7/29/2019 Kasus Mh Kampus
1/38
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena dengan
rahmat dan karunia-Nya laporan kasus yang berjudul Morbus
Hansen ini dapat diselesaikan.
Laporan kasus ini di susun sebagai tugas yang di laksanakan
selama mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kulit dan Kelamin
RSUD Jombang.
Saya menyadari bahwa penyusunan laporan kasusini masih jauh
dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran selalu kami harapkan.
Jombang, 16 Juli 2012
Penyusun
1
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
2/38
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................... 1
DAFTAR ISI ............................................. 2
BAB I PENDAHULUAN .......................................... 3
I.1 Definisi .......................................... 4
I.2 Epidemiologi .......................................... 4
I.3 Etiologi .......................................... 6
I.4 Klasifikasi .......................................... 7
I.5 Patofisiologi .......................................... 9
I.6 Tanda dan gejala .......................................... 10
I.7 Diagnosis ......................................... 13
I.8 Diagnosis banding .......................................... 14
I.9 Penatalaksanaan .......................................... 15
I.10 Komplikasi .......................................... 17
I.11 Prognosis .......................................... 19
BAB II TINJAUAN KASUS .......................................... 20
BAB III PEMBAHASAN .......................................... 27
BAB IV KESIMPULAN .......................................... 36
DAFTAR PUSTAKA .......................................... 37
2
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
3/38
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta merupakan penyakit kronis yang menyerang saraf tepi,
kulit dan jaringan tubuh lainnya. Cara penularan yang pasti belum diketahui,
namun menurut sebagian besar para ahli mengatakan penularan dapat melalui
saluran pernafasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama ). Dimana
kuman penyakit kusta mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar
keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu (Mansjoer, 2005).
Mycob ac terium Leprae ditemukan pertama kali oleh Armaeur
Hansen di Norwegia pada tahun 1873 dan memiliki sifat basil tahan
asam dan tahan alkohol, obligat intraseluler, dapat diisolasi dan
diinokulasi, tetapi tidak dapat dibiakkan, membelah diri antara 12-21
hari, masa inkubasi rata-rata 3-5 tahun (Asing, 2010).
Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-
beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah
mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000 penduduk. Pada tahun
1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi
kusta tahun 2000. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, Word Health
Organisation membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia
terdapat di India, Myanmar, dan Nepal (Depkes RI, 2005).
Insiden dapat terjadi pada semua umur, tapi jarang ditemukan
pada bayi, laki -lak i lebih banyak dibanding wani ta.
3
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
4/38
Penularan Mycobac te ri um Leprae belum diketahui dengan jelas, tetapi
diduga menular melalui saluran pernapasan (droplet infection), kontak
langsung dan berlangsung lama. Faktor- faktor yang mempengaruhi
penularan penyakit morbus hansen adalah umur , jen is ke lamin, ras ,
genetik, iklim, lingkungan/sosial ekonomi (Asing, 2010).
1.1 Definisi
Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai kusta atau lepra
adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh Mycobacterium
leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit
dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit ini
tersebar di seluruh dunia, terbanyak di daerah tropik dan subtropik
(Djuanda, 2007).
1.2 Epidemiologi
Di Indonesia diketahui 22.175 orang menderita lepra. Indonesia
merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan
Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk. Walaupun ada
penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya
jumlah penemuan kasus baru tidak berkurang sama sekali. Oleh karena itu, selain
angka prevalensi rate, angka penemuan kasus baru juga merupakan indikator yangharus diperhatikan (Depkes RI,2005).
Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi tertinggi di provinsi
Jawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000 penduduk. Selanjutnya provinsi Jawa
Barat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2 per
10.000 penduduk (Depkes RI, 2002).
4
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
5/38
Pada pertengahan tahun 2000, Indonesia telah mencapai eliminasi sesuai
target WHO. Pada tahun 2003, distribusi kusta menurut waktu yaitu Penderita
terdaftar di Indonesia pada akhir tahun Desember 2003 sebanyak 18.312 penderita
yang terdiri dari 2.814 PB dan 15.498 MB dengan prevalens rate 0,86 per 10.000
penduduk terdapat di 10 provinsi, yaitu : Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Nusa
Tenggara Timur (Depkes RI, 2005).
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat
dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah
yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi
karena faktor etnik. Demikian pula kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis
lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu. Sudah
diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta.
Hal ini terbukti pada negara negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial
ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kusta
diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3
minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada umur
muda dan produktif. Kusta dapat mengenai laki laki maupun perempuan.
Menurut catatan sebagian besar Negara didunia kecuali dibeberapa Negara diAfrika menunjukkan bahwa laki laki lebih banyak terserang dari pada wanita
(DEPKES, 2006).
