PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM TERHADAP RESTORAN DALAM
PERSPEKTIF GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) OLEH LEMBAGA
PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA MAJELIS
ULAMA INDONESIA (LPPOM MUI) JAWA BARAT
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
TIKA ARRIZKIYA HARUM
NIM: 1113048000049
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Tika Arrizkiya Harum. NIM 1113048000049. PERLINDUNGAN KONSUMEN
MUSLIM TERHADAP RESTORAN DALAM PERSPEKTIF GOOD CORPORATE
GOVERNANCE (GCG) OLEH LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN
DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA (LPPOM MUI) JAWA BARAT.
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. x + 88 halaman + 5 halaman daftar pustaka
+ 9 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan dan prosedur sertifikasi halal di
Indonesia. Selain itu juga untuk mengetahui penerapan prinsip Good Corporate
Governance (GCG) pada sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat
dan juga untuk mengetahui kendala dan hambatan dalam proses sertifikasi halal.
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian empiris yuridis.
Sedangkan jenis pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini meliputi dua
jenis pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan
pendekatan konsep (conceptual approach). Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah
dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Dengan kata lain, bahan hukum primer
merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat. Sedangkan bahan hukum sekunder pada
dasarnya merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Selain itu, peneliti menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara
(interview) dan studi pustaka. Selanjutnya, metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode analisis komparatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa di Indonesia, status hukum mengenai halal
atau tidaknya suatu produk dapat dilihat dari apakah produk tersebut memiliki label halal
atau tidak. Dimana label halal ini sangat erat kaitannya dengan sertifikasi halal,
dikarenakan untuk memperoleh label halal pada suatu produk, pelaku usaha perlu
melaksanakan sertifikasi halal terlebih dahulu. Sertifikasi halal didefinisikan sebagai suatu
kegiatan pengujian secara sistematis untuk mengetahui apakah suatu produk yang
diproduksi telah memenuhi ketentuan halal atau belum. Akan tetapi, peraturan perundang-
undangan yang mengatur sertifikasi halal belum sepenuhnya memberikan kepastian
hukum bagi konsumen muslim terhadap produk pangan yang terdapat pada restoran di
Indonesia, dikarenakan sifat dari sertifikasi halal sebuah produk di Indonesia masih
bersifat sukarela (voluntary), yang artinya pelaksanaan sertifikasi halal saat ini masih
bergantung kepada kesadaran pelaku usaha. Selain itu, upaya perlindungan hukum yang
dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat adalah dengan menerapkan Prinsip Good
Corporate Governance (GCG), yaitu Transparency, Accountability, Responsibility,
vi
Independency, dan Fairness, pada pelaksanaan proses sertifikasi halal sehingga sertifikat
halal yang dihasilkan dari proses sertifikasi tersebut benar-benar telah menjamin
keamanan bagi konsumen muslim dan tidak perlu diragukan lagi status hukum
kehalalannya.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Sertifikasi Halal, Good Corporate
Governance (GCG), Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Restoran.
Pembimbing : Ir. M. Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Sc., Ph.D.
Daftar Pustaka : Tahun 2001 sampai Tahun 2017.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang hanya dengan hidayah dan rahmat-Nyalah,
penyusunan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM
TERHADAP RESTORAN DALAM PERSPEKTIF GOOD CORPORATE
GOVERNANCE (GCG) OLEH LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN
DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA (LPPOM MUI) JAWA BARAT”
dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa kendala yang dihadapi saat
proses penyusunan skripsi ini.
Selesainya penulisan skripsi ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan,
dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini,
dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat peneliti ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan waktu luang, saran dan masukan
terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
3. Ir. M. Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Sc., Ph.D., Dosen Pembimbing yang dengan
sabar telah memberikan arahan dan masukan serta bimbingan, juga telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya, terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk peneliti.
5. Kedua orangtua yang sangat peneliti cintai, Titis Prihanto dan Tri Indriyanti, yang
sabar membimbing peneliti dari mulai lahir, sekarang, hingga seterusnya tanpa kenal
lelah serta telah memberikan dukungan materiil dan immateriil untuk peneliti. Juga
viii
untuk adik-adik tersayang, Tyan Alhadi Dwianto dan Tizty Annur Triananda, yang
telah menjadikan motivasi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Rekky Prasetio, teman dekat peneliti yang selalu memberikan dukungan dan menjadi
motivator peneliti dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu
memberkati langkah kaki kita.
7. Sahabat-sahabat yang peneliti sayangi, Kurnia Dwi Sulistiorini, Puti Shakina, Andhitta
A.D, Wardah Humaira, Pangki Ladipa, Fachrizal, Irfan Saputra, dan Topan
Rohmattulah (Grup UNO), yang selalu menemani dan mewarnai hari-hari peneliti
selama di kampus. Terima kasih peneliti ucapkan untuk 8 semester yang singkat ini
kawan.
8. Kerabat terdekat peneliti, Ghaida Choirunnisa, Idzni Fitri, Permata Dwi Anggani, dan
Zahra Fatimah yang selalu memberikan motivasi dan doa untuk peneliti. Terima kasih
atas dukungannya dan telah menjadi tempat bertukar pikiran dan berkeluh kesah
peneliti.
9. Keluarga besar Ilmu Hukum angkatan 2013, juga seluruh junior dan senior Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu
persatu.
10. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) ICORE 2016, khususnya Alif Anjas
Permana, Juwita Dwi Lestari, Nur Rizky Novianti, Munir, dan lainnya yang tidak
dapat peneliti sebutkan satu persatu. Tak lupa juga seluruh Penduduk Desa Gintung.
Terima kasih atas kerjasamanya dan bantuannya selama KKN dan pembuatan laporan
KKN.
11. Semua pihak terkait yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat menjadi referensi bagi adik-
adik kelas dan bermanfaat bagi setiap pembaca. Terima kasih.
Jakarta, Juli 2018
Tika Arrizkiya Harum
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ix
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 8
D. Metode Penelitian. ........................................................................................... 9
E. Sistematika Penulisan .................................................................................... 12
BAB II : KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ............................. 14
A. Kerangka Konseptual ..................................................................................... 14
B. Kerangka Teori .............................................................................................. 15
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................................... ..32
D. Kerangka Pemikiran .....................................................................................34
BAB III: DATA PENELITIAN .................................................................................... 37
A. Pengertian dan Prinsip Good Corporate Governance (GCG) ....................... 37
B. Lembaga yang Berwenang dalam Proses Sertifikasi Halal ........................... 41
C. Prosedur Sertifikasi Produk Halal pada LPPOM MUI..................................46
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................. 56
A. Pengaturan Sertifikasi Halal sebagai Bentuk Legitimasi
Kehalalan Produk di Indonesia ...................................................................... 56
x
B. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam
Proses Sertifikasi Halal yang Dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa
Barat ............................................................................................................... 63
BAB V : PENUTUP ..................................................................................................... 87
A. Kesimpulan .................................................................................................... 87
B. Rekomendasi .................................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 89
LAMPIRAN -LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perlindungan konsumen adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen. Oleh
karena itu, dalam perlindungan konsumen terkandung aspek hukum di dalamnya.
Adapun materi yang mendapatkan perlindungan dalam hal ini bukanlah bersifat
fisik, melainkan terlebih kepada hak-hak konsumen itu sendiri yang bersifat
abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan
perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.1
Perlindungan atas kepentingan konsumen tersebut diperlukan mengingat
bahwa dalam kenyataannya konsumen rentan berada di pihak yang dirugikan.2
Hal ini dikarenakan konsumen merupakan pemakai terakhir dari produk yang
diserahkan oleh pelaku usaha dan konsumen tidak mengetahui bahan baku dan
proses pembuatan produk tersebut. Ketidakseimbangan posisi antara konsumen
dan pelaku usaha ini perlu dikompensasi agar konsumen dapat mengkonsumsi
produk barang dan/atau jasa secara lebih aman.3
Atas dasar kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan hak dan
kewajiban konsumen, juga hak dan kewajiban serta tanggung jawab pelaku usaha
melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen).
Diharapkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini dapat melindungi
1 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2004), h. 19.
2 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014, Cet. Ketiga), h. 4.
3 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Ed. Pertama, Cet. Keempat), h. 173.
2
kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan
secara efektif di masyarakat.
Dalam hal makan dan minum, ajaran Islam menghendaki agar produk
pangan yang akan dikonsumsi oleh umat muslim terjamin kehalalan dan
kesuciannya.4 Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya merupakan muslim,
yang jumlahnya mencapai 87,2% dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia5, maka
dengan sendirinya Indonesia menjadi pasar konsumen muslim yang demikian
besar. Oleh sebab itu, jaminan akan produk halal menjadi suatu hal yang penting
untuk mendapatkan perhatian dari negara.
Sekarang ini, aneka jenis produk makanan olahan dan minuman beraneka
rasa dapat dengan mudah diperoleh di sekitar masyarakat. Yang mana semuanya
itu dibuat dari berbagai macam bahan yang telah diolah dengan mesin
berteknologi tinggi dan campuran bahan-bahan kimiawi lainnya sehingga sulit
dikenali asal usul bahan baku dari produk-produk tersebut. Maka untuk produk-
produk semacam ini, yang dalam proses produksinya telah tersentuh oleh
teknologi, hukumnya menjadi syubhat (meragukan), disebabkan tidak diketahui
halal atau tidaknya produk-produk tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini status
hukum kehalalan atas suatu produk menjadi informasi yang sangat penting
sebagai dasar konsumen muslim untuk memilih produk yang akan
dikonsumsinya.
Di Indonesia, konsumen mendapatkan informasi mengenai halal atau
tidaknya suatu produk dari melihat apakah produk tersebut memiliki label halal
atau tidak. Di mana label halal ini sangat erat kaitannya dengan sertifikasi halal,
dikarenakan untuk memperoleh label halal pada suatu produk, pelaku usaha perlu
4 M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh, Halal
Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan, (Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007), h. 1.
5 Indonesia-Investments, “Agama di Indonesia”, artikel diakses pada 14 April 2017 dari https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69.
3
melaksanakan sertifikasi halal terlebih dahulu. Sertifikasi halal didefinisikan
sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematis untuk mengetahui apakah
suatu produk yang diproduksi telah memenuhi ketentuan halal atau belum.
Tujuan akhir dari kegiatan sertifikasi halal, yaitu adanya pengakuan secara legal
formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal.6
Pengakuan secara legal formal ini adalah berupa diterbitkannya sertifikat halal
sebagai hasil dari kegiatan sertifikasi halal apabila produk yang dimaksudkan
telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sehingga, dengan berpegang
kepada sertifikat halal tersebut masyarakat akan merasa tenang dan tenteram
dalam mengkonsumsi produk pangan karena sudah jelas kehalalannya.7
Berbicara mengenai sertifikasi halal, pemerintah melalui Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal menunjuk Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya
disingkat menjadi MUI) sebagai lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan
pemeriksaan pangan halal. MUI dalam struktur kelembagaannya memiliki
lembaga khusus dalam menangani masalah teknis mengenai pelaksanaan proses
sertifikasi halal, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (selanjtunya disingkat menjadi LPPOM MUI). LPPOM
MUI memberikan sertifikat halal kepada para pelaku usaha yang secara sukarela
mendaftarkan produknya untuk disertifikasi. Namun, dikarenakan pendaftaran
sertifikasi yang masih bersifat sukarela ini, maka produk yang beredar di
kalangan konsumen muslim bukanlah produk-produk yang secara keseluruhan
memiliki label halal, sehingga belum jelas halal atau tidaknya produk-produk
tersebut.
6 LP POM MUI Jawa Timur, Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal, (Surabaya: Lutfiansah
Mediatama, 2004), h. 39.
7 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama), h. 5.
4
Secara struktural, kedudukan LPPOM MUI berada pada Pusat dan Provinsi,
termasuk salah satunya adalah di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat
merupakan provinsi dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di Indonesia,
yaitu mencapai 41.763.592 jiwa,8
dari total jumlah penduduk Jawa Barat
mencapai 46 juta jiwa.9 Namun demikian, produk halal di Jawa Barat masih
terbilang sedikit, termasuk di antaranya adalah restoran-restoran yang telah
bersertifikat halal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah restoran yang ada di Jawa
Barat, yaitu mencapai 2.853 restoran,10
akan tetapi hanya terdapat 39 restoran
yang telah mengantongi sertifikat halal.11
Ini membuktikan bahwa masih
banyaknya restoran di Jawa Barat yang belum memiliki sertifikat halal, yang
berarti perlindungan terhadap konsumen muslim masih sangat minim.
Padahal, pemerintah daerah Jawa Barat, melalui Pasal 8 Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Produk Barang Higienis dan Halal mewajibkan setiap barang yang diproduksi
dan beredar di Jawa Barat agar memenuhi standar higienis dan/atau halal, berupa
jaminan atau sertifikasi higienis dan/atau halal yang diterbitkan oleh
intansi/lembaga yang berwenang. Ini berarti, pemerintah Jawa Barat menilai
bahwa sertifikasi halal, termasuk pada restoran, sangatlah penting disebabkan
8 Sang Pencerah (The Muhammadiyah Post), “Persentase Jumlah Umat Islam Berbagai
Daerah di Indonesia”, artikel dikases pada 11 Juli 2018 dari http://sangpencerah.id/2014/12/persentase-jumlah-umat-islam-berbagai/.
9 Pemerintah Provinsi Jawa Barat, “Penduduk”, artikel diakses pada 01 April 2018 dari http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/75.
10 Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, “Jumlah Restoran/Rumah Makan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, 2013-2016”, artikel diakses pada 01 April 2018 dari https://jabar.bps.go.id/statictable/2018/03/23/472/jumlah-restoran-rumah-makan-menurut-kabupaten-kota-.html.
11 Daftar Belanja Produk Halal LPPOM MUI dari edisi No. 119/Mei-Juni 2016 hingga edisi No. 130/Maret-April 2018.
5
untuk memenuhi hak konsumen muslim, yaitu hak memiliki rasa keamanan dan
kenyamanan dalam mengkonsumsi pangan.
Selain banyaknya restoran yang belum bersertifikat halal, kasus
ditemukannya bahan pangan yang tidak halal pada restoran yang telah memiliki
sertifikat halal MUI menimbulkan keresahan konsumen muslim. Kasus ini
pernah terjadi pada restoran Solaria di Balikpapan yang terjadi pada Tahun 2015,
seperti yang dikutip dalam artikel di bawah ini,
Tim Gabungan Operasional Razia Daging Ilegal menemukan dua bumbu di
restoran Solaria, yang terletak di satu pusat perbelanjaan di Jalan Sudirman
Balikpapan positif mengandung bahan yang tidak halal. Sebanyak 20 jenis
bahan yang disita, dari 20 tersebut ada delapan yang sudah diuji, dan dua
diantaranya positif mengandung bahan yang tidak halal, atau mengandung
hewan babi.12
Walaupun kasus ini hanya terjadi di Balikpapan, akan tetapi kasus ini
berhasil menjadikan konsumen muslim ragu pada sertifikat halal MUI, sehingga
memunculkan pertanyaan pada kepastian dari sertifikat halal MUI tersebut,
apakah restoran yang telah memiliki sertifikat halal MUI benar-benar sudah
dapat dipastikan kehalalannya.
Tentunya, sebagai lembaga yang melakukan kegiatan sertifikasi halal,
LPPOM MUI memerlukan pengelolaan dan pengendalian internal yang baik,
khususnya dalam pelaksanaan sertifikasi halal pada sebuah produk. Salah satu
bentuk pengendalian internal yang sering digunakan dalam suatu lembaga atau
organisasi adalah melalui Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat
menjadi GCG).
Corporate governance dapat dikatakan sebagai suatu sistem internal yang
meliputi kebijakan dan proses yang menyediakan kebutuhan para pemangku
kepentingan (stakeholders), dengan cara mengarahkan dan mengendalikan
12 Tribun Pontianak, “MUI Temukan Bumbu Resto Solaria Mengandung Babi”, artikel
diakses pada 12 Oktober 2016 dari http://pontianak.tribunnews.com/2015/11/24/mui-temukan-bumbu-resto-solaria-mengandung-babi.
6
aktivitas manajemen menggunakan kecerdasan, objektivitas, akuntabilitas dan
integritas yang baik. Penerapan praktik GCG dapat memenuhi kewajiban
seutuhnya baik kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan
masyarakat serta konsumen pada umumnya.13
Adapun efektivitas penerapan
Corporate Governance ditandai dengan terdapatnya keseimbangan (balance)
dari berbagai perangkat (subsystem) yang terdapat di dalam mekanisme sistem
Corporate Governance itu sendiri.14
Oleh karena itu, dalam proses sertifikasi
halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat terdapat hal yang perlu
diperhatikan, yaitu apakah proses sertifikasi halal pada praktiknya sudah
menerapkan prinsip GCG.
Tolak ukur untuk menilai apakah LPPOM MUI Jawa Barat sudah
menerapkan GCG adalah dari kelima prinsip GCG itu sendiri, yaitu
Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness.
Sehingga dapat diketahui apakah proses sertifikasi halal yang dilakukan telah
memenuhi kepentingan stakeholders dan apakah proses sertifikasi halal yang
dilakukan oleh LPPOM MUI tersebut sudah sesuai dengan prosedur yang
berlaku, sehingga produk yang dihasilkan dari proses sertifikasi halal tersebut,
yaitu sertifikat halal yang dimiliki oleh setiap pelaku usaha sudah benar-benar
melindungi konsumen muslim.
Pengetahuan masyarakat selaku konsumen akan makanan halal saat ini
nampaknya sudah cukup tinggi, namun kesadaran untuk memverifikasi suatu
produk yang terjamin kehalalannya masih sangat lemah. Oleh karena itu, hal ini
harus didukung dengan aturan yang dapat memberikan legitimasi yang kuat.
13 Tunas, “Pengembangan Tata Kelola Perusahaan”, artikel dikases pada 27 Desember
2017 dari http://www.tunasgroup.com/prinsip-dasar-dan-pengembangan-tata-kelola-perusahaan/.
14 Niki Lukviarman, Corporate Governance, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2016), h. 130.
7
Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan adanya kejelasan apakah
sertifikasi halal di Indonesia telah memiliki legitimasi yang kuat dan apakah
proses sertifikasi halal selama ini telah memberikan kepastian hukum sebagai
bentuk perlindungan kepada konsumen muslim. Maka, peneliti akan membahas
lebih jauh lagi mengenai pengaturan sertifikasi halal bagi restoran dan upaya
perlindungan hukum yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat bagi
konsumen muslim di Jawa Barat terhadap restoran yang telah melakukan
sertifikasi halal. Oleh karena itu, peneliti menyusun skripsi ini dengan judul
“Perlindungan Konsumen Muslim terhadap Restoran dalam Perspektif
Good Corporate Governance (GCG) oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-
obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Jawa
Barat”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan yang dapat diteliti, yakni
sebagai berikut:
a. Masih banyaknya restoran di Indonesia yang belum memiliki sertifikat
halal sehingga belum dapat memberikan perlindungan bagi konsumen
muslim.
b. Diperlukan penjelasan mengenai prosedur sertifikasi halal yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
c. Kesadaran konsumen untuk memverifikasi suatu produk yang terjamin
kehalalannya masih sangat lemah.
d. Diperlukan penerapan prinsip GCG dalam proses sertifikasi halal yang
dilakukan oleh LPPOM MUI.
8
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan yang telah dikemukakan pada latar
belakang di atas, maka pembahasan skripsi ini mengalami pembatasan yang
pembahasannya akan dibatasi pada perlindungan konsumen muslim terhadap
restoran dalam perspektif GCG yang dilakukan oleh LPPOM MUI di Jawa
Barat. Pembahasan juga terbatas hanya pada pengaturan sertifikasi halal
sebelum adanya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan
pembatasan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya yaitu permasalahan
utama dalam penulisan skripsi ini adalah tidak adanya pengaturan yang kuat
mengenai sertifikasi halal di Indonesia sehingga perlindungan konsumen
muslim masih sangat lemah, maka pertanyaan penelitian dalam permasalahan
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan sertifikasi halal menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
b. Apakah prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI
Jawa Barat sudah memenuhi prinsip Good Corporate Governance
(GCG)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaturan sertifikasi halal menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
b. Untuk mengetahui prosedur sertifikasi halal yang dilakukan oleh
LPPOM MUI Jawa Barat telah memenuhi prinsip Good Corporate
Governance (GCG) atau belum.
9
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil
penelitian ini juga dapat memberi manfaat yang nyata. Manfaat penelitian
merupakan suatu dampak dari tercapainya tujuan dan terjawabnya rumusan
masalah secara akurat. Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka
manfaat penelitian skripsi antara lain:
a. Secara Teoritis
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan pembaca mengenai pengaturan sertifikasi halal di
Indonesia menurut ketentuan yang berlaku dan bentuk bentuk upaya
perlindungan hukum yang diberikan oleh LPPOM MUI Jawa Barat
untuk konsumen muslim terhadap restoran yang telah melakukan
sertifikasi halal.
b. Secara Praktis
Dari hasil penelitian ini, besar harapan peneliti agar sertifikasi halal di
Indonesia memiliki legitimasi yang kuat dan juga penerapan prinsip
GCG dan ketentuan-ketentuan atau prosedur yang telah ditetapkan
dalam melakukan sertifikasi halal oleh LPPOM MUI sebagai bentuk
perlindungan kepada konsumen muslim.
D. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
empiris yuridis. Jenis penelitian hukum empiris yuridis adalah suatu
penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata
dan mengevaluasi bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa penelitian hukum ini dapat diambil dari fakta-fakta yang
ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.
