IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian
Keadaan Fisik Daerah Penelitian 4.1.1
Desa Gempol terletak di Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Provinsi
Jawa Barat. Luas desa seluruhnya adalah kurang lebih 98.858 hektar, yang terdiri
dari 60 hektar lahan sawah yang berupa 30 hektar sawah teknis, 8 hektar sawah
setengah teknis, dan 22 hektar sawah tadah hujan; serta 38.858 hektar lahan darat
yang berupa 30 hektar pemukiman, 9 hektar pekarangan, 30.961 hektar tegalan, dan
7.858 hektar lahan lainnya. Desa Gempol memiliki 4 dusun, 4 Rukun Warga (RW),
dan 15 Rukun Tetangga (RT). Menurut administratifnya, desa Gempol berbatasan
dengan beberapa wilayah yaitu di sebelah utara dan barat berbatasan dengan desa
Kedungbunder dan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan desa Palimanan
Barat. Jarak desa Gempol dari pusat pemerintahan yakni 0 kilometer antara
pemerintahan desa ke ibu kota kecamatan, 20 kilometer antara pemerintahan desa ke
ibu kota kabupaten, 120 kilometer antara pemerintahan desa ke ibu kota provinsi, dan
221 kilometer antara pemerintahan desa ke ibu kota negara (Data Monografi Desa
Gempol, 2018).
Menurut geografi dan topografinya, desa Gempol terletak di ketinggian 10
sampai 11 meter di atas permukaan laut (mdpl), yang umumnya merupakan daerah
agraris pertanian dengan suhu rata-rata harian 30 derajat Celcius. Desa Gempol
beriklim tropis dengan musim kemarau dan penghujan. Hal ini berpengaruh langsung
37
terhadap pola tanam di desa Gempol, juga terhadap pertumbuhan tanaman dan
kelangsungan hidup binatang ternaknya. Menurut hidrologi dan klimatologinya,
sumber air yang terdapat di desa Gempol meliputi air permukaan, air tanah, dan
PDAM. Air permukaan berupa sungai dan air tanah berupa sumur dan pemasangan
PDAM. Desa Gempol juga mendapat pasokan pelayanan irigasi yang berasal dari
Sungai Kepuh di Kecamatan Palimanan. Kebutuhan rumahtangga akan air bersih
dipenuhi dari sumur gali dan sumur pompa, serta sebagian dipenuhi dari Perusahaan
Air Minum (PAM) (Data Monografi Desa Gempol, 2018).
4.1.2 Keadaan Penduduk Wilayah Penelitian
Kemajuan suatu wilayah didasarkan pada indikator kependudukan seperti
jumlah, pertumbuhan, komposisi, dan distribusi penduduk. Indikator tersebut juga
berpengaruh terhadap berbagai bidang kehidupan seperti sosial, ekonomi, dan
lingkungan (Harmanto dkk., 2016). Pada Tabel 1 disajikan persebaran penduduk
menurut umur di kecamatan Gempol.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur
Kelompok Umur Jumlah Penduduk %
0-<1 7,84 1.6
1-5 1,567 3.3
5-10 6,539 13.6
10-25 17,131 35.7
25-60 18,203 37.9
60+ 3,769 7.9
Jumlah 47,993 100
Sumber : BPS Kabupaten Cirebon, 2015
38
Berdasarkan data Tabel 1, persentasi jumlah penduduk terbesar berturut-turut
berada pada kisaran usia 25 sampai 60 tahun dan usia 10 sampai 25 tahun. Rentang
usia 5 sampai 10 tahun (anak-anak), 60+ tahun (orang tua), 1 sampai 5 tahun (bawah
lima tahun/balita), dan 0 sampai kurang dari 1 tahun (bayi) berada pada persentasi
yang rendah. Rentang usia dengan persentasi yang besar berada dalam kelompok usia
produktif atau usia kerja, seperti yang dinyatakan oleh Harmanto dkk., (2016) bahwa
usia produktif atau usia kerja berada pada rentang usia 15 sampai 64 tahun,
sedangkan usia non-produktif adalah 0 sampai 14 tahun dan usia 65+ tahun. Hal
tersebut memberikan gambaran bahwa penduduk di kecamatan Gempol sebagian
besar berada pada rentang usia produktif untuk bekerja.
Hal yang patut diperhatikan adalah adanya keberagaman usia penduduk dalam
suatu wilayah atau kecamatan. Keberagaman tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti yang dinyatakan oleh Mauludin (2014), bahwa kondisi kependudukan
yang beragam disebabkan oleh adanya intervensi berbagai program kependudukan
yang mulai diimplementasikan pada tahun 1970-an antara lain adalah program
Keluarga Berencana (KB), dan aturan pendewasaan usia kawin yang didukung oleh
penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dengan sarana dan prasarana yang
lebih baik. Sarana dan prasarana kesehatan yang berada di kecamatan Gempol cukup
beragam, seperti 2 bangunan puskesmas dan 8 bangunan puskesmas pembantu, 8
poskesdes, 8 polindes, 49 posyandu, 5 tempat praktek dokter, 17 tempat praktek
bidan, 2 laboratorium kesehatan, dan 1 bangunan apotek (Data Monografi Kecamatan
Gempol, 2018).
39
Usia 5 sampai 10 tahun bisa dikategorikan berada pada jenjang PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini) dan Sekolah Dasar, begitupun dengan usia 10 sampai
25 tahun berada pada jenjang Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas
maupun Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, maka sarana dan prasarana untuk
pendidikan pun perlu diperhatikan (Data Monografi Kecamatan Gempol). Namun
belum tersedia sarana Perguruan Tinggi sehingga harus mengakses ke tempat yang
cukup jauh. Kemudian hal yang patut diperhatikan berikutnya adalah ketersediaan
lapangan kerja dan peluang usaha yang beragam. Penduduk usia-usia sekolah pada
akhirnya akan selesai dalam jenjang pendidikannya dan melanjutkan kedalam dunia
kerja.
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Jumlah Penduduk Tahun 2016
No. Dusun RW Jumlah
RT
Jumlah
Kepala
Keluarga
Jumlah Jiwa dalam Keluarga
L P Jumlah
1 1 1 4 261 455 407 862
2 2 2 4 257 444 406 850
3 3 3 3 209 401 386 787
4 4 4 4 265 479 410 889
Jumlah 15 992 1779 1609 3388
% 53,88 46,12 100
Sumber : Monografi Desa Gempol, 2016
40
Berdasarkan Tabel 2, dusun 4 memiliki jumlah kepala keluarga paling banyak
dari ketiga dusun lainnya, dengan proporsi laki-laki jauh lebih besar dari pada
perempuan. Namun data tersebut tidak begitu mewakili jumlah jiwa yang berada
dalam usia produktif atau non-produktif atau peran per gender dalam pengambilan
keputusan nafkah.
Tabel 3. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Gempol
No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah
(Jiwa) %
1. Buruh Tani 89 15,98
2. Petani 55 9,87
3. Pedagang/Wiraswasta 81 14,54
4. PNS 24 4,31
5. TNI/POLRI 18 3,23
6. Pengrajin 6 1,08
7. Penjahit 12 2,15
8. Montir 3 0,54
9. Sopir 40 7,18
10. Karyawan Swasta 25 4,49
11. Tukang Kayu 29 5,21
12. Tukang Batu 54 9,69
13. Guru Swasta/Guru Bantu 6 1,08
14. Buruh/Pegawai Swasta 115 20,65
Total 557 100
Sumber : Monografi Desa Gempol, 2018
Mata pencaharian yang dipilih oleh penduduk desa Gempol ditentukan oleh
kapasitas dan kapabilitas masing-masing penduduk yang akhirnya akan berdampak
pada keberagaman mata pencaharian. Berdasarkan Tabel 3, mata pencaharian yang
berhubungan dengan sumber daya alam cukup diminati, seperti menjadi buruh tani,
41
petani, pengrajin, tukang kayu, dan tukang batu. Selain itu juga terdapat mata
pencaharian yang berhubungan dengan pengabdian seperti menjadi TNI atau POLRI
ataupun menjadi guru. Juga pekerjaan dalam bidang swasta maupun wiraswasta.
Hal yang patut diperhatikan adalah persentasi sebagai buruh tani yang rupanya
lebih besar dari pada petani. Peluang usaha menjadi petani cenderung lebih kecil dari
pada menjadi buruh tani karena akses terhadap lahan pertanian terbatas oleh
kepemilikan lahan dan kepadatan penduduk.
