POTRET PETANI PADI RAWA DAN NON RAWA YANG MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL PERTANIAN
THE FARMERS PORTRAIT OF SWAMP PADDY AND NON SWAMP PADDY WHICH USE THE LOKAL KNOWLEDGE OF AGRICULTURE
Maria
Staff pengajar Fakultas Pertanian dan Bisnis Univ. Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga
ABSTRACT
This article aimed to know the difference pattern of farming in swamp and
non-swamp that utilize non-local wisdom and to know the differences in the
economic aspects of swamp paddy and non-swamp paddy which utilize local
wisdom. The results showed that the respondents were classified as swamp rice
fields using fermentation of water hyacinth as a fertilizer, soil treatment process in
the rice swamps done with being trampled while in non-swamp rice fields using
tractors. In the process of marsh rice field maintenance requires more time than
non-swamp rice fields to mow weeds. For the marketing process both lowland
swamp and non-swamp rice fields using slash system. The results showed that local wisdom in the Village Candirejo negative and positive impacts (technical,
economic, social, and ecological).
The productivity of farmers belonging to farmer respondents swamp smaller
than the productivity of non-marsh farmers. While the respondents were classified
as swamp farmer has a value greater efficiency when compared with non-swamp
farmers.
Key words: productivity, efficiency, local wisdom
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan perbedaan pola usaha tani
padi serta aspek ekonomi di lahan rawa dan non rawa yang memanfaatkan
kearifan lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada petani responden yang
tergolong sawah rawa menggunakan fermentasi eceng gondok sebagai pupuk.
Proses pengolahan tanah di sawah rawa dilakukan dengan diinjak-injak sedangkan
pada sawah non rawa menggunakan traktor. Pada proses pemeliharaan sawah
rawa memerlukan waktu yang lebih banyak dibandingkan sawah non rawa untuk
menyiangi gulma. Untuk proses pemasaran baik sawah rawa dan sawah non rawa
menggunakan sistem tebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal di
Desa Candirejo membawa dampak negatif dan positif (teknik, ekonomi, sosial,
dan ekologi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada produktivitas petani responden
yang tergolong petani rawa berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan
produktivitas petani non rawa. Sedangkan pada petani responden yang tergolong
petani rawa mempunyai nilai efisiensi yang yang tidak berbeda secara signifikan
jika dibandingkan dengan petani non rawa.
kata kunci : produktivitas, efisiensi, kearifan local
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan wilayah perairan yang luas. Salah
satunya adalah perairan air tawar. Perairan air tawar digolongkan menjadi air
tenang dan mengalir. Perairan yang termasuk ekosistem air tenang salah satu
diantaranya adalah rawa. Rawa memiliki berbagai macam peran dan manfaat.
Ditinjau dari aspek ekologi, rawa berperan sebagai sumber cadangan air,
menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan
mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering, mencegah
terjadinya banjir, sumber energi, dan sumber makanan nabati maupun hewani
(Eko, 2002).
Salah satu lokasi yang bisa dimanfaatkan sebagai potensi lahan rawa adalah
rawa pening. Rawa pening merupakan salah satu danau alam yang ada di wilayah
Kabupaten Semarang dengan luas genangan kurang lebih 2020 Ha. Rawa pening
terletak pada ketinggian kurang lebih 463 meter dpl, dan berada di antara wilayah
Kecamatan Banyubiru, Ambarawa, Bawen dan Tuntang. Pemanfaatan rawa
pening selain untuk perikanan, juga untuk kegiatan irigasi, wisata dan pembangkit
tenaga listrik (PLTA) (Anonim, 2001). Saat ini eceng gondok menutupi areal yang
berbatasan dengan 6 desa di Kecamatan Banyubiru rawa pening (Arika, 2005).
