NOTARIS MENURUT COMMON LAW DAN CIVIL LAW SERTA PERATURAN TERKAIT DALAM RANGKA PEMENUHAN KEMUDAHAN BERUSAHA DI INDONESIA1
Dr. Herlien Budiono, S.H.
A. Pengantar
Sejak dikenal adanya tulisan, kurang lebih 5000 tahun yang lalu, maka sejak itu pula masyarakat
mengenal adanya penulis, baik di bidang kesusasteraan maupun sebagai ahli yang dengan jelas dan
terpercaya membuatkan tulisan sebagai alat bukti. Fungsi sebagai ahli dalam hal tulis-menulis di
bidang pembuktian ini merupakan asal mula dari notariat. Bermacam-macam nama dan pekerjaan
dikenal berkaitan dengan keahlian tulis menulis tersebut, seperti notarius, tabellio, tabularius, scriba,
scrinarius (orang yang menjaga tempat penyimpanan di mana akta-akta disimpan), curalis dan
scriptor 2.
Lembaga kenotariatan mengenal dua stelsel hukum yakni stelsel Kontinental (Latin) dengan sistem
Civil Law dan stelsel Anglo-Saxon atau Anglo-Amerika dengan sistem Common Law. Kenotariatan
demikian pula peraturan terkait dengan praktik notaris telah berkembang sesuai dengan waktu,
tempat serta politik hukum dan kesadaran hukum di negara masing-masing. Perbedaan dan
persamaan pada sifat, fungsi, kekuatan bukti serta implementasi akta notaris di dalam praktik notaris
pada kedua sistem hukum tersebut perlu untuk diketahui mengingat hubungan internasional antar
negara semakin banyak terjadi. Beberapa peraturan terkait perlu dikemukakan di bidang hukum
perdata internasional yang berhubungan dengan masalah internasional.
Manfaat pengetahuan akan persamaan, perbedaan kenotariatan dari masing-masing sistem hukum
antar negara di bidang hukum privat dan peraturan terkait dengan praktik notaris diantaranya dalam
rangka melakukan perjanjian, bahasa akta pada perjanjian internasional, dokumen yang digunakan
dalam hubungan bersifat transnasional akan membantu pemenuhan kemudahan berusaha di Indonesia
(Ease Of Doing Business in Indonesia).
B. Common Law dan Civil Law
Dikenal dua stelsel hukum yakni stelsel Kontinental (Latin) dan stelsel Anglo-Saxon atau Anglo-
Amerika. Hukum dalam bahasa Inggris digunakankan istilah Civil Law pada stelsel Konintental,
kadang juga digunakan istilah Roman Civil Law. Sebenarnya istilah civil law bukan diartikan sebagai
hukum perdata atau hukum privat. Hukum privat menurut Anglo-Saxon pada umumnya
menggunakan istilah private law. Pada stelsel hukum Kontinental pada umumnya memakai asas-asas
hukum Romawi.
1 Makalah pada Seminar International tentang “Pemenuhan Kemudahan Berusaha (Ease Of Doing Business): Peluang dan Tantangan dan Peran Notaris Serta Profesi Hukum Lainnya Dalam Pelaksanaannya (Opportunity, Challenge And Role Of Notary And Other Legal Professions In The Implementation)”, 7-9 September 2017. Bali Nusa Dua Convention Centre, Bali, Indonesia.2 J.C.H. Melis, bewerkt door A.H.M.Santen, B.C.M.Waaijer, De Notariswet, W.E.J. Tjeenk-Willink, Zwolle, 1991, hal. 3.
1
Amerika Serikat, Inggris, Irlandia, Australia, Selandia Baru, Kanada kecuali Quebec serta beberapa
negara Asia dan Afrika yang pernah menjadi koloninya dikuasai oleh tradisi Common Law
didasarkan pada kebiasaan yang berasal dari putusan hakim dan merupakan dasar dikembangkannya
hukum3. Kebudayaan yuridis dari negara di daratan Eropa Barat seperti Jerman, Italia, Spanyol,
Portugis, Yunani, Nederland, Perancis beserta negara di Asia dan Afrika yang pernah dijajah atau
menjadi koloninya dikuasai oleh kitab undang-undang atau Corpus Iuris Civilis yang diundangkan
pada tahun 529 dan 534.
Beberapa negara anggota Asean 4 seperti Indonesia, Vietnam dan Thailand dipengaruhi oleh sistem
Civil Law. Singapura dan Malaysia lebih banyak didasarkan pada sistem Common Law sedangkan
Thailand dan Filipina menganut mixed legal system baik Civil Law maupun Common Law 5.
Negara yang menganut asas hukum Romawi bukan karena dahulu pernah dijajah kerajaan
Romawi tetapi karena hukum Romawi telah diresipier baik asas maupun stelsel serta pengertian
hukumnya dan dikembangkan sedemikian rupa oleh negara yang menganutnya. Pada stelsel hukum
Anglo-Saxon adalah stelsel hukum yang berpokok pada hukum Inggris dimana hukum Romawi tidak
diresipier, malahan pengertian-pengertian hukumnya sama sekali lain.
