PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus Di Dusun Canggal Desa Sidoharjo
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh : SITI KARIMAH NIM: 21112006
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
i
PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus Di Dusun Canggal Desa Sidoharjo
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh : SITI KARIMAH NIM: 21112006
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
iii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Penagajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan Hormat, Setelah dilaksanakan bimbingan, arahan
dan koreksi,maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Siti Karimah
NIM : 211-12-006
Judul :PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun
Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diajukan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Salatiaga, 14 Marer2017 Pembimbing
Dr. Ilyya Muhsin, S.HI.,M.Si NIP. 19790930 200312 1001
iv
PERYATAAN KEASLIAN
Yang bertandatangan di bawah ini
Nama : Siti Karimah
Nim : 211-12-006
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syari’ah
Judul Skripsi :PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun Canggal
Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapat dalam skripsi saya ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 14 Maret 2017
Yang Menyatakan
Siti Karimah
NIM: 21112006
vi
MOTTO
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam
(QS. Al An’am: 162)
vii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta
karunian-Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Bapak dan Mamakku tercinta, Bapak Achwan dan Mamak Umi Salamah
karya ini terangkai dari keringat, air mata dan do’amu berdua. Setiap
keringat dan air mata yang keluar karenaku menjelma dalam setiap huruf,
setiap do’a yang terpanjat menyatu menyampuli karya hidupku.
Kakakku yang akubanggakanMbakAprilliaNurLailatunnajah,
perjuanganmumenjadicambukdansemangatku.
Semogakaryainimampumembuatmubanggadanmampumenggantikanperan
kusebagaiadik yang selamainiselalumanjadanterabaioleh ego daninginku.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirahim
Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERKAWINAN
POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang)” tanpa halangan yang berarti.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Agung nabi
Akhiruzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta
pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah
yang membawa umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman terang
benderang dan semoga kita semua mendapatkan Syawaatnya nanti di yaumul
qiyamah, Amin yarobbalalamim.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan bayak terima kasih kepada:
1. Dr . Rahmat Haryadi , M.Pd. , selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dra. Siti Zumrotun, M, Ag. , Selaku Dekan Fakultas Syariah
3. Sukron Ma’mun, M. Si, selaku Ketua Jurusan AhwalAL Syakhshiyyah.
4. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M. Si, selaku dosen pembimbing yang dengan
ikhlas membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan
tenaganya untuk penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.
ix
5. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat
bermanfaat.
6. Kedua orang tuadankakakpenulis yang
telahmemberikandanmencurahkansegalakemampuannyauntukmemenuhike
inginanpenulisuntuktetapbersekolah.
Tanpamerekamungkinkaryainitidakakanpernahada.
7. Kanda, YundadanAdinda di HMI CabangSalatiga yang senantiasa member
masukandanhiburan di saatakulalaidalamperjuanganku.
8. Seluruhteman-temanseperjuanganku di Ahwal Al Syakhshiyyahangkatan
2012
atassegalasemangatdanhiburannyasehinggapenulismampumenyelesaikansk
ripsiini.
9. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan
mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat menbangun sangat penulis
harapkan. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, serta pembaca pada umumnya. Amin.
Salatiga, 10Maret 2017
Siti Karimah
NIM 211 12 006
x
ABSTRAK
Karimah, Siti. 2017. PerkawinanPoliandri (StudiKasus di DusunCanggalDesaSidoharjoKecamatanSusukanKabupaten Semarang). Skripsi.FakultasSyari’ah.JurusanAhwal al Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing: Dr. IlyyaMuhsin, S.HI.,M.Si.
Kata Kunci: perkawinandanpoliandri. Penelitian ini berusaha menguak fenomena perkawinann terlarang yang
terjadi di masyarakat, perkawinan tersebut adalah perkawinan poliandriyang dilakukan di Dusun Canggal Desa Sidoharjo. Dalam penelitian ini peneliti meneliti dua keluarga. Pertayaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimana praktik perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?, (2) mengapa terjadi perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang? Dan (3) bagaimana dampak sosiologis, psikologis dan hukum perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?.
Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan sosiologisdanpendekatanhukum.Lokasipenelitianiniberada di DusunCanggalDesaSidoharjoKecamatanSusukanKabupaten Semarang.Teknikpengumpulan data padapenelitianinidengancaraobservasi, wawancaradandokumentasi.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa di dusun Canggal terdapat dua praktik perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm dan Ibu L dengan masing-masing dua suami. Perkawinan poliandri yang terjadi di Dusun Canggal dilakukan dengan cara: perkawinan dengan suami pertama dilakukan secara resmi dan perkawinan dengan suami kedua dilakukan secara siri. Adapun faktor yang melatar belakangi perkawinan poliandri yang dilakukan di Dusun Canggal disebabkan oleh faktor ekonomi, faktor usia, faktor administrasi dan faktor ketidak tahuan. Perkawinan poliandri di Dusun Canggal mengakibatkan berbagai dampak, yaitu: (1) dari segi hukum, perkawinan poliandri dianggak tidak sah, haram, dihukumi zina, terancam pidana 9 bulan dan bermasalah dengan kependudukan, (2) dari segi sosiologi, perkawinan poliandri dianggap sebagai perbuatan yang patologis sehingga terjadi penentangan oleh keluarga maupun masyarakat, dan (3) dari segi psikologi, perkawinan poliandri manimbulkan perasaan negatif berupa rasa malu, takut jika perkawinan diketahui, rasa rindu dengan keluarga yang terputus hubungannya, kasihan dengan anak dan kebingungan untuk konsultasi.
xi
DAFTAR ISI
Sampul
LembarBerlogo
Judul .................................................................................................................... i
Nota Pembimbing ............................................................................................... ii
PengesahanKelulusan ......................................................................................... iii
Pernyataan Keaslian ............................................................................................ iv
Motto ................................................................................................................... v
Persembahan ....................................................................................................... vi
Kata Pengantar .................................................................................................... vii
Abstrak ................................................................................................................ ix
Daftar Isi ............................................................................................................. x
Daftar Tabel ........................................................................................................ xiv
Daftar Lampiran .................................................................................................. xv
BAB I PERILAKU PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun
Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 7
E. Penegasan Istilah ..................................................................................... 8
F. TinjauanPustaka ...................................................................................... 9
xii
G. Metodologi Penelitian ............................................................................. 14
H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 19
BAB II TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN POLIANDRI
A. PERKAWINAN
1. Pengertian Perkawinan ...................................................................... 21
2. Perkawinan menurut Hukum Islam................................................... 23
3. Perkawinan menurut Perundang-undangan di Indonesia .................. 29
B. BENTUK BENTUK KELUARGA
1. Pengertian Keluarga .......................................................................... 29
2. Bentuk Keluarga ............................................................................... 31
C. POLIANDRI
1. Pengertian Poliandri .......................................................................... 37
2. Hukum Poliandri dalam Islam .......................................................... 43
3. Hukum Poliandri dalam Perundang-undangan ................................. 49
4. Poliandri dalam perspektif patologi sosial ........................................ 51
5. Poliandri dalam Psikologi Keluarga Islam........................................ 59
BAB III PRAKTIK PERKAWINAN POLIANDRI DI DUSUN
CANGGAL DESA SIDOHARJO KECAMATAN SUSUKAN
KABUPATEN SEMARANG
A. Gambaran Umum Dusun Canggal Desa Sidoharjo
1. Profil Desa Sidoharjo ........................................................................ 64
2. Profil Dusun Canggal ........................................................................ 69
xiii
B. Profil Pelaku Perkawinan Poliandri di Dusun Canggal Desa
Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang
1. Profil Ibu Mm ................................................................................... 71
2. Profil Ibu L ........................................................................................ 73
C. Praktik Perkawinan Poliandrdi Dusun Canggal Desa sidoharjo
1. Proses Perkawinan Poliandri Ibu Mm dan Ibu L .............................. 75
2. Bentuk Perkawinan Poliandri ........................................................... 81
D. Faktor-faktor Penyebab Perkawinan Poliandri
1. Faktor Ekonomi ................................................................................ 87
2. Faktor Administrasi .......................................................................... 90
3. Faktor Usia ........................................................................................ 91
4. Faktor Ketidaktahuan ........................................................................ 92
BAB IV DAMPAK PERKAWINAN POLIANDRI DARI BERBAGAI
SISI
A. Dampak Hukum Perkawinan Poliandri
1. Perkawinan Tidak Sah dan Hubungan Suami Istri Dihukumi
zina .................................................................................................... 93
2. Perkawinan poliandri dapat dikatakan batal demi hukum ................ 95
3. Perkawinan Poliandri Terancam Pidana 9 Bulan .............................. 96
4. Mendapat Masalah Kependudukan ................................................... 97
B. Dampak Sosiologis Perkawinan Poliandri
1. Hubungan dengan suami PertamaTidak Harmonis ........................... 100
2. Cenderung Menutupi Salah Satu Perkawinan ................................... 101
xiv
3. Mendapat Pertentangan dari Keluarga Kandung maupun
Keluarga Suami ................................................................................. 102
4. Hubungan dengan Anak Kandung dari Suami Pertama maupun
Keluarga Kandung Terputus ............................................................. 103
5. Menjauh dari Masyarakat dan Mendapat Pengucilan dari
Masyarakat ........................................................................................ 104
C. Dampak Psikologis Perkawinan Poliandri
1. Malu dengan Tetangga ...................................................................... 108
2. Taku Jika Suami Pertama Tahu ........................................................ 108
3. Rindu dan Merasa Bersalah kepada Anak dari Perkawinan
Pertama dan Keluarga Kandung ....................................................... 109
4. Tertekan dan Kasihan dengan Anak Hasil Perkawinan Kedua......... 110
5. Bingung untuk Konsultasi ................................................................. 110
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 115
B. Saran ...................................................................................................... 118
DATAR PUSTAKA ........................................................................................... 120
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
1. Table 2.1 Daftar Informan Penelitian ........................................................... 16
2. Table 3.1 Fasilitas Pendidikan di Desa Sidoharjo......................................... 66
3. Table 3. 2 Proful Pelaku Perkawinan Poliandri ............................................ 74
4. Table 3. 3 Bentuk Keluarga Berdasarkan Pemukiman ................................. 83
5. Table 3. 4 BentukKeluargaBerdasarkanJenisAnggotaKeluarga ................... 85
6. Table 3. 5 BentukKeluargaBerdasarkanBentukPerkawinan ......................... 86
7. Table 3. 6 BentukKeluargaBerdasarkanJenisPerkawinan ............................ 88
8. Table 4. 3 DampakHukumPerkawinanPoliandri .......................................... 98
9. Table 4. 2 DampakSosiologisPerkawinanPoliandri ...................................... 106
10. Tabel 4.3 DampakPsikologisPerkawinanPoliandri ....................................... 113
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
LampiranI DaftarRiwayatHidup
LampiranII PenunjukanPembimbingSkripsi
LampiranIII PermohonanIzinPenelitian
LampiranIV DaftarNilai SKK
Lampiran V LembarKonsultasiSkripsi
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan di muka bumi ini berpasang-pasangan terdiri
dari laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan manusia berpasangan
supaya melakukan perkawinan diantara mereka, satu orang laki-laki
dengan satu orang perempuan. Firman Allah SWT dalam surat Ar Rum
ayat 21 yang berbunyi sebagai berikut:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Ar Rum: 21).
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah untuk memenuhi
tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran
Allah dan Rasul-Nya (Basyir. 2007: 13). Oleh sebab itu, perkawinan tidak
hanya sebagai pemenuhan kewajiban akan syariat Allah namun juga
merupakan kontrak perdata yang akan mengakibatkan timbulnya hukum
akan hak dan kewajiban antara suami dan istri (Nuruddin, 2010: 180).
1
Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral, namun pada
kenyataannya banyak dari kaum laki-laki melakukan perkawinan poligini
atau yang sering disebut poligami yaitu perkawinan yang dilakukan
dengan lebih dari satu orang perempuan. Praktik perkawinan poligami
sudah dipraktikkan sejak sebelum dunia mengenal Islam. Kitab Suci
agama-agama Samawi membolehkan perkawinan poligami, seperti agama
Yahudi dan Nasrani. Perkawinan semacam inipun dianggap lumrah
dikalangan bangsa Arab Jahiliyah, seorang laki-laki mengawini beberapa
orang perempuan dan mereka menganggap perempuan-perempuan
tersebut sebagai hak milik yang bisa digadaikan dan diperjualbelikan
(Anshary, 2010: 85-86).
Pasca Islam datang, tidak lagi menjadikan suatu bentuk perkawinan
poligini sebagai hukum yang wajib dan tidak pula mengharamkannya.
Syariat Islam memberikan batasan kebolehan poligini hanya sampai empat
orang dan memberikan syarat-syarat yang ketat pula seperti berlaku adil
diantara para istri. Batasan dan syarat ini termuat dalam Al-Qur’an surat
An-Nisa’ ayat 3 (Nuruddin, 2004: 157), yang berbunyi:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja (QS. An-Nisa’: 3).
2
Sedangkan untuk satu orang perempuan dan banyak laki-laki atau
sering disebut dengan poliandri, Islam sendiri melarangnya. Hal tersebut
telah dilarang sesuai dengan Firman Allah sebagai berikut:
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina (QS. An-Nisa:24).
Dari ayat diatas jelas sekali bahwa seorang perempuan yang telah
menikah diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki lain. Kata selanjutnya
yang menyatakan bahwa “kecuali budak-budak yang kamu miliki” namun
pada hakekatnya sekarang istilah perbudakan itu telah ditiadakan.
Hukum yang terdapat di Indonesia sendiri juga melarang adanya
perkawinan poliandri tersebut, seperti halnya dalam pasal 3 UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
Dalam undang-undang perkawinan tersebut sudah jelas bahwa asas
yang dianut di Indonesia ialah asas monogami, dimana satu orang laki-laki
dengan satu orang perempuan. Kemudian pasal selanjutnya dalam pasal 9
3
UU No. 1 tahun 1974 seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut dalam
pasal 3 ayat (2) dan 4 UU ini.
Dalam pasal 3 ayat (2) tersebut diterangkan bahwa “pengadilan
dapat memberikan izan kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4
pada undang-undang ini juga menjelaskan mengenai alasan
diperbolehkanya poligami. Sedangkan untuk poliandri tidak termasuk
dalam pengecualian asas monogami perkawinan. Yang berarti bahwa
dalam undang-undang ini melarang adanya perkawinan poliandri.
Selanjutnya, dalam pasal 40 KHI dinyatakan dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanta
karena sang wanita dalam keadaan:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pada Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat diambil kesimpulan
juga jelas mengharamkan adanya praktik perkawinan poliandri.
Dari ketentuan perundang-undang yang mengatur mengenai
perkawinan di Indonesia keseluruhanya melarang warganya untuk
melakukan poliandri, perkawinan tersebut dianggap sebagai perkawinan
ilegal, yakni perkawinan yang melanggar hukum.
4
Perkawinan poliandri menurut hukum Islam dan undang-undang di
Indonesia sudah jelas melarangnya. Namun, sesuai informasi yang penulis
dapat bahwa di Masyarakat Susukan yang notabennya merupakan
lingkungan yang kental dengan tradisi Islam mengingat banyaknya pondok
yang berada di Kecamatan Susukan ini namun, masih terdapat 6
perempuan yang melakukan praktik perkawinan poliandri terebut. Dari 6
(enam) perempuan tersebut 2 (dua) diantaranya berada di Dusun Canggal
Desa Sidoharjo yang merupakan subyek penelitian ini.
Berdasarkan dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
mengkaji dan meneliti secara langsung, bagaimana perilaku perkawinan
poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan. Alasan
peneliti mengambil tempat penelitian di Dusun Canggal Desa Sidoharjo
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang karena menurut data awal yang
didapat bahwa di Dusun Canggal masih terdapat 2 (dua) perempuan yang
mlakukan perkawinan poliandri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat
dirumuskan beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana praktik perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa
Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?
2. Mengapa terjadi perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa
Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?
5
3. Bagaimana dampak hukum, sosiologis dan psikologis perkawinan
poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui bagaimana praktik perkawinan poliandri di Dusun
Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab melakukan poliandri di
Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang.
3. Untuk mengetahui dampak hukum, sosiologis dan psikologis
perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang.
D. Kegunaan Penelitian
Dalam setiap penelitian tentunya diharapkan dapat berguna bagi
peneliti pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Adapun
kegunaan dari penelitian ini ialah:
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mencegah masyarakat untuk
melakukan praktik perkawinan poliandri.
2. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
bagi aparatur pemerintahan khususnya dibidang pencatatan
6
perkawinan sebagai masukan demi terciptanya improvisasi dan
reformasi hukum untuk lebih tanggap dan kritis akan adanya
perubahan.
3. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
keilmuan penulis khususnya dan pembaca pada umumnya terkait
perkawinan poliandri.
E. Penegasan Istilah
Untuk mendapatkan kejelasan di atas, perlu disajikan penegasan
untuk memberi pemahaman dan batasan istilah yang ada supaya tidak ada
kesalahan pemaknaan terhadap konsep kunci dalam penelitian ini.
1. Perkawinan dalam undang-undang perkawinan di Indonesia nomor 1
tahun 1974 pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwasannya “perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang
wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang
bersamaan (Sugihastuti, 2007: 190).
F. Tinjauan pustaka
Mengenai tema pembahasan dalam penelitian in terdapat beberapa
penelitian terdahulu yang sama. Adapun tujuan penelusuran terhadap
7
penelitian terdahulu ialah untuk melihat persamaan dan perbedaan sebagai
bahan perbandingan dan landasan dalam penelitian ini. Adapun penelitian
terdahulu ialah:
Penelitian yang pertama ialah penelitian yang dilakukan oleh
Nafisatul Mukhoiyaroh. Penelitian tersebut merupakan skripsi Fakultas
Syari’ah di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan judul
“DAMPAK SOSIOLOGIS POLA PERKAWINAN POLIANDRI”
(studi kasus di Desa Ngasem dan Desa Kranggan Kecamatan Ngajum
Kabupaten Malang). Penelitian tersebut memiliki dua rumusan masalah
yaitu: 1. Bagaimana potret pelaku poliandri di Desa Ngasem dan Desa
Krangan Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang?. 2. Bagaimana akibat
yang ditimbulkan oleh pola perkawinan poliandri dalam masyarakat?.
Hasil dari penelitian tersebut ialah: Pertama, perkawinan poliandri
yang dilakukan di desa Ngasem dilatar belakangi oleh faktor ekonomi dan
psikologis sedangkan di desa Krangan karena faktor keyakinan, kebatinan
yaitu adanya anggapan dirinya dirasuki roh atau arwah Syekh Abdul Qadir
Jailani, sehingga setiap saat ada kehendak untuk melakukan perkawinan
maka ia melakukan perkawinan dengan siapa saja yang dikehendaki. Pada
pernikahan keduanya dilakukan secara siri. Namun teradapat perbedaan,
jika poliandri di desa Ngasem, perkawinanya tetap melibatkan tokoh
agama atau tokoh adat untuk mengawinkannya, sedangkan poliandri di
desa Krangan dilakukan dengan cara mengawinkan dirinya sendiri.
8
Kedua, perkawinan poliandri yang dilakukan di Desa Krangan dan
juga di Desa Ngasem, secrara sosiologis telah menimbulkan dampak
negatif berupa keresahan bahkan memicu terjadinya konflik di dalam
masyarakat. Selain itu, perkawinan poliandri tersebut dianggap dapat
memberikan pengaruh negatif berupa perilaku gonta ganti pasangan yang
dilakukan oleh seorang perempuan.
Penelitian yang kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rita
Apriliani. Penelitian tersebut merupakan skripsi Fakultas Syari’ah di IAIN
Salatiga, dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA
POLIANDRI” (studi analisis Putusan Nomor 0661/Pdt.G/2012/PA.SAL).
Penelitian tersebut memiliki 3 rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana
pandangan fiqih dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap
poliandri?. 2. Bagaiamana pertimbangan pemohon mengajukan
pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga dalam perkara No.
0661/Pdt.G/2012/PA.SAL?. 3. Bagaimana pertimbangan hakim
Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara pembatalan
perkawinan karena poliandri dalam putusan No.
0661/Pdt.G/2012/PA.SAL?.
Dari penelitian tersebut, peneliti mendapatkan hasil berupa:
Pertama, poliandri dalam Islam maupun Perundang-undangan di
Indonesia dilarang keras. Poliandri dalam Islam dilarang sebagarimana
perintah Allah di dalam Al Quran surat An-Nisa’ ayat 24, sedangkan
dalam Perundang-undangan di Indonesia telah dijelaskan pada pasal 9 UU
9
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 40 dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam).
Kedua, dasar pertimbangan pemohon mengajukan pembatalan
perkawinan karena didapatkannya tindak poliandri yang dilakukan oleh
Termohon II yang mana melanggar Undang-undang, dimana hal tersebut
dapat dibatalkan sesuai bunyi pasal 24 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal
71 huruf b dalam KHI. Dan kapasitas pemohon mengajukan permohonan
tersebut telah sesuai bunyi pasal 23 UU No. Tahun 1974 dan pasal 73
KHI, dimana pemohon sebagi penjabat yang berwenang melakukan
pembatalan perkawinan.
Ketiga, dasar pertimbangan Hakim memutus pembatalan
perkawinan dalam perkara No. 0661/Pdt.G/2012/PA.SAL adalah sebagai
berikut: dari keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan serta
pengakuan dari para Termohon dalam persidangan, maka terbukti bahwa
Termohon I dan Termohon II telah melanggar aturan hukum yang harus
dipenuhi apabila hendak menikah. Majelis Hakim dalam memutus perkara
ini berdasarkan pasal 71 huruf b KHI memutuskan bahwa perkawinan
antara Termohon I dan Termohon II dibatalkan, sebagaiamana fakta yang
ditemukan Majelis Hakim bahwa dalam perkawinan tersebut Termohon II
telah melakukan poliandri.
Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh
Faizah Yusma. Penelitian tersebut merupakan skripsi Fakultas Hukum di
Universitas Jember dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN
10
POLIANDRI” (Studi putusan Pengadilan Agama No.
