Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak Laporan KasusFakultas Kedokteran UmumUniversitas Mulawarman
TUBERCULOSIS PARU PADA ANAK
disusun oleh
Yunita Rapa’
06.55358.00301.09
Pembimbing
Dr. Suryantini, Sp. A
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Mulawarman
2011
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberculosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Myocobacterium tuberculosis. Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai
hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan
lokasi infeksi primer. 1
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB
anak per tahun adalah 5-6 % dari kasus total TB. Pada negara berkembang TB pada
anak berusia < 15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara
maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7 %. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999,
jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan
kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Penyebab utama meningkatnya
tuberkulosis di dunia di antaranya karena kurangnya kepatuhan kepada program
penanggulangan tuberkulosis, diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat.2,3
Selain itu, gizi buruk masih merupakan masalah serius di Indonesia, walaupun
pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas
menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak
tahun 1989 meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% pada tahun 1992 dan mencapai
puncaknya 11,6% pada tahun 1995. Gizi buruk ini sering disebut juga kurang energi
protein (KEP) berat. Terdapat 3 bentuk KEP berat secara klinis yaitu marasmus,
kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor. Hal ini dapat terjadi karena asupan kalori
yang inadekuat (kurangnya asupan energi dan protein dalam makanan yang tidak
memenuhi angka kecukupan gizi). Pada umumnya Tuberculosis paru sering
menyebabkan gizi buruk yang akan disertai dengan penyakit infeksi seperti diare,
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), serta penyakit infeksi lainnya. Data dari
WHO menunjukkan bahwa 54% angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi
2
buruk, 19% diare, 19% Infeksi Saluran Pernafasan Akut, 18% perinatal, 7% campak,
5% malaria dan 32% penyebab lain.4,5
Deteksi dini pada anak-anak yang mengalami kelainan neurologis sangatlah
penting pada setiap tahapan yang dilalui anak sejak dari dalam kandungan sampai
dengan anak tumbuh dan berkembang, sehingga pelayanan kesehatan pada anak perlu
dilakukan sedini mungkin untuk deteksi dini apabila terjadi gangguan pada tahap-
tahap tersebut, mengingat bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa dan
Negara.6
Anak memiliki suatu ciri khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang sejak
konsepsi sampai berakhirnya masa remaja. Hal ini yang membedakan anak dengan
dewasa. Anak bukan dewasa kecil karena pada anak menunjukkan ciri-ciri
pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usianya, sehingga masa tumbuh
kembang anak merupakan masa yang penting. Pertumbuhan adalah bertambahnya
ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler, berarti bertambahnya ukuran fisik
dan struktur panjang tubuh sebagian atau keseluruhan sehingga dapat diukur dengan
satuan panjang dan berat. Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan
bahasa serta sosisalisasi dan kemandirian.16
Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan. Berbeda dengan
pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf
pusat dengan organ yang dipengaruhinya, misalnya perkembangan sistem
neuromuskuler, kemampuan berbicara, emosi dan sosialisasi. Kesemua fungsi
tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia yang utuh. Banyak faktor baik
internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi keberhasilan tumbuh kembang
anak. Salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut adalah
kematangan sistem saraf, mulai dari otak sampai dengan saraf tepi. Perkembangan
dari susunan sistem saraf anak sejak dari dalam kandungan hingga masa tumbuh
kembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat positif dan negatif. Pada
3
kondisi cerebral palsy (CP) mendapatkan pengaruh yang negatif, sehingga
mengakibatkan gangguan perkembangan susunan saraf pusatnya.6
Cerebral palsy (CP) adalah kelainan postur tubuh dan gangguan
perkembangan motorik yang banyak ditemukan pada anak-anak dalam prakterk
rehabilitasi, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Gangguan
perkembangan motorik ini terjadi karena otak mengalami kerusakan pada masa
perkembangan dini. Pada umumnya kelainan CP disertai dengan gangguan bicara,
pendengaran, penglihatan, strabismus, kejang maupun retardasi mental. Pada
umumnya kerusakan yang terjadi pada kondisi CP terdapat pada korteks serebri,
ganglia basalis dan serebellum. Kelainan yang disebabkan oleh kerusakan tersebut
bersifat non progresif dan kerusakannya tidak berlanjut lagi, tetapi penderita
menunjukkan manifestasi klinik berupa kelainan postur dan gerak yang masih dapat
berubah akibat maturasi sesuai dengan perkembangan umur.6,7,8,9,10
Kapan otak dikatakan matur, sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Otak
dianggap matang kira–kira pada usia 4 tahun, sedangkan menurut The American
Academy for Cerebral Palsy batas kematangan otak adalah 5 tahun. Adapula
beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa kematangan otak terjadi pada usia 8 –
9 tahun.12
Di Amerika, prevalensi penderita CP dari yang ringan hingga yang berat
berkisar antara 1,5 sampai 2,5 tiap 1000 kelahiran hidup. Angka ini didapatkan
berdasarkan data yang tercatat pada pelayanan kesehatan, yang dipastikan lebih
rendah dari angka yang sebenarnya. (Kuban, 1994) Suatu penelitian pada anakusia
sekolah, prevalensi CP ditemukan 1,2 – 2,5 anak per 1.000 populasi. Sedikitnya 5.000
kasus baru CP terjadi tiap tahunnya. (Gordon, 1987; Gilroy, 1992) Dari kasus
tersebut 10 % sampai 15 % CP didapatkan adanya kelainan otak yang biasanya
disebabkan oleh infeksi atau trauma setelah bulan pertama kehidupan.11,12
Di Indonesia, prevalensi penderita CP diperkirakan sekitar 1 – 5 per 1.000
kelahiran hidup. Di YPAC Surakarta tercatat 58 penyandang CP pada peride
Desember 2007 sampai dengan Mei 2008. Bayi laki–laki mempunyai resiko
4
terjadinya CP lebih besar daripada perempuan. Seringkali terdapat pada anak
pertama. Hal ini mungkin dikarenakan kelahiran pertama lebih sering mengalami
kelahiran macet. Angka kejadiannya lebih tinggi pada bayi berat badan lahir rendah
dan kelahiran kembar. Umur ibu seringkali lebih dari 40 tahun, terlebih lagi pada
multipara.14
Dalam laporan kasus ini akan dibawakan mengenai tuberkulosis paru dan
adanya gangguan tumbuh kembang yang mengarah ke cerebral palsy pada anak.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan yang
terdapat pada kasus.
3. Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang didapat.
5
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : An. D
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 10 bulan
Alamat : jl. Gerilya
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
MRS A. W Sjahranie : Tanggal 26 November 2010
Identitas Orang Tua • Nama Ayah : Tn. B• Umur : 30 tahun • Alamat : jl.gerilya• Pekerjaan : swasta • Pendidikan Terakhir : SMK• Golongan darah : Tidak diketahui• Ayah perkawinan ke : 1• Riwayat kesehatan ayah : tidak ada
• Nama Ibu : Ny.N• Umur : 28 tahun • Alamat : jl.Gerilya• Pekerjaan : IRT • Pendidikan Terakhir : SMK• Golongan darah : Tidak diketahui• Ibu perkawinan ke : 1• Riwayat kesehatan ayah : tidak ada
AnamnesaAnamnesa dilakukan secara alloanamnesa pada tanggal 06 Desember 2010
dengan ibu kandung pasien.