4.1.3 Keadaan Peternakan Desa Gempol
Peternakan di desa Gempol termasuk ke dalam potensi ekonomi yang dimiliki
oleh desa. Peternakan tersebut sebagian didominasi oleh peternakan kambing atau
domba yang tersebar di delapan lokasi dari dua dusun, yakni dusun satu dengan dua
lokasi dan dusun 2 dengan enam lokasi. Peternakan sapi tersebar di dua dusun,
dengan tiga lokasi di dusun satu dan satu lokasi di dusun dua. Peternakan ayam
adalah peternakan dengan lokasi paling sedikit, yakni hanya satu lokasi di dusun dua.
Data tersebut terdapat pada Tabel 4.
Peternakan domba di desa penelitian masih bersifat tradisional. Kandang
ternak berbentuk panggung dan belum mengalami pemisahan kandang ternak. Induk
yang bunting disatukan dengan domba anak, belum terdapat kandang melahirkan dan
laktasi, belum terdapat kandang kawin sehingga perkawinan biasanya dilakukan di
luar kandang pada siang hari. Belum tersedia kandang isolasi untuk ternak yang sakit.
Induk yang akan dikawinkan meminjam pejantan yang dimiliki oleh peternak lainnya
Pakan terdiri dari hijauan saja yang diperoleh dari lahan perkebunan atau
persawahan sekitar. Pakan diberikan pada pagi dan sore hari. Minuman disediakan
42
secara beragam, ada yang ad libitum dengan campuran garam dalam tabung kayu
yang digantung. Ada juga yang pemberiannya jarang dalam sebuah ember.
Pencatatan kelahiran, kematian, penjualan, dan pembelian ternak belum ada
dan mengandalkan ingatan peternak. Kesehatan ternak belum terpantau. Penyakit
yang biasanya menjangkit adalah kembung akibat dari hijauan yang basah, serta
mencret karena hijauan yang diberikan mengandung antinutrisi tertentu.
Penjualan ternak belum berkala dan memanfaatkan palen yang biasanya
mendatangi peternak dan terjadi harga tawar. Selain itu, datang pula konsumen ke
tempat peternak yang membutuhkan ternak untuk qurban atau aqiqah.
Tabel 4. Potensi Ekonomi Bidang Peternakan di Desa Gempol
Sumber : Monografi Desa Gempol, 2016
No. Potensi Ekonomi
Dusun (Lokasi)
Dusun
1
Dusun
2
Dusun
3 Dusun 4
1. Peternakan
Kambing/Domba 2 6 0 0
2. Peternakan Sapi 3 1 0 0
3. Peternakan Ayam 0 1 0 0
43
4.2 Profil Corporate Social Responsibility Section
Profil Corporate Social Responsibility Section ini didapatkan melalui
wawancara dengan pihak perusahaan yang berkepentingan dalam Section ini.
Penjelasannya akan dipaparkan sebagai berikut.
PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk., memiliki departemen yang berperan
dalam sosial kemasyarakatan dan lingkungan. Departemen tersebut sudah berjalan
sejak tahun 1998 dengan nama Committee Department (CD) dan pada tahun 2000
berubah nama menjadi Corporate Social Responsibility (CSR). Sebelumnya program
yang digulirkan oleh CSR meliputi filantropi tanpa memperhatikan output program,
share value berupa pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, dan human
building yang menjadi rencana jangka panjang.
CSR Section kemudian membagi fokus kerja menjadi dua, yakni Social
Development Program (SDP) dan Lima Pilar yang merupakan bagian dari human
building. SDP terdiri dari program-program pengembangan agribisnis dalam bidang
pertanian (bertani jamur merang dan bertani padi) dan peternakan (Sekolah Magang
Inkubator dan Program Inkubator Agribisnis Ternak), sedangkan Lima Pilar
merupakan program bantuan dalam aspek pendidikan, kesehatan, sosial dan budaya
masyarakat, ekonomi, dan agama. CSR Section memiliki sasaran program pada desa-
desa di sekitar perusahaan.
Sekolah Magang Inkubator merupakan bagian dari program yang ditawarkan.
Menurut regulasinya, tiap peserta yang terdaftar dalam program ini akan
mendapatkan pembekalan teori dan praktik selama satu minggu dan bekerja sama
dengan Dinas Peternakan setempat. Setelah melewati masa magang, maka peserta
44
akan dibekali indukan domba sebanyak 10 ekor dengan satu ekor pejantan. Domba
yang diberikan berjenis domba Garut.
Pemeliharaan domba tersebut berlangsung selama 10 bulan, delapan bulan,
atau empat bulan. Kebijakan masa program yang berlaku saat ini adalah empat bulan.
Setelah berakhirnya program kemudian peserta dibekali anakan domba dari induk
yang dipeliharanya. Anakan domba diberikan untuk dipelihara dan dikembangkan
oleh peserta di kediamannya. Tujuan dari program ini adalah untuk menggali potensi
beternak dari desa-desa di sekitar perusahaan dan memberikan peluang usaha
beternak domba baik sebagai usaha utama maupun sampingan. Pemilihan ternak
domba dalam program ini memperhatikan potensi alam untuk tersedianya pakan
ternak dan lahan.
Sekolah Magang Inkubator dan Program Inkubator Agribisnis Ternak telah
berlangsung sejak tahun 2010. Desa-desa yang terpilih dalam program ini berada satu
kecamatan dengan PT. Indocement Tunggal Prakarsa dan bersentuhan langsung
dengan perusahaan. Desa-desa tersebut terdiri dari tujuh desa, yakni Gempol,
Kedungbunder, Palimanan Barat, Walahar, Cupang, Cikesal, dan Ciwaringin, dengan
perwakilan tiap desa yang mencapai dua orang.
Desa Gempol merupakan desa yang berkontribusi dalam program tersebut.
Tercatat sejak tahun 2010 terdapat 12 alumni Sekolah Magang Inkubator dan
Program Inkubator Agribisnis Ternak. Namun yang masih beternak domba hingga
tahun 2018 sebanyak tujuh orang. Peserta yang mengikuti kegiatan ini memiliki
alasan yang beragam, di antaranya seperti yang diungkapkan oleh beberapa informan
sebagai berikut.
45
“Alasan ikut inkubator yah karena pengen punya modal. Saya tuh pengen
punya sampingan dari domba. Kalo saya udah gak kerja, jadi kan ada
sampingan.” (KJ, 53)
“Tujuan dari showcase itu kan pengen memberi modal kepada masyarakat.
Yah, buat bantu-bantu keluarga. Beternak yah buat modal bangun rumah.”
(TN, 41)
4.3 Identitas Informan
Informan pada penelitian ini berjumlah tujuh orang peternak domba subsisten
yang memulai kegiatan beternaknya setelah mengikuti Program Inkubator Agribisnis
Ternak di desa Gempol, kecamatan Gempol, kabupaten Cirebon, provinsi Jawa Barat.
Karakteristik informan dibagi tiga, yakni umur informan, tingkat pendidikan
informan, dan pengalaman beternak.
4.3.1 Umur Informan
Umur ketujuh informan berada pada rentang 40 sampai 62 tahun. Umur
tersebut termasuk ke dalam golongan umur produktif. Hal tersebut serupa yang
dipaparkan oleh Prijono (2001) bahwa analisis demografi menunjukkan bahwa
struktur umur penduduk terbagi dalam tiga kelompok, yaitu (1) kelompok umur muda
di bawah 15 tahun; (2) kelompok umur produktif, usia 15-64 tahun; dan (3) kelompok
umur tua, usia 65 tahun ke atas. Umur produktif dianggap penting karena masih
memiliki kinerja yang baik, tenaga yang cukup, peluang terbukanya informasi dan
inovasi cenderung lebih mudah, dan membantu meningkatkan kesejahteraan
keluarga.
46
Hal ini menjadi suatu faktor yang menguntungkan karena usia yang produktif
berpengaruh terhadap perkembangan peternakannya. Peternak dengan usia yang
produktif memiliki tenaga yang lebih banyak dibandingkan dengan usia non produktif
sehingga curahan tenaga yang diberikan akan berpengaruh terhadap perkembangan
peternakan dan kepemilikan ternaknya. Serupa yang dinyatakan oleh Utami dkk.,
(2016) bahwa faktor umur dapat mempengaruhi jumlah kepemilikan ternak kerbau
sebab peternak berusia produktif memiliki tenaga yang cukup banyak dibandingkan
dengan peternak yang tidak produktif dalam menjalankan usaha ternaknya. Sebaran
usia pada informan peternak domba subsisten dapat dilihat pada Tabel 5.
