing-masing peserta

upacara. Apa yang mereka dapat dari hasil rebutan

tersebut, mereka bawa pulang (jika barang tersebut

tahan lama) dan disimpan di rumah, tapi jika barang-

barang yang di dapat berupa makanan yang tidak tahan

lama di simpan, makanan tersebut mereka makan.

Sebagaimana di sebutkan sebelumnya, barang-barang

yang mereka dapat dari hasil rebutan itu adalah simbol

dari keberuntungan, karena makanan yang dihidangkan

untuk roh-roh dan alat-alat perlengkapan upacara yang

lain dipandang sakral dan yang sakral memiliki nilai

yang lebih tinggi dari yang biasa atau dianggap

memiliki mana atau kekuatan yang lebih besar. Ini

adalah salah satu keyakinan dari peserta upacara.

Ada keyakinan dari mereka, semakin banyak

barang yang mereka dapat dari hasil rebutan tersebut,

maka diyakini semakin banyak keberuntungan yang

akan mereka peroleh di dalam hidup ini di tahun-tahun

yang akan datang, itulah makna terpenting dari

“sembahyang rebutan” tersebut. Makna sosialnya dari

pelaksanaan upacara ini, mereka dapat berkumpul

dalam satu tempat untuk tujuan sama dari berbagai

marga untuk merekatkan hubungan sosial diantara

mereka, sebab pada hari-hari biasa jarang sekali

mereka dapat berkumpul bersama-sama karena

berbagai kesibukan bisnis. Di samping itu, upacara ini

adalah juga mendidik generasi muda untuk saling

memperhatikan roh-roh orang lain yang bukan leluhur

Pratik Islam Nusantara 127

mereka sendiri dan saling tolong menolong atau saling

memberi antara yang hidup dengan yang mati.

Gambar Sembahyang Rebutan (Sumber: Google)

Salah seorang informan saya yang ada di

kelenteng Sam Poo Kong di Semarang mengatakan

bahwa pelaksanaan sembahyang rebutan di sini cukup

ramai ditahun-tahun sebelumnya (sebelum tahun 2004)

karena para peserta sembahyang cukup ramai dan yang

merebutkan makanan itu juga cukup ramai. Dalam

memperubutkan makanan itu banyak orang-orang yang

luka atau tertimpa oleh orang lain. Dia merasa kasihan

dengan orang-orang tua yang juga ikut dalam

pelaksanaan upacara yang juga ikut memperebutkan

makanan, sehingga mereka terdesak oleh orang-orang

muda yang penuh semangat.

Tahun 2004 dan sampai sekarang, pelaksanaan

sembahyang rebutan di kelenteng Sam Poo Kong

berubah, pelaksanaan hanya terbatas pada orang-orang

tertentu, hanya dilakukan sekitas 40 sampai 50 orang.

128 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Namun tradisi merebutkan makanan setelah

pelaksanaan upacara tetap saja dilakukan, tapi tidak

lagi berdesak-desakan seperti pelaksanaan sembahyang

rebutan di tahun-tahun sebelumnya. Di samping itu,

panitia kelenteng Sam Poo kong pada hari yang sama,

jam yang sama juga membagikan sembako kepada

orang-orang miskin di sekitar kelenteng Sam Poo

Kong. Suasana ini cukup menarik, karena ratusan

orang-orang miskin mendatangi kelenteng hanya untuk

mendapatkan pembagian beras dari panitia kelenteng.

Banyak orang miskin di sekitar kelenteng merasa

terbantu dengan pembagian beras ini dan mereka tidak

memperdulikan dari mana sumber beras tersebut.

Jika kita menyebut orang miskin, maka yang

terpikir diotak kita adalah orang-orang Islam yang

tergolong sebagai orang yang kurang mampu.

Benarkah yang datang secara beramai-ramai ke

kelenteng Sam Poo Kong untuk mendapatkan sembako

adalah orang-orang Islam yang tinggal di semarang?