10
Jenis pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini meliputi
dua jenis pendekatan, yaitu;
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach), mengingat peneliti
berusaha menganalisis beberapa peraturan perundang-undangan sebagai
fokus penelitian, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
tentang Label dan Iklan.
b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach), mengingat peneliti
berusaha menemukan konsep yang sesuai dalam pengaturan terkait
sertifikasi halal di Indonesia dan prinsip GCG yang diterapkan pada
sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat.
2. Data, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini berupa informasi terkait
pengaturan sertifikasi di Indonesia dan prinsip GCG yang diterapkan pada
sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder dengan uraian sebagai berikut:
a. Sumber Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas.15
Dengan kata lain, bahan hukum primer
merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.16
Sumber penelitian ini
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2015), h. 181.
16 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014, Cet. Kedelapan), h. 31.
11
yakni sejumlah undang-undang yang berlaku di Indonesia, yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan.
Kemudian untuk meneliti proses sertifikasi halal menurut ketentuan
LPPOM MUI peneliti menggunakan sumber primer berupa panduan
umum sertifikasi halal oleh LPPOM MUI.
b. Sumber Sekunder
Bahan hukum sekunder pada dasarnya merupakan bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.17
Sumber
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa Keputusan
Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 13 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Pengawasan Produk
Barang Higienis dan Halal.
Selanjutnya peneliti menggunakan metode pengumpulan data melalui
wawancara (interview) dan studi pustaka. Melalui studi pustaka peneliti
mengumpulkan berbagai referensi terkait, baik dalam bentuk buku-buku,
dokumen, media cetak maupun elektronik yang memiliki relevansi dengan
permasalahan yang sedang diteliti.
3. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis komparatif. Metode analisis komparatif bersifat membandingkan.
Analaisis ini dilakukan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua
atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka
pemikiran tertentu. Dalam penelitian ini, metode analisis data komparatif
17 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum..., h. 32.
12
digunakan dengan cara membandingkan antara peraturan perundang-
undangan yang ada, pedoman yang ditentukan oleh suatu lembaga tertentu
dan opini pakar hukum dalam memahami suatu ketentuan hukum.
4. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penyusunan dan penulisan skripsi ini berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Bab Pertama. Pada penelitian skripsi ini akan dimulai dengan bab
pendahuluan yang akan menjabarkan mengenai latar belakang dilakukannya
penelitian, identifikasi masalah, batasan masalah, dua pokok permasalahan dari
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab Kedua. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kajian pustaka yang
menguraikan mengenai kerangka konseptual, kerangka teori, berupa pengertian
hukum perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, pihak-
pihak yang terkait dengan hukum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban
konsumen serta pelaku usaha, pengertian halal dan haram, pengertian sertifikasi
halal, dan pengertian Good Corporate Governance (GCG). Selain itu terdapat
pembahasan tinjauan (review) kajian terdahulu dan juga kerangka pemikiran
dalam bab ini.
Bab Ketiga. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tinjauan umum Good
Corporate Governance (GCG) dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh
LPPOM MUI Jawa Barat yang menguraikan mengenai pengertian dan prinsip
Good Corporate Governance (GCG), lembaga yang berwenang dalam proses
sertifikasi halal, dan prosedur sertifikasi produk halal pada LPPOM MUI.
Bab Keempat. Bab ini merupakan penjabaran dari hasil penelitian dan
pembahasan yang menguraikan mengenai pengaturan sertifikasi halal sebagai
13
bentuk legitimasi kehalalan produk di Indonesia dan penerapan prinsip Good
Corporate Governance (GCG) dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh
LPPOM MUI Jawa Barat.
Bab Kelima. Pada bab ini akan berisikan kesimpulan dari hasil penelitian
dan rekomendasi yang diharapkan dalam memberi sumbangan pengetahuan.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Kerangka Konseptual
1. Produk adalah barang yang terkait dengan makanan, minuman, obat,
kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta
barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
2. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
3. Makanan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang
haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut
bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan
penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa
genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum agama Islam.
4. Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat
Islam.
5. Proses produk halal adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.
6. Jaminan Produk Halal adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu
Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
7. Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi MUI) yang menyatakan kehalalan
suatu produk yang merupakan keputusan sidang Komisi Fatwa MUI
berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan
Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disingkat
menjadi LPPOM MUI).1
8. Sertifikasi Halal merupakan suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal
melalui beberapa tahap untuk membuktikan bahwa bahan, proses produksi
dan Sistem Jaminan Halal memenuhi standar LPPOM MUI.2
B. Kerangka Teori
1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Pengertian perlindungan konsumen menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya
disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen) adalah: “Segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada
konsumen.”
Sedangkan menurut Business English Dictionary, perlindungan
konsumen adalah “protecting consumers againts unfair or illegal traders”.
Selain itu, Black’s Law Dictionary mendefinisikan perlindungan konsumen
sebagai ”a statute that safeguards consumers in the use goods and services”.
Menggabungkan pengertian perlindungan konsumen menurut Business
English Dictionary dan Black’s Law Dictionary di atas, perlindungan
konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan
hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.3
1 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, (Jakarta: LPPOM MUI, 2008), h. 8.
2 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal…, h. 8
3 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 21.
Karena posisi konsumen yang lemah, maka ia harus dilindungi oleh
hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan
perlindungan atau pengayoman kepada masyarakat.4 Oleh karena itu, dibuat
hukum perlindungan konsumen sebagai bentuk perlindungan atau
pengayoman yang diberikan pemerintah kepada para konsumen.
Menurut Zulham, hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam
hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara
penyedia dan penggunaannya, dalam kehidupan bermasyarakat. Tegasnya,
hukum perlindungan konsumen merupakan keseluruhan peraturan perundang-
undangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang-undangan
lainnya serta putusan-putusan hakim yang substansinya mengatur mengenai
kepentingan konsumen.5
2. Asas-asas Perlindungan Konsumen
Ada sejumlah asas yang terkandung di dalam usaha memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan konsumen
diselenggarakan berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan
nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yaitu:
a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan
penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk
4 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014, Ed. Pertama, Cet. Keempat), h. 13.
5 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 23.
menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi
adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, dalam hal ini
konsumen dan para pelaku usaha, apa yang menjadi hak dan
kewajibannya.6
b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti
materiil ataupun spiritual. Artinya, tidak ada salah satu pihak yang
mendapatkan perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari
pada pihak lain.7
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan
hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang
dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan
mengancam ketenteraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.
Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen membebankan
sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah
larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan
mengedarkan produknya.8
6 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2014, Cet. Ketiga), h. 26.
7 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 26.
8 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 27.
e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum. Artinya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang
terkandung di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen harus
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak
memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin
terlaksananya Undang-Undang Perlindungan Konsumen sesuai dengan
bunyinya.9
3. Tujuan Perlindungan Konsumen
Di samping asas-asas di atas, dibutuhkan tujuan yang dapat dijadikan
petunjuk arah dari pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia. Tujuan
perlindungan konsumen tersebut dirumuskan dalam Pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan infomasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
9 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 27.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
4. Pihak-Pihak Terkait dengan Hukum Perlindungan Konsumen
Di dalam hukum perlindungan konsumen terdapat para pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan maupun penegakkannya. Pihak-pihak yang terlibat
dalam hukum perlindungan konsumen, diantaranya adalah:
a. Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer
(Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah
arti kata consumer adalah (lawan dari pelaku usaha) setiap orang yang
menggunakan barang.10
Selain itu Business English Dictionary
menyebutkan “consumer is person or company which buys and uses
goods and service”.11
Konsumen pada umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari
produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu setiap
orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk
diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.12
Pengertian konsumen
menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
adalah: “Setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,
yaitu:13
10 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 22. 11 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 15. 12 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 14. 13 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2001), h. 17.
1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu;
2) Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);
3) Konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan
tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).
Konsumen akhir merupakan pengguna atau pemanfaat akhir dari
suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk
lainnya. Sehingga konsumen yang dilindungi oleh Undang-Undang
Perlindungan Konsumen hanyalah konsumen yang menggunakan barang
dan/atau jasa untuk tujuan yang nonkomersial (konsumen akhir),
sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 Angka 2 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen bahwa pengertian konsumen dalam
undang-undang ini adalah kosnumen akhir.14
b. Pelaku Usaha atau Produsen
Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
pelaku usaha adalah:
Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
14 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 14.
Dalam penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang
termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN,
koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
Berdasarkan Product Liability Directive yang merupakan pedoman
bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun
ketentuan Hukum Perlindungan Konsumen, pengertian “produsen”
meliputi:15
1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang
manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian
yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat,
termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang
merupakan komponen dalam proses produksinya.
2) Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk.
3) Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-
tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari
suatu barang.
Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak
yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian
yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu
konsumen.16
c. Pemerintah
Dalam hukum perlindungan konsumen, pemeritah bertanggung
jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Selain
15 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 41.
16 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 14.
melaksanakan tugas pembinaan, pemerintah juga melaksanakan tugas
pengawasan bersama-sama dengan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Dengan adanya pengaturan
ini, diharapkan adanya peran aktif pemerintah dalam pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen. Jadi, titik berat fungsi
pengawasan ini tidak hanya terletak pada peran masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.17
Selain itu, upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari
produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur;
mengawasi; serta mengendalikan produksi, distribusi dan peredaran
produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun
keuangannya.18
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijakan yang akan
dilaksanakan, maka langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah
adalah:19
1) Registrasi dan penilaian
2) Pengawasan produksi
3) Pengawasan distribusi
4) Pembinaan dan pengembangan usaha
5) Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga
5. Hak dan Kewajiban Konsumen
Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang
diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.20
Secara umum dikenal ada 4
(empat) hak dasar konsumen yang diakui secara internasional, yaitu:
17 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 180-181. 18 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 19. 19 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 19-20.
a. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
b. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
c. Hak untuk memilih (the right to choose);
d. Hak untuk didengar (the right to be heard).
Selain itu, di Indonesia terdapat hak-hak konsumen lainnya yang diatur
dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakannya.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara
tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Akan tetapi, selain berhak untuk mendapatkan sesuatu, konsumen juga
harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
20 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 30.
6. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Selain mengatur hak dan kewajiban konsumen, Undang-Undang
Perlindungan Konsumen juga mengatur hak dan kewajiban bagi pelaku usaha.
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban dimaksudkan untuk menciptakan
hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumennya, sekaligus
menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan
perekonomian nasional pada umumnya.21
Adapun hak-hak dari pelaku usaha
menurut Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/jasa yang
diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Selain itu, kewajiban dari pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku.
21 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…, h. 71.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfataan barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Selain hak dan kewajiban pelaku usaha, pada Pasal 8 Ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen juga diatur bahwa pelaku usaha dilarang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan/atrau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan
alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
7. Pengertian Halal dan Haram
Kata halalan berasal dari bahasa Arab dari lafadz halla yang berarti
„lepas‟ atau „tidak terikat‟. Dalam Kamus Istilah Fiqh, kata halal difahami
sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Dengan
pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah
Swt. Istilah halal biasanya berhubungan dengan masalah makanan dan
minuman.22
Sedangkan pengertian halal menurut pendapat Imam Malik dan
Imam al-Thabari adalah sesuatu yang suci, tidak najis, dan tidak
diharamkan.23
Berbeda dengan halal, thayyib (baik) pijakannya pada kelayakan dan
standar kesehatan. Boleh jadi ada makanan yang tidak diharamkan agama,
tetapi tidak memenuhi standar kesehatan. Karenanya, dengan mengkonsumsi
makanan yang halal lagi thayyib, umat Islam menjadi sehat baik fisik maupun
jiwanya.24
Secara lugawi, thayyib berarti baik, lezat, menenteramkan, paling utama
dan sehat. Jadi, thayyib meliputi makanan yang tidak kotor dari segi zatnya,
tidak rusak (tidak kadaluarsa), dan tidak tercampur najis. Juga pangan yang
mengandung selera yang memakannya, tetapi tidak membahayakan fisik dan
akalnya. Dengan demikian pangan tersebut proporsional, aman, dan sehat.25
Dalam firman Allah Swt. Surat Al-Baqarah (2): 168:
22 M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh, Halal
Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan, (Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007), h. 2.
23 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadits (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2013, Cet. Kedua), h. 15.
24 Anna Priangani Roswiem, Buku Saku Produk Halal; Makanan dan Minuman (Jakarta: Republika, 2015, Cet. Pertama), h. 1.
25 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama), h. 14-15.
ض حللا طيباب ول حخب رأ ب في الأ يب أيهب انبس كهىا ي إه نكىأ عذو يبي يأطب عىا خطىاث انش
( ٨٦١: ٢)انبقرة /
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Lafadz haram pada asalnya berarti mencegah atau merintangi (al-man’u).
Oleh karena itu, setiap yang diharamkan (al-muhrimu) itu menjadi tercegah
atau terlarang.26
Istilah haram dapat dimaknai dengan sesuatu atau perkara-
perkara yang dilarang oleh syara’. Berdosa jika mengerjakannya dan
berpahala jika meninggalkannya, dan sebagai lawan halal. Haram juga biasa
disebut dengan maksiat atau perbuatan jahat.27
Larangan umat Muslim untuk mengkonsumsi makanan yang haram
terdapat dalam firman Allah Swt. Surat Al-Maidah (5): 3:
أخقت وانأ به وانأ أزير ويب أهم نغيأر للا ى انأخ و ونحأ يأخت وانذ يجأ عهيأكى انأ يت حر خرد قىرة وانأ ىأ
يأ بع إل يب رك ... )انئذة / وانطيحت ويب أكم انس ( ٣: ٥خىأ Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya.”
Makanan dikatakan halal paling tidak harus memenuhi tiga kriteria, yaitu
halal zatnya, halal cara memperolehnya dan halal cara pengolahannya.28
a. Halal zatnya
Makanan yang halal menurut zatnya adalah makanan yang dari dasarnya
halal untuk dikonsumsi dan telah ditetapkan kehalalannya dalam kitab
suci al-Quran dan hadits.
26 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika…, h. 12.
27 M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh, Halal Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan…, h. 2.
28 Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis, (T.tt.: UIN Malang Press, 2009), h. 194.
b. Halal cara memperolehnya
Makanan yang halal menurut cara memperolehnya merupakan makanan
yang diperoleh dengan cara yang baik dan sah. Makanan akan menjadi
haram apabila cara memperolehnya dengan jalan yang bathil karena itu
bisa merugikan orang lain dan dilarang oleh syariat.
c. Halal cara pengolahannya
Makanan yang halal menurut cara pengolahannya adalah makanan yang
semula halal dan akan menjadi haram apabila cara pengolahannya tidak
sesuai dengan syariat agama.
Makanan yang halal jika bercampur dengan makanan yang haram, maka
hukumnya menjadi haram. Hal ini berdasarkan kaidah fiqh yang menyatakan
bahwa apabila bercampur antara (makanan) halal dan haram, maka menjadi
haram berikut ini:29
ارا اجخع انحلل و انحراو غهب انحراوArtinya: “Apabila bercampur antara (makanan) halal dan haram, maka
menanglah yang haram.”
Produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan
sesuai dengan syari‟at Islam, antara lain:30
a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
b. Tidak mengandung khamr dan produk turunannya.
c. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan halal yang
disembelih menurut tata cara syari‟at Islam.
d. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-
bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran, dan lain
sebagainya.
e. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan,
tempat pengelolaan dan transportasi untuk produk halal tidak boleh
digunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya.
29 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika…, h. 71-72.
30 Aisjah Girindra, LPPOM MUI Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: LP POM MUI, 2005), h. 123.
Penggunaan fasilitas produksi untuk produk halal dan tidak halal
secara bergantian tidak diperbolehkan.
Pada hakikatnya semua jenis pangan itu halal kecuali yang secara tegas
dinyatakan keharamannya baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Maka dari
itu, selain dari yang diharamkan itu hukumnya adalah halal. Jumlah dan jenis
pangan yang diharamkan dalam kedua sumber hukum Islam tersebut lebih
sedikit jika dibandingkan dengan yang halal. Oleh karena itu, sebenarnya
yang dibutuhkan penjelasan dan perinciannya adalah pangan yang haram.
Dengan demikian, yang dibutuhkan oleh umat Islam sebenarnya adalah
“Sertifikat Haram”. Akan tetapi, dalam kenyataannya di lapangan, hal tersebut
tidak dapat diwujudkan karena sertifikat haram berdampak serius baik secara
ekonomis maupun politis. Oleh karena itu, yang diberlakukan adalah sertifikat
halal.31
8. Pengertian Sertifikasi Halal
Pengertian dari sertifikat adalah tanda yang digunakan pada produk
(barang dan/atau jasa) untuk menyatakan tentang bahan, cara pembuatan,
kualitas, ketepatan (akurasi), karakteristik, pengelolaan, pengolahan, dan
tenaga kerja dalam menghasilkan produk tersebut.32
Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia (MUI)
yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari‟at Islam.
Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin
pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang
berwenang, yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).33
31 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika…, h. 18-19.
32 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 114.
33LPPOM MUI, “Sertifikat Halal MUI”, artikel diakses pada 14 April 2017 dari http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/1.
Sedangkan sertifikasi halal merupakan proses kegiatan pembuatan surat
keterangan halal (Fatwa Halal) atau suatu produk pangan yang dibuat secara
tertulis yang dikeluarkan oleh MUI sebagai pihak yang berwenang
mengeluarkan fatwa di Indonesia.34
Sertifikat halal merupakan suatu perlindungan bagi umat Islam selaku
konsumen dari mengkonsumsi pangan yang haram. Akan tetapi, sertifikasi
halal di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary), bukan wajib
(mandatory). Hal ini menjadi salah satu penyebab masih banyaknya produk
yang beredar di Indonesia yang belum melakukan sertifikasi halal.
Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal
apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk
halal. Tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal
formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal.35
Berbeda dengan sertifikasi halal, labelisasi halal adalah pencantuman
tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa
produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal. Tujuan dari labelisasi
adalah untuk mencegah penipuan serta untuk membantu konsumen
memaksimalkan pilihan mereka terhadap produk untuk kemanfaatan atau
kesejahteraan mereka. Maka, tujuan dari label adalah untuk memberikan
informasi sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan
kebebasan konsumen untuk menggunakan hak pilihnya karena konsumen
membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada pada label.36
34 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika…, h. 13-14.
35 LP POM MUI Jawa Timur, Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal, (Surabaya: Lutfiansah Mediatama, 2004), h. 39.
36 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 115-116.
Walaupun sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan
yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Karena jika pelaku
usaha ingin mencantumkan label halal pada produknya, maka ia harus
memiliki sertifikat halal MUI terlebih dahulu. Tanpa sertifikat halal MUI,
maka iziin pencantuman label halal tidak akan diberikan oleh pemerintah.
Lembaga yang otoratif melaksanakan sertifikasi halal adalah MUI yang
secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Sedangkan kegiatan
labelisasi halal dikelola oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM).37
9. Pengertian Good Corporate Governance
Secara bahasa, Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat
menjadi GCG) merupakan tata kelola perusahaan yang baik. Istilah
“Corporate Governance” pertama kali diperkenalkan Cadbury Committee
tahun 1992 dalam laporan yang dikenal dengan Cadbury Report. Menurut
Cadbury Report, pengertian Corporate Governance adalah: “Suatu sistem
yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi.”38
Sedangkan menurut Sedarmayanti, pengertian GCG dapat disimpulkan
sebagai sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara berbagai pihak yang berkepentingan demi tercapainya tujuan
organisasi.39
GCG dimaksudkan untuk mengatur hubungan ini dan mencegah
37 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal;
Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, Cet. Pertama), h. 118.
38 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik), (Bandung: CV Mandar Maju, 2007, Cet. Pertama), h. 53.
39 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 54.
terjadinya kesalahan signifikansi dalam strategi korporasi dan untuk
memastikan kesalahan yang terjadi dapat segera diperbaiki.
Upaya penerapan praktik-praktik GCG merupakan salah satu langkah
penting yang dianggap dapat meningkatkan nilai perusahaan (corporate
value), selain tentunya mendorong pengelolaan perusahaan yang profesional,
transparan dan efisien. Penerapan praktik GCG dapat memenuhi kewajiban
seutuhnya baik kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan
masyarakat serta konsumen pada umumnya.40
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sepanjang pengetahuan peneliti, terdapat beberapa penelitian atau kajian
terdahulu yang membahas mengenai permasalahan perlindungan konsumen
terhadap sertifikasi halal, yaitu:
1. “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Produk Pangan dalam Kemasan tanpa
Label Halal pada Usaha Kecil” yang disusun oleh Inayatul Aini, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2014, membahas tentang bagaimana Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mengatur mengenai label halal bagi usaha kecil yang tidak
memiliki label halal serta upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh
konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap haknya, khususnya
dalam produk pangan tanpa label halal yang didasari oleh Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Hal yang membedakan skripsi tersebut dengan
penelitian peneliti adalah peneliti lebih menekankan apakah proses sertifikasi
halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat telah menerapkan
prinsip GCG sehingga dapat melindungi hak konsumen muslim.
40 Tunas, “Pengembangan Tata Kelola Perusahaan”, artikel dikases pada 27 Desember
2017 dari http://www.tunasgroup.com/prinsip-dasar-dan-pengembangan-tata-kelola-perusahaan/.
