35
IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Demografi Objek Penelitian
Demografi data dari objek penelitian dalam
penelitian ini ditampilkan pada Tabel 4.1, yaitu
berisi data mengenai jenis kelamin, jenis SKPD,
lama bekerja di SKPD, lamanya pengalaman
menyusun anggaran responsif gender, jabatan dan
pendidikan terakhir.
Tabel 4.1 Data Demografi Responden
Demografi Responden Jumlah %
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
35 55
38,89% 61,11%
Unit/ SKPD
1. Bapedda 2. Bapermasper 3. Dinas Kesehatan 4. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga
5. Inpektorat 6. Perhubungan, Komunikasi, Kebudayaan
dan Pariwisata 7. Perpustakaan dan Arsip Daerah 8. Sekretariat DPRD 9. Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah 10. Sosial, Ketenagakerjaan, dan Transmigrasi
11. Pertanian dan Perikanan 12. Bagian Kesejahteraan Rakyat Setda 13. Kesatuan Bangsa dan Politik 14. Bagian Organisasi dan Kepegawaian Setda 15. Badan Kepegawaian Daerah 16. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan
Penanaman Modal 17. Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan
UMKM 18. Lingkungan Hidup 19. Cipta Karya dan Tata Ruang 20. Bagian Administrasi dan Pembangunan
Setda 21. Kecamatan Sidorejo 22. Kecamatan Tingkir 23. Kecamatan Sidomukti 24. Kecamatan Argomulyo 25. Bina Marga dan Pengelolaan Sumber Daya
Air
26. Kependudukan dan Catatan Sipil
5 5 6 2
4 5
5 2 6
5
5 3 2 3 5 2
3
5 1 2
1 2 3 1 4
3
5,55% 5,55% 6,67% 2,22%
4,44% 5,55%
5,55% 2,22% 6,67%
5,55%
5,55% 3,33% 2,22% 3,33% 5,55% 2,22%
3,33%
5,55% 1,11% 2,22%
1,11% 2,22% 3,33% 1,11% 4,44%
3,33%
36
Sumber: Data Primer yang diolah, Maret 2014.
Berdasarkan Table 4.1 dapat dilihat data demografi
responden menurut jenis kelamin, yang terdiri dari 35
laki-laki dan 55 perempuan. Berdasarkan unit/SKPD,
terdapat 26 unit/SKPD yang diteliti. Penyebaran
kuesioner disesuaikan dengan jumlah pegawai yang
pernah terlibat dalam proses penyusunan ARG.
Berdasarkan lama bekerja di SKPD, sebagian besar
responden (51,11%) merupakan pekerja junior yakni
baru bekerja kurang dari 5 tahun, sementara sekitar
24,44% merupakan pegawai yang telah bekerja 5
sampai 10 tahun, dan 24,44% lainnya merupakan
pegawai senior yang telah bekerja lebih dari 10 tahun.
Berdasarkan pengalaman menyusun ARG, ternyata
sebagian besar responden (67,78%) memiliki
pengalaman kurang dari satu tahun. Hal ini
disebabkan oleh karena penerapan ARG baru berjalan
kurang lebih tiga tahun sejak 2011. Responden
Lama Bekerja di SKPD
< 5 tahun 5-10 tahun > 10 tahun
46 22 22
51,11% 24,44% 24,44%
Pengalaman menyusun
ARG
≤ 1 tahun > 1 tahun
61 29
67,78% 32,22%
Jabatan
Kepala Kantor/Dinas Sekretaris Kepala Bagian (Kabag)
Kepala Sub Bagian (Kasubag) Kepala Bidang (Kabid) Kepala Sub Bidang (Kasubid) Kepala Seksi (Kasi) Staff
1 1 1
6 4 17 18 42
1,11% 1,11% 1,11%
6,67% 4,44%
18,88% 20,00% 46,67%
Pendidikan Terakhir
SLTA
D3
S1
S2
4 12 56 18
4,44% 13,33% 62,22%
20%
Tabel 4.1
Data Demografi Responden(Lanjutan)
37
terbanyak berasal dari pegawai yang menjabat
sebagai staf di SKPD (46,67%), diikuti oleh Kepala
Seksi (20%), Kepala Sub Bagian (18,88%), Kepala
Sub Bidang (6,67%), Kepala Bidang (4,44%), dan
Kepala Bagian, Sekretaris dan Kepala Kantor
(1,1%). Selanjutnya, terdapat 59,7% responden
lulusan S1, 21,9% responden lulusan S2, 13,4%
dari D3 dan 4,8% merupakan lulusan SLTA.