Membedakan antara Common Law untuk stelsel hukum Anglo-Saxon dan Civil Law untuk stelsel
hukum Kontinental adalah kurang tepat. Common Law hanya merupakan sebagian dari stelsel hukum
Anglo-Saxon, yakni bagian hukum yang dikembangkan dari apa yang dinamakan ”common law
courts” (semacam yurisprudensi) sebagai lawan dari bagian hukum lainnya yang dikembangkan oleh
instansi peradilan, yakni ”equity-judges” (semacam penetapan hakim untuk memperbaiki putusan
hakim).
C. Civil Law Notary dan Notary Public
1) Civil Law Notary
Civil Law Notary adalah notaris di lingkungan notariat Latin sedangkan untuk membedakannya
pada notariat penganut sistem Common Law digunakan sebutan Notary Public 6. Notaris selaku
pejabat umum pada notariat Latin dilakukan oleh ahli hukum (jurist). Profesi pemberi jasa hukum
lainnya disamping notaris adalah pengacara yang memberikan jasa pada kliennya terutama di bidang
hukum acara yang berkaitan dengan masalah penuntutan antara sesama anggota masyarakat dalam
urusan perdata atau dakwaan oleh negara terhadap anggota masyarakat dalam urusan pidana.
Disamping jasa tersebut pengacara juga memberikan nasihat kepada para kliennya, dan pemberian
nasihat tersebut sudah pasti hanya bagi kepentingan dari klien yang minta nasihatnya.
3 C.A.E. Uniken Venema/Zwalve, Common Law & Civil Law, W.E.J. Tjeenk-Willink, Deventer, 2000, hal. 25.4 Asean beranggotakan 10 (sepuluh) negara yakni Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Indonesia, Republik Demokratik Rakyat Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Kerajaan Thailand dan Republik Sosialis Vietnam.5 Samuel Hutabarat, Harmonisasi Keabsahan Kontrak Dagang Internasional Yang Berkeadilan Pada Enam Negara Anggota Association of South East Nations (ASEAN), Diss. Unpar 2017, hal. 2.6 M.J.A. van Mourik, Civil Law and the Civil Law Notary in the Modern World, makalah pada Ceramah Ilmiah “Pengaruh Globalisasi pada Common Law dan Civil Law (khusus BW)”, 3 Maret 1992, Jakarta.
2
Tugas notaris terutama membantu para kliennya dalam pembuatan akta notaris. Notaris di dalam
menjalankan jabatannya tersebut bertindak tidak memihak (bersifat onpartijdigheid - impartiality)
dan mempunyai kedudukan yang mandiri (onafhankelijkheid – independency), tidak dibawahi oleh
siapapun. Sifat dan ciri yang hanya dimiliki oleh notariat Latin untuk bersikap tidak memihak serta
mempunyai kedudukan yang mandiri harus dipegang teguh malahan mutlak dijalankan oleh seorang
notaris.
Pada asasnya, setiap orang yang telah diangkat sebagai notaris adalah pejabat umum yang berhak
untuk membuat semua akta otentik, tanpa kecuali sepanjang tidak ada undang-undang (lain) secara
tegas memberikan (juga) kepada orang/pejabat lain kewenangan tersebut untuk perbuatan hukum
teretentu. Notariat Latin mempunai monopoli di dalam pembuatan akta notaris yang otentik di bidang
hukum privat walaupun notaris bukan satu-satunya pejabat pembuat akta otentik. Notaris untuk
perbuatan hukum tertentu dikecualikan dan tidak berwenang untuk membuatnya dan hanya kepada
orang/pejabat itu sajalah yang berwenang untuk membuatnya, diantaranya adalah pejabat pencatatan
penduduk yang tatkala menjalankan kewenangannya membuat akta otentik berfungsi sebagai halnya
pejabat umum tetapi mereka bukan dan tidak menjadi notaris. Demikian pula Konsul Jenderal
berwenang ditempat menjalankan tugasnya membuat akta otentik dan juru sita pada pengadilan
negeri berwenang membuat akta protes wesel (Pasal 143 dan 218 Kitab Undang-undang Hukum
Dagang).
Indonesia yang menganut sistem Civil Law menentukan di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris jo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) tatacara pembuatan akta notaris, peran dan kewenangan
notaris serta segala sesuatu berkaitan dengan akta notaris.
Untuk menjadi notaris diharuskan mengikuti studi yang ketat sebelum dapat diangkat sebagai notaris.
Salah satu persyaratan pengangkatan sebagai notaris adalah ijazah Sarjana Hukum dan lulus
pada jenjang strata dua kenotariatan yang diselenggarakan Fakultas Hukum 7. Setelah pendidikan
formal tersebut calon notaris masih harus mengikuti bermacam-macam ujian, magang dan tes lainnya
agar dapat diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai notaris.
2) Notary Public
Di negara dengan stelsel Anglo-Saxon atau Anglo-Amerika juga mengenal notaris atau Notary
Public yang berbeda fungsi dan tugasnya dengan notaris (Civil Law Notary) pada negara dengan
stelsel Kontinental (Latin). Untuk penjelasan lebih lanjut dipilih Inggris dan Amerika Serikat
mewakili negara-negara dengan sistem Common Law.
INGGRIS
7 Dengan berjalannya waktu pendidikan magister kenotariatan telah diselenggarakan oleh perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta yang tersebar diseluruh Indonesia. Ada sekitar 21 perguruan tinggi negeri dan kurang lebih 20 perguruan tinggi swasta penyelenggaran magister kenotariatan.