Merujuk pada Tabel 5, meskipun para peternak domba subsisten berada pada
rentang usia produktif, namun sebaran usianya berada pada lingkup dewasa madya
atau tengah baya, sesuai dengan pernyataan Mappiare (1983) bahwa secara teoritis-
psikologis dan fisiologis rentang usia antara 40-60 tahun merupakan masa tengah
baya bagi banyak orang. Kondisinya secara fisik mengalami kemunduran perlahan-
lahan, terutama kemampuannya dalam beraktivitas mencari nafkah. Kekuatannya
untuk mencari rumput dan memelihara ternak domba pun berkurang. Hal ini akan
mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Elmanora dkk., (2012) menyatakan
bahwa keluarga dengan umur ayah yang masih muda memiliki peluang sejahtera
lebih besar dibandingkan dengan keluarga dengan umur ayah yang sudah memasuki
umur pertengahan (dewasa madya).
Rumahtangga peternak domba subsisten dalam umur produktif tetap belum
bisa mengembangkan peternakan dombanya karena sifat usahanya masih sampingan.
Kondisi ini disebabkan oleh terfokusnya informan pada pekerjaan utamanya sehingga
47
curahan waktu untuk pengembangan peternakan dombanya terabaikan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Makatika (2013) dalam Utami dkk., (2016), bahwa umur peternak
tidak berpengaruh terhadap skala usaha karena peternak yang berusia produktif lebih
memperhatikan usaha taninya dibanding beternak. Sehubungan dengan hal ini maka
tidak terbatas pada usaha tani atau sektor on-farm yang dilakukan oleh informan saja,
tapi juga pekerjaan informan pada sektor lain baik off-farm maupun non-farm.
Tabel 5. Umur Informan
No. Nama Umur
1 SN 40
2 AS 40
3 AP 41
4 KJ 53
5 JL 62
6 RM 52
7 TN 41
Sumber : Data Primer, 2018
Kemudian Suwarta dkk., (2012) dalam Utami dkk., (2016) menyatakan bahwa
semakin bertambahnya umur peternak mengakibatkan produktivitas usaha ternak
semakin menurun. Selain itu semakin tua umur peternak akan mempengaruhi
keputusan peternak dalam menentukan volume usaha ternaknya yang bisa jadi
semakin rendah (Utami dkk., 2016). Artinya bahwa semakin bertambahnya usia
peternak maka jumlah ternak yang dimiliki akan semakin sedikit karena terbatasnya
kemampuan peternak berupa tenaga.
48
4.3.2 Pendidikan Informan
Pendidikan berperan dalam membentuk pola pikir dan daya tangkap informasi
dan inovasi. Hal ini serupa dengan pernyataan Mubyarto (1986) bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka pengetahuan dan cara berpikir akan semakin luas.
Tingkat pendidikan informan pada penelitian ini secara umum berada pada jenjang
Sekolah Dasar. Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 57.14% atau empat orang informan
mengalami pendidikan sampai jenjang Sekolah Dasar (SD), 28.57% atau dua orang
informan tidak tamat SD, dan 14.29% atau satu orang informan tidak bersekolah.
Informan memang tidak mengalami jenjang sekolah dan dalam kondisi ini
tingkat pendidikan tertinggi adalah Sekolah Dasar. Hal ini diduga karena belum
terbangun pentingnya pendidikan bagi keluarga informan, terbatasnya ekonomi
keluarga untuk menyekolahkan anak, adanya pelarangan untuk bersekolah dari
keluarga karena dihimbau untuk membantu keluarga saja, dan jauhnya akses
perjalanan untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi (SMP, SMA, PT).
Kondisi lainnya, jenjang pendidikan bisa jadi tidak begitu menentukan dalam
perkembangan kegiatan beternak karena pendidikan yang diterima informan selama
bersekolah tidak fokus terhadap bidang peternakan. Informan mendapatkan informasi
seputar peternakan domba ketika mengikuti Program Inkubator Agribisnis Ternak.
Pelatihan yang dilakukan dalam program tersebut dianggap sebagai pelatihan
informal yang memang terfokus pada kegiatan beternak. Hasil dari kegiatan tersebut,
peternak mendapatkan informasi baik secara teori maupun praktek yang mendorong
peternak untuk beternak domba. Selain itu, enam orang informan yang bekerja selain
dalam bidang peternakan menggunakan keterampilannya dalam sektor lain.
49
Keterampilan yang dimiliki diduga berasal dari hasil pengalaman ketika informan
bekerja secara berkala dalam bidang tersebut.
Paparan di atas sesuai dengan pernyataan Soekartawi (1988) dalam Utami
dkk., (2016) bahwa dalam prakteknya hubungan antara tingkat pendidikan dan
tingkat adopsi pertanian adalah berjalan secara tidak langsung, kecuali bagi mereka
yang belajar secara spesifik tentang inovasi baru tersebut di sekolah. Menurut
Murwanto (2008) dalam Utami dkk., (2016) bahwa tingkat pendidikan yang memadai
akan berdampak pada peningkatan kinerja dan kemampuan manajemen usaha
peternakan yang dijalankan. Pendidikan seperti tersebut bisa didapatkan dari kegiatan
pelatihan baik informal maupun non formal. Informan yang mengikuti Program
Inkubator Agribisnis Ternak merupakan lulusan Sekolah Magang Indocement (SMI),
sehingga para informan telah dibekali teori dan praktek dari kegiatan beternak
melalui proses pelatihan.
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Informan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
Orang %
1. Tidak Sekolah 1 14,3
2. Tidak Tamat SD 2 28,6
3. SD 4 57,1
Jumlah 7 100
Sumber : Data Primer, 2018
50
4.3.3 Pengalaman Beternak
Pengalaman beternak menentukan kemampuan peternak dalam memelihara
dan mengembangkan usahanya. Peternak yang berpengalaman mampu mengatur
kegiatan beternaknya, baik pemeliharaan ternak, pencatatan untuk pengembangan
kepemilikan ternak, dan pemasarannya. Berdasarkan Tabel 7, para informan memulai
kegiatan beternaknya dalam rentang tahun pertama sampai tahun kelima. Sebanyak
28.57% atau dua orang informan memulai kegiatan beternaknya sudah lebih lama
dari pada kelima informan lainnya. Hal ini terjadi karena kedua orang tersebut lebih
dulu bergabung dalam program Inkubator Agribisnis Ternak.
Tabel 7. Pengalaman Beternak Informan
No. Pengalaman Beternak Informan (Tahun) Jumlah
Orang %
1. 1 2 28,6
2. 2 3 42,8
3. 5 2 28,6
Jumlah 7 100
Sumber : Data Primer, 2018
Ada beberapa informan yang pernah beternak ketika kecil, tetapi hanya
sebagai bentuk pengenalan kegiatan beternak dari orang tua kepada anak. Bila
ditinjau kembali, maka kegiatan tersebut terputus ketika informan sudah dewasa.
Kegiatan beternak tersebut hanya berupa pengenalan saja, dan diduga terlupakan
51
seiring dengan informan yang memiliki pekerjaan tetap lainnya. Selain itu informan
kembali beternak ketika mengikuti program Inkubator Agribisnis Ternak. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Idris (2009) dalam Utami dkk., (2016) bahwa minat
informan untuk beternak dipengaruhi oleh pengalaman beternak, sehingga peternak
yang berpengalaman akan memiliki minat yang tinggi dalam mengembangkan
usahanya.
4.4 Kepemilikan Ternak Domba
Rumahtangga peternak domba informan memiliki kepemilikan ternak yang
beragam. Kepemilikan ternak domba ini didapatkan melalui pemeliharaan domba
baik dari anakan yang didapatkan dari Program Inkubator Agribisnis Ternak maupun
dari pengembangan modal yang sudah ada hasil dari kegiatan tersebut.
Tabel 8. Kepemilikan Ternak Domba
No. Informan
Jumlah Ternak
Total Dewasa Muda Anak
Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan
1. SN 6 4 - - 3 2 15
2. AS 5 1 - - 3 2 11
3. AP 4 - - - - 2 6
4. KJ - - 5 4 - - 9
5. JL 5 - - - - 4 9
6. RM 15 - 10 8 - - 33
7. TN 2 - - - - 4 6
Sumber : Data Primer, 2018
Tabel 8 menunjukkan kepemilikan ternak domba dari rumahtangga peternak
domba subsisten. Kepemilikan ternak domba tersebut didapatkan melalui Program
52
Inkubator Agribisnis Ternak yang mana anakan ternak yang menjadi milik peserta
dipelihara di daerah tinggalnya masing-masing. Bagi rumahtangga peternak domba
alumni yang anakan dombanya mati mendapatkan domba lagi dari pemberian orang
tua atau modal sendiri. Modal berupa kandang dari program tersebut tetap bisa
digunakan. Kemudian bagi peternak lainnya, ketika ternaknya dijual maka modalnya
digunakan untuk membeli anakan domba yang baru.