Statistik Deskriptif Objek Penelitian
Statistik deskriptif dari indikator-indikator
dalam penelitian ini dijelaskan melalui nilai
Minimum, Maximum, Mean (rata-rata), dan Standar
Deviasi dari tiap indikator, seperti terlihat dalam
Tabel 4.2. Melalui Tabel 4.2 tersebut dapat dilihat
bahwa nilai rata-rata total dari kinerja penyusunan
ARG (KPRG) tergolong sedang. Hal ini menunjukkan
bahwa pegawai pemkot Salatiga memiliki kinerja
yang masih perlu ditingkatkan lagi dalam proses
penyusunan ARG. Kinerja yang dalam kategori
sedang ini dapat disebabkan oleh karena penerapan
proses penyusunan ARG ini baru diterapkan
kurang lebih tiga tahun sehingga ke depannya
diharapkan ke depannya kinerja penyusunan ARG
ini dapat meningkat.
38
Tabel 4.2
Statistik Deskriptif Indikator-indikator dalam Variabel
Indikator N Min Max Mean Stdev
KARG1 Mengidentifikasi kebutuhan laki-laki dan perempuan sebelum menyusun anggaran.
90 1 4 2,9333 0,4926
KARG2 Menyusun Gender Analysis Pathway, Gender Budget Statement dan Kerangka Acuan Kerja setelah mengidentifikasi kebutuhan.
90 1 4 2,9667 0,4091
KARG3
Menetapkan program dan kegiatan dalam APBD sesuai Gender Analysis Pathway, Gender Budget Statement dan Kerangka Acuan Kerja.
90 2 4 2,9667 0,3807
KARG4 Program dan kegiatan memperhatikan kesetaraan jumlah laki-laki dan perempuan dalam menikmati sumber daya.
90 2 4 3,0111 0,3820
KARG5
Program dan kegiatan memberikan proporsi anggaran yang setara antara laki-laki dan perempuan.
90 2 4 2,9111 0,4144
KARG6 Program dan kegiatan menyediakan kenyamanan fasilitas yang setara bagi kaum laki-laki dan perempuan.
90 2 4 3,0000 0,4971
KARG7 Program dan kegiatan melibatkan keikutsertaan yang merata antara laki-laki dan perempuan.
90 2 4 2,9667 0,4357
KARG8 Anggaran dialokasikan berdasarkan hasil
analisis gender yang telah dilakukan. 90 2 4 2,9000 0,4983
Rata-rata Kinerja Penyusunan ARG 2,2907 0,4387
KO1 Kebanggaan berkerja pada organisasi khususnya sebagai penyusun anggaran.
90 1 4 2,3556 0,7080
KO2 Berusaha keras untuk menyukseskan organisasi.
90 1 4 2,6667 0,5996
KO3 Kesediaan menerima tugas demi organisasi sebagai penyusun anggaran.
90 1 4 2,6889 0,5537
KO4 Kesamaan nilai individu dengan nilai organisasi.
90 1 4 2,9444 0,4334
KO5 Kebanggaan menjadi bagian dari organisasi penyusun anggaran.
90 1 4 2,4111 0,7172
KO6 Senang atas pilihan bekerja di organisasi tersebut.
90 1 4 2,6444 0,5469
Rata-rata Komitmen Organisasi 2,6185 0,5931
TE1 Banyaknya Peraturan Pemsat dan Pemda terkait penyusunan ARG yang sulit dimengerti.
90 1 4 2,6111 0,6481
TE2 Banyaknya Peraturan Pemsat dan Pemda terkait penyusunan ARG yang membuat jenuh.
90 1 4 2,3333 0,5805
TE3 Meningkatnya kritik dari LSM dan 90 1 4 2,3111 0,6115
39
akademisi membuat saya sangat terbeban.
TE4 Budaya birokrasi di lingkungan pemkot turut membuat saya jenuh dalam penyusunan ARG.
90 1 4 2,3444 0,5641
TE5 Terhambat dalam penyusunan ARG karena banyaknya aturan.
90 1 4 2,4111 0,5976
Rata-rata Tekanan Eksternal 2,4022 0,6003
KL1 Memahami dengan jelas cara menyusun GAP, GBS dan KAK.
90 1 4 2,5444 0,5836
KL2 Memiliki informasi penting untuk membuat keputusan terkait GAP, GBS dan KAK.
90 1 4 2,6556 0,5836
KL3 Sangat mudah untuk mengukurapakah saya telah membuat keputusan yang benar terkait penyusunan GAP, GBS dan KAK.
