1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perlindungan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur
dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia telah diakomodir dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Dalam undang-undang
Keimigrasian yang baru ini diatur bahwa orang asing yang kawin dengan warga
negara Indonesia diberikan kesempatan untuk bekerja dan berusaha di Indonesia.
Ketentuan ini merupakan ketentuan pembaharuan yang menjamin Hak Asasi
Manusia (HAM), sejalan dengan kebijakan dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 dimana dalam Pasal
19 ayat 1 ditentukan bahwa warga negara asing yang kawin secara sah dengan
warga negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia
dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat. Hal
ini memberikan peluang dan kesempatan kepada setiap orang baik laki-laki
ataupun perempuan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena asas
penyatuan keluarga atau karena perkawinan dan berhak untuk hidup layak di
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Pasal 61
menentukan bahwa Pemegang Izin Tinggal Terbatas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 huruf e dan huruf f dan pemegang Izin Tinggal Tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dan huruf d dapat melakukan pekerjaan
2
dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau keluarganya.
Adapun bunyi Pasal 52 huruf e dan f adalah bahwa Izin Tinggal Terbatas
diberikan kepada orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia atau anak dari orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia. Demikian juga dalam Pasal 54 huruf (b) dan (d) ditentukan bahwa Izin
Tinggal Tetap dapat diberikan kepada keluarga karena perkawinan campuran dan
kepada orang asing eks warga negara Indonesia dan eks subyek anak
berkewarganegaraan ganda Republik Indonesia. Dari ketentuan diatas maka bagi
orang asing pelaku kawin campur dan keluarganya bisa berusaha dan bekerja di
Indonesia dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi dia
dan keluarganya.
Disisi lain bagi orang asing yang bekerja di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ditentukan syarat-syarat
dan kewajiban Pemberi Kerja yang menggunakan TKA harus memperoleh izin
tertulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, harus memiliki Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (yang selanjutnya disingkat dengan RPTKA) ,
wajib melakukan penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping TKA serta
kewajiban untuk memulangkan TKA ke negara asalnya jika hubungan kerja telah
berakhir. Orang asing yang datang ke Indonesia dapat bekerja apabila ada yang
mempekerjakan dan pekerjaan tersebut harus benar-benar sesuai dengan
kualifikasi yang dimiliki serta dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan atau
3
kegiatan yang ada di dalam negeri.1 Dengan demikian orang asing yang hanya
memiliki kualifikasi yang dibutuhkan di pasar kerja dalam negerilah yang dapat
diberikan izin masuk dan tinggal untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Asing
(TKA) di Indonesia, dengan kata lain hanya orang asing yang memiliki kualifikasi
yang benar-benar dibutuhkan oleh pasar kerja di Indonesia yang bisa bekerja di
Indonesia dan akan diberikan Visa Tinggal Terbatas untuk bekerja di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (yang
selanjutnya akan disingkat menjadi UUK) dan dalam Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Tata
Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Yang selanjutnya akan disingkat dengan
Permennakertrans tentang TCPTKA) menentukan bahwa yang dimaksud dengan
Tenaga Kerja Asing (TKA) adalah warga negara asing pemegang visa dengan
maksud bekerja di wilayah Indonesia.
Adapun prosedur orang asing yang akan bekerja sebagai TKA di Indonesia
wajib memiliki penjamin di Indonesia yaitu Pemberi Kerja TKA seperti : instansi
pemerintah, badan-badan internasional, perwakilan negara asing, kantor
perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing, kantor perwakitan
berita asing, perusahaan swasta asing, badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia atau badan usaha asing yang terdaftar di instansi berwenang di
Indonesia, lembaga sosial, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan serta usaha
jasa impresariat.
1 Sumarprihatiningrum C, 2006, Penggunaan Tenaga Kerja Asing Di Indonesia, , Himpunan
Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia (HIPSMI), Jakarta , hal., 3
4
Bagi Pemberi Kerja TKA hanya dapat mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta harus
memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yaitu rencana
penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TKA
untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk. RPTKA ini akan digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan Izin
Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), karena setiap Pemberi Kerja yang
mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk.
Keharusan memiliki RPTKA dikecualikan bagi Pemberi Kerja TKA dari
instansi pemerintah, badan-badan internasional, perwakilan negara asing (Pasal 5
ayat 2 Permennakertrans RI Nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA) dan
Pemberi Kerja yang mempekerjakan TKA yang berstatus kawin campuran (Pasal
30 ayat 3 Permennakertrans RI Nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA), tetapi
pengecualian tersebut hanyalah tidak perlu mengurus pengesahan RPTKA dan
juga persetujuan Visa bekerja (TA-01) bagi TKA yang berstatus kawin campur.
Menurut hasil penelitian Charles Christian bahwa Undang-Undang
Keimigrasian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 memberikan
kesempatan kepada orang asing pelaku kawin campur dengan sponsor istri atau
suami untuk bekerja di Indonesia, bertentangan dengan peraturan ketenagakerjaan
yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mana masih mengharuskan
setiap orang asing yang bekerja di Indonesia memiliki sponsor dari perusahaan
tempat dimana mereka bekerja, sehingga terlihat kedua Undang-Undang tersebut
5
disharmoni dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi WNA khususnya
orang asing pelaku kawin campur yang ingin bekerja di Indonesia.2 Namun
disharmoni tersebut dihilangkan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga
Kerja Asing. Dalam Permennakertrans tersebut diatur ketentuan pengecualian
bagi pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA yang berstatus kawin campur
dalam tata cara permohonan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), dimana
pengecualian tersebut Pemberi Kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA yang
berstatus kawin campur tidak perlu mengurus pengesahan RPTKA dan juga
persetujuan Visa bekerja (TA-01) bagi TKA yang berstatus kawin campur,
karena mereka sudah tinggal di Indonesia dengan Visa Penyatuan Keluarga.
Namun demikian bagi WNA pelaku perkawinan campuran jika akan bekerja
sebagai TKA di Indonesia tetap perlu Penjamin selaku Pemberi Kerja yang akan
mengurus RPTKA maupun IMTA nya, dan Penjamin yang dalam hal ini
Korporasilah yang bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing
selama berada di wilayah Indonesia, hal ini diatur dalam Pasal 63 ayat (2) UU
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, dimana ditentukan bahwa Penjamin
bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing yang dijamin
selama tinggal di Wilayah Indonesia serta berkewajiban melaporkan setiap
perubahan status sipil, status Keimigrasian, dan perubahan alamat, namun
pengaturan tentang kaidah hukum yang menjelaskan konsepsi-konsepsi tanggung
2 Charles Christian , 2013, Politik Hukum Pemberian Izi Politik Hukum Pemberian Izin
Tinggal Terbatas Bagi WNA Yang Bekerja Dan Atau Menikah Di Indonesia, Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, http://hukum.ub.ac.id/wp-
content/upload/2013/04/jurnal-Charles.pdf, diakses 23 Desember 2013.