Dalam memanfaatkan potensi lahan rawa sebagai usaha pertanian di Rawa
Pening memiliki beberapa masalah utama yang mempengaruhi keseimbangan
ekosistem di rawa tersebut. Salah satu penyebab ketidakseimbangan ekosistem
rawa pening adalah tidak tertatanya pertumbuhan tanaman eceng gondok. Apabila
tanaman eceng gondok ini tetap tidak ditata, efek jangka pendek yang mungkin
terjadi berupa pendangkalan dan penyusutan kawasan rawa. Pemandangan rawa
juga akan berubah dengan tertutupnya muka perairan oleh eceng gondok. Debit
air yang dapat disimpan juga akan berkurang drastis bahkan mungkin akan
kehilangan fungsi sebagai tempat penyimpan air.
Hal lain yang juga menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem ini adalah
kebiasaan perilaku yang terjadi pada petani lahan pasang surut setelah panen.
Yaitu sisa-sisa panen berupa jerami padi ditinggalkan di lahan tersebut sehingga
seolah-olah rawa pening merupakan tempat pembuangan limbah yang sangat luas.
Hal ini berdampak bagi kelestarian rawa pening, karena dengan meninggalkan
sisa-sisa panen berarti ikut andil dalam peningkatan kandungan bahan organik dan
keasaman lahan, disamping itu juga mempercepat proses sedimentasi yang
menyebabkan wilayah perairan semakin sempit. Penggunaan pupuk anorganik
meskipun relatif rendah diduga mendukung suburnya pertumbuhan berbagai
spesies tumbuhan aquatik maupun semi aquatik yang ada di rawa, misalnya jenis
rumput, eceng gondok, dan gulma air yang lain. Gulma air yang tumbuh subur di
perairan yang banyak mengandung hara tersebut dapat menyebabkan eutrofikasi.
Sistem kearifan lokal secara netral dan dinamik di kalangan dunia barat
biasanya disebut dengan istilah Indigenous Knowledge (Warren, dalam
Adimiharja, 1999). Konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem
pengetahuan lokal (indigenous knowledge system) adalah pengetahuan yang khas
milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai
hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dengan lingkungannya
(Marzali, dalam Mumfangati, dkk., 2004).
Jadi, konsep sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan
pengelolaan lokal atau tradisional. Hubungan yang dekat dengan lingkungan dan
sumber daya alam, masyarakat lokal, tradisional, atau asli, melalui “uji coba”
telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi ditempat tinggal
mereka yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta
meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan (Mitchell,
2003).
Mengingat perlunya upaya menjaga keseimbangan ekosistem pada perairan
rawa, dan pentingnya perilaku usaha tani yang memanfaatkan lahan rawa dan
lahan non rawa di areal rawa pening, maka tulisan ini akan memaparkan
produktivitas dan efisiensi usaha tani padi rawa dan non rawa yang memanfaatkan
kearifan lokal pertanian.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 12 Agustus 2011 sampai dengan 12
September 2011 di Desa Candirejo, Kab. Semarang. Jenis penelitian yang
digunakan pada penelitian ini adalah penelitian penelitian eksperimental
sungguhan (true-eksperimental research) dimana membandingkan hasil dengan
satu atau lebih kelompok yang tidak dikenal kondisi perlakuan. Data yang
dikumpulkan dalam penelitian ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari wawancara langsung kepada petani sedangkan data
sekunder diperoleh dari perangkat desa setempat. Pelaksanaan penelitian
menggunakan metode penelitian survei dengan mengambil sampel dari satu
populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Teknik
pengambilan sampel daerah penelitian dengan menggunakan purposive sampling
(secara sengaja) sedangkan untuk pengambilan sampel petani dilakukan dengan
purposive sampling (secara sengaja). Alat analisis data untuk mengetahui
perbedaan produktivitas dan efisiensi usaha tani dianalisis dengan menggunakan
uji beda, yaitu uji t 2 arah.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbandingan Keadaan Usahatani Padi Rawa dan Non Rawa
Pola pertanaman di sawah rawa sebenarnya hanya ada satu pola saja, yaitu
tanaman padi kemudian sawah tersebut tergenang oleh air, sehingga tidak
ditanami. Walaupun hanya ada satu pola saja tetapi variasi waktu penanaman dan
pemanenan sangat besar. Hal ini disebabkan karena lokasi jauh dan dekatnya
sawah dari rawa pening sangat menentukan terhadap mulai surut dan
tergenangnya rawa.