90 1 4 2,4667 0,5648
KL4 Memahami tindakan untuk menyelesaikan penyusunan GAP, GBS dan KAK yang dibebankan kepada saya
90 1 4 2,6444 0,5865
KL5
Sangat mudah untuk mengetahui apakah cara-cara yang saya tempuh dalam menyusun GAP, GBS dan KAK bisa mencapai sasaran atau tidak.
90 1 4 2,4111 0,6161
Rata-rata Ketidakpastian Lingkungan 2,5444 0,5869 Sumber: Data Primer yang diolah, April 2014.
Interval dari nilai rata-rata (mean) di atas
dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini:
i 1 Dengan demikian, gambaran tinggi rendahnya
ketiga variabel independen di atas dapat
dikategorikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Kategori Variabel Independen
Skor Kategori
3 ≤ x = 4 Tinggi
2 ≤ x < 3 Sedang
1 ≤ x < 2 Rendah
Tabel 4.2
Statistik Deskriptif Indikator-indikator dalam Variabel (Lanjutan)
40
Nilai rata-rata total kinerja penyusunan ARG
(KPRG) sebesar 2,2907 merupakan angka yang
tergolong sedang. Enam indikator yang membentuk
variabel ini memiliki nilai rata-rata sedang. Sedangkan
dua indikator lainnya memiliki nilai rata-rata tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa kinerja dalam penyusunan
ARG masih perlu ditingkatkan lagi.
Nilai rata-rata total dari komitmen organisasi (KO)
sebesar 2,6185 merupakan angka yang tergolong
sedang. Enam indikator yang membentuk variabel ini
memiliki nilai rata-rata sedang. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa rata-rata pegawai pemkot Salatiga
belum memiliki komitmen yang sungguh dalam
penyusunan ARG. Berdasarkan hasil wawancara yang
diperoleh, tampak bahwa ternyata pemahaman pegawai
pemerintah kota terhadap ARG masih sangat rendah,
sehingga berdampak pada komitmen untuk menyusun
ARG. Hal ini dapat menjawab hasil penelitian Nordiana
(2010) bahwa salah satu alasan sebuah anggaran
belum responsif gender adalah karena kurangnya
komitmen pegawai dalam menyusun ARG tersebut.
Nilai rata-rata total dari tekanan eksternal (TE)
dalam proses penyusunan ARG sebesar 2,4022
menunjukkan angka rata-rata sedang. Lima indikator
di dalamnya juga menunjukkan nilai rata-rata sedang.
Hal ini menandakan bahwa rata-rata pegawai
pemerintah kota Salatiga cukup merasakan adanya
41
tekanan dalam penyusunan ARG. Namun angka
rata-rata tekanan eksternal ini masih berada di
bawah angka rata-rata komitmen organisasi,
sehingga dapat dikatakan bahwa komitmen pegawai
masih lebih tinggi dibandingkan tekanan yang
dirasakan.
Nilai rata-rata total dari ketidakpastian
lingkungan (KL) dalam penyusunan ARG sebesar
2,5444 merupakan angka rata-rata yang tergolong
sedang. Dari lima indikator di dalamnya, semua
indikator menunjukkan angka rata-rata sedang. Hal
ini menyimpulkan bahwa pegawai pemerintah kota
Salatiga cukup merasakan adanya ketidakpastian
lingkungan yang ditunjukkan dengan mutasi
pegawai dalam periode tertentu dan perubahan
peraturan terkait proses penyusunan ARG. Namun
jika dicermati, angka rata-rata ketidakpastian
lingkungan ini lebih kecil dibandingkan dengan
komitmen organisasi. Dengan demikian, komitmen
organisasi masih memiliki angka rata-rata lebih
tinggi dibandingkan ketidakpastian lingkungan.
Rata-rata total dari keempat variabel dalam
penelitian ini tidak ada yang menunjukkan angka
rata-rata rendah. Semua variabel menunjukkan
angka rata-rata sedang. Berdasarkan hal ini maka
dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata dari
42
keempat variabel cukup mendukung model penelitian.
Standar deviasi dari keempat variabel dalam
penelitian ini juga menunjukkan hasil yang baik karena
dari semua indikator yang membentuk keempat
variabel tersebut, nilai standar deviasinya berada di
bawah nilai rata-rata dari masing-masing indikator.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyebaran
data dalam penelitian ini merata, sebab perbedaan
(varian) data yang satu dengan data yang lain tidak
tergolong tinggi.