5
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
6/38
Gambar 1. Daerah penyebaran Lepra
1.3 Etiologi
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana
microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium, berukuran panjang 1 8 micro, lebar 0,2 0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil tahan asam. Selain banyak membentuk safrifit,
terdapat juga golongan organisme patogen (misalnya Mycrobacterium
tuberculosis, Mycrobakterium leprae) yang menyebabkan penyakit menahun
dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion. Mycobacterium leprae
belum dapat dikultur pada laboratorium. KumanMycobacterium Leprae menular
kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui
pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa
inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tandatanda
seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami
6
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
7/38
bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya (Melniek, 2001).
Gambar 2. Mycobacterium Le prae
1.4 Klasifikasi
Ditujukan untuk menentukan jenis dan lama pengobatan, serta
menentukan waktu penderita dinyatakan RFT.
KLASIFIKASI SPEKTRUM MORBUS HANSENRidley & Jopling TT BT BB BL LLMadrid Tuberkuloid Borderline LepromatosaWHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Puskesmas PB MB
Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi
untuk memudahkan pengobatan dilapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh
penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Paucibacillary (PB) dan
Multibacillary (MB). Dasar dari klasifikasi ini adalah gambaran klinis dan hasil
pemeriksaan BTA skin smear.
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi penyakit kusta menurut WHO
adalah:
Tanda utama PB MBBercak kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi yang
disertai dengan gangguan
Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
7
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
8/38
fungsi
Sediaan hapusan BTA negatif BTA positif
Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi penyakit
kusta adalah:
Kelainan kulit dan hasil
pemeriksaaan
PB MB
1. Bercak (macula) mati
rasaa. Ukuran Kecil dan besar Kecil kecil
b. Distribusi Unilateral atau bilateral
asimetris
Bilateral simetris
c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilatd. Batas Tegas Kurang tegase. Kehilangan rasa pada
bercak
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika
ada, terjadi pada yang
sudah lanjutf.Kehilangan kemampuan
berkeringat, rambut rontok
pada bercak
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika
ada, terjadi pada yang
sudah lanjut2. Infiltrata. Kulit Tidak ada Ada, kadang kadang
tidak adab. Membran mukosa
(hidung tersumbat,
perdarahan dihidung)
Tidak pernah ada Ada, kadang kadang
tidak ada
3. Ciri ciri Central healing(penyembuhan
ditengah)
- Punched out
lesion (lesi bentuk
seperti donat)
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
8
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
9/38
4. Nodulus Tidak ada Kadang kadang ada5. Deformitas Terjadi dini Biasanya simetris, terjadi
lambat
1.5Patofisiologi
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan dan
kulit yang tidak intak atau tidak utuh. Sumber penularannya adalah
pender ita kusta yang banyak mengandung kuman (Tipe Mul tibas il er )
yang belum diobati . Dan ada syaratnya yaitu Prolonged con tac t
dan intimate. Artinya bisa menular jika terdapat kontak yang lama dan
intim. Misal dalam satu anggota keluarga, pergaulan sehari-hari.
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium
lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya
sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh
dalam sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas
regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yangprogresif (Depkes RI,
2000).
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan system imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi system imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Namun setelah semua
kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila
infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.
9
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
10/38
Dimana telah diketahui masa pembelahan diri kuman kusta memerlukan
waktu yang sangat lama dibandingkan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Oleh karena
itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata rata 2 5 tahun (Amirudin, 2003).
1.6 Tanda dan Gejala
Manisfestasi klinis Morbus Hansen biasanya menunjukkan
gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup
ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Gejala dan keluhan
penyak it bergantung pada : multiplikas i dan di seminas i kuman
Mycobacterium Leprae, respons imun penderita terhadap kuman
Mycobacterium Leprae, komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan
saraf perifer. Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun
terutama mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa. Pasien dengan
penyak it in i dapat dikelompokkan lag i menjad i 'kusta tuberku loid
(Inggris: paucibacil lary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen
multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). Kusta
multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang
sering ditemukan (WHO,1988).
Pada pemeriksaan Morbus Hansen tipe multibasiler lesi kulit
dapat berupa makula , plak , papul, inf il trat a tau nodus denganpermukaan ha lu s mengkil at , jumla h les i > 5, hi langnya sensas i kurang
jelas, dan pada pemer iksa an saraf di temukan peneba lan sa raf tep i.
