ISBN 978‐979‐3768‐12‐0
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan 2006
Penyusun:
Agus Supangat Ira Dillenia
Nia Naelul Hasanah Widodo Setyo Pranowo
Agustin Rustam
ISBN 978‐979‐3768‐12‐0
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan 2006
Penyusun:
Agus Supangat Ira Dillenia
Nia Naelul Hasanah Widodo Setyo Pranowo
Agustin Rustam
i
Kegiatan
Identifikasi & Inventarisasi Sumberdaya Arkeologi Laut
di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat
Penanggung Jawab Kegiatan
Dr. Agus Supangat
Koordinator Pelaksana
Ira Dillenia, MHum
Pelaksana Kegiatan :
Dr. Agus Supangat
Ira Dillenia, MHum
Nia Naelul Hasanah, SS
Widodo Setyo Pranowo, MT
Agustin Rustam, M.Si
Tata Letak
Rizki Anggoro Adi
ii
Kata Sambutan Kepala Pusat Riset Wilayah Laut & Sumberdaya Non Hayati
Kepulauan Nusantara terletak dalam jalur perdagangan laut masa kini maupun
masa lalu yang menghubungkan pusat‐pusat perdagangan di Eropa dan Asia. Kejayaan
Dinasti raja‐raja Nusantara, kekayaan sumberdaya alam serta perkembangan
keagamaan di Kepulauan Nusantara direfleksikan dengan banyaknya temuan
arkeologis di darat. Sejarah mencatat perdagangan masa lalu tumbuh dan
berkembang melalui jalur laut yang menghubungkan Asia Tenggara dengan India, Cina
dan Eropa. Di Kepulauan Nusantara telah tumbuh sejumlah pusat‐pusat perdagangan
dan permukiman, diantaranya, di pesisir Pulau Jawa dan Sumatera.
Sumatera sudah dikenal sejak permulaan abad masehi dengan nama
Suvarnnabhumi (Negeri Emas) atau Suvarnnadwipa (Pulau Emas). Kitab Jataka, yang
memuat kisah‐kisah tentang kehidupan Sang Budha, menyebutkan tentang
keberadaan sebuah negeri bernama Suvarnnabhumi yang terletak di sebelah timur
Teluk Benggala, yang memerlukan perjalanan yang penuh bahaya untuk mencapainya.
Dalam kitab lain yang sangat termasyhur di dunia, yaitu Kitab Ramayana, disebutkan
tentang adanya negeri‐negeri di sebelah timur India, yaitu Yawadwipa dan
Suvarnnadwipa. Dikisahkan bahwa bala tentara kera yang bertugas mencari Dewi Sita
di negeri‐negeri sebelah timur telah memeriksa Yawadwipa dan Suvarnnadwipa. Para
ahli berpendapat bahwa keterangan geografis dalam kitab‐kitab India tersebut
mengenai beberapa tempat di Timur Jauh mencerminkan telah adanya
perbendaharaan pengetahuan di India mengenai tempat‐tempat tersebut pada abad
III Masehi yang ternyata pulau‐pulau tersebut terletak di Kepulauan Nusantara.
Sebuah kitab kuna dari sumber barat, yaitu Kitab Periplous tes
Erythrasthalasses, merupakan sebuah kitab pedoman untuk berlayar di Lautan
Erythrasa, yaitu Samudera Hindia atau Samudera Indonesia. Kitab ini diperkirakan
ditulis pada awal tarikh masehi oleh seorang nakhoda Yunani‐Mesir yang biasa
mengadakan pelayaran antara Asia Barat dan India. Dalam kitab ini, Periplous
menyebutkan keterangan tentang hubungan dagang orang‐orang India dengan suatu
iii
tempat yang disebut Chryse, yang berarti emas. Nama Chryse ini mengingatkan kita
pada julukan Pulau Sumatera di kala itu yang dikenal sebagai Negeri Emas
Suvarnnabhumi atau Pulau Emas Suvarnnadwipa. Kitab Geographike Hypegesis yang
merupakan kitab petunjuk membuat peta yang disusun oleh orang Yunani di
Alexandria pada abad II Masehi, bernama Claudius Ptolomeus, juga menyebutkan
nama‐nama tempat yang berhubungan dengan logam mulia yaitu emas dan perak.
Tempat‐tempat tersebut adalah Argyre Chora (Negeri Perak), Chryse Chora (Negeri
Emas), dan Chryse Chersonesos (Semenanjung Emas).
Berdasarkan keterangan‐keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa sejak
awal tarikh masehi, Sumatera merupakan sebuah pulau yang sudah termasyhur
sebagai negeri penghasil emas yang melimpah. Hal tersebut juga merupakan petunjuk
pasti mengenai adanya lalu lintas perdagangan menyeberangi Teluk Benggala dan
menjadikan Sumatera sebagai salah satu pusat perdagangan yang terkenal di masa
lampau. Oleh karena itu, penting kiranya bagi kita untuk menggali bukti kemasyhuran
Pulau Sumatera di masa lampau melalui kegiatan penelitian ilmiah.
Buku publikasi hasil Riset Identifikasi dan Inventarisasi Sumberdaya Arkeologi
Laut di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat ini cukup memberikan gambaran
bahwa Pulau Sumatera sejak awal tarikh masehi hingga masa Kolonial Belanda
merupakan jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan yang sangat penting
kedudukan dan peranannya di masa itu. Hal ini dibuktikan dengan adanya tinggalan‐
tinggalan arkeologis berupa bangkai‐bangkai kapal karam, pelabuhan‐pelabuhan kuna,
dan juga daerah‐daerah yang merupakan tambang‐tambang emas seperti Bayang dan
Salido di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.
Penerbitan buku publikasi hasil riset ini dilaksanakan dengan tujuan dapat
meningkatkan perhatian, minat, dan apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya
arkeologi laut di Nusantara yang mempunyai potensi untuk dikembangkan, baik untuk
kepentingan historis, ilmu pengetahuan, bahkan kepentingan ekonomis.
Jakarta, Februari 2007
Dr. Ir. Sugiarta Wirasantosa, M.Sc.
iv
Kata Pengantar
Puji syukur diucapkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan
karunia‐Nya, sehingga penulisan buku publikasi hasil Riset Identifikasi dan Inventarisasi
Sumberdaya Arkeologi Laut dapat diselesaikan dengan baik, meskipun tidak sedikit
masalah yang dihadapi selama pelaksanaannya.
Atas terlaksananya Kegiatan Riset Identifikasi dan Inventarisasi Sumberdaya Arkeologi
Laut dan diterbitkannya buku publikasi ini, kami mengucapkan terimakasih yang
sebesar‐ besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mempelancar
jalannya kegiatan tersebut maupun dalam pembuatan buku ini.
Akhir kata, semoga buku ini dapat memberikan gambaran dan pemahaman yang jelas
mengenai arti pentingnya potensi peninggalan‐peninggalan arkeologi laut di perairan
Nusantara, untuk kemudian dilestarikan dan dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu
pengetahuan, pariwisata budaya bahari, serta pembangunan tata ruang wilayah laut di
Indonesia.
Kritik dan saran sangat kami harapkan dalam penyempurnaan tulisan ini dan juga bagi
pelaksanaan kegiatan arkeologi laut yang akan datang.
Jakarta, Desember 2006
Team Penyusun
v
ABSTRAK
Buku ini merupakan informasi tentang tinggalan‐tinggalan yang terkait dengan sumberdaya arkeologi laut di wilayah perairan Kabupaten Pesisir Selatan,
Sumatera Barat. Kabupaten Pesisir Selatan memiliki garis pantai sepanjang 234 km dan sejak berabad‐abad yang lalu telah menjadi pusat perniagaan di pantai barat
Sumatera. Topografi wilayah pesisir selatan yang berbukit‐bukit dan banyak memiliki pulau‐pulau kecil, sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata bahari, dengan ditemukannya sebaran lokasi sumberdaya arkeologi laut,
akan menambah daya tarik pengembangan wisata bahari di kawasan ini.
Berdasarkan hasil riset ditemukan 2 titik lokasi kapal tenggelam yaitu di desa Ampyang Parak, Kecamatan Sutera, kab. Pesisir Selatan dan di perairan Teluk Mandeh. Temuan berupa kapal dagang Belanda yang karam sebelum tahun 1945. Selain itu juga di temukan 3 titik lokasi yang di duga sebagai pelabuhan / dermaga kuno yang merupakan bagian dari bukti‐ bukti sejarah aktivitas kemaritiman dari berabad‐abad yang lalu bagi wilayah Kabupaten Pesisir Selatan. Adapun lokasi
tinggalan tersebut ditemukan di kecamatan Bayang, Salido, dan Pulau Cingkuak.
Potensi historis yang terdapat pada situs didukung oleh data yang di dapatkan dari arsip‐arsip kolonial mendukung pembuktian sejarah aktivitas
perniagaan yang pernah dilakukan oleh VOC dan Portugis pada abad 17 – 19 M.di pantai barat Sumatera (khususnya kab. Pesisir Selatan). Hasil riset terhadap kondisi sumberdaya alam yang dimiliki Kabupaten Pesisir Selatan yaitu sebagai penghasil
emas dan lada menjadi bukti penyebab kedatangan bangsa‐bangsa asing tersebut.
Hal yang menarik adalah kondisi lingkungan perairan di sekitar situs yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, dimana gelombangnya cukup
besar terutama pada Musim Timur. Sedimentasi yang tinggi pada lingkungan situs Bayang, Salido dan Ampyang Parak membuat adanya perubahan lingkungan fisik situs, sehingga data arkeologi tersebut dapat menjadi bukti fisik perubahan garis pantai yang juga menjadi salah satu potensi ilmu pengetahuan yang tersimpan
pada situs. Hal ini juga sangat mempengaruhi teknik penanganan situs selanjutnya baik dalam pelestarian maupun pemanfaatannya.
Diharapkan dari informasi yang berhasil di dapatkan dari riset Identifikasi
dan Inventarisasi Sumberdaya Arkeologi Laut dapat bermanfaat bagi publik dari bidang akademis, ideologis maupun ekonomis.
vi
DAFTAR ISI Kata Sambutan ........................................................................................................................... ii
Kata Pengantar ........................................................................................................................... iv
Abstrak ....................................................................................................................................... v
Daftar Isi ..................................................................................................................................... vi
Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ................................................................................................................... 1
1.2. Permasalahan .................................................................................................................... 5
1.3. Tujuan dan Sasaran ........................................................................................................... 5
1.4. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................................................. 5
1.5. Hasil yang diharapkan ........................................................................................................ 5
1.6. Metode Penelitian ............................................................................................................... 6
1.6.1. Pembuktian dan Rekonstruksi Sejarah ..................................................................... 6
a. Observasi dan survei permukaan tanah .............................................................. 6
b. Survei bawah air dengan cara melakukan penyelaman ...................................... 7
c. Analisis dan Sintesis Data .................................................................................... 8
d. Intepretasi Data .................................................................................................... 10
e. Kesimpulan ........................................................................................................... 10
1.6.2. Dinamika Perairan ..................................................................................................... 11
Bab 2 Gambaran Umum Lokasi Penelitian (Kabupaten Pesisir Selatan) 2.1. Keadaan Geografis ............................................................................................................ 17
2.2. Posisi dan Lingkungan Situs ............................................................................................. 20
1. Lokasi Muara Bayang .................................................................................................... 20
2. Lokasi Pelabuhan Kuno Salido ..................................................................................... 22
3. Lokasi Ampyang Parak ................................................................................................. 24
4. Lokasi Mandeh Wreck ................................................................................................... 25
5. Lokasi Nibung Wreck..................................................................................................... 26
6. Lokasi Dermaga Kuno Pulau Cingkuak......................................................................... 27
2.3. Latar Belakang Sejarah ..................................................................................................... 28
1. Wilayah Pesisir Barat Sumatera Barat dibawah Kekuasaan Kasultanan Aceh ............ 29
2. Wilayah Pesisir Barat Sumatera Barat dibawah Kekuasaan Belanda .......................... 35
vii
Bab 3
Situs & Deskripsi Temuan Arkeologis di Lokasi Penelitian 3.1. Situs Pelabuhan Kuno Bayang ........................................................................................43
3.2. Situs Pulau Cingkuk ........................................................................................................44
3.3. Situs di Muara Salido .......................................................................................................48
3.4. Situs Mandeh Wreck .......................................................................................................51
3.5. Situs Amparan Perak Wreck ...........................................................................................54
Bab 4 Analisis Data dan Pembahasan
4.1. Rekonstruksi Sejarah Temuan ........................................................................................57
4.1.1. Situs Bayang ........................................................................................................57
4.1.2. Situs Mandeh Wreck ............................................................................................58
4.1.3. Situs Salido ...........................................................................................................60
4.1.4. Situs Salido Kecil ..................................................................................................61
4.1.5. Situs Ampyang Perak ...........................................................................................63
4.2. Kondisi Perairan Lingkungan Situs .................................................................................64
4.2.1. Teluk Bayang kuno dan muara salido dengan sedimentasinya yang tinggi ........64
4.2.2. Kualitas Air (Kecerahan Air, pH, Temperatur, Salinitas) ......................................64
4.2.3. Arus ......................................................................................................................66
4.2.4. Gelombang ...........................................................................................................68
4.2.5. Pasang Surut ........................................................................................................69
Bab 5 Kesimpulan
Kesimpulan ...............................................................................................................................73
Bab 6 Rekomendasi Teknik Penanganan Situs Arkeologis dari sisi bidang Dinamika Perairan
6.1. Rekomendasi untuk Nibung Ship Wreck ........................................................................77
6.2. Mandeh Ship Wreck .......................................................................................................78
6.3. Pelabuhan Kuno Bayang, Dermaga Kunoi Salido dan Pulau CIngkuk ...........................78
6.4. Amparan Perak Ship Wreck ............................................................................................79
Bab 7 Daftar Pustaka
Daftar Pustaka ..........................................................................................................................81
viii
Lampiran 1. Peta Kuno Sumatera West Kust, 1840 ................................................................................ 88 2. Peta Sebaran Situs Arkeologi Laut ..................................................................................... 89
ix
Bab Satu
0
Pendahuluan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini, informasi tentang tinggalan‐tinggalan yang terkait dengan potensi
sumberdaya arkeologi laut di wilayah perairan Indonesia masih belum tertata dan
terkumpul secara lengkap dan akurat .Padahal hal tersebut sangat penting bagi upaya
pelestarian dan pemanfaatannya dikarenakan data hasil riset sumberdaya arkeologi laut
tersebut mutlak diperlukan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya
sebagai dasar untuk mengambil kebijakan di bidang pembangunan kelautan, khususnya
bidang sumberdaya arkeologi laut. Dengan demikian, upaya riset identifikasi dan
inventarisasi sumberdaya arkeologi laut sangatlah dibutuhkan.
Seiring dengan perkembangan cabang ilmu arkeologi1 maka sumberdaya
arkeologi laut dapat dipelajari melalui konsep arkeologi yang terbagi dalam beberapa
bentuk wilayah kajian, antara lain: arkeologi maritim (maritime archaeology), arkeologi
perkapalan (nautical archaeology), arkeologi bawah air (underwater archaeology), dan
arkeologi lingkungan laut (marine archaeology).
Arkeologi maritim adalah temuan arkeologi yang berhubungan dengan pelayaran
seperti kapal karam (shipwreck) beserta muatannya, mercu suar kuno, bekas dermaga
atau pelabuhan kuno, termasuk di dalamnya bagian‐bagian dari kapal, dan peralatan
navigasi kuno seperti kompas, jangkar, sekstan, dan lain‐lain (Gambar 1). Kajian
arkeologi maritim tidak hanya mempelajari tinggalan arkeologi pelayaran di wilayah laut,
1 Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari bekas‐bekas peninggalan aktivitas manusia yang telah berumur lebih di atas lima
puluh tahun serta memiliki nilai sejarah dan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk merekonstruksi kehidupan manusia masa lampau. Adapun tinggalan‐tinggalan tersebut dapat berupa:artefak yaitu benda‐benda tinggalan manusia yang dapat dipindahtempatkan (bergerak) seperti keramik, kapak persegi, manik‐manik, dan lain‐lain; struktur yaitu tinggalan bangunan‐bangunan kuno seperti benteng, candi, mesjid, kuburan batu, dolmen, dll, benda‐benda ini tidak dapat dipindahkan/bergerak; fitur yaitu bekas‐bekas bagian dari bangunan maupun artefak yang tidak dapat dipindahkan dari tempat dan matriksnya, seperti temuan bekas‐bekas parit kuno,saluran‐saluran air, bekas pondasi suatu bangunan, jalan, bekas dermaga, dll; ekofak yaitu benda alam yang diduga telah dimanfaatkan oleh manusia pada zamannya, seperti batuan vulkanik sebagai pondasi bangunan laut/pelabuhan kuno, goa‐goa, dll.
Bab Satu
2
Gambar 1. Temuan‐temuan arkeologi maritim, dari kiri ke kanan : kapal karam, jendela
bagian dari kapal dan sektant (Platt, 1997)
tetapi termasuk temuan di sungai dan danau. Sementara itu arkeologi perkapalan
(nautical archaeology) adalah temuan arkeologi berupa bagian‐bagian kapal atau
perahu‐perahu kuno yang tidak hanya ditemukan di wilayah perairan tetapi juga yang
telah terkubur atau ditemukan di daratan, misalnya tinggalan berupa bagian dari
kapal/perahu kuno yang ditemukan di bawah bangunan perumahan di Belanda, selain
itu, lukisan kapal yang terpahat di dinding Candi Borobudur juga termasuk dalam
wilayah kajian ini.
Sementara itu, kajian arkeologi bawah air (underwater archaeology) mencakup
data arkeologi yang ditemukan di bawah air, yang meliputi wilayah bawah laut, bawah
sungai, dan danau. Data arkeologi bawah air ini tidak hanya shipwreck dan muatannya
tetapi juga semua tinggalan‐tinggalan yang terkait dengan aktivitas manusia masa
lampau termasuk pemukiman‐pemukiman kuno beserta peralatan‐peralatannya yang
kini telah tenggelam. Kajian arkeologi laut (marine archaeology) membahas benda‐
benda di lingkungan laut yang terkait dengan aktivitas pelayaran (maritime dan
nautical), perdagangan laut, dan situs‐situs yang termasuk bagian dari wilayah laut mulai
dari pesisir, bawah laut, maupun pulau‐pulau kecil yang dalam pembahasan nantinya
selalu dikaitkan dengan masalah‐masalah yang diakibatkan oleh laut. Melalui pembagian
wilayah kajian terhadap temuan arkeologi di atas, diharapkan akan lebih mudah dalam
mengidentifikasi potensi sumberdaya arkeologi laut yang dapat dimanfaatkan sebagai
salah satu sumberdaya non hayati laut.