Hasil Pengujian
Validitas dan Reliabilitas
Pada metode Structural Equation Model (SEM) sudah
terdapat rumusan untuk menguji validitas dan
reliabilitas. Cara yang sering digunakan oleh peneliti di
bidang SEM untuk melakukan pengukuran melalui
analisis faktor konfirmatori adalah dengan
menggunakan pendekatan MTMM (MultiTrait-
MultiMethod) dengan menguji validitas konvergen dan
diskriminan (Campbell dan Fiske, dalam Latan dan
Ghozali, 2012;78). Uji validitas konvergen indikator
refleksif dengan program SmartPLS 2.0 M3 dapat
dilihat dari total effectsuntuk setiap indikator konstruk.
Rule of thumb yang biasanya digunakan untuk menilai
validitas konvergen yaitu nilai loading factor harus lebih
dari 0,7 dan nilai average variance extracted (AVE)
harus lebih besar dari 0,5. Namun untuk penelitian
43
tahap awal dari pengembangan skala pengukuran,
nilai loading factor 0,5-0,6 masih dianggap cukup
(Chin, 1998 dalam Latan dan Ghozali, 2012; 78).
Cara menguji validitas diskriminan dengan
indikator refleksif yaitu dengan melihat nilai cross
loading untuk setiap variabel. Nilai cross loading
harus di atas 0,6. Butir-butir pernyataan yang tidak
memenuhi kriteria valid tersebut tidak dapat
diikutkan dalam pengujian selanjutnya (Wijanto,
2008). Pengujian yang dilakukan dengan SmartPLS
menunjukkan hasil seperti Tabel 4.4 di bawah ini:
Tabel 4.4 Uji Validitas Indikator (Awal)
Indikator
Load
Factor
> 0,60
Cross
Loading>
0,60
AVE Communality Validitas
KPRG1 0,496 0,496
0,414 0,414
Tidak Valid
KPRG2 0,524 0,523 Tidak Valid
KPRG3 0,584 0,584 Tidak Valid
KPRG4 0,580 0, 580 Tidak Valid
KPRG5 0,799 0,799 Valid
KPRG6 0,688 0,688 Valid
KPRG7 0,666 0,666 Valid
KPRG8 0,808 0,808 Valid
KO1 0,804 0,804
0,490 0,490
Valid
KO2 0,662 0,661 Valid
KO3 0,669 0,669 Valid
KO4 0,549 0,549 Tidak Valid
KO5 0,814 0,813 Valid
KO6 0,669 0,669 Valid
TE1 0,674 0,673
0,520 0,520
Valid
TE2 0,918 0,918 Valid
TE3 0,839 0,838 Valid
TE4 0,434 0,433 Tidak Valid
TE5 0,543 0,542 Tidak Valid
44
KL1 0,772 0,771
0,682 0,682
Valid
KL2 0,814 0,813 Valid
KL3 0,857 0,857 Valid
KL4 0,873 0,872 Valid
KL5 0,811 0,810 Valid
Sumber: Data output software SmartPLS 2.0 M3, 2014.
Tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa terdapat
beberapa indikator yang belum memenuhi syarat
validitas konvergen dan diskriminan. Hal ini dapat
dilihat dari nilai loading factor dan cross loading yang
lebih kecil dari 0,6 dan nilai AVE dari dua konstruk
yang lebih kecil dari 0,5. Melalui uji validitas ini maka
dinyatakan bahwa indikator yang tidak valid menurut
Wijanto (2008) tidak dapat digunakan dalam pengujian
selanjutnya. Indikator yang dikeluarkan dalam
pengujian selanjutnya adalah KPRG1, KPRG2, KPRG3,
KPRG4, KO4, TE4, dan TE5.
Hasil uji validitas dari output SmartPLS 2.0 M3
setelah beberapa indikator tersebut dihilangkan
menunjukkan bahwa semua indikator dinyatakan valid.
Hal ini seperti terlihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Uji Validitas Indikator (Lanjutan)
Indikator
Load Factor
> 0,60
Cross Loading
> 0,60 AVE Communality Validitas
KPRG5 0,830 0,830
0,6059 0,6059
Valid
KPRG6 0,716 0, 716 Valid
KPRG7 0,771 0, 771 Valid
KPRG8 0, 792 0,792 Valid
KO1 0,797 0,797
0,5272 0,5272
Valid
KO2 0, 652 0, 652 Valid
KO3 0,659 0,659 Valid
KO5 0,849 0,849 Valid
KO6 0,647 0,647 Valid
45
TE1 0,673 0,673
0,6821 0,6821
Valid
TE2 0,928 0,928 Valid
TE3 0,855 0,855 Valid
KL1 0,758 0,758
0,6876 0,6876
Valid
KL2 0,783 0,783 Valid
KL3 0,869 0,869 Valid
KL4 0,885 0,885 Valid
KL5 0,829 0,829 Valid
Sumber: Data output software SmartPLS 2.0 M3, 2014.