Semakin jauh letak sawah dari rawa pening, maka bulan penanamannya
akan semakin awal, sebaliknya semakin dekat dengan rawa, maka waktu
penanaman dan pemanenan akan semakin lama. Adapun pola pertanaman yang
umum di sawah rawa dapat dilihat pada diagram dibawah ini :
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Genangan Air Rawa Pening
vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv
vvvvvvvv
Periode Penanaman Padi
Gambar 1. Pola Pertanaman di Sawah Rawa
Dari Gambar 1. terlihat bahwa untuk satu tahun bagi sawah rawa (yang
dekat dengan rawa) dapat tergenang selama 6 bulan. Makin ketimur periode
penggenangan air dapat lebih singkat. Demikian pula periode pertanaman padinya
dapat mencapai waktu 6 bulan. Untuk pertanaman padi pada umumnya dilakukan
pada bulan Juli dan Agustus. Semakin jauh dari rawa pening penanaman padi
akan menjadi lebih awal. Hal ini disebabkan oleh karena pengolahan tanah atau
tahap persiapan penanaman baru dapat dilakukan bila air sudah surut, sehingga
semakin cepat daerah atau tanah itu menjadi kering, maka semakin cepat pula
persiapan sawah dapat lebih cepat dilakukan. Demikian pula dengan periode
penanaman.
Pola pertanaman di sawah non rawa dapat dilihat pada gambar 2.
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des
vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv
vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv
Periode pertama penanaman padi
vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv
vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv
Periode kedua penanaman padi
A B
Gambar 2. Pola Pertanaman di Sawah Non Rawa
Pada umumnya padi ditanam pada bulan Januari, pada waktu air (hujan)
sudah cukup untuk areal persawahan yang akan panen pada bulan Mei. Untuk
sawah yang ada disebelah barat Desa Candirejo biasanya sudah terlebih dahulu
tergenang oleh air. Untuk sawah yang memperoleh air irigasi (bukan tadah hujan)
tanaman padi dapat ditanam hingga dua kali. Musim tanam padi yang kedua
umumnya ditanam pada bulan Juli-Agustus dan panen pada bulan November-
Desember. Untuk sawah tadah hujan, maka penanaman padi dapat dilakukan satu
kali dalam satu tahun. Dimana sesudah panen padi pada bulan Mei awal, sawah
kemudian diistirahatkan.
Adapun tahap-tahap dalam usahatani di sawah rawa adalah sebagai berikut :
1) Mempersiapkan petak penanaman
Berbeda dengan tahapan persiapan untuk penanaman padi di sawah non rawa, maka
persiapan untuk penanaman di sawah rawa tidak menggunakan traktor. Petani cukup
menarik tumbuhan eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan ditumpuk di tepi sawah
dengan tujuan sebagai pematang bagi calon sawah seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 3. Proses persiapan petak penanaman sangat tergantung dengan cuaca yang
ada, jika terjadi hujan yang terus-menerus maka proses persiapan ini akan menjadi
semakin lama.
2) Fermentasi tumbuhan eceng gondok sebagai pupuk
Sebelum dilakukan penginjakan pada tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes),
penyemprotan dilakukan untuk membusukkan eceng gondok yang akan dipakai. Adapun
komposisi yang digunakan adalah campuran 15 cc Gramason ditambah dengan 15 cc
DMA (Dimetil Amina), dan 12 liter air. DMA (Dimetil Amina) merupakan herbisida
yang sistemik dan selektif berbentuk granule yang larut dalam air berwarna coklat muda
untuk mengendalikan gulma pada pertanaman padi, karet, teh dan tebu.