6
jawab penjamin sebagai pemberi kerja atas keberadaan dan kegiatan orang asing
masih kabur, dalam ketentuan umum belum dijelaskan secara jelas dan pasti, apa
yang dimaksud pada kata “penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan
kegiatan dengan keberadaan dan kegiatan orang asing, mengingat ada dua pihak
yang bertanggung jawab terhadap orang asing pelaku perkawinan campuran yang
juga akan menjadi TKA, penanggung jawab yang dalam hal ini adalah suami/istri
WNI, sementara jika orang asing pelaku perkawinan campuran akan menjadi
TKA dia wajib memiliki penjamin sebagai Pemberi Kerja.
Implementasi kebijakan pemerintah yang baru di bidang keimigrasian dan
juga di bidang ketenagakerjaan terhadap orang asing pelaku kawin campur
diberikan untuk bekerja dan berusaha di Indonesia menarik untuk diteliti,
bagaimana pengawasan warga negara asing yang kawin campur dalam
memperoleh pekerjaan, apakah peraturan yang ada telah menjamin kepastian
hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan
pekerjaan di Indonesia, mengingat ada kekaburan norma pasal 63 ayat (2) UU
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, serta belum jelasnya bagi WNA
pelaku perkawinan campuran jika bekerja disektor informal, punya usaha sendiri dan
tidak berbadan hukum atau membantu istri atau suami WNI diperusahaan milik keluarga
(berbentuk CV), apakah bisa bekerja dan apakah harus mengurus IMTA (Izin
Mempekerjakan Tenaga Asing) masih ada ketidakjelasan dan kekaburan norma tentang
hak memperoleh pekerjaan bagi warga negara asing pelaku perkawinan campuran dalam
hal jika mereka akan bekerja atau berusaha di sektor informal, tidak diatur dengan jelas.
Pengaturan tentang ketenagakerjaan tersebut hanya mengatur tentang TKA yang
formil namun bagi orang asing pelaku kawin campur yang bekerja non formil
7
untuk bisa bertahan hidup dan menafkahi keluarganya belum diatur dan masih
belum jelas, mengingat keputusan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang
jabatan-jabatan tertentu yang dapat dan atau di larang diduduki oleh TKA hanya
mengatur sektor formal pekerjaan yang berklasifikasi standar internasional.
Berdasarkan hal tersebut diatas, terlihat masih adanya kekaburan norma dan
pengaturan yang masih tidak jelas tentang hak tinggal dan hak bekerja dari WNA
yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan, sehingga perlu dilakukan
pengkajian tentang pengawasan hukum terhadap WNA yang kawin campur dalam
melakukan pekerjaan dan kepastian hukum atas hak WNA yang kawin campur
dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dirumuskan
sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimanakah pengawasan bagi warga negara asing yang kawin campur
dan bekerja di Indonesia?
1.2.2. Bagaimana kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin
campur dan bekerja di Indonesia?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam Penelitian ini pembahasan dibatasi mengenai Pengawasan hukum
terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di
8
Indonesia dan Kepastian hukum atas Hak warga negara asing yang kawin campur
dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, adapun tujuan
umum (het doel van het onderzoek) dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
pemahaman dan untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma
ilmu sebagai proses (science as a process), dengan pandangan ini ilmu adalah
sebagai suatu proses jadi ilmu secara nyata/khas merupakan suatu aktifitas
manusia yakni melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia, dan ilmu tidak
hanya aktifitas tunggal tetapi merupakan rangkaian aktifitas sehingga merupakan
suatu proses. Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam
proses penggaliannya atas suatu kebenaran dari obyeknya masing-masing. Tujuan
Khusus (het doel in het onderzoek) mendalami permasalahan hukum yang dikaji
dan dianalisis secara khusus dan dijabarkan dalam rumusan permasalahan dalam
penelitian ini yaitu kajian dan analisis tentang pengawasan warga negara asing
yang kawin campur dan hak memperoleh pekerjaan di Indonesia.3
1.4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menggali dan menganalisis agar
ada kejelasan jaminan untuk bekerja dan pengawasan hukum terhadap warga
3 Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
2013 , Pedoman Penulisan Usulan PenelitianTesis dan PenulisanTesis Program studi
Magister(S2) ilmu hukumProgram Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal., 43
9
negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan atau usaha untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
1.4.2. Tujuan Khusus
Penelitian ini diharapkan mencapai tujuan yang lebih spesifik dan khusus
yaitu :
1. Mengkaji Pengawasan hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur
dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.
2. Menganalisis kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur
dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.
Manfaat Penelitian
1.4.3. Manfaat Teoritis
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian
dalam penyusunan peraturan bagi WNA yang bekerja di Indonesia yang kawin
campur dalam rangka pembuatan aturan pembaharuan yang lebih menjamin Hak
Asasi Manusia (HAM) sehingga kepastian hukum atas hak WNA yang kawin
campur dan bekerja dapat dijamin dan diatur dengan lebih jelas sehingga tidak
menimbulkan suatu kekeliruan dalam pemaknaannya.
1.4.4. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan sebagai masukan untuk bahan pertimbangan bagi
instansi lintas sektoral dalam menyikapi persoalan orang asing yang bekerja
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan dalam rangka penyatuan
keluarga bagi komunitas pelaku perkawinan campuran.
10
1.5. Orisinalitas Penelitian
Tesis ini merupakan karya asli Penulis, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Adapun tesis yang menyangkut tenaga kerja asing yakni :
1. Tesis dengan judul “Pembatasan Penggunaan Tenaga kerja Asing pada
Perusahaan-perusahaan PMA di Jawa Tengah” ditulis oleh Sri Badi
Purwaningsih, 2005, Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro, Semarang, diakses tanggal 22 Desember 2013
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pelaksanaan pembatasan penggunaan TKA pada
perusahaan-perusahaan PMA di Jawa Tengah dan apa manfaat dari
penggunaan TKA?
b. Apa saja kebijakan-kebijakan yang dipergunakan untuk mengatur
penggunaan TKA pada perusahaan PMA di Jawa Tengah ?
Pada tesis ini dikaji mekanisme penggunaan TKA pada perusahaan PMA ,
manfaat dan kebijakan-kebijakan pengawasan penggunaan TKA pada
perusahaan PMA, sedangkan usulan proposal ini mengkaji Pengawasan
hukum terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan
pekerjaan di Indonesia dan menganalisis kepastian hukum atas hak warga
negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia
sehingga substansi usulan Proposal ini berbeda dengan tesis tersebut diatas.