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa variabel kinerja
penyusunan ARG sekarang hanya diwakili oleh
empat indikator yang dinilai valid (KPRG5, KPRG6,
KPRG7, dan KPRG8). Variabel komitmen organisasi
diwakili oleh lima indikator yang valid (KO1, KO2,
KO3, KO5, dan KO6). Variabel tekanan eksternal
diwakili oleh tiga indikatornya yang dinilai valid
(TE1, TE2, dan TE3). Sedangkan untuk variabel
ketidakpastian lingkungan tidak ada perubahan
dalam jumlah indikator karena semua indikator di
dalamnya dinilai valid. Selanjutnya, nilai AVE dan
communality menunjukkan angka di atas 0,5 yang
berarti bahwa lebih dari 50% variance indikator
dapat dijelaskan. Dengan demikian, syarat validitas
konvergen dan diskriminan telah terpenuhi.
Kecocokan Model Pengukuran (Outer Model)
Tahapan kedua adalah pengujian model
kecocokan pengukuran yang dilakukan terhadap
masing-masing konstruk laten yang ada di dalam
model. Pemeriksaan terhadap konstruk laten
dilakukan terkait dengan pengukuran konstruk
laten oleh variabel manifest (indikator). Dengan kata
46
lain, akan dilakukan pengecekan reliabilitas dari
variabel teramati. Pengecekan reliabilitas dilakukan
untuk membuktikan akurasi, konsistensi dan
ketepatan instrument dalam mengukur konstruk.
Dalam PLS-SEM yang menggunakan program
SmartPLS 2.0 M3, pengukuran reliabilitas suatu
konstruk dengan indikator refleksif dapat dilakukan
dengan melihat nilai composite reliability dan cronbach’s
alpha. Nilai composite reliability dan cronbach’s alpha
harus lebih besar dari 0,70 (Latan dan Ghozali, 2012).
Hasil perhitungan yang dilakukan terhadap data
menggunakan SmartPLS 2.0 M3 mendapatkan angka-
angka seperti tampilan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil Uji Reliabilitas
Variabel
Laten
Composite
Reliability ≥ 0,70
Cronbach’s
Alpha Kesimpulan
KPRG 0,8598 0,7924 Reliabel
KO 0,8461 0,7908 Reliabel
TE 0,8635 0,7688 Reliabel
KL 0,9164 0,8923 Reliabel
Sumber: Data output software SmartPLS 2.0 M3, 2014.
Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa semua variabel
memiliki nilai composite reliability dan cronbach’s alpha
di atas 0,70, sehingga dinyatakan reliabel.
Kecocokan Model Struktural (Inner Model)
Tahapan ketiga dalam pengukuran SEM adalah
kecocokan model struktural yang digunakan juga
47
untuk pengujian hipotesis dalam penelitian ini.
Dalam menilai model struktural dengan PLS,
dimulai dengan menilai R-Square untuk setiap
variabel laten endogen sebagai kekuatan prediksi
dari model struktural. Pengaruh nilai R-Square
dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh
variabel laten eksogen tertentu terhadap variabel
laten endogen apakah mempunyai pengaruh yang
substantif. Nilai R-Square 0,75, 0,50 dan 0,25
menunjukkan bahwa model kuat, moderate dan
lemah yang merepresentasikan besarnya jumlah
variance konstruk yang dijelaskan oleh model.
Evaluasi model dilakukan dengan melihat nilai
signifikansi untuk mengetahui pengaruh antar
variabel. Evaluasi model struktural berkaitan
dengan pengujian hubungan antar variabel yang
sebelumnya dihipotesiskan. Di tahap terakhir ini
akan dilihat pengaruh hubungan antar variabel
laten dan signifikansinya. Pengaruh hubungan
dapat dilihat dari tanda positif (+) atau negatif (-)
yang ditampilkan dari dari output SmartPLS 2.0
M3, sedangkan tingkat signifikansi dapat dilihat
dari nilai t-value ≥ 1,96. Hasil pengujian data
menggunakan SmartPLS 2.0 M3 dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4.7 Hasil Uji Kecocokan Model Struktural
48
Variabel Laten R Square
Kinerja Penyusunan ARG
0,253286 Komitmen Organisasi
Tekanan Eksternal
Ketidakpastian Lingkungan
Sumber: Data output software SmartPLS 2.0 M3, 2014.
Dari hasil yang tampak pada Tabel 4.7 dapat dilihat
nilai R-Square variabel KPRG adalah 0,253286 yang
berarti bahwa model termasuk dalam kategori lemah.