Proses pembusukan ini biasanya mencapai waktu kurang lebih tiga atau empat hari
sampai tanaman eceng gondok tersebut layu. Proses Pembusukan dapat dilihat seperti
pada gambar 4. Pada gambar tersebut tumbuhan eceng gondok dijajarkan dipinggir
pematang untuk proses pembusukkan. Penarikan dan pemupukan tumbuhan air ini
dilakukan pada waktu air mulai surut, tetapi tinggi air masih mencapai sekitar setengah
meter. Oleh karena penarikan dan pemupukan tanaman air ini dilakukan hanya sesuai
Gambar 3. Kondisi sawah rawa Desa
Candirejo
dengan surutnya air rawa, sehingga penggarapannya tidak sekaligus di semua sawah rawa
tetapi secara bertahap. Tahapan ini dilakukan pada bulan Juli dan Agustus.
3) Persiapan tempat penanaman
Persiapan tempat tanam ini dilakukan dengan menggunakan cangkul, dimana
tanah biasanya dibuat rata dan sawah dibersihkan dari semua kotoran maupun tumbuhan
lainnya. Pada Gambar 5. dapat dilihat petak sawah rawa yang siap ditanam.
Tahap ini tidak pernah disertai dengan pemupukan, oleh karena tanah yang akan
ditanam sudah cukup gembur.
4) Tahap penanaman
Penanaman tidak dilakukan sekaligus, tetapi bertahap sesuai dengan surutnya air.
Bahkan dapat terjadi penanaman harus diulangi oleh karena luapan rawa yang naik
kembali, sehingga padi akan tenggelam dan mati. Dalam hal ini dibutuhkan kecepatan
menanam, sehingga penanaman di sawah rawa
tidak dengan sistem larikan yang terlalu teratur.
Gambar 4. Proses pembusukan tumbuhan
eceng gondok
Gambar 5. Lahan rawa yang siap
ditanam
Untuk persemaian biasanya dilakukan di tempat lain yang jarang terkena dengan
genangan air rawa pening. Gambar 6. dapat menunjukkan lahan sawah rawa yang telah
ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm
5) Tahap pemeliharaan tanaman
Pada umumnya petani hanya melakukan penyiangan tanpa melakukan proses
pemupukan atau pemberantasan hama dan penyakit. Frekuensi penyiangan di sawah rawa
lebih banyak dan lebih berat dibandingkan dengan sawah non rawa.
6) Tahap pemanenan dan pemasaran
Tahap ini juga dilakukan tidak dalam waktu yang sama, tetapi secara berurutan
sesuai dengan adanya padi yang menguning, walaupun terkadang ada pula yang
menunggu hingga semua padi menguning. Petani Desa Candirejo lebih memilih untuk
menebaskan hasil panen mereka, sehingga para penebas yang akan memanen padi petani
sendiri serta membawa langsung ke tempat awal penebas. Para penebas biasanya berasal
dari Demak, Semarang, dan Banyubiru.
Proses berbudidaya padi di sawah rawa membutuhkan tenaga serta waktu
yang lebih besar dan lebih lama dibandingkan dengan berbudidaya padi di sawah
nonrawa. Dalam berbudidaya padi di sawah rawa hal yang perlu diperhatikan
adalah waktu tanam serta kesiapan lahan untuk ditanam. Hal ini sangat penting
karena lahan rawa lebih mudah terkena dampak jika air hujan datang secara terus
menerus. Jika air hujan ini tidak berhenti selama beberapa hari, kemungkinan air
dari rawa pening bisa masuk ke wilayah sawah rawa, dan ini menyebabkan
kerugian kepada petani rawa.
