BAB II
AGAMA SIPIL DAN RELIGIOSITAS SIPIL: KAJIAN TEORITIK
Formulasi Awal Agama Sipil: Rousseau dan Durkheim
A. Agama Sipil dalam Pandangan Rousseau
Jean-Jacques Rousseau merupakan pemikir pertama yang mengenalkan
gagasan agama sipil. Konsep agama sipil dalam pemikiran Rousseau memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan sejarah kontrak politik dalam sebuah
masyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil berhubungan dengan
upaya membangun kesepakatan bersama dalam masyarakat yang kerap
dikaitkan dengan teori kontrak sosial. Dalam kajian filsafat politik, ada tiga
pemikir yang mengelaborasi teori kontrak sosial ini, yakni Thomas Hobbes, John
Locke dan JJ. Rousseau.
Ketiganya merupakan pemikir yang hidup pada abad XVIII tetapi
pemikirannya pada sisi tertentu merupakan antitesis dari pemikiran yang
berkembang pada abad itu. Dan hal tersebut ditengarai sebagai pembangkangan
intelektual pada zamannya. Menurut sejarah, abad inilah yang menjadi pabrik
penghasil ilmuwan besar seperti Rene Descartes, David Hume, Voltaire, Galileo
Galilei dan lain-lain.
Di abad ini, terjadi perkembangan sains yang pesat. Manusia pencerahan
berjuang gigih menaklukan alam semesta dengan akal dan rasio. Segala
kebenaran diukur dengan parameter sains dan teknologi. Diatas semuanya,
terdapat sisi yang memprihatinkan. Perkembangan sains dan teknologi
pencerahan telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Manusia yang
sedemikian kompleks kemudian mengalami reduksi. Ia tak lebih dilihat sebagai
mesin-mesin. Manusia cenderung dituntun oleh akal semata. Faktor emosi sama
sekali tidak dilihat sebagai sesuatu yang integral dengan kehidupan manusia.
Dalam situasi seperti ini, Rousseau hadir dengan memberikan kerangka
filosofis ihwal kebebasan manusia yang kemudian dikaitkan dengan proses-
proses politik. Pemikiran Rousseau, seperti yang disitir Henry J. Schmandt,
sangat mengagungkan satu proses demokrasi langsung, dimana semua orang,
bukan kelas istimewa atau beberapa orang yang terpilih, ikut serta.1
Periode kehidupan Rousseau adalah momen dimana fondasi revolusi
industri diletakan, mesin uap diciptakan, dan orang-orang Eropa melakukan
penjelajahan hingga Asia, Amerika Utara dan Pasifik. 2 Rousseau berkontribusi
tidak hanya pada satu bidang saja. Semasa hidupnya, ia terkenal sebagai seorang
novelis, komposer dan juga seorang pemikir politik. Situasi pencerahan serta
pencapaian tekhnologi yang sangat maju berjasa untuk mempertanyakan
kemapanan politik dan agama.3 Penanaman dan penyebaran ajaran moral oleh
gereja mulai dikritik oleh para pemikir yang meski tidak banyak tapi cukup
berpengaruh. Mereka yang tidak merasa takut dengan hukuman dunia atau
akhirat.
Rousseau memaparkan filsafat politiknya dalam karya yang kerapkali
menjadi bahan rujukan dalam bidang politik, On Social Contract. Menurut
Rousseau, keluarga adalah masyarakat politik pertama.4 Penguasanya adalah
sang ayah dan anak-anak adalah rakyatnya.5 Mereka semua dilahirkan sama
dalam kebebasan dan kesetaraan.
Dari kehidupan yang awalnya sama itu, Rousseau menekankan pentingnya
menghancurkan pemberhalaan terhadap akal tersebut. Manusia yang
dikondisikan demikian itulah yang dikritik oleh Rousseau. Bagi Rousseau,
1 Henry J. Schmandt, A History of Political Philosophy, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), 409-410. 2 Christopher D. Wraight, Rousseau’s The Social Contract: A Readers Guide, (New York
and London: Continuum International Publishing Group, 2008), 1. 3 Ibid., 2 4 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj. G.D.H.Cole (New York: Dover
Publications, 2003), 2. 5 Ibid.
perkembangan teknologi itu menyebabkan manusia menjadi makhluk yang
rakus dan melakukan eksploitasi secara besar-besaran. Pengagungan terhadap
rasio hidup dalam memori kolektif pemikir abad pencerahan. Wajar jika
kemudian Rousseau mengajak pentingnya untuk memahami keadaan alamiah
(state of nature). Manusia sebagai makhluk yang mementingkan emosi, perasaan
dan tidak mendewakan rasio serta tidak menganggap manusia sekadar jasad
tanpa ruh.
Manusia harus kembali ke alam, jika ia ingin menjadi dirinya dan terhindar
dari kehancuran total. Dalam keadaan alamiah, ia pada dasarnya manusia yang
baik. Ia tidak menghendaki perang dan konflik. Sebab manusia bukanlah
manusia yang suka berperang. Karenanya, perang bukanlah fenomena alamiah
(natural phenomenon) melainkan fenomena sosial (social phenomenon). Perang
terjadi jika ada pergeseran dari yang alamiah ke yang sosial.
Dalam keadaan alamiah, manusia memiliki kebebasan mutlak. Kebebasan
merupakan determinan yang membuat manusia menjadi manusia alamiah.
Rousseau mengidealisasikan manusia yang liar tetapi baik, yang selalu
mementingkan keutamaan seperti orang-orang di zaman Romawi Kuno. Ia tidak
baik dan buruk, tetapi juga tidak egois dan altruis, hidup polos dan mencintai
diri secara spontan.
Manusia yang alamiah adalah manusia dalam keadaan bebas sejak
dilahirkan. Tetapi, kebebasan itu kemudian menyebabkan ketidakbebasan
karena ia bersentuhan dengan waktu, tempat, adat serta pembatasan yang
melibatkan lembaga ekonomi dan politik. Rousseau mengatakan, “man, is born
free and everywhere he is in chains”.6
Kebebasan menurut Rousseau adalah keadaan tidak terdapatnya keinginan
manusia untuk menaklukkan sesamanya. Manusia merasa bebas dari rasa
ketakutan akan kemungkinan terjadinya penaklukan atas dirinya secara
6 Ibid., 1.
persuasif maupun kekerasan. Kebebasan juga diartikan sebagai hak untuk
melakukan sesuatu yang orang lain tidak diperkenankan melakukannya. Di sisi
lain istilah yang sama bisa dipahami sebagai keadaan dimana keadilan
sepenuhnya ditegakkan. Jika diterapkan dalam kehidupan sosial, kebebasan
dalam pengertian itu dapat membuat manusia merdeka, tidak terbelenggu.
Terkait dengan makna kebebasan ini, Rousseau dalam Bab Civil State,
memetakan tentang dua kebebasan, alamiah dan sipil. Apa yang hilang dari
manusia karena kontrak sosial adalah kebebasan alamiahnya dan hak yang tidak
terbatas untuk melakukan sesuatu. Yang ia dapatkan kemudian adalah
kebebasan sipil. Kebebasan alami diikat oleh kekuatan individu. Sementara
kebebasan sipil dibatasi oleh general will dan kepemilikan. Kata Rousseau,
kebebasan sipil yang demikian hanya bisa ditemukan dalam apa yang ia sebut
sebagai a positive title.7
Menurut Rousseau, negara merupakan produk perjanjian sosial. Individu
dalam masyarakat membatasi apa yang dimilikinya dan dileburkan pada satu
kekuasaan bersama. Kekuasaaan bersama ini kemudian dinamakan negara,
kedaulatan rakyat, kekuasaan negara atau istilah lain yang memiliki kemiripan
makna dengannya. Dengan menyerahkan hak itu, individu itu tidak kehilangan
kebebasan atau kekuasaannya.
Negara menjadi berdaulat karena mendapatkan mandat dari rakyat.
Negara diberi mandat oleh rakyat untuk mengatur, mengayomi dan menjaga
keamanan maupun harta benda mereka. Kedaulatan negara akan tetap absah
selama negara menjalankan fungsi-fungsinya sesuai dengan kehendak rakyat.
Negara harus selalu berusaha mewujudkan kehendak umum.
Bila menyimpang dari kehendak atau kemauan rakyat, keabsahan
kedaulatan negara akan mengalami krisis. Dari segi ini, teori negara berdasarkan
kontrak sosial merupakan antitesis terhadap hak ketuhanan raja. Dengan teori
7 Ibid., 12.
sosialnya, Rousseau membalikan sumber kekuasaan dari legitimasi Tuhan ke
manusia.
Selain itu, pemikirannya yang menonjol adalah bahwa komunitas orang-
orang kecil dalam negara kota yang kecil, mempunyai tanggung jawab bersama
bukan hanya untuk kepentingan individu tetapi juga untuk kebaikan kolektif.8
Konsepsi semacam ini hanya bisa diwujudkan dalam sebuah model demokrasi
modern.
Konstruksi dasar pemikiran Rousseau semacam inilah yang mengilhami
gagasannya tentang agama sipil. Dalam Buku IV, Rousseau membagi
pembahasan menjadi tiga bagian. Pertama, Rousseau membahas mengenai
sejarah agama dan relasinya dengan kekuatan negara dari masa kuno hingga
sekarang. Kedua, Rousseau memberikan gambaran mengenai klasifikasi umum
tentang agama; agama manusia (the religion of man), agama masyarakat (the
religion of the citizen) dan agama para imam (the religion of the priests). Dan
bagian ketiga, Rousseau memberikan solusi, semacam possitive programme
seperti yang pernah ia tulis dalam Letter to Voltaire.9
Bentuk awal pemerintahan menurut Rousseau adalah teokrasi.10 Teokrasi
mengarah pada politeisme; dalam setiap kelompok masyarakat ada Tuhan.
Keadaan ini dijelaskan oleh Rousseau bahwa politeisme hadir karena
kemunculan bangsa. Bangsa atau kelompok masyarakat yang berbeda, tidak
mungkin akan tunduk pada satu kekuasaan yang sama. Dalam bahasanya
Rousseau, “Dua rakyat yang asing satu sama lain, dan hampir selalu
bermusuhan, tidak mungkin mengakui majikan yang sama dalam waktu lama:
8 Ibid.
9 Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract, (London and New York: Routledge, 2004), 179. 10 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract... 89.
dua angkatan bersenjata yang sedang berperang tidak akan dapat mematuhi
pemimpin yang sama”.11
Dalam masyarakat pagan, setiap bangsa atau negara memiliki kepercayaan
terhadap dewa.12 Mestinya, dalam keadaan seperti ini tidak ada perang agama.
Mereka sudah berada dalam keyakinannya masing-masing. Menyembah
terhadap Dewa yang diyakini dalam lingkaran masyarakatnya. Namun penting
untuk dicermati bahwa setiap kelompok itu tidak membedakan antara
kekuasaan politis dan teologis, karena bersifat teokratis. Dalam masyarakat
seperti itu, kejahatan terhadap negara juga merupakan kejahatan terhadap
agama. Setiap agama terikat pada satu undang-undang negara.
Kekristenan kemudian merubah pola ini. Mereka melakukan pemisahan
urusan agama dan negara. Para penganut pagan melihat penganut Kristen ini
sebagai pemberontak yang sesungguhnya.13 Mereka mematuhi secara munafik,
dan berusaha untuk memerdekakan diri serta menjadi majikan. Orang Kristen
itu kemudian berganti wajah dan berganti bahasa. Dalam sebuah kerajaan
duniawi, apa yang kemudian disebut sebagai kerajaan akhirat itu menjadi
despotisme yang paling bengis.14 Kekuasaan ganda (agama dan negara) ini
menjadikan konflik yurisdiksi. Sehingga tidak mungkin diciptakan suatu
pemerintahan yang baik di negara Kristen. Kata Rousseau, “orang tidak pernah
berhasil mengetahui, siapa di antara majikan dan pstor yang wajib mereka
patuhi.”15
Rousseau memberikan apresiasi kepada Thomas Hobbes yang telah
berhasil mencermati kelemahan dari model negara yang memisahkan urusan
negara dan agama yang dikenalkan semasa Kekristenan.16 Hobbes mengusulkan
11 Ibid. 12 Ibid., 90. 13 Ibid., 91. 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid., 92.
untuk mengembalikannya kepada kesatuan politik karena jika tidak, pemerintah
tidak akan mungkin dibentuk dengan baik. Meski tidak mudah untuk
merealisasikannya karena kepentingan pastor selalu akan lebih kuat daripada
kepentingan negara.17
Rousseau kemudian menjelaskan tentang tiga kategori agama, yakni agama
manusia dan agama masyarakat.18 Rousseau juga menyinggung tentang agama
yang ketiga, the religion of priest. Tentang model ketiga itu, Rousseau tidak
memaparkannya dengan detail, tapi ia melihat bahwa tiga agama yang ia ulas
hampir semuanya tidak bisa dijalankan secara baik dalam sebuah komunitas
masyarakat.19
Agama manusia menurut Rousseau adalah agama yang menekankan pada
aspek moralitas dan penyembahan kepada Tuhan.20 Rousseau menyebut juga
agama ini sebagai “the religion of Gospel.”21 Agama manusia semata-mata
merupakan pemujaan terhadap Tuhan dalam hati masing-masing dan pada
kewajiban moral yang abadi. Pengabdian penganut agama ini terhadap
Tuhannya tidak memerlukan altar, kuil ataupun ritus. Agama ini murni semata-
mata keyakinan privat atau individual.
Sementara, agama masyarakat adalah agama sebuah masyarakat yang
dipeluk suatu bangsa.22 Agama ini berlaku di suatu negeri, memberikan
dewanya, pengayom masing-masing atau pelindung. Agama ini terorganisir dan
hirarkis serta terikat dengan dogma-dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta
tanah air, ketaatan pada negara dan nilai-nilai pengorbanan. Selain bangsa yang
menganutnya, dianggap kafir, asing dan biadab.
17 Ibid.
18 Ibid., 93. 19 Ibid. 20 Ibid.
21 Ibid. 22 Ibid.
Di luar agama manusia dan agama masyarakat, ada jenis agama yang
ketiga. Agama ini memberikan kepada manusia dua undang-undang, dua
pemimpin, dua tanah air, memaksakan dua kewajiban yang bertentangan dan
yang menghalangi mereka untuk menjadi orang saleh dan warga negara
sekaligus. Ketiga agama ini buruk.
