160
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN BOGOR, 2013 Rotan SUMBERDAYA, SIFAT DAN PENGOLAHANNYA ROTAN SUMBERDAYA, SIFAT DAN PENGOLAHANNYA Osly Rachman Jasni Osly Rachman Jasni ISBN 979-3132-17-5

ISBN 979-3132-17-5 Rotan

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANANDAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANANKEMENTERIAN KEHUTANAN

BOGOR, 2013

RotanSUMBERDAYA, SIFAT DAN

PENGOLAHANNYA

RO

TA

NS

UM

BE

RD

AY

A, S

IFA

T D

AN

PE

NG

OL

AH

AN

NY

A

Osly RachmanJasni

Osly

Rach

man

Jasn

i

ISBN 979-3132-17-5

Page 2: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

a

Page 3: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

b

Sanksi Pelanggaran Pasal 72Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp. 5.000.000.000.00, (lima milyar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

c

ROTANSUMBERDAYA, SIFAT DAN PENGOLAHANNYA

ISBN : 979-3132-17-5

Penyusun : Osly Rachman Jasni

Penyunting : Djaban Tinambunan Kurnia Sofyan Hariadi Kartodiharjo

Cetakan pertama : September, 2006Cetakan kedua : Desember, 2008

Dipublikasikan :Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt. XIJl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 10270Telp. (021) 5730398, 5734333, 5730111

Cetakan ketiga : Juli 2013

Dipublikasikan:Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil HutanJl. Gunung Batu No. 5. Bogor 16610Telp. (0251) 8633378, 8633413Website : www.pustekolah.orgE-mail : - [email protected] - [email protected]

Foto-foto : Osly & Jasni

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, termasuk fotocopy, micro fi lm, dan cetak, tanpa izin penerbit

Page 5: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

d

Page 6: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

i

KATA PENGANTAR

CETAKAN KE-3

Informasi IPTEK tentang produk hasil hutan berupa kayu dan non kayu seperti rotan, bambu, arang, damar serta minyak atsiri terus dinantikan oleh pengguna. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya permintaan masyarakat terhadap hasil-hasil litbang baik berupa buku IPTEK, pedoman teknis maupun terbitan ilmiah lainnya.

Dalam rangka memenuhi permintaan tersebut dan untuk mendukung bangkitnya kembali industri rotan di Indonesia, Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) selaku institusi ilmiah yang melayani masyarakat berupaya untuk menyediakan informasi yang diperlukan diantaranya adalah menyediakan informasi mengenai IPTEK Rotan.

Buku: “Rotan, Sumberdaya, Sifat dan Pengolahannya” karya Prof. Dr. Ir. Osly Rachman, MS dan Dra. Jasni, M.Si, mulai dipublikasikan oleh Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (dahulu Pusat Litbang Hasil Hutan), Badan Litbang Kehutanan pada tahun 2006 dan dicetak kembali pada tahun 2008. Sehubungan masih banyaknya permintaan terhadap buku ini dan terbatasnya persediaan, maka Pustekolah memandang perlu untuk menerbitkan kembali buku ini menjadi cetakan ketiga. Pada cetakan ketiga ini dilakukan penambahan materi sesuai dengan perkembangan teknologi rotan sehingga lebih menyempurnakan cetakan sebelumnya.

Kami berharap dengan terbitnya buku ini akan lebih memperkaya khasanah IPTEK tentang rotan dan memperluas sasaran pengguna hasil litbang serta memberikan kontribusi bagi tumbuh dan berkembangnya kembali industri rotan yang lebih kompetitif.

Bogor, Juni 2013

Kepala Pustekolah,

Dr. Ir. I.B. Putera Parthama, M.Sc

Page 7: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

ii

Page 8: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

iii

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG

Rotan sebagai sumber kekayaan alam yang khas dari hutan tropis sejak lama telah digunakan dalam kehidupan manusia. Indonesia sampai saat ini masih di pandang sebagai negara penghasil rotan terbesar di dunia. Pemanfaatannya yang semakin meningkat dan didukung oleh masukan teknologi yang tepat guna akan dapat meningkatkan nilai tambah rotan. Tetapi peningkatan nilai tambah ini haruslah terdistribusi secara proporsional sejak dari petani/pengumpul, pedagang, pengolah barang setengah jadi sampai kepada pengolah barang jadi di industri. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta sistem usaha yang harmonis dan berkesinambungan untuk kesejahteraan masyarakat.

Dalam hubungan itu, untuk mencapai tujuan produksi rotan yang lestari dan berdaya saing tinggi diperlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Buku ini dapat memberikan gambaran tentang potensi, ekologi dan penanaman serta peningkatan efi siensi pemanfaatan rotan baik di hutan maupun industri pengolahan. Atas tersusunnya buku ini saya sampaikan penghargaan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan tidak lupa saya sampaikan pula penghargaan kepada Prof.Dr.Ir. Osly Rachman, MS dan Dra. Jasni,MSi selaku penyusun. Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Djaban Tinambunan, MS, Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan, MS dan Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, MS selaku penyunting.

Saya harapkan upaya penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi rotan dapat mendorong upaya pemanfaatan sumberdaya rotan yang efektif dan efi sien menuju terciptanya industri yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.

Jakarta, September 2006

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Wahyudi Wardoyo.

Page 9: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

iv

Page 10: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

v

KATA PENGANTAR

Walaupun industri rotan sudah berkembang dengan pesat di Indonesia, namun perkembangan ilmu dan teknologi rotan tidak sepesat produksinya. Bahkan, perkembangannya jauh tertinggal dibandingkan dengan ilmu dan teknologi kayu. Hal ini terutama benar, jika dilihat dari jumlah buku tentang rotan yang tersedia pada khasanah ilmu pengetahuan yang ada saat ini, walaupun rotan merupakan komoditi primadona dan penghasil devisa Indonesia terbesar setelah kayu di sektor kehutanan.

Menyadari sepenuhnya akan hal itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan yang merupakan salah satu pusat ilmu perkayuan dan kehutanan di Indonesia merasa terpanggil dan berkewajiban untuk menghimpun dan menyusun suatu rangkaian tulisan ilmiah tentang rotan yang pernah dikaji dan diteliti baik oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan maupun institusi lain di dalam maupun mancanegara agar materi tersebut dapat tersaji dalam bentuk yang sistematis dan komprehensif.

Kami menyambut gembira atas penerbitan Buku Rotan Sumberdaya Sifat dan Pemanfaatannya ini dan menghargai upaya Saudara Prof. Dr. Ir. Osly Rachman, MS dan Dra. Jasni, MSi selaku penyusun dan Prof. Dr. Ir. Djaban Tinambunan, MS selaku penyunting. Kepada semua pemakai buku ini yang telah memberikan saran perbaikan dan kelengkapan isinya kami mengucapkan terima kasih.

Buku ini hendaknya bermanfaat bagi peneliti, ilmuwan, praktisi, perencana dan perumus kebijakan serta pengambil keputusan di bidang rotan di Indonesia di masa kini maupun masa datang.

Segala saran dan kritik demi kesempurnaan buku ini akan diterima dengan senang hati. Sekian dan terima kasih. Sekian dan terima kasih.

Bogor, Desember 2008Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hasil Hutan

Dr. Ir. Maman Mansyur Idris, MS.

Page 11: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

vi

Page 12: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR CETAKAN KE-3 ......................................... i

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG ................................... iii

KATA PENGANTAR ......................................................................... v

DAFTAR ISI ........................................................................................... vii

DAFTAR TABEL .................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xiii

I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1

II. ROTAN SEBAGAI SUMBERDAYA HUTAN ....................... 5

A. Jenis dan Penyebaran ............................................................ 5

B. Ekologi .................................................................................... 8

C. Penanaman dan Pemanenan ............................................. 10

III. POTENSI PRODUKSI .............................................................. 14

A. Potensi Nasional ..................................................................... 14

B. Inventarisasi .............................................................................. 17

IV. SIFAT DASAR ROTAN .............................................................. 21

A. Ciri–Ciri Umum .................................................................... 21

B. Struktur Anatomi .................................................................... 24

C. Komposisi Kimia .................................................................... 31

D. Sifat Fisis dan Mekanis .......................................................... 34

E. Keawetan ................................................................................... 43

V. PENGOLAHAN ROTAN ........................................................... 46

A. Penanganan Bahan Baku Rotan di Hutan .......................... 46

B. Pengolahan Rotan Bahan Mentah ......................................... 49

C. Pengolahan Barang Setengah Jadi ....................................... 63

D. Pengolahan Barang Jadi Rotan .............................................. 71

Page 13: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

viii

VI. PENGAWETAN ROTAN ............................................................. 73

A. Organisme Perusak Rotan ................................................... 73

B. Bahan Pengawet ..................................................................... 76

C. Pengawetan ............................................................................ 79

VII. STANDARISASI MUTU ............................................................. 85

A. Uji Visual ................................................................................. 85

B. Mutu Rekayasa ...................................................................... 91

VIII. PENUTUP ................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 94

Page 14: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyebaran pertumbuhan rotan di Asia ........................... 6

Tabel 2. Penyebaran pertumbuhan jenis rotan di Indonesia ......... 7

Tabel 3. Potensi produksi rotan tebang lestari pada 20 daerah di Indonesia .......................................................................... 16

Tabel 4. Potensi rotan per jenis di Poso .......................................... 19

Tabel 5. Deskripsi jenis rotan hasil inventarisasi ........................ 20

Tabel 6. Potensi kelompok jenis rotan di Kalimantan Timur ...... 20

Tabel 7. KIP beberapa jenis rotan (buah/mm²) ............................ 23

Tabel 8. Komposisi kimia rotan dan kayu ...................................... 33

Tabel 9. Kadar air rata–rata rotan segar dan pada kondisi kering udara di daerah Bogor ........................................................ 36

Tabel 10. Hubungan antara proporsi relatif pori, serat dan parenkim dengan berat jenis ............................................. 38

Tabel 11. Hubungan antara jumlah sel schlerenchyma dan kekuatan tarik rotan .............................................................................. 41

Tabel 12. Struktur anatomi tiga jenis rotan dari Kerala, India ....... 42

Tabel 13. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk ............... 44

Tabel 14. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering (Dinoderus minutus Farb) ............................................ 44

Tabel 15. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk ................ 45

Tabel 16. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap rayap tanah ........ 45

Tabel 17. Rendemen rotan sega, jahab dan jermasin pada kondisi pembelahan basah dan kering (%) .................................... 57

Tabel 18. Hasil pengeringan alami dengan tiga perlakuan terhadap rotan ukuran besar yang sudah digoreng ......................... 59

Tabel 19. Kecepatan pengeringan rotan Kerik ................................. 60

Tabel 20. Pengeringan rotan dengan kilang pengering. ................... 62

Page 15: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

x

Tabel 21. Jenis bahan pengawet untuk rotan .................................. 80

Tabel 22. Kelas efi kasi bahan pengawet ........................................... 81

Tabel 23. Derajat proteksi bahan pengawet ...................................... 82

Tabel 24. Syarat khusus untuk mutu rotan asalan ........................... 86

Tabel 25. Syarat khusus untuk mutu rotan bundar WS .................... 87

Tabel 26. Standar mutu rotan bulat WS ............................................. 88

Tabel 27. Persyaratan mutu rotan belahan kupasan ......................... 88

Tabel 28. Persyaratan mutu rotan kikis buku .................................... 89

Tabel 29. Persyaratan mutu rotan bundar kupasan ......................... 89

Tabel 30. Persyaratan mutu kulit rotan .............................................. 90

Tabel 31. Persyaratan khusus mutu hati rotan .................................. 90

Tabel 32. Persyaratan khusus mutu anyaman rotan ........................ 91

Page 16: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman rotan dan buah rotan di hutan tropika ........ 9

Gambar 2. Bibit rotan manau (Calamus manan) dan sega (C. caesius) berumur 12 bulan yang siap dipindahkan ke tempat penanaman. .............................. 11

Gambar 3. Batang rotan ................................................................... 22

Gambar 4. Struktur anatomi mikro batang rotan ......................... 25

Gambar 5. Yellow Caps pada rotan Sampang (Korthalsia junghunii) 26

Gambar 6. Tipe struktur sel parenkim dasar pada penampang lintang dan longitudinal ................................................... 27

Gambar 7. Foto penampang lintang ikatan pembuluh (Linda Idrawati, 1993) Pembesaran 100 x ................ 28

Gambar 8. Diagram ikatan pembuluh (Weiner dan Liese, 1990) . 29

Gambar 9. Dinding sel pembuluh pratoxylem yang khas berbentuk spiral (Pembesaran 100 X) ........................... 30

Ganbar 10. Grafi k hubungan antara defl eksi dan beban pada uji lentur statik rotan (b) dan kayu (a) ................................. 39

Gambar 11. Pengujian lentur statik rotan pada mesin uji ................ 40

Gambar 12. Penumpukan rotan di tempat pengumpulan sementara ditepi hutan. .................................................... 48

Gambar 13. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan besar (Keterangan:*) kulit terkelupas,retak/pecah,serangan jamur/insekta ................................................................... 50

Gambar 14. Unit penggorengan rotan ............................................... 51

Gambar 15. Grafi k hubungan waktu penggorengan dengan kadar air (A), kecerahan warna (B) dan keteguhan rotan (C). 54

Gambar 16. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan kecil ....... 56

Gambar 17. Pengeringan rotan secara alami ...................................... 58

Gambar 18. Perilaku penurunan kadar air rotan selama pengeringan . 61

Page 17: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

xii

Gambar 19. Rumah asap ....................................................................... 63

Gambar 20. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan besar 64

Gambar 21. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan kecil 65

Gambar 22. Hasil produk yang sudah diputihkan ........................... 68

Gambar 23. Jenis kerusakan rotan pada proses pembengkokan (Setiadji, 1977) ................................................................... 69

Gambar 24. Bagan alir pengolahan barang jadi ................................. 72

Gambar 25. Tumpukan rotan segar yang diserang jamur pewarna dan pelapuk ...................................................................... 75

Gambar 26. Serangan bubuk rotan kering pada rotan. Lyctus sp dan Dinoderus sp (atas), Heterobostrychus aequalis (bawah) ............................................................................... 76

Gambar 27. Hubungan MOE dengan lentur maksimum dan garis batas mutu rekayasa rotan ............................................... 92

Page 18: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar jenis rotan Indonesia ......................................... 105

Lampiran 2. Jenis rotan komersial dan penyebarannya di Indonesia 120

Lampiran 3. Jenis alternatif rotan pengganti rotan komersial ........ 123

Lampiran 4. Jenis-jenis rotan berdiameter besar (>18 mm) di Indonesia ......................................................................... 124

Lampiran 5. Jenis rotan dan hasil inventarisasi di Kalimantan Timur tahun 1981 ........................................................... 126

Lampiran 6. Komposisi sel dan dimensi serat rotan ..................... 128

Lampiran 7. Ukuran rata-rata struktur anatomi rotan (um) ........... 129

Lampiran 8 . Komponen kimia utama penyusun rotan (%) ............ 130

Lampiran 9. Sifat fi sis dan mekanis rotan ........................................ 132

Lampiran 10. Sifat pelengkungan rotan .............................................. 134

Lampiran 11. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering (Dinoderus mintus Fabr.) ........................ 136

Lampiran 12. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus) .................................................. 137

Lampiran 13. Persentase susut berat dan volume pada tiap tahap proses pengolahan rotan besar ..................................... 139

Lampiran 14. Persentase susut berat dan volume pada tiap tahap proses pengolahan rotan kecil. ...................................... 140

Page 19: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

xiv

Page 20: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

1

I. PENDAHULUAN

Rotan yang di dalam dunia perdagangan mancanegara disebut

sebagai rattan, konon berasal dari bahasa Melayu, yaitu rautan yang asal katanya adalah raut. Rautan mempunyai arti kurang lebih benda yang diperoleh dengan cara meraut, mengupas, melicinkan, biasanya dengan pisau atau parang yang tajam. Benda yang diraut akan menjadi lebih tipis, lebih pipih atau lebih bulat sesuai kemauan peraut. Benda-benda tersebut selanjutnya dapat dijadikan tali pengikat atau dirakit menjadi barang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti berbagai macam tikar, kursi, meja dan aneka keranjang.

Secara jelas belum diketahui kapan rotan mulai dieksploitasi dari hutan alam untuk dimanfaatkan baik sebagai perabot rumah tangga maupun sebagai komoditi yang diperdagangkan di mancanegara. Namun hampir dapat dipastikan bahwa pemanfaatan rotan diawali oleh bangsa Melayu di Indochina atau Hindia Belakang, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Pilipina. Hyene (1950) menyebutkan bahwa sejak pertengahan abad–19 masyarakat Dayak di Kalimantan telah mengenal teknologi penanaman rotan, yaitu di sekitar daerah pasir (Tanah Grogot), di tepi sungai Barito, di sisi sungai Kahayan dan di sekitar Sampit. Penanaman rotan di daerah itu masih berlangsung sampai saat ini.

Sejak dahulu sampai sekarang Indonesia dikenal sebagai pemasok rotan terbesar di dunia. Akan tetapi pada masa lalu keuntungan yang diperoleh dari sumber daya rotan ini lebih banyak dinikmati oleh negara importir, terutama Singapura, Hongkong dan Taiwan. Negara ini pernah tercatat sebagai tujuan ekspor terbesar (90%) Indonesia dalam bentuk rotan asalan. Di negara-negara itu, dengan penerapan teknologi pengolahan rotan asalan secara sederhana, yaitu penggorengan, penggosokan, pencucian, pengeringan, pengasapan dan sortasi maka negara-negara tersebut mendapatkan nilai tambah rotan menjadi berlipat ganda (Rachman, 1979; Anonim, 1988).

Kebijakan pertama tentang rotan yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia diawali pada tahun 1979, yaitu pelarangan ekspor rotan asalan. Hal ini mengingat rotan sebagai komoditi hasil hutan non kayu yang pemungutannya dilakukan oleh rakyat dipandang sebagai komoditi primadona dan mampu menyumbangkan devisa terbesar kedua setelah kayu di sektor kehutanan. Selain itu, teknologi pengolahan awal (lepas panen) telah mampu dilakukan di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah pada produk rotan. Nilai tambah tersebut

Page 21: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

2

akan dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani dan pemungut rotan (trickle down effect). Masa itu adalah zaman keemasan bagi petani rotan di Kalimantan serta para pemungut dan pengumpul rotan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi karena mereka mengekspor rotan dalam bentuk rotan bulat kering berkulit (rattan cane) atau disebut juga rotan wash and sulphurized (W&S). Zaman keemasan rotan di tingkat hulu berakhir ketika pelarangan ekspor rotan bahan mentah (termasuk rotan asalan) dan barang setengah jadi rotan dikeluarkan pada tahun 1989 dan tahun 1990. Kebijakan tersebut tampaknya mampu meningkatkan produksi bahan baku rotan Indonesia sampai sekitar 250.000 ton per tahun. Bahan baku tersebut seluruhnya telah diolah dalam negeri dan tidak kurang dari 100.000 ton pertahun diekspor dalam bentuk barang jadi rotan dengan nilai US$ 300 – 400 juta per tahun. Pada pertengahan dekade 90-an Indonesia telah menguasai hampir 60% nilai ekspor barang jadi rotan negara-negara ASEAN (Hartono, 1988).

Sayangnya, perkembangan industri pengolahan hampir seluruhnya terpusat di pulau Jawa. Sedangkan, daerah di luar pulau Jawa sebagai penghasil bahan baku rotan hanya mampu mengolah rotan sampai menjadi rotan asalan dan rotan bulat. Karena tidak boleh ekspor, maka industri di pulau Jawa seolah-olah memonopoli harga rotan bahan mentah. Akibatnya, posisi tawar-menawar pihak pemasok bahan mentah menjadi rendah dan posisi yang paling lemah ada pada pemungut/petani dan pengumpul rotan di pedesaan, sehingga harga rotan di tingkat ini sangat rendah. Dengan adanya hasil kesepakatan General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) putaran Uruguay, tahun 1992 maka larangan ekspor rotan Indonesia mendapat sorotan, sehingga larangan ekspor tersebut berubah menjadi ekspor rotan dengan pajak tinggi. Adanya arus reformasi tahun 1998 dan sorotan internasional maka setelah akhir dekade 90-an sampai awal abad-21 larangan ekspor rotan menjadi longgar yang pada pokoknya mempertimbangkan segi kesejahteraan pemungut/petani dan pengumpul rotan, kelestarian sumberdaya rotan dan keberlanjutan industri pengolahan rotan.

Sampai kapanpun, tampaknya mebel rotan atau perabot rumah tangga lainnya yang terbuat dari rotan akan tetap disukai orang. Sifat khas, unik dan eksotis yang dimiliki rotan belum bisa disubstitusi oleh kayu, plastik atau metal bahkan dengan rotan tiruan, seperti yang dilakukan oleh negara Taiwan pada dekade 80-an melalui teknologi perekatan limbah dari venir tolakan (rejected). Keunikan rotan terletak pada kemampuannya yang khas dalam menampilkan rasa artistik yang

Page 22: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

3

sangat alami sehingga menimbulkan rasa bangga memilikinya. Selain itu, perabot rotan memberikan kesan rileks dan informal serta sifat bersahabat pemiliknya. Di samping sifatnya yang demikian unik, secara ekonomis, perabot rotan bila dibandingkan dengan barang lain dengan fungsi yang sama ternyata harganya jauh lebih murah dan secara fisik perabot rotan lebih ringan sehingga mudah dipindahkan baik letak maupun posisinya.

Walaupun rotan sebagai produk manufaktur telah berkembang dengan pesat, namun demikian perkembangan ilmu dan teknologi rotan tidak sepesat produknya, terutama pada spek teknologi pengolahannya. Bahkan perkembangannya jauh tertinggal dibandingkan dengan ilmu dan teknologi kayu walaupun kedua material ini sama-sama bahan berkayu (berlignoselulosa) dan berasal dari sumberdaya yang sama, yaitu hutan. Tanaman rotan hanya tumbuh di daerah lingkar tropis dengan persebaran di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, buku-buku teks yang berasal dari negara maju umumnya menguraikan tentang kayu softwood dan hardwood. Sedangkan kelas Monocoyiledons, suku Palmeae tidak banyak ditemui, terutama tentang pemanfaatanya. Bahkan, suku ini dianggap inferior dan disebut sebagai hasil hutan bukan kayu atau ikutan atau sekunder, di sisi lain kayu softwood dan hardwood sebagai hasil hutan primer atau utama. Kesan semacam ini banyak ditemui dalam tulisan atau buku teks. Oleh karena itu, penulisan buku ini bertujuan untuk memacu perkembangan ilmu dan teknologi rotan di Indonesia, yaitu daerah dimana rotan memiliki keanekaragaman jenis paling tinggi dan memproduksi rotan paling banyak di dunia.

Dalam buku ini diuraikan tentang rotan sebagai salah satu komoditi sumberdaya hutan, potensi poduksi, sifat dasar, teknologi pengolahan termasuk pengawetan dan standarisasi mutu rotan. Materi rotan sebagai sumber daya membahas tentang jenis dan penyebaran rotan di dunia maupun Indonesia, ekologi rotan dan penanaman sampai pemanenan. Pada potensi produksi disajikan potensi nasional rotan termasuk perkembangan produksi dan inventarisasi termasuk teknik inventarisasi serta penentuan jatah tebang lestari. Pada sifat dasar diuraikan ciri-ciri umum tiap jenis rotan, struktur anatomi makro dan mikro, komposisi kimia, sifat fisis-mekanis dan keawetan. Dalam bidang pengolahan didiskusikan tentang penanganan rotan di hutan, pengolahan rotan mentah, setengah jadi dan barang jadi baik untuk rotan kecil maupun rotan besar. Dalam teknologi pengawetan dibahas organisme perusak rotan, bahan pengawet dan cara-cara pengawetan. Adapun materi standarisasi mutu meliputi standarisasi mutu visual untuk

Page 23: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

4

rotan asalan, rotan mentah, setengah jadi dan barang jadi. Pada bagian akhir materi ini diulas pula tentang standarisasi mutu rekayasa pada rotan.

Page 24: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

5

II. ROTAN SEBAGAI SUMBERDAYA HUTAN

Seluruh jenis rotan tumbuh di permukaan bumi diperkirakan 850 jenis. Penyebaran tumbuhan rotan mulai di kepulauan Fiji di Timur sampai ke Afrika tropis di bagian Barat dan mulai dari Australia Utara sampai daerah Cina Selatan. Pusat pertumbuhan rotan paling banyak ditemui di Asia Selatan. Di wilayah ini terdapat sekitar 614 jenis rotan dan 312 jenis diantaranya tumbuh di Indonesia. Secara umum rotan tumbuh baik didaerah hutan hujan tropika, baik pada hutan primer maupun hutan sekunder pada ketinggian sampai dengan 1500 meter di atas permukaan laut. Dalam upaya pelestarian sumberdaya rotan di Indonesia, masyarakat telah melakukan penanaman rotan baik secara tradisonal maupun secara komersial. A. Jenis dan Penyebaran

Semua bahan berkayu yang dipakai sehari-hari adalah produk dari tanaman yang termasuk sub-divisi Gymnospermae dan Angiospermae. Dari sub-divisi Gymnospermae yang banyak menghasilkan kayu berasal dari kelas Coniferales (kayu conifer atau softwood). Sedangkan dari sub-divisi Angiospermae terbagi menjadi dua kelas, yaitu Monocotyiledons dan Dicotyledons. Dari kelas Dicotyledons dihasilkan kayu-kayu daun lebar (hardwood). Adapun rotan berasal dari subdivisi angiospermae, kelas monokotyledons, ordo palmales dan famili palmeae. Famili palmeae ini terdiri dari 6 sub-famili, rotan termasuk ke dalam sub-famili lepidocaryoid atau calamoideae (Uhl dan Dransfield, 1987). Sub-famili ini secara keseluruhan memiliki 22 genera dengan ciri khas buahnya bersisik. Akan tetapi hanya 13 genera yang termasuk tumbuhan rotan dengan ciri khas batang memanjat, kelopak dan daun berduri, buah bersisik serta mempunyai flagela atau cirus. Seluruh jenis tumbuhan rotan yang terdapat di dunia ini diperkirakan sekitar 850 jenis (Dransfield,1984 ; Weiner dan Liese,1990)

Pusat penyebaran tumbuhan rotan adalah Asia Tropis, terutama di Asia Tenggara. Di daerah ini ditemui 10 genera yang meliputi 85% dari seluruh jenis rotan yang tumbuh di muka bumi ini. Sisanya, 15% tumbuh di Fiji, Papua Nugini, Australia Utara dan Afrika Tropis bagian Barat. Di daerah yang disebut terakhir ini terdapat 3 genera endemik, yaitu Eremospatha, Laccosperma dan Oncocalamus.

Mogea (1990) menyatakan bahwa di Asia Selatan terdapat sekitar 614 jenis rotan. Dari jumlah ini ternyata di Indonesia tumbuh sebanyak

Page 25: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

6

314 jenis yang berasal dari 8 genera (Lampiran 1) dan satu genus di antaranya adalah endemik Indonesia, yaitu Cornera. Dari jenis yang ada di Indonesia, 51 jenis di antaranya dilaporkan oleh Sumarna (1996) sebagai jenis-jenis rotan komersial (Lampiran 2), sedangkan 13 jenis rotan kurang dikenal dapat digunakan sebagai alternatif pengganti rotan komersial (Lampiran 3).