1299/Pdt.G/2012/PA.Sit). Penelitian tersebut mempunyai dua rumusan
masalah yaitu: 1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus
perkara pembatalan perkawinan poliandri yang diajukan di Pengadilan
Agama Situbondo (No. 1299/Pdt.G/2012/PA.Sit)?. 2. Apakah pembatalan
perkawinan poliandri memiliki akibat hukum terhadap anak dan harta
perkawinan?.
Dari penelitian tersebut, peneliti mendapat hasil bahwa: Pertama,
yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara
pembatalan perkawinan poliandri yang diajukan di Pengadilan Agama
Situbondo (No. 1299/Pdt.G/2012/PA.Sit) yaitu, Al-Qur’an surat An-Nisa’
ayat 24, pasal 3 ayat (1), pasal 9, pasal 28 ayat (2) huruf a dan pasal 22
Undang-undang Perkawinan. Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut
juga terdapat faktor lain yang dapat menjadikan perkawinan antara
pemohon dan termohon dibatalkan oleh majelis hakim Pengadilan Agama
Situbondo, yakni termohon tidak pernah hadir selama persidangan,
sehingga permohonan pemohon dikabulkan dengan verstek.
Kedua, suatu perkawinan poliandri yang dibatalkan menimbulkan
akibat hukum berupa: Terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut tetap mempunyai status hukum secara resmi sebagai
anak sah, sehingga anak tetap memiliki hubungan hukum dengan ibu dan
ayahnya dan berhak menjadi ahli waris. Menurut pasal 28 Undang-undang
Perkawinan diketahui bahwa terhadap perkawinan yang dibatalkan karena
11
sudah ada perkawinan yang terdahulu tidak akan ada pembagian harta
bersama kecuali ditentukan lain oleh kedua belah pihak.
Penelitian selanjutnya ialah penelitian yang dilakukan oleh A.
Ja’far. Penelitian tersebut diterbitkan di dalam jurnal Al-‘adalah Vol.10
No.3 tahun 2012 yang mempunyai judul: “LARANGAN MUSLIMAH
POLIANDRI: KAJIAN FILOSOFIS, NORMATIF YURIDIS,
PSIKOLOGIS, DAN SOSIOLOGIS”. Fokus penelitian tersebut ialah
larangan Muslimah poliandri ditinjau dari perspektif filosofis, normatif
yuridis, psikologis dan sosiologis. Dari hasil penelitian tersebut, peneliti
mendapatkan hasil bahwa: dalam perspektif filosofis bahwa poliandri
merupakan bentuk perkawinan yang dilarang, karena pada dasarnya
bertentangan dengan fitrah atau kodrat sebagai wanita. Sementara dalam
perspektif normatif bahwa poliandri hukumnya haram, hal ini berdasarkan
dalil Al-Quran surat An-Nisa: 24 dan as-Sunnah hadis riwayat Ahmad.
Dalam perspektif yuridis poliandri bertentangan dengan pasal 3 ayat 1,
yakni bawa seorang istri hanya boleh menikah dengan seorang suami (asas
monogami). Dalam perspektif psikologis bahwa poliandri sangat
bertentangan dengan fitrah manusia, bahkan dapat mengganggu
ketenangan hati atau jiwa. Dan dalam perspektif sosiologis bahwa
poliandri dapat mendatangkan masalah, baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya.
Dari beberapa penelitian yang peneliti temukan terdapat perbedaan
dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Dimana penelitian
12
sebelumnya memiliki fokus yang berbeda, yaitu: pertama,penelitian yang
dilakukan oleh Nafisatul Mukhoiyaroh merupakan penelitian studi kasus
yang tefokus pada pola perkawinan dan dampak sosiologis perkawinan
poliandri ditinjau dari perspektif patologi sosial. Kedua, penelitian yang
dilakukan oleh Rita Apriliyani merupakan studi putusan yang terfokus
kepada hukum poliandri, alasan mengajukan pembatalan perkawinan
poliandri dan alasan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam
memutuskan perkara. Ketiga, peneltian yang dilakukan oleh Faizah Yusma
merupakan penelitian studi putusan yang terfokus pada alasan hakim
Pengadilan Agama Situbondo dalam memutus perkara dan akibat hukum
dari pembatalan perkawinan. Keempat, penelitian yang dilakukan oleh A.
Ja’far merupakan studi pustaka yang berkaitan dengan perspektif filosofis,
normatif yuridis, psikologis dan sosiologis perkawinan poliandri.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada penelitian
ini dari penelitian sebelumnya ialah: Pertama, penelitian yang dilakukan
oleh Rita Apriliani, Faizah Yusma dan A. Ja’far merupakan penelitian
pustaka, sedangkan penelitian ini merupakan penelitian studi kasus.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Nafisatul Mukhoiyaroh terfokus
pada dampak sosiologis dilihat dari perspektif patologi sosial saja,
sedangkan penelitian ini menggali lebih dalam mengenai dampak
perkawinan poliandri baik dari segi sosiologi ditinjau dari perspektif
patologi sosial, dampak psikologi ditinjau dari teori psikologi keluarga
Islam dan dampak hukum baik menurut hukum Islam, hukum Perdata
13
Indonesia dan Hukum Positif di Indonesia, selain dari hal tersebut
penelitian ini mengidentifikasi bentuk perkawinan poliandri dengan teori
sosiologi keluarga.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) yaitu
peneliti terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada
objek yang dibahas (Sutrisno,1981: 4). Pendekatan pada penelitian ini
menggunakan pendekatan sosiologis dan hukum normatif. Pendekatan
sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat
fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk
memahami hukum yang berlaku di masyarakat (Soekanto, 1986: 5).
Adapun pendekatan hukum normatif adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka yang ada guna mengetahui hukum mengeni
perkawinan poliandri (Soekanto, 2009: 13-14).
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen
sekaligus pengumpul data, dimana peneliti dalam meneliti terhadap
informan diketahui secara jelas, sehingga antara informan dengan
peneliti terjadi interaksi secara wajar dan menghindari
kesalahpahaman.
14
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini terfokus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang. Alasan peneliti memilih
lokasi di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang tersebut karena Dusun Canggal merupakan suatu
daerah yang seluruh warganya beragama Islam. Selain karena
masyarakat Dusun Canggal yang keseluruhannya beragama Islam juga
lokasi Dusun Canggal yang berada tepat di dekat Pondok Pesantren Al
Huda Petak dan juga Pondok Pesantren Al Futuh Grabagan, namun di
Dusun Canggal masih terdapat dua orang perempuan yang melakukan
praktik perkawinan poliandri.
4. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini terfokus pada informan penelitian.
Adapun informan kunci dalam penelian ini ialah pelaku perkawinan
poliandri, suami dari pelaku poliandri, penghulu yang menikahkan
pelaku, keluarga pelaku poliandri dan tetangga sekitar pelaku poliandri
yaitu warga Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah:
a) Wawancara (interview) yaitu bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari
seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
15
berdasarkan tujuan tertentu (Maslikhah, 2013: 321). Yang
diwawancara pada penelitian ini ialah pelaku poliandri dengan
menggunakan alat bantu perekam handphone. Adapun informan
yang peneliti wawancara pada penelitian ini adalah:
No. Nama Informan Status Informan
1. Ibu Mm Pelaku 1
2. Bapak W Suami kedua pelaku 1
3. Bapak Sh Anak pelaku 1 sekaligus saksi
perkawinan poliandri
4. Ibu L Pelaku 2
5. Bapak R Suami kedua pelaku 2
6. Bapak Jr Penghulu perkawinan poliandri
pelaku 2
7. Ibu Su Warga Dusun Canggal
8. Ibu LT Warga Dusun Canggal
9. Ibu Sr Warga Dusun Canggal
Tabel 2.1 Daftar informan penelitian
b) Observasi yang digunakan ialah observasi terbuka dimana
kehadiran peneliti dalam meneliti terhadap informan diketahui
secara terbuka, sehingga antara informan dengan peneliti terjadi
hubungan atau interaksi secara wajar (Maslikhah, 2013: 322).
6. Analisis Data
16
Sebagaimana penelitian kualitatif, maka analisis data dalam
penelitian ini menggunakan teknik reduksi data, penyajian data dan
verifikasi. Reduksi data merupakan proses memilih,
menyederhanakan, abstraksi dan mentransformasi data kasar yang
diperoleh. Penyajian data merupakan diskripsi kumpulan informasi
yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan dan mengambil
tindakan. Verifikasi adalah mencari makna dari setiap gejala yang
diperoleh dari lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan
konfigurasi yang mungkin ada, alur akusalitas, dan proposisi
(Maslikhah, 2013: 323). Data juga dianalisis menggunakan teori
sosiologi keluarga, psikologi kepribadian Islam dan patologi sosial.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Untuk mengecek keabsahan data yang peneliti dapat, peneliti
menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di
luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu (Moleong, 2009: 330). Hal itu dapat dicapai dengan
jalan; 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara, 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan
umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, 3.
Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu, 4.
Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
17
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang
pemerintahan dan, 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi
suatu dokumen yang berkaitan (Moelong, 2009: 331).
8. Tahap-Tahap Penelitian
Adapun tahap-tahap yang peneliti lakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a) Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian seperti peneliti menentukan topik
penelitian, mencari informasi tentang keluarga poliandri di Dusun
Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan.
b) Tahap pekerjaan lapangan yaitu peneliti terjun langsung ke
lapangan untuk mencari data-data yang diperlukan seperti
wawancara kepada informan dan melakukan observasi.
c) Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa
cukup maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data-data
tersebut dan menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa
memberi arti pada objek yang akan diteliti.
d) Tahap penulisan laporan yaitu apabila semua data telah terkumpul
dan dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka
yang dilakukan peneliti selanjutnya adalah menulis hasil
penelitian tersebut sesuai dengan pedoman penulisan yang telah
ditentukan.
18
H. Sistematika Penulisan
Agar dalam proposal ini mendapat gambaran yang jelas, maka
sistematika penulisan ini akan dipaparkan dalam 5 bab.
Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Adapun bab dua berupa kajian pustaka atau teori yang membahas
mengenai perkawinan yang meliputi pengertian dan dasar hukum
perkawinan menurut hukum Islam dan perkawinan menurut perundang-
undanganan di Indonesia, bentuk-bentuk keluarga dan poliandri yang
meliputi pengertian poliandri dan hukum poliandri dalam Islam dan
perundang-undangan di Indonesia, poliandri menurut perspektif patologi
sosial dan menurut psikologi kepribadian Islam.
Bab tiga berisi uraian data dan temuan yang diperoleh dari
penelitian yang disajikan dalam tiga sub bab, yaitu: gambaran umum
Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang,
praktik perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang dan faktor-faktor penyebab
perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang.
Pada bab keempat memuat mengenai dampak perkawinan
poliandri dari segi hukum, sosiologis dan psikologis.
19
BAB II
TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN POLIANDRI
A. Perkawinan
1. Pengertian
Perkawinan berasal dari bahasa Arab yaitu an nikah yang dapat
berarti al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul yang bermakna
bersetubuh, berkumpul dan akad (Nuruddin, 2004: 38). Sedangkan
menurut terminologi, ada beberapa penjabaran definisi perkawinan
dari kalangan para ulama fikih terkemuka (Imam Madzhab), sebagai
berikut (Sarwat, 2011: 24-26):
Menurut Mazhab Al-Hanafi pernikahan adalah “akad yang
berarti mendapatkan hak milik untuk melakukan hubungan seksual
dengan seorang wanita yang tidak ada halangan untuk dinikahi secara
syar’i” (Sarwat, 2011: 24).
Menurut Mazhab Maliki pernikahan adalah “sebuah akad yang
menghalalkan hubungan seksualitas dengan wanita yang bukan
mahram, bukan majusi, bukan budak ahli kitab dengan shighah”
(Sarwat, 2011: 25).
Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah “akad yang
mencakup pembolehan melakukan hubungan seksual dengan lafadz
nikah, tazwij atau lafadz lain yang maknanya sepadan” (Sarwat, 2011:
25).
21
Menurut mazhab Hambali pernikahan adalah “akad perkawinan
atau akad yang diakui didalamnya lafadz nikah, tazwij dan lafadz yang
punya makna sepadan” (Sarwat, 2011: 26).
Dari definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih diatas
memberikan kesan bahwa pengertian pernikahan itu hanya dilihat dari
segi biologis antara laki-laki dan perempuan yang semula dilarang
menjadi diperbolehkan.
Dalam undang-undang perkawinan di Indonesia nomor 1 tahun
1974 pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwasannya “perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sama halnya dengan undang-undang nomor 1 tahun 1974,
dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa
“perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Kata mitsaaqon gholidhan diambil dari Firman Allah SWT
yang terdapat pada surat An-nisa’ ayat 21 yang berbunyi (Nuruddin,
2004: 43):
22
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat (QS. An-Nisa: 21).
Berbeda dari definisi perkawinan menurut undang-undang
perkawinan di Indonesia juga pada Kompilasi Hukum Islam ada
sebuah persamaan bahwa perkawinan itu dilihat sebagai sebuah akad
yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami istri yang
sebelumya tidak ada pada keduanya.
Dapat disimpulkan bahwa Pernikahan atau perkawinan adalah
suatu aqad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi
sebab sahnya status sebagai suami-istri dan dihalalkannya hubungan
seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang,
kebajikan dan saling menyantuni (Sudarsono, 1991: 62).
2. Perkawinan menurut hukum Islam
Hukum perkawinan merupakan bagian penting dari syari’at
Islam, yang tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak Islam.
Ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan menurut Syari’at Islam
mengikat kepada setiap muslim. Hukum Islam menempatkan lembaga
perkawinan dalam bentuk ikatan sakral antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan atas dasar perasaan cinta dan kasih sayang, hal ini
bisa kita lihat dari beberapa Firman Allah berikut ini:
23
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui (QS. An-Nuur: 32). Dari Firman Allah tersebut diperintahkan kepada orang-orang
yang masih sendiri baik seorang laki-laki yang belum mempunyai istri
ataupun seorang perempuan yang belum bersuami supaya menikah.
Dan bahwa seseorang yang takut jikalau mereka tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan kesehariannya setelah menikah karena mereka
miskin maka Allah akan mencukupkan kebutuhan mereka.
Selain dari Firman Allah diatas, Nabiullah Muhammad SAW
bersabda (Shiddieqy, 1952: 298), dalam haditsnya:
يامعشرالشباب من استطاع منكم الباءة فـليتـزوج فانه اغض مل يستطع فـعليه بالصوم فانه له وجاء للبصرواحصن للفرج ومن
(متفق عليه) Wahai jama’ah pemuda, barang siapa diantara kamu
mempunyai kesanggupan membayar mas kawin dan belanja hari-hari maka hendaklah ia beristri. Karena beristri itu, lebih memejamkan mata dan lebih memlihara kemaluan. Dan barang siapa tiada sanggup membelanjakan istri, hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu, dapat mematahkan syahwat (HR Bukhori No. 552, 1371 H: 421- 422). Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nabi
menganjurkan kepada para pemuda yang sudah mampu menikah untuk
segera menikah, karena pernikahan menjauhkan dari perbuatan zina.
24
Namun bila belum sanggup, maka dianjurkan untuk berpuasa, karena
dengan berpuasa dapat menjaga syahwat.
Dari hadits lain, nabi bersabda (Witanto, 2012: 60):
النكاح سنىت فمن رغب عن سنىت فـليس مىن (رواه البخارى و مسلم)
“Nikah (Kawin) itu adalah sunnahku,maka barangsiapa
yang tidak beramal dengan sunnahku, bukanlah ia dari golonganku.” (Hr Bukhori No. 551, 1371 H: 421). Dari sabda tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya
Rosulullah SAW mencela orang-orang muslim yang sudah mampu
untuk menikah tidak menikah ataupun hidup membujang. Dan Nabi
Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya untuk menikah.
Dari berbagai dalil di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan
itu adalah sunatullah. Dan dari adanya perkawinan tersebut sangat
banyak sekali manfaatnya seperti yang dikemukakan Aditya P
Manjorang dan Intan Aditya dalam bukunya The Law Of Love berikut
ini:
a. Mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan
hidup dan rasa kasih sayang;
b. Mendapatkan anak keturunan yang sah;
c. Menentramkan jiwa;
d. Memenuhi kebutuhan biologis;
e. Pengendalian hawa nafsu syahwatnya;
f. Latihan memikul tanggung jawab;
25
g. Mempunyai teman hidup;
h. Membina rumah tangga dan berjuang dalam menghadapi hidup.
Dalam ajaran Islam hukum pernikahan itu tidak bersifat
mutlak, artinya hukum itu dapat berubah-ubah sesuai keadaan atau
kondisional. Ada beberapa hukum bagi seseorang untuk
melangsungkan perkawinan antara lain sebagai berikut:
a. Wajib, hukum ini diwajibkan bagi seseorang yang manakala ia
secara lahir maupun batin telah mampu untuk melangsungkan
perkawinan dan ditakutkan jika tidak segera menikah maka ia akan
terjerumus ke dalam perzinahan. Apabila perkawinan tersebut
ditunda-tunda maka akan menimbulkan dosa bagi mereka.
b. Sunnah, hukum ini dikenakan bagi orang yang secara lahir maupun
batin telah mampu untuk menikah, namun ia tidak dikhawatirkan
akan terjerumus kedalam perbuatan zina.
c. Haram, hukum ini dikenakan kepada orang yang belum mampu
secara lahir maupun batin dan ditakutkan ketika menikah akan
membahayakan kondisi pasangannya.
d. Makruh, hukum ini dikenakan kepada laki-laki yang belum
memiliki penghasilan yang cukup untuk hidup berumah tangga dan
ditakutkan jika menikah akan mengakibatkan kewajibannya
terbengkalai.
26
e. Mubah, hukum ini dikenakan bagi orang-orang yang tidak
memiliki pendorong atau penghalang apapun untuk menikah
(Witanto, 2012: 68-70).
Sebuah perkawinan akan dikatakan sah apabila memenuhi
semua rukun-rukun dan syarat yang melekat padanya. Menurut jumhur
ulama, rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun memiliki
syarat-syarat tertentu. Rukun dan syarat yang harus terpenuhi dalam
sebuah pernikahan ialah:
a. Calon suami, syarat-syaratnya:
1) Beragama Islam;
2) Laki-laki;
3) Jelas orangnya;
4) Dapat memberikan persetujuan;
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
b. Calon istri, syarat-syaratnya:
1) Beragama Islam;
2) Perempuan;
3) Jelas orangnya;
4) Dapat memberikan persetujuan;
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Wali nikah, syarat-syaratnya:
1) Laki-laki;
2) Dewasa;
27
3) Mempunyai hak perwalian;
4) Tidak terdapat halangan perwalian.
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
1) Minimal dua orang laki-laki;
2) Hadir dalam ijab qabul;
3) Dapat mengerti maksud akad;
4) Islam;
5) Dewasa.
e. Ijab qabul, syarat-syaratnya:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai;
3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua
kata tersebut;
4) Antara ijab dan qabul bersamaan dan jelas maksudnya;
5) Orang yang terkait dengan ijab qabul tidak sedang ihram
(Nuruddin, 2004: 62-63).
3. Perkawinan menurut Perundang-undangan di Indonesia
Hukum perkawinan dari segi penerapannya termasuk dalam
hukum Islam yang memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya,
dalam rangka pelaksanaannya negara harus memberikan landasan
yuridisnya, karena negara merupakan kekuasaan yang memiliki
legalitas dan kekuatan untuk hal itu. Di Indonesia sejak tahun 1974
telah mempunyai undang-undang yang mengatur mengenai
28
perkawinan yang dikenal dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
telah merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan, yang diatur
dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
B. Bentuk-bentuk Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil yang ada dalam masyarakat
yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul
dan tinggal disuatu tempat di bawah suatu atap dan saling berinteraksi
satu sama lain dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998:
1).
Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
yang disebut dengan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat
yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah
dengan anaknya atau ibu dengan anaknya.
UNESCO mendefinisikan keluarga sebagai satu institusi
biososial yang terbentuk oleh setidaknya dua orang dewasa laki-laki
29
dan perempuan yang tidak memiliki hubungan darah, tetapi terikat tali
perkawinan dengan atau tanpa/belum memiliki anak. Setidaknya
keluarga berfungsi memenuhi dan memuaskan kebutuhan lahir dan
batin, termasuk kebutuhan seksual (Soemanto, 2006: 18).
Menurut Ferri Efendi yang dikutup dari Salvicion G Bailon dan
Aracelis Maglaya, keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu
yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau
pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lain, dan di dalam peranannya masing-masing
menciptakan dan mempertahankan kebudayaan (Ferry Efendi, 2009:
179).
Dari berbagai pengertian diatas, maka sekumpulan orang yang
menetap dalam suatu atap yang sama dapat dikatakan menjadi suatu
keluarga jika memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. Memiliki ikatan batin dan emosional. Berarti para anggota
keluarga memiliki rasa kasih sayang dan kecintaan yang
mendalam, termasuk kebanggaan terhadap eksistensinya.
b. Memiliki hubungan darah. Setiap anggota keluarga tersebut berada
dalam satu jalur keturunan kecuali suami dan isteri yang berasal
dari garis keturunan yang berbeda.
c. Memiliki ikatan perkawinan. Pasangan pria wanita yang
membentuk keluarga diikat oleh perkawinan yang sah (menurut
agama dan pemerintah), sehingga secara resmi mereka telah
30
menjadi pasangan suami isteri. Perkawinan ini bisa endogami,
yakni kawin dengan golongannya sendiri atau eksogami, yaitu
kawin di luar golongan sendiri.
d. Mempunyai kekayaan keluarga. Keluarga pasti mempunyai harta
benda untuk kelangsungan para anggotanya.
e. Memiliki tempat tinggal. Keluarga harus memiliki domisili dan
menempati rumah tertentu, baik itu milik sendiri maupun bukan.
f. Memiliki tujuan. Setiap keluarga pasti memiliki tujuan atau cita-
cita yang hendak dicapai seperti meneruskan keturunan,
menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan
perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota. Setiap anggota
keluarga saling berinteraksi satu sama lain dan masing-masing
mempunyai peran sendiri-sendiri (Dipo, 2009: 15-16).