Tabel 4.8 Hasil Kecocokan Model Struktural
Hipotesis Path Total
effects
T-Value ≥
1,96 Kesimpulan
H1 KO KPRG 1,3676 2,886730 Signifikan
H2 KO*KL KPRG -1,6737 2,914740 Signifikan
H3 KO*TE KPRG 0,094 0,330662 Tidak Signifikan
Sumber: Data output software SmartPLS 2.0 M3, 2014.
Tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa variabel
komitmen organisasi (KO) memiliki pengaruh positif
sebesar 1,3676 terhadap variabel kinerja penyusunan
ARG. Sementara interaksi antara variabel komitmen
organisasi dengan ketidakpastian lingkungan memiliki
pengaruh negatif sebesar -1,6737 terhadap kinerja
ARG. Selanjutnya interaksi antara komitmen organisasi
dengan tekanan eksternal memiliki pengaruh positif
sebesar 0,094 terhadap kinerja ARG namun angka ini
tidak signifikan karena nilai t-staistic < 1,96.
Pembahasan
Berdasarkan pengujian hipotesis pada bagian
sebelumnya, maka dapat dikonfirmasikan bahwa
49
komitmen organisasi terbukti berpengaruh positif
terhadap kinerja penyusunan ARG. Hasil ini
memperkuat hasil penelitian Rubin dan Bartle
(2005) yang menyatakan bahwa komitmen
organisasi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kinerja penyusunan ARG. Hasil ini
juga mendukung beberapa penelitian sebelumnya,
yaitu Sawer (2002), Diop-Tine (2002) dan Hewit
(2003). Oleh sebab itu, penelitian ini membuktikan
secara empiris bahwa komitmen organisasi akan
mempengaruhi kinerja penyusunan ARG agar tidak
menyimpang.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan
terhadap beberapa unit/SKPD tampak bahwa rata-
rata komitmen pegawai dalam menyusun ARG
masih berada pada kategori sedang dengan skor
2,6185 (lihat tabel 4.2). Pegawai yang diberikan
tanggung jawab untuk menyusun ARG adalah
pegawai di bagian perencanaan karena ARG
berkaitan dengan perancangan dan perencanaan
program dan kegiatan. Sebagian besar pegawai di
bidang ini mengaku masih belum memahami
dengan jelas bagaimana menyusun ARG, yang
didahului dengan penyusunan GAP, GBS dan KAK.
Penyusunan ARG ini masih sulit dipahami oleh
pegawai teristimewa ketika mengidentifikasi
kegiatan yang harus diresponsifgenderkan.
50
Sebagian besar pegawai mengakui bahwa penyusunan
ARG dilaksanakan karena didorong oleh regulasi.
Beberapa jawaban responden ketika diwawancarai
adalah seperti di bawah ini:
“Terdapat beberapa pegawai SKPD yang tertarik dengan isu
gender sehingga mereka sangat antusias ketika ada implementasi ARG di Pemkot Salatiga. Namun sebagian besar ikut saja karena ARG merupakan amanat Pemerintah Pusat melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15 tahun 2008 dan 67 tahun 2011”.
“Saya sendiri masih belum mengerti dengan baik bagaimana
menyusun atau merancang kegiatan yang responsif gender. Memang pernah diadakan seminar terkait penyusunan ARG ini namun tindak lanjutnya masih kurang sehingga saya merasa ARG ini belum ada manfaatnya”.
“Pengidentifikasian kebutuhan laki-laki dan perempuan belum dilaksanakan oleh semua SKPD. Hal ini karena SKPD belum mempunyai data pilah gender sebagai syarat utama pengidentifikasian kebutuhan”.
Pernyataan-pernyataan di atas dapat menunjukkan
bahwa komitmen sebagian besar pegawai pemerintah
kota dalam menyusun ARG masih perlu ditingkatkan.
Peningkatan komitmen ini dapat dimulai dari
membangun pemahaman dan pengetahuan yang benar
terkait penyusunan ARG. Selain itu, dibutuhkan
pendampingan yang lebih terhadap SKPD/unit dalam
menyusun program kegiatan yang responsif gender
serta mengadakan data pilah gender sebagai syarat
penyusunan ARG.