2. “Perlindungan Konsumen terhadap Pemalsuan Sertifikasi dan Pencantuman
Label Halal secara Ilegal” yang disusun oleh Nadiah, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014,
membahas tentang sanksi hukum apa yang dikenakan kepada pelaku usaha
yang menggunakan label halal secara ilegal dan bagaimana pengaturan
perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pemalsuan sertifikasi halal
sebuah restoran tersebut. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti meneliti
upaya perlindungan bagi konsumen muslim yang dilakukan oleh LPPOM
MUI Jawa Barat terhadap restoran di Jawa Barat, bukan meneliti restoran
yang telah memiliki label halal tetapi secara ilegal.
3. “Hukum Perlindungan Konsumen (Edisi Revisi)”. Buku karya dari Dr.
Zulham, S.H.I., M.Hum. ini membahas mengenai proses sertifikasi dan
labelisasi produk halal serta membahas mengenai badan dan lembaga
perlindungan konsumen di Indonesia secara umum. Sedangkan yang
membedakan buku tersebut dengan penelitian ini, peneliti mengkhususkan
membahas mengenai prosedur sertifikasi halal serta upaya upaya
perlindungan bagi konsumen muslim yang dilakukan oleh LPPOM MUI
Jawa Barat terhadap restoran di Jawa Barat.
4. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pemberian Label Halal Pada
Produk Makanan Dan Minuman Perspektif Hukum Perlindungan
Konsumen”, jurnal yang disusun oleh Kurniawan, Budi Sutrisno, dan Dwi
Martini, Fakultas Hukum, Universitas Mataram tahun 2014, ini membahas
tentang betapa pentingnya label halal pada suatu produk makanan dan
menjelaskan proses sertifikasi halal suatu produk makanan. Selain itu, jurnal
tersebut menjelaskan sanksi apa yang diperoleh pelaku usaha yang
mencantumkan label halal pada produk makanannya secara tidak sah.
Sedangkan yang membedakan dengan penelitian ini, Peneliti tidak
membahas mengenai sanksi pelaku usaha yang menyalahgunakan label halal,
tetapi membahas penerapan prinsip GCG dalam proses sertifikasi halal.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa belum terdapat
kajian terdahulu yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
D. Kerangka Pemikiran
Perkembangan ekonomi yang pesat membuka peluang bisnis bagi
masyarakat. Aneka jenis produk makanan olahan, minuman beraneka rasa, kini
dapat dengan mudah diperoleh. Semua itu dibuat dari berbagai macam bahan
yang telah diolah dengan mesin berteknologi tinggi dan campuran bahan-bahan
kimiawi lainnya sehingga sulit dikenali asal usul bahan baku produk tersebut.
Hal ini menjadikan konsumen selaku pemakai terakhir dari produk pangan yang
dihasilkan oleh pelaku usaha tidak mengetahui bahan baku dan proses produk
pangan tersebut.
Ini tentu menjadi salah satu polemik bagi masyarakat di Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya merupakan muslim. Oleh sebab itu, jaminan akan
produk halal menjadi suatu hal yang penting untuk mendapatkan perhatian dari
pemerintah. Umat muslim, selaku konsumen, memiliki hak untuk mengetahui
apakah makanan dan minuman yang akan dikonsumsinya halal atau haram.
Sehingga konsumen muslim mendapatkan kenyamanan atas makanan dan
minuman yang akan dikonsumsinya tersebut.
Mengenai hal ini, pada Pasal 7 huruf b Undang-Undang Perlindungan
Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa. Dapat diambil kesimpulan secara implisit, bahwa pelaku usaha
restoran memiliki kewajiban memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai produk pangan yang mereka jual halal atau haram. Tentunya pelaku
usaha restoran dapat memberikan informasi tersebut dengan cara melakukan
sertifikasi halal untuk menguji apakah produk pangan yang mereka jual aman
dikonsumsi oleh umat muslim atau tidak. Jika restoran tersebut lolos proses
sertifikasi halal dan telah jelas restoran tersebut dinyatakan halal, maka pelaku
usaha mendapatkan sertifikat halal. Selain itu, perlindungan yang diberikan
kepada konsumen muslim lebih ditegaskan pada Pasal 4 Undang-Undang
Jaminan Produk Halal yang menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar,
dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Di Indonesia, status hukum mengenai halal atau tidaknya suatu produk dapat
dilihat dari apakah produk tersebut memiliki label halal atau tidak. Dimana label
halal ini sangat erat kaitannya dengan sertifikasi halal, dikarenakan untuk
memperoleh label halal pada suatu produk, pelaku usaha perlu melaksanakan
sertifikasi halal terlebih dahulu. Sertifikasi halal didefinisikan sebagai suatu
kegiatan pengujian secara sistematis untuk mengetahui apakah suatu produk
yang diproduksi telah memenuhi ketentuan halal atau belum.
Sertifikasi halal dilaksanakan melalui audit atau pemeriksaan oleh LPPOM
MUI Pusat/Daerah dan Penetapan Fatwa tentang produk makanan dan minuman
halal oleh Komisi Fatwa, sehingga menghasilkan sertifikat halal. Tentunya
dalam melaksanakan proses sertifikasi halal dari hulu sampai hilir harus
menerapkan prinsip GCG, sehingga sertifikat halal yang dihasilkan dari proses
sertifikasi tersebut benar-benar telah menjamin keamanan bagi konsumen
muslim. Setelah mendapatkan sertifikat halal, pelaku usaha diwajibkan menjaga
konsistensi kehalalan produk yang dijualnya dengan mengimplementasikan
Sistem Jaminan Halal (SJH) dalam produksi pada restorannya secara
berkesinambungan.
Penerapan prinsip GCG dari hulu sampai hilir dalam proses sertifikasi halal
dan penjagaan konsistensi kehalalan produk melalui implementasi Sistem
Jaminan Halal oleh pelaku usaha inilah yang merupakan bentuk dari
perlindungan konsumen. Adapun kerangka pemikiran peneliti dituangkan dalam
gambar di bawah ini:
Gambar II.I
Kerangka Pemikiran Sumber: Olahan Peneliti
Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal: Produk yang dijual di Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk mendapatkan Sertifikat Halal, maka pelaku usaha harus melakukan Sertifikasi Halal.
Implementasi Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen adalah dengan Pelaku usaha memberikan informasi mengenai pangan yang dijual di restorannya melalui Sertifikat Halal. Untuk mendapatkan Sertifikat Halal, maka pelaku usaha harus melakukan Sertifikasi Halal.
SERTIFIKASI HALAL
LPPOM MUI Pusat/Daerah
Proses Audit
Penetapan Fatwa Komisi Fatwa MUI
Sertifikat Halal
Menjaga Konsistensi Kehalalan Produk
Implementasi Sistem Jaminan
Halal
Menerapkan Prinsip GCG
dari hulu sampai
hilir
Bentuk dari Perlindungan Konsumen
37
BAB III
DATA PENELITIAN
A. Pengertian dan Prinsip Good Corporate Governance
Istilah “Corporate Governance” pertama kali diperkenalkan Cadbury
Committee tahun 1992 dalam laporan yang dikenal dengan Cadbury Report.
Menurut Cadbury Report, pengertian Corporate Governance adalah: “Suatu
sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi.”1
Selain itu, menurut Budiantoro, inti Corporate Governance adalah sistem tata
laksana perusahaan.2
Sedangkan menurut Sedarmayanti, pengertian Good Corporate Governance
(selanjutnya disingkat menjadi GCG) dapat disimpulkan sebagai sistem, proses,
dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang
berkepentingan demi tercapainya tujuan organisasi.3
Isu-isu yang menyangkut corporate governance sudah terjadi sejak tahun
1970-an sampai dengan sekarang, karena organisasi-organisasi publik maupun
privat tidak distrukturkan, tidak dioperasikan dan tidak dikendalikan dengan
prinsip-prinsip tersebut.4
Upaya penerapan praktik-praktik GCG merupakan salah satu langkah
penting yang dianggap dapat meningkatkan nilai perusahaan (corporate value),
selain tentunya mendorong pengelolaan perusahaan yang profesional, transparan
dan efisien. Penerapan praktik GCG dapat memenuhi kewajiban seutuhnya baik
kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan masyarakat serta
1 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik) (Bandung: CV Mandar Maju, 2007, Cet. Pertama), h. 53.
2 Panji Ardiansyah, Etika Bisnis (Yogyakarta: Quadrant, 2017, Cet. Pertama), h. 434.
3 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 54.
4 Panji Ardiansyah, Etika Bisnis…, h. 430.
konsumen pada umumnya.5
Adapun efektivitas penerapan Corporate
Governance ditandai dengan terdapatnya keseimbangan (balance) dari berbagai
perangkat (subsystem) yang terdapat di dalam mekanisme sistem Corporate
Governance itu sendiri.6
Prinsip-prinsip GCG digolongkan menjadi 5 (lima) buah prinsip dasar, yang
meliputi:
1. Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan
informasi materiil dan relevan,7
dengan cara yang mudah diakses dan
dimengerti oleh stakeholders.8 Transparansi dilakukan dengan cara:
9
a. Mengungkapkan informasi secara benar, tepat waktu, memadai dan dapat
diperbandingkan serta mudah diakses;
b. Kebijakan dan informasi tentang perusahaan dan organ-organ perusahaan
harus tertulis dan dikomunikasikan kepada stakeholders yang berhak;
c. Informasi lain yang perlu diketahui publik (termasuk stakeholders) wajib
dikomunikasikan secara tertulis melalui website perusahaan;
d. Transparansi yang dianut perusahaan dilaksanakan tanpa mengurangi
kewajiban untuk melindungi informasi rahasia perusahaan.
5 Tunas, “Pengembangan Tata Kelola Perusahaan”, artikel dikases pada 27 Desember
2017 dari http://www.tunasgroup.com/prinsip-dasar-dan-pengembangan-tata-kelola-perusahaan/.
6 Niki Lukviarman, Corporate Governance (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2016), h. 130.
7 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 57.
8 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance), (T.tt.: T.tp., 2016), h. 5.
9 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)…, h. 5.
2. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana
secara efektif.10
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk
mencapai kinerja yang berkesinambungan.11
Prinsip akuntabilitas dalam
perusahaan antara lain:12
a. Adanya kejelasan mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing
organ perusahaan secara terperinci;
b. Kesesuaian kompetensi semua organ perusahaan dan karyawan dengan
tugas dan tanggung jawab masing-masing dan pemahaman peran masing-
masing dalam pelaksanaan GCG;
c. Adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan
perusahaan;
d. Kinerja yang terukur dari semua jajaran dalam organisasi perusahaan
berdasarkan kriteria dan penilaian yang disepakati dan sesuai dengan
nilai Perusahaan (Corporate Value), sasaran usaha dan strategi
perusahaan dan dilengkapi sistem „reward and punishment‟;
e. Etika bisnis dan standar perilaku (code of conduct) sebagai dasar
pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab setiap organ perusahaan dan
semua karyawan.
3. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang
10 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h.57.
11 Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia (Jakarta: T.tp., 2006), h. 5.
12 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)…, h. 5-6.
berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.13
Prinsip pertanggung-
jawaban diwujudkan perusahaan dengan cara:14
a. Menjadikan prinsip kehati-hatian sebagai pegangan, mematuhi anggaran
dasar dan kebijakan perusahaan serta perundang-undangan dan peraturan
yang berlaku;
b. Menjadi Good Corporate Citizen dengan cara meminimalkan dampak
negatif operasional perusahaan terhadap lingkungan dan memenuhi
tanggung-jawab sosial terhadap masyarakat disekitarnya.
4. Kemandirian (Independency), yaitu suatu keadaan di mana
perusahaan/organisasi dikelola secara profesional tanpa benturan
kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
korporasi yang sehat.15
Untuk mencapai kemandirian, perusahaan wajib
memastikan bahwa:16
a. Setiap organ Perusahaan melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung-jawab
masing-masing sesuai ketentuan yang termuat dalam anggaran dasar,
undang-undang dan peraturan yang berlaku;
b. Pencegahan terjadinya: dominasi dan/atau intervensi/tekanan antar organ
dan oleh pihak-pihak lain, saling lempar tanggung jawab, pengaruh
kepentingan tertentu dan benturan kepentingan, sehingga pengambilan
keputusan dapat terlaksana secara objektif dan profesional.
13 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 57.
14 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)…, h. 6.
15 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 57.
16 PT Pyridam Farma, Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)…, h. 6.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di
dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.17
Perwujudannya adalah
dengan cara memberikan perlakuan setara dan wajar kepada setiap dan
semua stakeholders sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan
kepada perusahaan.
B. Lembaga yang Berwenang dalam Proses Sertifikasi Halal
1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Sebagaimana diatur pada Pasal 1 Keputusan Menteri Agama Nomor 519
Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, Majelis
Ulama Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi MUI) ditunjuk oleh Menteri
Agama sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan halal yang
dinyatakan halal, yang dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia.
Salah satu tugas pokok MUI adalah memberikan fatwa dan nasihat baik
kepada pemerintah dan kaum muslimin mengenai berbagai persoalan baik
yang berkaitan dengan persoalan-persoalan keagamaan maupun persoalan-
persoalan kemasyarakatan pada umumnya. Ini merupakan tugas pokok MUI
sebagai wadah berkumpulnya para ulama.18
Tugas MUI sebagai pemberi fatwa yang berkaitan dengan produk
pangan, obat-obatan dan kosmetika telah mengantarkan MUI sebagai
lembaga sertifikasi halal di Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka
memberikan bimbingan dan layanan kepada umat dalam mengkonsumsi
berbagai produk yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
17 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik)…, h. 57.
18 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, Cet. Pertama), h. 36.
Fatwa jenis ini dihasilkan oleh Komisi Fatwa MUI dan biasa disebut Fatwa
Halal. Selanjutnya, fatwa-fatwa tersebut kemudian diproses oleh MUI
menjadi Sertifikat Halal.
Kedudukan MUI terhadap produk halal adalah sentral dan sangat penting
karena keberadaan MUI diposisikan sebagai induk organisasi keislaman.
Dinamika MUI dalam melayani kepentingan umat Islam dalam hal sertifikasi
halal ditunjang dengan dibentuknya Komisi Fatwa MUI dan Lembaga
Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(selanjutnya disingkat menjadi LPPOM MUI) sebagai lembaga yang khusus
menangani hukum pangan, obat-obatan dan kosmetika.
2. Komisi Fatwa MUI
Komisi fatwa MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas
memberikan nasihat hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu
hukum Islam terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi umat Islam.
Keanggotaan komisi fatwa mewakili seluruh organisasi Islam yang ada di
Indonesia.19
Fatwa ulama memang tidak menjadi bagian dalam sistem hukum dan
perundang-undangan di Indonesia, bahkan dalam struktur kelembagaan
negara juga tidak dikenal kata mufti atau lembaga fatwa. Hakikat dasar fatwa
sesungguhnya hanyalah sebuah legal opinion yang tidak mengikat. Namun
kenyataannya, fatwa bagi umat Islam di Indonesia tidak saja dipahami
sebagai pendapat hukum yang tidak mengikat, tetapi fatwa ulama sudah
menjadi acuan dan pedoman pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari.20
19 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI (Jakarta: LPPOM MUI,
2008), h. 10.
20 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 37.
MUI sebagai wadah perkhidmatan ulama kepada umat Islam di Indonesia
mempunyai beberapa fungsi dan tugas yang salah satunya adalah memberi
fatwa sebagaimana telah dijelaskan pula sebelumnya. Proses fatwa dilakukan
oleh Komisi Fatwa dan bertanggung jawab mengeluarkan fatwa yang perlu
memperhatikan sejumlah prinsip, kode etik dan persyaratan sangat ketat.21
Proses penetapan fatwa tentang produk makanan dan minuman halal pada
prinsipnya sama dengan penetapan fatwa pada umumnya. Perbedaannya
terletak pada proses rapat penetapan fatwa dilakukan bersama antara Komisi
Fatwa dengan LPPOM MUI selaku lembaga pemeriksa. LPPOM MUI
terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit ke pabrik atau perusahaan
yang telah mengajukan permohonan sertifikat halal. Hasil audit tersebut
nantinya akan dibahas di LPPOM MUI dan dituangkan dalam “laporan hasil
auditing” yang selanjutnya dibawa ke dalam rapat Komisi Fatwa.
Prosedur dan mekanisme penetapan fatwa produk halal, secara singkat
dapat dijelaskan sebagai berikut:22
a. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada auditor LPPOM MUI
tentang benda-benda haram menurut syari‟at Islam, dalam hal ini benda
haram li-dzatihi dan haram li-ghairihi yang karena cara penanganannya
tidak sesuai dengan syariat Islam. Para auditor harus memiliki
pengetahuan memadai tentang benda-benda haram tersebut.
b. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik
(perusahaan) yang meminta sertifikasi halal. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi: (i) pemeriksaan secara seksama terhadap ingredient produk,
21 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal;
Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 39.
22 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 41-42.
baik bahan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong; (ii)
pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk; (iii) cara
pemotongan hewan untuk produk hewani atau mengandung mengandung
unsur hewani.
c. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa secara teliti dan tidak jarang
menggunakan laboratorium, terutama bahan-bahan yang dicurigai
sebagai benda haram atau mengandung benda haram untuk mendapatkan
kepastian.
d. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari
satu kali dan tidak jarang pula para auditor mengharuskan agar
mengganti suatu bahan yang dicurigai mengandung bahan yang haram
dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau sudah bersertifikat halal
dari MUI.
e. Hasil pemeriksaan dan audit LPPOM MUI tersebut kemudian dituangkan
dalam laporan hasil auditing yang kemudian dibawa ke komisi fatwa
MUI untuk dibahas dalam rapat.
f. Dalam rapat komisi fatwa, direktur LPPOM MUI menyampaikan dan
menjelaskan isi laporan hasil auditing, dan kemudian dibahas secara teliti
dan mendalam oleh peserta rapat komisi.
g. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan
kehalalannya atau terdapat bukti pembelian produk yang dipandang tidak
transparan oleh rapat komisi dikembalikan kepada LPPOM MUI untuk
dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan yang
bersangkutan.
h. Produk yang diyakini kehalalannya oleh rapat komisi, diputuskan fatwa
halalnya oleh rapat komisi.
i. Hasil rapat komisi tersebut kemudian dituangkan dalam surat keputusan
fatwa produk halal yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris komisi
fatwa. Selanjutnya diterbitkan sertifikat halal yang ditandatangani oleh
ketua komisi fatwa, direktur LPPOM MUI dan ketua umum MUI.
3. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
LPPOM MUI dibentuk pada 6 Januari 1989 sebagai respon atas
keresahan masyarakat terhadap maraknya peredaran produk pangan yang
mengandung lemak babi.23
LPPOM MUI merupakan lembaga swasta yang
tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Lembaga ini berada di bawah
MUI yang telah mengorbitkannya, hanya saja LPPOM MUI memiliki
kebebasan penuh dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, LPPOM
MUI merupakan badan otonom di bawah MUI. Namun Menteri Agama
Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dan Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia masuk ke dalam jajaran Dewan Penasihat
Lembaga.24
LPPOM MUI adalah lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji,
menganalisis dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan
turunannya, obat-obatan dan kosmetika aman dikonsumsi baik dari sisi
kesehatan dan dari sisi agama Islam (yakni halal dan baik untuk dikonsumsi
bagi umat Islam) khususnya di wilayah Indonesia, memberikan rekomendasi,
merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.25
Tugas LPPOM MUI hanya melakukan pengkajian secara ilmiah terhadap
bahan-bahan pangan dan tidak berwenang dalam mengeluarkan fatwa.26
23 LP POM-MUI, Jurnal Halal: Menenteramkan Umat, Nomor 111/XVIII/2015, h. 14. 24 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut
Al-Qur’an dan Hadits (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2013, Cet. Kedua), h. 259. 25 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal;
Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 46-47.
26 Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadits…, h. 259.
Kedudukan LPPOM MUI di Indonesia adalah sebagai lembaga semi otonom
yang memiliki tugas khusus di bidang keselamatan pangan umat Islam dari
zat-zat additive. Kedudukan LPPOM MUI berada pada MUI pusat dan
Provinsi. Dengan demikian jelaslah bahwa lembaga ini bukan termasuk
badan fatwa melainkan hanya sebagai badan penelitian saja.
Penetapan fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, obat-
obatan dan kosmetika dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI setelah dilakukan
audit oleh LPPOM MUI serta melaporkannya kepada Komisi Fatwa tersebut.
Laporan dari LPPOM MUI kemudian dibawa ke dalam sidang Komisi
Fatwa. Komisi Fatwa MUI selanjutnya menetapkan halal atau tidaknya
produk tersebut berdasarkan berita acara penelitian yang disampaikan
LPPOM MUI. Setelah semua proses tersbeut dilalui, barulah kemudian
dikeluarkan sertifikat halal kepada produk tersebut.27
C. Prosedur Sertifikasi Produk Halal pada LPPOM MUI
1. Proses Sertifikasi Halal
Sebelum mengajukan sertifikasi halal, pelaku usaha harus memahami dan
memenuhi persyaratan sertifikasi halal sebagaimana tercantum dalam Halal
Assurance System 23000 (selanjutnya disebut sebagai HAS 23000) dan juga
mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal (selanjutnya disingkat menjadi
SJH) yang diadakan oleh LPPOM MUI.28
Bagi pelaku usaha yang akan
27 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal;
Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 48-49.
28 KlikLegal.com, “Ini Delapan Tahap untuk Mendapatkan Sertifikat Halal”, artikel diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 dari https://kliklegal.com/ini-delapan-tahap-untuk-mendapatkan-sertifikat-halal/.
mendaftarkan sertifikasi halal untuk produknya diwajibkan menerapkan 11
(sebelas) kriteria SJH yang telah ditetapkan di dalam HAS 23000, yaitu:29
1. Manajemen puncak perusahaan harus menetapkan kebijakan halal dan
mensosialisasikan kebijakan halal tersebut kepada seluruh pemangku
kepentingan (stakeholder) restoran. Kebijakan halal dituangkan
manajemen puncak perusahaan dalam bentuk tertulis.