Pendahuluan
3
Sumberdaya arkeologi laut sendiri dalam makna dan konsep merupakan salah
satu potensi dari kawasan wilayah laut yang bernilai historis dan sangat penting bagi
ilmu pengetahuan. Sumberdaya arkeologi laut dapat berupa tinggalan‐tinggalan dari
aktivitas pelayaran seperti kapal karam (shipwreck) beserta muatannya, sisa‐sisa
pelabuhan kuno, mercu suar, atau mungkin juga pemukiman kuno yang saat ini
lingkungan fisiknya telah berada di kawasan laut, baik pesisir maupun bawah laut.
Sebagai sebuah potensi sumberdaya non hayati laut, tentulah tinggalan‐tinggalan
arkeologis laut tersebut memiliki potensi yang dapat digali dan dimanfaatkan untuk
kepentingan publik, antara lain adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan,
misalnya untuk mengetahui dan merekonstruksi sejarah kebudayaan manusia masa
lampau, untuk mengetahui proses‐proses perkembangan dan perubahan fisik bumi yang
mempengaruhi kehidupan manusia di masa lampau, dan lain‐lain. Selain itu,
sumberdaya arkeologi laut juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi,
misalnya dijadikan sebagai objek wisata bahari.
Apabila sumberdaya arkeologi laut dikaitkan dengan kenyataan mengenai
wilayah Indonesia yang dua pertiga bagiannya merupakan lautan serta mengingat alat
transportasi pertama kali yang dipergunakan manusia sejak berabad‐abad yang lalu
untuk dapat bermigrasi ke berbagai wilayah dunia adalah dengan melakukan pelayaran,
maka potensi arkeologi laut di wilayah perairan Indonesia tentu cukup besar.
Sebagaimana kita ketahui, wilayah laut Indonesia yang luas juga menjadi alat
penghubung perniagaan hingga ke pelosok‐pelosok daerah di dunia. Berkaitan dengan
hal tersebut, bukan tidak mungkin dalam melakukan pelayaran‐pelayaran tersebut
terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kapal atau perahu beserta muatan yang mereka
bawa tenggelam dan terkubur di dasar samudera hingga saat ini. Selain kecelakaan‐
kecelakaan dalam pelayaran, perubahan fisik bumi yang kerap terjadi sebagai akibat
bencana besar seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus dapat mengakibatkan
terputus atau hilangnya sebuah peradaban dari muka bumi dan mungkin saat ini ada
yang terkubur di dasar lautan.
Bab Satu
4
Riset Identifikasi dan Inventarisasi Sumberdaya Arkeologi Laut di Pusat Riset
Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati‐Badan Riset Kelautan dan Perikanan‐
Departemen Kelautan dan Perikanan, pertama kali dilakukan di wilayah perairan
Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Pemilihan perairan Kabupaten
Pesisir Selatan sebagai lokasi pertama penelitian dilatarbelakangi oleh banyaknya data
sejarah yang membuktikan bahwa lalulintas pelayaran di pantai barat Sumatera ternyata
lebih tua dibandingkan pantai timur–nya. 2
Berdasarkan sumber‐sumber sejarah, sejak awal‐awal abad masehi, di pantai
barat Sumatera sudah terdapat kota‐kota pantai dan bandar yang menjadi pusat
perdagangan lada dan emas. Saat itu di pantai barat Sumatera banyak sekali bandar‐
bandar perniagaan tradisional yang ramai dikunjungi oleh bangsa asing, di antaranya
adalah Barus, Inderapura, Bandar X (Pelabuhan Bayang), dan lain‐lain.
Oleh karena itu, penelitian terhadap tinggalan‐tinggalan arkeologis seperti sisa‐
sisa pelabuhan kuno dan bangkai kapal karam yang dapat membuktikan ramainya
lalulintas pelayaran dan perdagangan pada masa lampau di wilayah pantai barat
Sumatera menjadi cukup signifikan untuk dilakukan, khususnya di di kawasan pantai
barat Sumatera Barat, yaitu di Kabupaten Pesisir Selatan. Selain itu, selama ini wilayah
pantai barat Sumatera cenderung dilupakan orang karena kedudukannya telah tergeser
oleh pantai timur Sumatera khususnya Selat Malaka, padahal di masa lampau,
kedudukan pantai barat Sumatera sangat penting dalam perkembangan sejarah bangsa
Indonesia terutama di awal‐awal abad masehi.
2 Salah satu pokok dan fungsi Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati di Departemen Kelautan dan
Perikanan RI adalah memberikan data dan informasi hasil riset yang realible, up to date dan kontinyu, termasuk di dalamnya adalah menyediakan data hasil riset mengenai sumberdaya arkeologi laut di Indonesia yang merupakan salah satu sumberdaya non hayati laut yang belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan seluruh anak bangsa di Negara Indonesia.
Pendahuluan
5
1.2 Permasalahan
Masalah pokok dari penelitian ini adalah
1. Dimana lokasi yang tepat dari pelabuhan‐pelabuhan kuno yang bersejarah
serta titik lokasi kapal karam yang memang bernilai historis dan dapat
dikembangkan potensinya untuk objek wisata bahari dan ilmu pengetahuan.
2. Bagaimana kondisi perairan di sekitar situs.
3. Bagaimana gambaran fisik tinggalan baik secara kualitas dan kuantitas
1.3 Tujuan dan Sasaran :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran situs arkeologis di
suatu daerah, mengetahui kondisi perairan di di lingkungan situs dan mengetahui
data arkeologis yang ditemukan baik secara kualitas maupun kuantitas. Sasaran dari
riset ini berupa sumbangan data bagi penyusunan peta sebaran sumberdaya
arkeologi laut dan informasi mengenai gambaran potensi situs sumberdaya arkeologi
kawasan penelitian.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi kegiatan pengambilan titik koordinat tiap
sebaran tinggalan purbakala yang ditemukan, mengukur kedalaman dan posisi situs,
mengidentifikasi dinamika perairan di lingkungan situs, mengidentifikasi bentukan‐
bentukan geomorfologis pesisir, pulau dan dasar laut di lokasi penelitian,
mengidentifikasi kondisi fisik, mulai dari morfologis, teknologi dan stilistik tinggalan
melalui sample temuan.
1.5 Hasil yang diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah berupa rekomendasi bagi
pemangku kebijakan di bidang kelautan, kebudayaan dan pariwisata, serta Pemda
setempat yang dalam perencanaan lebih lanjut dalam pengembangan wilayah laut,
juga dapat memperhatikan aspek pelestarian dan pemanfaatan data arkeologi laut
yang telah ditemukan. Selain itu diharapkan juga agar hasil penelitian ini dapat
menjadi baseline studi untuk berbagai pengembangan ilmu pengetahuan bagi publik.
Bab Satu
6
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan terdiri atas metode penelitian arkeologi
yang bertujuan untuk pembuktian temuan dan metode penelitian lingkungan
(khususnya penggunan teori oseanografi) yang bertujuan untuk mengetahui
dinamika perairan serta teknik penanganan situs selanjutnya.
1.6.1.Pembuktian dan Rekonstruksi Sejarah
Metode penelitian arkeologi di wilayah pesisir barat Sumatera Barat ini
secara umum menggunakan penalaran induktif dan bersifat eksploratif‐deskriptif‐
analitis yang bertujuan untuk memberikan gambaran suatu fakta atau gejala
tertentu yang diperoleh dalam penelitian, disertai analisis yang sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai, tanpa didahului oleh perumusan hipotesis secara
ketat.3 Adapun tahap‐tahap penelitian yang dilakukan adalah pengumpulan data
yang dilakukan melalui observasi lapangan, survei, dan studi pustaka. Observasi
lapangan dan survei dilakukan untuk memperoleh data berupa tinggalan‐tinggalan
arkeologis yang bersifat artefaktual.
Selain itu, observasi lapangan dan survei ini juga dilakukan untuk
memperoleh gambaran kondisi lingkungan di lokasi penelitian, baik lingkungan fisik
daratan seperti kondisi geologis, geomorfologis, dan iklim, maupun kondisi
lingkungan perairan laut di wilayah tersebut (kondisi oseanografis) berupa kondisi
arus laut, tingkat kekeruhan air laut, salinitas, dan lain‐lain. Observasi lapangan dan
survei untuk mengumpulkan data tersebut dilakukan dengan menggunakan 2 (dua)
macam cara, yaitu:
a. Observasi dan survei permukaan tanah
Observasi dan survei permukaan tanah untuk mengumpulkan data
arkeologis dilakukan dl sebagian lokasi penelitian yaitu di wilayah Bayang, Salido,
Salido Kecil, dan Pulau Cingkuak. Khusus untuk lokasi Ampiang Perak, karena lokasi
situs‐nya terdapat di pinggir pantai, dan kondisi sisa bangkai kapal‐nya cukup unik
3 Daud Aris Tanudirjo, “Ragam Metode Penelitian Arkeologi dalam Skripsi Karya Ilmiah Mahasiswa Arkeologi UGM”, Laporan Penelitian, (Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM, 1988), hlm.34
Pendahuluan
7
karena terkubur endapan pasir pantai yang posisinya berada tepat di bibir pantai
yaitu di tempat dimana ombak laut memecah pantai, maka untuk sementara survei
di lokasi ini dikategorikan ke dalam survei permukaan tanah karena di lokasi
tersebut tidak mungkin dilakukan cara penyelaman.
b. Survei bawah air dengan cara melakukan penyelaman
Survei bawah air dilakukan dengan cara penyelaman dilakukan di 2 (dua)
lokasi, yaitu Mandeh shipwreck di Teluk Painan dan Nibung Shipwreck di perairan
Teluk Nibung. Dalam survei bawah air di lokasi Mandeh shipwreck dilakukan juga
pengambilan sample sejumlah artefak. Teknik pengambilan sample menggunakan
teknik acak (random sampling). Sample artefak yang diambil adalah 2 (dua) buah
botol kaca dan 2 (dua) buah fragmen kayu, pasak besi. Selain itu, juga diambil
sample air laut untuk mengetahui tingkat kekeruhan dan salinitasnya.
Selain observasi lapangan dan survei, dalam penelitian ini juga dilakukan
pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara menelaah sumber‐
sumber pustaka yang dapat mendukung penelitian ini, misalnya dari berita asing
(catatan dan laporan Belanda) dan laporan‐laporan penelitian terdahulu yang telah
dilakukan di lokasi ini. Studi kepustakaan dilakukan di Gedung Arsip Nasional RI,
Perpustakaan Nasional R1, dan perpustakaan‐perpustakaan lain. Studi kepustakaan
ini dilakukan 2 (dua) kali yaitu sebelum dan sesudah melakukan survei lapangan.
Selain observasi, survei, dan studi pustaka, pengumpulan data juga
dilengkapi dengan melakukan wawancara terhadap tokoh‐tokoh dan penduduk
setempat (termasuk para nelayan) terutama yang berkaitan dengan pengumpulan
informasi mengenai latar belakang sejarah daerah setempat, pengetahuan
penduduk setempat mengenai kondisi cuaca, musim‐musim yang dianggap baik
untuk melaut dan melakukan penyelaman, serta pengetahuan mereka yang sangat
penting mengenai lokasi‐lokasi tempat kapal‐kapal karam kuno.
Berdasarkan informasi dari masyarakat tersebut, penelusuran terhadap
kapal‐kapal karam kuno yang biasanya belum terekspos secara luas tersebut dapat
dilakukan, misalnya penelusuran situs kapal karam di Teluk Nibung. Seluruh data
yang diperoleh dengan cara observasi, survei, studi pustaka, dan wawancara
Bab Satu
8
tersebut kemudian dideskripsikan secara verbal maupun piktorial (dalam bentuk
foto dan rekaman video).
c. Analisis dan Sintesis Data
Berdasarkan tujuan penelitian untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi
tinggalan‐tinggalan arkeologis, terutama tinggalan arkeologi laut yang terdapat di
wilayah pesisir barat Sumatera Barat, khususnya di Kabupaten Pesisir Selatan, maka
analisis yang dilakukan adalah analisis keruangan ( Spatial Analysis) skala meso
yang mencakup kajian terhadap lingkungan fisik dan budaya, yang dapat
mencerminkan suasana kehidupan manusia dalam suatu masa tertentu.
Analisis yang demikian tidak menitikberatkan kepada tinggalan arkeologis
yang berdiri sendiri, melainkan kepada sebaran (distribution) dan hubungan
(relationship) antara benda dengan benda dan situs dengan situs lain dalam suatu
bentang alam tertentu, dengan mempertimbangkan berbagai kondisi lingkungan
fisik, balk daratan maupun perairan di wilayah tersebut.4 Sementara itu,
berdasarkan jenis data yang digunakan, maka dilakukan juga analisis artefaktual,
analisis tekstual, dan analisis lingkungan.
Kegiatan analisis artefaktual merupakan proses yang cukup penting dalam
penelitian arkeologi karena melalui analisis artefaktual akan dapat diketahui
karakter yang dimiliki artefak sebagai suatu hasil karya dan dalam hubungannya
dengan artefak dan kasus lainnya sehingga dapat diketahui karakter budaya
masyarakat yang menggunakan artefak tersebut. Melalui analisis artefaktual juga
dapat diketahui pertanggalan relatif artefak tersebut. Tahap analisis artefak terdiri
dari tahap identifikasi (tahap penentuan atribut‐atribut yang dimiliki), tahap
perekaman (memasukkan data artefak dalam formulir atau tabel temuan atau
database), dan tahap pengolahan (mencari korelasi data antar artefak atau dengan
konteks lain).
4 H.R. Bintarto, “Keterkaitan Manusia, Ruang, dan Kebudayaan”, Berkala Arkeologi tahun XV Edisi Khusus, ( Yogyakarta: Balai Arkeologi, 1995), hlm 3, Mundardjito, “ Kajian Kawasan: Pendekatan Strategis dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa ini”, Berkala Arkeologi tahun XV Edisi Khusus, (Yogyakarta: Balai Arkeologi, 1995) hlm. 24.
Pendahuluan
9
Teknik analisis artefak terdiri atas teknik analisis khusus yaitu
menitikberatkan pada ciri‐ciri fisik artefak dan teknik kontekstual, yaitu
menitikberatkan pada hubungan antardata arkeologi. Jadi pada umumnya, dalam
penelitian ini, artefak akan diidentifikasi dan dimasukkan dalam kerangka dimensi
ruang (lokasi tempat artefak tersebut ditemukan), dimensi bentuk (bentuk tiga
dimensi serta ukuran artefak tersebut), dan dimenst waktu (pertanggalan artefak
tersebut). Apabila memungkinkan, artefak akan dianalisis secara spesifik dan dilihat
aspek bentuk, teknologi, dan stilistik‐nya.
Analisis artefaktual dan analisis tekstual dilakukan untuk mendapatkan
gambaran mengenat wilayah pesisir barat Sumatera Barat, khususnya Kabupaten
Pesisir Selatan sebagai salah satu lokasi yang cukup penting di masa lampau yang
termasuk dalam jalur pelayaran yang cukup ramai di masanya. Analisis terhadap
data artefaktual dan data tekstual Juga dimaksudkan untuk mendapatkan latar
belakang historis beserta aspekaspek kehidupan masyarakatnya.
Analisis lingkungan dilakukan terhadap daya dukung lingkungan, yang
meliputi bentuk bentang alam (geologi, geomorfologi) dan iklim. Analisis geologi
dan geomorfologi sangat penting dilakukan, misalnya untuk mengetahui
pergeseran garis pantai, pergeseran muara sungai, dan sejauh mana pengendapan
yang terjadi di muara sungai dan di pantai.
Dari hasil analisis tersebut maka akan dapat dipastikan dugaan‐dugaan yang
menyebutkan bahwa zaman dahulu, Bayang dan Salido merupakan pelabuhan‐
pelabuhan yang cukup penting terutama pada masa kejayaan Aceh dan masa
penjajahan Belanda. Selain itu, dapat diketahui juga penyebab perpindahan dan
pasang surutnya pelabuhan‐pelabuhan kuno tersebut dari sisi lingkungan. Analisis
lingkungan dilakukan juga terhadap lingkungan perairan yang meliputi kondisi arus
laut, tingkat kekeruhan air laut, kecepatan angin, dan lain‐lain terutama di situs
Mandeh shipwreck di Teluk Painan dan situs shipwreck di Teluk Nibung.
Bab Satu
10
Dengan mengetahui kondisi lingkungan perairan tersebut maka akan
diketahui cocok tidak‐nya wilayah perairan Kabupaten Pesisir Selatan tersebut
untuk aktivitas pelayaran kapal dan sebagai jalur pelayaran dan perdagangan yang
penting di masa itu. Selain itu, dengan mengetahui kondisi lingkungan perairan
tersebut maka sedikit banyak akan dapat diketahui apakah kondisi lingkungan
tersebut yang menyebabkan kapal‐kapal banyak yang karam di wilayah tersebut
atau karamnya kapal‐kapal tersebut dikarenakan faktor lain yang tidak berhubungan
dengan alam, misalnya adanya peperangan, dan lain‐lain.
Hasil‐hasil analisis tersebut kemudian akan disintesiskan dengan cara
menggabungkan semua data yang telah didapatkan agar dapat menjawab
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.
d. Interpretasi Data
Untuk memudahkan interpretasi mengenat keberadaan tinggalan‐tinggalan
arkeologis terutama tinggalan arkeologi laut berupa artefak dan sisa‐sisa bangkai
kapal karam kuno (shipwreck) di wilayah pesisir barat Sumatera Barat, yang tentu
dilatarbelakangi oleh faktor‐faktor tertentu, maka diperlukan sejumlah pendekatan,
di antaranya adalah pendekatan kontekstual historis dan pendekatan ekologis.
Pendekatan kontekstual historis digunakan untuk mengetahui kondisi sosial‐
politik‐ekonomi‐budaya pada masa itu di wilayah pesisir barat Sumatera Barat
tersebut. Dengan mengetahui latar belakang historis wilayah tersebut, maka
keberadaan tmggalan arkeologis berupa artefak dan cukup banyaknya sisa bangkai
kapal karam kuno di wilayah tersebut dapat diielaskan. Pendekatan ekologis iuga
penting untuk dapat menjelaskan kenapa di wilayah pesisir barat Sumatera Barat
banyak ditemukan bangkai kapal karam kuno.
e. Kesimpulan
Dari hasil analisis dan interpretasi serta dengan mengsintesiskan data
arkeologis, data historis, dan data lingkungan, maka akan ditemukan jawaban kenapa
wilayah tersebut banyak mempunyai tinggalan kapal karam kuno, selain itu dapat
diketahui pula pentingnya peranan wilayah pesisir barat Sumatera Barat, khususnya
Pendahuluan
11
Kabupaten Pesisir Selatan, di masa lampau terhadap lalulintas pelayaran dan
perdagangan internasional masa itu. Hasil kesimpulan merupakan generalisasi
empiris dan dapat diuji kembali validitasnya.