2. Tesis dengan judul “Politik Hukum Pemberian Izin tinggal Terbatas bagi
WNA Yang Bekerja Dan Atau Menikah di Indonesia” ditulis oleh Charles
11
Christian, 2013, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas
Brawijaya Malang, diakses tanggal 23 Desember 2013, dibahas masalah
Politik Hukum dibalik pemberian Izin Tinggal Terbatas terhadap WNA
yang bekerja atau menikah dengan WNI. Pada Tesis ini dikaji tentang
Politik hukum diberikannya ITAS terhadap warga negara asing yang bekerja
atau menikah dengan warga negara Indonesia. Usulan penelitian ini
membahas Pengawasan terhadap warga negara asing yang kawin campur
dan bekerja di Indonesia serta mengkaji kepastian hukum atas hak warga
negara asing tersebut sehubungan dengan adanya aturan baru berkaitkan
dengan Ketenagakerjaan yaitu Tata Cara Penggunaan TKA.
3. Tesis dengan judul “ Analisis Hukum Perkawinan Campuran Dalam Status
Kewarganegaraan menurut Undang-Undang nomor 12 tahun 2006”. Ditulis
oleh Damerianti Purba, 2012, Universitas Simalungun, Pematang Siantar,
diakses 22 Desember 2013, dengan rumusan masalah kedudukan hukum
yang berbeda kewarganegaraan asing dalam suatu keluarga. Dalam tesis ke 3
ini menganalisis mengenai Hukum Perkawinan Campuran Dalam Status
Kewarganegaraan menurut Undang-Undang nomor 12 tahun 2006.
Sedangkan dalam usulan proposal ini dikaji pengawasan hukum bagi WNA
yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia serta
bagaimana kepastian hukum atas hak WNA yang kawin campur melakukan
pekerjaan di Indonesia. Berdasarkan ke 3 penelitian sebelumnya penelitian
ini berbeda kajiannya baik secara substansial maupun judulnya sehingga
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
12
1.6. LandasanTeoritis
Dalam landasan teori ini pula dilengkapi dengan pandangan-pandangan para
sarjana. Pandangan-pandangan teoritik dimaksud untuk memberikan dasar
ketentuan-Ketentuan konstitusional, peraturan perundang-undangan, dan
instrumen-instrumen hukum pemerintah, khususnya pengawasan pemerintah
terhadap warga negara asing yang kawin campur dalam melakukan pekerjaan di
Indonesia dan mengkaji kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin
campur dalam melakukan pekerjaan di Indonesia.
Berdasarkan atas hal-hal tersebut diatas maka Teori, Konsep yang
digunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam tesis ini
adalah:
1). Konsep Negara Hukum
2). Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
3). Asas Kepastian Hukum
4). Teori Kewenangan
5). Kebijakan Keimigrasian
1.7.1. Konsep Negara Hukum
Konsep Negara hukum Indonesia pada hakekatnya sedikit banyak tidak lepas
dari pengaruh perkembangan konsep Negara hukum di dunia, dimana dalam
Konsep negara hukum modern dikenal dengan istilah “Rechtstaat”. Penggunaan
istilah negara hukum selain rechtstaat juga dikenal dengan The Rule Of Law di
13
Inggris dan Government of law but not of man4. Sedangkan dalam tradisi Anglo
Saxon, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey
dengan sebutan “The Rule of Law”, Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of
Law antara lain: (1) Supremasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the law) yaitu
tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary Power), dalam
arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum; (2)
Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the law) dalil
ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; (3) Terjaminnya hak-
hak manusia oleh undang-undang (di negera lain oleh undang-undang dasar) serta
keputusan-keputusan pengadilan. 5 Konsep negara hukum yang disebut dengan
“The Rule of Law”, menurut pendapat Hilaire Barnett bahwa “The essence of the
rule of law is the sovereignty or supremacy of law over man”6 (esensi dari The
Rule of Law adalah kedaulatan atau supremasi hukum atas manusia). Namun
konsep negara hukum Indonesia memiliki karakter tersendiri yang membedakan
dengan konsep rechtstaat. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam recshtstaat
mengedepankan prinsip “Wet Matigheid” yang kemudian menjadi prinsip “Recht
Matigheid” sedangkan negara hukum Indonesia yang menjadi titik sentralnya
adalah keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat Indonesia,
sebaiknya syarat umum rechtsstaat maupun the rule of law juga harus dipenuhi.
Dengan demikian syarat dasar rechtsstaat maupun the rule of law juga harus
dipenuhi sebagai syarat negara hukum.
4 Ni Matul Huda,2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,Jakarta,
hal.73.
5 HR.Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.,3
6 Hilaire Barnett, 2011, Constitutional & Administrative Law, Eight Edition, Routledge,
London and New York, hal. 52
14
Negara hukum rechtsstaat itu sendiri didasari oleh:
a). Asas Legalitas, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar
peraturan perundang-undangan (wetelijke gronslag).
b). Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan
Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
c). Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan
hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-
Undang.
d). Pengawasan pengadilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang
bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah (rechtmatigheids
toetsing).
e). Negara hukum Indonesia dirumuskan dalam penjelasan Undang-Undang dasar,
dan juga dalam pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu Negara
Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat) sebagai Negara hukum, maka
konsep atau pola tersebut disesuaikan dengan kondisi Indonesia, yaitu dengan
menggunakan tolak ukur pandangan bangsa Indonesia ialah Pancasila.7
Dan rumusan yang hampir sama, yaitu pendapat H.D. Van Wijk/Willem
Konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip (rechtsstaat) antara lain :
1. Pemerintahan berdasarkan undang-undang
2. Pemerintah hanya memiliki kewenangan yang secara tegas diberikan oleh
UUD atau UU lainnya;
3. Hak-hak asasi
7. Noor MS. Bakry, 1985 Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta, hal., 91
15
Terdapat hak-hak manusia yang sangat fundamental yang harus dihormati
oleh pemerintah;
4. Pembagian Kekuasaan
Kewenangan pemerintah tidak boleh dipusatkan pada satu lembaga, tetapi
harus dibagi-bagi pada organ-organ yang berbeda agar saling mengawasi
yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan;
5. Pengawasan lembaga kehakiman
Pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya
oleh hakim yang merdeka.8
Menurut Mukthie Fadjar, bahwa elemen-elemen yang penting dari Negara
hukum, yang merupakan ciri khas dan tidak boleh tidak ada (merupakan syarat
mutlak), adalah :
a). Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia,
b). Asas legalitas,
c). Asas pembagian kekuasaan negara,
d). Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak,
e). Asas kedaulatan rakyat,
f). Asas demokrasi, dan
g). Asas konstitusional.9)
Terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwasannya dalam
negara hukum terdapat asas legalitas dan kepastian hukum, asas legalitas
digunakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah berdasarkan hukum,
8 H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1995, Hoofdstukken van Administratief Recht (Utrecht:
Uitgeverij Lemma BV), hal., 41 9
Mukhtie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publishing, Malang, hal. 75
16
pembatasan ini menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan
kepada pemerintah dan untuk mencegah agar penguasa tidak melanggar hak-hak
dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus
membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang. Relevan dengan hal ini
maka pengawasan hukum oleh pemerintah terhadap warga negara asing yang
kawin campur dalam rangka penyatuan keluarga diberikan hak – hak dasarnya
untuk melakukan pekerjaan atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sebagai TKA, ini merupakan ketentuan yang menjamin kepastian hukum bagi
WNA yang kawin campur yaitu hak memperoleh pekerjaan sebagai TKA. Hal ini
ditentukan dalam UU Keimigrasian yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 Tentang Keimigrasian pasal 61 bahwa pemegang ITAS dan ITAP
dapat melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
/atau keluarganya.