2. Adanya Tim Manajemen Halal perusahaan.
3. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan pelatihan.
Pelatihan internal harus diadakan minimal setahun sekali dan pelatihan
eksternal harus diadakan minimal dua tahun sekali.
4. Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang disertifikasi wajib
halal. Perusahaan harus memiliki dokumen pendukung untuk semua
bahan yang digunakan.
5. Merek serta desain produk yang disertifikasi tidak boleh mengarah
kepada produk haram atau tidak sesuai dengan syariat Islam atau yang
telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI.
6. Sarana atau fasilitas produksi yang dipakai hanya dikhususkan untuk
produksi halal dan tidak boleh dicampurkan/terkontaminasi dengan bahan
haram/najis.
7. Adanya prosedur tertulis aktivitas kritis, yaitu aktivitas pada rantai
produksi yang dapat mempengaruhi status kehalalan produk yang
disertifikasi.
8. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menjamin
kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari bahan yang
halal dan diproduksi di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria halal
(disetujui LPPOM MUI).
29 LPPOM MUI, “Persyaratan Sertifikasi Halal MUI”, artikel diakses pada 15 Januari 2018
dari http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/58/1366/page/1
9. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menangani produk
yang tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan LPPOM MUI,
yaitu tidak dijual ke konsumen yang mempersyaratkan produk halal dan
jika terlanjur terjual maka harus ditarik kembali.
10. Perusahaan harus memiliki prosedur tertulis audit internal pelaksanaan
SJH. Audit internal dilakukan minimal 6 (enam) bulan sekali dan
dilaksanakan oleh auditor internal yang kompeten dan independen. Hasil
audit internal ini selanjutnya disampaikan kepada LPPOM MUI dalam
bentuk laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.
11. Manajemen puncak harus melakukan kajian ulang manajemen minimal 1
(satu) kali dalam setahun untuk menilai efektifitas penerapan SJH dalam
perusahaannya dan merumuskan perbaikan berkelanjutan.
Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan bagian tak terpisahkan dalam
proses sertifikasi halal. SJH adalah kerangka kerja yang dipantau terus
menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif
bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. Hal ini perlu dilakukan
mengingat adanya peluang perubahan baik secara internal maupun eksternal.30
Sistem jaminan halal harus memuat lima komponen sebagai berikut:
a. Penetapan kebijakan halal perusahaan (Halal Policy); Penetapan
kebijakan halal adalah hal utama yang harus dilakukan oleh perusahaan.
Kebijakan halal merupakan pernyataan tertulis tentang komitmen
perusahaan untuk pemproduksi produk halal secara konsisten, mencakup
konsistensi dalam penggunaan dan pengadaan bahan baku, bahan
tambahan dan bahan penolong serta konsistensi dalam proses produksi
halal.
30 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI…, h. 13.
b. Perencanaan sistem jaminan halal; Setelah melakukan penetapan
kebijakan halal, perusahaan menyusun perencanaan sistem jaminan halal
(planning). Perusahaan menyusun manual SJH standar.
c. Pelaksanaan sistem jaminan halal; Setelah menetapkan kebijakan halal
dan menyusun perencanaan SJH, perusahaan melaksanakan semua yang
telah direncanakan seperti tertulis dalam manual SJH yang telah disusun
sebelumnya. Hal ini didukung dengan bukti-bukti pelaksanaannya.
d. Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan sistem jaminan halal;
Selanjutnya, pelaku usaha melakukan pemeriksaan intern (audit internal)
serta mengevaluasi apakah sistem halal yang menjamin kehalalan produk
ini dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak. Perusahaan memantau
dan mengevaluasi seberapa jauh pencapaian pelaksanaan dapat
memenuhi tujuan sesuai yang direncanakan.
e. Tindakan perbaikan dan pencegahan terhadap ketimpangan pelaksanaan
sistem jaminan halal. Terakhir, perusahaan melakukan tindakan
perbaikan dan pencegahan terhadap ketimpangan pelaksanaan sistem
jaminan halal (corrective action). Perusahaan memperbaiki kesalahan
dan belajar dari kesalahan serta meperbaiki perencanaannya untuk
mencapai hasil yang lebih baik.
Selain menerapkan SJH, perusahaan juga perlu melakukan pelatihan bagi
seluruh jajaran pelaksana SJH. Pelatihan harus melibatkan semua personal
yang pekerjaannya mungkin mempengaruhi status kehalalan produk. Tujuan
pelatihan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman karyawan tentang
pengertian halal haram, pentingnya kehalalan suatu produk, titik kritis bahan
dan proses produksi, dan memahami SJH.31
Setelah menerapkan SJH dan
mengikuti pelatihan, barulah pelaku usaha mengajukan permohonan
31 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM MUI…, h. 26.
sertifikat halal kepada MUI. Prosedur untuk mendapatkan sertifikat halal
tersebut adalah sebagai berikut.32
a. Pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal dapat melakukan
pendaftaran secara offline dan online. untuk pendaftaran secara offline,
perusahaan dapat melakukan pendaftaran di LPPOM MUI Pusat atau
Daerah (sesuai dengan wilayah perusahaan). Sedangkan untuk
pendaftaran secara online dapat dilakukan melalui website LPPOM MUI
(www.halalmui.org).
b. Pelaku usaha yang bersangkutan mengisi formulir. Terdapat tiga jenis
formulir yang disediakan oleh LPPOM MUI, yaitu formulir untuk produk
olahan, produk restoran dan penyembelihan hewan. Kemudian formulir
tersebut dikembalikan ke sekretariat LPPOM MUI dengan melampirkan:
(1) spesifikasi dan sertifikasi halal bahan baku, bahan tambahan, dan
bahan penolong; (2) sertifikat halal penyembelihan hewan untuk produk
yang menggunakan bahan yang berasal dari produk hewani; (3) SJH yang
diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaannya.
Pelaku usaha juga harus harus menyiapkan dokumen sertifikasi halal,
antara lain:
1) daftar produk;
2) daftar bahan dan dokumen bahan;
3) data perusahaan;
4) data matriks produk;
5) diagram alir proses;
6) manual SJH bagi perusahaan baru atau revisi manual SJH bagi
perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal sebelumnya;
7) sertifikat halal atau sertifikat SJH (bagi perusahaan yang telah
memiliki sertifikat halal sebelumnya);
32 LPPOM MUI, HAS 23000: Persyaratan Sertifikasi Halal, (T.tp.: t.t., 2012), h. 7-12
8) daftar alamat seluruh fasilitas produksi;
9) bukti sosialisasi/diseminasi kebijakan halal kepada seluruh
stakeholder perusahaan;
10) bukti pelaksanaan pelatihan internal;
11) bukti pelaksanaan audit internal.
c. Pelaku usaha melakukan pembayaran akad melalui transfer ke rekening
LPPOM MUI. Kemudian pelaku usaha mengirimkan akad sertifikasi
yang sudah ditandatangani dan dicap beserta bukti transfer ke LPPOM
MUI. Setelah akad sertifikasi diterima, maka bagian keuangan akan
menginformasikan ke bagian auditing agar dapat dilakukan penjadwalan
audit.
d. Setelah itu, LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan kecukupan
dokumen. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan belum terpenuhinya
persyaratan pendaftaran, maka Bidang Auditing mengirimkan Pre Audit
Memorandum yang berisi tentang semua kekurangan yang harus
ditindaklanjuti pelaku usaha. Setelah semua kekurangan dipenuhi
perusahaan dan dokumen dinyatakan lengkap dan akad sertifikasi lunas,
maka Bidang Auditing dapat melakukan penjadwalan audit.
e. Setelah waktu audit ditetapkan, Bidang Auditing memberikan jadwal
audit dan hal-hal lain yang berkaitan dnegan pelaksanaan audit secara
tertulis kepada perusahaan. Pada hari yang telah dijadwalkan, audit
dilaksanakan oleh Tim Auditor LPPOM MUI. Auditor akan melakukan
pemeriksaan dokumen, pengamatan/observasi lapangan dari penerimaan
bahan baku hingga penyimpanan produk akhir, pemeriksaan fisik bahan
dan pengambilan sampel (jika dibutuhkan). Audit dilaksanakan di semua
fasilitas yang berkaitan dengan produk yang disertifikasi. Untuk
restoran/katering, audit dilaksanakan di kantor pusat, gudang distribusi
dan outlet/gerai/tenpat penyajian, supplier, produsen produk titipan,
tempat RPH (Rumah Potong Hewan)/RPA (Rumah Potong Ayam), bila
daging atau ayam tidak dilengkapi sertifikat halal.
f. Hasil pemeriksaan atau audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam
rapat ahli LPPOM MUI, yang meliputi audit kelengkapan dokumen dan
audit lapangan. Jika memenuhi persyaratan, maka hasil tersebut diajukan
kepada rapat Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.
g. Pembahasan hasil audit yang dilakukan di lingkungan LPPOM MUI
(rapat auditor).
h. Setelah seluruh dokumen sertifikasi halal suatu restoran telah lengkap,
maka dokumen diajukan ke Komisi Fatwa untuk dilakukan pembahasan
dan penilaian dalam Rapat Komisi Fatwa, apakah restoran berhak
mendapatkan sertifikat halal atau tidak. Pembahasan laporan hasil audit
yang dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI bersama dengan LPPOM MUI
untuk menentukan status kehalalannya. Setelah melakukan pembahasan
secara mendalam dan komprehensif serta memperhatikan pendapat dan
pandangan yang berkembang, akhirnya ditetapkan Keputusan Fatwa yang
selanjutnya dituangkan ke dalam tulisan, yang disebut dengan Sertifikat
Halal.
i. Perusahaan yang lolos sertifikasi halal selanjutnya memperoleh Sertifikat
Halal. Sertifikat Halal dapat diambil di Kantor LPPOM MUI atau
dimintakan untuk dikirmkan ke alamat pelaku usaha. CD yang berisi file
logo halal MUI diberikan bersamaan dengan penyerahan sertifikat halal.
Untuk lebih jelasnya, berikut prosedur sertifikasi halal dalam bentuk
diagram alir di bawah ini:
Gambar IV.I
Diagram Alir Proses Sertifikasi Halal
Sumber: http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/58/1366/page/1
Selanjutnya, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha tetap harus
menerapkan Sistem Jaminan Halal. Sistem Jaminan Halal (SJH) dianggap
efektif untuk diterapkan dalam proses berlakunya sertifikasi. Karena SJH
merupakan kerangka kerja yang harus dipantau terus-menerus dan dikaji
secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan
kegiatan proses produksi halal, mengingat adanya peluang perubahan baik
secara internal maupun secara eksternal.
Dalam hal pengawasan SJH, Auditor Halal Internal perusahaan yang
bertugas mengawasi sistem produksi halal pada produk mereka. Di samping
itu, pelaku usaha juga wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim
Sidak (inpeksi Mendadak) LPPOM MUI yang akan melakukan inspeksi
mendadak bila diperlukan. Perusahaan juga berkewajiban menyerahkan
laporan audit internal setiap enam bulan setelah terbitnya sertifikasi halal.
2. Tata Cara Pemeriksaan (Audit) di Lokasi Produsen
Pemeriksaan produk halal di lokasi perusahaan dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a. Surat resmi dikirim oleh LPPOM MUI ke perusahaan yang akan
diperiksa. Surat tersebut memuat jadwal audit pemeriksaan dan
persyaratan administrasi lainnya.
b. LPPOM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi: (i)
nama ketua tim dan anggota tim; (ii) penetapan hari dan tanggal
pemeriksaan.
c. Pada waktu yang telah ditentukan Tim Auditor yang telah dilengkapi
dengan surat tugas dan identitas diri, akan mengadakan pemeriksaan
(auditing) ke perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat halal.
Selama pemeriksaan, pelaku usaha diminta memberikan informasi yang
jujur dan jelas mengenai produknya.
d. Pemeriksaan (audit) produk halal meliputi: (i) manajemen produsen
dalam menjamin kehalalan produk; (ii) observasi lapangan; (iii)
pengambilan contoh, hanya untuk bahan yang dicurigai mengandung babi
atau turunannya, yang mengandung alkohol dan yang dianggap perlu.
3. Masa Berlaku dan Perpanjangan Sertifikat Halal
Apabila masa berlaku sertifikat halal telah habis, pelaku usaha yang
bersangkutan dapat mengajukan perpanjangan. Permohonan tersebut disertai
dengan formulir isian yang menjelaskan perkembangan terakhir produknya.
Apabila terjadi perubahan bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong
serta jenin dan pengelompokkan produk, maka hal itu harus disampaikan
kepada LPPOM MUI. Untuk itu, pelaku usaha tersebut harus melengkapi
dokumen terbaru tentang bagan alir proses, spesifikasi, dan bukti pembelian
bahan yang dipakai. Setelah itu, proses selanjutnya sama seperti proses pada
saat pertama kali mengajukan sertifikat halal.33
Beberapa ketentuan masa berlaku sertifikat produk halal, yaitu:
a. Sertifikat halal hanya berlaku selama dua tahun. Tanggal mulai
berlakunya sertifikat halal adalah tanggal penetapan status halal produk
oleh rapat komisi fatwa.34
b. Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, LPPOM MUI
akan mengirmkan surat pemberitahuan kepada pelaku usaha yang
bersangkutan.
c. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, pelaku usaha
harus daftar kembali untuk sertifikat halal yang baru.
d. Pelaku usaha yang tidak memperbarui sertifikat halalnya tidak diizinkan
lagi menggunakan sertifikat halal tersebut dan dihapus dari daftar yang
terdapat yang terdapat dalam majalah resmi LPPOM MUI.
e. Jika sertifikat halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke
LPPOM MUI.35
33 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama)…, h. 131.
34 LPPOM MUI, HAS 23000: Persyaratan Sertifikasi Halal..., h. 11
35 Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia…, h. 92-93.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Sertifikasi Halal sebagai Bentuk Legitimasi Kehalalan Produk
di Indonesia
Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat). Maka akibat dari
pernyataan negara hukum tersebut, di negara ini hukum menjadi pedoman,
acuan, ataupun dasar dalam bersikap dan bertindak. Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945)
merupakan sumber hukum tertinggi yang menjadi landasan dan acuan bagi
pembentukan dan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan lain yang berada
di bawahnya.
Pasal 28E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara
Indonesia tidak hanya memberikan jaminan kebebasan kepada penduduknya
untuk memilih dan memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-
masing namun juga telah memberikan jaminan keamanan untuk melaksanakan
aktivitas keagamaannya secara penuh. Dengan demikian, untuk menjamin setiap
pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing,
negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan untuk setiap
pemeluk agama tersebut.
Islam sebagai salah satu agama yang terikat pada hukum syariah, memiliki
hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaan ajaran agama
Islam dalam kehidupan sehari-hari, termasuk salah satunya adalah aspek pangan.
Pangan bagi umat Islam tidak hanya semata-mata sebagai pemenuhan kebutuhan
lahiriah tetapi juga merupakan bagian dari kebutuhan spiritual. Karena makanan
yang dikonsumsi juga mempengaruhi hubungan manusia dengan Tuhannya
(hablumminallah). Oleh karena itu, masalah halal dan haram dalam Islam
memiliki kedudukan yang sangat penting sehingga aspek kehalalan suatu pangan
yang akan dikonsumsi oleh seorang muslim mutlak harus memperoleh
perlindungan.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makanan halal adalah penyebab
diterimanya doa dan ibadah, sedangkan makanan haram penyebab ditolaknya
doa dan ibadah. Pendapat Imam Ibnu Katsir ini didasarkan pada satu hadits yang
menyatakan Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Maha Baik dan tidak
menerima kecuali sesuatu yang baik.1 Pernyataan Ibnu Katsir ini mengisyaratkan
bahwa pengaturan perihal adanya makanan yang diharamkan dalam agama Islam
pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan terhadap jasmani dan rohani
seorang muslim.
Selain itu, Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa pengharaman terhadap
suatu hal terjadi karena adanya suatu keburukan dan kemudharatan, karena itu
sesuatu yang mudharatnya mutlak adalah haram dan yang manfaatnya mutlak
adalah halal. Sedangkan yang mudharatnya lebih besar dibandingkan dengan
manfaatnya adalah haram dan yang manfaatnya lebih besar adalah halal.2
Berdasarkan penjabaran di atas, didapatkan sebuah kesimpulan bahwa Islam
sangat menekankan kewajiban bagi umatnya untuk mengkonsumsi pangan yang
halal dan thayyib, yaitu makanan yang baik serta bergizi. Umat muslim harus
menjaga makanannya dari unsur haram, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Maka umat muslim harus senantiasa waspada dan lebih kritis terhadap
perkembangan tekonologi pangan yang dapat menghasilkan berbagai macam
produk melalui proses tertentu, agar terhindar dari produk pangan haram. Begitu
pula apabila umat muslim ingin mengkonsumsi pangan pada sebuah restoran.
Mereka harus mengetahui produk pangan yang terdapat di restoran tersebut
1 M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh, Halal
Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan, (Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, 2007), h. 23.
2 Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam (Jakarta: Era Intermedia, t.th.), h. 52.
sudah terjamin kehalalannya atau belum. Oleh karena itu, umat muslim perlu
mengetahui informasi yang jelas dan benar tentang kehalalan produk pangan
yang akan dikonsumsinya di restoran tersebut. Informasi mengenai kehalalan
produk pangan pada suatu restoran disampaikan kepada masyarakat melalui
sertifikat halal. Dengan demikian, restoran yang telah memiliki sertifikat halal
telah membuat umat muslim merasa tenang dan tenteram dalam mengkonsumsi
produk pangan karena sudah jelas informasi mengenai kehalalannya.
Apabila ditinjau dalam perspektif hukum positif di Indonesia, peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan produk halal adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen), Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (selanjutnya disebut dengan
Undang-Undang Pangan), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal) dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan.
Pada Pasal 4 huruf a dan c Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur
secara eksplisit bahwa konsumen berhak mendapatkan jaminan perlindungan
hukum atas hak-haknya sebagai berikut:
a. Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
Berdasarkan Pasal 4 huruf a dan c Undang-Undang Perlindungan Konsumen
di atas, sudah jelas bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa, demi keamanan,
kenyamanan dan keselamatan mereka. Artinya, dalam hal ini Undang-Undang
Perlindungan Konsumen secara implisit mengamanatkan bahwa umat muslim,
selaku konsumen, memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai produk pangan yang akan dikonsumsinya halal atau haram,
sehingga konsumen muslim mendapatkan kenyamanan dan ketenteraman atas
produk pangan yang akan dikonsumsinya tersebut. Selanjutnya, Pasal 7 huruf b
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai kewajiban pelaku
usaha untuk “Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan”.
Berdasarkan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen di
atas, sudah sangat jelas bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa. Artinya, dalam hal ini Undang-Undang Perlindungan Konsumen
secara implisit mengamanatkan bagi pelaku usaha pada bidang restoran agar
memberikan informasi mengenai status kehalalan produk pangan yang mereka
jual, apakah halal atau haram. Tentunya pelaku usaha dapat memberikan
informasi tersebut dengan cara melakukan sertifikasi halal untuk menguji apakah
produk pangan yang mereka jual aman dikonsumsi oleh umat muslim atau tidak.
Jika produk tersebut lolos proses sertifikasi halal dan telah jelas restoran tersebut
dinyatakan halal, maka pelaku usaha mendapatkan sertifikat halal dan dapat
mencantumkan label halal pada restorannya sebagai informasi bagi konsumen
muslim bahwa produk pangan yang dijualnya memang sudah teruji halal.
Selain dua pasal di atas, dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf h Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal
yang dicantumkan dalam label. Artinya, pelaku usaha yang telah mencantumkan
label halal pada usahanya, wajib untuk mengikuti dan menjaga kesinambungan
ketentuan berproduksi secara halal.
Selain berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai pangan
yang akan dikonsumsinya, konsumen muslim juga memiliki hak dalam
keamanan pangan. Hal ini sebagaimana disebutkan pada Pasal 67 Ayat (1)
Undang-Undang Pangan yang berbunyi:
(1) Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman,
higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat.
Sudah jelas Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Pangan mengamanatkan
bahwa masyarakat muslim selaku konsumen berhak untuk mendapatkan
keamanan pangan yang tidak bertentangan dengan agama dan keyakinannya,
yaitu pangan yang halal. Mengenai penyelenggaraan keamanan pangan, lebih
lanjut diatur pada Pasal 69 huruf g Undang-Undang Pangan bahwa
penyelenggaraan keamanan pangan salah satunya dilakukan melalui jaminan
produk halal bagi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, secara implisit Pasal
69 huruf g Undang-Undang Pangan mengamanatkan bahwa konsumen muslim
berhak untuk mendapatkan pangan yang halal melalui jaminan produk halal.
Kemudian mengenai pengaturan labelisasi halal di Indonesia diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
yang berbunyi:
Pasal 10
(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang
dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan
menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,
bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib
mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.
Pasal 11
(1) Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau
memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut
pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari kedua pasal di atas, terdapat kesimpulan bahwa konsekuensi dari
pencantuman keterangan halal pada label pangan akan membawa konsekuensi
hukum berupa kewajiban untuk melengkapi pernyataan tersebut dengan fakta-
fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, termasuk pula konsekuensi
penjaminan dan pertanggungjawaban atas kebenaran informasi tersebut. Selain
itu, kesimpulan lainnya adalah bahwa pelaku usaha yang menyatakan bahwa
produknya halal bagi umat Islam diwajibkan untuk mencantumkan keterangan
halal atau tulisan halal pada label pangan yang diproduksinya.