4.5 Strategi Nafkah Rumahtangga Peternak Domba
Menurut Dharmawan (2007), bahwa livelihood memiliki pengertian lebih luas
dari sekadar means of living yang bermakna secara sempit sebagai mata pencaharian
saja. Strategi nafkah mengacu pada livelihood strategy (strategi penghidupan)
daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Strategi nafkah berarti cara
bertahan hidup ataupun memperbaiki status kehidupan. Strategi nafkah merupakan
taktik dan aksi yang dibangun oleh individu atau kelompok dalam rangka
mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi
infrastruktur sosial, struktur sosial dan nilai budaya yang berlaku.
Strategi nafkah ini terbagi dalam tiga klasifikasi menurut Scoones (1998)
dalam Tulak (2009), yakni intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, pola nafkah
ganda, dan migrasi. Gambaran mengenai strategi nafkah beserta klasifikasinya dapat
dilihat dalam praktik kehidupan nafkah peternak domba di desa Gempol. Informan
dari desa Gempol berjumlah tujuh orang yang terdiri dari lima orang laki-laki dan
satu orang perempuan sebagai kepala rumahtangga, sedangkan sisanya bukan.
Berdasarkan Tabel 9, persentasi klasifikasi strategi nafkah untuk intensifikasi adalah
53
85,71%, ekstensifikasi 0%, diversifikasi nafkah 100%, dan migrasi 28,57%.
Penjabaran dari persentase tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 9. Strategi Nafkah Rumahtangga Peternak Domba Subsisten
No. Anggota Rumahtangga
Strategi Nafkah
Rumahtangga
Suami Istri Anak I E DN M
1 SN - Belum menikah -
2 AS AM Dua anak. Keduanya berada di SD - -
3 AP TI Dua anak. Keduanya berada di SD, istrinya
sedang mengandung anak ketiga - -
4 KJ IS Dua anak. Keduanya sudah menikah - -
5 JL ST
10 anak. Keempat anaknya sudah menikah,
dua anak terakhir masih sekolah SMP dan
SMA berturut-turut, sisanya bekerja dan
ada yang pengangguran
- -
6 - RM Tiga anak. Kedua anaknya sudah menikah,
yang ketiga masih SMP - - -
7 MB TN
Empat anak. Kedua anaknya sudah bekerja,
yang ketiga pengangguran, dan terakhir
masih SMA. -
% 85,71 0 100 28,57
Sumber : Data Primer, 2018
Ket. :
I : Intensifikasi
E : Ekstensifikasi
DN : Diversifikasi Nafkah
M : Migrasi
4.5.1 Intensifikasi dan Ekstensifikasi
Rekayasa sumber nafkah pertanian (Scoones, 1998; dalam Tulak, 2009)
merupakan usaha penguasaan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien baik
54
melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi)
maupun dengan memperluas lahan garapan pertanian (ekstensifikasi).
a. Intensifikasi Rumahtangga Peternak Domba Subsisten
Intensifikasi pada penelitian ini terbagi menjadi dua. Pertama adalah pelibatan
tenaga kerja dan kedua adalah penggunaan teknologi. Tabel 10 memberikan
informasi bahwa sebanyak 85,7% atau enam rumahtangga peternak domba subsisten
melibatkan tenaga kerja dalam kegiatan beternaknya, sedangkan sisanya tidak.
Kemudian 0% atau tidak ada rumahtangga peternak domba subsisten yang
menggunakan teknologi dalam kegiatan beternaknya. Perihal teknologi ini,
penggunaannya yang paling dekat dalam pemeliharaan domba adalah dalam
pemberian pakan. Pakan yang diberikan oleh peternak domba masih berupa rumput
dan belum adanya perlakuan tambahan atau pakan tambahan lainnya, seperti yang
diungkapkan oleh informan sebagai berikut.
“Pakan kalo umum tau dari dulu, rumput. Cuma kalo konsentrat baru tahu
kemarin itu pas pelatihan. Bahannya yah bisa rumput Gajah, dedak, EM4
(Effective Microorganism 4), dan tetes gula. Dulu sih pas awal beternak
dikasih alat buat bikinnya. Tapi sekarang mah enggak dipake, rusak. Yah
rumput aja biasa.” (SN, 40)
Sebagian besar intensifikasi yang dilakukan oleh rumahtangga peternak
domba subsisten di desa Gempol adalah dengan menambah jumlah tenaga kerja.
Pelibatan tenaga kerja ini terbagi dalam dua sumber, sumber pertama berasal dari
dalam rumahtangga baik istri maupun anak dan pelibatannya sebanyak 100%, serta
sumber kedua berasal dari luar rumahtangga dengan pelibatannya sebanyak 14,3%,
55
seperti yang tercantum dalam Tabel 11. Perbedaan keduanya terlihat dari upah.
Tenaga kerja yang berasal dari luar rumahtangga diberikan upah dari pada tenaga
kerja dalam rumahtangga.
Tabel 10. Intensifikasi Rumahtangga Peternak Domba Subsisten
No.
Informan
Intensifikasi
Tenaga Kerja Teknologi
1. SN -
2. AS -
3. AP -
4. KJ -
5. JL -
6. RM - -
7. TN -
% 85,7 0
Sumber : Data Primer, 2018
Tenaga kerja dari rumahtangga biasanya dilibatkan untuk menghindari
pemberian upah, sehingga waktu dan cakupan pelibatannya lebih luas. Tenaga kerja
dalam rumahtangga akan melakukan sebagian bahkan semua pekerjaan, seperti
mencari rumput, memberi pakan, dan membersihkan ternak dan kandang. Seperti
yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut.
“Selama suami saya bekerja, maka ternak dombanya diurus oleh saya. Saya
akan mencari rumput untuk pakan domba, dan memberikannya pada pagi dan
sore. Namun bila suami saya libur bekerja, maka yang memberikan pakan
pada pagi dan sore adalah suami saya, sedangkan saya tetap mencarikan
rumput. Kalau suami saya bekerja, maka dia memberi pakan domba hanya
pada pagi hari saja.” (AM, 40; istri dari AS, 40)
56
Tenaga kerja luar rumahtangga dilibatkan hanya untuk mencari rumput saja,
sedangkan pemberian pakan atau perawatan ternak tetap diserahkan kepada pemilik
ternak. Hal ini terjadi ketika pemilik sedang memiliki pekerjaan selain beternak.
Seperti yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut.
“Kalo Bapak sedang ada pekerjaan untuk kuli bangunan, maka rumput dicari
oleh orang lain, dalam arti Bapak memburuhi orang lain untuk mencari
rumput. Bayarannya per karung sebesar 20 ribu. Biasanya untuk 15 ekor
membutuhkan sampai 3 karung kecil.” (SN, 40)
Tabel 11. Sumber Tenaga Kerja Rumahtangga Peternak Domba Subsisten
No.
Informan
Tenaga Kerja
Dalam Rumahtangga Luar Rumahtangga
1. SN
2. AS -
3. AP -
4. KJ -
5. JL -
6. RM -
7. TN -
% 100 14,3
Sumber : Data Primer, 2018
Intensifkasi yang dilakukan oleh rumahtangga peternak domba subsisten di
desa Gempol berbasis pada sektor pertanian. Menurut Fridayanti (2013) dalam
Saraswati dan Dharmawan (2014) dalam penelitiannya, bahwa intensifikasi sektor
pertanian arti luas (termasuk peternakan) ini harus dilakukan secara efektif dan
efisien. Namun bila melihat teknologi dalam pengolahan pakan yang belum
57
diaplikasikan, maka intensifikasi sektor pertanian bagi rumahtangga peternak domba
subsisten di desa Gempol belum efektif dan efisien.
b. Ekstensifikasi Rumah Tangga Peternak Domba Subsisten
Pada praktiknya, ekstensifikasi ini berhubungan dengan perluasan areal
pertanian termasuk peternakan, yang sebelumnya belum dimanfaatkan oleh peternak.
Ekstensifikasi sektor peternakan dalam penelitian ini mengacu pada perluasan lahan
ternak terutama untuk keperluan kandang dan pemeliharaan.
Tabel 12. Ekstensifikasi Rumahtangga Peternak Domba Subsisten
No. Informan
Ekstensifikasi
Memperluas Lahan
Ternak (%) Keterangan
1. SN
0
Belum memiliki lahan
untuk beternak
2. AS
3. AP
4. KJ
Memiliki lahan untuk
beternak
5. JL
Belum memiliki lahan
untuk beternak 6. RM
7. TN
Memiliki lahan untuk
beternak
Sumber : Data Primer, 2018
Tabel 12 memberikan informasi bahwa kegiatan ekstensifikasi sektor
peternakan yang dilakukan oleh rumahtangga peternak domba subsisten untuk
58
perluasan lahan ternak adalah 0%. Lahan ternak yang dimiliki anggota rumahtangga
peternak domba subsisten terbatas hanya pada dua rumahtangga saja dan itu pun
memanfaatkan lahan kosong di pekarangan rumah atau lahan kosong milik sendiri.