Dalam sistem tebas padi jika padi kualitasnya bagus akan saling
menguntungkan antara petani dan juga penebas, petani akan untung karena biaya
Gambar 6. Lahan rawa yang telah ditanami
ditanam
yang dikeluarkan untuk merawat padi sudah lebih dari cukup.
Sementara disisi penebas padi yang bagus rendemannya akan rendah sehingga
harga jualnya cukup tinggi dan ini akan membuat untung si penebas. Namun jika
kualitas padi di sawah jelek misalnya dalam kondisi jatuh maka dapat dipastikan
akan sulit dalam hal pemanenannya yang tentunya akan berimbas pada hasil yang
didapatkan.
Kearifan Lokal Pertanian Desa Candirejo
Sistem kearifan lokal secara netral dan dinamik di kalangan dunia barat
biasanya disebut dengan istilah Indigenous Knowledge (Warren, dalam
Adimiharja, 2004). Kearifan lokal menurut Mitchell (2003) diartikan sebagai
konsep yang berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan secara lokal
ataupun tradisional, karena hubungan yang dekat dengan lingkungan dan
sumberdaya alam melalui uji coba telah mengembangkan pemahaman terhadap
sistem ekologi ditempat tinggal merekadan lebih dianggap mempertahankan
sumberdaya alam, serta hampir meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap
merusak lingkungan.
Dalam konteks kearifan lokal yang ada di petani Desa Candirejo sesuai
teori diatas maka penggunaan pupuk eceng gondok merupakan suatu upaya petani
Desa Candirejo yang melakukan uji coba terhadap sumber daya alam dimana
mereka tinggal serta berupaya untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem
rawa pening. Dalam hal ini petani memberikan suatu aksi nyata dalam
menggunakan sistem pertanian ramah lingkungan dimana dalam konteks sawah
rawa, petani tidak menggunakan pupuk kimia sama sekali. Hal ini mereka
terapkan dalam rangka menekan biaya produksi yang ada serta menjaga
keseimbangan ekosistem yang ada di rawa pening. Karena jika tidak ditekan laju
pertumbuhan eceng gondok yang ada, maka keberadaan air rawa pening akan
semakin menyusut akibat adanya sedimentasi endapan lumpur oleh akar tanaman
eceng gondok.
Dari hasil wawancara dengan petani yang memanfaatkan pupuk eceng
gondok banyak permasalahan yang dihadapi dilihat dari berbagai aspek. Aspek
tersebut adalah :
1. Aspek teknis
Dalam hal ini terdapat keuntungan dimana keberadaan sumberdaya yang cukup
banyak, tetapi disisi lain juga memerlukan tenaga serta waktu yang lebih lama dalam
mengolah tanah untuk siap ditanam. Hal ini dapat diatasi bila para petani mau bekerja
sama dalam memanfaatkan tumbuhan eceng gondok, atau menggunakan teknologi yang
lebih modern untuk mempermudah petani.
2. Aspek ekonomi
Dimana secara satu sisi akan memberikan efisiensi kepada petani, sedangkan di
sisi lain meningkatkan biaya tenaga kerja. Penambahan biaya tenaga kerja ini diakibatkan
proses pengilahan yang tidak bisa ditentukan tergantung dari kondisi cuaca yang ada.
3. Aspek sosial
Walaupun terkadang ada kerjasama antar petani untuk saling membantu
persiapan pemupukan tumbuhan eceng gondok, konflik dengan nelayan kadang terjadi
dikarenakan nelayan membutuhkan keberadaan tumbuhan eceng gondok sebagai tempat
tinggal beberapa ikan kecil. Masalah ini masih bisa diatasi oleh kepala dusun setempat
dengan sering memberikan pertemuan bersama antara petani dengan nelayan untuk
mengevaluasi usaha mereka.
