58
BAB II AGAMA SIPIL DAN RELIGIOSITAS SIPIL: KAJIAN TEORITIK Formulasi Awal Agama Sipil: Rousseau dan Durkheim A. Agama Sipil dalam Pandangan Rousseau Jean-Jacques Rousseau merupakan pemikir pertama yang mengenalkan gagasan agama sipil. Konsep agama sipil dalam pemikiran Rousseau memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sejarah kontrak politik dalam sebuah masyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil berhubungan dengan upaya membangun kesepakatan bersama dalam masyarakat yang kerap dikaitkan dengan teori kontrak sosial. Dalam kajian filsafat politik, ada tiga pemikir yang mengelaborasi teori kontrak sosial ini, yakni Thomas Hobbes, John Locke dan JJ. Rousseau. Ketiganya merupakan pemikir yang hidup pada abad XVIII tetapi pemikirannya pada sisi tertentu merupakan antitesis dari pemikiran yang berkembang pada abad itu. Dan hal tersebut ditengarai sebagai pembangkangan intelektual pada zamannya. Menurut sejarah, abad inilah yang menjadi pabrik penghasil ilmuwan besar seperti Rene Descartes, David Hume, Voltaire, Galileo Galilei dan lain-lain. Di abad ini, terjadi perkembangan sains yang pesat. Manusia pencerahan berjuang gigih menaklukan alam semesta dengan akal dan rasio. Segala kebenaran diukur dengan parameter sains dan teknologi. Diatas semuanya, terdapat sisi yang memprihatinkan. Perkembangan sains dan teknologi pencerahan telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Manusia yang sedemikian kompleks kemudian mengalami reduksi. Ia tak lebih dilihat sebagai mesin-mesin. Manusia cenderung dituntun oleh akal semata. Faktor emosi sama sekali tidak dilihat sebagai sesuatu yang integral dengan kehidupan manusia.

Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

BAB II

AGAMA SIPIL DAN RELIGIOSITAS SIPIL: KAJIAN TEORITIK

Formulasi Awal Agama Sipil: Rousseau dan Durkheim

A. Agama Sipil dalam Pandangan Rousseau

Jean-Jacques Rousseau merupakan pemikir pertama yang mengenalkan

gagasan agama sipil. Konsep agama sipil dalam pemikiran Rousseau memiliki

keterkaitan yang sangat erat dengan sejarah kontrak politik dalam sebuah

masyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil berhubungan dengan

upaya membangun kesepakatan bersama dalam masyarakat yang kerap

dikaitkan dengan teori kontrak sosial. Dalam kajian filsafat politik, ada tiga

pemikir yang mengelaborasi teori kontrak sosial ini, yakni Thomas Hobbes, John

Locke dan JJ. Rousseau.

Ketiganya merupakan pemikir yang hidup pada abad XVIII tetapi

pemikirannya pada sisi tertentu merupakan antitesis dari pemikiran yang

berkembang pada abad itu. Dan hal tersebut ditengarai sebagai pembangkangan

intelektual pada zamannya. Menurut sejarah, abad inilah yang menjadi pabrik

penghasil ilmuwan besar seperti Rene Descartes, David Hume, Voltaire, Galileo

Galilei dan lain-lain.

Di abad ini, terjadi perkembangan sains yang pesat. Manusia pencerahan

berjuang gigih menaklukan alam semesta dengan akal dan rasio. Segala

kebenaran diukur dengan parameter sains dan teknologi. Diatas semuanya,

terdapat sisi yang memprihatinkan. Perkembangan sains dan teknologi

pencerahan telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Manusia yang

sedemikian kompleks kemudian mengalami reduksi. Ia tak lebih dilihat sebagai

mesin-mesin. Manusia cenderung dituntun oleh akal semata. Faktor emosi sama

sekali tidak dilihat sebagai sesuatu yang integral dengan kehidupan manusia.

Page 2: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Dalam situasi seperti ini, Rousseau hadir dengan memberikan kerangka

filosofis ihwal kebebasan manusia yang kemudian dikaitkan dengan proses-

proses politik. Pemikiran Rousseau, seperti yang disitir Henry J. Schmandt,

sangat mengagungkan satu proses demokrasi langsung, dimana semua orang,

bukan kelas istimewa atau beberapa orang yang terpilih, ikut serta.1

Periode kehidupan Rousseau adalah momen dimana fondasi revolusi

industri diletakan, mesin uap diciptakan, dan orang-orang Eropa melakukan

penjelajahan hingga Asia, Amerika Utara dan Pasifik. 2 Rousseau berkontribusi

tidak hanya pada satu bidang saja. Semasa hidupnya, ia terkenal sebagai seorang

novelis, komposer dan juga seorang pemikir politik. Situasi pencerahan serta

pencapaian tekhnologi yang sangat maju berjasa untuk mempertanyakan

kemapanan politik dan agama.3 Penanaman dan penyebaran ajaran moral oleh

gereja mulai dikritik oleh para pemikir yang meski tidak banyak tapi cukup

berpengaruh. Mereka yang tidak merasa takut dengan hukuman dunia atau

akhirat.

Rousseau memaparkan filsafat politiknya dalam karya yang kerapkali

menjadi bahan rujukan dalam bidang politik, On Social Contract. Menurut

Rousseau, keluarga adalah masyarakat politik pertama.4 Penguasanya adalah

sang ayah dan anak-anak adalah rakyatnya.5 Mereka semua dilahirkan sama

dalam kebebasan dan kesetaraan.

Dari kehidupan yang awalnya sama itu, Rousseau menekankan pentingnya

menghancurkan pemberhalaan terhadap akal tersebut. Manusia yang

dikondisikan demikian itulah yang dikritik oleh Rousseau. Bagi Rousseau,

1 Henry J. Schmandt, A History of Political Philosophy, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2002), 409-410. 2 Christopher D. Wraight, Rousseau’s The Social Contract: A Readers Guide, (New York

and London: Continuum International Publishing Group, 2008), 1. 3 Ibid., 2 4 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj. G.D.H.Cole (New York: Dover

Publications, 2003), 2. 5 Ibid.

Page 3: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

perkembangan teknologi itu menyebabkan manusia menjadi makhluk yang

rakus dan melakukan eksploitasi secara besar-besaran. Pengagungan terhadap

rasio hidup dalam memori kolektif pemikir abad pencerahan. Wajar jika

kemudian Rousseau mengajak pentingnya untuk memahami keadaan alamiah

(state of nature). Manusia sebagai makhluk yang mementingkan emosi, perasaan

dan tidak mendewakan rasio serta tidak menganggap manusia sekadar jasad

tanpa ruh.

Manusia harus kembali ke alam, jika ia ingin menjadi dirinya dan terhindar

dari kehancuran total. Dalam keadaan alamiah, ia pada dasarnya manusia yang

baik. Ia tidak menghendaki perang dan konflik. Sebab manusia bukanlah

manusia yang suka berperang. Karenanya, perang bukanlah fenomena alamiah

(natural phenomenon) melainkan fenomena sosial (social phenomenon). Perang

terjadi jika ada pergeseran dari yang alamiah ke yang sosial.

Dalam keadaan alamiah, manusia memiliki kebebasan mutlak. Kebebasan

merupakan determinan yang membuat manusia menjadi manusia alamiah.

Rousseau mengidealisasikan manusia yang liar tetapi baik, yang selalu

mementingkan keutamaan seperti orang-orang di zaman Romawi Kuno. Ia tidak

baik dan buruk, tetapi juga tidak egois dan altruis, hidup polos dan mencintai

diri secara spontan.

Manusia yang alamiah adalah manusia dalam keadaan bebas sejak

dilahirkan. Tetapi, kebebasan itu kemudian menyebabkan ketidakbebasan

karena ia bersentuhan dengan waktu, tempat, adat serta pembatasan yang

melibatkan lembaga ekonomi dan politik. Rousseau mengatakan, “man, is born

free and everywhere he is in chains”.6

Kebebasan menurut Rousseau adalah keadaan tidak terdapatnya keinginan

manusia untuk menaklukkan sesamanya. Manusia merasa bebas dari rasa

ketakutan akan kemungkinan terjadinya penaklukan atas dirinya secara

6 Ibid., 1.

Page 4: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

persuasif maupun kekerasan. Kebebasan juga diartikan sebagai hak untuk

melakukan sesuatu yang orang lain tidak diperkenankan melakukannya. Di sisi

lain istilah yang sama bisa dipahami sebagai keadaan dimana keadilan

sepenuhnya ditegakkan. Jika diterapkan dalam kehidupan sosial, kebebasan

dalam pengertian itu dapat membuat manusia merdeka, tidak terbelenggu.

Terkait dengan makna kebebasan ini, Rousseau dalam Bab Civil State,

memetakan tentang dua kebebasan, alamiah dan sipil. Apa yang hilang dari

manusia karena kontrak sosial adalah kebebasan alamiahnya dan hak yang tidak

terbatas untuk melakukan sesuatu. Yang ia dapatkan kemudian adalah

kebebasan sipil. Kebebasan alami diikat oleh kekuatan individu. Sementara

kebebasan sipil dibatasi oleh general will dan kepemilikan. Kata Rousseau,

kebebasan sipil yang demikian hanya bisa ditemukan dalam apa yang ia sebut

sebagai a positive title.7

Menurut Rousseau, negara merupakan produk perjanjian sosial. Individu

dalam masyarakat membatasi apa yang dimilikinya dan dileburkan pada satu

kekuasaan bersama. Kekuasaaan bersama ini kemudian dinamakan negara,

kedaulatan rakyat, kekuasaan negara atau istilah lain yang memiliki kemiripan

makna dengannya. Dengan menyerahkan hak itu, individu itu tidak kehilangan

kebebasan atau kekuasaannya.

Negara menjadi berdaulat karena mendapatkan mandat dari rakyat.

Negara diberi mandat oleh rakyat untuk mengatur, mengayomi dan menjaga

keamanan maupun harta benda mereka. Kedaulatan negara akan tetap absah

selama negara menjalankan fungsi-fungsinya sesuai dengan kehendak rakyat.

Negara harus selalu berusaha mewujudkan kehendak umum.

Bila menyimpang dari kehendak atau kemauan rakyat, keabsahan

kedaulatan negara akan mengalami krisis. Dari segi ini, teori negara berdasarkan

kontrak sosial merupakan antitesis terhadap hak ketuhanan raja. Dengan teori

7 Ibid., 12.

Page 5: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

sosialnya, Rousseau membalikan sumber kekuasaan dari legitimasi Tuhan ke

manusia.

Selain itu, pemikirannya yang menonjol adalah bahwa komunitas orang-

orang kecil dalam negara kota yang kecil, mempunyai tanggung jawab bersama

bukan hanya untuk kepentingan individu tetapi juga untuk kebaikan kolektif.8

Konsepsi semacam ini hanya bisa diwujudkan dalam sebuah model demokrasi

modern.

Konstruksi dasar pemikiran Rousseau semacam inilah yang mengilhami

gagasannya tentang agama sipil. Dalam Buku IV, Rousseau membagi

pembahasan menjadi tiga bagian. Pertama, Rousseau membahas mengenai

sejarah agama dan relasinya dengan kekuatan negara dari masa kuno hingga

sekarang. Kedua, Rousseau memberikan gambaran mengenai klasifikasi umum

tentang agama; agama manusia (the religion of man), agama masyarakat (the

religion of the citizen) dan agama para imam (the religion of the priests). Dan

bagian ketiga, Rousseau memberikan solusi, semacam possitive programme

seperti yang pernah ia tulis dalam Letter to Voltaire.9

Bentuk awal pemerintahan menurut Rousseau adalah teokrasi.10 Teokrasi

mengarah pada politeisme; dalam setiap kelompok masyarakat ada Tuhan.

Keadaan ini dijelaskan oleh Rousseau bahwa politeisme hadir karena

kemunculan bangsa. Bangsa atau kelompok masyarakat yang berbeda, tidak

mungkin akan tunduk pada satu kekuasaan yang sama. Dalam bahasanya

Rousseau, “Dua rakyat yang asing satu sama lain, dan hampir selalu

bermusuhan, tidak mungkin mengakui majikan yang sama dalam waktu lama:

8 Ibid.

9 Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract, (London and New York: Routledge, 2004), 179. 10 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract... 89.

Page 6: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

dua angkatan bersenjata yang sedang berperang tidak akan dapat mematuhi

pemimpin yang sama”.11

Dalam masyarakat pagan, setiap bangsa atau negara memiliki kepercayaan

terhadap dewa.12 Mestinya, dalam keadaan seperti ini tidak ada perang agama.

Mereka sudah berada dalam keyakinannya masing-masing. Menyembah

terhadap Dewa yang diyakini dalam lingkaran masyarakatnya. Namun penting

untuk dicermati bahwa setiap kelompok itu tidak membedakan antara

kekuasaan politis dan teologis, karena bersifat teokratis. Dalam masyarakat

seperti itu, kejahatan terhadap negara juga merupakan kejahatan terhadap

agama. Setiap agama terikat pada satu undang-undang negara.

Kekristenan kemudian merubah pola ini. Mereka melakukan pemisahan

urusan agama dan negara. Para penganut pagan melihat penganut Kristen ini

sebagai pemberontak yang sesungguhnya.13 Mereka mematuhi secara munafik,

dan berusaha untuk memerdekakan diri serta menjadi majikan. Orang Kristen

itu kemudian berganti wajah dan berganti bahasa. Dalam sebuah kerajaan

duniawi, apa yang kemudian disebut sebagai kerajaan akhirat itu menjadi

despotisme yang paling bengis.14 Kekuasaan ganda (agama dan negara) ini

menjadikan konflik yurisdiksi. Sehingga tidak mungkin diciptakan suatu

pemerintahan yang baik di negara Kristen. Kata Rousseau, “orang tidak pernah

berhasil mengetahui, siapa di antara majikan dan pstor yang wajib mereka

patuhi.”15

Rousseau memberikan apresiasi kepada Thomas Hobbes yang telah

berhasil mencermati kelemahan dari model negara yang memisahkan urusan

negara dan agama yang dikenalkan semasa Kekristenan.16 Hobbes mengusulkan

11 Ibid. 12 Ibid., 90. 13 Ibid., 91. 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid., 92.

Page 7: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

untuk mengembalikannya kepada kesatuan politik karena jika tidak, pemerintah

tidak akan mungkin dibentuk dengan baik. Meski tidak mudah untuk

merealisasikannya karena kepentingan pastor selalu akan lebih kuat daripada

kepentingan negara.17

Rousseau kemudian menjelaskan tentang tiga kategori agama, yakni agama

manusia dan agama masyarakat.18 Rousseau juga menyinggung tentang agama

yang ketiga, the religion of priest. Tentang model ketiga itu, Rousseau tidak

memaparkannya dengan detail, tapi ia melihat bahwa tiga agama yang ia ulas

hampir semuanya tidak bisa dijalankan secara baik dalam sebuah komunitas

masyarakat.19

Agama manusia menurut Rousseau adalah agama yang menekankan pada

aspek moralitas dan penyembahan kepada Tuhan.20 Rousseau menyebut juga

agama ini sebagai “the religion of Gospel.”21 Agama manusia semata-mata

merupakan pemujaan terhadap Tuhan dalam hati masing-masing dan pada

kewajiban moral yang abadi. Pengabdian penganut agama ini terhadap

Tuhannya tidak memerlukan altar, kuil ataupun ritus. Agama ini murni semata-

mata keyakinan privat atau individual.