3
Pemberian jasa hukum di Inggris (dan Wales) dilakukan oleh solicitor dan barrister. Di Inggris
pembatasan antara solicitor dan barrister dalam arti Civil Law Notary tidak dikenal dan dapat
dikatakan bahwa pekerjaan solicitor mendekati pekerjaan notaris. Solicitor adalah penasihat hukum
yang memberikan nasihat teoretis kepada kliennya dan mewakili kliennya tersebut di pengadilan
tingkat pertama. Selain membantu kliennya dengan memberi nasihat dan menyusun dokumen,
solicitor juga ahli di bidang warisan, perseroan serta peralihan benda. Barrister adalah seorang ahli
hukum dan melakukan pekerjaan diinstansi yang lebih tinggi atas undangan solicitor. Para barrister
bergabung di dalam suatu bar dan hanya mereka yang bergabung dalam bar boleh berpraktek di
pengadilan. Legal opinion dari seorang member of the bar sangat dihargai daripada keterangan yang
diberikan oleh seorang guru besar. Suatu anggapan bahwa para pihak bersama-sama pergi
menghadap kepada seorang solicitor untuk membuat akta dan menyelesaikannya seperti layaknya di
Indonesia atau di negara yang menganut notariat Latin tidak dikenal di Inggris.
Memang dikenal adanya notary public yang masih dibedakan antara notary public di London dan
notary public ditempat lain (provensial). Pekerjaan utama dari notary public (provincial) adalah
menyatakan kebenaran tanda tangan atau dalam hal protes wesel. Untuk menjabat sebagai notary
public tidak dibutuhkan pendidikan khusus atau magang sehingga dapat dikatakan bahwa notary
public di kota kecil dan daerah melakukan sebagian pekerjaan yang dilakukan oleh solicitor.
Di London jabatan notary public dijalankan oleh mereka yang tergabung dalam Scrivener’ Company
dimana para calon notary public harus mengikuti ujian dan magang. Berbeda dengan rekannya di
luar London yang pada umumnya praktik notary public adalah memberi nasihat, menyusun dokumen
terutama dokumen untuk keperluan hubungan perjanjian dengan luar negeri.
AMERIKA SERIKAT
Di Amerika Serikat tidak mengenal satu sistem hukum tetapi adanya bermacam-macam sistem hukum bagi masing-masing negara bagian berikut dengan kodifikasinya. Kewenangan penguasa
federal terhadap sistem hukum tersebut sangat terbatas.
Untuk uraian selanjutnya diambil contoh hukum dari negara bagian New York. Apabila di Inggris
pemberi bantuan di bidang hukum dilakukan oleh solicitor atau barrister, di Amerika Serikat
pekerjaan tersebut dilakukan oleh lawyer (counselor at law dan attorney).
Attorney dan counselor at law dapat diangkat sebagai notary public tanpa dibutuhkan pendidikan
tertentu. Mereka diangkat oleh secretary of state untuk masa jabatan paling lama 2 (dua) tahun dan
tiap-tiap kali dapat diangkat kembali (Pasal 130 New York Executive Law).
Pengangkatan tersebut dilakukan setelah secretary of state yakni bahwa:
- pemohon ‘is of good moral character’;
- pemohon memiliki pendidikan ekuivalen dengan ‘a common school education’;
- pemohon mengenal pekerjaan dan tanggung jawab dari notary public 8.
Adapun tugas notary public menurut Pasal 135 New York Executive Law adalah:8 C.A.Kraan, De Authentieke Akte, Gouda Quint B.V., Arnhem, 1984, hal. 186.
4
to administer oaths and affirmations. Notary public mengangkat sumpah atau janji dan
membuat sertipikat yang menyatakan hal itu;
to take affidavits and depositions. Depositions adalah tulisan/keterangan di bawah
sumpah (atau janji) yang diberikan oleh seorang (saksi).
to receive and certify acknowledgements. Pemberian keterangan kebenaran bahwa pada
tanggal tertentu oleh orang tertentu telah ditandatangani suatu dokumen sebagaimana
telah dijelaskan di atas;
to demand acceptance or payment of foreign and inland bills of exchange etc. Notary
public membuat sertipikat yang menerangkan umpamanya, bahwa ia telah menawarkan
pada hari tanggal tertentu suatu wesel; notary public memprotes suatu pembayaran yang
dengan alasan tertentu telah ditolak pembayarannya.
Dapat disimpulkan, bahwa kewenangan notary public tidak lebih dari pembuatan sertipikat
sebagaimana telah disebutkan di atas dan kewenangan tersebut tidak dapat diperluas. Tugas notary
public hanya sebatas suatu legalisasi (penentuan kepastian tanggal dan tandatangan orang yang
membubuhkannya).
D. Kekuatan Pembuktian
1) Civil Law
Di negara dengan sistem hukum Romawi seperti Indonesia, dikenal pembuktian tulisan yang
dapat berupa akta otentik maupun akta di bawah tangan. Akta otentik merupakan salah satu bukti
tulisan di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
pejabat/pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta di buatnya (pasal 1867 dan
1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd). Bukti tulisan selain akta otentik adalah akta
di bawah tangan. Alat bukti lainnya menurut ketentuan Pasal 1866 (KUHPerd) adalah bukti dengan
Saksi-saksi; Persangkaan-persangkaan; Pengakuan; dan Sumpah.
