PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara : 995 K/Pdt/2002)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
Sayyidi Jindan
NIM.1110048000018
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2014 M
ABSTRAK
Sayyidi Jindan. NIM 1110048000018. PERBUATAN MENJUAL TANAH
WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara: 995/K/Pdt/2002).
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014 M.
Penelitian ini dilakukan karena banyaknya harta wakaf yang jauh dari pengawasan
langsung oleh Pemerintah serta banyaknya hal-hal yang dikesampingkan dari
peraturan-peraturan yang mengatur harta wakaf, dimulai dari pendaftarannya
hingga kepada perubahan status harta wakaf yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak berkepentingan atas harta wakaf sehingga menimbulkan sengketa harta
wakaf seperti kasus yang saya analisis dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan atau penelitian studi pustaka
(library research) dan jenis penelitiannya adalah penelitian normatif, sedangkan
sumber data didapat dari Primer, sekunder dan hasil wawancara untuk
menguatkan Undang-undang atau teori yang ada dalam sumber data primer dan
sekunder.
Hasil penelitan ini adalah bahwa perubahan status harta/tanah wakaf adalah dapat
dilakukan yang mana diawali dengan melakukan jual beli terlebih dahulu untuk
tanah wakaf dan setelah itu hasilnya dibelikan tanah pengganti sebagai penukar
tanah wakaf sesuai prosedur dan peraturan tanah wakaf dan hal ini harus
dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan, terutama Nadzir dan apabila hal
tersebut dilanggar, Undang undang secara tegas akan mengenakan sanksi apabila
ada yang melanggar termasuk contohnya yang ada dalam putusan yang saya
analisis untuk penelitian ini.
Kata Kunci : Wakaf, Wakif, Nadzir, Perbuatan Menjual Tanah Wakaf
Pembimbing : 2
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillâhirabbil’âlamîn. Seiring dengan rahmat Allah swt, ma’unah
serta barokah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “Perbuatan Menjual Tanah Wakaf Dalam Perspektif Hukum Islam
Dan Hukum Positif (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara
:995 K/Pdt/2002)”. Kepada Allah swt. kita memanjatkan pujian, meminta
pertolongan, dan memohon ampunan. Kepada-Nya pula kita meminta
perlindungan dari keburukan diri dan kejahatan amal perbuatan.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar
Sayyidina Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang
mengikuti ajaran beliau hingga hari Akhir. Dialah Nabi utusan Allah swt yang
terakhir dan tiada Nabi setelahnya. Kemuliaannya lebih utama dari pada manusia
dan makhluk lainnya, Dialah manusia pilihan yang paling bertakwa dan paling
taat akan perintah-perintah Allah swt, Rasul yang sangat mencintai umatnya, ridha
Allah swt agar bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah saw di surga
merupakan cita-cita para hamba-Nya.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, Penulis banyak menemui hambatan
dan cobaan. Skripsi ini rasanya sebuah pencapaian monumental yang membuat
diri ini serasabesar, minimal membesarkan perasaan Penulis dan mengobarkan
bara semangatuntuk memburu pencapaian-pencapaian berikutnya yang dianggap
besar olehorang-orang besar.
vi
Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak
pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penulisan
skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa
bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H, M.A. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Tamrin, M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H.,M.H.dan Dra. Hafni Muchtar,
S.H.,M.H.,M.M.Dosen Pembimibing yang telah berkenan meluangkan
waktu, tenaga, fikiran dan kesabarannya untuk memeberikan bimbingan
dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan hukum,
terimakasih atas ilmu dan bimbingannya. Seluruh Staf Akademik, Jurusan,
Kasubag dan Perpustakaan, terimakasih atas bantuan dalam upaya
membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini.
5. Ayahanda dan ibunda tercinta, Ayahanda Al Walid Drs. K.H Marzuki
Sa’adih dan Ibunda Hj.Siti Sahirah terimakasih anakmu ucapkan atas
vii
pengorbanan dan cinta kasihnya baik berupa moril dan materil, serta doa
yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi penulis,
segala hormat anakmu sebagai penulis persembahkan. Dan tak lupa
terimakasih, kakak ucapkan untuk dua adikku yang imut-imut dan cantik-
cantik adinda Hilallia Fitri dan adinda Nazwa Salsabillah yang telah
memberikan semangat, doa, dan senyuman ketika penulis mengerjakan
penulisan skripsi ini.
6. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa memberi dorongan dan
motivasi agar tetap semangat dalam menempuh studi di Kampus tercinta
ini.
7. Terimakasih penulis ucapakan untuk guru-guruku di luar kampus,
khususnya Alhabib Muhsin bin Ali bin Hasyim Al athas (Pimpinan
Majelis Ratib Al attas), Alhabib Abdullah bin Fahmi bin Alwi Al athas
(Bekasi Timur) dan Alhabib Ali bin Abdul Aziz bin Jindan (Pimpinan
Majelis Alkhairiyyah Ibnu Jindan) atas motivasi yang telah diberikan baik
doa maupun fikiran khususnya hukum Islam dalam upaya membantu
penyelesaian skripsi ini dan tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada
Para Habaib dan Assaatidz yang ikut mendoakan maupun sumbangsi
fikiran dalam kelancaran skripsi.
8. Terima kasih penulis ucapkan juga untuk sahabatku Enji sairih H.Seman
yang hampir tiap malam datang ke rumahku untuk menghibur dan
memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini. Sahabat-sahabatku
viii
tercinta yang senantiasa menebarkan benih-benih keceriaan dalam pelangi
kebersamaan dan senantiasa menjaga ikatan tali silaturrahim.
Besar harapan bagi Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam
duniaakademik khususnya Jurusan Ilmu Hukum yang berada dibawah naungan
Universita Islam dimanapun berada. Sebagai manusiamemiliki keterbatasan
dankekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu,dengan tangan terbuka dan kerendahan hati Penulis akan sangat berterima
kasihapabila para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran
yangmembangun demi kebaikan dan perbaikan atas karya-karya yang lainnya.
Akhirnya, hanya kepada Allah swt. juga kita memohon agar apa yangtelah
kita lakukan menjadi suatu investasi yang sangat berharga dan kelak bermanfaat
dari ilmu pengetahuan yang kita dapat baik dalam agama, dunia dan akhirat.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 27 Januari 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 7
D. Metode Penelitian............................................................... 8
E. Sistematika Penulisan ........................................................ 11
BAB II RUANG LINGKUP WAKAF DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Perwakafan Perspektif Hukum Islam ................................. 14
1. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf .......................... 14
2. Syarat dan Rukun Wakaf ............................................. 21
3. Tujuan dan Manfaat Wakaf .......................................... 30
4. Macam-macam Wakaf ................................................. 33
B. Perwakafan Perspektif Hukum Positif ............................... 35
BAB III PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF SERTA AKIBAT HUKUMNYA
A. Jual-beli Tanah Wakaf Perspektif Hukum Islam .............. 39
B. Jual-Beli Tanah Wakaf Perspektif Hukum Positif ............. 47
C. Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Hak Milik Menurut
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA .......................... 51
x
D. Akibat Hukum Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Hak
Milik Menurut UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA........ 57
E. Penyelesaian Perselisihan Tanah Wakaf ............................ 59
BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA
PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF PADA
MAHKAMAH AGUNG (Analisa Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)
A. Posisi Kasus dan Permasalahan ......................................... 62
1. Duduk Perkara .............................................................. 62
2. Amar Putusan Mahkamah Agung ................................ 63
B. Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor
Perkara : 995 K/Pdt/2002 ................................................... 64
1. Analasis Kasus Perspektif Hukum Islam ..................... 64
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif .................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 71
B. Saran ................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara harfiah wakaf bermakna “pembatasan” atau “larangan”.
Sehingga kata waqf (jama’:Auqaf) digunakan dalam Islam untuk maksud
“pemilikan dan pemeliharaan” harta benda tertentu untuk kemanfaatan sosial
tertentu yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan harta wakaf
tersebut di luar tujuan khusus yang telah ditetapkan.1
Perwakafan tanah sangat penting bagi kepentingan manusia karena
fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, politik
maupun budaya. Jumlah penduduk yang selalu bertambah sedangkan lahan
tanah yang sangat terbatas ditambah dengan perkembangan pembangunan
sehingga mengakibatkan fungsi tanah sangat dominan karena lahan tanah
tidak sebanding dengan kebutuhan yang diperlukan.2 Tanah merupakan objek
benda tidak bergerak yang penguasaannya berada pada negara, manfaat dari
tanah tersebut adalah digunakan oleh negara melalui pemerintah yang
tujuannya adalah mewujudkan kemakmuran masyarakat.Sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat”.
1 Wabah Zhuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa ‘Adillatuhu (Damaskus : Dar al-Fikr al-
Mu’ashir), h. 7599 2 Rachmandi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hal.77
2
Mengingat akan pentingnya persoalan mengenai pertanahan yang
berdasarkan hukum agama, sudah diatur dalam ketentuan pasal 49 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, yaitu sebagai berikut:
1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang
dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan
dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah
yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan
sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung
oleh negara dengan hak pakai.
3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan
pemerintah.
4. Penerapan Hukum Islam telah diberlakukan sedikit demi sedikit secara
bertahap oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
penerapannya telah dilakukan ijtihad-ijtihad dalam berbagai variasi
kelembagaan dan pasang surutnya situasi dan kondisi, dalam bentuk adat
istiadat. Demikian juga dalam bentuk yurisprudensi dan perundang-
undangan, walaupun masih sedikit dibandingkan materi hukum Islam itu
sendiri. Dalam PP No.28 Tahun 1977, Perwakafan tanah merupakan
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum
lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam dan sosial.3
Karena itu perlu suatu upaya pemberdayaan wakaf berkesinambungan
dengan memperhatikan tanah wakaf agar tercapai tujuan optimal. Mengingat
wakaf merupakan perbuatan hukum yang berkembang dan dilaksanakan
masyarakat, yang pengaturannya belum maksimal. Perbuatan mewakafkan
adalah perbuatan yang suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran agama
Islam. Berhubungan dengan itu maka tanah yang hendak diwakafkan itu harus
3 Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
yasa, 2002), hal.2.
3
betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya dari sudut
kepemilikan.4
Pasal 40 Undang-undang No.41 Tahun 2004 mengatur setelah benda
diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual,
diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Apabila terjadi sengketa wakaf hal tersebut diatur dalam pasal 62 Undang-
undang No.41 Tahun 2004 bahwa Penyelesaian sengketa perwakafan dapat
ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila cara
penyelesaiaan sengketa secara musyawarah tidak berhasil maka dapat
diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, dan pengadilan.
Menurut UU No.3 Tahun 2006 pengadilan yang berwenang
menyelesaikan sengketa perwakafan adalah Pengadilan Agama dan
Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Perwakafan dalam UU
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diatur sah atau tidaknya barang
wakaf, sengketa tentang apakah barang wakaf sudah dijual, digadaikan atau
sudah diwariskan oleh orang yang mengelola barang wakaf (Nazhir).
Wakaf adalah perikatan antara orang yang memberikan wakaf (wakif)
kepada orang yang menerima wakaf untuk tujuan wakaf (Nazir). Perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang
atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak dan pihak lain
berkewajiban atas suatu prestasi.5 Apabila tanah wakaf kehilangan manfaat
sesuai dengan tujuannya, tanah wakaf tersebut dapat dijual oleh nazir.
4 Ibid.,hal.5.
5 R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung:Binacipta,1987, Cet.IV), hal.1.
4
penjualannya wajib dibelikan tanah lain yang nilai dan manfaatnya harus
sama dengan harta wakaf awal yang dijual. Jika perikatan terjadi maka secara
otomatis didalamnya mengandung sebuah kata “sepakat” sesuai dengan Asas
Konsensualisme.
Perbuatan menjual tanah wakaf pada dasarnya sebagai perbuatan
melawan hukum apabila dilakukan dengan sengaja tanpa memperhatikan
syarat, pengecualian, prosedur hukum yang berlaku khususnya hukum wakaf.
Perbuatan tersebut batal demi hukum, karena objek jual beli adalah harta
wakaf. Menurut Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan
menimbulkan perikatan jika objeknya bertentangan dengan ketertiban umum
atau kesusilaan atau jika dilarang oleh undang-undang.6
Dalam Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam ditentukan, bahwa benda
yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain
dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan
dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat
setempat dengan alasan:7
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif;
b. Karena kepentingan umum.
6 Ibid.,hal.4.
7 Rachmandi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hal.71.
5
Namun, pada kenyataannya jual-beli tanah wakaf pernah dilakukan
baik dari keluarga wakif, pihak pemerintah, maupun orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dengan tidak memperhatikan syarat dan tata cara yang
berlaku .