Penilaian untuk tanda-tanda phisik terdapat pada 3 area umum: lesi
kutaneus, neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai
jumlah dan dis tr ibus i le si pada ku li t. Makula hipopigmentas i
10
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
11/38
dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang
pertama kal i muncul, sering juga berupa plak . Berkenaan dengan
neuropathi, menilai untuk area yang hypoesthesia (sentuhan ringan,
pinprick , suhu dan anhidros is) , terutama cabang sa raf pe ri fer
dan saraf kutaneus. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf
tibia posterior. Saraf lainnya yang pada umumnya mengalami
kerusakan adalah ulna, median, poplitea lateral, dan saraf facial.
Disamping keh ilangan sensoris, pas ien dapat juga menga lami
kelemahan dan kehilangan gerak (Sridharan, 2007).
Gambar 3. Lesi di kulit penderita Morbus Hansen
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra adalah neuropathy
sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropathy motorik murni dapat juga muncul. Mononeuropathy dan
multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan peroneal
yang lebih sering terlibat. Neuropathy perifer simetris dapat juga
timbul. Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk anesthesia,
tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal, pasien dengan lesi kulit
yang menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi
untuk berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris. Deformitas
11
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
12/38
yang disebabkan kelemahan dari otot-otot yang diinervasi oleh saraf
pe rifer yang te rpengaruh. Ge jala sensor is yang berkurang un tuk
melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia dalam distribusi saraf-
saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek
atau diregangkan (Sridharan, 2007).
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh
rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis
pa lpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakiba tkan lago ftalmus
yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata
lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan
kebutaan. Kerusakan pada mata lebih sering terlihat dengan
adanya lesi fasial. Lagophthalmos (ketidakmampuan menutup
mata), hasil keterlibatan dari zigomatik dan cabang-cabang
temporal dari saraf fasial (nervus cranialis VII). Keterlibatan dari
cabang ophthalmic dari saraf trigeminal (nervus kranialis V) dapat
menyebabkan reflek kornea berkurang, mata kering, dan kurang
berkedip (Lewis ,2008) .1.7 Diagnosis
Didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis.
Menurut WHO (1995), Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling
sedikit harus ditemukan satu tanda cardinal. Bila tidak atau belum dapat
ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu
12
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
13/38
diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan.
Tanda utama atau cardinal sign tersebut dapat diperoleh berdasarkan :
1. Anamnesis. Termasuk didalamnya : keluhan pasien, riwayat kontak
dengan penderita, latar belakang keluarga misalnya keadaan sosial
ekonomi.
2. Pemeriksaan fisik. Lesi hipopigmentasi atau eritematosa ditambah dengan
gangguan sensitifitas (nyeri, raba, suhu) 5A (anestesi, atropi, achromia,
anhidrosis, alopesia).Penebalan saraf perifer dan atau nyeri disertai dengan
gangguan sensoris (tes sensoris menggunakan kapas, jarum, serta tabung
reaksi berisi air hangat dan dingin) , gangguan motoris (voluntary muscle
test) dan gangguan otonom (tes Gunawan, tes pilokarpin).
3. Pemeriksaan bakterioskopis. Dengan pewarnaan Ziehl Neelsen, jumlah
pengambilan sediaan apus jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di
tiga tempat, yaitu cuping telinga kanan, cuping telinga kiri, dan bercak
yang paling aktif. Sediaan hapusan kulit perlu dilakukan pada semua orang
yang dicurigai menderita kusta, semua pasien baru yang didiagnosis secara
klinis sebagai pasien kusta, semua pasien kusta yang diduga kambuh
(relaps) atau tersangka kuman kebal (resisten) terhadap obat, semua pasienkusta tiap setahun sekali.
4. Pemeriksaan histopatologis. Pada sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis
masih meragukan,pemeriksaan histopatologis dapat membantu.
Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak anak, bilamana
13
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
14/38
pemeriksaan saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada lesi dini pada tipe
indeterminate, serta untuk menentukan klasifikasi yang tepat.
5. Pemeriksaan serologis. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle
agglutination) untuk mengukur titer antibodi Ig G yang telah terbentuk di
dalam tubuh pasien. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay),
ML dipstick (Mycobacterium leprae dipstick).
1.8 Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosa banding, namun ada hal penting dalam
menentukan diagnosa banding kusta yaitu : ada macula hipopigmentasi, ada
daerah anestesi, pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam, ada
pembengkakan / pengerasan saraf tepi atau cabang cabangnya.
Tipe I (macula hipopigmentasi) : pitiriasis versikolor, vitiligo, pitiriasis
rosea, dermatitis, seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
Tipe TT (macula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea corporis,
psoriasis, lupus eritematosus tipe discoid, atau pitiriasis rosea.
Tipe BT, BB, BL (infiltrate merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas,
atau psoriasis.