Keluhan Utama : Batuk
6
Riwayat Penyakit Sekarang :
Batuk dialami pasien sejak 1 bulan sebelum MRS, batuk berdahak, dahak
berwarna putih dan sulit dikeluarkan, darah (-), sesak (-), suara nafas berbunyi grok-
grok. Batuk juga disertai demam yang naik turun, menggigil (-), mengigau (-),
berkeringat (-). Pasien mengalami penurunan berat badan sejak sakit karena nafsu
makannya menurun.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah dirawat di RS A 1 bulan yang lalu dan didiagnosa
bronkopnemonia. Pasien juga sejak umur 3 bulan jika menangis lama membiru dan
kaku pada tangan,tetapi jika langsung digendong tidak jadi mebiru dan kaku. Saat
berumur 3 bulan ibu merasa anaknya mengalami keterlambatan dalam perkembangan
anaknya sehingga membawa anaknya ke dr. Spesialis saraf dan dilakukan CT scan
kepala didapatkan otak mengecil dan mendapatkan pengobatan anti kejang serta rutin
melakukan terapi rehabilitasi.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita batuk lama atau mendapatkan pengobatan
6 bulan.
Riwayat Sosio-Ekonomi Keluarga :
Pasien diasuh oleh orang tua, ayah bekerja sebagai pegawai perusahaan, dan
ibu tidak bekerja. Penghasilan keluarga tetap, kurang lebih Rp 6.000.000/bulan.
Keluarga pasien tinggal di daerah Gerilya. Rumah terbuat dari kayu, beratap
seng, ventilasi dan pencahayaan cukup. WC yang digunakan berada di dalam rumah.
7
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Hamil ke
Kondisi saat Lahir
Jenis Persalinan
UsiaSehat/ Tidak
Umur Meninggal
Sebab Meninggal
1 Aterm Spontan 4 tahun sehat
Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :
Berat badan lahir : 3000 gr
Panjang badan lahir : 51 cm
Berat badan sekarang : 5,4 kg (saat masuk RS)
Tinggi badan sekarang : 66 cm
Gigi keluar : 6 bulan
Tersenyum : ibu lupa
Miring : 6 bulan
Tengkurap : belum bisa
Duduk : belum bisa
Merangkak : belum bisa
Berdiri : belum bisa
Berjalan : belum bisa
Berbicara 2 suku kata : -
Masuk TK : -
Sekarang kelas : -
Makan Minum anak :
ASI : 0 bulan – 7 bulan
Dihentikan : 7 bulan
Susu sapi/buatan : SGM / Nutrilon ( 4 sendok takar dalam 120 ml,
3 kali sehari)
Buah : 6 bulan
Bubur susu : 6 bulan (3 kali sehari 5-6 sendok)
8
Tim saring : -
Makanan padat, lauknya : -
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Bidan
Obat-obatan yang sering diminum : Vitamin
Riwayat Kelahiran :
Lahir di : RS, ditolong oleh : bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : spontan, langsung menangis
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Posyandu
Keadaan anak : sehat
Keluarga berencana : Ya, metode suntik
IMUNISASI
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG (+) //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio (+) (+) (+) (+) - -
Campak - - //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT (+) (+) (+) //////////// - -
Hepatitis B (+) (+) (+) ////////// - -
9
PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan pada tanggal 6 Desember 2010)
Kesan umum : sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 130x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi napas : 28x/menit, regular
Temperatur : 37,30C
Berat badan : 5,4 kg
Panjang Badan : 66 cm
Status Gizi : Gizi Buruk (kurva CDC di bawah 3 SD)
Lingkar kepala : 42 cm (mikrochepal= < 2 SD)
Kepala
Rambut : Hitam
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil: Isokor (3mm/3mm).
Hidung : Sumbat (-), Sekret (-)
Telinga : Bersih, Sekret (-)
Mulut : Lidah bersih, faring Hiperemis(-), mukosa bibir basah,
pembesaran Tonsil (-/-)
Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB (+) konsistensi kenyal, mobile, berukuran 1
cm
Thoraks
10
Pulmo
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : Fremitus raba dekstra sama dengan sinistra
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : bronkovesikuler, Ronki (+/+), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V MCL sinistra, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung
Kanan : ICS III, 3 cm dari right parasternal line
Kiri : ICS V left midclavicular line
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : Soefel, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kulit baik.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : Dalam batas normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), hipotoni
PEMERIKSAAN PENUNJANG
11
Pemeriksaan darah saat pasien masuk tanggal 26 november 2010
Hemoglobin : 10,6 gr/dl
Leukosit : 2100 /mm3
Hematokrit : 34,3 %
Trombosit : 287.000/mm3
Foto Thorax AP & Lateral (tgl. 26 november 2010)
Pada pembacaan didapatkan:
• Cor : besar dan bentuk normal
• Pulmo : Infiltrat Hilus Kiri
• Kedua sinus tajam
• Kesimpulan: Bronchopneumonia
Tes Widal (tgl. 30 novomber 2010)
Pada tes widal didapatkan hasil:
• Salmonella Typhi (O & H) = Negatif
• Salmonella paratyphi A (O & H) = Negatif
• Salmonella paratyphi B (O & H) = Negatif
• Salmonella paratyphi C (O & H) = Negatif
Cek ECHO (tgl. 3 desember 2010)
Pada ECHO tidak ada kelainan (ECHO normal).
Mantoux test (tgl. 6 desember 2010)
Pada hasil mantoux tes didapatkan indurasi dengan diameter 10 mm.
Kultur Urine dan kultur darah (tgl. 27 desember 2010)
a. Pada hasil kultur urine didapatkan:
12
• kuman E. Coli sebanyak 600.000/ml/24 jam
• pewarnaan gram: batang gram negatif
• kepekaan antibiotik: Meropenem 26 mn
b. Hasil kultur darah : tidak ditemukan pembiakan.
Skor TB (tgl 6 desember 2010)
Parameter Skor
Kontak TB 0
Uji Tuberkulin 3 (10 mm)
Status Gizi 2 (klinis Gizi Buruk)
Demam tanpa sebab yang jelas 1 (1 bulan)
Batuk 1 (1 bulan)
Pembesaran KGB 1 (KGB colli)
Pembengkakan tulang/sendi -
Foto 1
Total 9
Diagnosis sementara : TB paru
Diagnosa lain : Cerebral Palsy
ISK
PENATALAKSANAAN : (tgl. 26 november 2010)
- Mucopect syr 3x1 ½ cth
13
- Sanmol syr 4x 0,6 ml
- gentamycin 2x 15 mg
- inj.Cefotaxim 3x200 mg
- Dexa 3x 1,5 mg
Prognosa : Dubia at bonam
PEMBAHASAN
14
Diagnosis tuberculosis paru, ISK, dan cerebral palsy pada laporan kasus ini
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan.
Pada tanggal 6 Desember dilakukan anamnesa pada pasien didapatkan batuk
dialami pasien sejak 1 bulan sebelum MRS, batuk berdahak, dahak berwarna putih
dan sulit dikeluarkan, darah (-), sesak (-), suara nafas berbunyi grok-grok. Batuk juga
disertai demam yang naik turun, menggigil (-), mengigau (-), berkeringat (-). Pasien
mengalami penurunan berat badan sejak sakit karena nafsu makannya menurun.
Patogenesis TB sangatlah kompleks, sehingga manisfestasi klinis TB sangat
bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman
TB, penjamu, serta interaksi keduanya. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan
gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto Rontgen thoraks.2
Manisfestasi klinis TB terbagi 2 yaitu manisfestasi sistemik dan lokal.
Manisfestasi sistemik inilah yang dapat kita ketahui dari anamnesa kepada pasien.