Apabila dibandingkan dengan beberapa negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara paling kaya akan sumberdaya rotan. Di Semenanjung Malaysia terdapat 146 jenis dari 7 genera dan 20 jenis di antaranya dilaporkan sebagai jenis komersial. Di Thailand terdapat 70 jenis dari 6 genera dimana 10 jenis termasuk jenis komersial. Di Philipina terdapat 70 jenis dari 4 genera dan 10 jenis di antaranya dipungut sebagai jenis komersial (Tabel 1). Badhwar (1961) melaporkan, bahwa di India ditemukan sekitar 37 jenis dari 3 genera dan 10 jenis di antaranya merupakan jenis-jenis rotan komersil (seluruhnya dari genus Calamus).

Tabel 1. Penyebaran pertumbuhan rotan di Asia

Genera Seluruh jenis di

Asia

Jenis yang tumbuh di

Indonesia PilipinaSemenan-

jung Malaysia

Thailand Brunei Lao PDR

1. Calamus 400 192 48 96 48 75 25 2. Ceratalobus 6 7 - 2 - 5 - 3. Cornera 1 1 - - - 2 - 4. Daemonorops 155 78 14 35 12 44 2 5. Kortehalsia 26 25 6 8 3 12 3 6. Myrialepsis 1 2 - 1 1 - 1 7. Plectocomia 16 5 2 1 6 4 5 8. Plectocomiopsis 5 2 - 3 1 4 1 9. Pogonotium 3 - - - - 3 - 10. Retisphata 1 - - - - 1 - Jumlah 614 312 70 149 70 149 37

Sumber : Data diolah dari Dransfield (1974); Vongkaluang (1984); Salita (1984); Sumarna (1986) dan Mogea (1990); Nangkat et.al. (1997); Evans et.al. (2001)

Untuk mengetahui penyebaran jenis-jenis rotan yang tumbuh di berbagai wilayah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Jenis-jenis rotan

Page 26: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

7

yang paling banyak ditemui di Kalimantan ada 133 jenis, kemudian menyusul berturut-turut di Sumatera, Irian Jaya, Sulawesi, Jawa, Maluku, dan paling sedikit di NTB dan NTT (hanya 2 jenis). Apabila Tabel 2 diperhatikan lebih seksama, diketahui bahwa di Indonesia terdapat jenis-jenis epidemik, yaitu jenis-jenis dari genera: Calamus (15 jenis), Ceratalobus (2 jenis), Cornera (1 jenis), Daemonorops (4 jenis), Korthalsia (5 jenis) dan Plectocomia (1 jenis). Sedangkan, jenis-jenis endemik sebanyak 2 jenis berasal dari genus Myrialepsis yang hanya tumbuh di Kalimantan dan Sumatera; dan genus Plectocomia sebanyak satu jenis yang hanya tumbuh di Sumatera. Tabel 2. Penyebaran pertumbuhan jenis rotan di Indonesia

Wilayah Jumlah Calamus Cerata lobus Cornera Daemo-

norops Korthalsia Myri- liepsis

Plecto-comia P´miopsis

Kalimantan 133 75 4 1 37 15 1 - - Sumatera 82 33 3 1 28 10 1 4 2 Irian Jaya 47 45 - - - 2 - - - Sulawesi 35 27 - - 7 1 - - - Jawa 30 18 2 - 6 2 - 2 - Maluku 11 7 - - 4 - - - - NTB + NTT

2 2 - - - - - -

Jumlah 1) 340 207 9 2 82 30 2 6 2 Jumlah 2) 312 192 7 1 78 25 2 5 2 Jumlah 3) 28 15 2 1 4 5 0 1 0

Sumber : Data diolah dari Dransfield (1974) dan Sumarna (1986). Keterangan : 1) Terdapat lebih dari satu species yang sama dalam wilayah yang

berbeda; 2) Jumlah species yang ada secara nasional; 3) Banyaknya species yang sama menyebar pada beberapa wilayah (jenis-jenis epidemik)

Seperti tampak pada Tabel 2, apabila spesies yang tumbuh pada

masing-masing wilayah dijumlahkan diperoleh sebanyak 340 spesies (Jumlah 1). Namun, jumlah spesies yang tercatat secara nasional adalah 312 spesies. Dengan demikian, terdapat selisih sebanyak 28 spesies, yaitu spesies-spesies yang tumbuh secara epidemik di beberapa wilayah.

Berdasarkan ukuran diameter batangnya, seluruh jenis rotan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu rotan besar dan rotan kecil. Kelompok rotan besar atau disebut juga rotan berdiameter besar adalah jenis-jenis rotan yang diameter batangnya lebih besar dari 18 mm. Jenis-jenis yang termasuk kedalam kelompok ini dan sering dijumpai dalam

Page 27: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

8

perdagangan antara lain manau (Calamus manan), batang (C. ornatus), semambu (C. scipionum) dan unbut (Daemonorop macroptera). Rotan besar biasanya digunakan untuk pembuatan rangka mebel atau komponen struktural lainnya. Rotan kecil atau disebut juga rotan berdiameter kecil adalah rotan yang diameter batangnya kurang dari atau sama dengan 18 mm. Jenis-jenis yang termasuk kelompok ini dan sudah umum dikenal di antaranya sega (C. caesius), pulut (C.impar), irit (C. trachayecoleus) dan jermasin (C. leijocaulis). Rotan kecil digunakan sebagai bahan anyaman atau komponen pengisi dalam barang jadi. B. Ekologi

Rotan secara umum tumbuh baik di daerah hutan hujan tropika (Gambar 1). Di dunia, rotan tumbuh menyebar mulai dari Kepulauan Fiji di Timur sampai ke Afrika di Barat, Cina Selatan di Utara sampai ke Australia Utara di Selatan. Walaupun demikian wilayah Asia Tenggara, terutama di Indonesia, dijumpai paling banyak jenis rotan.

Indikator yang penting untuk tempat tumbuh rotan, yaitu: areal hutan yang memiliki kelembaban tinggi (± 60%), areal bekas tebangan hutan (secondary forest), semak belukar dan tersedianya pohon penyangga diantaranya, yaitu kayu huru (Litsea sp.), meranti (Shorea spp. dan Hopea spp.), rasamala (Altingia excelsa), karet (Havea braziliensis) dan lain-lain. Rotan tumbuh merambat dan dapat mencapai 100 meter atau lebih (Alrasyid, 1989). Berdasarkan cara pertumbuhannya, rotan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu yang tumbuh berumpun (cluster), tumbuh tunggal (soliter) dan tumbuh berumpun dengan batang bercabang. Rotan yang disebut pertama umumnya adalah rotan berdiameter kecil seperti rotan sega (Calamus cesius), irit (C. trachycoleus), jermasin (C. leijocaulis) dan lain-lain yang tumbuh berkelompok di tepi sungai. Bagian batang yang tertutup lumpur dapat bertunas dan menghasilkan batang baru pada setiap bukunya. Namun, jenis-jenis rotan besar ada juga yang tumbuh berumpun seperti seuti (C. ornatus), balukbuk (C. burckianus), pelah (Daemonorop rubra) dan seel (D. melanochaetes). Adapun yang tumbuh tunggal seperti manau (C. manan) hanya menghasilkan satu batang sepanjang hidupnya dan berkembang biak terutama melalui biji. Adakalanya daging buahnya terlebih dahulu telah dimakan hewan hutan, kemudian berkecambah dan tumbuh. Rotan yang tumbuh berumpun dengan batang bercabang adalah rotan sampang (Korthalsia tysmanii) yang banyak dijumpai tumbuh di Jawa Barat yaitu di sekitar Gunung Salak.

Page 28: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

9

Gambar 1. Tanaman dan buah rotan di hutan tropika

Alrasyid dan Dali (1986) menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada hasil penelitian yang dapat menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara tempat tumbuh dengan tipe flora rotan. Namun demikian secara umum rotan dapat tumbuh di hutan primer maupun sekunder, pada lereng-lereng bukit, di sepanjang pinggir sungai, dan pada tanah podsolik atau aluvial. Daya toleransi terhadap ketinggian sangat luas, yaitu dari 0 – 2.900 meter di atas permukaan laut (d.p.l.). Sungguhpun demikian, akumulasi pertumbuhan umumnya dijumpai pada ketinggian 0 – 1.500 meter d.p.l. dengan kondisi curah hujan tidak kurang dari 2.000 mm/tahun, kelembaban udara sekitar 40 – 60% dan intensitas cahaya untuk pertumbuhan 20 – 50%. Dari Sulawesi dilaporkan bahwa akumulasi pertumbuhan ditemukan pada ketinggian sekitar 600 meter d.p.l. Adapun di tanah liat berpasir dan secara periodik digenangi air disenangi oleh pertumbuhan balukbuk (Calamus burckiamus), sega-air (C. axillaris) atau irit (C. trachycoleus). Sebaliknya, jenis-jenis seperti manau (C. manan) dan sega (C. caesius) umumnya tumbuh pada lahan kering. Suatu kenyataan yang ditemui di lapangan ialah bahwa di daerah pegunungan yang berbatu kapur hanya tumbuh jenis manau-padi (C. marginatus, Kalimantan) dan pada rawa gambut hanya tumbuh jenis rotan

Page 29: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

10

dahan atau andung (Korthalsia flagellaris). Daerah-daerah semacam ini miskin akan jenis-jenis rotan.

C. Penanaman dan Pemanenan

Penanaman rotan telah dilakukan baik secara tradisional maupun komersial. Penanaman secara tradisional pertama kali dengan jenis sega (Calamus caesius) dan irit (C. trachycoleus) telah berhasil dilakukan di beberapa daerah di Kalimantan pada tahun 1850. Kemudian tahun 1929 dan 1939 dilakukan pula penanaman jenis yang sama di daerah Kutai (Heyne, 1950; Nandika, 1939 dan Tuil, 1929).

Pada tahun 1979 dilakukan percobaan pananaman rotan manau (C. manan) di pulau Jawa oleh Lembaga Penelitian Hutan, Departemen Pertanian. Penanaman secara komersial dengan areal yang relatif luas dimulai pada dekade 80–an yang didorong oleh kekhawatiran semakin menipisnya sumber daya rotan dari hutan alam. Di pulau Jawa penanaman rotan secara komersial oleh Perum Perhutani dimulai tahun 1983. Hasil penanaman sejak tahun 1983 – 1992 telah mencapai areal 33.000 Ha yang terdiri dari jenis manau, sega, irit dan jenis-jenis lokal.

Dalam teknik penanaman rotan, berkembang suatu teori yang kuat, bahwa pananaman rotan di areal tempat tumbuhnya, ditinjau dari segi ekologis memberi tingkat keberhasilan yang tinggi. Karena itu, untuk pembuatan tanaman rotan sebaiknya dilakukan di areal di mana rotan secara alami tumbuh baik. Dengan perkataan lain, penanaman rotan disesuaikan dengan tempat tumbuhnya. Namun demikian, untuk penanaman rotan yang baik masih diperlukan percobaan pendahuluan untuk mencari kendala-kendala yang mungkin timbul (Dransfield, 1974).

Bibit untuk penanaman rotan dapat dipakai bibit liar yang berasal dari permudaan alam atau dari biji yang diunduh. Apabila memakai biji, maka biji tersebut harus disemaikan dahulu sebelum ditanam di lapangan. Buah rotan yang telah diunduh, lalu diremuk dan dibiarkan selama 1 – 2 hari, agar kulit buahnya meluruh sehingga perikarp dan daging buahnya dapat dibuang dengan mudah. Biji selanjutnya dicuci sampai bersih dan dimasukkan kedalam kantong plastik (ukuran 40 x 60 cm) atau karung untuk disimpan selama 2 – 3 hari.

Perkecambahan biji dapat dilakukan di petak persemaian (ukuran 1m x 5 m) atau langsung di polibek (kantong plastik ukuran 15 cm x 20 cm). Media perkecambahan terdiri dari campuran bunga tanah, gambut dan pasir halus dengan perbandingan 7 : 3 : 2. Sebelum biji berkecambah,

Page 30: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

11

bedengan penaburan biji diberi naungan dan disiram setiap hari. Setelah kecambah umur sekitar 1 – 2 bulan, adalah saatnya untuk dipindahkan ke petak penyapihan atau ke polibek. Jarak tanam dipetak penyapihan adalah 30 x 30 cm. Setelah bibit mencapai umur sekitar 9 – 12 bulan (tinggi 40 – 50 cm) dapat dipindahkan ke tempat penanaman (Gambar 2.). Jarak tanam di lapangan dapat dipakai 5 x 5 m, 10 x 10 m atau 20 x 20 m (Alrasyd, 1989; Sumarna dan Kosasih, 1997).

Gambar 2. Bibit rotan manau (Calamus manan) dan sega (C. caesius) berumur

12 bulan yang siap dipindahkan ke tempat penanaman.

Pemeliharaan tanaman di lapangan dilakukan secara teratur sekurang-kurangya setiap 6 bulan yaitu sampai rotan berumur 3 tahun. Caranya adalah membersihkan jalur tanam selebar 1 m agar rotan muda mendapatkan cahaya cukup. Penyiangan tanaman dilakukan 3 – 4 kali dalam setahun. Bila hendak memupuk rotan dapat dilakukan sampai rotan berumur 3 tahun. Setelah berumur 3 tahun pemeliharaan cukup sekali setahun. Hama tanaman rotan adalah belalang dan kumbang (dari kelompok Rhyncophorus dan Macrocyrus) yang menyerang daun-daun yang masih muda, serta kera dan bajing yang biasanya memakan umbut atau pucuk daun muda. Penyakit tanaman rotan biasanya disebabkan oleh sejenis jamur (Pestalosia sp) yang menyerang daun dan menyebabkan pembusukan pada pangkal batang. Sejenis virus diketahui menyerang tunas-tunas muda yang mengakibatkan tumbuhan rotan menjadi kerdil.

Page 31: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

12

Untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan cara penyemprotan dengan insektisida atau dengan fungisida (Anonim, 2005).

Pada dasarnya, pemanenan rotan dilakukan semakin tua akan semakin baik. Namun, pemanenan sebaiknya dilakukan setelah rotan masak tebang. Umur panen rotan masak tebang yang telah diketahui hanya terbatas pada rotan-rotan yang telah lama dibudidayakan, yaitu rotan irit, taman, pulut dan manau. Panen pertama kali umumnya dilakukan pada umur 6 – 8 tahun untuk rotan berdiameter kecil, sedangkan untuk rotan berdiameter besar antara 12 – 15 tahun. Rotan irit (Calamus trachycoleus) di Dedahup, Kalimantan mulai dipungut pada umur 7 – 8 tahun, sebanyak empat kali pemungutan dalam jangka waktu 2 – 3 tahun. Pemungutan pertama menghasilkan 7 ton rotan basah/Ha (kerapatan 100 rumpun/Ha) dan selanjutnya menghasilkan masing-masing 9 ton, 10 ton dan 8 ton tiap kali panen. Untuk rotan besar berbatang tunggal pemanenan hanya satu kali, kemudian dilakukan penanaman kembali (Menon, 1979; Alrasyid, 1989; Sumarna dan Kosasih, 1997). Di Katingan jenis rotan irit (Calamus trachycoleus) dipungut setelah berumur 7 tahun, selanjutnya ditebang lagi selang 2 tahun selama 24 tahun. Rotan sega (C. caesius) dan rotan manau (C. Manan) daur optimumnya 25 tahun, sedangkan rotan taman (C. optimus) daurnya 10 tahun. Dalam satu hektar kebun rotan yang terawat baik dapat menghasilkan 7,5 ton rotan basah dalam setiap kali panen.

Bagi rotan alam yang tidak diketahui umurnya, ciri-ciri pohon rotan yang telah masak tebang adalah apabila kelopak atau daunnya atau selundang pada batang bagian bawah sudah rontok, sebagian daunnya sudah mengering dan bewarna kekuning-kuningan. Untuk rotan berdiameter kecil, tanda-tanda tersebut dapat muncul setelah rotan berumur sekitar 7 tahun sedangkan pada rotan berdiameter besar pada umur 15 – 20 tahun.

Penebangan rotan masih dikerjakan secara tradisional, yaitu dengan cara, dengan parang dibagian bawah batang lalu seluruh batang diupayakan dapat dilepaskan dari pohon inang atau rumpunnya dengan cara ditarik oleh penebang. Keterbatasan kemampuan penarikan dapat menyebabkan batang rotan putus atau terpaksa diputuskan dan tertinggal pada pohon inang sebagai limbah penebangan. Besarnya limbah yang terjadi pada penebangan secara tradisional adalah 12,6 – 28,5 %. Tetapi dengan menggunakan alat tirfor dan lir (semacam alat bantu penarikan rotan) limbahnya adalah 4,1 – 11,1 %. Besarnya limbah yang dihasilkan selama pengangkutan berkisar antara 5 – 10 % (Sinaga, 1986).

Page 32: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

13

Batang rotan sesudah dipanen dibersihkan dari pelepah dan duri dengan menggunakan parang atau golok secara hati-hati sehingga kulitnya tidak rusak. Selanjutnya rotan dipotong sesuai ukuran panjang yang diminta atau dipesan. Khusus pada rotan berdiameter besar, potongan rotan diluruskan untuk memudahkan pengikatan. Setelah itu, rotan diikat menjadi bundelan kemudian diangkut ke tepi hutan dan diletakkan di tempat penampungan sementara.

Page 33: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

14

III. POTENSI PRODUKSI

Indonesia dikenal sebagai produsen rotan terbesar di dunia, yaitu

mencapai sekitar 80 – 90 % sedangkan sisanya berasal dari Malaysia, Pilipina dan beberapa negara Asia Tenggara lainya. Potensi produksi lestari rotan Indonesia yang diperhitungkan berdasarkan data sekunder dan dilaporkan berbagai sumber berkisar antara 570.000 – 696.000 ton per tahun. Untuk mengetahui perkembangan potensi rotan diperlukan inventarisasi di lapangan. Hasil inventarisasi dapat menginformasikan secara lebih realistis tentang jenis rotan dan jatah produksi tahunan (Annual Allowable Cut). A. Potensi Nasional

Data produksi rotan Indonesia dengan pendekatan melalui volume ekspor berupa bahan mentah, terutama rotan asalan mulai tercatat pada Biro Puasat Statistik pada zaman kolonial, yaitu tahun 1918 dengan volume ekspor pada tahun itu adalah 25.200 ton. Apabila kebutuhan dalam negeri 10% (2.520 ton) maka produksi rotan Indonesia diperkirakan 28.000 ton. Angka produksi ini tidak banyak meningkat sampai dengan tahun 1970, yaitu berkisar antara 30.000 – 40.000 ton per tahun. Dengan jumlah produksi sebesar itu, Indonesia dikenal sebagai pemasok bahan baku rotan terbesar di dunia, yaitu mencapai sekitar 80% dari kebutuhan rotan dunia (Yudodibroto, 1984).

Luas areal hutan yang ditumbuhi rotan dan potensi produksi yang banyak dipublikasikan di Indonesia pada dasarnya adalah hasil studi meja (desk study). Data yang digunakan adalah data sekunder, antara lain data permohonan ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan Rotan (HPHHR) dan jumlah produksi yang dikapalkan oleh daerah penghasil rotan untuk diperdagangkan baik di pasaran dalam negeri atau antar pulau maupun ekspor. Berdasarkan data tersebut dilaporkan bahwa luas areal rotan pada hutan alam sangat beragam, mulai dari 7,9 juta ha sampai dengan 18,2 juta ha. Demikian pula potensi produksi rotan sangat bervariasi, yaitu mulai dari 350.000 ton per tahun sampai dengan 697.000 ton per tahun (Gunawan, 2005).

Silitonga et al. (1990) memperkirakan luas areal rotan Indonesia 9,36 juta ha dengan potensi produksi sekitar 575.000 ton per tahun. Namun Gunawan (2002) menyatakan, bahwa di Indonesia rotan dapat tumbuh di semua pulau yang masih berhutan alam dan tersebar pada

Page 34: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

15

lahan hutan seluas kurang lebih 18,2 juta ha dengan potensi produksi kurang lebih 300.000 ton rotan kering per tahun. Selanjutnya Gunawan (2005) menyatakan, bahwa luas areal rotan dari hutan alam secara nasional adalah 7.904.625 ha dengan produksi lestari sebesar 397.175 ton per tahun (daur tebang 5 tahun). Sukardi (2000) dalam Gunawan (2005) menyatakan bahwa produksi lestari rotan Indonesia sekitar 415.000 ton pertahun.

Berdasarkan hasil Inventarisasi Hutan Nasional tahun 1990-an yang menggunakan citra landsat, areal hutan yang ditumbuhi rotan di Indonesia adalah 9,87 juta ha dengan potensi produksi dari seluruh jenis rotan diperkirakan sekitar 670.000 ton per tahun. Sedangkan jenis rotan komersial saja, produksinya sekitar 350.000 ton per tahun. Untuk memberikan gambaran tentang distriusi potensi produksi rotan Indonesia, Nasendi (1994) dalam Gunawan (2000) menyatakan bahwa data produksi tiap–tiap daerah penghasil rotan di 15 wilayah potensial., yaitu Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel, Lampung, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulteng, Sulsel, Sulut, Sultra dan NTB dengan total produksi rotan tebang lestari untuk seluruh jenis rotan sebesar 696.900 ton per tahun. Sedangkan Gunawan (2002) melaporkan data produksi tiap-tiap daerah penghasil rotan di 20 wilayah potensial seperti disajikan pada Tabel 3.

Sampai saat ini, hampir seluruh hasil produksi rotan bulat Indonesia masih berasal dari hutan alam. Adapun rotan tanaman yang ditanam secara tradisional oleh masyarakat di Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur, jumlahnya masih sangat kecil. Alrasyid (1989) melaporkan, rotan yang ditanam masyarakat berjumlah 22.000 ha. Namun demikian, sejak tahun 1983 – 1992 Perum Perhutani telah melakukan penanaman jenis–jenis komersil seperti manau (Calamus manan), sega (C. caesius), irit (C. trachycoleus) dan jenis–jenis lokal seluas 33.000 ha di seluruh Pulau Jawa.

Page 35: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

16

Tabel 3. Potensi produksi rotan tebang lestari pada 20 daerah di Indonesia

No. Daerah Volume (ton/th) Persen (%) 1 Aceh 28.000 4,5 2 Sumut 12.000 1,9 3 Sumbar 38.000 6,1 4 Riau 5.000 0,8 5 Jambi 13.000 2,0 6 Bengkulu 25.000 4,0 7 Sumsel 22.000 3,5 8 Lampung 5.000 0,8 9 Kalbar 50.000 8,0 10 Kalteng 70.000 11,3 11 Kalsel 15.000 2,4 12 Kaltim 65.000 10,5 13 Sulut 20.000 3,2 14 Sultengah 75.000 12,1 15 Sulsel 37.000 5,9 16 Sultenggara 31.000 5,0 17 NTB 13.000 2,1 18 NTT 5.000 0,8 19 Maluku 25.000 4,0 20 Irian Jaya 68.000 10,9 Total 622.000 100

Sumber: Departemen Kehutanan dalam Pusat Data dan Informasi Depperindag (1999) dan Gunawan (2005).

Produksi jenis rotan berdiameter besar lebih rendah daripada rotan

berdiameter kecil. Perbandingan jumlah produksi rotan besar dan kecil diperkirakan berkisar antara 3 : 7 sampai 4 : 6. Menurut Mogea (1990), Hadikusumo (1998) dan Sumarna (1990), berdasarkan hasil pengamatannya di lapangan, jenis–jenis rotan berdiameter besar yang ditemukan di Indonesia diperkirakan sekitar 25 jenis (Lampiran 4). Pada hakekatnya, semua data mengenai potensi rotan seperti di uraikan di atas

Page 36: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

17

masih bersifat kasar. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat diperlukan cek–silang di lapangan (ground survey) atau melalui inventarisasi rotan.

B. Inventarisasi

Untuk mengetahui perkembangan kondisi areal hutan berotan dan untuk keseragaman dalam pelaksanaan inventarisasi kawasan hutan berotan, telah diterbitkan Pedoman Inventarisasi Rotan oleh Direktorat Inventarisasi Hutan, berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Nomor 36/Kpts/VII-2/1989. Inventarisasi tersebut pada dasarnya terdiri dari inventarisasi rotan secara nasional dan inventarisasi pada kelompok hutan tertentu. Inventarisasi rotan nasional menghasilkan data potensi rotan yang bersifat makro yang akan dipergunakan untuk menyusun rencana tingkat nasional, seperti kemampuan suplai, jumlah industri yang seharusnya dibangun, taksiran devisa dan lain–lain. Penarikan contoh awal dilakukan secara stratifikasi (stratified sampling). Stratum pertama adalah propinsi sebagai perwakilan nasional dan stratum kedua adalah Cabang Dinas Kehutanan sebagai perwakilan propinsi. Pada stratum kedua dipilih kelompok–kelompok hutan berotan sebagai objek survei inventarisasi lapangan. Penarikan contoh pada kelompok–kelompok hutan yang berotan mengikuti metode jalur sistematis (systematic strip sampling).

Inventarisasi kelompok hutan menghasilkan data yang bersifat rinci tentang rotan pada kelompok hutan yang disurvei dan digunakan untuk menyusun rencana operasional, seperti pemungutan tahunan (jatah produksi tahunan), penanaman dan lain–lain. Penarikan contoh mengikuti metode jalur sistematis. Garis induk (base line) untuk peletakan jalur dapat berupa sungai atau jalan hutan, sehingga arah jalur tegak lurus terhadap garis induk. Jalur dibuat dengan lebar 20 meter atau 10 meter kanan–kiri sumbu jalur. Jalur pertama diletakkan secara acak sedangkan jalur–jalur berikutnya diletakkan secara sistematis dengan jarak antar jalur disarankan 2 – 4 kilometer (intensitas sampling = 0,5 – 1%).

Inventarisasi potensi rotan telah dilaksanakan pada areal contoh seluas 30 ha, yang meliputi 6 Cabang Dinas Kehutanan di Kalimantan Timur. Inventarisasi ini termasuk inventarisasi rotan pada kelompok hutan. Sayangnya, kegiatan inventarisasi ini tidak menyebutkan teknik penarikan contoh dan intensitas sampling. Hasil inventarisasi melaporkan, bahwa potensi seluruh jenis rotan pada populasi kelompok hutan yang disurvei adalah 720 kg rotan kering/ha. Jumlah ini terdiri dari

Page 37: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

18

467 kg atau 374 batang/ha rotan komersial dan 253 kg atau 172 batang/ha rotan non komersial. Nama jenis–jenis rotan yang diinventarisasi disajikan pada Lampiran 5. Areal hutan yang ditumbuhi rotan di Kalimantan Timur diperkirakan 4.375.000 ha. Berdasarkan hasil survei di atas maka persediaan seluruh jenis rotan diperhitungkan sebesar 3.150.000 ton. Jumlah tersebut terdiri dari 2.047.500 ton (65%) kelompok jenis rotan komersil dan 1.102.500 ton kelompok rotan nonkomersial (Anonim, 1982).

Pertumbuhan rotan mulai dari anakan sampai masak tebang adalah antara 7 – 10 tahun atau lebih. Rotan yang sudah masak tebang bisa mencapai panjang 40 – 100 meter lebih. Batang yang ditebang tidak bisa dimanfaatkan seluruhnya. Bagian yang tertinggal di hutan berupa limbah pemanenan diperkirakan 10% sehingga bagian yang dapat dipungut adalah sekitar 90%. Apabila diasumsikan, bahwa rotan yang masak tebang sebanyak 40% tiap tahun dan daur rotan rata – rata adalah 10 tahun maka jumlah rotan yang dapat dipungut atau diproduksi tiap tahun (Annual Allowable Cut – AAC) di Kalimantan Timur mengikuti rumus sebagai berikut:

JPR = LHR x P x MT x NE

DT

Keterangan : JPR = Jatah produksi rotan, ton/tahun LHR = Luas hutan ditumbuhi rotan, ha

P = Potensi per hektar, ton/ha MT = Masak tebang, % NE = Nilai eksploitasi, % DT = Daur tebang rata – rata, tahun. Dalam kasus di atas maka jatah produksi rotan adalah: JPR = 4.375.000 x 720 x 0,4 x 0,9 10

= 113.400 ton/tahun

Jumlah tersebut dapat dikelompokkan menjadi jenis komersial sebanyak 73.710 ton/tahun (65%) dan sisanya jenis–jenis non komersial.

