TUGAS MATA KULIAH STUDI BUDAYA
Perubahan Perubahan yang Terjadi Pada Budaya Bali Akibat Pariwisata
DOSEN : PROF.Dr. I Nyoman Darma Putra,.M.Litt
Oleh :
I Made Bayu Wisnawa(NIM:1390771008)
PROGRAM STUDI DOKTOR PARIWISATAPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR
2013
NAMA : I MADE BAYU WISNAWA
MATA KULIAH : STUDI BUDAYA
DOSEN : PROF.Dr. I Nyoman Darma Putra,.M.Litt
1. Perubahan Perubahan yang Terjadi Pada Budaya Bali Akibat Pariwisata (Pada pementasan Tari Sanghyang Jaran dan Dedari, Batu Bulan, Gianyar, Bali)
No Variabel Sebelum Pariwisata Sesudah Pariwisata1 Pemilik Tarian Sanghyang dimiliki
oleh desa adat/penyungsung pura
Dimiliki oleh pengusaha entertainment; Masyarakat Lokal
2 Tempat Tarian Sanghang dipentaskan di tempat suci, perempatan jalan
Dipentaskan di stage/panggung khusus wisatawan
3 Waktu Dipentaskan pada saat upacara keagamaan (Tidak setiap hari/berkala)
Dipentaskan setiap hari, reguler atau tergantung permintaan wisatawan
4 Pekerja Masyarakat desa adat Sekehe kesenian/sanggar; kelompok seni profesional
5 Lama Pertunjukan Dua jam, atau sampai selesai upacara
Satu atau dua jam
6 Fungsi Persembahan kepada Sang Pencipta Alam
Sebagai mata pencaharian
7 Tujuan Menghilangkan mala, grubug (kesengsaraan, wabah penyakit)
Atraksi pertunjukan malam yang eksotis bagi wisatawan dan promosi wisata
8 Partisispasi Masyarakat lokal Masyarakat lokal dan luar desa9 Dekorasi Menggunakan halaman
pura / tempat suciDibuat panggung khusus untuk wisatawan
10 Ekspektasi/harapan Hubungan sosial masyarakat
Reputasi sosial, ekonomi dan pariwisata
1
Sejarah Tarian Sanghyang Jaran dan DedariBerdasarkan salah satu sumber babad Tari Sanghyang (Bali Post,25 November 2007)
adalah salah satu tarian wali yang umurnya sudah tua kira kira berkembang pada jaman pra-
Hindu sebelum agama hindu masuk ke Bali. Menurut Prof. Dr. I Wayan Dibia tarian sanghyang
adalah tarian kebudayaan animisme di Bali. Tarian ini bertujuan untuk mengusir mala/
kesengsaraan. Sampai sekarang tetap eksis dilaksanakan , setiap ada masalah / mala, kesusahan
tarian ini dipentaskan.
Prof. Dr. I Made Bandem dalam bukunya Kaja dan Kelod.: Tarian Bali dalam Transisi
menyatakan ada sekitar 24 tarian Sanghyang di Bali. Kebanyakan berada di desa-desa
pegunungan di Bali bagian timur dan utara.
Menurut penelitian Jane Belo daalam bukunya yang berjudul Trance in Bali (1960 )
dinyatakan ada sekitar 20 tarian Sanghyang di Bali seperti : Sanghyang Lelipi, Sanghyang Celeng,
Sanghyang Kuluk, Sanghyang Bojog, Sanghyang Sripuput, Sanghyang Memedi, Sanghyang
Capah, SanghyangSela Perahu, Sanghyang Sampat, Sanghyang Dedari, Sanghyang Kekerek,
Sanghyang Jaran Gading, Sanghyang Jaran Putih, Sanghyang Teter, Sanghyang Dongkang,
Sanghyang Penyu, Sanghyang Lilit Linting, Sanghyang Sembe, Sanghyang Janger dan Sanghyang
Tutup. Tapi tarian Sanghayng masih ditarikan di beberaapa desa di Bali, kerangsukannya
( kerauhan ) masih bisa kita saksikan. Sanghyang Deling sering dipentaskan di desa-desa seputar
Danau Batur, Kintamani. Sanghyang Memedi dipentaska desa di Buleleng ( bagian Kaja ), tarian
ini juga dinamakan wong samara( mahluk halus ), supaya cepat kerangsukan ( kerauhan )
dibakar kotoran kuda ( tain Jaran ), setelah penarinya kerauhan ( kerangsukan ) Sanghyang
Memedi berperilaku aneh yaitu menculik anak kecil lalu ditaruh ditempat sepi atau di kuburan (
sapunapi ring setra ).