Dalam Letter to Voltaire yang ditulis pada 1756, Rousseau menjabarkan
membedakan tiga aspek dalam agama; keyakinan pribadi, doktrin dan
perilaku.23 Yang pertama, tidak bisa diintervensi oleh negara. Yang menjadi
fokus dari otoritas politik adalah merubah perilaku seseorang yang berkaitan
relasinya dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam Letter inilah Rousseau
mulai mengenalkan civil profession of faith dimana seseorang harus mengakui
kaidah atau kode moral. Sementara fanatisme harus ditolak, bukan karena tak
tak beriman tetapi karena memberontak. Semua warga negara bebas untuk
memilih agama selama itu memiliki keselarasan dengan kode moral bahan
seseorang bisa mengadopsi kode tersebut sebagai agamanya.
Tulisan Rousseau di Social Contract menyinggung kembali soal civil
profession of faith.24 Ini bukanlah dogma agama, tetapi sentimen sosial atau
kebersamaan sosial, dimana pembuat aturannya adalah pemimpin negara. Kata
Rousseau, absennya kebersamaan sosial itu sulit untuk menciptakan warga
negara yang baik dan setia. Pemerintah boleh mengusir warga negara yang tidak
bisa hidup dalam sebuah kesepakatan bersama ini. Rousseau kembali
menegaskan apa yang ia tulis di Letter, bahwa itu dilakukan bukan karena warga
itu kafir, tetapi karena mereka tidak bisa hidup bermasyarakat atau tidak
mampu menjalankan perintah seperti yang tertuang dalam undang-undang.
Dengan agama sipil Rousseau hendak membangun kesatuan masyarakat
afektif dimana pluralisme dan toleransi dapat berjalan dan berkesinambungan
23 Jean-Jacques Rousseau, Letter to Voltaire 1756, http://www.indiana.edu/~enltnmt/texts/JJR%20letter.html. Diakses pada 7 Agustus 2014. 24 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract... 96.
dengan masyarakat yang bebas.25 Setidaknya ada dua hal pokok mengapa agama
sipil ini merasa perlu untuk diwacanakan. Pertama, agama sipil perlu
dimunculkan untuk memberikan sistem kepercayaan pengganti bagi mereka
yang kepercayaannya telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pencerahan.
Kedua, selain itu agama sipil bertujuan untuk menyelaraskan dan mencari
kesinambungan antara agama dan politik.
Agama sipil merupakan otoritas baru sebagai sumber legitimasi untuk
menentukan batas-batas yurisdiksi dan memberikan persetujuan-persetujuan
transendental. Untuk kedua persoalan tersebut di atas Rousseau menawarkan
gagasan agama sipil. Disebut sebagai agama, karena dia menginginkan sumber
otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan disebut sipil karena
dia menginginkan bebas dari pengaruh gereja.26
Bagi Rousseau, agama sipil tetaplah harus memiliki dogma. Dan dogma
yang dikembangkan agama model ini haruslah sederhana. Mempercayai
eksistensi Tuhan, kehidupan yang akan datang, pahala bagi yang berbuat baik,
hukuman bagi yang berbuat jahat, sanksi dari kontrak sosial dan hukum.27 Hal
tersebut adalah dogma positif dari agama sipil. Sementara dogma negatif, kata
Rousseau adalah menolak intoleransi.28
Rousseau menekankan bahwa intoleransi dalam bidang politik dan agama
tidak bisa dipisahkan. “Tidak mungkin seorang hidup damai dengan orang yang
dianggap murtad, menyukai berarti membenci Tuhan yang menghukumnya,
sehingga tidak boleh tidak, mereka harus disadarkan”, kata Rousseau.29 Sikap
seperti ini tentu memiliki dampak sosial. Rousseau seperti hendak menekankan
bahwa ajaran agama yang bersifat eksklusif harus direinterpretasi. Dalam
sebuah negara, tidak boleh ada agama nasional yang eksklusif. Sepanjang 25 Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract ... 188.
26 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract..., 93-95. 27 Ibid., 95. 28 Ibid.
29 Ibid., 97.
dogmanya toleran dan tidak bertentangan dengan kewajiban negara, maka
agama apapun harus diterima.
Sebagai kesimpulan dari apa yang disampaikan Rousseau, agama sipil
berarti bahwa ia merupakan suatu kesetiaan warga masyarakat yang diikat oleh
sebuah kontrak sosial yang merupakan hasil kesepakatan diantara mereka
untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka (general will), yakni
keadilan dan kesejahteraan bersama.30 Jika kehendak umum tersebut dipahami
secara seksama dan dianggap memiliki nilai transendental, maka adalah tugas
setiap warga negara untuk menjalankan perannya dengan baik di masyarakat
sehingga berguna bagi sesamanya. Terhadap pemahaman imaniah seperti inilah
pemerintah perlu mengaturnya dalam berbagai aturan, bukan sebagai dogma,
tetapi sebagai suatu tuntutan sosial yang tanpanya, seseorang tidak bisa menjadi
warga negara yang baik atau rakyat yang setia. Pemahaman imaniah seperti itu
tidak sama dengan agama seseorang.31
Sebagai teoritikus agama sipil, Rousseau mengandaikan negara yang
menjadi lokus dari otoritas politik harus memperhatikan klaim otoritas yang
berasal dari agama.32 Ada dua jalan menafsirkan gagasan agama sipil di sini.
Pertama, ini yang oleh disebut oleh Ronald Beiner sebagai pembacaan
konvensional terhadap ide Rousseau. Membiarkan agama dan politik sebagai
dua urusan yang terpisah satu dengan lainnnya. Tidak ada dialog karena dua hal
itu sesuatu yang terpisah secara ketat. Sementara tafsir yang kedua adalah
menjadikan agama serviceable terhadap politik dan kewarganegaraan.33 Poin
yang kedua itu, kata Beiner membangun semacam domestikasi agama, dan ini
30 John A. Titaley, “Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang
Eksklusivisme Agama”, Makalah Disampaikan sebagai studi tematik dalam Sidang Raya XIV Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Wisma Kinasih Caringin Bogor tanggal 1 Desember 2004, 4.
31 Ibid. 32 Ronald Beiner, Civil Religion: A Dialogue in the History of Political Philosophy, (Cambridge University Press, 2011), 413. 33 Ibid., 415-416.
adalah titik tekan dari liberalisme. Ada pemisahan (segregasi) terhadap agama
dan politik, bukan subordinasi.
Rousseau mendeskripsikan gagasan agama sipil sebagai respon dari
sebuah konteks. Maka dari itu ide Rousseau juga harus dipahami sesuai
konteksnya. Jika kita mencermati pemikiran yang berkembang sebelum era
Pencerahan, maka identifikasi seseorang selalu dikaitkan dengan identitas
primordialnya; gereja, ras dan suku. Tetapi setelah pencerahan, mereka seperti
kembali pada dirinya sendiri. Proses individualisasi bergerak cepat. Ikatan
primordial tercerabut. Dalam konteks inilah ide social contract serta agama sipil
Rousseau dipahami. Ia seperti hendak menyambungkan ikatan primordial yang
pudar akibat Pencerahan. Rousseau menyadari pentingnya membangun kohesi
sosial tersebut. Karena manusia tidak mungkin bisa memperjuangkan
kehidupannya secara eksklusif. Bahkan ketika seseorang harus untuk
kepentingan dirinya sendiri pun mereka harus berjejaring. Disini kita bisa
memahami ide Rousseau soal penyerahan sebagian dari hak warganya kepada
kolektifitas atau negara.
Kemunculan wacana civil religion pada masa Rousseau terjadi ketika
negara kehilangan fondasi moral (bisa dikatakan juga basis agama) akibat
proses individualisasi akibat pencerahan itu. Makanya ada “kuasi agama” yang
menggantikan semen agama itu. Sebuah basis moral agama yang dihancurkan
oleh pencerahan.
Dari komentar Rousseau, ada beberapa catatan yang bisa dipetik tentang
diskursus agama sipil ini. Pertama, agama adalah kebutuhan manusia. Kita
memerlukan sesuatu untuk dipercayai, yang menginspirasi iman dan devosi.
Kedua, agama menyediakan rasa untuk bersatu, memiliki dan persaudaraan.
Ketiga, agama dapat memastikan ketaatan atau kepatuhan terhadap kode
perilaku atau moral. Keempat, pada kondisi dimana hadir pluralisme agama,
maka disana muncul bahaya terpecahnya masyarakat. Kelima, agama sipil
merupakan seperangkat kepercayaan dimana semua masyarakat merasa
memerlukan dan memegangnya tanpa bertentangan dengan keyakinannya.
Keenam, pengakuan publik oleh seluruh masyarakat terhadap agama sipil
menciptakan dasar bagi kesatuan masyarakat. Ketujuh, partisipasi bersama oleh
semua masyarakat dalam bangunan agama sipil akan menyebabkan masyarakat
saling mengakui satu dengan yang lain sebagai warga dari sebuah negara
negara, bukan sebagai pengkhianat negara atau orang luar yang kebetulan
bertetangga. Kedelapan, agama sipil didasarkan pada ajaran yang sedikit dan
dapat diterima dengan alasan.
B. Teori Agama sipil Durkheim
Ivan Varga menulis, bahasan mengenai moralitas menempati posisi sentral
dalam pemikiran sosiologi Durkheim.34 Varga menambahkan kalau gagasan
mengenai moralitas itu tercermin dalam apa yang oleh Durkheim disebut
sebagai kesadaran kolektif.35 Karenanya, konstruksi agama sipil dalam
pemikiran Durkheim sangat erat kaitannya dengan apa yang oleh Durkheim
disebut collective consciousness ini.
Tidak seperti Rousseau, Durkheim dalam karyanya tidak menyebut
langsung tentang apa yang dimaksud dari civil religion atau agama sipil. Robert
N. Bellah dalam kata pengantar untuk kumpulan tulisan Durkheim “On Morality
and Society”, yang menyebut Durkheim sebagai teolog agama sipil. Bellah
mengatakan, He was a high priest and theologian of civil religion in the Third
Republic and a prophet calling not only modern France but modern Western
generally to mend its ways in the face of a great social and moral crisis.36
34 Ivan Varga, “Social Morals, the Sacred and State: Regulation in Durkheim’s Sociology”, Social Compass 53(4), 2006, 457
35 Ibid. 36 Emile Durkheim, On Morality and Society: Selected Writings, Robert Bellah (ed), (University of Chicago Press, 1973), x.
Beberapa penulis agama sipil mengaitkan bentuk-bentuk dasar keyakinan
keagamaan seperti yang didedah Durkheim dengan format dasar agama sipil.37
Gagasan Durkheim tentang moralitas, kesadaran kolektif dan kohesi sosial yang
menjadi basis dari teori agama sipil itu tercermin dalam beberapa karyanya
seperti Division of Labour in Society, The Elementary Forms of Religious Life serta
On Morality and Society. Jika Rousseau memunculkan istilah mengenai agama
sipil, Durkheim menemukan dasar yang asasi dari agama sipil tersebut.38
Terkait dengan masyarakat, agama, kata Durkheim sebagaimana dikutip
oleh Swidler dan Mojzes, telah melahirkan banyak sesuatu yang esensial dalam
masyarakat. Kita dapat memantapkan fakta bahwa kategori-kategori
fundamental dari pemikiran dan konsekuensi pengetahuan adalah asal-usul
agama. Dalam perkembangannya, banyak institusi sosial yang besar, lahir dalam
agama.39
Pertama-tama, Durkheim dengan tegas mematahkan argumen dari E.B
Tylor dan Frazer yang mengatakan bahwa masyarakat primitif sepenuhnya
memahami hal yang tertinggi dari kehidupan keberagamaan sebagai sesuatu
yang supernatural.40 Durkheim juga membantah dikotomi bahwa ada
supernatural di satu sisi dan natural di sisi lain. Dikotomi ini hanya ada pada
37 Lihat dalam Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture,
Religion and Politics (Wilfrid Laurier University Press, 2001), Sergej Flere, “The Broken Covenant of Tito’s People: The Problem of Civil Religion in Communist Yugoslavia”, East European Politics and Societies 2007; 21, Seong Hwan CHA, “Korean Civil Religion and Modernity”, Social Compass 2000; 47, John A. Coleman, “Civil Religion” dalam Sociological Analysis, 31. Summer 1970 dan NJ Demerath III, “Civil Society and Civil Religion as Mutually Dependent”, dalam Michele Dillon (ed), Handbook of the Sociology of Religion (Cambridge University Press, 2003).
38 Dalam buku ini ditegaskan oleh Durkheim bahwa format dasar dari agama adalah totemisme. Tentang hal tersebut Durkheim mengatakan, “what is fundamental to totemism is that the people of the clan, and the various beings whose form the totemic emblem represents, are held to be made of the same essence. Once that belief was accepted, the disparate realms were bridged”. Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995), 238.
39 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global Dialogue (Philadelpia: Temple University Press, 2000), 1.
40 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 2006) Second Edition, 88-90.
masyarakat modern dan bukanlah bagian dari sistem kepercayaan masyarakat
primitif.
Dalam Elementary Form, karya yang berusaha untuk melihat bentuk-
bentuk awal dari kepercayaan ini, Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat
memiliki keunikannya tersendiri dalam soal keyakinan. Durkheim
mendefinisikan agama dari sudut pandang ”yang sakral.” Ini berarti ”agama
adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan
dengan suatu yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-
keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral
yang disebut Gereja, dimana semua orang tunduk kepadanya” atau ”sebagai
tempat masyarakat memberikan kesetiaannya”.
Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan karakteristik paling
mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-
elemen ”supernatural” seperti yang telah dikemukakan di atas, melainkan
terletak pada konsep tentang ”yang sakral” dimana keduanya yaitu supernatural
dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim,
seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang
kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara
”yang sakral” (sacred) dan ”yang profan” (profane), yang selama ini dikenal
dengan ”natural” dan ”supernatural.” Durkheim menambahkan bahwa hal-hal
yang bersifat ”sakral” selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa,
yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu
dihormati. Hal-hal yang bersifat ”profan” merupakan bagian keseharian dari
hidup dan bersifat biasa-biasa saja.
Durkheim menuturkan, konsentrasi utama agama terletak pada ”yang
sakral,” karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan
kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh
yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu.
Maka, Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang ”yang sakral” dan ”yang
profan” hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral,
bahwa yang sakral sebagai ”kebaikan” dan yang profan sebagai ”keburukan”.
Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam ”yang
sakral” ataupun ”yang profan”. Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah
menjadi profan dan begitupula sebaliknya, yang profan tidak dapat menjadi yang
“sakral.” Dari definisi ini, konsentrasi utama agama terletak pada hal-hal yang
sakral.
Yang sakral, kata Durkheim, adalah tidak lain dari masyarakat itu sendiri.
Karena masyarakat melibatkan kelompok yang lebih besar dan terkait dengan
kesejahteraan dari komunitas yang besar. Sementara yang profan adalah
masalah-masalah kecil yang mencerminkan kegiatan individu sehari-hari.