Hal tersebut terjadi dalam sebuah kasus yang penulis angkat dalam
skrispsi ini mengenai jual-beli tanah wakaf yang dikategorikan melawan
hukum karena prosedur atau tata caranya tidak sesuai dengan aturan yang
ditetapkan pemerintah dalam pengaturan wakaf, pengaturan BWI dan UU
No.41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kasus jual-beli tanah wakaf tersebut terjadi
di Medan di mana tanah wakaf tersebut dijual oleh Syekh Ali Oemar
Bahadjadj yang termasuk keponakan wakif sekaligus ketua Yayasan Syekh
Oemar Salmin Bahadjadj selaku tergugat II dan tergugat I adalah Yayasan
Syekh Oemar Salmin Bahadjadj yang didirikan oleh orang tua tergugat 1
bernama Syekh Oemar Salmin Bahadjadj.
Dahulu semasih orang tua tergugat II masih hidup, ia sempat membuat
surat wasiat yang bertujuan salah satunya untuk membiayai Madrasah
Arabiyah Islamiyah yang merupakan, lembaga pendidikan Islam khusus WNI
keturunan Arab dan umumnya bagi penduduk muslim di Medan yang berdiri
diatas tanah wakaf paman dari tergugat II yang bernama Syekh Abdullah bin
Salmin Bahadjadj,namun tujuan wasiat yang dilakukan oleh orang tua
tergugat II tidak tercapai.
Tergugat II selaku ketua Tergugat I dengan sengaja telah melawan
hukum yaitu merobohkan gedung/bangunan lembaga pendidikan Madrasah
6
Arabiyah Islamiyah dan mengalihkankan tanah wakafnya dengan jual-beli.
Jual-beli tanah wakaf tidak diperbolehkan menurut PP No.42 Tahun 2006
tentang pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf yang harus
memperhatikan pengecualian atau alasan dilakukan jual-beli tanah wakaf,
tetapi dengan sengaja tergugat II tidak mengindahkan peraturan tersebut.
Dalam hal gugatan yang dimohonkan oleh penggugat di Pengadilan
Negri Medan, hakim telah memenangkan para tergugat dengan alasan
penggugat tidak memiliki bukti yang kuat bahwa Madrasah Arabiyah
Islamiyah diwakafkan oleh Abdullah Salmin Bahadjadj,, dan hal perkara ini
terus berlangsung hingga permohonan kasasi, sehingga Mahkamah Agung
mengeluarkan putusan bahwasannya yang dilakukan Para tergugat adalah
memang melawan hukum. Maka dari sumber kasus inilah penulis
berkeinginan dan tertarik untuk menulis skripsi dengan judul
“PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)”.
B. Pembatasan dan rumusan masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penulisan skripsi ini dapat mencapai hasil yang baik dan
maksimal sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, maka penulis akan
membatasi pada masalah-masalah tertentu saja, yang ada kaitannya dengan
judul skripsi sehingga masalah-masalah yang diteliti tidak begitu luas atau
keluar dari pembahasan skripsi ini. Penulis dalam menyusun skripsi ini
7
membatasi pada perbuatan menjual tanah wakaf dalam perspektif Hukum
Islam dan Hukum Positif.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana Ketentuan menjual tanah wakaf dalam pandangan Hukum
Islam dan Hukum Positif?
b. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap
kasus jual beli tanah wakaf yang dilakukan Yayasan Syekh Oemar
Salmin Bahadjadj terhadap Madrasah Arabiyah Islamiyah ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui Ketentuan menjual tanah wakaf dalam pandangan
Hukum Islam dan Hukum Positif
b. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif
terhadap kasus gugurnya penjualan tanah wakaf yang dilakukan
Yayasan Syekh Oemar Salmin Bahadjadj terhadap Madrasah Arabiyah
Islamiyah
2. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Secara teoritis adalah untuk dijadikan informasi yang berharga bagi
pengkaji Hukum Islam dan Hukum Positif/Konvensional khususnya
dan masyarakat umumnya. Disamping itu penelitian ini juga cukup
8
signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama pengkaji
hukum yang khusus bergerak dibidang wakaf
b. Secara praktis untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Strata I
dalam bidang hukum. Dan dijadikan sebagai salah satu konseptual
pengembangan perangkat sistim hukum khususnya tentang wakaf.
D. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu usaha untuk
menganalisis serta mengadakan konstruksi secara metodologis, sistematis dan
konsisten.8 Metodologis artinya suatu penelitian dilakukan dengan mengikuti
metode atau tata cara tertentu, sistematis artinya suatu penelitian harus
mengikuti langkah-langkah maupun tahap-tahap tertentu, dan konsisten berarti
penelitian dilakukan secara taat asas.
Dan pada dasarnya sesuatu yang dicari dalam penelitian ini tak lain
adalah “pemahaman” apabila kita sudah paham tentu kita mengetahuinya yang
disebut sebagai “pengetahuan”, di mana pengetahuan yang benar ini nantinya
dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis
penelitian Normatif yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum
sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud
8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI,1986), h.43
9
adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undang, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).9
Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.10
Dengan
pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan : Pasal 29 ayat (2) UUD
1945, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, UU
No.41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No.28
Tahun 1977, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun
1978 tentang Peraturan Pelaksana Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik Dan Undang-Undang Pokok Agraria
UU No.5 Tahun 1960.
b. Pendekatan Konseptual : Kitab Kifayatul Akhyar karangan Imam
Taqiyuddin, Kitab Mughni Wa Syarh Al-Kabir karangan Ibnu
Qudamah, Kitab Majmu’ Fatawa karangan Ibnu Taimiyyah, Fiqh
Sunnah Karangan Sayyid Sabiq, Fiqh Islam karangan Sulaiman Rasyid
dan Buku-buku yang berkenaan dengan Hukum Perwakafan di
Indonesia.
9 Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. dkk. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). h. 31 10
Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2007),Cetakan Ketiga, h.93.
10
2. Instrumen pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode
kepustakaan atau penelitian studi pustaka (library research). Dimana
buku-buku yang berkaitan dan memberikan informasi yang sesuai dengan
penelitian penulis dijadikan rujukan. dan kasus diambil dari Putusan
Mahkamah Agung Nomor Perkara : 995 K/Pdt/2002.
3. Sumber data
Untuk menunjang penelitian ini maka diperlukan sumber data yang
berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sumber data dapat
diperoleh dari bahan yang tersedia, yakni data sekunder karena jenis
penelitian skripsi ini menggunakan jenis penelitian Normatif, diantaranya :
a. Bahan Hukum Primer: UU No.5 Tahun 1960, Pasal 29 ayat (2) UUD
1945, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, UU
No.41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No.28
Tahun 1977.
b. Bahan Hukum sekunder : Buku III Kompilasi Hukum Islam, kitab Al
Mughni karangan Ibnu Qudamah, Hadits yang berkenaan dengan
wakaf, buku-buku yang berkaitan dengan hukum perwakafan, artikel,
situs internet dan ensiklopedia.
c. Bahan Non Hukum : Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia karangan
Zainal Abidin Munawwir, majalah, koran dan makalah yang berkaitan
dengan perwakafan
11
4. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis normatif kualitatif.11
Yaitu dengan menganalisis ketentuan
dalam perundang-undangan serta buku-buku yang berkaitan secara
komprehensip.
5. Teknik Penarikan Ksimpulan
Dalam penelitian ini menggunakan metode deduktif, yakni proses
penalaran yang berawal dari hal yang umum untuk menetukan hal yang
khusus sehingga mencapai suatu kesimpulan.12
6. Tekhnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum” yang diterbitkan oleh
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 2012.13
E. Sistematika Penulisan
Untuk dapat lebih mudah memahami materi skripsi yang berjudul
“PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)” ini, penulis menyusun sistematika
11
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. dkk. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). h. 54 12
Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2007),Cetakan Ketiga, h.93. 13
TIM Penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu(PPJM), 2012.
12
materi dalam lima bab. Masing-masing bab akan diuraikan sebagaimana
diuraikan :
BAB I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari 5 sub-bab,yaitu (a) latar belakang masalah, (b)
pembatasan dan perumusan masalah, (c) tujuan dan manfaat
penelitian, (d) metode penelitian (e) sistematika penulisan
BAB II : Ruang Lingkup Wakaf Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Positif
Bab ini terdiri dari 2 sub bab, yaitu (a) Perwakafan Perspektif
Hukum Islam, yang terdiri dari 4 pokok bahasan yaitu : 1.
Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf 2. Syarat dan Rukun Wakaf
3. Tujuan dan Manfaat Wakaf 4. Macam-macam Wakaf. (b)
Perwakafan Perspektif Hukum Positif, yang terdiri dari 2 pokok
bahasan yaitu : 1. Sejarah dan Perkembangan Wakaf di Indonesia
2. Ketentuan Perwakafan dalam Undang-Undang Wakaf.
BAB III : Perbuatan Menjual Tanah Wakaf Dalam Perspektif Hukum Islam
Dan Hukum Positif sertaAkibat Hukumnya.
Bab ini terdiri dari 5 sub bab, yaitu (a) Jual-beli Tanah Wakaf
Perspektif Hukum Islam (b) Jual-Beli Tanah Wakaf Perspektif
Hukum Positif (c) Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Hak Milik
Menurut UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA (d) Akibat
Hukum Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Hak Milik Menurut
13
UU No.5 Tahun 1960 Tentang UUPA (e) Penyelesaian
Perselisihan Tanah Wakaf
BAB IV : Analisis Penyelesaian Sengketa Perbuatan Menjual Tanah Wakaf
Pada Mahkamah Agung (Analisa Kasus Putusan Mahkamah Agung
Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)
Bab ini terdiri dari 2 sub bab, yaitu (a) Posisi Kasus dan
Permasalahan, yang terdiri dari 2 pokok bahasan, yaitu : 1. Duduk
Perkara 2. Amar Putusan Mahkamah Agung (b) Analisis Terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara : 995 K/Pdt/2002, yang
terdiri dari 2 pokok bahasan, yaitu : 1. Analasis Kasus Perspektif
Hukum Islam 2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif
BAB V : Penutup
Bab ini terdiri dari 2 sub bab, yaitu (a) kesimpulan (b)saran
14
BAB II
RUANG LINGKUP WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF
A. Perwakafan Perspektif Hukum Islam
1. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar dari
waqafa-yaqifu-waqfansama artinya dengan “Hasaba Yahbisu Tahsiban‟‟
yang berarti berdiri atau berhenti atau diam ditempat.1Pengertian
“berhenti” jika dihubungkan dengan ilmu baca Al-Qur‟an atau ilmu tajwid
mengandung makna menghentikan bacaan baik seterusnya maupun untuk
mengambil nafas sementara, dari mana harus dimulai dan dimana harus
berhenti.Pengertian wakaf dalam arti “berdiamdi tempat” dikaitkan dengan
wukuf yaitu berdiam diArafah pada tanggal 9 Dzulhijjah ketika
menunaikan ibadah haji.Kata al-waqf semakna dengan al-hasb bentuk
masdar dari hasaba-yasibu-hasban artinya menahan.2Dalam Kamus istilah
agama Islam dijelaskan bahwa wakaf adalah menahan, yakni menahan
sesuatu benda yang kekal zatnya dan dapat dimanfaatkan dijalan kebaikan.
Secara harfiah wakaf bermakna “pembatasan” atau “larangan”.
Sehingga kata waqf (jama‟:Auqaf) digunakan dalam Islam untuk maksud
“pemilikan dan pemeliharaan” hartabenda tertentu untuk kemanfaatan
sosial tertentu yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan
harta wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang telah ditetapkan.
1 Op. Cit., h.7599
2 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah (Beirut: Daar El-Fikr, 1981) Cet.III., Jilid.III,.h.738.
15
Para Ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian wakaf
diantaranya:
1. Menurut Abu Hanifah3:
Artinya:
“Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif (orang yang
mewakafkan) dan yang disedekahkan hanya manfaatnya saja dengan cara
yang benar”
Imam Abu Hanifah memandang akad wakaf tidak mengikat, dalam
artian bahwa orang yang berwakaf boleh saja mencabut wakafnya kembali
dan boleh diperjual-belikan oleh pemilik semula. Dengan demikian
mewakafkan harta secara mutlak menurutnya akad wakaf baru bersifat
mengikat apabila:
a. Terjadi sengketa antara yang mewakafkan (waqif) dan pemelihara
harta wakaf (Nadzhir) dan Hakim memutuskan bahwa wakaf itu
mengikat
b. Wakaf itu dipergunakan untuk masjid
c. Putusan hakim terhadap harta wakaf itu dikaitkan dengan kematian
orang yang berwakaf.
Alasan Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa wakaf tidak
mengikat adalah sabda Rasulullah yang menjelaskan “Tidak boleh
3Hasbiyallah,. M. Amin Ibnu Abidin, Al-Mukhtar, (Beirut:Daar el-Fiqr, 1992) Juz 10 h
332
16
memakan harta yang merupakan ketentuan-ketentuan Allah”. (H.R
Daruqutni).