Notaris merupakan pejabat yang berwenang untuk pembuatan bukti tulisan berupa akta otentik
dengan sifat pembuktian yang memaksa (een dwingende bewijskracht). Akta notaris mempunyai
kekuatan bukti formil, materiil malahan untuk perbuatan hukum tertentu juga mempunyai kekuatan
executorial. Di samping kekuatan pembuktian formil dan materiil, akta notaris juga memiliki
kekuatan pembuktian lahiriah 9. Kekuatan pembuktian lahiriah berarti bahwa akta itu dari ”lahir”nya
dapat membuktikan dirinya sebagai akta yang menandakan bahwa dari kata-katanya berasal dari
seorang pejabat umum sehingga harus diakui sebagai akta otentik sampai dibuktikan sebaliknya.
Kekuatan pembuktian formil memberikan pembuktian kebenaran dari yang disaksikan dan yang
dilakukan notaris sehingga menjamin tanggal, tandatangan, identitas orang yang hadir dan tempat
dimana akta dibuat sekaligus menjamin bahwa benar para pihak menerangkan seperti yang tersebut
9 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1991, hal. 54-63.
5
di dalam akta. Mengenai kekuatan pembuktian materiil menjamin bahwa isi akta dianggap dibuktikan
sebagai benar terhadap setiap orang yang menyuruh buatkan akta itu.
Singkat kata, pembuktian dengan menggunakan akta otentik mempunyai arti, bahwa:
Akta tersebut memberikan kewajiban kepada lawan untuk membuktikan kebalikannya
dengan pengertian bahwa tidak perlu dibuktikan bahwa tanda tangan dari notaris adalah
benar;
Keterangan yang dibuat notaris di dalam aktanya dianggap benar; selain daripada itu,
akta tersebut dijamin tanggal dibuatnya, siapa yang membuatnya dan kebenaran dari
keterangan yang diberikan oleh para pihak.
Fungsi akta otentik selain sebagai alat bukti dapat pula berfungsi sebagai syarat mutlak
(bestaansvoorwaarde) untuk adanya suatu perbuatan atau peristiwa hukum. Fungsi akta otentik
tersebut berkaitan dengan keharusan menurut undang-undang agar untuk adanya suatu perbuatan
hukum atau peristiwa hukum dibuktikan dengan akta entah akta otentik atau akta di bawah tangan.
Misalnya, pendirian perseroan terbatas terbentuk dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan
didirikan oleh dua orang/subyek hukum (Pasal 1 angka 1 Undang-undang RI Nomor 40 tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UUPT)). Apabila undang-undang tidak mengharuskan adanya akta
otentik, maka akta hanya berfungsi sebagai alat bukti yang semata-mata dibuat atas keingingan (para)
pihak yang berkepentingan agar suatu perbuatan hukum dinyatakan dengan akta otentik.
2) Common Law
Hukum pembuktian di negara bagian New York tidak memberikan banyak perhatian terhadap
bukti tulisan sebagai alat bukti 10. Dikenal adanya bentuk tertulis yang dibedakan antara public
documents dan private documents. Public documents adalah dokumen yang dikeluarkan oleh public
officer. Di New York pembubuhan cap (resmi) dan tandatangan oleh public officer sudah dapat
dipersangkakan kebenaran dan membuktikan otentisitas dari tulisan yang bersangkutan berasal dari
public officer tersebut. Notary public dianggap sebagi public officer yang ditegaskan oleh Pasal 137
dari New York Executive Law 11:
“In all the courts within this state the certificate of a notary public over his signature, shall be received as presumptive evidence of the facts contained in such certificate; provided, that any person interested as a party to a suit may contradict, by other evidence, the certificate of a notary public.”
Private documents sendiri dibedakan antara the deed dan private documents lainnya. Deed adalah
tulisan yang memiliki ciri-ciri formal yang diharuskan untuk tindakan hukum tertentu. Private
documents dapat dipersamakan dengan akta di bawah tangan yang memerlukan authentication
kecuali jika :
- authenticity telah diakui oleh pihak lawan;
10 C.A.Kraan, De Authentieke Akte, Gouda Quint B.V., Arnhem, 1984, hal. 165.11 Teks tersebut dianjurkan oleh Consolidated Laws Services (diambil dari Law 1951), C.A. Kraan, De Authentieke Akte, Gouda Quint B.V., Arnhem, 1984, hal. 155.
6
- pihak lawan telah menggunakan tulisan tersebut sebagai “part of his case”;
- tulisan tersebut “has been acknowledged or proved in the manner required in order to
entitle a deed to be recorded”12.
Pengertian authenticity atau keaslian bukti tulisan berkaitan dengan kepastian bahwa suatu tulisan
benar berasal dari si penandatangan. Authenticity berkaitan dengan authentication yakni penentuan
berupa; “proof of authorship of, or other connection with, writings. 13. Pada asasnya hukum
pembuktian Amerika Serikat terhadap penandatangan dari akta dibawah tangan memiliki pandangan
yang sama dengan di Nederland dan di Inggris yakni kebenaran dari penandatangan akta di bawah
tangan harus dibuktikan jika dipungkiri, demikian C.A.Kraan 14. Sifat kebenaran tanda tangan dan
tanggal penandatanganan adalah sama dengan maksud legalisasi menurut Pasal 15 ayat (2)a UUJN 15
Di Amerika Serikat, pembuktian kebenaran penandatangan dilakukan dengan certificate of
acknowledgement dengan short form dari certificate of acknowledgement 16:
“State of New YorkCounty of …City of …On this … day of … 20..Before me personally appeared …, to me known and known to me to be the person described in and who executed the forgoing instrument, and acknowledged that he executed the same.”