1.6.2.Dinamika Perairan
Riset atau pengungkapan sejarah terhadap situs arkeologi yang berlokasi di laut
dan pesisir sedikit banyak akan membutuhkan informasi tentang kondisi oseanografi
perairan laut atau pesisir yang ada. Riset Arkeologi bawah air tahun 2006 yang dilakukan
oleh Pusat Riset wilayah laut dan Sumberdaya Non‐hayati kali ini mencoba melibatkan
bidang Oseanografi sebagai salah satu komponen yang dikaji meskipun belum
mendapatkan proporsi yang ideal dalam pengungkapan sejarah dari situs arkeologi laut
secara utuh.
Kajian bidang Oseanografi ini dilakukan dengan menggunakan Metode
Pembahasan Deskriptif, karena ketersediaan data yang terbatas. Adapun data
oseanografi diperoleh melalui survei lapangan, pengumpulan data sekunder, dan
melakukan prediksi data (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Data oseanografi dan statusnya yang digunakan dalam riset Arkeologi bawah
air 2006 di Perairan Sumatera Barat
No. Nama Data Periode Sumber Keterangan
1. Kecerahan air laut 25 ‐ 30 Juli 2006 Tim Survei
Arkeologi
WILNON 2006
Survei visual
2. Sedimentasi 20 tahun, & 25 ‐
30 Juli 2006
Tim Survei
Arkeologi
WILNON 2006
Survei wawancara & visual
3. Arus 2004 MCRMP Lembar Peta: LP 0715‐04, LP
0714‐03, LP 0814‐01, LP
0814‐02
4. Gelombang 27‐30 April, 9‐
12 Juli, 24‐27
November 2004
MCRMP Hasil Survei di Padang,
Painan, & Pariaman (masing‐
masing dengan periode
tersebut disamping)
Bab Satu
12
No. Nama Data Periode Sumber Keterangan
5. Kualitas Air
(kecerahan, pH,
temperatur, salinitas)
2004 MCRMP Lembar Peta: LP 0715, LP
0714, LP 0814, LP 0814
6. Pasang Surut 1400‐2000, &
2001‐2006
Widodo S.
Pranowo
Prediksi menggunakan
ORITIDE
Prediksi pasang surut mengunakan Oritide – Global Tide Model (ORI.96) yang dibangun
oleh Ocean Research Institute, University of Tokyo yang bekerjasama dengan National
Astronomical Observatory, Mizusawa, menggunakan 8 Komponen pasut utama: M2, S2,
N2, K2, K1, O1, P1, dan Q1 (Matsumoto, et al., 1995). Adapun posisi stasiun prediksi
ditampilkan pada Gambar 3.
Adapun alur kerja Tim Bidang Oseanografi dalam rangka inventarisasi dinamika
perairan dan rekomendasi teknik penanganannya terhadap daerah situs arkeologi
pesisir selatan Sumatera Barat secara lebih jelas ditampilkan pada Gambar 2.
Pendahuluan
13
Gambar 2. Alur kerja Tim Bidang Oseanografi dalam rangka inventarisasi dinamika
perairan dan rekomendasi teknik penanganannya terhadap daerah situs
arkeologi pesisir selatan sumatera barat
Persiapan
Survei (Visual & Wawancara)
Pengumpulan Data Sekunder
Prediksi Pasang Surut
Pengolahan Data
Analisa & Diskusi
Rekomendasi Teknik Penangnanan Situs
Bab Satu
14
Gambar 3. Posisi stasiun prediksi pasang surut
STASIUN A
STASIUN B
Pendahuluan
15
Bab Dua
16
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
17
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
(KABUPATEN PESISIR SELATAN)
2.1. Keadaan Geografis Nama Pesisir Selatan berasal dari istilah di masa penjajahan Belanda dulu, yaitu
afdeling zuid beneden landen (dataran rendah bagian selatan). Ketika itu pada 1903
wilayah Kerajaan Bandar Sepuluh Inderapura dan Kerinci dikuasai Belanda, yang lalu
menjadi afdeeling dan dipimpin asisten residen yang berkedudukan di Inderapura
sebagai pusat pemerintahan. Melalui UU nomor 12 tahun 1956 daerah ini berstatus
sebagai Kabupaten Dati II Pesisir Selatan Kerinci, dan baru pada 1957 sah menyandang
nama Pesisir Selatan.
Terletak pada 00 59’ ‐20 28, 6’ Lintang Selatan dan 1000 19’ – 1010 18’ Bujur
Timur, dengan luas daerah 5749,89 km2, yang memanjang dari Utara ke Selatan dengan
panjang pantai lebih kurang 234 km. Posisi geografis Kabupaten Pesisir Selatan, sebelah
utara berbatasan dengan Kodya Padang, sebelah selatan dengan Propinsi Bengkulu,
sebelah timur dengan Kabupaten Solok dan Propinsi Jambi, dan sebelah barat dengan
Samudra Indonesia. (Gambar 4)
Daerah ini memiliki pulau sebanyak 25 buah dan 18 buah sungai yaitu 11 buah
sungai besar dan 7 buah sungai kecil. Pulau‐pulau tersebut sangat berpotensi kalau
dikembangkan sebagai objek wisata, baik wisata alam maupun wisata bahari seperti
Pulau Cingkuak, Bukit Langkisau dan Mandeh Resort. Kondisi alam Kabupaten Pesisir
Selatan saat ini, komposisinya terdiri dari 6,07 % lahan sawah dan 93,93 % lahan bukan
sawah. Luas kawasan hutan mencapai 83,91 % dan 70,54 % diantaranya merupakan
hutan lebat, sedangkan lahan yang dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan hanya
7,51 % saja lari luas wilayah.
Bab Dua
18
Gambar 4. Posisi geografis Kabupaten Pesisir Selatan pada Propinsi Sumatera Barat (kiri) dan pembagian wilayah administratif kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan (kanan)
Topografi daerah ini beragam, antara dataran, gunung, dan perbukitan yang
bergelombang karena kabupaten ini terletak di lereng‐lereng bulit barisan bagian
barat sampai ke pinggir laut dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 m
sampai 1000 m, dan ini pulalah sebabnya ia bersuhu antara 230C‐320C dan curah
hujan rata‐rata 328 mm per bulan, atau rata‐rata 13 hari, sedangkan musim hujan
berlangsung pada sekitar bulan September sampai Maret.
Dataran paling rendah yang umumnya dimanfaatkan sebagai pemukiman
dan lahan pertanian memiliki ketinggian antara 7 – 100 meter dari permukaan laut,
sedangkan perbukitan merupakan lahan perkebunan dan hutan berada pada
ketinggian antara 500 – 1000 meter dpl. Perlu dikemukakan bahwa pemukiman,
pertanian, dan perkebunan terutama terdapat di sepanjang pantai, mengikuti ruas
jalan raya yang merupakan urat nadi perhubungan di daerah tersebut (ENI 13,
1990).
Beberapa bagian dari Pegunungan Bukit Barisan di wilayah ini berketinggian
di atas 1000 meter dpl. Puncak‐puncaknya antara adalah Gunung Rasau (2.585 m),
Juaro (2.480 m), Malengkok (92.314 m ) dan Gunung Mande Rubiah (2.009). Di
kabupaten ini juga dijumpai banyak sungai meskipun pendek‐pendek (ENI 13,
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
19
1990). Sungai‐sungai tersebut umumnya membentuk pola dendritik, yakni
percabangannya berbentuk seperti pohon. Sungai‐sungai yang relatif besar di
wilayah ini antara lain adalah Batang Lunang, Batang Tarusan, Batang Bayang,
Batang Kapas, Batang Surantih, Batang Kambang, Batang Pelangai, Batang Betang,
dan Batang Silaut (Profil Propinsi RI, Sumatera Barat, 1992). Selain menjadi sarana
pengairan sederhana, sungai‐sungai tersebut dimanfaatkan pula sebagai sarana
penghubung dari daerah‐daerah di pedalaman ke nagari‐nagari di sepanjang pesisir
barat (ENI 13, 1990). Hal yang disebutkan terakhir, berdasarkan berbagai sumber
sejarah, telah berlangsung sejak dahulu.
Hasil tambangnya berupa emas, perak, dan batu bara dieksploitasi terutama
pada masa penjajahan Belanda. Penambangan batu bara di daerah Painan diketahui
berakhir pada tahun 1934. Sedangkan emas di daerah Salido banyak ditambang
pada tahun 1735 sampai 1869 oleh Belanda. Bekas penambangan itu masih dapat
dijumpai di daerah antara Painan dan Bayang. (Gambar 5)
Gambar 5. Daerah bekas penambangan di Pesisir Selatan
Bab Dua
20
2.2. Posisi dan Lingkungan Situs
2.2.1. Lokasi Muara Bayang
Muara Bayang terletak pada koordinat 01°18’39”LS dan 100°31’8.6”BT,
merupakan salah satu pantai yang terdapat pada teluk Bayang dengan lebar paras pantai
berkisar antara 15‐20 m dengan kemiringan lereng pantai berkisar antara 13° – 18°.
Dari hasil pengamatan langsung di lapangan terdapat 3 (tiga) buah sungai yang
berakhir pada satu muara. Sungai tersebut adalah Batang Nipah 1, Batang Nipah 2, dan
Batang Kerambi dimana pada muara ini terlihat tertutup oleh material pasir dan
membentuk danau di belakang pantai (Gambar 6). Hal ini disebabkan karena waktu
pengamatan adalah pada saat musim kemarau sehingga pasokan air sungai berkurang
dari hulu dan material pasir yang telah dikeluarkan oleh ketiga sungai tersebut dibawa
kembali ke pantai yang menjadikan muara tersebut tertutup (Gambar 7).
Gambar 6. Danau di belakang pantai
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
21
Jenis material pantai adalah pasir kasar hingga pasir sedang, bersudut tanggung
hingga membundar tanggung dan berwarna abu‐abu kekuningan. Jenis mineral yang
mendominasi pasir ini adalah beberapa mineral hitan dan feldspar yang menunjukan
bahwa material yang ada dipantai ini berasal dari batuan gunung api.
Disamping dijumpai penambangan pasir tradisional oleh masyarakat setempat
dengan skala yang kecil. Pasir tersebut diambil dengan menggunakan perahu kecil ke
arah hulu sungai Batang Kerambi yang kemudian di tumpuk di dekat muara untuk
dipergunakan untuk keperluan sendiri atau di jual ke pengumpul yang lebih besar
(Gambar 8).
Gambar 7. Muara yang tertutup material pasir
Bab Dua
22
Gambar 8. Penambangan pasir tradisionil
2.2.2. Lokasi Pelabuhan Kuno Salido
Terletak pada koordinat 01°20’9.9”LS dan 100°34’11.2”BT, merupakan hilir dari
sungai Salido. Di lokasi ini terdapat 3 singkapan batuan yang secara megaskopis disebut
dengan breksi volkanik, konglomerat dan andesit. Diatas batuan breksi ini dahulu adalah
pelabuhan kuno Salido yang merupakan pelabuhan alam, dimana kapal‐kapal berlabuh.
Tetapi sayangnya cagar budaya ini saat ini telah didirikan sebuah bangunan yang
dipergunakan untuk tempat pertemuan para pemuda setempat (Gambar 9). Menurut
narasumber yang ditemui di lokasi, dahulu muara sungai Salido berada di lokasi ini, dan
sekarang sudah berpindah sejauh 2 km ke arah barat laut atau tepatnya pada
01°19’26.4”LS dan 100°33’25.7”BT selama + 20 tahun.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
23
Gambar 9. Pelabuhan alam berupa singkapan batu breksi yang telah d idirikan bangunan.
Bab Dua
24
2.2.3. Lokasi Ampyang Parak
Desa Ampyang Parak terletak di kecamatan Sutera sekitar 60 km sebelah selatan
Painan (ke arah Indrapura). Ditemukan sebuah bangkai kapal yang sudah ditutupi oleh
endapan pasir pantai yang cukup tebal hingga menutupi badan kapal (Gambar 10).
Terletak pada koordinat 01°38’16.5”LS dan 100°39’48”BT, karena sedimentasi yang
tinggi mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan fisik perairan sekitar situs.
Menurut Bapak Jasman (76 tahun) keadaan kapal tersebut yang tertutup oleh endapan
pasir pantai yang demikian sudah terjadi sejak beliau masih kecil. Bukti alam terlihat
adanya danau di belakang pantai ini. (Gambar 11).
Gambar 10. Shipwreck di Ampyang Parak
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
25
Gambar 11. Danau di belakang pantai Ampyang Parak (Bukti fisik
terjadinya perubahan lingkungan fisik situs)
2.2.4. Lokasi Mandeh Wreck
Terletak pada koordinat 01°12 03.7”LS dan 100°25’30.3”BT, Kondisi sekitar teluk
merupakan perbukitan dengan pantainya yang tertutup oleh bakau (Gambar 12).
Kondisi arus di perairan teluk juga sangat tenang dengan tinggi gelombang sekitar 20‐50
cm, hal ini dikarenakan karena lokasi kapal tersebut benar‐benar terlindung oleh
daratan yang berada di sekitarnya. Akan tetapi sebagian besar terumbu karang juga
telah mengalami kerusakan. Hutan bakau sebagian mendominasi pulau‐pulau yang
berada di perairan Mandeh dan sebagian lagi berupa batu‐batu cadas sedangkan kondisi
substrat yang berada di sekitar kapal adalah lumpur. Kondisi kapal berada pada
kedalaman 17‐31 meter dengan jarak pandang kapal 20 meter pada kedalaman 17
meter dan terus berkurang hingga jarak pandang kurang dari 1 meter pada kedalaman
31 meter. Hal ini dimungkinkan terjadi karena substrat yang didominasi oleh sediment
yang halus sehingga membuat keruh kondisi di sekitar kapal tersebut.
Bab Dua
26
Gambar 12. Perbukitan yang mengelilingi Teluk Mandeh
3. Lokasi Nibung Wreck
Terletak pada koordinat 01°00’40.5”LS dan 100°23’27”BT, merupakan titik
keberangkatan menuju titik penyelaman kedua. Di lokasi ini terlihat abrasi yang cukup
kuat (Gambar 13).
Berdasarkan informasi dari penyelam sebelumnya, bahwa bangkai kapal karam
ditemukan pada kedalaman + 7 meter tetapi kedalaman penyelaman yang dilakukan
mencapai kedalaman 15 meter, sehingga titik lokasi penyelaman tersebut diperkirakan
kurang tepat. Disamping itu pada saat melakukan penyelaman, orientasi bawah air
sangat sulit untuk dilakukan, karena arus yang cukup kencang dan juga kondisi air yang
sangat keruh .
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
27
Gambar 13. Abrasi dan kekeruhan yang cukup kuat pada lokasi penyelaman
2.2.5. Lokasi Dermaga kuno Pulau Cingkuak
Terletak di ketinggian lebih kurang 3 m dari permukaan laut, dengan luas situs
7500 m2 dan luas pulau 4,5 ha. Dermaga kuno pulau Cingkuak terletak pada koordinat
01° 38’ 16.5” LS dan 100° 39’ 48.0” BT. Pulau Cingkuak terdiri dari dataran pasir dan
diujung selatan terdapat 2 buah bukit kecil dengan ketinggian lebih kurang 100 m yang
terdiri dari tanah, batu dan batu krang, komplek benteng terletak pada dataran sebelah
barat. Pantai barat dan utara Pulau Cingkuak langsung berhadapan dengan lautan
Indonesia, sehingga besar kecil ombak dan gelombang sangat ditentukan oleh keadaan
cuaca/angin. Pantai selatan dan timur berlaut tenang dengan kedalaman maksimal 30
meter, kedua sisi ini merupakan selat antara Pulau Cingkuak dengan pantai Kandang
Jawi Carocok Painan dengan lebar lebih kurang 300 m, Kedua sisi ini cukup aman untuk
melakukan diving (Gambar 14).
Bab Dua
28
Gambar 14. Pulau Cingkuak, terlihat dari Pulau Kreta
2.3. Latar Belakang Sejarah
De West van Sumatera atau Sumatera's Westkust adalah bagian pesisir barat
Sumatera yang jatuh pertama kali di bawah pengawasan dan kekuasaan ekonomi dan
politik administratif Belanda (pertengahan abad ke‐17). Pada saat itu yang termasuk
Sumaetra's Westkust hanyalah bagian pesisisr barat daerah Sumatera Barat saja,
sementara daerah pedalaman Sumatera Barat lebih dikenal sebagai het land der
Manicabers (Alam Minangkabau yang pusatnya di Pagarruyung). Namun pada abad ke‐
19, penulis‐penulis dan para penguasa Belanda memperluas pengertian Sumatera's
Westkust hingga meliputi daerah‐daerah yang termasuk "Alam Minangkabau".1
1 M.D. Mansoer, dkk., Sedjarah Minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970), hlm. 1-2.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
29
2.3.1. Wilayah Pesisir Barat Sumatera Barat di Bawah Kekuasaan Kasultanan
Aceh
Daerah Minangkabau terdiri atas kesatuan‐kesatuan geografis, politik‐ekonomis,
dan kultur‐historis yang terbagi atas daerah Pesisir, Dare, dan Rantau. Pesisir adalah
sebutan untuk daerah dataran rendah yang terletak di sebelah barat Bukit Barisan dan
berbatasan dengan Samudera Indonesia. daerah pesisir terbagi juga atas kesatuan‐
kesatuan politik‐ekonomis, dan kultur‐historis menurut nama daerah atau kota (dagang)
yang dalam sejarah pernah memainkan peranan ekonomi dan politik yang penting di
masa lampau seperti Tiku‐Pariaman di sebelah utara, Padang di tengah‐tengah, Bandar‐
X (Bayang) dan Indrapura di sebelah selatan. Daerah yang berbatasan dengan pesisir
yang terletak di tengah‐tengah daerah pegunungan Bukit Barisan disebut Dare (Darat).
Dataran Tinggi Dare adalah lembah Gunung Singgalang‐Tandikat, Gunung Merapi dan
Gunung Sago. Sementara itu, lembah‐lembah sungai dan anak‐anak sungai yang berasal
dari daerah pegunungan Bukit Barisan dan bermuara di Selat Sumatera (Malaka)
maupun Laut Cina Selatan disebut Rantau.2
Mulai abad ke‐16 M, daerah Kasultanan Aceh Darusalam semakin luas. Wilayah‐
wilayah, khususnya di bagian utara Sumatera menyatakan tunduk kepada Aceh, namun
mereka tetap bebas dan mempunyai otonomi yang sebesar‐besarnya. Pada saat
kekuasaan Aceh mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607‐1636), Aceh menguasai jalur pantai, baik di sebelah barat maupun sebelah timur
Pulau Sumatera, dan para pedagang dipaksa untuk singgah di pelabuhan‐pelabuhan
milik Aceh. Menurut catatan seorang pedagang bangsa Perancis yang datang ke Aceh
pada tahun 1621 M, daerah‐daerah yang berada di bawah pengaruh Aceh adalah Labo,
Singkil, Barus, Batanghari, Pasaman, Tiku, Pariaman, Padang dan Sileda.3
Pada saat itu, kerajaan‐kerajaan yang terletak di sebelah barat maupun sebelah
timur Pulau Sumatera memang merupakan negara‐negara yang takluk pada kekuasaan
Aceh, di antaranya adalah Aru, Deli, Siak, Asahan, Tanjung Balai, Kampar, Inderagiri,
2 Ibid., hlm. 2-3. 3 Tim Penyusun, Sejarah Daerah Prov. DI. Aceh, (Banda Aceh: Pemprov. DI. Aceh, 1977/1978), hlm. 74, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, (ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 65-66.