Sementara, agama masyarakat adalah agama sebuah masyarakat yang

dipeluk suatu bangsa.22 Agama ini berlaku di suatu negeri, memberikan

dewanya, pengayom masing-masing atau pelindung. Agama ini terorganisir dan

hirarkis serta terikat dengan dogma-dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta

tanah air, ketaatan pada negara dan nilai-nilai pengorbanan. Selain bangsa yang

menganutnya, dianggap kafir, asing dan biadab.

17 Ibid.

18 Ibid., 93. 19 Ibid. 20 Ibid.

21 Ibid. 22 Ibid.

Page 8: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Di luar agama manusia dan agama masyarakat, ada jenis agama yang

ketiga. Agama ini memberikan kepada manusia dua undang-undang, dua

pemimpin, dua tanah air, memaksakan dua kewajiban yang bertentangan dan

yang menghalangi mereka untuk menjadi orang saleh dan warga negara

sekaligus. Ketiga agama ini buruk.

Dalam Letter to Voltaire yang ditulis pada 1756, Rousseau menjabarkan

membedakan tiga aspek dalam agama; keyakinan pribadi, doktrin dan

perilaku.23 Yang pertama, tidak bisa diintervensi oleh negara. Yang menjadi

fokus dari otoritas politik adalah merubah perilaku seseorang yang berkaitan

relasinya dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam Letter inilah Rousseau

mulai mengenalkan civil profession of faith dimana seseorang harus mengakui

kaidah atau kode moral. Sementara fanatisme harus ditolak, bukan karena tak

tak beriman tetapi karena memberontak. Semua warga negara bebas untuk

memilih agama selama itu memiliki keselarasan dengan kode moral bahan

seseorang bisa mengadopsi kode tersebut sebagai agamanya.

Tulisan Rousseau di Social Contract menyinggung kembali soal civil

profession of faith.24 Ini bukanlah dogma agama, tetapi sentimen sosial atau

kebersamaan sosial, dimana pembuat aturannya adalah pemimpin negara. Kata

Rousseau, absennya kebersamaan sosial itu sulit untuk menciptakan warga

negara yang baik dan setia. Pemerintah boleh mengusir warga negara yang tidak

bisa hidup dalam sebuah kesepakatan bersama ini. Rousseau kembali

menegaskan apa yang ia tulis di Letter, bahwa itu dilakukan bukan karena warga

itu kafir, tetapi karena mereka tidak bisa hidup bermasyarakat atau tidak

mampu menjalankan perintah seperti yang tertuang dalam undang-undang.

Dengan agama sipil Rousseau hendak membangun kesatuan masyarakat

afektif dimana pluralisme dan toleransi dapat berjalan dan berkesinambungan

23 Jean-Jacques Rousseau, Letter to Voltaire 1756, http://www.indiana.edu/~enltnmt/texts/JJR%20letter.html. Diakses pada 7 Agustus 2014. 24 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract... 96.

Page 9: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

dengan masyarakat yang bebas.25 Setidaknya ada dua hal pokok mengapa agama

sipil ini merasa perlu untuk diwacanakan. Pertama, agama sipil perlu

dimunculkan untuk memberikan sistem kepercayaan pengganti bagi mereka

yang kepercayaannya telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pencerahan.

Kedua, selain itu agama sipil bertujuan untuk menyelaraskan dan mencari

kesinambungan antara agama dan politik.

Agama sipil merupakan otoritas baru sebagai sumber legitimasi untuk

menentukan batas-batas yurisdiksi dan memberikan persetujuan-persetujuan

transendental. Untuk kedua persoalan tersebut di atas Rousseau menawarkan

gagasan agama sipil. Disebut sebagai agama, karena dia menginginkan sumber

otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan disebut sipil karena

dia menginginkan bebas dari pengaruh gereja.26

Bagi Rousseau, agama sipil tetaplah harus memiliki dogma. Dan dogma

yang dikembangkan agama model ini haruslah sederhana. Mempercayai

eksistensi Tuhan, kehidupan yang akan datang, pahala bagi yang berbuat baik,

hukuman bagi yang berbuat jahat, sanksi dari kontrak sosial dan hukum.27 Hal

tersebut adalah dogma positif dari agama sipil. Sementara dogma negatif, kata

Rousseau adalah menolak intoleransi.28

Rousseau menekankan bahwa intoleransi dalam bidang politik dan agama

tidak bisa dipisahkan. “Tidak mungkin seorang hidup damai dengan orang yang

dianggap murtad, menyukai berarti membenci Tuhan yang menghukumnya,

sehingga tidak boleh tidak, mereka harus disadarkan”, kata Rousseau.29 Sikap

seperti ini tentu memiliki dampak sosial. Rousseau seperti hendak menekankan

bahwa ajaran agama yang bersifat eksklusif harus direinterpretasi. Dalam

sebuah negara, tidak boleh ada agama nasional yang eksklusif. Sepanjang 25 Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract ... 188.

26 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract..., 93-95. 27 Ibid., 95. 28 Ibid.

29 Ibid., 97.

Page 10: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

dogmanya toleran dan tidak bertentangan dengan kewajiban negara, maka

agama apapun harus diterima.

Sebagai kesimpulan dari apa yang disampaikan Rousseau, agama sipil

berarti bahwa ia merupakan suatu kesetiaan warga masyarakat yang diikat oleh

sebuah kontrak sosial yang merupakan hasil kesepakatan diantara mereka

untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka (general will), yakni

keadilan dan kesejahteraan bersama.30 Jika kehendak umum tersebut dipahami

secara seksama dan dianggap memiliki nilai transendental, maka adalah tugas

setiap warga negara untuk menjalankan perannya dengan baik di masyarakat

sehingga berguna bagi sesamanya. Terhadap pemahaman imaniah seperti inilah

pemerintah perlu mengaturnya dalam berbagai aturan, bukan sebagai dogma,

tetapi sebagai suatu tuntutan sosial yang tanpanya, seseorang tidak bisa menjadi

warga negara yang baik atau rakyat yang setia. Pemahaman imaniah seperti itu

tidak sama dengan agama seseorang.31

Sebagai teoritikus agama sipil, Rousseau mengandaikan negara yang

menjadi lokus dari otoritas politik harus memperhatikan klaim otoritas yang

berasal dari agama.32 Ada dua jalan menafsirkan gagasan agama sipil di sini.

Pertama, ini yang oleh disebut oleh Ronald Beiner sebagai pembacaan

konvensional terhadap ide Rousseau. Membiarkan agama dan politik sebagai

dua urusan yang terpisah satu dengan lainnnya. Tidak ada dialog karena dua hal

itu sesuatu yang terpisah secara ketat. Sementara tafsir yang kedua adalah

menjadikan agama serviceable terhadap politik dan kewarganegaraan.33 Poin

yang kedua itu, kata Beiner membangun semacam domestikasi agama, dan ini

30 John A. Titaley, “Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang

Eksklusivisme Agama”, Makalah Disampaikan sebagai studi tematik dalam Sidang Raya XIV Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Wisma Kinasih Caringin Bogor tanggal 1 Desember 2004, 4.

31 Ibid. 32 Ronald Beiner, Civil Religion: A Dialogue in the History of Political Philosophy, (Cambridge University Press, 2011), 413. 33 Ibid., 415-416.

Page 11: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

adalah titik tekan dari liberalisme. Ada pemisahan (segregasi) terhadap agama

dan politik, bukan subordinasi.

Rousseau mendeskripsikan gagasan agama sipil sebagai respon dari

sebuah konteks. Maka dari itu ide Rousseau juga harus dipahami sesuai

konteksnya. Jika kita mencermati pemikiran yang berkembang sebelum era

Pencerahan, maka identifikasi seseorang selalu dikaitkan dengan identitas

primordialnya; gereja, ras dan suku. Tetapi setelah pencerahan, mereka seperti

kembali pada dirinya sendiri. Proses individualisasi bergerak cepat. Ikatan

primordial tercerabut. Dalam konteks inilah ide social contract serta agama sipil

Rousseau dipahami. Ia seperti hendak menyambungkan ikatan primordial yang

pudar akibat Pencerahan. Rousseau menyadari pentingnya membangun kohesi

sosial tersebut. Karena manusia tidak mungkin bisa memperjuangkan

kehidupannya secara eksklusif. Bahkan ketika seseorang harus untuk

kepentingan dirinya sendiri pun mereka harus berjejaring. Disini kita bisa

memahami ide Rousseau soal penyerahan sebagian dari hak warganya kepada

kolektifitas atau negara.

Kemunculan wacana civil religion pada masa Rousseau terjadi ketika

negara kehilangan fondasi moral (bisa dikatakan juga basis agama) akibat

proses individualisasi akibat pencerahan itu. Makanya ada “kuasi agama” yang

menggantikan semen agama itu. Sebuah basis moral agama yang dihancurkan

oleh pencerahan.

Dari komentar Rousseau, ada beberapa catatan yang bisa dipetik tentang

diskursus agama sipil ini. Pertama, agama adalah kebutuhan manusia. Kita

memerlukan sesuatu untuk dipercayai, yang menginspirasi iman dan devosi.

Kedua, agama menyediakan rasa untuk bersatu, memiliki dan persaudaraan.

Ketiga, agama dapat memastikan ketaatan atau kepatuhan terhadap kode

perilaku atau moral. Keempat, pada kondisi dimana hadir pluralisme agama,

maka disana muncul bahaya terpecahnya masyarakat. Kelima, agama sipil

Page 12: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

merupakan seperangkat kepercayaan dimana semua masyarakat merasa

memerlukan dan memegangnya tanpa bertentangan dengan keyakinannya.

Keenam, pengakuan publik oleh seluruh masyarakat terhadap agama sipil

menciptakan dasar bagi kesatuan masyarakat. Ketujuh, partisipasi bersama oleh

semua masyarakat dalam bangunan agama sipil akan menyebabkan masyarakat

saling mengakui satu dengan yang lain sebagai warga dari sebuah negara

negara, bukan sebagai pengkhianat negara atau orang luar yang kebetulan

bertetangga. Kedelapan, agama sipil didasarkan pada ajaran yang sedikit dan

dapat diterima dengan alasan.

B. Teori Agama sipil Durkheim

Ivan Varga menulis, bahasan mengenai moralitas menempati posisi sentral

dalam pemikiran sosiologi Durkheim.34 Varga menambahkan kalau gagasan

mengenai moralitas itu tercermin dalam apa yang oleh Durkheim disebut

sebagai kesadaran kolektif.35 Karenanya, konstruksi agama sipil dalam

pemikiran Durkheim sangat erat kaitannya dengan apa yang oleh Durkheim

disebut collective consciousness ini.

Tidak seperti Rousseau, Durkheim dalam karyanya tidak menyebut

langsung tentang apa yang dimaksud dari civil religion atau agama sipil. Robert

N. Bellah dalam kata pengantar untuk kumpulan tulisan Durkheim “On Morality

and Society”, yang menyebut Durkheim sebagai teolog agama sipil. Bellah

mengatakan, He was a high priest and theologian of civil religion in the Third

Republic and a prophet calling not only modern France but modern Western

generally to mend its ways in the face of a great social and moral crisis.36

34 Ivan Varga, “Social Morals, the Sacred and State: Regulation in Durkheim’s Sociology”, Social Compass 53(4), 2006, 457

35 Ibid. 36 Emile Durkheim, On Morality and Society: Selected Writings, Robert Bellah (ed), (University of Chicago Press, 1973), x.

Page 13: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Beberapa penulis agama sipil mengaitkan bentuk-bentuk dasar keyakinan

keagamaan seperti yang didedah Durkheim dengan format dasar agama sipil.37

Gagasan Durkheim tentang moralitas, kesadaran kolektif dan kohesi sosial yang

menjadi basis dari teori agama sipil itu tercermin dalam beberapa karyanya

seperti Division of Labour in Society, The Elementary Forms of Religious Life serta

On Morality and Society. Jika Rousseau memunculkan istilah mengenai agama

sipil, Durkheim menemukan dasar yang asasi dari agama sipil tersebut.38

Terkait dengan masyarakat, agama, kata Durkheim sebagaimana dikutip

oleh Swidler dan Mojzes, telah melahirkan banyak sesuatu yang esensial dalam

masyarakat. Kita dapat memantapkan fakta bahwa kategori-kategori

fundamental dari pemikiran dan konsekuensi pengetahuan adalah asal-usul

agama. Dalam perkembangannya, banyak institusi sosial yang besar, lahir dalam

agama.39

Pertama-tama, Durkheim dengan tegas mematahkan argumen dari E.B

Tylor dan Frazer yang mengatakan bahwa masyarakat primitif sepenuhnya

memahami hal yang tertinggi dari kehidupan keberagamaan sebagai sesuatu

yang supernatural.40 Durkheim juga membantah dikotomi bahwa ada

supernatural di satu sisi dan natural di sisi lain. Dikotomi ini hanya ada pada

37 Lihat dalam Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture,

Religion and Politics (Wilfrid Laurier University Press, 2001), Sergej Flere, “The Broken Covenant of Tito’s People: The Problem of Civil Religion in Communist Yugoslavia”, East European Politics and Societies 2007; 21, Seong Hwan CHA, “Korean Civil Religion and Modernity”, Social Compass 2000; 47, John A. Coleman, “Civil Religion” dalam Sociological Analysis, 31. Summer 1970 dan NJ Demerath III, “Civil Society and Civil Religion as Mutually Dependent”, dalam Michele Dillon (ed), Handbook of the Sociology of Religion (Cambridge University Press, 2003).

38 Dalam buku ini ditegaskan oleh Durkheim bahwa format dasar dari agama adalah totemisme. Tentang hal tersebut Durkheim mengatakan, “what is fundamental to totemism is that the people of the clan, and the various beings whose form the totemic emblem represents, are held to be made of the same essence. Once that belief was accepted, the disparate realms were bridged”. Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995), 238.

39 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global Dialogue (Philadelpia: Temple University Press, 2000), 1.

40 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 2006) Second Edition, 88-90.

Page 14: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

masyarakat modern dan bukanlah bagian dari sistem kepercayaan masyarakat

primitif.

Dalam Elementary Form, karya yang berusaha untuk melihat bentuk-

bentuk awal dari kepercayaan ini, Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat

memiliki keunikannya tersendiri dalam soal keyakinan. Durkheim

mendefinisikan agama dari sudut pandang ”yang sakral.” Ini berarti ”agama

adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan

dengan suatu yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-

keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral

yang disebut Gereja, dimana semua orang tunduk kepadanya” atau ”sebagai

tempat masyarakat memberikan kesetiaannya”.

Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan karakteristik paling

mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-

elemen ”supernatural” seperti yang telah dikemukakan di atas, melainkan

terletak pada konsep tentang ”yang sakral” dimana keduanya yaitu supernatural

dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim,

seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang

kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara

”yang sakral” (sacred) dan ”yang profan” (profane), yang selama ini dikenal

dengan ”natural” dan ”supernatural.” Durkheim menambahkan bahwa hal-hal

yang bersifat ”sakral” selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa,

yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu

dihormati. Hal-hal yang bersifat ”profan” merupakan bagian keseharian dari

hidup dan bersifat biasa-biasa saja.

Durkheim menuturkan, konsentrasi utama agama terletak pada ”yang

sakral,” karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan

kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh

yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu.

Page 15: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Maka, Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang ”yang sakral” dan ”yang

profan” hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral,

bahwa yang sakral sebagai ”kebaikan” dan yang profan sebagai ”keburukan”.

Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam ”yang

sakral” ataupun ”yang profan”. Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah

menjadi profan dan begitupula sebaliknya, yang profan tidak dapat menjadi yang

“sakral.” Dari definisi ini, konsentrasi utama agama terletak pada hal-hal yang

sakral.

Yang sakral, kata Durkheim, adalah tidak lain dari masyarakat itu sendiri.

Karena masyarakat melibatkan kelompok yang lebih besar dan terkait dengan

kesejahteraan dari komunitas yang besar. Sementara yang profan adalah

masalah-masalah kecil yang mencerminkan kegiatan individu sehari-hari.

Mereka, lanjut Durkheim, memiliki kesadaran bersama (collective consciousness)

dalam sebuah ritual.41 Upacara itu untuk memilah warna kehidupan yang sakral

dari yang profan.

Hemat penulis, inilah filosofi dari apa yang oleh Rousseau disebut sebagai

agama sipil tersebut. Durkheim berpendapat bahwa format dasar dari

kepercayaan itu berasal dari kolektifitas individu yang menyatukan asas

moralnya. Agama disini berperan lebih sebagai ekspresi masyarakat yang

terintegrasi bukan sebagai sumber integrasi masyarakat.

Asosiasi manusia didasarkan atas klan ataupun karena adanya kesamaan

tujuan ataupun kesamaan tradisi yang melakukan penyatuan berdasarkan

substansi moralitas yang dikandung. Mereka menyadari semua itu sebagai

sebuah collective consciousness. Durkheim menyebut kesadaran kolektif itu

hanya akan muncul saat mereka mengalami semacam “collective effervescent”

dimana semua kepentingan-kepentingan individu menyatu dalam sebuah

41 Ibid., 218.

Page 16: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

kolektifitas masyarakat.42 Disinilah hakikat dari agama sipil itu bisa ditemukan.

Ada kepentingan bersama yang menjadi kesepakatan dari tiap-tiap anggota

kelompok.

Penulis melihat bahwa dengan model ini, Durkheim hendak

menyambungkan format dasar dari agama dengan integrasi. Jadi bukan lantas

agama yang menghasilkan masyarakat yang terintegrasi, tetapi lebih pada

bahwa fenomena tersebut memiliki kualitas keberimanan. Sekumpulan orang

pada taraf tertentu yang membentuk sebuah masyarakat, secara otomatis akan

melahirkan sebuah agama yang dipeluk secara publik. Dan karena keunikannya

itulah, dengan mengikuti cara berpikir Durkheim, maka tidak ada masyarakat

tanpa agama. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai fakta unitas, tidak

semata-mata kenyataan keagamaan.

Jika dikaitkan dengan tesis agama sipil, maka gagasan Durkheim tentang

agama, bukan tidak mungkin akan menemukan pelbagai kerumitan. Ketika

berbicara soal integrasi, pengalaman unitas serta praktek ritus yang

diekspresikan, maka yang kita baca dari gagasan Durkheim itu adalah praktek

totemik dari masyarakat Arunta. Pengalaman semacam ini, rentan ketika

dihadapkan pada klaim generalisasi. Apakah gagasan agama Durkheim seperti

yang muncul dalam Elementary Form itu merupakan suatu yang universal atau

tidak.

Menurut Hammond, interpretasi umum terhadap tesis Durkheim bahwa

sebuah masyarakat akan terintegrasi sebanding dengan tingkat sejauhmana ia

memiliki sebuah agama umum, didasarkan pada dua kekuatan.43 Pertama, istilah

utama dalam tesis itu dibalik, sehingga suatu masyarakat terintegrasi, ekspresi

integrasinya akan berlangsung sedemikian rupa sehingga bisa kita sebut agama.

Kedua, karena konflik jelas membahayakan integrasi sosial, maka resolusi

42 Ibid., 238.

43 Phillip Hammond, Varieties of Civil Religion (San Fransisco: Harper & Row, 1980).

Page 17: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

konflik berlangsung kemungkinan merupakan sebuah peristiwa yang

mengekspresikan agama ini.

Dalam diskursus agama sipil, ketika konflik terjadi, maka gereja tidak dapat

menyelesaikan konflik antar gereja misalnya. Disini, diperlukan institusi hukum

untuk menyelesaikannya. Institusi hukum memiliki peran dalam perkembangan

agama sipil.

C. Perbandingan Rousseau dan Durkheim

Konstruksi awal dari agama sipil baik Rousseau maupun Durkheim

sesungguhnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan

kemasyarakatan. Rousseau mencoba mengajukan agama sipil sebagai cara untuk

membangun masyarakat ideal sementara Durkheim melihat kualitas keagamaan

dalam satu masyarakat.

Bagi Rousseau, agama sipil dikonstruksi secara top-down sebagai sumber

artifisial dari civic virtue.44 Durkheim, berbeda dari Rousseau melihat agama

sipil sebagai gerak sebaliknya yakni suatu pengalaman sosial yang dalam.45

Perbedaan kesimpulan yang dihasilkan oleh keduanya bisa dimengerti karena

Rousseau dan Durkheim berangkat dari dua latar belakang keilmuan yang

berbeda. Dalam Social Contract, Rousseau mengelaborasi banyak tema terkait

dengan struktur dan infrastruktur sebuah negara. Sebagai seorang yang bergelut

dengan tradisi filsafat politik abad pencerahan, Rousseau mengetengahkan tema

agama sipil dalam relasinya dengan struktur negara dan pemerintahan.

Kegelisahan Rousseau ketika mengkritik tiga model agama yang disinggungnya

dalam Social Contract adalah karena ketiganya tidak mampu memberikan solusi

kepada rakyat di sebuah negara untuk menjadi warga negara dan warga agama

yang baik.

44 N.J. Demerath III dan Rhys H. Williams, “Civil Religion in Uncivil Society”, ANNALS,

AAPSS, 480, July 1985, 156. 45 Ibid.

Page 18: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Bagi Durkheim, dasar yang paling hakiki dari agama sipil bukanlah dalam

kaitannya dengan negara.46 Sebagai sosiolog fungsionalis, Durkheim mengamati

momentum yang jauh lebih mengakar dari masyarakat yakni soal kesadaran

kolektif. Setelah melakukan studi terhadap bentuk-bentuk dasar dari kehidupan

keagamaan dengan mengambil sampel Suku Aborigin di Australia, Durkheim

sampai pada satu konklusi; jika agama diberikan kepada semua sebagai suatu

yang esensial dalam masyarakat, maka itu karena ide masyarakat adalah jiwa

dari agama.47 Kohesi sosial merupakan tema utama dalam perbincangan itu.

Meski Durkheim tidak berbicara dalam konteks yang luas dalam menelaah dasar

dari agama, namun Durkheim tentu saja tidak menegasikan kemungkinan

hadirnya masyarakat yang lebih luas dari Suku Aborigin. Penekanannya

terhadap komponen sebuah masyarakat yang percaya terhadap afeksi dari

kolektifitas yang dikembangkan melalui sentimen dan ritual keagamaan. Bagi

Durkheim, setiap kelompok, atau lebih tepatnya setiap masyarakat memliki

dimensi keagamaan.48

Rousseau membangun teori agama sipil sebagai bagian dari momen

politik-kenegaraan, sementara Durkheim (dalam Elementary Form) menimbang

gagasan elementer dari agama sipil sebagai suatu kesadaran bersama dalam

masyarakat. Jika kesadaran masyarakat menjadi sentrum, maka berdasarkan

dua konstruksi awal agama sipil, penulis menyimpulkan ada dua bangunan teori

mengenai agama sipil.

Pertama adalah teori sentrifugal dimana konstruksi agama sipil bergerak

menuju pusat, dari masyarakat menuju idealitas bernegara seperti yang

digambarkan Rousseau. Kedua, teori sentripetal yakni kesadaran kolektif, civic

morals, sebagai poros dari pandangan tersebut dengan merujuk pada pandangan

46 Bandingkan dengan Ivan Varga, “Social Morals, the Sacred and State…

47 Emile Durkheim, The Elementary Forms. . .419. 48 John A. Coleman, “Civil Religion” . . .69.

Page 19: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Durkheim. Gambaran tentang bagaimana gabungan dari dua konsepsi teoritik ini

bisa kita dapati dalam paparan Bellah tentang agama sipil di Amerika.

Agama Sipil Amerika: Robert N. Bellah

Tak dapat disangkal, diskursus agama sipil menemukan momentumnya

ketika Robert N. Bellah menulis risalah yang berjudul Civil Religion in America.49

Bellah menelaah dasar kehidupan masyarakat Amerika dimana perkembangan

kehidupannya tidak lepas dari hadirnya ”momen bersama” yang olehnya dikenal

sebagai agama sipil. Dilihat dari waktu keluarnya gagasan tersebut, bisa

ditegaskan di sini, kalau tema itu lahir tidak lama setelah pembunuhan Presiden

John F. Kennedy.

Menurut Bellah, agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang

terekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.50 Dimensi

keagamaan itu ada dalam kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya

terhadap pengalaman sejarahnya dalam pancaran realitas transenden.51

Dalam masyarakat Amerika, agama memiliki kedudukan yang cukup

penting. Orang Amerika mendonasikan uang dan waktunya untuk institusi

keagamaan.52 Lebih dari 40 persen, bangsa Amerika mendatangi pelayanan

ibadah setiap minggu dan 60 persen dari mereka merupakan anggota dari

49 Robert N. Bellah, “Civil Religion in America”, Daedalus 96, 1967, 1-22. Reprinted in Robert Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World (University of California Press, 1980), 168-189. 50 Robert N. Bellah, Beyond Belief… 171. 51 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (University of Chicago Press, 1992), 3. Bandingkan dengan definisi John A. Coleman tentang agama sipil. Menurut Coleman, civil religion is the mystic chord of communal memory which ties together both a nation’s citizenry and the episodes of its history into a meaningful identity by using significant national beliefs, events, persons, places, or documents to serve as symbolic repositories of the special vocational significance of the nation-state in the light of a more ultimate or transcendent bar of judgment: ethical ideals, humanity, world history, being, the universe or God. John Coleman, An American Strategic Theology (New York: Paulist Press, 1982), 109. 52 Robert N. Bellah et.al., Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life (Harper and Rows Publishers, 1986), 219, 63.

Page 20: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

perkumpulan keagamaan.53 David Leege menulis bahwa sekitar tiga per lima

atau tiga per empat dari warga Amerika merupakan bagian dari gereja-gereja,

sinagog-sinagog atau perkumpulan keagamaan lainnya. Leege menambahkan

jika 82 hingga 93 persen dari warga Amerika dewasa bersedia untuk

menggunakan identitas agama mereka.

Tak hanya berfungsi sebagai afinitas, agama merupakan sesuatu yang

dijalankan baik secara privat maupun publik. Mereka yang hadir dalam pelbagai

kegiatan keagamaan seperti menghadiri ceramah keagamaan, justru lebih

banyak dibanding dengan warga Amerika yang menonton program keagamaan

di televisi dan mendengarkan acara-acara keagamaan di radio.

Dalam situasi keduniawian, gereja menanamkan berbagai keyakinan dan

membentuk pandangan dunia. Gereja membangun struktur-struktur

pemahaman, yakni pelbagai cara menghadapi teka-teki kehidupan serta

menawarkan berbagai norma-norma sosial. Gereja juga membangun asumsi

yang berbeda menyangkut kebaikan maupun kejahatan yang melekat pada diri

manusia, merumuskan pemikiran-pemikiran bagi desain dan tujuan sistem-

sistem politik, serta membangkitkan harapan akhir zaman.

Kaitannya dengan latar belakang etnis atau kedaerahan, kasus di Amerika

kerapkali menunjukkan fakta kalau institusi keagamaan seringkali menutupi

latar belakang etnis atau kedaerahan. Bagi sebagian besar warga Amerika

Serikat, secara historis, politik mendahului agama. Sebagai contoh, mereka yang

berasal dari Irlandia, Italia atau Polandia beragama Katolik. Jika berasal dari

Saxony, Hanover atau Skandinavia, mereka beragama Lutheran. Jika mereka

tumbuh di Utah atau Great Basin, mereka beragama Mormon, atau jika mereka

tinggal di Deep South, mereka beragama Baptis Southern. Prinsipnya, segala

53 Ibid.

Page 21: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

sesuatu di sekitar, tertata dan dengan serasi tersimpulkan oleh suatu afiliasi

keagamaan.54

Disinilah pentingnya memahami agama dalam politik Amerika. Jika semua

politik bersifat lokal, jelas banyak agama bersifat lokal. Kekhawatiran sempat

muncul pada awal tahun 1980-an ketika para pemuka agama melihat

perkembangan ”gereja elektronik” yang bukan mustahil akan menggantikan

perkumpulan keagamaan yang bersifat lokal.55 Tetapi ternyata kekhawatiran itu

tidak terbukti, karena yang terjadi adalah efek siaran keagaman di televisi tidak

bersifat substitusi, tetapi kumulatif.

Budaya keagamaan Amerika bisa dilihat laiknya sebuah pasar. Di tempat

mana pun, seseorang yang merasa terpanggil oleh Roh Kudus bisa mendirikan

sebuah rumah untuk kebaktian dan layanan-layanan lainnya. Konsensus agama

yang menggerakan lembaga akademis besar sampai akhir abad ke-19 mencair

dari pemaknaan ulang mereka sendiri yang sekuler, dipengaruhi oleh

munculnya institusi negara, kebutuhan nasional baru dan hadirnya lebih banyak

lagi kaum Katolik, Yahudi dan Non Katolik atau Kristen di kalangan guru besar

dan mahasiswa.56 Agama kemudian menjadi tema yang sangat membosankan

yang ditelaah sebagai sebentuk keingintahuan akan masa silam yang

tersingkirkan. Berakar pada takhayul dan tribalisme, agama diperkirakan akan

tergerus oleh dahsyatnya sekularisasi.

Tetapi, sekularisasi ternyata tidak membuat agama benar-benar hilang dari

peredaran. Minat yang terhadap studi agama dan politik justru semakin

menunjukkan gejala yang masif. Kebangkitan minat tersebut muncul melalui (1)

kesadaran bahwa zaman keemasan tidak datang melalui kolaborasi negara dan

universitas (2) kekecewaan terhadap gagasan bahwa Roh Ilahi berkembang

54 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor in American Politics, terj. Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi, “Agama dalam Politik Amerika” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Freedom Institute, 2006), 5. 55 Ibid., 5. 56 Ibid., 7.