Tipe LL (bentuk nodula) : lupus eritematous sistemik, dermatomiositis,
atau erupsi obat.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai
penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita, dan mencegah timbulnya cacat. Dalam program pemberantasan kusta di
seluruh dunia termasuk di Indonesia dianjurkan memakai regimen MDT
14
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
15/38
meskipun obat obat baru yang ditemukan tampaknya memberi harapan yang
lebih cerah karena obat obat baru ini masih dalam evaluasi uji klinis.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu
mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan
antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson
adalah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan
vertigo.
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan
reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan
transpor dari NA/K ATPase. Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi
berwarna ungu kehitaman, warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut
dihentikan, diare, nyeri lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas
Ferrosus untuk penderita kusta dengan anemia berat. Vitamin A, untuk
penderita kusta dengan kekeringan kulit dan bersisik (ichtyosis) (Djuanda ,2007).
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen
pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO adalah sebagai berikut:
Penderita Pauci Baciler (PB) Dewasa
15
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
16/38
Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas)
adalah 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg) dan 1 tablet DDS 100 mg.
Pengobatan harian : hari 2 28 adalah 1 tablet DDS 100 mg.
Lama pengobatan: 6 blister diminum selama 6 9 bulan.
Penderita Multi Baciler (MB) Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas)
adalah 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600), 3 tablet Lamprene @ 100 mg
(300 mg) dan 1 tablet DDS 100 mg.
Pengobatan harian : hari 2 28 adalah 1 tablet lamprene 50 mg dan 1
tablet DDS 100 mg.
Lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12 18 bulan.
Gambar 6. Multi Drug Treatmen Morbus Hansen tipe MB
1.10 Komplikasi
Komplikasi dari lepra merupakan perbandingan dari luka akibat respon
host terhadap Mycobacterium leprae, berawal dari kerusakan saraf perifer atau
insufisiensi vena. Didapatkan satu dari empat atau satu dari tiga penderita baru
16
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
17/38
yang di diagnosis lepra, pada beberapa penderita disabilitas kronis sekunder
sampai kerusakan saraf yang ireversibel, biasanya didapatkan komplikasi pada
tangan dan kaki, atau pada mata. Kolaps hidung pada LL berawal dari kontraktur
akibat scarpada jaringan, yang mana menggantikan tulang dan kartilago (Rea &
Modlin, 2008).
a) Disabilitas okuler (mata)
Exposure keratitis mungkin didaptkan pada beberapa kasus termasukdry
eye, corneal insensitivity, dan lagoftalmus. Keratitis dan lesi pada segmen
anterior, yang tersering iritis, dapat mengakibatkan kebutaan (Rea & Modlin,
2008).
b) Disabilitas tangan dan kaki
Kelemahan dikarenakan kehilangan inervasi pada muskulus adalah dengan
jelas dapat menyebabkan kelumpuhan. Kehilangan sensasi perlindungan
masih belum jelas, tapi bukan berarti tidak ada. Ketika benda tajam atau benda
panas tidak bisa dirasakan, seperti bila ada luka atau cedera. Karena cedera
akan lebih berbahaya pada penderita dengan penurunan sensasi dibandingkan
dengan yang normal. Karena infeksi tidak dapat memberikan sinyal tanda
bahaya, karena sensasi rasa dan nyeri sudah hilang, luka atau cedera akan
semakin luas tanpa diketahui oleh penderita (Rea & Modlin, 2008).Siklus yang berulang dari luka atau cedera dan infeksi, dikarenakan
kehilangan perlindungan dari sensasi nyeri, merupakan sumber dari destruksi
jaringan yang parah pada lepra. Sekunder kontraktur dari kelemahan muskulus
atau formasi dari scar dapat mengakibatkan deformitas yang lebih parah.
Charcots joints merupakan salah satu bentukan deformitas. Kekeringan dari
17
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
18/38
palmar atau telapak kaki dikarenakan adanya masalah pada komponen dari
saraf simpatis. Insufisiensi vena mengakibatkan dermatitis statis sampai ulkus
pada kaki (Rea & Modlin, 2008).
Mutilasi juga dapat terjadi akibat dari hilangnya sensibilitas rasa dan nyeri,
sehingga bila ada infeksi atau cedera sering tidak diketahui dan memberikan
prognosis yang buruk pada beberapa bagian tubuh, terutama ekstremitas
(Basuki, 2009).
Kebutaan pada Lepra Mutilasi pada Lepra
1.11 Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi
lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik.
Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang
ba ik (Si regar , 2005).