Tentu saja jawabannya ya, karena berdasarkan

pengamatan saya pada saat pembagian sembako dan

juga pada saat wawancara adalah mereka mengaku

dirinya sebagai orang Islam. Mereka tidak merasa tabu

untuk mendatangi kelenteng hanya sekedar untuk

mendapatkan sembako dari para penyumbang yang

dititipkan di kelenteng. Tradisi yang dilestarikan oleh

kelenteng setiap tahunnya ini bukan saja melestarikan

kebudayaan orang Tionghoa dari tahun ke tahun, tapi

juga dapat mempererat persatuan antara orang Islam

dan non Islam atau mempererat hubungan antara

sukubangsa Tionghoa dengan masyarakat non

Tionghoa yang ada di kota Semarang.

Pratik Islam Nusantara 129

Orang-orang Tionghoa tidak mengkaitkan

pemberian ini dengan ritual keagamaan dan murni

didasarkan pada kasih sayang terhadap sesama

manusia. Ajaran Buddha juga mengajarkan untuk

mencintai sesama mahluk hidup dan ini selalu

dipraktikan dalam kehidupan sehari -hari oleh umat

Buddha. Satu paket sumbangan kira-kira 5 kilogram

beras untuk 1 kupon yang dibagikan, dan bahkan pada

saat sembahyang ini dilaksanakan (awal sampai

pertengahan bulan ketujuh Imlek) tidak sedikit

sumbangan beras yang datang dari orang Cina, baik

yang datang dari orang-orang Tionghoa yang berasal

dari Semarang, maupun yang datang dari orang-orang

Tionghoa diluar Semarang.

Menurut informasi yang saya dapat, beras

tersebut sampai mencapai 2 sampai 3 ton untuk

disumbangkan pada orang miskin yang ada di sekitar

kelenteng. Dengan demikian, kegiatan ini dapat kita

bagi dalam dua sisi, yaitu sisi ritual, di mana hanya

terbatas pada lingkungan mereka (orang-orang

Tionghoa yang menganut agama Khonghucu dan

Buddha Tridharma) yang melaksanakannya dan sisi

sosial, yaitu membagi beras untuk orang-orang yang

tidak mampu. Sumbangan beras pada orang yang tidak

mampu dalam rangka kegiatan sembahyang rebutan

tersebut, tidak lain adalah salah satu bentuk dari

makna sosial dan makna kebersamaannya.

Setiap tahun sembahyang rebutan dilaksanakan

di kelenteng Sam Poo Kong. Sebelum pelaksanaan

sembahyang rebutan, diadakan karauke dan dihadiri

oleh orang-orang Tionghoa yang ada di sekitar

semarang. Mereka datang di tempat sembahyang yang

130 Dalam Kelenteng-Kelenteng

telah disediakan oleh panitia ini terlebih dahulu

melakukan sembahyang pada Thian (Tuhan) dan roh-

roh. Setelah itu, mereka duduk sambil mendengarkan

karaoke dan juga sambil memakan bubur babi yang

disediakan oleh panitia pelaksanaan sembahyang

rebutan. Tampaknya panitia sengaja mendatangkan

penyanyi lokal untuk menghibur para tamu dan

menarik masa agar suasana menjadi ramai (Tanggok

2006).Dalam suasana sembahyang rebutan, panitia

juga memberikan hiburan kepada masyarakat

disekitarnya. Salah satu tujuannya adalah untuk

menjalin persahabatan antara sesama.

Keesokan harinya sekitar jam 10.00 pelaksanaan

upacara sembahyang rebutan dilaksanakan. Upacara ini

dipimpin oleh bikuni dari agama Buddha dan diikuti

oleh orang-orang Tionghoa yang beragama Buddha.

Upacara ini berlangsung sekitar 2 jam dan setelah

upacara selesai dilaksanakan, makanan yang

dipersembahkan untuk roh-roh yang lapar atau roh-roh

yang tidak diurus anggota keluarga atau roh-roh yang

tidak mempunyai keturunan yang ada di atas meja

sembahyang, dibuang atau dihamburkan ke tanah,

kemudian diperebutkan oleh peserta upacara. Makanan

yang didapat oleh peserta upacara ada yang langsung

dimakan dan ada juga yang dibawa pulang, tergantung

dari keinginan para peserta upacara. Makanan yang

sudah disembahyangkan itu sudah mendapat berkah

dari dewa-dewa dan telah menjadi suci.