D. Hukum Perdata Internasional
1) Asas-asas dan aturan-aturan HPI
Hubungan internasional 17 di dalam praktik tampak terjadi setiap saat baik dibidang hukum publik
maupun hukum privat. Perjanjian oleh perorangan atau badan hukum yang dibuat sering kali
dilakukan dan bertambah banyak dalam berbagai hubungan-hubungan hukum berunsurkan asing atau
anasir asing (foreign element, vreemd element) termasuk persoalan-persoalan yang bersifat Hukum
Perdata Internasional (HPI).
Hubungan hukum yang dilakukan oleh orang perorangan secara individual mempunyai akibat hukum
berupa hak dan kewajiban dibidang hukum keperdataan. Hukum keperdataan secara doktriner dan
tradisional diklasifikasikan ke dalam bidang hukum tentang orang/subjek hukum, keluarga, benda,
perikatan dan pewarisan. Ranah HPI mencakup hubungan hukum dimana terlibat subjek, objek atau
hak/kewajiban yang ada kaitannya dengan sistem hukum asing. Di dalam menyelesaikan masalah 12 Ketentuan mengenai acknowledgement dapat ditemukan di Civil practice law and rules (CPLR yang di New York dikenal sebagai ‘code’) rule 4538:”Certification of the acknowledgement or proof of a writing, except a will, in the manner prescribed by law for taking and certifying the acknowledgement or proof of a conveyance of real property within the state is prima facie evidence that it was executed by the person who purported to do so”, dikutip dari C.A.Kraan, De Authentieke Akte, Gouda Quint B.V., Arnhem, 1984, hal. 176. 13 C.A.Kraan, De Authentieke Akte, Gouda Quint B.V., Arnhem, 1984, hal. 173-174.14 C.A.Kraan, De Authentieke Akte, Gouda Quint B.V., Arnhem, 1984, hal. 174.15 Pasal 15 ayat (2)a UUJN (…) “ mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus”(…); 16 Contoh dikutip oleh C.A. Kraan dari CPLR rule 4538, art.303 Real Property Law, C.A.Kraan, De Authentieke Akte, Gouda Quint B.V., Arnhem, 1984, hal.177.17 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, buku ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hal. 153-177.
7
keperdataan dengan unsur asing tersebut perlu diketahui asas-asas atau aturan-aturan HPI baik yang ada
maupun yang berkembang, terutama kaidah-kaidah penunjuk atau kaidah penentu yang nantinya akan
memberikan arah hukum yang diterapkan terhadap persoalan dan masalah tertentu.
Dibidang hukum perkawinan dikenal perkawinan campuran yakni perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda, karena berlainan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak adalah WNI (Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (UUPerk)).
Adapun asas-asas utama dalam HPI tentang hukum yang harus diterapkan untuk absahnya perkawinan 18:
Validitas materiil perkawinan adalah berdasarkan kaidah hukum tempat dimana perkawinan dilangsungkan (lex loci celebrationis). Asas ini termuat di dalam Pasal 59 ayat (2) UUPerk 19.
Validitas perkawinan ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak menjadi warganegara sebelum dilangsungkannya perkawinan tersebut.
Validitas materiil perkawinan ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak berdomisili sebelum dilangsungkannya perkawinan tersebut.
Validitas materiil perkawinan ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis) tanpa mengabaikan persyaratan perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum dari para pihak. Indonesia mengikuti asas sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 56 ayat (1) UUPerk 20.
Di bidang hukum benda tiap negara mempunyai sistem hukum dan klasifikasi kebendaan yang
berbeda satu dengan yang lain, seperti istilah benda bergerak (movable goods), benda berwujud
(tangible) dan tidak berwujud (intangible) dan benda tetap (immovable goods).
HPI mengenal dua asas utama untuk menetapkan klasifikasi kebendaan berdasarkan:
Hukum tempat gugatan atas benda diajukan (lex fori);
Hukum tempat benda berada atau terletak (lex situs).
Di bidang perjanjian, dimana perjanjian merupakan kesepakatan diantara para pihak (asas
konsensualisme). mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selain kedua asas tersebut asas kekuatan mengikat menimbulkan kewajiban para pihak untuk memenuhi janji-janji yang telah disepakati oleh
para pihak. Pada perjanjian transnasional yang mengandung unsur asing disamping unsur perjanjian
pada umumnya juga dikenal adanya kebebasan para pihak untuk melakukan pilihan hukum yang
berlaku bagi perjanjian yang mereka bentuk (freedom to choose the applicable law). Pilihan hukum
dilakukan mengingat komplikasi yang mungkin timbul berkaitan dengan penentuan hukum mana
18 Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 275-276.19 “Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan ini.”20 “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga Negara Indonesia atau
seorang warga Negara Indonesia dengan warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.”
8
yang seyogyanya diterapkan guna mengatur dan menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam suatu
perjanjian. Selain pilihan hukum dikenal pula konsep dan pengertian the proper law of contract yakni
pengertian praktis untuk menggambarkan konsep tentang hukum yang mengatur dan mempengaruhi
suatu perjanjian atau hukum yang diterapkan forum untuk menetapkan hak dan kewajiban yang
timbul dari sebuah perjanjian 21.