18
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
19/38
BAB II
TINJAUAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. Siti Chalimah
Jenis Kelamin : perempuan
Umur : 59 tahun
Alamat : Mojowarno - Jombang
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : PedagangSuku Bangsa : Jawa
No.RM : 12/95/36
Tanggal Pemeriksaan : 14-06-2012
2. Anamnesis
Keluhan Utama : Ada benjolah di wajah
19
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
20/38
Riwayat Penyakit Sekarang :
Perempuan usia 59, datang ke poli kulit dan kelamin dengan
keluhan utama adanya benjolan diwajah sejak 2 bulan yang lalu semakin
lama benjolan sekakin banyak dan semakin besar. Pasien mengeluhkan mati
rasa pada ujung ujung jari kaki, tangan dan telinga 2 minggu yang lalu.
Sudah berobat ke puskesmas diberikan paket obat yang diminum setiap hari
selama satu bulan. Obat berwarna merah dan putih, dan penggunaan obat
sudah berhenti sejak 10 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit dahulu :
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga :
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami
keluhan serupa.
Riwayat sosial :
Tidak ada yang mengalami seperti ini di tempat kerja dan
lingkungan rumahnya.
3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Hygiene : kurang
Gizi : Cukup
Nadi : -
20
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
21/38
RR : -
Kepala : Sesuai status dermatologis
Leher : Sesuai status dermatologis
Thorax : Sesuai status dermatologis
Axilla : dbn
Abdomen : dbn
Ektremitas : Sesuai status dermatologis
Status Lokalis
a. Lokasi:
Pada regio fasialis, regio nasalis, regio auricularis dextra dan sinistra
Effloresensi :
Pada regio fascialis didapatkan nodul eritematosa multiple batas
tegas, ukuran bervariasi, pada regio hidung didapatkan hidung pelana
dengan nodul eritematosa berbatas tegas, pada regio auricularis
didapatkan nodul eritematosa disertai infiltrate.
21
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
22/38
b. Lokasi
Pada regio ekstremitas superior
Effloresensi :
Didapatkan makula eritematosa
c. Lokasi
Pada regio ekstremitas inferior
22
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
23/38
Effloresensi :
Didapatkan nodul hiperpigmentasi dengan ukuran 2x2cm, dan
likenifikasi (+)
d. Lokasi
Pada regio thorax
Effloresensi :
Didapatkan makula eritematosa dengan batas jelas ukuran
bervariasi.
23
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
24/38
4. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
5. Problem list
Adanya perubahan warna kulit yang anastesi
Telinga terasa tebal
Lesi yang khas berupa nodul eritematosa, infiltrat
Ujung jari kaki dan tangan mati rasa
6. Assasement
Diagnosa: MH tipe MB
Differential diagnosa : Eritema nodusum karena penyakit rheuma,
tuberculosis dan sarcoidosis.
7. Initial Planing
Initial diagnosa : Tidak dilakukan
Initial terapi
R/ Rifampisin tab 600 mg No. I
sekaligus (di depan petugas)
R/ Lamprene tab 300 mg No. I
sekaligus (di depan petugas)
24
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
25/38
R/ DDS tab 100 mg No. I
1 dd tab I
R/ DDS tab 100 mg No. XXX
1 dd tab I
R/ Lamprene 50 mg No. XXX
1 dd tab I
R/ vitamin B1 100 mg No. XXX
1 dd tab I
Monitoring
Keluhan pasien
Progres lesi
Sekunder infeksi
Penyulit (kecatatan)
Edukasi
Penjelasan mengenai penyakit, penyebabnya, dan
pengobatannya, serta komplikasi.
Pengobatan diberikan selama 12 dosis (bulan) dan
diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan , dan pasien kontrol
teratur setiap bulan.
Obat harus diminum secara rutin.
Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini dapat
menular kepada orang lain melalui sekret hidung pasien dan kontak
yang lama dan terus menerus antara kulit pasien dengan orang lain.
25
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
26/38
BAB III
PEMBAHASAN
Perempuan usia 59 tahun, datang ke poli kulit dan kelamin dengan keluhan
utama adanya benjolan diwajah sejak 2 bulan yang lalu semakin lama benjolan
sekakin banyak dan semakin besar. Pasien mengeluhkan mati rasa pada ujung ujung jari kaki, tangan dan telinga 2 minggu yang lalu. Sudah berobat ke
puskesmas diberikan paket obat yang diminum setiap hari selama satu bulan. Obat
berwarna merah dan putih, dan penggunaan obat sudah berhenti sejak 10 hari
yang lalu.