Bab Dua
30
Pahang, Perak, Pasaman, Tiku, Pariaman, Padang, Inderapura, dan Nias. Daerah yang
dikuasai dan ditaklukan Aceh adalah kota‐kota pelabuhan dan daerah yang
menghasilkan barang‐barang yang penting bagi perdagangan. Pasaman dan Tiku penting
dari segi ekonomi karena hasil ladanya (Gambar 15), sedangkan Barus dan Singkil
menghasilkan kapur barus. Barang‐barang tersebut merupakan barang‐barang dagangan
yang banyak dicari oleh para pedagang asing.4
Gambar 15. Daerah perkebunan lada utama sumatera
4 Ibid., hlm. 75.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
31
Pengaruh Aceh dalam hal politik dan ekonomi tertanam di daerah Pesisir
Sumatra Barat dimulai sekitar tahun 1550 hingga 1660. Kekuasaan Aceh di daerah pesisir
kemudian digantikan oleh Belanda yang kemudian meluas tidak hanya di daerah pesisir
saja, tetapi melainkan juga mencakup seluruh daerah Minangkabau (1660‐1942) dengan
masa interregnum Inggris (1795‐1819).5 Daerah pesisir terus‐menerus dikuasai oleh
kekuatan asing dikarenakan mempunyai arti ekonomis dan politis yang lebih besar
dibandingkan daerah Dare atau pun Rantau. Di daerah Pesisir Selatan banyak terdapat
bandar atau kota‐kota pelabuhan. Pada masa itu, bandar mempunyai pengertian dan
keadaan yang sama dengan nagari. Bandar saat itu pada hakekatnya adalah "kota
republik dagang" yang otonom. Masing‐masing punya koto, bertindak sendiri‐sendiri,
dan sering tidak bebas dari persaingnan sengit dengan sesama bandar lainnya.
Sumber penghidupan yang utama daerah Minangkabau adalah hasil pertanian
dan pertambangan emas. Lada yang merupakan hasil bumi yang sangat digemari oleh
bangsa‐bangsa di seluruh dunia dari dulu hingga sekarang, pada tahun 500‐1000 M
dihasilkan dari daerah‐daerah Rantau dan disalurkan ke luar daerah melalui muara‐
muara sungai besar ke pesisir timur. Untuk hasil lada, Rantau menjadi medan percaturan
politik antara kekuasaan‐kekuasaan dunia saat itu seperti Cina dan Persia. Kerajaan
Sriwijaya pun menguasai perdagangan lada yang dihasilkan dari Rantau Minangkabau.
Selain lada, emas juga disalurkan ke luar daerah melalui sungai‐sungai besar di Pesisir
Timur, dan sejak abad ke‐16 emas juga disalurkan melalui daerah Pesisir di barat
Minangkabau. Lada dan emas itulah yang mengundang Aceh (pertengahan abad ke‐16)
dan Belanda (pertengahan abad ke‐17) untuk menguasai daerah Pesisir Minangkabau.
Kekayaan emas di daerah Minangkabau (digambarkan secara berlebihan) dalam surat
yang dikirimkan oleh Yang Dipertuan Pagarruyung, Paduka Sri Sultan Ahmad Syah
kepada pimpinan Belanda di Batavia pada pertengahan tahun 1667 yang antara lain
berbunyi bahwa de Coning van Manicabo mempunyai sungai‐sungai dari emas dan
mempunyai tambang emas berjumlah ribuan. Emas dan lada diberikan sebagai tanda
5 M.D. Mansoer, dkk., op.cit., hlm. 8.
Bab Dua
32
persahabatan dari raja‐raja dan panghulu‐panghulu di daerah Pesisir kepada pimpinan
Belanda di Batavia sebagai buah tangan.6
Surat yang dikirimkan oleh raja Indrapura kepada pimpinan "persekutuan Dagang
Timur Jauh VOC di Batavia melukiskan dengan jelas bagaimana terpecahnya
pemerintahan di daeerah Pesisir (Selatan). Surat tersebut dikirimkan ketika kekuasaan
politik ekonomis Aceh di bawah pimpinan Ratu Tajul Alam Syafiattuddin (1641‐1676)
mulai menurun di daerah Pesisir Sumatra Barat dan kekuasaan ekonomi politik Belanda
yang dipimpin oleh Joan Maetsuycker sebagai gubernur jendral (1653‐1678) mulai
berkembang dan meluas di wilayah Nusantara umumnya dan di Pesisir khususnya.
dalam surat itu dituliskan bahwa Padang dipimpin oleh seorang penghulu raja
(Orangkaya kecil) didampingi oleh 8 orang penghulu. Cottange (yang meliputi daerah
Tabing sekarang) dipimpin oleh 10 orang penghulu dan Bandar‐X (Bayang) mempunyai 4
raja, Raja Nan Ampe didampingi oleh 4 orang penghulu, Raja Painan, seorang yang
disebut raja Carbou dan penghulu Bunga Pasang. Surat ini dimuat dalam Daghregister
tahun 1666‐1667.7 hlm. 25.
Dengan runtuh dan digantikannya pengaruh politik ekonomi Aceh oleh Belanda
di Pesisir sejak pertengahan abad ke‐17. VOC mengakui kedaulatan raja Minangkabau di
daerah tersebut. Pengakuan itu dibarengi dengan syarat VOC ditunjuk sebagai wakil
(stadthounder) raja Minangkabau mulai dari Barus di sebelah utara dan Teluk Ketaun di
sebelah selatan. Taktik Belanda tersebut dimaksudkan guna melegalisir politik
ekonominya untuk menguasai Pesisir yang telah bebas dari penguasaan Aceh. Raja
Minangkabau diakui oleh Belanda untuk mendukung wibawa politik dan ekonominya di
tempat‐tempat yang dipaksanya untuk mengakui monopoli pembelian lada dan emas
dan pemasukan tekstil dan garam di daerah tersebut. Mulai akhir abad ke‐17 dan awal
abad ke‐18, Pariaman, Ulakan, Kota Tengah dan Padang yang sejak tahun 1680 dijadikan
pusat kegiatan ekonomi dan politik Belanda di Pesisir.8
6 Ibid., hlm. 18-19. 7 Ibid., hlm. 25. 8 Ibid., hlm. 29.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
33
Sejak tahun 1300‐an, lada tidak hanya diangkut ke pantai timur Sumatra saja,
melainkan juga ke pantai barat Sumatra. Sejak saat itu, berkembanglah bandar lada yang
baru, yang kemudian menjadi ramai dikunjungi oleh pedagang‐pedagang langsung dari
Gujarat India, yaitu bandar Pariaman.9
menurut Prasasti Kuburajo (1349), raja Adityawarman dikenal dengan sebutan
Kanakamedinindra yang berarti raja Negeri Emas. hlm. 61
Ekspansi teritorial Aceh ke daerah pesisir timur dan pesisir barat Sumatra dimulai
sejak pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah Al Qahhar (1539‐1571) dan mencapai
puncaknya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607‐1636). Pesisir barat Sumatra dari
mulai Barus di sebelah utara hingga Teluk Ketaun di sebelah selatan secara nominal
takluk di bawah perintah Yang Dipertuan Minangkabau. pada kenyataannya, daerah
yang terbentang luas sepanjang Samudera Indonesia itu terbagi atas kerajaan‐kerajan
kecil dan nagari‐nagari. mereka adalah daerah‐daerah otonom yang tidak terlalu terikat
pada sesama daerah tersebut maupun terhadap Yang Dipertuan Minangkabau. akan
tetapi sering juga terjadi perangh dan perbutan pengaruh atau kekuasaan antara sesama
daerah otonom tersebut. Itulah salah satu sebvab utama kenapa Aceh dalam jangka
waktu yang relatif singkat dan dengan daya tempur yang relatif kecil berhasil
memaksakan dominasi politik ekonominya di daerah pesisir yang merupakan penghasil
dan penyalur terpenting komoditas emas, lada, kamper, benzoin (kemenyan), cengkeh,
buah dan kulit pala, kayu manis, dan hasil bumi lainnya. Lebih dari satu abad lamanya
Aceh dapat mempertahankan kedudukannya sebagai single buyer hasil‐hasil bumi Pesisir
dan single seller kebutuhannya seperti tekstil dan barang‐barang mewah.10
Barus yang merupakan daerah taklukan Minangkabau paling Utara di Pesisir,
terdiri atas dua kerajaan kecil yaitu Barus Hilir dan Barus Hulu. Sejak sebelum Masehi,
Barus sudah terkenal di India sebagai penghasil kapur (barus) dan kemenyan yang sangat
digemari karena mutunya sangat tinggi. Sengketa dan perang saudara yang selalu timbul
dan berkobar di daerah "parfum" tersebut membuka jalan bagi Aceh untuk menguasai
wilayah yang penting secara ekonomis tersebut.
9 Ibid., hlm. 54-55. 10 Ibid., hlm. 76.
Bab Dua
34
Daerah Natal dan Pasaman dalam sejarah terkenal sebagai penghasil emas di
samping hasil bumi yang penting‐penting lainnya. Gunung Ophir, adalah puncak
Pasaman yang sepanjang masa dikenal sebagai mercu suar bagi pelaut‐pelaut di
Samudera Hindia. Daerah emas ini jatuh di tangan kekuasaan Aceh pada pertengahan
abad ke‐16.11
Bandar Tiku dan Pariaman juga merupakan penghasil dan penyalur emas dan
hasil bumi lainnya dari alam Minangkabau. Jalan yang melintasi Bukit Barisan
menghubungkan kedua bandar tersebut dengan daerah pedalaman. Hingga menjelang
akhir abad ke‐17, ketika Belanda menjadikan kota Padang pos dagangnya yang
terpenting di daerah pesisir barat Sumatra, Pariaman adalah bandar terbesar di wilayah
tersebut.Aceh menempatkan syahbandar‐nya di bandar sebelah utara Pariaman.
Sebutan bagi petinggi Aceh "teuku" kemudian digunakan sebagai nama tempat
kedudukannya yaitu Tiku/Bandar khalifah.12
Padang kota dan sebagian besar dari daerah Padang‐luar kota sekarang, pada
abad ke‐16 terdiri atas nagari Kota Tengah di sebelah utara, Nagari Pauh di sebelah
timur dan sebagian dari wilayah Bandar‐X (Bayang) di sebelah selatan. Nagari Kota
tengah di sebelah utara berbatasn dengan nagari Ulakan, tetangga Bandar Pariaman di
sebelah selatannya. Perniagaan nagari Koto tengah ramai karena selain menghasilkan
lada, cengkeh, kayu manis, buah pala, dll, juga merupakan daerah penyalur emas dari
alam Minangkabau. Daerah kekuasaanya meliputi Tabing dan Lubuk Buaya sekarang.
Bandar Padang di sebelah selatan nagari koto tengah berbatasan di sebelah
selatan dengan Batang Arau. Daerah berbukit‐bukit di sebelah selatan yaitu Teluk Bayur,
Teluk Bungus, Bunga Pasang, Sibalantai, termasuk daerah peralihan antara Bandar
Padang dan Tarusan, Bayang (Bandar‐X). Pauh di sebelah barat berbatasan dengan
nagari Koto Tengah dan Bandar Padang. Pauh tidak saja menghasilkan emas, lada, dll,
tetapi juga merupakan daerah penyaluran hasil‐hasil bumi dan emas dari daerah‐daerah
11 Ibid., hlm. 77. 12 Ibid.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
35
di balik bukit barisan. Pauh mempunyai arti ekonomis yang penting bagi bandar
Padang.13
Daerah antara Teluk Bungus, Tarusan, dan Teluk Ketaun terdiri atas federasi
negara‐negara otonom, terdiri atas Bandar‐X (Bayang), Kerajaan Indrapura dan Kerajaan
Manjuta. Indrapura dan Manjuta ialah produsen lada terbesar di Pesisir Selatan.
2.3.2. Wilayah Pesisir Barat Sumatera Barat di Bawah Kekuasaan Belanda
Tujuan ekspansi teritorial Aceh ke pesisir ialah menguasai perdagangan rempah‐
rempah, terutama lada dan emas daerah itu dan penjualan tekstil serta kebutuhan‐
kebutuhan lain dari masyarakat Pesisir tersebut. Dominasi politik ekonomi itu
dimaksudkan untuk memperoleh biaya untuk mengusir Portugis dari Malaka. Saudagar‐
saudagar pelaut asing dari India, Persia, Arab, Cina, Inggris, Belanda, dan Perancis hanya
dapat membeli lada dan emas dan menjual barang‐barang yang mereka bawa di bandar‐
bandar milik Aceh Darus Salam. Bagi daerah Pesisir khususnya dan Minangkabau
umumnya, politik dagang Aceh tersebut berarti harus menjual hasil buminya dengan
harga rendah dan membeli barang‐barang kebutuhannya dengan harga tinggi sesuai
dengan jumlah yang ditetapkan secara sepihak oleh Aceh. Rasa tidak puas dan ingin
membebaskan diri dari pengaruh Aceh mulai berkembang luas di Pesisir, terutama
ketika wibawa Aceh mulai menurun yaitu pada pertengahan abad ke‐17. Belanda dan
Inggris mulai menancapkan kekuasan di bandar‐bandar tersebut ketika dominasi Aceh
mulai melemah, terutama di daerah‐daerah yang paling jauh letaknya dari Aceh.
Daerah‐daerah itu misalnya Bayang (Bandar‐X), yaitu yang terletak di antara bandar
Padang dan Kerajaan Indrapura. Di daerah inilah Belanda mula‐mula memperoleh
”bridgehead” atau landasan untuk mengembangkan pengaruh politik ekonominya di
Pesisir (sejak pertengahan abad ke‐17).14
Setelah Malaka jatuh ke tangan Belanda (1641), jalan dagang antara Aceh‐India‐
Persia, dibelokan oleh Belanda menyusur pesisir barat Sumatera dan Selat Sunda,
13 Ibid., hlm. 78. 14 Ibid., hlm. 82.
Bab Dua
36
kegiatan ekonomi Aceh jadi menurun drastis. Pada saat itulah Belanda mulai
menggantikan peranan politik‐ekonomi Aceh di wilayah Pesisir.
Setelah berhasil menyingkirkan pedagang‐pedagang perantara Asia dari perairan
Indonesia dan mendirikan loji‐loji di daratan dan kepulauan Asia, mulai dari Teluk Persia
di barat laut (westen comptoir) hingga ke Jepang di timur laut (ooster comptoir) dengan
bandar benteng Batavia sebagai pusatnya. Dalam waktu setahun sekali, konvoi oost inje
vaarders dengan muatan sarat meninggalkan Batavia menuju Amsterdam, yang menjadi
pusat perniagaan dan penyaluran rempah‐rempah di Eropa sejak pertengahan abad ke‐
17. Dalam jaringan‐jaringan perniagaan Belanda antara Batavia dan westers comptoir
itulah letak arti militer strategis dan politik ekonomis daerah Pesisir di barat Sumatera
bagi Belanda. Daerah Minangkabau menghasilkan lada dan emas, di samping merupakan
pasaran yang baik bagi tekstil dari India Selatan. Bandar Padang berada kira‐kira pada
pertengahan pelayaran antara Batavia dan Ceylon, yang jatuh ke tangan Belanda pada
tahun 1640. Colombo menampung segala kegiatan perniagaan di pesisir barat dan timur
India Selatan, Laut Arab, dan Teluk Persia.15
Sejak belanda menjadikan Kaapstad di Tanjung Harapan tempat rendezvous
(pertemuan) bagi kapal‐kapal dari Amsterdam dan dari Batavia (1651) dan Colombo
menjadi pangkalan dagangnya di ujung selatan India, jalan dagang melalui Selat
Sumatera semakin sepi. Belanda membelokan jalan dagang melalui Selat Sunda dengan
mengambil rute ke arah selatan dan timur dari Tanjung Harapan, yang kemudian
membelok ke arah timur laut dan masuk ke Selat Sunda. Belokan itu juga mencapai
Pesisir Sumatera Barat, kian ramai perdagangan antara kaapstad dengan wester
comptoir maka kian penting pula arti Pesisir Sumatera Barat bagi Belanda. Karena itulah
sejak pertengahan abad ke‐17 Belanda berusaha keras membuka loji di bandar Padang
yang letaknya sangat strategis untuk kepentingan dagangnya waktu itu.
Hubungan dagang Pesisir Sumatera barat dengan Belanda sudah mulai sejak
akhir tahun 1600‐an. Dua buah kapal dagang Belanda yang berlayar dari Banten menuju
Amsterdam berlabuh di bandar Pariaman, Tiku, dan Airbangis (Pasaman) untuk membeli
lada. Kericuhan segera timbul ketika mereka berlabuh di bandar Aceh Darussalam.
15 Ibid., hlm. 86.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
37
Hubungan Belanda‐Aceh pada abad ke‐17 dan abad‐abad berikutnya ditandai oleh
ketegangan‐ketegangan politik yang seringkali meletus menjadi perang terbuka. Pasang
naik dan pasang surut hubungan politik ekonomi Belanda‐Aceh tersebut sangat
mempengaruhi hubungan dagang antara Pesisir Sumatera Barat dengan Belanda.
