Perbandingan teknik ablasi radiofrekuensi, laser,
dan coblator pada pengurangan ukuran tonsil.
Mehmet Ali Babademez, Müge Fethiye Yurekli, Baran Acar & Emra Günbey
Departemen Telinga, Hidung, dan Tenggorok,Rumah Sakit Pelatihan dan
Penelitian Kecioren, Ankara, Turki
Abstrak
Kesimpulan: Coblasi dilihat sebagai metode yang lebih aman untuk operasi
reduksi tonsil dengan morbiditas yang lebih rendah dan keberhasilan yang lebih
tinggil pada tindak lanjut dini dan jangka panjang. Tujuan: Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk membandingkan keberhasilan, morbiditas, dan keamanan dari
tiga teknik untuk mereduksi ukuran tonsil pada hipertrofi tonsil pada anak.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian prospektif dan acak. Tujuh puluh
sembilan anak usia 4 – 13 tahun dengan gejala hipertrofi tonsil dimasukkan pada
penelitian ini. Secara acak dilakukan teknik coblator (kelompok A), laser
tonsillotomy (kelompok B), dan radiofrekuensi (kelompok C) untuk mereduksi
ukuran tonsil. Keberhasilan dievaluasi dengan pengukuran ukuran tonsil setelah
operasi. Morbiditas dievaluasi dengan penilaian nyeri postoperasi dan kembalinya
ke diet dan aktifitas normal. Hasil: nyeri pada hari pertama secara signifikan lebih
tinggi pada anak pada kelompok B (p= 0.0001). Nilai rata-rata penggunaan
analgesik dan lamanya hari sampai kembali ke diet normal dan aktifitas normal
lebih rendah pada kelompok A. pada penindaklanjutan 1 tahun setelah operasi,
rata-rata ukuran tonsil lebih tinggi pada kelompok C (p<0.05). tidak ada anak
pada kelompok A, dua orang anak (8.3%) pada kelompok B, dan enam orang anak
(21.4%) pada kelompok C membutuhkan operasi kembali untuk hipertrofi tonsil.
Kata kunci: hipertrofi tonsil, tonsilektomi laser, coblasi tonsil, radiofrekuensi.
Pendahuluan
Sebagai jenis operasi yang umum, tonsilektomi telah dilakukan bertahun-tahun.
Maka dari itu, banyak perbedaan teknik operasi telah digunakan untuk
menurunkan komplikasi dan morbiditas postoperasi. Lebih jauh lagi, pentingnya
sisa jaringan pada sistem limfoid telah ditarik peningkatan perhatian pada
tonsilotomi. Teknik tonsilotomi berdasarkan pada bedah elektro seperti
monopolar dan bipolar diatermi, gunting bipolar, laser KTP-532, laser CO2,
diatermi bipolar mikroskopik, dan ablasi tonsil dengan radiofrekuensi (RF) dan
coblasi digunakan untuk menurunkan morbiditas. Salah satu morbiditas
postoperasi adalah nyeri, dan untuk meringankan nyeri, etiologi dari nyeri harus
diketahui terlebih dahulu. Akhir dari syaraf dimiliki oleh nervus vagus dan nervus
glosofaringeal mendasari serat otot yang terpajan setelah operasi dan menjadi
radang. Dengan sebab getaran sepanjang kegiatan menelan, otot yang meradang
menyebabkan spasme dan hal ini menyebabkan nyeri. Oleh karena itu, teknik
yang dilakukan harus melindungi jaringan yang berhubungan sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri. Morbiditas postoperasi yang lebih rendah dapat dijumpai
jika dilakukan bedah intrakapsular. Kapsul menutup otot faring dan melindungi
dari peradangan dan infeksi. Pada cara ini, penyembuhan yang lebih cepat, nyeri
postoperasi yang lebih rendah, dan complikasi yang lebih rendah dapat dipastikan.