26
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
27/38
Dari pemeriksaan fisik di regio facialis dan auricularis didapatkan nodul
eritematosa multipel batas tegas, ukuran bervariasi, infiltrat (+), Facies leolina
(+), Madarosis (+), penebalan cuping telinga (+), pada regio nasalis didapatkan
hidung pelana dengan nodul eritematosa batas tegas, di regio dorsum pedis dextra
didapatkan nodul eritematosa batas tegas ukuran 2 x 2 cm, dan pada regio
thorax didapatkan macula eritematosa batas tegas ukuran bervariasi. Pada
pemeriksaan syaraf, didapatkan gangguan sensibilitas terhadap nyeri dan rasa raba
pada lesi, pemeriksaan N.aurikularis magnus (+), N.ulnaris (+), N.tibialis
posterior (+). Pasien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya. Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami
keluhan serupa dan begitu juga tetangga dekat dan teman d tempat kerja tidak ada
yang mengalami keluhan serupa.
Dari identitas didapatkan perempuan usia 59 tahun, dari jenis perempuan,
kurang sesuai karena angka kejadian kusta lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Berdasarkan usia
penderita, usia saat didiagnosa kusta lebih dari 15 tahun merupakan faktor risiko
terjadinya reaksi kusta, sedangkan umur kurang dari 15 tahun cenderung lebih
sedikit mengalami reaksi kusta. Hal ini disebabkan karena dalam sistem imun
anak, Th2 diduga kuat mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga frekuensireaksi kusta lebih kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa
ketersediaan sel T memori lebih banyak dan menyebabkan frekuensi terjadinya
reaksi kusta lebih tinggi dan dapat memicu reaksi silang antara antigen M. leprae
dengan antigen non M. leprae seperti M. Tuberculosis (Kosasih et al, 2001)
(Ranque B, 2004).
27
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
28/38
Dari anamnesa yang didapat, dengan keluhan ada benjolan di wajah
semakin lama semakin banyak dan semakin besar sejak 2 bulan yang lalu, telinga
terasa tebal, kulit kering, dan timbul bercak kemerahan dikulit. Pasien
mengeluhkan mati rasa pada ujung ujung jari kaki, tangan dan telinga. Sudah
berobat ke puskesmas diberikan paket obat yang diminum setiap hari selama satu
bulan. Obat berwarna merah dan putih, dan penggunaan obat sudah berhenti sejak
10 hari yang lalu, hal ini sesuai dengan teori bahwa pada Morbus Hansen tipe
MB dimana gejala klinis yang timbul adalah berupa macula eritematus, anastesi
tidak jelas, simetris (jumlah >5). Pasien juga mengeluh telinga terasa tebal, dalam
teori disebutkan bahwa kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
kuman M. Leprae, yang menyerang syaraf tepi (primer), kulit dan jaringan tubuh
yang lain kecuali system saraf pusat. Gejala yang muncul pada pasien ini
menunjukkan pada pasien ini terjadi gangguan pada saraf tepi yang mengenai
sensibilitas berupa penebalan saraf yang seharusnya juga dilakukan pemeriksaan
untuk menentukan sensibilitas raba, suhu atau nyeri yang terkena secara pasti
(Kosasih et al, 2001) (M.Yulianto L, 2005).
Dari anamnesa pasien juga mengaku tidak pernah mengalami keluhan
seperti ini sebelumnya. Begitu juga dengan tetangga rumah dan di tempat kerja
tidak ada yang mengalami penyakit ini. Hal ini kurang sesuai teori menyebutkanbahwa cara penularan masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat,
anggapan yang kedua adalah secara inhalasi, sebab M. Leprae masih dapat hidup
beberapa hari dalam droplet (Kosasih et al, 2001).
28
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
29/38
Dari pemeriksaan fisik di regio facialis didapatkan nodul eritematosa
multiple batas tegas, ukuran bervariasi, pada regio nasalis didapatkan hidung
pelana dengan nodul eritematosa berbatas tegas, pada regio auricularis didapatkan
nodul eritematosa disertai infiltrate. Hal ini sesuai teori yang mengatakan bahwa
gejala klinis yang muncul pada kusta tipe MB dan reaksi kusta tipe LL memiliki
jumlah lesi yang sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa
batas jelas, berkilap dan pada stadium dini tidak ditemukan anastesi dan
anhidrosis (Kosasih et al, 2001).
Distribusi lesi khas, yakni diwajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga, sedangkan dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan,
punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
tampak penebalan kulit yang progresif, disertai anhidrosis pada kulit, cuping
telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina
yang dapat disertai madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi
deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkhitis yang
selanjutnya dapat menejadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan
gejala stocking and glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul
makula dan papula baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada
stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin ataufibrosis uang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki. Penyakit
ini bisa menjadi progresif bila tanpa pengobatan (Kosasih et al, 2001).
Berdasarkan keluhan dan teori diatas dapat diketahui bahwa pasien ini
mengalami penyakit kusta (Morbus Hansen) yang lebih mengarah pada tipe MB
29
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
30/38
(Multibasiler) karena bentukan dari lesinya yaitu terdapat makula eritematosa,
nodul eritematosa, infiltrat pada telinga.