Harta yang sah diwakafkan menurut Imam Hanifah :
a. Benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak ini dipastikan memiliki
sifat kekal dan memungkinkan dapat diambil manfaat seterusnya.
b. Benda bergerak. Pada prinsipnya yang sah diwakafkan adalah benda
tidak bergerak, Ta‟bid (tahan lama). Prinsip ini dijelaskan kembali
dengan memenuhi beberapa hal: pertama, keadaan benda bergerak itu
mengikuti benda tidak bergerak dan ini ada dua macam: (1) barang
tersebut mempunyai hubungan dengan sifat diam di tempat, misalnya
pohon (2) benda bergerak dipergunakan untuk membantu benda tidak
bergerak, misalnya alat pembajak. Kedua,wakaf senjata dan binatang.
Sebagaimana diriwayatkan Khalid bin Walid pernah mewakafkan
senjatanya dijalan Allah (3) wakaf bergerak mendatangkan
pengetahuan, missal wakaf buku, kitab dan mushaf dan termasuk
dinar(uang).
2. Menurut Malikiyah:4
Artinya :
“ Wakaf adalah seorang pemilik yang memperuntukan manfaat
harta benda miliknya baik berupa sewa maupun hasilnya untuk
diserahkan kepada pihak yang berhak dengan bentuk penyerahan
4 Praja, Juhaya S, Perwakaf di Indonesia; Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya, (Bandung : Yayasan Piara, 1995)h.,18.
17
berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang
berwakaf.”
Menurut teori Imam Malik wakaf itu mengikat dalam arti lazim,
tidak mesti dilembagakan secara abadi dalam arti mu‟abbad dan boleh saja
diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu yang disebut mu‟aqot.Wakaf
itu tidak boleh ditarik ditengah perjalanan dengan katalain, si wakif tidak
boleh menarik ikrar wakaf sebelum habis tenggang wakaf waktu yang
telah ditetapkannya. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si wakif
tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut (Tasharuf)
selama masih masa waktunya belum berakhir. Jika dalam shigat atau ikrar
wakaf itu si wakif tidak menyatakan dengan tegas waktu perwakafan yang
ia kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan harta
itu untuk selama-lamanya (Mu‟abbad). Landasan hukum yang dijadikan
Imam Malik dalam hal ini adalah Hadits Ibn Umar yang berbunyi :
18
Artinya :
“… Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang
kepada Rasulullah SAW. meminta untuk mengolahnya seraya ia berkata :
Yaa Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar. Tetapi aku
belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat untuk itu ?
Nabi bersabda : Jika kau menginginkannya, tahanlah itu dan
shodaqohkanlah hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjual
belikan dihibahkan atau diwariskan.Ibn Umar menshodaqohkan
(mewakafkan) tanah di Khaibar itu kepada Faqir Miskin, Karib, kerabat,
Budak (Riqab), dan Ibnu Sabil.”
Alasan yang dikemukan Imam Malik mengapa wakaf itu berstatus
milik si wakif berdasarkan kasus Ibn Umar sebagai pemilik benda yang
diwakafkan yang diperintahkan Rasulullah untuk mengeluarkan miliknya
itu.Sementara alasan mengenai keabsahan wakaf untuk sementara waktu
ialah berdasarkan atas kenyatkan tidak adanya dalil yang mengharuskan
wakaf itu Mu‟abbad (abadi).Tekhnik pengekalan harta wakaf ialah dengan
menjual harta wakaf itu yang tidak/kurang mempunyai nilai manfaat hasil
penjualannya digunakan untuk membeli benda lain yang mempunyai nilai
atau manfaat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki si wakif.
Pendapat ini akan nampak sebagai paham hukum yang dianut dalam
peraturan nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.5
3. Menurut Syafi‟iyyah:6
5 Praja, Juhaya S,, Perwakafan di Indonesia; Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya, (Bandung : Yayasan Piara, 1995) h.18.
6 Muhammad Khotibi Syarbini, Mughni al-Muhtaz, (Mesir : Musthafa al-Babi al-Halaby,
Tt) Juz 2, h.376.
19
Artinya :
“Menahan harta yang diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya
barang, dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan
pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama yang telah disepakati.”
Imam Syafi‟i menamakan wakaf dengan istilah-istilah : al-
shodaqot al-muharramat al-mauqufat. Selanjutnya ia membagi jenis
pembagian wakaf dalam dua macam : pemberian yang diserahkan
sipemberi ketika ia masih hidup dan pemberi yang diserahkan ketika si
pemberi telah wafat.7
4. Menurut Hanabilah
Artinya :
“ Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan
hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan
semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya
dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.”8
Sedangkan menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al Husaini,
dalam Kitab Kifayatul akhyar, wakaf secara istilah adalah9 :
Artinya :
7Al-Imam, Syafi‟I, Al-Umm, (Beirut : Darul Fikr,Tt) Jilid 3 h, 512.
8Wabah, Zhuhaili, Fiqh al-Islam Wa „Adilatuhu, (Beirut : Daar El-Fikr, Tt) Juz 2 h.152
9Imam Taqiuddin, Kifayatul Akhyar,. Bab Kitabul buyu‟, Fashl Waqf
20
“wakaf ialah menyerahkan harta untuk selamanya yang bisa
dimanfaatkan namun materinya (barangnya) tetap dan barang tersebut
digunakan untuk kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah,
dengan ketentuan barang tersebut tidak boleh ditasharrufkan.”
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah
mengeluarkan Fatwa tentang Wakaf melalui rapat Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002, bahwa wakaf adalah:
مصزفعهىزقبتھفىبنتصزفبقطعبصهھبوعینھبقبءمعبھبالنتفبعیمكنمبنحبس
10 موجودمببح
Artinya:
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya
atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap
benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk
disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.”
Dari definisi di atas, meskipun terdapat perbedaan pengertian wakaf
antara satu ulama dengan ulama lainnya, namun pada dasarnya
mengandung makna yang sama. Perbedaan yang ada hanya dalam hal-hal
sekunder (cabang) bukan primer (prinsip), sedangkan dalam hal-hal yang
pokok, ada ukuran-ukuran yang disepakati oleh sebagian besar ulama,
yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap.
2. Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum wakaf sebagai lembaga yang diatur dalam ajaran
Islam tidak dijumpai secara tersurat dalam Al-Qur‟an.Namun
10
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di
Indonesia, cet.II,
(Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, 2005), h.139.
21
demikian, terdapat ayat-ayat yang memberi petunjuk dan dapat
dijadikan sebagai sumber hukum perwakafan. Ayat-ayat yang
dipahami berkaitan dengan wakaf diantaranya adalah:
بھبنهھفإنشيءمنتنفقواومبتحبونممبتنفقواحتىبنبزتنبنواننعهیم
(٢٩:٣ / بلعمزان )
Artinya:
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan. Maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.”(QS. Ali „Imran, 3:92)
حبتمبئتسنبهتكهفیسنببهسبعأنبتتحبتكمثهبنهھسبیهفیأموانھمینفقونبنذینمثم
Artinya:
“perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki.Dan Allah
maha luas (karunia-nya) lagi maha mengetahui.”(Q.S Al-Baqarah, 2:261)
Kata-kata menafkahkan harta yang disebut dalam Al-Qur‟an tidak
kurang dari 73 kata, namun cukup bagi penulis dalam skripsi ini
menjelaskan atau mengutip 2 ayat saja, yang secara umum menganjurkan
agar kaum muslimin bersedia menafkahkan sebagian kekayaan baik yang
berkonotasi pada nafkah wajib, seperti zakat atau memberi nafkah
keluarga maupun yang menunjukkan hukum sunnah seperti hibah, wakaf,
dan lain-lain. Selain itu Allah menjanjikan kepada orang yang
menafkahkan hartanya akan dilipat gandakan pahalanya menjadi 700 kali
lipat.
(٩٦٢:٩/ انبقزة عهیمواسعوانهھیشبءنمنیضبعفوانهھ(
22
Adapula beberapa Hadits yang berkaitan dengan Wakaf yang
dijelaskan secara umum, yaitu :
:ھ
:
)(
Artinya :
“Dari Abu Hurairah RA bahwasannya Rasulullah SAW telah
bersabda apabila seorang telah meninggal dunia maka terputuslah semua
amal perbuatannya kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariyah (wakaf), ilmu
yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR.Muslim)11
:عنببنعمزرضیبنهھعنھمبقبل
:بیصهىبنهھعهیھوسهمیستبمزفیھبفقبلاصببعمزارضببخیبزفبتىبنن
بنهھزیبرسونبنهھبنیبصبتبرضببخیبزنمبصبمبالقطھوانفسعنذیمنھفمبتبمزنیبھ؟فق
فتصذقبھبعمزانھبالتببعو.هھبوتصذقتبھبسونبنهھصهىبنهھعهیھوسهبنشئتحبستبص
:فقبل .التوھبوالتورث
وتصذقبھبفىبنفقزاءوفىبنقزبىوفىبنزقببوفىسبیهبنهھوبنبنسبیهوانضیفالجنبح
)رواھبنبخبرىومسهم(ھبببنمعزوفویطعمغیزمتمولعهىمنونیھبانیبكهمن
Artinya:
12“Dari Ibnu Umar RA, berkata : bahwa sahabat Umar RA
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap kepada
Rasulullah SAW untuk memohon petunjuk dan bertanya : Yaa Rasulullah
sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta
yang belum pernah aku dpaatkan sama sekali yang lebih baik bagiku
selain tanah itu, lalu apa yang hendak kau perintahkan kepadaku? Maka
jawab Nabi Muhammad SAW jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan
11
Imam Abi al-Husain Muslim al-Hijjaj, Shahih Muslim, (Mesir: Dar al-Hadits al-Qahirah
1994),jilid 6,hal.95. 12
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar el-Fikr t,th.), Juz 3, h.196.
23
sedekahkanlah hasilnya. Lalu Umar menyedekahkan, dengan syarat tidak
boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi. Yaitu untuk
orang-orang fakir, kelaurga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya,
untuk menjamu tamu, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan
(Ibnu Sabil), dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk
memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi
makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik
.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Disamping Hadits yang menyatakan landasan hukum wakaf tanah
yang merupakan benda yang tidak bergerak, ada juga Hadits yang
menyatakan kebolehan benda bergerak sebagaimana hadits yang berasal
dari Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi sebagai
berikut :
:عنببىھزیزةرضىبنهھعنھقبل
,منبحتبسفزسبفىسبیهبنهھبیمبنبواحتسببب:قبنزسونبنهھصهىبنهھعهیھوسهم
)رواھبنبخزى(فیمیزانھحسنبث,وبونھ ,فبنشبعھورفثھ
Artinya :
“Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah bersabda :
Barangsiapa mewakafkan seekor kuda dijalan Allah dengan penuh
keimanan dan keikhlasan maka sesungguhnya jasad, kekotoran , dan
kencingnya akan menjadi amal kebaikan pada timbangan di Hari kiamat.”
(HR. Bukhari)13
Walaupun Hadit di atas hanya menunjukan keabsahan wakaf hewan,
dalam hal ini kuda, tapi jika ditinjau dari fungsi hewan itu di zaman Nabi
yaitu sebagai hewan yang tercepat, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf
benda bergerakpun sah menurut hukum manakala pemanfaatannya dapat
diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri.
13
Ibid.,hal.198.
24
Uraian Hadits di atas mengarah pada adanya dua bentuk benda wakaf,
yaitu benda bergerak yang disebut al-manqul atau al-musya‟ dan benda
yang tidak bergerak yang bisa disebut al‟aqar.14
Dari beberapa Hadits di
atas dapat disimpulkan bahwa disyariatkannya wakaf sebagai tindakan
hukum dengan cara melepaskan hak kepemilikannya atas asal barang dan
mensedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum, dengan maksud
memperoleh pahala dari Allah. Kepentingan tersebut bisa berupa
kepentingan sosial atau kepentingan agama.
2. Syarat dan Rukun Wakaf.
Untuk memperjelas rukun dan syarat wakaf maka lebih dahulu
dikemukakan pengertian rukun dan syarat baik dari segi etimologi maupun
terminology. Syarat dalam Kamus Al Munawwir adalah
mengikat,kesepakatan dan perjanjian dan Menurut Faris Efendy M.Zein,
bahwa menurut bahasa (etimologi), syarat adalah sesuatu yang
menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda, melazimkan
sesuatu.15
Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah sesuatu
yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak
adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan
adanya sesuatu tidak mesti pula adanya hukum. Hal ini sebagaimana
dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf, bahwa syarat adalah sesuatu yang
keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu , dan dari
14
Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya (Bandung: Yayasan piara, 1995), h.13. 15
Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid I, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995, h.34.