Tentunya kebenaran pernyataan halal pada label pangan tidak sebatas hanya
dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang
digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam
proses produksinya. Dalam hal ini, untuk mendukung kebenaran pernyataan
halal, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas
ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib terlebih dahulu
memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang
telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.3
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan juga menyatakan secara tegas pada penjelasan Pasal 11 Ayat (1)
bahwa pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Hal ini dapat
diartikan bahwa pelaksanaan sertifikasi halal untuk sebuah produk masih bersifat
sukarela (voluntary) dan bukan merupakan suatu kewajiban (mandatory). Dalam
kondisi yang demikian, apabila ditinjau dari perspektif konsumen muslim, maka
bentuk perlindungan hukum yang diberikan pemerintah mengenai kehalalan
suatu pangan belumlah maksimal, dikarenakan sifat dari sertifikasi halal sebuah
produk di Indonesia saat ini masih bersifat voluntary, bukan mandatory. Artinya,
pelaksanaan sertifikasi halal saat ini masih bergantung kepada kesadaran pelaku
usaha.
Walaupun begitu, kini telah terdapat peraturan perundang-undangan terbaru
yang mengatur lebih jelas mengenai produk halal di Indonesia, yaitu Undang-
3 Asep Syarifuddin Hidayat dan Mustolih Siradj, “Argumentasi Hukum Jaminan Produk
Halal”, Jurnal Bimas Islam, VIII, 1 (2015), h. 47-48.
Undang Jaminan Produk Halal. Berbeda dengan peraturan perundang-undangan
di atas, Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Produk Halal secara eksplisit
mewajibkan sertifikat halal untuk semua produk yang masuk, beredar dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia. Artinya, undang-undang ini memberikan
kepastian dan jaminan hukum bagi konsumen untuk dapat mengkonsumsi
produk halal, dengan merubah sifat sertifikasi halal sebuah produk di Indonesia
yang tadinya bersifat voluntary menjadi mandatory.
Namun demikian, selanjutnya Pasal 67 Undang-Undang Jaminan Produk
Halal mengatur bahwa kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar
dan diperdagangkan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 peraturan
perundang-undangan ini mulai berlaku 5 tahun terhitung sejak Undang-Undang
Jaminan Produk Halal diundangkan. Artinya, kewajiban sertifikasi halal mulai
diberlakukan pada tahun 2019 dengan cara bertahap. Selain itu, sampai dengan
saat ini, Undang-Undang Jaminan Produk Halal belum memiliki peraturan
pelaksana sehingga undang-undang tersebut belum dapat dilaksanakan
sepenuhnya.
Dari penjelasan di atas terdapat kesimpulan bahwa sertifikasi dan labelisasi
halal membantu konsumen untuk mengetahui status kehalalan dari sebuah
produk, sehingga memberikan keamanan, kenyamanan dan ketentraman bagi
konsumen untuk memilih berbagai produk yang terdapat di pasaran. Informasi
inilah yang dibutuhkan konsumen pada produk pangan halal. Dengan informasi
yang simetris konsumen dapat menentukan pilihannya untuk mengkonsumsi
produk pangan halal, karena informasi yang simetris merupakan kesejahteraan
bagi konsumen, sehingga dengan sertifikasi dan labelisasi halal ini tercipta
keadilan pasar bagi konsumen.
B. Penerapan Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam Proses
Sertifikasi Halal yang Dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat
Pada dasarnya, prinsip Good Corporate Governance (selanjutnya disingkat
menjadi GCG) diterapkan pada suatu perusahaan untuk mendorong terciptanya
pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-
undangan. Akan tetapi, sebenarnya GCG memiliki arti yang lebih luas, yaitu
sebagai sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara berbagai pihak yang berkepentingan demi tercapainya tujuan organisasi.4
Sehingga GCG tidak hanya dapat diterapkan untuk suatu perusahaan, tetapi juga
dapat diterapkan untuk suatu organisasi atau badan tertentu, dalam hal ini
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi LPPOM MUI) Jawa Barat.
Sertifikasi halal merupakan fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia
(selanjutnya disingkat menjadi MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk
sesuai dengan syari‟at Islam. Oleh karena itu, sertifikat halal menjadi acuan
untuk masyarakat muslim dalam mengkonsumsi suatu produk makanan pada
restoran. Dengan berpegang kepada sertifikat halal, masyarakat muslim akan
merasa tenang dan tenteram dalam mengkonsumsi produk pangan karena sudah
jelas kehalalannya. Maka, pemberian sertifikat halal pada restoran pada dasarnya
merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Apakah proses sertifikasi halal
yang telah dilalui suatu restoran sudah sesuai dengan prosedur dan ketentuan
Halal Assurance System 23000 (selanjutnya disebut dengan HAS 23000), yaitu
panduan lengkap yang diperlukan baik oleh instansi pemerintah, pelaku usaha
ataupun konsumen yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai proses
sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI.
4 Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik), (Bandung: CV Mandar Maju, 2007, Cet. Pertama), h. 54.
Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Agus Sugilar selaku
Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat
mengenai prosedur sertifikasi halal suatu restoran yang dilakukan oleh LPPOM
MUI Jawa Barat, maka peneliti mendapatkan jawaban bahwa LPPOM MUI Jawa
Barat melakukan prosedur sertifikasi halal suatu restoran sesuai dengan yang
tercantum di dalam HAS 23000.5
Sedangkan prosedur sertifikasi halal yang harus dilewati oleh suatu restoran
adalah sebagai berikut:6
1. Pihak restoran harus memahami persyaratan sertifikasi halal yang tercantum
di HAS 23000 dan mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal (selanjutnya
disingkat menjadi SJH) yang diadakan LPPOM MUI, baik pelatihan reguler
maupun pelatihan online (e-training).
2. Restoran harus menerapkan 11 (sebelas) kriteria SJH.
3. Restoran harus menyiapkan dokumen sertifikasi halal, antara lain
a. daftar produk;
b. daftar bahan dan dokumen bahan;
c. data restoran;
d. data matriks produk;
e. diagram alir proses;
f. manual SJH bagi perusahaan baru atau revisi manual SJH bagi restoran
yang telah memiliki sertifikat halal sebelumnya;
g. sertifikat halal atau sertifikat SJH (bagi restoran yang telah memiliki
sertifikat halal sebelumnya);
h. daftar alamat seluruh fasilitas produksi;
5 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa
Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.
6 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.
i. bukti sosialisasi/diseminasi kebijakan halal kepada seluruh stakeholder
restoran;
j. bukti pelaksanaan pelatihan internal;
k. bukti pelaksanaan audit internal.
4. Melakukan sign-up e-lppommui.org untuk mengisi profile restoran. Setelah
itu restoran mengisi data registrasi dan akan mendapatkan nomor registrasi
per kategori produk. Selanjutnya pihak restoran harus membayar biaya
registrasi sebesar Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) ke LPPOM MUI.
5. Setelah mendapatkan persetujuan pembayaran dari Bidang Keuangan
LPPOM MUI, pihak restoran melakukan pendaftaran sertifikasi halal, yaitu
dengan mengunggah/upload seluruh data yang telah disebutkan di nomor 3
di atas secara online di sistem Certification Online – Service System
23000/CEROL-SS 23000 (selanjutnya disebut CEROL), yaitu sistem
pelayanan sertifikasi halal LPPOM MUI secara online melalui website e-
lppommui.org. Setelah selesai upload data, langkah selanjutnya adalah
pengisian HAS Questionare, yaitu kuesioner implementasi SJH yang wajib
diisi oleh pihak restoran yang akan melakukan sertifikasi.
6. Selanjutnya Tim Auditor LPPOM MUI yang ditunjuk untuk suatu restoran
yang mendaftar sertifikasi melakukan monitoring pre-audit, yaitu mengecek
4 menu monitoring: dokumen halal, data produk, data material, dan data
matriks produk yang telah diunggah oleh pihak restoran sebelumnya. Jika
terdapat ketidaksesuaian dalam dokumen tersebut, auditor akan menuliskan
komentar di kolom komentar yang nantinya dapat dilihat oleh pihak restoran
melalui akun CEROL miliknya, sehingga pihak restoran dapat merevisi
dokumen tersebut.
7. Pihak restoran melakukan pembayaran akad sertifikasi dengan langkah
sebagai berikut: mengunduh akad di CEROL, membayar biaya akad dan
menandatangani akad, untuk kemudian melakukan pembayaran di CEROL
dan disetujui oleh Bendahara LPPOM MUI melalui email:
8. Setelah lolos pre-audit dan akad sudah disetujui, Tim Auditor LPPOM MUI
mengajukan jadwal audit ke restoran yang akan disertifikasi. Audit
dilaksanakan di semua fasilitas yang berkaitan dengan produk yang
disertifikasi. Setelah melakukan audit, Tim Auditor mengadakan Rapat
Auditor untuk mendiskusikan hasil audit dan penilaian SJH sebuah restoran.
9. Setelah mengunggah data sertifikasi, selanjutnya pihak restoran melakukan
monitoring pasca audit. Monitoring pasca audit dilakukan untuk mengetahui
adanya ketidaksesuaian pada hasil audit, dan jika terdapat ketidaksesuaian
tersebut, maka restoran harus melakukan perbaikan kembali.
10. Setelah seluruh dokumen sertifikasi halal suatu restoran telah lengkap, maka
dokumen diajukan ke Komisi Fatwa untuk dilakukan pembahasan dan
penilaian dalam Rapat Komisi Fatwa, apakah restoran berhak mendapatkan
sertifikat halal atau tidak.
11. Restoran yang lolos sertifikasi halal selanjutnya memperoleh Sertifikat
Halal. Sertifikat Halal dapat diunduh dalam bentuk softcopy di CEROL atau
dapat diambil aslinya di LPPOM MUI Jawa Barat.
Dalam melakukan prosedur sertifikasi halal di atas, tentunya LPPOM MUI
Jawa Barat memerlukan pengelolaan dan pengendalian internal yang baik agar
dapat menjaga prosedur sertifikasi halal yang dilakukan tetap mengikuti
ketentuan HAS 23000 dan tidak akan menyimpang dari ketentuan HAS 23000
tersebut. Salah satu bentuk pengendalian internal yang sering digunakan dalam
suatu lembaga atau organisasi adalah melalui GCG. Oleh karena itu, dalam
melakukan prosedur sertifikasi halal, LPPOM MUI Jawa Barat perlu
menerapkan prinsip GCG.
Penilaian penerapan GCG dalam pelaksanaan sertifikasi halal yang
dilakukan oleh LPPOM Jawa Barat dapat melalui analisis dari prinsip GCG itu
sendiri, yaitu yang biasa disingkat dengan TARIF (Transparency,
Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness). Dari hasil
wawancara yang dilakukan peneliti kepada Agus Sugilar selaku Wakil Pimpinan
Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat tentang penerapan
GCG dalam prosedur sertifikasi halal suatu restoran yang dilakukan oleh
LPPOM MUI Jawa Barat, maka peneliti mendapatkan jawaban mengenai konsep
penerapan prinsip GCG dalam prosedur sertifikasi halal sebagai berikut:7
1. Prinsip Transparansi/ Transparency
Prinsip Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi
materiil dan relevan, dengan cara yang mudah diakses dan dimengerti oleh
stakeholders. Pada LPPOM MUI Jawa Barat, Prinsip Transparansi sangat
penting untuk menyampaikan informasi mengenai segala hal yang berkaitan
dengan sertifikasi halal dengan cara yang mudah diakses dan dipahami baik
oleh instansi pemerintah, pelaku usaha ataupun konsumen yang ingin
mengetahui proses sertifikasi halal lebih dalam. Selain itu, Prinsip
Transparansi sangat penting diterapkan pada proses pengambilan keputusan
dalam penilaian dokumen-dokumen halal, penilaian SJH, hingga penetapan
suatu restoran berhak atau tidak mendapatkan Sertifikat Halal, agar pelaku
usaha yang tengah melakukan sertifikasi mengetahui hal-hal yang tidak
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh LPPOM MUI dan dapat
memperbaiki ketidaksesuaian tersebut.
Dari hasil yang diperoleh peneliti, untuk menyampaikan informasi
mengenai sertifikat halal, LPPOM MUI memiliki website www.halalmui.org
yang dapat diakses oleh siapapun. Di dalam website tersebut terdapat menu
7 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa
Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.
khusus mengenai sertifikasi halal, yang terdiri dari submenu: Daftar
Lembaga Sertifikasi Halal, Sertifikasi Halal MUI, Prosedur Sertifikasi Halal
MUI, Persyaratan Sertifikasi Halal, E-Halal Registration, Regulasi LPPOM
MUI, User Manual Prosedur Sertifikasi Halal MUI, dan Prosedur Keluhan
dan Banding, sehingga siapa saja yang ingin mengetahui sertifikasi halal
lebih dalam hanya perlu mengakses website tersebut.
Dalam proses sertifikasi halal, LPPOM MUI telah menerapkan sistem
pelayanan sertifikasi halal secara online, yaitu melalui sistem CEROL.
Dengan adanya sistem ini para pelaku usaha dapat mengajukan permohonan
sertifikasi halal produk secara online tanpa batas waktu dan tempat, sehingga
pelayanan sertifikasi halal akan bisa lebih cepat dan lebih baik. CEROL
dapat dibuka langsung melalui website LPPOM MUI atau melalui website
www.e-lppommui.org. Selain itu, LPPOM MUI juga telah menyusun
Customer User Manual, yaitu petunjuk penggunaan sistem CEROL tersebut
hingga penjelasan lengkap mengenai pengisian data/dokumen di CEROL.
Sehingga para pelaku usaha yang akan melakukan proses sertifikasi halal
dapat dengan mudah menggunakan sistem CEROL tersebut.
Selain itu, LPPOM MUI Jawa Barat selalu mengadakan penyuluhan
setiap Senin sampai dengan Kamis. Penyuluhan berupa pengenalan SJH,
pengenalan template manual SJH, hal-hal apa yang harus dilakukan oleh
pelaku usaha dalam mensertifikasi halal produknya dan bagaimana cara
masuk/login ke sistem CEROL. Sehingga untuk pelaku usaha yang ingin
mendaftar sertifikasi halal dapat mengikuti penyuluhan tersebut. Target
minimal dari pelaksanaan penyuluhan tersebut adalah pelaku usaha sudah
mengerti sampai pada tahap registrasi dan pelaku usaha tersebut telah
memiliki akun di CEROL (pelaku usaha memiliki username dan nomor NIK
untuk mengakses CEROL selanjutnya). Setelah penyuluhan pembuatan akun
di CEROL, pihak LPPOM MUI Jawa Barat akan memberikan penyuluhan
tentang pengisian menu-menu di CEROL yang harus dilengkapi oleh pelaku
usaha. Sehingga pelaku usaha mengerti dan dapat melengkapi menu-menu
tersebut secara mandiri.
Melalui sistem CEROL ini pula LPPOM MUI mencoba menerapkan
Prinsip Transparansi pada proses pengambilan keputusan dalam penilaian
dokumen halal yang telah diunggah oleh pelaku usaha yang tengah
mensertifikasi halal restorannya. Tim auditor LPPOM MUI wajib
memberikan komentar jika terdapat ketidaksesuaian dalam dokumen
tersebut. Komentar ini nantinya dapat dilihat oleh pihak restoran melalui
akun CEROL miliknya, sehingga pihak restoran dapat memperbaiki
ketidaksesuaian tersebut. Dalam hal ini, pihak restoran melakukan
monitoring proses sertifikasi restorannya melalui Menu Monitoring. Selain
itu, pihak restoran juga dapat berkomunikasi langsung kepada auditor yang
memeriksa restorannya jika ada permasalahan atau hal yang belum
dimengerti.
Dari penjabaran di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa LPPOM
MUI Jawa Barat telah menerapkan Prinsip Transparansi dalam proses
sertifikasi halal suatu restoran melalui pengadaan website akurat dan
lengkap, pengadaan penyuluhan setiap Senin-Kamis, dan sistem CEROL.
2. Prinsip Akuntabilitas/ Accountability
Akuntabilitas merupakan sistem yang kondusif bagi pengawasan efektif
dalam kinerja sebuah perusahaan. Hal tersebut akan terlihat pada kejelasan
pembagian wewenang antara unsur-unsur atau bagian yang berperan dalam
sebuah perusahaan, agar masing-masing bagian berjalan sesuai dengan
wewenang masing-masing. Pada LPPOM MUI Jawa Barat, Prinsip
Akuntabilitas sangat penting untuk memperjelas pembagian fungsi,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ-organ di LPPOM MUI Jawa
Barat agar bekerja sesuai dengan wewenang dan prosedurnya masing-masing
sehingga proses sertifikasi halal dapat terlaksana secara efektif.
Dari hasil yang diperoleh peneliti, untuk mempertanggung jawabkan
pekerjaannya, LPPOM MUI Jawa Barat mengadakan laporan
pertanggungjawaban masing-masing divisi setiap akhir tahun. Setelah itu,
Direktur LPPOM MUI Jawa Barat menyampaikan laporan tersebut ke
LPPOM MUI Pusat. Hal ini juga menunjukkan jalannya fungsi pengawasan
LPPOM MUI Pusat kepada LPPOM MUI daerah (dalam hal ini Jawa Barat).
Selain itu, mengenai laporan keuangan LPPOM MUI Jawa Barat, diaudit
oleh akuntan publik. Saat ini, laporan keuangan tersebut mendapatkan status
Wajar Tanpa Pengecualian dari akuntan publik. Suatu laporan keuangan yang
diberikan opini seperti ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti
audit yang dikumpulkan, perusahaan/pemerintah (dalam hal ini LPPOM MUI
Jawa Barat) dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku
umum dengan baik, dan kalaupun ada kesalahan, kesalahannya dianggap tidak
material dan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan.
Mengenai pelanggaran dan sanksi, LPPOM MUI Jawa Barat
menanamkan komitmen kepada organ-organnya dengan komitmen
musyawarah, yang artinya jika terdapat permasalahan, maka permasalahan
tersebut akan diselesaikan secara musyawarah. Cara ini sebagai pencegahan
berkembangnya permasalahan tersebut menjadi pelanggaran yang fatal,
karena sebuah permasalahan sudah dapat terdeteksi dari awal dan dapat
diselesaikan dengan baik. Selain itu, organ-organ di LPPOM MUI Jawa Barat
sudah paham bahwa pekerjaan mereka memiliki tanggung jawab moral untuk
masyarakat. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Agus
Sugilar selaku Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM
MUI Jawa Barat, diperoleh hasil bahwa sampai saat ini tidak ada organ
LPPOM MUI Jawa Barat yang melakukan pelanggaran fatal sehingga harus
dilakukan penjatuhan sanksi.
Prinsip Akuntabilitas dilakukan LPPOM MUI Jawa Barat dalam
pengembangan organ-organnya agar bekerja secara maksimal melalui
pengadaan pelatihan-pelatihan eksternal. Pelatihan eksternal dilakukan dengan
berkunjung ke LPPOM MUI Pusat. Melalui kegiatan ini, LPPOM MUI ingin
menunjukkan bahwa dimanapun itu, LPPOM MUI harus selalu sama, satu
kesatuan, satu entitas. Baik ditinjau dari prosedur dan kebijakan yang
dijalankan, LPPOM MUI harus satu entitas. Sehingga, ketika LPPOM MUI
sudah satu entitas, tidak bisa dibedakan lagi, mana LPPOM MUI pusat dan
mana LPPOM MUI daerah. Selain itu, dari hasil wawancara peneliti, sampai
dengan saat ini, tidak pernah terjadi permasalahan antar internal LPPOM
MUI. Sehingga peneliti mengambil kesimpulan bahwa LPPOM MUI Jawa
Barat telah melaksanakan prinsip Akuntabilitas untuk mencetak organ-organ
yang bertanggung jawab dan kompeten.
3. Prinsip Pertanggungjawaban/ Responsibility
Prinsip Pertanggungjawaban diwujudkan dengan cara menjadikan prinsip
kehati-hatian sebagai pegangan, mematuhi anggaran dasar dan kebijakan
perusahaan serta perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Prinsip ini
dimaksudkan agar LPPOM MUI Jawa Barat patuh pada hukum dan
mempunyai beban moral untuk kemaslahatan lingkungan, masyarakat dan
konsumen.
Dalam pelaksanaan proses sertifikasi halal, LPPOM MUI memiliki
pedoman tersendiri, yaitu HAS 23000. Sehingga pada saat melakukan proses
sertifikasi, LPPOM MUI Jawa Barat hanya perlu mengikuti prosedur yang
telah tercantum dalam HAS 23000 tersebut. Selain itu, LPPOM MUI Jawa
Barat melakukan proses sertifikasi halal melalui sistem CEROL yang
menjadikan Tim Auditor LPPOM MUI Jawa Barat harus bekerja sesuai
dengan sistem dan tidak dapat melenceng dari sistem tersebut. Proses audit
yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat adalah sebagai berikut:
a. Auditor memiliki akun CEROL masing-masing. Melalui akun CEROL
ini, seorang auditor diberitahukan tugasnya untuk melakukan audit suatu
restoran yang mengajukan sertifikasi ke LPPOM MUI Jawa Barat.