Kemudian anggota rumahtangga peternak domba subsisten lainnya tidak memiliki
lahan untuk beternak dan memanfaatkan tanah yang disewakan oleh pemerintah desa
Gempol secara bersama-sama.
4.5.2 Diversifikasi Pekerjaan atau Pola Nafkah Ganda
Peternak memutuskan untuk bekerja tidak hanya pada sektor on-farm, tapi
juga sektor off-farm maupun non-farm. Keterlibatan peternak dalam on-farm terlihat
dari unsur-unsur on-farm yang dimilikinya sendiri, seperti ketersediaan ternak dan
kandang. Akses terhadap lahan ternak didapatkan dari adanya tanah titisara yang
disewakan oleh pemerintah desa Gempol, namun hingga sekarang tanah titisara
tersebut belum pernah ditagih biaya sewa sehingga dapat digunakan secara cuma-
cuma. Bila harus mengeluarkan uang, maka biayanya masuk kedalam kas desa.
Berdasarkan tabel 13, terlihat bahwa 42,8% atau tiga rumahtangga peternak
domba subsisten yang menjadikan kegiatan beternaknya sebagai pekerjaan utamanya,
sedangkan 57,2% atau empat rumahtangga peternak domba subsisten menjadikan
kegiatan di luar beternak sebagai pekerjaan utamanya. Seperti yang diungkapkan oleh
KJ (53) sebagai berikut.
“Ya kerjanya saya kuli, kuli kapur lah, naikin batu, di bakar tuh. Tapi ya
borongan, sesuka saya, kalo capek ya pulang. Saya ikut kegiatan pelatihan itu
ya biar dapat modal lah, bikin kandang domba sama dapet dombanya.”
59
Tabel 14 menyajikan informasi mengenai diversifikasi pekerjaan rumahtangga
peternak domba subsisten. Sektor on-farm didominasi oleh kegiatan beternak
kemudian bertani padi. Seluruh rumahtangga peternak domba subsisten memiliki
kegiatan beternak domba, namun yang memiliki kegiatan bertani padi hanya dua
rumahtangga. Tiga rumahtangga di sektor off-farm memilih pekerjaan sebagai buruh
tani padi. Lalu pada sektor non-farm, pekerjaan rumahtangga tidak berhubungan
dengan pertanian ataupun peternakan, dan terdiri dari kegiatan buruh dan
pertukangan.
Tabel 13. Pekerjaan Utama Rumahtangga Peternak Domba Subsisten
No. Informan Pekerjaan Utama
Beternak Lainnya
1. SN Beternak Domba
2. AS Buruh Anyam Rotan
3. AP Buruh Anyam Rotan
4. KJ Buruh Kapur
5. JL Beternak Domba
6. RM Beternak Domba
7. TN
Buruh Tani Padi
% 42,8 57,2
Sumber : Data Primer, 2018
Aktivitas nafkah yang demikian yang dilakukan oleh rumahtangga peternak
domba subsisten ini menggambarkan struktur nafkah yang dimilikinya. Struktur
nafkah tersebut terdiri dari berbagai kombinasi pilihan baik dari sektor on-farm, off-
farm, maupun non-farm. Hal ini serupa yang dinyatakan oleh Prasetya (2013) dalam
Saraswati dan Dharmawan (2014) bahwa struktur nafkah merupakan komposisi
60
pendapatan rumahtangga petani dari berbagai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh
seluruh anggota rumahtangganya baik dari on-farm, off-farm, dan non-farm.
“Saya ikut kegiatan inkubator tahun 2016. Dapet ternak domba dan saya
pelihara sampe sekarang. Sekarang sih yah kegiatannya itu, beternak. Sebelum
ikut kegiatan ini juga, udah beternak. Sengawit anak saya yang pertama tuh,
dipelihara lewat melihara kambing dulu. Yah buat biaya-biaya anak sekolah,
ongkos, SPP, pakaian tuh yah dari ngejual kambing. Terus yah ikut kegiatan
inkubator. Saya sih dulunya sejak tahun 73 tuh, sejak orang tua saya
meninggal, saya udah dikasih kemampuan sama orang tua saya. Tinggalan
dari orang tua gitu, diajarinlah. Iya dikasih kemampuannya itu. orang-orang
tuh menta-menta ke saya. Minta bikin rumah, hari besar kek. Hari apa gitu,
ada yang minta doa buat bikin rumah. Kalo di Cirebon tiap tanggal 12 Mulud
tuh pusaka-pusaka di sini dicuci sama air kembang. Kita di sini ngikutin
primbon. Ya alhamdulillah, udah 11 kuwu sama saya. Sukses semua. DPR ada
tiga tuh, minta sama saya. Daerah Fatmawati, Babakan, Kanci. Dulu ada yang
minta dari Hanura, PKB, yah pada masuk. Iya saya ngerasa orang bodoh, tapi
kalo punya kemampuan kan orang nanya ke saya. Orang tua saya bilang
jangan pasang target, jangan minta banderol. Banyak yang minta bantuan kalo
buat musim-musim hajatan. Yang ngasih Tuhan, kita mah perantara. Kalo
saya nentuinnya dari nama sih.” (JL, 62)
“Saya kerjanya yah kadang jualan, kadang jadi buruh tani, kadang ada yang
dateng buat diurut. Kalo jualan yah jualan bakso. Seminggu jualannya empat
hari. Nyari hari yang ramenya aja. Jualannya keliling, kadang naik elf ke
tempat yang rame, kadang sekitaran rumah aja. Saya juga kadang ngeburuh ke
orang di sawah sampe bedug. Saya kalo ada yang minta pijet paling ada yang
datang ke rumah ato saya yang datang ke rumah yang minta, biasanya sih
malem mijetnya sampe jam 10. Anak saya yang kerja ada dua orang, yang
perempuan di pabrik boled sama yang laki-laki ngangkutin barang di pabrik.
Kalo ngasih ke orang tua yah kalo di mereka ada lebihnya.” (ST, 53)
Pemaparan di muka merupakan diversifikasi nafkah yang dilakukan oleh salah
satu rumahtangga peternak domba subsisten. Hal yang menarik adalah diversifikasi
pekerjaan yang dipilih oleh kepala keluarganya sebagai tokoh masyarakat atau orang
61
Table 14. Diversifikasi Pekerjaan Rumahtangga Peternak Domba Subsisten
Sumber : Data Primer, 2018
pintar yang sering dijadikan tempat bertanya untuk kegiatan pemilihan kepala daerah
atau desa, hajatan atau perayaan hari besar. Pemaparan berikut mencerminkan
aktivitas diversifikasi nafkah yang serupa dengan pernyataan Prasetya (2013) dalam
Saraswati dan Dharmawan (2014) bahwa kegiatan on-farm meliputi beternak domba,
kegiatan off-farm sebagai buruh tani padi, dan kegiatan non-farm sebagai orang
pintar, pedagang keliling, tukang urut, dan buruh pabrik. Saliem dkk., (2006)
No.
Informan
Diversifikasi Nafkah
On-Farm Off-Farm Non-Farm
1. SN Memelihara ternak 1) Buruh tani padi
1) Kuli bangunan; 2)
Tukang batu; 3)
Buruh pabrik
2. AS Memelihara ternak
1) Tukang anyam; 2)
Kuli bangunan
3. AP Memelihara ternak
1) Tukang anyam; 2)
Kuli bangunan
4. KJ
1) Memelihara
ternak; 2) Bertani
padi
1) Buruh tani padi 1) Tukang kapur
5. JL Memelihara ternak 1) Buruh tani padi
1) Orang pintar; 2)
Pedagang; 3)
Tukang urut
6. RM Memelihara ternak 1) Buruh tani padi 2) Buruh
rumahtangga
7. TN
1) Memelihara
ternak; 2) Bertani
padi;
1) Buruh tani padi
1) Pegawai desa; 2)
Pekerja bengkel; 3)
TKI
62
berpendapat bahwa situasi tingginya ragam diversitas pekerjaan di desa
mengindikasikan bahwa usaha pertanian tampaknya tidak lagi mampu memberikan
jaminan keamanan dan keberlanjutan pendapatan rumahtangga.