Mereka, lanjut Durkheim, memiliki kesadaran bersama (collective consciousness)
dalam sebuah ritual.41 Upacara itu untuk memilah warna kehidupan yang sakral
dari yang profan.
Hemat penulis, inilah filosofi dari apa yang oleh Rousseau disebut sebagai
agama sipil tersebut. Durkheim berpendapat bahwa format dasar dari
kepercayaan itu berasal dari kolektifitas individu yang menyatukan asas
moralnya. Agama disini berperan lebih sebagai ekspresi masyarakat yang
terintegrasi bukan sebagai sumber integrasi masyarakat.
Asosiasi manusia didasarkan atas klan ataupun karena adanya kesamaan
tujuan ataupun kesamaan tradisi yang melakukan penyatuan berdasarkan
substansi moralitas yang dikandung. Mereka menyadari semua itu sebagai
sebuah collective consciousness. Durkheim menyebut kesadaran kolektif itu
hanya akan muncul saat mereka mengalami semacam “collective effervescent”
dimana semua kepentingan-kepentingan individu menyatu dalam sebuah
41 Ibid., 218.
kolektifitas masyarakat.42 Disinilah hakikat dari agama sipil itu bisa ditemukan.
Ada kepentingan bersama yang menjadi kesepakatan dari tiap-tiap anggota
kelompok.
Penulis melihat bahwa dengan model ini, Durkheim hendak
menyambungkan format dasar dari agama dengan integrasi. Jadi bukan lantas
agama yang menghasilkan masyarakat yang terintegrasi, tetapi lebih pada
bahwa fenomena tersebut memiliki kualitas keberimanan. Sekumpulan orang
pada taraf tertentu yang membentuk sebuah masyarakat, secara otomatis akan
melahirkan sebuah agama yang dipeluk secara publik. Dan karena keunikannya
itulah, dengan mengikuti cara berpikir Durkheim, maka tidak ada masyarakat
tanpa agama. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai fakta unitas, tidak
semata-mata kenyataan keagamaan.
Jika dikaitkan dengan tesis agama sipil, maka gagasan Durkheim tentang
agama, bukan tidak mungkin akan menemukan pelbagai kerumitan. Ketika
berbicara soal integrasi, pengalaman unitas serta praktek ritus yang
diekspresikan, maka yang kita baca dari gagasan Durkheim itu adalah praktek
totemik dari masyarakat Arunta. Pengalaman semacam ini, rentan ketika
dihadapkan pada klaim generalisasi. Apakah gagasan agama Durkheim seperti
yang muncul dalam Elementary Form itu merupakan suatu yang universal atau
tidak.
Menurut Hammond, interpretasi umum terhadap tesis Durkheim bahwa
sebuah masyarakat akan terintegrasi sebanding dengan tingkat sejauhmana ia
memiliki sebuah agama umum, didasarkan pada dua kekuatan.43 Pertama, istilah
utama dalam tesis itu dibalik, sehingga suatu masyarakat terintegrasi, ekspresi
integrasinya akan berlangsung sedemikian rupa sehingga bisa kita sebut agama.
Kedua, karena konflik jelas membahayakan integrasi sosial, maka resolusi
42 Ibid., 238.
43 Phillip Hammond, Varieties of Civil Religion (San Fransisco: Harper & Row, 1980).
konflik berlangsung kemungkinan merupakan sebuah peristiwa yang
mengekspresikan agama ini.
Dalam diskursus agama sipil, ketika konflik terjadi, maka gereja tidak dapat
menyelesaikan konflik antar gereja misalnya. Disini, diperlukan institusi hukum
untuk menyelesaikannya. Institusi hukum memiliki peran dalam perkembangan
agama sipil.
C. Perbandingan Rousseau dan Durkheim
Konstruksi awal dari agama sipil baik Rousseau maupun Durkheim
sesungguhnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
kemasyarakatan. Rousseau mencoba mengajukan agama sipil sebagai cara untuk
membangun masyarakat ideal sementara Durkheim melihat kualitas keagamaan
dalam satu masyarakat.
Bagi Rousseau, agama sipil dikonstruksi secara top-down sebagai sumber
artifisial dari civic virtue.44 Durkheim, berbeda dari Rousseau melihat agama
sipil sebagai gerak sebaliknya yakni suatu pengalaman sosial yang dalam.45
Perbedaan kesimpulan yang dihasilkan oleh keduanya bisa dimengerti karena
Rousseau dan Durkheim berangkat dari dua latar belakang keilmuan yang
berbeda. Dalam Social Contract, Rousseau mengelaborasi banyak tema terkait
dengan struktur dan infrastruktur sebuah negara. Sebagai seorang yang bergelut
dengan tradisi filsafat politik abad pencerahan, Rousseau mengetengahkan tema
agama sipil dalam relasinya dengan struktur negara dan pemerintahan.
Kegelisahan Rousseau ketika mengkritik tiga model agama yang disinggungnya
dalam Social Contract adalah karena ketiganya tidak mampu memberikan solusi
kepada rakyat di sebuah negara untuk menjadi warga negara dan warga agama
yang baik.
44 N.J. Demerath III dan Rhys H. Williams, “Civil Religion in Uncivil Society”, ANNALS,
AAPSS, 480, July 1985, 156. 45 Ibid.
Bagi Durkheim, dasar yang paling hakiki dari agama sipil bukanlah dalam
kaitannya dengan negara.46 Sebagai sosiolog fungsionalis, Durkheim mengamati
momentum yang jauh lebih mengakar dari masyarakat yakni soal kesadaran
kolektif. Setelah melakukan studi terhadap bentuk-bentuk dasar dari kehidupan
keagamaan dengan mengambil sampel Suku Aborigin di Australia, Durkheim
sampai pada satu konklusi; jika agama diberikan kepada semua sebagai suatu
yang esensial dalam masyarakat, maka itu karena ide masyarakat adalah jiwa
dari agama.47 Kohesi sosial merupakan tema utama dalam perbincangan itu.
Meski Durkheim tidak berbicara dalam konteks yang luas dalam menelaah dasar
dari agama, namun Durkheim tentu saja tidak menegasikan kemungkinan
hadirnya masyarakat yang lebih luas dari Suku Aborigin. Penekanannya
terhadap komponen sebuah masyarakat yang percaya terhadap afeksi dari
kolektifitas yang dikembangkan melalui sentimen dan ritual keagamaan. Bagi
Durkheim, setiap kelompok, atau lebih tepatnya setiap masyarakat memliki
dimensi keagamaan.48
Rousseau membangun teori agama sipil sebagai bagian dari momen
politik-kenegaraan, sementara Durkheim (dalam Elementary Form) menimbang
gagasan elementer dari agama sipil sebagai suatu kesadaran bersama dalam
masyarakat. Jika kesadaran masyarakat menjadi sentrum, maka berdasarkan
dua konstruksi awal agama sipil, penulis menyimpulkan ada dua bangunan teori
mengenai agama sipil.
Pertama adalah teori sentrifugal dimana konstruksi agama sipil bergerak
menuju pusat, dari masyarakat menuju idealitas bernegara seperti yang
digambarkan Rousseau. Kedua, teori sentripetal yakni kesadaran kolektif, civic
morals, sebagai poros dari pandangan tersebut dengan merujuk pada pandangan
46 Bandingkan dengan Ivan Varga, “Social Morals, the Sacred and State…
47 Emile Durkheim, The Elementary Forms. . .419. 48 John A. Coleman, “Civil Religion” . . .69.
Durkheim. Gambaran tentang bagaimana gabungan dari dua konsepsi teoritik ini
bisa kita dapati dalam paparan Bellah tentang agama sipil di Amerika.
Agama Sipil Amerika: Robert N. Bellah
Tak dapat disangkal, diskursus agama sipil menemukan momentumnya
ketika Robert N. Bellah menulis risalah yang berjudul Civil Religion in America.49
Bellah menelaah dasar kehidupan masyarakat Amerika dimana perkembangan
kehidupannya tidak lepas dari hadirnya ”momen bersama” yang olehnya dikenal
sebagai agama sipil. Dilihat dari waktu keluarnya gagasan tersebut, bisa
ditegaskan di sini, kalau tema itu lahir tidak lama setelah pembunuhan Presiden
John F. Kennedy.
Menurut Bellah, agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang
terekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.50 Dimensi
keagamaan itu ada dalam kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya
terhadap pengalaman sejarahnya dalam pancaran realitas transenden.51
Dalam masyarakat Amerika, agama memiliki kedudukan yang cukup
penting. Orang Amerika mendonasikan uang dan waktunya untuk institusi
keagamaan.52 Lebih dari 40 persen, bangsa Amerika mendatangi pelayanan
ibadah setiap minggu dan 60 persen dari mereka merupakan anggota dari
49 Robert N. Bellah, “Civil Religion in America”, Daedalus 96, 1967, 1-22. Reprinted in Robert Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World (University of California Press, 1980), 168-189. 50 Robert N. Bellah, Beyond Belief… 171. 51 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (University of Chicago Press, 1992), 3. Bandingkan dengan definisi John A. Coleman tentang agama sipil. Menurut Coleman, civil religion is the mystic chord of communal memory which ties together both a nation’s citizenry and the episodes of its history into a meaningful identity by using significant national beliefs, events, persons, places, or documents to serve as symbolic repositories of the special vocational significance of the nation-state in the light of a more ultimate or transcendent bar of judgment: ethical ideals, humanity, world history, being, the universe or God. John Coleman, An American Strategic Theology (New York: Paulist Press, 1982), 109. 52 Robert N. Bellah et.al., Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life (Harper and Rows Publishers, 1986), 219, 63.
perkumpulan keagamaan.53 David Leege menulis bahwa sekitar tiga per lima
atau tiga per empat dari warga Amerika merupakan bagian dari gereja-gereja,
sinagog-sinagog atau perkumpulan keagamaan lainnya. Leege menambahkan
jika 82 hingga 93 persen dari warga Amerika dewasa bersedia untuk
menggunakan identitas agama mereka.
Tak hanya berfungsi sebagai afinitas, agama merupakan sesuatu yang
dijalankan baik secara privat maupun publik. Mereka yang hadir dalam pelbagai
kegiatan keagamaan seperti menghadiri ceramah keagamaan, justru lebih
banyak dibanding dengan warga Amerika yang menonton program keagamaan
di televisi dan mendengarkan acara-acara keagamaan di radio.
Dalam situasi keduniawian, gereja menanamkan berbagai keyakinan dan
membentuk pandangan dunia. Gereja membangun struktur-struktur
pemahaman, yakni pelbagai cara menghadapi teka-teki kehidupan serta
menawarkan berbagai norma-norma sosial. Gereja juga membangun asumsi
yang berbeda menyangkut kebaikan maupun kejahatan yang melekat pada diri
manusia, merumuskan pemikiran-pemikiran bagi desain dan tujuan sistem-
sistem politik, serta membangkitkan harapan akhir zaman.
Kaitannya dengan latar belakang etnis atau kedaerahan, kasus di Amerika
kerapkali menunjukkan fakta kalau institusi keagamaan seringkali menutupi
latar belakang etnis atau kedaerahan. Bagi sebagian besar warga Amerika
Serikat, secara historis, politik mendahului agama. Sebagai contoh, mereka yang
berasal dari Irlandia, Italia atau Polandia beragama Katolik. Jika berasal dari
Saxony, Hanover atau Skandinavia, mereka beragama Lutheran. Jika mereka
tumbuh di Utah atau Great Basin, mereka beragama Mormon, atau jika mereka
tinggal di Deep South, mereka beragama Baptis Southern. Prinsipnya, segala
53 Ibid.
sesuatu di sekitar, tertata dan dengan serasi tersimpulkan oleh suatu afiliasi
keagamaan.54
Disinilah pentingnya memahami agama dalam politik Amerika. Jika semua
politik bersifat lokal, jelas banyak agama bersifat lokal. Kekhawatiran sempat
muncul pada awal tahun 1980-an ketika para pemuka agama melihat
perkembangan ”gereja elektronik” yang bukan mustahil akan menggantikan
perkumpulan keagamaan yang bersifat lokal.55 Tetapi ternyata kekhawatiran itu
tidak terbukti, karena yang terjadi adalah efek siaran keagaman di televisi tidak
bersifat substitusi, tetapi kumulatif.
Budaya keagamaan Amerika bisa dilihat laiknya sebuah pasar. Di tempat
mana pun, seseorang yang merasa terpanggil oleh Roh Kudus bisa mendirikan
sebuah rumah untuk kebaktian dan layanan-layanan lainnya. Konsensus agama
yang menggerakan lembaga akademis besar sampai akhir abad ke-19 mencair
dari pemaknaan ulang mereka sendiri yang sekuler, dipengaruhi oleh
munculnya institusi negara, kebutuhan nasional baru dan hadirnya lebih banyak
lagi kaum Katolik, Yahudi dan Non Katolik atau Kristen di kalangan guru besar
dan mahasiswa.56 Agama kemudian menjadi tema yang sangat membosankan
yang ditelaah sebagai sebentuk keingintahuan akan masa silam yang
tersingkirkan. Berakar pada takhayul dan tribalisme, agama diperkirakan akan
tergerus oleh dahsyatnya sekularisasi.
Tetapi, sekularisasi ternyata tidak membuat agama benar-benar hilang dari
peredaran. Minat yang terhadap studi agama dan politik justru semakin
menunjukkan gejala yang masif. Kebangkitan minat tersebut muncul melalui (1)
kesadaran bahwa zaman keemasan tidak datang melalui kolaborasi negara dan
universitas (2) kekecewaan terhadap gagasan bahwa Roh Ilahi berkembang
54 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor in American Politics, terj. Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi, “Agama dalam Politik Amerika” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Freedom Institute, 2006), 5. 55 Ibid., 5. 56 Ibid., 7.
dalam berbagai perang imperialistis dan program sosial yang bermaksud baik.
(3) pengakuan bahwa masyarakat umum Amerika tidak pernah melakukan
sekularisasi. (4) pelembagaan kembali program-program studi agama di
kampus-kampus negeri dan swasta (5) pengakuan bahwa dalam masyarakat
dengan budaya yang beragam, agama bisa menjadi kekuatan yang menyatukan
dan memecah belah dan karena itu orang ingin tahu hal tersebut.57
Bagi generasi awal intelektual politik Amerika, mempelajari agama
merupakan suatu yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian, keyakinan
Protestan arus utama sangat tertanam dalam budaya yang mendalam dari ilmu
sosial pada zaman itu. Selain itu, memberikan banyak kepercayaan pada agama
dalam interpretasi-interpretasi politik dianggap membahayakan struktur
masyarakat. Agama kemudian menjadi faktor pembela manusia. Politisi-politisi
memiliki andil atas kebodohan rakyat dengan menggunakan metafor-metafor
keagamaan dalam kampanye mereka. Sebuah bangsa yang sangat beragam,
sangat heterogen, dapat dipecah belah dengan sangat mendalam oleh agama.