Page 22: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

dalam berbagai perang imperialistis dan program sosial yang bermaksud baik.

(3) pengakuan bahwa masyarakat umum Amerika tidak pernah melakukan

sekularisasi. (4) pelembagaan kembali program-program studi agama di

kampus-kampus negeri dan swasta (5) pengakuan bahwa dalam masyarakat

dengan budaya yang beragam, agama bisa menjadi kekuatan yang menyatukan

dan memecah belah dan karena itu orang ingin tahu hal tersebut.57

Bagi generasi awal intelektual politik Amerika, mempelajari agama

merupakan suatu yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian, keyakinan

Protestan arus utama sangat tertanam dalam budaya yang mendalam dari ilmu

sosial pada zaman itu. Selain itu, memberikan banyak kepercayaan pada agama

dalam interpretasi-interpretasi politik dianggap membahayakan struktur

masyarakat. Agama kemudian menjadi faktor pembela manusia. Politisi-politisi

memiliki andil atas kebodohan rakyat dengan menggunakan metafor-metafor

keagamaan dalam kampanye mereka. Sebuah bangsa yang sangat beragam,

sangat heterogen, dapat dipecah belah dengan sangat mendalam oleh agama.

Singkatnya, politik Amerika melibatkan berbagai hubungan simbiosis antara

para elit dan pemilih, tidak hanya menyangkut isu-isu ekonomi, tetapi juga

menyangkut isu-isu yang menghubungkan pandangan-pandangan dunia

keagamaan dan mobilisasi gereja.

Kata Leege, seharusnya ilmuwan sosial tidak perlu terkejut bahwa agama

seperti halnya ekonomi, merupakan suatu kekuatan elektoral yang penting.58

Para teoritikus sosial telah lama menunjuk agama sebagai lem perekat yang

menyatukan masyarakat, memberikan legitimasi atas perubahan sosial dan

mendefinisikan banyak harapan dasar kita menyangkut tatanan politik.

Dalam konteks budaya, agama memenuhi semua fungsi dasar sebuah

budaya dari perspektif kelompok-kelompok dan individu-individu. (1) identitas,

57 Ibid. 58 Ibid., 10

Page 23: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

ia mengatakan pada kita siapa kita dan siapa saya. (2) norma-norma, ia

mengatakan bagaimana kita seharusnya bertingkah laku (3) pemeliharaan tapal-

batas, ia mengatakan kepada kita siapa dan perilaku apa yang bukan bagian

kita.59 Namun sangat mungkin agama memiliki arti penting yang lebih besar bagi

pemeluk agama dari sekadar identitas, norma atau batas sosial lainnya karena

dalam agama ada klaim mengenai yang sakral, abadi, penuh dengan makna

puncak dari hidup.

Begitu pentingnya peran agama dalam masyarakat Amerika menghadirkan

pelbagai bentuk pemikiran tentang posisi agama itu sendiri, apakah ia bersifat

privat ataukah publik. Dalam buku Habits of the Heart ditunjukkan beberapa

pandangan umum yang mengemuka dalam menanggapi persoalan ini.60 Ada

sebagian masyarakat Amerika yang memahami agama semata-mata urusan

privat yang harus dijalankan oleh keluarga dan kongregasi lokal. Sementara

yang lain ada yang memahami bahwa agama itu privat di satu sisi, tetapi juga

menjadi sebuah kendaraan utama bagi ekspresi nasional bahkan urusan yang

bersifat global. Meski orang Amerika secara umum menerima doktrin

pemisahan Gereja dan negara, banyak dari mereka percaya, sebagaimana

mereka selalu miliki bahwa agama memiliki peranan penting untuk bermain di

aras publik.

Fenomena bagaimana agama direspon secara beragam oleh masyarakat

Amerika tercermin dalam penegasan hasil penelitian Bellah dan kawan-kawan.

Ia menemukan fakta tentang mereka yang menisbatkan agama dari apa yang ia

pikirkan sendiri tentang agama. Salah satunya adalah Sheila Larson seorang

perawat yang menyebut agamanya sebagai ”Sheilaism”. Itulah salah satu respon

masyarakat Amerika terhadap keyakinan yang dipeluknya.

59 Ibid., 15-16. 60 Ibid.

Page 24: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Dalam sejarah Amerika sendiri, relasi antara bangsa dan agama selalu

berkait dengan dua pandangan yang berkembang dalam masyarakat itu.

Menurut Bellah, dua cara pandang itu masing-masing, Pertama, ide yang berasal

dari gagasan keagamaan: satu masyarakat, satu iman. Kedua, gagasan yang tidak

dikaitkan sama sekali dengan organisasi keagamaan; satu individu, satu iman.61

Fenomena Sheilaisme seperti yang disitir Bellah di atas merupakan salah satu

ekspresi dari fenomena satu individu, satu iman.

Dalam sejarah perkembangan Kekristenan, ketegangan antara agama dan

negara selalu menjadi warna dari rona kesejarahan Kristen itu sendiri. Ide

mengenai pemisahan agama dan negara atau negara yang tidak memberikan

kesempatan pada agama untuk terlibat di dalamnya adalah suatu hal yang

modern dan meragukan.62 Kekristenan sendiri telah dicandra sebagai religious

legitimation bagi kebijakan negara-negara di Barat. Di Amerika, pemisahan

antara agama dan negara tidak memiliki dasar konstitusi.63 Meski begitu,

Kekristenan atau agama lain juga tidak menjadi agama negara.64

Tentang agama sipil, Bellah sendiri menyandarkan paparannya mengenai

hal tersebut pada uraian Rousseau dan Durkheim. Dalam Beyond Belief, Bellah

mengintrodusir gagasan tentang agama sipil di Amerika.65 Dengan sendirinya,

konsep agama sipil Amerika ini, sesungguhnya racikan yang bermula dari para

pemikir Perancis. Bellah mengatakan di Amerika ada sebuah agama sipil yang

tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengan, namun juga

secara jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari Kekristenan. Artinya, agama

sipil Amerika bisa dibedakan dari ”institusi” agama sipil di pelbagai belahan

61 Robert N. Bellah and Frederick E. Grenspahn (eds), Uncivil Religion: Interreligious Hostility in America (New York: Crossroad, 1987), 221

62 Robert N. Bellah, “Religion and the Legitimation of the American Republic”, Society, no. 4, 1978, 16-23, reprinted as afterword in Robert N. Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (The University of Chicago Press, 1975), 169. 63 Ibid., 169. 64 Robert N. Bellah, The Broken Covenant…, 166. 65 Idem., Beyond Belief. . . .

Page 25: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

negara lainnya karena di Amerika agama sipil terpisah dari gereja maupun

negara.66

Bellah sendiri memahami bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai

national self-worship, melainkan sebagai bentuk ketundukan bangsa Amerika

pada prinsip-prinsip etika yang melampauinya dan dari sudut mana hal itu

harus dinilai.67 Agama sipil itu sendiri, sejauh pembacaan penulis terhadap

pemikiran Bellah, sebenarnya justru muncul dari pelbagai ekspresi

keberagamaan formal. Semangat keberagamaan itulah yang merupakan bagian

dari apa yang disebut sebagai agama sipil.

Kala menelaah tentang ekspresi dari agama sipil Amerika, Bellah

menemukan fenomena yang unik dalam dua momen, state funeral dan pidato-

pidato Presiden Amerika saat diangkat menjadi kepala negara. Bellah misalnya

mencoba menarasikan pidato pengangkatan John F. Kennedy saat menjadi

presiden Amerika tahun 1961. Kennedy mengucapkan tiga kali kata ”Tuhan”.

Pertama ia mengatakan, ”...karena saya telah menyatakan sumpah di hadapan

Anda sekalian dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, ”...keyakinan bahwa hak-hak

manusia tidak datang dari pemberian negara, tetapi dari tangan Tuhan”. Ketiga,

”...karya Tuhan harus benar-benar menjadi karya kita”.68

Menurut Bellah, kata Tuhan yang diucapkan Kennedy adalah cara yang

dibuat untuk memperlihatkan sisa-sisa posisi agama di Amerika dewasa ini.

Kennedy, ketika mengucapkan kata Tuhan, tentu tidak mengacu kepada Yesus

Kristus atau Musa, atau Gereja Kristen. Dan tentu saja ia juga tidak mengacu

kepada Gereja Katolik.69 Ia hanya mengacu kepada konsep Tuhan, sesuatu yang

bisa diterima oleh hampir semua orang Amerika.70

66 John A Coleman, “Civil Religion”. . . 67-77.

67 Robert N. Bellah, Beyond Belief. . . .170

68 Ibid., 170-171. 69 Ibid. 70 Ibid.

Page 26: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Lalu bagaimana memahami konsep Tuhan yang diekspresikan dalam

sebuah negara yang memantapkan posisinya untuk memisahkan antara agama

dan negara? Bellah menjawab bahwa pemisahan antara agama dan negara itu

tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang politik.71 Meski agama

adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi

keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah bangsa. Dimensi

dari keyakinan bersama itu diekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol

dan ritus yang oleh Bellah disebut sebagai ”American Civil Religion”.72

Bellah juga mengatakan bahwa agama sipil Amerika telah melewati tiga

masa percobaan. Pertama, masa kemerdekaan. Kedua, masa perbudakaan.

Ketiga, situasi yang saat ini tengah dihadapi, dimana Amerika secara militer,

ekonomi, dan budaya memiliki pengaruh yang sangat kuat di dunia.73

Fenomena ketiga cukup mengkhawatirkan Bellah. Baginya, agama sipil

Amerika itu adalah ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etis yang

transendental dan terhadap prinsip-prinsip etis tersebut bangsa itu dinilai.74

Pemikiran seperti ini bisa berimbas pada sikap eksklusif bangsa Amerika.

Makanya, Bellah mengupayakan agar pemikirannya tentang agama sipil ini

dipahami dari satu latar belakang Amerika Serikat yang baru saja keluar sebagai

pemenang dalam Perang Dunia II. Kekhawatiran Bellah adalah Amerikanisme

atau sikap patriotik yang berlebihan bukan mustahil dapat membawa Amerika

ke suatu kehidupan yang mengancam eksistensi bangsa-bangsa lain. Karenanya,

dia mengatakan bahwa agama sipil Amerika tersebut haruslah ditempatkan

dalam perspektif agama sipil dunia supaya mendapatkan maknanya.75

Yang menarik dari perkembangan gagasan Bellah ini adalah adanya

tantangan yang sangat keras terhadap pandangannya itu, terutama dari

71 Ibid. 72 Ibid. 73 Ibid., 176-179.

74 Ibid., 171. 75 Ibid.

Page 27: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

lembaga-lembaga keagamaan, sehingga Bellah memutuskan untuk tidak

mengembangkan gagasan tersebut lebih lanjut. Keberatan terutama datang dari

pandangan keagamaan gereja-gereja di Amerika yang eksklusif.76

Melihat paparan Bellah atas agama sipil, maka gagasan tersebut tidak

hanya perlu dilihat dari konteks internal Amerika yang pluralistik, tetapi juga

harus dilihat dari konteks Amerika sebagai salah satu peradaban yang

memberikan pengaruh cukup luas terhadap masyarakat dunia. Americanism

ditambah dengan wawasan teologi yang triumfalistik, sangat potensial

menciptakan kekuatan primordial Amerika yang bukan tidak mungkin

dijustifikasi secara teologis, karena mereka menganggap Amerika sebagai New

Jerusalem. Disitulah Bellah bermaksud untuk menyerukan agar agama sipil

Amerika harus ditempatkan dalam konstelasi ideologi dunia.

Salah satu teoritikus politik yang mencoba mengingatkan bahaya dari ide

agama sipil ini adalah David C. Leege. Pertama-tama, Leege mengidentifikasi

agama sipil atau civil religion di Amerika sebagai percampuran nilai-nilai agama

dan anti agama dari konflik yang inheren diantara keduanya.77 Karena budaya

harus menawarkan dasar ideologis yang lebih stabil, lebih halus bagi sebuah

komunitas politik, maka membangun mitos tampaknya adalah sebuah

keniscayaan. Disinilah agama memegang peranan yang cukup penting. 78

Mitos keagamaan tersebut salah satunya dibangun untuk memperkuat

posisi Deklarasi Kemerdekaan.79 Dalam konteks ini, Bellah menegaskan bahwa

dengan menggunakan kata mitos, bukan berarti bahwa cerita itu tidak benar.80

Mitos tidak mencoba menggambarkan realitas, karena itu tugas ilmuwan. Mitos

berupaya mencari realitas transfigur yang menyediakan makna moral dan

spiritual untuk individu dan masyarakat. 76 John A. Titaley, “Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia. . .4-5. 77 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor . . . 19. 78 Ibid.

79 Robert N. Bellah, The Broken Covenant…, 3. 80 Ibid.

Page 28: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Merupakan suatu kewajiban sebuah bangsa untuk memberikan loyalitas

kepada pemerintah mereka, sebuah kewajiban yang dibebankan oleh Tuhan.81

Namun, adalah kewajiban penguasa untuk memerintah secara adil, kewajiban

yang juga dibebankan oleh Tuhan. Ketika penguasa melanggar kepercayaan

tersebut, orang-orang harus memberontak, bukan bagi diri mereka, tetapi demi

Tuhan.82 Logika inilah yang digunakan untuk mendukung Deklarasi

Kemerdekaan dan juga pembangkangan sipil serta banyak perang moral dalam

sejarah politik Amerika. Bangsa Amerika, karenanya lahir dalam wadah

kewajiban agama. Dengan cepat, tujuan nasionalnya dilekatkan dengan

motivasi-motivasi keagamaan. Monumen-monumennya menjadi tempat ibadah,

koin-koin dan sumpah-sumpahnya memanggil ilahi, lagu-lagu kebangsaannya

menjadi lagu agama, hari-hari libur nasionalnya memenuhi langit dengan

ledakan cahaya dan sambaran petir.83 Tetapi warganya mungkin merupakan

orang bebal yang saleh yang ditipu oleh penguasa yang memanipulasi agama

sipil.

Gagasan-gagasan Amerika tentang pemerintahan sendiri, demokrasi,

kebebasan pemerintahan yang terbatas, semuanya dimasukkan dalam tujuan

spiritual. Agama sipil sebagai satu tujuan spiritual memperlihatkan dirinya

dalam takdir yang terejawantah, dalam emansipasi, dalam beban orang kulit

putih, dan bentuk lain dari imperialisme keagamaan dan ekonomi, dalam perang

untuk membuat dunia aman bagi demokrasi, dalam United Nations dan dalam

perang dingin melawan kekaisaran setan.

Mengutip pandangan Robert N. Bellah agama sipil dalam budaya politik

Amerika mempunyai fungsi-fungsi kependetaan maupun profetik. Fungsi

kependetaan membuat kebijakan Amerika bermandikan rahmat Ilahi dan

memobilisasi loyalitas rakyat melalui tujuan-tujuan transenden. Fungsi profetik

81 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor. . .20. 82 Ibid. 83 Ibid.

Page 29: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

menugaskan para pemimpin dan kebijakan-kebijakan yang gagal untuk berjalan

sesuai dengan suatu tujuan ilahiah bagi bangsa Amerika.