Belanda membeli lada, cengkeh, kayu manis, buah pala, kemenyan, dan kamfer
dari penduduk pesisir, dan Belanda menjual tekstil, garam, barang‐barang dari besi,
barang‐barang mewah, dll. Kapal‐kapal Belanda datang sebulan sekali untuk membawa
barang‐barang dagangan dan mengambil hasil‐hasil bumi maupun emas yang telah
terkumpul di bandar‐bandar di Pesisir tersebut. Belanda akhirnya memerlukan gudang
sebagai tempat untuk menyimpan barang‐barang dagangannya, hasil bumi dan emas
yang sudah dibelinya, dan gudang tersebut kemudian berfungsi juga sebagai tempat
kediaman coopman atau pegawai‐pegawai Belanda lainnya. Gudang atau yang
kemudian dikenal sebagai loji tersebut sering memuat bahan‐bahan dagangan yang
adakalanya berjumlah hingga puluhan ribu gulden, dan ada kalanya loji tersebut
berfungsi sebagai benteng. Pada saat Pesisir barat Sumatera Barat sebagian masih di
bawah kekuasaan Aceh, dan apabila timbul ketegangan politik antara Aceh dengan
Belanda, loji Belanda di daerah pesisir ini sering dijadikan sasaran penyerangan oleh
pihak Aceh dan pesisir. Biasanya isi loji tersebut dirampas dan penghuninya ditawan.16
Pada tahun 1660, terjadilah perjanjian antara Aceh dengan Belanda yang antara
lain berisi bahwa Belanda diizinkan untuk membeli lada dan emas di wilayah pesisir,
mendirikan loji di Padang, dan Aceh bersedia membantu Belanda menagih piutangnya di
Tiku, Pariaman, Padang, dll., serta melarang daerah Pesisir mengadakan hubungan
dagang dengan Inggris. Sebagai pelaksana perjanjian damai tersebut di Pesisir, Belanda
menunjuk Jan Van Groenowegen sebagai coopman resident dan commandeur ter
westcuste van Sumatera. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan tugas menagih
piutang Belanda di bandar‐bandar pesisir dan mendirkan loji di Padang tidaklah
semudah seperti yang dibayangkan oleh orang‐orang Belanda tersebut. Perang yang
berlarut‐larut antara Aceh dan Belanda (1647‐1660) telah banyak menghancurkan
perkebunan‐perkebunan lada di Tiku dan Pariaman. Selain itu, pedagang‐pedagang
16 Ibid., hlm. 89.
Bab Dua
38
emas dari alam Minangkabau tidak mau turun lagi ke Pessisir, selain itu panglima Padang
menghalang‐halangi Groenewegen mendirikan loji di Padang. Karena kecewa dengan
keadaan tersebut, dan perjanjian damai dengan Aceh tidak dapat dilaksanakan di pesisir
bagian utara Sumatera barat tersebut, maka Gronewegen kemudian mengalihkan
perhatiannya ke daerah Pesisir Selatan Sumatera barat, di antaranya Bandar‐X (Bayang)
dan Indrapura, yang tidak terlalu didominasi oleh kekuasaan Aceh. Sebagai penghasil
dan penyalur emas dan lada terpenting, daerah‐daerah tersebut kurang tunduk
terhadap kekuasaan Aceh dan merasa tidak puas dengan dominasi politik ekonomi Aceh
di daerah tersebut karena dianggap melumpuhkan segala kegiatan dagang penduduk.
Groenewegen kemudian memutuskan untuk menjadikan daerah Salido sebagai
pusat kegiatan niaga Belanda di daerah pesisir tersebut. Pilihan Belanda tersebut
memperuncing keadaan dan nantinya akan mengobarkan perang saudara di wilayah
Pesisir barat Sumatera barat tersebut yaitu antara Pesisir Utara dan Pesisir Selatan
(1663‐1682).17
Salido, dalam istilah portugis berarti pintu gerbang, ialah gerbang menuju bandar
terpenting dan terbesar di daerah tersebut yaitu bandar‐X atau Bayang. Bayang yang
merupakan federasi sepuluh kota berbatasan dengan Kerajaan Indrapura di sebelah
selatan, di sebelah timur (laut dan tenggara) berbatasan dengan Bukit Barisan, dan di
sebelah utara berbatasan dengan Pauh dan Padang. Bayang merupakan produsen emas
yang bermutu tinggi. Di sana terdapat tambang emas yang diusahakan oleh Belanda,
tepatnya di Salido, dengan mendatangkan para pekerja dari Nias dan Madagaskar.
Tambang emas ini kemudian terpaksa ditutup pada tahun 1682 karena tidak
menghasilkan emas seperti yang diharapkan oleh Belanda. Lada dari daerah ini
berjumlah sekitar 1000 bahar atau 2000 ton per tahun, selain itu terdapat hasil bumi lain
seperti cengkeh, kulit manis, buah pala, dll yang disalurkan terutama melalui bandar
Salido di samping bandar‐bandar lain seperti Batang Kapas dan Air Haji. Jumlah
penduduk Bandar‐X atau Bayang cukup banyak sehingga daerah ini juga menjadi
pasaran yang penting untuk tekstil dan barang mewah yang diimpor oleh Belanda. Di
17 Ibid., hlm. 90.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
39
Salido terdapat perwakilan dari raja Nan Ampat, yaitu raja Pelangkai, raja Kambang, raja
Bunga Pasang‐Lakitan, dan raja Air Haji.
Groenewegen sebagai coopman dan commandeur resident ter Sumatera’s
westkust kemudian memperbaiki loji di Salido. Pada tahun 1663, terjadilah perjanjian
Painan yang membuat Belanda mempunyai hak monopoli di wilayah Pesisir (terutama
Pesisir Selatan). Namun pada pelaksanaan Perjanjian Painan ini tidak selancar yang
diinginkan oleh Belanda. Pada masa‐masa selanjutnya, Salido dan Bandar‐X atau Bayang,
menjadi tempat yang penuh perselisihan antara para pengikut Kasultanan aceh dan para
pengikut bangsa Belanda. Bayang dan Salido menjadi daerah pertempuran dan
kemudian masing‐masing bandar berusaha membela diri dan menyelamatkan dirinya
sebagai produsen‐produsen lada. Dalam keadaan kacau tersebut, Padang yang selalu
cemburu terhadap kemajuan Bayang ikut menyerang Bayang.18
Ancaman yang berkali‐kali dihadapi oleh loji Belanda di Salido akibat
kegoncangan politik tersebut mendorong Groenoewegen untuk meninggalkan Salido.
Pada saat itu, loji Belanda di Pulau Cingkuk di Teluk Painan sudah selesai dibangun dan
dengan persetujuan raja Painan, loji itu menjadi pusat kegiatan niaga Belanda di Pesisir
(1664). Pulau ini merupakan tempat yang sangat strategis untuk kepentingan Belanda
karena Pulau Cingkuk tidak mudah diserang dari darat dan iklimnya juga lebih baik
dibandingkan Salido. Tindakan Groenewegen yang memindahkan lojinya dari Salido ke
Pulau Cingkuk menimbulkan kemarahan penguasa Salido, Tiku, Pariaman, dan kota
Tengah. Pada masa‐masa selanjutnya, perang kemudian terus terjadi di wilayah Pesisir
Selatan Sumatera Barat ini hingga tahun 1682.
Setelah selesai perang Hasanudin di makasar dan perang trunojoyo, belanda
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengakhiri kericuhan di daerah Pesisir barat
Sumatera Barat bagian Selatan ini. Raja‐raja di wilayah ini menentang Belanda yang
sewenang‐wenang terhadap penduduk setempat dalam hal perdagangan emas dan lada,
selain itu Belanda juga menetapkan harga yang sangat tinggi terhadap garam dan
kebutuhan‐kebutuhan penduduk setempat. Pada tahun 1682 Belanda kemudian
memindahkan pusat kekuasannya di Sumatera Barat dari loji Pulau Cingkuak ke Padang.
18 Ibid., hlm. 96.
Bab Dua
40
Hingga akhir abad ke‐18, Belanda berhasil mempertahankan kekuasaannya meski
dengan sangat bersusah payah di daerah‐daerah Padang, Pulau Cingkuak, Air Haji dan
Pariaman. Hingga menjelang akhir abad ke‐18, hanya Padang dan Pulau Cingkuak yang
merupakan pos dagang Belanda yang terpenting dan terkuat di Pesisir. Pada masa‐masa
selanjutnya, daerah pesisir Sumatera Barat menjadi rebutan antara Belanda, Perancis,
dan Inggris.19
Pada tahun 1871, pemerintah Hindia Belanda dan Inggris mengadakan
persetujuan baru yang disebut Traktat Sumatera. Di antara isinya yang penting adalah
mengenai kebebasan yang diberikan kepada Belanda oleh Inggris untuk bertindak di
Pulau Sumatera. Dengan demikian, terbukalah jalan bagi bangsa Belanda untuk
melaksanakan cita‐citanya menguasai seluruh Pulau Sumatera.20
19 Ibid., hlm. 98-108.
20 Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, ibid, hlm. 67.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
41
Bab Tiga
42
Situs & Deskripsi Temuan Arkeologis di Lokasi Penelitian
43
BAB III
SITUS & DESKRIPSI TEMUAN ARKEOLOGIS
DI LOKASI PENELITIAN
3.1. Situs Pelabuhan Kuno Bayang
Berdasarkan hasil pelacakan data lapangan, data literature dan wawancara
dengan penduduk setempat dapat diketahui bahwa pada masa lampau, wilayah Bayang
atau yang dikenal sebagai Bandar X, merupakan salah satu pelabuhan tradisional yang
cukup penting peranannya dalam lalulintas perdagangan dan pelayaran, baik tingkat
lokal maupun internasional.
Apabila dilihat dari struktrur bangunan, bangunan di pelabuhan Bayang ini sudah
dapat dikatakan hilang karena struktur bangunannya sudah tidak dapat diamati lagi.
Selain itu, bagian muara sungai tempat berdirinya pelabuhan Bayang kuno ini sudah
ditutupi oleh endapan pasir pantai yang cukup tebal dan tinggi. Dengan demikian, pada
saat ini, kawasan yang dahulunya merupakan bagian dari pelabuhan kuno Bayang sudah
bergeser agak jauh dari garis pantai yang sekarang dikarenakan proses sedimentasi tadi.
Pada saat ini, tidak banyak sisa‐sisa pelabuhan kuno Bayang yang dapat dilihat.
Sisa‐sisa pelabuhan yang dapat diamati di lokasi tersebut di antaranya adalah bagian
dari patok‐patok besi yang diduga sebagai sisa‐sisa struktur yang kondisinya sebagian
besar sudah terendam air laut. Sisa‐sisa struktur pelabuhan kuno yang lain yang masih
dapat diamati adalah dua buah bongkahan batu berbentuk persegi panjang, sebagai
berikut: batu A berukuran panjang ± 80 cm dan lebar ± 35 cm, sedangkan batu B
berukuran panjang ± 60 cm dan lebar ± 25 cm. Selain batu‐batu yang sudah diukur
tersebut, terdapat juga sejumlah bongkahan batu yang lain yang mempunyai bentuk dan
ukuran yang hampir sama dengan 2 buah batu yang sudah diukur. Batu‐batu tersebut
berbahan andesit yang merupakan material vulkanik. Selain bongkahan‐bongkahan batu
andesit, di gundukan batu‐batu tersebut banyak terdapat juga bongkahan batu karang
pantai.
Bab Tiga
44
Di pantai Bayang telah terjadi pergeseran garis pantai akibat terjadinya proses
sedimentasi di muara Sungai Bayang. Pada saat ini, lebar garis pantai pasang surut
(pergeseran garis pantai) adalah sejauh ± 70 m. Sementara itu, bentang muara sungai
adalah ± 63 m.
Gambar 16 : Bongkahan –bongkahan batuan di lokasi bekas Pelabuhan kuno Bayang
3.2. Situs Dermaga Kuno Pulau Cingkuk
Kawasan Pulau Cingkuk berdasarkan secara administratif termasuk dalam
wilayah Carocok, Painan Selatan, Kecamatan IV Jurai. Bentuk tinggalan arkeologi yang
masih dapat diamati di pulau tersebut antara lain benteng dengan luas lebih kurang 4,5
hektar. Benteng pulau Cingkuk terletak lebih kurang 300 m dari garis pantai pulau
Sumatera, benteng dibangun dari perpaduan bangunan struktur bata, batukali, dan
benteng alam. Kompleks benteng yang masih tersisa antara lain gerbang yang terbuat
Situs & Deskripsi Temuan Arkeologis di Lokasi Penelitian
45
dari pasangan bata dengan tinggi sekitar 3 m, lebar 1,5 m, tebal 40 cm (Gambar 17),
menghadap ke ke Samudera Hindia (barat).
Gambar 17 : Sisa reruntuhan benteng di pulau Cingkuk
Selain gerbang, bagian benteng yang maih dapat diamati adalah dinding‐dinding
benteng sisi timur, utara dan selatan yang terbuat dari susunan batu kali dan bata
dengan bagian panjang yang tersisa sekitar 50 m. Di bagian tengah benteng terdapat
sebuah makam bangsa Eropa yang dikenal sebagai makam Madame van Kempen.
Makam tersebut merupakan makam dari seorang istri pembesar bangsa Belanda yang
diperkirakan meninggal pada pertengahan abad 18. Hal ini diperkirakan karena pada
makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang menyebutkan tentang pencarian
seseorang terhadap makam neneknya. Disebutkan bahwa setelah 150 tahun
menemukan makam nenek kami Madame van Kempen, barulah tahun 1911 kami
menemukan di sisni (pulau Cingkuk). Ditemukan juga banyak pecahan keramik, botol,
fragmen kaca dan uang logam (koin) di lingkungan situs. (Gambar 18)
Bab Tiga
46
Gambar 18 : Pecahan keramik di lingkungan situs
Sumberdaya arkeologi laut yang ditemukan di sini adalah sisa dermaga (anggar)
yang berlokasi di pantai timur pulau ini (Gambar 19). Tumpukan / susunan batu‐batu
berukuran besar (sekitar 70 cm x 50 cm ) yang menjadi fondasi bangunan itu masih
terlihat dan membentuk denah empat persegi panjang yang membujur barat‐timur.
Pada ujung bagian timurnya, batu‐batu pondasi itu membentuk denah empat persegi
panjang pula tetapi membujur utara – selatan. Ukuran bagian dermaga yang pertama –
berdenah empat persegi panjang – yakni bagian yang menempel langsung ke daratan
adalah 27,5 m x 6 m. Bagian kedua yang berdenah empat persegi panjang berukuran 10
x 9 meter. Jadi panjang keseluruhan dermaga itu adalah 36,5 meter.
Situs & Deskripsi Temuan Arkeologis di Lokasi Penelitian
47
Gambar 19 : sisa dermaga (anggar) yang berlokasi di pantai timur pulau
Di bagian tengah dermaga itu masih terlihat bagian yang relatif utuh. Pada
bagian ini dapat diketahui bahan yang digunakan untuk pembangunan dermaga itu,
dilihat dari bagian permukaan ke bawah terdiri atas : lapisan tanah berpasir, kerikil,
tanah (yang mengalamai sedimentasi), bongkahan batuan andesit (boulder), batu belah,
dan terkhir adalah bongkahan batuan andesit (boulder).
Secara umum dapat disampaikan bahwa sisa dermaga itu berada dalam kondisi
yang memprihatinkan karena sebagian besar materialnya habis berserakan oleh
hempasan ombak dari perairan disekitarnya. Pada saat pasang naik, maka ruas dermaga
yang relatif utuh (setinggi 2,3 meter) – dengan beberapa pucuk pohon yang tumbuh di
atasnya – di bagian tengah dermaga itu terpisah dari daratan Pulau Cingkuak, seolah‐
olah merupakan pulau sendiri.
Bab Tiga
48
3.3. Situs di Muara Salido
Muara Salido merupakan bagian dari aliran Batang Salido ke Samudera Hindia.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat, dahulunya muara ini
memiliki ukuran yang cukup luas dan berfungsi sebagai jalur untuk membawa emas hasil
tambang di Salido kecil yang terletak lebih kurang 7 kilometer dari Muara Salido. Dari
hasil pengamatan lapangan dan informasi masyarakat, bentuk‐bentuk tinggalan yang
masih dapat diamati di kawasan ini adalah benteng alam berupa bukit kecil menghadap
ke Samudera Hindia, dikatakan bahwa benteng ini dahulunya sangat terkait erat dengan
keberadaan Pulau Cingkuk sebagai basil pertahanan bangsa Portugis (Gambar 20).
Gambar 20. Bentuk tinggalan benteng alam berupa bukit kecil
Situs & Deskripsi Temuan Arkeologis di Lokasi Penelitian
49
Selain benteng tanah, di muara ini juga terdapat sebuah bangunan batu karang
yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Inango. Batu tersebut memiliki ukuran
cukup besar dengan bentang lebar sisi selatan 19 m, dan sisi barat 18 m, di bagian
tengah batu tersebut terdapat ruang yang cukup besar. Saat sekarang di atas batu
inango tersebut sudah dibangun sebuah bangunan secara permanen, sehingga untuk
mengamati bangunan inango tersebut secara lebih detil tidak dapat dilakukan. (Gambar
21)
Gambar 21. Batu Inango yang diatasnya telah dibangun sebuah bangunan permanen
Temuan lain di sekitar Muara Salido adalah sebuah pondasi bangunan yang
disebutkan sebagai kantor pelabuhan Belanda. Pondasi bangunan tersebut terbuat dari
susunan bongkahan andesit yang diikat satu sama lainya dengan mengunakan semen.
Dari segi keletakan, bangunan tersebut terletak lebih tinggi dari bangunan‐bangunan
pemukiman yang ada di sekitarnya. (Gambar 22)
Bab Tiga
50
Gambar 22. Pondasi bangunan yang dahulu merupakan kantor pelabuhan Belanda.
Keletakan Muara Salido dari garis pantai saat sekarang sudah sangat jauh
berubah, selain kawasan muara yang dahulu cukup lebar dan langsung berhadapan
dengan Samudera Hindia, saat sekarang muara tersebut menjadi sempit karena tertutup
oleh endapan pasir pantai, sedangkan bagian muara yang baru sudah bergeser ke arah
sebelah utara. Hal ini menurut Bapak Bakhtiar (nara sumber) sesuai dengan kajian para
geolog yang mengatakan bahwa setiap tahunnya muara‐muara sungai yang terletak di
pesisisr barat sumatera cenderung bergeser ke arah utara.
Situs & Deskripsi Temuan Arkeologis di Lokasi Penelitian
51
3.4. Situs Mandeh Wreck
Kawasan Mandeh merupakan bagian dari kawasan pelabuhan Carocok. Secara
umum kondisi pelabuhan merupakan kawasan yang cukup tenang karena pelabuhan
tersebut merupakan sebuah teluk yang agak tertutup karena dibatasi oleh pulau
sebelum berhadapan dengan gelombang laut Samudera Hindia. Di kawasan teluk
tersebut terdapat sejumlah pulau, di antaranya adalah Pulau Cubadak, Pulau Hantu, dan
lain‐lain. Pada saat ini, di kawasan Mandeh sedang dibangun sebuah resort yang diberi
nama sesuai dengan nama daerahnya yaitu Mandeh Resort.
Gambar 23. Kawasan teluk Mandeh
Dari hasil survei di kawasan Mandeh, dapat diketahui adanya tinggalan
arkeologis berupa bangkai kapal yang dahulu tenggelam di kawasan tersebut. Bangkai
kapal tersebut merupakan kapal besi dengan kondisi yang sudah rusak dan hanya tinggal
rangka‐nya saja. Bangunan kapal terdiri dari dua lantai, antara lantai pertama dengan
lantai kedua mulai dari bagian tengah ke belakang dipisahkan oleh jendela‐jendela.