Setelah mengetahui dirinya bertugas meng-audit suatu restoran, maka
auditor tersebut login ke akun CEROL-nya. Audit suatu restoran
dilakukan oleh 3 orang auditor.
b. Sebelum melakukan audit, ketika auditor mendapatkan nama restoran
yang harus diaudit, auditor sudah melakukan pengecekan terlebih dahulu
dokumen halal yang telah diunggah oleh pihak restoran yang akan
diauditnya. Auditor akan mengecek dokumen halal, data produk, data
material, hingga data matrik restoran tersebut. Inilah yang disebut dengan
tahap “pre-audit”. Dalam tahapan ini, pihak restoran yang diaudit dapat
memonitoring-nya melalui akun CEROL miliknya.
c. Setelah auditor menilai dokumen halal milik restoran yang akan
disertifikasi, jika ditemukan dokumen yang tidak sesuai, maka auditor
memberikan komentar di kolom komentar yang terletak di samping
kanan dokumen-dokumen yang diunggah pihak restoran. Nantinya
komentar auditor ini akan langsung sampai ke pihak restoran dan pihak
restoran dapat segera membaca dan mempelajari komentar tersebut agar
dilakukan perbaikan dokumen yang tidak sesuai. Sehingga tahap “pre-
audit” dapat berlanjut ke tahap “audit” atau pemeriksaan lapangan.
d. Tim auditor melakukan pemeriksaan di lapangan dapat dijabarkan pada 2
(dua) jenis audit, yaitu audit kelengkapan dokumen (audit administrasi)
dan audit lapangan. Audit administrasi dilakukan untuk memeriksa
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembelian dan penggunaan
bahan baku atau bahan tambahan atau bahan penolong yang digunakan
dalam proses produksi. Dokumen-dokumen itu meliputi dokumen
pembelian bahan (PO dan DO), daftar isi gudang, kartu stok, dan bon
pengeluaran bahan dari gudang. Dalam audit administrasi ini dilakukan
pengecekan kesesuaian data antara yang tercantum dalam formulir
pendaftaran dengan yang ada di restoran.
Berbeda dengan audit administrasi, audit lapangan dilakukan untuk
memeriksa dan melakukan verifikasi terhadap proses produksi dari awal
sampai akhir, yaitu dari proses pengolahan bahan baku sampai menjadi
produk yang siap untuk dipasarkan. Bila dipandang perlu, tim auditor
dapat mengambil sample dari bahan yang digunakan untuk diperiksa di
laboratorium lebih lanjut. Sedapat mungkin audit tersebut dilakukan pada
saat perusahaan sedang berproduksi.
Dalam menjalankan tugasnya, para auditor harus memperhatikan dan
menjaga kode etik auditor. Auditor dituntut integritas moralnya sehingga
ia dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh kejujuran dan keberanian
dalam mengungkapkan data dan informasi yang terkait dengan bahan-
bahna yang haram, najis, dan syubhat. Oleh karena itu, audit yang
dilakukannnya harus bersifat obyektif, kritis, dan transparan yang
tercermin dalam ketelitian dan kecermatan dalam memeriksa data yang
diperlukan dalam rangka mencari kebenaran.
e. Setelah tahap “audit” atau pemeriksaan lapangan dilakukan, terdapat
pertemuan para auditor untuk mendiskusikan/membahas perusahaan yang
akan masuk ke sidang fatwa, yang disebut dengan Rapat Auditor. Dalam
Rapat Auditor, setiap auditor menyampaikan masalah yang ditemukan
dalam proses audit suatu restoran. Jika ditemukan masalah dalam suatu
restoran yang disertifikasi, maka auditor mencari solusi atas masalah
tersebut bersama-sama. Tetapi, jika proses audit suatu restoran tersebut
memenuhi persyaratan, maka hasil tersebut diajukan kepada rapat Komisi
Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.
Hasil pemeriksaan tersebut menjelaskan laporan hasil audit secara
lengkap yang meliputi tanggal pelaksanaan audit, nama-nama tim
auditor, nama-nama pihak restoran yang mendampingi pelaksanaan audit,
status produk, jenis produk, bahan-bahan (baku, penolong, tambahan),
hal-hal yang diragukan, temuan di lapangan sebagai hasil verifikasi
terhadap hal-hal yang diragukan tersebut, dan dokumen-dokumen
pendukung yang diperlukan.
HAS 23000 sebagai pedoman/acuan LPPOM MUI Jawa Barat dalam
melakukan proses audit suatu restoran yang tengah disertifikasi dan sistem
sertifikasi yang dijalankan secara online melalui CEROL merupakan
penerapan Prinsip Pertanggungjawaban yang dilakukan LPPOM MUI Jawa
Barat dalam pelaksanaan audit yang termasuk dalam salah satu proses
sertifikasi halal.
Setelah mendapatkan keputusan mengenai sertifikasi halal, jika pelaku
usaha memiliki dan tidak menerima hasil keputusan mengenai proses
sertifikasi halal tersebut, maka pelaku usaha dapat mengajukan keluhan dan
banding kepada LPPOM MUI. Dimana keluhan dan banding mengenai proses
sertifikasi halal tersebut dapat disampaikan melalui website
www.halalmui.org atau melalui email [email protected].
Banding dapat diajukan oleh pelaku usaha maksimal 28 (duapuluh
delapan) hari setelah keluarnya Sertifikat Halal dan/atau Status/Sertifikat SJH.
Pelaku usaha yang mengajukan keluhan akan menerima konfirmasi tanda
terima. Selanjutnya, bidang terkait yang bertanggung jawab memproses
keluhan dan banding akan menginformasikan kepada pelaku usaha
perkembangan keluhan yang diajukannya. Setelah keluhan dan banding telah
diproses, pelaku usaha menerima jawaban akhir.8
Selain itu, demi memenuhi tangung jawab sosial terhadap masyarakat,
LPPOM MUI Jawa Barat menerima pertanyaan dari masyarakat mengenai
informasi lengkap seputar sertifikat halal produk atau restoran apabila
ditemukan kejanggalan atau keraguan atas restoran atau produk makanan
tersebut. Pertanyaan tersebut dapat langsung ditanyakan melalui LPPOM
MUI Jawa Barat atau mengecek lewat situs e-lppommui.org,
8 LPPOM MUI, “Prosedur Keluhan dan Banding”, artikel diakses pada 15 Januari 2018
dari http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/147/1545/page/1.
atau www.halalmui.org. Bisa juga dengan cara lain, yaitu dengan melalui
SMS, telepon atau kirim pengaduan ke email [email protected].
Mengenai pengaduan masyarakat, dari hasil wawancara peneliti dengan
Agus Sugilar selaku Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan
LPPOM MUI Jawa Barat, selama ini LPPOM MUI Jawa Barat belum pernah
menerima pengaduan masyarakat. Akan tetapi, LPPOM MUI Jawa Barat
lebih sering menerima pertanyaan seputar produk halal. Pertanyaan konsumen
tersebut lebih sering LPPOM MUI Jawa Barat terima melalui telepon atau e-
mail.9
Selain itu, tentunya pertanggungjawaban LPPOM MUI Jawa Barat
kepada pelaku usaha tidak hanya sampai kepada pemberian sertifikat halal
kepada pelaku usaha yang bersangkutan. Akan tetapi, harus adanya
pengontrolan dan pengawasan secara kontinyu kepada pelaku usaha yang
telah mendapatkan sertifikat halal agar pelaku usaha tersebut tetap menjaga
kehalalannya.
Pengawasan dilakukan dalam bentuk manual sistem jaminan halal. Di
dalam manual SJH terdapat tim manajemen halal. Tim manajemen halal atau
biasa disebut dengan halal internal auditor merupakan mata dan pengawasan
dari LPPOM MUI Jawa Barat. Halal internal auditor ini yang melakukan
komunikasi dengan LPPOM MUI Jawa Barat melalui pelaporan per enam
bulan.
Sampai dengan saat ini, belum pernah terdapat pelanggaran yang
dilakukan oleh halal internal auditor. Ini juga dikarenakan jumlah restoran
yang telah melakukan sertifikasi halal di Jawa Barat belum terlalu banyak.
Pengawasan yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat kepada halal
internal auditor dilakukan dengan sidak secara random dan tanpa
penjadwalan.
9 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa
Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.
Dari penjabaran di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa LPPOM
MUI Jawa Barat telah menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban dalam
proses sertifikasi halal suatu restoran melalui pelaksanaan sertifikasi halal
sesuai dengan HAS 23000, menerima keluhan dan banding, juga pertanyaan-
pertanyaan dari masyarakat yang dapat disampaikan baik secara langsung
ataupun tidak langsung ke LPPOM MUI Jawa Barat, dan pelaksanaan
pengkontrolan dan pengawasan secara kontinyu yang dilakukan LPPOM
MUI Jawa Barat kepada pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikat
halal.
4. Prinsip Kemandirian/ Independency
Prinsip Kemandirian merupakan suatu keadaan di mana suatu organisasi
dikelola secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan
pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Pada LPPOM MUI Jawa Barat,
Prinsip Kemandirian diperlukan agar dalam melakukan proses sertifikasi
halal, tidak ada pihak manapun yang dapat megintervensi keputusan yang
telah diambil. Seperti dalam proses audit sebuah restoran, pelaku usaha tidak
dapat mengintervensi seorang auditor agar auditor tersebut meloloskan proses
audit usaha miliknya.
Dalam hal ini, seorang auditor harus memiliki sifat amanah dalam
melaksanakan tugasnya sehingga ia tidak tergoda untuk menyalahgunakan
hak dan wewenangnya sebagai auditor LPPOM MUI Jawa Barat untuk
kepentingan pribadi, seperti menerima suap dari restoran yang disertifikasi
olehnya. Semua dapat dilakukan dengan baik mengingat tugas audit yang
diembannya merupakan ibadah kepada Allah dan amanat masyarakat yang
harus dipertanggung jawabkan dunia dan akhirat.
Dari hasil wawancara peneliti dengan Agus Sugilar selaku Wakil
Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat,
selama ini LPPOM MUI Jawa Barat melakukan pemeriksaan sertifikasi halal
secara independen tanpa benturan kepentingan dari pihak manapun. Seluruh
auditor di LPPOM MUI Jawa Barat memegang teguh kode etik auditor dan
dalam mengontrol para auditornya tersebut, LPPOM MUI Jawa Barat dapat
melakukannya dengan mudah dikarenakan jumlah auditor di LPPOM MUI
Jawa Barat hanya sekitar 12 orang.
Selain itu, diadakannya rapat auditor untuk membahas perusahaan yang
masuk ke sidang fatwa, dapat menghasilkan keputusan yang bijak dan
terciptanya lingkungan kerja yang lebih efektif, efisien, serta terciptanya
pengendalian internal yang efektif dan independen. Karena pada saat rapat
auditor dilakukan, semua auditor berkumpul untuk mendiskusikan dan
menyampaikan seluruh hasil audit pada suatu restoran yang telah diaudit
olehnya. Temuan audit, masalah di restoran, hingga bahan-bahan yang
digunakan oleh restoran tersebut, harus dibahas keseluruhan dan tidak ada
yang boleh ditutup-tutupi sesama auditor.
Selain berfungsi sebagai pengendalian internal auditor LPPOM MUI
Jawa Barat, hal ini juga bertujuan untuk mendapatkan solusi yang harus
disampaikan kepada restoran yang tengah diaudit, apabila terdapat
permasalahan dalam proses auditnya. Selain itu, semua auditor LPPOM MUI
Jawa Barat telah menyadari bahwa mereka memiliki tanggungjawab dunia
akhirat untuk suatu perusahaan.
Dari hasil wawancara peneliti dengan Agus Sugilar selaku Wakil
Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat,
selama ini LPPOM Jawa Barat tidak pernah menerima intervensi dari pihak
manapun, apalagi suap. Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa LPPOM
MUI Jawa Barat telah menerapkan Prinsip Kemandirian dalam melakukan
proses sertifikasi halal.
5. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan/Fairness
Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan diwujudkan dengan cara memberikan
perlakuan setara dan wajar kepada setiap dan semua stakeholders dalam
memenuhi hak-hak stakeholders tersebut. Bagi LPPOM MUI Jawa Barat,
dalam melakukan proses sertifikasi halal mereka diwajibkan untuk
memberikan perlakuan setara kepada setiap pelaku usaha atau pihak yang
mengajukan permohonan sertifikasi dalam melakukan proses audit setiap
usaha milik para pelaku usaha tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Agus Sugilar selaku Wakil
Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat,
LPPOM Jawa Barat selama ini telah menerapkan keadilan dan kesetaraan
dalam memenuhi hak-hak pelaku usaha yang mengajukan permohonan
sertifikasi halal. Hal ini dibuktikan dengan adanya sistem CEROL. Setiap
pelaku usaha yang melakukan sertifikasi halal diharuskan menggunakan
sistem CEROL. Hal ini sejalan dengan tujuan dari sistem CEROL itu sendiri
yang diadakan untuk mencapai prinsip kesetaraan untuk seluruh pelaku usaha
yang melakukan sertifikasi halal. Sehingga tidak akan ada kecemburuan
antara pelaku usaha.
LPPOM MUI Jawa Barat senantiasa memperhatikan pelaku usaha yang
melakukan sertifikasi halal sehingga pelaku usaha menjadi prioritas utama
dalam mendapatkan informasi atau memenuhi kebutuhan mereka sesuai
dengan kebijakan dan prosedur yang berlaku. Dalam melakukan proses
sertifikasi halal, LPPOM MUI Jawa Barat tidak pernah membeda-bedakan
atau mengkhususnya suatu restoran yang mengajukan sertifikasi halal.
Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa dalam melakukan proses sertifikasi
halal, LPPOM MUI Jawa Barat telah menerapkan Prinsip Kewajaran dan
Kesetaraan.
Untuk lebih jelasnya, berikut Penerapan GCG pada LPPOM MUI Jawa
Barat dalam Perspektif Prinsip TARIF (Transparency, Accountability,
Responsibility, Independency, dan Fairness) dalam bentuk tabel di bawah ini:
No. Prinsip GCG Terpenuhi/Tidak Indikator
1. Transparency/
Transparansi
Terpenuhi 1. Untuk menyampaikan
informasi tentang
sertifikasi halal, LPPOM
MUI memiliki website
(www.halalmui.org)
yang dapat diakses oleh
siapapun.
2. Dalam proses sertifikasi
halal, LPPOM MUI Jawa
Barat telah menerapkan
sistem pelayanan
sertiifkasi halal secara
online, yaitu melalui
sistem CEROL.
3. Dalam pengambilan
keputusan saat
melaksanakan sertifikasi
halal, pihak pelaku usaha
dapat melakukan
monitoring kinerja
LPPOM MUI Jawa Barat
melalui akun CEROL
milik pelaku usaha yang
bersangkutan.
4. Pelaku usaha dapat
berkomunikasi langsung
dengan tim auditor yang
melakukan pemeriksaan
produknya.
2. Accountability/
Akuntabilitas
Terpenuhi 1. Kinerja LPPOM MUI
Jawa Barat diawasi oleh
LPPOM MUI Pusat
dengan cara Setiap akhir
tahun LPPOM MUI Jawa
Barat membuat laporan
pertanggungjawaban
masing-masing divisi.
Setelah itu, Direktur
LPPOM MUI Jawa Barat
menyampaikan laporan-
laporan tersebut ke
LPPOM MUI Pusat.
2. Laporan keuangan
LPPOM MUI Jawa Barat
diaudit oleh akuntan
publik dan mendapatkan
status Wajar Tanpa
Pengecualian.
3. Jika terdapat
permasalahan internal
pada organ LPPOM MUI
Jawa Barat, maka
diselesaikan dengan cara
musyawarah.
4. Terdapat pelatihan untuk
internal LPPOM MUI
Jawa Barat.
3. Responsibility/
Pertanggungjawaban
Terpenuhi 1. LPPOM MUI Jawa Barat
melakukan proses
sertifikasi halal melalui
sistem CEROL, yang
artinya kinerja LPPOM
MUI Jawa Barat
dimonitor oleh sistem.
2. LPPOM MUI Jawa Barat
menerima pertanyaan
dari masyarakat
mengenai informasi
lengkap seputar
sertifikat halal produk
atau restoran apabila
ditemukan kejanggalan
atau keraguan atas
restoran atau produk
makanan tersebut.
3. Adanya pengontrolan
dan pengawasan secara
kontinyu kepada
pelaku usaha yang
telah mendapatkan
sertifikat halal agar
pelaku usaha tersebut
tetap menjaga
kehalalannya.
4. Independency/
Kemandirian
Terpenuhi 1. LPPOM Jawa Barat tidak
pernah menerima
intervensi dari pihak
manapun, apalagi suap.
2. Adanya rapat auditor
setelah melakukan audit
pada sebuah restoran.
Semua temuan audit,
masalah di restoran,
hingga bahan-bahan
yang digunakan oleh
restoran tersebut, harus
dibahas keseluruhan
dan tidak ada yang
ditutup-tutupi sesama
auditor.
5. Fairness/
Kewajaran dan
Kesetaraan
Terpenuhi 1. Sertifikasi halal
dilakukan secara online
melalui sistem CEROL,
sehingga perlakuan
kepada semua pelaku
usaha sama.
2. LPPOM MUI Jawa Barat
tidak pernah membeda-
bedakan atau
mengkhususkan suatu
pelaku usaha yang
mengajukan sertifikasi
halal.
Tabel IV.I
Tabel Analisa Penerapan GCG pada LPPOM MUI Jawa Barat dalam Perspektif Prinsip
TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness)
Sumber: Analisa Peneliti 2018
Dari penjabaran di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa LPPOM
MUI Jawa Barat telah menerapkan kelima prinsip GCG dalam melakukan proses
sertifikasi halal. Hal tersebut juga disebabkan LPPOM MUI Jawa Barat sudah
melakukan proses sertifikasi halal dengan sebaik-baiknya dan sudah menerapkan
prinsip keterbukaan. Sehingga, produk sertifikat halal yang sudah dikeluarkan
MUI Jawa Barat, melalui proses sertifikasi oleh LPPOM Jawa Barat sudah tidak
perlu diragukan lagi. Selain itu, LPPOM MUI Jawa Barat selalu melakukan
usaha dari awal proses screening suatu produk seperti apa, dari mulai penamaan
produk tersebut, bentuk, sampai ke merek.
Selain itu, pengawasan kinerja LPPOM MUI Jawa Barat bukan hanya
berasal dari internal saja, tetapi juga berasal dari eksternal, yaitu LPPOM MUI
Pusat. Karena semua produk yang sudah disertifikasi nantinya akan masuk ke
database pusat untuk dicantumkan ke dalam daftar produk halal. Artinya,
LPPOM MUI Pusat juga membaca setiap hasil sertifikasi LPPOM MUI Jawa
Barat sehingga mereka juga turut serta dalam proses sertifikasi halal setiap
LPPOM MUI daerah.
Walaupun pelaksanaan proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM
MUI Jawa Barat telah menerapkan prinsip GCG, akan tetapi tetap saja pada
implementasinya LPPOM MUI Jawa Barat menemui kendala dalam melakukan
pemeriksaan sertifikasi halal. Beberapa diantaranya adalah:
1. Jumlah auditor yang terbatas. Jumlah auditor yang dimiliki oleh LPPOM
MUI Jawa Barat hanya 12 orang. Jumlah ini tidak dimungkinkan untuk
mencakup wilayah Provinsi Jawa Barat yang memiliki 17 kabupaten dan 9
kota dengan restoran yang tersebar di setiap kabupaten dan kota tersebut.10
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, jumlah restoran yang
terdapat di Jawa Barat mencapai jumlah kurang lebih 1500 restoran.
Tentunya jumlah ini sangat timpang dengan jumlah auditor yang hanya
berjumlah 12 orang. Berikut ini jumlah restoran di Jawa Barat yang
disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:
JUMLAH RESTORAN DI JAWA
BARAT (PER-KABUPATEN)
No Kabupaten Jumlah
Restora
n
1 Bandung 216
2 Bogor 256
3 Sukabumi 86
4 Cianjur 74
10 Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan LPPOM MUI Jawa
Barat, Interview Pribadi, Bandung, 03 Januari 2018.
5 Garut 90
6 Tasikmalaya 115
7 Ciamis 73
8 Kuningan 58
9 Cirebon 59
10 Majalengka 52
11 Sumedang 40
12 Indramayu 37
13 Subang 57
14 Purwakarta 50
15 Karawang 49
16 Bekasi 188
Total Seluruh
Restoran di
Jawa Barat
1500
Tabel IV.I
Jumlah Restoran di Jawa Barat (Per-Kabupaten)
Sumber: Analisa Peneliti 2018
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kurangnya auditor menjadi
salah satu faktor penghambat proses sertifikasi halal.
2. Dalam hal penggunaan bahan. Bahan-bahan yang digunakan oleh restoran
belum didukung oleh dokumen halal yang ditetapkan. Terkadang juga
terdapat penggunaan barang yang memang tidak disarankan untuk
digunakan karena memang bahannya tidak halal. Akan tetapi, biasanya sulit
untuk restoran mengubah bahan tersebut, sehingga masih banyak restoran
yang tetap menggunakan bahan yang tidak disarankan ataupun bahan yang
tidak halal. Ini disebabkan karena biasanya restoran sudah mencoba
mengganti bahan tersebut memakai bahan yang halal, namun tidak laku atau
tidak enak, sehingga mereka kembali lagi memakai bahan yang tidak halal
yang biasa mereka pakai. Inilah yang terkadang menjadi penghambat
LPPOM MUI Jawa Barat dalam melakukan proses sertifikasi halal,
sehingga memerlukan waktu yang cukup lama.
3. Karena restoran di Jawa Barat termasuk ke dalam lingkup daerah, hal ini
menjadikan sumber daya manusianya terbatas dan terkadang untuk
memahami suatu penjelasan mengenai sertifikasi halal tidaklah mudah.