Investigasi ini dilakukan untuk membandingkan efek jangka pendek dan jangka
panjang dari tiga teknik popular mereduksi tonsil intrakapsular subtotal yang tidak
menyebabkan cedera pada otot konstritor. Salah satu teknik adalah reduksi tonsil
RF dengan temperatur terkontrol, yang menyebabkan penyusutan dan
pengurangan ukuran menggunakan aplikasi yang disisipkan didalam tonsil dengan
membuat saluran kecil dan menyebarkan energi ionisasi. Ini juga disebut sebagai
ablasi RF. Penatalaksanaan lain adalah coblasi tonsil, dengan mengurangi jaringan
tonsil dan menyelamatkan otot kapsul pokok. Dan teknik operasi yang ketiga
adalah laser CO2, yang menghilangkan bagian yang menonjol dari tonsil tanpa
perdarahan dengan vaporisasi. Tujuan lebih lanjut dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi teknik mana yang memberikan efek paling baik pada reduksi
tonsil – metode penyusutan atau metode pelelehan.
Bahan dan Metode
Penelitian ini adalah penelitian prospektif membandingkan anak yang mengalami
mendengkur, kesulitan makan, dan episode berulang dari apnue saat tidur karena
hipertrofi adenoidtonsil tanpa perulangan tonsillitis, yang terjadi pada Departemen
THT antara april 2005 dan Maret 2008. Persetujuan etik didapatkan dari Komite
Etik Penelitian Klinis Rumah Sakit Pelatihan dan Penelitian Kecioren, No:1.
Keputusan untuk melakukan operasi dilakukan dengan menggunakan determinasi
dari American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery. Selama
observasi, ukuran tonsil dicatat dari 0 sampai 5, dan pasien dengan ukuran tonsil
yang jelas (3 atau lebih) dimasukkan kedalam penelitian. Ukuran tonsil
diklasifikasikan berdasarkan lokalisasi tonsil: grade 0, lateral sampai anterior
pillar tidak dapat dilihat; 1, lateral sampai anterior pillar dapat terlihat; 2, setingkat
anterior pillar; 3, antara anterior pillar dan garis tengah, dan dekat dengan anterior
pillar; 4, antara anterior pillar dan garis tengah, dan dekat dengan garis tengah; 5,
kissing tonsil (gambar. 1)
Operasi direncanakan pada 79 anak-anak dengan hipertrofi tonsil dan hipertrofi
adenoid. Mereka secara acak dibagi menjadi tiga kelompok (A, B, dan C) dan
dilakukan operasi Pengacakkan dilakukan berdasarkan modifikasi dari metode
Zelen. Keluarga telah diberitahu melalui surat tentang teknik operasi dan
memberikan mereka persetujuan tertulis untuk pemilihan acak yang telah dibuat.
Kelompok A terdiri dari 27 anak yang dioperasi dengan coblator, 24 anak pada
kelompok B menjalani operasi dengan laser CO2, dan 28 anak pada kelompok C
diterapi dengan reduksi tonsil RF dengan temperatur terkontrol. Berdasarkan
hipertrofi adenoid, adenoidektomi dilakukan pada semua kelompok dan data
dicatat. Seluruh teknik operasi dilakukan sepanjang April 2005 sampai Maret
2008. Ahli bedah yang sama melakukan seluruh prosedur dan dokter lain yang
berpengalaman dalam klinik THT mencatat ukuran tonsil sebelum dan sesudah
operasi.
Pasien dengan kejadian infeksi tonsil akut berulang, infeksi tonsil kronik, riwayat
operasi tonsilotomi dan mereka penyakit perdarahan tidak dimasukkan pada
penelitian ini. Salah satu pasien pada kelompok A mengalami perdarahan 12 jam
setelah operasi, dan melakukan operasi kedua; tonsilektomi dibutuhkan karena
adanya perdarahan tidak terkontrol. Oleh karena itu, kelompok A terdiri dari 26
anak dan jumlah anak yang diteliti pada penelitian ini berjumlah 78.
Sebelum operasi, ukuran tonsil dicatat sebagaimana yang biasa idlakukan di
departemen kami. Seluruh subjek penelitian diminta untuk melengkapi survey,
yang mencakup nyeri, kebutuhan akan analgesik, dan kelanjutan diet normal dan
aktifitas sehari-hari., ketika mereka masih di rumah sakit dan setelah pulang ke
rumah seminggu setelah operasi, dan dicatat segala perdarahan postoperasi. Untuk
memastikan keberhasilan, kunjungan setelah satu tahun postoperasi
diintepretasikana dengan mendata ukuran tonsi postoperasi.