Kapal ini mempunyai dua buah tiang yang semuanya dari besi dan sudah patah ke
Bab Tiga
52
belakang membujur ke arah timur‐barat. Bagian buritan patah ke belakang dengan tinggi
bagian buritan sekitar 4 m. Dinding‐dinding kapal yang masih tersisa hanya pada bagian
tengah yang mengarah ke bagian depan kapal. Di bagian dalam kapal hanya tersisa
kerangka‐kerangka yang semua dari besi. Bagian kanan‐kiri di tengah‐tengah kapal
terdapat tiang‐tiang besi yang diperkirakan sebagai tempat menyimpan sekoci. Bagian
palka masih menyisakan kerangka besi berbentuk segi empat.
Dari hasil pengukuran didapat data kapal sebagai berikut: panjang buritan
sampai ke belakang 24,6 m, lebar 11,10 m, tinggi bagian buritan paling belakang 4 m,
tinggi buritan bagian tengah 4,70 m, panjang tiang I 16,30 m, tinggi antara dek I dengan
dek II (bagian jendela) 1,30 m, arah hadap kapal adalah timur‐barat. Posisi rangka kapal
bergeser ke selatan 15°. Panjang dari depan buritan sampai ke haluan adalah 40,40 m,
sehingga panjang keseluruhan bangkai kapal adalah 67 m.
Gambar 24. Sisa – sisa bangkai kapal mandeh wreck
Situs & Deskripsi Temuan Arkeologis di Lokasi Penelitian
53
Dari hasil survei bawah air, ditemukan barang bawaan kapal berupa botol
minuman berwarna hijau yang bertuliskan Malaya Breweries Ltd, besi pasak dengan
panjang 40,15 cm, serta kayu jati yang berasal dari bagian bawah kapal.
Gambar 25. Temuan dari dalam mandeh wreck berupa botol minuman dan kayu.
Gambar 26. Tulisan Malaya Brewers dari badan botol temuan artefak di Mandeh Wreck
Bab Tiga
54
3.5. Situs Ampyang Parak Wreck
Kawasan Ampyang Parak terletak lebih kurang 60 km sebelah selatan Painan (ke
arah Indrapura). Secara administratif, situs ini terletak di kecamatan Sutera, kampung
Ampyang Parak (Amparan Perak). Tinggalan arkeologi di kawasan ini adalah sebuah
bangkai kapal yang sudah ditutupi oleh endapan pasir pantai yang cukup tebal hingga
menutupi seluruh bagian badan kapal. Bagian kapal yang masih dapat diamati adalah 4
bagian tiang kapal yang terbuat dari besi dengan tinggi 2,70 m, tiang‐tiang tersebut
membentuk persebaran empat persegi, dengan lebar jarak antar tiang 3,40 m dan
panjang jarak antar tiang 9,40 m.
Gambar 27. Tiang‐tiang kapal amparan perak wreck dengan badan kapal telah tertutup
endapan pasir pantai
Menurut narasumber, seorang nelayan mengatakan bahwa keadaan kapal
tersebut yang tertutup oleh endapan pasir pantai yang demikian sudah terjadi sejak
beliau masih kecil. Narasumber menyebutkan kapal tersebut merupakan kapal Belanda
yang terdampar karena dihantam oleh gelombang laut yang cukup besar. Dahulunya
kapal tersebut berada cukup jauh dari garis pantai (lebih kurang 1,5 km dari garis pantai
Situs & Deskripsi Temuan Arkeologis di Lokasi Penelitian
55
lama). Untuk mengetahui lebih jauh tentang matra formal (bentuk, ukuran) dan jenis
kapal tersebut tentunya penggalian arkeologis sangat penting untuk dilakukan.
Lokasi lain di kawasan Amparan Perak yang sangat menarik untuk ditindak lanjuti
adalah kawasan yang oleh masyarakat setempat di sebut dengan Gosong Nambi.
Dikatakan bahwa di lokasi tersebut di masa lalu juga terdapat lokasi‐lokasi kapal
tenggelam.
Bab Empat
56
Analisa Data & Pembahasan
57
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.1. Rekonstruksi Sejarah Temuan
4.1.1.Situs Bayang ( Bandar X)
Bayang adalah nama sebuah nagari. Kemungkinan dahulu daerah ini merupakan
daerah yang aman sehingga dapat digunakan untuk jalur pelayaran dan perdagangan. Di
masa lalu, di Nagari Bayang kemungkinan besar terdapat sebuah pelabuhan. Pada
awalnya, dermaga Bayang di masa lampau kemungkinan berfungsi sebagai pelabuhan
kecil untuk masyarakat pribumi/lokal dan sebagai tempat untuk mengumpulkan barang‐
barang komoditas perdagangan. Pada masa kolonial Belanda, komoditas barang‐barang
dagangan yang sudah terkumpul di pelabuhan Bayang kemudian diangkut ke loji Belanda
di Pulau Cingkuak yang pada saat itu merupakan tempat pusat kedudukan Belanda di
wilayah Sumatera Barat. Namun pada masa‐masa berikutnya, Bayang menjadi salah satu
pelabuhan yang cukup penting dan berpengaruh besar dalam aktivitas pelayaran dan
perdagangan di wilayah perairan pantai barat Sumatera di masa lampau.
Menurut latar belakang historisnya, Bayang atau dikenal juga sebagai Bandar‐X,
pada awalnya merupakan daerah otonom di Minangkabau yang bebas dan tidak terikat
erat pada satu kerajaan, namun pada masa berikutnya, yaitu sekitar abad ke‐16 M, yaitu
ketika Kesultanan Aceh memperluas daerah kekuasaannya, Bayang dan hampir seluruh
daerah di sepanjang pesisir barat Sumatera Barat pun kemudian menjadi daerah
taklukan Kesultanan Aceh. Pada saat kekuasaan Aceh surut di daerah tersebut dan
kekuasaan Belanda masuk, wilayah Bayang pun kemudian menjadi daerah kekuasaan
Belanda.
Ketertarikan Kesultanan Aceh dan Belanda untuk menguasai Bayang dikarenakan
pada saat itu Bayang merupakan salah satu pelabuhan yang cukup penting dalam lalu
lintas penyaluran komoditas barang‐barang dagangan seperti emas dan hasil bumi.
Sumber sejarah pun menyebutkan bahwa di masa lampau Bayang sudah cukup ramai
dan mempunyai penduduk yang cukup banyak sehingga dianggap sebagai daerah yang
Bab Empat
58
sangat baik untuk pemasaran barang‐barang yang dibawa oleh bangsa Belanda seperti
garam dan tekstil. Dilihat dari sisi kondisi geografis, Bayang memang cocok dijadikan
sebagai pelabuhan pelayaran dan perdagangan karena di daerah tersebut terdapat
sebuah sungai besar yang bermuara ke laut. Di sisi pantai yang berada tepat di muara
sungai yang sekarang inilah masih terdapat tumpukan bongkahan‐bongkahan batu
andesit yang rata‐rata berbentuk persegi panjang yang disebut‐sebut penduduk sebagai
sisa‐sisa pondasi dermaga Bayang di masa lampau.
Selain itu, kondisi perairan Bayang pun cukup tenang dan tidak berombak besar
sehingga sangat cocok dijadikan pelabuhan. Keberadaan sungai yang langsung bermuara
ke laut juga sangat mendukung dan men jadikan Bayang sebagai pelabuhan yang
strategis dan cukup ramai pada masa itu, karena di masa lampau, para penduduk dari
daerah pedalaman di gunung biasanya mengangkut hasil bumi mereka melalui sungai
untuk diperdagangkan di daerah pelabuhan. Hal ini otomatis membuat Bayang menjadi
pelabuhan yang ramai dan penting sebagai tempat bertemunya penduduk pedalaman
yang akan menjual emas dan hasil bumi mereka dengan orang‐orang asing yang akan
membeli produk lokal dan sekaligus juga menjual barang dagangan yang mereka bawa
seperti tekstil, garam, barang mewah, dan lain‐lain. Hal itulah yang menyebabkan
Bayang menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir barat Sumatera Barat pada masa
itu.
4.1.2. Situs Mandeh Wreck
Di Situs Mandeh, terdapat sebuah bangkai kapal karam yang terbuat dari besi.
Dari reruntuhan kapal karam tersebut, telah diambil sejumlah sample artefak, yaitu 3
buah botol terbuat dari kaca, berwarna hijau, dan salah satu botol tersebut bertuliskan
Malaya Brewers LTD, serta beberapa fragmen kayu yang setelah dianalisis secara
laboratoris ternyata merupakan kayu jati yang kemungkinan besar merupakan bagian
dari dek kapal Kemungkinan besar kapal tersebut adalah kapal VOC yang karam karena
suatu sebab tertentu. Dari hasil survei salah satu stasiun televisi swasta pada tahun
2000, diketemukan angka tahun yang terpahat di bagian buritan kapal yang dapat
menunjukkan indikasi umur kapal karam tersebut. Angka tahun itu adalah 1908 Masehi.
Analisa Data & Pembahasan
59
Namun sayang, pada waktu tim peneliti Pusriswilnon menyelam untuk mengamati
bangkai kapal karam tersebut, angka tahun tersebut tidak kelihatan.
Apabila angka tahun 1908 tersebut memang benar‐benar ada, maka dapat
dipastikan kapal tersebut memang berasal dari masa penjajahan Belanda karena pada
tahun 1908, Belanda memang masih bercokol di bumi Nusantara, termasuk di wilayah
Sumatera Barat. Namun sejauh ini, belum dapat dipastikan apakah kapal karam ini
dulunya adalah kapal dagang, kapal penumpang, atau jenis kapal lainnya. Sample‐
sample artefak yang diambil belum cukup memadai untuk dijadikan dasar pengambilan
sebuah kesimpulan apakah kapal ini kapal dagang, kapal penumpang, kapal perang, dan
lain‐lain, karena diperlukan penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam.
Sample artefak berupa botol‐botol tersebut kemungkinan adalah botol untuk
minuman. Jenis botol tersebut yang terbuat dari kaca dan berwarna hijau, dan
kemungkinan besar dulunya mempunyai tutup penyumbat ini, kemungkinan besar berisi
minuman yang biasa diminum oleh orang Barat, misalnya bir, wiski, atau yang lainnya,
namun bukan air putih. Karena biasanya air putih yang dibawa ke kapal untuk berlayar
disimpan dalam tong‐tong atau guci‐guci wadah air yang berukuran besar. Sementara
botol kecil dari kaca seperti ini biasanya memang diperuntukkan bagi jenis minuman
keras yang biasa diminum oleh bangsa Barat, termasuk orang Belanda. Pada masa
sekarang ini pun jenis botol seperti itu masih digunakan sebagai tempat minuman.
Keberadaan botol‐botol kaca di situs kapal karam ini bukan lah sesuatu yang aneh
karena orang‐orang yang dulu berada di kapal tersebut pasti membawa persediaan
minuman dalam jumlah banyak untuk waktu pelayaran yang cukup lama, apalagi kalau
kapal ini memang benar‐benar kapal Belanda. Botol‐botol minuman ini mungkin dulunya
digunakan oleh para awak kapal maupun oleh penumpang kapal tersebut. Akan tetapi,
botol minuman itu dapat juga merupakan barang muatan yang merupakan komoditas
yang diperdagangkan. Salah satu botol bertuliskan Malaya Brewers Ltd, mungkin
menunjukkan indikasi tempat pembuatan botol‐botol tersebut, atau pabrik tempat
produksi minuman di dalam botol tersebut.
Bab Empat
60
4.1.3. Situs Salido
Di Desa Salido terdapat sisa‐sisa pondasi sebuah dermaga yang terletak di pinggir
Sungai Batang Salido. Di dekat situ juga terdapat sisa‐sisa pondasi bangunan kuno yang
sekarang sebagian sudah tertimpa bangunan baru. Masyarakat sekitar meyakini bahwa
sisa‐sisa pondasi bangunan tersebut merupakan sisa‐sisa sebuah bangunan kantor milik
Belanda. Sisa‐sisa pondasi tersebut tersusun dari batu yang sekarang terdapat di antara
pemukiman penduduk di tepi Sungai Batang Salido, tidak jauh dari bekas dermaga
Salido.
Pada masa lampau, para pedagang luar/asing banyak yang datang ke Pelabuhan
Inangu yang terdapat di Muara Salido ini untuk berdagang. Salah satu komoditas yang
diperjualbelikan di pelabuhan ini adalah emas. Hal ini dapat dipastikan karena di wilayah
Salido banyak terdapat penambangan emas. Di masa lampau, Salido juga dikenal dengan
julukan Nagari Emas. Pada saat ini pun, penambangan emas ini masih ada dan
ditambang secara tradisional oleh masyarakat sekitar.
Di Desa Salido juga terdapat sisa‐sisa pondasi benteng yang oleh penduduk
disebut Benteng Batu Inangu. Benteng ini terletak di dekat dermaga Salido.
Kemungkinan benteng tersebut adalah benteng Belanda karena berdasarkan sumber
historis, pada saat itu Belanda menjadikan daerah Salido sebagai pusat kekuasaannya di
Pulau Sumatera sebelum akhirnya memindahkannya ke kota Padang.
Dermaga Salido sudah muncul sejak abad ke‐16 M. Pada tahun 1663 M dermaga
ini ditinggalkan dan tidak berfungsi lagi, yaitu berdasarkan isi Perjanjian Painan yang
merupakan perjanjian antara Inggris dan Belanda. Pelabuhan baru pengganti pelabuhan
Salido adalah Pelabuhan Muaro yang terletak di Kota Padang. Menurut Perjanjian
Painan, lnggris menyingkir ke selatan Sumatera, yaitu ke wilayah Bengkulu clan
sekitarnya, sementara wilayah kekuasaan Belanda adalah di bagian utara Sumatera,
sementara itu, Pulau Cingkuak yang ada di barat Pulau Sumatera menjadi wilayah netral
yang dikelola bersama oleh Inggris dan Belanda. Meskipun pada akhirnya Pulau Cingkuak
tetap menjadi daerah kekuasaan Belanda.
Analisa Data & Pembahasan
61
4.1.4 Situs Salido Kecil
Di Desa Salido Kecil yang letaknya tidak jauh dari Desa Salido, banyak terdapat
lorong‐lorong buatan yang ukurannya paniang‐panjang bahkan dapat menembus
gunung dan ujungnya berada di desa lain di balik gunung. Lorong‐lorong ini dibuat
dengan maksud untuk menghindari bangsa Belanda ketika masyarakat mengangkut
hasil tambang emas secara sembunyi‐sembunyi. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi
alam daerah Salido yang merupakan salah satu daerah penghasil emas di Sumatera
Barat.
Selain lorong buatan yang memang asli dibuat oleh penduduk lokal untuk
mengangkut emas secara sembunyi‐sembunyi ke desa lain, di desa ini juga banyak
terdapat lorong tipuan yang sengaja dibuat oleh penduduk untuk mengecoh dan
mengelabui bangsa Belanda. Lorong‐lorong ini berjumlah cukup banyak hingga
puluhan buah, namun pada saat in] jumlah lorong yang masih dapat diketemukan
tinggal sedikit karena sudah banyak yang tertutup oleh tanaman‐tanaman liar.
Di desa ini banyak terdapat jembatan yang dibangun oleh Belanda. Selain itu,
terdapat juga sentral listrik Belanda. Sentral listrik ini dibangun dan diresmikan pada
tahun 1878 M. Sementara itu, mesin‐mesin yang terdapat di sentral listrik ini adalah
produksi BEA (Bougeselischaft Fur_elektro Anlagen A.G. Dusseldorf Germany
Allemagne Alemania). Untuk menjalankan sentral listrik ini terdapat pipa untuk
mengalirkan air dari sumber mata air (hulu Sungai Batang Salido) ke tempat mesin‐
mesin dan dinamo berada. Listrik yang dihasilkan dari sentral listrik ini bukan hanya
untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah sekitar Salido Kecil ini melainkan juga
untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah‐daerah sekitar dan juga untuk memenuhi
kebutuhan listrik pabrik semen Indarung di Kota Padang yang diresmikan pada tahun
1878 M.
Sentral listrik yang dibangun Belanda di wilayah ini cukup besar untuk ukuran
masa itu dan mampu menghasilkan tenaga listrik yang sangat besar yang dapat
memenuhi kebutuhan listrik di sejumlah daerah di sekitar Salido ini membuktikan
bahwa Salido pada saat itu sangat penting bagi kedudukan bangsa Belanda. Sumber
air dan mata air dan Sungai Batang Salido yang sangat melimpah dan bervolume
Bab Empat
62
besar memungkinkan dibangunnya sentral listrik besar di wilaYah ini. Selain itu,
banyaknya tambang emas di daerah Salido, terutama di Desa Salido kecil ini
menjadikan daerah ini sangat penting dimata bangsa Belanda dan membuat Belanda
mengambil keputusan untuk menjadikan daerah ini sebagai salah satu pusat
kedudukannya di Pulau Sumatera. Dikarenakan kedudukan Salido yang cukup
penting inilah yang mungkin menyebabkan Belanda membangun bentengnya di
dekat daerah ini, yaitu di dekat dermaga Salido tepat di muara sungai Batang
Salido.
Gambar 28. Salah satu lorong buatan yang dibuat penduduk untuk mengangkut hasil tambang emas dari Salido Kecil
Analisa Data & Pembahasan
63
Gambar 29. Lorong menuju tambang emas Salido yang diincar Belanda yang merupakan bukti arkeolgis yang menunjukkan salah satu motivasi ramainya kapal‐kapal Belanda yang masuk ke perairan ini (Repro foto 1946 – Arsip Nasional RI)
4.1.5. Situs Ampyang Perak (Amparan Perak)
Terdapatnya bangkai kapal karam kuno _yang terkubur di pantai Ampyang
Perak membuktikan bahwa perairan di daerah ini dulunya pernah menjadi tempat
lalu lintas pelayaran Dan perdagangan di masa lampau. Bahkan menurut
keterangan penduduk setempat, beberapa meter dari pantai tersebut, yaitu di
kedalaman laut, terdapat juga beberapa bangkai kapal karam yang oleh penduduk
dikenal sebagai Crosong Kapal. Sisa‐sisa bangkai kapal yang masih kelihatan di situs
Ampyang Perak ini adalah 4 buah tiang kapal yang terbuat dari bahan besi,
sementara badan kapal‐nya telah terkubur oleh endapan pasir pantai. Dengan
mempertimbangkan material untuk membuat tiang kapal ini yang berbahan besi,
maka dapat diindikasikan bahwa kapal ini terbuat dari besi clan hal tersebut
menunjukkan bahwa kapal ini berasal Dan masa kolonial. Hal ini didukung oleh
keterangan dari penduduk yang meyakini bahwa kapal ini adalah kapal Belanda.