Sebagian besar anak dengan TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama
beberapa waktu. Sesuai dengan sifat kuman TB yang lambat membelah, manisfestasi
klinis TB umumnya bertahap dan perlahan. Salah satu gejala sistemik yang sering
terjadi adalah demam. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
Biasanya demam hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama. Manisfestasi
sistemik lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan tidak naik
(turun,tetap,atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan), dan malaise
(letih,lemah,lesu). Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait dengan penyakit
penyerta.2
Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manisfestasi
respiratorik yang menonjol. Selain itu, batuk berulang dapat timbul karena anak
dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami
infeksi respiratorik akut (IRA) berulang.2
Pada pneumonia maupun bronkopneumonia, gejala yang timbul biasanya
mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas.
15
Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus menerus, sesak, kebiruan disekitar
mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih
suka berbaring pada sisi yang sakit.6
Pasien pada kasus ini berjenis kelamin laki-laki, dengan usia 10 bulan, dengan
berat badan 5,4 kg. Gejala yang dialami pasien pada awalnya adalah batuk berdahak
tanpa disertai pilek dan berlangsung lebih dari tiga minggu. Tidak ada demam tinggi,
hanya sumer-sumer. Demam berlangsung selama lebih dari dua minggu yang tidak
disertai keringat malam. Kemudian pasien tidak didapatkan sesak nafas, akan tanpa
disertai nafas berbunyi grok-grok akibat dahak yang sulit dikeluarkan serta pasien
memiliki riwayat bronkopnemonia saat berusia 9 bulan dan biru sejak umur 3 bulan
dan tidak memiliki riwayat kontak dengan keluarga yang mengalami batuk lama serta
mendapatkan pengobatan 6 bulan. Pada follow up hari ke 32 sampai dengan 35
perawatan didapatkan pasien mengalami demam yang naik turun tanpa sebab yang
jelas.
Pada pemeriksaan fisik pertama lakukan pada saat pasien diruangan
perawatan hari ke-sebelas. Gejala bronkopnemoni yang ditemukan pada pasien ini
adalah ronki diseluruh lapangan paru namun tidak disertai dengan adanya sesak.
Sedangkan untuk TB paru ditemukan adanya pembesaran kelenjar di daerah leher
sinistra sebanyak 1 buah,konsistensinya kenyal berukuran 1 cm dan mobile.
Pada pneumonia maupun bronkopneumonia, gambaran klinis pada bayi dan
anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, tapi secara umum adalah sebagai
berikut:6
Gejala infeksi umum, yaitu demam ≥ 390C, sakit kepal gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah,
diare.
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,
takipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara nafas melemah dan ronki. Gambaran klinis bronkopneumonia pada neonatus
16
dan bayi kecil tidak khas, lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, nafas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah,
tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam.6
Pada TB paru gejala spesifik bergantung pada organ. Pembesaran kelenjar
limfe superfisialis sebagai manisfestasi TB sering dijumpai. Kelenjar yang sering
terkena adalah kelenjar limfe colli anterior atau posterior, tetapi juga dapat terjadi di
aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis, karakteristik
kelenjar yang dijumpai biasanya multiple, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat
pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat satu sama lain.2
Pada pemeriksaan fisis, didapatkan berat badan pasien ini adalah 5,4 kg dan
tinggi badan 66 cm. Diagnosis malnutrisi berat relatif lebih mudah ditegakkan, sesuai
dengan kriteria WHO/NCHS (Z-score) tahun 1999, yang pada pasien menunjukkan
rasio berat badan menurut tinggi badan adalah -3 SD. Hal ini berarti telah terjadi
defisiensi nutrisi berat saat ini.
Menurut literature, Malnutrisi energi protein berat didiagnosis melalui
penilaian status gizi dan adanya gejala klinis sesuai jenis malnutrisinya. Berdasarkan
kriteria WHO/NCHS tahun 1999, malnutrisi energi protein berat bila berat badan
menurut umur (BB/U) ≤60% baku median WHO-NCHS dan/atau berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB<70% baku median WHO-NCHS.8
Keadaan penderita yang tidak disertai edema menggambarkan bahwa
penderita telah mengalami kekurangan kalori dan protein berat, atau dikenal dengan
tipe marasmus. Menurut literature, gejala klinis malnutrisi energi protein berat secara
garis besar dibedakan dalam 3 tipe, yaitu marasmus, kwashiorkor atau marasmik-
kwashiorkor.
Pada pasien ini, terjadinya marasmus dapat diakibatkan dari beberapa faktor
pemberian makanan yang kurang terlihat pada intake (makan dan minum) sehari-hari
pasien, terjadinya infeksi pada pasien kasus sering mengalami batuk dan pilek
berulang, dan penyapihan terlalu dini. Hal ini sesuai dengan literature yang ada, di
mana secara garis besar penyebab marasmus meliputi masukan makanan yang
17
kurang, infeksi, kelainan struktur bawaan, prematuritas dan penyakit pada masa
neonatus, pemberian ASI, gangguan metabolik, tumor hypothalamus, penyapihan,
dan urbanisasi.5,6,9
Dari pemeriksaan laboratorium darah lengkap saat pasien datang ditemukan
leukosit yang menurun 2100/mm3, menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi pada
pasien, hemoglobin 10,6 g/dl, hematokrit 34,3 %, trombosit 287.000/mm3. Menurut
literatur penyebab rendahnya jumlah sel darah putih termasuk: Influenza, lupus
eritematosus sistemik, limfoma Hodgkin, beberapa jenis kanker, malaria tipus, TBC,
demam berdarah, infeksi rickettsial, pembesaran limpa, kekurangan folat, psittacosis
dan sepsis. Banyak penyebab lain ada, seperti kekurangan mineral tertentu seperti
tembaga dan seng. Sedangkan untuk bronkopneumonia didapatkan adanya
leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN,
hitung jenis bergeser ke kiri.2,3
Foto rontgen harus diambil dari 2 sisi yaitu postero-anterior dan lateral.
Gambaran foto thoraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB
dapat dijumpai pula pada penyakit lain, sebaliknya foto rontgen yang normal tidak
dapat menyingkirkan diagnosis TB. Dengan demikian, pemeriksaan foto thoraks saja
tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB. Secara umum gambaran radiologis
yang sugestif TB adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa
infiltrat, konsolidasi segmental atau lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
atelektasis, kavitas, efusi pleura dan tuberkuloma. Sedangkan pada bronkopnemonia
ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak infiltrat yang
dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial. Pada pasien, foto rontgen diambil dalam 2 posisi dengan intepretasi
infiltrat pada hilus kiri yang terdeteksi sebagai bronkopnemonia.2,3,6
Uji tuberkulin adalah alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal, tetapi
hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostic yang tinggi terutama pada anak,
dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tuberculin merupakan komponen
protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenic yang kuat. Jika disuntikkan secara
18
intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi
indurasi di lokasi suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberculin tidak dapat
menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit. Pengukuran uji tuberculin
cara Mantoux dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/ eritemanya.