25
ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang
dimaksudkan adalah keberadaan secara syara‟, yang menimbulkan
efeknya.Hal senada dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, asy-
syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya
hukum.Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum.Tetapi
wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.16
Diantara yang menjadi
syarat Wakaf adalah sebagai berikut :
a. Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka waktu tertentu saja,
tetapi untuk selama-lamanya. Wakaf yang dibatasi waktunya untuk
lima tahun saja adalah tidak sah
b. Tujuannya harus jelas, tanpa menyebutkan tujuannya secara jelas
perwakafan tidak sah. Namun demikian, apabila seorang wakif
menyerahkan tanahnya kepada suatu badan hukum tertentu yang sudah
jelas tujuan dan usahanya, wewenang untuk penentuan tujuan wakaf
itu berada pada badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan tujuan
badan hukum itu
c. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh
wakif tanpa menggantungkan permasalahan pelaksanaannya pada
suatu peristiwa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Sebabnya
ikrar wakaf itu menyebabkan lepasnya hubungan pemilikan seketika
itu juga, antara wakif dengan wakaf yang bersangkutan. Bila
16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1958, h.59.
26
digantungkan dengan kematian seseorang yang berlaku adalah hukum
wasiat.
d. Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf yang
dinyatakan oleh wakif berlaku seketika dan untuk selama-lamanya.
Rukun dalam terminologi fikih adalah sesuatu yang dianggap
menentukan suatu yang disiplin tertentu, dimana ia merupakan bagian
integral dari disiplin itu sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah
penyempurna sesuatu, dimana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.17
Adapun unsur (rukun) wakaf dan syarat yang menyertainya adalah
sebagai berikut :
a. Waqif (orang yang mewakafkan).
Syarat wakif adalah sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam
keadaan terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.Wakif
adalah sempurna harta yang diwakafkan.18
Dalam versi pasal 215 (2)
KHI jo. pasal 1 (2) PP 28/1977 dinyatakan : “Wakif adalah orang atau
orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya”.
Adapun syarat-syarat Wakif adalah :
1. Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang
telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak
terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak
17
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta:
Pilar Media, 2006, h.25. 18
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997, h.493.
27
sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan
peraturan Perundangan-undangan yang berlaku.
2. Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan
atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (pasal
3 Peraturan Pemerintah 28/1977)
b. Mauquf atau benda yang diwakafkan
Barang atau benda yang diwakafkan (mauquf) haruslah memenuhi
syarat-syarat berikut.Pertama, harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan
untuk jangka waktu yang lama, tidak habis sekali pakai.Pemanfaatan itu
haruslah untuk hal-hal yang berguna, halal dan sah menurut hukum.Kedua,
harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya
(jika berbentuk tanah misalnya).Ketiga, benda itu sebagaimana disebutkan di
atas, harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari segala
beban.Keempat, harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda dapat juga
berupa benda bergerak seperti buku-buku, saham, surat-surat berharga dan
sebagainya. Kalau ia berupa saham atau modal, haruslah diusahakan agar
penggunaan modal itu tidak untuk usaha-usaha yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum Islam, misalnya untuk mendirikan atau
membiayai tempat perjudian atau usaha-usaha maksiat lainnya.
c. Mauquf 'alaih (tujuan wakaf)
Untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, maka wakif
perlumenegaskan tujuan wakafnya.Apakah harta yang diwakafkan itu untuk
menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf keluarga (waqf ahly), atau untuk
28
fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (waqfkhairy).Yang
jelas tujuannya adalah untuk kebaikan, mencari keridhaanAllah dan
mendekatkan diri kepada-Nya.19
Kegunaan wakaf bisa untuksarana ibadah
murni, bisa juga untuk sarana sosial keagamaan lainnyayang lebih besar
manfaatnya.
Karena itu, wakaf tidak bisa digunakan untuk kepentingan maksiat,
membantu, mendukung atau yang memungkinkan untuk tujuan maksiat.
Menurut Abu Yahya Zakariya, menyerahkan wakaf kepada orang yang tidak
jelas identitasnya adalah tidak sah.20
Faktor administrasi, kecermatan, dan
ketelitian dalam mewakafkan barang menjadi sangat penting, demi
keberhasilan tujuan dan manfaat wakaf itu sendiri.Alangkah ruginya, jika niat
yang baik untukmewakafkan hartanya, tetapi kurang cermat dalam tertib
administrasinya, mengakibatkan tujuan wakaf menjadi terabaikan.Jika tertib
administrasi ini ditempatkan sebagai wasilah (instrumen) hukum, maka
hukumnya bisa menjadi wajib.Sebagaimana aksioma hukum yang
diformulasikan para ulama "li al-wasail hukm al-maqashid" artinya "(hukum)
bagi perantara, adalah hukum apa yang menjadi tujuannya".21
d. Sighat (Ikrar atau Pernyataan Wakaf)
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkantanah atau
benda miliknya (ps. 1 (3) PP No. 28/1977 jo. ps. 215 (3) KHI).Pernyataan
atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisanmaupun
tertulis, dengan redaksi "aku mewakafkan" atau "aku menahan"atau
19
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, op.cit.,h.323 20
Ibid.,h.324. 21
Ibid., h.324.
29
kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataanikrar
membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif, dan hartawakaf
menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan
untukkepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri.Karena
itu,konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan,
ataupun diwariskan.Namun, Para ulama tidak mensyaratkan qabul di
dalam wakaf adalah karena menyamakan ijab di dalam wakaf tersebut
dengan ijab di dalam pemerdekaan budak yang disyaratkan harus ada
qabul. Mereka itu antara lain adalah al-Mawardi, bahkan al-Baghawi dan
ar-Ruyani telah memutuskan tanpa qabul.(kifayatul akhyar).
Sebagai ibadah Tabarru‟ (mendermakan harta), wakaf memang
tidak mengharuskan adanya qabul, hal ini sebagaimana dinyatakan
Sayyid Syabiq:
“Bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukan kepada
wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu,
dengan syaratorang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya,
misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak
dipaksa.Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan qobul dari yang
diwakifi.”
Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 5 PP 28/1977 jo.pasal
218 KHI: (1). Pihak yang mewakafkan atau wakif tanahnya mengikrarkan
kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) sebagaimanamaksud pasal 9 ayat (2)
30
yang kemudian menuangkannya dalam bentukAkta Ikrar Wakaf (AIW)
dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi(2). Dalam keadaan tertentu,
penyimpangan dari ketentuan dimaksuddalam ayat (1) dapat dilaksanakan
setelah terlebih dahulu mendapatpersetujuan Menteri Agama.22
e. Nadzir (Pengelola) Wakaf
Penerima Wakaf adalah orang yang ahli memiliki seperti syarat bagi orang
yang berwakaf.Tujuan dari wakaf itu harus jelas, hendaklah disebutkan
dengan terang kepada siapa yang diwakafkan.
Karenanya tidak sah berwakaf kepada anak yang masih dalam kandungan
ibunya, begitu juga kepada hamba sahaya. Tidak sah wakaf kalau tidak disebutkan
“saya wakafkan kebun ini” tanpa disebutkan kepada siapa kebun itu diwakafkan.
3. Tujuan dan Fungsi Wakaf
Jika kita menggali Syari‟at Islam, akan ditemukan bahwa tujuan Syari‟at
Islam adalah demi kemaslahatan manusia. Allah memberi manusia kemampuan
dan kararkter yang beraneka ragam .Dari sinilah, kemudian timbul kondisi dan
lingkungan yang berbeda diantara masing-masing individu.Ada yang miskin,
kaya, cerdas, bodoh, kuat dan lemah, dibalik semua itu tersimpan hikmah, dimana
Allah memberi kesempatan kepada yang kaya menyantuni yang miskin, yang
cerdas membimbing yang bodoh dan yang kuat menolong yang lemah.Yang
demikian, merupakan wahana bagi manusia untuk melakukan kebajikan sebagai
22
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, 1997.
31
upaya mendekatkan diri kepada Allah, sehingga interaksi antar manusia terus
terjalin.23
Syaikh Abu Syuja‟ berkata:
Artinya
“Wakaf itu harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang
disyaratkan oleh pemberi wakaf, mana yang didahulukan dan mana yang
diakhirkan, serta mana yang diberi sama dan mana yang diberi
lebih.”(kifayatul akhyar)
Wakaf memiliki fungsi sosial, artinya bahwa penggunaan hak milik
oleh seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada
masyarakat.Dalam ajaran kepemilikan terhadap harta benda seseorang, agama
Islam mengajarkan bahwa di dalamnya melekat hak fakir miskin yang harus
diberikan oleh pemiliknya secara ikhlas kepada yang memerlukannya sesuai
aturan yang telah ditentukan yakni melalui infak, sedekah, wasiat, hibah, dan
wakaf. Hal ini adalah sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya:
“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS.Adz-
Dzariat,51:19)
Kepemilkan harta benda yang tidak menyertakan kepada kemanfaatan
terhadap orang lain merupakan sikap yang tidak disukai Allah SWT. Agama
23
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontomporer Pertama
dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf
(Jakarta: IIMAN Press , 2003), h.83.
32
Islam selalu menganjurkan agar selalu memelihara keseimbangan sebagai
makhluk pribadi dan makhluk sosial dalam tata kehidupan masyarakat.
Dalam konsep Islam, dikenal istilah Jariyah artinya mengalir.
Maksudnya, sedekah atau wakaf yang dikeluarkan , sepanjang benda wakaf itu
dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan maka selama itu pula si wakif
mendapat pahala secara terus menerus meskipun telah meninggal dunia.
Dalam pasal 2 peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang
perwakafan tanah milik, fungsi wakaf adalah mengkekalkan manfaat benda
wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu melembagakannya untuk selama-
lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran Islam.
Tujuan Wakaf yang dimaksud oleh pasal 4 Undang-undang No.41 Tahun
2004 tentang wakaf untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan
fungsinya. Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf ditambahkan
dalam pasal 22, bahwa harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi
sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan,
bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan
dan peningkatan ekonomiumat; dan/atau kesejahteraan umum lainnya yang
tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, penetapan peruntukan harta
benda wakaf dilakukan oleh wakif pada saat pelaksanaan ikrar
wakaf.Sedangkan dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda
33
wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang
dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Dalam pasal 5 Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf, fungsi
wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf
untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.Dan
pelaksanaanya, agar fungsi wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, maka objek
wakaf hendaknya didayagunakan dengan sebaik-baiknya dalam
pengelolaannya. Untuk itu diperlukan nadzir yang profesional dibidangnya
dengan mengedepankan prinsip dan ajaran Islam.
4. Macam-macam Wakaf
Dari tujuanya tersebut di atas, wakaf dapat dibedakan menjadi wakaf
keluarga atau wakaf ahli yang disebut juga wakaf khusus dan wakaf umum
atau wakaf khairi.24
a. Wakaf Keluarga
Yang dimaksud dengan wakaf keluarga atau wakaf Ahli (disebut
juga wakaf khusus) adalah wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang-
orang tertentu, seorang atau lebih, baik ia keluarga wakif maupun orang
lain.
Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
seperti di negara-negara timur tengah misalnya, wakaf ahli ini setelah
berlangsung puluhan tahun lamanya, menimbulkan masalah terutama
kalau wakaf keluarga itu berupa tanah pertanian. Maksud semula sama
24
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, ( Jakarta: UI-PRESS,
2012), h.89.
34
dengan wakaf umum, untuk berbuat baik pada orang lain dalam rangka
pelaksanaan amal kebajikan menurut ajaran Islam. Namun, kemudian
terjadilah penyalahgunaan. Penyalahgunaan itu misalnya: (1) Menjadikan
wakaf keluarga itu sebagai alat untuk menghindari pembagian atau
pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya,
setelah wakif meninggal dunia, dan (2) Wakaf keluarga itu dijadikan alat
untuk mengelakan tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat
oleh seseorang, sebelum ia mewakafkan tanahnya itu. Oleh Karena itu,
dibeberapa negara, karena penyalahgunaan tersebut, wakaf keluarga ini
kemudian dihapuskan (di Mesir misalnya, pada tahun 1952), sebab
praktek-praktek menyimpang yang demikian tidak sesuai dengan ajaran
Islam.
Dalam hubungan dengan wakaf keluarga ini perlu dicatat bahwa
harta pusaka tinggi di Minangkabau misalnya, mempunyai ciri-ciri yang
sama dengan wakaf keluarga. Ia merupakan harta keluarga yang
dipertahankan tidak dibagi-bagi atau diwariskan kepada keturunan secara
individual, karena ia telah diperuntukan bagi kepentingan kepentingan
keluarga, memenuhi kebutuhan baik dalam keadaan biasa apalagi dalam
keadaan yang tidak disangka-sangka atau darurat.
b. Wakaf Khairi (Umum)
Yang dimaksud dengan wakaf khairi atau wakaf umum adalah
wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan atau kemaslahatan
umum.Wakaf jenis ini jelas sifatnya sebagai lembaga keagamaan dan
35
lembaga sosial dalam bentuk masjid, madrasah, pesantren, asrama, rumah
sakit, rumah yatim-piatu, tanah pekuburan dan sebagainya. Wakaf khairi
atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam dan yang
dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna
memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan
kendatipun ia telah meninggal dunia, selama wakaf itu masih dapat
diambil manfaatnya. Dari bentuk-bentuknya tersebut di atas, wakaf khairi
ini jelas merupakan wakaf yang benar-benar dapat dinikmati manfaatnya
oleh masyarakat dan merupakan salah satu sarana penyelenggaraan
kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang keagamaan maupun dalam
bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.