Bab Empat
64
Akan tetapi, hal tersebut haruslah dibuktikan lebih lanjut dengan melakukan
penelitian yang lebih intensif
4.2. Kondisi Perairan Lingkungan Situs
4.2.1.Teluk Bayang kuno dan Muara Salido dengan Sedimentasi‐nya yang
tinggi
Secara umum fenomena alam yang paling penting untuk dikaji secara lebih
mendetail di masa mendatang di sekitar situs di Teluk Bayang dan Muara Sungai Salido
adalah tentang Sedimentasi. Berdasarkan hasil survei secara visual dan wawancara
sedimentasi yang bersumber dari Muara yang terletak di Teluk Bayang cukup
berdampak terhadap situs arkeologi di sekitar teluk tersebut. Muatan sedimen yang ada
dibawa oleh 3 buah sungai yaitu Sungai Batang Nipah 1, Batang Nipah 2, dan Batang
Kerambi) yang menuju ke satu muara.
Berdasarkan wawancara dengan tokoh setempat dan pengukuran menggunakan
GPS oleh Tim Survei Arkeologi WILNON, posisinya adalah sudah berpindah sejauh 2 km
ke arah Baratlaut (Northwest) selama + 20 tahun (posisi awal: 01°20’9,9” LS dan
100°34’11,2” BT, posisi terakhir terekam: 01°19’26,4” LS dan 100°33’25,7” BT). Sehingga
jika dihitung secara kasar laju sedimentasi sekitar 100 meter/tahun atau sekitar 8,3
meter/bulan ke arah Baratlaut, dan ini adalah angka yang cukup signifikan terhadap
fenomena perubahan garis pantai. Dalam hal ini jika periode 20 tahun tersebut dihitung
dari tahun 2006 ke belakang maka akan berawal dari tahun 1986.
Sarana pentranspor sedimen adalah arus, dimana untuk kondisi arus akan dijelaskan
pada berikutnya, tetapi untuk melihat kondisi arus yang sesuai dengan periode
sedimentasi tersebut di atas maka akan lebih jelas untuk melihat ke sub‐bab 4.2.5.
4.2.2. Kualitas Air (Kecerahan Air, pH, Temperatur, Salinitas)
Parameter oseanografi lain (kualitas air) yang menjadi pendukung kajian adalah
kecerahan air, pH, dan temperatur. Kondisi kualitas air secara umum dapat dilihat
berdasarkan data set dari MCRMP tahun 2004 di sekitar lokasi situs arkeologi yang
diteliti.
Analisa Data & Pembahasan
65
Kondisi sebaran kualitas air permukaan di perairan Teluk Nibung (Nibung Wreck
adalah sebagai berikut: tingkat kecerahan bervariasi antara 3‐12 meter, dengan pola
sebaran yang lebih bervariasi akibat konfigurasi batimetri yang ada di daerah teluk
maupun tanjung. Nilai pH bervariasi antara 7,20‐8,02, dengan pola sebarannya
bervariasi, di mana daerah yang dekat dengan pantai mempunyai pH yang lebih rendah
dan semakin menjauhi pantai (ke arah laut) nilai pH semakin tinggi. Sebaran temperatur
air laut permukaan pada Musim Barat dan Musim Peralihan bervariasi antara 29,0‐31,0
ºC, sedangkan pada Musim Timur berkisar 29,5‐31,0 ºC. Sedangkan kondisi sebaran
salinitas air laut permukaan baik pada Musim Timur, Musim Peralihan, dan Musim Barat
bervariasi antara 29,0–32,0 ‰.
Kondisi sebaran kualitas air permukaan di perairan Tarusan (lokasi tempat
Mandeh Ship Wreck berada) adalah: tingkat kecerahan air secara vertikal bervariasi
antara 3–12 meter disebabkan oleh konfigurasi batimetri yang ada di mana terdapat
teluk, tanjung, maupun beberapa pulau di perairannya. Nilai pH bervariasi antara 7,1–
7,75 pada Musim Barat, di mana daerah yang dekat dengan pantai mempunyai pH yang
lebih rendah dibandingkan ketika semakin menjauhi pantai ke arah laut. Nilai
temperatur pada Musim Barat dan Musim Peralihan berkisar 28,0–31,0 ºC, sedangkan
pada Musim Timur berkisar 28,5–31,0 ºC. Pola sebaran temperatur bervarisi di mana
daerah yang dekat dengan pantai mempunyai temperatur yang lebih tinggi
dibandingkan ketika semakin menjauhi pantai ke arah laut. Nilai salinitas pada Musim
Barat berkisar 29,0–33,0 ‰, dimana semakin menjauhi pantai nilai salinitas semakin
tinggi. Pada Musim Timur dan Musim Peralihan, kisaran nilai salinitas berturut‐turut
adalah 29,0–32,0 ‰ dan 30,0–33,0 ‰, sedangkan kondisi sebaran kualitas air laut
permukaan di perairan Painan (di mana Pelabuhan Kuno Bayang, Dermaga Kuno Salido,
dan Benteng serta Dermaga Pulau Cingkuak berada di sekitar perairan tersebut) adalah:
tingkat kecerahan air secara vertikal bervariasi antara 3–12 meter, disebabkan oleh
konfigurasi batimetri yang ada di mana terdapat teluk, tanjung, maupun beberapa pulau
di perairannya. Nilai pH berkisar 7,11–8,02, sebarannya bervarisi di mana daerah yang
dekat dengan pantai mempunyai pH yang lebih rendah dibandingkan ketika semakin
menjauhi pantai ke arah laut. Nilai temperatur pada Musim Barat didominasi oleh
Bab Empat
66
kisaran 29,5–30,0 ºC, pada Musim Peralihan didominasi kisaran nilai 30,0–30,5 ºC, dan
pada Musim Timur didominasi kisaran nilai 30,0–31,0 ºC. Nilai salinitas pada Musim
Barat berkisar 29,0–33,0 ‰, pada Musim Peralihan berkisar 30,0–33,0 ‰ dan pada
Musim Timur berkisar 30,0–31,0 ‰. Kisaran nilai 29,0–30,0 ‰ hanya muncul di perairan
bagian utara.
Sedangkan kondisi sebaran kualitas air laut permukaan di perairan Sutera (di
mana Amparan Perak Ship Wreck berada di sekitar perairan tersebut) adalah: tingkat
kecerahan berkisar 4–12 meter dengan pola sebaran bervarisi, dimana tingkat
kecerahan tertinggi berada di lepas pantai, kemudian terdegradasi ketika mendekati ke
arah pantai dan ketika semakin menuju ke arah Samudera Hindia. Nilai pH secara umum
berkisar 7,01–7,24 di semua musim. Nilai temperatur pada Musim Barat berkisar 29,5–
31,0 ºC, sedangkan pada Musim Peralihan dan Musim Timur berkisar 30,0–31,0 ºC,
dimana temperatur bernilai 29,5 ºC hanya sedikit terlihat sebarannya di bagian utara
perairan pada Musim Peralihan. Sedangkan nilai salinitas pada Musim Barat berkisar
30,0–31,0 ‰, pada Musim Timur berkisar 29,0–30,0 ‰ dan pada Musim Peralihan
berkisar 29,0–32,0 ‰.
Secara umum, kondisi kualitas air (kecerahan air, pH, dan temperatur) di sekitar
situs arkeologi yang dikaji terutama untuk situs yang berada di bawah air tidak
mengindikasikan kondisi alam yang ekstrim yang mengakibatkan laju pelapukan atau
penghancuran secara kimiawi terhadap objek‐objek di situs yang ada.
4.2.3. Arus
Parameter oseanografi yang signifikan sebagai penyebab sedimen dasar,
pembawa sedimen tersuspensi, maupun massa yang lain seperti temperatur, pH, dan
lain‐lain adalah arus. Kondisi arus secara umum berdasarkan data set dari MCRMP tahun
2004 di sekitar lokasi situs arkeologi yang dikaji adalah sebagai berikut:
Kondisi sebaran arus permukaan di perairan Teluk Nibung (di mana Nibung
Shipwreck berada di sekitar perairan tersebut) adalah: pada Musim Barat, umumnya
arus bergerak dengan kecepatan seragam berkisar antara 0,006 m/detik – 0,039
m/detik. Pergerakan arus saat pasang berasal dari arah barat daya menuju garis pantai,
Analisa Data & Pembahasan
67
begitu juga sebaliknya, saat surut bergerak dari pantai menuju laut lepas, sehingga
diasumsikan pergerakan arus lebih kuat disebabkan oleh pola pasut perairan. Pada
Musim Peralihan, terlihat pola arus masih sama dengan pola arus pada Musim Barat
dengan kisaran rata‐rata kecepatan arus adalah 0,0012 m/detik – 0,021 m/detik dan
kecepatan maksimal 0,032 m/detik. Pada Musim Timur, kecepatan arus meningkat
berkisar antara 0,0065 m/detik – 0,067 m/detik dengan pola pergerakan massa air masih
sama bergerak berdasarkan pasut.
Kondisi sebaran arus permukaan di perairan Tarusan (di mana Mandeh
Shipwreck berada di sekitar perairan tersebut) adalah: pada Musim Barat, arus bergerak
berdasarkan bentuk topografi perairan Tarusan yang banyak terdapat pulau dan teluk,
sehingga mengakibatkan hidrodinamika arus sedemikian rumit dikarenakan pergerakan
arus yang melalui selat‐selat antara pulau‐pulau tersebut. Kecepatan arus berkisar
antara 0,0027 m/detik – 0,045 m/detik. Pada Musim Peralihan, terlihat pola arus masih
sama dengan pola arus pada Musim Barat dengan kisaran kecepatan arus adalah 0,0012
m/detik – 0,045 m/detik dan kecepatan arus terbesar berada di perairan sekitar Teluk
Tarusan antara Pulau Cubadak dan Teluk Lambui (lokasi situs). Pada Musim Timur,
kecepatan arus meningkat berkisar antara 0,0019 m/detik – 0.065 m/detik dengan pola
pergerakan massa air masih sama bergerak berdasarkan topografi perairan.
Sementara itu, kondisi sebaran arus permukaan di perairan Painan (di mana
Pelabuhan Kuno Bayang, Dermaga Kuno Salido, dan Benteng serta Dermaga Pulau
Cingkuak berada di sekitar perairan tersebut) adalah: pada Musim Barat, pola arus
bergerak dari arah Samudra Hindia menuju ke pantai, tegak lurus dengan garis pantai
pada saat pasang, demikian pula sebaliknya, pada saat surut bergerak dari pantai ke
Samudera Hindia di mana di pantai kecepatan arus lebih rendah dibandingkan di
Samudra Hindia. Pada umumnya, arus bergerak dengan kecepatan seragam, berkisar
antara 0,0021 m/detik – 0,0432 m/detik. Pada Musim Peralihan, terlihat pola arus masih
sama dengan pola arus pada Musim Barat dengan kisaran kecepatan arus adalah 0,0021
m/detik – 0,034 m/detik. Pada Musim Timur, terlihat pola arus masih sama dengan pola
arus pada Musim Barat dengan kisaran kecepatan arus adalah 0,0012 m/detik – 0,032
m/detik.
Bab Empat
68
Sedangkan kondisi sebaran arus permukaan di perairan Sutera (di mana Amparan
Perak Shipwreck berada di sekitar perairan tersebut) adalah: pada Musim Barat
umumnya arus bergerak dengan kecepatan seragam berkisar antara 0,0012 m/detik –
0,027 m/detik. Pergerakan arus saat pasang berasal dari arah barat dan barat laut
menuju garis pantai berbelok menuju timur laut dan sejajar garis pantai, begitu juga
sebaliknya saat surut bergerak dari pantai menuju laut lepas, sehingga diasumsikan
pergerakan arus lebih kuat disebabkan oleh pola pasut perairan. Tidak banyaknya pulau,
selat, dan tanjung pada daerah ini menyebabkan hidrodinamika perairan tidak kompleks
atau dapat dikatakan seragam. Pada Musim Peralihan, terlihat pola arus masih sama
dengan pola arus pada Musim Barat dengan kisaran kecepatan arus adalah 0,0045
m/detik – 0,0281 m/detik. Sedangkan pada Musim Timur, kecepatan arus berkisar
antara 0,0071 m/detik – 0,025 m/detik dengan pola pergerakan massa air masih sama,
yaitu bergerak akibat gaya pembangkit pasut.
Secara umum, kondisi pola dan sebaran arus permukaan berdasarkan kajian
tahun 2004 tidak mengindikasikan adanya fenomena arus yang ekstrim yang dapat
merusak atau menghancurkan situs‐situs arkeologi yang ada di wilayah perairan
tersebut secara mekanik, terutama yang berada di bawah air.
4.2.4. Gelombang
Parameter oseanografi lain yang signifikan sebagai penyebebab erosi/abrasi
pantai/bangunan situs maupun juga sebagai pembawa sedimen tersuspensi adalah
Gelombang. Kondisi gelombang secara umum berdasarkan data set dari MCRMP tahun
2004 di sekitar lokasi situs arkeologi yang dikaji adalah sebagai berikut:
Kondisi sebaran gelombang permukaan akibat seretan angin (wind waves) di
perairan Teluk Nibung(dimana Nibung Ship Wreck berada di sekitar perairan tersebut)
adalah terlihat bahwa tinggi gelombang dari Musim Barat berkisar 0,2 meter – 0,57
meter, Musim Timur berkisar 0,13 meter – 0,76 meter, Musim Peralihan berkisar 0,21
meter – 1,58 meter. Gelombang tertinggi terjadi pada Musim Peralihan (1,58 meter).
Analisa Data & Pembahasan
69
Kondisi sebaran gelombang permukaan akibat seretan angin (wind waves) di
perairan Tarusan (dimana Mandeh Ship Wreck berada di sekitar perairan tersebut)
adalah terlihat bahwa tinggi gelombang di Musim Barat berkisar 0,2 meter – 0,57 meter,
Musim Timur berkisar 0,13 meter – 0,76 meter, Musim Peralihan berkisar 0,21 meter –
1,58 meter. Gelombang tertinggi terdapat pada Musim Peralihan (1,58 meter).
Kondisi sebaran gelombang permukaan akibat seretan angin (wind waves) di
perairan Painan (dimana Pelabuhan Kuno Bayang, Dermaga Kuno Salido, dan Benteng
serta Dermaga Pulau Cingkuk berada di sekitar perairan tersebut) adalah terlihat bahwa
tinggi gelombang pada Musim Barat berkisar 0,68 meter – 1,68 meter, Musim Timur
berkisar 0,28 meter – 1,25 meter, Musim Peralihan berkisar 0,29 meter – 0,98 meter.
Gelombang tertinggi terdapat pada Musim Barat (1,68 meter).
Sementara itu, kondisi sebaran gelombang permukaan akibat seretan angin
(wind waves) di perairan Sutera (dimana Amparan Perak Ship Wreck berada di sekitar
perairan tersebut) adalah terlihat bahwa tinggi gelombang pada Musim Barat berkisar
0,68 meter – 1,68 meter, Musim Peralihan berkisar 0,29 meter – 0,98 meter, dan Musim
timur berkisar 0,28 meter – 1,25 meter, dimana gelombang tertinggi terdapat pada
Musim Barat (1,68 meter).
Secara umum kondisi pola dan sebaran gelomabng berdasarkan kajian tahun
2004 tidak mengindikasikan fenomena arus yang ekstrim bisa merusak atau
menghancurkan secara mekanik dari situs‐situs arkeologi yang ada terutama yang
berada di bawah air dan tepi pantai.
4. 2. 5. Pasang Surut
Gaya pembangkit arus di perairan pantai yang dominan adalah pasang surut.
Pada kajian ini dilakukan prediksi rata‐rata tahunan pasang surut di perairan Barat
Sumatera untuk periode tahun 1400 – 2000 dan 2000‐2006. Periode prediksi disesuaikan
dengan temuan umur beberapa situs arkeologi yang ada. Prediksi dilakukan karena tidak
adanya data primer secara runtut waktu (time series) untuk periode tersebut diatas.
Berdasarkan hasil prediksi rata‐rata tahunan pasang surut di perairan Barat
Sumatera dalam kurun waktu 600 tahun untuk periode tahun 1400 – 2000 (lihat Gambar
Bab Empat
70
30): Terlihat muka laut di Stasiun B lebih tinggi dibandingkan muka laut di Stasiun A
berturut‐turut pada periode tahun 1400 – 1440 (selama 40 tahun), tahun 1560 – 1740
(selama 80 tahun), tahun 1860 – 2000 (40 tahun), sehingga pada periode‐periode
tersebut arus pasang surut secara umum/dominan bergerak menuju ke arah Baratlaut.
Sedangkan ketika muka laut di Stasiun B lebih rendah dibandingkan di Stasiun A pada
periode tahun 1440 – 1560 (selama 120 tahun) dan tahun 1740 – 1860 (selama 120
tahun), maka arus pasang surut secara umum/dominan bergerak menuju ke arah
Tenggara.
Jika berdasarkan hasil prediksi rata‐rata tahunan pasang surut di perairan Barat
Sumatera dalam kurun waktu 5 tahun terakhir untuk periode tahun 2000 – 2006 (lihat
Gambar 31): Terlihat muka laut di Stasiun B lebih rendah dibandingkan muka laut di
Stasiun A berturut‐turut pada periode pertengahan Februari 2000 hingga tahun awal
tahun 2002 (sekitar selama 11,5 bulan), dan pada periode sekitar Agustus 2003 hingga
awal tahun 2006 (selama 16 bulan), sehingga pada kedua periode tersebut arus pasang
surut secara umum/dominan bergerak menuju ke arah Tenggara. Sedangkan ketika
muka laut di Stasiun B lebih tinggi dibandingkan di Stasiun A pada periode awal tahun
2002 hingga periode sekitar Agustus 2003 (selama 20 bulan), maka arus pasang surut
secara umum/dominan bergerak menuju ke arah Baratlaut.
Sedimentasi yang menyebabkan perubahan garis pantai sejauh 20 km ke arah
Baratlaut selama periode 20 tahun (1986 ‐ 2006) seperti yang telah dibahas pada sub‐
bab 4.2.1 adalah tidak lepas dari pola arus permukaan dominan, dalam hal ini adalah
arus pasang surut, dimana jika melihat Gambar 30 dan Gambar 31 maka terlihat pola
arus menuju ke arah Baratlaut selama sekitar 14 hingga 15 tahun (1986 hingga
2000/2001), dan 5 hingga 6 tahun terakhir (2000/2001 hingga 2006) adalah mengarah
ke Tenggara. Sehingga dengan jelas terlihat bahwa perubahan garis pantai yang terjadi
selama 20 tahun (1986 ‐ 2006) adalah mengikuti pola arus pasang surut yang ada.