Secara umum, hasil uji tuberculin dengan diameter indurasi ≥10 mm dinyatakan
positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Apabila diameter indurasi 0-4 mm,
dinyatakan uji tuberculin negative dan diameter 5-9 mm dinyatakan positif
meragukan.2
Diagnosis pada pasien ini dapat disimpulkan dari hasil anamnesis berupa
adanya batuk lama, tanpa disertai sesak, dan demam naik-turun. Pada pemeriksaan
fisis didapatkan batuk berdahak, tidak ada sesak, ada peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal, ditemukan pembesaran kelenjar di daerah colli sinistra sebanyak 1
buah,konsistensinya kenyal berukuran 1 cm, dan mobile; serta pada auskultasi
didapatkan ronki diseluruh lapangan paru. Pemeriksaan penunjang dengan melihat
hasil foto thorax AP-Lateral didapatkan interpretasi infiltrat pada hilus kiri; hasil
mantoux tes didapatkan indurasi dengan diameter 10 mm serta menggunakan score
TB untuk mendiagnosis TB, sedangkan untuk menentukan tipe Kurang Energi
Protein (KEP) dengan menggunakan score Mc Laren.
UKK Respirologi IDAI 2008 menyusun sistim skoring yang dapat digunakan
sebagai uji tapis bila sarana memadai. Bila skor ≥6, beri OAT selama 2 bulan, lalu
evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan, tetapi bila tidak ada respon, rujuk
ke rumah sakit untuk ditinjau lebih lanjut.2
Pada penderita perhitungan sistem skoring diagnosis TB anak bernilai 9.
Menurut literature, bila skor ≥6, dilakukan pemberian OAT selama 2 bulan, lalu
evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan sesuai dengan terapi lini pertama
pengobatan TB pada anak.2
Pada pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya seebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal tiga macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dlanjutkan dengan
19
dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Berbeda dengan orang
dewasa, OAT diberikan setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu.2
Prinsip penatalaksaan TB anak adalah lebih cepat mengobati daripada
terlambat agar komplikasi tidak terjadi. Bila dianamnesis dan diperiksa, anak
kemungkinan besar menderita TB maka beri OAT selama 2 bulan. Lalu, observasi
apakah terdapat perbaikan klinis. Respon anak terhadap OAT (farmakokinetik)
berbeda dengan dewasa. Toleransi anak terhadap dosis OAT per kilogram berat
badan lebih tinggi. Efek samping hepatitis akibat isoniazid dan rifampisin lebih
banyak ditemukan pada anak. Maka dari itu, dianjurkan untuk memeriksa rutin uji
faal hati sebelum pengobatan, setelah 2 minggu dan 1 bulan pengobatan.2
Dosis OAT pada anak harus mengacu pada dosis per kilogram berat badan.
Karena OAT yang tersedia di pasaran berbentuk tablet untuk orang dewasa, maka
saat diberikan kepada anak, tablet itu harus digerus menjadi puyer. Tak hanya itu,
isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid tidak boleh dicampur menjadi satu puyer sebab
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Pemberian OAT pada teori sesuai
dengan laporan kasus dengan dosis yang diberikan kepada pasien yaitu INH 50 mg
1x1, RIF 75 mg 1x1, PZA 150 mg 1x1 dibuat puyer secara terpisah.
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan dan untuk evaluasi hasil pengobatan
dilakukan setelah 2 bulan terapi yang dilakukan dengan cara yaitu evaluasi klinis,
evaluasi radiologis dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi
klis, yaitu mnghilangnya atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada
awal pengobatan, seperti penambahan BB yang bermakna, hilangnya demam,
hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan. Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan
pengobatan, tidak perlu dilakukan secara rutin. Apabila respon pengobatan baik,
maka pengobatan dilanjutkan ke fase lanjutan selama 4 bulan dengan dosis INH 50
mg 1x1 dan RIF 75 mg 1x1. Namun, jika respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu
gejala masih ada dan tidak terjadi penambahan, maka OAT tetap diberikan sambil
dilakukan eveluasi lebih lanjt mengapa tidak ada perbaikan dan dapat dirujuk ke
sarana yang kesehatan yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak.
20
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai
efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniasid dan
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam, dan gatal, serta
demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas,
sehingga perlu dilakukan evaluasi efek samping pengobatan selain evaluasi hasil
pengobatan.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan
meningitis. Antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi beta-laktam/ klavulanat dengan aminoglikosida, atau sefalosporin generasi
ketiga. Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral
selama 10 hari.1,6
Pemberian injeksi Dexametason 3x1,5 mg iv telah sesuai dengan dosis dan
berat badan yaitu dalam rentang 0,1-0,2 mg/kgBB/dosis. Penggunaan antibiotik pada
kasus ini adalah injeksi gentamicin 2x 15 mg iv dan injeksi Cefotaxim 3x150 mg iv.
Pemberian gentamicin diluar rentang dosis yaitu 2,5-5/kg BB/ hari yang seharusnya
6,75-13,5 mg/kali sedangkan cefotaxim sudah sesuai dengan rentang dosis yaitu 50-
100/kg BB/hari. Pada pasien ini pun terdapat gizi kurang, maka merupakan indikasi
untuk pemberian antibiotik segera saat tanda awal bronkopneumonia didapatkan,
yaitu dengan pilihan antibiotik sefalosporin generasi ketiga, seperti Cefotaxim.
Penentuan skor Mc laren sebagai system diagnosis untuk menentukan tipe
Kurang Energi Protein.10 Penilain ini dilakukan berdasarkan gejala klinis yang di
dapat serta hasil pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan tabel skor Mc Laren,
penderita mengalami marasmus karena skor bernilai 2 atau 3 yaitu kadal albumin 3,8
g% dan protein total 6,0 mg/dl.
Tujuan pengobatan pada penderita marasmus adalah pemberian diet tinggi
kalori dan tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita marasmus tanpa
komplikasi dapat berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan
21
yang baik, sedangkan penderita yang mengalami komplikasi serta dehidrasi, syok,
asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di rumah sakit.5
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil pemeriksaan laboratorium
pada penderita tidak di dapatkan tanda bahaya dan tanda penting berupa syok, letargis
dan muntah/diare/dehidrasi. Sehingga tindak lanjut yang dilakukan berupa mengobati
infeksi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan mulai pemberian cairan dan
makanan sesuai dengan penatalaksanaan gizi buruk yaitu tahap stabilisasi, tahap
transisi dan tahap rehabilitasi.
Fase stabilisasi : E = 80- 100 kkal/kgBB/hr, Protein = 1-1,5 gr/kgBB/hari,
cairan 130 ml/kgBB/hari.
Perhitungan pemberian cairan dan makanan dengan Berat Badan : 5,4 Kg
Energi : 80 – 100 kkal/kgBB/hr
: 432 – 540 kkal/hr
Protein : 1 – 1,5 gram/kgBB/hr
: 5,4 – 8,1 gram/hr
Cairan : 130 ml/KgBB/hr (tanpa edema)
: 702 ml/hr
Sesuai dengan perhitungan formula yang tepat pada pasien adalah F75 diberikan
12x60cc atau Modified Skim Coconut Oil/Modisco dengan pemberian 12x60 cc.
Sehingga kalori yang didaptkan pasien adalah 576 kkal
Pada tahap stabilisasi tidak diberikan pemberian tablet Fe. Namun vitamin A
pada hari 1 diberikan tanpa melihat ada atau tidaknya gejala defisiensi Vitamin A.
Vitamin A diberikan sesuai dengan usia < 6 bulan 50.000 SI, 6-11 bulan 100.000 SI
dan 1-5 tahun 200.000 SI. Vitamin lain dapat diberikan seperti asam folat dengan
pemberian hari pertama 5 mg/hari selanjutnya diberikan asam folat 1 mg/hari,
vitamin B kompleks diberikan sebanyak 1 tablet/hari dan vitamin C BB < 5 kg
sebanyak 50 mg/hari dan BB ≥ 5 kg 100 mg/hari. Menurut literature Anak yang
menderita KEP biasanya juga mengalami defisiensi mikronutrien, yang berpengaruh
22
buruk terhadap proses tumbuh kembang. Defisiensi mikronutrien yang sering terjadi
adalah defisiensi besi, iodium, asam folat, vitamin D, dan vitamin A.5
Fase transisi : E = 100-150 kkal/kgBB/hr, Protein = 2-3 gr/kgBB/hari, cairan
150 ml/kgBB/hari.