Meski begitu, agama sipil, kata Leege mengutip Wald, seperti bermain

dengan api para dewa. Ia bisa menghasilkan sesuatu yang baik dan buruk seperti

(1) ia bisa memuliakan sebuah bangsa dengan memicu naluri-naluri dermawan

dan komitmen pada prinsip-prinsip bangsa. (2) ia bisa mengarah pada pemujaan

berlebihan terhadap negara (3) ia bisa menghalangi skeptisisme dan kritik diri

yang diperlukan bagi politik demokratis. (4) ia bisa menetapkan standar-standar

yang kaku dan fleksibel sehingga sulit untuk membangun kompromi.84

Leege sepertinya tidak memiliki optimisme pada diskursus agama sipil

ini.85 Bagi Leege, agama sipil merupakan kekuatan pemotivasi yang paling

berbahaya dalam perilaku manusia. Hal itu terjadi karena agama merupakan

memori kolektif dan politik merupakan tindakan kolektif.86 Keduanya adalah

sumber identitas, norma-norma, dan batas-batas. Ketika mereka menjadi hampir

tidak dapat dibedakan dalam sebuah budaya politik, yakni ketika politik menjadi

bersifat penyelamatan dan agama semata-mata menjadi instrumen negara,

lahirlah kemudian sistem totaliter yang paling represif.

Bagi para teoritikus sosial, agama diperlakukan sebagai sumber stabilitas

politik. Glock, seperti dikutip Leege mengatakan bahwa semua organisasi sosial

melibatkan bentuk-bentuk hierarkhis.87 Keyakinan-keyakinan keagamaan

secara khas digunakan untuk menjamin ketidakadilan hierarkis. Menurut Glock,

keyakinan-keyakinan yang menjamin biasanya mengatur atau mengandaikan

mekanisme-mekanisme kontrol sosial seperti sanksi, kompensasi dan ideologi.88

84 Ibid., 21.

85 Ibid., 22. 86 Ibid.

87 Ibid. 88 Charles Glock, “Images of ‘God’, Images of Man, and the Organization of Social Life”, Journal for the Scientific Study of Religion 11: 1-15.

Page 30: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Sanksi berkisar mulai dari instrumen-instrumen yang diinternalisasi

seperti kebiasaan dan adat istiadat, hingga instrumen-instrumen eksternal,

seperti hukum dan paksaan. Pada masa stabilitas politik, adat istiadat cukup

untuk memelihara hierarki, hukum menyelesaikan pertikaian antara pihak-

pihak yang berkepentingan dan kekuatan paksaan yang menghukum

pembangkan dan menimbulkan ketakutan pada calon pemberontak.89

Kompensasi mencakup sejumlah besar lembaga dan praktik yang

mengalihkan perhatian orang dari kondisi mereka sekarang ini ke kondisi

eksistensi yang lain. Mereka dapat meliputi kerinduan religius pada dunia lain,

apa yang dicap oleh Marx agama sebagai candu masyarakat.90 Sesuai dengan

sifatnya, sebagian besar agama menyediakan kompensasi akhir, jawaban

terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh wacana ilmiah,

yakni tentang hidup, kematian dan keabadian.

Ideologi adalah hal yang paling signifikan ketika terjadi perubahan sosial.91

Ideologi adalah suatu visi, suatu gambaran verbal tentang masyarakat yang baik

dan sarana-sarana utama untuk mencapainya. Ideologi tidak memihak status

quo, tetapi instrumen perubahan. Kaitannya dengan agama, menurut Alexis De

Tocqueville, di Amerika Serikat agama menopang kebiasaan-kebiasaan baku

rakyatnya. Agama tidak akan pernah bergabung dengan negara, tidak pernah

menjadi dominan secara politik melalui kelompok keagamaan tunggal dan tidak

pernah merasionalisasi gerakan-gerakan politik yang bisa mengklaim sebagai

satu-satunya kebenaran.92 Kebenaran tidak tercakup dalam lembaga-lembaga

politik; ia tidak akan pernah ditemukan dalam Kerajaan Tuhan di muka bumi.

89 Ibid. Lihat juga David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious

Factor. . .22-23. 90 Ibid., 23-24.

91 Ibid., 25. 92 Alexis De Tocqueville, Democracy in America, Vol I (New York: Vintage Book, 1990), 305.

Page 31: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Sebaliknya kebenaran selalu berada di luar pemahaman, dalam prinsip-prinsip

keagamaan yang transenden.

Konsepsi tentang agama sejatinya membentuk sebuah ideologi perjuangan

politik. Penafsiran atas agama menjadi cetak biru, sebuah ideologi, yang

menempa konsensus pada saat perubahan yang besar. Dengan tegas,

Tocqueville menuturkan kalau di Amerika semangat keagamaan terus menerus

didorong oleh tugas-tugas patriotis.93 Tocqueville menunjukkan fenomena itu

dengan mengatakan, These men do not act exclusively from a consideration of a

future life; eternity; eternity is only one motive of their devotion to the cause it.94

Tema penting yang perlu dijelaskan dalam kaitannya memahami agama

dan politik dalam teori sosial adalah hipotesis masyarakat massa dan argumen

bahwa agama adalah lembaga mediasi yang bisa melindungi warga dari negara

modern yang kuat. Ia mempunyai relevansi khusus bagi budaya politik dan

agama Amerika. Budaya politik masih memiliki harapan karena kekuasaan yang

berdaulat belum menghancurkan lembaga-lembaga mediasi. Lembaga mediasi

yang kritis dilihatnya dalam (1) struktur sistem politik itu sendiri (2) asosiasi-

asosiasi sukarela (3) agama.

Sistem politik Amerika yang terdesentralisasi menyebabkan kekuatan

politik tersebar melalui sistem pemerintah kota. Kekuasaan tidak dapat dengan

mudah memusat selama pemerintah lokal masih tetap penting. Asosiasi sukarela

ada dimana-mana; ketika sebuah persoalan muncul di luar kemampuan sendiri,

rakyat akan bergotong-royong memecahkannya dan bukannya secara langsung

menyerahkan kepada pemerintah. Dan agama, pada akhirnya menjadi faktor

utama dalam perjuangan untuk mencegah kesetaraan menjadi despotisme.

Agama dalam versi Amerika memperlakukan keabadian sebagai suatu

motif, tetapi pada dasarnya agama memusatkan perhatiannya pada bagaimana

93 Ibid., 306.

94 Ibid.

Page 32: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

menjalani hidup sehari-hari sesuai dengan ajaran Tuhan.95 Agama yang sejati,

menurut Tocqueville mengharuskan ketaatan semua kelas warga negara pada

dogma.96 Dalam hal itu agama merupakan penyeragam dan pemersatu. Karena

agama, sebagaimana yang dipahami tidak mengompromikan nilai-nilai

spiritualnya, bagaimana ia hidup selaras dengan Tuhan dan umat manusia, ia

kurang memerhatikan kondisi-kondisi material yang spesifik. Agama harus tetap

relevan bagi manusia namun tidak boleh kehilangan transendensinya.

Dalam sebuah masyarakat yang plural, maka agama, demikian tulis Leege

memiliki peran sebagai lembaga mediasi.97 Peran ini penting untuk dijelaskan

dalam kaitannya untuk memahami agama dan politik dalam teori sosial. Ia bisa

melindungi warga dari negara modern yang kuat. Dalam situasi tersebut,

penting untuk menjaga sebisa mungkin agar agama harus mengambil jarak dari

negara, mendorong loyalitas terbatas pada negara, tetapi tetap memelihara hak

untuk menghakimi.98 Dalam kehidupan bernegara, agama tidak akan pernah

menggantikan hukum sipil karena dengan melakukan hal demikian, ia menjadi

duniawi dan sementara, hukum bersumber dari kedaulatan rakyat, tetapi

keadilan bersumber dari kedaulatan manusia dan Sang Pencipta.99 Hukum

keadilan yang semakin tinggi merupakan suatu pelindung dari tirani.

Leege sepertinya tengah menebar optimisme pada gereja sebagai lembaga

mediasi, terutama dari ancaman totalitarianisme.100 Untuk mendukung

argumentasinya tersebut, Leege memaparkan bahwa lembaga mediasi

diperlukan untuk (1) melindungi individu dari sebuah negara yang sangat

berkuasa sekalipun baik hati. (2) menyediakan pelayanan-pelayanan yang

membuat ketergantungan pada birokrasi negara menjadi kurang perlu (3)

95 Ibid., 311.

96 Ibid. 97 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt (ed), Rediscoveringthe Religious Factor. . ., 31. 98 Ibid. 99 Ibid.

100 Ibid., 32

Page 33: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

menjadi pusat-pusat identitas yang menyaingi atau melampaui loyalitas negara-

bangsa. (4) memelihara kriteria moral untuk menilai kinerja negara. Dan tidak

ada lembaga yang terkondisikan secara baik untuk memerankan fungsi ini

kecuali agama, khususnya gereja-gereja lokal.101

Dengan menjadi lembaga mediasi, maka anggota gereja memiliki lima

keterampilan esensial dari kewarganegaraan aktif. Pertama, keterampilan sosial

dalam memimpin, mendengarkan dan memediasi. Kedua, kesadaran akan isu

publik dari perspektif moral. Ketiga, dorongan untuk bergabung dengan

kegiatan lain untuk perbaikan sipil dan masyarakat. Keempat, sebuah keyakinan

bahwa ada sifat sakral pada kewajiban sosial yang melampaui kepentingan diri

sendiri. Kelima, penghargaan diri yang berasal dari tugas publik.102

Diluar perdebatan tentang gagasan ini, Bellah menekankan kalau agama

sipil Amerika sekarang seperti berada dalam kehampaan. Ini terjadi karena

dalam republikanisme, kovenan eksternal saja tidak cukup. Kovenan tersebut

tidak hanya dipatuhi, tetapi harus juga dicintai oleh mereka yang

menjalankannya. Bellah menyatakan, the external covenant must become an

internal covenant and many times in our history that has happened.103 Namun,

kovenan internal tidak dapat dilengkapi hanya melalui institusi, itu adalah

semangat dan memiliki ritmenya sendiri.

Tidak hanya di Amerika, fenomena perkembangan agama sipil juga bisa

dilihat di Italia, Meksiko dan Jepang dan mungkin juga model itu ada di

Indonesia. Bellah dan Phillip E. Hammond memaparkan hal itu dalam ”Varieties

of Civil Religion”.104

Menurut Hammond, perkembangan agama sipil di pelbagai negara itu

paling tidak dilatari oleh tiga alasan. Pertama, kondisi pluralisme keagamaan 101 Ibid., 35

102 Ibid., 35. 103 Robert N. Bellah, The Broken Covenant…, 142. 104 Khusus untuk perkembangan Agama sipil bisa dilihat dalam Robert N. Bellah dan Phillip E.Hammond, Varieties of Civil Religion (San Fransisco: Harper & Row, 1980), 27-180.

Page 34: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

tidak memungkinkan bagi salah satu agama untuk digunakan oleh seluruh

agama sebagai sumber makna yang bersifat general dan berlaku bagi setiap

individu yang berlatar belakang identitas berbeda tersebut. Tetapi kedua,

masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk melekatkan sebuah makna

dalam aktifitasnya, khususnya ketika aktifitas itu berkaitan dengan individu

yang berangkat dari latar belakang keagamaan yang beragam. Karenanya, ketiga,

diperlukan sistem makna pengganti dan jika telah ditemukan, aktifitas mereka

dapat difasilitasi oleh sistem tersebut, oleh sebab itu kemudian mereka

cenderung mengagungkan sistem itu.105

Jika dilihat dari konteksnya, gagasan Bellah tentang civil religion itu harus

ditempatkan dalam konteks masyarakat imigran di tahun 1600an. Gelombang

besar perpindahan penduduk terjadi dari Eropa ke Amerika Utara. Alasan untuk

mencari kebebasan agama dan politik adalah salah satunya. Di Inggris, abad 16-

17 muncul gejolak saat ada tuntutan dari kelompok Puritan yang ingin

merombak tatanan Gereja resmi Inggris dari dalam.106 Pada dasarnya mereka

menghendaki semacam puritanisme yang lebih luas terhadap gereja nasional,

menyederhanakan sistem keyakinan serta tata ibadah. Gagasan kelompok

puritan ini dianggap membahayakan keutuhan negara, ancaman yang potensial

memecah belah rakyat dan pasti merongrong wibawa Raja.107

Ketika Raja James I memerintah (dari 1603-1625), banyak dari kelompok

Separatis ini yang akhirnya keluar dari Inggris karena merasa tidak mungkin

melakukan perubahan dogma seperti yang mereka kehendaki.108 Mereka

berangkat ke Leiden, Belanda agar bisa beribadah menurut cara yang

diyakininya. Beberapa bagian kecil dari mereka akhirnya memutuskan pergi

105 Phillip Hammond, “The Rudimentary Forms of Civil Religion”, dalam Ibid., 121-122.

106 Keith W. Olson, et.al., An Outline of American History, (United States Information Agency, 1990), 4. 107 Ibid. 108 Ibid.

Page 35: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

dari Belanda dan sampai di tanah baru, Plymouth tahun 1620.109 Situasi tak

kunjung membaik bagi nasib kelompok Puritan di Inggris. Saat Raja Charles I

naik tahta tahun 1625, pembatasan khotbah terhadap pendeta Puritan semakin

kuat. Mereka akhirnya juga berlayar ke Amerika pada tahun 1630.110

Selain kelompok Puritan, datang juga di kelompok lain di Amerika yang

berpindah karena alasan agama. William Penn dari aliran Quaker juga datang ke

Amerika karena di Inggris mereka tidak mendapatkan ruang untuk

mengekspresikan keyakinan keagamaannya.111 Penn kemudian mendirikan

koloni di Pennsylvania.

Melihat sejarah awal Amerika tampak bahwa kebebasan beragama adalah

salah satu motivasi yang mendorong mereka untuk berhijrah. Pendefinisian

awal mereka soal kolektifitas adalah agama. Makanya koloni-koloni awal mereka

adalah kelompok Puritan, Quacker, Mennonite dan lainnya. Meski begitu yang

perlu diingat, apapun varian Kekristenan di Amerika, Tuhannya itu ada dalam

konsep Christendom. Tentu saja ini karena dilatari kelompok-kelompok tersebut

yang anti Established Church di Inggris. Sehingga kemerdekaan yang mereka cari

adalah kebebasan beragama. Definisi Tuhannya unified. Sehingga agama menjadi

pendefinisi komunitas-komunitas di Amerika. Ide sekularisme dimaksudkan

sebagai cara untuk mengamankan cita-cita agama. Dalam konteks inilah kita

memahami ide agama sipilnya Bellah.

Elaborasi Robert Bellah tentang agama sipil ada dalam konteks

kesejarahan Amerika yang menjadi tempat dimana kolektifitasnya bersumber

dari agama, lebih spesifik lagi Kekristenan. Agama sipil tumbuh dari agama

sebagai sumber moralitasnya. Tidak ada pasokan lain untuk moralitas selain

agama. Relatif homogen, karena meskipun banyak varian, tetapi tetap dalam

satu Kekristenan.