4. Aspek ekologis
Dengan pemanfaatan tumbuhan eceng gondok dapat memberikan sedikit bantuan
untuk keseimbangan ekosistem rawa pening. Proses pendangkalan rawa pening dapat
diperlambat melalui kegiatan petani ini. Disisi lain hama tikus yang menjadi musuh
petani sangat senang untuk tinggal di areal tumbuhan eceng gondok. Hal ini dapat
menyebabkan populasi hama yang meningkat. Upaya petani dalam menyelesaikan
masalah ini masih belum bisa dilakukan selain terus membasmi keberadaan hama tikus.
Kerjasama antar petani rutin dilakukan untuk menjaga usahatani yang mereka jalankan.
Selain penggunaan tumbuhan eceng gondok sebagai pupuk, kearifan lokal
lain dapat dilihat dalam perilaku hewan seperti ikan dan melihat keberadaan air
pasang. Dalam hal ini kearifan lokal di Desa Candirejo masih terbatas dalam
konteks perilaku organisme mahluk hidup yang ada serta pemanfaatan sumber
daya setempat. Kearifan lokal dengan melihat gejala alam serta keberadaan posisi
bintang di langit tidak ditemukan dalam masyarakat petani Desa Candirejo.
Perbandingan Produktivitas antara Petani Rawa dan Petani Non rawa
Dari Tabel 1. dapat dibandingkan bahwa hasil produksi rata-rata per hektar
dari budidaya padi non rawa lebih tinggi dibandingkan padi rawa walaupun
terlihat produktivitas tertinggi berada pada petani rawa. Meskipun lebih tinggi
pada petani non rawa tetapi perbedaaan yang ada tidak begitu jauh.
Tabel 1. Produktivitas Usahatani Padi Desa Candirejo
No Produktivitas Kg/ha
1. Petani Padi Rawa :
Terendah
Tertinggi
Rata-rata
428,57
5.000
1.689,02
2. Petani Padi Non Rawa :
Terendah
Tertinggi
Rata-rata
666,67
4.000
1.852
Sumber : Data Primer 2011
Dalam melakukan uji beda terhadap nilai produktivitas pada petani rawa
dan petani nonrawa maka dilakukan uji statistik terhadap data yang diperoleh
untuk membuktikan hipotesa penelitian. Dalam melakukan uji beda digunakan
uji-t dua arah dikarenakan tidak memiliki informasi mengenai arah kecenderungan
dari karakteristik populasi yang sedang diamati. Hasil uji beda produktivitas dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Beda Produktivitas Usahatani Padi di Desa Candirejo
Variabel Jumlah Rata-
rata
Sig t-hit
Produktivitas 60 650,041 0,042 1,76
Sumber : Analisis data produktivitas, uji t 2 arah
Hasil uji memperoleh nilai t hitung sebesar 1,76 dengan nilai signifikansi
hasil uji sebesar 0,042. Hal ini menunjukan bahwa Ho ditolak karena nilai
probabilitas lebih kecil dari 0,05 (0,042 < 0,05) dan t hit > t tabel (1,76 > 1,67).
Hal ini menunjukan bahwa hasil produktivitas di lahan rawa berbeda nyata jika
dibandingkan hasil produktivitas di lahan non rawa.
Dengan varietas padi yang sama yaitu Ciherang atau IR-47 perbedaan hasil
produksi itu terjadi karena petani padi nonrawa memiliki luas lahan yang lebih besar serta
sedikit gangguan dari faktor hama dan cuaca. Berbeda dengan kondisi rawa yang masih
sangat tergantung dengan keberadaan cuaca. Serangan hama di sawah rawa juga lebih
sering dibandingkan sawah nonrawa dikarenakan lokasi sawah rawa yang sangat dekat
dengan keberadaan populasi tumbuhan eceng gondok yang menjadi tempat bersarangnya
tikus sawah.