Perhitungan pemberian cairan dan makanan dengan Berat Badan : 5,4 Kg
Energi : 100 – 150 kkal/kgBB/hr
: 540 – 810 kkal/hr
Protein : 2 – 3 gram/kgBB/hr
: 10,8 – 16,2 gram/hr
Cairan : 150 ml/KgBB/hr (tanpa edema)
: 810 ml/hr
Sesuai dengan perhitungan formula yang tepat pada pasien adalah F100 diberikan 6x
135 cc akan tetapi pada pasien hanya diberikan susu LLM 12 x 60 cc yang artinya
kalorinya hanya 7,2 x 66 = 475,2 kkal.
Fase rehabilitasi : E = 150- 220 kkal/kgBB/hr, Protein = 3-4 gr/kgBB/hari,
cairan 150-200 ml/kgBB/hari.
Perhitungan pemberian cairan dan makanan dengan Berat Badan : 5,4 Kg
Energi : 150- 220 kkal/kgBB/hr
: 810- 1188 kkal/hr
Protein : 3-4 gram/kgBB/hr
: 16,2 – 21,6 gram/hr
Cairan : 150-200 ml/KgBB/hr (tanpa edema)
: 810-1080 ml/hr
Sesuai dengan perhitungan formula yang tepat pada pasien adalah F135 3x100 dan
ditambah makanan lumat. Pada pasien ini diberikan:
- SGM 4x60cc = 2,4 x 60 cc= 144 kkal
-LLM 8x60cc= 4,8x 66 cc= 316,8 kkal
-makanan lumat = 3x 125cc = 375kkal +
835,8 kkal
23
Infeksi Saluran Kemih (ISK) dapat mengenai semua orang, mulai bayi baru
lahir sampai dengan orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan.ISK lebih
sering dtemukan pada bayi atau anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Pada bayi
sampai umur tiga bulan, ISK lebih sering pada laki-laki daripada perempuan, tetapi
selanjutnya lebih sering pada perempuan daripada laki-laki.13
ISK terjadi sebagai akibat masuknya kuman ke dalam saluran kemih.
Biasanya kuman berasal dari tinja atau dubur, masuk ke saluran kemih bagian bawah
atau uretra, kemudian naik ke kandung kemih dan dapat sampai ke
ginjal. Kuman dapat juga masuk ke saluran kemih melalui aliran darah dari tempat
lain yang melebar, terdapat sumbatan saluran kemih, kandung kemih yang membesar
dan lain-lain. Sama seperti penyakit infeksi lainnya, ISK akan lebih mudah terjadi
pada anak dengan gizi buruk atau sistem kekebalan tubuh anak rendah. Gambaran
ISK pada bayi tidak spesifik, sehingga kecurigaan besar ISK perlu dicurigai pada bayi
/ anak dengan demam tak jelas dalam 3 hari. Gejala klinik ISK anak juga tergantung
kepada berat ringanya reaksi radang yang ditimbulkannya, letak infeksi dan umur
penderita. Bayi dan anak kecil dapat mengalami demam berulang-ulang, diare,
muntah, nyeri abdomen dan berat badan tidak naik.13
Pasien pada kasus ini berjenis kelamin laki-laki, dengan usia 10 bulan, dengan
berat badan 5,4 kg. Gejala yang dialami pasien pada awalnya adalah batuk berdahak
tanpa disertai pilek dan berlangsung lebih dari tiga minggu. Tidak ada demam tinggi,
hanya sumer-sumer. Demam berlangsung selama lebih dari dua minggu yang tidak
disertai keringat malam. Kemudian pasien tidak didapatkan sesak nafas, disertai nafas
berbunyi grok-grok akibat dahak yang sulit dikeluarkan serta pasien memiliki riwayat
bronkopnemonia saat berusia 9 bulan dan biru sejak umur 3 bulan dan tidak memiliki
riwayat kontak dengan keluarga yang mengalami batuk lama serta mendapatkan
pengobatan 6 bulan. Pada follow up hari ke 32 sampai dengan 35 perawatan
didapatkan pasien mengalami demam yang naik turun tanpa sebab yang jelas, dan
dilakukan kultur urine (hari ke-32) didapatkan hasil bahwa ditemukan adanya kuman
E.coli sebanyak 600.000/ml/24 jam. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
24
pemeriksaan penunjang yang telah disebutkan di atas, pasien didiagnosa ISK. Hal ini
mungkin dikarena adanya tirah baring yang lama dan kurangnya dalam menjaga
kebersihan pasien selama dirawat di RS.
Pada penderita ISK terapi harus dimulai setelah mengambil kultur urin.
Medikasi oral yang dipakai untuk anak > 3 bulan dengan ISK sederhana adalah
Amoksisilin, kotrimoxazol dan cefalosporin. Quinolone harus dihindari pada
medikasi 1st line ; dapat dipakai sesuai dengan hasil sensitivitas urin. Lama terapi
biasanya : 10-14 hari untuk bayi dan anak dengan ISK kompleks dan 7-10 hari untuk
infeksi sederhana.13
Pada pasien ini telah dilakukan uji sensitifitas kultur urin (hari ke-32) dan
didapatkan kepekaan terhadap antibiotik Meropenem dengan diameter hambatan 26
mm. Dosis yang digunakan pada pasien ini adalah 3x60 mg iv telah sesuai dengan
rentang dosis meropenem yaitu 10-20 mm/kg BB/kali dan lama terapinya juga sesuai
dengan literatur yaitu selama 8 hari.
Pada tanggal 6 desember, dilakukan anamnesa tentang riwayat kelahiran
pasien oleh ibu pasien, didapatkan bahwa pasien lahir dengan spontan, cukup bulan
(aterm), bidan yang membantu persalinan mengatakan bahwa bayinya normal, sehat,
dang langsung menangis (tidak ada ketubah keruh atau bayi tidak menangis saat
lahir). Namun beberapa jam kemudian, pasien langsung panas tinggi selama 3 hari
tanpa disertai kejang dan dibawa ke puskesmas untuk diobati dan terus kontrol ke
puskesmas selama 2 bulan. Ketika pasien berumur 3 bulan, ibu pasien mengatakan
bahwa kepala pasien dapat miring ke kiri maupun ke kanan, namun tidak dapat
mengangkat kepala dan tidak dapat melihat, sehingga ibu pasien berinisiatif ke
dokter spesialis saraf dan oleh dokter spesialis saraf dilakukan rekam otak dan CT-
Scan kepala.
Dari pemeriksaan tersebut didapatkan bahwa otak pasien mengecil sehingga
rongga kepala sebagian besar diisi oleh cairan kepala. Dari dokter spesialis saraf,
pasien diberi obat anti kejang. Karena ibu pasien merasa bahwa perkembangan
anaknya lebih lambat daripada anak pada umumnya dan dianjurkan oleh teman ibu
25
pasien untuk membawa pasien ke pusat rehabilitasi untuk mengobati pasien, dan
ketika pasien berumur 9 bulan, ibu pasien membawa pasien ke pusat rehabilitasi. Di
pusat rehabilitasi, pasien mendapatkan pengobatan fisioterapi berupa terapi dengan
menggunakan bola dan terapi untuk melatih otot tangan dan kaki pasien, dan untuk
terapi bicara tidak dilakukan.