109 Ibid. 110 Ibid. 111 Ibid.

Page 36: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Agama sipil Pasca Bellah: Shank dan Coleman

Jika di Amerika ide agama sipil dikaitkan dengan patriotisme, maka John A.

Coleman berupaya mendorong dan mencari kontribusi ini untuk membangun

teologi pembebasan di Amerika Latin. Pengalaman Amerika, hemat Coleman

bisa diambil untuk membangun formulasi agama sipil Amerika Latin baru untuk

masyarakat yang berkeadilan.112 Dengan tegas, Coleman mengatakan bahwa di

Amerika Latin, teologi pembebasan itu adalah model dari apa yang disebut

sebagai agama sipil.

Gagasan agama sipil lain dipaparkan Andrew Shank dalam ”Civil

Religion”.113 Dalam karyanya tersebut, Shank menyinggung tentang apa yang

disebut sebagai civil theology. Teologi model ini adalah sejenis pemikiran, yang

dalam budaya Kristen muncul dari sejarah teologi konfesional Kristen. Menurut

Shank, agama sipil menjadi disiplin ilmu yang bertujuan untuk menyembuhkan

memori-memori yang terpecah belah sehingga mampu membuka kemungkinan

ditempanya ikatan-ikatan solidaritas baru.114

Yang menarik dari paparan Shank hemat penulis adalah karena ia mencoba

mengaplikasikan konsep ini tidak hanya dalam kategori manusia beragama.

Shank mengatakan bahwa agama sipil mampu menghasilkan ikatan solidaritas,

dimana agama sipil membantu memunculkan sekaligus merayakannya adalah

solidaritas yang melampaui pembedaan antara orang beriman dan tidak

beriman, teis dan ateis.115

Sebagai inti dari agama sipil, teologi sipil harusnya berbeda dari teologi

konfesional dalam hal cara yang digunakan untuk kembali menuju tahap pra

112 John Coleman, An American Strategic Theology. . ., 125. 113 Andrew Shank, Civil Society Civil Religion (Oxford: Blackwell Publishers, 1995).

114 Ibid., 4. 115 Ibid.

Page 37: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

teologi.116 Atau ia adalah hierologi, sebuah studi mengenai kesucian yang benar,

yang didalamnya pertanyaan-pertanyaan teologi dibiarkan terkurung.117 Dengan

demikian, pelaku dari perdebatan ini terbuka bagi siapapun bagi semua tradisi

agama maupun anti agama. Teologi sipil, ujar Shank, berada pada wilayah

tengah antara teologi konfesional dan hierologi sipil.118

Yang penting, menurut Shank, dalam membicarakan teologi sipil adalah

ketidakharusannya berkonflik dengan teologi konfesional. Akan menjadi konflik

jika teologi konfesional mengklaim akses eksklusif menuju kebenaran. Begitu

juga jika teologi sipil menuduh iman konfesional akan memproduk orang-orang

yang tidak baik. Teologi konfesional tidak harus membuat klaim seperti itu dan

tidak harus menghasilkan manusia-manusia jahat.119

Jika Shank mengaitkan agama sipil dengan teologi sipil yang bahkan

mengakomodir non-believers, John A. Coleman berusaha memetakan beberapa

model agama sipil di pelbagai belahan dunia.120 Menurut Coleman, setidaknya

ada tiga tipe agama sipil. Pertama, continued undifferentiation (kejumbuhan

berkelanjutan). Model ini adalah bentuk agama sipil yang memiliki sifat,

karakter serta fungsi yang sama dengan institusi yang ada dalam masyarakat itu

sendiri (baik agama konvensional maupun negara). Agama sipil tipe continued

undifferentiation ini memiliki dua model.

Model pertama yakni, agama sipil yang disponsori oleh gereja (church-

sponsored). Dalam tipe ini agama yang dianut oleh kebanyakan warga negara

merasa dapat mengembangkan simbol-simbol dan nilai-nilai keagamaannya

sebagai kebutuhan dan tujuan kehidupan negara, sehingga agama tersebut bisa

menjadi petunjuk juga bagi kehidupan sipil. Definisi agama sipil seperti ini

sejatinya adalah bentuk sederhana dari deism. 116 Ibid. 117 Ibid.

118 Ibid. 119 Ibid.

120 John A Coleman, “Civil Religion” . . ., 76-77.

Page 38: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Ada tiga masalah yang muncul bila agama sipil dengan model seperti ini

dikembangkan dalam sebuah masyarakat. Masalah utama adalah soal kebebasan

beragama dan sipil dari kelompok minoritas seperti Kekristenan di Srilangka.

Problem berikutnya adalah soal kesetiaan terhadap negara. Bagi mereka yang

menganut agama di luar agama resmi negara, maka penganut agama minoritas

memiliki masalah dalam hal loyalitas terhadap negara. Terakhir, bila agama

resmi tersebut adalah agama yang sangat tradisional serta sulit menerima

perubahan-perubahan modernitas, maka perkembangan masyarakatnya akan

sangat lambat. Contoh yang dikemukakannya untuk tipe ini adalah Spanyol dan

Srilangka.

Model kedua adalah agama sipil yang disponsori oleh negara (state-

sponsored). Dalam tipe ini negaralah yang memaksakan bentuk keagamaan

dalam kehidupan bernegaranya. Masalah yang muncul dengan tipe ini adalah

penolakan dari agama-agama yang sudah ada. Contoh yang dikemukakannya

adalah Penyembahan Kaisar di kekaisaran Romawi dan Shintoisme di Jepang.

Penolakan datang dari Keyahudian dari Kekristenan di Romawi, sedangkan di

Jepang penolakan datang dari agama Buddha dan agama-agama lainnya.

Kedua, nasionalisme sekular, yaitu bentuk agama sipil yang muncul karena

agama-agama yang ada terlalu tradisional atau terlalu dekat hubungannya

dengan suatu rejim yang digantikan oleh rejim baru. Nasionalisme itu berfungsi

sebagai “agama” bagi kehidupan negara tersebut dengan cara memberi arah

(destiny) dan nilai. Nasionalisme sekuler perlu dipahami bukanlah sinonim bagi

pemisahan tekhnis antara gereja dan negara.

Ada tiga kasus dimana nasionalisme sekuler berhasil menjadi agama sipil

pada masing-masing lokusnya. Di Rusia atau Uni Soviet, komunisme

menahbiskan diri sebagai pengganti agama-agama tradisional dan berfungsi

sebagai agama sipil. Lenin menjadi santo, May Day dianggap sebagai hari raya

dan revolusi kelompok sosialis. Sementara di Turki, setelah revolusi Ataturk,

Page 39: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

nasionalisme menggantikan Islam untuk menjadi agama sipil. Kasus ketiga

adalah penobatan akal sebagai panglima selama revolusi Perancis menyaingi

Katolik.

Agama sipil dengan mengambil model nasionalisme sekuler ini juga tak

luput dari masalah. Seperti di Turki, agama sipil hanya merupakan agama bagi

segelintir elit ngara. Agama sipil tersebut tidak mampu menembus kalangan

akar rumput. Selain itu juga penolakan dari agama yang ada terlalu besar,

terutama ketika agama-agama memiliki jaringan internasional yang kuat.

Ketiga, agama sipil-pemisahan seperti yang terjadi Amerika. Hal ini

dimungkinkan karena adanya prinsip pemisahan yang tajam antara gereja dan

negara yang ada dalam konstitusi Amerika. Agama sipil itu tidaklah sama dan

juga tidak menggantikan Kristen Protestan atau Katolik dan juga Keyahudian.

Jadi, agama sipil yang dapat dilihat sebagai suatu terobosan atas hubungan

agama dan politik juga dibatasi oleh adanya eksklusivisme agama.

Pemetaan model lain dilakukan oleh Demerath dengan melihat

perkembangan agama sipil di berbagai negara yang melanjutkan gagasan agama

sipil Rousseau.121 Pertama, agama sipil yang dipopulerkan oleh elit politik.

Model seperti ini yang berkembang di Jepang melalui Shinto dari tahun 1860-

1940, Turki di bawah Kemal Attaturk pada 1920, dasar negara Pancasila di

Indonesia yang diperkenalkan oleh Soekarno pada tahun 1945, dan pergesaran

radikal di China oleh Mao Zedong dan komunis setelah 1949 dengan revolusi

budayanya.

Kedua, kasus di Turki dan China memungkinkan hadirnya agama sipil yang

tidak semuanya “religius” dalam pengertian konvensional. Di sana, ada

konstruksi yang lebih dekat dengan religion of the civil atau civil sacred yang

lebih luas. Komunisme di China, Westernism di Turki atau komitmen kebangsaan

untuk sebuah negara kesejahteraan di Swedia, semuanya adalah dasar non

121 NJ Demerath III, “Civil Society and Civil Religion. . . 356.

Page 40: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

religius tetapi memiliki banyak kesamaan harapan laiknya agama untuk

mengikat sebuah bangsa dan kewarganegaraanya secara kultural. Faktanya, kata

Demerath, agama sipil menjadi isu terpenting dari format baru nasionalisme.

Sebagai pungkasan sekaligus ringkasan dari apa yang dikehendaki dari

agama sipil ini dirangkum dengan sangat sistematis oleh oleh Coleman dalam

“civil religion”.122 Secara lebih rinci ia menjelaskan deskripsi tentang agama sipil.

Karakteristik dari agama sipil itu dijabarkan dalam delapan gambaran. Pertama,

agama sipil adalah kumpulan dari ritual dan simbol yang berhubungan dengan

peran seseorang sebagai warganegara dan perannya sebagai bagian dari

masyarakat serta bagaimana memaknai keduanya pada saat yang bersamaan.

Kedua, agama sipil merupakan representasi dari fungsi agama secara

khusus dimana isi dan simbolisasi keagamaan yang ada didalamnya menjadi

tanggung jawab kedua belah pihak yaitu agama dan negara, bukan hanya salah

satunya.

Ketiga, perbedaan sosial agama sipil dari agama dan negara adalah agama

sipil selalu mengikuti garis evolusi kultural sementara agama dan negara tidak

demikian.

Keempat, pada kondisi yang tidak bisa membentuk Agama sipil menjadi

begitu berbeda dengan yang lainnya (undifferentiated), maka fungsi agama sipil

dibentuk oleh institusi keagamaan dan atau oleh negara.

Kelima, selanjutnya pada situasi diatas agama sipil pada saat yang

bersamaan dapat memberikan kebebasan dan keleluasaan baik bagi agama

maupun negara.

Keenam, secara definitif agama sipil merupakan sebuah sistem keagamaan

yang didapat untuk membentuk integrasi sosial di masyarakat luas.

Sebagaimana oleh Durkheim disebut sebagai identitas dan solidaritas nasional

dari agama.

122 John A Coleman, “Civil Religion” dalam Sociological Analysis, 31. Summer 1970, 76-77.

Page 41: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Ketujuh, pada saat agama (organized religion) dan agama sipil memiliki

fungsi yang berbeda dalam berintegrasi dengan masyarakat maka kemudian

timbul pertanyaan apakah agama benar-benar bisa berintegrasi dengan

masyarakat atau malah menjadi sebuah lembaga yang terpisah? Jawabannya

adalah terletak pada bagaimana bentuk hubungan antara agama itu sendiri dan

agama sipil.

Kedelapan, perbedaan antara agama sipil dari institusi keagamaan dan

negara semestinya tidak membuat negara bersikap oposisi terhadap institusi

keagamaan. Sehingga institusi keagamaan dapat secara bebas menjalankan

fungsi profetiknya.

Agama Sipil, Agama Politik dan Nasionalisme

Bagi dinamika perkembangan politik modern, dimana konsep negara-

bangsa menjadi anutan di hampir semua negara, poin tertinggi yang didapatkan

dari gagasan agama sipil ini adalah menciptakan semacam model dari pola

hubungan sosial yang spesifik serta kewajiban-kewajiban politis bagi warga

negara yang harus ditaati.123 Hal ini memberikan kontribusi praktis bagi

terciptanya civic behaviour.

Ronald Beiner mengungkapkan satu pandangan menarik tentang makna

agama sipil. Menurutnya civil religion adalah the civilizing/civicizing of religion –

atau juga bisa disebut sebagai domestikasi agama untuk tujuan politik. Jika

seseorang ingin melakukan domestikasi agama, maka ia harus berjalan di jalur

liberal dengan cara mengurangi peran agama di ruang publik.124

Gagasan untuk menciptakan good citizen seperti yang disinggung

Rousseau, memang agak unik. Beberapa penafsir Rousseau seperti Hammond

menilai kalau ide Rousseau tentang konstruksi agama sipil, menghendaki agar ia

123 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion. . ., 140.

124 Ronald Beiner, Civil Religion: A Dialogue in the History of Political Philosophy . . . 419.

Page 42: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

independen dari negara.125 Namun, menurut Cristi, jika agama sipil itu bebas

dari negara, maka patut dipertanyakan siapa yang menjadi pimpinannya?126

Bagi Cristi, gagasan awal tentang agama sipil seperti yang ditulis tidak

hanya berkembang dalam sebuah bangsa, tetapi juga negara. Tema agama sipil

perlu dikembangkan oleh seorang pemimpin politik. Menurut Cristi, political

leaders frequently use solemn occasions and public forums for the transmission of

civil religion themes.127 Institusi politik dan ritus-ritus publik pada suatu waktu,

menjadi agen bagi indoktrinasi publik lebih dari sekadar menjabarkan prinsip

sentimen publik. Karena itu, agama sipil dalam pemahaman Rousseau tidak lain

adalah agama politik yang dimapankan oleh struktur negara.128 Ini catatan kita

untuk diskusi awal tentang relasi agama sipil, negara atau politik serta

kebangsaan. Dengan kata lain kita mendapati satu model agama sipil yang

berfungsi untuk membangun negara atau state building.

Jika Rousseau melihat agama sipil sebagai “agama politik,” maka aspek lain

yang penting untuk diamati dalam diskursus agama sipil adalah kaitannya

dengan konsep nasionalisme. Memang, sedari awal Bellah mengingatkan bahwa

agama sipil bukanlah national self-worship, tetapi sudah bukan rahasia lagi kalau

ruh dari agama sipil di Amerika memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, dan

juga patriotisme.

Menurut Mc. Guire, agama sipil merupakan ekspresi dari kohesi bangsa.129

Agama sipil memiliki representasi kolektifnya sendiri, melalui gambaran tentang

idealitas dirinya kepada anggotanya. Agama sipil memiliki ritualnya sendiri

dimana anggotanya memperingati even nasional penting dan memperbarui

komitmennya terhadap masyarakat. Di Amerika, seperti gambaran Bellah

momen itu bisa dilihat dalam pelbagai konteks misalnya Memorial Day,

125 Phillip Hammond, “The Rudimentary Forms. . .138

126 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion. . ., 137

127 Ibid. 128 Ibid., 138.

129 Meredith B. McGuire, Religion: The Social Context (Belmont: Wadsworth, 1992), 179.

Page 43: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Inaugurasi Presiden, dan momen kebangsaan lain yang menunjukkan nilai-nilai

nasionalisme. Tak hanya itu, “tempat-tempat keramat” juga memiliki tempat

khusus dalam diskursus agama sipil. Capitol, tempat-tempat peperangan, tempat

kelahiran presiden, menjadi wilayah spesial. Tempat-tempat tersebut menjadi

sesuatu yang sakral, dalam bahasanya Durkheim. Di Amerika, objek yang sakral

juga bisa dijumpai misalnya dalam bendera.