Hukum Jaminan dipelbagai sistem hukum pada umumnya telah diterima bahwa lembaga jaminan
merupakan perjanjian accessoir dan keberadaannya tergantung pada perjanjian pokoknya.
Kaidah hukum mana terhadap sahnya perjanjian jaminan harus ditentukan, mengingat beberapa
hukum yang seharusnya berlaku yakni:
Hukum dari tempat pemegang jaminan menjadi warganegara atau berdomisili, atau
Hukum dari tempat yang memiliki kaitan yang paling substansial dengan perjanjian
pokoknya, atau
Hukum yang dipilih sebagai choice of law oleh para pihak sebagai hukum yang diterapkan
pada perjanjian pokoknya; dalam hal tidak dilakukan pilihan hukum maka hukum yang
merupakan the proper law of contract dari perjanjian pokoknya 22.
2) Titik Pertalian (taut) Primer dan Titik Pertalian (taut) sekunder
Faktor dan keadaan yang menciptakan bahwa suatu hubungan internasional memerlukan bantuan
untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Untuk hal
tersebut dikenal sebagai titik pertalian (taut) primer (primary points of contact).
Beberapa titik pertalian primer atau titik taut primer adalah :
Kewarganegaraan;
Bendera kapal;
Domisili;
Tempat kediaman;
Tempat kedudukan badan hukum.
Titik pertalian atau titik taut primer pada HPI adalah fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau
peristiwa hukum yang menunjukkan bahwa peristiwa hukum tersebut mengandung unsur asing
(foreign elements) dan merupakan peristiwa HPI, bukan peristiwa hukum intern/domestik 23.
Selanjutnya titik taut sekunder berfungsi dengan melihat pada fakta-fakta yang membantu penentuan
hukum manakah yang harus diberlakukan (the applicable law) dalam menyelesaikan masalah HPI 24.
Sebagai titik pertalian sekunder diantaranya:
21 Baca lebih lanjut Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 282-288.22 Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 280.23 Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 61.24 Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 61.
9
Di bidang hukum kekayaan titik pertalian sekunder dapat diketahui pada “maksud dari para
pihak” (bedoeling van partijen) yang merupakan faktor yang menentukan hukum apa yang
akan diterapkan;
Pilihan hukum mana yang akan berlaku terhadap perjanjian diantara para pihak;
Domisili, tempat tinggal tetap orang atau badan hukum;
Tempat letaknya benda (situs) merupakan titik taut sekunder untuk menentukan hukum yang
diberlakukan (lex rei sitae);
Tempat dilansungkannya perbuatan hukum (locus actus) atau perjanjian dibuat (lex loci
actus, lex loci contractus) merupakan faktor yang menentukan hukum yang harus
diterapkan;
Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commissi);
Tempat gugatan perkara diajukan atau tempat pengadilan (locus forum).
3) Pilihan Hukum
Pilihan hukum atau choice of law (rechtskeuze) sebagai salah satu titik pertalian sekunder
merupakan pilihan berdasarkan pada kebebasan berkontrak memilih sendiri hukum yang akan
diterapkan pada kontrak yang dibuat diantara para pihak dengan pembatasan bahwa mereka tidak bebas
untuk menentukan perundang-undangan tertentu dari hukum (pilihan) mana yang akan berlaku 25.
Prinsip pilihan hukum telah lama diterima oleh yurisprudensi dan kini para pihak di dalam membuat
suatu perjanjian tanpa ragu-ragu menentukan sendiri hukum yang berlaku untuk perjanjian mereka
malahan boleh memecah pilihan hukumnya, misalnya isi perjanjian akan tunduk pada hukum negara A
sedangkan eksekusi perjanjiannya dari hukum negara B 26. Selain hal tersebut, di dalam suatu akta utang
piutang oleh para pihak dapat ditentukan bahwa apabila pihak asing menuntut pihak Indonesia di
pengadilan asing maka hukum dari pengadilan negara asing tersebut akan diterapkan. Apabila pihak
Indonesia menuntut pihak asing di pengadilan di Indonesia, maka hukum Indonesia akan diterapkan.
Pilihan yurisdiksi dan pilihan hukum sebagaimana contoh di atas diperkenankan. Pilihan yurisdiksi
menyangkut menentukan pelaksanaan di tempat mana perselisihan yang timbul akan dilakukan,
misalnya para pihak memilih hukum Indonesia tetapi memilih yurisdiksi di Singapura.
4) Titik taut penentu (penunjuk) HPI Indonesia
HPI Indonesia tidak memiliki baik kompilasi maupun kodifikasi titik taut penentu (penunjuk,
choice of law rules) yang dapat dipakai sebagai acuan di dalam menyelesaikannya persoalan-persoalan
HPI 27. Hingga kini, Indonesia tidak banyak meratifikasi konvensi-konvensi internasional yang
berakibat bahwa masih sulit dan belum biasa atau asing bagi peradilan di Indonesia untuk menerapkan
25 Pendapat Kollewijn sebagaimana dikutip oleh Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet ke-5, Binacipta, Bandung, 1987, hal. 169.26 Sudargo Gautama, Some Aspects of Indonesia Private International Law, Malaya Law Review, Citation: 32 Malaya L.Rev.417 1990, hal. 430.27 “(…) kondisi bidang HPI di Indonesia sebagai salah satu bidang hukum yang, dari segi kelengkapan regulasi dan aturan-aturannya, dapat dianggap paling “terlantar” (neglected)”, Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 264.