Pasien dan orang tua mereka menyelesaikan survey untuk tingkat nyeri
postoperasi/ hari pertama pada jam ke 1, 3, 5, 7, 9, 12, dan 24. Selain itu, juga
awal hari kedua (jam ke 48), konsultasi melalui telefon dilakukan pada keluarga
pasien setiap 24 jam hingga hari ke 7, dan untuk tingkat nyeri setiap hari dinilai
dengan skala nyeri verbal numeric 0 sampai 6 (gambar 2).
Pasien dimonitor untuk nyeri dan komplikasi pada 24 jam pertama postoperasi,
dan dipanggil untuk kunjungan penindaklanjutan setelah satu minggu. Diet cairan
dingin dan es krim digunakan pada jam postoperative kedua, dan diet padat
dimulai ketika mereka dapat menelan tanpa nyeri. Berdasarkan percakapan telfon
tiap hari dengan orang tua, hari pertama bebas nyeri, akhir dari kebutuhan
analgesik, dan kembalinya ke diet normal dan aktifitas normal dapat dicatat.
Anastesi dan pengobatan postoperasi
Sebelum subjek pene;itian dibawa ke ruang operasi, seluruh anak diberikan
ketamine dan midazolam inntramuskular (IM) sebagai kombinasi untuk sedasi.
Seluruh pasien dilakukan operasi dalam general anaesthesia, menggunakan
propofol pada 2-3 g/kg atau thiopentone pada 5 mg/kg dikombinasikan dengan
fentanyl pada 0.001μg/kg sebagain induksi intravena (IV). Terapi selanjutnya
mencakup 0.6 mg/kg rocornium bromida dan inhalasi campuran sevorane/ udara/
oksigen. Tabung spiral digunakan pada seluruh anak untuk intubasi oral. Karena
desain penelitian, analgesik tidak diberikan preoperasi maupun sebelum ekstubasi.
Teknik operasi
Coblasi tonsil dilakukan dengan EVAC-70 handpiece (THT). Tidak dibutuhkan
injeksi elektrolit, karena ini telah memiliki larutan irigasi dan bekerja melalui
perpisahan jaringan dengan permukaannya. Coblasi diaplikasikan pada
permukaan tonsil secara langsung, yang akan melelehkan jaringan. Perlindungan
untuk menghindari kapsul tonsil, ukuran tonsil direduksi hingga lateral ke anterior
pillar dan tonsil dapat terlihat.
Operasi dengan tonsilotomi laser membutuhkan alat khusus untuk mencegah
kerusakan yang ditimbulkan oleh laser. Dengan melekatkan dan menarik tonsil ke
medial, bagian yang menonjol dihilangkan sampai lateral ke anterior pillar dan
tonsil dapat terlihat, dengan menggunakan laser Coherent UltraPulse 5000C CO2
w/CPG mengirimkan 175 mJ, 200 pulse/s dalam model ultrakapsul.
Pada departemen kami, peralatan Somnus Medical Technology (Sunnyvale, CA,
USA) digunakan untuk teknik somnoplasty untuk reduksi tonsil RF dengan
pengontrolan suhu. Pertama, injeksi elektrolit dibutuhkan sebelum memulai
prosedur. Dua buah sisipan digunakan didalam jaringan, diulang tiga atau empat
kali untuk total enam atau delapan lesi (6000-8000 J) untuk tiap jaringan tonsil.
Selama operasi yang sama, diseksi dingin adenoidektomi juga dilakukan pada
pasien dengan hipertrofi adenoid pada tiap kelompok.