Singkatnya, politik Amerika melibatkan berbagai hubungan simbiosis antara
para elit dan pemilih, tidak hanya menyangkut isu-isu ekonomi, tetapi juga
menyangkut isu-isu yang menghubungkan pandangan-pandangan dunia
keagamaan dan mobilisasi gereja.
Kata Leege, seharusnya ilmuwan sosial tidak perlu terkejut bahwa agama
seperti halnya ekonomi, merupakan suatu kekuatan elektoral yang penting.58
Para teoritikus sosial telah lama menunjuk agama sebagai lem perekat yang
menyatukan masyarakat, memberikan legitimasi atas perubahan sosial dan
mendefinisikan banyak harapan dasar kita menyangkut tatanan politik.
Dalam konteks budaya, agama memenuhi semua fungsi dasar sebuah
budaya dari perspektif kelompok-kelompok dan individu-individu. (1) identitas,
57 Ibid. 58 Ibid., 10
ia mengatakan pada kita siapa kita dan siapa saya. (2) norma-norma, ia
mengatakan bagaimana kita seharusnya bertingkah laku (3) pemeliharaan tapal-
batas, ia mengatakan kepada kita siapa dan perilaku apa yang bukan bagian
kita.59 Namun sangat mungkin agama memiliki arti penting yang lebih besar bagi
pemeluk agama dari sekadar identitas, norma atau batas sosial lainnya karena
dalam agama ada klaim mengenai yang sakral, abadi, penuh dengan makna
puncak dari hidup.
Begitu pentingnya peran agama dalam masyarakat Amerika menghadirkan
pelbagai bentuk pemikiran tentang posisi agama itu sendiri, apakah ia bersifat
privat ataukah publik. Dalam buku Habits of the Heart ditunjukkan beberapa
pandangan umum yang mengemuka dalam menanggapi persoalan ini.60 Ada
sebagian masyarakat Amerika yang memahami agama semata-mata urusan
privat yang harus dijalankan oleh keluarga dan kongregasi lokal. Sementara
yang lain ada yang memahami bahwa agama itu privat di satu sisi, tetapi juga
menjadi sebuah kendaraan utama bagi ekspresi nasional bahkan urusan yang
bersifat global. Meski orang Amerika secara umum menerima doktrin
pemisahan Gereja dan negara, banyak dari mereka percaya, sebagaimana
mereka selalu miliki bahwa agama memiliki peranan penting untuk bermain di
aras publik.
Fenomena bagaimana agama direspon secara beragam oleh masyarakat
Amerika tercermin dalam penegasan hasil penelitian Bellah dan kawan-kawan.
Ia menemukan fakta tentang mereka yang menisbatkan agama dari apa yang ia
pikirkan sendiri tentang agama. Salah satunya adalah Sheila Larson seorang
perawat yang menyebut agamanya sebagai ”Sheilaism”. Itulah salah satu respon
masyarakat Amerika terhadap keyakinan yang dipeluknya.
59 Ibid., 15-16. 60 Ibid.
Dalam sejarah Amerika sendiri, relasi antara bangsa dan agama selalu
berkait dengan dua pandangan yang berkembang dalam masyarakat itu.
Menurut Bellah, dua cara pandang itu masing-masing, Pertama, ide yang berasal
dari gagasan keagamaan: satu masyarakat, satu iman. Kedua, gagasan yang tidak
dikaitkan sama sekali dengan organisasi keagamaan; satu individu, satu iman.61
Fenomena Sheilaisme seperti yang disitir Bellah di atas merupakan salah satu
ekspresi dari fenomena satu individu, satu iman.
Dalam sejarah perkembangan Kekristenan, ketegangan antara agama dan
negara selalu menjadi warna dari rona kesejarahan Kristen itu sendiri. Ide
mengenai pemisahan agama dan negara atau negara yang tidak memberikan
kesempatan pada agama untuk terlibat di dalamnya adalah suatu hal yang
modern dan meragukan.62 Kekristenan sendiri telah dicandra sebagai religious
legitimation bagi kebijakan negara-negara di Barat. Di Amerika, pemisahan
antara agama dan negara tidak memiliki dasar konstitusi.63 Meski begitu,
Kekristenan atau agama lain juga tidak menjadi agama negara.64
Tentang agama sipil, Bellah sendiri menyandarkan paparannya mengenai
hal tersebut pada uraian Rousseau dan Durkheim. Dalam Beyond Belief, Bellah
mengintrodusir gagasan tentang agama sipil di Amerika.65 Dengan sendirinya,
konsep agama sipil Amerika ini, sesungguhnya racikan yang bermula dari para
pemikir Perancis. Bellah mengatakan di Amerika ada sebuah agama sipil yang
tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengan, namun juga
secara jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari Kekristenan. Artinya, agama
sipil Amerika bisa dibedakan dari ”institusi” agama sipil di pelbagai belahan
61 Robert N. Bellah and Frederick E. Grenspahn (eds), Uncivil Religion: Interreligious Hostility in America (New York: Crossroad, 1987), 221
62 Robert N. Bellah, “Religion and the Legitimation of the American Republic”, Society, no. 4, 1978, 16-23, reprinted as afterword in Robert N. Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (The University of Chicago Press, 1975), 169. 63 Ibid., 169. 64 Robert N. Bellah, The Broken Covenant…, 166. 65 Idem., Beyond Belief. . . .
negara lainnya karena di Amerika agama sipil terpisah dari gereja maupun
negara.66
Bellah sendiri memahami bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai
national self-worship, melainkan sebagai bentuk ketundukan bangsa Amerika
pada prinsip-prinsip etika yang melampauinya dan dari sudut mana hal itu
harus dinilai.67 Agama sipil itu sendiri, sejauh pembacaan penulis terhadap
pemikiran Bellah, sebenarnya justru muncul dari pelbagai ekspresi
keberagamaan formal. Semangat keberagamaan itulah yang merupakan bagian
dari apa yang disebut sebagai agama sipil.
Kala menelaah tentang ekspresi dari agama sipil Amerika, Bellah
menemukan fenomena yang unik dalam dua momen, state funeral dan pidato-
pidato Presiden Amerika saat diangkat menjadi kepala negara. Bellah misalnya
mencoba menarasikan pidato pengangkatan John F. Kennedy saat menjadi
presiden Amerika tahun 1961. Kennedy mengucapkan tiga kali kata ”Tuhan”.
Pertama ia mengatakan, ”...karena saya telah menyatakan sumpah di hadapan
Anda sekalian dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, ”...keyakinan bahwa hak-hak
manusia tidak datang dari pemberian negara, tetapi dari tangan Tuhan”. Ketiga,
”...karya Tuhan harus benar-benar menjadi karya kita”.68
Menurut Bellah, kata Tuhan yang diucapkan Kennedy adalah cara yang
dibuat untuk memperlihatkan sisa-sisa posisi agama di Amerika dewasa ini.
Kennedy, ketika mengucapkan kata Tuhan, tentu tidak mengacu kepada Yesus
Kristus atau Musa, atau Gereja Kristen. Dan tentu saja ia juga tidak mengacu
kepada Gereja Katolik.69 Ia hanya mengacu kepada konsep Tuhan, sesuatu yang
bisa diterima oleh hampir semua orang Amerika.70
66 John A Coleman, “Civil Religion”. . . 67-77.
67 Robert N. Bellah, Beyond Belief. . . .170
68 Ibid., 170-171. 69 Ibid. 70 Ibid.
Lalu bagaimana memahami konsep Tuhan yang diekspresikan dalam
sebuah negara yang memantapkan posisinya untuk memisahkan antara agama
dan negara? Bellah menjawab bahwa pemisahan antara agama dan negara itu
tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang politik.71 Meski agama
adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi
keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah bangsa. Dimensi
dari keyakinan bersama itu diekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol
dan ritus yang oleh Bellah disebut sebagai ”American Civil Religion”.72
Bellah juga mengatakan bahwa agama sipil Amerika telah melewati tiga
masa percobaan. Pertama, masa kemerdekaan. Kedua, masa perbudakaan.
Ketiga, situasi yang saat ini tengah dihadapi, dimana Amerika secara militer,
ekonomi, dan budaya memiliki pengaruh yang sangat kuat di dunia.73
Fenomena ketiga cukup mengkhawatirkan Bellah. Baginya, agama sipil
Amerika itu adalah ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etis yang
transendental dan terhadap prinsip-prinsip etis tersebut bangsa itu dinilai.74
Pemikiran seperti ini bisa berimbas pada sikap eksklusif bangsa Amerika.
Makanya, Bellah mengupayakan agar pemikirannya tentang agama sipil ini
dipahami dari satu latar belakang Amerika Serikat yang baru saja keluar sebagai
pemenang dalam Perang Dunia II. Kekhawatiran Bellah adalah Amerikanisme
atau sikap patriotik yang berlebihan bukan mustahil dapat membawa Amerika
ke suatu kehidupan yang mengancam eksistensi bangsa-bangsa lain. Karenanya,
dia mengatakan bahwa agama sipil Amerika tersebut haruslah ditempatkan
dalam perspektif agama sipil dunia supaya mendapatkan maknanya.75
Yang menarik dari perkembangan gagasan Bellah ini adalah adanya
tantangan yang sangat keras terhadap pandangannya itu, terutama dari
71 Ibid. 72 Ibid. 73 Ibid., 176-179.
74 Ibid., 171. 75 Ibid.
lembaga-lembaga keagamaan, sehingga Bellah memutuskan untuk tidak
mengembangkan gagasan tersebut lebih lanjut. Keberatan terutama datang dari
pandangan keagamaan gereja-gereja di Amerika yang eksklusif.76
Melihat paparan Bellah atas agama sipil, maka gagasan tersebut tidak
hanya perlu dilihat dari konteks internal Amerika yang pluralistik, tetapi juga
harus dilihat dari konteks Amerika sebagai salah satu peradaban yang
memberikan pengaruh cukup luas terhadap masyarakat dunia. Americanism
ditambah dengan wawasan teologi yang triumfalistik, sangat potensial
menciptakan kekuatan primordial Amerika yang bukan tidak mungkin
dijustifikasi secara teologis, karena mereka menganggap Amerika sebagai New
Jerusalem. Disitulah Bellah bermaksud untuk menyerukan agar agama sipil
Amerika harus ditempatkan dalam konstelasi ideologi dunia.
Salah satu teoritikus politik yang mencoba mengingatkan bahaya dari ide
agama sipil ini adalah David C. Leege. Pertama-tama, Leege mengidentifikasi
agama sipil atau civil religion di Amerika sebagai percampuran nilai-nilai agama
dan anti agama dari konflik yang inheren diantara keduanya.77 Karena budaya
harus menawarkan dasar ideologis yang lebih stabil, lebih halus bagi sebuah
komunitas politik, maka membangun mitos tampaknya adalah sebuah
keniscayaan. Disinilah agama memegang peranan yang cukup penting. 78
Mitos keagamaan tersebut salah satunya dibangun untuk memperkuat
posisi Deklarasi Kemerdekaan.79 Dalam konteks ini, Bellah menegaskan bahwa
dengan menggunakan kata mitos, bukan berarti bahwa cerita itu tidak benar.80
Mitos tidak mencoba menggambarkan realitas, karena itu tugas ilmuwan. Mitos
berupaya mencari realitas transfigur yang menyediakan makna moral dan
spiritual untuk individu dan masyarakat. 76 John A. Titaley, “Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia. . .4-5. 77 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor . . . 19. 78 Ibid.
79 Robert N. Bellah, The Broken Covenant…, 3. 80 Ibid.
Merupakan suatu kewajiban sebuah bangsa untuk memberikan loyalitas
kepada pemerintah mereka, sebuah kewajiban yang dibebankan oleh Tuhan.81
Namun, adalah kewajiban penguasa untuk memerintah secara adil, kewajiban
yang juga dibebankan oleh Tuhan. Ketika penguasa melanggar kepercayaan
tersebut, orang-orang harus memberontak, bukan bagi diri mereka, tetapi demi
Tuhan.82 Logika inilah yang digunakan untuk mendukung Deklarasi
Kemerdekaan dan juga pembangkangan sipil serta banyak perang moral dalam
sejarah politik Amerika. Bangsa Amerika, karenanya lahir dalam wadah
kewajiban agama. Dengan cepat, tujuan nasionalnya dilekatkan dengan
motivasi-motivasi keagamaan. Monumen-monumennya menjadi tempat ibadah,
koin-koin dan sumpah-sumpahnya memanggil ilahi, lagu-lagu kebangsaannya
menjadi lagu agama, hari-hari libur nasionalnya memenuhi langit dengan
ledakan cahaya dan sambaran petir.83 Tetapi warganya mungkin merupakan
orang bebal yang saleh yang ditipu oleh penguasa yang memanipulasi agama
sipil.
Gagasan-gagasan Amerika tentang pemerintahan sendiri, demokrasi,
kebebasan pemerintahan yang terbatas, semuanya dimasukkan dalam tujuan
spiritual. Agama sipil sebagai satu tujuan spiritual memperlihatkan dirinya
dalam takdir yang terejawantah, dalam emansipasi, dalam beban orang kulit
putih, dan bentuk lain dari imperialisme keagamaan dan ekonomi, dalam perang
untuk membuat dunia aman bagi demokrasi, dalam United Nations dan dalam
perang dingin melawan kekaisaran setan.
Mengutip pandangan Robert N. Bellah agama sipil dalam budaya politik
Amerika mempunyai fungsi-fungsi kependetaan maupun profetik. Fungsi
kependetaan membuat kebijakan Amerika bermandikan rahmat Ilahi dan
memobilisasi loyalitas rakyat melalui tujuan-tujuan transenden. Fungsi profetik
81 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor. . .20. 82 Ibid. 83 Ibid.
menugaskan para pemimpin dan kebijakan-kebijakan yang gagal untuk berjalan
sesuai dengan suatu tujuan ilahiah bagi bangsa Amerika.
Meski begitu, agama sipil, kata Leege mengutip Wald, seperti bermain
dengan api para dewa. Ia bisa menghasilkan sesuatu yang baik dan buruk seperti
(1) ia bisa memuliakan sebuah bangsa dengan memicu naluri-naluri dermawan
dan komitmen pada prinsip-prinsip bangsa. (2) ia bisa mengarah pada pemujaan
berlebihan terhadap negara (3) ia bisa menghalangi skeptisisme dan kritik diri
yang diperlukan bagi politik demokratis. (4) ia bisa menetapkan standar-standar
yang kaku dan fleksibel sehingga sulit untuk membangun kompromi.84
Leege sepertinya tidak memiliki optimisme pada diskursus agama sipil
ini.85 Bagi Leege, agama sipil merupakan kekuatan pemotivasi yang paling
berbahaya dalam perilaku manusia. Hal itu terjadi karena agama merupakan
memori kolektif dan politik merupakan tindakan kolektif.86 Keduanya adalah
sumber identitas, norma-norma, dan batas-batas. Ketika mereka menjadi hampir
tidak dapat dibedakan dalam sebuah budaya politik, yakni ketika politik menjadi
bersifat penyelamatan dan agama semata-mata menjadi instrumen negara,
lahirlah kemudian sistem totaliter yang paling represif.