2. Bentuk Keluarga
Keluarga adalah ikatan sosial yang paling kecil dan merupakan
lembaga yang paling dasar dalam masyarakat, maka dapat dipahami
bahwa dalam suatu masyarakat terdapat banyak keluarga. Dari
berbagai keluarga yang berbeda-beda tersebut maka tiap-tiap dari
mereka pastilah memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda-beda pula satu
sama lainnya. Untuk mengetahui akan seluk beluk suatu keluarga,
maka kita perlu mengenal terlebih dahulu mengenai bentuk-bentuk,
jenis-jenis dan tipe keluarga dalam masyarakat.
31
Gambaran mengenai pembagian bentuk-bentuk keluarga sangat
beraneka ragam. Keanekaragaman bentuk keluarga tersebut tergantung
pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkannya, namun
secara umum bentuk-bentuk keluarga dilihat dari berbagai segi dapat
dikelompokkan sebagai berikut (Sunarto, 1993: 159-160):
a. Bentuk keluarga berdasarkan garis keturunan
1) Patrilineal, keluarga yang berhubungan atau disusun melalui
jalur garis keturunan ayah, terdiri dari sanak saudara dalam
beberapa generasi. Bentuk keluarga ini banyak dipraktekkan di
negara-negara Arab maupun Eropa dan di Indonesia seperti
yang dilakukan oleh suku Batak di Sumatra Utara.
2) Matrilineal, keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara
sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun
melalui jalur garis keturunan Ibu. Suku Padang merupakan
salah satu contoh suku yang menggunakan struktur keluarga
matrilineal.
3) Parental atau bilateral, keluarga sedarah yang terdiri dari sanak
saudara sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu
disusun melalui jalur garis keturunan ayah maupun ibu. Suku-
suku di Indonesia rata-rata menggunakan struktur keluarga
parental, seperti Jawa dan Madura
32
b. Bentuk keluarga berdasarkan kekuasaan
1) Patriarhat, keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan
dalam keluarga adalah pihak suami.
2) Matriarhat, keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan
dalam keluarga adalah pihak istri.
3) Equalitarium, keluarga yang memegang kekuasaan adalah
suami dan istri, atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan
atas kesepakatan bersama.
c. Bentuk keluarga berdasarkan pemukiman
1) Patrilokal, keberadaan tempat tinggal suatu keluarga yang
tinggal dengan keluarga sedarah dari pihak suami.
2) Matrilokal, keberadaan tempat tinggal suatu keluarga yang
tinggal dengan keluarga sedarah dari pihak istri.
3) Neolokal, keberadaan tempat tinggal suatu keluarga yang
tinggal jauh dari keuarga keturunan suami maupun istri.
d. Bentuk keluarga berdasarkan anggota keluarga (Efendi, 2009: 183)
1) Traditional nuclear, keluarga inti (ayah, ibu dan anak)
tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh saksi-saksi legal
dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat
bekerja di luar rumah.
2) Reconstituted nuclear, pembentukan baru dari keluarga inti
melalui perkawinan kembali suami atau istri, tinggal dalam
pembentukan suatu rumah dengan anak-anaknya, baik itu
33
anak dari perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan
baru. Satu atau keduanya dapat bekerja diluar rumah.
3) Middle age atau aing couple, suami sebagai pencari uang,
istri di rumah, atau keduanya bekerja diluar rumah, anak-
anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah, perkawinan
atau meniti karier.
4) Dyadic nuclear, pasangan suami-istri yang sudah berumur
dan tidak mempunyai anak. Keduanya atau salah satu bekerja
di luar rumah.
5) Single parent, keluarga dengan satu orang tua sebagai akibat
dari perceraian atau kemaian pasangannya. Anak-anaknya
dapat tinggal di dalam atau di luar rumah.
6) Dual caeerI, suami istri atau keduanya merupakan orang
karier dan tidak mempunyai anak.
7) Commuter married, pasangan suami istri atau keduanya
sama-sama bekerja dan tinggal terpisah pada jarak tertentu.
Keduanya saling bertemu pada waktu-waktu tertentu.
8) Single adult, perempuan dewasa atau laki-laki dewasa yang
tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk
menikah.
9) Three generation, tiga generasi atau lebih yang tinggal dalam
satu rumah.
34
10) Institusional, anak-anak atau orang dewasa tinggal dalam
satu panti.
11) Communal, satu rumah terdiri atas dua atau lebih pasangan
yang monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama
berbagi fasilitas.
12) Group marriage, satu rumah terdiri atas orang tua dan
keturunannya dalam satu kesatuan keluarga.
13) Unmarried parent and child, ibu dan anak yang
pernikahannya tidak dikehendaki dan kemudian anaknya
diadopsi.
14) Cohabitating couple, dua orang atau satu pasangan yang
bersama dan tinggal dalam satu rumah tanpa adanya tali
ikatan perkawinan.
15) Common law family, keluarga yang terdiri dari seorang
perempuan dan seorang laki-laki yang tidak terikat dalam
perkawinan yang sah serta anak-anak mereka yang tinggal
bersama.
16) Extended family, keluarga yang terdiri dari suami istri dan
anak-anak kandungnya, juga sanak saudaa lainnya, baik
menurut garis vertikal (ibu, bapak, kakek, nenek, menaantu,
cucu dan cicit) maupun menurut garis horizontal (kakak, adik
dan ipar) yang berasal dari pihak suami maupun pihak istri
35
yang tinggal dalam satu rumah dan berorientasi pada satu
kepala keluarga.
e. Bentuk keluarga berdasarkan bentuk perkawinan
1) Eksogami, keluarga yang terbetuk dari perkawinan antara
seseorang dengan orang yang berbeda golongan baik etnis,
suku, agama, wilayah, bangsa atau kekerabatan, misalnya
perkawinan antara anak suku batak dengan anak suku ambon.
2) Endogami, keluarga yang dibentuk dari perkawinan antara
etnis, suku, agama, wilayah, bangsa atau kekerabatan dalam
lingkungan yang sama.
3) Heterogami, keluarga yang terbentuk dari perkawinan antar
kelas sosial yang berbeda, misalnya anak bangsawan menikah
dengan anak petani.
4) Homogami, keluarga yang terbentuk dari perkawinan antara
kelas golongan sosial yang sama, misalnya anak pedagang
yang menikah dengan anak pedagang.
f. Bentuk keluarga berdasarkan jenis perkawinan
1) Monogami, keluarga dimana terdapat seorang suami dan
seorang istri.
2) Poligami
Poligami terbagi menjadi dua bentuk yaitu:
a) Poligini adalah keluarga yang terdapat seorang suami
dengan lebih dari satu istri.
36
b) Poliandri adalah keluarga yang terdapat seorang istri
dengan lebih dari satu suami.
C. Poliandri
1. Pengertian poliandri
Poliandri menurut Jahrani (1996: 33-34) ialah perkawinan
antara satu orang wanita dengan beberapa orang laki-laki secara
sekaligus.
Dalam Ensiklopedia Islam istilah poliandri merupakan jenis
dari poligami. Poligami berasal dari bahasa Yunani yang berarti “suatu
perkawinan yang lebih dari seorang”. Poligami dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu poliandri dan poligini. Poliandri berasal dari
kata polus yang berarti “banyak” dan andros yang berarti “laki-laki” ,
jadi poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari
seorang laki-laki. Sedangkan poligini berasal dari kata polus dan gune
yang berarti “perempuan” jadi poligini ialah perkawinan seorang laki-
laki dengan lebih dari seorang perempuan (Ensiklopedi Islam, 1994:
107).
Sejarah masyarakat manusia mencatat berbagai bentuk
keprimitifan dan kebiadaban yang dilakukan pada tempat dan masa
yang berbeda. Salah satu bentuk kebiadaban tersebut ialah praktik
perkawinan poliandri. Praktik poliandri di berbagai tempat itupun
berbeda-beda pula, diantaranya sebagai berikut:
37
a. Praktik poliandri yang dilakukan di berbagai negara bagian timur
seperti Srilangka (Pulau Ceylon), bangsa Tibet, Bangsa Taudan di
selatan India, sebagian bangsa Kenya, bangsa Masi dan Bahima di
Afrika serta sebagian bangsa Eskimo. Hukum-hukum di negara
tersebut membolehkan beberapa orang laki-laki yang bersaudara
menikahi satu orang wanita pada satu hari di dalam jam yang
berbeda. Berlakunya aturan poliandri ini mengharuskan beberapa
orang laki-laki mencampuri satu perempuan secara bersamaan (Al-
Ghaffar, 1984: 189). Jika laki-laki tertua menikahi seorang
perempuan, maka perempuan tersebut sekaligus menjadi istri dari
adik-adik suaminya. Dan suaminya sekaligus menjadi suami dari
adik-adik perempuan tersebut. Masyarakat India membolehkan
seorang perempuan bersuami lima, enam atau sepuluh orang.
Bahkan seorang perempuan India boleh bersuami lebih dari
sepuluh orang dengan syarat laki-laki yang akan dijadikan suami-
suami tersebut bersaudara atau masih memiliki hubungan
kekerabatan. Maka hukum ini berimplikasi bahwa pemuda-pemuda
yang tidak memiliki saudara akan sulit untuk mendapatkan
pasangan hidup (Jahrani, 1996: 33-34).
b. Bangsa Tahus di utara Meksiko terdapat praktik yang serupa
dengan poliandri hingga sekarang. Seorang perempuan yang baru
menjadi pengantin maka di malam pertama pernikahannya ia harus
terlebih dahulu berhubungan seksual dengan seseorang yang
38
dianggap sebagai kepala suku. Hal ini dianggap sebagai kenangan
suci dalam pernikahan dan percampuran (Al-Ghaffar, 1984: 189).
c. Sebagian masyarakat Eropa dan Amerika juga membolehkan
seorang perempuan untuk menikahi lebih dari satu orang laki-laki
atas dasar kebebasan, karena menurut mereka kebebasan yang
mutlak membolehkan hal tersebut (Al-Ghaffar, 1984: 190).
Perkawinan sebagaimana di ataspun juga pernah terjadi di
dataran Arab. Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Arab telah
mengenal berbagai bentuk perkawinan. Bentuk-bentuk perkawinan
tersebut diantaranya sebagai berikut (Aj-Jahrani, 1996: 6-12):
a. Perkawinan Istibdha’ (Jima)
Perkawinan jenis ini ialah perkawinan yang dilakukan oleh
seorang perempuan yang berstatus sebagai istri namun oleh
suaminya ia diminta untuk melayani seorang laki-laki lain yang
terkenal dengan kemuliaan, keberanian dan kecerdasannya. Selama
sang istri melayani si laki-laki maka sang suami tidak akan
menggauli sang istri untuk beberapa saat sampai sang istri jelas
akan kehamilannya. Tujuan dari perkawinan ini ialah agar sang
istri melahirkan anak yang memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh si
laki-laki yang telah menggauli sang istri tersebut.
b. Perkawinan ar-Rahthun (Poliandri)
Yaitu perkawinan yang dilakukan oleh beberapa orang laki-
laki yang menyukai akan kenikmatan duniawi yang haram dengan
39
cara menggauli seorang perempuan yang mereka kehendaki.
Setelah sang perempuan hamil dan melahirkan, dia akan
memanggil semua lakai-laki yang telah menggaulinya tersebut dan
mengumpulkan mereka dan si perempuan tersebut akan memilih
salah seorang laki-laki yang menggaulinya untuk menjadi nasab
bagi anak yang telah dilahirkannya tersebut. Dan untuk laki-laki
yang ditunjuk oleh sang perempuan tersebut tidak punya pilihan
untuk menolaknya. Peristiwa semacam ini telah tecatat dalam
sejarah pra islam, sebagaimana dalam sebuah riwayat sebagai
berikut:
ؤمنني ع يق، حيث يف حديث أم امل ائشة بنت ايب بكر الصد
رأة تـقول: كان جيتمع الرهط دون العشرة فـيدخلون ع لى امل
Diceritakan dari Aisyah: “Kelompok laki-laki yang
kurang dari sepuluh orang menggauli (mengawini) seorang wanita” (Aj Jahrani, 1996: 33).
c. Perkawinan al-Maqtu (Kebencian)
Dalam perkawinan ini, seorang anak laki-laki
diperbolehkan untuk mengawini istri dari bapak kandungnya
setelah sang bapak meninggal dunia. Jika sang anak ingin
mengawininya maka sebagai penanda dia harus melemparkan kain
kepada mantan istri bapaknya tersebut, dan istri bapanya tersebut
tidak diperbolehkan untuk menolak akan hal itu. Namun, ketika
sang anak masih kecil maka keluarga dari sang anak akan menahan
40
sang perempuan hingga usia sang anak mampu untuk menentukan
apakah ia akan mengawini si perempuan tersebut atau tidak.
Al-Qur’an secara tegas dan jelas telah mengharamkan
perkawinan jenis ini, hal tersebut termuat dalam Surat An-Nisa
ayat 22 yang berbunyi:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (QS. An Nisa: 22).
d. Perkawinan Asy Syighar (Tukar menukar)
Perkawinan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara
mengawinkan anak perempuan atau saudara perempuannya tanpa
membayar mahar. Abu Hurairah r.a menyebutkan dalam hadits
yang diriwayatkannya, bahwasannya Nabi Muhammad Saw
bersabda:
ار ان يـقول الرجل للرجل زوجين ابـنتك او زوجين اختك، والشخ وازوجك اخيت
“AsySyighar itu adalah bahwa seorang laki-laki
berkata kepada laki-laki yang lain:’ kawinkan saya dengan anakmu atau saudara perempuanmu dan aku kawinkan kau dengan anakku atau saudara perempuanku.” (Muttafakun ‘alaih No. 837 Al-Asqalani, 852 H: 152)
41
e. Perkawinan dengan cara tukar menukar istri (Badal) (al-Ghaffar,
1984: 190)
Perkawinan yang dilakukan seperti halnya barter pada
barang dagangan. Perkawinan jenis ini dilakukan dalam bentuk
dimana seorang laki-laki mengatakan kepada laki-laki lain:
“Berilah kesempatan bagi saya untuk mencampur istri anda, dan
anda saya persilahkan untuk mencampuri istri saya.” Perkawinan
jenis menganggap perempuan hanya sebagai objek dan layaknya
sebuah barang dimana seorang perempuan yang telah bersuami
harus mau untuk melayani laki-laki lain atas permintaan suaminya.
Hal itu mereka lakukan tanpa adanya perceraian terlebih dahulu
dan hanya untuk memuaskan libido seksual dan menghindari
kebosanan serta dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.
f. Perkawinan prostitusi (Al-Ghaffar, 1984: 190)
Perkawinan jenis ini sama halnya dengan apa yang
dilakukan oleh pekerja seks komersial pada era sekarang dimana
perkawinan ini dilakukan oleh seorang perempuan dengan laki-laki
yang tidak ada batasan jumlahnya. Terkumpul laki-laki sebanyak
mungkin kemudian mereka akan mencampuri seorang perempuan,
dan perempuan tersebut harus melayani semua laki-laki yang
dating. Para perempuan yang melakukan pekawinan jenis ini,
mereka akan mengibarkan bendera di pintu rumahnya untuk
membedakan dengan perempuan-perempuan arab lainnya.
42
g. Praktik perkawinan yang paling buruk yang dilakukan oleh bangsa
Arab Jahiliyah ialah perkawinan yang dilakukan oleh bangsa Jadis,
dimana kepala suku Jadis memaksa laki-laki untuk mengawini
anaknya sebelum malam pertama (Al-Ghaffar, 1984: 190).
2. Hukum poliandri dalam Islam
Seorang wanita yang sedang terikat dalam tali perkawinan
dengan laki-laki lain haram dinikahi oleh siapapun. Keharaman itu
berlaku selama sang suami masih hidup ataupun belum dicerai oleh
suaminya. Bahkan perempuan yang sedang dalam tali ikatan
perkawinan dengan seorang laki-laki dilarang untuk dilamar baik
secara terang-terangan maupun secara sindiran meskipun akan
dikawini setelah si perempuan bercerai dengan suaminya dan telah
selesai masa iddahnya.
Keharaman mengawini perempuan bersuami itu terdapat dalam
surat An Nisa ayat 24 (Syarifuddin, 2006: 126-127) yang berbunyi:
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah
43
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. An Nisa’: 24). satu kata yang menghimpun banyak arti. Dikatakan المحصنت
menghimpun, karena kata ini berarti Al Man’u (pencegahan).
Sementara pencegah terwujud melalui berbagai sarana, namun dalam
hal ini pencegahan bagi para perempuan yang menjaga kesucian dan
perempuan yang sudah bersuami adalah penjagaan kehormatan (Al
Farran, 2007: 94-95).
Dalam ayat ini jelas bahwa perempuan-perempuan merdeka
maupun budak-budak yang bersuami diharamkan untuk bagi laki-laki
lain selain suaminya sampai mereka diceraiakan atau ditinggal mati
oleh suami mereka, kecuali para tawanan perang. Karena para tawanan
perang berbeda berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.
Memang islam membolehkan wanita menikah lagi dengan laki-
laki lain, namun jika ia sudah diceraikan atau ditinggal mati oleh
suaminya dan telah selesai masa iddahnya. Hal tersebut sesuai dengan
Firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 234:
44
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (QS. Al-Baqarah: 234).
Dari ayat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, pertama,
masa iddah seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya ialah
empat bulan sepuluh hari. Kedua, Allah memperbolehkan ia memilih
sesuai dengan pilihannya sendiri untuk berbuat kepada dirinya tanpa
campur tangan keluarga almarhum suaminya (Al Ghaffar, 1984: 188).
Kemudian untuk seorang istri yang dicerai oleh suaminya maka
masa iddah perempuan tersebut ialah tiga kali masa suci. Hal tersebut
sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
228 yang berbunyi:
45
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 228).
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan
Islam mengatakan bahwa perempuan yang telah kawin dan telah
berhubungan kelamin selama perkawinan kemudian ia ditalak atau
ditinggal mati oleh suaminya, maka ia harus menjalani masa iddah
(masa tunggu beberapa waktu lamanya). Selama menjalani masa
iddah, perempuan tidak boleh dipinang dengan perincian sebagai
berikut:
a. Perempuan yang menjalani masa iddah karena talak Raj’i dan talak
bain haram dipinang baik secara terang-terangan maupun secara
sindiran.
b. Perempuan yang menjalani masa iddah talak bain dan perempuan
yang menjalani iddah kematian haram dipinang secara terang-
terangan namun boleh dipinang secara sindiran (Basyir, 2007: 9-
20).
Menurut Ibnu Rusyd perempuan yang sedang menjalani masa
iddah baik iddah cerai maupun iddah wafat tidak boleh melangsungkan
perkawinan dengan laki-laki lain selain dari pada suami yang
menceraikan tadi. Bilamana ada yang melanggar aturan tersebut dan
46
tetap melangsungkan perkawinan maka perkawinan antara keduanya
harus dibatalkan. Namun, ketika perkawinan tersebut dibatalkan dan si
perempuan telah selesai masa iddahnya apakah mantan suami boleh
mengawininya atau tidak , dalam hal ini menurutnya ulama berbeda
pendapat.
Menurut Imam Malik, Al-Awza’iy dan Al-Laits pasangan yang
kawin ketika san mempelai perempuan dalam masa iddah harus
dipisahkan dan tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi antara
keduanya meskipun masa iddah si perempuan telah habis dan itu
berlaku untuk selamanya. Hal tersebut mengacu pada atsar shahabi
dari Sa’id bin al-Musayyab dan Sulaiman bin Yasar yang berbunyi:
د اش ا ر ه ج و ز ني بـ ة و ي د س أل ة ا يح ل ط ني ب ق ر فـ اب ط اخل ن ب ر م ع ن أ ىف ت ح ك ن ة أ ر م ا ا مي أ ال ق و ان ث ج و ز ن م ة د الع ا ىف ه ج و ز ا تـ م ي ل ف ق الثـ ا مث م ه نـ يـ بـ ق ر ا فـ هب ل خ د ي ا مل ه ج و ز ى تـ ذ ل ا ا ه ج و ز ان ك ن إ ا ف هت د ع ن إ و ب ط اخل ن م ب اط خ ر خ اآل ان ك مث ل و األ ن ا م ه تـ د ع ة ي ق ب ت د ت ع ا
مث ل و األ ن ا م ه تـ د ع ة ي ق ب ت د ت ع ا ا مث م ه نـ يـ بـ ق ر ا فـ هب ل خ د ان ك اد ب ا أ ع م ت جي ال مث ر خ اآل ن م ت د ت ع ا
Sesungguhnya Umar Bin Khatab menceraikan antara
Thulaihah al_Asadiyah dengan suaminya Rasyid al_Tsaqsafiy yang keduanya kawin dalam masa iddah dari suaminya yang kedua dan berkata: “Perempuan yang kawin dalam masa iddah jika suami yang mengawininya belum menggaulinya dipisahkan antara keduanya kemudian perempuan itu menjalani masa iddahnya dari yang pertama sedangkan yang lain adalah peminang. Jika suami itu sudah menggaulinya diceraikan keduanya kemudian perempuan itu menjalani sisa masa iddah
47
pertama dan kemudian menjalani iddah kedua sesudah itu keduanya tidak boleh berkumpul untuk selamanya. Sedangkan menurut ulama lainnya, diantaranya Abu Hanifah,
Imam As Syafi’i dan al-Tsauriy berpendapat bahwa antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah
kemudian melangsungkan perkawinan maka perkawinan antara
keduanya harus dipisahkan. Dan setelah dipisahkan kemudian masa
iddah si perempuan telah habis maka si laki-laki boleh mengawini si
perempuan tersebut. Alasanya menurutt mereka adalah perkawinan itu
merupakan hak seseorang selama tidak ada dalil yang secara pasti
melarangnya. Dan menurut mereka atsar sahabi tersebut diatas belum
cukup kuat untuk melarang akan perkawinan mereka (Syaarifuddin,
2006: 123-124).