Aturan main penari Sanghyang dimulai uapcara pakeling ( pemberitauhan ) kepada para
dewata karena tarian ini kapingitang (disakralkan ), kalau sudah sesuai dengan aturan main,
langkah selanjutnya nusdus ( membakar kemenyan ), asep menyan (asap harum ) menyelimuti
penari Sanghyang, mulai menyanyikan lagu suci Kuskus Arum yang dinyanyikan oleh beberapa
istri secara berulang-ulang sampai penarinya kerangsukan. Tanda-tanda penarinya kerauhan
(kerangsukan ) tubuhnya gemeter tanpa sadar, sesudah kerangsukan Sanghyang Jaran
contohnya lompat keadalam api unggun yang membara sambil menendang kesana kesini
2
apinya, para istri menyanyikan lagu tambah bersemangat, selama lagu itu dinyanyikan penari
Sanghyang terus menari sampai keluar kalangan (arena) kayak di uber-uber.
Penari Sanghyang biasanya masih dalam keturunan ( pratisentana ) serta penarinya masih
perawan (daa ), penari Sanghyang kepingit ( diawasi dari kekotoran ) ditempat yang suci sampai
pekerjaannya harus ada hubungannya alat- alat upacara seperti mejejahitan dan sarana
upacara serta tidak boleh masuk ketempat jemuran pakaian/ tempat yang kotor-kotor .
Penari Sanghyang Dedari ditarikan pada malam hari, biasanya ngambil tempat di halaman
suci pura, tetapi Sanghyang Jaran di desa Sedang, Badung, di tarikan di marga agung,pempatan
utama desa ( peempatan desa). Kedua tarian ini masih ditarikan di bali bagian selatan
( Badung,Denpasar) diiring oleh istri-istri dan diikuti oleh tarian Kecak para lanange (laki-laki)
sedangkan tarian Sanghyang Dedari diikuti oleh gambelan palegongan/ semaarpegulingan.
Tarian ini tidak memiliki pakem agem (gerakan tertentu)m, pada saat ditarikan begitu
sempurna/harmonis. Sanghyang Jaran seperti namanya gerakanya melompat, nongklang,
ngrikik seperti suara kuda. Tetapi Sanghyang Dedari menari kayak hembusan angina( ampehan
angin), pohon melengkung, ombak magabluran, atau seperti tingkah laku binatang. Itu semua
sesuai dengan alunan Kecak , dan suara gambelan, masyarakat yang menarikan Sanghyang itu
meyakini sekali kesenian Sanghyang menjadikan ala mini seimbang jauh dari musibah(
mala/kebrebeh ).
Tarian Sanghyang ini dipercaya menghilangkan sasab mrana (musibah) atau menyomia
buta kala ( menjadi sifat dewa / baik ) yang mengganggu desa-desa. Di desa, di pegunungan
sering dipentaskan pada saat ada mrana(musibah) seperti sakit kulit di tangan , biasanya
dipentaskan setiap satu bulan dan terus dipentaskan sampai musibah hilang.
Tetapi menurut Wayan Dibia tarian Sanghyang yang lainnya tidak punah. Gelungan serta
sarana pementasan Sanghyang itu masih ada dan disungsung ( dipuja) masing-masing pura di
desa.
Identifikasi dan Komodifikasi Kesakralan Tarian Sanghyang
Pariwisata telah menimbulkan gejala komersialisasi yang sanagat kuat. Yang paling jelas
adalah bidang kesenian, baik seni rupa (lukis,patung) maupun seni pertunjukan. Dalam konteks
3
ini, kita harus berhati-hati, apakah komersilisasi itu terjadi terhadap kesenian atau
kebudayaan ? kalau kesenian diibaratkan bunga atau buah itu yang dijual kepada wisatawan ,
tidak apa-apa bisa ditoleransi. Wisatawan tidak boleh berpikir bahwa mereka telah membeli
agama atau adat atau budaaya Bali kalau mereka hanya membawa patung rangda sebagai
suvenir untuk di pasang di tembok rumahnya. Buah/bunga kebudayaan Bali sudah banyak di
petik dan di beberaapa negara sudah dijadikan bibit untuk dikembangbiakan seperti terlihat
dari tumbuhnyaa sekaha gamelan dan tari Bali di Amerika, Jepang, dan Australia.