Diagnosis bandingnya antara lain
eritema nodusum karena penyakit rheuma
Tuberculosis
Sarcoidosis
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Namun
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Ziehl
Nielsen, dengan sediaan diambil dari kedua cuping telinga, positif bila ditemukan
kumanMycobacterium leprae.
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak
ditemukan lesi di tempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan M. leprae ialah :
a. Cuping telinga kiri/kanan.
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain.
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena :
a. Tidak menyenangkan pasien.
b. Positif palsu karena ada mikobacterium lain.
c. Tidak pernah ditemukan M. leprae pada selaput lender hidung
apabila sediaan apus kulit negatif.
30
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
31/38
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung
lebih dahulu negatif daripada sediaan kulit di tempat lain
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien
kusta.
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat.
d. Semua pasien MB setiap satu tahun sekali.
7. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam,
yaitu Zeihl Neelsen atau Kinyoun-Gabett.
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu
cara zig zag, huruf z, dan setengah/seperempat lingkaran. Bentuk
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-
pecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan clumps
(Mansjoer, 2005).
Sediaan yang telah dicat dilihat dibawah mikroskop dengan pembesaran
100x, kemudian ditentukan bentuk kuman :
1. Solid / utuh, bila : a. Dinding sel tidak putusb. Mengambil zat warna secara merata
c. Panjang kuman 4-5 kali lebar
d. Ujung tumpul
2. Fragmented / pecah-pecah
3. Granular (seperti titik-titik tersusun garis atau berkelompok)
31
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
32/38
4. Globus (dapat bentuk solid,fragmentedataugranular)
5. Clump (bentukgranular, membentuk pulau) (Listiawan, 2005).
Kepadatan kuman dinyatakan dalam :
1. Indeks bakteri : Ukuran semi kuantitatif dengan nilai 1+ sampai 6+
(Listiawan, 2005).
Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan
hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi
hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma Ridley
sebagai berikut (Mansjoer, 2005) :
0 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
+6 Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang (Mansjoer,
2005).
2. Indeks morfologi : Merupakan presentasi bentuk utuh/solid terhadapseluruh Basil Tahan Asam (Listiawan, 2005).
Indeks morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM
digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi
32
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
33/38
hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat
(Mansjoer, 2005).
Diagnosis pada pasien ini adalah MH tipe MB, dengan kita menemukan
tanda cardinal. Dari pemeriksaan fisik di regio facialis dan auricularis didapatkan
nodul eritematosa multipel batas tegas, ukuran bervariasi, infiltrat (+), Facies
leolina (+), Madarosis (+), penebalan cuping telinga (+), pada regio nasalis
didapatkan hidung pelana dengan nodul eritematosa batas tegas, di regio dorsum
pedis dextra didapatkan nodul eritematosa batas tegas ukuran 2 x 2 cm, dan
pada regio thorax didapatkan macula eritematosa batas tegas ukuran bervariasi.
Pada pemeriksaan syaraf, didapatkan gangguan sensibilitas terhadap nyeri dan
rasa raba pada lesi, pemeriksaan N.aurikularis magnus (+), N.ulnaris (+),
N.tibialis posterior (+). Pada teori dijelaskan bahwa Berdasarkan WHO pada
tahun 1997, diagnosis berdasarkan adanya tanda utama atau cardinal sign berupa
kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi yang jelas,
kelainan syaraf tepi berupa penebalan syaraf dengan anastesi, dan hapusan kulit
positif untuk kuman tahan asam.
Penyulit pada penyakit ini meliputi sekunder infeksi, reaksi, dan
kecacatan. Diagnosa banding pada kasus ini adalah eritema nodusum pada
tuberculosis merupakan klasifikasi pada tuberculosis kutis tipe tuberkulidberbentuk garnuloma dan ulseronodulus yang memiliki gambaran klinis kelainan
kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstrimitas bagian ekstensor
diatasnya terdapat eritema.
33
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
34/38
Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah dirujuk ke puskesmas daerah
pasien tinggal untuk obat yang dikonsumsi secara rutin setiap hari, dengan
harapan terapi yang diberi puskesmas tepat yaitu:
R/ Rifampicin tab 600mg No I
1 dd tab I (minum depan petugas)
R/ Lamprene tab 300mg No I
1 dd tab I(minum depan petugas) _______________________________
R/ DDS tab 100mg No. I
1 dd tab I
R/ DDS tab 100mg No. XXX
1 dd tab I
R/ Lamprene tab 50mg No. XXX
1 dd tab I
R/ Vitamin B1 tab 100mg No. XXX
1 dd tab I
Pengobatan kusta sesuai dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI untuk klasifikasi Morbus Hansen tipe Multi Basiler (MB)
dengan memakai regimen pengobatan MDT= multi drug treatment. Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka
putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan. Dosis MDT : Ri fampicin 600 mg/
bu lan , Lamprene 300 mg/bu lan , DDS 100mg/bulan , di tambah dengan
34
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
35/38
Lampren 50 mg/har i dan DDS 100 mg/har i. Setelah selesai minum 12 dosis
obat ini, dinyatakan berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah berhenti
minum obat dilakukan secara pasif untuk Morbus Hanses tipe MB selama 5
tahun.