Selain itu pemeliharaan yang tidak terlalu rutin di sawah rawa juga menjadi
penyebab rendahnya produktivitas. Petani cenderung tidak merawat secara rutin
dikarenakan ketakutan mereka jika nantinya akan mengalami gagal panen akibat banjir
dari luapan air rawa pening yang sangat dekat posisinya dengan sawah rawa. Dalam sisi
lain walaupun sawah rawa sudah cukup gembur tetapi hal ini belum dapat mengakibatkan
tingginya produksi yang dicapai. Ini tergantung dari sikap petani dalam memelihara
usahatani yang dilakukan di sawah rawa.
Perbandingan Efisiensi Usahatani Petani Rawa dan Petani Nonrawa
RC Ratio diperoleh dengan membagi pendapatan dengan biaya total usaha
tani pada suatu musim tanam. Rata-rata biaya produksi berbeda yaitu petani rawa
sebesar Rp 1.831.212,05 dan petani non rawa sebesar Rp 2.762.032,37. Perbedaan
ini dikarenakan penggunaan pupuk pada petani non rawa lebih banyak. Secara
umum penggunaan tenaga kerja pada sawah non rawa lebih banyak dibandingkan
dengan sawah rawa. Rincian biaya usaha tani dapat dilihat pada tabel 3 dibawah
ini.
Tabel 3. Biaya Usaha Tani Padi per Hektar di Desa Candirejo
No Biaya Petani Rawa (Rp) Petani Non Rawa (Rp)
Terendah Tertinggi Rata2 Terendah Tertinggi Rata
2
1
2
3
Saprodi :
Urea
SP36
KCL
Gramason
DMA 6
Benih
Tenaga Kerja :
Mencangkul
Membajak
Menanam
Memelihara
Sewa Traktor
Pajak
0
0
0
0
0
168.000
66.667
0
42.857
0
0
0
180.000
0
0
100.000
36.000
273.392
1.500.00
833.333
700.000
500.000
777.778
187.500
69.861,11
0
0
66.468,25
30.923,81
206.696
496.137,57
243.167
236.246,03
331.339
127.275,13
23.098,15
73.500
84.149
90.000
0
0
140.000
100.000
0
60.000
40.000
0
14.000
348.000
387.500
500.000
50.000
18.000
322.000
1.200.000
400.000
857.143
1.428.571
1.000.000
200.000
270.000
164.300
165.450
47.278,44
14.476,19
224.280
378.365
400.000
240.755.49
430.694,44
381.825,40
44.607,41
Rata-rata
Pembiayaan
Usahatani satu
musim tanam
(Rp)
1.831.212,05
2.762.032,37
Sumber : Data Primer 2011
Dengan harga jual gabah basah Rp 2.500,00/Kg, maka didapatkan
penerimaan usahatani padi per hektar yang berbeda antara petani padi rawa dan
petani padi non rawa.
Dari Tabel 4. dapat dibandingkan hasil penerimaan rata-rata penelitian dari
budidaya padi petani rawa lebih rendah dibandingkan petani padi non rawa.
walaupun terlihat penerimaan tertinggi berada pada petani rawa. Meskipun lebih
tinggi pada petani non rawa tetapi perbedaaan yang ada tidak begitu jauh.