Tabel 14 pun memberikan gambaran bahwa dalam satu sektor dalam
diversifikasi nafkah, informan memiliki lebih dari satu pekerjaan. Seperti pada sektor
farm yang dapat menjadi peternak dan petani padi, dan sektor off-farm yang menjadi
kuli, tukang, dan buruh.
4.5.3 Migrasi
Berdasarkan hasil penelitian, migrasi dilakukan tidak oleh kepala
rumahtangga, namun oleh anak. Tabel 15 menunjukkan rumahtangga peternak domba
subsisten yang melakukan pola migrasi pada tahun 2018. Migrasi tersebut dilakukan
ke luar daerah kabupaten dan ke luar negara. Sebanyak 28,6% atau dua rumahtangga
peternak domba alumni bermigrasi. Migrasi ini dilakukan oleh anak dalam
rumahtangga. Anak dalam rumahtangga TN (41) bekerja sebagai Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) ke Korea Selatan dan baru saja berangkat pada awal bulan Januari,
sedangkan anak pada rumahtangga SN (40) bekerja sebagai buruh pabrik di Jakarta.
Anak yang menjadi TKI belum mengirimkan pendapatannya karena masih awal
bekerja, sedangkan anak yang bekerja di Jakarta memberikan remitan kepada
keluarganya di kampung per bulan.
Terekam pula bahwa terjadi migrasi yang dilakukan oleh rumahtangga AS
(40) dan AP (41) pada tahun 2017. Kedua informan tersebut bekerja sebagai
pengrajin anyam rotan dengan sistem pekerjaan borongan. Ketika pekerjaan menjadi
pengrajin anyam rotan di daerah kabupaten tempatnya bekerja sedang sepi, maka
63
akan pergi ke luar kabupaten Cirebon. Tujuan lokasi tersebut berada di kota Bekasi.
Di daerah kabupaten, pekerjaan pengrajin anyam ini akan mengalami masa-masa sepi
pada saat akhir tahun menuju awal tahun, berkisar antara bulan Desember sampai
bulan Februari atau Maret. Migrasi yang dilakukan oleh AS (40) dan AP (41) ini
berlangsung selama kurang lebih tiga bulan.
Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa tujuan lokasi migrasi ini cukup
beragam, seperti yang dipaparkan sebelumnya yakni ke luar kabupaten Cirebon
seperti kota Jakarta dan kota Bekasi, dan ke luar negeri yakni Korea Selatan. Migrasi
ini dapat dilakukan karena adanya tawaran dari kerabat dan teman. Seperti yang
dinyatakan oleh Sembiring dan Dharmawan (2014) bahwa migrasi dapat dilakukan
karena adanya jaringan kekerabatan dan pertemanan. Buruh migran internasional
terlebih dahulu harus mendaftar pada lembaga penyalur (sponsor). Cakupan usia yang
bermigrasi tersebut terdiri dari usia remaja dan kepala keluarga. Namun yang masih
aktif untuk bermigrasi adalah dari kalangan usia remaja dan belum menikah.
Tabel 15. Migrasi Rumahtangga Peternak Domba Subsisten
No. Informan Migrasi 2018
1. SN
2. AS -
3. AP -
4. KJ -
5. JL -
6. RM -
7. TN
% 28,6%
Sumber : Data Primer, 2018
64
“Yang dari Korea belum ngirim. Baru satu bulan setengah berangkatnya.”
(TN, 41)
“Adik saya (yang laki-laki) kerja di Jakarta.” (SN, 40)
“Iya kerja ke luar Cirebon. Kalo di sininya sepi tuh. Ke Bekasi. Soalnya di
sini kerjanya kan borongan. Kalo sepi yah pas akhir-akhir tahun gitu.”
4.6 Sumber-sumber Nafkah Rumahtangga Peternak Domba Subsisten
Mardiyaningsih (2003) dalam Tulak dan Dharmawan (2009) memandang
bahwa faktor kesejahteraan sosial ekonomi dan kelimpahan modal (available
resources) yang dimiliki oleh masing-masing rumahtangga akan menentukan strategi
nafkah yang dipilih ke depan. Rumahtangga peternak domba subsisten memiliki
akses terhadap modal nafkah. Ellis (2000) membagi modal nafkah menjadi lima,
meliputi modal alam, modal manusia, modal fisik, modal sosial, dan modal finansial.
Namun distribusi modal nafkah ini berbeda dari masing-masing rumahtangganya.
Paparannya adalah sebagai berikut.
4.6.1 Modal Alam
Modal alam yang dimiliki rumahtangga peternak domba subsisten terdiri dari
lahan dan air. Lahan ini terbagi menjadi beberapa kategori, yakni (1) lahan sawah
berupa tanah bengkok dari pemerintah desa Gempol, lahan sawah milik orang lain
yang digarap oleh rumahtangga peternak domba subsisten dengan sistem bagi hasil,
dan lahan sawah karitatif atas Sustainable Development Program (SDP) dari PT.
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.; (2) lahan kandang domba yang berasal dari tanah
titisara yang disewakan oleh pihak desa Gempol kepada peternak yang mendapat
anakan domba hasil dari Program Inkubator Agribisnis Ternak, dan tanah milik
65
rumahtangga peternak domba subsisten sendiri yang dijadikan kebun dan atau
kandang domba; kemudian (3) lahan rumah milik rumahtangga peternak domba
subsisten sendiri yang dijadikan tanah tempat tinggal. Selain lahan, rumahtangga
informan pun memiliki sumber air yang berasal dari sumur. Hal ini serupa dengan
pernyataan Ellis (2000) dalam Saraswati dan Dharmawan (2014) bahwa modal alam
ini merupakan modal yang diperoleh dari alam atau lingkungan baik sumberdaya
yang dapat diperbaharui ataupun tidak dapat diperbaharui, seperti air dan tanah.
Tabel 16 memberikan gambaran bahwa seluruh rumahtangga informan
memiliki modal alam, namun dalam penguasaan yang berbeda-beda. Sumber air yang
dimiliki rumahtangga informan yang berasal dari sumur terbatas untuk keperluan
mandi, cuci, dan kakus saja dan tidak memiliki kontribusi terhadap pendapatan
rumahtangga, yang artinya sumber air tidak dijadikan sebagai sumber pendapatan.
Berbeda dengan sumber air, kepemilikan lahan hanya dimiliki oleh dua
rumahtangga informan saja. Rumahtangga informan yang memiliki bengkok bisa
mencapai dua kali panen dalam satu tahun. Selain dari hasil bengkok, rumahtangga
ini pun mendapatkan upah panen dari garapan sawah pihak lain yang memintanya.
Hal ini dipaparkan sebagai berikut.
“Kalo pengen duhur cepet selesei, ya berangkat jam tiga jam empat (subuh),
dapet lima kintal kan banyak. Dari satu orang dapet satu kintal, dapet dua
karung. Paling yang nyuruh lima orang, enem orang. Satu orang dua hari.
Sepanenan dapet lima kintal. Saya punya bengkok, sama kerja di orang lain.”
(TN, 41)
Berikutnya adalah rumahtangga informan yang memiliki modal alam berupa
lahan sawah yang pemberiannya secara karitatif melalui SDP dari PT. Indocement
66
Tunggal Prakarsa Tbk., lahan sawah tersebut digarap dan mengalami dua kali panen
dalam kurun waktu satu tahun. Hasil panen hanya digunakan untuk kebutuhan
rumahtangga informan saja. Selain itu, rumahtangga ini juga menjadi buruh tani di
lahan sawah milik pihak lain. Hal ini dipaparkan sebagai berikut.
Tabel 16. Modal Alam
No.
Informan
Modal Alam
1. SN 1) Sumber air
2. AS 1) Sumber air
3. AP 1) Sumber air
4. KJ
1) Sumber air; 2) Lahan sawah
karitatif
5. JL 1) Sumber air
6. RM 1) Sumber air
7. TM
1) Sumber air; 2) Lahan sawah
karitatif
Sumber : Data Primer, 2018
“Dapet lahan, masih di tanam. Kalo panen dapet tiga kintalan. Kalo enggak
bagus yah dapet sedikit, kurang dari tiga kintal lah. Waktu pas nanem awal itu
bisa beres satu sampai dua hari. Terus kuli di sawahnya orang. Kalo nanem
padi yah dua kali. Musim hujan mulai panen, musim gak hujan nanem lagi.
Dua kali nanem, dua kali panen. Kalo kuli sawah di orang, bayarannya itu
beda-beda. Ada yang dapet bedugan berupa uang, kalo saya sih dapetnya padi.
Kalo bedugan yah dapetnya uang 50 ribu. Kesepakatan dari yang minta tolong
udah dari dulunya.