Bagi para teoritikus sosial, agama diperlakukan sebagai sumber stabilitas
politik. Glock, seperti dikutip Leege mengatakan bahwa semua organisasi sosial
melibatkan bentuk-bentuk hierarkhis.87 Keyakinan-keyakinan keagamaan
secara khas digunakan untuk menjamin ketidakadilan hierarkis. Menurut Glock,
keyakinan-keyakinan yang menjamin biasanya mengatur atau mengandaikan
mekanisme-mekanisme kontrol sosial seperti sanksi, kompensasi dan ideologi.88
84 Ibid., 21.
85 Ibid., 22. 86 Ibid.
87 Ibid. 88 Charles Glock, “Images of ‘God’, Images of Man, and the Organization of Social Life”, Journal for the Scientific Study of Religion 11: 1-15.
Sanksi berkisar mulai dari instrumen-instrumen yang diinternalisasi
seperti kebiasaan dan adat istiadat, hingga instrumen-instrumen eksternal,
seperti hukum dan paksaan. Pada masa stabilitas politik, adat istiadat cukup
untuk memelihara hierarki, hukum menyelesaikan pertikaian antara pihak-
pihak yang berkepentingan dan kekuatan paksaan yang menghukum
pembangkan dan menimbulkan ketakutan pada calon pemberontak.89
Kompensasi mencakup sejumlah besar lembaga dan praktik yang
mengalihkan perhatian orang dari kondisi mereka sekarang ini ke kondisi
eksistensi yang lain. Mereka dapat meliputi kerinduan religius pada dunia lain,
apa yang dicap oleh Marx agama sebagai candu masyarakat.90 Sesuai dengan
sifatnya, sebagian besar agama menyediakan kompensasi akhir, jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh wacana ilmiah,
yakni tentang hidup, kematian dan keabadian.
Ideologi adalah hal yang paling signifikan ketika terjadi perubahan sosial.91
Ideologi adalah suatu visi, suatu gambaran verbal tentang masyarakat yang baik
dan sarana-sarana utama untuk mencapainya. Ideologi tidak memihak status
quo, tetapi instrumen perubahan. Kaitannya dengan agama, menurut Alexis De
Tocqueville, di Amerika Serikat agama menopang kebiasaan-kebiasaan baku
rakyatnya. Agama tidak akan pernah bergabung dengan negara, tidak pernah
menjadi dominan secara politik melalui kelompok keagamaan tunggal dan tidak
pernah merasionalisasi gerakan-gerakan politik yang bisa mengklaim sebagai
satu-satunya kebenaran.92 Kebenaran tidak tercakup dalam lembaga-lembaga
politik; ia tidak akan pernah ditemukan dalam Kerajaan Tuhan di muka bumi.
89 Ibid. Lihat juga David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious
Factor. . .22-23. 90 Ibid., 23-24.
91 Ibid., 25. 92 Alexis De Tocqueville, Democracy in America, Vol I (New York: Vintage Book, 1990), 305.
Sebaliknya kebenaran selalu berada di luar pemahaman, dalam prinsip-prinsip
keagamaan yang transenden.
Konsepsi tentang agama sejatinya membentuk sebuah ideologi perjuangan
politik. Penafsiran atas agama menjadi cetak biru, sebuah ideologi, yang
menempa konsensus pada saat perubahan yang besar. Dengan tegas,
Tocqueville menuturkan kalau di Amerika semangat keagamaan terus menerus
didorong oleh tugas-tugas patriotis.93 Tocqueville menunjukkan fenomena itu
dengan mengatakan, These men do not act exclusively from a consideration of a
future life; eternity; eternity is only one motive of their devotion to the cause it.94
Tema penting yang perlu dijelaskan dalam kaitannya memahami agama
dan politik dalam teori sosial adalah hipotesis masyarakat massa dan argumen
bahwa agama adalah lembaga mediasi yang bisa melindungi warga dari negara
modern yang kuat. Ia mempunyai relevansi khusus bagi budaya politik dan
agama Amerika. Budaya politik masih memiliki harapan karena kekuasaan yang
berdaulat belum menghancurkan lembaga-lembaga mediasi. Lembaga mediasi
yang kritis dilihatnya dalam (1) struktur sistem politik itu sendiri (2) asosiasi-
asosiasi sukarela (3) agama.
Sistem politik Amerika yang terdesentralisasi menyebabkan kekuatan
politik tersebar melalui sistem pemerintah kota. Kekuasaan tidak dapat dengan
mudah memusat selama pemerintah lokal masih tetap penting. Asosiasi sukarela
ada dimana-mana; ketika sebuah persoalan muncul di luar kemampuan sendiri,
rakyat akan bergotong-royong memecahkannya dan bukannya secara langsung
menyerahkan kepada pemerintah. Dan agama, pada akhirnya menjadi faktor
utama dalam perjuangan untuk mencegah kesetaraan menjadi despotisme.
Agama dalam versi Amerika memperlakukan keabadian sebagai suatu
motif, tetapi pada dasarnya agama memusatkan perhatiannya pada bagaimana
93 Ibid., 306.
94 Ibid.
menjalani hidup sehari-hari sesuai dengan ajaran Tuhan.95 Agama yang sejati,
menurut Tocqueville mengharuskan ketaatan semua kelas warga negara pada
dogma.96 Dalam hal itu agama merupakan penyeragam dan pemersatu. Karena
agama, sebagaimana yang dipahami tidak mengompromikan nilai-nilai
spiritualnya, bagaimana ia hidup selaras dengan Tuhan dan umat manusia, ia
kurang memerhatikan kondisi-kondisi material yang spesifik. Agama harus tetap
relevan bagi manusia namun tidak boleh kehilangan transendensinya.
Dalam sebuah masyarakat yang plural, maka agama, demikian tulis Leege
memiliki peran sebagai lembaga mediasi.97 Peran ini penting untuk dijelaskan
dalam kaitannya untuk memahami agama dan politik dalam teori sosial. Ia bisa
melindungi warga dari negara modern yang kuat. Dalam situasi tersebut,
penting untuk menjaga sebisa mungkin agar agama harus mengambil jarak dari
negara, mendorong loyalitas terbatas pada negara, tetapi tetap memelihara hak
untuk menghakimi.98 Dalam kehidupan bernegara, agama tidak akan pernah
menggantikan hukum sipil karena dengan melakukan hal demikian, ia menjadi
duniawi dan sementara, hukum bersumber dari kedaulatan rakyat, tetapi
keadilan bersumber dari kedaulatan manusia dan Sang Pencipta.99 Hukum
keadilan yang semakin tinggi merupakan suatu pelindung dari tirani.
Leege sepertinya tengah menebar optimisme pada gereja sebagai lembaga
mediasi, terutama dari ancaman totalitarianisme.100 Untuk mendukung
argumentasinya tersebut, Leege memaparkan bahwa lembaga mediasi
diperlukan untuk (1) melindungi individu dari sebuah negara yang sangat
berkuasa sekalipun baik hati. (2) menyediakan pelayanan-pelayanan yang
membuat ketergantungan pada birokrasi negara menjadi kurang perlu (3)
95 Ibid., 311.
96 Ibid. 97 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt (ed), Rediscoveringthe Religious Factor. . ., 31. 98 Ibid. 99 Ibid.
100 Ibid., 32
menjadi pusat-pusat identitas yang menyaingi atau melampaui loyalitas negara-
bangsa. (4) memelihara kriteria moral untuk menilai kinerja negara. Dan tidak
ada lembaga yang terkondisikan secara baik untuk memerankan fungsi ini
kecuali agama, khususnya gereja-gereja lokal.101
Dengan menjadi lembaga mediasi, maka anggota gereja memiliki lima
keterampilan esensial dari kewarganegaraan aktif. Pertama, keterampilan sosial
dalam memimpin, mendengarkan dan memediasi. Kedua, kesadaran akan isu
publik dari perspektif moral. Ketiga, dorongan untuk bergabung dengan
kegiatan lain untuk perbaikan sipil dan masyarakat. Keempat, sebuah keyakinan
bahwa ada sifat sakral pada kewajiban sosial yang melampaui kepentingan diri
sendiri. Kelima, penghargaan diri yang berasal dari tugas publik.102
Diluar perdebatan tentang gagasan ini, Bellah menekankan kalau agama
sipil Amerika sekarang seperti berada dalam kehampaan. Ini terjadi karena
dalam republikanisme, kovenan eksternal saja tidak cukup. Kovenan tersebut
tidak hanya dipatuhi, tetapi harus juga dicintai oleh mereka yang
menjalankannya. Bellah menyatakan, the external covenant must become an
internal covenant and many times in our history that has happened.103 Namun,
kovenan internal tidak dapat dilengkapi hanya melalui institusi, itu adalah
semangat dan memiliki ritmenya sendiri.
Tidak hanya di Amerika, fenomena perkembangan agama sipil juga bisa
dilihat di Italia, Meksiko dan Jepang dan mungkin juga model itu ada di
Indonesia. Bellah dan Phillip E. Hammond memaparkan hal itu dalam ”Varieties
of Civil Religion”.104
Menurut Hammond, perkembangan agama sipil di pelbagai negara itu
paling tidak dilatari oleh tiga alasan. Pertama, kondisi pluralisme keagamaan 101 Ibid., 35
102 Ibid., 35. 103 Robert N. Bellah, The Broken Covenant…, 142. 104 Khusus untuk perkembangan Agama sipil bisa dilihat dalam Robert N. Bellah dan Phillip E.Hammond, Varieties of Civil Religion (San Fransisco: Harper & Row, 1980), 27-180.
tidak memungkinkan bagi salah satu agama untuk digunakan oleh seluruh
agama sebagai sumber makna yang bersifat general dan berlaku bagi setiap
individu yang berlatar belakang identitas berbeda tersebut. Tetapi kedua,
masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk melekatkan sebuah makna
dalam aktifitasnya, khususnya ketika aktifitas itu berkaitan dengan individu
yang berangkat dari latar belakang keagamaan yang beragam. Karenanya, ketiga,
diperlukan sistem makna pengganti dan jika telah ditemukan, aktifitas mereka
dapat difasilitasi oleh sistem tersebut, oleh sebab itu kemudian mereka
cenderung mengagungkan sistem itu.105
Jika dilihat dari konteksnya, gagasan Bellah tentang civil religion itu harus
ditempatkan dalam konteks masyarakat imigran di tahun 1600an. Gelombang
besar perpindahan penduduk terjadi dari Eropa ke Amerika Utara. Alasan untuk
mencari kebebasan agama dan politik adalah salah satunya. Di Inggris, abad 16-
17 muncul gejolak saat ada tuntutan dari kelompok Puritan yang ingin
merombak tatanan Gereja resmi Inggris dari dalam.106 Pada dasarnya mereka
menghendaki semacam puritanisme yang lebih luas terhadap gereja nasional,
menyederhanakan sistem keyakinan serta tata ibadah. Gagasan kelompok
puritan ini dianggap membahayakan keutuhan negara, ancaman yang potensial
memecah belah rakyat dan pasti merongrong wibawa Raja.107
Ketika Raja James I memerintah (dari 1603-1625), banyak dari kelompok
Separatis ini yang akhirnya keluar dari Inggris karena merasa tidak mungkin
melakukan perubahan dogma seperti yang mereka kehendaki.108 Mereka
berangkat ke Leiden, Belanda agar bisa beribadah menurut cara yang
diyakininya. Beberapa bagian kecil dari mereka akhirnya memutuskan pergi
105 Phillip Hammond, “The Rudimentary Forms of Civil Religion”, dalam Ibid., 121-122.
106 Keith W. Olson, et.al., An Outline of American History, (United States Information Agency, 1990), 4. 107 Ibid. 108 Ibid.
dari Belanda dan sampai di tanah baru, Plymouth tahun 1620.109 Situasi tak
kunjung membaik bagi nasib kelompok Puritan di Inggris. Saat Raja Charles I
naik tahta tahun 1625, pembatasan khotbah terhadap pendeta Puritan semakin
kuat. Mereka akhirnya juga berlayar ke Amerika pada tahun 1630.110
Selain kelompok Puritan, datang juga di kelompok lain di Amerika yang
berpindah karena alasan agama. William Penn dari aliran Quaker juga datang ke
Amerika karena di Inggris mereka tidak mendapatkan ruang untuk
mengekspresikan keyakinan keagamaannya.111 Penn kemudian mendirikan
koloni di Pennsylvania.
Melihat sejarah awal Amerika tampak bahwa kebebasan beragama adalah
salah satu motivasi yang mendorong mereka untuk berhijrah. Pendefinisian
awal mereka soal kolektifitas adalah agama. Makanya koloni-koloni awal mereka
adalah kelompok Puritan, Quacker, Mennonite dan lainnya. Meski begitu yang
perlu diingat, apapun varian Kekristenan di Amerika, Tuhannya itu ada dalam
konsep Christendom. Tentu saja ini karena dilatari kelompok-kelompok tersebut
yang anti Established Church di Inggris. Sehingga kemerdekaan yang mereka cari
adalah kebebasan beragama. Definisi Tuhannya unified. Sehingga agama menjadi
pendefinisi komunitas-komunitas di Amerika. Ide sekularisme dimaksudkan
sebagai cara untuk mengamankan cita-cita agama. Dalam konteks inilah kita
memahami ide agama sipilnya Bellah.
Elaborasi Robert Bellah tentang agama sipil ada dalam konteks
kesejarahan Amerika yang menjadi tempat dimana kolektifitasnya bersumber
dari agama, lebih spesifik lagi Kekristenan. Agama sipil tumbuh dari agama
sebagai sumber moralitasnya. Tidak ada pasokan lain untuk moralitas selain
agama. Relatif homogen, karena meskipun banyak varian, tetapi tetap dalam
satu Kekristenan.
109 Ibid. 110 Ibid. 111 Ibid.
Agama sipil Pasca Bellah: Shank dan Coleman
Jika di Amerika ide agama sipil dikaitkan dengan patriotisme, maka John A.
Coleman berupaya mendorong dan mencari kontribusi ini untuk membangun
teologi pembebasan di Amerika Latin. Pengalaman Amerika, hemat Coleman
bisa diambil untuk membangun formulasi agama sipil Amerika Latin baru untuk
masyarakat yang berkeadilan.112 Dengan tegas, Coleman mengatakan bahwa di
Amerika Latin, teologi pembebasan itu adalah model dari apa yang disebut
sebagai agama sipil.