Analisis Statistik
Program SPSS 15.0 (SPSS Inc., Chicago, IL, USA) digunakan untuk analisis
statistik. Seluruh tingkat signifikan diatur pada 0.05. rata-rata, standar deviasi
(SD), dan nilai maksimum dan minimum digunakan untuk merangkum variabel
kontinu; hitungan dan presentasi digunakan untuk variabel kategorik. Analisis
variasi atau analisis variasi Kruskal-Wallis digunakan untuk membandingkan
variabel kontinu menghubungkan kelompok-kelompok. Uji Wilcoxon signed-rank
digunakan untuk perbandingan intrakelompok. Uji post-hoc digunakan, dan uji
HSD Turki atau Mann-Whitney U dilakukan dengan menghubungkan dengan
distribusi data normal. Variasi pengukuran berulang digunakan untuk
menganalisis perubahan sehubungan dengan waktu pengukuran. Analysis of
covariance (ANCOVA) digunakan untuk membandingkan ukuran tonsil
postoperasi di dalam kemompok, dan ukuran tonsil preoperasi diatur sebagai
kovariat.
Hasil
Rata-rata usia dari 79 anak dengan hipertropi tonsil dan adenoid (laki-laki 45 dan
perempuan 34) adalah 6,2 tahun (rentang umur 4 – 13 tahun).
Kehilangan darah untuk seluruh prosedur tonsillotomi adalah minimal dan tidak
didapatkan data kehilangan darah signifikan (>1000 ml) atau penurunan drastis
hemoglobin. Perdarahan postoperasi dari sisa jarinagn tonsil didapatkan pada
pasien yang menjalani operasi dengan coblasi. Dia menjalani operasi kedua untuk
hemostasis dan tonsilektomi komplit dilakukan pada operasi kedua; pasien ini
diekslusikan dari penelitian. Salah satu pasien dari kelompok yang melakukan
ronsil reduksi RF denga suhu terkontrol mengalami demam tinggi dan harus
tinggal di rumah sakit untuk lebih dari 24 jam. Seluruh anak lainnya dipulangkan
24 jam postoperasi. Pada seluruh pasien pada kelompok C, edema dan hiperemi
terjadi pada hari pertama postoperasi, namun edema tidak menyebabkan sumbatan
jalan napas bagian atas.
Kelompok B memiliki rata-rata nilai nyeri yang lebih tinggi pada hari pertama
dibandingkan kelompok A dan C (p= 0.0001). Kelompok dibandingkan untuk rasa
nyeri, diantara mereka sendiri dan nilai rata-rata pada jam 1, 3, 5, dan 7 secara
signifikan lebih rendah pada kelompok C (p= 0.0001). Rata-rata nilai nyeri pada
jam 9, 12 , dan 24 secara signifikan lebih tinggi pada kelompok B (p= 0.001)
(Gambar 3).
Pada kelompok A, pada hari ke 2, 3, 4, dan 5 postoperasi, rata-rata nilai nyerinya
secara signifikan lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok B dan C,
untuk tiap harinya (p= 0.0001) (Tabel I). Perubahan tingkat nyeri postoperasi
pada jam 1, 3, 5, 7, 9, 12, dan 24 ditunjukkan pada gambar 3.
Walaupun pada hari pertama rata-rata nilai nyeri hari pertama secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan pada hari lainnya pada kelompok A dab B (p= 0.001),
mereka tidak secara signifikan berbeda antara hari pertama dan hari kedua
kelompok C (p= 0.09).
Rata-rata nilai dalam perekaman 7 hari adalah 0.7±0.2 untuk kelompok A,
1.3±0.2 untuk kelompok B dan 1.3±0.6 untuk kelompok C. Pada kelompok A,
rata-rata nilai untuk 7 hari perekaman lebih rendah, dan signifikan secara statistik
(p= 0.05).
Nilai rata-rata dari hari sampai pasien merasakan periode tidak nyeri adalah
4.2±0.9 untuk kelompok A, 5.5±0.5 untuk kelompok B, dan 5.2±1.4 untuk
kelompok C. Nilai ini signifikan secara statistik antara kelompok A dan B dan
antara kelompok A dan C (p< 0.001), namun tidak signifikan antara kelompok B
dan C ((p< 0.05).
Durasi terapi analgetik juga dicatat. Rata-rata nilai untuk penggunaan analgesik
(AU) lebih rendah pada kelompok A dan temuan serupa didemonstrasikan pada
hari hingga mereka kembali ke diet normal (ND) dan aktifitas normal (NA). Pada
kelompok A, perubahan ke diet normal lebih dahulu dibandingkan kelompok B
dan C. kembali ke aktifitas normal terlihat lebih cepat pada kelompok A. Hasil ini
dirangkum pada tabel II.