Page 38: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

19

Inventarisasi rotan lainnya dilakukan pada kelompok hutan Tojo dan kelompok hutan Wanari di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Teknik penarikan contoh yang digunakan adalah systematic strip sampling dengan intensitas penarikan contoh sebesar 0,3%. Jarak antar jalur diletakkan sekitar 6,5 km dengan panjang jalur berkisar antara 3 – 7 km. Hasil analisis data inventarisasi menunjukkan bahwa potensi rotan pada kelompok hutan yang disurvei adalah 1.111,6 kg/ha atau 198,03 batang/ha. Permudaan alam adalah 76,0% atau setara dengan 1.145 batang/ha. Inventarisasi tersebut di atas melaporkan pula, bahwa luas seluruh kelompok hutan yang disurvei adalah 40.000 ha dengan luas hutan berotan 29.700 ha (74%). Rincian potensi rotan per jenis seperti Tabel 4. (Anonim, 1996). Tabel 4. Potensi rotan per jenis di Poso No. Jenis kg/ha Batang/ha 1. Tohiti (Calamus inops) 281,96 16,71 2. Buku tinggi (Calamus sp) 267,24 24,11 3. Batang (Daemonorops robusta

Warb.) 236,03 3,67

4. Umbul (C. sumpisius) 142,19 99,92 5. Merah (C. panajuga) 136,70 45,21 6. Susu (Calamus sp.) 37,14 1,13 7. Routi (C. axeliarris) 10,34 7,28 Jumlah 1111,60 198,03

Sumber : Anonim (1996)

Dengan merujuk hasil inventarisasi maka dapat ditetapkan jatah produksi tahunan rotan di areal hutan berotan di Poso sebagai berikut: JPR = 29.700 x 1.1116 x 0,4 x 0,9 = 1.188,5 ton/tahun 10

Penyebaran jenis pada lokasi yang disurvei relatif merata dengan deskripsi jenis–jenis rotan yang diinventarisasi seperti ditunjukkan pada Tabel 5.

Page 39: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

20

Tabel 5. Deskripsi jenis rotan hasil inventarisasi

No. Jenis Sifat

tumbuh Panjang batang

(m)

Diameter (mm)

Panjang ruas (cm)

1. Tohiti soliter 15 – 120 8 - 40 20 - 35 2. Batang berumpun - 20 - 80 15 - 30 3. Umbul soliter 15 - 60 9 - 40 25 - 40 4. Routi berumpun 7 - 40 2 - 10 15 - 30 5. Buku tinggi berumpun 15 - 60 10 - 20 25 - 40 6. Merah berumpun 15 - 45 4 - 8 20 - 30*) 7. Susu soliter - 20 - 40 15 - 40 8. Tarumpu soliter 15 - 60 10 - 20 -

Keterangan: *) batangnya bercabang

Farhansyah (1987), melakukan inventarisasi rotan di Kutai, Kalimantan Timur. Hasil inventarisasi dilaporkan seperti Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Potensi kelompok jenis rotan di Kalimantan Timur

Kelompok jenis Rumpun/ha Batang/ha Rotan tanaman 655 11.145 Rotan alam 794 12.156 Rotan komersial, sega 523 11.997 Rotan alam komersial 138 3.225

Page 40: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

21

IV. SIFAT DASAR ROTAN

Rotan adalah batang dari tumbuhan yang berlignoselulosa yang dapat dimanfaatkan untuk mebel, barang kerajinan dan tikar. Dalam pemanfaatan rotan harus dipahami sifat dasarnya karena tiap jenis rotan pada hakekatnya mempunyai sifat yang berbeda, baik bentuk maupun ukuran. Dalam buku ini dibahas sifat dasar meliputi ciri-ciri umum, struktur anatomi, komposisi kimia, sifat fisis dan mekanis serta keawetan rotan. Dengan mengetahui sifat dasar jenis rotan akan dapat ditentukan peruntukannya secara lebih baik. A. Ciri–Ciri Umum

Kayu yang dalam dunia tumbuh–tumbuhan digolongkan ke dalam subdivisi Gymnospermae dan kelas Dicotyledons, sel–selnya diproduksi oleh aktivitas meristem apikal (pucuk) dan meristem lateral atau kambium vaskular. Rotan yang digolongkan ke dalam subdivisi Angiospermae kelas Monocotyledons, sel–selnya seluruhnya diproduksi oleh meristem apikal. Oleh karena itu, pertumbuhan primer oleh meristem apikal pada pucuk dipandang sebagai aktivitas pertambahan panjang batang dan sekaligus pertambahan diameter batang. Pertambahan diameter batang terjadi tepat di bawah pucuk, tetapi pertambahan ini bukan karena pertumbuhan pada kambium vaskular melainkan karena bertambah besarnya ukuran sel yang sudah terbentuk di pucuk. Namun demikian, Philipson et al. (1970) melaporkan, bahwa sebenarnya pertumbuhan sekunder seperti pada meristem lateral memang tidak terjadi pada Monocotyledons tetapi setelah pembesaran sel terjadi diferensiasi jaringan.

Bentuk batang rotan umumnya silindris dan terdiri dari ruas–ruas yang panjangnya berkisar antara 10 sampai 50 cm. Sedangkan diameter rotan berkisar antara 6 – 50 mm, bergantung pada jenisnya. Ruas satu dengan yang lain dibatasi oleh buku tetapi buku ini hanya ada di bagian luar batang, tidak membentuk sekat seperti pada bambu. Pada beberapa jenis tampak adanya tonjolan dan lekukan pada sisi yang berlawanan sepanjang ruas. Tonjolan dan lekukan ini tampak lebih jelas pada buku yang berasal dari jejak daun, yaitu ikatan pembuluh yang menuju ke daun. Anatomi makro batang rotan adalah seperti pada Gambar 4.

Page 41: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

22

Sumber: Mandang dan Rulliaty, 1990

Gambar 3. Batang rotan

Buku rotan ada yang relatif rendah dan ada pula yang tinggi. Buku yang rendah ditunjukkan oleh perbedaan diameter antar ruas yang bersebelahan sangat kecil sehingga diameter sepanjang batang tampak hampir seragam dan rata. Rotan dengan buku rendah mencirikan mutu penampakan yang baik. Menurut Uhl dan Dransfield (1987), buku yang rendah terdapat pada jenis–jenis dari genera Calamus (manau, tohiti, sega dan lain–lain). Buku agak tinggi terdapat pada jenis–jenis dari genera Daemonorops (tarumpuh, seel, tabu–tabu dan lain–lain). Sedangkan buku yang tinggi terdapat pada anggota dari genera Korthalsia, Ceratalobus, Plectocomiopsis dan Myrialepsis.

Permukaan kulit batang rotan ada yang licin dan ada pula yang mengkerut, ada yang mengandung lapisan silika ada pula yang tidak. Permukaan licin terdapat pada rotan bubuay (Plectocomia elongata Becc.), sedangkan permukaan berkerut pada manau (Calamus manan Miq.). Lapisan silika yang tampak jelas, terdapat pada rotan manau (C. Manan), sega (C. caesius Bl.), tohiti (C. inops) dan batang (C. optimus).

Pada penampang lintang batang dapat dilihat dengan mata telanjang, pertama lapisan kulit yang tipis dan sangat keras kemudian

Page 42: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

23

bagian di bawah kulit yang tampak lebih padat, disebut jaringan tepi atau perifer atau corteks. Sedangkan, bagian yang lebih ke arah pusat, yang relatif lunak dinamakan jaringan sentral. Bintik-bintik yang menyebar di antara jaringan yang berwarna lebih pucat disebut ikatan pembuluh dan jaringan berwarna pucat itu sendiri disebut parenkim dasar.

Ikatan pembuluh menyebar lebih rapat ke arah kulit dan semakin jarang ke arah pusat. Jumlah ikatan pembuluh dihitung sebagai Kerapatan Ikatan Pembuluh (KIP) dengan satuan buah per milimeter persegi. Rotan dengan KIP rata-rata sekitar 3 – 5 buah/ mm² dan perbedaan KIP pada bagian tepi dengan pusat yang tidak terlalu tinggi termasuk rotan yang dicari orang. Pada

Tabel 7. KIP beberapa jenis rotan (buah / mm²)

Jenis rotan Rata-rata Tepi Pusat Rotan berdiameter besar

Manau (Calamus manan) 3,1 4,2 2,0 Batang (C. Zolingeri) 5,2 6,3 4,0 Tohiti (C. inops) 3,1 4,0 2,1 Seuti (C. ornatus) 2,9 3,6 2,1 Sampang (Korthalsia junghnii) 3,3 4,2 2,3 Tretes (Daemonorops heteroides) 3,4 4,1 2,6 Balukbuk (C. burckianus) 3,3 4,2 2,3 Bubuay (Plectocomia elongata) 2,2 3,8 0,5 Rotan berdiameter kecil

Sega (C. caecius) 2,6 3,1 2,0 Sega batu (C. hateroideus) 4,8 5,2 4,3 Sega air (C. axilaris) 2,3 3,2 1,3 Cemmeti (C. ciliaris) 2,2 2,9 1,5 Kertas (C. sabesis) 3,3 3,8 2,8 Nona (?) 1,9 2,2 1,5 Balam putih (?) 3,0 3,9 2,0 Sesah muda (?) 3,6 4,6 2,5 Cabang (K. laciniosa) 4,3 4,8 3,9 Jernang (D.draco) 4,6 5,6 3,6 Teretes (C.oblonga) 4,9 6,5 3,3 Samare (Plectocomia mulleri) 3,9 5,2 2,6 Sanjat (C.pasparantus) 4,8 5,6 4,3

Page 43: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

24

B. Struktur Anatomi

Untuk menentukan nama suatu jenis rotan tertentu adakalanya dilakukan melalui penilaian ciri-ciri umum seperti warna, kilap, diameter, panjang ruas, bentuk buku dan sifat-sifat lain yang mudah ditangkap oleh panca indera. Hasilnya kerap kali tidak tepat karena sifat yang dikenali lewat panca indera pada umumnya tidak konstan dan subjektif. Warna asli satu jenis rotan yang digoreng dengan campuran minyak nabati bisa dinilai berwarna lebih terang dan mengkilap dibanding tanpa campuran minyak nabati. Panjang ruas satu jenis rotan yang diambil dari bagian ujung batang bisa dinilai lebih panjang dibanding dari bagian pangkal. Oleh karena itu, diperlukan sifat-sifat khas satu jenis yang konstan pada sembarang contoh rotan yang diambil dari jenis tersebut. Dengan demikian, hasil penentuan jenis menjadi tepat dan dapat mencegah pemalsuan jenis rotan. Sifat yang memenuhi syarat itu adalah sifat mikroskopis atau pengetahuan struktur anatomi mikro rotan. Struktur itu dapat dilihat dengan bantuan loupe, dengan mikroskop atau dengan mikroskop elektron.

Struktur anatomi mikro tidak hanya digunakan sebagai kunci identifikasi jenis tetapi juga sebagai penentu sifat-sifat kekuatan, mutu dan pengolahan. Sifat pengolahan yang dipengaruhi antara lain pengeringan, pengawetan, pemolisan, pelengkungan dan finishing. Rotan dengan proposi parenkim (parenchyma) yang tinggi, dinding sel serat yang tipis dan diameter metaksilim (metaxylem) yang besar cenderung cepat mengering, mudah diawetkan tetapi kekuatannya rendah.

Salah satu contoh struktur anatomi batang rotan dilukiskan seperti pada Gambar 4. Lukisan skematis ini merupakan bentuk typical penampang lintang dan longitudinal rotan apabila dilihat dibawah mikroskop (Mandang dan Ruliaty, 1990).

Page 44: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

25

a

b

Sumber: Mandang dan Rulliaty, 1990

Gambar 4. Struktur anatomi mikro batang rotan (a) penampang lintang, (b) penampang longitudinal.

Menurut Tomlison (1961), sepuluh macam komponen

mikroskopik penyusun batang rotan seperti disebutkan pada Gambar 5 di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga jaringan utama, yaitu: kulit, parenkim dasar dan ikatan pembuluh. Masing-masing jaringan tersebut dan sel-sel penyusunnya diuraikan seperti dibawah ini.

1. Kulit

Jaringan kulit terdiri dari dua lapisan sel, yaitu epidermis dan endodermis. Menurut Siripatanadilok (1974), sel-sel epidermis pada Ceratalobus berbentuk empat persegi panjang tidak teratur. Pada Calamus spectabilis sel-sel epidermisnya berbentuk bujur sangkar, sedangkan pada C. ornatus, dan C. rhomboides berbentuk pipa panjang. Di antara sel-sel epidermis dari jenis C. horens, C. unifarius dan C. viminalis terlihat adanya benda mengkilat yang diduga silika. Sel-sel endodermis bersifat lebih

Page 45: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

26

lunak. Sel-sel ini diduga sebagai tempat di mana persenyawaan silika paling banyak dibentuk untuk kemudian diendapkan pada epidermis.

Menurut Wiener dan Liese (1990), sel-sel endodermis pada genera endemis di Afrika berbentuk barisan sel serat (fiber rows) sedangkan pada genera Asia berbentuk pita serat (fibre strands). Di bawah endodermis terdapat korteks yang terdiri dari sel-sel parenkim, berkas serat dan ikatan pembuluh. Suatu hal yang perlu diperhatikan ialah adanya seludang serat (fibre sheat) yang disebut sebagai “yellow caps“, yaitu serat schlerenchyim yang terdapat di sekitar pembuluh pertama di bawah korteks (Siripatanadilok, 1974). “Yellow caps“ (Gambar 5) ini hanya ditemukan pada genera Korthalsia, Myrialepsis, Plectocomia dan Plectocomiopsis.

Gambar 5. Yellow Caps pada pada rotan Sampang (Korthalsia junghunii)

2. Parenkim dasar

Jaringan parenkim dasar (ground parenchyma) bagaikan pengisi batang di mana ikatan-ikatan pembuluh tertanam menyebar di dalamnya. Jaringan ini berbeda dengan parenkim aksial yang terdapat di dalam ikatan pembuluh. Parenkim dasar terdiri dari sel-sel parenkim isodiometrik pedinding tipis dengan noktah sederhana. Wiener dan Liese (1990) membedakan tiga tipe parenkim dasar berdasarkan bentuk dan susunan selnya, yaitu seperti dapat diamati pada Gambar 6.

Yellow Caps

Page 46: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

27

Gambar 6. Tipe struktur sel parenkim dasar pada penampang lintang dan

longitudinal Keterangan: Tipe A. Pada penampang lintang sel-selnya tampak lunak dengan ruang

antar sel yang bulat. Pada penampang longitudinal susunan sel-selnya tampak seperti susunan uang logam (stack coins), d. Contoh, Calamus; Tipe B. Pada penampang lintang sel-selnya tampak bulat dan lebih kecil dengan ruang antar sel yang tidak teratur. Pada penampang longitudinal susunan selnya seperti d. Contoh, Daemonorops; Tipe C. Sel-selnya berdinding lebih tipis, besar dan bulat dengan ruang antar sel yang relatif sempit pada penampang logitudinal susunan selnya seperti e. Contoh, Plectocomiopsis.

3. Ikatan pembuluh

Jaringan ikatan pembuluh (vascular bundles) terletak menyebar di antara jaringan parenkim dasar. Pada penampang lintang sepotong rotan, ikatan-ikatan pembuluh dapat dilihat dengan mata telanjang berupa bintik-bintik. Satu buah bintik tersebut bila dilihat di bawah mikroskop cahaya tampak seperti pada Gambar 7.

Page 47: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

28

Gambar 7. Foto penampang lintang ikatan pembuluh (Linda Idrawati, 1993) (Pembesaran 100 X)

Keterangan: a. metaksilim b. phloem c. protoksilim d. parenkim aksial e. berkas serat.

Bila diperhatikan secara seksama, penampilan ikatan pembuluh

pada penampang lintang bisa berbentuk hampir bulat, yaitu pada rotan sega (Calamus cesius) atau elipsoid pada rotan batang (Daemonorops crinatus). Diameter tangansial ikatan pembuluh ini pada bagian tengah batang mencapai 0,58 mm pada jenis rotan D. crinatus, 0,60 mm pada sega (C. caesius), 0,72 mm pada semambu (C. scipionum), 0,76 mm pada C. thwaitesii (rotan berdiameter besar dari India) dan 0,82 mm pada manau (C. manan).

Jaringan ikatan pembuluh terdiri dari beberapa macam sel, yaitu: metaksilim (metaxylem), protoksilim (protoxylem), phloem, parenkim aksial dan serat. Empat macam sel yang disebut pertama berfungsi mengatur kegiatan fisiologis tanaman dalam pertumbuhannya. Karena itu, kumpulan sel-sel ini disebut sebagai jaringan pelaksana. Sedangkan, sel yang disebut terakhir membentuk kumpulan yang dinamakan jaringan penyangga atau berkas serat (fibre sheat) yang berfungsi dominan memberikan kekuatan mekanik pada rotan .

Phloem pada rotan adalah jaringan yang berfungsi menyalurkan dan membawa hasil fotosintesis dari tajuk ke bagian–bagian lain dari tanaman. Bentuknya seperti pipa yang sambung menyambung dengan bidang perforasi berbentuk tapisan. Diameternya jauh lebih kecil dari metaksilim dan sedikit lebih kecil dari protoksilim. Panjang satu sel pembuluh bervariasi dari satu sampai lebih dari 3,00 mm. Apabila dilihat pada penampang lintang, dalam satu ikatan pembuluh bisa terdapat satu untaian phloem (phloem field) dengan satu metaksilim yang terdapat pada jenis Plectocomia elongata (Gambar 8 a) atau dua untaian phloem mengapit satu metaksilim yang terdapat pada jenis Calamus caesius, C. burchianus, Daemonorops dan Korthalsia (Gambar 8 b) atau satu untaian phloem dengan

Page 48: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

29

dua metaksilim yang terdapat pada jenis Myrialepsis paradoxa (Gambar 8c). Selain itu terdapat pula susunan ikatan pembuluh dengan dua untaian phloem yang mempunyai susunan tabung uniseriate dan biseriate sieve dan satu metaksilim (Gambar 8 d).

Gambar 8. Diagram ikatan pembuluh (Weiner dan Liese, 1990)

Metaksilim dan protoxylem adalah xilem, yaitu jaringan yang berfungsi sebagai saluran air dan zat hara dari akar ke daun. Protoxylem dibentuk pada saat ruas-ruas baru tumbuh. Dindingnya sangat khas, yaitu seperti spiral dengan gulungan yang rapat (Gambar 9).

Pada waktu ruas tumbuh menjadi dewasa, protoksilim ikut memanjang tetapi diameternya tidak mengalami pertambahan yang berarti (Mandang dan Rulliaty, 1990). Menurut Wiener dan Liese (1990) diameter protoxylem berkisar 30 - 80 mikron. Pada waktu ruas tumbuh salah satu atau dua protoxylem yang ikut memanjang mengalami pembesaran diameter yang cukup menonjol. Xilem yang diameternya besar ini dinamakan metaksilim dengan ukuran diameter 320 mikron pada Calamus caesius , 340 mikron pada Daemonorops crinatus, 400 mikron pada C. scipionum dan 600 mikron pada C. manan.

Page 49: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

30

protoksilim

Gambar 9. Dinding sel pembuluh protoksilim yang khas

berbentuk spiral (Pembesaran 100 X)

Parenkim aksial menyebar disekeliling metaksilim, protoxylem dan phloem di dalam ikatan pembuluh. Dindingnya relatif tipis dengan noktah sederhana. Parenkim aksial bentuknya berbeda dengan parenkim dasar, yaitu memanjang ke arah vertikal dengan sekat–sekat yang agak miring.

Berkas serat yang terdiri dari sel–sel serat, tersusun satu berkas mirip tapal kuda atau segitiga yang menghadap ke arah pusat batang. Ukuran penampang lintang berkas serat ini berbeda antara jenis. Sel–sel serat berbentuk panjang langsing dengan dinding relatif tebal. Panjang sel serat 1 – 3 mm, sering mengandung “septa“ dan umumnya mempunyai dinding sel “polylamellar“. Pada rotan manau (C. manan) panjang selnya 1,1 – 1,3 mm dengan diameter 17 – 19 mikron. Pada rotan C. thawaitesii dari India panjang sel seratnya 1,7 mm, diameternya 19 mikron dan diameter lumennya 8,0 mikron (Mandang dan Rulliaty, 1990; Bhat dan Thulasidas, 1989; Wiener dan Liese, 1990; Rachman, 1996).

Page 50: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

31

Saluran getah (musilage canal) tersebar di antara jaringan parenkim dasar dan dapat ditemui pada beberapa jenis rotan tertentu. Saluran ini dikelilingi oleh sel–sel epithel dan membentang ke arah vertikal dengan diameter rongga saluran kurang dari 50 mikron. Saluran ini mengeluarkan zat ekstraktif yang komposisinya belum banyak diketahui. Kehadiran saluran getah adalah khas pada Daemonorops, Ceratalobus dan beberapa jenis Calamus (C. burckianus, C. ciliaris, C. horens dan C. polystachys).

Stegmata adalah sel khusus yang berisi partikel silika. Partikel silika yang terdapat di dalam stegmata ini disebut badan–silika (silica bodies). Ada dua tipe badan–silika yang berguna untuk diagnostik, yaitu bentuk topi (hat) dan bentuk bola (spherical). Tomlison (1961) menyatakan bahwa stegmata biasanya semakin banyak terdapat semakin ke arah jaringan kulit, yaitu antara ikatan pembuluh pertama dan epidermis. Selain itu, stegmata terdapat juga dekat ikatan pembuluh, di antara sel–sel serat dan jaringan parenkim dasar. Uhl dan Dransfield (1987) menyatakan bahwa kekerasan batang rotan sebagian ditentukan oleh kehadiran partikel silika ini. Schmitt, Wiener dan Liese (1995) memperlihatkan dengan jelas bentuk badan–silika pada jenis rotan Calamus axillaris dengan alat scanning electron microscop (SEM) dan transmission electron microscop (TEM).

Rachman (1996) menyatakan bahwa sel serat, sel parenkim dan pori adalah sel–sel utama penyusun rotan. Komposisi sel–sel ini dan dimensi sel serat sangat berperan dalam menentukan sifat fisis dan mekanis rotan. Pada Lampiran 6 dan 7 dapat dilihat komposisi sel dan dimensi serat, diameter metasilim dan diameter protoxylem beberapa jenis rotan Indonesia. C. Komposisi Kimia

Rotan disusun oleh berbagai komponen kimia yang sangat komplek. Komponen ini dapat mempengaruhi proses pengolahan, yaitu pada proses pembelahan, pembengkokan, pemutihan dan finishing. Secara garis besar komponen tersebut di kelompokan menjadi tiga komponen pokok, yaitu: selulosa, lignin dan zat ekstraktif.

1. Selulosa

Selulosa berasal dari fotositensis, berbentuk rantai panjang. Rantai selulosa tersebut tersusun pada dinding sel rotan. Orientasi rantai selulosa ini pada satu bagian tersusun rapat (daerah kristalit) dan pada bagian lain tersusun tidak teratur (daerah amorf). Daerah amorf inilah yang mudah dimasuki atau mengeluarkan air sehingga rotan bisa

Page 51: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

32

mengembang atau mengerut. Pada rotan muda banyak daerah amorf sehingga mudah keriput. Jumlah selulosa dalam rotan ± 38 – 60%. Selulosa ini mempunyai sifat mudah teroksidasi. Larutan hidrogen-peroksi (H2O2), ca-hipoklorit dan oksidator lainnya mengoksidasi selulosa bila dipakai dalam proses pemutihan rotan.

2. Lignin.

Lignin adalah bagian terbesar kedua setelah selulosa. Jumlahnya berkisar antara 18 - 35%. Lignin terutama berfungsi sebagai bahan pengikat antara satu dan lain sel dalam bahan rotan. Ibarat semen dalam susunan batu bata. Dengan demikian lignin memberi kekuatan kepada rotan. Sifat fisikokimia lignin adalah tidak berwarna (colourless) dan mudah dioksidasi oleh larutan alkalik maupun oksidator seperti halnya pada selulosa. Reaksi ini juga digunakan untuk pemutihan.

3. Zat ekstraktif.

Zat ekstraktif adalah bahan organik dan anorganik dengan berat molekul rendah. Zat ekstraktif ini pada mulanya merupakan cairan yang terdapat dalam rongga sel (protoplasma) pada waktu sel-sel masih hidup. Setelah sel-sel tua atau mati cairan tadi menempel pada dinding sel berupa getah, lilin, zat warna, gelatin, gula-gula, mineral dan silika. Jumlah zat ekstratif pada rotan lebih kurang 13%. Dibandingkan dengan bahan berselulosa lain seperti kayu (± 9%) jumlah ini cukup tinggi. Peranan zat ekstraktif dalam pengolahan sangat penting sekali karena :

Gula-gula merupakan bahan makanan jamur dan serangga, Lilin dan getah menghambat proses pengeringan , Zat warna menyebabkan rotan berwarna lebih gelap atau kecoklatan, kemerah-merahan bahkan ada yang kehitaman, Silika merupakan zat vertikal keras yang dapat menumpulkan pisau dalam proses pengerjaan rotan.

Dalam cara pengolahan rotan tradisional ditemui perendaman

rotan dalam air mengalir atau lumpur dalam waktu yang cukup lama. Cara ini sebenarnya bertujuan :

Melarutkan zat warna supaya rotan berwarna lebih cerah, Melarutkan gula-gula agar rotan tidak lagi diserang oleh jamur dan serangga sehingga rotan menjadi lebih awet (pengawetan).

Page 52: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

33

Hasil penelitian komponen rotan dan kayu yang dihimpun dari berbagai pustaka disajikan seperti pada Tabel 8. Pada Tabel 8 terlihat, bahwa selulosa rotan lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun jarum dan daun lebar. Sedangkan persentase lignin lebih kecil dibandingkan dengan kayu daun jarum (Kollman dan Cöté, 1968). Karakteristik lignin rotan sama dengan lignin dari daun lebar artinya tersusun dari prazat koniferil dan sinafil alkohol atau disebut sebagai lignin guayasil-siringil. Komponen silika dari 12 jenis rotan asal Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya berkisar antara 0.54 - 8,00% (Hadikusumo, 1994).

Chang et al. (1988) menyatakan bahwa rotan mengandung lignin relatif kecil, apabila di bandingkan dengan kayu keras (hardwood) atau kayu lunak (softwood) tetapi sejumlah besar polisacharida, terutama hemiselulosa. Pada bagian epidermis rotan terdapat sebagian besar senyawa silika. Tabel 8. Komposisi kimia rotan dan kayu

Komponen kimia Rotan Kayu

Daun lebar Daun jarum 1. Holoselulosa 71 – 76 - - 2. Selulosa 39 – 60 40 – 44 44 3. Hemiselulosa - 15 – 35 20 – 32 4 Lignin 18 – 48 18 – 25 25 – 35 5. Prazat lignin Mirip d. lebar Gua/syr Guaiasil 6. Abu - 0.1 – 1,0 0,2 – 1,4 7. Silika 0,54 – 8,00 - - 9. Pati 14,00 – 29,00 - -

Sumber : Kollman and Cöte (1968), Simatupang (1975), Hadikusumo (1994), Fengel and Wegener (1984) dan Rachman (1996), Jasni et.al (2008, 2012).