Cerebral palsy (CP) adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang dak
progresif, oleh karena suatu kerusakan/ gangguan pada otak yang sedang
berkembang/ belum matang. CP dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor
lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang menderita kelainan ini dalam
suatu keluarga, maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik. Waktu
terjadinya kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal,
perinatal dan postnatal.17,18,19,20,21
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak lemah (hanya tidur dan belum bisa
bangun sendiri), pada kedua tungkai (tangan dan kaki) fleksi, hipotoni, lemas dan
lemah (floopy). Berdasarkan gejala di atas, mengarah pada CP dengan tipe
atonik/hipotonik. Selain itu, dilakukan pengamatan dan penilaian pertumbuhan
melalui pengukuran status gizi dengan metode Z score didapatkan hasil status gizi
buruk (<-3SD) dan lingkar kepala dengan melihat kurva Nellhaus didapatkan hasil
lingkar kepala mikrosephal (<-2SD). Pada pasien didapatkan mikrosephal
kemungkinan dikarenakan adanya riwayat ibu yang memelihara kucing selama
mengandung pasien sehingga mengarah kepada infeksi intrauterine (infeksi TORCH
khususnya toxoplasmosis), namun selama hamil ibu pasien tidak mengalami demam
atau sakit selama hamil (asimptomatis). Berdasarkan literature yang ada penyebab
mikrosphal salah satunya dapat akibat dari adanya infeksi congenital yang bias
disebabkan oleh TORCH.4 Hal ini sesuai dengan literature yang ada, sehingga
penyebab dari mikrosephal pada pasien kemungkinan disebabkan oleh adanya infeksi
congenital oleh TORCH dan untuk memastikan adanya infeksi TORCH harus
26
dilakukan pemeriksaan untuk infesi TORCH pada ibu pasien, namun pemeriksaan ini
tidak dilakukan.
Pada pemeriksaan perkembangan, dilakukan dengan menggunakan Kuesioner
Pra Skrining Perkembangan (KPSP) yang meliputi aspek gerak kasar (motorik kasar),
gerak halus (motorik halus), kemampuan bicara serta sosialisasi dan kemandirian
sesuai dengan usia anak, atau dapat menggunakan metode Denver II.
Tujuan skrining/pemeriksaan perkembangan anak menggunakan KPSP adalah
untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, guru/ petugas PADU terlatih. Jadwal
skrining/pemeriksaan KPSP rutin adalah pada umur 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30, 36,
42, 48, 54, 60, 66, dan 72 bulan. 16
Pada pasien ini dilakukan skrining/pemeriksaan kuesioner pra skrining
perkembangan (KPSP). Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 7 Desember 2010, dan
pasien berusia 10 bulan 4 hari (3 Maret 2010) ketika dilakukan pemeriksaan tersebut
sehingga usia pasien dibulatkan menjadi 10 bulan. Pada kolom kuesioner tidak
didapatkan usia 10 bulan sehingga pasien dimasukkan ke dalam kolom kuesioner
umur 9 bulan. Kemudian diajukan 10 pertanyaan kepada ibu pasien untuk dijawab.
Dari 10 pertanyaan yang dijawab, didapatkan total jawaban ‘Ya’ berjumlah 1 buah
pada aspek bicara dan bahasa, sedangkan jawaban ’Tidak’ berjumlah 9 buah pada
aspek gerak kasar, gerak halus, dan social dan kemandirian. Berdasarkan interpretasi
hasil KPSP, pasien kemungkinan ada penyimpangan. Bila tahapan perkembangan
terjadi penyimpangan, lakukan tindak lanjut berupa rujukan ke rumah sakit dengan
menuliskan jenis dan jumlah penyimpangan perkembangan (gerak kasar, gerak halus,
bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian). 16
Deteksi dini penyimpangan perkembangan anak juga dilakukan tes daya
dengar (TDD), tes daya lihat (TDL), serta deteksi dini penyimpangan mental
emosional. Tujuan tes daya dengar adalah untuk menemukan gangguan pendengaran
sejak dini, agar dapat segera ditindaklanjuti untuk meningkatkan kemampuan daya
27
dengan dan bicara anak. Jadwal TTD adalah setiap 6 bulan pada bayi umur kurang
dari 12 bulan dan setiap 6 bulan pada anak umur 12 bulan ke atas.
Pemeriksaan tes daya dengar dilakukan dengan terlebih dahulu menanyakan
tanggal kelahiran pasien dan didapatkan usia pasien 10 bulan 4 hari sehingga di
bulatkan menjadi 10 bulan. Kemudian cocokkan usia pasien dengan kolom kuesioner
usia 9-12 bulan. Pada kolom kuesioner usia 9-12 bulan terdapat 4 perintah yang harus
dilakukan oleh ibu/petugas, dan didapatkan jawaban ‘Ya’ sebanyak 4 buah. 16
Berdasarkan interpretasi hasil tes daya dengar, pasien tidak mengalami gangguan
pendengaran.
Pada tes daya lihat dilakukan untuk mendeteksi secara dini kelainan daya lihat
agar segera dapat dilakukan tindak lanjut sehingga kesempatan untuk memperoleh
ketajaman daya lihat mendaji lebih besar. Jadwal tes daya lihat dilakukan setiap 6
bulan pada anak usia prasekolah umur 36 sampai 72 bulan. Pada pasien ini tidak
dilakukan tes daya lihat karena usia pasien belum mencukupi untuk dapat dilakuakn
tersebut. 16 Tetapi untuk memeriksa daya lihat, petugas melakukan tes refleks cahaya
serta tes pupil, dan didapatkan refleks cahaya positif (+/+) dengan pupil isokor
3mm/3mm, dan refleks kornea positif (+/+).
Deteksi dini penyimpangan mental emosional adalah kegiatan/ pemeriksaan
untuk menemukan secara dini adanya masalah mental emosional, autism, dan
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas pada anak, agar dapat segera
dilakukan tindakan intervensi. Ada beberapa jenis alat yang dapat digunakan untuk
tes tersebut, yaitu: kuesioner masalah mental emosional (KMME) bagi anak usia 36-
72 bulan, ceklis autis anak prasekolah (Checklist for Autism in Todller/CHAT) bagi
anak usia 18-36 bulan, dan formulir deteksi dini gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas (GPPH).16 Pada pasien ini tidak dilakukan karena usia pasien belum
mencukupi untuk dilakukan tes tersebut.
Pada metode Denver II yang dilakukan pada pasien sesuai dengan usia 10
bulan, didapatkan bahwa pada sektor bahasa pasien dapat bereaksi terhadap bel,
bersuara, dan menoleh ke bunyi icik-icik; dan pada sektor personal sosial pasien
28
dapat tersenyum spontan. Sedangkan pada sektor motorik kasar dan motorik halus,
pasien tidak dapat melakukan sesuai dengan gerakan yang ada di metode Denver II.
Pada pemeriksaan penunjang telah dilakukan rekam otak (EEG) dan CT-Scan
kepala oleh dokter spesialis saraf ketika pasien berusia 3 bulan. Pada EEG didapatkan
gambaran spike/wave epileptikus dan pada CT-Scan kepala terdapat gambaran
penumpukan cairan pada rongga kepala.