Ukuran tonsil preoperasi dapat mempengaruhi ukuran tonsil postoperasi (P
sebagai kovariat = 0.038); oleh karena itu, ini di predefinisikan sebagai kovariat.
Terdapat perbedaan ukuran tonsil postoperasi signifikan dengan hubungan
kelompok tanpa efek perancu dari ukuran tonsi preoperasi (p< 0.0001). ukuran
tonsil perkiraan (rata-rata ± SEM) adalah 1.47±0.15, 1.95±0.15, dan 2.64±0.15
pada kelompok A, B, dan C secara respektif. Pada analisis post=hoc, ukuran tonsil
postoperasi pada kelompok A dan B lebih rendah dari kelompok C (perbedaan,
1.17±0.21, 0.69±0.21; p< 0.0001, p=0.005, secara respektif). Perbedaan antara
kelompok A dan B tidak signifikan (-0.47±0.21, p=0.088).
Rata-rata ukuran tonsil preoperasi adalah 4.5 (±0.5), 4.4 (±0.1), dan 4.1 (±0.1)
untuk kelompok A, B, dan C, secara respektif. Tidak didapatkan perbedaan
signifikan antara ketiga kelompok untuk ukuran tonsi preoperasi (p> 0.05). Rata-
rata ukuran tonsil postoperasi adalah 1.5 (±0.9) untuk kelompok A, 1.9 (±0.1)
untuk kelompok B, dan 2.5 (±0.1) untuk kelompok C. Rata-rata ukuran tonsil
postoperasi secara signifikan lebih tinggi pada kelompok C (p< 0.05), walaupun
tidak didapatkan perbedaan signifikan antara kelompok A dan B (p> 0.05)
(gambar 4).
Pada penindaklanjutan setelah 1 tahun, beberapa anak harus menjalani operasi
kembali karena gejala obstruksi jalan napas bagian atas. Tidak ada anak pada
kelompok koblasi memerlukan operasi kembali untuk hipertrofi tonsil (0%). Pada
kelompok B, dua anak (8.3%) harus menjalani operasi kedua untuk hipertrofi
tonsil. Pada kelompok C, 6 anak (21.4%) membutuhkan operasi kembali karena
adanya pembesaran tonsil. Dari delapan pasien yang menjalani operasi kembali
karena pembesaran tonsil, tonsilektomi dilakukan pada tiga orang diantara mereka
dan tonsilotomi coblasi dilakukan pada lima orang lainnya.
Diskusi
Pada reduksi tonsil RF dengan suhu terkontrol, tanpa memperhatikan ukuran
tonsil, seluruh pasien diberikan terapi berulang tiga atau empat kali untuk total
enam atau delapan lesi (6000-8000 J) untuk tiap jaringan tonsil, sebagai dosis
standar). Metode ini tidak dipertimbangkan sebagai tonsilotomi pada literature.
Penggunaan laser dan coblator dianggap sebagai tonsilotomi, dan dengan kedua
teknik ini tonsil menyusut hingga grade 1 selama operasi, tanpa memerhatikan
ukuran tonsil. Pada akhir tahun pertama, penilaian pada penelitian kami
menunjukkan bebeapa pertumbuhan pada ukuran tonsil dengan kedua teknik.
Walaupun pertumbuhan pada kelompok koblasi lebih rendah, hal ini tidak
signifikan antara kedua teknik. Ketiga teknik dibandingkan untuk penilaian akhir
dan dari ini terlihat bahawa teknik RF tidak menghasilkan penyusutan ukuran
tonsil yang cukup, ini merupakan hal yang tidak adekuat untuk mengontrol gejala
dan kebutuhan untuk operasi kembali lebih tinggi dibandingkan kedua teknik lain.
Dua hari setelah operasi menggunakan teknik RF, durasi penggunaan analgesik
dan kembali ke diet normal (padat) dan aktifitas normal serupa dengan
tonsilotomi laser; bagaimanapun keefektifankontrol gejalanya lebih rendah.