3. Hukum poliandri dalam perundang-undangan di Indonesia
Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia menganut asas
monogami, sesuai dengan pasal 3 Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menyatakan “Seorang Pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Kemudian
lebih lanjut pada pasal 9 Undang-undang ini menyatakan “seorang
yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan
pasal 4 undang-undang ini”. Sedangkan dalam pasal yang dimaksud
dalam pasal tersebut hanya membahas mengenai prosedur poligami
dan tidak menyinggung mengenai poliandri, sehingga dapat
48
disimpulkan bahwa, pada undang nomor 1 tahun 1974 mengenai
perkawinan melarang seorang wanita yang telah menikah melakukan
pernikahan lagi dengan pria lainnya.
Kemudian Kompilasi Hukum Islam melarang perkawinan yang
bersifat mu’aqqat seperti yang termuat pada pasal 40 yang menyatakan
melarang perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu, yaitu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beraga Islam (Nuruddin, 2004: 150-151). Dari pasal 40 Kompilasi Hukum Islam jelas bahwa seorang
wanita dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria lain selama
masih terikat tali perkawinan dengan suaminya ataupun masih dalam
masa ‘iddah.
Lebih jauh lagi, menurut pasal 284 KUHP jo. Pasal 27 KUH
Perdata menghukumi seorang yang telah terikat perkawinan dengan
orang lain baik pria mupun wanita kemudian menikah lagi dengan
orang lain dikatakan telah melakukan zina (Witanto, 2012: 71).
Kemudian menurut pasal 284 KUHP mengancam perbuatan tersebut
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan dengan adanya
pengaduan.
49
4. Poliandri dalam Perspektif Patologi Sosial
Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut paut
dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental
serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-
penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala
abnormal yang merupakan masalah sosial.
Apabila kajian mengenai masalah sosial menggunakan
paradigma yang berbeda maka akan mengakibatkan perbedaan cara
pandang mengenai masalah sosial itu sendiri. Meskipun dalam kajian
mengenai masalah sosial tersebut menggunakan paradigma yang sama
namun menggunakan teori yang berbeda pun akan menghasilkan hasil
kajian yang berbeda pula, bahkan dengan teori yang sama itu akan
melahirkan perspektif yang berbeda.
Perspektif patologi sosial merupakan metode paling awal yang
digunakan untuk memahami masalah sosial. Pada perspektif ini
masalah sosial terjadi apabila individu atau masyarakat tidak berhasil
mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi
serta kegagalan dalam melakukan penyesuaian antar bagian
masyarakat, sehingga akan mengganggu bekerjanya organisasi sosial.
Dalam kondisi tersebut individu atau masyarakat dikatakan dalam
keadaan sakit, maka masyarakat yang sehat adalah yang mampu
mewujudkan social adjusment dan masyarakat dikatakan sakit apabila
50
terjadi kondisi sebaliknya yaitu kondisi social maladjusmen (Soetomo,
2008: 77).
Dari analogi tersebut dapat didefinisikan patologi sosial sesuai
dengan Dictionary of Siciology yang dikutip oleh Soetomo (2008: 81).
Bahwa patologi sosial adalah suatu studi, disiplin atau ilmu
pengetahuan tentang disorganisasi sosial dan maladjusment, yang di
dalam dibahas mengenai arti, eksistensi, sebab-sebab, hasil dan
tindakan perbaikan terhadap faktor-faktor yang mengganggu atau
mengurangi penyesuaian sosial (social adjusment).
Maladjusment dalam kenyataan bermasyarakat dapat terjadi
pada individu ataupun kelompok atau bahkan masyarakat. Terjadi pada
individu, apabila individu gagal dalam menyesuaikan diri dengan
situasi dan perkembangan lingkungan dalam masyarakat. Kondisi
patologi dalam kelompok atau masyarakat terjadi apabila kelompok
atau masyarakat tersebut tidak ada penyesuaian antar unsur dalam
sistem sosial. Namun, jika ada banyak individu dalam suatu kelompok
atau masyarakat mengalami maladjusment maka akan mendorong
terjadinya kehidupan masyarakat yang tidak sehat (Soetomo, 2008:
82).
Menurut Kartini Kartono patologi sosial adalah suatu tingkah
laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola
kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup
rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Dari definisi
51
tersebut dapat dipahami bahwa perilaku patologis atau tidak
didasarkan pada nilai keseimbangan antara norma formal dalam bentuk
hukum formal dan norma formal dalam bentuk norma sosial (Kartono,
2001: 1).
Perilaku patologis merupakan perilaku yang diekspresikan oleh
seseorang atau beberapa anggota masyarakat baik yang disengaja
maupun tidak disengaja, tidak menyesuaikan diri atau bertentangan
dengan norma yang berlaku. Dapat dikatakan bahwa, semua bentuk
perilaku warga masyarakat yang tidak sesuai degan norma dinamakan
perilaku menyimpang (Kartono, 2001: 1).
Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang adalah tingkah
laku, perbuatan atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang
bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma dan hukum yang ada
dalam masyarakat. Penyimpangan sosial ini dianggap sebagai sumber
masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial
(Soetomo, 2008: 94). Suatu perilaku dikategorikan sebagai masalah
sosial apabila:
a. Semua bentuk perilaku yang melanggar atau memperkosa adat
istiadat masyarakat.
b. Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar dari warga
masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya
dan merugikan orang banyak (Kartono, 2001: 1).
52
Suatu perilaku masyarakat yang dianggap patologis, masalah
sosial dan penyakit sosial pada umumnya mendapat reaksi berupa
penolakan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sanksi sosial
terhadap pelaku patologis, baik berupa hukuman, penolakan,
pengucilan bahkan pengasingan (Mukhayyorah, 2010: 17).
Suatu perilaku yang dikataakan menyimpang batasannya
ditentukan oleh norma-norma kemasyarakatan yang berlaku dalam
suatu kebudayaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu tindakan
yang mungkin pantas dan diterima dalam suatu situasi, mungkin tidak
pantas diterapkan dalam situasi lainnya. Adanya anggapan bahwa
suatu perilaku yang menyimpang dapat berbeda-beda antara
masyarakat yang satu dengan lainnya, disebabkan karena suatu
masyarakat terdapat perilaku atau perbuatan yang dianggap
menyimpang, tetapi dalam masyarakat lain justru bukan suatu
perbuatan yang menyimpang.
Perilaku menyimpang dapat diidentifikasi dengan cara:
Pertama, menggunakan logika statistik, yang dianggap menyimpang
adalah setiaap hal yang dianggap jauh dari kedaan normal atau rata-
rata. Kedua, dengan jalan melakukan diskriminasi antara ciri-ciri
masyarakat yang mendorong stabilitas dengan faktor-faktor yang
mengganggu stabilitas. Ketiga, melalui pandangan yang bersifat relatif,
tindakan menyimpang merupakan kegagalan dalam mematuhi aturan
kelompok (Soetomo, 2008: 95).
53
Mengenai peyimpangan sosial ini, Soekanto mengidentifikasi
adanya dua tipe penyimpangan (Soekanto, 1988: 19), yaitu:
a. Penyimpang murni adalah perilaku yang tidak menaati peraturan
dan juga dianggap demikian oleh pihak lain. Dalam tipe ini
seseorang dianggap melakukan tindakan tercela oleh pihak-pihak
lain, meskipun seseorang tersebut tidak melakukan tindakan
tersebut.
b. Penyimpangan tersembunyi adalah seseorang melakukan perbuatan
tercela akan tetapi tidak ada pihak-pihak lain yang bereaksi atau
tidak ada yang melihatnya, sehingga oleh masyarakat dianggap
tidak ada masalah.
Bentuk-bentuk penyimpangan sosial pada masyarakat dilihat
dari berbagai sudut pandang (Kartono, 2001: 44), yaitu:
a. Bentuk penyimpangan sosial berdasarkan sifat.
Bentuk penyimpangan berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1) Penyimpangan bersifat positif adalah bentuk penyimpangan
yang terarah pada nilai sosial yang berlaku dan dianggap ideal
dalam masyarakat dan mempunyai dampak yang bersifat
positif. Misalnya emansipasi wanita dalam masyarakat yang
memunculkan wanita karier.
2) Penyimpangan bersifat negatif adalah penyimpangan dalam
tindakan yang mengarah pada nilai-nilai sosial yang dipandang
54
rendah dan dianggap tercela dalam masyarakat. Misalnya
pencurian, perampokan, pelacuran dan pemerkosaan.
Bentuk penyimpangan yang bersifat negatif dibedakan
menjadi dua macam berdasarkan lama waktunya, yaitu:
Pertama, penyimpangan primer (primary deviation) adalah
penyimpangan sosial yang bersifat sementara dan biasanya
tidak diulang kembali. Seseorang yang melakukan
penyimpangan primer masih bisa diterima dalam masyarakat.
Misalnya seorang yang menunda pembayaran pajak karena
alasan keuangan yang tidak mencukupi.
Kedua, penyimpangan sekunder (secondary deviation)
adalah penyimpangan sosial yang nyata dan dilakukan secara
berulang-ulang bahkan menjadi kebiasaan dan menunjukkan
ciri khas dari suatu kelompok. Seseorang yang melakukan
penyimpangan sekunder biasanya tidak lagi diterima dalam
masyarakat. Misalnya orang yang terbiasa minum-minuman
keras dan selalu pulang dalam keadaan mabuk.
b. Bentuk penyimpangan sosial berdasarkan pelakunya
Bentuk penyimpangan berdasarkan pelakunya dibedakan
menjadi dua bentuk, yaitu:
1) Penyimpangan individu merupakan penyimpangan yang
dilakukan oleh individu yang berlawanan dengan norma suatu
55
kebudayaan yang telah mapan. Misalnya seseorang bertindak
sendiri melakukan suatu tindak kejahatan.
2) Penyimpangan kelompok merupakan penyimpangan yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang tunduk pada norma
kelompoknya yang bertentangan dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat. Misalnya sekelompok orang yang
menyelundupkan dan mengedarkan narkotika atau obat-obatan
terlarang lainnya.
Sedangkan jenis-jenis penyimpangan sosial dalam
masyarakat menurut Soekanto (1987: 417- 430) antara lain:
a. Pelacuran, dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang
bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan
perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah.
b. Delinkukuensi anak-anak. Delinkukuensi anak-anak yang
terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan cross girl
yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung
dalam suatu ikatan atau organisasi formal atau semi formal dan
yang mempunyai tingkah laku yang kurang atau tidak disukai
oleh masyarakat pada umumnya. Delinkukuensi anak-anak
meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan,
pelanggaran susila, penggunaaan obat-obat perangsang dan
mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya) tanpa
mengindahkan norma-norma lalu lintas.
56
c. Alkoholisme, alkohol merupakan racun protoplastik yang
mempunyai efek depresan pada sistem syaraf. Akibatnya,
seorang pemabuk akan berkurang kemampuannya untuk
mengendalikan diri baik secra psikis, fisik maupun sosial.
Suatu aspek sosial yang secara sosiologis sangat pentinga
adalah pengaruh orang mabuk terhadap kehiupan keluarga.
d. Homoseksualitas, secara sosiologis homoseksualitas adalah
seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang sejenis
kelaminnya sebagai mitra seksual. Pria yang melakukan tindak
atau pola demikian disebut homoseksualitas, sedangkan wanita
yang berbuat demikian dinamakan lesbian.
5. Poliandri menurut Psikologi Keluarga Islam
Psikologi berasal dari kata “psyche” dan “logos”. Psyche dapat
berarti jiwa atau roh dan logos yang berarti ilmu, sehingga secara
harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. Secara terminologi psikologi
berarti ilmu yang mempelajarai tingkah laku manusia (Purwanto,
2011: 14).
Keluarga menurut Salvicion G Bailon dan Aracelis Maglaya
yang dikutip oleh Ferri Efendi (2009: 179) adalah dua atau lebih dari
dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan
perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah
tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam peranannya masing-
masing menciptakan dan mempertahankan kebudayaan.
57
Dengan demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa
psikologi keluarga Islam adalah ilmu yang membicarakan tentang
psikodinamika keluarga mencakup dinamika tingkah laku, motivasi,
perasaan, emosi, dan atensi anggota keluarga dalam relasinya baik
interpersonal maupun antar personal untuk mencapai fungsi
kebermaknaan dalam keluarga yang didasarkan pada pengembangan
nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
(www. Lutfisayonk. Blogspot. co. id/ psikologi-keluarga-islam.
Diakses pada tanggal 29 Maret 2017).
Keluarga yang bahagia bisa tercapai manakala terdapat
keseimbangan antara tiga fungsi jiwa Afektif, kognitif dan konatif,
sehingga tercapai keharonisan jiwa bagi setiap anggota keluarga.
Bahagia tau tidaknya suayu keluarga dapat dilihat dari kepribadian
anggota keluarga tersebut. Kepribadian anggota keluarga yang bahagia
atau tidak menurut Abdur Rohman Ismail (www. Slideshare. net/
mobile/ abdulmunirismailismail-keluarga. Diakses pada tanggal 29
Maret 2017) sebagai berikut:
a. Kepribadian Perempuan
Kepribadian perempuan yang bahagia dalam keluargannya
maka ia akan memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1) Bertingkah laku baik terhadap orang lain;
2) Tidak mudah berbuat dosa dan menyimpang dari norma;
3) Tidak menyukai persaingan dalam kehidupan sosialnya;
58
4) Menyukai kerjasama;
5) Menghargai orang lain dan tidak memandang remeh orang lain;
6) Suka mengikuti kegiatan yang positif;
7) Hati-hati dalam masalah keuangan.
Sedangkan kepribadian perempuan yang tidak bahagia dalam
kehidupan keluarganya ialah perempuan yang memiliki sifat-sifat:
1) Emosional;
2) Menunjukkan pendirian yang tidak tetap;
3) Merasa rendah diri;
4) Suka berkompensasi dengan menunjukkan tingkah laku yang
agresif;
5) Diktator dan suka memerintah;
6) Selalu cemas dalam kehidupan sosialnya;
7) Egoisme;
8) Kurang sabar;
9) Dalam hal politik, agama, dan etika sosial cenderung radikal.
b. Kepribadian laki-laki
Kepribadian laki-laki dalam keluarga yang bahagia dapat
dilihat dari sifat-sifat sebagai berikut:
1) Emosinya stabil;
2) Menyukai kerjasama;
3) Bertingkah laku menuju ke arah keberhasilan dalam usahanya;
4) Bekerja baik dengan siapapun;
59
5) Bersikap baik terhadap perempuan;
6) Suka menolong;
7) Bertanggung jawab;
8) Memiliki perhatian terhadap pekerjaan sehari-hari;
9) Suka hidup teratur;
10) Pandai mengatur keuangan dan suka menabung.
Sedangkan laki-laki yang tidak bahagia dengan keluarganya
dapat dilihat dari sifat-sifat sebagai berikut:
1) Banyak mengalami neurosis;
2) Merasa rendah diri;
3) Suka mereaksi pendapat orang lain;
4) Suka mengomentari masalah-masalah orang lain.
5) Menolak terhadap situasi dimana dia dituntut memerankan
peran rendah, dan selalu bertindak yang sifatnya menutupi
kekurangan;
6) Tidak teratur dan serampangan dalam bekerja;
7) Pemboros dan tidak suka menolong.
Untuk mencapai keluarga bahagia tersebut, maka suatu
keluarga haruslah memiliki dasar atau pondasi yang kuat. Pondasi
untuk mencapai keluarga yang bahagia adalah sebagai berikut (www.
Lutfisayonk. Blogspot. co. id/ psikologi-keluarga-islam. Diakses pada
tanggal 29 Maret 2017):
a. Atas dasar cinta
60
Cinta merupakan satu hal yang sangat penting dalam
membangun sebuah keluarga, jalinan cnta dalam ikatan sakral
dapat memperteguh jalinan cinta itu sendiri. Ciri cinta sejati yaitu:
menikmati kebersamaan, hangat dalam berkomunikasi, saling
mengikuti keinginan baik dari orang yang dicintai, dan memaklumi
kekurangan dan saling mengikhlaskan.
b. Doronga fitrah
Fitrah manusia diciptakan di muka bumi ini ialah memiliki
cinta dan ketertarikan terhadap lawan jenis. Fitrah cinta terhadap
lawan jenis tersebut mendorong manusia untuk memilih jodoh dan
hidup berumah tangga. Allah SWT Berfirman:
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu” (QS. An-Nahl ayat 72).
c. Etos ibadah
Ibadah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap
individu yang beragama. Dalam ajaran Islam, nilai dalam agama
separuhnya ada dalam keluarga, sebgaiamana sabda Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Tabrani dan Hakim, yang artinya:
“ketika seseorang hamba menikah maka sesungguhnya ia telah
menyempurnakan separuh dari agamanya, maka hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah untuk menjaga separoh yang lain”.
61
Apabila pondasi keluarga ini dapat terpenuhi dengan baik, maka
akan terwujud keluarga yang sesuai dengan tujuan perkawinan. Tujuan
perkawinan tersebut yaitu sesuai dengan pasal 22 Kompilasi Hukum
Islam yaitu bertujuan untuk mewjudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah (tenteram cinta dan kasih).
62
BAB III
PRAKTEK PERKAWINAN POLIANDRI DI DUSUN CANGGAL
DESA SIDOHARJO KECAMATAN SUSUKAN
KABUPATEN SEMARANG
A. Gambaran Umum Dusun Canggal Desa Sidoharjo
1. Profil Desa Sidoharjo
Gambar 3.1 Peta Desa Sidoharjo
a. Geografis dan Demografis
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil observasi, Desa
Sidoharjo merupakan salah satu desa yang berada di wilayah
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang dengan luas wilayah
202 Ha, dengan batasan sebagai berikut:
1) Sebelah Utara : Desa Koripan
2) Sebelah Selatan : Dusun Ketapang Desa Susukan
3) Sebelah Barat : Dusun Kenteng Desa Susukan
63
4) Sebelah Timur : Desa Gentan
Desa Sidoharjo berada di ketinggian 800 meter dari
permukaan laut dengan suhu udara rata-rata yaitu 28º32º celcius
dan curah hujan 16, 11 mm pertahun. Jarak dari Ibu Kota
Kecamatan adalah 1 km, dari pusat pemerintahan kota
Administratif adalah 17 km, dari Ibu Kota Kabupaten Dati II
adalah 40 km, dari Ibu Kota Kabupaten Dati I ialah 60 km dan dari
Ibu Kota Propinsi adalah 600 km.
Desa Sidoharjo terdiri dari 7 dusun yaitu:
1) Dusun Sidoharjo
2) Dusun Petak
3) Dusun Lengkong
4) Dusun Grabagan
5) Dusun Canggal
6) Dusun Rejoso
7) Dusun Blimbing
Dalam menjalani aktifitas sehari-hari masyarakat Desa
Sidoharjo untuk menjangkau tempat tujuan cukup mudah karena
berada di dekat jalan raya Sruwen-Karang Gede.
b. Keadaan Penduduk.
Sesuai dengan data monografi Desa Sidoharjo tahun 2014,
jumlah penduduk di wilayah Desa Sidoharjo adalah 3.112 jiwa,
dengan perincian laki-laki sebanyak 1.596 jiwa dan perempuan
64
sebanyak 1.516 jiwa. Dari perincian tersebut dapat dilihat bahwa
jumlah laki-laki di Desa Sidoharjo lebih banyak dari pada jumlah
perempuan.
Dari keseluruhan penduduk yang berada di Desa Sidoharjo,
seluruhnya merupakan Warga Negara Indonesia asli, sehingga
mereka berada dalam satu adat dan komunitas, tradisi dan budaya
yang sama dan saling menghormati antar sesamanya.
c. Pendidikan.
Fasilitas pendidikan di Desa Sidoharjo sudah tergolong
maju, hal tersebut dapat dilihat dari sarana pendidikan/sekolahan
yang ada, yaitu:
No Nama fasilitas Jumlah
fasilitas
Jumlah Guru Jumlah Siswa
1 TK 2 14 Guru 65 murid
2 SD 2 15 Guru 150 murid
3 Pondok
Pesantren
3 8 Guru 350 murid
4 SLTA 1 20 Guru 150 murid
5 Madrasah 3 24 Guru 150 murid
Tabel 3.1 Fasilitas Pendidikan
Selain terdapat sarana pendidikan di Desa Sidoharjo juga
didukung dengan adanya sarana organisasi sosial berupa:
Pramuka Gudep : 220 Anggota
65
Karang Taruna : 50 Anggota
Kelompok PKK : 7 kelompok
Dasa Wisma : 70 Anggota
d. Sosial Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat Desa sidoharjo dapat
dikatakan cukup. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup mereka
yang sederhana. Hampir semua keluarga dapat memenuhi
kebutuhan sekundernya, seperti perabotan rumah tangga yang
beraneka macam. Bahkan bisa dikatakan keseluruhan keluarga di
Desa Sidoharjo memiliki kendaraan bermotor.
Dari segi mata pencaharian, warga Desa Sidoharjo
merupakan mayoritas petani, mengingat 96,5 Ha dari wilayah
Sidoharjo merupakan lahan pertanian. Selain dari pada petani,
mata pencaharian warga Desa Sidoharjo dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Buruh Tani : 425 Orang
2) Petani : 275 Orang
3) Karyawan /ABRI : 36 Orang
4) Pegawai Negri Sipil : 92 Orang
5) Wiraswasta : 155 Orang
6) Pensiunan/ Veteran : 42 Orang
7) Pelajar/ Mahasiswa : 787 Orang
8) Belum/ tidak Bekerja : 108 orang
66
9) Dan lain-lain : 1.192 Orang
Dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat Desa
Sidoharjo, selain berproduksi dibidang pertanian juga terdapat
sektor non pertanian dalam bentuk usaha rumah tangga berupa
usaha pembuatan kerupuk, jamur dan keripik belut.
e. Agama
Seluruh warga masyarakat Desa Sidoharjo merupakan
pemeluk agama Islam. Warga Desa Sidoharjo kebanyakan
menganut Madzhab Syafi’i dan penganut faham Ahlussunnah Wal
Jamaah yang tergabung dalam Nahdlotul Ulama. Hal-hal yang
berkaitan dengan Furu’iyah Ibadah dilestarikan, seperti: adzan dua
kali pada waktu Shalat Jum’at, Do’a kunut pada waktu sholat
Shubuh, adanya peringatan kematian dan tahlil, ziarah kubur dan
lain sebagainya. Dikarenakan hal tersebut sehingga pondok
pesantren yang berada di Desa Sidoharjo semuanya menganut
faham Ahlussunnah Wal Jamaah.