Relevan dengan hal tersebut diatas menurut Diana Halim Koentjoro ada
beberapa ciri negara yang dapat disebut sebagai negara hukum yaitu : a.
Supremacy of the law; b. Equality before the law; c. Constitusional based on the
human right.10
Bahwa dalam negara hukum diperlukan asas perlindungan, artinya
dalam UUD ada ketentuan yang menjamin hak-hak asasi manusia, dimana asas
yang mengandung makna perlindungan antara lain:
a. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan (Pasal 28)
b. Berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27)
10Diana Halim Kontjoro, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal.,34
17
c. Kemerdekaan memeluk agama (Pasal 29)
d. Berhak ikut mempertahankan negara (Pasal 30).
Dari uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa suatu negara hukum
mempunyai ciri-ciri Pertama; adanya pembatasan kekuasaan negara (asas
legalitas) sehingga tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of
arbitrary Power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
melanggar hukum, Kedua; kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum
(Equality before the law) dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk
pejabat, Ketiga adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia (terjaminnya hak-
hak manusia oleh undang-undang), hal ini terkait dengan permasalahan penelitian
pengawasan hukum terhadap WNA yang kawin campur dalam memperoleh
pekerjaan, dimana semakin maraknya kawin campur di Indonesia maka untuk
menjamin dan melindungi hak - hak mereka khususnya hak untuk memperoleh
pekerjaan serta untuk menjamin kepastian hukum atas hak warga negara asing
yang berdiam dan bertempat tinggal di Indonesia khususnya orang asing yang
kawin campur dalam melakukan pekerjaan maka pemerintah mengeluarkan
kebijakan yang mengakomodir kepentingan tersebut dan menjamin hak
memperoleh pekerjaan bagi warga negara asing yang kawin campur dalam rangka
untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan keluarganya. Asas legalitas digunakan
untuk membatasi kekuasaan pemerintah berdasarkan hukum, pembatasan ini
menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah dan untuk mencegah agar penguasa tidak melanggar hak-hak dasar
18
yang merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus
membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang.
Berbicara negara hukum tidak dapat dilepaskan dengan konsep rechtsstaat.
Menurut P.H.M. Meuwissen ciri dari rechtsstaat adalah :
1. Adanya Undang-undang atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis
tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi kekuasaan
pembuatan undang-undang yang ada di tangan parlemen, kekuasaan
kehakiman yang bebas, juga antara penguasa dan rakyat dan pemerintah
yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur).
3. Diakui dan dilindungi hak kebebasan rakyat (vriheidsrechten van de
burger)11
Menurut Philipus M Hadjon bahwa ciri tersebut diatas menunjukan bahwa
titik sentral dari rechstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan.12
Dimana relevan
dengan permasalahan yang penulis teliti bahwasannya orang asing yang berdiam
dan bertempat tinggal di Indonesia yang kawin campur diberikan kebebasan
dalam berusaha dan bekerja sebagai TKA ketentuan ini merupakan ketentuan
pembaharuan yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Pasal 61.
11 Philipus M Hadjon, dkk 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, (Selanjutnya disebut Philipus M Hadjon I), hal. 130
12
Ibid., hal., 76
19
1.7.2. Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan,
maka pemerintah dalam menjalankan fungsinya perlu menggunakan Asas-asas
Umum Pemerintahan Yang baik sebagai pedoman dalam membuat keputusan
maupun perbuatan nyata.
Fungsi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) merupakan
pedoman yang bersifat umum yang mempunyai nilai hukum atau minimal
mempunyai nilai penentu dalam suatu tindakan pemerintahan. Asas-asas yang
dimaksud bersifat tidak tertulis atau dalam arti tidak diatur tersendiri dalam suatu
bentuk peraturan perundang-undangan, namun walaupun sifatnya tidak tertulis
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB ) tersebut hidup dan
menjiwai dalam setiap bentuk tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh badan
atau pejabat Tata Usaha Negara, mengisi ketidaklengkapan dan ketidakjelasan
serta kekosongan peraturan perundang-undangan, juga sekaligus sebagai
pelengkap bagi keberadaan Negara hukum Indonesia, sehubungan dengan hal
tersebut maka badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melaksanakan urusan
pemerintahan seperti membuat keputusan (beschikking) yang materinya bersifat
konkrit umum maupun konkrit individual, serta mengeluarkan Peraturan
(regeling) merupakan perbuatan pemerintah dalam hukum publik, pengawasan
yang bersifat umum abstrak dan dalam melakukan perbuatan nyata atau perbuatan
materiil (Materiil Daad), yang dilakukan oleh pemerintah. Semua tindakan
pemerintah harus berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
20
(AAUPB) baik yang formal maupun materiil sehingga keputusan tersebut benar-
benar menurut hukum dan mencerminkan kepastian hukum.
Selanjutnya maksud dirumuskannya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik (AAUPB) adalah mewujudkan penyelenggaraan Negara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh
tanggungjawab, menurut Ridwan HR Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB) meliputi:13
1) Asas Kepastian Hukum : asas dalam Negara hukum yang mengutamakan
landasan Peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam
setiap tindakan pemyelenggara negara;
2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara: asas ini menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara, asas ini menghendaki agar penggunaan
wewenang oleh penyelenggaraan negara, tetap berdasarkan dan sesuai
dengan hukum yang berlaku sehingga terjaga keharmonisan hubungan
antara pemerintah dengan masyarakat;
3) Asas Kepentingan Umum: asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara aspiratif. Akomodatif dan selektif. Asas ini mengharuskan
administrasi Negara menjalankan kekuasaan untuk mencapai atau
memenuhi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara;
4) Asas Keterbukaan: asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif
13Ridwan.HR. Op.cit. hal 254-255
21
tentang penyelenggaraan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas
hak asasi manusia, golongan dan rahasia negara;
5) Asas Proporsionalitas: asas yang mengutamakan keseimbangan hak dan
kewajiban penyelenggara negara;
6) Asas Profesionalitas: asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas ini mengutamakan agar pembuatan peraturan oleh pemerintah
didasarkan atas keahlian sehingga tepat dari segi aturan hukum yang
diterapkan maupun dari segi prosedurnya;
7) Asas Akuntabilitas: asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dari sudut masyarakat sebagai sasaran pengawasan, maka Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB) tersebut hakekatnya adalah berkaitan dengan
alasan mengajukan keberatan atau pun dapat pula sebagai alasan mengajukan
gugatan apabila ternyata tindakan pemerintahan tersebut merugikan masyarakat.