Penelitian ini mengevaluasi keuntungan dan morbiditas dari teknik untuk
mengurangi ukuran tonsil, pada penindaklanjutan jangka pendek dan jangka
panjang. Beberapa penelitian telah mengevaluasi keberhasilan dan morbiditas dari
teknik ini. Friedman et al. membandingkan penggunaan ablasi tonsil, RF dengan
suhu terkontrol, dan coblasi tonsil, dan hasilnya serupa dengan yang kami
dapatkan. Mereka mengindikasi pasien yang melakukan coblasi bebas nyeri pada
hari kedua postoperasi. Walaupun pada penelitian kami, kami mendapatkan
periode bebas nyeri pada hari keempat postoperasi pada kelompok coblasi dan
pada hari kelima pada kelompok ablasi RF, perbedaan ini mungkin terjadi karena
alat yang kami gunakan menimbulkan edema yang lebih.
Reduksi tonsil memberikan risiko untuk tumbuh kembali, namun risiko ini sama
dengan risiko pada adenoidektomi. Hyperplasia tonsil kembali dapat terlihat
setelah tonsilektomi dengan insidensi yang rendah. Unkel et el. Melaporkan
bahwa 5 dari 75 anak (7%) membutuhkan tonsilektomi setelah tonsilotomi laser
CO2 kerena hyperplasia kembali dari tonsil terjadi, yang juga serupa dengan yang
diindikasikan oleh Reichel et al. (2 dari 40). Celenk et al. menyarankan orang usia
muda dan mengalami tonsillitis akut dapat berhubungan dengan hiperplasia
kembali setelah dilakukan tonsilotomi RF. Pada investigasi mereka, 16.6% anak
yang menjalani tonsilotomi RF mengalami pertumbuhan kembali tonsil. Operasi
kembal dilakukan pada 8.3% pada kelompok tonsilotomi laser dan 21.4%
kelompok reduksi tonsil RF dengan prevalensi tertinggi.
Perdarahan postoperasi dan nyeri serius memperpanjang durasi rawat inap. Pada
seluruh teknik tonsilotomi hampir tidak ada perdarahan selama operasi. Untuk
kriteria utama operasi, nyeri dianalisa pada banyak penelitian. Unkel et al.
mendeklarasikan bahwa dibutuhkan rata-rata 1.5 hari untuk rasa nyeri pada
tonsilotomi laser untuk menghilang. Hal ini berbeda dengan hasil kami dan
perbedaan ini dikarenakam usia. Pada penelitian ini, rata-rata usia pada populasi
lebih tinggi; oleh karena itu, mereka merasakan nyeri lebih lama.
Pada 24 jam pertama, nilai nyeri lebih tinggi pada kelompok laser CO2 karena
kerusakan peritonsil yang disebabkan oleh sinar yang dipantulkan oleh laser.
Keparahan nyeri tidak berbeda secara signifikan pada kelompok coblasi dan RF
pada penindaklanjutan jangka pendek, walaupun hari ketika bebas nyeri berbeda.
Alasan untuk hal ini mungkin karena edema dan hiperemis dievaluasi pada hari
ketiga atau keempat disebabkan oleh reduksi tonsi RF.
Secara posoperasi, pasien dilihat setelah satu minggu dan didapatkan pasien yang
menjalani RF sisa jaringan tonsilnya leboh besar dari sebelum operasi dan kondisi
ini berlangsung selama 5 hari. Walau begitu, postoperative coblasi memiliki
tampilan yang sama pada saat terakhir operasi.
Banyak penelitian telah dirancang untuk membandingkan tonsilotomi dan
tonsilektomi. Pengetahuan tentang tonsil sebagai jaringan limfoid mengarahkan
ke tonsilotomi, namun penelitian penindaklanjutan lebih jauh untuk jangka
panjang membandingkan teknik harus direncanakan untuk menentukan hasil dari
tonsilotomi.
Kesimpulannya, diantara teknik untuk mereduksi tonsil, coblasi memiliki
keberhasilan lebih tinggi, beserts jumlsh reduksi tonsil terkontrol dan mengurangi
morbiditas dengan menghindari diseksi ke kapsul tonsil.
Deklarasi keuntungan: tidak didapatkan konflik pada penelitian ini, termasuk
pendanaan, konsultan, institusional, dan hubungan lainnya.