10
prinsip-prinsip HPI yang sudah umum diakui secara internasional untuk persoalan-persoalan HPI 28.
Hanyalah sisa dari peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang dapat dikatakan mempunyai fungsi
sebagai kaidah penunjuk untuk menyelesaikan masalah yang mengandung unsur asing yakni Pasal 16,
Pasal 17 dan Pasal 18 Algemene Bepalingen van Wetgeving in Indonesië (AB) 29, Stbl 1847 no 23 30.
Kaidah penunjuk misalnya status dan kewenangan badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari
tempat badan hukum itu secara resmi didirikan atau dibentuk. Indonesia menganut asas ini dengan
mengharuskan pihak asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia membentuk badan hukum
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing). Berkaitan dengan perkawinan campuran telah ada
kaidah/aturan HPInya yakni Pasal 56 UUPerk dan Pasal 59 ayat (2) UUPerk, bahwa perkawinan
campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UUPerk. Kaidah penunjuk lainnya dapat
ditemukan di Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
5) Prinsip kewarganegaraan (nasionalitas) dan prinsip domisili
Selain penentuan hukum mana yang akan diterapkan dalam suatu hubungan internasional, untuk
menentukan status personal seseorang harus pula diketahui prinsip mana diikuti oleh hukum nasional
seseorang, apakah prinsip kewarganegaraan (nasionalitas) atau prinsip domisili. Negara-negara di dunia
tidak sepaham mengenai kedua prinsip tersebut, masing-masing dengan alasan dan.kelebihan serta
kekurangan dari kedua prisip tersebut. Perbedaan antara kedua prinsip ini pada dasarnya terdapat pada
titik berat segi personalitas atau segi teritorialitas daripada hukum.
Prinsip Kewarganegaraan (nasionalitas)
28 Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 266.29 Pasal 16 AB:
“De wettelijke bepalingen betreffende den staat en de bevoegdheid der personen blijven verbindend voor Indonesische (teks asli Nederlandsche) onderdanen wanneer zij zich buiten’s land bevinden. Evenwel zijn zij bij vestiging in Indonesië (teks asli Nederland of in eene andere Nederlandsche kolonie) , zolang zij aldaar hunne woonplaats hebben, ten aanzien van het genoemde gedeelte van het burgerlijke recht onderworpen aan de ter plaatse geldende wet”.(Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku bagi orang Indonesia (teks asli kaula negara Belanda), apabila ia berada diluar negeri. Demikian pula apabila ia menetap di Indonesia (teks asli di Nederland atau di salah satu koloni Nederland), selama ia mempunyai tempat tinggal disitu, berlakulah mengenai bagian tersebut dan hukum perdata yang berlaku disana).
Pasal 17 AB:“Ten opzigte van onroerende goederen geldt de wet van het land of de plaats, alwaar die goederen gelegen zijn”(Berkaitan dengan benda tidak bergerak berlaku hukum dari negara atau tempat dimana benda-benda itu berada)
Pasal 18 AB:“ De vorm van elke handeling wordt beoordeeld naar de wetten van het land of de plaats, alwaar die handeling is verrigt”(Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut perundang-undangan dari negara atau tempat, dimana tindakan hukum ini dilakukan).
30 W.A. Engelbrecht, bewerkt door E.M.L. Engelbrecht, De Wetboeken, wetten en verordeningen benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesië, Les Editions A. Manteau S.A – Bruxelles, A.W. Sijthoff’s Uitgevermaatschappij N.V., Leiden, 1960, hal. 375
11
Prinsip kewarganegaraan atau prinsip nasionalitas menganut pendapat bahwa status personal seseorang
ditentukan oleh hukum nasional mereka. Segi personalitas yang dikedepankan karena menurut teori
personalistis, status seseorang dikaitkan dengan hukum asal orang tersebut. Hukum personal seseorang
adalah hukum nasionalnya, yakni ditentukan oleh kewarganegaraannya. Setiap warganegara tetap
tunduk pada hukum nasional dari negaranya kemanapun ia pergi.
Stelsel hukum negara-negara Eropa Kontinental cenderung menganut prinsip nasionalitas dengan
meletakkan titik berat pada titik taut bersegi personalia seperti Perancis beserta bekas negara-negara
jajahannya telah menganut prinsip tersebut sejak Code Civil. Selain Perancis, negara-negara penganut
prinsip nasionalitas diantaranya adalah Italia, Belgia, Belanda, Suriname, Rumania, Bulgaria,
Finlandia, Jerman, Junani, Hungaria, Lichtenstein, Polandia, Portugal, Spanyol, Swedia, Turki, Iran,
Tiongkok, Jepang. Beberapa negara Latin juga menganut prinsip nasionalitas, seperti Costa Rica, Cuba,
Republik Dominika, Ecuador, Haiti, Honduras, Mexico, Panama, Venezuela serta Columbia-Equador 31.
Indonesia menganut prinsip nasionalitas.
Prinsip domisili
Negara-negara yang menganut prinsip domisili menentukan status personal seseorang pada domisilinya
untuk menentukan hukum yang berlaku padanya. Akibatnya, semua orang yang berada di dalam
wilayah suatu negara dianggap takluk dibawah hukum negara itu.