Gagasan agama sipil lain dipaparkan Andrew Shank dalam ”Civil
Religion”.113 Dalam karyanya tersebut, Shank menyinggung tentang apa yang
disebut sebagai civil theology. Teologi model ini adalah sejenis pemikiran, yang
dalam budaya Kristen muncul dari sejarah teologi konfesional Kristen. Menurut
Shank, agama sipil menjadi disiplin ilmu yang bertujuan untuk menyembuhkan
memori-memori yang terpecah belah sehingga mampu membuka kemungkinan
ditempanya ikatan-ikatan solidaritas baru.114
Yang menarik dari paparan Shank hemat penulis adalah karena ia mencoba
mengaplikasikan konsep ini tidak hanya dalam kategori manusia beragama.
Shank mengatakan bahwa agama sipil mampu menghasilkan ikatan solidaritas,
dimana agama sipil membantu memunculkan sekaligus merayakannya adalah
solidaritas yang melampaui pembedaan antara orang beriman dan tidak
beriman, teis dan ateis.115
Sebagai inti dari agama sipil, teologi sipil harusnya berbeda dari teologi
konfesional dalam hal cara yang digunakan untuk kembali menuju tahap pra
112 John Coleman, An American Strategic Theology. . ., 125. 113 Andrew Shank, Civil Society Civil Religion (Oxford: Blackwell Publishers, 1995).
114 Ibid., 4. 115 Ibid.
teologi.116 Atau ia adalah hierologi, sebuah studi mengenai kesucian yang benar,
yang didalamnya pertanyaan-pertanyaan teologi dibiarkan terkurung.117 Dengan
demikian, pelaku dari perdebatan ini terbuka bagi siapapun bagi semua tradisi
agama maupun anti agama. Teologi sipil, ujar Shank, berada pada wilayah
tengah antara teologi konfesional dan hierologi sipil.118
Yang penting, menurut Shank, dalam membicarakan teologi sipil adalah
ketidakharusannya berkonflik dengan teologi konfesional. Akan menjadi konflik
jika teologi konfesional mengklaim akses eksklusif menuju kebenaran. Begitu
juga jika teologi sipil menuduh iman konfesional akan memproduk orang-orang
yang tidak baik. Teologi konfesional tidak harus membuat klaim seperti itu dan
tidak harus menghasilkan manusia-manusia jahat.119
Jika Shank mengaitkan agama sipil dengan teologi sipil yang bahkan
mengakomodir non-believers, John A. Coleman berusaha memetakan beberapa
model agama sipil di pelbagai belahan dunia.120 Menurut Coleman, setidaknya
ada tiga tipe agama sipil. Pertama, continued undifferentiation (kejumbuhan
berkelanjutan). Model ini adalah bentuk agama sipil yang memiliki sifat,
karakter serta fungsi yang sama dengan institusi yang ada dalam masyarakat itu
sendiri (baik agama konvensional maupun negara). Agama sipil tipe continued
undifferentiation ini memiliki dua model.
Model pertama yakni, agama sipil yang disponsori oleh gereja (church-
sponsored). Dalam tipe ini agama yang dianut oleh kebanyakan warga negara
merasa dapat mengembangkan simbol-simbol dan nilai-nilai keagamaannya
sebagai kebutuhan dan tujuan kehidupan negara, sehingga agama tersebut bisa
menjadi petunjuk juga bagi kehidupan sipil. Definisi agama sipil seperti ini
sejatinya adalah bentuk sederhana dari deism. 116 Ibid. 117 Ibid.
118 Ibid. 119 Ibid.
120 John A Coleman, “Civil Religion” . . ., 76-77.
Ada tiga masalah yang muncul bila agama sipil dengan model seperti ini
dikembangkan dalam sebuah masyarakat. Masalah utama adalah soal kebebasan
beragama dan sipil dari kelompok minoritas seperti Kekristenan di Srilangka.
Problem berikutnya adalah soal kesetiaan terhadap negara. Bagi mereka yang
menganut agama di luar agama resmi negara, maka penganut agama minoritas
memiliki masalah dalam hal loyalitas terhadap negara. Terakhir, bila agama
resmi tersebut adalah agama yang sangat tradisional serta sulit menerima
perubahan-perubahan modernitas, maka perkembangan masyarakatnya akan
sangat lambat. Contoh yang dikemukakannya untuk tipe ini adalah Spanyol dan
Srilangka.
Model kedua adalah agama sipil yang disponsori oleh negara (state-
sponsored). Dalam tipe ini negaralah yang memaksakan bentuk keagamaan
dalam kehidupan bernegaranya. Masalah yang muncul dengan tipe ini adalah
penolakan dari agama-agama yang sudah ada. Contoh yang dikemukakannya
adalah Penyembahan Kaisar di kekaisaran Romawi dan Shintoisme di Jepang.
Penolakan datang dari Keyahudian dari Kekristenan di Romawi, sedangkan di
Jepang penolakan datang dari agama Buddha dan agama-agama lainnya.
Kedua, nasionalisme sekular, yaitu bentuk agama sipil yang muncul karena
agama-agama yang ada terlalu tradisional atau terlalu dekat hubungannya
dengan suatu rejim yang digantikan oleh rejim baru. Nasionalisme itu berfungsi
sebagai “agama” bagi kehidupan negara tersebut dengan cara memberi arah
(destiny) dan nilai. Nasionalisme sekuler perlu dipahami bukanlah sinonim bagi
pemisahan tekhnis antara gereja dan negara.
Ada tiga kasus dimana nasionalisme sekuler berhasil menjadi agama sipil
pada masing-masing lokusnya. Di Rusia atau Uni Soviet, komunisme
menahbiskan diri sebagai pengganti agama-agama tradisional dan berfungsi
sebagai agama sipil. Lenin menjadi santo, May Day dianggap sebagai hari raya
dan revolusi kelompok sosialis. Sementara di Turki, setelah revolusi Ataturk,
nasionalisme menggantikan Islam untuk menjadi agama sipil. Kasus ketiga
adalah penobatan akal sebagai panglima selama revolusi Perancis menyaingi
Katolik.
Agama sipil dengan mengambil model nasionalisme sekuler ini juga tak
luput dari masalah. Seperti di Turki, agama sipil hanya merupakan agama bagi
segelintir elit ngara. Agama sipil tersebut tidak mampu menembus kalangan
akar rumput. Selain itu juga penolakan dari agama yang ada terlalu besar,
terutama ketika agama-agama memiliki jaringan internasional yang kuat.
Ketiga, agama sipil-pemisahan seperti yang terjadi Amerika. Hal ini
dimungkinkan karena adanya prinsip pemisahan yang tajam antara gereja dan
negara yang ada dalam konstitusi Amerika. Agama sipil itu tidaklah sama dan
juga tidak menggantikan Kristen Protestan atau Katolik dan juga Keyahudian.
Jadi, agama sipil yang dapat dilihat sebagai suatu terobosan atas hubungan
agama dan politik juga dibatasi oleh adanya eksklusivisme agama.
Pemetaan model lain dilakukan oleh Demerath dengan melihat
perkembangan agama sipil di berbagai negara yang melanjutkan gagasan agama
sipil Rousseau.121 Pertama, agama sipil yang dipopulerkan oleh elit politik.
Model seperti ini yang berkembang di Jepang melalui Shinto dari tahun 1860-
1940, Turki di bawah Kemal Attaturk pada 1920, dasar negara Pancasila di
Indonesia yang diperkenalkan oleh Soekarno pada tahun 1945, dan pergesaran
radikal di China oleh Mao Zedong dan komunis setelah 1949 dengan revolusi
budayanya.
Kedua, kasus di Turki dan China memungkinkan hadirnya agama sipil yang
tidak semuanya “religius” dalam pengertian konvensional. Di sana, ada
konstruksi yang lebih dekat dengan religion of the civil atau civil sacred yang
lebih luas. Komunisme di China, Westernism di Turki atau komitmen kebangsaan
untuk sebuah negara kesejahteraan di Swedia, semuanya adalah dasar non
121 NJ Demerath III, “Civil Society and Civil Religion. . . 356.
religius tetapi memiliki banyak kesamaan harapan laiknya agama untuk
mengikat sebuah bangsa dan kewarganegaraanya secara kultural. Faktanya, kata
Demerath, agama sipil menjadi isu terpenting dari format baru nasionalisme.
Sebagai pungkasan sekaligus ringkasan dari apa yang dikehendaki dari
agama sipil ini dirangkum dengan sangat sistematis oleh oleh Coleman dalam
“civil religion”.122 Secara lebih rinci ia menjelaskan deskripsi tentang agama sipil.
Karakteristik dari agama sipil itu dijabarkan dalam delapan gambaran. Pertama,
agama sipil adalah kumpulan dari ritual dan simbol yang berhubungan dengan
peran seseorang sebagai warganegara dan perannya sebagai bagian dari
masyarakat serta bagaimana memaknai keduanya pada saat yang bersamaan.
Kedua, agama sipil merupakan representasi dari fungsi agama secara
khusus dimana isi dan simbolisasi keagamaan yang ada didalamnya menjadi
tanggung jawab kedua belah pihak yaitu agama dan negara, bukan hanya salah
satunya.
Ketiga, perbedaan sosial agama sipil dari agama dan negara adalah agama
sipil selalu mengikuti garis evolusi kultural sementara agama dan negara tidak
demikian.
Keempat, pada kondisi yang tidak bisa membentuk Agama sipil menjadi
begitu berbeda dengan yang lainnya (undifferentiated), maka fungsi agama sipil
dibentuk oleh institusi keagamaan dan atau oleh negara.
Kelima, selanjutnya pada situasi diatas agama sipil pada saat yang
bersamaan dapat memberikan kebebasan dan keleluasaan baik bagi agama
maupun negara.
Keenam, secara definitif agama sipil merupakan sebuah sistem keagamaan
yang didapat untuk membentuk integrasi sosial di masyarakat luas.
Sebagaimana oleh Durkheim disebut sebagai identitas dan solidaritas nasional
dari agama.
122 John A Coleman, “Civil Religion” dalam Sociological Analysis, 31. Summer 1970, 76-77.
Ketujuh, pada saat agama (organized religion) dan agama sipil memiliki
fungsi yang berbeda dalam berintegrasi dengan masyarakat maka kemudian
timbul pertanyaan apakah agama benar-benar bisa berintegrasi dengan
masyarakat atau malah menjadi sebuah lembaga yang terpisah? Jawabannya
adalah terletak pada bagaimana bentuk hubungan antara agama itu sendiri dan
agama sipil.
Kedelapan, perbedaan antara agama sipil dari institusi keagamaan dan
negara semestinya tidak membuat negara bersikap oposisi terhadap institusi
keagamaan. Sehingga institusi keagamaan dapat secara bebas menjalankan
fungsi profetiknya.
Agama Sipil, Agama Politik dan Nasionalisme
Bagi dinamika perkembangan politik modern, dimana konsep negara-
bangsa menjadi anutan di hampir semua negara, poin tertinggi yang didapatkan
dari gagasan agama sipil ini adalah menciptakan semacam model dari pola
hubungan sosial yang spesifik serta kewajiban-kewajiban politis bagi warga
negara yang harus ditaati.123 Hal ini memberikan kontribusi praktis bagi
terciptanya civic behaviour.
Ronald Beiner mengungkapkan satu pandangan menarik tentang makna
agama sipil. Menurutnya civil religion adalah the civilizing/civicizing of religion –
atau juga bisa disebut sebagai domestikasi agama untuk tujuan politik. Jika
seseorang ingin melakukan domestikasi agama, maka ia harus berjalan di jalur
liberal dengan cara mengurangi peran agama di ruang publik.124
Gagasan untuk menciptakan good citizen seperti yang disinggung
Rousseau, memang agak unik. Beberapa penafsir Rousseau seperti Hammond
menilai kalau ide Rousseau tentang konstruksi agama sipil, menghendaki agar ia
123 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion. . ., 140.
124 Ronald Beiner, Civil Religion: A Dialogue in the History of Political Philosophy . . . 419.
independen dari negara.125 Namun, menurut Cristi, jika agama sipil itu bebas
dari negara, maka patut dipertanyakan siapa yang menjadi pimpinannya?126
Bagi Cristi, gagasan awal tentang agama sipil seperti yang ditulis tidak
hanya berkembang dalam sebuah bangsa, tetapi juga negara. Tema agama sipil
perlu dikembangkan oleh seorang pemimpin politik. Menurut Cristi, political
leaders frequently use solemn occasions and public forums for the transmission of
civil religion themes.127 Institusi politik dan ritus-ritus publik pada suatu waktu,
menjadi agen bagi indoktrinasi publik lebih dari sekadar menjabarkan prinsip
sentimen publik. Karena itu, agama sipil dalam pemahaman Rousseau tidak lain
adalah agama politik yang dimapankan oleh struktur negara.128 Ini catatan kita
untuk diskusi awal tentang relasi agama sipil, negara atau politik serta
kebangsaan. Dengan kata lain kita mendapati satu model agama sipil yang
berfungsi untuk membangun negara atau state building.
Jika Rousseau melihat agama sipil sebagai “agama politik,” maka aspek lain
yang penting untuk diamati dalam diskursus agama sipil adalah kaitannya
dengan konsep nasionalisme. Memang, sedari awal Bellah mengingatkan bahwa
agama sipil bukanlah national self-worship, tetapi sudah bukan rahasia lagi kalau
ruh dari agama sipil di Amerika memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, dan
juga patriotisme.
Menurut Mc. Guire, agama sipil merupakan ekspresi dari kohesi bangsa.129
Agama sipil memiliki representasi kolektifnya sendiri, melalui gambaran tentang
idealitas dirinya kepada anggotanya. Agama sipil memiliki ritualnya sendiri
dimana anggotanya memperingati even nasional penting dan memperbarui
komitmennya terhadap masyarakat. Di Amerika, seperti gambaran Bellah
momen itu bisa dilihat dalam pelbagai konteks misalnya Memorial Day,
125 Phillip Hammond, “The Rudimentary Forms. . .138
126 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion. . ., 137
127 Ibid. 128 Ibid., 138.
129 Meredith B. McGuire, Religion: The Social Context (Belmont: Wadsworth, 1992), 179.
Inaugurasi Presiden, dan momen kebangsaan lain yang menunjukkan nilai-nilai
nasionalisme. Tak hanya itu, “tempat-tempat keramat” juga memiliki tempat
khusus dalam diskursus agama sipil. Capitol, tempat-tempat peperangan, tempat
kelahiran presiden, menjadi wilayah spesial. Tempat-tempat tersebut menjadi
sesuatu yang sakral, dalam bahasanya Durkheim. Di Amerika, objek yang sakral
juga bisa dijumpai misalnya dalam bendera.