Di Desa Sidoharjo terdapat beberapa kegiatan keagamaan
seperti:
Majelis Ta’lim : 7 kelompok dengan 400 Anggota
Majelis Masjid : 9 Kelompok dengan 225 Anggota
Remaja Masjid : 7 Kelompok dengan 350 Anggota
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, jumlah
keseluruhan tempat ibadah sebgai berikut:
67
Masjid : 9 unit
Musholla : 16 unit
f. Kesehatan
Untuk menunjang kesehatan warga masyarakat Desa
Sidoharjo, saat ini tiap dusun terdapat posyandu yang
penyelenggaraan kegiatan dilaksnakan bekerjasama dengan
kelompok PKK Desa Sidoharjo serta berkoordinasi dengan
Puskesdes (Pusat Kesehatan Desa). Selain Posyandu terdapat
Aksepter dengan jumlah 44 orang.
2. Profil Dusun Canggal
Dusun Canggal merupakan salah satu dusun yang berada pada
wilayah Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang,
dengan batasan sebagai berikut:
a. Sebelah timur : Dusun Lengkong
b. Sebelah Selatan : Dusun Petak dan Dusun Grabagan
c. Sebelah Barat : Dusun Rejoso
d. Sebelah Utara : Dusun Blimbing
Dalam menjalani aktifitas sehari-hari masyarakat Dusun Canggal
untuk menjangkau tempat tujuan tidak terlalu sulit. Meskipun Dusun
Canggal berada pada jalur penghubung antara Kecamatan Susukan
dengan Kecamatan Suruh, namun tidak ada transportasi umum yang
melewati daerah tersebut, mengingat untuk menjangkau dusun ini harus
68
melewati tanjakan dan tikungan tajam. Transportasi yang digunakan
oleh warga Dusun Canggal adalah transportasi pribadi.
Dalam masalah keagamaan warga Dusun Canggal sama halnya
dengan warga yang berada di Desa Sidoharjo yang menganut Madzhab
Syafi’i dan penganut faham Ahlussunnah Wal Jamaah. Hal-hal yang
berkaitan dengan Furu’iyah Ibadah di lestarikan, seperti: adzan dua kali
pada waktu Shalat Jum’at, Do’a kunut pada waktu sholat Shubuh,
adanya peringatan kematian dan tahlil, ziarah kubur serta adanya
perkumpulan pengajian rutinan yang dilakukan dalam satu minggu satu
kali.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Dusun Canggal dapat
dikatakan lemah, mengingat tingkat pendidikan warga Dusun Canggal
yang rendah. Kebanyakan warga Dusun Canggal dalam menempuh
bangku pendidikan hanya mencapai 12 tahun atau lulus SMA, dan
hanya tiga keluarga yang menempuh pendidikan hingga ke perguruan
tinggi.
Mayoritas warga Dusun Canggal bermata pencaharian sebagai
petani. Namun ada sebagian warga yang tidak memiliki lahan pertanian
maka mereka bekerja sebagai kuli bangunan atau buruh pabrik, dan
hanya ada satu warga dusun Canggal yang bekerja sebagai staf
kelurahan di Desa Sidoharjo.
69
B. Profil Pelaku Perkawinan Poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo
kecamatan Susukan Kabupaten Semarang
Poliandri dalam penelitian ini ialah pernikahan yang dilakukan
oleh seorang perempun dengan seorang laki-laki, namun perempun yang
bersangkutan masih dalam setatus kawin (perkawinan) dengan laki-laki
lain dan belum bercerai. Berikut adalah profil pelaku perkawinan
poliandri:
1. Profil Ibu Mm
Ibu Mm adalah seorang pelaku perkawinan poliandri di Dusun
Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.
Ibu Mm lahir di Kabupaten Semarang tepatnya di Desa Muncar
Kecamatan Susukan pada tanggal 30 Desember 1950, kini berusia 66
tahun.
Pendidikan formal Ibu Mm hanya sebatas sampai kelas 3
Sekolah Dasar saja. Selain sekolah formal ibu Mm juga mengikuti
TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) di Desa Muncar. Perempuan
yang semenjak lahir beragama Islam dan besar di bawah pengawasan
orang tuanya ini pada awal 80’an menikah dengan seorang duda
ditinggal mati bernama Bapak Mn yang telah memiliki lima orang
anak yang diberi nama Sh, Li, Sn, Bh dan Bi. Setelah menikah, Ibu
Mm pindah ke Canggal dimana Bapak Mn berasal dan tercatat sebagai
warga dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan. Dari
pernikahan pertama ini Ibu Mm dikarunia seorang putri dan diberi
70
nama La yang saat ini berusia 18 tahun dan telah bekerja sebagai buruh
pabrik.
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, selang beberapa
tahun setelah suami pertama Ibu Mm (Bapak Mn) meninggal, tepatnya
pada tahun 2010 Ibu Mm menikah dengan Bapak SP yang merupakan
seorang duda berasal dari Dusun Blumbang Krajan Desa Bantengan
Kecamatan Karang Gede Kabupaten Boyolali. Setelah pernikahan
keduanya ini Ibu Mm dengan Bapak SP menetap di Dusun Canggal.
Dari pernikahan keduanya ini Ibu Mm tidak dikarunia anak.
Lima tahun setelah pernikahan keduanya, tepatnya pada tahun
2016, Ibu Mm menikah dengan laki-laki lain yang bernama Bapak W
tanpa adanya perceraian terlebih dahulu dengan suami sahnya (Bapak
SP). Setelah pernikahan dengan suami barunya Ibu Mm tinggal di
Dusun Kliwonan Desa Jatirejo Kecamatan Suruh dimana suami
ketiganya berdomisili. Dari perkawinan ketiganya ini Ibu Mm belum
dikarunia anak (Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni
2016).
71
2. Profil Ibu L
Gambar 3.2 Pelaku perkawinan
Poliandri 2
Ibu L adalah pelaku perkawinan poliandri di Dusun Canggal
Desa Sidoharjo. Perempuan yang berusia 30 tahun ini berasal dari
Pandeglang Banten. Ia pindah dan menetap di Dusun Canggal Desa
Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang sejak Sembilan
tahun yang lalu tepatnya akhir tahun 2008. Pekerjaan sehari-harinya
ialah mengurus rumah tangga juga sekaligus membantu suaminya
mencari nafkah sebagai buruh mengupas bawang merah.
Ibu L yang semenjak lahir beragama Islam ini, pada usia 12
tahun, setelah ia lulus dari sekolah dasar menikah dengan Bapak Al
yang merupakan warga perantauan yang berasal dari Lampung pada
tahun 1999. Dari pernikahan tersebut Ibu L mempunyai dua anak, yang
pertama seorang perempuan kelahiran 2001 yang bernama As dan
kedua anak laki-laki kelahiran tahun 2003 yang diberi nama Ry.
72
Sembilan tahun setelah perkawinan pertamanya, tepatnya pada
tahun 2008, Ibu L menikah lagi dengan laki-laki lain yang bernama
Bapak R tanpa bercerai dahulu dengan suami pertamanya (Bapak Al).
Setelah pernikahan keduanya inilah Ibu L pindah dan menetap di
Canggal bersama suami keduanya. Dari perkawinan keduanya ini Ibu
L dikarunia dua orang anak pula. Anak yang pertama seorang
perempuan yang berusia delapam tahun dan terdaftar sebagai siswa
kelas 1 Mi Petak bernama In. Anak keduanya bernama Gg yag baru
berusia empat tahun (Wawancara dengan Ibu L pada tanggal 8 Januari
2017).
No. Profil Ibu M Ibu L
1 Usia Pelaku 66 Tahun 35 Tahun
2 Pendidikan
terakhir
Tidak tamat SD SD
3 Pekerjaan Ibu Rumah
Tangga
Buruh
4 Jumlah suami 2 orang suami 2 orang suami
5 Jumlah anak 1 anak dari
Mantan Suami
yang sudah
meninggal
2 anak dari
suami pertama
dan 2 anak dari
suami ke-2
Tabel 3.2 profil pelaku perkawinan poliandri
73
C. Praktik Perkawinan Poliandri Ibu Mm dan Ibu L
1. Proses Perkawinan Poliandri
a. Proses Perkawinan Ibu Mm
Sepeninggal Bapak M, Ibu Mm yang semula hanya mengurus
rumah tangga kemudian harus menjadi tulang punggung keluarga
dengan bekerja sebagai buruh di sebuah penggilingan padi di Desa
Susukan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang (Wawancara
dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016).
Beberapa tahun setelah ia menjanda, Ibu Mm dikenalkan oleh
tetangganya yang bernama Ibu Sh dengan seorang duda kelahiran
Dusun Blumbang Krajan Desa Bantengan Kecamatan Karang
Gede Kabupaten Boyolali 07 Juli 1935 yang bernama Bapak SP.
Meskipun Bapak SP yang sudah berumur 75 tahun namun beliau
masih mampu mampu mencari nafkah dengan berprofesi sebagai
pengrajin anyaman yang kemudian dijual di pasar. Dikarenakan
latar belakang bapak SP dan karena yang mengenalkan beliau
adalah Ibu Sh yang merupakan seorang perempuan yang dihormati
di Dusun Canggal, akhirnya Ibu Mm mau menikah dengan Bapak
SP (Wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3 Januari 2017).
Selang beberapa minggu setelah perkenalan tersebut, Ibu
Mm dan Bapak SP menikah pada tanggal 14 April 2010 dengan
wali saudara kandung dari Ibu Marminem yang bernama Jumar.
Pernikahan tersebut dilaksanakan secara resmi dan tercatat di KUA
74
Susukan dengan Nomor 127/39/IV/2010 (Wawancara dengan Ibu
Mm pada tanggal 28 Juni 2016).
Foto, 1.3 surat nikah Ibu Mm dengan Bapak SP
Setelah menikah, Ibu Mm dan Bapak SP tinggal menetap d
Dusun Canggal dengan anak semata wayang Ibu Mm dari
pernikahan sebelumnya. Setelah enam tahun pernikahan, keadaan
Bapak SP yang semakin tua sudah mulai pikun dan tidak mampu
lagi bekerja.
Suami keduanya yang sudah tidak mampu lagi untuk mencari
nafkah dikembalikan kepada anaknya yang berada di Dusun
Blumbang Krajan Desa Bantengan Kecamatan Karang Gede
Kabupaten Boyolali tanpa ada pemberitahuan untuk bercerai.
Untuk menghindari jika Bapak SP mencari Ibu Mm di Canggal,
Ibu Mm langsung ke tempat anak tirinya yang bernama Sn yang
berada di Dusun Kliwonan desa Jatirejo Kecamatan Suruh
75
Kabupaten Semarang (Wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3
Januari 2017).
Selang dua minggu setelah Ibu Mm memulangkan Bapak SP,
ia dikenalkan oleh anak tirinya yang bernama Sn dengan seorang
duda bernama Bapak W yang merupakan seorang dukun pijat serta
sebagai petani ladang sendiri dan peternak beberapa hewan.
Setelah perkenalan Ibu Mm dengan Bapak W, pada hari itu pula
Ibu Mm menikah dengan Bapak W (Wawancara dengan Bapak W
pada tanggal 28 Juni 2016).
Pernikahan Ibu Mm dengan Bapak W dilakukan tanpa
sepengetahuan suami sahnya (Bapak SP) dan tetangganya
sebagaimana pernyataan Ibu Sr selaku tetangga Ibu Mm di Dusun
Canggal sebagai berikut:
“…mboten reti, wong aku seng adine wo Li wae we yo ra reti, ngertin-gerti wes nduwe bojo neh ngunu wae… wes diulehke nang rono neng igek bali rene tapi marineme wes lungo disik nyang jati …geh dereng pegatan naming diwangsulke ngoten mawon..”(…(tetangga) tidak tahu, orang saya yang adiknya mbk Li saja ya tidak tahu, tahu-tahu sudah punya suami lagi begitu… sudah dipulangkan (Pak SP) ke sana (Bantengan) tapi masih pulang sini tapi Mm.nya sudah pergi dulu ke Jati… ya belum cerai cuman dipulangin gitu saja..) (Wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3 Januari 2017).
Perkawinan Ibu Mm dengan Bapak W tersebut dilakukan
tidak di Dusun Canggal, melainkan di desa dimana tempat asal
Bapak W yaitu di Dusun Kliwonan Desa Jati Rejo Kecamatan
Suruh di kediaman Bapak Sn. Perkawinan tersebut tidak dilakukan
76
di Dusun canggal karena Ibu Mm takut jika dilakukan di Dusun
Canggal akan diketahui oleh Bapak SP.
Kemudian, perkawinan Ibu Mm dengan Bapak W dilakukan
secara Siri dengan dipimpin oleh Bapak Mi yang disaksikan oleh
anak-anak tiri Ibu Mm dari Bapak Mn, yaitu Bapak Sn dengan
anak-anaknya dan Bapak Sm (Suami Ibu Li). Ketika peneliti
menanyakan perihal perkawinan Ibu Mm kepada Pak Sn selaku
wali dan saksi pada perkawinan tersebut, beliau menjawab:
“Yo reti to mbk nek mae kui during pegatan karo Pak SP, tapi kan wes di balekke. Nek wong tuo ki wes ra usum munggah nang pengadilan kui kesuwen nek wes dibaleke ngunu kui corone wes kepitung pegatan… yo nek aku mung mesake mae wes montang manting golek duwet igek kon ngopeni wong tuo mbk...” (Ya tau mbk kalo “mae”(ibu) itu belum cerai dengan Pak SP, tapi kan sudah di pulangkan. Kalo orang tua itu sudah tidak zamannya naik ke pengadilan itu kelamaan kalo sudah di pulangkan seperti itu caranya sudah dikatakan cerai… ya kalo saya hanya kasihan mae sudah mondar mandir cari uang masih suruh merawat orang tua mbk…) (Wawancara dengan Bapak Sh pada tanggal 30 Juni 2016).
Dari wawancara tersebut dapat kita pahami bahwa, Pak Sn
selaku yang hadir pada proses perkawinan Ibu Mm dengan Bapak
SP mengetahui jika Ibu Mm belum secara resmi bercerai. Namun
menurut beliau apa yang telah dilakukan Ibu Mm dengan
memulangkan Bapak SP ke kediaman anak akndungnya sudah bisa
dikatakan sebagai perceraian secara resmi.
Setelah Ibu Mm menikah dengan Bapak W, Ibu Mm menetap
dengan suami ketiganya di Jati Rejo. Namun sesekali ia masih ke
77
Canggal karena mengenai hal-hal kependudukan ia masih berstatus
sebagai warga Canggal. Dari pernikahan Ibu Mm dengan Bapak W
ini, Ibu Mm belum dikarunia anak (Wawancara dengan Ibu Mm
pada tanggal 28 Juni 2016)..
b. Proses Perkawinan Ibu L
Perkawinan Ibu L dengan suami pertamanya (Bapak Al)
dilangsungkan pada tahun 1999. Pernikahan tersebut terjadi ketika
Ibu L masih berusia 12 tahun dan ketika beliau belum berusia
baligh (Menstruasi). Perkawinan terebut terjadi ketika Ibu L lulus
dari SD di Pandeglang, ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan
seorang duda berusia 40 tahun. Duda tersebut bernama Al yang
saat itu merupakan teman kerja Bapak dari Ibu L sebagai supir truk
yang berasal dari Lampung.
Ibu L yang merasa masih kecil dan masih mau merasakan
masa remaja, awalnya tidak mau dan memberontak. Tapi, ia
diancam oleh kedua orang tuanya, jika tidak mau menikah dengan
Bapak Al maka tidak akan dianggap sebagai anak dari orang
tuanya dan akan diusir dari rumah. Karena merasa takut akan
ancaman keluarganya maka Ibu L akhirnya terpaksa menyetujui
dan mau dinikahi oleh duda tersebut. Baru setelah setengah tahun
dari pernikahan mereka akhirnya Ibu L menstruasi.
Kehidupan Ibu L setelah menikah dengan Bapak Al sangat
sederhana. Ibu L tidak bekerja dan hanya bertugas mengurus
78
rumah tangga, karena seluruh kebutuhan dipenuhi oleh suaminya.
Setelah dua tahun pernikahan, pada tahun 2001 lahirlah anak
pertama mereka yang diberi nama As. Pada tahun 2003 lahirlah
anak kedua pasangan tersebut dan diberi nama Ry.
Lima tahun setelah pernikahan mereka Ibu L merasakan
perbedaan pada suaminya. Bapak Al yang biasanya sering pulang
kerumah dan memberi nafkah lahir kepada Ibu L akhirnya berubah
dan pulang ke rumah hanya sesekali, itupun terkadang ia tidak
memberikan uang belanja kepada Ibu L. Untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya, pada tahun 2006 setelah anak keduanya
berumur 3 tahun, Ibu L pergi ke Jakarta dan bekerja di Taman
Surya. Ia bekerja ke Jakarta dan meninggalkan kedua anaknya
kepada orang tuanya.
Pada tahun 2008 ia berkenalan dan dekat dengan Bapak R
yang saat itu juga bekerja di Taman Surya. Karena sering bertemu
di tempat kerja lambat laun menumbuhkan rasa cinta antara Ibu L
dengan Bapak R. Saat bertemu dengan Ibu L, status Bapak R
adalah seorang duda beranak satu.
Karena keduanya merasa cocok, akhirnya mereka
memutuskan untuk menikah. Pernikahan tersebut tidak dilakukan
di Pandeglang melainkan di Dusun Canggal dimana asal Bapak R
berada karena status Ibu L yang saat itu masih berstatus menjadi
Istri orang.
79
Kepergian Ibu L dari Jakarta ke Kabupaten semarang
mengikuti Bapak R tidak diketahui oleh keluarga Ibu L. Bahkan
pernikahan Ibu L dengan Bapak R sama sekali tidak dihadiri dari
pihak Ibu L.
Kemudian pada tahun 2008 akhir pernikahan Ibu L dan
Bapak R dilakukan di Dusun Canggal dengan Naib Bapak Jr orang
yang biasa menikahkan orang-orang Canggal secara siri disaksikan
oleh tetangga Bapak L. Pada awal pernikahan tersebut
dilangsungkan setahu Bapak Jr, Ibu L berstatus janda kembang,
karena mengingat usia dan Perawakan Ibu L saat itu masih muda
dan pengakuan dari Ibu L dan keluarga Bapak R yang mengatakan
bahwa Ibu L masih janda kembang. Menurut pengakuan Bapak
Japar selaku naib dalam pernikahan tersebut:
“Masalah R…, terus terange umpamane kulo ngertos sakderenge geh tetep kulo mboten purun, gandeng kulo dereng ngerti. Soale Pak K essuk-esuk kan teng mriki ken ngijabi anake. Lah kulo geh mpun tangklet sakderenge tentang syarat-syarat lan peraturan hukum lan sakliane, wong niku podo wae gowo bocah to niku,pancen turene niku randa kembang njur pada senenge terus digawa lak ngoten to niku. Menawi kulo ngerti geh kulo mboten prun to niku, mosok wong wedok kok duwe bojo loro geh mboten angsal to geh niku... Wong niku sakeng Jakarta langsung ken ngijabke ngoten mawon.”(Masalah R, terus terang seumpama saya tahu sebelumnya ya tetap saya tidak mau menikahkanm karena saya tidak tahu. Salnya Pak K (Bapak dari Bapak R) pagi-pagi kan ke sini suruh menikahkan anaknya. Ya saya sudah tanya sebelumnya tentang syarat-syarat dan peraturan hukum dan sebagainya, orang itu sama saja bawa anak to itu, memang katanya itu janda kembang terus sama cintanya terus dibawa kan seperti itu. Seandainya saya tahu ya saya tidak mau, mosok perempuan kok punya suami dua ya tidak boleh to itu. Orang itu dari Jakarta langsung suruh nikahkan
80
langsung begitu) (Wawancara dengan Bapak Jr pada tanggal 4 Januari 2017).
Pada juni 2010 akhirnya Ibu L melahirkan seorang putri yang
diberi nama In. Kelahiran anak pertamanya tersebut dibantu oleh
bidan desa Sidoharjo. Selang empat tahun dari kelahiran anak
pertama mereka Ibu L dikarunia putra kedua dari Bapak R yang
diberi nama Gg.
2. Bentuk Perkawinan Poliandri
Berdasarkan proses perkawinan yang dilakukan oleh Ibu Mm dan
Ibu L diatas, bila kita kaitkan dengan bentuk-bentuk keluarga, maka
dapat disimpulkan bentuk keluarga Ibu Mm dan Ib L sebagai berikut:
a. Berdasarkan Keturunan
Seperti halnya keluarga-keluarga lainnya yang berada di
daerah Jawa Tengah, bahwa keluarga Ibu Mm maupun Ibu L
merupakan keluarga Parental atau Bilateral. Dimana pada kedua
keluarga tersebut memiliki ciri yang sama dalam menarik garis
keturunan, yaitu dengan menarik garis keturunan baik dari
keluarga suami maupun istri.
b. Berdasarkan Pemukiman
Jika didasarkan pada tempat dimana keluarga Ibu Mm dan
Ibu L selama perkawinan, baik ketika dengan suami pertama
maupun sumi kedua, maka dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Neolokal, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah
keluarga Ibu Mm dengan suami pertamanaya. Bentuk ini
81
berdasarkan tempat tinggal Ibu Mm dengan suami pertamanya,
dimana Ibu Mm dan suami pertamanya setelah menikah
mereka menetap di dusun Canggal yang merupakan jauh dari
keluarga sedarah dari Ibu Mm maupun suami pertamanya,
mengingat Ibu Mm berasal dari Desa Suruh dan Bapak SP
berasal dari Kabupaten Boyolali.
2) Matrilokal, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah
keluarga Ibu L dengan suami pertamanya. Karena setelah
perkawinan pertama Ibu L, Ibu L beserta suami pertamanaya
tersebut menetap di tempat asal Ibu L di Pandeglang bersama
orang tua Ibu L.