Sebagian besar orang Tionghoa yang

menganut agama Buddha di Semarang (juga orang

Buddha Tridharma), menghubungkan sembahyang

rebut itu dengan hari “ulambana” yaitu upacara

Pratik Islam Nusantara 131

sembahyang untuk memberikan doa kepada roh-roh

yang bergentayangan agar mereka cepat lahir kembali.

Atau kalau dalam kehidupan manusia, tidak ubahnya

seperti remisi yang diberikan oleh presiden kepada

tahanan yang ada di penjara. Mereka juga mengkaitkan

sembahyang rebut tersebut dengan ajaran Buddha,

yaitu menjadikan sembahyang atau upacara tersebut

sebagai hari “kasih saying.” Di mana pada hari ini

umat Buddha banyak memberikan sedekah pada orang

yang kurang mampu.

Dengan demikian, orang Tionghoa tidak hanya

melakukan pemujaan pada roh-roh leluhur yang masih

ada ikatan kekerabatan dengan mereka, tapi juga

memuja leluhur atau roh-roh yang sama sekali tidak

ada hubungan kekerabatan. Apa yang mereka lakukan

ini bukan di dasarkan atas xiau (berbakti atau setia)

pada leluhur atau pemimpin mereka, tapi lebih

didasarkan pada rasa takut atas gangguan dari roh-roh

yang tidak diurus oleh keluarganya yang jika tidak

diberi makan akan dapat mengganggu kehidupan

manusia, dan rasa solidaritas yang tinggi antara

mahluk hidup dan roh-roh. Solidaritas yang tinggi itu

tidak hanya ditujukan pada lelur mereka saja, roh-roh

orang lain, tapi juga sesama manusia. Hal ini tidak

ubahnya seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang

Jawa dengan upacara bersih desa, yaitu mengadakan

upacara, agar desa mereka terhindar dari gangguan

mahluk halus yang setiap saat dapat menganggu

kehidupannya. Dampak dari sembahyang rebutan ini

tidak hanya dirasakan oleh orang-orang Tionghoa, tapi

juga orang-orang Islam di sekitarnya yang

mendapatkan jatah sembako.

132 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Sembahyang rebutan ini adalah juga

sembahyang yang dinanti-nanti oleh masyarakat

muslim di sekitar kelenteng, sebab apabila

diadakannya sembahyang rebutan di kelenteng,

masyarakat muslim yang tinggal di sekitar kelenteng

juga mendapat kebagian rejeki. Biasanya masyarakat

Tionghoa membagi-bagikan sembako pada saat selesai

diselenggarakannya sembahyang rebutan. Sembako ini

berasal dari sumbangan para dermawan dan para

pengusaha. Sembako yang disumbangkan ini

dikumpulkan di kelenteng dan pada saatnya tiba

dibagikan pada orang-orang muslim yang kurang

mampu dari segi ekonomi. Pada saatinilah kita dapat

menyaksikan sebagian umat Islam berbondong-

bondong datang ke kelenteng untuk mendapatkan

sembako gratis dari orang Tionghoa non Islam.Mereka

tidak mempersoalkan dari mana sumber sembako itu

datang. Bagi mereka, sembako yang mereka dapatkan

dapat mengurangi uang belanja sehari -hari mereka.

Bahan Bacaan

Bingling, Yuan

2000 Chinese Democracies: A Study of Kongsis of

West Borneo (1776-1884).Netherlands:

Research School of Asean, and Amerindian

Studies

Chang Pat Foh

(1993) Chinese Festivals Customs in Sarawak.

Sarawak-Malaysia: Lee Ming Press Co

Clifford Geertz, Clifford

Pratik Islam Nusantara 133

1960 The Religion of Java.

Fei Hsin

1996 Hsing-Ch’a Sheng-Lan: The Overall

Survey of the Star Raft, Translated,

J.V.G. Mills, Harrassowits Verlag.

Wiesbaden.

Liem, Thian Joe

1931 Riwayat Semarang (Dari Djamannja Sam

Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan) ,

Semarang, Boekhandel Ho Kim Yoe.

Marcus, A.S.,

2000 Hari-Hari Raya Orang Tionghoa, Jakarta,

Marwin.

Mauss, M.

1967 The Gift, New York, W.W. Norton and

Company.

Moerthiko

tt Tanpa Tahun, Riwayat Kelenteng, Vihara,

Lithang, Tempat Ibadah Tridharma Se-

Jawa, Semarang.