Pertanyaannya kemudian, apakah Bibel tidak merupakan suatu yang
sakral? Dalam diskursus agama sipil, kedudukan Bibel dan teks-teks suci
keagamaan lainya juga tetap menjadi the sacred object. Tetapi perlu dipahami,
bahwa Bibel menjadi sakral bukan karena isinya, tetapi karena ia merupakan
penanda kedekatan pada Tuhan sebagai penguasa kebenaran dan keadilan.130
Agama sipil juga memiliki mitos dan orang-orang sucinya.131 Abraham
Lincoln mungkin menjadi salah seorang figur yang menjadi simbol dari agama
sipil Amerika. “Santo-santo” lainnya bisa disebutkan disini antara lain presiden-
presiden seperti Washington, Jefferson, Wilson, Franklin D. Roosevelt, Kennedy,
pahlawan-pahlawan rakyat seperti Davy Crockett, Charles A. Lindbergh dan
pasukan-pasukan perang laiknya Mac Arthur, Eisenhower, Theodore
Roosevelt.132 Meski tempat-tempat keramat, orang-orang suci, dan perayaan-
perayaan tersebut tidaklah religius dalam pengertian seperti dalam tempat-
tempat dan orang suci masyarakat Yunani Kuno, tetapi mereka tetaplah
memiliki tempat khusus dan tidak boleh dicemari.133 Menurut Mc Guire, inilah
elemen yang cukup penting dari non-official religion.134 Jika agama sipil ini
merupakan ekspresi integrasi bangsa, maka kita bisa berharap bahwa agama
sipil akan menjadi artikulasi yang kuat dalam melakukan resolusi konflik.
130 Ibid. 131 Ibid. Tentang mitos dalam agama sipil, lihat juga dalam Robert N. Bellah Robert N. Bellah, The Broken Covenant…
132 Ibid. 133 Ibid., 179-180.
134 Ibid., 180.
Martin Marty mengatakan, ada dua model agama sipil yakni versi
kependetaan dan profetik atau kenabian.135 Model pertama menunjukkan
kebesaran sebuah bangsa, prestasi dan superioritasnya. Model ini berpotensi
menciptakan masyarakat dengan penghambaan membabi buta terhadap
bangsanya. Mereka mengidentikan kehendak Tuhan dengan kehendak
kelompoknya. Klaim seperti ini pernah digunakan oleh Amerika untuk
melegitimasi intoleransi sebagaimana ada dalam sejarah Amerika ketika
melakukan kekerasan terhadap bangsa Asia tahun 1850, juga dalam perang
dunia II. Hal itu juga dilakukan ketika Amerika berperang melawan Vietnam
pada tahun 1960-1970an. Saat itu merebak stiker atau pamflet yang bertuliskan
”America- Love it or leave it!” dan “America- Change it or lose it.”
Sementara model kedua, mengharuskan para pemimpin bangsa untuk
melawan segala bentuk ketidakadilan dengan berdiri di atas idealisasi sebuah
bangsa. Di sini apa yang disebut sebagai sentimen kebangsaan juga dipahami
sebagai sesuatu yang religius.
Berkaitan dengan nasionalisme, di atas kita sudah mendapatkan satu
fungsi sesuai dengan apa yang dikehendaki Rousseau yakni agama sipil sebagai
upaya memperkuat negara. Fungsi ini merujuk pada peningkatan sebuah
otoritas, organisasi utilitarian untuk melaksanakan bisnis internal dan eksternal
negara. Disamping fungsi state building, ada kegunaan lain dari agama sipil,
yakni dalam konteks nation building. Fungsi ini berakar pada pengembangan
rasa solidaritas sebuah negara dan identitas sebagai sebuah masyarakat.
Dengan begitu, maka sudah bisa dipastikan bahwa agama sipil merupakan
salah satu elemen dalam membangun bangsa. Agama sipil memberikan
solidaritas kebangsaan dan identitas kualitas keagamaan, memungkinkan
masyarakat yang berbeda suku, etnik dan agama untuk hidup bersama,
135 Martin Marty, “Two kinds of two kinds of civil religion” dalam R. Richey and D. Jones (eds), American Civil Religion (New York: Harper & Row, 1974), 139-160.
menyatukan pengalaman-pengalaman kultural. Meski begitu, upaya itu tidak
selalu membuahkan hasil, tetapi keberhasilan membangun bangsa selalu
memerlukan solidaritas keagamaan sipil (civil religious solidarity).
Karena agama memiliki potensi untuk melegitimasi atau mendelegitimasi
kekuatan negara, maka para pemimpin negara harus selalu membentuk dan
menginterpretasi ajaran agama untuk persaudaraan kebangsaan dalam
kaitannya dengan kekuatan dan legitimasinya.
Pembahasan lain tentang agama sipil dikemukakan oleh Lester Kurtz
dalam Gods in the Global Village. Jika Mc. Guire menyebut agama sipil sebagai
non-official religion, Kurtz menyebut agama sipil ini sebagai quasi-religion.
Agama sipil, menurut Kurtz adalah salah satu bentuk respon terhadap fenomena
multikultural.136 Untuk melihat agama sipil secara utuh dalam pandangan Kurtz,
maka pertama kali yang perlu ditekankan di sini adalah bagaimana melihat
agama sipil diantara respon lainnya terhadap multikulturalisme.
Tentang hal ini Kurtz menuturkan transformasi agama dalam usahanya
menanggapi fenomena multikulturalisme bisa diidentifikasi ke dalam empat
fenomena. Pertama, gerakan anti modernis seperti yang tergambar dalam
teologi protes Kristen dan gerakan Islam tradisional. Kedua, gerakan teologi
pembebasan di Amerika Latin. Ketiga, bentuk agama baru dan quasi agama
seperti individualisme dan konsumerisme, agama sipil dan nasionalisme.
Keempat sinkretisme agama.137
Dalam pemetaan itu, agama sipil oleh Kurtz ditempatkan sebagai salah satu
bentuk “quasi agama”. Dengan begitu ia mengambil aspek yang memiliki fungsi
kurang lebih sama dengan agama yakni menjadi alat kohesi dan integrasi sosial.
Dan seperti halnya McGuire, Kurtzpun mengaitkan agama sipil dengan semangat
kebangsaan.
136 Lester Kurtz, Gods in the Global Village: The World’s Religions in Sociological Perspective (Thousand Oaks: Pine Forge Press, 1995), 168.
137 Ibid.
Salah satu bentuk quasi-agama yang paling signifikan perkembangannya
pada abad 20 adalah munculnya organisasi sosial sebagai konsekuensi
perkembangan konsep nation-state. Elemen yang perkembangannya bisa
dikatakan cukup berpengaruh dalam budaya politik di era ini adalah apa yang
disebut sebagai agama sipil dengan merujuk pada Rousseau dan Alexis de
Tocqueville sebagai bapak moyangnya.138
Perkembangan dari konsep agama sipil ini bisa dipahami paling tidak
karena ada dua alasan penting yang melatarinya. Pertama, menyediakan
kesatuan kultural diantara pluralitas sistem kepercayaan yang ditimbulkan oleh
populasi migrasi atau yang secara artifisial dikonstruksi negara. Kedua, agama
sipil berfungsi sebagai pengganti tradisi agama yang telah dibebaskan untuk
kepentingan penyatuan dengan tatanan lama.139
Dalam kasus Amerika, image keagamaan generik agama sipil misalnya
tersembul dalam semboyan ”In God We Trust” atau ”One Nation Under God”.
Sementara dalam kategori ritualnya, Kurtz menggambarkan beberapa aspek
ritus agama sipil yang antara lain terlihat dalam Thanksgiving, Natal, Kelahiran
Marthin Luther King Jr, Memorial Day dan Peringatan 4 Juli.140
Mengutip Hammond, Kurtz merangkum ideologi yang berada di balik
aliansi “aneh” antara agama dan negara di Amerika. (1) Ada Tuhan (2) Yang bisa
diketahui melalui prosedur yang demokratis (3) Amerika yang demokratis
merupakan agen Tuhan yang utama dalam sejarah (4) bagi masyarakat Amerika,
bangsa merupakan sumber identitas yang paling utama.141
Sebagai akhir dari pembahasan mengenai kerangka teori agama sipil, maka
kita melihat ada dua fondasi teoritik agama sipil seperti yang dituturkan oleh
Rousseau dan Durkheim yakni bangunan sentrifugal dan sentripetal. Kita juga
138 Ibid., 187.
139 Ibid. 140 Ibid., 188. 141 Ibid., 189.
melihat ada dua versi agama sipil kaitannya dengan konsep nasionalisme yakni
agama sipil dalam pengertian state building dan nation building. Jika kita
perhatikan secara seksama teori sentrifugal itu pada akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa konsep agama sipil harus menjadi political religion (dalam
bahasanya Cristi), lalu diupayakan sebagai salah satu fondasi membangun
negara. Sementara sentripetal, mengindikasikan agama sipil sebagai collective
soul, yang berpusar di lingkaran inti masyarakat, dan tidak selalu berkaitan
dengan negara. Teori ini berhubungan dengan upaya membangun karakter
bangsa. Dalam masyarakat yang homogen, pemisahan antara menjadi bangsa
dan negara barangkali tidak terlalu pelik. Akan menjadi persoalan penting ketika
kita berada pada wilayah dimana tingkat heterogenitas begitu tinggi. Bagaimana
agar seorang menjadi bagian dari negara juga bangsa pada saat yang bersamaan.
Agama sipil dan Transformasi Religiositas Sipil
Ada tiga konsep yang akan dijelaskan dalam bagian ini, yakni religiositas
sipil, transformasi serta transformasi religiositas sipil yang merupakan
perpaduan keduanya. Ketiganya digunakan sebagai jembatan penyambung
dalam memahami Pancasila sebagai agama sipil.
Berbeda dengan konsep agama sipil yang telah terformulasikan, religiositas
sipil merupakan bahasan baru yang belum pernah dikaji secara komprehensif.
Sepanjang pengetahuan penulis baru ada satu karya yang penulis temukan
menyinggung tentang religiositas sipil. Maarten ter Borg, menulis satu artikel
yang berjudul “Fundamentals and Civil Religiosity”.142 Borg menggunakan tema
religiositas sipil itu dalam konteks Belanda dengan terlebih dahulu
mengaitkannya dengan prinsip fundamental dalam agama.
142 Meerten ter Borg, “Fundamentals and Civil Religiosity” dalam L. van Vucht Tijssen et.al (eds), The Search for Fundamentals: The Process of Modernization and the Quest for Meaning (Dordrecht/Boston/London: Kluwer Academic Publishers, 1995).
Borg mengkombinasikan ide kharismanya Weber dengan masyarakatnya
Durkheim. Menurut Borg “...community as a whole is not god, but that its ultimate
values may be charged with charisma and thus become religious.”143 Dan lebih
jauh kita bisa katakan bahwa nilai-nilai itu bisa menjadi sakral karena hal
tersebut bersifat mendasar (fundamental) dan dikuatkan oleh kharisma.
Saat menjabarkan tentang civil religiosity, Borg secara bergantian
menggantinya dengan civil religion. Tidak ada pembedaan yang dilakukan Borg
terhadap dua tema itu. Borg menjabarkan dimensi dari civil religiosity seperti
ritualnya, sama dengan ketika Bellah menjabarkan ritual dalam civil religion. Hal
ini bisa dilihat misalnya dalam uraian Borg;
The values of Dutch civil religiosity are celebrated in various rituals. There is, to begin with, the annual Remembrance Day on Dam Square in Amsterdam. The whole political community is there. The Mayor of Amsterdam or the Prime Minister make a short speech, in which the past, the present and the future are connected.144
Melihat kerangka yang dikembangkan Borg, maka perlu ada pembahasan
lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan religiositas sipil. Penulis hendak
menggambarkan tentang relasi antara agama sipil dan religiositas sipil yang
akan dijadikan sebagai perspektif dalam kajian ini.
Bellah menuturkan bahwa agama sipil merupakan dimensi keagamaan
publik (public religious dimension). Dimensi keagamaan yang bersifat publik itu
dapat kita cermati dalam keyakinan, simbol dan ritualnya. Jika kita mencermati
apa yang oleh Bellah sampaikan tentang pengertian civil religion ini, maka
tuturan tentang ekspresi agama sipil itu sesungguhnya koheren dengan dimensi
religiositas.
Menggambarkan tentang apa yang disebut religiositas itu sendiri tidaklah
mudah. Religiositas merupakan konsep yang kompleks. Religiositas sinonim 143 Ibid., 120. 144 Ibd., 124.
dengan kata religiousness, orthodoxy, faith, belief, piousness, devotion, dan
holiness.145
Charles Glock dan Roodney Stark dalam Religion and Society in Tension
menggambarkan tentang dimensi religiositas.146 Menurut mereka ada lima
dimensi religiositas: ekspriensial, ritualistik, ideologis, intelektual dan
konsekuensional. Dimensi eksperiensial memfokuskan pada pengalaman
keyakinan personal. Misalnya pengalaman pernah bertemu dengan sesuatu yang
dianggap transenden. Sementara aspek ritualistik merupakan keterlibatan
pemeluk agama dalam sebuah ibadah yang ada dalam sebuah komunitas.
Dimensi ideologis didasarkan atas harapan bahwa agama akan terus langgeng
berdasarkan keyakinan tertentu (seperti iman dan doktrin). Aspek intelektual
berkaitan dengan harapan bahwa religius adalah orang yang mengetahui aspek
dasar dari keyakinan dan teks sakralnya (seperti sejarah, sakramen dan
moralitasnya. Dimensi pengamalan berkaitan dengan konsekuensi dari ajaran
yang dianutnya dan diaplikasikan melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari.
Bahasan lain tentang dimensi religiositas oleh Fukuyama seperti dikutip
Cardwell. Fukuyama menggambarkan dimensi religiositas ini ke dalam empat
aspek; kognitif, kultik, creedal dan devotional.