3) Patrilokal, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah
keluarga Ibu Mm dengan suami keduanya dan keluarga Ibu L
dengan suami keduanya. Setelah perkawinan keduanya, baik
Ibu Mm maupun Ibu L mengikuti dan bertempat tinggal di
tempat asal suami kedua mereka.
Berdasarkan paparan diatas maka dapat peneliti paparkan
dalam tabel 3.3 sebagai berikut:
No. Bentuk keluarga
Berdasarkan pemukiman
Profil Keluarga
1. Neolokal Ibu Mm dengan suami
pertama
2. Patrilokal Ibu Mm dengan suami
82
kedua
3. Matrilokal Ibu L dengan suami
pertama
4. Patrilokal Ibu L dengan suami kedua
c. Berdasarkan jenis anggota keluarga
1) Keluarga menurut hukum umum (Common Law Family)
merupakan keluarga yang terdiri dari seorang perempuan dan
seorang laki-laki yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah
secara hukum negara serta anak-anak mereka yang tinggal
bersama. Baik Ibu Mm maupun Ibu L dengan suami kedua
mereka termasuk kedalam keluarga Common law Family,
karena keduanya dalam perkawinan kedua mereka dilakukan
dengan cara perkawinan siri (tidak resmi).
2) Keluarga Inti (Traditional Nuclear), dimana suatu keluarga
tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh saksi-saksi legal
dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat
bekerja di luar rumah. Yang termasuk dalam keluarga jenis ini
ialah kularga Ibu L dengan suami pertamanya.
3) Keluarga Reconstitutional nuclear, merupakan pembentukan
baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami/istri,
tinggal dalam pembentukan suatu rumah dengan anak-anaknya,
baik itu anak dari perkawinan lama maupun hasil dari
83
perkawinan baru.yang termasuk pada kategori ini adalah
keluarga Ibu Mm dengan suami pertamanya, dimana Ibu Mm
merupakan seorang janda dan suaminya seorang duda dan
mereka tinggal bersama dengan anak Ibu Mm dengan mantan
suaminya.
Berdasarkan bentuk keluarga berdasarkan jenis anggota
keluarga diatas maka dapat peneliti paparkan dalam tabel 3.3
sebagai berikut:
No. Bentuk Keluarga
berdasarkan Jenis
Anggota Keluarga
Profil Keluarga
1. Reconstitutional
nuclear
Ibu Mm dengan
Suami
Pertama
2. Common Law Family Ibu Mm dengan
Suami
Kedua
3. Traditional Nuclear Ibu L dengan Suami
Pertama
4. Common Law Family Ibu L dengan Suami
Kedua
84
d. Berdasarkan bentuk perkawinan
Mengenai bentuk keluarga berdasarkan perkawinan, jika
didasarkan pada perbedaan ekonomi, maka dapat dikatakan jika
pada keluarga Ibu Mm dengan suami pertama dan kedua, maupun
Ibu L dengan suami pertama dan kedua dapat dikategorikan dalam
bentuk keluarga homogami. Pengelompokan keluarga tersebut
sesuai dengan keadaan ekonomi, dimana baik Ibu Mm, suami
pertama dan kedua Ibu Mm serta Ibu L dan suami pertama maupun
kedua Ibu L merupakan berasal dari keluarga menengah kebawah.
Hal tersebut sesuai dengan profil pekerjaan mereka.
Sedangkan, berdasarkan bentuk perkawinan jika didasarkan
pada suku maka dapat dikategorikan sebagai berikut:
1) Endogami, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah
keluarga Ibu Mm dengan suami pertama maupun kedua dan
keluarga Ibu L dengan suami kedua, karena mereka termasuk
dalam satu suku yaitu jawa dan masih dalam wilayah pulau
jawa.
2) Exsogami, yang termasuk pada bentuk keluarga ini adalah
keluarga Ibu L dengan suami kedua, karena suami pertama Ibu
L merupakan dari luar jawa dan bukan merupakan keturunan
orang jawa.
Dari bentuk keluarga berdasarkan bentuk perkawinan diatas
maka dapat peneliti paparkan dalam tabel 3.4 sebagai berikut:
85
No. Bentuk Keluarga
berdasarkan
Bentuk Perkawinan
Profil Keluarga
1. Endogami Ibu Mm dengan Suami
Pertama
2. Endogami Ibu Mm dengan Suami
Kedua
3. Exsogami Ibu L dengan Suami
Pertama
4. Enddogami Ibu L dengan Suami
Kedua
e. Berdasarkan jenis perkawinan
Berdasarkan jenis perkawinan yang dilakukan oleh Ibu Mm
maupun Ibu L, maka dapat dikatakan bahwa keduanya merupakan
keluarga poliandri. Dimana baik Ibu Mm maupun Ibu L memiliki
suami lebih dari satu dengan proses perkawinan sebagai berikut:
1) Perkawinan Resmi
Yang dimaksud dengan perkawinan resmi disini ialah
perkawinan yang didaftarkan ke KUA dan perkawinan tersebut
tercatat secara hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka keluarga
yang termasuk dalam perkawinan resmi disini ialah keluarga
Ibu Mm dengan suami pertama yang tercatat di KUA Susukan
86
dan Ibu L dengan suami pertama yang tercatat di KUA
Pandeglang.
2) Perkawinan Siri
Yang dimaksud dengan perkawinan siri disini ialah
perkawinan yang tidak tercatat secara hukum negara. Sesuai
dengan prosesnya maka yang termasuk dalam perkawinan siri
ialah keluarga Ibu Mm dengan suami kedua serta Ibu L dengan
suami kedua, mengingat perkawinan mereka tidak di daftarkan
ke KUA dan perkawinannya dilakukan tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu kepada pihak aparatur daerah.
D. Faktor-faktor Penyebab Perkawinan Poliandri
1. Faktor Ekonomi
Faktor penyebab perkawinan poliandri di Dusun Canggal yang
pertama adalah kondisi ekonomi yang lemah. Masyarakat Dusun
Canggal sebagian bermata pencaharian sebagai petani, namun bagi
sebagian warga yang tidak memiliki lahan pertanian mereka bekerja
sebagai buruh harian lepas.
Masyarakat Dusun Canggal seperti masyarakat pada umumnya,
dimana mereka menginginkan dalam menjalani suka duka kehidupan
ditemani oleh pasangannya. Untuk menjadikan sepasang manusia
menjadi keluarga yang sah maka harus melakukan pernikahan yang
87
sah pula. Di Indonesia pernikahan yang dinyatakan sah apabila
perkawinan tersebut tercatat di KUA.
Dari data yang peneliti peroleh dari beberapa informan
menjelaskan bahwa, perkawinan yang dilakukan di KUA kuranng
lebih membutuhkan biaya sebesar Rp. 450.000,- jika perkawinan
dilakukan di KUA dan sebesar Rp. 1.000.000,- jika perkawinan
dilakukan di rumah mempelai. Jumlah biaya sebesar itu guna
pengurusan kelengkapan perkawinan secara resmi dengan
menggunakan jasa perantara yaitu pegawai pencatat nikah.
Pencatatan perkawinan dapat dilakukan di KUA jika melalui
prosedur dan cara yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
dalam undang-undang. Salah satu ketentuan tersebut ialah prinsip
monogamy dan pelarangan adanya seorang perempuan yang memiliki
pasangan lebih dari satu. Untuk itu, jika seorang perempuan yang telah
memiliki suami dan sudah tidak cocok lagi dengan suaminya,
kemudian ingin menikah kembali dengan laki-laki lain maka
perkawinan yang terdahulu harus dinyatakan bercerai. Perceraian yang
sah harus pula melalui pernyataan hakim dalam persidangan
perceraian. Untuk mengurus perceraian tersebut juga membutuhkan
dana dalam prosesnya.
Dengan keadaan ekonomi keluarga Ibu L dan Ibu Mm yang
kurang mampu dan cukup kesulitan dalam mebayar sejumlah uang
tersebut membuat mereka berfikir ulang untuk mengajukan perceraian
88
dan melakukan perkawinan di KUA. Hal tersebut, seperti penuturan
Ibu L saat ditanya mengenai alasan melakukan perkawinan poliandri
sebagai berikut:
“Geh jane pengen diresmike,mesakke anak-anak gehan mboten gadah akta, tapi geh biayane niku loh mbk, biaya ajeng nikahe niko, ajeng gae wangsul mriko geh larang, damel ngurusi cerai kaleh seng mriko kaleh biaya ge nikahe niku kan geh larang mbak, tureen pake yo geh wes ben”(Ya Sebenarnya pengen diresmikan, kasihan anak-anak juga tidak punya akta, tapi ya biayanya itu lo mbak, biaya mau nikahnya itu, mau buat pulang kesana ya mahal, buat ngurusi cerai sama yang disana sama biaya buat nikahnya itu kan ya mahal mbak, kata pake ya sudahlah) (Wawancara dengan Ibu L pada tanggal 8 Januari 2017).
Hal serupa diungkapkan oleh Ibu Mm, seperti berikut ini:
“mpun sepoh niki ek mbak, nak ngurus-ngurus ngoten niku geh ribet lan biayane kan katah mbak” (sudah tua ini mbak, jika mengurusi seperti itu ya ribet dan biayanya kan banyak mbak) (Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016).
Pernyataan dari pelaku tersebut menunjukkan bahwa salah satu
faktor penyebab perkawinan poliandri yang mereka lakukan
dikarenakan faktor ekonomi yang lemah sehingga tidak mampu untuk
membayar biaya perceraian dan perkawinan ke KUA.
2. Faktor Administrasi
Faktor penyebab perkawinan poliandri yang selanjutnya ialah
faktor administrasi. Faktor administrasi yang dimaksud di sini adalah
prosedur perceraian dan perkawinan yang sah. Seperti dijelaskan di
atas bahwa seorang perempuan yang telah menikah dilarang untuk
melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain. Jika ingin menikah
89
lagi dengan laki-laki lain maka perkawinan yang terdahulu harus
dinyatakan bercerai terlebih dahulu oleh hakim dalam sidang
perceraian. Namun, setelah perkawinan terdahulu dinyatakan bercerai
maka mempelai perempuan harus melalui masa iddah terlebih dahulu
baru ia diperbolehkan menikah kembali dengan laki-laki pilihannya.
Dari hasil wawancara, menurut Ibu Mm prosedur tersebut
selain membutuhkan biaya yang banyak juga dirasa sangat merepotkan
sehingga ia memutuskan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain
meskipun belum mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Ibu Mm dalam wawancara peneliti sebagai
berikut:
“mpun sepoh niki ek mbak, nak ngurus-ngurus ngoten niku geh ribet lan biayane kan katah mbak” (sudah tua ini mbak, jika mengurusi seperti itu ya ribet dan biayanya kan banyak mbak) (Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016).
Hal senada juga dinyatakan oleh Ibu L. Selain karena faktor
biaya, ia merasa proses yang harus ia tempuh untuk melakukan
perceraian terlebih dahulu cukup merepotkan, mengingat pengurusan
perceraian yang harus ia lakukan haruslah mengajukan perceraian ke
Pengadilan Agama Pandeglang, tempat dimana ia berasal.
3. Faktor Usia
Faktor perkawinan poliandri lainnya ialah faktor usia. Faktor usia
disini ikut menjadi penyebab terjadinya perkawinan poliandri yang
dilakukan oleh Ibu Mm, seperti yang dituturkan Ibu Mm:
90
“mpun sepoh niki ek mbak, nak ngurus-ngurus ngoten niku geh ribet lan biayane kan katah mbak” (sudah tua ini mbak, jika mengurusi seperti itu ya ribet dan biayanya kan banyak mbak) (Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016).
Penuturan Ibu Mm di atas menunjukkan selain karena faktor
ekonomi dan faktor administrasi juga dikarenakan faktor usia, dimana
menurut penuturan dari salah satu informan bahwasannya di daerah
Canggal jika sudah tua maka perceraian dan perkawinan tidak harus
melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti berikut
ini:
”Nek wong tuo ki wes ra usum munggah nang pengadilan kui kesuwen nek wes dibaleke ngunu kui corone wes kepitung pegatan…”( Kalo orang tua itu sudah tidak zamannya naik ke pengadilan itu kelamaan kalo sudah di pulangkan seperti itu caranya sudah dikatakan cerai…) (Wawancara dengan Ibu Su pada tanggal 5 Januari 2017).
4. Faktor Ketidak tahuan
Penyebab perkawinan poliandri selanjutnya ialah faktor ketidak
tahuan. Hal ini didasari kepada faktor pendidikan, dimana pendidikan
pelaku perkawinan poliandri secara formal sangat rendah. Hal ini sesai
dengan peryataan Ibu Mm “….kulo riyen medal, sakeng SD muncar
riyen, kelas telu metu…”(.. saya dulu keluar, dari SD Muncar dulu,
kelas tiga keluar…).
Hal senada juga dialami oleh Ibu L dimana setelah lulus SD dia
dipaksa oleh keluarganya untuk menikah dengan suami pertamanya.
Seperti yang Ibu L katakana bahwa “…kulo dijodohke kaleh orang
tua, wong kulo lulusan umur 12 tahun niku mpun dijodohke,.,”(..saya
91
dijodohkan sama oang tua, saya lulus umur 12 tahun itu sudah
dijodohkan..)
Rendahnya tingkat pendidikan yang pelaku peroleh
mengkibatkan mereka tidak faham akan praturan perundang-undangan
mengenai prosedur perkawinan dan perceraian yang benar. Sehingga
mengakibatkan mereka melakukan perkawinan poliandri yang menurut
mereka jika sudah dilakukan ijab qabul maka perkawinan mereka
sudah dinyatakan sah.
92
BAB IV
DAMPAK PERKAWINAN POLIANDRI:
DAMPAK HUKUM, SOSIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS
A. Dampak Hukum Perkawinan Poliandri
Sebagaimana pada penjelasan bab sebelumnya, bahwa ditinjau dari
segi hukum Islam maupun hukum perkawinan yang berada di Indonesia
menyatakan bahwa perkawinan poliandri adalah haram. Namun
sebagaimana hasil penelitian yang peneliti lakukan, ternyata masih
terdapat perempuan yang melakukan perkawinan poliandri, terlebih dalam
satu dusun terdapat dua perempuan yang melakukan perkawinan poliandri.
Berikut dampak hukum perkawinan poliandri Ibu Mm dan Ibu L:
1. Perkawinan Tidak Sah dan Hubungan Suami Istri Dihukumi Zina
Sebagaimana dalam penjelasan pada bab terdahulu, bahwa
sesuai dengan Al-Qur’an surat An- Nisa’ ayat 24, maka perkawinan
kedua Ibu Mm maupun Ibu L adalah haram. Selain dari pada
keharaman perkawinan keduanya karena Ibu Mm belum bercerai
dengan suami pertamanya dan belum melalui masa iddah, keharaman
perkawinan Ibu Mm dengan suami keduanya dikarenakan perkawinan
kedua tersebut tanpa adanya wali, maka perkawinan tersebut tidak sah
dan dianggap zina. Keharaman perkawinan tanpa wali sesuai dengan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Daaruqthniy no. 3540 yang
berbunyi:
93
ر رأة, وال تـنكح ال تـنكح امل
رأة نـفسها, إن التىى تـنكح نـفسها أة املامل
: قال ابن سريين و ربـها قال ابو هريرة "هي الزانية"هي البغي Janganlah seorang wanita menikahkan wanita yang
lainnya, dan janganlah pula seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri, maka ia adalah pelacur. Ibnu Sirina berkata: “kadang Abu Hurairoh berkata “ia adalah wanita pezina” ((At Daruquthniy No. 3540))
Hal serupa berlaku dengan Ibu L, meskipun Ibu L menikah
dengan didamping wali, namun menurut hukum Islam perkawinan Ibu
L tidaklah sah mengingat wali perkawinan Ibu L dengan suami
keduanya adalah kakak kandung dari suami keduanya. Dalam pasal 21
dan 23 Kompilasi Hukum Islam telah diatur bahwa yang berhak
menjadi wali adalah sebagai berikut:
Pertama, wali nasab terdiri dari empat kelompok yaitu
pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah,
kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat
saudara laki-laki kandung atau saudara seayah dan keturunan laki-laki
seayah dan keturunan mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman dari
garis ayah. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek dan
keturunannya. Dan itu berlaku kelompok yang satu didahulukan dari
kelompok yang lain sesuai susunan kekerabatan calon mempelai
perempuan.
94
Kedua, jika pada poin pertama tersebut tidak dapat dipenuhi
maka dapat diganti oleh wali hakim setelah adanya utusan pengadilan
Agama.
Dari pasal tersebut, dapat kita ketahui bahwa kakak dari
mempelai laik-laki tidak berhak menjadi wali dari perkawinan seorang
perempuan. Maka, dalam hukum Islam perkawinan Ibu Mm dan Ibu L
dengan suami keduanya dianggap haram karena tidak sah dan
hubungan dengan suami keduanya dihukumi zina.
Selain keharamannya sesuai hukum Islam, sebagaimana
diketahui, di Indonesia perihal perkawinan tunduk kepada aturan
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pada pasal 2
ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanaya dan
kepercayaan itu. Lebih jauh lagi pada pasal 3 dan pasal 9 undang-
undang tersebut serta Kompilasi Hukum Islam pasal 40 menerangkan
akan larangan perkawinan poliandri. Maka dapat dikatakan sama
halnya dengan hukum Islam, pada perundang-undangan mengenai
perkawinan di Indonesia menyatakan bahwa perkawinan Ibu Mm dan
Ibu L dengan suami keduanya adalah tidak sah dan haram di mata
hukum Islam maupun hukum perdata di Indoneia.
2. Perkawinan poliandri dapat dikatakan batal demi hukum
Perkawinan kedua yang dilakukan oleh Ibu Mm maupun Ibu L
secara hukum Islam serta Perundang-undangan di Indonesia yang
95
dinyatakan tidak sah serta dihukumi zina. Selain dari tidak sah serta di
hukumi zina tersebut, perkawinan kedua yang dilakukan oleh pelaku
dalam perundang-undangan di Indonesia dapat dikatakan batal demi
hukum, karena perkawinan kedua yang dilakukan oleh Ibu Mm
maupun Ibu L dilakukan secara siri. Hal tersebut berdasarkan pasal 2
ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa
suatu perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Selain berdasarkan pada pasal 2 ayata (2) Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur mengenai sahnya suatu
perkawinan harus dengan pencatatan perkawinan juga berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak
dan rujuk. Sedangkan tata cara pencatatannya berpedoman kepada
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pasal 10 ayat (3),
pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) dan pasal 13 ayat (2).
Dengan adanya proses pencatatan dan diperolehnya kutipan akta
nikah itu perkawinan dinyatakan sebagai perkawinan yang mempunyai
hak mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum (Anshary,
2010: 21). Sehingga suatu perkawinan dapat dinyatakan sah dan ada
jika adanya alat bukti resmi suatu perkawinan, apabila dihadapkan
kepada hal-hal yang memerlukan proses peradilan (Anshary, 2010:
17). Maka perkawinan Ibu Mm dan Ibu L dengan suami keduanya di
mata hukum berdasarkan pasal tersebut di atas dapat dikatakan tidak
96
pernah ada atau batal demi hukum, karena tidak adanya alat bukti
resmi yang menyatakan adanya perkawinan tersebut.
3. Perkawinan Poliandri Terancam Pidana 9 Bulan
Perkawinan Poliandri dimata hukum pidana dijelaskan pada
pasal 284 ayat 1 poin 1b dan 2a KUHP jo. pasal 27 KUHPerdata
bahwasannya seseorang yang telah menikah kemudian menikah lagi
dengan orang lain dikatakan zina. Pada pasal 284 KUHP tersebut juga
menerangkan bahwa baik bagi pelaku maupun orang yang diajak
menikah lagi tersebut diancam dengan pidana 9 bulan meskipun pasal
ini bersifat delik aduan, yang berarti bahwa pasal ini tidak akan
berlaku selama suami pertama Ibu Mm maupun Ibu L tidak
melaporkan perkawinan poliandri tersebut.
4. Mendapat Masalah Kependudukan
Selain dampak hukum Islam maupun hukum di Indonesia
mengatakan perkawinan Ibu L adalah haram dan dihukumi zina,
perkawinan poliandri yang dilakukan Ibu L menimbulkan
permasalahan dalam bidang kependudukan. Berdasarkan keterangan
dari Ibu L didapat sebagai berikut:
“kulo mboten gadah KTP mbak, ajeng kulo perpanjang wonten mriki tapi mboten saget kok mbak kan mboten wonten surat pengantare…”(saya tidak punya KTP mbak, mau saya perpanjang disini tidak bisa mbak kan tidak ada surat pengantarnya…)
“geh kalih-kalihe mboten wonten aktane kan nikahe mboten wonten aktane gehan, nak Intan sekolahe ngagem surat kelahiran sakeng bidan kapan lahire ngoten mawon naming kertas ngoten mawon kok…”(ya kedua anak saya tidak ada
97
aktanya kan nikahnya tidak ada aktanya , Intan sekolah jugamenggunakan surat dari bidan tanggal kelahiran begitu saja hanya kertas begitu saja kok..)
Disamping itu berbagai masalah kependudukan dialami Ibu L,
karena Ibu L tidak terdaftar sebagai warga Dusun Canggal secara
resmi, namun juga sudah tidak termasuk warga Pandeglang karena Ibu
L saat ini tidak memiliki KTP. Masalah kependudukan Ibu L tersebut
mengakibatkan ia dan kedua anaknya mengalami berbagai kendala,
seperti kedua anak hasil poliandri Ibu L tidak dapat memperoleh akta
kelahiran, yang mengakibatkan anak Ibu L susah untuk masuk dalam
sekolah formal, kegiatan kesehatan yang semestinya bagi warga
kurang mampu mendapat dispensasi pembayaran di puskesmas tidak
berlaku bagi Ibu L dan kedua anaknya sehingga mereka harus
mengeluarkan biaya untuk perawatan kesehatan.