Dapet beras yang sekintal padi tadi, kalo diberasin jadi 60 sampe 70 kilo,
nyusut sekitar 30 sampe 40 kilo. Kalo padi bagus itu, kalo jelek cuman 50 kilo.
Yah untung-untungan. Sama saya enggak dijual lagi, buat kebutuhan di rumah
aja, buat makan sehari-hari. Kalo buat beras yah punya padi sendiri, jadi
alhamdulillah yah.” (IS, 48; istri KS, 53)
67
Terdapat tanah titisara yang dijadikan sebagai kandang domba yang
digunakan oleh lima rumahtangga informan. Tanah titisara ini merupakan tanah yang
disewakan oleh desa Gempol dan uang hasil sewa tersebut akan masuk ke dalam kas
desa. Rumahtangga informan diberikan kebebasan akses untuk membuat kandang dan
memelihara domba diatas tanah tersebut.
4.6.2 Modal Manusia
Tabel 17 menunjukkan kepemilikan modal manusia pada rumahtangga
peternak domba subsisten. Tabel 16 tersebut memberikan gambaran bahwa seluruh
rumahtangga informan memiliki modal manusia yang dilibatkan dalam aktivitas
rumahtangga sehari-harinya. Pelibatan modal manusia ini meliputi kegiatan dalam
beternak, menjadi buruh tani, dan di luar kegiatan peternakan.
Kegiatan dalam beternak ini dibantu oleh istri dan anak di luar pekerjaan
suami. Pihak istri memberi makan ternak pada pagi hari, kemudian pergi mencari
rumput pada pukul 10 pagi sampai pukul satu siang, untuk selanjutnya diberikan
kepada ternak sekitar pukul dua atau setelah waktu asar. Hal ini dipaparkan sebagai
berikut.
“Kegiatan dari pagi biasa, masak-masak, nyuci baju, ngarit. Ngaritnya jam
sembilan atau setengah sepuluh aja, terus sampe duhur. Yang ngasih pakannya
baru mamah. Yah berarti ngasih pakannya dua kali, pagi sama sore aja.” (TI,
37; istri AP, 41)
Kegiatan menjadi buruh tani dilakukan baik oleh suami maupun istri. Kegiatan
ini berupa penggarapan sawah pihak lain dan berkebun. Selain itu modal manusia
68
juga tampak dari pelibatan anak yang bekerja di luar sektor peternakan, seperti yang
bekerja sebagai buruh pabrik, tukang bengkel, dan bekerja ke luar negeri.
Tabel 17. Modal Manusia
No.
Informan
Modal Manusia
1. SN
1) SN
2) Satu Adik
2. AS
1) AS
2) AM
3. AP
1) AP
2) TI
4. KJ
1) KJ
2) IS
5. JL
1) JL
2) ST
3) Dua anak
6. RM
1) RM
7. TN
1) TN
2) MB
3) Dua Anak
Sumber : Data Primer, 2018
Hal yang menjadi perhatian dalam modal manusia dari rumahtangga informan
ini adalah total informan baik suami maupun istri berada pada tingkat pendidikan
Sekolah Dasar. Padahal tingkat pendidikan yang tinggi dapat berpengaruh terhadap
pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan (Sembiring dan Dharmawan, 2014).
69
Pendidikan diatas tingkat Sekolah Dasar bisa diakses oleh anak atau kerabat
dari informan. Anak dan kerabat dari rumahtangga informan yang memiliki
pendidikan diatas tingkat Sekolah Dasar dan telah bekerja adalah sebesar 42,9% yang
mana hanya tiga rumahtangga saja yang mengalaminya. Sebaran pekerjaannya
meliputi guru madrasah, tukang dan buruh pabrik. Sisanya untuk anak-anaknya masih
berada pada bangku sekolah dan belum berkontribusi terhadap nafkah
rumahtangganya.
Menurut Sembiring dan Dharmawan (2014) bahwa alokasi tenaga kerja dalam
rumahtangga sangat mempengaruhi tingkat pendapatan rumahtangga. Rumahtangga
yang hanya berpegang pada satu orang sebagai pencari nafkah rumahtangga akan
cenderung lebih rentan secara perekonomian dibandingkan dengan rumahtangga yang
memiliki beberapa anggota sebagai pencari nafkah. Total terdapat tiga rumahtangga
informan yang memiliki tenaga kerja selain dari kepala keluarganya, sedangkan
empat sisanya didominasi oleh kepala keluarga saja sebagai pencari nafkah.
4.6.3 Modal Fisik
Tabel 18 menunjukkan distribusi kepemilikan modal fisik. Setiap
rumahtangga peternak domba subsisten memiliki modal fisik, namun kepemilikannya
berbeda antar rumahtangga. Modal fisik sebagai modal yang dapat diciptakan oleh
manusia ini memiliki bentuk sebagai infrastruktur (Ellis, 2000; dalam Saraswati dan
Dharmawan, 2014). Infrastruktur yang berhasil diciptakan atau didapatkan oleh
rumahtangga informan ini berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda
bergerak ini berupa ternak domba, sedangkan benda tidak bergerak seperti
kepemilikan terhadap sepeda, sepeda motor dan warung.
70
Infrastruktur ini pada akhirnya saling terkait. Pekerjaan utama yang dijalani
oleh rumahtangga informan diakses menggunakan sepeda atau sepeda motor, atau
pakan yang dibutuhkan oleh ternak domba dicari dan diangkut menggunakan sepeda
atau sepeda motor. Distribusi modal fisik yang dimiliki oleh rumahtangga informan
didominasi oleh kepemilikan ternak domba sebanyak 100%, kemudian untuk
kepemilikan sepeda atau sepeda motor sebanyak 71,4% dan yang memiliki warung
28,6%.
Tabel 18. Modal Fisik
No.
Informan
Modal Fisik
1 SN 1) Ternak Domba
2) Motor
2 AS 1) Ternak Domba
3 AP 1) Ternak Domba
2) Motor
4 KJ
1) Ternak Domba
2) Motor
3) Sepeda
5 JL
1) Ternak Domba
2) Motor
3) Sepeda
6 RM 1) Ternak Domba
7 TN
1) Ternak Domba
2) Motor
3) Sepeda
Sumber : Data Primer, 2018
Kehadiran infrastruktur tersebut membantu mempermudah pekerjaan sehari-
hari. Kepemilikan warung yang berada di tempat tinggal rumahtangga informan
71
hanya ditemui pada satu rumahtangga saja. Kemudian satu rumahtangga lain aktif
bekerja sebagai pedagang keliling. Serupa dengan pernyataan beberapa informan
sebagai berikut.
“Kalo ini warung punya ibu, yah warung tambahan nganggur aja. Dibikinin
bapak, dari pada nganggur gitu. Warung ini yah suka ada yang beli kesini, tapi
jarang. Yah saya nunggu aja dari pada jenuh.” (IS, 48; istri KJ, 53)
“Saya jualan baso. Jualan pagi-pagi sampe jam dua ato sampe jam empat sore.
Jualan baso gak tiap hari, kadang seminggu empat kali. Selasa, Rebo, Sabtu,
sama Minggu jualan. Jumat sama Kemis di rumah aja. Saya jualan baso empat
hari seminggu, nyari hari yang ramenya aja. Kalo tiap hari biasanya suka sepi
ya saya kesel. Kadang ngambil baso terus diutangin ke orang biar setoran jejeg
gitu aja. Pas ketemu lagi dibayar. Yang penting setoran penuh.” (ST, 53; istri
JL, 62)
4.6.4 Modal Sosial
Modal sosial dalam penelitian ini meliputi rasa percaya (trust), jejaring
(network), dan norma (norm). Pemanfaatan jaringan atau jaringan sosial menjadi
salah satu strategi untuk mengatasi kesulitan ekonomi (Yuliana dkk., 2016).
Cakupan modal sosial dapat dilihat pada Tabel 19. Rumahtangga peternak
domba subsisten tampak memiliki modal sosial tersebut. Pada rumahtangga SN (40),
modal sosial yang dimilikinya berupa jejaring (network) terhadap kerabat dan teman.
Bila SN (40) dan rumahtangganya mengalami kesulitan ekonomi, maka dapat
memanfaatkan jejaring tersebut untuk meminta bantuan seperti meminjam uang atau
barang. Jejaring ini tidak akan terbentuk bila tidak ada rasa percaya antar pelaku
dalam jejaring, sehingga rasa percaya tersebut menjadi pembentuk jejaring. Dua
aspek tersebut dapat berjalan pula karena adanya norma yang menjadi aturan yang
72
mengikat antar pelakunya. Penggunaan norma tersebut tergambar dari rumahtangga
AS (40) ketika anaknya sakit meminta bantuan kepada kakaknya berupa pinjaman
uang. Proses meminjam uang tersebut menghasilkan satu kesepakatan pembayaran
sampai lunas tapi dalam jangka waktu yang panjang. Kesepakatan pembayaran dalam
jangka lama ini dianggap sebagai norma yang terbentuk karena adanya hubungan
kekerabatan meskipun tidak tertulis. Jejaring antar teman pun menghasilkan tawaran-
tawaran pekerjaan, seperti yang terjadi pada keseluruhan rumahtangga peternak
domba subsisten. Tawaran pekerjaan tersebut meliputi pekerjaan menjadi buruh tani,
buruh di kebun, dan buruh bangunan.