Ma Huan

1433 Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of

the Ocean’s

Shores, ed. Feng Ch’eng-chun, dicetak

kembali di Thailan oleh White Lotus Co.,

Ltd. 1997.

Mills, J.V.G.

1970 Ying-yai Sheng-lan: 'The Overall Survey of the

Ocean's Shores' [1433]. Cambridge: Cambridge

University Press. ISBN 0-521-01032-2.

Moerthiko

134 Dalam Kelenteng-Kelenteng

tt Riwayat Kelenteng, Vihara, Lithang,

Tempat Ibadat Tridharma Se-Jawa,

Semarang, tt, Sekretariat Empeh Wong

Kam Fu.

Setiawan, E

1990 Dewa-Dewa Kelenteng , Semarang:

Yayasan Kelenteng Sampookong Dedung

Batu Semarang.

Singgih, Gagarin, Prianti

1986 Zheng Ho Suatu Pergeseran Posisi Dari

Tokoh Sejarah Cina Menjadi Tokoh Mitos

(Skripsi), Fakultas sastra Universitas

Indonesia.

Suparlan, Parsudi

1976 The Javanese in Surinam: Ethnicity in an

Ethnically Plural Society, Department of

Anthropology University of Illinois at

Urbana-Champaign.

Suparlan, Parsudi

1991 The Javanese Dukun , Jakarta, Peka

Publications.

Setiono, Benny G.

2002 Tionghoa Dalam Pusaran Politik , Jakarta,

Elkasa.

Salmon, Claudin dan Lombard, D

1985 Kelenteng-Kelenteng Masyarakat

Tionghoa di Jakarta, (terjemahan)

Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka.

Suryadinata, Leo

2007 Laksamana Cheng Ho dan Asia Tenggara ,

Editor, Jakarta: LP3ES.

Tan, Ta Sen,

Pratik Islam Nusantara 135

2009 Cheng Ho and Islam in Southeast Asia,

Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

Tio, Jongkie

tt Kota Semarang Dalam Kenangan ,

Diterbitkan oleh Lembaga Kotamadya

Daerah Tingkat II Semarang.

Turner, Victor

1975 Ritual Process: Structure and Anti -

Structure, Ithaca, New York: Cornell

University Press.

Tanggok, M. Ikhsan,

2005 Mengenal Lebih Dekat Agama

Khonghucu di 2005 Indonesia,

Jakarta, Pelita Kebajikan.

Tanggok, M. Ikhsan,

2006 Cheng Ho Dianggap Dewa Dagang Dari

Tionghoa, Jakarta, Pelita Kebajikan.

Tanggok, M. Ikhsan

2000 Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

--------------

2005 Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di

Indonesia (Knowing Khonghucu Religion in

Indonesia). Jakarta: Pelita Kebajikan.

--------------

2006 Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (Knowing

Tao Religion in Indonesia). Jakarta: UIN Press.

--------------

2006 Agama Buddha (Buddhism). Jakarta: UIN Press.

--------------

136 Dalam Kelenteng-Kelenteng

2005 Pemujaan Leluhur Orang Hakka di Singkawang

(Hakka ancestor Worship in Singkawang).

Jakarta: Pukkat.

--------------

2006 “The Role of Chinese Communities to the

Spread of Islam in Indonesia,” Refleksi: Jurnal

Kajian Agama dan Filsafat (Journal of Religion

and Philosophy), Vol. VIII, No.3.

--------------

2010 “Ancestor Worship in Chinese Society in

Sarawak, Malaysia,” E-Journal, The Asian

Scholar, Asian Scholarship Foundation

Bangkok.

--------------

2011 “Between Islam and Buddhism Communication in

Indonesia,”Religion and Social Communication:

Journal of the Asian Research Centre for

Religion and Social Communication, Vol.9

No.2.

Turner, Victor

1980 The Forest of Symbols, Aspects of Ndebu

Ritual, Ithaca dan London: Cornell

University Press.

-------,

1987 Ritual Process: Structure and Anti -

Structure , Ithaca, New York: Cornell

University Press.

Tju Kie Hak Siep

1954 Riwayat Sam Poo Tay Djien.

Pratik Islam Nusantara 137

Van Voorst, Robert E.