Keputusan Bali yang sangat strategis terlihat ketika para pemikir budaya di daerah ini
mampu merumuskan tiga bentuk kesenian berdasarkan fungsinya. Ketiga bentuk kesenian itu
adalah (i) seni wali, (ii) bebali dan (iii) baalih-balihan. Rumusan ini dibuat tahun 1971, dan
menurut Bandem, masih efektif sampai sekarang, meskipun harus diakui bahwa ada pergeseran
dan kerumpangaan. Sarjana barat pun memahami dan mengerti akan klasifikasi itu. E.M. Bruner
misalnya, pernah menulis sebagai berikut
If a Balinese troupe perforrms a dance drama in a temple, we call it religion; if in a concert hall
in London, we call it art; if in a beach hotel, we call it tourism. But the destinctions between
religion, art and tourism are Western categories, not Balinese realities.
Pendapat diatas menarik dan sesuai dengan alam pikiran orang Bali kecuali bagian
terakhir kutipan ketika Bruner menyampaikan bahwa orang Bali tidak mengenal katagori
tersebut. Justru oraang Bali telah mengkategorikan jenis kesenian berdasarkan fungsinya.
Orang Bali sadar sekali terhadap apa yang mereka pentaskan, untuk apa, dan di mana. Picard
(1996) mengakui bahwa “The Balinese know perfectly well if they are dancing for tourists, for
their community, or for their gods” kesadaran demikian perlu dipertahankan dan dijadikan
pegangan teguh oleh masyarakat Bali
Pengaturan pementasan Sanghyang di Bali seperti arus globalisasi yang kuat terjadi
pergeseran budaya, seperti kita ketahui di jaman seperti ini uang yang paling utama tidak bisa
hidup tanpa uang, ini menyebabkan manusia/ masyarakat buta akan budaya yang telah
digariskan oleh nenek moyang mana budaya yang suci mana yang tidak sehingga terjadi proses
komodifikasiana yang berorientasi pada uang.
4
Tarian Sanghyangpun terkena arus perubahan jaman, menurut Wy Dibia sekarang sudah
ada pementasan Sanghyang yang dipentaskan ( balih-balihan) kehadapan wisatawan, pada saat
ada pertunjukan Cak, pertunjukan cak itu dibarengi pertunjukan Sanghyang khususnya
Sanghyang Jaran.
Sebenarnya pertunjukan Sanghyanghanya dipentaskan pada saat yadnya. Tidak
diperkenankan dipentaskan tarian Sanghyang pada waktu dan tempat yang tidak sesuai
peruntukannya. Pementasan tersebut bertentangan dengan konsep/perda pariwisata budaya.
Konsep yang begitu bagus dimana dapat melestarikan budaya dan mendukung usaha
pariwisata berdasarkan budaya. Akhirnya budayanya dijual kepada wisatawan.
Sebenarnya budaya itu merupakan daya tarik wisata, jika wisatawan mau menonton
pertunjukan Sanghyang pada waktu ada yadnya di kala itu sepatutnya dipentaskan. Kalau tidak
bisa seperti itu budaya Bali terlalu murah tidak ada harganya, yang sepatutnya disucikan
diperdagangkan, akhirnya taksu Budaya Bali lama- lama akan pudar karena tidak bisa
menghargai budanya sendiri yang berpikir untuk jangka pendek saja.
Ketika membicarakan tentang pariwisata, salah satu topik yang sering membicarakan
komersialisasi untuk mendapatkan profit/ keuntungan dari segi ekonomis. Dalam kasus Tarian
sanghyang Jaran dan Dedari di Desa Batubulan, mencatat bahwa sektor industri pariwisata
terlibat adalah hotel, restauran, transportasi lokal dan souvenir dan lainya yang menghasilkan
uang. Peneliti menyajikan dalam bentuk tabel perbandingan mengorganisir pertunjukan Tarian
sanghyang Jaran dan Dedari di Desa Batubulan sebelum dan sesudah adanya pariwisata di Bali :
SimpulanPariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan
masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Terlebih lagi
kalau yang dikembangkan adalah pariwisata budaya.