Pertanyaannya kemudian, apakah Bibel tidak merupakan suatu yang

sakral? Dalam diskursus agama sipil, kedudukan Bibel dan teks-teks suci

keagamaan lainya juga tetap menjadi the sacred object. Tetapi perlu dipahami,

bahwa Bibel menjadi sakral bukan karena isinya, tetapi karena ia merupakan

penanda kedekatan pada Tuhan sebagai penguasa kebenaran dan keadilan.130

Agama sipil juga memiliki mitos dan orang-orang sucinya.131 Abraham

Lincoln mungkin menjadi salah seorang figur yang menjadi simbol dari agama

sipil Amerika. “Santo-santo” lainnya bisa disebutkan disini antara lain presiden-

presiden seperti Washington, Jefferson, Wilson, Franklin D. Roosevelt, Kennedy,

pahlawan-pahlawan rakyat seperti Davy Crockett, Charles A. Lindbergh dan

pasukan-pasukan perang laiknya Mac Arthur, Eisenhower, Theodore

Roosevelt.132 Meski tempat-tempat keramat, orang-orang suci, dan perayaan-

perayaan tersebut tidaklah religius dalam pengertian seperti dalam tempat-

tempat dan orang suci masyarakat Yunani Kuno, tetapi mereka tetaplah

memiliki tempat khusus dan tidak boleh dicemari.133 Menurut Mc Guire, inilah

elemen yang cukup penting dari non-official religion.134 Jika agama sipil ini

merupakan ekspresi integrasi bangsa, maka kita bisa berharap bahwa agama

sipil akan menjadi artikulasi yang kuat dalam melakukan resolusi konflik.

130 Ibid. 131 Ibid. Tentang mitos dalam agama sipil, lihat juga dalam Robert N. Bellah Robert N. Bellah, The Broken Covenant…

132 Ibid. 133 Ibid., 179-180.

134 Ibid., 180.

Page 44: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Martin Marty mengatakan, ada dua model agama sipil yakni versi

kependetaan dan profetik atau kenabian.135 Model pertama menunjukkan

kebesaran sebuah bangsa, prestasi dan superioritasnya. Model ini berpotensi

menciptakan masyarakat dengan penghambaan membabi buta terhadap

bangsanya. Mereka mengidentikan kehendak Tuhan dengan kehendak

kelompoknya. Klaim seperti ini pernah digunakan oleh Amerika untuk

melegitimasi intoleransi sebagaimana ada dalam sejarah Amerika ketika

melakukan kekerasan terhadap bangsa Asia tahun 1850, juga dalam perang

dunia II. Hal itu juga dilakukan ketika Amerika berperang melawan Vietnam

pada tahun 1960-1970an. Saat itu merebak stiker atau pamflet yang bertuliskan

”America- Love it or leave it!” dan “America- Change it or lose it.”

Sementara model kedua, mengharuskan para pemimpin bangsa untuk

melawan segala bentuk ketidakadilan dengan berdiri di atas idealisasi sebuah

bangsa. Di sini apa yang disebut sebagai sentimen kebangsaan juga dipahami

sebagai sesuatu yang religius.

Berkaitan dengan nasionalisme, di atas kita sudah mendapatkan satu

fungsi sesuai dengan apa yang dikehendaki Rousseau yakni agama sipil sebagai

upaya memperkuat negara. Fungsi ini merujuk pada peningkatan sebuah

otoritas, organisasi utilitarian untuk melaksanakan bisnis internal dan eksternal

negara. Disamping fungsi state building, ada kegunaan lain dari agama sipil,

yakni dalam konteks nation building. Fungsi ini berakar pada pengembangan

rasa solidaritas sebuah negara dan identitas sebagai sebuah masyarakat.

Dengan begitu, maka sudah bisa dipastikan bahwa agama sipil merupakan

salah satu elemen dalam membangun bangsa. Agama sipil memberikan

solidaritas kebangsaan dan identitas kualitas keagamaan, memungkinkan

masyarakat yang berbeda suku, etnik dan agama untuk hidup bersama,

135 Martin Marty, “Two kinds of two kinds of civil religion” dalam R. Richey and D. Jones (eds), American Civil Religion (New York: Harper & Row, 1974), 139-160.

Page 45: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

menyatukan pengalaman-pengalaman kultural. Meski begitu, upaya itu tidak

selalu membuahkan hasil, tetapi keberhasilan membangun bangsa selalu

memerlukan solidaritas keagamaan sipil (civil religious solidarity).

Karena agama memiliki potensi untuk melegitimasi atau mendelegitimasi

kekuatan negara, maka para pemimpin negara harus selalu membentuk dan

menginterpretasi ajaran agama untuk persaudaraan kebangsaan dalam

kaitannya dengan kekuatan dan legitimasinya.

Pembahasan lain tentang agama sipil dikemukakan oleh Lester Kurtz

dalam Gods in the Global Village. Jika Mc. Guire menyebut agama sipil sebagai

non-official religion, Kurtz menyebut agama sipil ini sebagai quasi-religion.

Agama sipil, menurut Kurtz adalah salah satu bentuk respon terhadap fenomena

multikultural.136 Untuk melihat agama sipil secara utuh dalam pandangan Kurtz,

maka pertama kali yang perlu ditekankan di sini adalah bagaimana melihat

agama sipil diantara respon lainnya terhadap multikulturalisme.

Tentang hal ini Kurtz menuturkan transformasi agama dalam usahanya

menanggapi fenomena multikulturalisme bisa diidentifikasi ke dalam empat

fenomena. Pertama, gerakan anti modernis seperti yang tergambar dalam

teologi protes Kristen dan gerakan Islam tradisional. Kedua, gerakan teologi

pembebasan di Amerika Latin. Ketiga, bentuk agama baru dan quasi agama

seperti individualisme dan konsumerisme, agama sipil dan nasionalisme.

Keempat sinkretisme agama.137

Dalam pemetaan itu, agama sipil oleh Kurtz ditempatkan sebagai salah satu

bentuk “quasi agama”. Dengan begitu ia mengambil aspek yang memiliki fungsi

kurang lebih sama dengan agama yakni menjadi alat kohesi dan integrasi sosial.

Dan seperti halnya McGuire, Kurtzpun mengaitkan agama sipil dengan semangat

kebangsaan.

136 Lester Kurtz, Gods in the Global Village: The World’s Religions in Sociological Perspective (Thousand Oaks: Pine Forge Press, 1995), 168.

137 Ibid.

Page 46: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Salah satu bentuk quasi-agama yang paling signifikan perkembangannya

pada abad 20 adalah munculnya organisasi sosial sebagai konsekuensi

perkembangan konsep nation-state. Elemen yang perkembangannya bisa

dikatakan cukup berpengaruh dalam budaya politik di era ini adalah apa yang

disebut sebagai agama sipil dengan merujuk pada Rousseau dan Alexis de

Tocqueville sebagai bapak moyangnya.138

Perkembangan dari konsep agama sipil ini bisa dipahami paling tidak

karena ada dua alasan penting yang melatarinya. Pertama, menyediakan

kesatuan kultural diantara pluralitas sistem kepercayaan yang ditimbulkan oleh

populasi migrasi atau yang secara artifisial dikonstruksi negara. Kedua, agama

sipil berfungsi sebagai pengganti tradisi agama yang telah dibebaskan untuk

kepentingan penyatuan dengan tatanan lama.139

Dalam kasus Amerika, image keagamaan generik agama sipil misalnya

tersembul dalam semboyan ”In God We Trust” atau ”One Nation Under God”.

Sementara dalam kategori ritualnya, Kurtz menggambarkan beberapa aspek

ritus agama sipil yang antara lain terlihat dalam Thanksgiving, Natal, Kelahiran

Marthin Luther King Jr, Memorial Day dan Peringatan 4 Juli.140

Mengutip Hammond, Kurtz merangkum ideologi yang berada di balik

aliansi “aneh” antara agama dan negara di Amerika. (1) Ada Tuhan (2) Yang bisa

diketahui melalui prosedur yang demokratis (3) Amerika yang demokratis

merupakan agen Tuhan yang utama dalam sejarah (4) bagi masyarakat Amerika,

bangsa merupakan sumber identitas yang paling utama.141

Sebagai akhir dari pembahasan mengenai kerangka teori agama sipil, maka

kita melihat ada dua fondasi teoritik agama sipil seperti yang dituturkan oleh

Rousseau dan Durkheim yakni bangunan sentrifugal dan sentripetal. Kita juga

138 Ibid., 187.

139 Ibid. 140 Ibid., 188. 141 Ibid., 189.

Page 47: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

melihat ada dua versi agama sipil kaitannya dengan konsep nasionalisme yakni

agama sipil dalam pengertian state building dan nation building. Jika kita

perhatikan secara seksama teori sentrifugal itu pada akhirnya sampai pada

kesimpulan bahwa konsep agama sipil harus menjadi political religion (dalam

bahasanya Cristi), lalu diupayakan sebagai salah satu fondasi membangun

negara. Sementara sentripetal, mengindikasikan agama sipil sebagai collective

soul, yang berpusar di lingkaran inti masyarakat, dan tidak selalu berkaitan

dengan negara. Teori ini berhubungan dengan upaya membangun karakter

bangsa. Dalam masyarakat yang homogen, pemisahan antara menjadi bangsa

dan negara barangkali tidak terlalu pelik. Akan menjadi persoalan penting ketika

kita berada pada wilayah dimana tingkat heterogenitas begitu tinggi. Bagaimana

agar seorang menjadi bagian dari negara juga bangsa pada saat yang bersamaan.

Agama sipil dan Transformasi Religiositas Sipil

Ada tiga konsep yang akan dijelaskan dalam bagian ini, yakni religiositas

sipil, transformasi serta transformasi religiositas sipil yang merupakan

perpaduan keduanya. Ketiganya digunakan sebagai jembatan penyambung

dalam memahami Pancasila sebagai agama sipil.

Berbeda dengan konsep agama sipil yang telah terformulasikan, religiositas

sipil merupakan bahasan baru yang belum pernah dikaji secara komprehensif.

Sepanjang pengetahuan penulis baru ada satu karya yang penulis temukan

menyinggung tentang religiositas sipil. Maarten ter Borg, menulis satu artikel

yang berjudul “Fundamentals and Civil Religiosity”.142 Borg menggunakan tema

religiositas sipil itu dalam konteks Belanda dengan terlebih dahulu

mengaitkannya dengan prinsip fundamental dalam agama.

142 Meerten ter Borg, “Fundamentals and Civil Religiosity” dalam L. van Vucht Tijssen et.al (eds), The Search for Fundamentals: The Process of Modernization and the Quest for Meaning (Dordrecht/Boston/London: Kluwer Academic Publishers, 1995).

Page 48: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Borg mengkombinasikan ide kharismanya Weber dengan masyarakatnya

Durkheim. Menurut Borg “...community as a whole is not god, but that its ultimate

values may be charged with charisma and thus become religious.”143 Dan lebih

jauh kita bisa katakan bahwa nilai-nilai itu bisa menjadi sakral karena hal

tersebut bersifat mendasar (fundamental) dan dikuatkan oleh kharisma.

Saat menjabarkan tentang civil religiosity, Borg secara bergantian

menggantinya dengan civil religion. Tidak ada pembedaan yang dilakukan Borg

terhadap dua tema itu. Borg menjabarkan dimensi dari civil religiosity seperti

ritualnya, sama dengan ketika Bellah menjabarkan ritual dalam civil religion. Hal

ini bisa dilihat misalnya dalam uraian Borg;

The values of Dutch civil religiosity are celebrated in various rituals. There is, to begin with, the annual Remembrance Day on Dam Square in Amsterdam. The whole political community is there. The Mayor of Amsterdam or the Prime Minister make a short speech, in which the past, the present and the future are connected.144

Melihat kerangka yang dikembangkan Borg, maka perlu ada pembahasan

lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan religiositas sipil. Penulis hendak

menggambarkan tentang relasi antara agama sipil dan religiositas sipil yang

akan dijadikan sebagai perspektif dalam kajian ini.

Bellah menuturkan bahwa agama sipil merupakan dimensi keagamaan

publik (public religious dimension). Dimensi keagamaan yang bersifat publik itu

dapat kita cermati dalam keyakinan, simbol dan ritualnya. Jika kita mencermati

apa yang oleh Bellah sampaikan tentang pengertian civil religion ini, maka

tuturan tentang ekspresi agama sipil itu sesungguhnya koheren dengan dimensi

religiositas.

Menggambarkan tentang apa yang disebut religiositas itu sendiri tidaklah

mudah. Religiositas merupakan konsep yang kompleks. Religiositas sinonim 143 Ibid., 120. 144 Ibd., 124.

Page 49: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

dengan kata religiousness, orthodoxy, faith, belief, piousness, devotion, dan

holiness.145

Charles Glock dan Roodney Stark dalam Religion and Society in Tension

menggambarkan tentang dimensi religiositas.146 Menurut mereka ada lima

dimensi religiositas: ekspriensial, ritualistik, ideologis, intelektual dan

konsekuensional. Dimensi eksperiensial memfokuskan pada pengalaman

keyakinan personal. Misalnya pengalaman pernah bertemu dengan sesuatu yang

dianggap transenden. Sementara aspek ritualistik merupakan keterlibatan

pemeluk agama dalam sebuah ibadah yang ada dalam sebuah komunitas.

Dimensi ideologis didasarkan atas harapan bahwa agama akan terus langgeng

berdasarkan keyakinan tertentu (seperti iman dan doktrin). Aspek intelektual

berkaitan dengan harapan bahwa religius adalah orang yang mengetahui aspek

dasar dari keyakinan dan teks sakralnya (seperti sejarah, sakramen dan

moralitasnya. Dimensi pengamalan berkaitan dengan konsekuensi dari ajaran

yang dianutnya dan diaplikasikan melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan

sehari-hari.

Bahasan lain tentang dimensi religiositas oleh Fukuyama seperti dikutip

Cardwell. Fukuyama menggambarkan dimensi religiositas ini ke dalam empat

aspek; kognitif, kultik, creedal dan devotional.

The cognitive dimension is concerned with what individuals know about religion, i.e,, religious knowledge. The cultic dimension makes reference to the individual’s religious practices, i.e., ritualistic behaviour. The creedal dimension is concerned with a personal religious belief and the devotional dimension refers to a

145 Barbara Holdcroft, “What Is Religiosity?”, Catholic Education: A Journal of Inquiry and Practice, Vol. 10, No. 1, September 2006, 89. 146 Charles Glock dan Roodney Stark, Religion and Society in Tension (San Fransisco: Rand McNally, 1965), 20.