Mengingat bahwa tidak dapat dipungkiri antara masyarakat dengan pemerintah
dapat terjadi perbedaan pendapat sehingga dirasakan menimbulkan kerugian,
maka diperlukan penyelesaian.
22
Selain asas-asas tersebut diatas dapat dikemukakan pendapat Prof. Crince Ie
Roi mengenai unsur-unsur dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
sebagai berikut :14
1. Asas kepastian hukum
2. Asas kesamaan
3. Asas Keseimbangan
4. Asas Kecermatan
5. Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah
6. Asas tidak menyalahkan wewenang
7. Asas permainan yang wajar
8. Asas keadilan atau kewajaran
9. Asas menanggapi harapan yang wajar
10. Asas peniadaan akibat keputusan yang batal
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup
Eksistensi 11 (sebelas) macam AAUPB diatas dapat dipakai sebagai patokan
dan pegangan untuk menentukan suatu kebijakan, yang walaupun asas itu tidak
memberikan patokan sanksi penjara, denda namun satu hal yang universal yaitu
tanggung jawab moral karena asas ini tergolong sebagai “ code of conduct” dalam
hidup bermasyarakat. Dan khusus bagi kalangan pejabat, baik di bidang legislatif
maupun eksekutif dan yudikatif, AAUPB sebenarnya sudah terdapat baik secara
eksplisit maupun implisit, hal ini dapat dilihat dari peraturan disiplin kerja,
14 M. Solly Lubis, 2002, Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung (Selanjutnya
disebut M. Solly Lubis II) hal., 127-134
23
tatakrama sosial, Kolegialitas, standing order (tata tertib legislatif), peraturan
kepegawaian serta berbagai pedoman, dan petunjuk kerja. 15
Dari pandangan tersebut diatas dapat dipahami bahwa asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) sangat penting fungsinya yakni sebagai
pedoman atau patokan bagi badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal
membuat keputusan, mewujudkan penyelenggaraan negara yang mampu
menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung
jawab, khususnya dalam hal ini pemberian fasilitias keimigrasian berupa visa
tinggal terbatas dan izin kerja bagi Tenaga kerja Asing yang akan bekerja di
Indonesia diterapkan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
salahnya satunya yaitu asas kepastian hukum bagi orang asing yang kawin campur
dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia, mengingat asas kepastian hukum
dalam Negara hukum mengutamakan landasan Peraturan perundang-undangan,
kepatutan dan keadilan dalam setiap tindakan penyelenggara negara; serta
melakukan perbuatan atau tindakan-tindakan nyata, jadi tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara termasuk tindakan yang
didasarkan pada wewenang diskresi dibatasi oleh peraturan perundang-undangan
dan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Sehingga dengan telah
dimuatnya asas-asas hukum ini dalam hukum positif kita maka secara normatif
asas-asas ini dapat digunakan sebagai alasan gugatan oleh warga masyarakat
dalam membela hak-haknya terhadap tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang tidak layak dan tidak adil.
15 M. Solly Lubis I, hal.,62
24
1.7.3. Asas Kepastian Hukum
Asas Kepastian hukum merupakan asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan Penyelenggaraan Negara. Esensi Negara Hukum terdapat
asas legalitas dan kepastian hukum, Asas Legalitas di ilhami atas pemikiran untuk
membatasi kekuasaan penguasa dengan bersaranakan hukum. Pembatasan ini
menjadi penting untuk mengimbangi kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah untuk ikut serta/campur tangan dalam kehidupan pribadi. Pembatasan
ini bertujuan untuk mencegah penguasa melanggar hak-hak individu, sedangkan
sarana yang membatasi campur tangan Negara pada kehidupan individu diatur
dalam undang-undang16
.
Dengan demikian maka dapat dikatakan undang-undang merupakan landasan
keabsahan campur tangan negara dalam kehidupan pribadi, diluar kewenangan
yang diberikan oleh undang-undang dianggap sebagai suatu pelanggaran dalam
kehidupan pribadi. Selanjutnya tujuan utama dalam asas legalitas adalah
menciptakan kepastian hukum agar pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang.
Asas kepastian hukum merupakan asas yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, keadilan, dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan Negara. Sedangkan asas legalitas merupakan asas yang selalu
dijunjung tinggi oleh setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai Negara
16Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta hal. 32
25
hukum17
, artinya setiap wewenang pemerintah atau badan-badan pemerintah harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Asas kepastian hukum diberlakukan
untuk jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat maupun aparat
pemerintahan.
Terciptanya suatu kepastian hukum dalam suatu peraturan hukum apabila
dikaitkan dengan asas pembentukan peraturan Perundang-Undangan yang baik,
maka asas kepastian hukum dapat dikaitkan dengan asas kejelasan rumusan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut penjelasan
Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, asas kejelasan rumusan
adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau
istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Jadi dalam hal ini kepastian hukum dapat diartikan bahwa suatu aturan
hukum harus dirumuskan dan dibentuk secara jelas, sehingga dapat memberikan
kepastian bagi pemerintah dalam mengambil suatu tindakan hukum. begitu juga
dalam hal pemberian visa C317 bagi WNA yang karena penyatuan keluarga
terhadap mereka diberikan untuk melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk
memenuhi kebutuhan hidup dia dan/atau keluarganya. Kebijakan ini dirumuskan
secara jelas yaitu diatur dalam pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Keimigrasian sehingga tidak menimbulkan suatu kekeliruan dalam
17 Indroharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hal. 83
26
pemaknaannya atau tidak bertentangan antara Pasal yang satu dengan yang
lainnya, hal ini merupakan kebijakan pembaharuan yang menjamin Hak Asasi
Manusia (HAM), namun kita ketahui bahwa masalah ketenagakerjaan merupakan
kewenangan Menakertrans dimana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan mewajibkan bahwa TKA harus memiliki sponsor dari
perusahaan tempat dia bekerja selaku Pemberi kerja tetapi disharmoni antara
kedua Undang-Undang tersebut dihilangkan oleh aturan baru yaitu
Permennakertrans nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA sehingga orang asing
pelaku kawin campur dapat bekerja di Indonesia dapat memberikan suatu
kepastian hukum.