Pada umumnya untuk mendiagnosa suatu CP pada usia di bawah 6 bulan
memang sangat sulit oleh karena pada usia dibawah 6 bulan tidak banyak didapatkan
fase perkembangan baru. Namun, tanda awal CP dapat tampak pada usia < 3 tahun,
dan orang tua sering mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik tidak
normal. Bayi dengan CP sering mengalami keterlambatan perkembangan, seperti
tengkurap, duduk, merangkan, berjalan, atau tersenyum. Selain itu, dalam
mendiagnosa suatu CP diperlukan pemeriksaan kemampuan motorik bayi dan melihat
kembali riwayat medis, mulai dari riwayat kehamilan, persalinan, dan kesehatan bayi.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan lingkar
kepala anak. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan CT-Scan kepala, MRI
kepala dan USG kepala untuk menunjang diagnose CP.26,27
Pada beberapa literature yang ada disebutkan bahwa untuk membuka
alternative baru dari kekaburan di dalam penegakkan diagnose, Levine melakukan
suatu studi untuk mencari standar dari criteria untuk diagnose CP untuk kasus berusia
di atas 1 tahun. Kelainan klinis motorik oleh Levine, dibagi atas 6 kategori besar:28
1. Pola gerak dan postur
2. Pola gerak oral
3. Strabismus
4. Tonus otot
5. Evolusi dari reaksi postural dan “Landmark”
6. Deep tendon reflex, refleks primitif dan refleks plantar.
29
Namun sebagian besar dokter akan menunda diagnose formal/ diagnosa
definitif hingga anak berusia 2 tahun dan dilakukan oleh neonatologist, dokter anak
atau komunitas dokter anak yang telah berpengalaman dalam mendignosis CP.29
Pada pasien ini dapat disimpulkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang didapatkan adanya gangguan dalam perkembangan yang
mengarah ke diagnosa sementara berupa CP, namun tetap dipantau terus sampai usia
2 tahun untuk mendapatkan diagnosa definitif.
Perlu ditekankan pada orang tua penderita CP, bahwa tujuan dari pengobatan
bukan membuat anak menjadi seperti anak normal lainnya. Tetapi mengembangkan
sisa kemampuan yang ada pada anak tersebut seoptimal mungkin, sehingga
diharapkan anak dapat melakukan aktifitas sehari–hari tanpa bantuan atau hanya
membutuhkan sedikit bantuan saja.15
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan pasien mengalami gangguan perkembangan pada aspek gerak kasar, gerak
halus, serta sosialisasi dan kemandirian. Untuk itu diperlukan terapi untuk
meningkatkan aspek-aspek tersebut, seperti melakukan stimulasi-stimulasi sesuai
dengan umur anak, namun pada pasien ini tidak dapat dilakukan karena berdasarkan
skrining KPSP didapatkan pasien kemungkinan ada penyimpangan yang diharuskan
untuk merujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk rehabilitasi medis. Dapat
diberikan obat–obatan sesuai dengan kebutuhan anak, seperti obat-obatan anti kejang
maupun untuk spastic.15 Pada pasien telah diberikan obat anti kejang dan ini sesuai
dengan literature di atas, namun untuk pengobatan spastic diberikan karena pasien
tidak mengalami spastic. Serta pasien diberikan Nootropil (Piracetam) pada hari ke-
19 perawatan sebagai nutrisi otak karena dapat memperbaiki fungsi kognitif seperti
memori, perhatian, dan intelegensia.
Pada pusat rehabilitasi medis dapat dilakukan fisoterapi berupa latihan
penguatan otot (stretching), latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot
(endurance), latihan luas gerak sendi (ROM exercise), latihan duduk, latihan berdiri,
latihan pindah (transfer activity) dan latihan berjalan.15,22,23,24,25 Pada pasien ini telah
30
melakukan fisioterapi sesuai dengan yang telah dijelaskan diliteratur, berupa latihan
penguatan otot (stretching) dan latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot
(endurance). Fisioterapi yang telah dilakukan adalah sebanyak 4 kali pertemuan (2x
seminggu) ketika usia 9 bulan, namun terhenti dikarenakan pasien harus rawat inap di
rumah sakit, dan akan berencana melanjutkan fisioterapi ketika keluar dari rumah
sakit.
Pada penatalaksaan pasien ini multikompleks dan butuh perencanaan
penatalaksaan untuk ke depannya, sehingga dalam menangani anak dengan CP, harus
memahami berbagai aspek dan diperlukan kerjasama multidisiplin seperti disiplin
anak, saraf, mata, THT, bedah orthopedi, bedah syaraf, psikologi, rehabilitasi medis,
ahli wicara, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa. Disamping itu juga harus
disertakan peranan orangtua dan masyarakat. Secara garis besar, penatalaksanaan
penderita CP adalah sebagai berikut:
1. Aspek Medis
a. Aspek Medis Umum
- Gizi
Gizi yang baik perlu bagi setiap anak, khususnya bagi penderita CP.
Karena sering terdapat kelainan pada gigi, kesulitan menelan, sukar
untuk menyatakan keinginan untuk makan. Pencatatan rutin
perkembangan berat badan anak perlu dilaksanakan.
- Hal–hal yang sewajarnya perlu dilaksanakan seperti imunisasi,
perawatan kesehatan dan lain–lain. Konstipasi sering terjadi pada
penderita CP. Dekubitus terjadi pada anak–anak yang sering tidak
berpindah–pindah posisi.
b. Fisioterapi
Latihan luas gerak sendi, stretching, latihan penguatan dan
peningkatan daya tahan otot, latihan duduk, latihan berdiri, latihan pindah,
latihan jalan.
c. Terapi dengan obat–obatan
31
Dapat diberikan obat–obatan sesuai dengan kebutuhan anak, seperti
obat–obatan untuk relaksasi otot, anti kejang, untuk spastic, athetosis,
ataksia, psikotropik dan lain–lain.
d. Konsul Mata
Diperkirakan hamper 50% penderita CP mempunyai masalah dengan
kelainan mata dan strabismus paling sering dijumpai (75%), sehingga
pasien dapat dikonsulkan ke dokter spesialis mata untuk mendeteksi
secara dini apakah ada gangguan dalam penglihatannya.
e. Konsul THT
Adanya gangguan pendengaran umumnya dijumpai pada penderita CP
sehingga pada pasien ini juga dapat dikonsulkan ke dokter spesialis THT
untuk mendeteksi secara dini apakah ada gangguan dalam
pendengarannya.
f. Terapi Okupasi
Terutama untuk latihan melakukan aktifitas sehari–hari, evaluasi
penggunaan alat–alat bantu, latihan keterampilan tangan dan aktifitas
bimanual. Latihan bimanual ini dimaksudkan agar menghasilkan pola
dominan pada salah satu sisi hemisfer otak.
g. Terapi Wicara
Angka kejadian gangguan bicara pada penderita CP diperkirakan
berkisar antara 30 % - 70 %. Gangguan bicara disini dapat berupa
disfonia, disritmia, disartria, disfasia dan bentuk campuran. Terapi wicara
dilakukan oleh terapis wicara.
h. Terapi melalui pembedahan ortopedi
Banyak hal yang dapat dibantu dengan bedah ortopedi, misalnya
tendon yang memendek akibat kekakuan/spastisitas otot, rasa sakit yang
terlalu mengganggu dan lain–lain yang dengan fisioterapi tidak berhasil.
Tujuan dari tindakan bedah ini adalah untuk stabilitas, melemahkan otot
yang terlalu kuat atau untuk transfer dari fungsi.