Menurut Fengel dan Wagener (1984) elemen silika termasuk

kedalam kelompok abu, yaitu bahan anorganik yang diperoleh setelah pengabuan kayu pada suhu 600 – 8500C. Elemen penyusun kelompok abu yang utama adalah Ca (dalam kebanyakan kayu mencapai 50% dari total abu); K dan Mg masing-masing menduduki tempat kedua dan ketiga; lalu dilanjutkan oleh elemen-elemen Mn, Na, P, Cl, Si, S, Mg dan lain–lain. Pada kayu–kayu tropis, persentase silika yang tinggi dapat melebihi kandungan Ca dalam beberapa jenis.

Page 53: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

34

Kelompok abu yang dapat diamati dengan mikroskop cahaya atau elektron tampak terakumulasi dalam saluran damar, sel jari-jari, lamela tengah, lapisan dinding tersier, noktah dan daerah penebalan spiral. Deposit silika paling banyak terdapat dalam bentuk silikat (SiO2) dan tampil sebagai butiran (grain) atau butiran agregrat.

Analisis kualitatif dan kuantitatif silika dapat dilakukan secara gravimetri mengikuti prosedur TAPPI standard T 15.06–58 atau ASTM D1102 – 56. Analisis yang lebih teliti dapat menggunakan alat spektroskopi (Fengel dan Wagener, 1984). Sedangkan analisis pati secara kuantitatif berdasarkan SII 70-1979 (Anonim, 2979). Komponen kimia utama beberapa jenis rotan Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 8.

D. Sifat Fisis dan Mekanis

Sifat fisis dan mekanis adalah indikator yang penting untuk menentukan perilaku penampakkan, kekuatan dan bahkan mutu rotan. Sifat – sifat ini berbeda untuk tiap jenis rotan sehingga ia menjadi karakter suatu jenis rotan. Secara mendasar nilai sifat fisis mekanis rotan ditentukan oleh susunan dan orientasi sel penyusunan dan komposisi kimia rotan. Sifat fisis mekanis rotan diuraikan sebagai berikut. 1. Kadar air

Dalam penggunaan rotan sebagai bahan baku industri, sangat penting untuk mengetahui, bagaimana air berada dan bergerak di dalam bahan rotan. Hal ini karena hampir semua sifat rotan dan produk rotan dipengaruhi oleh keberadaan air dalam rotan. Pada saat rotan ditebas di hutan, kandungan airnya sangat tinggi bahkan dapat melebihi berat zat rotannya. Apabila sesorang tersesat di dalam hutan dan kehausan, tebaslah sebatang rotan, airnya akan mengucur dari batang yang ditebas. Para pemungut dan petugas survei seringkali memanfaatkan air ini di hutan sebagai penawar dahaga.

Ketika rotan dalam keadaan segar, yaitu rotan yang baru ditebas, air dalam bentuk cairan berada dalam rongga sel, dinding sel dan ruang antar sel rotan. Beberapa waktu setelah rotan ditebas jumlah air yang ada dalam rotan akan terus berkurang sampai air hanya terdapat dalam dinding sel dan uap air–jenuh dalam rongga sel serta ruang antar sel. Keadaan ini disebut sebagai titik jenuh serat (TJS). Setalah melewati titik jenuh serat, jumlah air akan terus berkurang sampai tercapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekelilingnya. Di Indonesia

Page 54: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

35

kandungan air tersebut berkisar 14 – 20% dari berat rotan kering (tanpa air), tergantung pada kondisi lingkungan di mana rotan tersebut berada.

Banyaknya air dalam sepotong rotan dibandingkan dengan berat rotan keringnya dan dinyatakan dalam persen disebut sebagai kadar air. Untuk menghitung kadar air ini secara teliti harus dilakukan di laboratorium, menggunakan timbangan dan oven. Berdasarkan pengertian bahwa kadar air adalah rasio berat air dan berat rotan bebas air maka kadar air dapat dihitung dengan rumus berikut: Bb - Bo KA = x 100% Bo dimana: KA = Kadar air ; Bb = Berat basah ; Bo = berat kering oven

Dalam praktek sehari–hari dikenal istilah rotan segar, rotan basah, rotan kering udara atau rotan dengan kadar air 8 – 12% dan sebagainya. Rotan segar adalah rotan yang baru dipanen dengan kadar air melebihi 100%. Biasanya, terdapat pada rotan yang baru ditebas. Rotan basah adalah rotan dengan kadar air di atas titik jenuh serat, biasanya di bawah 100% dan di atas rotan kering udara. Nilai kadar air rotan pada saat titik jenuh serat belum diketahui secara pasti. Nilai ini diduga sekitar 30%. Rotan kering udara atau disebut juga rotan kering adalah rotan dengan kadar air 14 – 20% dan merupakan kadar air keseimbangan dengan kelembaban udara atau keadaan cuaca di sekitar tempat rotan tersebut berada. Kadar air rotan kering udara dapat pula diukur dengan cepat, menggunakan alat moisture meter yang banyak dijual dengan berbagai merek. Alat ini pada hakekatnya mengukur secara elektris hubungan antara kandungan air dalam bahan dengan besarnya tegangan listrik. Oleh karena itu, terdapat sedikit perbedaan antara nilai pengukuran kadar air moisture meter dengan nilai pengukuran laboratoris. Untuk mengetahui kadar air rotan segar dan kering udara secara laboratoris pada beberapa jenis rotan dapat dilihat pada Tabel 9.

Page 55: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

36

Tabel 9. Kadar air rata–rata rotan segar dan pada kondisi kering udara di daerah Bogor

Jenis Kadar air

segar (%)

Kadar air kering udara (%)

Rotan diameter besar 1. Manau (Calamus manan) 140* 18 2. Sampang (Korthalsia junghunii) 111* 18 3. Seuti (C. ornatus) 225 16 4. Bubuay (Plectocomia elongata) 147 15 Rotan diameter kecil 1. Seel (Daemonorops malanocaetes) 235 14 2. Pelah (Calamus sp) 195 16 Keterangan: *) sekitar 5 – 7 hari setelah panen

Pengeringan rotan pada dasarnya, adalah usaha pengeluaran air dari dalam rotan mulai dari rotan segar sampai mencapai kadar air kering udara. Pengeringan rotan biasanya disertai penyusutan. Pada jenis-jenis rotan tertentu terutama rotan muda atau bagian ujung batang dapat terjadi keriput (kisut) atau collaps selama proses pengeringan sehingga menurunkan mutu rotan. Collaps biasanya terjadi pada bagian ujung rotan diameter besar yang dijemur pada sinar matahari yang terlalu terik.

Persamaam dasar kadar air dapat dirubah dalam bentuk yang lebih mudah digunakan dalam situasi tertentu sebagai berikut : Bb Bo = 1 + (%KA/100) Bb = Bo (1 + %KA/100)

Sebagai contoh, perhatikan suatu situasi tumpukan rotan basah, beratnya 10 ton. Rotan ini akan diangkut dari tempat penebangan ke tempat pengolahan. Kadar air rotan tersebut adalah sekitar 100%. Berapa

Page 56: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

37

berat akan dihemat bila rotan dikirim dalam bentuk rotan bulat kering udara (rotan WS) dengan kadar air 20%. 10 Bo = = 5 ton 1 + 1 Bb (K.A 20%) = 5 (1 + 20/100) = 5 x 1,2 = 6 ton

Penghematan berat adalah 10 – 6 = 4 ton. Bila ongkos angkut per ton = Rp 10.000,- maka akan terjadi penghematan biaya sebesar Rp 40.000,-. 2. Berat jenis

Berat jenis (specific gravity) adalah salah satu sifat fisik yang paling penting karena akan sangat mempengaruhi sifat kekuatan, kembang susut, sifat menyerap bahan kimia dan finishing serta sifat–sifat lain dalam pengolahan dan penggunaan. Berat jenis (BJ) adalah perbandingan antara berat dan volume bahan dengan perbandingan berat dan volume air. Rumusnya adalah: B/V bahan BJ = B/V air dimana: B = berat ; V = volume

Berdasarkan persamaan di atas maka nilai berat jenis tidak memakai satuan. Selanjutnya, karena B/V air = 1 maka BJ diukur berdasarkan B/V bahan. Berat jenis standar selalu dinyatakan Bo/Vb; Bo/Vku atau Bo/Vo (di mana notasi o untuk oven; b untuk basah; ku untuk kering udara). Namun dalam praktek sering digunakan berat jenis atas dasar Bb/Vb atau Bku/Vku.

Rotan berat, sedang atau ringan berkaitan dengan berat jenis yang tinggi, sedang atau rendah. Rotan dengan berat jenis yang terlalu tinggi atau terlalu rendah tidak disenangi karena terlalu kaku/ jeras atau terlalu lemah/ lunak. Rotan manau dan tohiti sangat disukai dalam pemakaian karena BJ-nya 0,48 – 0,55 (sedang). Berat jenis rotan dipengaruhi pula

Page 57: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

38

oleh sebaran ikatan pembuluh (KIP). Semakin tinggi sebaran KIP semakin tinggi BJ rotan, tetapi sebaran yang terlalu tinggi dan terlalu rendah biasanya kurang disukai Di lapangan sering dipakai istilah kerapatan rotan yang pada hakekatnya sama dengan BJ. Kerapatan adalah berat per satuan volume dan selalu dinyatakan dalam satuan gr/cm³, kg/m³ atau lb/ft³. Kerapatan dihitung atas dasar Bo/Vb, Bb/Vb atau Bo/Vku.

Pada kayu daun lebar (hardwood), proporsi sel–sel utama penyusun kayu berpengaruh terhadap berat jenis, seperti dapat dilihat pada Tabel 10. pada tabel tersebut secara umum tampak adanya hubungan, bahwa penurunan volume pori akan meningkatkan berat jenis. Secara nalar ternyata penggantian kedudukan sel pori yang besar oleh sel–sel serat dengan dinding yang lebih tebal dan sel – sel parenkim akan meningkatkan jumlah dinding sel, dengan demikian akan meningkatkan berat jenis. Hubungan yang sama berlaku pula pada rotan (Tabel 10). Tabel 10. Hubungan antara proporsi relatif pori, serat dan parenkim

dengan berat jenis Jenis Pori (%) Serat (%) Parenkim (%) BJ

Kayu : ¹) Basswood 56 36 8 0,32 Sweetgum 54 26 20 0,46 Birch 21 64 15 0,50 Hickory 6 67 22 0,64 Rotan ²) Tretes 17 30 53 0,40 Galaka 23 33 45 0,50 Seuti 18 28 46 0,51 Manau 20 40 40 0,59 Tohiti 21 38 41 0,61

Keterangan: ¹) Wangard (1979), ²) Rachman (1996) 3. Kekuatan lentur statik

Kekuatan lentur statik adalah ukuran kemampuan rotan menahan beban lentur yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk. Perubahan dapat berupa pelengkungan (bending), perpanjangan (tensile) atau torsi (beban putar). Tingkat perubahan bisa sampai batas elastis dan

Page 58: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

39

sampai maksimum. Batas elastis diartikan apabila perubahan bentuk yang terjadi akibat pembebanan akan kembali ke bentuk semula jika beban dilepaskan. Sedangkan, batas maksimum adalah bila perubahan bentuk akibat pembebanan tidak kembali ke bentuk semula jika beban dilepaskan.

Grafik hubungan pembebanan dan perubahan bentuk (stress-strain) dalam uji lengkung (bending) pada kayu berbeda dengan rotan. Setelah mencapai batas lengkungan (deflection) maksimum, kayu akan mengalami patah (Gambar 10a). Sedangkan, pada rotan tidak mengalami patah melainkan pertambahan lengkungan tidak lagi menyebabkan kenaikan beban (Gambar 10b). Titik maksimum, pada beberapa jenis rotan dicapai pada lengkungan sekitar 25 mm. Pengujian lentur statik pada rotan dengan mesin uji lentur disajikan pada Gambar 11.

Keterangan : E = Batas elastis; M = Batas maksimum; = Lengkungan; P = Beban Gambar 10. Grafik hubungan antara defleksi dan beban pada uji lentur statik

rotan (b) dan kayu (a)

Ukuran kemampuan sampai batas elastis disebut modulus elastisitas (MOE) dan sampai batas maksimum disebut modulus rusak (MOR) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

0.424 Pe L³ MOE = D4 Fe

Kayu

E

E E

E

M

P P

M

Rotan

(a) (b)

Page 59: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

40

1.273 Pm L MOR = D³ dimana: Pe = beban elastis; L = jarak sanggah, D = diameter rotan;

Fe = lengkungan; Pm = beban maksimum. Untuk rotan diameter besar biasanya digunakan MOE dan MOR lengkung dan untuk kulit rotan digunakan MOE dan MOR perpanjangan (tarik).

Gambar 12. Pengujian lentur statik rotan pada mesin uji

Dalam hubungan dengan MOE lengkung dan MOR (lengkung maksimum) pada rotan perlu dibedakan dengan istilah kekerasan yang digunakan dalam standar mutu rotan. Istilah kekerasan dalam standarisasi rotan diartikan, jika sepotong rotan dilengkungkan dengan kedua tangan lalu ia menjadi patah maka dinyatakan kekerasannya rendah dan sebaliknya kekerasannya tinggi. Sedangkan, kekerasan dalam pengertian mekanika adalah besarnya gaya yang diperlukan untuk menancapkan bola baja berdiameter 11,5 mm ke dalam bahan 5,525 mm. Kekerasan adalah indikator yang menunjukkan kegunaan kayu untuk paving block, flooring, bearing dan bahan lain yang sama. Adapun kekakuan (stiffness) adalah kemampuan bahan menahan beban seketika dan merupakan indikator

Page 60: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

41

baik tidaknya bahan sebagai hammer handle, athletic goods dan bahan sejenis lainnya. Sifat mekanis lain yang penting adalah keteguhan belah yang menunjukan mudah tidaknya rotan dibelah dan dikupas.

Rachman (1996) melaporkan bahwa MOE lengkung beberapa jenis rotan berkisar antara 5.000 – 45.000 kg/cm². Selanjutnya hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa rotan tohiti MOEnya 54.000 kg/cm2 (Jasni et.al, 2007). Menurut Hadikusumo (1990) MOE lengkung rotan jauh lebih rendah daripada kayu, yaitu sekitar 1/3 kayu pada berat jenis yang hampir sama. Keteguhan lengkung maksimum kayu dan rotan tidak berbeda jauh pada berat jenis yang sama, yaitu sekitar 550 – 650 kg/cm² pada berat jenis 0,55 – 0,65. Adapun keteguhan tekan sejajar serat pada rotan semambu, kayu kelapa dan kayu meranti dengan berat jenis yang sama (0,54) masing–masing adalah 205 kg/cm², 395 kg/cm² dan 411 kg/cm². Sifat fisis dan mekanis beberapa jenis rotan disajikan pada Lampiran 9.

Para peneliti rotan tampaknya juga sependapat bahwa keberadaan berkas serat berpengaruh terhadap sifat fisik dan mekanik rotan. Bhat dan Thulasidas (1989) melaporkan, bahwa tebal dinding sel serat adalah parameter anatomi yang paling penting yang menentukan perilaku sifat fisik rotan. Dinding yang lebih tebal mengakibatkan rotan lebih keras dan lebih berat. Selanjutnya Yudodibroto (1984) melaporkan bahwa jumlah sel–sel schlerenchyma yang terdapat di sekitar ikatan pembuluh berkolerasi dengan kekuatan tarik (tensile strength) rotan, yaitu kenaikan persentase sel–sel ini, yang diukur pada penampang lintang akan meningkatkan kekuatan tarik rotan seperti terlihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hubungan antara jumlah sel schlerenchyma dan kekuatan tarik

rotan

Jenis rotan Daerah yang ditempati (%) Kekuatan tarik

(kg/cm2) Sel–sel schlerenchyma Sel–sel lain

Tohiti (Calamus inops)

43,9 56,1 1.239,15

(Calamus sp) 28,4 71,6 847,34 Umbul (Calamus symphysipus)

25,8 74,2 830,81

Page 61: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

42

Pada Tabel 11. diatas dapat dilihat bahwa C. inops mengandung 43,9% sel serat. Sedangkan C. symphysipus yang mengandung 25,8% sel serat mempunyai kekuatan tarik sekitar 30% lebih rendah dari C. inops. Hadikusumo (1994) menyatakan bahwa dari pengamatan 17 jenis rotan diperoleh rata–rata proporsi sel serat sekitar sepertiga bagian (33,3%), sepertiga berikutnya adalah sel vascular dan sepertiga terakhir adalah sel parenkim.

Bhat dan Thulasidas (1989) mencoba menjelaskan penyebab terjadinya pecah dan patah pada rotan Calamus metzianus yang tergolong berdiameter kecil berdasarkan hasil pengamatan struktur anatomi secara mikroskopis seperti pada Tabel 12. Pada tabel tersebut dapat dilihat, bahwa C. metzianus yang mengandung rata–rata 16% sel serat adalah setengah dari nilai persentase serat rotan jenis lainnya. Diameter pembuluh metaksilim yang besar juga dapat menambah volume rongga pada jaringan batang sehingga menurunkan kekuatan rotan. Selain itu pada diameter serat yang hampir sama, diameter lumen C. metzianus jauh lebih tinggi sehingga ketebalan dindingnya kecil.

Tabel 12. Struktur anatomi tiga jenis rotan dari Kerala, India

Sifat C. metzianus

(ø kecil) C. travancoricus

(ø kecil) C. thawaitesii

(ø besar) Jumlah ikatan pembuluh/mm2

6,0 4,0 3,0

Diameter ikatan pembuluh (mm)

0,61 0,31 0,76

Jumlah serat (%) 16,0 32,0 32,0 Jumlah xylem (%) 25,2 27,0 23,0 Jumlah phloem (%) 8,7 8,5 7,5 Diameter metaksilim (μ)

283,0 130,0 290,0

Panjang serat (μ) 1.576 1.400 1.700 Diameter serat (μ) 19,0 17,0 19,0 Lebar lumen (μ) 13,0 7,0 8,0 2x tebal dinding sel (μ)

6,0 10,0 11,0

Page 62: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

43

Menurut Hadikusumo (1994) sifat kelengkungan rotan (radius terkecil dari pelengkungan rotan) lebih banyak dipengaruhi oleh diameter dan kandungan lignin dan sedikit dipengaruhi oleh berat jenis dan kandungan silika, dalam bentuk hubungan regresi linier berganda. Hasil beberapa jenis radius lengkung rotan seperti terlihat pada Lampiran 10.

E. Keawetan

Keawetan rotan adalah ketahanannya terhadap serangan organisme perusak yang melakukan perusakan secara alami pada substrat rotan. Biasanya yang dimaksud organisme perusak pada rotan adalah mikroorganisme berupa jamur dan serangga, baik pada tanaman masih hidup maupun setelah panen. Dengan demikian istilah keawetan mengacu kepada daya tahan rotan terhadap serangan organisme tersebut.

Beberapa jenis rotan sangat tahan terhadap serangan jamur dan serangga, disamping penampakannya yang sangat baik. Karena itu, jenis–jenis rotan ini disebut sebagai rotan elite Indonesia, yaitu: jenis manau (Calamus manan), tohiti (C. inops), sega (C. caesius) dan irit (C. trachycoleus). Faktor penyebab tingginya keawetan jenis–jenis rotan ini belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi, adanya kandungan ekstraktif tertentu dalam rotan diduga mampu menahan serangan organisme perusak sehingga bahan ini berfungsi sebagai fungisida atau insektisida.

Sebaliknya, kebanyakan jenis–jenis rotan sangat mudah diserang oleh organisme perusak rotan. Bahkan, serangan itu sudah mulai terjadi setelah 24 jam rotan dipanen. Demikian pula dalam penumpukan, pengangkutan, pengolahan dan selama pemakaian rotan tidak luput dari kemungkinan serangan organisme perusak rotan. Faktor yang menyebabkan rotan mudah diserang terutama adalah karena adanya kandungan zat pati, gula dan protein yang cukup tinggi pada rotan. Zat ini merupakan makanan organisme perusak. Selain itu, organisme tersebut dapat pula memakan komponen kimia utama penyusun rotan, yaitu selulosa dan lignin serta mampu merombaknya menjadi gula dan pati.

Saat ini sudah ada klasifikasi ketahanan jenis–jenis rotan Indonesia yang berlaku secara umum seperti pada kayu, namun belum ada peraturan yang mengharuskan pengawetan rotan yang diperdagangkan. Klasifikasi keawetan rotan Indonesia telah dilakukan

Jasni dan Supriana (1999) menyusun klasifikasi rotan kering berdasarkan pengurangan berat pada 8 jenis rotan yang ditulari dengan

Page 63: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

44

bubuk rotan kering (Dinoderus minutus) di laboratorium. Contoh rotan dengan kadar air berkisar 12 – 19 % masing – masing berukuran panjang 2 cm dan tiap contoh ditulari 10 ekor bubuk rotan kering. Pengamatan kehilangan berat dilakukan setelah contoh ditulari selama satu bulan bubuk rotan kering seperti Tabel 13. Tabel 13. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk

Kelas ketahanan Kehilangan berat (mg) Ketahanan I < 42 Sangat tahan II 43 – 62 Tahan III 63 – 82 SedangIV 83 – 102 Buruk

V >102 Sangat buruk

Berdasarkan kriteria tersebut disusun klasifikasi ketahanan rotan seperti pada Tabel 14. Tabel 14. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering

(Dinoderus minutus Farb).

Jenis rotan Kehilangan berat (mg)

Kelas awet

Manau (Calamus manan) 13,0 I Tohiti (C. inops) 25,0 I Galaka (Calamus sp) 35,0 I Batang (C. zolingerii) 47,5 II Balukbuk (C. burckianus) 50,0 II Semambu (C. spicionum) 75,0 III Tretes (Daemonorops heteroides) 65,0 III Bubuay (Plectocomia elongata) 185,0 V

Selanjutnya Jasni dan Roliadi (2011) telah menyusun klasifikasi

ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering. Klasifikasi ditetapkan berdasarkan kehilangan berat pada 16 jenis rotan kecil yang

Page 64: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

45

ditulari dengan bubuk rotan kering (Dinoderus minutus) di laboratorium. Contoh rotan dengan kadar air berkisar 12 – 19 % masing – masing berukuran panjang 5 cm, rotan dibelah dua dan tiap contoh ditulari 10 ekor bubuk rotan kering. Pengamatan kehilangan berat dilakukan setelah contoh ditulari selama satu bulan. Kriteria penentuan kelas ketahanan yang didasarkan pada kehilangan berat adalah seperti Tabel 15. Tabel 15. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk

Kelas ketahanan Kehilangan berat (%) Ketahanan I <0,81 Sangat tahan II 0,82 – 1,33 Tahan III 1,34 – 1,98 SedangIV 1,99 – 2,76 Buruk V >2,76 Sangat buruk

Berdasarkan kriteria tersebut disusun klasifikasi ketahanan rotan

seperti pada Lampiran 11. Kemudian Jasni dan Roliadi (2010) juga menyusun klasifikasi

berdasarkan kehilangan berat pada 25 jenis contoh rotan, diuji dengan rayap tanah (Cototermes curvignathus Holmgren) di laboratorium. Contoh rotan dengan kadar air berkisar 12 – 19 %. Pengamatan kehilangan berat dilakukan setelah contoh selama 4 minggu pengujian rayap tanah. Kriteria penentuan kelas ketahanan yang didasarkan pada kehilangan berat adalah seperti Tabel 16. Tabel 16. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap rayap tanah

Kelas ketahanan Kehilangan berat (%) Ketahanan I <17,0 Sangat tahan II 17,1 – 24,0 Tahan III 24,1 – 31,7 SedangIV 31,8 – 39,8 Buruk V >39,8 Sangat buruk

Berdasarkan kriteria tersebut disusun klasifikasi ketahanan rotan

seperti pada Lampiran 12.

Page 65: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

46

V. PENGOLAHAN ROTAN

Rotan sebagai bahan untuk mebel, tikar, lampit, keranjang dan

sebagainya sudah banyak diketahui dan digunakan sehari-hari, namun rotan sebagai material hayati yang berasal dari hutan dan tahap-tahap pengolahannya secara menyeluruh belum banyak diketahui, mulai dari bahan baku di hutan sampai barang jadi. Pengolahan yang tepat akan menghasilkan rendemen yang tinggi dan produk dengan kualitas yang konsisten A. Penanganan Bahan Baku Rotan di Hutan

Rotan merupakan tanaman pemanjat yang panjangnya dapat mencapai 100 meter atau lebih dari pangkal sampai pucuknya. Rotan dapat tumbuh secara tunggal atau berumpun. Cara pemanenan sebaiknya disesuaikan dengan jenis pertumbuhan rotan tersebut. Sampai saat ini cara pemanenan rotan masih dikerjakan dengan cara tradisional yang berlaku turun temurun. Proses pemanenan yang tepat sangat mempengaruhi mutu hasil akhir pengolahan rotan, karena itu pekerjaannya harus dilakukan dengan sebaik–baiknya.

Semua jenis rotan harus dipungut pada umur masak tebang, jika tidak maka rotan yang ditebang pada umur muda akan menghasilkan warna yang tidak cerah dan kulit keriput yang dapat dilihat setelah rotan dikeringkan. Penentuan umur masak tebang bagi rotan tanaman mudah dilakukan, yaitu sekitar 7 – 8 tahun bagi rotan diameter kecil dan 12 – 15 tahun bagi rotan diameter besar. Namun, umur masak tebang untuk rotan alam dikenali oleh pemungut melalui tanda–tanda sebagai berikut:

Dari kejauhan dapat dilihat, bahwa sebagian daunnya berwarna kekuningan dan telah mengering. Kelopak daun atau seludang, terutama pada hampir seluruh batang bagian bawah sudah rontok, berwarna coklat kehitaman dan biasanya berserakan di bawah batang. Bagian batang yang seludangnya telah terbuka ini berwarna hijau tua.

Rotan yang sudah masak tebang sebaiknya dipungut pada musim

kemarau. Dengan cara ini akan memberikan dua keuntungan. Pertama, rotan hasil pemungutan akan lebih cepat kering. Kedua, tunggak (stump) sisa tebangan tidak membusuk yang dapat merusak anakan pada rumpun

Page 66: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

47

rotan (rotan yang tumbuh berumpun). Kalau sekiranya harus memanen pada musim hujan, tunggak dari batang yang ditebas ditutupi untuk mencegah masuknya air. Hal ini membantu usaha pelestarian rotan dengan cara menghindari kerusakan ekosistem rumpun rotan.

Rotan yang baru ditebang akan mengucurkan air bening dari dalam batangnya. Selanjutnya, rotan ditarik dari rumpun atau pohon penyangga, penarikan harus dilakukan hati–hati. Cara penarikan yang kurang baik dan tidak terampil menyebabkan batang rotan akan rusak atau putus. Adakalanya pemungut harus memanjat pohon inang atau bahkan menebangnya untuk dapat menarik rotan dengan lebih mudah. Hal ini biasanya dilakukan bagi jenis rotan yang bernilai jual tinggi, seperti manau (Calamus manan). Berdasarkan hasil pengamatan pada rotan berdiameter besar (manau, batang, semambu, tohiti) terdapat atau ada sekitar 10 – 15% rotan tertinggal karena tidak dapat ditarik. Di Sulawesi Selatan bahkan dilaporkan ada seitar 28,5% rotan rusak selama pemungutan. Usaha perbaikan pemungutan dilakukan dengan menggunakan alat tirfor. Dengan alat ini rotan yang telah ditebang ditarik secara mekanis. Percobaan pemakaian alat ini di lapangan ternyata dapat menurunkan kerusakan sampai ± 3% (Sinaga, 1986).