B. Perwakafan Perspektif Hukum Positif
1. Sejarah dan Perkembangan Wakaf di Indonesia
a. Sejarah Wakaf di Zaman Kerajaan Islam
Banyak bukti-bukti ditemukan bahwa pada masa kesultanan telah
dilakukan wakaf.Hal ini dapat dilihat pada peninggalan sejarah berupa
bangunan-bangunan masjid, madrasah, pemakaman, tanah.Bukti sejarah
itu dapat dilihat antara lain tanah-tanah yang berdiri masjid seperti; Masjid
al Falah di Jambi berasal dari tanah Sultan Thaha Saifudin, Masjid
Kauman Cirebon wakaf dari Sunan Gunung Jati, Masjid Demak dari
Raden Patah, Masjid Agung Banten Wakaf dari Syekh Hassanudin Sultan
Banten I dan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa pada zaman kesultanan
36
Islam Indonesia sudah ada pengaturan harta wakaf sekalipun masih pada
hal-hal yang terbatas.
b. Sejarah Wakaf di Zaman Kolonial
Pada Zaman Kolonial Belanda telah pula dikeluarkan berbagai
peraturan yang mengatur berbagai persoalan wakaf antara lain:25
Surat Edaran Government pertama pada tanggal 31 Januari 1905,
Nomor 435, yang termuat dalam Bijbbland 1905 Nomor 6196 tentang
Toezicht op denbouw van Mohammedaanshe bedenhuizen. Dalam surat
edaran ini tidak diatur secara khusus tentang wakaf, tetapi tidak melarang
orang Islam menjalankan ajaran agamanya, namun harus izin terlebih
dahulu apabila mendirikan tempat ibadah untuk umum.
1. Pada tanggal 4 Juni 1931 dikeluarkan Surat Edaran Nomor 12573
tentang Bedenhuizen en Wakafs, surat edaran ini mengatur tentang
tanah wakaf BS (Bijbland op hat staatsblad) tersebut bahwa tanah yang
akan dibangun di atas masjid atau tempat ibadah lainnya harus seizing
Pemerintah Hindia-Belanda.
2. Pada tanggal 24 Desember 1934 Nomor 13390 tentang Bededehizen
vridagdiesten moskieen en wakaf, BS (Bijblad op hat staatsblaad)
mengatur wakaf dan pembangunan masjid dan mengatur perizinan
sholat
c. Pada era Pasca Kemerdekaan
25
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Produk Perwakafan di Indonesia: UU No.41 Tahun
2004, (Yogyakarta:Pilar Media 2003), h.40-43.
37
Setelah Indonesia merdeka yang diiringi dengan pembentukan
Departemen Agama (Jawatan Urusan Agama) tanggal 3 Januari 1946,
maka wakaf mulai jadi wewenang Departemen Agama. Wewenang
Departemen Agama di bidang wakaf ini berdasarkan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 juncto Peraturan Pemerintah No.8
Tahun 1950 serta berdasarkan Peraturan Menteri Agama No.9 dan
Peraturan Menteri Agama No.10 Tahun 1952. Dalam peraturan tersebut
disebutkan Departemen Agama dan lembaga hierarki ke bawah
berkewajiban menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi
pemeliharaan harta wakaf (khusus benda tak bergerak yang berupa tanah
dan bangunan masjid).
Kemudian berdasarkan Surat Edaran Jawatan Urusan Agama
Nomor 5/D/1956 tentang Prosedur Perwakafan Tanah, Urusan Perwakafan
menjadi Wewenang Kantor Urusan Agama, maka urusan perwakafan
diserahkan ke Kantor Urusan Agama. Dalam edaran ini Kantor Urusan
Agama dianjurkan membantu orang-orang yang akan mewakafkan
hartanya lengkap dengan prosedurnya sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Jawatan Urusan Agama Nomor 5/D/1956 tersebut.26
Dari perspektif sejarah perkembangan pengaturan mengenai
perwakafan tanah milik dan perwakafan di atas dapat diketahui, bahwa
masalah perwakafan ini tidak hanya menyangkut masalah dibidang
keagamaan, namun menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan,
sehingga wakaf sebagai suatu lembaga keagamaan yang dapat
26
Racmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hal.11.
38
dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan
beragama, khususnya bagi umat Islam yang beragama Islam dalam rangka
mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Menimbang, begitu
pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut, maka hal tersebut
diatur pula secara khusus dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960
tentang UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 sebagai
Peraturan pelaksanaannya, yang juga bersandar kepada ketentuan hukum
agama (Islam), kemudian disempurnakan dan diperlengkapi lagi dengan
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.
39
BAB III
JUAL-BELI TANAH WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF SERTA AKIBAT HUKUMNYA.
A. Jual-Beli Tanah Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam
Ajaran Islam merupakan ajaran yang sempurna, yang didalamnya
terkandung sumber acuan dalam hal ibadah baik hubungan antara manusia kepada
Allah maupun manusia dengan manusia. Sumber acuan tersebut yakni adalah Al-
Qur’an dan Assunnah (Alhadits). Namun pada perkembangannya agar dapat
menyesuaikan antara hukum dengan zaman, perlu adanya penjelasan yakni baik
yang berasal dari Al-Qur’an maupun Asunnah. Untuk mempermudah dalam
memahami hukum hukum tersebut, dibutuhkan Ijtihad (pendapat) para Ulama,
yang dikelompokan dari berbagai macam Madzhab yakni : Hanafiyah, Hanabilah,
Syafi’iyah, dan Malikiyah.
Mayoritas penduduk Muslim Indonesia dalam menentukan hukum, baik
dalam hal mu’amalah, munakahat dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hal
ibadah mereka menggunakan pendapat Imam Syafi’i, karena mayoritas Muslim di
Indonesia bermazhab Imam Syafi’i. namun, kaitannya dengan kegiatan
perwakafan di Indonesia yang telah termuat dalam peraturan perundang-undangan
mengenai wakaf tidaklah sepenuhnya mengambil hukum mengenai wakaf yang
bersumber dari pendapat Imam Syafi’i, hal ini bukan berarti pendapat Imam
40
Syafi’i tidak diminati penduduk Muslim Indonesia tetapi dalam kaitan dengan
kegiatan perwakafan ketentuan hukum perundang-undangan mengambil sebagian
dari pendapat Imam Syafi’i dan sebagian lagi dari ijtihad (pendapat) para
imam/ulama dari madzhab yang lain selain Imam Syafi’i.
Wakaf yang produktif adalah wakaf yang memberikan manfaat yang besar
kepada masyarakat/ dalam hal kemaslahatan orang banyak sesuai dengan tujuan
wakaf. Dalam hal jual beli harta/tanah wakaf memang pada dasarnya banyak
perbedaan pendapat dari Imam-imam Madzhab, tetapi dalam Pasal 40 UU No.41
Tahun 2004 mutlak tidak diperbolehkan tanah wakaf untuk diperjual belikan,
namun ada pengecualian yang dapat memperbolehkannya. Dalam hal jual beli
harta/tanah wakaf menurut Islam akan dijelaskan dari beberapa pendapat para
Ulama, yaitu sebagai berikut:
1. Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali.
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya
mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf “:tidak diperbolehkan harta wakaf
untuk diperjual belikan tanpa kecuali”, dan Imam Muhammad salah seorang
sahabat Abu Yusuf berkata : “apabila harta wakaf telah rusak, maka secara
otomatis harta wakaf tersebut kembali kepada pemilik awal (wakif)”
2. Pendapat Kedua : Tidak boleh menjual wakaf sama sekali, walaupun diganti
dengan yang lebih baik atau lebih banyak manfaatnya, selama aset wakaf
41
tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan
Imam Syafi’I.
Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiah melarang keras penggantian
barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu
dengan membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak.
a. Mengganti Barang Wakaf yang Bergerak
Kebanyakan fuqoha madzhab maliki memperbolehkan penggantian
barang wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan. Untuk
mengganti barang wakaf yang bergerak, ulama Malikiah mensyaratkan
bahwa barang tersebut harus tidak bisa dimanfaatkan lagi. Mengikuti
syarat ini, kita boleh menjual buku-buku wakaf yang berisi bermacam
disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak, dan tidak dapat dipergunakan lagi.
Namun sebaliknya, kita tidak boleh menjual buku-buku itu selama masih
bisa digunakan.
b. Mengganti barang wakaf tidak bergerak
Para ulama Malikiah dengan jelas melarang penggantian barang wakaf
yang tidak bergerak, dengan mengecualikan kondisi darurat yang sangat
terjadi atau demi kepentingan umum. Jika keadaan memaksa, mereka
membolehkan penjualan barang wakaf, meskipun dengan cara paksaan.
42
Dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan adalah bahwa penjualan akan
berpeluang pada kemaslahatan dan kepentingan umum.1
Dikalangan ulama Malikiah sendiri terdapat perbedaan pendapat
tentang menjual atau memindahkan tanah wakaf. Mayoritas ulama
Malikiah melarang menjual atau memindahkan tanah wakaf sekalipun
tanah tersebut tidak mendatangkan hasil sama sekali. Sebagian ulama
Malikiah memperbolehkan menggantikan dengan menukarkan tanah
wakaf yang tidak atau kurang bermanfaat dengan tanah lain yang lebih
baik, namun dengan tiga syarat yaitu :2
1) Wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual;
2) Benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai
lagi dengan tujuan semula diwakafkannya;
3) Apabila penggantian benda wakaf dibutuhkan untuk kepentingan
umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya dan lain sebagainya.3
Dan Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama
Syafi’iyah dikenal lebih berhati-hati dibanding ulama madzahab lainnya,
hingga terkesan seolah-olah mereka mutlak melarang istibdal dalam
kondisi apapun. Mereka mensinyalir penggantian tersebut dapat
berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf. Namun, dengan
1 Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan
Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.366-368. 2 Muhammad Abu Zahrah, al-Waqf, Cet II (Beirut: Dar Al-Fikr, 1971), h.171.
3 Mughniyah, al-ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah, h.333.
43
ekstra hati-hati, mereka tetap membahas masalah penggantian beberapa
barang wakaf, secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam dua
kelompok:
a. Kelompok yang melarang penjualan barang wakaf dan atau
menggantinya. Mereka melarang penjualan barang wakaf apabila tidak
ada jalan lain untuk memanfaatkannya, selain dengan cara
mengkonsumsi sampai habis. Sebagai implikasi pendapat tersebut, jika
barang wakaf berupa pohon yang kemudian mengering tak berubah
dan hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar, maka penerima wakaf
mempunyai wewenang untuk menjadikannya sebagai kayu bakar,
tanpa memiliki kewenangan menjualnya. Sebab, dalam pandangan
mereka meskipun barang wakaf hanya bisa dimanfaatkan dengan cara
mempergunakannya sampai habis, barang tersebut tetap memiliki satu
unsur yang menjadikannya sebagai barang wakaf, sehingga tak boleh
dijual.
b. Kelompok yang memperbolehkan penjualan barang wakaf dengan
alasan tidak mungkin dimanfaat seperti yang dikehendaki wakif.
Pendapat ulama Syafi’iyah tentang kebolehan penjualan barang wakaf
ini berlaku jika barang wakaf tersebut berupa benda bergerak.
Mengenai hukum barang wakaf yang tidak bergerak, ulama Syafi’iyah
tidak menyinggung sama sekali dalam kitab-kitab mereka. Hal ini
mengindikasikan seolah-olah mereka meyakini bahwa barang wakaf
44
yang tak bergerak tidak mungkin kehilangan manfaatnya
sehinggatidak boleh dijual atau diganti.4
3. Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau
wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyarakat
sekitar masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang
memanfaatkan masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam
riwayat lain.
Adapun dalilnya sebagai berikut :
Dalil Pertama : Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita
bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan
Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid yang
berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid.
Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari
mereka yang menolaknya, hal ini menunjukkan adanya kesepakatan
mereka.
Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan
menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan
menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan
mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai
dengan ruh Syariah Islam.
4 Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan
Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.371-373.
45
Berkata Ibnu Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut
wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak
dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada
maslahat yang hendak dicapai. “
Berkata Ibnu Uqail : “Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa
melanggengkannya secara khusus (karena rusak dan yang lainnya), maka
paling tidak kita menjaga maksud (dari wakaf itu sendiri), yaitu
pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara
diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak
berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan (wakaf) itu
sendiri”.
Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu
sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari
adanya penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang
lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial
yang dapat dipercaya.
Mengenai pendapat-pendapat Imam Madzhab tentang perubahan
status harta wakaf telah disebutkan diatas, yakni sekarang mengenai
proseduralnya penulis akan menjelaskan lebih lanjut berawal dari
Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 225 Kompilasi Hukum Islam
ditentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan
perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar
46
wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilakukan
terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan
tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran
dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif;
b. Karena kepentingan umum.