2007 Anthropology of World Scriptures. US:

Thomson Wadsworth.

Yang, C.K

1970 Religion in Chinese Society. London: University

of California Press.

Yuanzhi, Kong

2000 Cheng Ho Muslim Tionghoa, Jakarta: Obor

Zarkhoviche, Baha

2014 Laksamana Cheng Ho, Alaska Publisher

Santosa, Iwan,

2005 “Pemakaman Melayu-Islam di Wihara Ancol,”

Senin, 01 Agustus lihat dalam:

http://www.kompas.co.id/kompas-

cetak/0508/01/metro/1927795.htm

Woodward, Mark R

1988 Normative Piety and Mysticism in The Sultanate

of Yogyakarta.

RIWAYAT HIDUP

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MSi., lahir di

Desa Sei Purun Besar, Kabupaten Pontianak,

Kalimantan Barat, 29 Nopember 1966.

Pendidikan SD diselesaikan di Sei Purun

Besar (kabupaten Pontianak) tahun 1981,

138 Dalam Kelenteng-Kelenteng

SMP di Sei Pinyuh (kabupaten Pontianak) tahun 1984, dan

Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Pontianak tahun

1987. Setelah menyelesaikan Pendidikan Guru Agama, pindah

ke Jakarta dan melanjutkan studi S1 di Fakultas Ushuluddin

Jurusan Perbandingan Agama IA1N Syarif Hidayatullah

Jakarta pada 1987 dan selesai pada 1992. Pada tahun 1999

menyelesaikan studi S-2 di Pasca Sarjana Universitas

Indonesia. Tahun 2003 mendapatkan beasiswa DAAD (dari

Pemerintah Germany) untuk studi kepustakaan dan

penyelesaian penulisan disertasi doktor di Institut fur

Ethnologie der Universitat Gottingen Germany. Pada tahun

2005, menyelesaikan Pendidikan Doktor (S3) dalam bidang

antropologi di Universitas Indonesia. September 2006 sampai

dengan Agustus 2007 mendapatkan beasiswa dari Asian

Scholarship Foundation (ASF) yang berpusat di Bangkok

untuk melakukan penelitian agama dan Kebudayaan orang

China di Sarawak-Malaysia. Pernah menyampaikan makalah

tentang agama dan kebudayaan Tionghoa dalam seminar di

beberapa University di Germany, Belanda, Prancis, Bangkok

dan Malaysia. Mulai tahun 1994, menjadi dosen tetap di

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri

“Syarif Hidayatullah” Jakarta dan mengajar mata kuliah agama

Shinto, Tao, Khonghucu dan antropologi agama di Jurusan

Perbandingan Agama dan Sosiologi Agama. Oktober 2005

sampai dengan sekarang, menjabat sebagai ketua (Direktur)

Pusat Kajian Kawasan Asia Timur (Tionghoa, Jepang, dan

Korea) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Mulai 1

Desember 2007 dikukuhkan sebagai Guru Besar (Professor)

dalam bidang Antropologi Agama di Jurusan Perbandingan

Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam

Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta. Mulai 7 Juni 2010

diangkat sebagai Pembantu Dekan I bidang Akademik di

Pratik Islam Nusantara 139

Fakultas Ushuluddin (Theology), Universitas Islam Negeri

“Syarif Hidayatullah” Jakarta. Buku-buku yang sudah diterbitkan oleh PT.

Gramedia Pustaka Utama Jakarta adalah: Jalan

Keselamatan Melalui Agama Khonghucu (2000);

Menembus Birokrasi Indonesia (2004); Politik Lokal

dan Pembelajaran Politik (2004); Pengawasan dan

Pengendalian Pembangunan (2004). Buku-buku yang

diterbitkan dipenerbit lain: Mengenal Lebih Dekat

Agama Khonghucu di Indonesia, Jakarta: Penerbit

Pelita Kebajikan, 2005, Pemujaan Leluhur Orang

Hakka di Singkawang , Jakarta: Pusat Kajian Kawasan

Asia Timur (PUKKAT) UIN Jakarta, 2005. Cheng Ho

dianggap Dewa Dagang Dari Cina , Jakarta, Pelita

Kebajikan, 2006. Mengenal Lebih Dekat Agama Tao,

Jakarta, UIN Press, 2007. Pedoman Perkawinan Dalam

Agama Tao Indonesia (Editor, 2008). Agama Buddha ,

Jakarta: UIN Press, 2009. Menghidupkan Kembali

Jalur Sutra Baru , Jakarta, PT.Gramedia Pustaka

Utama, 2010. Menciptakan Perdamaian Dunia Melalui

Buddhisme, Jakarta: Yayasan Yabumi 2014.