Tabel 4. Penerimaan Usahatani Padi Desa Candirejo
No Penerimaan (Rupiah/Ha)
1. Petani rawa :
Terendah
Tertinggi
Rata-rata
Rp 1.071.428,57
Rp 12.500.000,00
Rp 4.222.552,91
2. Petani non rawa :
Terendah
Tertinggi
Rata-rata
Rp 1.666.667,00
Rp 10.000.000,00
Rp 4.630.093,00
Sumber : Data Primer 2011
Dari hasil perhitungan RC ratio usahatani padi yang meliputi usahatani
padi rawa dan non rawa terdapat perbedaan. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada
Tabel 5
Tabel 5. RC Ratio Usahatani Padi di Desa Candirejo
No R/C ratio Petani Padi Rawa Petani Padi Non Rawa
1. Terendah 1,10 1,14
2. Tertinggi 7,63 4,89
3. Rata-Rata 2,30 1,68
Rata-rata nilai efisiensi petani padi rawa sebesar 2,30 sedangkan untuk
hasil padi nonrawa sebesar 1,68. Sehingga untuk hasil RC pada petani padi rawa
lebih besar daripada petani padi nonrawa. Hasil uji beda RC ratio dapat dilihat
pada tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Beda RC Ratio Kelompok Usahatani Padi di Desa
Candirejo
Variabel Jumlah Rata-rata Sig t-hit
Efisiensi 60 0.245667 0,64 0,61
Sumber : Analisis data RC Ratio, uji t 2 arah
Hasil uji memperoleh nilai t hitung sebesar 0,64 dengan nilai signifikansi
hasil uji sebesar 0,64. Hal ini menunjukan bahwa Ho diterima karena nilai
probabilitas lebih besar dari 0,05 (0,64 > 0,05) dan t hit lebih kecil dari t tabel
(0,64 < 1,67). Hal ini menunjukan bahwa efisiensi di lahan rawa tidak berbeda
nyata jika dibandingkan efisiensi di lahan non rawa, dengan demikian hipotesa
penelitian tidak terbukti. Secara penghitungan rata-rata nilai efisiensi terjadi
perbedaan antara petani padi rawa sebesar 2,30 sedangkan untuk hasil padi non
rawa sebesar 1,68. Sehingga secara statistik hal ini tidak menunjukkan perbedaan
nyata untuk hasil efisiensi. Walaupun tidak menunjukkan perbedaan nyata secara
statistik, tetapi nilai efisiensi baik di lahan rawa maupun non rawa keduanya
dapat diasumsikan cukup efisien dikarenakan rata-rata nilai efisiensi lebih besar
daripada 1.
Nilai RC ratio bisa sangat tinggi jika biaya usahatani sedikit dan penerimaan
yang didapat cukup besar. Sebaliknya nilai RC ratio bisa sangat kecil jika biaya
usaha tani besar dan penerimaan yang didapat sangat sedikit. Hernanto (1996)
menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi usahatani dapat dilakukan
dengan meningkatkan penerimaan. Hernanto juga berpendapat bahwa RC ratio
dapat dijadikan sebagai penilaian terhadap keputusan petani dan kemungkinan
pengembangan komoditi tersebut.
4. KESIMPULAN
a. Pola usaha tani di sawah rawa memiliki perbedaan dengan pola usaha tani
di sawah non rawa.
b. Tingkat produktivitas antara usaha tani padi rawa berbeda secara
signifikan dengan usaha tani padi non rawa, dimana produktivitas padi non
rawa lebih besar dibandingkan produktivitas padi rawa.
c. Nilai efisiensi antara usaha tani padi rawa tidak berbeda secara signifikan
dengan usaha tani padi non rawa.
5. DAFTAR PUSTAKA
Adimiharja, Kusnaka. 1999. Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi. Bandung:
Humaniora.
Anonim, 2009. Potensi Lahan Rawa Pasang Surut. http://www.tidal
Eko. 2002. Rawa. http://www.lablink.or.id/Eko/wetland/lhbs-rawa.thm. (Diunduh
tanggal 16 April 2010).
lowlands.org/Ind /potentials.htm. (Diunduh tanggal 16 April 2010)
Dr. Prajarta, dkk, 1976. Penelitian Sosial Ekonomi di Lahan Rawa Pening, Desa
Candirejo. Fakultas Biology dan Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya
Wacana. Salatiga.
Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya, Jakarta.
Herawati, Marina Maria. 2004. Kajian Petani Lahan Pasang Surut di Kawasan
Rawa Pening. Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Rafieq, Achmad. 2004. Sosial Budaya dan Teknologi Kearifan Lokal Masyarakat
dalam Pengembangan Pertanian Lahan Lebak di Kalimantan Selatan.
Banjarbaru: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Kalimantan Selatan.
18