Ketika membicarakan tentang pariwisata, salah satu topik yang sering membicarakan
komersialisasi untuk mendapatkan profit/ keuntungan dari segi ekonomis. Dalam kasus Tarian
sanghyang Jaran dan Dedari di Desa Batubulan, mencatat bahwa sektor industri pariwisata
terlibat adalah hotel, restauran, transportasi lokal dan souvenir dan lainya yang menghasilkan
uang. Peneliti menyajikan dalam bentuk tabel perbandingan mengorganisir pertunjukan Tarian
sanghyang Jaran dan Dedari di Desa Batubulan sebelum dan sesudah adanya pariwisata di Bali.
5
Dari perbandingan di atas terjadi transpormasi budaya traditional (culture street/ culture
tradition ) menjadi stage culture ( budaya pertunjukan) untuk wisatawan. Ini berarti telah
terjadi perubahan sosial budaya khusunya kesenian tari Sanghyang di desa Batubulan, akhirnya
taksu Budaya Bali lama-lama akan pudar karena tidak bisa menghargai budanya sendiri yang
berpikir untuk jangka pendek saja
Sumber : Brahmanda (2008) www.sujanabrahmanda.blogspot.com/2008/02/tari-sanghyang.html
6
2. Perubahan Perubahan yang Terjadi Pada Budaya Bali Akibat Pariwisata
(Pada Kehidupan Masyarakat Desa Pakraman Mendek, Desa Wanagiri Kauh, Kecamatan Selemadeg, Kabupaten Tabanan )
Mendek adalah desa kecil yang terletak lebih kurang 70km sebelah Tenggara Kota Denpasar. Semenjak 1990 pariwisata mulai masuk ke daerah sekitar Desa Mendek, dimana di sebelah Barat Dayanya mulai dibangun villa untuk menampung wisatawan dan fasilitas retreat. Demikian pula di sebelah utara Desa Mendek, tepatnya di Desa Sarin Buwana, telah berdiri SarinBuwana Eco Village yang namanya sudah terkenal di manca negara.
Meskipun jauh dari hiruk pikuk pariwisata pada kawasan Bali Selatan, namun dampaknya sudah terasa, hal ini terutama disebabkan (i)penduduk yang bekerja di sektor pariwisata di Kuta dan Nusa Dua, dan (ii) Anak-anak muda yang cenderung mengambil pendidikan di bidang pariwisata, (iii) Ditetapkannya Desa Belimbing sebagai Desa Wisata (terletak lebih kurang 2 Km sebelah Barat Desa Mendek)
No Variabel Sebelum Pariwisata (<90) Sesudah Pariwisata (>90)1 Teknologi a. Komunikasi masih melalui
surat, Radio, Televisi. b. Listrik menggunakan mesin
diesel.c. Kebutuhan air dengan
mengambil di sungai, sumur dengan pompa manual
d. Membajak sawah dengan tenaga sapi
a. Menggunakan Handphone, smartphone, Blackberry dan android masuk desa
b. Listrik melalui PLNc. PAM masuk Desad. Membajak sawah sebagian besar
dengan traktor
2 Peralatan a. Memasak masih dengan tungku api, kayu bakar
b. Menulis surat resmi dengan mesin tik
c. Radio, Tape recorder untuk mendengar musik
d. Menonton film dengan layar tancap
a. Memasak sudah menggunakan kompor gas
b. Menulis surat resmi dengan laptop, komputer
c. MP3 untuk mendengar musikd. Menonton dengan dvd, vcd
3 Mata Pencaharian Penduduk desa hampir seluruhnya petani (99,90%), sisanya pegawai negeri dan pedagang
Sudah beragam, namun mayoritas : (i) petani , 88,40%, (ii) Pariwisata 8%, (iii)Pendidikan 2%, (iv) BUMN 0,4% dan (v) Perawat,Dokter 1,2%
4 Sosial Nonton TV bersama-sama di Bale Banjar
Tidak ada lagi
5 Religi Agama Hindu Bali Christian, Sai Baba, Hare Krsna6 Bahasa Bali, Indonesia Bahasa Inggris, Perancis, Jepang sudah
diminati untuk dipelajari.
7