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 yang
merupakan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 12 dijelaskan :
(1) Untuk mengubah status dan penggunaan tanah wakaf, nazhir
berkewajiban mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil Depag
cq. Kepala Bidang melalui Kepala KUA dan Kepala Kanwil Depag
secara hierarkis dengan menyebut alasannya.
(2) Kepala KUA dan Kepala Kandepag meneruskan permohonan
tersebut pada ayat (1) secara hierarkis kepada kepala Kanwil Depag
cq. Kepala Bidang dengan disertai pertimbangan
(3) Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang diberi wewenang untuk
memberikan persetujuan atau penolakan secara tertulis atas
permohonan perubahan penggunaan tanah wakaf.
Berikutnya dalam pasal 13 dijelaskan :
47
(1) Dalam hal ada permohonan perubahan status tanah wakaf Kepala Kanwil
Depag berkewajiban meneruskan kepada Menteri Agama cq. Direktur
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dengn disertai pertimbangan.
(2) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam diberi wewenang untuk
memberi persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan
perubahan status tanah wakaf.
(3) Perubahan status tanah wakaf dapat diizinkan apabila diberikan
penggantian yang sekurang-kurangnya senilai dan seimbang dengan
kegunannya sesuai dengan ikrar wakaf.
Selanjutnya perubahan status tanah wakaf atau perubahan penggunaan
tanah wakaf harus dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah cq. Kepala Sub Dit Agraria (sekarang Kantor Badan
Pertanahan) setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Setiap perubahan tidak dilaksanakan menurut ketentuan yang berlaku
disamping terkena sanksi, juga perbuatan itu batal dengan sendirinya
menurut hukum.
B. Jual-Beli Tanah Wakaf Dalam Perspektif Hukum Positif
sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977,
perubahan status tanah-tanah yang diwakafkan dapat dilakukan begitu saja oleh
48
nadzir-nya tanpa alasan-alasan yang meyakinkan.5 Hal-hal yang demikian ini
sudah tentu akan menimbulkan reaksi dalam masyarakat, terutama dari mereka
yang langsung berkepentingan dengan perwakafan tanah tersebut. Oleh karena
itu, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 diadakan berbagai
pembatasan yang ketat dan disamping itu maksud perubahan status harus terlebih
dahulu mendapat izin dari Menteri Agama atau Kepala Kantor Wilayah
Departemen Agama atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan cara-cara pembatasan
yang demikian tersebut diharapkan dapat dihindarkan praktik-praktik yang
merugikan perwakafan. Untuk kepentingan administrasi pertanahan, perubahan
status wakaf diharuskan untuk didaftarkan pada pejabat yang berwenang.6
Menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977, pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak
dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang
dimaksud dalam Ikrar Wakaf seperti halnya Jual-beli tanah wakaf. Dalam hal ini
tidak berarti dalam hal-hal tertentu tidak dapat dilakukan perubahan perwakafan
tanah milik.
Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 ditentukan, bahwa penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yaitu:
5 Rahmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.95.
6 Ibid.,h.95.
49
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti yang diikrarkan oleh
wakif;
b. Karena kepentingan umum.
Berbagai penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam Pasal 11 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, disamping terkena sanksi
seperti dimaksud dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977, juga perbuatan itu batal dengan sendirinya menurut hukum.
Menurut Pasal 40 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa harta
benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Dan dilanjutkan pada pasal 41 ayat 1 UU Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf bahwasannya ketentuan dimaksud dalam pasal 40 huruf f
dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan
untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan syariah.
50
Penjelasan Pada huruf f pasal 40 UU wakaf adalah mengenai
“ditukar”, sebelum terjadinya tukar menukar tanah wakaf terlebih dahulu
terjadi transaksi jual-beli , yang mana hasil penjualan tersebut di belikan tanah
atau obyek wakaf sekurang-kurangnya sama nilainya seperti obyek wakaf
asal/semula.Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 50 PP No.42 Tahun 2006
tentang Pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa nilai dan
manfaat harta benda penukar dihitung sebagai berikut:
a. harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekurang-
kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan
b. harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk
dikembangkan.
Menurut ketentuan dalam Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 1978, perubahan status tanah wakaf dapat diizinkan
apabila diberikan penggantian yang sekurang-kurangnya senilai dan seimbang
dengan kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf. Jadi, sangatlah jelas
bahwasannya terjadinya tukar menukar tanah wakaf yang disebabkan dengan
adanya transaksi jual-beli tanah wakaf adalah dinilai bukan dari luas tanah
tersebut melainkan dari segi nilai dan manfaat. Tata cara penukaran terhadap
harta benda wakaf yang akan diubah statusnya, diatur dalam Pasal 51 PP
No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 bahwa
prosedur penukaran terhadap benda wakaf yang akan diubah statusnya adalah
sebagai berikut:
51
a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Mentri melalui
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan
perubahan status/tukar-menukar tersebut;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota;
c. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima
permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud dalam
pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat
Surat Keputusan.
d. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan
permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim kepada
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi dan selanjutnya
meneruskan permohonan tersebut kepada Mentri; dan
e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti
dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke Kantor
pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.
C. Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Hak Milik Menurut UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang UUPA
Prinsip terhadap tanah wakaf tidak dapat dilakukan perubahan baik
perubahan status, peruntukan maupun penggunaannya. Menurut kenyataan
didunia ini tidak ada satupun yang abadi. Menurut kodratnya sesuatu akan
52
berubah, dan bahkan karena kemajuan-kemajuan yang terjadi didalam kehidupan
manusia telah banyak perubahan-perubahan yang dilakukan olehnya.
Perubahan peruntukan tanah dikarenakan adanya perubahan kondisi tanah
atau lingkungannya, atau bisa juga dikarenakan adanya perubahan rencana tata
guna tanah, tata ruang atau rencana pembangunan daerah atau nasional.Perubahan
peruntukan hak menurut hukum agraria nasional, selain dapat dilakukan melalui
cara dengan jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, warisan, dan lain-lainnya,
dapat juga dilakukan dengan cara wakaf.
Ketentuan peruntukan hak atas tanah selain maslahat dan manfaatnya
lebih besar dan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat, juga sesuai dengan
maksud dari pada fungsi sosial dari pada hak atas tanah yang dianut hukum
agrarian nasional. UUPA melakukan pembatasan terhadap peralihan atau
perubahan hak milik, hanya mereka yang memenuhi ketentuan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 21 ayat 1 jo. Pasal 21 ayat 2 UUPA saja yang dapat
menjadi pemegang hak milik atas tanah.7
Mengenai perwakafan tanah dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA
diatur dalam Pasal 49 ayat 3 dimana perwakafan tanah dilindungi dan diatur
7 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah , Prenada Media, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h.79.
53
dengan peraturan pemerintah.8 Menurut Pasal 11 ayat 1 PP No.28 Tahun 1977
bahwa pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat
dilakukan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam ikrar
wakaf.9
Untuk itulah, maka di atur dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA
Pasal 49 ayat 3 jo. PP No.28 Tahun 1977 jo. Permandagri No.6 Tahun 1977 jo.
PMA No.1 Tahun 1978 dan lain-lain, dimana hanyalah perwakafan hak milik
yang kepentingannya umum atau kepentingannya tidak lain sebagai kepentingan
umum atau kepentingan peribadatan lainnya (wakaf sosial, bukan wakaf ahli).
Semua hak-hak atas tanah di dalam hukum agraria nasional mempunyai
fungsi sosial, yang berarti pula hak-hak tersebut harus mampu memenuhi satu
atau lebih kepentingan masyarakat. Oleh Karen itu hukum agraria nasioanal kita
tidak menganut sistem adanya suatu hak mutlak atas tanah. Hak milik sekalipun
dibatasi oleh:
a. Adanya fungsi sosial yang dianggap melekat padanya.
b. Corak masyarakat Indonesia yang sejak Zaman dahulu membebankan
manusia perorangan dengan berbagai kewajiban terhadap keluarga,
masyarakat dan sekitarnya.
8 Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria (Medan: Pustaka Bangsa
Press,2003), h.8. 9 Usman Suparman, Hukum Perwakafan Di Indonesia ( Jakarta: Darul Ulum Press, 2002), h.218.
54
Untuk masalah perwakafan yang status dan peruntukannya dipergunakan
sebagai kepentingan pribadi atau keluarga (wakaf ahli), tidaklah termasuk ruang
lingkup dan jangkauan pengaturannya. Ruang lingkup semacam ini diperlukan
dengan maksud dan tujuan untuk menghindari adanya kekaburan di dalam
masalah perwakafan. Dalam hal seseorang mewakafkan tanahnya untuk
kepentingan seseorang pribadi atau keluarga (wakaf ahli), maka untuk tidak
menyulitkan nantinya setelah orang yang menerima wakaf (nadzir) meninggal
dunia, mengingat wakaf tidak dapat dirubah peruntukannya, baik dengan cara jual
beli, hibah, warisan dan lain-lainnya, maka wakaf tersebut harus dianggap hibah.
Pada Pasal 49 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA menyatakan
bahwa hak milik badan-badan keagamaan dan sosial, sepanjang dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-
badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan
dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.10
Pada Pasal 49 ayat 3 UUPA
menyatakan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.11
Pasal 23 UU No. 5/1960 tentang UUPA pada ayat 1 menyatakan bahwa hak
milik, demikian pula setiap perubahan peruntukan, hapusnya dan pembebanannya
10
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan ( Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003), h.58. 11
Ibid.,h.58.
55
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud
dalam Pasal 19.12
Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA menyatakan bahwa
pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebasan hak
tersebut. Pasal 26 ayat 1 UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA menyatakan bahwa
jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut
adat, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak
milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.13
Menurut Pasal 7 Permenegria/ Kepala BPN No.9 Tahun 1999 tentang tata
cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan
meyatakan bahwa sepanjang mengenai hak milik yang dipunyai badan hukum
keagamaan. Badan hukum nasional dan badan hukum lain yang ditunjuk oleh
pemerintah. Hak guna usaha dan yang lainnya yang menurut sifatnya harus
memerlukan izin peralihan pihak, dalam penerbitan keputusan pemeberian haknya
harus mencantumkan persyaratan izin perlaihan hak.14
Pasal 7 Permenegria/ Kepala BPN No.9 Tahun 1999 selanjutnya
dipertegas kembali dengan ketentuan Pasal 134 yang menyatakan bahwa izin
peralihan atau perubahan peruntukan hak atas tanah diperlukan hanya untuk hak
12
Ibid.,h.49. 13
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan ( Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003), h.50. 14
Peraturan Menteri Agraria (Permenegria)/ Kepala BPN No. 9/1999
56
milik yang dipunyai oleh badan hukum keagamaan, badan hukum sosial dan
badan hukum lain yang ditunjuk oleh pemerintah, hak guna usaha, hak pakai
tanah diatas tanah negara dan hak-hak lain yang didalam sertifikatnya dicatat
memerlukan izin.
Selain perubahan peruntukan hak milik atas tanah yang dilakukan
perorangan. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 26 UUPA jo. Pasal 21 ayat 1
UUPA. Perubahan peruntukan hak milik atas tanah yang dimiliki oleh badan-
badan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat 2 UUPA jo. PP
No.38 Tahun 1963 tentang penunjukan Badan-badan hukum yang mempunyai
hak milik atas tanah, harus memerlukan izin dari pihak yang berwenang.
Wakaf yang dirubah dengan cara dijual, digantikan, dipindahkan atau
dialihkan ketempat yang lain dan yang lain sebagainya, dimana perubahan
tersebut yang akan dilakukan mempunyai dasar hukum, yaitu diantaranya sebagai
berikut :
1. Pada PP No.28 Tahun 1977 yakni dalam pasal 11 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3.
2. Pada PMA No.1 Tahun 1978 yakni dalam pasal 12 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3
serta Pasal 13 ayat , ayat 2 dan ayat 3.
57
3. Pada Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji
No.DII/5/HK/007/901/1989 tanggal 1 April 1989.15
Selain dasar hukumnya juga ada alasan perubahan dan tukar menukar yaitu
sebagai berikut:
1. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti yang dikeluarkan oleh
wakif (PP No.28 Tahun 1977 ayat 2 huruf a)
2. Karena kepentingan umum (PP No.28 Tahun 1977 ayat 2 huruf b)
3. Karena status tanah wakaf dapat di izinkan diberikan penggantian yang senilai
dan seimbang (PMA No.1 Tahun 1978 Pasal 13 ayat 3)
D. Akibat Hukum Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Hak Milik Menurut
UU No.5 Tahun 1960 Tentang UUPA
Menurut Pasal 52 ayat 1 UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA menyatakan
bahwa barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 15 dipidana
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/ atau denda
setinggi-tingginya Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah).16
Pada Pasal 14 PP No.28 Tahun 1977 menyebutkan bahwa barangsiapa
melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaiman dimaksud
15
Departemen Agama RI, Manajemen Perwakafan Tanah Milik , Departemen Agama RI Pusat
Pendidikan dan Latihan Kerja, Jakarta, 1995, hal.6 16
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003), h.58.