Telah menulis sebanyak 12 artikel dalam jurnal

ilmiah terakreditasi oleh Departemen Pendidikan

Nasional (Diknas) dan Internasional, dengan judul: (1)

“Agama Khonghucu Di Kalangan Etnis Cina di Indonesia” (Khonghucu Religion in Chinese ethnic in Indonesia), Jakarta,

Refleksi ( The Journal of Kajian Agama dan Filsafat), Fakultas

Ushuluddin IAIN Jakarta, Volume 1, No. 1, Novemver 1998.

ISSN: 0215-6253, (2). “Gambaran Umum Tentang Sikap

Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Terhadap Pendidikan

Kewiraan” (The Attitude of Ushuluddin/theology Students

Toward Civic Education), Jakarta, Narasi (Jurnal Penelitian

140 Dalam Kelenteng-Kelenteng

Agama dan Sosial), Vol. 1. No.1. Juni 1999. ISSN: 1411-0482,

(3). “Penggunaan Metode Etnografi Dalam Penelitian

Agama” (The Using of Ethnograpy Metodology in Religious

Research) Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Vol. IV,

No. 3, 2002. ISSN: 0215-6253, (4). “The Cult of the Dead in

Chinese-Hakka Family and Society in Singkawang West

Kalimantan”, Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat,

Vol. VI. No. 3. 2004. ISSN: 0215-6253, (5). “Agama

Khonghucu Dalam Pandangan Pemerintah Indonesia” (The

Khonghucu Religions of Indonesia Governmental View),

Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XXI, No. 2, 2004. ISSN:

0854-5138, (6). “Laksamana Cheng Ho, Muslim Tionghoa

dan Tokoh Mitologi” (Admiral of Cheng Ho, Moslem of

Tionghoa and Mythology Figure). Al-Turas, Vol.11. No. 1,

Januari 2005. ISSN: 0853-1692, (7). “Upacara Selamatan

Gua Sam Po Kong di Semarang Dalam Persfektif

Multikultural” (The Ritual Selamatan of Gua Sam Po Kong in

Semarang in Multiculture View), Refleksi, Jurnal Kajian

Agama dan Filsafat Vol. VII, No. 1, 2005. ISSN: 0215-6253,

(8). “Agama Khoghucu di Indonesia dan Berbagai

Persoalan Yang Dihadapi Penganutnya” (Khonghucu

Religion in Indonesia and Some Problem for their Follower),

Harmoni, Volume IV, Number 15, July-September 2005.

ISSN: 1412-663X, (9). “Konsep Keberagamaan Orang

Tionghoa” (Religious Concept of Chinese), Refleksi, Jurnal

Kajian Agama dan Filsafat Vol. VII, No. 3, 2005. ISSN: 0215-

6253, dan (10). “The Role of Chinese Communities to the

Spread of Islam in Indonesia”, Refleksi, Jurnal Kajian

Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 3, 2006. ISSN: 0215-6253.

(11) “Between Islam and Buddhism Communication in

Indonesia,” Journal Religion And Social communication

(Bangkok), Vol. 9 No. 2 2011. (13) “Perayaan Tahun Baru

Pratik Islam Nusantara 141

Imlek Dalam Masyarakat Tionghoa di Indonesia,” Ushuluna (Jurnal Ilmu Ushuluddin), Vol 1, Nomor 1, April

2015. Telah menulis sebanyak 52 artikel baik di Koran dan

majalah. “Chinese Ancestor Worship in Sarawak

Malaysia,” Asian Scholar Journal , 2011.

Negara-negara yang pernah dikunjungi adalah:

Malaysia, Singapura, Jerman, Belanda, Prancis dan

Tiongkok (Hongkong, Macao) dan Thailand, Vetnam,

Cambodia dan Brunai Darussalam.