Rotan yang sudah ditarik dari pohon penyangga atau rumpunnya lalu dipotong bagian ujungnya yang lunak. Bila bagian ini terbawa akan merusak mutu rotan karena menjadi keriput setelah pengeringan. Bagian batang yang akan dimanfaatkan, selanjutnya dibersihkan dari duri-duri, kelopak dan kotoran lainnya.

Pada beberapa jenis rotan kecil, seperti sega atau irit, setelah penarikan biasanya dilakukan proses runti. Proses ini bertujuan untuk membersihkan lapisan silika yang menempel pada permukaan kulit rotan. Ada beberapa cara yang dilakukan dalam merunti rotan antara lain dengan cara melewatkan rotan bolak-balik pada beberapa batang bambu yang ditancapkan di tanah. Cara lain yaitu memukul-mukul rotan dengan sepotong kayu atau bambu.

Rotan yang sudah dibersihkan, kemudian dipotong-potong dalam ukuran sesuai permintaan. Ukuran rotan besar biasanya dipotong-potong sepanjang ± 3 meter dan rotan kecil ± 6 meter. Pada saat ditebang kadar air potongan rotan masih cukup tinggi, yaitu sekitar 100-200%, tergantung jenis dan lokasi pertumbuhan rotan. Batang rotan yang sudah dibersihkan dan dipotong-potong kemudian diikat menjadi bundelan yang siap dibawa ke tempat pengumpulan (Gambar 12).

Page 67: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

48

Gambar 12. Penumpukan rotan di tempat pengumpulan sementara di tepi hutan.

Pengangkutan ke tempat pengumpulan dilakukan dengan berbagai

cara yaitu dipanggul oleh pemungut, ditarik oleh sapi atau kerbau, diangkat dengan gerobak, perahu atau rakit. Setelah sampai di tempat pengumpulan biasanya timbul kerusakan fisis dan biologis. Beberapa jenis rotan komersil yang dipungut terutama sega, manau, tohiti tidak mudah diserang oleh jamur dan serangga sehingga terhindar dari kerusakan biologis. Namun demikian, kebanyakan jenis lain mudah diserang mikroorganisme perusak rotan, sehingga jenis-jenis ini tidak dipungut. Kerusakan fisik yang banyak ditemui adalah kulit tergores, retak atau pecah karena kurang hati-hati selama pengangkutan.

Oleh karena itu, di tempat pengumpulan rotan tersebut dibersihkan kembali, adakalanya disortir, lalu dijemur secukupnya (2 - 3 hari). Sampai dengan tahap proses ini, dihasilkan apa yang disebut rotan asalan. Kadang-kadang rotan ini disebut juga sebagai rotan unwashed and sulphurized (UWS) atau rotan bulat basah, yaitu rotan yang belum dicuci, dijemur dan diasap belerang tetapi sudah dirunti (bagi rotan kecil). Rotan asalan kondisinya masih basah dengan kadar air masih di atas 20%.

Page 68: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

49

B. Pengolahan Rotan Bahan Mentah

Rotan bahan mentah adalah rotan asalan yang sudah mengalami tahap-tahap proses pencucian, penggorengan, penjemuran, pengasapan, pembelahan kasar, polis kasar dan pemotongan. Sortimen rotan yang dihasilkan proses ini terdiri dari rotan bulat berkulit, rotan kikis buku, rotan polis kasar, rotan belahan kasar. Pada hakekatnya, pengolahan rotan bahan mentah ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengolahan rotan asalan menjadi rotan bulat berkulit atau disebut juga rotan Washed and Sulphurized (WS) dan pengolahan rotan WS menjadi rotan bahan mentah. Tahap pengolahan WS hanya meliputi pencucian, penggorengan (khusus rotan berdiameter besar), pejemuran dan pengapasan. Proses ini hanya menghasilkan rotan bulat yang masih berkulit dan telah kering udara. Produk seperti ini dalam perdagangan sering disebut sebagai rotan we-es (WS) atau dalam buku teks dan perdagangan manca-negara disebut sebagai cane. Cara pengolahan rotan WS ini sangat sederhana, bersifat tradisional dan unskilled akan tetapi perlakuan–perlakuan dalam prosesnya sangat berpengaruh terhadap mutu rotan bahan mentah maupun produk akhir rotan. Cara pengolahan ini sudah dikenal sejak lama dan dipakai secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Rotan WS yang dihasilkan selanjutnya dalam tahap pengolahan berikutnya dipotang–potong menjadi sortimen rotan bulat pendek dan rotan kikis buku; dipolis menjadi rotan polis kasar atau dibelah menjadi rotan belahan kasar. Tahapan pengolahan rotan bahan mentah ini berbeda untuk rotan berdiameter besar (manau, tohiti, batang, semambu dan lain–lain) dan rotan berdiameter kecil (sega, jahab, jermasin dan lain–lain). Perbedaan tersebut diuraikan seperti di bawah ini. 1. Rotan besar

Bagan alir pengolahan rotan bahan mentah berdiameter besar dapat dilihat pada Gambar 13. Bagan ini menggambarkan secara menyeluruh rincian langkah-langkah pengolahan yang pada pokoknya dari mengolah rotan asalan menjadi rotan WS atau disebut juga rotan bahan mentah.

Page 69: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

50

Gambar 13. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan besar Keterangan: *) kulit terkelupas, retak/pecah, serangan jamur/insekta

Dalam pengolahan rotan asalan menjadi WS terdapat beberapa tehnik yang pernah berkembang di beberapa daerah di Indonesia, yaitu :

Penggorengan, di Sumatera Barat Pelayuran, di Jawa Barat dan Lampung Perendaman dalam air (2 – 3 minggu), di Kalimantan Barat Pencelupan kedalam lumpur dan kemudian diasapi di atas api, di Sulawesi Selatan.

Kedua teknik yang disebut pertama di atas pada pokoknya

bertujuan melakukan pemanasan awal untuk mempercepat pengeluaran air dan bahan getah-getahan dari dalam bahan rotan. Teknik pelayuran

ROTAN ASALAN

SORTASI I

LIMBAH ) 5 -20% PENGGORENGAN

PENGGOSOKAN

PENJEMURAN S/D KERING UDARA

PENGASAPAN

ROTAN BULAT WS

SORTASI II

PELURUSAN PELURUSAN

MUTU A,B 25-40% MUTU C, D ± 40% REJECTED*

PEMOTONGAN

PENGASAPAN

BUNDLING

PEMOTONGAN

POLIS KASAR BUANG BUKU

BUNDLING

NATURAL CANE

BUNDLING

PENGASAPAN

Page 70: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

51

dilakukan dengan cara menyiram rotan dengan minyak tanah lalu dibakar kemudian api segera dimatikan menggunakan karung goni basah. Dewasa ini, teknik pelayuran hampir sudah tidak ditemui lagi karena bila kurang terampil sebagian rotan bisa terbakar.

Kedua teknik yang disebut terakhir di atas pada dasarnya bertujuan melarutkan zat ekstraktif, terutama pati dan gula yang merupakan bahan atraktan bagi mikroorganisme perusak rotan. Di samping itu cara ini juga dimaksudkan untuk melunakkan kotoran yang menempel pada kulit rotan agar mudah terkelupas.

Dewasa ini teknik penggorengan sangat umum ditemui dalam proses pengolahan rotan asalan menjadi rotan WS. Teknologi penggorengan mengunakan peralatan sederhana yang di buat seluruhnya dari bahan-bahan lokal, terdiri dari tungku dan kuali yang berbentuk palung dengan panjang sekitar 4 m, lebar 125 cm dan tinggi 90 cm. Karena itu unit penggorengan rotan banyak dibangun oleh masyarakat lokal dan biasanya didirikan di tempat-tempat yang dekat dengan sumber rotan asalan. Salah satu tipe kuali penggorengan yang dipakai adalah seperti pada Gambar 14.

Gambar 14. Unit penggorengan rotan

Kuali mula-mula diisi sekitar tiga-perlima volumenya dengan minyak penggoreng lalu dipanaskan sampai mencapai suhu sekitar 80 derajat Celcius. Rotan dimasukkan ke dalam kuali lalu digoreng selama lebih kurang 30 menit. Minyak penggoreng biasanya diganti setelah digunakan untuk sekitar 40 kali penggorengan atau bila minyak sudah kelihatan kotor. Sisa minyak penggoreng yang ada di dalam kuali dapat digunakan setelah terlebih dahulu disaring. Konsumsi minyak penggoreng untuk tiap batang rotan adalah sekitar 0,17 – 0,20 liter, tergantung efisiensi pemakaian.

Page 71: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

52

Tujuan penggorengan adalah sebagai berikut : a. Menurunkan kadar air rotan

Penurunan kadar air rotan sebesar 40 – 60% akan menurunkan berat sekitar 15 – 20% dan volume antara 6 – 12% (Maulana, 1997). Selain itu penurunan kadar air yang besar akan menghemat waktu penjemuran atau pengeringan rotan di lapangan. Waktu penjemuran yang relatif pendek setelah penggorengan (1 – 2 minggu) akan menghindarkan rotan dari serangan jamur dan serangga perusak rotan. Dengan demikian penggorengan bukan berarti dapat mengawetkan rotan. Casin (1975) melaporkan, bahwa rotan yang tidak digoreng seperti yang dilakukan di Philipina pada rotan palasan (Calamus maximus Merr. dan Calamus ornatus MAR, sejenis manau atau tohiti di Indonesia) memerlukan waktu penjemuran ± 26 minggu dari basah (kadar air ± 155%) sampai kadar air ± 20% dan masih memerlukan 1 minggu untuk mencapai kadar air keseimbangan (Equilibrium Moisture Content = EMC). Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa jamur Ascomycetes (penyebab bercak biru, blue stain) tumbuh subur pada kadar air rotan sekitar 100% dan kelembaban 84%. Dengan penggorengan kondisi tersebut dilewati sewaktu rotan dalam penggorengan.

b. Melarutkan getah

Bahan getah seperti gum, lilin, gelatin dan sejenisnya pada batang rotan umumnya tertimbun pada kulit bagian epidermis. Fungsinya sewaktu tanaman masih hidup adalah untuk melindungi penguapan air yang tinggi dari rongga – rongga sel di bawahnya. Seperti halnya pohon jati yang menggugurkan daun pada musim kemarau.

Komposisi minyak penggoreng yang umum digunakan terdiri dari sebagian besar minyak bumi (minyak tanah, minyak solar). Minyak bumi ini merupakan pelarut yang baik untuk getah seperti gum, lilin dan sejenisnya. Daya melarutkan tersebut semakin cepat pada suhu penggorengan yang cukup tinggi (60 - 80ºC). Rotan yang getah–getahnya telah dilarutkan dalam minyak penggoreng akan mempermudah pengeluaran air dan akan memperpendek waktu penjemuran. Dengan demikian, kesempatan rotan untuk diserang jamur akan berkurang.

c. Pemanasan tanpa udara

Berdasarkan hasil-hasil percobaan telah dibuktikan bahwa bahan berlignoselulosa (termasuk rotan) apabila dipanaskan pada udara terbuka

Page 72: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

53

maka penurunan sifat kekuatannya akan terjadi dengan cepat. Potongan-potongan kayu yang dicelupkan ke dalam metal cair pada suhu 320ºC selama 1 menit, 250ºC selama 1 jam dan 160ºC selama 1 minggu menghasilkan penurunan keteguhan patah (MOR) yang hampir sama yaitu sebesar 17% dari keteguhan sebelum dipanaskan. Apabila kayu yang sama dipanaskan pada udara terbuka (ada oksigen) maka penurunan keteguhan patahnya mencapai 50% (Stam, 1964).

Campuran minyak penggoreng yang identik dengan metal cair dalam percobaan Stam di atas yang umum ditemui adalah sebagai berikut:

Minyak solar + minyak kelapa Minyak solar + minyak sawit Minyak solar + minyak tanah Minyak solar + air Minyak tanah + minyak kelapa Minyak tanah + minyak sawit Minyak tanah + air Minyak tanah + oli motor (motor oil) S.A.E 20 -120 Minyak tanah Minyak solar

Berdasarkan hasil percobaan Rachman (1986) pada rotan manau

dan tohiti dapat diketahui pengaruh berbagai komposisi minyak penggoreng dan lama waktu penggorengan terhadap penurunan kadar air, kecerahan warna dan penurunan sifat kekuatan atau keteguhan rotan. Percobaan ini menggunakan 5 macam minyak penggoreng, yaitu: minyak tanah (MT), minyak solar (MS), campuran minyak tanah dan solar (MT.MS), campuran minyak tanah dan oli SAE – 40 (MT.MO), serta campuran minyak solar dan minyak kelapa (MS.MK). Pengamatan kecerahan warna dinilai menggunakan skor 5 – 1, yaitu dari warna kuning terang sampai coklat kekuning–kuningan. Hasil percobaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.

Seperti disajikan pada Gambar 15 A penurunan kadar air semakin meningkat dengan meningkatnya waktu penggorengan. Penurunan kadar air tertinggi terjadi pada rotan yang digoreng dengan campuran minyak penggoreng MTMS, yaitu mencapai sekitar 70 %. Pada Gambar 15 B tampak bahwa kecerahan warna menurun dengan meningkatnya waktu

Page 73: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

54

Gambar 15. Grafik hubungan waktu penggorengan dengan kadar air (A), kecerahan warna (B) dan keteguhan rotan (C).

penggorengan. Sedangkan Gambar 15 C menunjukkan bahwa waktu penggorengan yang semakin lama akan menurunkan sifat kekuatan rotan.

Hasil percobaan secara keseluruhan dapat memberikan informasi sebagai berikut:

Pemakaian minyak tanah saja dalam penggorengan rotan memberikan nilai warna yang lebih cerah dibandingkan dengan minyak penggoreng lainnya. Akan tetapi penggorengan dengan minyak tanah harus hati – hati karena laju penurunan warna dan keteguhan sangat cepat. Penggunaan minyak nabati seperti minyak kelapa atau minyak sawit dalam campuran minyak penggoreng bertujuan untuk mengurangi laju penurunan keteguhan dan kecerahan warna rotan.

A

B

C

Page 74: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

55

Pada awalnya, hampir seluruh hasil proses penggorengan yang menghasilkan rotan WS ditujukan untuk mendapatkan kulit rotan yang baik, yaitu berwarna cerah dan mengkilap. Rotan ini disebut juga sebagai natural cane yang langsung dapat dibuat barang jadi, seperti mebel dengan harga yang tinggi. Produk seperti ini memerlukan penampilan kulit alami dan warna asli rotan. Produk semacam ini sudah sangat jarang diproduksi kecuali pesanan khusus karena harganya yang sangat mahal.

Rotan WS, oleh pengolah biasanya diklasifikasikan mutunya menjadi kualitas A, B, C dan D. Semakin banyak banyak terdapat cacat pada kulit dan semakin berwarna buram semakin rendah kualitas rotan. Praktek di lapangan menunjukkan, bahwa penggorengan hanya menghasilkan 25 – 40% berkualitas A dan B. Sedangkan rotan berkualitas A atau yang termasuk natural cane tidak lebih dari 20%, sisanya berupa rotan yang kulitnya mengandung cacat. Bahkan, dewasa ini jumlah natural cane yang diperoleh semakin menurun.

Rotan yang sudah dipilah menurut kualitasnya, selanjutnya diluruskan dengan mesin pelurus atau secara manual. Pelurusan secara manual dikerjakan dengan cara menjepit salah satu ujung rotan dengan kayu dan mendorong atau menarik ujung yang lain berulang-ulang dangan tangan sampai potongan rotan menjadi lurus. Rotan bermutu A yang sudah lurus dibuang bukunya agar berpenampilan lebih bersih. Untuk meningkatkan mutu rotan ini biasanya dilakukan lagi pengasapan. Kelompok rotan dengan mutu yang lebih rendah dikupas kulitnya menjadi produk yang disebut sebagai rotan polis.

Mengingat sebagian besar rotan WS dikupas kulitnya untuk dijadikan rotan polis kasar maka untuk menghemat penggunaan enersi, seharusnya rotan yang akan dijadikan natural cane saja yang digoreng. Sisanya, tidak harus digoreng tetapi cukup dilakukan pengupasan kulit pada saat rotan masih basah, lalu rotan dijemur sampai mencapai kering udara. 2. Rotan kecil

Pada rotan kecil biasanya tidak dilakukan penggorengan karena batangnya lebih kecil daripada rotan besar, sehingga lebih mudah mengeringkannya dan membutuhkan waktu penjemuran yang relatif pendek. Skema umum pengolahannya disajikan pada Gambar 16.

Dalam skema pengolahan tersebut dapat dilihat bahwa ada 2 versi cara pengolahan. Pertama, melakukan pencucian setelah rotan asalan disortir. Kedua, melakukan pengasapan secara langsung setelah rotan

Page 75: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

56

asalan disortir. Tujuan yang kedua dimaksudkan untuk mengawetkan rotan selama penjemuran meskipun tujuan tersebut belum terbukti secara ilmiah. Hal ini disebabkan asam belerang (SO2) pada dasarnya tidak mempunyai efek membunuh jamur atau insek akan tetapi lebih banyak sebagai oksidator untuk memucatkan warna rotan.

Gambar 16. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan kecil

ROTAN ASALAN (runti/tanpa)

ROTAN KERING UDARA

LIMBAH

ROTAN BULAT MUTU P

BUANG BUKU

NATURAL CANE

BUNDLING / STORAGE

SORTASI II

SORTASI I

PENGASAPAN*)

PENJEMURAN

JEMUR ULANG

PENGASAPAN

PENCUCIAN

PENJEMURAN

PENGASAPAN PENCUCIAN

LIMBAH

ROTAN BULAT MUTU D,T,E

PERENDAMAN / TANPA

PEMBELAHAN MESIN / TANGAN

ROTAN BELAHAN KASAR

BUNDLING / STORAGE

Page 76: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

57

Pada langkah selanjutnya, yaitu sebelum proses pembelahan rotan, sebagian industri pengolahan melakukan perendaman. Secara fisik perendaman menyebabkan penyerapan air oleh bahan rotan sehingga terjadi pengembangan jaringan rotan karena air memasuki rongga sel, ruang antar sel dan dinding sel rotan. Secara kimia air yang memasuki dinding sel akan meregangkan rantai-rantai selulosa yang tersusun dalam mikrofibril. Kondisi seperti tersebut di atas akan menyebabkan rotan menjadi lunak. Proses pelunakan (softening) ini akan memberikan beberapa keuntungan :

Memudahkan pembelahan Mengurangi penggunaan tenaga mesin atau tenaga orang karena air yang diserap berfungsi pula sebagai pelumas antara rotan dan pisau pembelah. Meningkatkan rendemen pembelahan karena dapat mengurangi terjadinya rotan putus selama pembelahan.

Pembelahan rotan sega, jahab dan jermasin yang dilakukan pada kondisi basah menghasilkan rendemen kulit dan hati lebih tinggi sekitar 3 – 8% dibandingkan kondisi kering (Tabel 17). Badhwar (1961), menyarankan, bagi rotan di India sebaiknya dibelah dalam keadaan segar atau segera setelah dipanen. Keuntungannya adalah :

Rotan lebih mudah dibelah dan lebih hemat tenaga Hasil pembelahannya lebih cepat kering sehingga terhindar dari serangan jamur dan insekta. Apalagi bila setelah pembelahan dicelupkan dalam bahan pengawet.

Tabel 17. Rendemen rotan sega, jahab dan jermasin pada kondisi

pembelahan basah dan kering (%)

Jenis rotan/hasil Kondisi pembelahan

Kering Basah S e g a - rotan kulit 16,7 19,1 - rotan hati 51,1 54,1 - Jumlah 67,8 73,2 J a h a b - rotan kulit 20,3 22,8 - rotan hati 38,5 44,8 - Jumlah 58,8 67,6

Page 77: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

58

Jermasin - rotan kulit 13,9 19,1 - rotan hati 47,1 58,7 - Jumlah 61,0 77,8

Sumber : Rachmat, et al. (1981) 3. Pengeringan rotan

Sebagian besar hasil–hasil pertanian dikeringkan lebih dahulu sebelum dimanfaatkan atau diolah lebih lanjut. Tujuan utamanya adalah memudahkan dalam penanganan dan menghindari dari kerusakan, terutama biologis di samping kerusakan fisis. Pengeringan adalah pengeluaran air dari dalam bahan dengan bantuan energi panas ke udara terbuka sampai mencapai kadar air tertentu. Biasanya bahan dikeringkan sampai keadaan bahan mencapai kering udara atau mencapai kadar air keseimbangan. Pengeringan rotan di Indonesia sampai saat ini baik pada rotan besar maupun kecil masih seluruhnya dilakukan dengan cara alami atau penjemuran oleh sinar matahari, karena sinar matahari jumlahnya berlimpah di daerah tropis seperti di Indonesia. Akan tetapi teknik penjemuran yang dilakukan masih sederhana yaitu dengan menyusun rotan secara silang–menyilang hampir vertikal khususnya bagi rotan besar dan menghamparkan untuk rotan kecil. Namun kebersihan lingkungan, sistem drainase, arah susunan, arah angin, perlindungan dari kebasahan dan lain – lain belum mendapat perhatian memadai (Gambar 17).

Gambar 17. Pengeringan rotan kecil secara alami

Page 78: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

59

Rujehan (2001) melaporkan, bahwa pengeringan alami rotan kecil, yaitu sega (Calamus caesius) mengalami susut berat sekitar 35 – 40% dari rotan basah. Sedangkan rotan pulut mengalami susut berat sekitar 45 – 50% dari berat rotan basah.

Usaha – usaha untuk mendapatkan cara pengeringan rotan yang lebih baik telah dilakukan baik dengan cara pengeringan alami (penjemuran) maupun dengan pengeringan buatan (klin dryer). Percobaan pengeringan alami dengan memodifikasi tiga cara penjemuran, sebagai berikut : a. Pengeringan rotan di dalam bangunan beralas yang diberi atap dan

dinding plastik tembus cahaya. b. Pengeringan di tempat teduh atau di bawah atap. c. Penjemuran di bawah matahari langsung. Hasil percobaan pengeringan tersebut di atas disajikan seperti Tabel 18.

Tabel 18. Hasil pengeringan alami dengan tiga perlakuan terhadap rotan ukuran besar yang sudah digoreng

Kelas mutu Hasil proses pengeringan, %

Transparan Naungan Langsung A 0 0 10 B 4 0 24 C 28 17 28 D 68 83 38

Jumlah : 100 100 100 Sumber : Sudiwinardi (1985). Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan hal – hal sebagai berikut :

Cara pengeringan yang terbaik adalah pada lapangan terbuka dan terkena langsung oleh sinar matahari. Hal ini dibuktikan oleh jumlah rotan berkualitas A & B yang dihasilkan tertinggi. Cara pengeringan di bawah naungan tanpa terkena sinar matahari langsung tidak dianjurkan karena akan memperoleh hasil pengeringan terburuk.

Page 79: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

60

Usaha untuk mempercepat waktu pengeringan alami dilakukan dengan cara mengerik (scrape) rotan segar kemudian dijemur. Hasilnya disajikan seperti pada Tabel 19. Tabel 19. Kecepatan pengeringan rotan kerik

Waktu (Minggu)

Kadar air (%) RH (%)

Suhu (ºF) Palasan Limoran

1 102.7 138.1 78.5 75.3 2 55.0 50.6 84.2 76.6 3 27.2 21.3 82.1 78.1 4 27.7 15.5 85.0 77.1 5 13.1 12.6 81.4 78.5

Sumber: Cortes (1939)

Hasilnya menunjukkan bahwa rotan yang dikerik mengering lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak dikerik. Jenis rotan yang sama jika tanpa dikerik memerlukan waktu 26 minggu untuk mencapai kadar air sekitar 20%. Dengan demikian, bagi rotan segar yang mengalami cacat pada kulit seharusnya dikerik, kemudian dikeringkan sehingga waktu pengeringan relatif cepat. Sisanya, rotan segar dengan kulit yang bersih dapat digoreng untuk mendapatkan natural cane.

Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Rachman dan Santoso (1996). Penelitian ini mempelajari perilaku penurunan kadar air rotan segar (124 – 220%) sampai kering udara dengan cara penimbangan berat rotan setiap hari. Contoh rotan berukuran panjang 2 meter dan diameter berkisar 18 – 29 mm; terdiri dari tiga jenis, yaitu: tretes (Daemonorops heteroides), omas (Calamus sp) dan kesur (C. ornatus). Rotan dikeringkan melalui 4 macam perlakuan, yaitu:

Konvensional (Konv): rotan segar digoreng kemudian dikeringkan, setelah kering udara lalu dipolis. Aiternatif I (Alt1); rotan segar dicelupkan bahan pengawet, dibiarkan sampai setengah kering, dipolis, diawetkan kembali, akhirnya dikeringkan. Alternatif II (Alt2); rotan segar dicelupkan bahan pengawet, lalu dipolis, akhirnya dikeringkan.

Page 80: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

61

Alternatif III (Alt3); rotan segar dipolis, dicelupkan bahan pengawet, akhirnya dikeringkan.

Perilaku penurunan kadar air rotan hasil percobaan itu disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Perilaku penurunan kadar air rotan selama pengeringan

Page 81: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

62

Cara pengeringan buatan, yaitu dengan menggunakan kilang pengering (kiln dryer) telah dilakukan di Philipina. Hasil percobaannya disajikan seperti Tabel 20.

Tabel 20. Pengeringan rotan dengan kilang pengering.

Jenis bahan Kadar air awal,%

Kadar air akhir,%

Waktu pengeringan

(hari) Tumalin (berkulit) 145 – 117 5 10

Tumalin (dikerik) 150 - 119 4.6 1.5 Sumber: Casin (1985)

Dilihat dari segi praktis dan produktifitas pengeringan dengan kiln tampaknya memberikan harapan baik. Akan tetapi dari hasil percobaan di atas dinyatakan pula, bahwa dengan pengeringan kiln tersebut warna rotan yang dihasilkan kurang cerah dan tidak berkilap. Sedangkan faktor kecerahan warna dan kilap sangat menentukan standar mutu rotan. Dari hasil penelitian tersebut diduga bahwa sinar ultra violet dalam spektrum sinar matahari berfungsi meningkatkan kilap dan kecerahan warna rotan. Hal ini juga memperkuat bukti tiga cara pengeringan alami terdahulu bahwa penjemuran rotan pada sinar matahari langsung memberikan hasil pengeringan terbaik. Namun demikian kemungkinan pengembangan pengeringan kiln tetap ada dengan cara melengkapi ruang pengeringan dengan fraksi sinar – sinar tertentu.

4. Pengasapan

Pengasapan dilakukan dengan cara mengasapi rotan dalam rumah asap. Berbagai bentuk rumah asap dapat ditemui di lapangan. Salah satu contoh rumah asap, yaitu berukuran panjang, lebar dan tinggi masing–masing sekitar 650 x 200 x 270 cm. Rumah asap seperti ini berkapasitas muat sekitar 4.000 potong rotan besar atau sekitar 6 ton rotan kecil (Gambar 19).