Page 50: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

person’s religious feelings and experiences, i.e., the experiential dimension.147

Meminjam kerangka Gert Pickel and Kornelia Sammet, religiositas bisa kita

dekati setidaknya dengan tiga kerangka teori yakni, teori sekularisasi,

individualisasi dan teori pasar. Dasar teoritiknya bisa dilihat sebagai berikut.148

Teori sekularisasi

Teori Individualisasi

Market Model of Religion

Penulis Brian Wilson, Steve Bruve, Ronald Inglehart

Thomas Luckmann, Grace Davie, Daniele Hervie-Leger

Rodney Stark, Roger Finke, Laurence Iannaccone

Aksioma Perbedaan fundamental antara agama dan modernitas mengarah pada berkurangnya peran agama di kehidupan sosial

Orientasi keberagmaan individu adalah konstan, hanya ikatan-ikatan ke gereja yang secara umum mengalami penurunan

Ada permintaan masyarakat yang konstan untuk agama, tetapi vitalitas agama tergantung pada pasokan yang disediakan oleh pasar agama (gereja-gereja dan sekte)

Teori yang Relevan

Teori Modernisasi Klasik

Teori Individualisasi dan Privatisasi (agama)

Teori orientasi penawaran pasar dan tesis tentang pluralitas agama

Hipotesis utama Agama kehilangan signifikansi dan posisi sosialnya dalam kaitannya dengan intepretasi dunia

Kurang relevannya agama-agama yang terinstitusionalisasi; mengembangkan religiositas personal

Pasokan di pasar agama, menentukan vitalitas agama.

147 J. D. Cardwell, The Social Context of Religiosity (Lanham, MD: University Press of America, 1980), 6. 148 Gert Pickel dan Kornelia Sammet (eds), Transformations of Religiosity: Religion and Religiosity in Eastern Europe 1989-2010 (Springer, 2012), 11.

Page 51: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Religiositas dengan demikian, bisa kita maknai dari dua aspek, internal dan

eksternal. Aspek internal agama bisa kita pahami sebagai religious consciousness.

Aspek eksternalnya adalah ekspresi dari apa yang diyakini itu dalam kehidupan

keseharian yang itu bisa dilihat dari pola, tindakan, tingkah laku yang sesuai

dengan apa yang mereka yakini itu. Jika dikaitkan dengan civility, maka

religiositas sipil hendak penulis maknai sebagai kesadaran bahwa kehadiran

mereka dalam satu bangsa itu harus menghargai sesamanya, menyadari adanya

identitas kebudayaan dan agama yang plural, membangun masyarakat beradab

yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka di kehidupan keseharian.

Jika agama sipil dalam pengertian yang dituturkan Bellah lebih

menekankan upaya untuk mencari simbol-simbol integratif dalam masyarakat

majemuk, berbeda halnya dengan religiositas sipil. Religiositas sipil lebih

menyoroti pada semangat keberagamaan (sipil) seperti apa yang perlu

dikembangkan dalam sebuah masyarakat yang plural.

Jembatan untuk menghubungkan antara agama (sipil) dan religiositas

(sipil) ini adalah transformasi (to transform: mengubah bentuk). John B. Cobb, Jr

berbicara tentang term tersebut dalam konteks Kekristenan, tetapi

sesungguhnya jika dibentangkan dalam spektrum yang lebih luas, ide tersebut

juga berlaku untuk semua agama.

Sebelum membedah ide Cobb tentang transformasi, baik jika

menggambarkan terlebih dahulu mengenai konsep dasar ihwal transformasi

tersebut. Mu’tasim mengutip Dictionary of Anthropology mengartikan

transformasi sebagai a change frome one shape to anoter. Transformation may

take place to reach a goal, avoid punishment, or win a contest.149 Transformasi

mengandung maksud sebagai sebuah perubahan bentuk satu ke yang lain. Ia

149 Radjasa Mu’tasim, Timbul Haryono dan St. Sunardi, Agama dan Pariwisata: Telaah Atas Transformasi Komunitas Muhammadiyah Borobudur, (Ygoyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 10.

Page 52: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

bisa dimaknai sebagai upaya untuk meraih tujuan, menghindari hukuman atau

memenangkan sebuah pertandingan.

Sementara Daszko dan Sheinberg menjabarkan tentang transformasi dalam

konteksnya sebagai salah satu tipe perubahan.150 Menurut Daszko dan

Sheinberg setiap transformasi adalah perubahan, tapi tidak semua perubahan

adalah transformasi.151 Secara lengkap Daszko dan Sheinberg mendefinisikan

transformasi.

Transformation is the creation and change of a whole new form, function or structure. To transform is to create something new that has never existed before and could not be predicted from the past. Transformation is a “change” in mindset.152 Transformasi terjadi ketika masyarakat melihat dunia melalui lensa baru

pengetahuan dan mampu menciptakan sebuah infrastruktur baru, yang tidak

pernah dibayangkan sebelumnya untuk masa depan. Dalam konteks organisasi,

Daszko dan Sheinberg menunjukan bahwa transformasi dimotivasi oleh

kebutuhan untuk survive, dengan realisasi bahwa semuanya memerlukan

perubahan atau sebuah organisasi akan mati; sebuah terobosan yang penting

dalam pemikiran dibutuhkan untuk mengejar peluang baru.

Dalam skema perubahan, setidaknya kita mengenal tiga tipe, yakni

tradisional, transisional dan transformasional. Ketiganya bisa dibedakan secara

sederhana seperti di bawah ini.153

150 Marcia Daszko dan Sheila Sheinberg, “Survival is Optional: Only Leaders With New Knowledge Can Lead the Transformation”, dalam http://www.mdaszko.com/theoryoftransformation_final_to_short_article_apr05.pdf. diakses pada 18 April 2014. 151 Keduanya mengatakan, However, while all transformation is change, not all change is transformation. Ibid. 152 Ibid. 153 Dikutip dari ibid.

Page 53: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

Tradisional Transisional Transformasional

Motivasi untuk berubah

Lebih baik, lebih murah, lebih cepat

Memperbaiki masalah

Kelangsungan hidup, Perubahan dunia, perlu terobosan

Tingkat Perubahan

Tambahan perbaikan

Transisi dari yang tua ke yang baru; A ke B

Revolusioner, perlu

Pikiran Peningkatan Perubahan manajemen, perencanaan strategis

Pergeseran radikal dalam pemikiran dan tindakan

Tindakan Pengelolaan dan pengendalian proses

Mendesain dan menerapkan perencanaan

Perubahan seluruh sistem, perubahan dalam pemikiran, cara pandang, budaya, komunikasi, strategi, struktur, tindakan, sistem dan proses.

Tujuan Perbaikan, dapat dibatasi dengan memperbaiki hal yang salah

Proyek terselesaikan

Transformasi secara berkelanjutan, tak ada akhir

Perubahan membutuhkan

Perbaikan keahlian, praktek dan tampilan

Proses yang dikendalikan dan proyek yang dikelola

Kepemimpinan senior berkomitmen untuk pikiran, pembelajaran dan tindakan baru; pembelajaran dari luar; “a system cannot see itself”. Keberanian

Hasil Perbaikan, Pembatasan

Perubahan, terbatas

Perubahan berkelanjutan. Sistem baru: kokoh, adaptable, fleksibel, bersambung, kreatif, maju ke depan, kemampuan untuk merasakan dan merespon

Dalam Converting Cultures, Washburn dan Reinhart mengatakan kalau

proses transformasi dihubungkan dengan masalah konversi yang sejatinyat

Page 54: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

tidak hanya persoalan agama semata. Konversi disana digambarkan sebagai

transformasi yang menampakan kompleksitas bahkan terkadang hasil yang

kontradiktif dari adaptasi budaya dan ideologi.154 Menurut studi yang dilakukan

oleh Gauri Viswanathan pengalaman konversi tidak hanya masalah aktivitas

spiritual, atau pernyataan pikiran, tapi juga aktivitas politik yang bisa berfungsi

sebagai kritisisme kultural.155

Juergen Habermas menulis sebuah buku yang berjudul “The Structural

Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois

Society”. Habermas tidak menyediakan satu bab khusus yang menjelaskan

tentang makna transformasi yang dimaksud. Ia menyinggung soal transformasi

besar-besaran yang terjadi di ruang pubik. Habermas menyebut, the public

sphere in the world of letters was replaced by the pseudo-public or sham-private

world of culture consumption.156 Disini media, menjadi kendaraan dalam proses

transformasi tersebut.

Efek dari terjadinya transformasi (ekonomi) sangat mempengaruhi

produksi dan konsumsi, menggeser masyarakat dari rational and critical debater

kepada masyarakat sebagai consumer, yang juga merubah struktur kepekaan

dan perasaan.157

Proposisi dasar dari transformasi, kata Cobb, haruslah bermula dari

komitmen bahwa dalam keberimanannya pada Kristus seorang Kristiani

haruslah terbuka kepada yang lain.158 Kekristenan, sebagai sebuah living

movement, tidak bisa lagi meminta komitmen terhadap semua kondisi yang

154 Dennis Washburn dan A. Kevin Reinhart, Converting Cultures: Religion, Ideology and Transformations of Modernity, Leiden, Boston: Brill, 2007), xiii. 155 Gauri Viswanathan, Outside the Fold: Conversion, Modernity, and Belief, (Princeton, N.J.Princeton University Press, 1998), xvi. via Ibid. 156 Juergen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, (Cambridge: Polity Press, 1989), 160. 157 Graham Ward, Cultural Transformation and Religious Practice, (Cambridge University Press, 2005), 125. 158 John B. Cobb, Jr, Transforming Christianity and the World: A Way beyond Absolutism and Relativism (New York: Maryknoll, 1999), 45.

Page 55: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

diambil dari masa lalu.159 Dengan begitu, perubahan dan perkembangan yang

terus dilakukan tidak bisa didasarkan atas relativisme. Kata Cobb, the fullness of

Christianity lies in the ever-receding future.160

Keterbukaan terhadap tradisi lain bagi Cobb tidaklah berhenti pada taraf

membuka diri. Tetapi, saat ada pengakuan bahwa ada praktek atau ajaran yang

baik dan penting yang kita tidak menderivasi tradisi keagamaan kita, maka kita

harus siap belajar meski akan mengancam keyakinan sendiri.161 Itulah yang oleh

Cobb disebut sebagai “full openness”.162 Keterbukaan terhadap kebenaran secara

nyata berisi tentang keterbukaan terhadap kebenaran partikular yang ada dalam

tradisi lain.

Dalam keyakinan Cobb, Kristen berada dalam proses menjadi yang

ditransformasi oleh tradisi keagamaan yang lain.163 Cobb mencontohkan bahwa

Buddhaisasi (Buddhization) Kekristenan akan mentransformasi Kekristenan

dalam sebuah kebenaran yang mendalam dan luhung, kualitas hidup yang lebih

baik dan kemampuan penuh untuk melayani dengan baik Kristus dalam ruang

politik.164 Hemat Cobb apa yang dipahami oleh orang Kristen bahwa ”the way,

the truth and the life” itu, diikat oleh ”creative transformation”. Hanya melalui

transformasi kreatif itulah Tuhan bisa dikenal.165

Hemat penulis, paparan Cobb tentang transformasi ini sangat bermanfaat

untuk dua hal. Pertama, transformasi ini menjadi model baru dalam dialog

agama-agama serta pemahaman terhadap realitas mutlak. Yang umum dikenal,

dialog agama-agama biasa dipetakan dalam tiga model eksklusif, inklusif dan

159 Ibid. 160 Ibid. 161 Ibid. 162 Ibid. 163 Ibid., 46. 164 Ibid. 165 Ibid., 47.

Page 56: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

pluralis seperti yang dipaparkan oleh Paul F. Knitter dalam ”One Earth Many

Religions”.166

Eksklusif menunjukan satu sikap dan komitmen bahwa pengakuan

terhadap kebenaran atau kuasa penyelematan dari agama tokoh agama lain

merupakan suatu tamaran dan pencemaran terhadap apa yang dilakukan Allah

kepada Yesus. Paradigma inklusif mengindikasikan bahwa bagi umat Kristen

kebenaran yang meyakinkan itu dengannya mereka hidup dan norma penuntun

yang dengannya mereka masuk ke dalam arena kebenaran lainnya. Karena itu

semua agama tetaplah memiliki semacam kecemburuan. Perspektif pluralis

memiliki sasaran terlaksananya dialog korelasional sejati antar-agama dan

terbentuknya teologi komparatif diantara umat Kristen.

Secara skematis, relasi tiga paradigma itu bisa digambarkan di bawah

ini.167

166 Knitter sendiri sebenarnya mengutip kategorisasi ini dari Alan Race. Paul F. Knitter, One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue and Global Responsibility (New York: Markynoll, 1995), 25-28. 167 Skema ini penulis kutip dari Perry Schmidt-Leukel, “Exclusivism, Inclusivism, Pluralism: The Tripolar Typology-Clarified and Reaffirmed”, dalam Paul F. Knitter (ed), The Myth of Religious Superiority: A Multifaith Exploration (New York: Maryknoll, 2005), 19.

Page 57: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

P = Mediation of salvific knowledge of ultimate/transcendent reality Is P a property of religion? No Yes (Atheism/ Naturalism) Only once More than once (Exclusivism) One singular maximum No singular maximum (Inclusivism) (Pluralism)

Ketiga paradigma itu, memiliki persoalan nyata bahwa kebenaran dan

keunikan yang ada dalam agama lain, sebatas dilihat dan diakui. Dengan

transformasi, maka kebenaran agama lain yang kontributif juga diakui serta

ditransformasi dalam kehidupan keseharian. Sehingga tradisi lain menjadi

aktifitas yang terintegrasi dalam kehidupannya.

Kedua, prinsip dasar dari transformasi sangat berharga dalam melakukan

transformasi agama-agama dalam konteks keindonesiaan. Dengan transformasi

maka Kekristenan yang dikembangkan bukanlah Kristen Barat. Begitu juga

dengan tradisi keagamaan lainnya. Jadi yang muncul pada nantinya adalah

“Indonesianized Christianity”, “Indonesianized Islam”, “Indonesianized Buddhism”

dan lainnya.

Jika konsepsi tentang religiositas sipil dan transformasi diikat dalam

sebuah pengertian, maka gagasan tentang transformasi religiositas sipil akan

Page 58: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesiarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12412/2/D_762008003_BAB II.pdfmasyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil

bergerak pada dialektika antara strategi dan adaptasi, integrasi dan disintegrasi,

tradisi dan reformasi, pribumisasi dan purifikasi. Perubahan cara pandang

terhadap realitas sangat dipengaruhi oleh tata nilai (internal) serta lingkungan

yang membentuknya (eksternal). Perubahan yang bersifat transformatif itu

selalu dinamis. Transformasi tak hanya sekadar sebuah perubahan. Di dalamnya

ada kehendak untuk mengembangkan keberagaman yang beradab (civil

religiosity). Makanya, transformasi religiositas sipil berarti perubahan cara

pandang serta tindakan dalam melihat realitas sosal. Perubahan itu tentu tak

bisa dilepaskan dari basis nilai moral yang menjadi landasannya. Dalam

menghadapi situasi tersebut, ada proses modifikasi, akomodasi, adaptasi dan

pengembangan.