32
i. Ortotik
Dengan menggunakan brace dan bidai (splint), tongkat ketiak, tripod,
walker, kursi roda dan lain–lain. Masih ada pro dan kontra untuk program
bracing ini. Secara umum program bracing ini bertujuan :
- Untuk stabilitas, terutama bracing untuk tungkai dan tubuh
- Mencegah kontraktur
- Mencegah kembalinya deformitas setelah operasi
- Agar tangan lebih berfungsi
2. Aspek Non Medis
a. Pendidikan
Mengingat selain kecacatan motorik, juga sering disertai kecacatan
mental, maka pada umumnya pendidikannya memerlukan pendidikan khusus
(Sekolah Luar Biasa).
b. Pekerjaan
Tujuan yang ideal dari suatu rehabilitasi adalah agar penderita dapat
bekerja produktif, sehingga dapat berpenghasilan untuk membiayai hidupnya.
Mengingat kecacatannya, seringkali tujuan tersebut sulit tercapai. Tetapi
meskipun dari segi ekonomis tidak menguntungkan, pemberian kesempatan
kerja tetap diperlukan, agar menimbulkan harga diri bagi penderita CP.
c. Problem sosial
Bila terdapat masalah sosial, diperlukan pekerja sosial untuk
membantu menyelesaikannya.
d. Lain–lain
Hal–hal lain seperti rekreasi, olahraga, kesenian dan aktifitas–aktifitas
kemasyarakatan perlu juga dilaksanakan oleh penderita ini.
Penderita, keluarga dan pegasuh merupakan kunci dari keberhasilan terapi,
mereka seharusnya lebih terliba jauh pada semua tingkat rencana, pembuatan
keputusan, dan mengaplikasikan terapi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa
33
dukungan keluarga dan determinasi personal adalah predictor-prediktor yang sangat
penting untuk mencapai kemajuan jangka panjang.
KESIMPULAN
Penegakkan diagnosa pada kasus Tuberculosis paru ini berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang telah sesuai dengan
literatur. Dimana TB paru menjadi diagnosa utama dan ISK sebagai diagnosa lain
34
yang didapatkan selama perawatan di rumah sakit serta telah diterapi sesuai dengn
literature yang ada. Adanya gangguan dalam tumbuh kembang didapatkan dari
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dan mengarah ke cerebral
palsy sebagai diagnosa lain, namun tetap dipantau terus selama 2 tahun sampai
didapatkan diagnose definitif berupa CP. Penatalaksanaan yang diberikan juga sesuai
dengan literatur yang ada berupa medikamentosa, dan fisioterapi untuk mengatasi
gangguan tumbuh kembang anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI, 2004.
35
2. IDAI. Pedoman Nasional Tuberculosis Anak edisi II. Jakarta : UKK
Respirologi PP IDAI, 2008.
3. Widodo, E, Sukma, M, dan Alwi, U. Pemeriksaan Biopsi Aspirasi Kelenjar
untuk Membantu Diagnosis Tuberkulosis Anak. Cermin Dunia Kedokteran
No. 137. 2002.
4. Nelson, W.E. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1996.
5. Hernawati, I. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Departemen
Kesehatan, 2007.
6. Ismail, S. Ciri-ciri Kelainan Neurologis yang Mudah Dikenali. Dalam:
Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
XXXIV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1995 ; 1-10.
7. Gans, MB. Rehabilitation of The Pediatric Patient. Dalam : Delisa JA.
Rehabilitation Medicine Principle and Practice, 2nd ed. Philadlphia :
Lippincott Company. 1993 : 623-641.
8. Stempien, LM., Spira DG. Rehabilitation of Children and Adult with Cerebral
Palsy. Dalam : Branddom RL, eds. Physical Medicine & Rehabilitation.
Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1996 ; 1113-1132.
9. Rusman, BS. Disorder of Motor Execution I Cerebral Palsy. Dalam : David
RB, eds. Pediatric Neurology for The Children, 1985 ; 469-479.
10. Menkes, JH. Textbook of Chil Neurology. 4th ed. Philadelphia : Lea and
Febringer, 1990 : 302-316.
11. Adam, RD., Victor, M. Normal Development and Deviation in Development
of The Nervous System. Dalam : Principles of Neurology. 2nd ed. New York :
Mc Graw Hill Book Co, 1981 ; 387 – 412.
12. Gilroy, John M.D. Cerebral Palsy. Dalam : Basic Neurology. 2nd ed.
International, 1992 ; 64 – 66.
13. Rusdidjas, R.R. Infeksi Saluran Kemih dalam: Buku Ajar Nefrologi Anak:
Edisi 2: Alatas H,dkk : IDAI : Jakarta, 2002.
36
14. Soetjiningsih, dr. DSAK. Tumbuh Kembang Anak. IG.N. Gde Ranuh, editor.
Jakarta : ECG, 1995 ; 223 – 235.
15. Hamid, T., Satori, Dhewi Wahani. Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi
(Physiatry). 1st ed. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr.
Soetomo/FK UNAIR, 1992 ; 117-143.
16. Tim Revisi & Pengarah. Buku Pedoman Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang Balita tahun 2005. Jakarta : Tim Revisi & Pengarah Buku
Pedoman Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Balita,
2005.
17. Hanifa, Wiknjosastro. Ilmu Kebidanan. Editor Abdul Bari Syaifuddin,
Trijatmo Rachimdani. Edisi ke-3, Cetakan ke-6. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 193 – 201.
18. Nelson, KB, Swaiman KF, Russman BS.. Cerebral Palsy. In Swaiman KF.
Ed. Pediatric Neurology : Principles and Practice. St Louis : Mosby. 1994;
pp :312– 5.
19. Gilroy John, M.D, John Stirling Meyer, B.Sc., M.Sc., M.D. Pediatric
Neurology in Medical. Third Edition. New York : Macmillan Publishing Co.,
Inc. 1979; pp : 118 – 123.
20. Fletcher NA, Foley J. Parental Age, Genetic Mutation and Cerebral Palsy.
Journal of Medical Genetic. 1993; Vol 30 (1):44-46. (abstrak)
21. Blair, Eve., Fiona J. Stanley. An Epidemiological Study of Cerebral Palsy in
Western Australia, 1956 – 1975. III : Postnatal Aetiology. Develop Med Child
Neurol, 1982; 24:575 – 585.
22. Deaver, GG. Cerbral Palsy : Methods of Evaluation anf Treatment.
Rehabilitation Monograph IX. Institute of Physical Medicine and
Rehabilitation. New York University. Bellevue Medical Center. 1952.
37
23. Rusk, HA. Rehabilitation Medicine. St. Louis. CV. Mosby. 1977; 474-495.
24. Sterling HM. Rehabilitation in Cerebral Palsy. In : Licht S (ed):
Rehabilitation and Medicine. Baltimore-Maryland. Waverly Press. 1968; 411-
427.
25. Syllabus. American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Study
Guide. 1977-1983.
26. Blasco, PA. Preterm Birth: To Correct or Not To Correct. Dev Med Child
Neurol. 1989; 31: 816-821.
27. Capute, AJ., Accardo PJ. The Infant Neurodevelopmental Assessment. A
Clinical Interpretive Manual for CAT-CLAMS in The First Two Years OF
Life, part 2. Curr Probl pediatric.1996; 26: 238-257.
28. Levine, MS. Cerebral Palsy Diagnosis in Children Over Age 1 Year. Standart
Criteria. Arch Phys Med Rehabilitation. 1980; 61: 358-389.
29. Jean-Piere Lin. The Cerebral Palsies : A Physiological Approach. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. 2003; 74(Suppl I):123 – 129.
38
Recommended