58
dalam Pasal 5 yakni mengenai tentang Ikrar Wakaf, Nadzir dan Saksi, Pasal 6
ayat 3 yakni mengenai tentang pendaftaran dan pengesahan nadzir, pasal 7 ayat 1
yakni tentang kewajiban nadzir, Pasal 9 yakni tentang tata cara perwakafan tanah,
Pasal 10 yakni tentang pendaftaran tanah wakaf hak milik, Pasal 11 yakni tentang
perubahan perwakafan tanah milik, dihukum dengan hukuman kurungan selama-
lamnya 3(tiga) bulan, atau denda sebanyak-banyaknya Rp.10.000 (sepuluh ribu
rupiah).17
Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 PP No.28 Tahun 1977
tersebut dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, maka tuntutan pidana
dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi
perintah melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin
atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian atau terhadap kedua-
duanya (Pasal 15 PP No.28 Tahun 1977).
Suatu penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perwakafan
atas tanah dijeniskan seperti perubahan peruntukan tanah wakaf yang tidak sesuai
prosedur ketentuan yang berlaku, dan yang lainnya sebagai tindak pidana
pelanggaran yakni perbuatan melanggar hukum. Hal ini dapat dibuktikan dengan
mengemukakan sebuah contoh, bahwa sebelum adanya PP No.28 Tahun 1977,
pelaksanaan perwakafan atas tanah yang tanpa dilakukan dan atau dicatatkan
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), tidaklah dikategorikan
17 Suparman Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia ( Jakarta : Darul Ulum Press, 2002), h.88-89.
59
sebagai perbuatan melawan hukum (tindak pidana), karena disaat itu perbuatan
tersebut belum dikenal sebagai perbuatan yang tidak baik.
Bukti lainnya adalah dari bentuk sanksi pidananya itu sendiri yang
merupakan hukuman kurungan atau denda. Hukuman kurungan dimaksud paling
lama 3 (tiga) bulan, sedangkan untuk hukuman denda sebanyak-banyaknya tidak
lebih dari Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah). Bentuk sanksi pidana semacam ini
merupakan salah satu ciri dari pada tindak pidana pelanggaran.18
E. Penyelesaian Perselisihan Tanah Wakaf
Dalam Pasal 62 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat dan di ayat dua (2) dijelaskan pula, apabila penyelesaian
sengketa sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil, sengketa dapat
diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Dalam hal penyelesaian
secara musyawarah, harus disertai dengan bukti tertulis sejak permulaan, yaitu
dari surat pemberitahuan untuk para pihak, Berita Acara Rapat dan selanjutnya
sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam Akta Pernyataan Perdamaian
yang bila perlu dihadapkan Notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna.
18 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional (Jakarta: PT. Tatanusa,
2003), h.207.
60
Penyelesaian perselisihan wakaf tanah milik termasuk yurisdiksi
Pengadilan Agama, yaitu sepanjang masalah sahnya atau tidak perbuatan
mewakafkan tanah milik sebgaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 dan masalah-masalah lainnya yang menyangkut wakaf
berdasarkan syari’at Islam. Dengan demikian, berarti masalah-masalah lainnya
yang secara nyata menyangkut hukum perdata dan hukum pidana diselesaikan
melalui hukum acara dalam pengadilan Negeri.
Sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977,
penyelesaian sengketa perwakafan menjadi kompetensi Peradilan Umum dan
bukan kompetensi Peradilan Agama. Dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 163 K/Sip/1963 tertanggal 22 Mei 1963 yang menganggap soal
wakaf yang berasal dari Hukum Islam, di Indonesia sudah dapat dianggap
meresap dalam hukum adat. Kemudian Putusan Mahkamah Agung Nomor 152
K/Sip/1963 yang merumuskan pengertian wakaf sebagai perbuatan hukum
dengan mana suatu barang atau barang-barang telah dikeluarkannya atau diambil
dari kemanfaatan atau kegunaannya dalam lalu lintas maysarakat semula, guna
kepentingan seorang atau orang-orang tertentu atau guna maksud atau tujuan yang
telah ditentukan, barang-barang yang berada di tangan si mati.
Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, maka
menurut ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977,
penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan
61
tanah, disalurkan melalui pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.19
Menurut ketentuan dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1978, bahwa Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf
berkewajiban memeriksa dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah
menurut syari’ah, yang antara lain mengenai :
a. wakaf, wakif, nadzir (nazhir), ikrar dan saksi;
b. bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf);
c. pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.
Dalam melaksanaan penyelesaian perselisihan wakaf tanah milik tersebut,
Pengadilan Agama tetap berpedoman pada tata cara penyelesaian perkara yang
berlaku pada Pengadilan Agama.
19
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.97.
62
BAB IV
ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA PERBUATAN MENJUAL
TANAH WAKAF PADA MAHKAMAH AGUNG (Analisa Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)
A. Posisi Kasus dan Permasalahan
1. Duduk Perkara
Pada tahun 1935 dibangun sebuah gedung yang dinamakan Madrasah
Arabiyah Islamiyah yang merupakan bagian dari tanah wakaf yang diwakafkan
oleh Syekh Abdullah Salmin Bahadjadj selaku wakif dan pendiri gedung tersebut.
Luas tanah yang diwakafkan oleh Syekh Abudllah semula adalah 1640 m2,
sedangkan luas tanah sekaligus gedung madrasah adalah 820 m2 sisanya dibangun
Masjid.
Namun pada tahun 1951 ketika Syekh Abdullah pulang ke Irak, tanah
wakaf masjid tersebut dijual oleh Syekh Oemar yakni adik kandung Syekh
Abdullah (Wakif). Sehingga tanah wakaf yang semula 1640 m2 setelah dijual
tersisa 830 m2. Pada tahun 1935 sampai dengan 1956 pengurus Madrasah
Arabiyah Islamiyah tetap menjalankan tujuan wakaf yakni diselenggarakannya
pendidikan, namun karna keuangan Madrasah tidak mencukupi dan keadaan
ekonomi pengurus juga kurang maka kegiatan pendidikan Madrasah menjadi
tersendat-sendat.
Dengan melihat keadaan Madrasah tersebut, Syekh Oemar menyesal atas
perbuatan yang telah menjual tanah wakaf milik kakaknya yang semula masjid.
63
dengan penyesalan tersebut pada Tahun 1956 Syekh Oemar membuat Surat wasiat
dengan Akta No.9 Tahun 1956 kepada ahli warisnya yang bertujuan untuk
mendirikan yayasan, salah satunya adalah untuk membiayai kegiatan Madarasah
Arabiyah Islamiyah.
Pada tahun 1963, Yayasan tersebut berdiri dan sebagai ketuanya adalah
Syekh Oemar. Namun dengan berdirinya yayasan tersebut, dengan maksud dan
tujuan membiyayai kegiatan Madrasah tetap tidak direalisasikan sampai Syekh
Oemar meninggal. Keadaan semakin memburuk ketika Syekh Ali anak Syekh
Oemar menjadi ketua Yayasan Syekh Oemar bin Salmin Bahadjadj, dimana
Madrasah semakin diabaikan dan dengan melawan hukum pada tahun 1997 tanpa
diteliti terlebih dahulu tanah wakaf tersebut atas permohonan Syekh Ali Oemar
Salmin Bahadjadj diterbitkan Sertifikat HGB oleh Kepala Pertanahan Kotamadya
Medan dan dengan sengaja tanah wakaf tersebut dialihkan oleh Syekh Ali dalam
bentuk Akta Jual-Beli. Alasan tersebut dilakukan oleh Syekh Ali karena Madrasah
adalah bagian dari yayasan atau harta kekayaan milik yayasan, tanpa
memperhatikan adanya surat wasiat tujuan didirikannya yayasan oleh Syekh
Oemar Salmin Bahadjadj.
2. Amar Putusan Mahkamah Agung
Diputuskan pada rapat permusyawaratan Mahkamah Agung Menolak
permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi, yaitu:Yayasan Syekh Oemar Bin
Salmin Bahdjadj, Ir. Ali Oemar Salmin Bahdjadj, Every, Lim Sun San alias Halim
Tjipta Sanjaya, Oei Giok Leng, dan Go Tiong Tjho. Diwajibkan Para Pemohon
64
Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp
200.000,00 ( dua atus ribu rupiah)
B. Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara : 995
K/Pdt/2002.
1. Analasis Kasus Perspektif Hukum Islam
Menurut hukum Islam, terjadi beberapa perbedaan pendapat (Ijtihad)
Ulama mengenai perbuatan menjual tanah/ harta wakaf. Dalam kaitannya dengan
pendapat ulama terutama imam madzhab Fiqh sebagian ada yang melarangnya
dan adapula yang memperbolehkannya dengan adanya unsur hati-hati dalam
melakukan praktik tesebut. Para ulama di kalangan Syafi’iyyah (ulama
bermazhab Syafi’i) dan Malikiyah (ulama bermazhab Maliki) terkesan sangat
berhati-hati, bahkan mereka cenderung melarang praktik tersebut. Karena dasar
wakaf itu sendiri bersifat abadi, sehingga kondisi apapun benda wakaf tersebut
harus dibiarkan sedemikian rupa. Dasar yang digunakan oleh mereka adalah
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, di mana dikatakan bahwa benda
wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.
Berbeda halnya para ulama di kalangan Hanafiyah (ulama bermazhab
Hanafi) dan Hanbaliyah (ulama bermazhab Hanbali), yang terkesan
mempermudah izin melakukan praktik tersebut. Mereka berpendapat, jika kita
melarang perubahan status wakaf, sementara ada alasan kuat untuk itu, maka kita
termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan wakaf, sehingga asset wakaf menjadi
rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Dasar yang mereka gunakan adalah
65
tindakan sahabat Umar bin Khatab ra yang memindahkan Masjid Kufah yang
lama dijadikan pasar bagi para penjual kurma. Ini adalah penggantian tanah
masjid, adapun penggantian bangunannya dengan bangunan lain, maka sahabat
Umar dan Utsman pernah membangun Masjid Nabawi tanpa mengikuti kontruksi
pertama dan melakukan tambahan serta perluasan.1
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam, penjualan tanah wakaf dilarang
pasal 225 Buku III. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan tertulis Dari kepala Kantor Urusan Agama berdasarkan saran dari
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:2
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif;
b. Karena kepentingan umum.
Dalam kaitannya kegiatan wakaf di Indonesia, lebih dominan
pengaturannya ke pendapat Imam Hanafi dan Hanbali terhadap diperbolehkannya
penjualan tanah wakaf, karena Indonesia merupakan Negara berkembang yang
sewaktu waktu bisa terjadi istibdal Masjid atau keharusan penjualan harta/ tanah
wakaf Karena disebabkan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) ataupun untuk
kepentingan umum lainnya dengan memperhatikan kondisi dan maslahat.
1 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan
Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf.
Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman, dkk KMPC (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN
Press, 2004), h.380-381. 2 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.95.
66
Pendapat ini sangatlah bermanfaat bagi kegiatan perwakafan di Indonesia, karena
dengan menjual tanah wakaf yang telah hilang fungsinya dapat dilakukan dengan
menjualnya dan dibelikan lagi dengan tanah wakaf yang baru dengan nilai
minimal sama dengan tanah wakaf yang semula sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Namun dalam kaitannya dengan kasus yang di analisis, penjualan tanah
wakaf yang dilakukan oleh tergugat yakni Syekh Ali Umar Salmin Bahadjadj
selaku ketua Yayasan Syekh Oemar Bin Salmin Bahdjadj adalah melanggar
hukum, alasannya karena perbuatan tergugat adalah melawan hukum dengan
keadaan sehat dan berakal tergugat melakukan penjualan tanah wakaf dengan akta
jual-beli tanah serta melakukan permohonan penerbitan sertifikat Hak Guna
Bangunan atas nama Yayasan/ tergugat I kepada Kepala Pertanahan Kotamadya
Medan.