Analisa Data & Pembahasan
71
PREDIKSI RATA-RATA TAHUNAN PASANG SURUT TAHUN 1400 - 2000 DI PERAIRAN SUMATERA BARAT
-0.3052
-0.1770
-0.1209
-0.2265
0.1752
-0.2650
0.1126
-0.2243
-0.1117
0.1639
-0.2573
-0.1690
0.1002
-0.2960
-0.35
-0.3
-0.25
-0.2
-0.15
-0.1
-0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000TAHUN
MU
KA
LA
UT
(CM
)
STASIUN A (BARATLAUT)
STASIUN B (TENGGARA)
Gambar 30. Prediksi rata‐rata tahunan pasang surut periode tahun 1400 – 2000 di
perairan Barat Sumatera dengan mengambil Stasiun A (di sisi
Baratlaut) dan Stasiun B (di sisi Tenggara)
PREDIKSI RATA-RATA TAHUNAN PASANG SURUT TAHUN 2000 - 2006 DI PERAIRAN SUMATERA BARAT
-0.2265
0.0613 0.0675
-0.1180
-0.0201
0.1386
-0.3264
-0.0195
0.1268
-0.1199
-0.3138
-0.2243
0.0494
0.0677
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006TAHUN
MU
KA
LA
UT
(CM
)
STASIUN A (BARATLAUT)
STASIUN B (TENGGARA)
Gambar 31. Prediksi rata‐rata tahunan pasang surut periode tahun 2000 – 2006 di
perairan Barat Sumatera dengan mengambil Stasiun A (di sisi
Baratlaut) dan Stasiun B (di sisi Tenggara)
Bab Lima
72
Kesimpulan
73
BAB V
K E S I M P U L A N
1. Berdasarkan hasil riset di atas dapat disimpulkan bahwa sumberdaya arkeologi
laut di Kabupaten Pesisir Selatan, cukup beragam dan kompleks, dimulai dari
penemuan titik Shipwreck (kapal tenggelam) di bawah perairan Mandeh, di susul
dengan temuan shipwreck yang berada di bibir pantai di dalam endapan pasir
pantai yang akan selalu di genangi oleh ombak laut di desa Ampyang Parak, lalu
temuan sisa‐sisa pelabuhan kuno di Salido dan Bayang dengan perubahan fisik
lingkungan situs yang kini telah berada di muara sungai dan Benteng serta
dermaga Pulau Cingkuak yang berhadapan langsung dengan bukit Langkisau dan
Samudera Hindia.
2. Hal ini menjadi bukti sejarah fisik bagi daerah Kabupaten Pesisir Selatan tentang
adanya aktivitas pelayaran dan perdagangan yang ramai di pantai barat
Sumatera sejak berabad‐abad yang lalu. Pada umumnya karateristik situs dan
tinggalan yang ditemukan ert sekali hubungannya dengan kedatangan Belanda
dan Inggris, sehingga yang masih menjadi pertanyaan adalah bukti‐bukiti
kedatangan Portugis hanya ditemukan dari penamaan (toponim nama) dari
daerah‐daerah di Pesisir saja seperti Salido, Mandas (Mandeh), San Laida, Pulau
Cinho, sedangkan bukti fisik temuan arkeologis lebih banyak yang mengarah
pada kedatangan Belanda dan Inggris.
3. Didukung dengan topografi Kabupaten Pesisir Selatan yang pantainya
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia serta topografi wilayah pesisir
yang berbukit‐bukit dan memiliki banyak pulau‐pulau kecil, sangat mendukung
potensi yang tersimpan pada situs sebagai objek wisata sejarah bahari, seperti
saat ini yang sedang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Pesisir Selatan untuk
mengembangkan kawasan Mandeh Resort dan Langkisau Hill Resort, maka
Bab Lima
74
temuan arkeologis tersebut dapat menjadi salah satu asset daerah dalam
menarik kedatangan pengunjung. Untuk itu perlu koordinasi antar instansi terkait
(Pemda Kab. Pesisir Selatan, DKP, serta Budpar) dalam penanganan selanjutnya
sebagai objek ilmu pengetahuan, sejarah dan wisata bahari.
4. Jika terdapat rencana ekskavasi terhadap tinggalan‐tinggalan sumberdaya
arkeologis di atas perlu dilakukan studi kelayakan (feasibility study) karena
terkait dengan kondisi perairan yang dinamis, yang akan menuntut biaya besar.
Atau tinggalan tetap dipertahankan secara permanen dengan teknik penanganan
yang menyeluruh untuk melindungi situs dari kerusakan oleh dinamika perairan
pantai barat Sumatera yang ekstrem, atau memelihara ekosistem dari perairan
sekitarnya sehingga dapat dijadikan daerah wisata penyelaman (Dive point).
5. Diharapkan ada kelanjutan dari riset ini, sumberdaya arkeologi laut yang telah
ditemukan, karena saat data di atas riset hanya merupakan hasil riset identifikasi
awal, sedangkan untuk pemanfaatan dari potensinya perlu dilakukan riset yang
lebih detil pada tiap lokasi situs termasuk melakukan penggalian dan
penggunaan teknik ekskavasi.
6. Kondisi peraiaran pantai barat Sumatra yang dinamis disebabkan karena perairan
Barat Sumatra berada di depan Samudra Hindia juga merupakan daerah patahan
pertemuan dua lempeng yang dapat mengakibatkan peristiwa alam seperti
gempa dasar laut yang dapat menyebabkan tsunami. Keterkaitannya dengan
pembuktian kebenaran dari lokasi situs akibat kondisi perairan dapat dikatakan
tidak terlalu signifikan dapat merubah lokasi situs. Perubahan lokasi
dimungkinkan dengan terjadinya perubahan garis pantai baik akibat abrasi
ataupun sedimentasi. Pembuktian mengenai koordinat posisi situs lebih
diperkuat oleh analisa kimia dari infrastruktur situs, baik itu dengan analisa
batuan atau pun dengan karbon dating. Dinamika perairan seperti arus dan
gelombang atau sedimentasi dapat merubah posisi situs dalam bentuk terkikis
Kesimpulan
75
atau tertutupi oleh sedimen. Untuk itu semua faktor sejarah dan analisa kimialah
yang lebih menentukan benar tidaknya lokasi situs tersebut sedangkan dinamika
perairan lebih banyak bicara jika terjadi peristiwa khusus yang menyebabkan
benda cagar budaya tersebut pindah atau berubah seperti terjadi tsunami yang
besar atau gempa/gunung meletus di dasar laut yang dapat memindahkan benda
tersebut (misal Ship wreck).
Bab Enam
76
Rekomendasi teknik penanganan situs arkeologi dari sisi bidang dinamika perairan
77
BAB VI
REKOMENDASI TEKNIK PENANGANAN SITUS ARKEOLOGI DARI
SISI BIDANG DINAMIKA PERAIRAN
Berdasarkan kajian dinamika perairan yang telah tersebut di sub‐bab diatas maka
dihasilkan beberapa rekomendasi teknik penanganan terhadap situs‐situs arkeologi yang
ada di daerah pesisir selatan Sumatera Barat, yakni:
6.1. Rekomendasi untuk Situs Nibung Ship Wreck (Berada di sekitar perairan Teluk Nibung, Sungai Bremes)
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada sub‐bab sebelumnya terlihat bahwa
perairan Teluk Nibung dan sekitarnya adalah cukup dinamis karena pantai daerah ini
pada umumnya langsung berhadapan dengan Samudera Hindia, dimana gelombangnya
cukup besar terutama pada Musim Timur. Letak dan posisi Samudera Hindia juga
merupakan daerah pertemuan dua lempeng (lempeng Samudera Hindia dan Lempeng
Benua Asia) yang tentunya mempunyai potensi gempa bumi dan tsunami yang dapat
berpengaruh pada dinamika perairan lokasi situs maupun terhadap situs arkeologi
secara langsung.
Teknik penanganan yang baik adalah koordinasi dan kerjasama yang terpadu
antara instansi terkait (instansi pusat, instansi daerah, dan LSM) beserta masyarakat
setempat dan kemauan dalam menangani/mengelola situs yang ada (Nibung Shipwreck),
mengingat letak situs berada di daerah pelabuhan yang begitu kompleks
kepentingannya. Jika terdapat rencana ekskavasi terhadap Nibung Shipwreck, perlu
dilakukan studi kelayakan (feasibility study) karena terkait dengan kondisi perairan yang
dinamis, yang akan menuntut biaya besar. Atau shipwreck dipertahankan secara
permanen dengan teknik penanganan yang menyeluruh untuk melindungi situs
mengalami kerusakan oleh dinamika perairan yang ekstrem, dan memelihara ekosistem
Bab Enam
78
dari perairan sekitarnya sehingga dapat dijadikan daerah wisata penyelaman (Dive
point).
6.2. Rekomendasi untuk Situs Mandeh Ship Wreck (Berada di sekitar
perairan Tarusan)
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada sub‐bab sebelumnya terlihat bahwa
perairan Tarusan sangat dinamis karena langsung berhadapan dengan Samudera Hindia
dimana banyak pulau kecil dan selat‐selat di antara pulau‐pulau terkecil di perairan
tersebut, sehingga pola arus dan gelombangnya cukup kuat dan dinamis terutama pada
Musim Timur.
Teknik penanganan yang baik adalah koordinasi dan kerjasama yang terpadu
antara instansi terkait (instansi pusat, instansi daerah, dan LSM) beserta masyarakat
setempat dan kemauan dalam menangani/mengelola situs yang ada (Mandeh
Shipwreck), mengingat letak situs berada di daerah pelabuhan yang begitu kompleks
kepentingannya. Jika terdapat rencana ekskavasi terhadap Mandeh Shipwreck, perlu
dilakukan studi kelayakan (feasibility study) karena terkait dengan kondisi perairan yang
dinamis, yang akan menuntut biaya besar. Atau shipwreck dipertahankan secara
permanen dengan teknik penanganan yang menyeluruh untuk melindungi situs
mengalami kerusakan oleh dinamika perairan yang ekstrem, dan memelihara ekosistem
dari perairan sekitarnya sehingga dapat dijadikan daerah wisata penyelaman(Dive point),
wisata kepulauan, dan resort‐resort tempat penginapan.
6.3. Rekomendasi untuk Situs Pelabuhan Kuno Bayang, Dermaga Kuno
Salido dan Benteng & Dermaga Pulau Cingkuk (Berada di sekitar perairan Painan)
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada sub‐bab sebelumnya terlihat bahwa
perairan Painan cukup dinamis karena langsung berhadapan dengan Samudera Hindia,
dimana gelombangnya cukup besar terutama pada Musim Timur.
Teknik penangan yang baik adalah menjaga situs dan ekosistem di sekitar situs
tersebut agar jangan menjadi rusak oleh perbuatan manusia. Pengadaan sarana
Rekomendasi teknik penanganan situs arkeologi dari sisi bidang dinamika perairan
79
transportasi untuk wisatawan perlu ditingkatkan misalkan untuk jalur transportasi (darat
dan air) yang menuju ke situs Benteng dan Dermaga di Pulau Cingkuk. Sedangkan untuk
Dermaga Kuno Salido dan Pelabuhan Kuno Bayang yang terkikis oleh dinamika perairan
yang ada mungkin bisa dilakukan pembangunan fisik suatu jetty (dermaga) / sea‐wall
(dinding pantai penahan gelombang) / break‐water (bangunan pemecah gelombang
sebelum mencapai ke pantai) di luar area situs untuk menghindari kehilangan / aberasi
dari situs tersebut. Suatu renovasi atau ekskavasi terhadap suatu situs diperlukan studi
awal (feasibility study) yang matang, mengingat letak situs berada di daerah yang begitu
kompleks kepentingannya. Apapun kegiatan yang dilakukan terhadap situs tersebut
hendaknya tetap menjaga nilai situs dan atau meningkatkan dayatarik minat wisatawan.
Untuk itu perlu penanganan yang terpadu dari seluruh instansi baik pemerintah dan
swasta (LSM) dan masyarakat setempat di sekitar situs yang ada.
6.4. Rekomendasi untuk Situs Ampyang Parak Shipwreck (Berada di Kecamatan Sutera)
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada sub‐bab sebelumnya terlihat bahwa
perairan Kambang cukup dinamis karena langsung berhadapan dengan Samudera
Hindia, dimana gelombangnya cukup besar terutama pada Musim Timur.
Teknik penanganan yang baik adalah koordinasi dan kerjasama yang terpadu
antara instansi terkait (instansi pusat, instansi daerah, dan LSM) beserta masyarakat
setempat dan kemauan dalam menangani/mengelola situs yang ada (Amparan Perak
Shipwreck), mengingat letak situs berada di daerah pelabuhan yang begitu kompleks
kepentingannya. Jika terdapat rencana ekskavasi terhadap Amparan Perak Shipwreck,
perlu dilakukan studi kelayakan (feasibility study) karena terkait dengan kondisi perairan
yang dinamis, yang akan menuntut biaya besar. Atau shipwreck dipertahankan secara
permanen dengan teknik penanganan yang menyeluruh untuk melindungi situs
mengalami kerusakan oleh dinamika perairan yang ekstrem, dan memelihara ekosistem
dari perairan sekitarnya sehingga dapat dijadikan daerah wisata penyelaman(Dive point),
wisata pantai, dan resort‐resort tempat penginapan.
Bab Tujuh
80
Daftar Pustaka
81
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
Asnan, Gusti. Kamus Sejarah Minangkabau. Diterbitkan oleh Pusat Pengkajian Islam dan
Minangkabau (PPIM),Perc. Gunatama, 2003. hlm. 30
Arsip Nasional. Positive Orders 1775 ( a.l mengenai pelayaran)
______________. Laporan Umum Gouvernment Sumatera Westkust 1854 lampiran
daftar bangunan, overzeight mengenai perdagangan dan pelayaran, daftar
import dan eksport tahun 1854 dan 1853.
_______________.List of the Following Produce Padang and Pulo Chinho, 1785 – 1793.
Berita Penelitian Arkeologi No. 03. Peninggalan Arkeologis di Kabupaten Pesisir Selatan,
Provinsi Sumatera Barat. Balai Arkeologi Medan, Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000.
Berita Penelitian Arkeologi No.07. Penelitian Situs Benteng Portugis Pulau Cingkuak
Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Balai Arkeologi Medan, Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pesisir Selatan. Pesisir Selatan dalam Angka (Pesisir
Selatan in Figures), BAPPEDA Kabupaten Pesisir Selatan, 2004.
Daud, Aris Tanudirdjo, Ragam Metode Penelitian Arkeologi dalam Skripsi Kartya Ilmiah
Mahasiswa Arkeologi UGM”, Laporan Penelitian, (Yogyakarta: Fakultas Sastra
UGM, 1988), hlm.34.
Bab Tujuh
82
H.R. Bintaro, ”Keterkaitan Manusia, Ruang, dan Kebudayaan”, Berkala Arkeologi Tahun
XV Edisi Khusus< (Yogyakarta: Balai Arkeologi, 1995), hlm 3. Mundardjito,
”Kawasan: Pendekatan Strategis dalam Penelitian Arkeologi di Indonesia Dewasa
ini”, Berkala Arkeologi Tahun XV Edisi Khusus, (Yogyakarta: Balai Arkeologi,
1995), hlm. 24.
Mansoer M.D. dkk., Sedjarah Minangkabau. Bharata Djakarta, 1970
MCMRP., 2004., Peta Arus Musim Timur: Tarusan. Lembar Peta: LP 0714‐03. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Peralihan: Tarusan. Lembar Peta: LP 0714‐03. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Kecerahan Musim Barat: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714.
Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta Kecerahan Musim Timur: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714.
Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta Kecerahan Musim Peralihan: Muara Siberut. Lembar Peta: LP
0714. Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta pH Musim Barat: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta pH Musim Timur: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714. Skala 1:
50.000.
Daftar Pustaka
83
_______., 2004., Peta pH Musim Peralihan: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714. Skala
1: 50.000.
_______., 2004., Peta Salinitas Musim Barat: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714.
Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta Salinitas Musim Timur: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714.
Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta Salinitas Musim Peralihan: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714.
Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta Suhu Musim Barat: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Suhu Musim Timur: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Suhu Musim Peralihan: Muara Siberut. Lembar Peta: LP 0714.
Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Barat: Pariaman. Lembar Peta: LP 0715‐04. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Timur: Pariaman. Lembar Peta: LP 0715‐04. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Peralihan: Pariaman. Lembar Peta: LP 0715‐04. Skala
1: 50.000.
Bab Tujuh
84
_______., 2004., Peta Kecerahan Musim Barat: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Kecerahan Musim Timur: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Kecerahan Musim Peralihan: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala
1: 50.000.
_______., 2004., Peta pH Musim Barat: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta pH Musim Timur: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta pH Musim Peralihan: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1:
50.000.
_______.., 2004., Peta Salinitas Musim Barat: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1:
50.000.
_______.., 2004., Peta pH Musim Timur: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1: 50.000.
_______.., 2004., Peta pH Musim Peralihan: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Suhu Musim Barat: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Suhu Musim Timur: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1:
50.000.
Daftar Pustaka
85
_______., 2004., Peta Suhu Musim Peralihan: Padang. Lembar Peta: LP 0715. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Barat: Painan. Lembar Peta: LP 0814‐01. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Timur: Painan. Lembar Peta: LP 0814‐01. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Peralihan: Painan. Lembar Peta: LP 0814‐01. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Kecerahan Musim Barat: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta pH Musim Barat: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta pH Musim Timur: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta pH Musim Peralihan: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Salinitas Musim Barat: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Salinitas Musim Timur: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Salinitas Musim Peralihan: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1:
50.000.
Bab Tujuh
86
_______., 2004., Peta Suhu Musim Barat: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta Suhu Musim Timur: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1: 50.000.
_______., 2004., Peta Suhu Musim Peralihan: Painan. Lembar Peta: LP 0814. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Barat: Kambang. Lembar Peta: LP 0814‐02. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Timur: Kambang. Lembar Peta: LP 0814‐02. Skala 1:
50.000.
_______., 2004., Peta Arus Musim Peralihan: Kambang. Lembar Peta: LP 0814‐02. Skala
1: 50.000.
Muckelroy, Keith. Maritime Archaeology. Cambridge University Press, Great Britain,
1978.
Renfrew, Colin and Paul Bahn. Archaeology : Theories, Methods and Practice. Thames &
Hudson Ltd, London, 1991.
Tim Penyusun, Sedjarah Daerah Prov.DI.Aceh, (Banda Aceh : Pemprov.DI.Aceh,
1977/1978), hlm.74, Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
(ed), Sedjarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm.65‐66.
Daftar Pustaka
87
Bab Tujuh
88
Lampiran 1 : Peta kuno Sumatera West Kust
Daftar Pustaka
89
Lampiran 2 : Peta Sebaran Situs Arkeologi Laut