Page 82: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

63

Gambar 19. Rumah asap

Rotan disusun di atas bantalan sejajar dengan arah panjang rumah asap. Setelah rumah asap penuh dengan rotan, pintu didorong sampai tertutup rapat. Wadah pembakaran pada dasar rumah asap diisi dengan belerang ± 7,5 kg lalu dibakar. Lamanya pengasapan sekitar 1 malam atau 12 jam, pengasapan dengan belerang dapat meningkatkan warna dan kilap rotan akan tetapi menurunkan keteguhan tarik sejajar serat. C. Pengolahan Barang Setengah Jadi

Pengolahan barang setengah jadi merupakan proses lanjutan dari hasil pengolahan rotan bahan mentah baik rotan kecil maupun rotan besar. Produk hasil pengolahan ini terdiri dari: rotan bulat kupasan (polis halus), kulit rotan, hati rotan dan komponen mebel terpisah. Pada beberapa industri rotan yang cukup besar, pengolahan barang setengah jadi bersatu dengan barang jadi sehingga sukar membedakan tahap pengolahannya.

Untuk memberikan gambaran tentang besarnya penyusutan yang terjadi mulai dari rotan dipanen sampai menghasilkan produk barang setengah jadi dari rotan besar dan dari rotan kecil dapat dilihat masing – masing pada Lampiran 13 dan 14.

Langkah kegiatan pengolahan barang setengah jadi berbeda untuk rotan besar dengan rotan kecil, seperti diuraikan di bawah ini.

Page 83: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

64

1. Rotan Besar Proses polis kasar, polis halus dan pengampelasan umumnya

dilakukan dengan mesin. Sedangkan proses kikis kulit (scrapping) menggunakan mesin kupas. Pada beberapa pabrik, untuk kikis kulit ada yang dilakukan secara manual dengan menggunakan ketam.

Perbedaan pemolisan dan pengikisan kulit, yaitu proses yang disebut pertama mengeluarkan lapisan kortek lebih tipis dibandingkan proses pengikisan kulit. Besarnya lapisan kortek yang terbuang dalam proses pemolisan berkisar antara 2,4 – 2,8 mm dan rendemen adalah 80 – 90% berdasarkan berat rotan (Basri dkk, 1998)

Bagan alir pengolahan rotan besar disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan besar.

ROTAN BAHAN MENTAH

NATURAL CANE SCRAPPINGS

BARANG SETENGAH JADI

BUNDLING / STORAGE

PENGIRIMAN

PENGAMPELASAN PENGAMPELASAN

PEMBENGKOKAN PEMUTIHAN

PEMUTIHAN

POLIS HALUS

Page 84: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

65

2. Rotan kecil Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan kecil disajikan

pada Gambar 21. Hampir seluruh rotan kecil pengolahannya melalui proses pembelahan lebih dahulu sebelum dipasarkan. Sebagian kecil rotan yang tidak dibelah digunakan sebagai natural cane pada barang jadi. Sebelum pembelahan, rotan bulat biasanya direndam atau tanpa perendaman (lihat juga Gambar 16).

Gambar 21. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan kecil

Proses pembelahan menghasilkan rotan belahan kulit dan rotan belahan hati yang masih kasar. Rotan belahan kulit dihaluskan dan diratakan sisi-sisinya dengan mesin trimmer menghasilkan rotan kulit

ROTAN BAHAN MENTAH

PEMBELAHAN MESIN/ TANGAN

PEMUTIHAN

ROTAN KULIT

TRIMMING KULIT

ROTAN KULIT BERBAGAI UKURAN

PENCUCIAN SISA SILICIOUS

ROTAN HATI

PEMBENTUKAN HATI

ROTAN HATI BERBAGAI BENTUK & UKURAN

BUNDLING / STORAGE

CONDITIONING

PENCUCIAN SISA BAHAN PEMUTIH

PERENDAMAN / TANPA

Page 85: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

66

berukuran lebar maksimum 8 mm dan tebal maksimum 1,3 cm dengan dimensi yang sama sepanjang lembaran. Rotan belahan hati yang masih kasar dilanjutkan pengolahannya dengan proses pembentukan hati menggunakan mesin split dengan memasang berbagai macam pisau sesuai dengan bentuk hati rotan yang diinginkan (bulat, elips, persegi dan lain – lain). 3. Pemutihan

Berbagai macam cara pemutihan baik untuk rotan kulit maupun rotan hati sudah banyak dilakukan orang. Beberapa teori mengemukakan bahwa rotan kulit sebaiknya diputihkan dengan larutan yang bersifat asam dan sebelum pemutihan rotan kulit direndam dalam larutan Hidrogen Fluorida (HF) untuk mencuci sisa silicious yang terdapat pada kulit. Sedangkan untuk rotan hati sebaiknya diputihkan dengan larutan yang bersifat basa (alkalis). Hasil pemutihan, baik rotan hati dan kulit, dicuci dengan alkohol untuk menghilangkan sisa–sisa bahan pemutih (Simatupang, 1978).

Berbagai cara dan bahan kimia telah dilakukan untuk pemutihan rotan. Pemutihan dengan cara pembakaran belerang dalam ruang tertutup atau disebut juga pengasapan adalah teknik pemutihan yang sudah lama dikenal orang. Pengasapan biasanya dilakukan pada rotan bahan mentah. Sedangkan istilah pemutihan adalah untuk barang setengah jadi yang biasanya dilakukan dengan cara perendaman atau pelaburan dalam bahan kimia.

Pemutihan dapat dilakukan dengan larutan Natrium klorit (NaClO2). Natrium klorit pada konsentrasi 2% bila digunakan untuk pemutihan rotan kulit akan menghasilkan rotan dengan warna yang cerah serta tidak mempengaruhi sifat mekaniknya. Natrium Klorit dapat juga digunakan untuk pemutihan rotan hati.

Penggunaan kaporit untuk bahan pemutih rotan belum banyak di lakukan di Indonesia. Beberapa pengusaha rotan di Tegalwangi Cirebon telah mencoba menggunakan kaporit untuk pemutihan. Hasilnya menunjukan rotan yang bersih dan warna mengkilap. Reaksi yang berlangsung pada pemutihan kaporit adalah sebagai berikut :

CaOCl2 + 2 NaOH Ca (OH) 2 + 2 NaCl + On

Page 86: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

67

On akan mengoksidasi zat warna dan lignin sehingga berwarna putih bersih. Selain tiu kaporit apabila bereaksi dengan air akan terbentuk asam hipoklorit yang akan mengoksidasi zat warna dan melarutkan sebagian lignin sehingga sehingga sifat kekuatan rotan dapat menurun. Hasil penelitian pemutihan dengan kaporit dan NaOH pada berbagai tingkat konsentrasi menunjukan bahwa penigkatan konsentrasi bahan pemutih akan meningkatkan nilai warna namun akan menurunkan sifat kekuatan (Darma, 1987).

Rachman et al. (1994) telah menggunakan larutan perhidrol (H2O2) pada kisaran konsentrasi sekitar 10 – 30% untuk pemutihan rotan batang (C. ornatus) dengan cara pelaburan. Larutan itu dicampur dengan larutan soda api (NaOH) pada konsentrasi 1,5 – 4,5% atau air kaca (Na2SiO3) pada konsentrasi 5 – 15%.

Mekanisme reaksi kimia yang bekerja pada proses pemutihan dengan perhidrol adalah sebagai berikut :

1. HOO ¯ + H + (perhidroksil ion) H2O2

2. H2O + On (oksigen radikal)

Adanya penambahan NaOH (suasana basa) atau air kaca akan membentuk perhidroksil ion dan oksigen radikal yang berfungsi sebagai oksidator untuk memutihkan rotan. Di samping mempunyai efek memutihkan rotan, oksigen radikal dapat menyerang serat selulosa dan kerusakan serat selulosa tersebut ditandai dengan pembentukan oksiselulosa (Trotman, 1968). Akibat dari penggunaan perhidrol yaitu kekuatan mekanis rotan menjadi turun.

Berdasarkan teori tersebut di atas maka keberhasilan pemutihan dapat dinilai melalui derajat putih (JIS-Z-8741), kilap (SII 0437-81) dan kekuatan mekanis rotan, yaitu keteguhan lentur maksimum (BS 373 : 2957).

Hasil penelitian menujukkan, bahwa pemakaian perhidrol 24% dan soda api 3% memberikan hasil yang cukup memuaskan (Gambar 22). Pada kondisi itu nilai derajat putih, kilap dan keteguhan lentur maksimum maing-masing adalah 52,2%, 4,9% dan 442,0 kg/cm2. Peningkatan penggunaan konsentrasi perhidrol dalam pemutihan akan menurunkan kekuatan mekanik rotan tersebut. Pada konsentrasi perhidrol 30% keteguhan lentur maksimum turun menjadi 337 kg/ cm2.

Page 87: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

68

Gambar 22. Hasil produk yang sudah diputihkan.

4. Pembengkokan Proses pembengkokan atau lazim disebut pelengkungan (bending)

bertujuan untuk melengkung dan rotan besar sesuai dengan bentuk yang diinginkan, yaitu untuk memenuhi tujuan fungsional maupun estetika seperti lengkungan pada rangka mebel, kap lampu, tempat tidur dan lain-lain. Prinsip dasar proses pembengkokan adalah penggunaan panas untuk melunakkan (softening) jaringan rotan.

Pada mulanya proses pembengkokan ini dilakukan dengan cara memanaskan langsung bagian yang akan dibengkokan di atas nya api, kemudian bagian tersebut ditekan dengan bantuan alat pembengkok pada waktu rotan masih panas. Cara ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu prosesnya lambat dan kadang-kadang bagian yang dipanaskan dapat terbakar sehingga berwarna hitam.

Pada perkembangan selanjutnya, uap panas digunakan untuk pembengkokan. Dalam industri pembengkokan dengan uap panas dikenal dengan sebutan steaming. Rotan yang akan dibengkokan dimasukan kedalam ketel berbentuk silindris kemudian uap panas dimasukkan kedalamnya selama 15 – 30 menit. Selanjutnya rotan yang sudah dikukus, dikeluarkan untuk dibengkokan sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Alat–alat sederhana sampai alat hidrolis telah banyak digunakan untuk pembengkokan. Permasalahan yang umum dihadapi dalam pembengkokan adalah kerusakan yang terjadi pada bagian rotan

Page 88: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

69

yang dibengkokan. Berbagai jenis kerusakan dilaporkan dan persentase rotan yang rusak dalam proses pembengkokan cukup tinggi.

Setiadji (1997) melaporkan bahwa persentase kerusakan dalam pembengkokan dengan bantuan uap panas di industri mencapai rata – rata 18% dengan kisaran antara 12 – 24%. Penelitian ini dilakukan pada dua jenis rotan berdiameter besar, yaitu: tohiti (Calamus inops) dan batang (Daemonorops robustus). Faktor–faktor yang menyebabkan kerusakan adalah jenis rotan, mutu rotan, waktu pengukusan, bentuk lengkungan dan keterampilan pekerja. Tiga jenis kerusakan yang umum terjadi pada proses pembengkokan adalah pecah, patah dan gembos (Gambar 23). Kerusakan pecah adalah yang terbanyak, yaitu 81% dibandingkan dengan dari ketiga jenis kerusakan yang diamati.

Gambar 23. Jenis kerusakan rotan pada proses pembengkokan (Setiadji, 1977). A = pecah, B = gembos, C = patah.

A

B

C

Page 89: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

70

Berdasarkan teori, maka energi kimia dapat pula digunakan untuk pelengkungan rotan. Sama halnya dengan pelengkungan dengan uap panas (steaming), enersi kimia di sini bertindak untuk memekarkan rantai selulosa pada dinding sel. Dengan pemekaran ini, rotan menjadi relatif lunak atau bersifat plastis sehingga lebih mudah dilengkungkan. Pada dsarnya bahan pemekar atau pelunak untuk kayu dapat pula digunakan untuk rotan, antara lain : urea, dimetilol urea, amoniak cair, pyrogallol, resin penolformaldehis (berat molekul rendah), larutan gliserin 5,1%, dimethyl sulfoxide (DMSO), resorsinol dan lain-lain.

Penggunaan bahan kimia dalam bentuk larutan urea dan larutan amoniak masing-masing dengan konsentrasi 30% telah diteliti untuk pelengkungan rotan manau (Calamus manan) dan batang (Daemonorop robusta). Pemakaian urea dan amoniak dilakukan setelah rotan dikukus, yaitu dengan cara perendaman rotan dalam larutan tersebut selama 20 – 30 menit. Perendaman ini dimaksudkan untuk mempermudah pelengkungan.

Evaluasi pelengkungan meliputi kerusakan rotan pada diameter lengkungan tertentu (10 cm, 20 cm, 30 cm dan 50 cm), perubahan warna, kilap, keteguhan lentur, mulur (creep) dan susut volume. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan bahan kimia dalam pelengkungan dapat menurunkan kerusakan pecah tetapi cenderung menurunkan keteguhan lentur. Sedangkan, susut volume cenderung meningkat dalam perendaman dengan amoniak dan sebaliknya dalam urea (Handayani, 1993).

Pelengkungan rotan dengan bahan kimia dimethyl sulfoxide (DMSO) telah dilakukan pada tiga jenis rotan, yaitu manau (Calamus manan), minong (C. optimus) dan batang (Daemorop robusta). Percobaan ini menggunakan bahan kimia dimetil sulfoksid (DMSO) yang di larutkan dalam air pada konsentrasi 5 – 15%. Sebelum dilengkungkan, rotan direndam dalam larutan tersebut selama 8 jam pada suhu 80°C. Pengujian terhadap hasil pelengkungan meliputi : keteguhan lentur statis, lentur dinamis, kilap dan penyusutan (Rachman et al, 1997).

Hasil percobaan menunjukan bahwa perendaman dengan DMSO pada konsentrasi 5% untuk rotan manau dan minong sudah cukup meningkatkan kemudahan pelengkungan sampai dengan radius 12,5 cm dan menurunkan tingkat kerusakan fisik rotan. Sedangkan untuk rotan batang, konsentrasi DMSO mencapai 15%. Kemudahan pelengkungan dan kerusakan fisik meningkat dengan meningkatnya kerapatan densiti rotan dan kerapatan ikatan pembuluh. Perendaman rotan dalam larutan

Page 90: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

71

DMSO cenderung menurunkan modulus elatisitas dan rasio elastisplastis, meningkatkan nilai mulur dan susut volume tetapi tidak mempengaruhi kilap rotan. Krisdianto et.al (2007), melakukan pelenngkungan dengan gelombang mikro menggunakan microwave oven SHARP R-240 F dengan kekuatan 800 W, hasilnya menunjukkan bahwa pemanasan dengan gelombang mikro dapat meningkatkan kemampuan dan mengurangi limbah pelengkungan rotan. Waktu pemanasan rotan dengan gelombnag mikro sebaiknya kurang dari 2 menit, karena pemanasan terlalu lama dapat mengakibatkan rotan hangus terbakar.

D. Pengolahan Barang Jadi Rotan

Yang dimaksud dengan rotan barang jadi adalah produk rotan siap pakai yang terdiri dari tikar rotan, lampit rotan, krei rotan, aneka keranjang rotan, anyaman rotan dan mebel rotan.

Proses pengolahan barang jadi rotan sangat bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung kepada jenis komoditi barang jadi rotan yang diproduksi. Namun demikian, kegiatan utama dalam proses pengolahan barang jadi, pertama adalah membuat pola barang jadi rotan yang akan diproduksi. selanjutnya komponen rotan dirakit sesuai dengan bentuk pola. Rakitan kemudian dianyam atau diikat. Anyaman dan ikatan ini tidak hanya memberikan kekuatan struktural tetapi juga keindahan. Pada beberapa bagian terutama pada sambungan (dengan rotan, kayu atau/playwood) memerlukan pekerjaan pemakuan, penyekrupan, pemboran dan bahkan penyulaman. Barang rotan yang sudah hampir jadi pada beberapa bagian ditempeli dengan rotan atau non rotan untuk menambah keindahan. Aliran proses pengolahan barang jadi dapat dilihat seperti pada Gambar 24.

Page 91: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

72

Gambar 24. Bagan alir pengolahan barang jadi

Pada beberapa industri rotan di Indonesia dapat dilihat bahwa

proses pengolahan barang setengah jadi menyatu dengan proses pengolahan barang jadi. Seperti terjadi dalam industri mebel yang cukup besar, tahap proses dimulai dari pemolesan, pembelahan, pembentukan hati dan pelengkungan dengan steaming untuk pembuatan rangka

PEMOLAAN / PERANGKAAN

PERAKITAN

PENGANYAMAN / PENGIKATAN

PEKERJAAN TUKANG KAYU

PENEMPELAN / HIASAN

BUNDLING / STORAGE

Page 92: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

73

VI. PENGAWETAN ROTAN

Kunci keberhasilan produksi rotan adalah bagaimana mencegah

atau menghindari rotan dari serangan organisme perusak rotan, yang dapat menurunkan kekuatan, keawetan maupun kualitasnya. Serangan organisme ini dapat terjadi sejak rotan ditebang, selama pengangkutan ke tempat pengumpulan ditepi hutan atau ke desa, dalam pengangkutan ke pabrik pengolahan, dipabrik sebelum diolah, setelah diolah maupun setelah menjadi barang jadi, di konsumen. Organisme ini dikelompokkan menjadi jamur (fungi) dan serangga (insekta) yang menyerang rotan sesuai bahan rotan dan kondisi lingkungan.

Bahan pengawet yang sesuai dan teknik pengawetan yang tepat perlu diperhatikan agar pengawetan rotan menjadi efektif. Pengawetan yang efektif akan dapat menghemat penggunaan bahan baku rotan, sehingga meningkatkan kelestarian sumber daya rotan.

A. Organisme Perusak Rotan

Pengetahuan tentang organisme perusak rotan diperlukan karena banyak sekali jenis organisme yang dapat menyerang rotan. Selain itu, tiap jenis organisme menimbulkan bentuk kerusakan yang berbeda dan memerlukan kondisi lingkungan tertentu pada saat menyerang rotan.

Secara sederhana, semua organisme perusak rotan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: jamur (fungi) dan serangga (insects). berdasarkan kerusakan yang ditimbulkannya pada rotan, jamur dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: jamur pewarna, jamur pelunak dan jamur pelapuk. Sedangkan serangga berdasarkan kondisi lingkungan rotan saat diserang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: bubuk rotan basah (pin hole borer) dan bubuk rotan kering (powder post beetle).

Jamur pewarna dan pelapuk berasal dari kelas Ascomycetes dan Basidiomycetes. Sebagaimana namanya, serangan jamur pewarna menimbulkan warna berupa bintik-bintik atau bercak-bercak kebiruan, coklat, sindur, merah, ungu, dan sampai biru kehitaman sehingga dapat menurunkan mutu penampilan rotan. Jamur pewarna ini tidak hanya menodai permukaan (kulit) rotan, tetapi juga masuk kedalam jaringan rotan. Dalam jangka waktu 24 jam, hypha jamur dapat menjangkau sejauh sekitar 5,1 mm ke dalam jaringan rotan. Jamur pewarna yang sudah dijumpai pada rotan berasal dari genus Ceratocystis dan Diploida (Martono 1990a).

Page 93: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

74

Jamur pewarna tidak menyerang selulosa dan lignin penyusun dinding sel tetapi hidup dari zat pengisi sel, terutama sel rotan yang masih hidup, yaitu sel–sel parenkim. Oleh karena itu, jamur pewarna menyerang rotan dalam kondisi segar, terutama yang mempunyai kadar air berkisar 100% (Toni, 1976). Kadar air dalam rotan sangat erat hubungannya dengan serangan jamur pewarna; semakin tinggi kadar air dalam rotan segar semakin aktif serangan jamur pewarna. Cumin (1933) dan Holtam (1966) melaporkan, bahwa pertumbuhan jamur biru ini terjadi pada kadar air 23 – 150% dan tumbuh baik pada kadar air 35 – 120% dan suhu 22 – 300C. Selanjutnya Salita (1985) mengatakan bahwa pertumbuhan jamur biru tersebut terhambat pada kadar air dibawah 20% dan suhu diatas 400C. Dua jenis jamur yang bertanggung jawab terhadap pewarnaan adalah Ceratocystis filiformis dan C. minuta. Jamur yang disebut pertama menyebabkan pewarnaan lebih berat karena penetrasinya cukup dalam, sedangkan C. minuta menyerang di permukaan rotan (Casin, 1975). Oleh karena jamur pewarna tidak menyerang dinding sel maka serangannya tidak menurunkan kekuatan rotan seperti keteguhan lentur, kekerasan dan sifat mekanis lainnya tetapi sangat menurunkan mutu rotan (Roldan, 1954).

Serangan jamur pelapuk menyebabkan rotan yang diserang menjadi regas atau lapuk. Jamur pelapuk biasanya menyerang rotan yang sudah kering tetapi sering mengalami kebasahan, misalnya penggudangan yang kurang sempurna atau dalam pemakaian sering terkena air. Jamur pelapuk dapat pula menyerang rotan segar yang ditumpuk terlalu lama dalam kondisi lembab di tempat terbuka, misalnya menunggu saat pengangkutan di hutan atau saat pengolahan di pabrik. Jamur pelapuk berasal dari kelas Basidiomycetes ini memiliki kemampuan menghancurkan selulosa dan lignin sehingga kekuatan rotan, seperti keteguhan lentur, kekerasan dan keteguhan tekan akan berkurang.

Beberapa jenis jamur dari kelas ini hanya mampu merombak selulosa sehingga warna rotan berubah menjadi coklat sesuai warna lignin yang disisakannya. Oleh sebab itu disebut brown rot. Beberapa jenis lainnya menyebabkan warna rotan menjadi lebih putih dan pucat sebagai akibat perombakan lignin dan selulosa, sehingga disebut white rot. Serangan brown rot biasanya lebih cepat menurunkan kekuatan daripada white rot. Di antara kelompok jamur pelapuk yang sering dijumpai menyerang rotan adalah Schizophyllum commune Fr. , Dacryopinax spathularia (Schw) dan Pyenoporus sanguinius (Fr) Karst. (Jasni dan Sumarni, 1999). Salah satu kasus serangan jamur pada rotan hasil panen yang ditumpuk terlalu lama disajikan pada Gambar 25. Pada gambar tersebut, rotan yang

Page 94: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

75

diserang jamur pewarna dan pelapuk tampak bewarna gelap, abu-abu bahkan sampai hitam.

Gambar 25. Tumpukan rotan segar yang diserang jamur pewarna dan pelapuk

Bubuk rotan basah atau disebut juga pin hole borer adalah kumbang

Ambrosia yang berasal dari famili Scolytidae dan Platypdidae. Kumbang ini menyerang rotan segar, bahkan sudah dimulai dalam keadaan rotan rotan masih tumbuh berdiri sampai rotan dipanen. Serangan kumbang ini mengakibatkan rotan berlubang kecil-kecil (diameter 0,5 – 2,0 mm) dan berwarna kehitaman, sehingga akan menurunkan kualitas penampilan dan kekuatan rotan tersebut. Kumbang ini hanya berkembang sampai kadar air rotan turun di bawah 30%, di bawah 30% kumbang ini sulit untuk berkembang biak. Jenis yang umum ditemui adalah Arixyleborus granulifer, Platypus curtus dan Xyleborus perforans (Casin,1975).

Bubuk rotan kering atau disebut juga kumbang bubuk kering (powder post beetles) adalah serangga yang berasal dari famili Lyctidae dan Bostrycidae. Serangan bubuk rotan kering ditandai oleh adanya lubang gerek atau liang kembara yang dipenuhi bubuk halus (powder). Serangan dapat terjadi pada bahan baku rotan kering yang disimpan seperti rotan W&S dan bahan setengah jadi maupun penumpukkan komponen mebel selama beberapa bulan di gudang.

Salah satu suku Lyctidae yang sering menimbulkan kerusakan pada rotan adalah Lyctus sp. yang kecepatan penyerangannya sangat tinggi, yaitu dalam beberapa minggu rotan sudah hancur. Jenis bubuk lainnya yang umumnya menyerang adalah dari genus Dinoderus (Dinoderus minutus, Dinoderus brevis dan Dinoderus ocelaris) yang banyak tersebar di Asia Tropik.

Page 95: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

76

Dari tiga jenis bubuk tersebut, Dinoderus minutus merupakan jenis yang paling banyak dijumpai (Jasni, 1992; Imm, 1957; Nurjito, 1985 dalam Jasni 1999).

Salah satu jenis dari famili Bostrycidae yang sering ditemukan adalah Heterobostrychus aequalis yang membuat lubang pada permukaan rotan dan dari lubang itu dikeluarkan bubuk halus berwarna kekuningan (Ahmad, et al. 1985). Contoh rotan yang diserang bubuk rotan kering dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26. Serangan bubuk rotan kering pada rotan. Lyctus sp dan Dinoderus sp

(atas) , Heterobostrychus aequalis (bawah) B. Bahan Pengawet

Bahan pengawet adalah senyawa kimia atau predator yang mampu mencegah serangan organisme perusak rotan. Dengan demikian, istilah “bahan pengawet” selalu mengacu kepada senyawa kimia yang apabila diaplikasikan kepada rotan akan membuat rotan tidak disenangi atau repellent terhadap organisme perusak.

Jumlahnya saat ini sangat banyak dan bervariasi dalam sifat, harga, keefektifan dan kegunaannya. Namun, berdasarkan kegunaannya, secara umum bahan pengawet dapat dikelompokkan menjadi fungisida dan insektisida. Fungisida adalah bahan pengawet yang dalam pembuatannya ditujukan untuk mencegah jamur. Sedangkan insektisida ditujukan terutama untuk mencegah serangga. Nama umum untuk kedua bahan pengawet itu adalah pestisida.

Bahan pengawet atau pestisida dapat mengawetkan rotan karena bahan ini mampu mempengaruhi fungsi biologis organisme perusak.

Page 96: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

77

Fungsi biologis yang dipengaruhi adalah menghambat sistem kerja enzim atau hormon dalam tubuh organisme. Gangguan pada sistem kerja enzim akan menyebabkan perubahan fisiologis sehingga mungkin mematikan organisme perusak. Perubahan terhadap hormon biasanya menghambat telur untuk menetas atau tidak mampu membentuk turunannya atau biasa juga merubah strain menjadi tidak mampu menyerang rotan (Martono, 1990a).

Mengingat bahan pengawet bersifat racun tidak hanya terhadap jamur dan serangga tetapi juga pada binatang dan manusia maka bahaya yang mungkin ditimbulkannya haruslah dicegah. Menurut Martono (1990) agar penggunaan bahan pengawet untuk rotan menjadi efektif dan aman maka haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :

Bahan pengawet sudah mendapat izin penggunaan dari Komisi Pestisida. Tidak menyebabkan perubahan warna rotan, tidak menimbulkan bau tidak sedap dan tidak bersifat korosif. Tidak menyulitkan dalam finishing (cat, pelitur dan lain-lain) Tidak mengubah sifat kekuatan bahan, terutama kelenturan. Sifat fiksasi pada bahan rotan harus kuat, karena rotan selama pemakaian selalu bersinggungan dengan manusia. Masa proteksi cukup panjang. Tidak mengandung bahan yang sangat beracun bagi manusia dan ternak. Tidak bersifat persistent di alam.

Menurut Martawijaya (1988), berdasarkan pada komposisi kimia penyusunnya, bahan pengawet secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu : bahan pengawet larut air (water – borne presrvatives), bahan pengawet larut minyak (oil – borne preservatives) dan minyak pengawet (preservatives oils). Kelompok bahan pengawet tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Bahan pengawet larut air

Kelompok pengawet ini terbuat dari senyawa kimia dalam bentuk garam anorganik, baik tunggal atau campuran. Bahan pengawet selain dapat masuk ke dalam rongga sel dapat juga menembus dinding sel

Page 97: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

78

dengan cara difusi. Dengan adanya proses difusi ini maka rotan basah lebih disukai diawetkan dengan bahan pengawet ini karena larutan garam akan menembus lebih dalam pada rotan basah ketimbang rotan kering. Pada rotan kering, bahan pengawet akan mengendap lebih cepat.