Tabel 19. Modal Sosial
No.
Informan
Modal Sosial
1 SN
1) Kerabat
2) Teman
2 AS
1) Kerabat
2) Teman
3 AP
1) Kerabat
2) Teman
4 KJ
1) Kerabat
2) Teman
5 JL
1) Kerabat
2) Teman
6 RM
1) Kerabat
2) Teman
7 TN
1) Kerabat
2) Teman
Sumber : Data Primer, 2018
Jaringan yang terbentuk dengan pihak PT. Indocement Tunggal Prakarsa
Tbk., pun menjadi suatu modal sosial. Penawaran Program Inkubator Agribisnis
73
Ternak kepada informan dari rumahtangga peternak domba pun dimanfaatkan oleh
informan sebagai modal sosial sehingga memiliki ternak domba, kandang domba, dan
kemampuan memelihara domba. Kegiatan tersebut juga melibatkan aspek rasa
percaya dalam proses seleksi program dan norma yang mengikat dalam kegiatan
tersebut. Norma tersebut berupa aturan tertulis seperti Standar Operating Procedure
(SOP) program.
Menurut Ellis (2000) dalam Saraswati dan Dharmawan (2014) bahwa modal
sosial dapat berupa trust, networking, organisasi dan segala bentuk hubungan untuk
bekerja sama serta memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan
ekonomi. Hal ini tergambar ketika tiap rumahtangga informan mengalami kebuntuan
dalam proses mencari nafkah atau sedang tidak bekerja pada pekerjaan utamanya,
maka saudara, tetangga atau teman akan menawarkan pekerjaan lain. Pekerjaan yang
ditawarkan berasal dari sektor pertanian maupun di luar sektor tersebut, seperti
menjadi buruh tani atau kuli bangunan. Hal ini tergambar dari pernyataan Bapak SL
(40) yang mendapatkan tawaran pekerjaan selain beternak dari lingkup pertemanan
dan hubungan kekerabatannya sebagai berikut.
“Kerjaan bakar bata dikenalin sama temen, kenal sama direkturnya, bos lah
istilahnya. Letaknya itu di BUMDES Gempol. Sifatnya itu borongan, sehari
kerjanya itu 10 jam, langsung selese. Terus bantu bangun rumah saudara, yak
karena ditawarin sodara.”
4.6.5 Modal Finansial
Modal finansial yang dimanfaatkan oleh rumahtangga peternak domba
subsisten mencakup pinjaman dan remitan. Pinjaman pun tidak dilakukan ke bank,
tapi terbatas pada saudara seperti kakak, adik, atau orang tua. Remitan diterima oleh
74
rumahtangga peternak domba subsisten yang memiliki anak yang bekerja di luar
kabupaten atau luar negeri. Remitan tersebut bisa diterima tiap bulan atau bahkan
jarang. Penggunaannya pun bisa dilakukan untuk pengeluaran bulanan atau hanya
dikeluarkan ketika ada keperluan mendadak saja. Rumahtangga peternak domba
subsisten pun jarang yang memiliki tabungan. Tabungan yang dimiliki berupa arisan
antar tetangga dan tidak tampak ada tabungan di bank. Cakupan modal finansial dapat
dilihat pada Tabel 20 berikut.
Tabel 20. Modal Finansial
No.
Informan
Modal Finansial
1 SN
1) Ternak Domba
2) Pinjaman pada Kerabat
2 AS
1) Ternak Domba
2) Pinjaman pada Kerabat
3 AP
1) Ternak Domba
2) Pinjaman pada Kerabat
4 KJ
1) Ternak Domba
2) Arisan
5 JL
1) Ternak Domba
2) Pinjaman pada Kerabat
3) Arisan
6 RM
1) Ternak Domba
2) Karitatif Pemerintah
7 TN
1) Ternak Domba
2) Pinjaman pada Kerabat
Sumber : Data Primer. 2018
Menurut Saraswati dan Dharmawan (2014), bahwa cakupan modal finansial
adalah akses terhadap pinjaman, kemampuan menabung, dan penerimaan remitan.
Rumahtangga peternak domba alumni memiliki akses pinjaman 100% terhadap
75
tetangga dan kerabat, dan tidak ditemui rumahtangga peternak domba alumni yang
meminjam uang kepada pihak bank. Pernyataan ini dipaparkan sebagai berikut.
“Dulu ditawarin bank harian buat modal. Tapi saya takut gak bisa bayar
hutang. Suka ada bank harian sama bank bulanan, tapi saya gamau. Kalo
punya sendiri mau abis mau gimana yah biarin. Kalo pinjem satu juta, paling
jadi sembilan ratus atau delapan ratus, saya gamau. Saya punya sendiri bank
harian, itu suami saya. Takut kalo pinjem-pinjem, gak berani. Punya gak
punya yaudah diem aja.” (IS, 48; istri KJ, 53)
Barang yang dipinjamnya meliputi uang atau beras. Tujuannya adalah untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini serupa dengan pernyataan sebagai berikut.
“Bila kebutuhan ekonomi harian atau bulanan tidak mencukupi misalnya untuk
bekal sekolah anak dan untuk makan sehari-hari, maka akan meminjam dan
tidak sampai menjual domba. Pekerjaan utamanya sepi parah, yah meminjam
pada saudara.” (AS, 40)
Tingkat kemampuan menabungnya pun bervariasi. Rumahtangga yang tidak
dapat menyisihkan pendapatannya sebanyak 57,1%, dapat menyisihkan pendapatan
namun tidak rutin sebanyak 42,9%, dan nol persen rumahtangga yang menyisihkan
pendapatannya secara rutin. Rumahtangga yang dapat menyisihkan pendapatannya
namun tidak rutin ini menyimpan pendapatannya dalam bentuk kegiatan arisan dan
barang berupa emas. Selain itu juga, tabungan yang dimiliki rumahtangga diluar dari
pendapatan hariannya adalah ternak domba yang akan dijual ketika terjadi keadaan
yang sangat kritis seperti kondisi anak sakit atau biaya pendidikan anak. Berikut
dipaparkan pernyataan beberapa informan.
76
“Anak mamah sakit yang kecil, Rosiandi. Sampe dirawat di rumah sakit.
Pinjem sana gak ada, pinjem sini gak ada. Akhirnya dapet dari sodara. Jadi
kondisinya mamah masih berhutang. Masih dalam sisaan. Nungguin domba
gede.” (AM, 40; istri AH, 40)
“Domba itu ya sebagai sampingan lah. Kalo ada yang gede-gede baru dijual.
Buat kebutuhan lah. Kalo ada kebutuhan yang berat-berat yah dijual. Kalo
kebutuhan yang berat itu yah sepatu sekolah anak-anak, pas anak-anak
kenaikan sekolah. Kalo minta tour, karena mendadak jadi yah agak berat.
Kebutuhan sehari-hari mah kalo gak ada bisa dengan minjem dulu ke adek, ke
mamah.” (TI, 37; istri AP, 41)
Remitan merupakan pendapatan yang diterima oleh rumahtangga dari anggota
rumahtangga yang bekerja di luar daerah, biasanya remitan diberikan oleh anak
kepada orang tuanya. Remitan ini bisa diberikan secara rutin atau jarang.
Rumahtangga peternak domba subsisten yang tidak menerima remitan sebanyak
28,6% karena belum adanya anak yang bekerja di luar daerah dan yang dilibatkan
dalam kegiatan nafkah baru suami dan istri saja; kemudian yang menerima remitan
namun jarang sebanyak 42,9% karena adanya anak yang sudah menikah dan tinggal
jauh dari orang tua dan pemberian remitan tersebut tidak menentu seperti pada hari
besar saja atau kurang dari itu, atau anak yang belum menikah namun pendapatannya
belum stabil; dan rumahtangga yang rutin menerima remitan setiap bulannya dari
anak yang bekerja di luar kabupaten maupun di luar negeri sebanyak 28,6%. Menurut
Saraswati dan Dharmawan (2014) bahwa pemanfaatan remitan ini bisa digunakan
untuk keperluan sehari-hari maupun keperluan mendadak.