Senada dengan pengujian sebelumnya, penelitian
ini juga membuktikan bahwa ketidakpastian
lingkungan dapat memoderasi hubungan antara
51
komitmen organisasi dengan kinerja penyusunan
ARG sebesar -1,6737 dengan nilai t-statistic
2,914740 lebih besar dari 1,96. Diterimanya
hipotesis ini menunjukkan dukungan terhadap
penelitian sebelumnya seperti Govindarajan (1984)
yang menyatakan bahwa ketidakpastian lingkungan
yang dirasakan organisasi dapat mengganggu
hubungan antara komitmen organisasi dengan
kinerja penyusunan ARG. Hal ini membuktikan
secara empiris bahwa komitmen yang dibangun
dalam diri seorang pegawai pemerintah kota dalam
penyusunan ARGsangat menunjang keberhasilan
penyusunan ARG tersebut. Namun jika terjadi
ketidakpastian lingkungan yang tinggi seperti
mutasi pegawai dan perubahan kebijakan yang
terlalu sering maka hal ini akan sangat mengganggu
komitmen pegawai dalam mencapai kinerja
penyusunan ARG yang baik.
Penelitian ini menunjukkan bahwa komitmen
organisasi memiliki pengaruh yang lebih besar
dibandingkan interaksi antara ketidakpastian
lingkungan dengan komitmen organisasi dalam
mempengaruhi kinerja penyusunan ARG (lihat
Tabel 4.8). Oleh sebab itu, tidak hanya dibutuhkan
kepastian lingkungan yang tinggi (seperti tidak
sering adanya mutasi dan perubahan peraturan),
namun lebih dari itu dibutuhkan komitmen yang
52
kuat (sense of belong) untuk mendukung penyusunan
dan pelaksanaan ARG. Penelitian-penelitian
sebelumnya (Rubin and Bartle, 2005; Hewitt and
Mukhopadyay (2002) menyatakan bahwa komitmen
organisasi ditemukan sebagai faktor penting yang
mendorong seseorang untuk menyusun ARG.
Hasil wawancara menyatakan bahwa mutasi
pegawai yang sering dilakukan di lingkungan pemkot
turut mengganggu komitmen pegawai dalam menyusun
ARG. Misalnya, seorang pegawai yang telah matang
pemahamannya terkait ARG pada salah satu unit
tertentu namun harus dimutasikan ke unit yang lain
dengan tugas, pokok, fungsi (TUPOKSI) yang berbeda
dari sebelumnya. Hal ini tentu dapat menurunkan
komitmen pegawai tersebut untuk memahami tentang
ARG lagi. Sebaliknya, mutasi yang terjadi
mengakibatkan pegawai yang sebelumnya tidak
memahami tentang gender namun harus
bertanggungjawab menyusun anggaran responsif
gender maka hal ini pun dapat menghasilkan kinerja
yang rendah akibat dikerjakan dengan komitmen yang
rendah pula. Berikut adalah jawaban salah satu
responden yang pernah dimutasikan:
“Awalnya saya ditugaskan pada unit yang bersinggungan langsung dengan ARG sehingga saya sangat antusias dalam penyelenggaraan ARG ini. Namun kemudian saya harus dimutasikan ke unit yang sama sekali tidak bersinggungan langsung dengan ARG. Hal ini terkadang mengganggu niat saya untuk memahami ARG secara berkelanjutan. Namun saya tetap
53
antusias dengan penyelenggaraan ARG ini, karena penting bagi kesetaraan gender dalam masyarakat”.
“ARG itu bahan baru bagi kami, jadi rasa memilikinya (sense
of belong) masih kurang. Ini baru tahun ketiga penyelenggaraan ARG. Sejak tahun 2012. Sehingga ke depannya diharapkan komitmen dinas-dinas semakin meningkat”.
Adapun alur proses penyelenggaran
penyusunan ARG didahului dengan penyusunan
GAP, GBS dan KAK. Penyusunan GAP, GBS dan
KAK sebagai instrumen ARG diawali dari klinik
PPRG yang dilaksanakan 1 (satu) tahun
sebelumnya. Klinik ini diadakan oleh Bappeda dan
Bapermasper sebagai Ketua dan Sekretaris
Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG).
Dengan kata lain, ARG untuk tahun 2014 diadakan
melalui Klinik PPRG tahun 2013. Hasil klinik ini
adalah 2 (dua) rencana kegiatan SKPD untuk tahun
2014.
Berkebalikan dengan hasil temuan sebelumnya
(DiMaggio dan Powell, 1983; Frumkin dan
Galaskiewicz, 2004; Asworth et al, 2009) bahwa
tekanan eksternal yang dirasakan dapat
mempengaruhi komitmen organisasi dalam
mencapai kinerja ARG, ternyata penelitian ini
membuktikan secara empiris bahwa tekanan
eksternal tidak mengganggu komitmen organisasi
dalam mencapai kinerja ARG.