1.7.4. Teori Kewenangan
Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam menjalankan roda
pemerintahan, dimana didalam kewenangan mengandung hak dan kewajiban
dalam suatu hubungan hukum publik.
Secara teoritis pemerintah memperoleh kewenangan dari tiga sumber yaitu,
atribusi, delegasi dan mandat.
Menurut Philipus M. Hadjon dalam tulisannya yang berjudul ”Tentang
Wewenang Pemerintah (Bestuursbevoegheid)” membedakan cara administrasi
negara (pemerintah) untuk mendapatkan kewenangan menjadi 3 yaitu secara
atribusi, delegasi (sub delegasi), ataupun mandat.18
18Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid), Pro
Justitia Tahun XVI Nomor 1, Januari 1998, (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II), hal., 91
27
a). Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang
langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi ini
dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang
pemerintahan. Mengenai kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh
organ pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh
langsung dari peraturan perundang-undangan yang melibatkan peran serta
rakyat sebagai pemegang asli kewenangan seperti UUD 1945, undang-undang
maupun peraturan daerah.
b). Delegasi adalah penyerahan kewennagan untuk membuat suatu keputusan
oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Dalam penyerahan kewenangan
ini terjadi perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi
(delegans) kepada penerima delegasi (delegetaris).
c). Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu
bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan
atas nama pejabat yang melimpahkan kewenangan atau memberi mandat.
Dalam mandat, tanggung jawab tidak berpindah kepada penerima mandat,
sehingga semua akibat hukum yang timbul dari keputusan yang dikeluarkan
penerima mandat menjadi tanggung jawab pemberi mandat.
Dalam relevansinya dengan penelitian ini teori kewenangan diisyaratkan
harus bertumpu pada kewenangan yang sah, tanpa kewenangan yang sah maka
pejabat ataupun badan usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan,
begitu pula dalam kaitannya dengan kewenangan pemberian visa bagi orang asing
28
yang kawin campur dalam rangka penyatuan keluarga merupakan kewenangan
atribusi, kewenangan asli diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan
yaitu UU nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian, dimana dalam hal ini
Kewenangan atribusi ada pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusian RI
yaitu kewenangan asli dalam memberikan izin Keimigrasian yaitu Visa
Kunjungan dan Visa Tinggal Terbatas, kemudian adanya pendelegasian kepada
Pejabat Dinas Luar Negeri di Perwakilan Republik Indonesia. Untuk selanjutnya
Pelaksanaannya didaerah dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Hukum Dan Hak Asasi Manusia merupakan bentuk sebagian urusan pemerintahan
pusat yang dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan
Hak Asasi Manusia, kemudian pelaksanaan pemberian izin tinggal di lakukan oleh
Kepala Divisi Keimigrasian yang diberikan Mandat Untuk Menandatangani
persetujuan pemberian Perpanjangan Izin Keimigrasian Atas nama Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan untuk pemberian izin kerja
kepada TKA adalah kewenangan atribusi dari Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dalam pemberian izin mempekerjakan TKA yang merupakan
kewenangan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yaitu undang-
undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Mengenai pelimpahan wewenang pemerintahan dalam bentuk delegasi,
Philipus M. Hadjon memberikan pendapat bahwa delegasi harus memuat syarat-
syarat sebagai berikut:19
19 Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Pers,
hal., 104 - 105
29
1. Delegasi harus bersifat definitif, delegans tidak dapat lagi menggunakan
wewenang yang telah dilimpahkan.
2. Delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam
peraturan perundang-undangan.
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
Peraturan kebijakan (beleidstegel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon menunjukkan
bahwa pelimpahan kewenangan dengan cara delegasi hanya terbatas pada
peringanan atas suatu beban kerja. Ini berarti penerima pendelegasian
bertanggung jawab secara yuridis atas segala perbuatan hukum yang dilakukan.
Sedangkan menurut F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, hanya ada 2 (dua)
cara organ pemerintah untuk dapat memperoleh wewenang yaitu atribusi dan
delegasi dimana Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, dan
Delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah
memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, sehingga delegasi
didahului oleh adanya atribusi. Mengenai mandat, beliau berpendapat bahwa pada
mandat tidak dibicarakan penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan
wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan apapun, yang ada hanyalah
hubungan internal, contohnya menteri kepada pegawainya. Menteri mempunyai
30
kewenangan dan melimpahkannya kepada pegawai untuk mengambil keputusan
tertentu atas nama menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung
jawab tetap berada pada organ kementerian, pegawai memutuskan secara factual,
sedangkan Menteri secara yuridis.20
Demikian pula halnya dalam pemberian izin Keimigrasian bagi orang asing
yang kawin campur merupakan kewenangan dari Direktorat Jenderal Imigrasi
yang mendapatkan pelimpahan wewenang dari Menteri Hukum dan HAM RI
sehingga dalam hal ini penerima pendelegasian bertanggung jawab secara yuridis
atas segala perbuatan hukum yang dilakukan dan kemudian dalam pelaksanaan
didaerah pemberian izin tinggal di lakukan oleh Kepala Divisi Keimigrasian yang
diberikan Mandat Untuk Menandatangani persetujuan pemberian Perpanjangan
Izin Keimigrasian Atas nama Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
HAM.
Berdasarkan paparan diatas, maka harus dibedakan antara pembentuk
wewenang yang diperoleh secara atributif dengan pembentuk wewenang yang
diperoleh secara delegasi, dan pada setiap delegasi selalu didahului oleh adanya
atribusi wewenang. Dan setiap wewenang pemerintah di isyaratkan harus
bertumpu pada kewenangan yang sah, tanpa adanya kewenangan yang sah maka
pejabat ataupun badan tata usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu
perbuatan pemerintah, sehingga pembentukan wewenang pemerintah didasarkan
pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini
20 Ibid.,hal., 102-103
31
penting karena dengan mengetahui sumber kewenangan tersebut maka akan
mempermudah pembagian tugas, koordinasi dan juga pengawasannya.