Kegiatan jual-beli tanah wakaf dalam kasus tersebut melanggar peraturan
Undang-undang wakaf karena tergugat tidak memperhatikan prosedur yang
berlaku. Eksepsi tergugat tidak mengakui kalau bahwasannya madrasah Arabiyah
Islamiyah adalah wakaf dari Syekh Abdullah dan menganggap menganggap
Madrasah merupakan harta yayasan, hal tersebut adalah keliru.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan, Majelis Hakim menyatakan
menolak gugatan penggugat seluruhnya, hal ini disebabkan karena Penggugat
tidak membuktikan secara pasti tanah wakaf tersebut adalah wakaf sari Syekh
Abdullah Salmin Bahadjadj dalam pembuktiannya. Kemudian ketika di
67
Pengadilan Tinggi, Majelis hakim menolak eksepsi dari Tergugat I sampai dengan
Tergugat X, yang khususnya Tergugat I dan II tidak memperhatikan adanya surat
wasiat yang dibuat oleh Syekh Oemar Salmin Bahdjadj (orang tua tergugat II),
bahwasannya di buatnya Yayasan adalah untuk membiayai kegiatan Pendidikan di
tanah wakaf. Dalam hal Mahkamah Agung memberikan putusan adalah benar
yaitu salah satunya adalah menguatkan adanya Surat Wasiat No.9 tangal 4 April
1956 yang mana Syekh Oemar dalam membuat wasiat adalah cakap dalam hukum
serta berakal. Karena wasiat itu merupakan perjanjian sepihak, maka haruslah
wasiat itu dibuat oleh seorang sudah cakap bertindak hukum (KHI Pasal 194 ayat
1), sebab wasiat yang dibuat seorang yang gila atau rusak akalnya (sedang mabuk)
adalah batal.3
2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif
Dalam analisis penulis, menurut hukum Islam mengenai kasus penjualan
tanah wakaf Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002 adalah
perbuatan melawan hukum dan membenarkan Putusan Mahkmah Agung atas
perkara tersebut, demikian pula menurut hukum positif penjualan tanah wakaf
yang dilakukan oleh tergugat adalah melawan hukum. Dengan adanya persamaan
akibat hukum yang penulis analisis ini baik hukum Islam maupun hukum positif
adalah membuktikan bahwasannya Undang-Undang Wakaf adalah berasal dari
Kodifikasi Hukum Islam yang mana dalam hal pengaturannya Undang-Undang
3 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan (Jakarta:
Kementrian Agama RI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam,
2012), h.94.
68
wakaf di Indonesia lebih banyak mengambil teori dan praktik dari Madzhab
Hanafiah dan Hanbaliah.
Dalam Pasal 6 Peraturan BWI No.1 Tahun 2008 yang berhak untuk
mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui KUA adalah Nazhir.
Nazhir dalam hal perubahan status harta wakaf termasuk jual beli adalah yang
berperan penting, hal ini juga didukung dalam pasal 12 ayat 1 Peraturan Menteri
Agama No.1 Tahun 1978 dan Pasal 51 PP No.42 Tahun 2006. Maka dari kasus
tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena tergugat bukanlah Nazhir
dan bukan pula yang berkepentingan atas penjualan tanah wakaf dan prosedur
penjualan tanah wakaf dan meminta Kepala Kantor Pertanahan untuk menerbitkan
Sertifikat Hak Guna Banguna termasuk dalam kategori penggalapan tanah yang
mana dari penyimpangan perbuatan menjual tanah wakaf yang tidak sesuai
dengan prosedurnya dapat dijatuhkan tuntutan pidana sesuai Pasal 15 PP No.28
Tahun 1977.
Dalam Pasal 24 PP No.40 Tahun 1996 Hak Guna Bangunan atas tanah
Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.4 Dari penjelasan pasal tersebut penulis
berpendapat terbitnya HGB yang diterbitkan oleh Kepala Pertanahan Kotamadya
Medan adalah adanya dukungan akta yang dibuat oleh Notaris PPAT. Dalam
kasus ini mereka tersebut adalah Tergugat VII,VIII dan IX atau Para Turut
Termohon Kasasi.
4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2007), h.80.
69
Dalam hal tergugat VII,VIII dan IX sebagai Notaris/PPAT kurang
memperhatikan salah satu Asas Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris yang Baik
yaitu Asas Kecermatan. Yang mana bagian dari Asas kecermatan adalah
memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak
tersebut.5 Disisi lain, jika tindakan (Notaris) seperti merugikan para pihak, maka
para pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut Notaris yang bersangkutan
dengan kualifikasi sebagai suatu tindakan hukum yang merugikan para pihak.
Para pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti
rugi, dan bunga kepada Notaris.6 Penggugat maupun tergugat III,IV,V dan VI
yang mana para tergugat merupakan pembeli tanah tersebut, karena pada dasarnya
pembeli adalah beritikad baik dengan tidak mengetahui bahwasannya tanah yang
mereka beli adalah tanah wakaf dan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung
menyatakan batal demi hukum akta jual-beli, maka baik penggugat maupun para
tergugat yang dirugikan dalam hal ini dapat melakukan penuntutan kepada
Notaris.
Dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah menjelaskan bahwa
Hak Guna Bangunan hapus karena dibatalkan oleh pejabat yang berwenang yang
pemegang Hak Pengelolaan atau Pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu
berakhir, salah satunya Karena putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.7 Dari penjelasan pasal tersebut dengan keluarnya Judex Facti/
5 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia ( Bandung: Refika Aditama, 2009), h.37.
6 Ibid,.h.38.
7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2007), h.84.
70
Putusan Pengadilan Tinggi Medan dan Putusan Mahkamah Agung jelas bahwa
memiliki kekuatan hukum tetap untuk menyatakan batal HGB atas Nama Yayasan
Syekh Oemar Bin Salmin Bahadjadj.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan, Majelis Hakim menyatakan
menolak gugatan penggugat seluruhnya, hal ini disebabkan karena Penggugat
tidak membuktikan secara pasti tanah wakaf tersebut adalah wakaf sari Syekh
Abdullah Salmin Bahadjadj dalam pembuktiannya. Kemudian ketika di
Pengadilan Tinggi, Majelis hakim menolak eksepsi dari Tergugat I sampai dengan
Tergugat X, yang khususnya Tergugat I dan II tidak memperhatikan adanya surat
wasiat yang dibuat oleh Syekh Oemar Salmin Bahdjadj (orang tua tergugat
II).Wasiat akan dipandang sah apabila dibuat secara tertulis.8 Dalam kaitannya
wasiat yang dibuat Syekh Oemar adalah membangun yayasan untuk memberi
uang sekolah Madrasah Arabiyah Islamiyah, menunjang pada orang-orang miskin
dari keturunannya sendiri, dan membuat segala pekerjaan kebajikan khairat Islam.
Wasiat ini memiliki kekuatan hukum tetap dengan memenuhi syarat/unsur-unsur
wasiat serta di buat akta wasiat No.9 Tahun 1956 dan didukung dengan keluarnya
Putusan Mahkamah Agung. Jelas bahwa dengan dibangunnya Yayasan serta
adanya penjelasan dari surat wasiat tersebut, Madrasah Arabiyah Islamiyah adalah
terpisah dari harta kekayaan Yayasan.
8 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan (Jakarta:
Kementrian Agama RI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam,
2012), h.66.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari permasalahan-permasalahan dibahas pada bab-bab
sebelumnya, yakni ketentuan menjual tanah wakaf baik dalam Hukum Islam
maupun Hukum Positif adalah dilarang, namun hal ini bukanlah ketentuan yang
mutlak atau tidak dapat diberikan pengecualian. Dalam Hukum Islam banyak
beragam pendapat Ulama baik yang melarang maupun memperbolehkan
penjualan tanah wakaf diawali dari para Imam Mazhab seperti Maliki, Syafi’i,
Hanafi dan Hanbali sampai pendapat-pendapat muridnya.
Dalam Hukum Islam :
Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam ditentukan, bahwa benda yang telah
diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang
dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan
saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. Karena kepentingan umum.
Dalam Hukum Positif:
Pasal 40 UU Nomor 41 Tahun 2004 Tahun 2004 tentang Wakaf perubahan status
harta wakaf termasuk didalamnya dilakukan jual-beli, hibah, waris dan lain
72
sebagainya adalah dilarang. Namun ada pengecualiannya diperbolehkannya
menjual tanah wakaf serta prosedur dalam tata cara perubahan status harta wakaf
termasuk menjual tanah wakaf dalam Pasal 51 Peraturan Pemerintah No.42 Tahun
2004, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum Islam dan hukum Positif
memperbolehkan penjualan tanah wakaf sesuai prosedur yang berlaku guna untuk
mencapai tujuan wakaf yang baik dan produktif untuk kesejahteraan dan
kemaslahatan umat manusia.
Terhadap kasus jual beli tanah wakaf Nomor Perkara: 995/K/Pdt/2002
yang dilakukan Yayasan Sech Oemar Salmin Bahadjadj terhadap Madrasah
Arabiyah Islamiyah, menurut hukum Islam dan hukum positif adalah tidak
dibenarkan, dengan alasan:
1. Tanah yang dijual tergugat adalah tanah wakaf yang masih berjalan sesuai
tujuan wakaf dan mekanisme penjualan tanah wakaf bertentangan dengan
hukum yang berlaku
2. Tergugat tidak berkepentingan atas wakaf tersebut bila ditinjau dalam
hukum positif. Lain halnya dalam hukum Islam yang beragam
pendapatnya, seperti pendapat Imam Hanafi bahwasannya harta wakaf
tetap mutlak milik wakif, namun kaitannya dengan tergugat hanyalah
keponakan wakif yang tidak ada kepentingan/ hak sedikitpun atas wakaf
tersebut.
3. Keberadaan yayasan bukan mengambil over pengelolaan Madrasah yang
berada dibawah pengelolaan wakaf, Bahwa hal ini didukung oleh wasiat
Sech Oemar dengan Surat Wasiat No.9 tangal 4 April 1956 yang telah
73
mewakafkan dua buah rumahnya untuk membiaya Madrasah Arabiyah
Islamiyah di Jalan Kuda
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, maka saran yang
dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Pola fikir Nazhir sebagai pengurus wakaf harus up to date atau mengikuti
perkembangan hukum yang berlaku tertutama pengaturan wakaf, karena
jangan sampai pemikiran Nazhir tradisional dalam artian walaupun
Mazhab Imam Syafi’i mendominasi di Indonesia bukan berarti dalam hal
wakaf kita mutlak mengikuti pendapat Imam Syafi’i sepenuhnya, dalam
hal penjualan tanah wakaf kita dapat berpindah Mazhab atau mengikuti
pendapat ulama yang memperbolehkannya, sehingga mudah bagi nazhir
yang berperan penting dalam wakaf untuk mempertahankan wakaf agar
tetap produktif dan sesuai dengan tujuannya.
2. Nazhir harus dapat mempelajari lebih detail lagi perkembangan hukum
yang ada, jangan sampai ada pihak-pihak, baik dari pemerintah, ahli waris
wakif maupun pihak pihak yang tidak bertanggung jawab melakukan
perubahan atas wakaf tersebut tanpa mengikuti prosedur yang berlaku.
3. Untuk pemerintah, yaitu mulai dari Kantor Urusan Agama, Kementerian
Agama dan Badan Wakaf Indonesia seharusnya lebih antusias dalam
menangani pengawasan dalam hal pengelolaan harta wakaf dan
perkembangan wakaf di Indonesia terutama dalam hal perubahan status
wakaf termasuk penjualanannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. al-Waqf. Beirut: Dar Al-Fikr, 1971, Cet.II.
Achmad Chomzah, Ali. Hukum Pertanahan. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003.
Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2009.
Al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet.IV.
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer
Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta
Penyelesaian
atas Sengketa Wakaf. Jakarta: IIMaN Press, 2004.
Al-Khatib, Asy-Syarbini Muhammad. Mughnil Muhtaaj. Mesir: Mushthofa Al-
Baabi
Al-Halabi, 1958, juz II.
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar el-Fikr t,th., juz III.
Daud Ali, Mohammad. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-
PRESS, 2012.
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Paradigma Baru Wakaf di
Indonesia. Jakarta: Depag RI, 2005.
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. dkk. “Metode Penelitian Hukum” (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
Ghofur Anshori, Abdul. Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia,
Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
Hamami, Taufiq. Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional.
Jakarta: PT Tatanusa, 2003.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2007.
Hasbiyallah,. M. Amin Ibnu Abidin. Al-Mukhtar. Beirut: Daar el-Fiqr, 1992,
juz X.
Imam Taqiuddin, Kifayatul Akhyar,.
Muchtar, Kamal. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Mugniyah, Muhammad Jawad. al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-
Khamsah.
Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1964.
Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada
Media, 2004.
Peraturan Menteri Agraria (Permenegria)/ Kepala BPN No. 9/1999.
Peraturan perundangan Perwakafan. Jakarta: Depag RI, 2006.
Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2007,Cet.III.
Praja Juhaya S. Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara, 1995.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997.
Sabiq, Sayyid. Fiqhus sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1981, jilid III.
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung:Binacipta,1987, Cet.IV.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI,1986.
Suhadi, Imam. Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat. Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Prima yasa, 2002.
Suparman, Usman. Hukum Perwakafan Di Indonesia. Jakarta: Darul Ulum Press,
2002.
Syafi‟i, al-Imam, Al-Umm. Beirut : Darul Fikr, jilid III.
Tono,Sidik. Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan.
Jakarta: Kementrian Agama RI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012.
Usman, Rachmandi. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Wadjdy, Farid dan Mursyid. Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam
yang Hampir Terlupakan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Yamin, Muhammad. Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria. Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2003.
Zhuhaili, Wabah. Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr al-
Mu‟ashir.