Permasalahan kependudukan tersebut juga dialami oleh Ibu
Mm, meskipun tidak seperti Ibu L namun perkawinan poliandri Ibu
Mm juga berdampak pada masalah kependudukan, dimana untuk
melakukan pemeriksaan dengan menggunakan BPJS harus ia lakukan
di Susukan mengingat Ibu Mm masih terdaftar sebagai warga
Kecamatan Susukan. Hal tersebut membuat Ibu Mm harus menempuh
jarak yang cukup jauh untuk melakukan pemeriksaan ke Puskesmas
Susukan.
Selain dari dampak perkawinan poliandri diatas juga akan
berdampak pada tidak dapatnya penuntutan harta gono gini bagi Ibu
98
Mm dan nafkah serta pembagian warisan bagi Ibu L dan anak-anaknya
jika terjadi permasalahan dan konflik antara Ibu Mm atau Ibu L
dengan suami kedua mereka.
No Dampak Hukum Profil
1. Perkawinan dianggap tidak Sah dan
hubungan dengan suami dihukumi Zina
Ibu Mm dan Ibu L
2. Diancam pidana 9 bulan Ibu Mm dan Ibu L
3. Meendapat masalah kependudukan Ibu Mm dan Ibu L
Tabel 4.3 Dampak Hukum Perkawinan Poliandri
B. Dampak Sosiologis Perkawinan Poliandri
Sebagai makhluk sosial tentu tidak mungkin setiap perbuatan yang
individu lakukan tidak mendapat tanggapan dari masyarakat sekitar. Setiap
perbuatan yang berbeda dari kebiasaan masyarakat dikatakan sebagai
tindakan menyimpang. Sebagaimana Kartono (2001: 44) yang mengatakan
bahwa penyimpangan berdasarkan sifatnya dapat berbentuk penyimpangan
positif dan akan mempunyai dampak yang positif, serta penyimpangan
bersifat negatif yang mengarah pada perbuatan yang menyeleweng dari
tatanan masyarakat dan mengarah kepada nilai-nilai sosial yang dipandang
rendah akan mengakibatkan berbagai masalah dalam masyarakat tersebut.
Seperti halnya penyelewengan negatif tersebut, perkawinan poliandri
menurut teori yang diungkapkan Kartono (2001: 1) merupakan perilaku
99
yang patologis, mengingat perkawinan poliandri adalah suatu bentuk
tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal,
pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup
rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Sehingga
menurut perspektif patologi sosial, perkawinan poliandri merupakan
sebuah penyimpangan negatif karena melanggar aturan hukum baik
negara, adat maupun hukum Islam dan menimbulkan masalah sosial yang
mengakibatkan keresahan bahkan mengakibatkan adanya konflik dalam
masyarakat.
Perkawinan poliandri yang merupakan perilaku menyimpang ini,
berdasarkan hasil penelitian peneliti baik yang berupa hasil wawancara
maupun hasil observasi menimbulkan berbagai tanggapan baik dari
keluarga pelaku maupun dari masyarakat sekitar pelaku perkawinan
poliandri tersebut. Berikut dampak sosiologis yang diterima pelaku
poliandri dari keluarga maupun masyarakat:
1. Hubungan dengan Suami Pertama tidak Harmonis
Perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm maupun
oleh Ibu L mengakibatkan hubungan Ibu Mm maupun Ibu L dengan
suami pertama mereka tidak harmonis. Perkawinan Ibu Mm dengan
Bapak W yang didahului dengan pengembalian Bapak SP ke kediaman
anak kandung Bapak SP, membuat hubungan Ibu Mm dengan Bapak
SP tidak harmonis, bahkan Ibu Mm selalu di hantui rasa takut jika
perkawinan Ibu Mm dengan Bapak W diketahui oleh Bapak SP.
100
Berbeda dengan Ibu Mm, perkawinan Ibu L dengan Bapak R
dilakukan dengan cara Ibu L melarikan diri dengan Bapak R ke
kediaman Bapak R. Hal tersebut mengakibatkan hubungan Ibu L
dengan suami pertamanya menjadi terputus. Tidak hanya dengan
suaminya, bahkan hubungan dengan keluarga kandung Ibu L yang
berada di Pandeglang juga terputus.
2. Cenderung Menutupi Salah Satu Perkawinan
Sebagaimana lazimnya di Indonesia, bahwa perkawinan
seorang perempuan hanya boleh dilakukan dengan satu orang laki-laki
atau asas melarang poliandri. Hal tersebut juga berlaku pada warga
Dusun Canggal yang menganggap bahwa seorang perempuan hanya
boleh menikah dengan satu orang laki-laki. Dengan adanya hukum
tersebut mengakibatkan seorang perempuan yang menikah dengan
lebih dari seorang laki-laki harus menutupi salah satu perkawinan agar
tidak mendapat masalah hukum mengenai peerkawinannya.
Kasus ini terjadi kepada kedua pelaku perkawinan poliandri,
baik Ibu Mm maupun Ibu L. Ibu Mm cenderung menutupi perkawinan
keduanya dengan Bapak W, karena warga Dusun Canggal mengetahui
perkawinan Ibu Mm dengan suami pertamanya yaitu Bapak SP dan
belum bercerai dengan Bapak SP. Ibu Mm yang menutupi perkawinan
keduanya tersebut dilakukan dengan tidak pernah mengenalkan Bapak
W kepada warga dan jika warga menanyakan perihal perkawinannya
Ibu Mm cenderung diam dan mengalihkan pembicaraan.
101
Berbedaa dengan Ibu Mm yang cenderung menutupi
perkawinan keduanya, Ibu L yang cenderung menutupi perkawinan
pertamanya dengan Bapak Al. hal tersebut ia lakukan mengingat warga
Dusun Canggal mengetahu perkawinan Ibu L dengan Bapak R dan
pada waktu perkawinan Ibu L dengan Bapak R berlangsung Ibu L
mengaku sebagai seorang janda kembang.
3. Mendapat Pertentangan dari Keluarga Kandung maupun Keluarga
Suami
Kontrol sosial yang paling awal dari setiap tindakan yang
dilakukan oleh seseorang ialah berasal dari keluarga, karena keluarga
adalah interaksi sosial pertama dari setiap orang. Hal tersebut
berimplikasi bahwa keluargalah yang pertama akan menujukkan suatu
tanggapan dari apa yang kita lakukan. Begitu pula dengan perkawinan
poliandri yang Ibu Mm maupun Ibu L lakukan menimbulkan
pertentangan dari kalangan keluarga mereka.
Pertentangan mengenai perkawinan poliandri yang Ibu Mm
dengan Bapak W lakukan pertama kali ialah ditunjukkan oleh keluarga
dari keluarga Bapak SP. Sikap penolakan keluarga Bapak SP atas
perkawinan poliandri Ibu Mm tersebut dilakukan mereka ketika awal-
awal perkawinan poliandri tersebut diketahui oleh mereka dan
masyarakat. Hal tersebut sebagaimana keterangan dari Ibu Lt:
“yo pas awal-awal kae mbak, anak.e pak SP nyang Canggal nesu-nesu, lha piye mbak pakne dingunukke sopo seng trimo to mbak, njor bar kui y owes ra tau rene meneh nak anak..”(ya wakti awal-awal dulu mbak anaknya Pak SP datang kesini marah-marah siapa
102
yang terima mbak bapaknya diperlakukan seperti itu, tapi setelah itu sudah tidak pernah kesini lagi)
Pertentangan dari keluarga mengenai perkawinan poliandri
juga dialami oleh Ibu L. Sikap penolakan akan perkawinan poliandri
yang Ibu L dengan Bapak R lakukan ditunjukkan oleh anak dari
Bapak R dari perkawinan Bapak R terdahulu. Menurut tetagga pelaku
mengatakan bahwa, anak Bapak R hasil perkawinan dengan istri
terdahulu tidak memiliki hubungan baik dengan Ibu L, ia seringkali
bertengkar dengan Ibu L dan mengatakan bahwa Ibu L adalah perebut
suami orang dan ia sering tidak pulang ke rumah.
4. Hubungan dengan Anak Kandung dari Suami Pertama maupun
Keluarga Kandung Terputus
Dampak perkawinan poliandri yang dialami oleh Ibu L ialah
terputusnya hubungan antara Ibu L dengan anak dari hasil perkawinan
pertamanya dengan Bapal Al dan terputusnya hubungan antara Ibu L
dengan keluarga kandungnya yang berada di Pandeglang Banten.
Menurut penuturan yang disampaikan oleh Ibu L, bahwa setelah ia
pindah ke Canggal sejak 2008 hingga sekarang ia hanya
berkomunikasi dengan keluarga di Pandeglang sebanyak satu kali
ketika ia mengabarkan bahwa telah menikah dengan Bapak R.
Terputusnya hubungan tersebut dalam hal komunikasi Ibu L
dengan keluarganya yang di Pandeglang, hal itu dikarenakan nomor
telepon keluarga yang Ibu L tahu sudah berganti dan tidak ada
pemberitahuan. Selain dari karena bergantinya nomor telepon keluarga
103
Ibu L, terputusnya hubungan tersebut juga dikarenakan faktor ekonomi
yang dialami Ibu L sehingga Ibu L tidak bisa mengunjungi
keluarganya yang di Pandeglang lagi.
5. Menjauh dari Masyarakat dan Mendapat Pengucilan dari Masyarakat
Perkawinan yang dilakukan oleh Ibu Mm dengan Bapak W
disaat Ibu Mm masih terikat perkawinan dengan Bapak SP
mendapatkan tanggapan negatif berupa penentangan dari masyarakat.
Salah satu bentuk penentangan masyarakat akan perkawinan Ibu Mm
dengan Bapak W tersebut ialah masyarakat tidak senang dan merasa
terganggu, sehingga dalam pergaulan sosial kemasyarakatan sehari-
hari Ibu Mm tidak diterima dalam masyarakat. Ibu Mm juga mendapat
gunjingan negatif dari masyarakat dengan dikatakan bahwa Ibu Mm
telah melanggar hukum agama dan melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan kesusilaan dan sebagainya, seperti pernyataan Ibu SS
sebagai berikut:
“nek wo Mm mah gek apik ro wong kene mbak neng wong kene yo do ngenengke wae, lha piye to mbak wong wedok kok bojo ngasi loro koyo ra duwe agama wae, jeneng wong deso ki nek wong wedok kok ngono kui lak yo ra patot to mbak, neng y owes ra urep nek kene, wus isin to yae mbak..”(kalo Bu Mm masih baik sama orang sini mbak tapi orang sini sudah mendiamkan dia, lha gimana to mbak orang perempuan kok suami sampai dua seperti tidak punya agama saja, namanya orang desa itu kalo perempuan seperti itu ya tidak patut kan mbak tapi ya sudah tidak disini.. sudah malu mungkin mbak). (Wawancara dengan Ibu SS pada tanggal 5 Januari 2017)
104
Ibu Mm yang pada awalnya merupakan warga Dusun Canggal
dan memiliki tempat tinggal di Dusun Canggal setelah ia
melangsungkan perkawinan dengan Bapak W dan mendapatkan
pengucilan serta gunjingan dari masyarakat memutuskan untuk ikut
dan menetap di tempat asal Bapak W dan tidak tahu menhu lagi
dengan keadaan rumah yang di Canggal seperti penuturan Ibu Mm
yang mengatakan bahwa “Kulo geh mpun mboten retos griyo Canggal
pripun mbah, mboh mpun rusak nopo pripun...(Saya ya sudah tidak
tahu rumah Canggal bagaimana mbak, entah sudah rusak atau
bagaimana..)
Seperti halnya Ibu Mm, setelah warga mengetahui bahwa
perkawinan yang Ibu L lakukan dengan Bapak R disaat Ibu L masih
terikat perkawinan dengan Bapal Al juga mendapat berbagai
tanggapan negatif dari masyarakat. Salah satu tanggapan negatif
perkawinan Ibu L dengan Bapak R dari masyarakat adalah masyarakat
tidak senang dan dianggap bahwa keluarga Bapak R adalah orang
kurang waras, sehingga dalam kesehariannya Ibu L dan keluarga tidak
diterima dalam masyarakat, sebagaimana pernyataan Ibu Sr dan Bapak
Si yang mengatakan bahwa:
“geh awale mboten reti...ndang retos geh tangga-tangga geh mendel mawon to mbak. Lha ajeng pripun maleh, pak J seng ngijabke mawon geh mendel mawon. Torneh mriku niku wong edan mbak...”(ya awalnya tidak tahu mbak.. setelah tahu ya tetangga ya diam saja to mbak. Lha mau bagaimana lagi, pak J saja yang menikahkan diam saja. Apalagi mereka itu orang gila (nakal) mbak) (wawancara dengan Bapak Si pada tanggal 3 Januari 2017)
105
L ra tau melu opo-opo mbak dibaan ratau, pkk yo ra melu, nyamng mejid we ra tau mbak,..”(L tidak pernah ikut apa-apa mbak dibaan tidak pernah, PKK ya tidak ikut, ke masjid saja tidak pernah mbak,) (wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3 Januari 2017)
Dari beberapa dampak sosiologis perkawinan poliandri yang
dilakukan oleh Ibu Mm dan Ibu L diatas dapat dipahami bahwa,
perkawinan poliandri di Dusun Canggal merupakan suatu perbuatan yang
patologis dan merupakan masalah sosial karena bertentangan dengan
hukum Islam, hukum perkawinan di Indonesia juga hukum positif di
Indonesia. Perkawinan yang dilakukan oleh satu orang perempuan dengan
lebih dari satu orang laki-laki tersebut selain telah melanggar norma-
norma hukum yang dianut oleh masyarakat tersebut juga oleh keluarga
dianggap suatu perbuatan yang tidak dikehendaki dan merugikan orang
banyak, serta oleh masyarakat dianggap sebagai suatu perbuatan sosial
yang mengganggu karena keluar dari aturan yang ada dan berbahaya
karena akan menimbulkan permasalahan-permasalahan kedepan.
Sesuai dengan pemaparan diatas dapat dipahami bahwa perkawinan
yang dilakukan oleh Ibu Mm dengan Bapak W dan Ibu L dengan Bapak R
mendapatkan reaksi negatif berupa sikap penentangan baik dari pihak
keluarga maupun dari pihak masyarakat Dusun Canggal. Penentangan
keluarga atas perkawinan tersebut ialah pemutusan hubungan keluarga
oleh keluarga kandung Ibu L di Pandeglang, penolakan perkawinan oleh
anak dari Bapak R serta penentangan perkawinan yang dilakukan oleh
keluarga Bapak SP terhadap perkawinan Ibu Mm dengan Bapak W. Selain
penentangan oleh keluarga juga terdapat penentangan dari masyarakat
106
dalam bentuk masyarakat tidak senang, dianggap mengganggu dan dicap
sebagai pelanggar kesusilaan. Reaksi dari masyarakat tersebut, secara
sosiologis dapat diartikan sebagai sikap penolakan terhadap semua
perbuatan atau tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku yang
dianut di masyarakat.
Sesuai dengan pemaparan mengenai dampak perkawinan poliandri
diatas, maka dapat dikomparasikan sebagai berikut:
No Dampak Sosiologis Profil
1. Dengan suami pertama tidak
harmonis
Ibu Mm dan Ibu L
2. Salah satu perkawinan cenderung
ditutupi
Ibu Mm dan Ibu L
3. Mendapat pengucilan dari masyarakat Ibu Mm dan Ibu L
4. Terpisah dari anak kandung dari suami
pertama
Ibu L
5. Mendapat pertentangan dari keluarga Ibu Mm dan Ibu L
6. Hubungan dengan keluarga kandung
terputus
Ibu L
Table 4.2 Dampak sosiologis perkawinan poliandri
C. Dampak Psikologis Perkawinan Poliandri
Seperti yang kita tahu bahwa perkawinan poliandri merupakan suatu
perkawinan yang dilakukan yang menyimpang dari kebiasaan dan norma-
107
norma yang ada pada masyarakat. Dari suatu perilaku yang berbeda dari
masyarakat ini pastilah memiliki efek samping pada diri pelaku sendiri
dalam hal psikologis. Berikut dampak psikologis perkawinan poliandri
yang dialami oleh pelaku:
1. Malu dengan Tetangga
Salah satu dampak psikologis perkawinan poliandri ialah malu
terhadap tetangga. Malu dalam psikologi Islam termasuk dalam
tempramen melankolikus dimana seseorang mempunyai sifat yang
dibawa sejak lahir berupa pesimistik yang mengakibatkan ia suka
bersedih hati dan malu akan pebuatan yang ia lakukan tidak sesuai
dengan kelaziman (Mujib, 2006: 46).
Kasus ini terjadi kepada pelaku perkawinan poliandri baik Ibu
Mm maupun Ibu L, dimana Ibu Mm dan Ibu Lmalu kepada warga
Dusun Canggal dengan ap ayang mereka lakukan. Rasa malu Ibu Mm
mengakibatkan Ibu Mm enggan untuk kembali dan menetap lagi di
Dusun Canggal, sehingga ia ikut dan menetap dengan suami keduanya
di Dusun Jati Rejo. Berbeda dengan Ibu L, karena rasa malu akan
perbuatannya yang menikah dengan dua orang laki-laki dan
memalsukan data bahwa ia bukan merupakan janda kembang
melainkan masih bersetatus sebagai suami mengakibatkan ia enggan
untuk berkumpul dengan warga Dusun Canggal.
108
2. Takut jika Suami Pertama Tahu
Dari perkawinan yang ia lakukan secara sembunyi-sembunyi
dan tanpa pemberitahuan kepada suaminya yang terdahulu membuat
Ibu Mm selalu merasa takut jika perkawinan poliandri yang ia lakukan
diketahui oleh suami pertamanya. Ibu Mm yang masih terikat
perkawinan dengan suami pertamanya dan mengetahui bahwa
setatusnya tidak bisa lepas sepenuhnya dengan suami pertamanya,
meskipun suami pertamanya sudah dipulangkan ke rumah anak
kandunya namun ia mengetahui bahwa suami pertamanya bisa saja
kembali sewaktu-waktu. Hal tersebut membuat Ibu Mm selalu merasa
takut jika suami pertamanya mengetahu bahwa ia telah meikah lagi
dengan orang lain tanpa memberi tahunya.
3. Rindu dan Merasa Bersalah kepada Anak dari Perkawinan Pertama
dan Keluarga Kandung
Salah satu fithrah manusia adalah diberikannya amanah dari
Allah SWT berupa anak. Dan setiap amanah yang diberikan wajib
untuk dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah sebagai
buerikut:
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS. Al Anfal: 28).
109
Dengan adanya ayat tersebut, dapat dipahami bahwa ujian yang
diberikan oleh Allah kepada orag tua adalah anak-anak mereka. Itulah
sebabnya orang tua harus bertanggung jawab terhadap amanah yang
diberikan oleh Allah SWT dengan memberikanhak-hak anak tersebut.
Salah satu hak anak adalah mendapatkan perawatan dan kasih sayang
dari orang tuanya.
Perkawinan poliandri yang Ibu L lakukan mengakibatkan ia
berpisah dengan kedua anaknya dari perkawinannya dengan suami
pertama. Berpisahnya Ibu L dengan kedua anaknya mengakibatkan Ibu
L tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai Ibu dengan
memberikan kasih sayang dan perawatan kepada kedua anaknya,
sehingga mengakibatkan Ibu L merasa rindu dan kasihan kepada kedua
anak yang ditinggalkan tersebut.
4. Tertekan dan Kasihan dengan Anak Hasil Perkawinan Kedua
Dampak psikologis pelaku perkawinan poliandri ialah kasihan
dengan anak hasil perkawinan poliandri yang ia lakukan. Dimana, hal
tersebut terjadi kepada Ibu L yang memiliki dua anak hasil
perkawinannya dengan Bapak R. Meskipun Ibu L melakukan
perkawinan poliandri, namun setelah menikah dengan Bapak R, Ibu L
hanya berhubungan dengan Bapak R sehingga nasab kedua anaknya
jelas. Akan tetapi tetap saja anak yang Ibu L lahirkan dari perkawinan
keduanya tidak bisa dinasabkan kepada bapak kandungnya secara sah,
110
sehingga tidak mendaptkan akta kelahiran karena tidak bisa dibuktikan
dengan akta nikah orang tuanya.
5. Bingung untuk konsultasi
Manusia memang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang
sempurna dengan kelebihan akal yang diberikannya. Namun tidak
dipungkiri bahwa manusia diciptakan pula dengan sifat-sifat (al sifat)
dengan salah satunya ialah suka untuk menyampaikan perasaannya
atau berkeluh kesah dan meminta saran, sebagaimana firman Allah
dalam Al Qur’an surat Al Ma’arij ayat 19 yang berbunyi:
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir (QS. Al Ma’arij: 19) Selayaknya manusia Ibu L juga merupakan seorang perempuan
yang ingin menyampaikan apa yang ia rasakan dan menginginkan
suatu masukan apa yang harus ia lakukan dengan suatu keadaan yang
menimpa dirinya dari keluarganya. Namun, setelah ia melangsungkan
perkawinan yang keduanya dan menetap di Canggal serta telah
terputus komunikasi dengan keluarga kandungnya, menyebabkan Ibu
L tidak bisa lagi untuk meminta saran kepada kedua orang tuanya. Ibu
L juga enggan untuk meminta saran kepada tetangga sekitarnya di
Dusun Canggal karena Ibu L merasa ia belum terlalu dekat dengan
warga.
111
Sesuai dengan pembahasan pada bab terdahulu bahwa setiap
manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (citra asli/ suci) dan baik
(Mujib, 2006: 38), namun semenjak individu itu lahir ia akan terus
dipengaruhi oleh lingkungan dan perawatan yang merawatnya
(Baharuddin, 2007: 69). Hal tersebut sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari Muslim sebagai berikut:
كل مولود يولد على الفطرة فابـواه يـنصرانه، أويـهودنه أوميجسانه
“Setiap anak yang dilahirkan, dilahirkan atas dasar fithrah, Maka ibu bapanya yang menasranikan atau meyahudikan atau memajusikannya.” Sejalan dengan hal tersebut, sejatinya Ibu Mm dan Ibu L yang lahir
dan besar dengan label Islam dan menyukai suatu hal yang benar dan
mengikuti norma.