Sehingga teori kewenangan dipergunakan disini karena baik Imigrasi maupun
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga sama-sama mempunyai
kewenangan dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya dalam relevansinya
dengan keberadaan orang asing di Indonesia dimana untuk kewenangan Visa kerja
merupakan domain Imigrasi dan pemberian izin kerja untuk Tenaga Kerja Asing
merupakan wewenang dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, baik
yang bersumber langsung dari perundang-undangan (Atribusi) ataupun
pelimpahan wewenang dari pemegang kewenangan asli (delegans). Pelimpahan
wewenang dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk penerbitan IMTA
(Izin Mermpekerjakan Tenaga Asing) yang baru dilimpahkan kepada Direktur
dalam hal ini Direktur Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja, sedangkan
untuk IMTA perpanjangan diterbitkan oleh Kepala Dinas Provinsi atau Kepala
Dinas Kabupaten/Kota yang diberikan Mandat oleh Direktur untuk penerbitan
IMTA didaerah, dimana Kepala Dinas Provinsi berwenang untuk menerbitkan
IMTA untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/Kota dalam 1 (satu)
provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi kerjanya
dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/Kota.
1.7.5. Kebijakan Keimigrasian
Menurut Carl J Friedrich bahwa kebijakan adalah serangkaian konsep
tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau kelompok orang atau pemerintah
32
dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Carl J Friedrich merinci apa-apa yang pokok dalam suatu kebijakan
yaitu adanya: a) tujuan (goal), b) sasaran (objectives) dan c) kehendak
(purpose).21
Sedangkan menurut Thomas R. Dye kebijakan sebagai suatu upaya untuk
mengetahui “ what goverments do, why they do it and what difference it makes”
(apa sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah, kenapa mereka
melakukannya dan apa yang menyebabkan capaian hasilnya berbeda-beda”. 22
Jadi ada 3 konotasi terkait dengan kebijakan ini yaitu: (1) pemerintah, (2)
masyarakat, (3) umum. Ini tercermin dalam dimensi subyek, obyek dan
lingkungan dari kebijakan itu, dimana yang pertama, yaitu dimensi subyek,
ditandai oleh adanya kebijakan dari pemerintah yang salah satu ciri kebijakan
tersebut “what goverment do or not to do”. Sedangkan dimensi kedua adalah
lingkungan masyarakat yang dikenai oleh kebijakan pemerintah itu, sedangkan
dimensi yang ketiga yakni bersifat umum, kebijakan itu menurut strata atau
tatanan berlakunya kebijakan, misalnya presiden membuat kebijakan yang bersifat
umum, kemudian Menteri merumuskan kebijakan yang bersifat pelaksanaan
kemudian para pejabat eselon I dan II menggariskan kebijakan teknis yang sering
disebut petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis).23
21 Said Zainal Abidin, 2004, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur sawah, Jakarta, hal., 20-21
22
Solihin Abdul Wahab, 2008, Analisis Kebijakan Publik, UMM Press, Malang, hal., 4
23
M. Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, (Selanjutnya disebut M
Solly lubis I) hal.,6
33
Dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan dalam bidang keimigrasian,
khususnya mengenai pengawasan lalu lintas keimigrasian yang dilakukan oleh
pemerintah bersumber dari Undang-undang No. 6 tahun 2011 mengatur hal-hal
yang bersifat pokok yang kemudian secara operasional dijabarkan lebih lanjut,
baik oleh peraturan pemerintah maupun keputusan-keputusan menteri, keputusan
menteri ini merupakan kebijakan dalam bidang keimigrasian untuk mengatur lalu
lintas orang, baik yang masuk maupun keluar Indonesia dalam bentuk keputusan
pejabat keimigrasian dimana lapangan (obyek) dari Hukum Keimigrasian adalah
lalu lintas dan pengawasan keimigrasian sedangkan Subyek hukum dari Hukum
Keimigrasian adalah orang yang masuk atau keluar Wilayah Negara Republik
Indonesia dan Orang Asing yang berada di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Kewenangan keimigrasian merupakan manifestasi dari kedaulatan negara
yang dituangkan dalam bentuk Pengawasan Lalu-lintas Orang dan Pengawasan
Orang Asing dalam Yurisdiksi Republik Indonesia.
Kebijakan pemerintah dalam bidang lalu lintas keimigrasian meliputi tiga aspek,
yaitu:
1. Dokumen perjalanan Republik Indonesia.
Ketentuan pasal 24 UU No. 6 tahun 2011 tentang keimigrasian mengatur
tentang paspor dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP). Paspor terdiri
atas paspor diplomatik, paspor dinas, dan paspor biasa. SPLP terdiri atas
SPLP untuk WNI, SPLP untuk asing dan Surat Perjalanan Lintas Batas.
(Namun berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi tanggal 09
34
Mei 2014 nomor IMI-1360.GR.01.01 tahun 2014, SPLP untuk WNI sudah
tidak diterbitkan).
2. Visa, Tanda Masuk dan Ijin Tinggal :
Visa terdiri atas Visa Diplomatik, Visa Dinas, Visa Kunjungan dan Visa
Tinggal Terbatas diatur dalam pasal 34 UU No. 6 tahun 2011 tentang
keimigrasian dan PP nomor 31 tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan
UU No. 6 tahun 2011 tentang keimigrasian serta Peraturan Menteri
Hukum dan HAM RI Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Prosedur Teknis
Pemberian, Perpanjangan, Penolakan, Pembatalan Dan Berakhirnya Izin
Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal Terbatas Dan Izin Tinggal Tetap Serta
Pengecualian Dari Kewajiban Memiliki Izin Tinggal.
3. Pemeriksaan masuk dan keluarnya orang asing maupun WNI (Warga
Negara Indonesia) dilakukan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Hal
itu diatur dalam Pasal 8 Undang-undang nomor 6 tahun 2011 tentang
Keimigrasian. Pemeriksaan dimaksud meliputi pemeriksaan dokumen
perjalanan atau identitas diri yang sah, daftar awak alat angkut dan
penumpang, daftar cekal, keadaan fisik (penyakit menular) dan mental
(sakit /gila) dan khusus untuk orang asing pemeriksaan visa bagi yang
wajib memiliki visa atau yang dibebaskan dari keharusan memiliki visa.
TPI ada Bandar Udara, Pelabuhan laut dan pos perlintasan perbatasan.
35
1.7. Metode Penelitian :
1.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi, Menurut Morris L. Cohen dan Kent C. Olson bahwa “Legal
research is an essential component of legal practice. It is the process of finding
the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”24
.
(Penelitian hukum merupakan komponen penting dari praktek hukum. Ini adalah
proses untuk menemukan hukum yang mengatur kegiatan dan bahan yang
menjelaskan atau menganalisis hukum) Penelitian mengenai pengawasan hukum
warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan merupakan
jenis penelitian hukum normatif, dimana fokus penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder).25
Penelitian hukum
normatif diteliti sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi, hal
itu dapat ditinjau secara vertikal yakni apakah perundang-undangan yang berlaku
bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan bila dilihat dari
sudut hirarki perundang-undangan, mengingat penelitian sebelumnya dianggap
ada disharmoni norma antara UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
Pasal 61 dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 42
tentang penggunaan tenaga kerja asing, namun disharmoni tersebut dihilangkan
24 Morris L. Cohen dan kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, Seventh Edition,
ST. Paul, Minn, West Group, h. 1.