BAB IV
KESIMPULAN
Perempuan usia 59 tahun, datang ke poli kulit dan kelamin dengan keluhan utama
adanya benjolan diwajah sejak 2 bulan yang lalu semakin lama benjolan sekakin
banyak dan semakin besar. Pasien mengeluhkan mati rasa pada ujung ujung jari
35
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
36/38
kaki, tangan dan telinga 2 minggu yang lalu. Sudah berobat ke puskesmas
diberikan paket obat yang diminum setiap hari selama satu bulan. Obat berwarna
merah dan putih, dan penggunaan obat sudah berhenti sejak 10 hari yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik di regio facialis dan auricularis didapatkan nodul
eritematosa batas tegas, ukuran bervariasi, infiltrat (+), Facies leolina (+),
Madarosis (+) di region dorsum pedis dextra didapatkan nodul eritematosa batas
tegas ukuran 2 x 2 cm dan pada regio thorax didapatkan macula eritematosa
batas tegas ukuran bervariasi. Pada pemeriksaan syaraf, didapatkan gangguan
sensibilitas terhadap nyeri dan rasa raba pada lesi, pemeriksaan N.aurikularis
magnus (+), N.ulnaris (+), N tibialis posterior (+). Pasien mengatakan tidak
pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien mengatakan tidak ada
anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa, tetangga dan teman kerjanya
juga tidak ada yang mengalami keluhan serupa.
Diagnosa pasien ini adalah pasien mengalami penyakit kusta (Morbus
Hansen) yang lebih mengarah pada tipe MB (Multibasiler). Terapi yang diberikan
pada kasus ini adalah Rifampisin, Lamprene, DDS, dan vitamin B1, obat yang
dikonsumsi secara rutin setiap hari.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin D, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis Penyakit Kusta. In : Daili S, MenaldiS, Ismiarto S, Nilasari H. Kusta. 2nd ed. Jakarta : FKUI; 2003. p. 12-31,66-74.
Asing I. Morbus Hansen (kusta/lepra). Askep gangguanmuskuloskeletal. 2010
Daili, dkk. 1998. Kusta. UI PRES. Jakarta
36
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
37/38
Depkes RI,Buku Panduan Pelaksanaan Program P2 Kusta Bagi Unit PelayananKesehata. Dit. Jen PPM & PL. Jakarta. 2002b.
Depkes RI , Buku Pedoman Pemberantasan Program P2 Kusta. Dit. Jen PPM &
PLP. Jakarta. 2002c.
Depkes RI ,Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2dan PL. Jakarta.. 2005d.
Depkes RI, Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. 2006. p. 4-80.
Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan SitiAisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima.Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
;73- 88.
Hasibuan. T,W.A. Kadri. Epidemiologi Kusta dan Program PemberantasanPenyakit Kusta ; Berita Epidemiologi Buletin Epidemiological
Edisi Mei 1990, Ditjen. Jakarta.
Kosasih A, Wisnu M, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. In : Adhi Djuanda.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 4th ed. Jakarta : FKUI; 2005.p.73-88.
Lewis Felisa S, Conologue T, Harrop E. Leprosy: mycobacterial infection. 2008.
Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.
Rea TH, Modlin RL,Leprosy. In:Freedberg M, Eisen AZ, Wolff K,Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, et al editors, Fitzpatricksdermatology in general medicine, 6th edition. New york.McGraw-Hill, 2003
Rea, TH. & Modlin, R. L. Leprosy. IN WOLF, K., GOLDSMITH, L. A.,KATZ, S. I., GILCHREST, B. A., PALLER, A. S. & LEFFELL, D. J.
(Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Seventh ed.
New York, McGraw Hill Medical 2008.Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to Immunity.
International Journal of Leprosy, 1966; 34 : 255-273
Siregar, RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta; EGC. 2005 ;155
Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007.
Tim Penyusun. Manual Pemberantasan Penyakit Menular ; Kusta/Lepra, Edisike-17. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, 2000.
37
7/29/2019 Kasus Mh Kampus
38/38
World Health Organization. WHO Expert Committee on LeprosySix Report. World Health Organization, Geneva. 1988