Di pasaran bahan pengawet ini diperdagangkan dalam bentuk tepung, pasta atau larutan pekat. Dalam pemakaiannya bahan terlebih dahulu dilarutkan dalam air pada konsentrasi tertentu. Karena dilarutkan dalam air, nampaknya bahan pengawet ini mudah luntur jika kena air atau menguap bersama air. Namun demikian tidak seluruhnya luntur karena tergantung kepada jumlah yang terfiksasi di dalam rotan. Untuk meningkatkan jumlah yang terfiksasi maka penetrasi harus tinggi yang diatur melalui komposisi bahan, cara aplikasi dan konsentrasi.

Beberapa contoh bahan pengawet larut air yang termasuk garam anorganik tunggal adalah garam sublimat (HgCl2), sulfat tembaga (CuSO4), bifluorida (NH4. HF). dan campuran asam borat (H3BO3) dengan borax (Na2B4O7. 10 H2O). Sedangkan contoh garam anorganik campuran dapat digolongkan menjadi :

FCAP (campuran garam flour/chrom/arsen/phenol), dengan jenis – jenis bahan pengawet antara lain tanalth, impralit, sarmix dan lain lain CCA (campuran garam tembaga/chrom/arsen), contoh jenis bahan pengawet antara lain wolmanit, diffusol, impralit dan lain lain CCB (campuran garam tembaga/chrom/boron), CCF (campuran garam tembaga/chrom/fluor) dan BFCA (campuran garam boron/fluor/chrom/arsen) dengan jenis bahan pengawet koppers.

2. Bahan pengawet larut minyak dan minyak pengawet

Dalam aplikasinya, bahan pengawet ini dapat masuk ke dalam rongga sel tetapi tidak dapat menembus dinding selnya. Namun, apabila bahan pengawet telah masuk ke dalalam rongga sel tidak mudah luntur dan bersifat menolak air (water repellent). Agar bahan pengawet dapat masuk ke dalam rongga sel maka rotan harus dalam keadaan kering. Pada kadar air rotan berada di atas titik jenuh serat maka air yang terdapat dalam rongga sel akan menghambat masuknya bahan pengawet ke dalam rongga.

Kelompok bahan pengawet larut minyak, antara lain adalah tributulene acetat, phoxin, pyrimyphos, permetrin, sipemetrin dan lain – lain.

Page 98: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

79

Sedangkan minyak pengawet antara lain adalah kreosot yang terbuat dari hasil penyulingan terbatu bara (coal tar). Minyak kreosot untuk pengawetan diperoleh dari fraksi – fraksi yang disuling pada suhu antara 200 – 400°C. Berbagai jenis bahan pengawet dapat dihasilkan dari fraksi tersebut. Kreosot kurang layak dipakai untuk pengawetan rotan karena dapat mengotori bahan yang diawetkan, berbau kurang sedap dan sukar dicat.

C. Pengawetan

1. Pengawetan sementara Untuk mencegah rotan diserang organisme perusak maka

pengawetan seharusnya dilakukan segera setelah panen. Pengawetan pada tahap ini disebut sebagai pengawetan sementara. Pengawetan sementara atau disebut juga pencegahan sementara (prophylactic treatment) dimaksudkan untuk menghindarkan rotan segar dari serangan organisme perusak, terutama jamur pewarna dan bubuk rotan basah atau kumbang ambrosia. Kata “sementara” berarti hasil pengawetan hanya mampu menahan serangan organisme perusak sampai rotan mencapai kadar air kering udara. Artinya, bahan pengawet akan efektif dalam selang beberapa minggu (biasanya 4 minggu) atau sampai selesainya proses pengolahan tahap awal (pasca panen). Tindakan pengawetan ini sangat tepat bila dilakukan pada rotan yang baru dipanen atau setelah pembersihan duri dan kelopak serta pemotongan batang menjadi potongan–potongan dengan panjang tertentu (3 – 6 m). Pengawetan bisa dilakukan dengan cara–cara sederhana dan mudah seperti perendaman, pelaburan atau penyemprotan.

Pada dasarnya, apabila rotan segar hasil panen dapat segera diangkut ke tempat pengolahan lalu di proses dan dikeringkan maka pemberian bahan pengawet untuk pengawetan sementara tidak perlu dilakukan. Akan tetapi mengingat kondisi pemungutan rotan pada hutan alam maka pengumpulan dan pengangkutan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pencegahan sementara seharusnya dikerjakan di hutan atau di tempat pengumpulan sementara di tepi hutan.

Jenis bahan pengawet yang digunakan untuk pencegahan jamur pewarna biasanya berbeda dengan bahan pengawet untuk pencegahan bubuk rotan basah atau kumbang ambrosia. Namun demikian, secara praktis, bila kedua bahan ini dapat–campur (compatible) maka dalam pelaksanaannya dapat dicampurkan. Beberapa jenis bahan pengawet yang umum digunakan dewasa ini dapat dilihat pada Tabel 21.

Page 99: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

80

Tabel 21. Jenis bahan pengawet untuk rotan

Tujuan/Nama dagang Komposisi bahan aktif Konsentrasi

yang dianjurkan (%)

A. Untuk pencegahan jamur

1. Enblue 110 EC Metilen bistiosianat (MBT)108 gram/liter

1,5

2. Enblue 100/100 EC Metilen bistiosuanat 100 gram/liter 2 – tiosianometil tiobenzotianit 100 gram/liter

1,0

3. Microcide 100 EC Metilen bistiosianat 100 gram/liter

1,5

4. Basiblue 100 EC Metilen bistiosianat 101 gram/liter

2,0

5. Celebrite 300 WSC Metilen bistiosianat 98 gram/liter Dietil dimetil amonium chlorit 149,9 gram/liter Alkohol dimetilbenzil amonium chlorit 104,9 gram/liter

2,0

6. Defence 200/130 WSC

Azakonisol 200 gram/liter Karbendazim 131,31 gram/liter

2,0

7. Borax Boraks Asam borat

10,0

B. Untuk pencegahan serangga

1. Brash 25 EC Sihalotrin 25 gram/liter 1,0 2. Cislin 25 EC Deltametrin 25 gram/liter 0,5 3. Demone 100 EC Permetrin 100 gram/liter 0,5 4. Dragnet 100 EC Cypermetrin 300 gram/liter 0,5 5. Lantreks 400 EC Chlorophyrifos 400 gram/liter 1,0

Sumber : Jasni dan Martono (1999) dan Rachman et al. (1999)

Page 100: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

81

Penelitian pengawetan sementara telah dilakukan pada rotan segar, berdiameter besar, jenis balukbuk (Daemonorops sp) dengan cara perendaman selama 30 menit (Sumarni dkk., 1993). Bahan pengawet yang digunakan adalah campuran MTB (metilen bistiosianat) 108 gram/liter dan chlorphyrifos 400 gram/liter yang dilarutkan dalam air masing–masing pada konsentrasi berkisar antar 1 – 4%. Contoh rotan hasil pengawetan sementara sebagian disimpan di ruang terbuka di bawah atap dan sisanya digoreng, lalu disimpan di tempat yang sama.

Efektifitas fungisida dinilai melalui pengamatan perubahan warna penampang lintang (bontos) contoh uji. Perubahan warna dihitung berdasarkan perbandingan luas bidang yang mengalami pewarnaan dan luas bontos dinyatakan dalam persen. Suatu fungisida dinyatakan efektif bila pewarnaan pada bontos yang diberi bahan pengawet kurang dari 5% dan pada kontrol lebih dari 20%. Untuk mengetahui masa efektif atau masa proteksi fungisida maka pengamatan dilakukan secara periodik tiap dua minggu. Berdasarkan masa proteksi ditetapkan kelas efikasi bahan pengawet seperti pada Tabel 22.

Tabel 22. Kelas efikasi bahan pengawet Masa proteksi (minggu) Kelas efikasi

0 – 2 Kurang 2 – 4 Sedang 4 – 6 Cukup 6 – 8 Baik

Sumber : Martono (1990)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis bahan pengawet dapat–campur (compatible) dan efektif menahan serangan jamur biru maupun kumbang ambrosia. Hal ini ditunjukkan oleh persentase pewarnaan pada bontos yang diawetkan (tidak digoreng dan digoreng) adalah 0% selama delapan minggu. Sedangkan, pewarnaan pada rotan yang tidak diawetkan (kontrol) dan tidak digoreng adalah 71 – 76% sampai dengan minggu kedua. Pewarnaan meningkat menjadi 100% pada minggu ketiga dan seterusnya. Bagi rotan kontrol yang digoreng, pewarnaan dapat dipertahankan pada 48% sampai dengan minggu kedua, tetapi meningkat menjadi 95% pada minggu keempat dan menjadi 100% pada minggu seterusnya. Dengan demikian bahan pengawet yang digunakan termasuk kelas efikasi baik.

Page 101: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

82

2. Pengawetan permanen Pengawetan permanen dimaksudkan, terutama untuk mencegah

rotan terhadap serangan bubuk rotan kering. Cara pengawetan yang umum dilakukan adalah dengan perendaman, pelaburan atau penyemprotan. Bahan rotan yang diawetkan adalah rotan kering, seperti rotan bulat kering atau rotan WS, rotan polis, rotan kulit, rotan hati, komponen barang jadi atau barang jadi yang akan disimpan di gudang. Oleh karena itu, pengawetan biasanya dilakukan di industri pengolahan.

Penelitian rotan polis jenis batang (Daemonorops rubusta Warb.), diameter sekitar 3 cm telah dilakukan oleh Sumarni (1994) dengan perendaman selama 20 menit dalam larutan bahan pengawet chloropyrofos 400 gram/liter yang dilarutkan masing–masing dalam air dan minyak pada konsentrasi 1 – 5%. Setelah perendaman sebagian rotan dikukus (steaming) untuk memudahkan pembengkokan dan sisanya ditiriskan. Selanjutnya, rotan yang diawetkan ditulari dengan bubuk rotan kering Heterobostrychus aqualis Watt. dan dibiarkan dalam ruang pengujian selama 6 minggu. Keberhasilan pengawetan ditentukan oleh derajat proteksi dan mortalitas serangga atau bubuk rotan kering. Derajat proteksi ditetapkan dengan skala seperti pada Tabel 23. Sedangkan mortalitas serangga adalah perbandingan serangga yang mati dan jumlah serangga awal yang ditularkan, dinyatakan dalam persen. Tabel 23. Derajat proteksi bahan pengawet

Kondisi contoh uji

Kondisi serangan

Persentase serangan (%) Nilai

Hampir utuh Tipis 5 100 Terserang ringan Nyata 6 – 15 90 Terserang sedang Tembus ke

dalam 16 – 50 70

Terserang hebat Meluas di dalam 51 – 90 40 Hancur Menyeluruh 91 – 100 0

Catatan : Pengawetan berhasil jika derajat proteksi rotan kontrol kurang dari 70. Sumber : Sumarni (1994)

Hasil penelitian di atas menunjukkan, bahwa bagi rotan yang tidak akan dikukus, bahan pengawet chloropyrifos harus dilarutkan dalam air untuk mengawetkan rotan tersebut, karena dengan cara ini mampu

Page 102: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

83

mencapai derajat proteksi 97,52% dan mortalitas 100%. Sedangkan bagi rotan yang akan dikukus bahan pengawet perlu dilarutkan dalam minyak untuk mengawetkan rotan tersebut, agar mencapai derajat proteksi 95,48% dan mortalitas 100%. Pada penelitian ini tercatat bahwa derajat proteksi rotan kontrol adalah 66.

Penelitian dengan pola yang sama telah dilakukan pula dengan cara perendaman selama 30 menit dalam cairan bahan pengawet permetrin 36,8% yang dilarutkan dalam air pada konsentrasi 0,15 – 1,50% (Sumarni, 1994a). Setelah perendaman sebagian rotan dikukus dan sisanya ditiriskan. Selanjutnya, rotan ditulari dengan bubuk rotan kering Dinoderus minutus Febr sebanyak 50 ekor pada setiap contoh uji. Keberhasilan pengawetan dinilai melalui retensi, derajat proteksi dan mortalitas. Retensi adalah jumlah bahan pengawet yang diserap oleh rotan dinyatakan dalam kilogram per meter kubik (kg/m3) atau dengan rumus: (Bl – Bo) x K R = V di mana, R = retensi, kg/m3; Bo = berat contoh rotan awal, gr; Bl =

berat rotan sesudah diawetkan, gr; K = konsentrasi bahan pengawet, %; V = volume bahan rotan, cm3.

Hasil penelitian di atas melaporkan, bahwa retensi rata – rata

bahan pengawet pada rotan yang tidak dikukus mencapai 0,36 kg/m3 dan pada rotan yang dikukus retensi menjadi 0,31 kg/m3 atau turun sekitar 14%. Rotan yang tidak akan dikukus dapat direndam dalam permetrin pada konsentrasi 0,15% karena mortalitas dan derajat proteksi telah mencapai 100%. Sedangkan derajat proteksi kontrol 50. Rotan yang akan dikukus harus direndam dalam permetrin pada konsentrasi 0,30%.

Sumarni dan Ismanto (1994) telah mengawetkan rotan untuk mencegah serangan kumbang bubuk kering dengan perendaman selama 20 menit dalam campuran bahan pengawet boraks 35,5%, asam borat 35,3% dan polibor 28,4% pada konsentrasi 1 – 5%. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rotan yang diawetkan dapat mencegah serangan bubuk rotan kering setelah delapan bulan pengamatan, baik rotan itu dikukus maupun tidak dikukus.

Page 103: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

84

Hadikusumo (1990) melaporkan bahwa untuk mencegah serangan kumbang bubuk, rotan dapat diawetkan dengan campuran prusi dan sevin masing–masing pada konsentrasi 6% dan 2 – 8%. Hasilnya menunjukkan bahwa selama pengamatan empat bulan tidak ditemui serangan kumbang bubuk pada rotan yang diawetkan.

Page 104: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

85

VII. STANDARISASI MUTU

Sejak zaman pendudukan kolonial Belanda sampai dengan dua

dekade setelah kemerdekaan, produk rotan Indonesia telah menguasai pasaran dunia. Namun, nilai dagangnya tidak banyak dinikmati oleh produsen dan rakyat Indonesia. Hal ini karena: pertama, produk rotan hampir seluruhnya berupa rotan asalan; kedua, standar mutu produk rotan yang berlaku waktu itu masih sangat sederhana dan lebih banyak ditentukan oleh konsumen di luar negeri. Akibatnya, produsen enggan meningkatkan mutu produknya, sehingga menyerah pada keadaan dan harus puas dengan harga yang rendah (Yudodibroto, 1984).

Oleh karena standarisasi mutu rotan demikian pentingnya maka mulai tahun 1980 dikeluarkan peraturan pengujian rotan Bulat Indonesia oleh Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Pengujian rotan ini adalah untuk produk rotan asalan, rotan bulat WA dan rotan ketam kulit. Pengujian dilakukan secara visual. Kelas mutu dibagi menjadi tiga, yaitu: mutu utama, mutu satu dan mutu dua. Syarat mutu terdiri dari ukuran panjang, kekerasan batang, warna dan cacat. Standar produk rotan yang pertama ini merupakan acuan dalam perkembamgan standarisasi rotan di Indonesia.

Dewasa ini sistem standarisasi rotan yang berkembang adalah sistem uji visual atau pengujian secara organoleptik yang didasarkan pada intensitas cacat pada sepotong rotan. Sistem uji tekan (stress grading), seperti pada kayu belum berkembang sama sekali pada rotan, walaupun penelitian kearah itu sudah dimulai (Rachman, 1996). Berdasarkan SNI 01-7254-2006 (Anonim, 2006), pada sistem uji visual, rotan dikelompokkan menjadi sembilan sortimen, yaitu: rotan asalan, rotan bulat WS, rotan bulat pendek, rotan belahan, rotan kikis buku, rotan bulat kupasan, kulit rotan, hati rotan dan anyaman rotan (webbing).

Standarisasi ini merupakan pedoman dilapangan untuk diterapkan pada pengolah, pedagang dan produsen bahan baku rotan, sehingga dapat diterima oleh pasar internasional. A. Uji Visual 1. Rotan asalan

Rotan asalan yang akan diuji dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu rotan besar dan rotan kecil. Rotan besar adalah rotan

Page 105: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

86

berdiameter sama dengan atau lebih besar dari 16 mm sedangkan rotan kecil adalah rotan berdiameter kurang dari 16 mm. Kepada kedua kelompok rotan ini diklasifikasikan mernjadi 4 kelas mutu, yaitu: A, B, C dan D.

Persyaratan mutu terdiri dari syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum setiap potong rotan yang diuji harus relatif lurus, relatif keras dan tidak terdapat keriput. Adapun syarat khusus untuk rotan asalan diameter besar dan diameter kecil tidak berbeda kecuali panjang, seperti pada Tabel 24.

Tabel 24. Syarat khusus untuk mutu rotan asalan

Karakteristik Satuan M u t u A B C D

1. Panjang:

- Rotan besar m 2,70 2,70 2,70 1,0

- Rotan kecil m 4,0 4,0 4,0 3,0

2. Cacat ringan 1) % Maksimum10 %

panjang

Maksimum 25 %

panjang

Maksimum 50 %

panjang

-

3. Cacat sedang 2) % x Maksimum 5% panjang

Maksimum 10 %

panjang

-

4. Cacat berat 3) % x x x Maksimum10 %

panjang

Keterangan : x = Tidak diperkenankan; - = tidak dipersyaratkan; 1) adalah cacat yang terdiri dari alur kulit, lubang gerek kecil, kulit mengelupas, retak kulit, kulit tergores, parut buaya dan jamur pewarna; 2) adalah mata pecah dan 3) adalah cacat yang pengaruhnya relatif berat terhadap mutu, terdiri dari keriput, lapuk, pecah, patah dan kulit mengelupas (pada rotan umbulu). Mata pecah adalah luka besar berwarna hitan pada potongan rotan.

Page 106: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

87

2. Rotan bundar WS Syarat umum adalah kadar air 20%, panjang 1,0 m, batang

lurus, elastis dan keras dan tidak diperkenankan adanya keriput. Syarat khusus seperti pada Tabel 25.

Tabel 25. Syarat khusus untuk mutu rotan bundar WS

No. Karakter Satuan Mutu A B C D

1. Cacat ringan 1) % Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 25%

panjang

Maksimum50 %

panjang

-

2. Cacat sedang 2) % Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 10 %

panjang

Maksimum10 %

panjang

-

3. Cacat berat 3) % x x x Maksimum 10 %

panjang

Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, kulit mengelupas (Khusus rotan umbulu), kulit tergores, pecah kulit, gosong, , cerah tidak merata, bontos tidak siku; 2) mata pecah; 3) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas (selain umbulu) dan bontos pecah.

3. Rotan bulat pendek

Syarat umum adalah batang lurus, elastis dan keras; bontos dipotong siku; dan tidak boleh adanya keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti pada Tabel 26.

Page 107: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

88

Tabel 26. Standar mutu rotan bulat WS

No. Karakter Satuan MutuA B C D

1. Cacat ringan 1) % Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 25 %

panjang

Maksimum 50 %

panjang

-

2. Cacat sedang 2) % Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 10 %

panjang

-

3. Cacat berat 3) % x x x Maksimum 10 %

panjang Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, kulit

mengelupas (umbulu), pecah kulit, gosong, kulit tergores, cerah tidak merata, bontos tidak siku; 2) mata pecah; 3) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas (selain umbulu) dan bontos pecah.

4. Rotan belahan Syarat umum adalah belahan rotan harus lurus, kedua ujungnya dipotong siku, warna dasar menurut karakteristik tiap jenis rotan dan cerah merata pada kulit sepanjang belahan dan tidak diperkenankan adanya keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 27. Tabel 27. Persyaratan mutu rotan belahan kupasan

No. Karakter Satuan Mutu

A B C D 1. Panjang m 4 – 6 3 – 3,95 1 – 2,95 1 2. Cacat ringan 1) % Maksimum

10 % panjang

Maksimum 25 %

panjang

Maksimum 50 %

panjang

-

3. Cacat sedang 2) % Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 10 %

panjang

-

4. Cacat berat 3) % x x x Maksimum 10 %

panjang Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, kulit

mengelupas (umbulu), pecah kulit, gosong, kulit tergores, cerah tidak merata, bontos tidak siku; 2) mata pecah; 3) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas (selain umbulu) dan bontos pecah.

Page 108: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

89

5. Rotan kikis buku

Syarat umum adalah panjang 1 m, batang lurus, elastis dan keras, bontos dipotong siku, buku telah dikikis sedemikian rupa sehingga ketebalan buku sama dengan ketebalan ruas-ruas yang berhubungan denganya dan tidak diperkenankan adanya keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 28. Tabel 28. Persyaratan mutu rotan kikis buku

No. Karakter Satuan Mutu

A B C D 1. Cacat ringan 1)

% Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 25 %

panjang

Maksimum 50 %

panjang

-

2. Cacat berat 2)

% x x x Maksimum 10 %

panjang

Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, kulit mengelupas (umbulu), pecah kulit, gosong, kulit tergores, cerah tidak merata, bontos tidak siku; 2) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas (selain umbulu) dan bontos pecah.

6. Rotan bundar kupasan

Syarat umum adalah panjang 1m, kulit ari dan buku terpoles halus sepanjang batang, warna cerah merata sepanjang batang, kedua bontos potong siku dan tidak ada keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 29. Tabel 29. Persyaratan mutu rotan bundar kupasan

No. Karakter Satuan Mutu

A B C D 1. Cacat ringan 1)

% Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 25%

panjang

Maksimum 50 %

panjang

Maksimum 75 %

panjang 2. Cacat berat 2)

% x x x Maksimum 10 %

panjang Keterangan : 1) perubahan warna, lubang gerek kecil, serat terlepas, parut buaya, cerah

tidak merata, bontos tidak siku; 2) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, lapuk, patah, dan bontos pecah

Page 109: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

90

7. Kulit rotan

Syarat umum adalah kedua ujung dipotong siku dan tidak ada keriput. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 30.

Tabel 30. Persyaratan mutu kulit rotan

No. Karakter Satuan Mutu

A B C D 1. Panjang m 3,5 2,25 1 <1 2. Cacat ringan 1)

% x Maksimum 25 %

panjang

Maksimum 50 %

panjang

Maksimum 75 %

panjang 3. Cacat sedang2)

% x x x x

4. Cacat berat 3)

% x x x x

Keterangan : 1) perubahan warna, serat terlepas, parut buaya, kulit mengelupas, pecah kulit, kulit tergores, gosong dan bontos tidak siku; 2) mata pecah; 3) keriput, pecah ujung, pecah tengah, pecah buku, alur kulit, busuk, lapuk, patah, kulit mengelupas dan bontos pecah

8. Hati rotan Syarat umum adalah kedua ujung dipotong siku. Adapun syarat khusus seperti Tabel 31.

Tabel 31. Persyaratan khusus mutu hati rotan

No. Karakter SatuanMutu

A B C D 1. Panjang m 3,5 2,25 1 <1 2. Serat lepas, salah warna

% x Maksimum 25 %

panjang

Maksimum 50 %

panjang

Maksimum 75 %

panjang 9. Anyaman rotan (webbing) Syarat umum adalah ukuran dan bentuk tidak dibatasi; bebas dari cacat serat lepas, lubang gerek kecil, salah warna, parut buaya, pecah kulit, keriput, mata pecah, kulit mengelupas, patah, lapuk, busuk dan perpaduan tidak serasi. Adapun syarat khusus adalah seperti Tabel 32.

Page 110: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

91

Tabel 32. Persyaratan khusus mutu anyaman rotan

No. Karakter Satuan Mutu

A B C Warna dan cacat tidak merata

% Maksimum 10 %

panjang

Maksimum 25 %

panjang

Maksimum 50 %

panjang

B. Mutu Rekayasa

Dalam standarisasi rotan dengan sistem uji visual yang berlaku sampai saat ini, rotan dinilai secara kualitatif pada sepanjang dan sekeliling potongan rotan. Dalam penilaian ini termasuk pula kemampuan mekanis rotan dengan indikator ”kekerasan ” dan ”elastisitas”. Sejauh ini penaksiran kemampuan mekanis tersebut belum dapat menjamin kesesuaian dengan kondisi pemanfaatannya, terutama dalam memenuhi kebutuhan fungsional, baik sebagai bahan baku dalam pengolahan maupun sebagai pengguna akhir (Rachman, 1996).

Sebagai upaya penyempurnaan standarisasi rotan sudah seharusnya disusun satandarisasi mutu rekayasa (engineering quality) di samping mutu visual yang sudah ada. Dengan adanya standarisasi ini maka penggunaan jenis rotan akan semakin luas karena dasar pengujian bukan lagi pada penampakan tetapi berorientasi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan fungsional (pemanfaatan). Oleh karena itu, penetapan mutu didasarkan kepada indikator sifat fisis dan mekanis rotan.

Untuk kayu Indonesia telah digunakan Berat Jenis (BJ) sebagai indikator mutu rekayasa karena BJ mempunyai hubungan yang erat dengan sifat mekanis seperti modulus patah dan keteguhan tekan. Berdasarkan BJ maka mutu rekayasa kayu Indonesia dibagi menjadi lima kelas, disebut sebagai kelas kuat kayu. Rachman (1996) melaporkan bahwa Modulus Elastisitas (MOE) rotan dapat dijadikan indikator mutu rekayasa karena MOE rotan mempunyai hubungan yang erat dengan keteguhan lentur maksimum. Hubungan tersebut berbentuk regresi linier positif yang signifikan, seperti ditunjukkan pada Gambar 27. Artinya, semakin tinggi MOE maka keteguhan lentur maksimumnya meningkat pula. Keunggulan MOE sebagai indikator mutu rekayasa ditunjukkan pula oleh hubungannya yang erat dengan keteguhan pada batas elastis bahkan dengan beberapa sifat anatomi, yaitu kelangsingan serat dan sifat kimia, yaitu kandungan silika. Di samping itu pengujian Modulus Elastisitas

Page 111: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

92

dapat dilakukan dengan metode non destructive test sehingga tidak merusak integritas rotan yang diuji.

Berdasarkan MOE maka jenis – jenis rotan Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas mutu, nilai Modulus Elastisitas lebih besar dari 20.300 kg/cm2, 20.300 – 11.100 kg/cm2 dan kurang dari 11.100 kg/cm2. Pada Gambar 27, satuan yang digunakan adalah Megapascal (Mpa) yang dapat dikonversi menjadi 1/10 dari satuan kg/cm2. Dengan demikian, klasifikasi mutu rotan berdasarkan Modulus Elastisitas, bila menggunakan satuan Mpa, yaitu : mutu I lebih besar dari 2.030 Mpa, mutu II 2.030 – 1.110 Mpa dan mutu III kurang dari 1.110 Mpa. Tegangan Lentur Maksimum (Mpa) Gambar 27. Hubungan MOE dengan lentur maksimum dan garis batas mutu

rekayasa rotan

Page 112: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

93

VIII. PENUTUP

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka tampak bahwa

betapa luasnya ilmu pengetahuan dan teknologi rotan, walaupun yang diuraikan hanya salah satu bagian dari pohon rotan, yaitu batang (Stem). Namun demikan, dari apa yang telah diuraikan masih saja ada bagian di sana-sini yang belum terungkap karena keterbatasan informasi. Oleh karena itu, terbitan pertama ini perlu kiranya secara terus menerus disempurnakan dan dikembangkan di kemudian hari agar batang dari pohon palm-memanjat yang unik ini dapat selamanya menghiasi kehidupan umat manusia.