54
Hal ini dapat berarti bahwa tekanan eksternal
berupa kritikan dari akademisi, LSM, dan perubahan
peraturan dari pemerintah pusat tidak mengganggu
komitmen organisasi dalam menyusun ARG untuk
mencapai kinerja ARG yang maksimal.Tidak adanya
pengaruh signifikan dari tekanan eksternal terhadap
hubungan antara komitmen organisasi dan kinerja
penyusunan ARG diduga terjadi karena pemerintah
kota merupakan ranah publik yang harus berkiprah
untuk melayani masyarakat sehingga tekanan-tekanan
dari masyarakat maupun pemerintah pusat telah
menjadi hal biasa dan tidak dianggap sebagai tekanan
lagi sebaliknya sebagai sebuah amanat yang harus
diselesaikan. Selain itu, kritik dan instruksi dari
pemerintah pusat (seperti peraturan terkait ARG:
Inpres Nomor 9 tahun 2008, Permendagri Nomor 67
Tahun 2011) dianggap sebagai tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) bagi pegawai pemkot sehingga semua
dijalankan sebagai sebuah tanggung jawab dan bukan
tekanan (beban).
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang
dilakukan dengan beberapa penyelenggara ARG di
pemerintah kota Salatiga bahwa:
“Peraturan-peraturan dan kritik terkait penyelenggaraan ARG di pemkot Salatiga tidak menjadi tekanan bagi kami namun menjadi sebuah amanat yang harus dilaksanakan, sehingga kami tidak merasa tertekan dengan penyelenggaran ARG ini namun sebaliknya kami mengganggapnya sebagai sesuatu yang baik bagi kesejahteraan masyarakat di kota ini”.
55
“Tekanan dari pihak eksternal tidak mempengaruhi komitmen kami untuk menyusun ARG karena kami merasa bahwa kami harus menjalankannya. Sudah ada regulasi yang mengatur kami sehingga suka dan tidak suka kami tetap harus melaksanakannya”.
“Penyelenggaran ARG bukan merupakan tekanan tetapi
tugas pokok yang harus dilaksanan”.
Hasil dari penelitian ini kemudian menemukan
bahwa kinerja penyusunan ARG di pemerintah kota
Salatiga lebih cenderung mengarah ke fenomena
isomorfisme normatif (normative isomorphism) yakni
secara profesional pegawai memahami tentang
norma dan regulasi yang ada sehingga walaupun
regulasi tersebut bersifat menekan namun pegawai
tetap mematuhinya sebagai bentuk pengabdiannya
kepada organisasi. Hal ini disebut sebagai komitmen
pegawai dalam unit/SKPD. Kecenderungan ini
dilihat dari besarnya total effect KO sebesar 1,3676
(lihat Tabel 4.8).
Kecenderungan kedua adalah isomorfisme
mimetik (mimetic isomorphism). Kinerja penyusunan
ARG di pemerintah kota Salatiga juga mengarah ke
isomorfisme mimetik (mimetic isomorphism) yakni
pegawai lebih cenderung meniru praktik terbaik dari
organisasi lain akibat lingkungan yang tidak pasti.
Ketidakpastian lingkungan ini dapat ditunjukkan
dengan adanya mutasi pegawai yang terlalu sering
dilakukan dalam unit/SKPD. Hal ini berdampak
pada pemahaman yang belum mapan dari para
56
pegawai sehingga mereka lebih memilih untuk meniru
apa yang dilakukan oleh unit lain yang telah lebih
dahulu memahami ARG, dibandingkan dengan harus
memahami esensi dari penyusunan ARG. Kondisi
seperti ini kemudian mengganggu komitmen pegawai
dalam menyusun ARG.
Namun dalam penelitian ini, pada dasarnya
komitmen organisasi (normative isomorphism) memiliki
pengaruh yang lebih kuat terhadap kinerja penyusunan
ARG dibandingkan ketidakpastian lingkungan(mimetic
isomorphism). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara
dengan salah satu responden yang telah terlibat
langsung dalam penyusunan ARG ini.
“Secara keseluruhan penyusunan ARG ini lebih bergantung pada komitmen organisasi. Jika komitmen organisasi terhadap penyusunan ARG ini tinggi maka adanya mutasi ataupun tekanan eskternal itu tidak mengganggu komitmen kita untuk menysusun ARG. Namun faktanya menunjukkan masih banyak pegawai yang bingung, salah persepsi, kurang memahami dan tidak tertarik dengan ARG ini. Mungkin karena ARG masih
menjadi bahan baru bagi kami sehingga komitmen dan rasa memiliki (sense of belong) masih kurang”.