4. Masih terdapatnya paradigma masyarakat yang menyatakan bahwa restoran
yang dimiliki oleh “Pak/Bu Haji” sudah pasti halal dan tetap digemari
walaupun tidak memiliki sertifikat halal, sehingga menyebabkan pelaku
usaha tidak berminat untuk mengurus sertifikasi halal restorannya tersebut.
Selain kendala yang dihadapi oleh LPPOM MUI Jawa Barat, beberapa
kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha dalam melakukan sertifikasi halal,
yaitu:
1. Lokasi restoran yang jauh dari lokasi LPPOM MUI Jawa Barat menyebabkan
biaya yang diperlukan untuk sertifikasi lebih besar. Hal ini disebabkan
terdapatnya biaya transportasi dan akomodasi seperti penginapan yang
ditanggung oleh pelaku usaha, sehingga masih banyak pelaku usaha yang
memiliki restoran di luar Bandung (lokasi LPPOM MUI Jawa Barat) enggan
untuk melakukan sertifikasi halal.
2. Biaya sertifikasi halal yang dinilai memberatkan Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM). Berikut ini rincian pembiayaan sertifikasi halal:11
a. Pembiayaan Sertifikat
1) Level A (Industri Besar)
Biaya Sertifikat Rp.2.000.000 s/d Rp.3.500.000 (di luar biaya: auditor,
registrasi, majalah jurnal, dan biaya pelatihan SJH)
2) Level B (Industri Kecil)
Biaya Sertifikat Rp.1.500.000 s/d 2.000.000 (di luar biaya : auditor,
registrasi, majalah jurnal, dan biaya pelatihan SJH)
3) Level C (Industri Mikro/Rumah Tangga)
11 LPPOM MUI KEPRI, “Biaya Sertifikat”, artikel diakses pada 15 Januari 2018 dari
http://www.halalmuikepri.com/biaya-sertifikat/.
Biaya Sertifikat Rp.1.000.000 (di luar biaya : auditor, registrasi,
majalah jurnal, dan biaya pelatihan SJH)
Catatan:
1) Kategori/level Pembiayaan Sertifikat Berdasarkan:
a) Jumlah Karyawan
Level A Jumlah Karyawan diatas 20 Orang
Level B Jumlah karyawan antara 10-20 Orang
Level C Jumlah Karyawan Kurang dari 10. 0rang
b) Kapasitas Produksi
c) Omset Perusahaan
2) Jika Perusahaan Mempunyai Outlet, maka akan dikenakan biaya
tambahan Rp200.000/Outlet.
3) Jika ada Penambahan Produk/Pengembangan Usaha,akan
dikenakan Biaya Tambahan :
a) level A : Rp.150.000/Produk
b) Level B : Rp.100.000/Produk
c) Level C : Rp. 50.000/Produk
b. Pelatihan
Pelatihan SJH diwajibkan bagi Perusahaan baik yang baru mengurus
maupun yang perpanjang sertifikat halal. Pelatihan dilaksanakan selama 2
(dua) hari dengan biaya :
1) Perusahaan : Rp.1.200.000/Orang
2) UKM : Rp. 500.000/Orang
3) Bagi Usaha Kecil/ Industri rumah tangga yang tidak mampu untuk
pembiayaan, LP POM MUI mempunyai kebijakan tersendiri untuk
subsidi pembiayaan. Ketentuan ini dilaksanakan dengan syarat
tertentu yang di tetapkan LP POM MUI daerah masing-masing.
Dari pembebanan biaya sertifikat di atas, sebagian restoran yang masuk
kategori UMKM atau industri kecil masih menilai pembiayan sertifikat halal
tersebut cukup besar. Sehingga masih banyak UMKM yang tidak mengurus
sertifikat halal.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa
sertifikasi halal merupakan legitimasi kehalalan produk di Indonesia. Tujuan
akhir dari sertifikasi halal ini adalah adanya pengakuan secara legal formal
bahwa produk yang dikeluarkan pelaku usaha telah memenuhi ketentuan halal.
Tentunya pengakuan ini diwujudkan dalam bentuk sertifikat halal. Pelaksanaan
sertifikasi halal merupakan bentuk perlindungan hak-hak warna negara
Indonesia, khususnya masyarakat muslim. Ditinjau dari proses sertifikasi halal
yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat yang telah menerapkan prinsip
GCG, maka dalam hal ini LPPOM MUI Jawa Barat telah melakukan upaya
perlindungan hukum bagi konsumen muslim dan sertifikat halal yang
dikeluarkan MUI tidak perlu lagi diragukan kepastian hukumnya.
Walaupun begitu, ditinjau dari sifat sertifikasi halal sebuah produk di
Indonesia yang masih bersifat sukarela (voluntary), belum wajib (mandatory),
yang artinya pelaksanaan sertifikasi halal saat ini masih bergantung kepada
kesadaran pelaku usaha, maka bentuk perlindungan hukum yang diberikan
pemerintah mengenai kehalalan suatu pangan belumlah maksimal. Oleh karena
itu, diperlukan pengaturan yang mewajibkan pelaksanaan sertifikasi halal di
Indonesia demi melindungi konsumen muslim terhadap pangan yang beredar.
Selain itu, beberapa kendala yang telah dipaparkan di atas, seperti masih
terbatasnya jumlah auditor, banyaknya jumlah restoran yang belum tersertifikasi
halal, biaya sertifikasi halal, dan lokasi-lokasi restoran, terutama yang terdapat di
daerah-daerah merupakan hal-hal yang menjadi “pekerjaan rumah” dan harus
dipikirkan kembali oleh pemerintah.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka peneliti membuat kesimpulan
sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan produk halal
di Indonesia adalah Pasal 28E Ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945,
Pasal 4 huruf a dan c, Pasal 7 huruf b, dan Pasal 8 Ayat (1) Huruf h Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 67
Ayat (1) dan Pasal 69 huruf g Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, Pasal 4 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut dengan Undang-
undang Jaminan Produk Halal) dan Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, dapat disimpulkan
secara eksplisit bahwa sertifikasi dan labelisasi halal bertujuan untuk
membantu konsumen dalam mengetahui status kehalalan dari sebuah
produk, sehingga memberikan keamanan, kenyamanan dan ketentraman
bagi konsumen untuk memilih berbagai produk yang terdapat di pasaran.
Informasi inilah yang dibutuhkan konsumen pada produk pangan halal.
Dengan informasi yang simetris konsumen dapat menentukan pilihannya
untuk mengkonsumsi produk pangan halal, karena informasi yang simetris
merupakan kesejahteraan bagi konsumen, sehingga dengan sertifikasi dan
labelisasi halal ini tercipta keadilan pasar bagi konsumen. Akan tetapi, sifat
dari sertifikasi halal sebuah produk di Indonesia saat ini masih bersifat
voluntary, bukan mandatory. Artinya, pelaksanaan sertifikasi halal saat ini
masih bergantung kepada kesadaran pelaku usaha.
2. Proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh LPPOM MUI Jawa Barat telah
menerapkan prinsip Good Corporate Governance (yang selanjutnya
disingkat menjadi GCG). Ini dibuktikan bahwa dalam melakukan proses
sertifikasi halal, LPPOM MUI Jawa Barat telah menerapkan lima prinsip
GCG, yaitu TARIF (Transparency, Accountability, Responsibility,
Independency, dan Fairness) .
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti
mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Bagi konsumen, perlunya sikap kritis terhadap pangan yang akan
dikonsumsinya dan jangan mengkonsumsi pangan di restoran yang tidak
memiliki sertifikat halal. Dengan begitu, jika restoran yang tidak memiliki
sertifikat halal sepi pengunjung, maka ia akan melakukan proses sertifikasi
halal.
2. Bagi LPPOM MUI baik pusat maupun daerah, serta lembaga-lembaga lain
di Indonesia agar menerapkan prinsip GCG. Oleh karena itu, peneliti
menyarankan dibentuknya sebuah peraturan yang mewajibkan semua pihak
yang terkait untuk memperhatikan dan memenuhi persyaratan GCG dalam
melaksanakan proses sertifikasi halal.
3. Peneliti menyarankan agar pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
(Undang-Undang Jaminan Produk Halal) agar ketentuan yang terdapat di
dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal dapat dilaksanakan oleh
badan ataupun lembaga yang telah diberikan wewenang oleh undang-
undang tersebut guna memberikan perlindungan terhadap konsumen muslim.
89
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Quran Al-Karim.
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet.8. Jakarta:
Rajawali Pers, 2014.
Ardiansyah, Panji. Etika Bisnis. Cet.1. Yogyakarta: Quadrant, 2017.
Djakfar, Muhammad. Hukum Bisnis. T.tt.: UIN Malang Press, 2009.
Farma, PT Pyridam. Pedoman Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate
Governance). T.tt.: T.tp., 2016.
Girindra, Aisjah. LPPOM MUI Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal. Jakarta: LP POM
MUI, 2005.
Hosen, M. Nadratuzzaman, dkk. Gerakan 3 H Ekonomi Syariah; Halal Memperoleh,
Halal Mengkonsumsi dan Halal Memanfaatkan. Jakarta: Pusat Komunikasi
Ekonomi Syariah, 2007.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, Ed. I, Cet. IV. Jakarta:
Sinar Grafika, 2014.
Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia. Jakarta: T.tp., 2006.
LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminian Halal LPPOM MUI. Jakarta:
LPPOM MUI, 2008.
LPPOM MUI, HAS 23000: Persyaratan Sertifikasi Halal. T.tp.: t.t., 2012.
LP POM MUI Jawa Timur. Bunga Rampai Petunjuk Produk Halal. Surabaya:
Lutfiansah Mediatama, 2004.
Lukviarman, Niki. Corporate Governance. Solo: Era Adicitra Intermedia, 2016.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2015.
Mashudi, Kontruksi Hukum & Respons Masyarakat terhadap Sertifikasi Produk
Halal; Studi Socio-legal terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Cet.1. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit
Media, 2001.
Qardhawi, Yusuf. Halal Haram dalam Islam. Jakarta: Era Intermedia, t.th.
Roswiem, Anna Priangani. Buku Saku Produk Halal; Makanan dan Minuman. Cet.1.
Jakarta: Republika, 2015.
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate
Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik). Cet.1. Bandung: CV
Mandar Maju, 2007.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2004.
Shofie, Yusuf. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008.
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Cet.3. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2014.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia; Studi atas Fatwa Halal MUI
terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika. Cet.1. Jakarta:
Gaung Persada Press Group, 2013.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. IV. Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Gramedia, 2003.
Yaqub, Ali Mustafa. Kriteria Halal Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika
Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Cet.2. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2013.
Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan.
Internet
Akhmad, Dias. “Pengertian Buffet Service”. Artikel diakses pada tanggal 18
Desember 2016 dari http://www.restofocus.com/2015/05/pengertian-buffet-
service.html
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, “Jumlah Restoran/Rumah Makan Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat, 2013-2016”, artikel diakses pada 01
April 2018 dari https://jabar.bps.go.id/statictable/2018/03/23/472/jumlah-
restoran-rumah-makan-menurut-kabupaten-kota-.html
Indonesia-Investments, “Agama di Indonesia”, artikel diakses pada 14 April 2017
dari https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69.
KlikLegal.com. “Ini Delapan Tahap untuk Mendapatkan Sertifikat Halal”. Artikel
diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 dari https://kliklegal.com/ini-delapan-
tahap-untuk-mendapatkan-sertifikat-halal/.
Kusumasari, Diana. “Bagaimana Pengaturan Sertifikasi Halal bagi Produk
Makanan?”. Artikel diakses pada tanggal 04 Deseber 2016 dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3808/bagaimana-pengaturan-
sertifikasi-halal-bagi-produk-makanan
LPPOM MUI. “Sertifikat Halal MUI”. Artikel diakses pada 14 April 2017 dari
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/
1.
LPPOM MUI, “Statistik Sertifikasi Halal Indonesia”, artikel diakses pada 28 Mei
2018 dari
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/59/1368/page/
1.
LPPOM MUI. “Visi Misi”. Artikel diakses pada 19 Desember 2017 dari
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/131/1513/page
/1.
LPPOM MUI. “Prosedur Keluhan dan Banding”. Artikel diakses pada 15 Januari
2018 dari
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/147/1545/page
/1
LPPOM MUI KEPRI. “Biaya Sertifikat”. Artikel diakses pada 15 Januari 2018 dari
http://www.halalmuikepri.com/biaya-sertifikat/.
Medore, Quriesh. “MUI Himbau Semua Restoran Segera Ajukan Sertifikat Halal”.
Artikel diakses pada tanggal 11 Juni 2016 dari
http://mui.or.id/homepage/berita/berita-singkat/mui-himbau-semua-restoran-
segera-ajukan-setifikat-halal.html
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, “Penduduk”, artikel diakses pada 01 April 2018 dari
http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/75.
Republika.co.id, “Baru 48 Restoran di Indonesia yang Bersertifikat Halal”, artikel
diakses pada 14 April 2017 dari
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-
ekonomi/17/06/30/oscz2j330-baru-48-restoran-di-indonesia-yang-
bersertifikat-halal.
Sang Pencerah (The Muhammadiyah Post), “Persentase Jumlah Umat Islam Berbagai
Daerah di Indonesia”, artikel dikases pada 11 Juli 2018 dari
http://sangpencerah.id/2014/12/persentase-jumlah-umat-islam-berbagai/.
Tribun Pontianak. “MUI Temukan Bumbu Resto Solaria Mengandung Babi”. Artikel
diakses pada 12 Oktober 2016 dari
http://pontianak.tribunnews.com/2015/11/24/mui-temukan-bumbu-resto-
solaria-mengandung-babi
Tunas. “Pengembangan Tata Kelola Perusahaan”. Artikel dikases pada 27 Desember
2017 dari http://www.tunasgroup.com/prinsip-dasar-dan-pengembangan-tata-
kelola-perusahaan/.
Jurnal
LP POM-MUI. “Jurnal Halal: Menenteramkan Umat”. Nomor 111/XVIII/2015,
(2015): 7.
Hidayat, Asep Syarifuddin dan Mustolih Siradj. “Argumentasi Hukum Jaminan
Produk Halal”, Jurnal Bimas Islam, Nomor 1 (2015): 8.
Interview
Interview Pribadi dengan Agus Sugilar, Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan
Keuangan LPPOM MUI Jawa Barat, Bandung, 03 Januari 2018.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
“Transkrip Wawancara dengan Wakil Pimpinan Bidang Administrasi dan Keuangan
LPPOM MUI Jawa Barat, Ir. H. Agus Sugilar”
Tika : Berapa besar perbandingan restoran di Jawa Barat yang telah memiliki dan yang
tidak memiliki label halal hingga saat ini?
Bapak Agus : Banyak yang belum, Mbak, saat ini untuk restoran. Kalau untuk masalah
persentase kita tidak memiliki datanya, ya, berapa jumlah restoran di Jawa Barat,
itu kita tidak memiliki datanya. Saya akui di Jawa Barat, kalau restoran itu yang
paling sedikit sebetulnya dalam melakukan sertifikasi halal.
Tika : Dengan masih adanya restoran yang tidak memiliki label halal, apakah hal ini
berarti mensertifikasi halal sebuah restoran tidak semudah mensertifikasi halal
produk makanan dan minuman kemasan? Jika ya, mengapa mensertifikasi halal
sebuah restoran tidak semudah mensertifikasi halal produk lainnya?
Bapak Agus : Tidak. Bukan masalah itu sebetulnya. Karena kembali lagi kepada sifat
sertifikasinya itu ya, mungkin. Sekarang tidak semuanya produsen aware dengan
sertifikasi halal. Konsumen sekarang sudah mulai cerdas, ya, oh ini sudah halal,
Mc Donalds, Kentucky, ini sudah halal. Kayak kita aja ya kalau kita keluar kota,
cari makan kalau memang tidak ada rumah makan yang belum bersertifikat halal
kan kesitu. Carinya Kentucky, lah, Mc Donalds, lah, kan kembali lagi ke situ. Jadi
kembali lagi kepada konsumen, mungkin juga konsumen tidak mendorong suatu
rumah makan harus halal, kan tidak juga. Kadang kan konsumen juga tidak mau
terlalu mengurusi hal ini, ya, yaudah, cari yang sudah halal saja. Tidak bisa
memaksakan, ya. Karena lagi-lagi sifat sertifikasi halal itu masih sukarela, belum
diwajibkan. Dan produsennya itu sendiri belum mengutamakan ke situ. Apalagi
kalau sifatnya kedaerahan. Di daerah itu kalau sudah miliknya Pak Haji, ya sudah,
diyakini sudah pasti halal. Jadi yang kritis-kritisnya, ya, yang seperti itu.
Tika : Dalam melakukan sertifikasi halal terhadap restoran-restoran yang ada di Jawa
Barat, apa saja kendala yang berasal dari internal ataupun eksternal yang dihadapi
oleh LPPOM MUI Jawa Barat?
Bapak Agus : Kalau proses sertifikasi kita kan sudah ada prosedurnya, ya, kita hanya perlu
menjalani itu. Karena ada dalam HAS 23000, ya, kita hanya tinggal mengikuti itu.
Cuma kendala yang menyebabkan misalnya suatu perusahaan prosesnya lama,
terutama untuk catering, restoran, rumah makan paling kendalanya dia agak
memakan waktu. Kenapa? Karena dalam hal penggunaan bahan. Bahan-bahan
yang digunakannya ini belum didukung oleh dokumen halal yang ditetapkan.
Misalnya kebutuhan dagingnya, nah, di Kota Bandung saja, Rumah Potong Halal
(RPH) nya saja hanya ada 5 (lima) buah yang milik pemerintah dan yang telah
tersertifikasi belum semuanya, baru beberapa. Belum lagi ada penggunaan barang
yang memang kita tidak sarankan untuk digunakan karena memang bahannya
tidak halal, ya, nah tetapi dalam satu sisi set-nya memang menginginkan itu,
karena kendala untuk rumah makan atau restoran itu adanya adalah di set. Kalau
set-nya dia punya khas dari menunya ini, gitu ya, dia harus menggunakan suatu
bahan. Nah untuk mengubah itu kan tidak mudah. Kendalanya mungkin sudah
memakai bahan halal, namun tidak laku atau tidak enak, larinya kan ke situ
mereka. Seperti penggunaan angciu kan masih ada beberapa restoran yang
memakainya. Jadi kendalanya itu kembali lagi pada perusahaan masing-masing.
Tika : Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses sertifikasi halal dari awal hingga
akhir? Apakah selama ini proses sertifikasi halal di LPPOM Jawa Barat telah
sesuai dengan jangka waktu tersebut?
Bapak Agus : Proses sertifikasi halal dari awal sampai akhir, sebenarnya target sasarannya 29
(duapuluh sembilan) hari harus sudah selesai. Tapi ya itu tadi kembali pada
perusahaan. Apalagi sekarang CEROL itu menjadi wajib. Jadi semua itu sekarang
sudah melalui CEROL. Nah, tidak semua perusahaan telah memahami CEROL.
Walaupun kita sudah menyediakan ruang penyuluhan mengenai CEROL tersebut.
Nah yang belum paham mereka datang, lalu kita bantu mereka mulai dari
penyusunan manualnya sampai daftar di CEROL itu terjadwal, ya, dalam satu hari
dari Senin sampai Kamis itu diantara kita rolling, dua orang, untuk memberikan,
bukan pelatihan secara intens ya, hanya pengenalan bagaimana sih Sistem Jaminan
Halal, bagaimana sih masuk ke CEROL. Karena kalau untuk pelatihan intens kan
tidak cukup hanya dengan satu atau setengah hari. Tapi kita mengenalkan ini loh
manual SJH, ini loh template manual sistem jaminan halal itu seperti ini. Apa yang
harus dilakukan oleh perusahaan. Kayak sekarang ini, jam 10 tuh sudah ada orang
di atas, jadi untuk mereka yang ingin mendaftar sekarang kalau mau bikin manual,
silakan, pemahaman dulu tentang SJH. Nanti setelah istirahat, balik ke ruangan itu
untuk CEROL-nya. Minimal sampai ke registrasi, perusahaan tersebut punya akun
di CEROL, sampai ke username, dia punya nomor NIK nya segala macam. Nanti
kita tunjukin ini masuk kemana, kemana, nanti dia paham, dia kan tinggal ngerjain
di perusahaannya atau di rumah. Kalau masih kendala, ya, datang lagi sampai dia
paham. Karena tidak mudah, ya, apalagi kalau untuk lingkup provinsi kan,
menengah ke bawah, ya, perusahaannya, artinya kan sumber dayanya juga terbatas,
jadi untuk memahami itu kan tidak mudah.
Jadi jangka waktu sertifikasi halal itu kembali lagi kepada perusahaan masing-
masing. Tergantung masing-masing perusahaannya. Kalau sudah online, masuk ke
CEROL, kan perusahaannya sendiri yang memonitoring. Misalnya sampai 3 (tiga)
bulan kalau belum selesai, ya, belum selesai, belum bisa diaudit. Dia harus
memeriksa manual SJH, nanti SJH kan harus di upload juga ke CEROL. Nanti ada
juga di sini admin SJH, kita periksa SJH-nya, kalau belum memadai ya kita
kembalikan lagi ke perusahaan yang bersangkutan. Dokumen-dokumen juga sama,
daftar bahannya, produk, segala macam itu ada juga bagian admin yang cek
dokumen. Kalau dokumennya belum lengkap dikembalikan lagi ke perusahaan
yang bersangkutan.