Sebagaimana kita tahu bahwa faktor eksternal manusia yaitu apa
yang terjadi pada lingkungan akan mempengaruhi pribadi manusia dengan
pembawaannya menyaring dan memilih pengalaman-pengalaman yang
mmbentuk dan member warna hidup dan kehidupannya sehingga individu
tersebut akan memiliki karakter sendiri (Baharuddin, 2007: 70). Sehingga
individu yang berusaha untuk mengubah dan menyesuaikan diri
(adjusment). Namun demikian, tidak selamanya usaha penyesuaian diri itu
berhasil dengan baik, dan kadang individu mengalami kegagalan dalam
meperoleh penyesuaian sehingga disebut maladjustment (Baharuddin,
2007: 75).
112
Keadaan individu yang mampu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya (adjusment) akan menanggapi dengan tanggapan berupa
emosi atau perasaan yang positif. Demikian pula sebaliknya, keadaan
individu yang tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya (maladjasment), individu tersebut akan menanggapinya
dengan tanggapan berupa emosi dan perasaan yang negatif (Baharuddin,
2007: 138).
Psikologikeluarga Islam membahas mengenai psikodinamika
keluarga, mencakup dinamika tingkah laku, motivasi, perasaan, emosi, dan
atensi anggota keluarga dalam relasinya baik interpersonal maupun antar
personal untuk mencapai fungsi kebermaknaan dalam keluarga yang
didasarkan pada pengembangan nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al
Qur’an dan sunnah Rasulullah (www. Lutfisayonk. Blogspot. co. id/
psikologi-keluarga-islam. Diakses pada tanggal 29 Maret 2017). Dari
pembahasan mengenai psikologi keluarga Islam tersebut, maka psikologi
keluarga Islam dapat digunakan untuk menganalisis mengenai keluarga
perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm maupun Ibu L.
Perkawinan yang dilakukan oleh Ibu Mm dan Ibu L yang secara hukum
Islam dinyatakan haram dan secara hukum positif di Indonesia dapat
dikatakan batal demi hukum serta dalam perspektif patologi sosial
dianggap sebagai perilaku yang patologis, dalam tinjauan psikologi
keluarga Islam berdampak negatif pada psikologi keluarga pelaku.
113
Perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm dan Ibu L yang
mendapat reaksi penolakan dari keluarga maupun masyarakat,
mengakibatkan keluarga Ibu Mm dan Ibu L mengalami perasaan malu
terhadap para tetangga. Selain malu akan perbuatannya, Ibu Mm juga
ditimpa kekhawatiran dan takut jikalau perkawinan yang dilakukan Ibu
Mm dengan Bapak W akan diketahui oleh Bapak SP. Sejalan dengan Ibu
Mm, perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu L dengan Bapak R
mengakibatkan hubungannya dengan anak kandung dari perkawinan
pertama serta keluarga kandungnya yang berada di Pandeglang terputus,
hal tersebut mengakibatkan Ibu L dilanda rasa rindu ingin bertemu dengan
mereka dan mengakibat Ibu L bingung untuk konsultasi. Selain rasa rindu
dan bingung untuk konsultasi, perkawinan poliandri yang dilakukan Ibu L
dengan Bapak R yang akhirnya dikarunia dua orang anak tersebut
mengakibatkan Ibu L merasa tertekan dan kasihan dengan kedua anaknya
karena kedua anaknya tidak mendapatkan akta kelahiran yang
mengakibatkan mereka sulit untuk mendapatkan pelayanan
kemasyarakatan secara layak.
Sesuai pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan
poliandri Ibu Mm dan Ibu L menimbulkan dampak negatif pada psikologi
keluarga mereka. Berbagai dampak negatif psikologi keluarga Ibu Mm
maupun Ibu L tersebut dapat dikatakan bahwa perkawinan poliandri yang
dilakukan oleh kedua pelaku bertentangan dengan psikologi keluarga
Islam. Hal tersebut karena perkawinan poliandri mengakibatkan ketidak
114
bahagiaan pada keluarga pelaku yang pondasi awal keluarga tersebut tidak
sesuai dengan prinsip psikologi keluarga Islam, serta tidak mencerminkan
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Sesuai dengan pemaparan mengenai dampak psikologis perkawinan
poliandri diatas, maka dapat dikomparasikan sebagai berikut:
No Dampak Psikologis Profil
1 Malu terhadap tetangga Ibu Mm
5. Selalu merasa takut jika suami pertamanya
mengetahui
Ibu Mm
6. Rindu dan merasa bersalah kepada anak dari
suami pertamanya dan keluarga kandungnya
Ibu L
7. Selalu tertekan dan kasihan dengan anak
hasil perkawinan keduanya karena tidak
mempunyai akta
Ibu L
8. Bingung untuk konsultasi
Ibu L
Table 4.1 Dampak Psikologis perkawinan poliandri
115
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan di Dusun Canggal
Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten semarang dan
pembahasan yang telah peneliti paparkan pada bab I sampai dengan bab
IV di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Praktik perkawinan poliandri
Praktik perkawinan poliandri yang dilakukan oleh Ibu Mm dan
Ibu L pada dasarnya dilakukan dengan cara pernikahan siri, sehingga
keluarga Ibu Mm dengan Ibu L berbentuk sebagai berikut: jika
didasarkan pada keturunan maka bentuk keluarga yang timbul adalah
keluarga parental atau bilateral. Berdasarkan pemukiman maka bentuk
keluarganya adalah neolokal, patrilokal dan matrilokal. Berdasarkan
jenis anggota keluarga maka keluarga poliandri dapat berbentuk
common law family, traditional nuclear maupun reconstitutional
nuclear. Berdasarkan bentuk perkawinan jika didasarkan pada
perbedaan ekonomi maka berbentuk homogami, jika didasarkan pada
perbedaan suku maka dapat berbentuk endogami maupun exsogami.
116
2. Faktor penyebab perkawinan poliandri
Pertama, factor ekonomi keluarga pelaku yang mengakibatkan
para pelaku enggan untuk mengurus perceraian dengan suami pertama
terlebih dahulu. Faktor kedua ialah factor administrasi yang berbelit-
belit dan dianggap ribet oleh pelaku. Faktor ketiga yaitu faktor usia,
dimana warga Dusun Canggal menganggap usia yang sudah tua tidak
mengharuskan seseorang yang melakukan perkawinan dan perceraian
melalui jalur yang ditetapkan oleh pemerintah. Faktor selanjutnya ialah
factor ketidaktahuan yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat
pendidikan pelaku.
3. Dampak perkawinan poliandri
Perkawinan yang tidak sesuai dengan norma yang berada di
masyarakat pastilah menimbulkan banyak dampak. dampak
perkawinan poliandri tersebut ialah:
a. Dampak hukum
Dampak perkawinan poliandri dari segi hukum ialah: dari
segi hukum Islam perkawinan kedua dianggap haram dan
hubungannya dengan suami kedua dianggap zina. Dari segi hukum
perkawinan di Indonesia perkawinan yang kedua tidak sah dan
dianggap tidak pernaha ada atau batal demi hukum dan dari segi
hukum pidana pelaku perkawinan poliandri baik istri maupun
suami dapat dipidana selama sembilan bulan.
117
Dari segi kependudukan perkawinan poliandri
mengakibatkan beberapa masalah yaitu: perkawinan yang kedua
tidak mendapat akta nikah sehingga jika terjadi perceraian maka
tidaka akan mendapat harta gono gini, bagi anak hasil perkawinan
poliandri tidak mendapat akta nikah yang mengakibatkan anak
susah untuk masuk dalam pendidikan formal, jika terjadi
perceraian anak tidak akan mendapat nafkah dan jika suami kedua
meninggal anak tidak akan mendapat harta warisan.
b. Dampak sosiologi
Dampak perkawinan poliandri dari segi sosiologis
dikatakan suatu perbuatan yang patologis dan menimbulkan
berbagai reaksi negatif baik dari keluarga maupun masyarakat
yaitu: hubungan dengan suami pertama menjadi tidak harmonis,
cenderung menutupi salah satu perkawinannya, terpisah dari anak
hasil perkawinan pertamaa, dikucilkan dari keluarga kandung
maupun masyarakat dan mendapat pertentangan dari keluarga baik
pihak pelaku maupun suami.
c. Dampak psikologi
Dampak perkawinan poliandri dari segi psikologi
menimbulkan ketidak harmonisan keluarga dan keluarganya tidak
harmonis serta menimbulkan berbagai dampak negatif pada
psikologis keluarga pelaku antara lain: merasa malu terhadap
tetangga, rindu dan merasa bersalah kepada anak dari perkawinan
118
pertama, selalu dihantui rasa takut jika suami pertama mengetahui,
tertekan dan kasihan kepada anak hasil perkawinan poliandri.
B. Saran
Setelah peneliti melakukan penelitian mengenai “Praktik
Perkawinan Poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang”, menurut peneliti ada beberapa saran yang
dapat peneliti ajukan, antara lain:
1. Bagi pelaku
a. Pelaku perkawinan poliandri harus lebih memahami resiko yang
harus diterima dari tindakan yang mereka lakukan.
b. Pelaku hendaknya mengurus perceraian terlebih dahulu dan
mengesahkan perkawinan keduanya agar anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan poliandri tersebut dapat menjalani
kehidupan dengan baik dan dapat meraih masa depan yang lebih
baik.
2. Bagi masyarakat
Masyarakat harus ikut andil dalam mencegah tejadinya
perkawinan poliandri karena akan menimbulkan resiko yang cukup
besar baik bagi perempuan, anak-anak maupun warga sekitar.
3. Bagi Pemerintah Daerah
119
a. Bagi pihak pemerintah daerah setempat hendaknya lebih
memperhatikan daerah terpencil seperti Dusun Canggal yang
membutuhkan pendidikan bagi anak-anak.
b. Bagi pihak KUA maupun pencatat nikah setempat lebih baik lagi
dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat akan prosedur
perkawinan yang sesuai dengan undang-undang.
120
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: AkademikaPresindo
Al Farran, Ahmad Mustofa. 2007. Tafsir Imam Syafi’I: Surah Al-Fatihah – Surah Ali ‘Imron. Jakarta Timur: Almahira
Al-Ghaffar, Abdur Rasul Abdul Hasan. Tanpa tahun. Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern. Terjemahan oleh Bahrudin Fanani. 1984. Bandung: Pustaka Hidayah
Al-Jahrani, Musfir. Tanpa tahun. “Poligami dari Berbagai Persepsi”. Terjemahan oleh Muh. Suten Ritonga. 1996. Jakarta: Gema Insani Press
Anshary. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Apriliani, Rita. 2015. “Pembatlan Perkawinan karena Poliandri: Studi Analisis Putusan Nomor 0661/Pdt.G/2012/PA.SAL”. Salatiga: Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1952. Al Islah II. Jakarta: PT BulanBintang
Baharuddin. 2007. Psikologi Pendidikan: Refleksi Teoritis terhadap Fenomena. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Basyir, Ahmad Azhar. 2007. “Hukum Perkawinan Islam”. Yogyakarta: UII Press Data Geografi Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Data Monografi Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Departemen Agama RI. 1996. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT.
Karya Toha Putra Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori
dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: Ichtiar Baru, Van Hoeve
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Penelitian Reseach. Yogyakarta:_
Kartono, Kartini. 2001. PatologiSosialJilid I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
121
Manjorang, Aditya P dan Intan Aditya. 2015. The Law of Love: Hukum Seputar Pranikah, Pernikahan, dan Perceraian di Indonesia. Jakarta: Trasmedia Pustaka
Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah Bagi Mahasiswa.
Yogyakarta: TrustMedia Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada Mukhoiyaroh, Nafisatul. 2010. “Dampak Sosiologis Perkawinan Poliandri: Studi
Kasus di Desa Ngasem Kecamatan Ngajen Kabupaten Malang”. Malang: Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1 tahun 1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana
Poerwadarminto, Wjs. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka
Purwanto, Ngalim. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sahih Bukhori. 1371 H. Jawahirul Bukhori Juz Voo. Cairo: Dar al Qolam
Sarwat, Ahmad. 2011. Seri FiqihKehidupan (8) Pernikahan. Jakarta: DU Publishing
Soekato, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudarsono. 1991. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Pt. Rineka Cipta
Sugihastuti dan Siti Hariti Sastriyani. 2007. Glosarium Seks dan Gender. Yogyakarta: Carasvati Books
Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: FEUI
Suntoro, Sucipto. _ . Kamus Besar Bahasa Indonesia dilengkapi: EYD-Ejaan yang Disempurnakan. Surakarta: Bringin 55
Syarifuddin, Amir. 2006. “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”. Jakarta: Kencana
Tihami dan Sohari Sahrani. 2009. “Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap”. Jakarta: Rajawali Pers
122
Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Cet.1. Surabaya: Pustaka Tinta Mas
Undang-undang No. 10 Tahun 1992 tantang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta Witanto. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustakarya
Wawancara dengan Ibu Mm pada tanggal 28 Juni 2016 Wawancara dengan Bapak W pada tanggal 28 Juni 2016 Wawncara dengan Bapak Sh pada tanggal 30 Juni 2016 Wawancara dengan Ibu Sr pada tanggal 3 Januari 2017 Wawancara dengan Bapak Jr pada tanggal 4 Januari 2017 Wawancara dengan Ibu Su pada tanggal 5 Januari 2017 Wawancara dengan Ibu L pada tanggal 8 Januari 2017
Dipo,Wiwik Toyo Santoso. 2009. Buku Pegangan Membangun Keluarga Sejahtera Bersama. Yogyakarta:Tim Penggerak PKK Kabupaten Kulon Progo.
Yasin, M. Nur. 2008. “Hukum Perkawinan Islam Sasak”. Malang: UIN Malang Press
Sayonk, Lutfi, 2015. Psikologi Keluarga Islam. (Online), (http://Blogspot.co.id/psikologi-keluarga-islam.html, diakses Maret 2017)
Ismail, Abdul Munir, 2016. Psikologi Keluarga. (online), (http://Slideshare.net/mobile/abdulmunirismailismail/psikologi-keluarga.html, diakses 29 Maret 2017)
123
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Siti Karimah
Nim : 211-12-006
Jurusan : Ahwal Al Syakhsiyyah
Tempat Tanggal Lahir : Kab. Boyoliali, 02 Januari 1995
Alamat : Dsn Grabagan Rt 01 Rw 02 Desa Sidoharjo Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang 50777
Nama Ayah : Achwan
Nama Ibu : Umi Salamah
Agama : Islam
Pendidikan : RA Petak Lulus Tahun 2000
MI Petak Lulus Tahun 2006
MTs Negeri Susukan Lulus Tahun 2009
MA Negeri 2 Semarang Lulus Tahun 2012
Demikian daftar riwayat hidup ini, penulis buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga,10 Maret 2017
Penulis
Siti Karimah
1
DAFTAR SKK
Nama : Siti Karimah Fakultas : Syariah
NIM : 211-12-006 Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyyah
No. Nama Kegiatan Pelaksanaan Jabatan Nilai
1. OPAK STAIN Salatiga oleh DEMA STAIN
Salatiga
05-07 September
2012
Peserta 3
2. Orientasi Mahasiswa Syari’ah (ORMAS) oleh
HMJ Syari’ah STAIN Salatiga
08-09 September
2012
Peserta 3
3. Orientasi Dasar Keislaman (ODK) oleh
ITTAQO dan CEC
10 September
2012
Peserta 2
4. Seminar Enterpreneurship dan Perkoperasian
2012 oleh MAPALA MITAPASA dan KSEI
11 September
2012
Peserta 2
5. Achivement Motivation Training oleh JQH dan
LDK
12 September
2012
Peserta 2
6. Library User Education oleh UPT Perpustakaan
STAIN Salatiga
13 Septemer
2012
Peserta 2
7. Semalam Sehati oleh HMJ Syari’ah STAIN
Salatiga
14 Oktober 2012 Peserta 2
8. Kursus Singkat Politik Jihad dan Terorisme oleh
Prodi Ahwal Al Syakhshiyyah
Februari-April
2013
Peserta 3
9. English Course Program at Pyramid English
Course
25 Januari-09
Februari 2014
Peserta 3
10. English Camp at Egypt 25 Januari-25
Februari 2014
Peserta 3
11. TOEFL Training for Bidikmisi oleh UPTPB 7 Maret-12 April
2016
Peserta 3
12. Seminar Motivasi “Menumbuhkan Semangat
Berprestasi sebagai Wujud Pengabdian Bangsa
di Era Global oleh Ya Bismillah IAIN Salatiga
24 Desember
2015
Peserta 2
13. Pelatihan Manajemen TPQ oleh Ya Bismillah
IAIN Salatiga
04 juli 2015 Panitia 2
14. Talk Show “Be Scholarship Hunter of Home 29 September Peserta 2
Country (Indonesia) and Abroad University”
oleh Ya Bismillah IAIN Salatiga
2015
15. Musyawarah Regional Mahasiswa Bidikmisi
Jateng D.I.Y Ke-IV di Universitas Jendral
Soedirman Purwokerto
27-28 Maret
2015
Peserta 3
16. Musyawarah Wilayah ke-5 Permadani Diksi
Wilayah V di Universitas Islam Indonesia
24-27 Maret
2016
Peserta 3
17. ESQ Leadership Training 13 Juni 2016 Peserta 3
18. SK Pengangkatan Pengurus DEMA Fakultas
Syari’ah IAIN Salatiga tahun 2015
4
19. OPAK Fakultas Syari’ah oleh DEMA Fakultas
Syari’ah IAIN Salatiga
13-14 Agustus
2015
Panitia 3
20. Seminar Nasional “Peran Mahasiswa Syari’ah
dan Hukum dalam Pembangunan Bangsa” oleh
DEMA Fakultas Syaria’ah IAIN Salatiga
27 Juni 2015 Panitia 8
21. Workshop Pelatihan Advokasi oleh DEMA
Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
03 November
2015
Panitia 3
22. SK Seminar Nasional oleh DEMA Fakultas
Syari’ah IAIN Salatiga
08 Desember
2015
Panitia 6
23. Pelatihan Kader Pemuda Anti Narkoba oleh
Kementrian Pemuda dan Olahraga RI
24-25 Agustus
2016
Peserta 3
24. Sosialisasi Pencegahan Kekerasan dalam Rumah
Tangga Sejak Dini oleh Kementrian
Pemberdaya Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia
16 November
2016
Peserta 2
25. Pelatihan Kader Muda (LAKMUD) oleh
Pimpinan Cabang IPNUdan IPPNU Kabupaten
Semarang
27-29 November
2015
Peserta 3
26. Seminar Wawasan Kebangsaan dengan Tema
“Menghidupkan Nasionalisme dalam
Keseharian” (Gerakan Pemuda Rakyat Kab.
Semarang Asri (GAPURA SERASI))
02 April 2016 Peserta 2
27. SK Pengangkatan Pengurus Himpunan 4
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Salatiga
Periode 2016-2017
28. SK Pengangkatan Pengurus Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Salatiga
Komisariat Persiapan Karnoto Zarkasyi
4
29. Basic Training (LK 1) Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Cabang Salatiga
18-21 Oktober
2012
Peserta 3
30. Intermediate Training (LK II) Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Depok
03-09 Desember
2016
Peserta 3
31. Seminar Nasional dengan Tema “Reinventing
Kebudayaan Indonesia untuk Kebangkitan HMI
di Era Modern” oleh HMI Cabang Salatiga
28 Mei 2016 Panitia 6
32. Talkshow “Satu Jam lebih Dekat Bersama
Kandidat Walikota dan Wakil Walikota Salatiga
Periode 2017-2022 oleh HMI Cabang Salatiga
05 November
2016
Panitia 2
33. Dialog Interaktif oleh HMI Cabang Salatiga 29 Juni 2016 Panitia 2
34. Seminar Nasional “Norma Hukum serta
Kebijakan Pemerintah dalam Mengendalikan
Harga BBM Bersubsidi” oleh DEMA STAIN
Salatiga
27 Mei 2013 Peserta 6
35. Seminar Nasional dan Dialog Publik “Minimnya
Pasokan Energi dalam Negeri; Pembatasan
Subsidi BBM dan Peran Masyarakat dalam
Peenghematan Energi” oleh HMJ Tarbiyah dan
Syari’ah STAIN Salatiga
20 April 2013 Peserta 6
36. Seminar Nasional dan Dialog Publik
“Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi” oleh
HMJ Syari’ah STAIN Salatiga
27 Juni 2013 Peserta 6
37. Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan dan Seminar
Nasional oleh MPR RI bekerjasama dengan
IPNU
24 Oktober 2013 Peserta 6
38. International Seminar “ASEAN Economic
Community 2015; Prospects and Challenges for
28 Februari 2015 Peserta 8
Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama
Fakultas Syari’ah
Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si NIP. 19790930 200312 1001
Islamic Higher Education” oleh IAIN Salatiga
39. Workshop “Pelatihan Naib dalam Mengawali
Bahtera Mahligai Rumah Tangga” oleh HMJ
Ahwal Al Syakhshiyyah IAIN Salatiga
Mei 2015 Peserta 3
40. Seminar Nasional “Kesehatan Islami” oleh
Gerakan Masyarakat Salatiga (GEMAS)
10 Agustus 2015 Peserta 6
41. Pelatihan Advokasi oleh HMJ Syari’ah dan
Ekonomi Islam STAIN Salatiga
23-24 Mei 2014 Peserta 3
42. Seminar Nasional Enterpreneurship oleh
KOPMA FATAWA STAIN Salatiga
27 Mei 2013 Peserta 6
43. Seminar Nasional “Khilafah; Tinjauan Akidah
dan Syari’ah” oleh Fakultas Ushuluddin, Aab
dan Humaniora IAIN Salatiga bersama Jemaat
Ahmadiyah Indonesia
25 Mei 2016 Peserta 6
44. Workshop Enterpreneur oleh Fakultas Dakwah
IAIN Salatiga
23 April 2016 Peserta 2
45. Pra Youth Leadership Training oleh KAMMI
Komisariat Salatiga
03 Oktober 2012 Peserta 3
46. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
tahun 1434 H oleh Kelompok Studi Ekonomi
Islam (KSEI) STAIN Salatiga
27 Januari 2013 Peserta 2
47. Tabligh Akbar oleh Jami’iyyatul Qurro’ wal
Huffadz (JQH) STAIN Salatiga
1 Desember
2012
Peserta 2
Jumlah Total 182