Asas domisili yang dikenal di sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) memberi arti pada konsep
domicile setara dengan pengertian habitual residence atau “tempat seseorang biasa bertempat tinggal”
atau “tempat kediaman sehari-hari”. Berbeda dengan asas domicile yang diartikan sebagai permanent
home atau “tempat hidup seorang secara permanent” tumbuh di dalam sistem hukum common law 32.
Negara-negara yang menganut prinsip domisili dan meletakkan titik taut dalam HPI pada segi
teritorialnya diantaranya adalah negara-negara yang menganut sistem Common Law. Dalam kelompok
ini adalah Inggris, Scotlandia, Afrika Selatan, Quebec, Denmark, Norwegia, Iceland, Brasilia,
Guatemala, Nicaragua, Argentina, Bolivia, Paraguay, Peru, Uruguay 33.
6) Bahasa akta pada perjanjian internasional
Bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi, menyampaikan pendapat, keinginan, argumentasi
kepada pihak lainnya. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi atau alat perhubungan antar anggota
masyarakat, dan memiliki peran penting di dalam hubungan bermasyarakat termasuk dalam hubungan
internasional.
Berkaitan bahasa dengan hukum, Pasal 43 UUJN menentukan bahwa:
(1) Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia;(2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap;(3) Jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing;
31 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet ke-5, Binacipta, Bandung, 1987, hal. 51.32 Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu, Edisi Keempat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 270.33 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet ke-5, Binacipta, Bandung, 1987, hal. 52.
12
(4) Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia;(5) Apabila tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi;(6) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka yang digunakan adalah akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Beberapa undang-undang telah menentukan sebagai ketentuan yang bersifat memaksa yakni akta yang
bersangkutan harus dibuat dalam bentuk akta notaris dalam bahasa Indonesia seperti di dalam
pembuatan akta pendirian perseroan terbatas (Pasal 7 ayat (1) UUPT), termasuk akta perubahan
anggaran dasarnya (Pasal 21 ayat (4) UUPT), akta pembebanan benda dengan jaminan fidusia (Pasal 5
ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, akta pendirian Yayasan
(Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan).
Berkaitan dengan penggunaan bahasa Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) mengatur di dalam Pasal 31 ayat (1)
mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian yang melibatkan lembaga Negara,
lembaga swasta, atau perseorangan warganegara Indonesia. Pada ayat (2)nya disebutkan bahwa nota
kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga
dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Penggunaan bahasa menjadi
penting dan krusial di dalam hubungan internasional mengingat telah dibatalkannya suatu perjanjian
kerja sama antara pihak swasta Indonesia dan swasta asing yang dibuat dalam bahasa Inggris yang
berakhir dengan sengketa. Pengadilan Negeri Jakarta Barat membatalkan perjanjian tersebut karena
melanggar undang-undang. Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkaman Agung Nomor 601 K/PDT/2015
telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tersebut34.
7) Dokumen pada hubungan internasional
Di dalam praktik dunia perdagangan dan hukum sering digunakan surat-surat dari dan keluar negeri
dengan keharusan melegalisasi tanda tangan notaris selaku pejabat umum dan pejabat umum lainnya
dan/atau pengesahan stempel resmi dalam dokumen yang dimohonkan. Prosedur legalisasi tandatangan
tersebut diperlukan sebagai jaminan bahwa tandatangan notaris/pejabat umum dan/atau pengesahan
stempel resmi yg bersangkutan adalah benar tetapi tidak mencakup kebenaran isi dokumen. Adapun
dasar hukumnya adalah Stb. 1909 No 291 tentang Legalisasi Tanda Tangan (Bepalingen nopens het
legaliseeren van handteekeningen) dan Undang2 No 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina
1961 mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Operasionalnya.
Legalisasi disini juga bukan dalam artian Pasal 15 ayat (2)a UUJN yakni menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus dan Pasal 15 ayat (2)b UUJN
waarmerking, membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
Penggunaan akta notaris/dokumen ke/dari luar negeri berbeda sejak adanya Convention de La Haye 5
Octobre 1961 (Hague Convention Abolishing the Requirement of Legalization for Foreign Public
34 Huala Adolf, Perjanjian Batal karena Bahasa, Kompas, rabu, 22 Februari 2017 hal. 7.
13
Documents, the Apostile Convention) sehingga tidak diperlukan prosedur berjenjang legalisasi tersebut.
Beberapa Negara telah meratifisir convention tersebut diantaranya Nederland, Inggris, Perancis, Italia,
Portugal, Malaysia. Sayang Indonesia belum meratifisir konvensi tersebut sehingga penggunaan
dokumen dari/ke luar negeri harus mengikuti angka 70 Lampiran Peraturan Menteri Luar Negeri R.I.
Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri
oleh Pemerintah Daerah (28 Desember 2006). Peraturan tersebut mengharuskan dokumen yang akan
dipergunakan keluar negeri dilegalisasi oleh notaris/instansi yang berwenang, Kementerian Hukum dan
Ham RI 35, Kementerian Luar Negeri, Perwakilan negara asing di Indonesia (dari negara dimana
dokumen hendak dipergunakan). Demikian pula sebaliknya untuk dokumen dari luar negeri harus
mengikuti prosedur yang sama dengan melakukan pula pemeteraian (nazegelen) di kantor pos.
-0-
35 Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI No 01 tahun 2017 tentang Tata Cara Permohonan Legalisasi Dokumen Pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
14