Jadi intinya jangka waktu proses sertifikasi halal itu waktunya 29 (duapuluh
sembilan) hari tapi kembali lagi kepada perusahaan yang melakukan sertifikasi
tersebut bisa cepat atau lama. Bahkan ada juga yang kurang dari 29 hari untuk
menyelesaikan proses sertifikasi halal. Apalagi sistemnya sekarang sudah online
seperti ini. Kita sudah pantau semuanya, kalau sudah tidak ada masalah dalam
audit, besok sidang fatwa, karena untuk sertifikasi kan tergantung sidang fatwa
juga. Kita kalau target sidang fatwa, itu terakhir kemarin kita bisa sidang sebulan
dua kali sidang fatwa. Sidang fatwa ini pada dasarnya bersifat kondisional, jadi
kalau sudah banyak yang harus sidang fatwa ya kadang itu tadi, sebulan dua kali.
Kalau misalnya dijadwalkan sebulan sekali, kalau memang tidak ada hal yang
disidangkannya juga untuk apa.
Tika : Kalau jangka waktu untuk auditnya bagaimana, Pak? Membutuhkan waktu berapa
lama?
Bapak Agus : Kalau jangka waktu untuk auditnya sendiri hanya butuh waktu seharian, kalau
misalnya tidak ada kendala. Seharian itu tuntas kalau tidak ada masalah. Kalau ada
masalah itu kita lihat, lalu jadwal ulang. Masalahnya biasanya terletak pada ada
bahan yang misalnya tidak direkomendasi atau bahan yang memang sudah
dinyatakan tidak halal. Kan kalau bahan yang dinyatakan jelas tidak halal, dari
sejak cek dokumen juga sudah terdeteksi. Cuma kalau permasalahan dalam audit
adanya temuan bahan yang belum masuk, ada SJH nya yang kurang disana sini,
karena untuk SJH nya kan status minimalnya harusnya kan B. Kalau penilaian B
itu kan artinya ada penilaian-penilaian khusus, ya dari tim SJH. Kemudian baru
dinyatakan layak proses sertifikasi. Nanti misalnya pada saat audit, nah itu
langsung tuh bagi perusahaan di CEROL-nya masukin apa yang kurang. Bahan
atau produk atau prosedur yang kurang. Tergantung dari perusahaan itu nanti.
Kalau memang diperlukan untuk audit lagi, ya kita jadwalkan untuk audit ulang.
Kalau memang dinyatakan, temuannya yang minor, gitu ya, ya itu bisa tidak
diaudit lagi dengan catatan perusahaan akan memperbaiki.
Tika : Bagaimana sih Pak, proses/tahapan pemeriksaan atau audit yang dilakukan oleh
LPPOM Jawa Barat terhadap suatu restoran?
Bapak Agus : Kan di CEROL sudah ada itu sudah jelas. Di CEROL itu apa yang dikerjakan
sebagai auditor, dari mulai cek dokumennya apa, cek materialnya apa, nantikan di
situ auditor sudah memberikan komen-komennya. Sehingga nanti di lapangan, di
perusahaannya, buka komennya, lalu dikonfirmasi.
Contohnya seperti ini, saya auditor, saya sudah punya akun CEROL. Misalnya
saya diberi tugas mengaudit sebuah restoran, nanti saya tinggal masuk ke CEROL,
lalu secara penjadwalan misalnya tiga hari ke depan saya harus audit, misalnya
Senin, nah itu antara besok (Kamis) itu sudah masuk ke saya nama perusahaan
yang harus saya audit. Kalau tahapannya biasa, kayak meneliti, seperti itu kan, ya
standarnya begitu.
Sebelum melakukan audit, ketika kita baru mendapatkan nama perusahaan dari
bagian auditing kita sudah mengecek terlebih dahulu dokumen halalnya,
produknya, sampai materialnya, ini kita sudah melakukan audit disini. Jadi nanti
saya lihat, saya menilai mengenai dokumen-dokumen yang sudah diberikan oleh
perusahaan dan nanti itu saya berikan komentar. Nah komen yang saya berikan
dalam CEROL ini nanti langsung sampai ke perusahaan. Jadi kalau perusahaan
yang sudah paham, dia baca komentar-komentar yang telah saya berikan kemudian
perusahaan telah mempelajari itu sehingga begitu saya akan melakukan audit di
lapangannya perusahaan sudah mempersiapkan apa sih yang telah saya komen
sebelumnya itu.
Tika : Sampai dengan saat ini, Apakah pernah terdapat permasalahan dalam hal proses
pemeriksaan restoran di Jawa Barat? Misalnya tindakan curang yang dilakukan
oleh pelaku usaha, seperti menyuap tim auditor halal LPPOM MUI Jawa Barat
agar usahanya dapat lolos sertifikasi halal? Apakah di LPPOM Jawa Barat pernah
terjadi kasus seperti ini? Jika ada, bagaimana tim auditor menanggapinya?
Bapak Agus : Kalau kita kan sudah komitmen ya, kita disini semua sama. Kalau auditor kita di
Jawa Barat kan sedikit, kalau disini saja hanya ada 12 orang, jadi kan kontrolnya
gampang. Jadi kita pegang kode etik auditor itu mudah. Kita kontrol. Apalagi
sekarang sudah CEROL seperti ini. Jadi misalnya teman saya yang ditugaskan
untuk mengaudit seuatu perusahaan, saya kan bisa kontrol dari CEROL juga. Jadi
seandainya ada hal-hal yang ganjil, misalnya kenapa ini kok bisa lolos, itu bisa
terlihat. Apalagi tahapannya setelah audit, sebelum sidang fatwa itu ada rapat
auditor. Kita semua auditor itu berkumpul membahas perusahaan yang akan masuk
ke sidang fatwa. Itu semua bahan, semuanya dibuka. Temuan auditnya apa,
masalah di perusahaannya apa, itu dibahas semuanya dan tidak ada batasan apa-
apa lagi. Semua fungsinya sama sebagai auditor yang memilik tanggungjawab
dunia akhirat lah untuk suatu perusahaan. Sampai saat ini alhamdulillah sudah
bagus auditor di LPPOM Jawa Barat ini.
Dan sebaliknya jika ada suatu perusahaan yang menurut pengamatan saya, ini
bahan di perusahaan ini kok tidak begitu kritis permasalahannya, tidak begitu
kompleks, kenapa belum masuk sidang aja, misalnya begitu ya, kenapa niih
kendala di auditor. Nah itu kan juga termasuk kontrol juga. Jadi kita tanya kenapa
perusahaan ini belum masuk? Ada masalah apa? Oh masalahnya disini, apa tidak
bisa diselesaikan? Bisa tidak? Atau solusinya bagaimana? Cari solusinya,
sampaikan ke perusahaan.
Tika : Apakah dalam melakukan proses sertifikasi halal LPPOM Jawa Barat telah
menerapkan prinsip transparan? Yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil
dan relevan terkait sertifikasi halal yang sedang dilakukan?
Bapak Agus : Perusahaan kan punya di akunnya perusahaan disini yang namanya monitoring.
Dia dapat memonitor langsung di CEROL. Misalnya saya ditugaskan audit hari
Senin, nah saya belum ngapa-ngapain tuh, belum memeriksa dokumen-dokumen
yang sudah ia berikan/unggah, nah perusahaan juga bisa bertanya tuh. Ada apa?
Jadi mereka ada menu yang namanya Menu Monitoring, lalu ada menu pre audit,
audit, dan pasca audit. Nah jadi misalnya saya belum mengisi menu pre auditnya,
lalu perusahaan nanya kenapa kok Bapak belum ngasih pre audit?
Kan kalau disini perusahaan sudah tahu yang ditugaskan menjadi auditor untuk
perusahaan tersebut saya. Atau kadang perusahaan langsung menelpon ke
sekretariat, bisa minta nomornya Bapak/Ibu ini (yang menjadi auditor di
perusahaan tersebut). Nah nanti perusahaan komunikasi langsung ke auditornya.
Misalnya mengenai penjadwalan audit atau perusahaannya ada masalah apa,
negosiasi waktunya boleh tidak. Ya seperti itu.
Tika : Apakah dalam melakukan proses sertifikasi halal LPPOM Jawa Barat telah
menerapkan prinsip kemandirian? Yaitu tidak terdapatnya benturan kepentingan
dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun saat sedang melakukan sertifikasi halal?
Bapak Agus : Yang menekan kita siapa? Iya karena pelaku usaha juga tidak bisa melakukannya.
Ya ada suatu perusahaan yang misalnya kenal dengan pengurus MUI, kalau sudah
kenal begitu biasanya perusahaan minta dipercepat nih sertifikasinya. Nah, tapi
kan MUI nya juga sudah paham.
Ya kalau seperti itu kita tanggapi saja. Tapi di MUI itu sendiri juga kan bijaksana,
ya, perihal daftar misalnya. Kadang sudah daftar lewat sekretariat atau si
perusahaan langsung. Paling pak sekum panggil saya, Pak Agus ini, perusahaan ini
katanya daftarnya sudah lama, sudah sampai mana ini prosesnya? Lalu kemudian
saya cek, oh ternyata perusahaan ini malah belum diaudit. Nah saya sampaikan.
Belum diaudit pak, ini kendalanya disini, disini. Apalagi untuk rumah makan
seperti itu kan tidak mudah, ya, karena bahannya itu banyak sekali, tidak sedikit.
Yang namanya manual SJH, 11 kriteria ini yang kita sampaikan dalam penyuluhan
harian. Apa yang harus mereka buatkan. Mereka harus bikin prosedur tertulis,
prosedur-prosedur yang sederhana tapi harus tetap mereka buat karena itu jaminan
kita.
Tika : Apakah selama ini LPPOM Jawa Barat pernah menerima pengaduan konsumen,
seperti mengenai ditemukannya kejanggalan atas restoran atau produk makanan?
Bagaimana LPPOM Jawa Barat menindaklanjuti pengaduan konsumen tersebut?
Bapak Agus : Kalau mengadu sih sejauh ini tidak ada, tapi kalau bertanya iya. Kalau bertanya
sering. Konsumen yang ingin bertanya ke LPPOM Jawa Barat itu bisa langsung
melalui web kita, e-mail kita atau menghubungi langsung juga bisa. Lebih
seringnya kita menerima pertanyaan-pertanyaan itu lewat telepon atau e-mail.
Web LPPOM itu hanya satu, hanya pusat. Tidak ada web LPPOM daerah, kan
alamatnya satu halalmui.org. Jadi kalau misalnya ada pertanyaan dari masyarakat
yang masuk web, itu kan pusat yag mengelola, nanti dari pusat disampaikan ke
provinsi.
Tika : Apakah fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ-organ di LPPOM
Jawa Barat telah bekerja sesuai prosedurnya masing-masing sehingga pelaksanaan
sertifikasi halal terlaksana secara efektif? Apakah pernah terjadi pelanggaran yang
dilakukan oleh salah satu pekerja LPPOM Jawa Barat? Apa sanksi yang diterapkan
jika salah satu pekerja melakukan pelanggaran?
Bapak Agus : Setiap akhir tahun kan kita ada yang namanya lapor pertanggungjawaban masing-
masing. Yang pertama dari masing-masing intern dulu, yaitu setiap bagian-bagian
di LPPOM per-daerah. Nanti akhirnya dari pak direktur ke pusat, termasuk laporan
keuangan. Laporan keuangan kita diaudit oleh akuntan publik. Alhamdulillah
sudah dapat status Wajar Tanpa Pengecualian.
Mengenai pelanggaran dan sanksi, kalau kita kan dari awal apapun ada masalah
kan dimusyawarahkan. Jadi belum sampai ke pelanggaran yang fatal kan sudah
terdeteksi dari awal. Jika ada yang melakukan kejanggalan jadi sudah
diberitahu/dinasihati terlebih dahulu. Karena kita paham jugalah kalau pekerjaan
ini tanggung jawabnya moral. Ya, alhamdulillah sampai saat ini tidak ada yang
melakukan pelanggaran fatal hingga pemberian sanksi.
Tika : Adakah upaya peningkatan atau pengembangan yang dilakukan LPPOM Jawa
Barat agar organ-organ di LPPOM Jawa Barat tetap bekerja secara maksimal?
Bapak Agus : Pengembangannya kalau dari kita kan ada pelatihan-pelatihan eskternal. Eskternal
itu artinya keluar dari kantor ini tapi untuk internal kitanya. Misalnya ke pusat,
karena pusat juga begitu aware terhadap provinsi/daerah. Apalagi sekarang yang
namanya LPPOM dimanapun itu harus selalu sama, satu kesatuan, satu entitas. Bai
prosedur, kebijakan, dan lain-lain itu harus satu entitas. Kalau sudah satu entitas itu
sudah tidak bisa dibedakan lagi, mana pusat, mana provinsi. Untuk mengejar ke
arah situ kan pusat juga tidak tinggal diam, semua auditornya diberikan pelatihan
dan pendidikan. Dan selama ini sampai saat ini alhamdulillah tidak pernah terjadi
permasalahan dalam internal dan mudah-mudahan memang tidak akan terjadi.
Tika : Apakah sertifikasi halal yang dilakukan LPPOM Jawa Barat selama ini telah
menerapkan keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak pelaku usaha yang
mengajukan permohonan sertifikasi halal dan juga konsumen?
Bapak Agus : InsyaaAllah. Itu target kita malahan. Dengan adanya CEROL itukan ya tujuannya
untuk mencapai itu. Dulu kan banyak ketidakpahaman, itu tadi kecurigaan-
kecurigaan itu, oh, perusahaan ini mah bisa cepet nih karena kenal sama pengurus
MUI, untuk menepis itu kita buktikan melalu pengadaan CEROL ini.
Tika : Sertifikasi halal adalah proses dari hulu sampai hilir, setelah MUI Jawa Barat
memberikan sertifikat halal kepada suatu restoran, apakah ada pengawasan lebih
lanjut yang dilakukan oleh MUI Jawa Barat kepada restoran tersebut agar restoran
tersebut tetap menjaga kehalalannya? Bagaimana MUI Jawa Barat mengontrol dan
mengawasi restoran tersebut agar tetap menjaga kehalalannya?
Bapak Agus : Yang namanya manual sistem jaminan halal itu adalah pengawasan. Di dalam
manual SJH itu ada namanya tim manajemen halal. Tim manajemen halal atau
biasa disebut dengan halal internal auditor itu merupakan mata dan pengawasan
kita, mereka yang melakukan komunikasi dengan kita. Sistemnya, pelaporan
mereka per enam bulan, atau untuk produk-produk tertentu yang high risk, itu ada
kita yang namanya sidak.
Sampai saat ini belum pernah ada pelanggaran yang dilakukan oleh halal internal
auditor. Ini juga dikarenakan jumlah restoran yang telah melakukan sertifikasi
halal di Jawa Barat ini juga belum banyak. Bahkan halal internal auditor ini kan
tugasnya untuk komunikasi dengan kita. Bahkan dia mau ganti kecap saja itu harus
komunikasi dulu dengan kita. Karena kecapnya belum masuk ke dalam daftar
bahan yang sudah disetujui, mereka harus bertanya dulu boleh tidak menggunakan
bahan ini. Bahan ini belum termasuk ke dalam daftar produk halal. Kan ada
prosedurnya harus izin dulu, konfirmasi ke kita. Nah pengawasan untuk halal
internal auditor ini kita lakukan dengan sidak yang kita lakukan secara random dan
tanpa penjadwalan.
Tika : Apa yang dimaksud dengan Sistem Jaminan Halal sebagai salah satu strategi
implementasi Good Corporate Governance/Citizenship?
Bapak Agus : Yang diharapakan dari GCG itu tadi apa. Nah kan tadi SJH itu ada 11 kriteria, nah
dalam 11 kriteria itu termasuk dengan bahan, produk, proses produksinya, sampai
ke penelusuran (trust ability) nya. Itu kan harus secara tertulis. Administrasinya
harus benar-benar rapi. Nah itu yang terbuka kan, di situ ada catatan produksi, di
situ ada yang namanya formal tertulisnya. Intinya ini visinya, visi dari adanya SJH
ini tuh ke arah GCG ini.
Tika : Apakah sertifikat halal yang dimiliki oleh pelaku usaha sudah benar-benar
menjamin perlindungan bagi konsumen muslim?
Bapak Agus : Sebetulnya yang memanfaatkan sertifikat halal bukan hanya muslim saja. Orang
non muslim sebenarnya juga care dengan halal cukup tinggi. Jadi kalau untuk
Muslim itu, iya, sudah melindungi. Bahkan untuk non muslim. Itu banyak non
muslim yang bertanya mengenai halal, banyak non muslim yang memanfaatkan
sertifikasi halal, terlepas dari fungsinya untuk apa. Karena tidak semua non muslim
makan B2 kan. LPPOM MUI Jawa Barat sudah melakukan proses sertifikasi halal
dengan sebaik-baiknya, sudah seterbuka mungkin. Jadi sudah menerapkan prinsip
GCG itu secara tidak langsung. Jadi sertifikat halal ini sudah tidak perlu diragukan
lagi. Karena kita sudah berusaha dari awal, screening nya seperti apa, dari mulai
penamaan, bentuk, sampai ke merk.
Tika : Kalau untuk pengawasan LPPOM MUI Jawa Baratnya sendiri bagaimana, Pak?
Bapak Agus : Yang mengawasi kita itu bukan hanya intern kita saja, tetapi juga eksternal. Seperti
LPPOM pusat itu kan juga mengawasi kita. Karena semua produk yang sudah
disertifikasi itu kan masuk ke pusat, ke database pusat, ke daftar produk halal. Jadi
artinya mereka kan juga baca, mereka juga turut serta.
Kayak kemarin ada perusahaan yang hanya memberikan bentuk yang memang
tidak sesuai dan memang perusahaan yang salah, yang tidak memahami. Kan ada
moment apa, dia memberikan bentuk yang memang tidak diperbolehkan. Nah itu
kan dari pusat juga langsung konfirmasi. Atau ada penamaan. Karena untuk
masalah sertifikasi halal itu bukan hanya zatnya saja. Nama dan bentuk itu juga
berpengaruh. Sebuah nama produk tidak boleh memuat nama yang berhubungan
dengan yang tidak halal. Ataupun bentuk, seperti bentuk babi misalnya itu kan
tidak boleh. Itu sudah ada SK nya. Sampai saat ini kita saling memantau.
Jangankan itu, yang salah aplikasi saja dapat terpantau. Kita pernah ada dari
sertifikat itu untuk rumah potong ayam. Yang punya itu sudah beberapa kali
konsultasi. Saya bilang tidak boleh, tetap untuk restorannya harus diurus karena
yang namanya restoran itu bukan hanya ayam saja. Dan itu juga sistemnya sudah
berbeda. Itu harus diurus.
Nah ternyata ada yang beli ayamnya dia, karena ayamnya khas mungkin ya. Lalu
dibawa ke Kepulauan Riau, di sana dia buka counter rumah makan yang khusus
ayam itu. Dicantumin lah logo halalnya sama nomor sertifikat halalnya. Padahal
nomor sertifikat halal tersebut untuk rumah potong ayamnya. Nah LPPOM sana
kan langsung foto rumah makannnya tersebut, kirim ke kita. Nah kita langsung
berikan teguran untuk rumah potong ayam yang bersangkutan. Kita berikan bukti-
buktinya. Jadi ini bukti kita satu entitas, saling bantu membantu, saling care, saling
menjaga.
Tika : Nah, waktu kasus yang pernah beredar dulu mengenai penemuan bahan haram di
Solaria yang sudah mengantongi sertifikat halal, gimana tuh, Pak?
Bapak Agus : Dalam kasus Solaria di Kalimatan, terdapat kesalahan di tim analisa. Itu kan
menggunakan tes kit, spread test. Alat itu punya dua kategori. Satu, kategori yang
murni untuk B2 dan turunannya. Itu di speck alatnya juga sudah tertulis kalau dia
menggunakan alat yang salah. Kedua, spread test atau tes kit itu tujuannya bukan
untuk justifikasi. Kalau di dunia sains, yang namanya uji lab itu 2, yaitu kuantitatif
dan kualitatif. Nah spread test itu hanya kuantitaf saja, untuk praduga saja. Kayak
kita disini misalnya ada produk yang ada kecurigaan. Nah kita lakukan terlebih
dahulu spread test itu, positif atau negatif. Nah kalau misalnya positif itu kan tidak
hanya sampai disitu, itu harus langsung dilakukan analisa kualitatif, menggunakan
alat yang lebih canggih, PCR, dan melalui lab. Lab ini sendiri juga harus
memenuhi standar. Standarnya apa? Apakah lab ini mempunyai lingkup untuk
analisa B2 tidak? Makanya kan di lab juga ada KAN nomor sekian, punya SNI
sekian, kan gitu ya, itu adalah metode-metode untuk analisisnya. Nah dilihat tuh
apakah lab KAN nomor sekian itu mencakup lingkup B2 tidak. Kan tidak semua
lab memiliki itu. Kemudian tidak semua orang dapat melakukan analisa. Kalau di
dunia sains itu kan tidak sembarangan orang bisa ambil sample. Karena yang ambil
sample saja harus orang yang memiliki kompetensi untuk mengambil sample. Kan
seperti itu.
Nah, untuk kasus Solaria ini masih analisa kuantitatif, hanya untuk praduga saja,
tapi sudah langsung dipublikasikan. Itu bukan hanya Solaria. Ada beberapa kasus
lain seperti baso di Banten, itu kan juga salah analisanya. Jadi kasus-kasus ini
terjadi karena prosedurnya yang salah. Tidak bisa sekalipun itu tes kit, spread test,
menjadi dasar halal atau haram suatu bahan.