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2005, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, hal., 13
36
dengan terbitnya Permennakertrans Nomor 12 Tahun 2013 Tentang TCPTKA,
sehubungan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk menggali dan
menganalisis aturan baru tersebut, bagaimana Pengawasan Hukum Warga Negara
Asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di Indonesia dan
kepastian hukum atas hak warga negara asing yang kawin campur tersebut,
mengingat masih ada kekaburan norma pada aturan yang baru tersebut, sehingga
norma yang masih kabur tersebut bisa diinterpretasikan dengan baik dalam
implementasinya dilapangan dan tidak menimbulkan suatu kekeliruan dalam
pemaknaannya.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk
mendapatkan dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Pendekatan-
pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-
Undang (statute approach), Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
Pendekatan Analitis (Analytical approach), Pendekatan Perbandingan
(comparative approach), Pendekatan historis (historical approach), pendekatan
Filsafat (Philosophical approach), Pendekatan Kasus (case approach), 26
Sedangkan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) yaitu pendekatan yang
dilakukan untuk meneliti peraturan perundang-undangan dan akan meneliti
26 Johnny Ibrahim, 2008, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif ,Edisi Revisi
Bayumedia Publising, Malang, hal.,300
37
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dari
penelitian sehingga Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup
yang mempunyai sifat-sifat Comprehensive yaitu norma-norma hukum yang
ada didalamnya terkait antara satu dengan lainnya secara logis, All inclusive
bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung
permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum
serta bersifat systematic yaitu bahwa disamping bertautan antara satu dengan
yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hirarkis.
Peraturan Kebijakan yang berkaitan dengan Pengawasan Hukum terhadap
warga negara asing yang kawin campur dalam memperoleh pekerjaan di
Indonesia antara lain Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang
Keimigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Tentang
Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor 12 tahun
2013 tentang Tata Cara Penggunaaan Tenaga Kerja Asing. Agar tidak terjadi
multitafsir maka dalam mengidentifikasi aturan hukum dipakai metode
interpretasi sistematis dan juga metode teleologis atau sosiologis.
b. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual approach),
merupakan suatu kerangka teoritis dan konseptual yang antara lain berisi
tentang pengkajian terhadap teori-teori, definisi-definisi tertentu yang dipakai
sebagai landasan pengertian dan landasan operasional dalam pelaksanaan
38
penelitian.27
Teori, Konsep dan Asas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Teori Kewenangan, Konsep Negara Hukum, Kebijakan Keimigrasian,
Asas Kepastian Hukum, Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
c. Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan
dalam praktik hukum, 28
dalam artian yaitu dengan melakukan telaah kasus
untuk referensi bagi isu hukum tentang WNA Pelaku kawin campur dalam
melakukan pekerjaan dan kepastian hukum atas hak WNA tersebut dalam
melakukan pekerjaan di Indonesia.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini sumber bahan hukum yang digunakan berupa bahan
Hukum Primer dan bahan hukum sekunder yaitu :
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari norma atau kaidah dasar, yaitu pembukaan UUD negara RI 1945,
Peraturan dasar meliputi Batang Tubuh UUD Negara RI 1945 dan
Ketetapan MPR, Peraturann Perundang-undangan meliputi Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Kepres, KepMen dan Perda. Selain itu
bahan hukum yang tidak dikodifikasikan dan yurisprusendi. 29
Dan Bahan
Hukum Primer yang relevan dengan penelitian ini adalah Undang –
27 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafindo, Jakarta,
hal.,30
28
Johnny Ibrahim, Op.Cit., hal., 321
29
Amiruddin dan Asikin Zainal, 2013, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta,hal., 118
39
undang RI nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian dan peraturan-
peraturan dalam bidang Keimigrasian yang berkaitan dengan
permasalahan seperti PP nomor 31 tahun 2013 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang – undang RI nomor 6 tahun 2011 tentang
Keimigrasian, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan, , Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaaan
Tenaga Kerja Asing dan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan Hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum Primer yang terutama adalah buku-buku
hukum termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal
hukum, kamus-kamus hukum, rancangan UU, hasil hasil Karya ilmiah
Ahli Hukum, buku-buku dan majalah-majalah yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti sehingga bahan hukum sekunder ini dapat
memberikan inspirasi dan petunjuk kearah mana peneliti 30
1.8.4.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode sistematis, dimana
bahan hukum itu saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan dalam suatu
30
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum Edisi Revisi, KencanaPrenadamedia
Group, Jakarta, hal., 196
40
sistem dan bahan kepustakaan dikumpulkan dengan sistem kartu (card system) 31
,
pengumpulan bahan hukum dengan cara mengumpulkan dan menginventarisir
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pencatatan dengan
menggunakan system kartu, dimana dilakukan suatu telaah kepustakaan dengan
mencatat dan memahami informasi-informasi yang diperoleh dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Kartu-kartu itu sebagai alat pencatat secara rinci dan sistematis terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Dengan
pengklasifikasian tersebut diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis
terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Kartu tersebut dibedakan
menjadi tiga macam yaitu kartu kutipan, kartu ikhtisar dan analisis. Kartu kutipan
memuat isi dan bentuk karangan asli yang diperlukan, kartu ikhtisar memuat
nomor, singkatan nama penulis buku, singkatan nama buku dan lain-lain yang
dianggap perlu, kartu analisis memuat reaksi terhadap suatu sumber yang dikutip,
dan reaksi tersebut bersifat menambah atau menjelaskan catatan, bacaan berupa
kritik, kesimpulan, saran dan komentar.
31 Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian hTesis dan Penulisan Tesis Program studi
Magister(S2) ilmu hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal.,34
41
1.7.4. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan Hukum untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang
telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis yaitu:
a. Teknik Deskripsi yaitu teknik dasar analisis berupa uraian apa adanya terhadap
kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non hukum. dimana
dalam penelitian ini menguraikan pengawasan hukum WNA yang kawin
campur dalam bekerja dan ketentuan norma yang masih kabur disertai dengan
fakta hukum yang ada (dari kasus-kasus).
b. Teknik evaluasi yaitu penilaian, tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju,
benar atau salah, sah atau tidak sah oleh penulis terhadap suatu pandangan atau
proposisi, pernyataan rumusan norma baik itu bahan hukum Primer maupun
Sekunder, yaitu dilakukan penilaian terhadap rumusan pasal-pasal tersebut
dengan menggunakan teknik evaluasi.
c. Teknik argumentasi yaitu penilaian yang dilakukan penulis atas dasar
penalaran hukum.
d. Teknik sistematisasi yaitu penulis berusaha mencari kaitan rumusan suatu
konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan
yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.