The cognitive dimension is concerned with what individuals know about religion, i.e,, religious knowledge. The cultic dimension makes reference to the individual’s religious practices, i.e., ritualistic behaviour. The creedal dimension is concerned with a personal religious belief and the devotional dimension refers to a
145 Barbara Holdcroft, “What Is Religiosity?”, Catholic Education: A Journal of Inquiry and Practice, Vol. 10, No. 1, September 2006, 89. 146 Charles Glock dan Roodney Stark, Religion and Society in Tension (San Fransisco: Rand McNally, 1965), 20.
person’s religious feelings and experiences, i.e., the experiential dimension.147
Meminjam kerangka Gert Pickel and Kornelia Sammet, religiositas bisa kita
dekati setidaknya dengan tiga kerangka teori yakni, teori sekularisasi,
individualisasi dan teori pasar. Dasar teoritiknya bisa dilihat sebagai berikut.148
Teori sekularisasi
Teori Individualisasi
Market Model of Religion
Penulis Brian Wilson, Steve Bruve, Ronald Inglehart
Thomas Luckmann, Grace Davie, Daniele Hervie-Leger
Rodney Stark, Roger Finke, Laurence Iannaccone
Aksioma Perbedaan fundamental antara agama dan modernitas mengarah pada berkurangnya peran agama di kehidupan sosial
Orientasi keberagmaan individu adalah konstan, hanya ikatan-ikatan ke gereja yang secara umum mengalami penurunan
Ada permintaan masyarakat yang konstan untuk agama, tetapi vitalitas agama tergantung pada pasokan yang disediakan oleh pasar agama (gereja-gereja dan sekte)
Teori yang Relevan
Teori Modernisasi Klasik
Teori Individualisasi dan Privatisasi (agama)
Teori orientasi penawaran pasar dan tesis tentang pluralitas agama
Hipotesis utama Agama kehilangan signifikansi dan posisi sosialnya dalam kaitannya dengan intepretasi dunia
Kurang relevannya agama-agama yang terinstitusionalisasi; mengembangkan religiositas personal
Pasokan di pasar agama, menentukan vitalitas agama.
147 J. D. Cardwell, The Social Context of Religiosity (Lanham, MD: University Press of America, 1980), 6. 148 Gert Pickel dan Kornelia Sammet (eds), Transformations of Religiosity: Religion and Religiosity in Eastern Europe 1989-2010 (Springer, 2012), 11.
Religiositas dengan demikian, bisa kita maknai dari dua aspek, internal dan
eksternal. Aspek internal agama bisa kita pahami sebagai religious consciousness.
Aspek eksternalnya adalah ekspresi dari apa yang diyakini itu dalam kehidupan
keseharian yang itu bisa dilihat dari pola, tindakan, tingkah laku yang sesuai
dengan apa yang mereka yakini itu. Jika dikaitkan dengan civility, maka
religiositas sipil hendak penulis maknai sebagai kesadaran bahwa kehadiran
mereka dalam satu bangsa itu harus menghargai sesamanya, menyadari adanya
identitas kebudayaan dan agama yang plural, membangun masyarakat beradab
yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka di kehidupan keseharian.
Jika agama sipil dalam pengertian yang dituturkan Bellah lebih
menekankan upaya untuk mencari simbol-simbol integratif dalam masyarakat
majemuk, berbeda halnya dengan religiositas sipil. Religiositas sipil lebih
menyoroti pada semangat keberagamaan (sipil) seperti apa yang perlu
dikembangkan dalam sebuah masyarakat yang plural.
Jembatan untuk menghubungkan antara agama (sipil) dan religiositas
(sipil) ini adalah transformasi (to transform: mengubah bentuk). John B. Cobb, Jr
berbicara tentang term tersebut dalam konteks Kekristenan, tetapi
sesungguhnya jika dibentangkan dalam spektrum yang lebih luas, ide tersebut
juga berlaku untuk semua agama.
Sebelum membedah ide Cobb tentang transformasi, baik jika
menggambarkan terlebih dahulu mengenai konsep dasar ihwal transformasi
tersebut. Mu’tasim mengutip Dictionary of Anthropology mengartikan
transformasi sebagai a change frome one shape to anoter. Transformation may
take place to reach a goal, avoid punishment, or win a contest.149 Transformasi
mengandung maksud sebagai sebuah perubahan bentuk satu ke yang lain. Ia
149 Radjasa Mu’tasim, Timbul Haryono dan St. Sunardi, Agama dan Pariwisata: Telaah Atas Transformasi Komunitas Muhammadiyah Borobudur, (Ygoyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 10.
bisa dimaknai sebagai upaya untuk meraih tujuan, menghindari hukuman atau
memenangkan sebuah pertandingan.
Sementara Daszko dan Sheinberg menjabarkan tentang transformasi dalam
konteksnya sebagai salah satu tipe perubahan.150 Menurut Daszko dan
Sheinberg setiap transformasi adalah perubahan, tapi tidak semua perubahan
adalah transformasi.151 Secara lengkap Daszko dan Sheinberg mendefinisikan
transformasi.
Transformation is the creation and change of a whole new form, function or structure. To transform is to create something new that has never existed before and could not be predicted from the past. Transformation is a “change” in mindset.152 Transformasi terjadi ketika masyarakat melihat dunia melalui lensa baru
pengetahuan dan mampu menciptakan sebuah infrastruktur baru, yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya untuk masa depan. Dalam konteks organisasi,
Daszko dan Sheinberg menunjukan bahwa transformasi dimotivasi oleh
kebutuhan untuk survive, dengan realisasi bahwa semuanya memerlukan
perubahan atau sebuah organisasi akan mati; sebuah terobosan yang penting
dalam pemikiran dibutuhkan untuk mengejar peluang baru.
Dalam skema perubahan, setidaknya kita mengenal tiga tipe, yakni
tradisional, transisional dan transformasional. Ketiganya bisa dibedakan secara
sederhana seperti di bawah ini.153
150 Marcia Daszko dan Sheila Sheinberg, “Survival is Optional: Only Leaders With New Knowledge Can Lead the Transformation”, dalam http://www.mdaszko.com/theoryoftransformation_final_to_short_article_apr05.pdf. diakses pada 18 April 2014. 151 Keduanya mengatakan, However, while all transformation is change, not all change is transformation. Ibid. 152 Ibid. 153 Dikutip dari ibid.
Tradisional Transisional Transformasional
Motivasi untuk berubah
Lebih baik, lebih murah, lebih cepat
Memperbaiki masalah
Kelangsungan hidup, Perubahan dunia, perlu terobosan
Tingkat Perubahan
Tambahan perbaikan
Transisi dari yang tua ke yang baru; A ke B
Revolusioner, perlu
Pikiran Peningkatan Perubahan manajemen, perencanaan strategis
Pergeseran radikal dalam pemikiran dan tindakan
Tindakan Pengelolaan dan pengendalian proses
Mendesain dan menerapkan perencanaan
Perubahan seluruh sistem, perubahan dalam pemikiran, cara pandang, budaya, komunikasi, strategi, struktur, tindakan, sistem dan proses.
Tujuan Perbaikan, dapat dibatasi dengan memperbaiki hal yang salah
Proyek terselesaikan
Transformasi secara berkelanjutan, tak ada akhir
Perubahan membutuhkan
Perbaikan keahlian, praktek dan tampilan
Proses yang dikendalikan dan proyek yang dikelola
Kepemimpinan senior berkomitmen untuk pikiran, pembelajaran dan tindakan baru; pembelajaran dari luar; “a system cannot see itself”. Keberanian
Hasil Perbaikan, Pembatasan
Perubahan, terbatas
Perubahan berkelanjutan. Sistem baru: kokoh, adaptable, fleksibel, bersambung, kreatif, maju ke depan, kemampuan untuk merasakan dan merespon
Dalam Converting Cultures, Washburn dan Reinhart mengatakan kalau
proses transformasi dihubungkan dengan masalah konversi yang sejatinyat
tidak hanya persoalan agama semata. Konversi disana digambarkan sebagai
transformasi yang menampakan kompleksitas bahkan terkadang hasil yang
kontradiktif dari adaptasi budaya dan ideologi.154 Menurut studi yang dilakukan
oleh Gauri Viswanathan pengalaman konversi tidak hanya masalah aktivitas
spiritual, atau pernyataan pikiran, tapi juga aktivitas politik yang bisa berfungsi
sebagai kritisisme kultural.155
Juergen Habermas menulis sebuah buku yang berjudul “The Structural
Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois
Society”. Habermas tidak menyediakan satu bab khusus yang menjelaskan
tentang makna transformasi yang dimaksud. Ia menyinggung soal transformasi
besar-besaran yang terjadi di ruang pubik. Habermas menyebut, the public
sphere in the world of letters was replaced by the pseudo-public or sham-private
world of culture consumption.156 Disini media, menjadi kendaraan dalam proses
transformasi tersebut.
Efek dari terjadinya transformasi (ekonomi) sangat mempengaruhi
produksi dan konsumsi, menggeser masyarakat dari rational and critical debater
kepada masyarakat sebagai consumer, yang juga merubah struktur kepekaan
dan perasaan.157
Proposisi dasar dari transformasi, kata Cobb, haruslah bermula dari
komitmen bahwa dalam keberimanannya pada Kristus seorang Kristiani
haruslah terbuka kepada yang lain.158 Kekristenan, sebagai sebuah living
movement, tidak bisa lagi meminta komitmen terhadap semua kondisi yang
154 Dennis Washburn dan A. Kevin Reinhart, Converting Cultures: Religion, Ideology and Transformations of Modernity, Leiden, Boston: Brill, 2007), xiii. 155 Gauri Viswanathan, Outside the Fold: Conversion, Modernity, and Belief, (Princeton, N.J.Princeton University Press, 1998), xvi. via Ibid. 156 Juergen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, (Cambridge: Polity Press, 1989), 160. 157 Graham Ward, Cultural Transformation and Religious Practice, (Cambridge University Press, 2005), 125. 158 John B. Cobb, Jr, Transforming Christianity and the World: A Way beyond Absolutism and Relativism (New York: Maryknoll, 1999), 45.
diambil dari masa lalu.159 Dengan begitu, perubahan dan perkembangan yang
terus dilakukan tidak bisa didasarkan atas relativisme. Kata Cobb, the fullness of
Christianity lies in the ever-receding future.160
Keterbukaan terhadap tradisi lain bagi Cobb tidaklah berhenti pada taraf
membuka diri. Tetapi, saat ada pengakuan bahwa ada praktek atau ajaran yang
baik dan penting yang kita tidak menderivasi tradisi keagamaan kita, maka kita
harus siap belajar meski akan mengancam keyakinan sendiri.161 Itulah yang oleh
Cobb disebut sebagai “full openness”.162 Keterbukaan terhadap kebenaran secara
nyata berisi tentang keterbukaan terhadap kebenaran partikular yang ada dalam
tradisi lain.
Dalam keyakinan Cobb, Kristen berada dalam proses menjadi yang
ditransformasi oleh tradisi keagamaan yang lain.163 Cobb mencontohkan bahwa
Buddhaisasi (Buddhization) Kekristenan akan mentransformasi Kekristenan
dalam sebuah kebenaran yang mendalam dan luhung, kualitas hidup yang lebih
baik dan kemampuan penuh untuk melayani dengan baik Kristus dalam ruang
politik.164 Hemat Cobb apa yang dipahami oleh orang Kristen bahwa ”the way,
the truth and the life” itu, diikat oleh ”creative transformation”. Hanya melalui
transformasi kreatif itulah Tuhan bisa dikenal.165
Hemat penulis, paparan Cobb tentang transformasi ini sangat bermanfaat
untuk dua hal. Pertama, transformasi ini menjadi model baru dalam dialog
agama-agama serta pemahaman terhadap realitas mutlak. Yang umum dikenal,
dialog agama-agama biasa dipetakan dalam tiga model eksklusif, inklusif dan
159 Ibid. 160 Ibid. 161 Ibid. 162 Ibid. 163 Ibid., 46. 164 Ibid. 165 Ibid., 47.
pluralis seperti yang dipaparkan oleh Paul F. Knitter dalam ”One Earth Many
Religions”.166
Eksklusif menunjukan satu sikap dan komitmen bahwa pengakuan
terhadap kebenaran atau kuasa penyelematan dari agama tokoh agama lain
merupakan suatu tamaran dan pencemaran terhadap apa yang dilakukan Allah
kepada Yesus. Paradigma inklusif mengindikasikan bahwa bagi umat Kristen
kebenaran yang meyakinkan itu dengannya mereka hidup dan norma penuntun
yang dengannya mereka masuk ke dalam arena kebenaran lainnya. Karena itu
semua agama tetaplah memiliki semacam kecemburuan. Perspektif pluralis
memiliki sasaran terlaksananya dialog korelasional sejati antar-agama dan
terbentuknya teologi komparatif diantara umat Kristen.
Secara skematis, relasi tiga paradigma itu bisa digambarkan di bawah
ini.167
166 Knitter sendiri sebenarnya mengutip kategorisasi ini dari Alan Race. Paul F. Knitter, One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue and Global Responsibility (New York: Markynoll, 1995), 25-28. 167 Skema ini penulis kutip dari Perry Schmidt-Leukel, “Exclusivism, Inclusivism, Pluralism: The Tripolar Typology-Clarified and Reaffirmed”, dalam Paul F. Knitter (ed), The Myth of Religious Superiority: A Multifaith Exploration (New York: Maryknoll, 2005), 19.
P = Mediation of salvific knowledge of ultimate/transcendent reality Is P a property of religion? No Yes (Atheism/ Naturalism) Only once More than once (Exclusivism) One singular maximum No singular maximum (Inclusivism) (Pluralism)
Ketiga paradigma itu, memiliki persoalan nyata bahwa kebenaran dan
keunikan yang ada dalam agama lain, sebatas dilihat dan diakui. Dengan
transformasi, maka kebenaran agama lain yang kontributif juga diakui serta
ditransformasi dalam kehidupan keseharian. Sehingga tradisi lain menjadi
aktifitas yang terintegrasi dalam kehidupannya.
Kedua, prinsip dasar dari transformasi sangat berharga dalam melakukan
transformasi agama-agama dalam konteks keindonesiaan. Dengan transformasi
maka Kekristenan yang dikembangkan bukanlah Kristen Barat. Begitu juga
dengan tradisi keagamaan lainnya. Jadi yang muncul pada nantinya adalah
“Indonesianized Christianity”, “Indonesianized Islam”, “Indonesianized Buddhism”
dan lainnya.
Jika konsepsi tentang religiositas sipil dan transformasi diikat dalam
sebuah pengertian, maka gagasan tentang transformasi religiositas sipil akan
bergerak pada dialektika antara strategi dan adaptasi, integrasi dan disintegrasi,
tradisi dan reformasi, pribumisasi dan purifikasi. Perubahan cara pandang
terhadap realitas sangat dipengaruhi oleh tata nilai (internal) serta lingkungan
yang membentuknya (eksternal). Perubahan yang bersifat transformatif itu
selalu dinamis. Transformasi tak hanya sekadar sebuah perubahan. Di dalamnya
ada kehendak untuk mengembangkan keberagaman yang beradab (civil
religiosity). Makanya, transformasi religiositas sipil berarti perubahan cara
pandang serta tindakan dalam melihat realitas sosal. Perubahan itu tentu tak
bisa dilepaskan dari basis nilai moral yang menjadi landasannya. Dalam
menghadapi situasi tersebut, ada proses modifikasi, akomodasi, adaptasi dan
pengembangan.