Dari apa yang telah terungkap dalam buku ini, pantas bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumberdaya rotan terkaya di dunia baik dalam keanekaragaman jenis maupun jumlah produksi. Tetapi, kekayaan yang tinggi itu masih memerlukan kalkulasi yang lebih akurat dengan cara inventarisasi rotan secara nasional. Sifat dasar rotan mengungkapkan bahwa tumbuhan famili palmeae dari kelas monocotyledones ini ternyata mempunyai kharakter yang sangat berbeda dengan kayu walaupun sama-sama berasal dari tanaman berkayu. Sifat ini sangat penting diketahui, karena mempunyai implikasi yang luas dalam pengolahan, pengawetan dan standarisasi mutu rotan. Bahkan sifat dasar, pengolahan dan pengawetan merupakan pengetahuan pokok dalam upaya peningkatan mutu dan kunci keberhasilan peningkatan daya saing produk rotan.

Dalam buku ini telah dicoba merangkum semua aspek yang berkaitan dengan upaya-upaya agar batang rotan dapat dimanfaatkan secara lebih baik batang dari pohon rotan. Di luar batang, pohon rotan masih dapat memberi manfaat yang tinggi dalam kehidupan manusia, yaitu buah, pucuk dan akar. Bahan-bahan ini telah digunakan sebagai campuran dalam pembuatan cat, kosmetik, sumber makanan dan obat-obatan.

Page 113: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

94

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi,S.S. 1990. Kimia Kayu. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen P & K. PAU Ilmu Hayat. IPB Bogor.

Ahmad,N.Y., P.Tho and L.T.Hong. 1985. Pest and Diseases of Rattan Products in Pinumsular Malaysia. Proceeding of Rattan Seminar. Kuala Lumpur. Forest Research Institute , Malaysia.

Alrasyid,H. 1989. Teknik penanaman rotan. Pusat Litbang Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Tidak diterbitkan

________dan Y. Dali. 1986. Prospek Budidaya Jenis rotan Potensial. Maklah Lokakarya Nasional 15 - 16 Desember. Departemen Kehutanan

________.1979. Standar Industri Indonesia. Mutu dan Cara Uji Tepung Gaplek. Departemen Perindustrian Republik Indonesia, SII 70 – 1979.

________.1982. Laporan inventarisasi potensi rotan di 6 kelompok hutan Cabang Dinas Kahutanan Kaltim. Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah V, Kalimantan Timur. Samarinda.

________.1982. Laporan survey inventarisasi potensi hasil hutan ikutan (non kayu) di Kalimantan. Laporan kerjasama Balai Planologi Kehutanan III, Direktorat Bina Produksi Kehutanan. Banjarbaru

________. 1985 Pedoman peningkatan mutu rotan. Direktorat Tertib Peredaran Hasil Hutan. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta

________. 1985. Studi pengembangan tanaman rotan di Jawa Barat. Laporan Kerjasam Lembaga Penelitian IPB dan Direktorat Jenderal Rebiosasi dan Rehabilitasi Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

________. 1986 Himpunan Kertas Kerja dalam Raker HPRI (Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia). Jakarta.

_______. 1988. A Study on the prosfects on the rattan industry and market PT. Capricorn Indonesia Consult. Inc. Jakarta. Tidak diterbitkan.

Page 114: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

95

________. 1989. Pedoman inventarisasi Rotan, dalam ”Himpunan Peraturan dan Perundang – undangan Tentang Rotan”, halaman 44 – 83. Pusat dokumentasi dan informasi Manggala Wanabakti. Jakarta.

________. 1991. SNI Seri 19 – 9000 Manajemen Mutu. Standar Nasional Indonesia. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.

_______.1996. Laporan inventarisasi potensi rotan di kelompok hutan Tojo dan Wanari, Palu. Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah VI, Sulawesi Utara. Manado.

________. 2005. Rotan. Dinas Kehutanan Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Tidak diterbitkan.

_______.2006. Standar Nasional Indonesia. Badan Standarisasi Nasional (BSN), SNI 01-7254-2006.

Badhwar, R.L. 1961. Collection and processing of canes. Indian Forester 87 (A). 257 – 267. Kerala.

Basri, E., O.Rachman dan A.Supriadi. 1998. Pengupasan dan pemolisan rotan dalam keadaan basah dan kering. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (8) : 475 – 487. Puslitbang Hasil Hutan & Sosek. Bogor.

Bhat, K. M. dan P. K Thulasidas. 1989. Calamus metzianus Schlecht, Why this rattan breaks ?. Rattan Information Center Bulletin, 8 (1/4 ), 4 – 5. FRIM, . Malysia.

_______ dan M Verghese. 1989. Anatomical basis for the behaviour of rattan. Kerala Forest Research Institute. Kerala .

Bodig, J dan B. A, Jayne. 1982. Mechanical of Wood and Wood Composite. Van Nostrand Reinhold, Co. New York.

Chang, S. T., Y. S Huang dan W.J Ku. 1988. Use of SEM/EXA and IR in characterizing microscopic and chemical properties of rattan. For. Prod. Inds, 1988, 7 : 1. En caption.

Casin, R. F. 1975. Study on the proper utilization of rattan poles. Progress report, project No. 13. PCAR. Los Banos.

Cortes, R.T. 1939. Air seasoning of commercial rattan. The Philipines Journal of Forestry 8(4). Laguna.

Page 115: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

96

Cummins, J.E. 1933. Blue stain in Pinus radiate (insiquis) timber. Some premilinary exsperiments with case stock. Division of forest Products Reprint 14. p. 244 – 251.

Dali,J dan Y.Sumarna. 1986. Pengenalan jenis-jenis rotan Indonesia. Himpunan Diklat Penguji Rotan Kerjasama Puslitbang Hasil Hutan-PT. Sucofindo, Bogor. Tidak diterbitkan.

Darma,S. 1987. Pengaruh konsentrasi bahan pemutih kaporit dan kostik soda terhadap warna dan sifat mekanis beberapa jenis rotan. Skripsi Sarjana Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.

Dewi, H. H. 1999. Pengaruh waktu penggorengan dan jenis rotan terhadap mutu hasil pemolisan. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, Unwim. Bandung.

Dransfield, J. 1974. A short guide to rattan. SEAMEO, Regional center for tropical biology. Biotrop/TF/128. Bogor.

________. 1979. A manual of the rattan of Malay Peninsula. Malayan Forest Record No. 29. FRIM, Malaysia.

________. 1984. Prospect for lesser known canes. In : Proc. Rattan Seminar Kualalumpur. The RIC ( 1985 ) : 107 – 114.

Fengel, D dan G Wagener. 1984. Wood, Chemistry Ultrastructure and Reaction. Walter de Gruyter. New York.

Gunawan. 2002. Keragaan perdagangan rotan dan produk rotan Indonesia di pasar domestik dan international suatu analisis simulasi kebujakan. Disertasi. Program Doktor. Program pascasarjana. Institute Pertanian Bogor. Tidak dipubliksikan.

_______. 2005. Ketersediaan bahan baku dalam mendukung peningkatan ekspor produk rotan dan permasalahannya. Fasilitasi usaha bidang pemasaran dan produksi pelaku usaha hasil hutan non kayu (rotan). Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Jakarta.

Hadikusumo, S. A. 1988. Properties and potensial uses of unexploited rattan in Indonesian. Final Report Rattan Indonesian Project. 1984 – 1988. IRDC – and Departemen. of Forestry, Jakarta. p. 186 – 190.

Page 116: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

97

________. 1990. Sifat fisik – mekanik rotan dan teknik pengawetannya. Makalah Diskusi Hasil Penelitian Rotan. Kerjasama Pemerintah RI – IDRC, Canada. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

________. 1994. Eksploration of physical and mechanical properties of presently unusual rattan. Buletin Fakultas Kehutanan No. 25/1995. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

________ dan H Yudodibroto. 1985. Sifat – sifat fisis dan mekanis rotan – rotan yang tidak dipungut dari Propinsi Kalimantan Tengah. Proceeding Lokakarya Nasional Rotan. Departemen. Kehutanan – Badan Litbang Kehutanan – IRDC, Jakarta. p. 394 – 395.

Handayani, D. V. 1993. Pengaruh pengukusan, perendaman urea dan perendaman amoniak terhadap pelengkungan, dan sifat fisis mekanis rotan manau dan rotan batang. Skripsi. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Hardjo, S., O.Rachman., dan E. Sopianti. 1994. Kajian Pemutihan Rotan Batang (Calamus ornatus) dengan Berbagai Konsentrasi Bahan Kimia dan Cara Penggunaannya. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 4(1). FATETA, IPB. Bogor.

Hartono. 1998. Prospek industri rotan dan saran yang diperlukan. Maklah pada workshop tentang deregulasi rotan. Asmindo. Jakarta.

Haygreen, J. G. dan J. L Bowyer 1982. Forest Products and Wood Science. The Lowa State University Press, Ames. lowa.

Heyne,K. 1950. De nuttige planten van Indonesia. Leitgeverij W.Van Hoeve, S’Gravenhage/Bandung.

Hillis, W. E. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Spring Verlag. Berlin.

Holtam, B.W. 1966. Blue stain. Its effect on the wood of home grown conifer and suggested methos of control. Forestry Commision. Leafleat No. 53: 1-3.

Indrawati,L. 1993. Struktur Anatomi Beberapa Jenis Rotan. Skripsi S1 Jurusan THH Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.

Page 117: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

98

Jasni. 1992. Cara pengolahan rotan dan pecegahan serangan organisme pada rotan di Semarang dan sekitarnya. Prosiding dan Pengembangan Bioteknologi. Bogor. Hal 259 – 270.

______. 1999. Pencegahan bubuk Dinoderus minutus Farb. pada rotan batang (Daemonorops robusta Warb). Seminar Hasil-Hasil Penelitian Bidang Teknologi Hasil Hutan, Yokyakarta.

______ dan N,Supriana. 1999. The resistance of eight rattan species against the powder – post beetle Dinoderus minutus Farb. Proceeding of the 4th International Conference on the Development of Wood Science, Wood Technology and Forestry. FPRC, England.

______ dan D Martono. 1999. Pengawetan rotan asalan. Petunjuk Teknis. Pusat Litbang Hutbun. Bogor.

______ dan G. Sumarni. 1999. Pengetahuan Sifat Keawetan dan Penyebaran Jenis Rotan. Diktat Diklat Disainer Mebel Kayu dengan Bahan rotan non Paforit. Kerjasama Pusat Penelitian Hasil Hutan dengan Pengelola Dana Hasil Hutan. Direktorat Jenderal Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan, Bogor.

______. R. Damayanti dan T. Kalima. Atlas Rotan Indonesia. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

______, R. Damayanti. T. Kalima. J. Malik dan Aburachman. 2010. Atlas Rotan Indonesia. Jilid II. Pusat penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kahutan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

______ dan H. Roliadi. 2010. Daya Tahan 25 Jenis Rotan Terhadap Rayap Tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28 (1): 55-65. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

______ dan H. Roliadi. 2011.Daya Tahan 16 Jenis Rotan Terhadap Bubuk Rotan (Dinoderus minutus Fabr.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (2): 115-127. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

______. Krisdianto. T.Kalima dan Abdurachman. 2012 a. Atlas Rotan Indonesia. Jilid 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.

Page 118: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

99

______. Krisdianto dan Abdurachman. 2013. Beberapa Jenis Rotan Kurang Dikenal Sebagai Alternatif Bahan Baku Mebel. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengembangan Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor

Karnasudirdja, S. , S Kurnia dan K Rochimini. 1974. Pedoman pengujian sifat fisis – mekanis kayu. Publikasi khusus No. 20. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Kollmann, F. P. P dan W. A Cote. 1968. Principles of Wood Science and Technology, Vol I. Springer Verlag New York, Inc. New York.

Komaesakh, A. 1990. Standarisasi dan teknik pengujian rotan. Sirkulasi terbatas. Departemen Kehutanan. Jakarta

Krisdianto, Jasni dan O.Rachman.2007. Pelengkungan rotan dengan gelombang mikro. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 25 (2): 166-181. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

Liemens, R. H. M. J. , F. C. M Jansen. , J. S Siemonsma dan F. M Stavast. 1989. Plant Resources of South – East Asia. Basic list of species and comodity grouping. PROSEA Project. Wangeningen. Nederlands.

Lin, S. Y dan C. D Dence. 1992. Methods in Lignin Chemistry. Springer Verlag. Berlin. Heidelberg.

Mandang, I. Y. dan Rulliyati S. 1990. Anatomi batang rotan. Himpunan diktat Kursus Penguji Rotan, jilid I. Sirkulasi terbatas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Martawijaya, A. 1988. Bahan pengawet kayu. Himpunan diktat kursus Sawmill Technician, Angkatan VIII. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan.

Martono, D. 1986. Laporan Perjalanan Koleksi Organisme Perusak Rotan di Lampung dan Cirebon. Tidak diterbitkan. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor.

________. 1990. Percobaan penggunaan pestisida untuk mencegah serangan jamur pewarna pad rotan. Jurnal Pen. HH. 7 ( 2 ) : 54 – 60. Puslitbang Hasil Hutan & Sosek. Bogor.

Page 119: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

100

________. 1990a. Proses pengawetan rotan. Diktat kursus penguji rotan. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan.

Maulana, H. 1997. Penetuan faktor konversi dalam proses pengolahan rotan untuk bahan baku furnitur. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan, Unwim. Bandung.

Menon, K. D. 1979. Rattan a Report of Workshop Hild in Singapore, IDRC. OTTAWA. Capita. 55 PP.

Mogea, J. P. 1990. Potensi dan penyebaran jenis – jenis rotan di Indonesia khususnya di Sulawesi. Makalah Diskusi Hasil Penelitian Rotan. Departemen. Kehutanan – IDRC, Jakarta.

Nangkat, N., H.H. Morni, J. H.H.A. Ahmad dan A.Kalat. 1997. The Rattans of Brunei Darusalam. Forestry Departmen, Brunei Darussalam and Royal Botanic Gardens, Kew, UK. Ministry of Industry and Primary Resources Brunei Darussalam.

Natalie, W. Uhl. dan J Dransfield. 1987. Genera Palmarum a classification of palm. Allen press, Lawrence. Kansas.

Oey Djoen Seng 1964. Berat Jenis dari jenis – jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya untuk keperluan prektek. Pengumuman No. 1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan Departemen Kehutanan. Bogor.

Pandit. I. K. N. , O Rachman dan L Indrawati. 1993. Struktur anatomi beberapa jenis rotan. Teknolog Buletin Jurusa Teknologi Hasil Hutan ( 4 ) 1 : 40 – 50. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Parameswaran, N dan W Liese. 1984. Fiber wall architecture in the stem of rotan manau ( Calamus manan ). In : Proc. Rattan Seminar, Kualalumpur. The RIC ( 1985 ) : 123 – 129.

Peluso,N.C. 1999. Rattan industries in East Kalimantan, Indonesia. Website http://www.fao.org/docrep. Diakses tanggal 4 Maret 2003.

Philipson, W. R. , J. M Ward. dan B. G Butterfield. 1970. The Vasculer Cambium, Its development and activity. Chapman & Hall Ltd. New Fetter Lane, London EC 4.

Rachman,O. 1979. Masalah penelitian pengolahan rotan di Indonesia, Majalah Kehutanan Indonesia. No. 3 Th IV. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian.

Page 120: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

101

________. 1984. Pengaruh kondisi penggorengan terhadap kualitas rotan manau. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 1 ( 4 ) : 14 – 19. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor.

_______. J. Balfas dan T. Silitonga. 1088. Improvment of Rattan Processing Method. Final Report Rattan Indonesian Project. Departemen Kehutanan RI – IDRC. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

_______. 1992. Tingkah laku tegangan regangan dalam uji lentur pada beberapa jenis rotan. Laporan masalah khusus. Sirkulasi terbatas, Jurusan IPK. Program PPS, IPB. Bogor.

________. 1996. Peranan sifat anatomi kimia dan fisik terhadap mutu rekayasa rotan. Disertasi Doktor, Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak diterbitkan.

________. Dan A. Santoso. 1996. Pengupasan dan Pengeringan Bahan Baku Rotan Segar. Laporan Proyek Peneltian Puslitbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi, Bogor.

________, S Suhardjo dan M Suwirman. 1997. Perbaikan teknik pelengkungan rotan melalui perendaman dengan larutan Dimetil Sulfoksida. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 ( 4 ) : 299 – 311. Puslitbang Hasil Hutan & Sosek. Bogor.

________, E Basri dan D Martono. 1999. Pengolahan rotan lepas panen. Pedoman teknis. Kerjasama Puslit Hasil Hutan dan Perum Perhutani. Bogor.

Rachmat, Z. F. , D Kadarisman. , O Rachman dan A. B Ahza. 1981. Peningkatan rendemen dan mutu rotan belah untuk bahan industri kerajinan rakyat. Fateta, IPB. Bogor.

Roldan, L.P. 1954. Stain discoloration in ratan. The Phil. Lumberman 4(32) : 12-13.

Rujehan. 2001. Pendapatan petani rotan berdasarkan produk akhir di desa Muara Asa Kecamatan Barong Tongkok Kabupaten Kutai Barat. Jurnal Rimba Kalimantan 6 (2): 32 – 44. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda,

Salita, A. A. 1985. Rattan industry of the Philippines. In : proc. Rattan Seminar, Kualalumpur. The RIC ( 1985 ) : 95 – 116.

Page 121: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

102 102

Sastry,C.B. 2003. Rattan in twenty-first century – an outlook. Website http://www.fao.org/docrep. Diakses 29 Juni 2004.

Schmitt, U. , G Weiner dan W Liese. 1995. The fine structure of the stegmata in Calamus axillaris during maturation. IAWA Journal, Vol 16 ( 1 ) : p 61 – 68. Hortus Botanicus, Lieden.

Setiaji, H. 1997. Studi tentang kerusakan rotan akibat pembengkokan pada industri mebel rotan di Mojokerto, Jawa Timur. Skripsi Jur. THH, Fahutan Universitas Winayamukti. Bandung

Shadily, H. 1984. Ensiklopedi Indonesia. Vol 5. Ichtiar Baru – Van Hoeve. Jakarta

Silitonga, T. , R. M Siagian dan A Nurachman. 1973. Cara pengukuran serat kayu di Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Publikasi Kusus No. 12. Bogor.

________. H Prahasto. dan S Priasukmana. 1990. Perdagangan, industri dan pengembangam sumber daya rotan. Makalah diskusi hasil penelitian rotan. Departemen Kehutanan. IDRC. Jakarta.

Simatupang, M. H. 1978. The processing of rotan, minor forest products from tropical rain forest. Voluntary paper in WFC – VIII. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Jakarta.

Sinaga, M. 1986. Perbaikan metode pemanenan rotan di hutan alam. Final Report Rattan Indonesian Project. Departemen Kehutanan RI – IDRC. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

Siripatanadilok, S. 1974. Anatomical investigation of Javenese rattan cane as a guide to their identification. Kasetsart University, Thailand.

Sumarna, Y. 1986. Pengenalan umum tentang rotan di Indonesia. Himpunan Diktat Kursus Penguji Rotan, Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

________ dan A. S Kosasih. 1997. Menanam rotan jenis manau (Calamus manan Miq.) dengan pola taman kecambah. Puslitbang hutan dan Konservasi Alam. Badan litbang Kehutana. Bogor.

Sumarni, A. Ismanto dan D Martono. 1993. Pengaruh insektisida terhadap efektifitas fungisida untuk mencegah serangan jamur biru pada rotan. Makalah Kongres Nasional Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Surabaya.

Page 122: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

103

_______. 1994. Penggunaan bahan pengawet chloropyrifos sebagai pencegahan serangan kumbang bubuk pada rotan. Makalah Seminar Rotan – FMIPA, UI. Jakarta.

________. 1994a. Pengaruh pengukusan pada rotan yang diawetkan terhadap serangan bubuk Dinoderus minutus Febr. Makalah Seminar Rotan – FMIPA UI. Jakarta.

________. dan A Ismanto. 1994. Penggunaan boraks untuk mencegah serangan pada kumbang bubuk pada rotan batang ( Daemonorops robustus Warb. ). Makalah Seminar Rotan – FMIPA UI. Jakarta.

Suryokusumo,S. 1989. Peranan Keteknikan dalam Sistem Pemanfaatan Kayu Konstruksi di Indonesia. Lembaga Penelitian IPB. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

_______. 1997. Stress grading mekanis dan prospek penggunaannya di Indonesia. Makalah Utama dalam Seminar Persaki, Bogor.

Stam, A. J. 1964. Wood an Cellulose Science. The Ronald Press Company. New York.

Suhadihardjo. O Rachman dan E Sofianti. 1994. Kajian pemutihan rotan batang. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 4 ( 1 ) : 20 – 29. Fateta, IPB. Bogor.

Syafii, W. , M Samejima dan T Yosimoto. 1988. The role of lignin on decay resistance of ulin ( Eusideroxylon zwageri T. et B. ) to wood – rotting fungi. Bulletin Tokyo University Forest No. 79 : p 119 – 126. Tokyo.

Tomlison, P. B. 1961. Anatomy of Monocotyledon. II, Palmae. Oxford at the Clarendom Press. Florida, USA.

Toni C Lo.1976. Production and Marketing of Rattan Furniture in Indonesia. Assistance to The National Agency for Export Development (NAFED), Ministry of Trade, im the field of Export Product Adaptation. IS/INS74/030. Indonesia.

Trotman, E. R. 1968. Textile scouring and bleaching. Charles Griffin & Company, Ltd. London.

Uhl, N. W. dan Dransfield, J. 1987. Genera Palmarhum. Allen Press, Lawrence, Kansas.

Vongkaluang, I. 1984. Rattan in Thailand. Proc. Rattan Seminar, Kualalumpur. The RIC ( 1985 ) : 125 _ 129.

Page 123: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

104

Wangard, F. F. 1950. The Mechanical Properties of Wood. John Willey and Sons, Inc. New York

Wiener, G dan W Liese. 1990. Rattan – stem anatomy and taxonomic implications. AWA Buletin. 11 ( 1 ) : 61 – 70.

Yudodibroto, H. 1984. Anatomy, Strength properties and utilization of some Indonesian rattan. In : Proc. Rattan Seminar, Kualalumpur. The RIC (1985) : 117 – 121.

Page 124: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

105

Lampiran 1. Daftar jenis rotan Indonesia

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

1 Calamus acidus Becc Sulawesi asam (Mly) 2 acuminatus Becc Kalimantan 3 adspersus Bl Sumatra,

Jawa, Maluku howe–bogo (Sund), wulu

4 ahli durii Sulawesi batang merah 5 albus Pers (C.

rudentus Roxb) Maluku putih,uwa-

puti,u.ela (Amb) 6 altiscandeus Burr Irian Jaya 7 amphybolus Becc Maluku tuni, biau 8 anomalus Burr Irian Jaya 9 aquatilis Ridl Sumatra,

Kalimantan bakau (Mly)

10 arfakianus Becc Irian jaya 11 aruensis Becc Maluku 12 aspermus Bl Jawa leuleus, huwi–

semulik 13 axillaris Bl Jawa,

Sumatra, Kalimantan

sega–air, s.banyu (Plmbng)

14 bacularis Becc Kalimantan Cempaka (Serwk)

15 barbatus Zipp Irian Jaya 16 bengkulunensis Becc Sumatra 17 bifacialis Burr Kalimantan 18 bilitonensis Becc Sumatra ramit (Belitung) 19 blumei Becc Kalimantan 20 boniensis Becc Sulawesi Tomani 21 branchystachys Becc Kalimantan landak,

pangrungrung 22 brasii Burr Irian Jaya 23 bravifolius Becc Irian Jaya

Page 125: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

106

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

24 burckianus Becc Jawa howe – balukbuk (Sund)

25 caesius Bl Sumatra, Kalimantan

sega, taman, sego, sesah

26 castaneus Griff Sumatra Sabut 27 cawa Bl Maluku uwa – kawa

(Amb), kadat 28 ciliaris Bl Jawa cacing, pueteuy,

geureung 29 colorrhynchus Becc Kalimantan 30 conjungatus Furt Kalimantan 31 corrugatus Becc Kalimantan 32 cuthbersonil Becc Irian Jaya 33 dachagensis Furt Kalimantan 34 depanperatus Ridl Irian Jaya 35 didymocarpus Warb Sulawesi hoa, nona, lauro 36 diepenhorstii Miq Sulawesi 37 distendus Burr Irian Jaya 38 divaricatus Becc Kalimantan 39 equestris Willd Maluku uwa launkana

(Amb) 40 erioacanthus Becc Kalimantan 41 exilis Griff Sumatra,

jawa, Kalimantan

ageung, uwi pahe (Plbang),lilin, paku, uwe pare, gunung

42 eximius Burr Irian Jaya 43 fasijugatus Burr Sumatra 44 ferrugineus Becc Kalimantan 45 fertilis Becc Irian Jaya 46 filiformis Becc Kalimantan batu, kawat 47 flabellatus Becc Kalimantan, dahan, berman

Page 126: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

107

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

Sulawesi 48 fuscus Becc Irian Jaya 49 gibbsianus Becc Kalimantan 50 gonospermus Becc Kalimantan 51 halmaherensis Burr Maluku 52 hartmannii Becc Irian Jaya 53 heterocanthus Zipp Irian Jaya 54 heteroideus Bl Jawa korod, omas 55 heteroideus var

depenperatus Jawa

56 heteroideus var palleus Bl

Sumatra, Jawa tretes – hejo

57 hewittianus Becc Kalimantan 58 hispidulus Becc Kalimantan buluk (Pontnk) 59 hollrungii Becc Kalimantan buku akar 60 horrens Bl Sumatra, Jawa 61 humboldtianus Becc Irian Jaya 62 hypertrichosus Kalimantan 63 impor Bl Kalimantan pulut 64 inops Becc Sulawesi tohiti 65 insignis Griff Sumatra 66 interruptus var

docilis Becc Irian Jaya

67 jaherianus Becc Kalimantan 68 javensis Bl Sumatra,

Jawa, Kalimantan

lilin, cacing

69 javensis var acicularis Bl

Kalimantan

70 javensis var exilis Becc

Jawa

Page 127: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

108

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

71 javensis var mollispinus Becc

Kalimantan

72 javensis var pollyphylus

Sumatra, Kalimantan

73 javensis var sublevis Becc

Kalimantan

74 javensis var tertasticjus

Kalimantan

75 kandariensis Becc Sulawesi 76 karuensis Ridl Sulawesi 77 kishii Furt Kalimantan 78 kjellbergii Furt Sulawesi 79 klossii Ridl Irian Jaya 80 koordersianus Becc Sulawesi Noko, boga 81 latisectus Burr Sumatra 82 laceratus Burr Irian Jaya 83 ladermannianus

Becc Irian Jaya

84 lanterbranchii Becc Irian Jaya 85 leijocaulis Becc Sulawesi jermasin, hoa 86 leiophatus Barlett Sumatra 87 leptostachys Becc Sulawesi ronti, telang 88 macrochlamys Becc Irian Jaya 89 macrogorii Becc Irian Jaya 90 macrospadix Burr Irian Jaya 91 macrosphaerion Becc Sulawesi tohiti kasar 92 manam Miq Sumatra,

Kalimantan manau

93 marginatus Mart Kalimantan manau gajah, m. padi

94 mattanensis Becc Kalimantan marau, sabut

Page 128: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

109

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

95 mattanensis var sabut Becc

Kalimatan

96 mayrii Burr Irian Jaya 97 malanoloma Mart Jawa howe-leuleus, h.

lilin 98 melanochetes Mart Jawa seel 99 minahasae Warb Sulawesi lauro, datu,

rintek 100 moskowkianus Becc Irian Jaya 101 mucronatus Becc Kalimantan tunggal 102 multicentosus Burr Irian Jaya 103 myriacanthus Becc Kalimantan 104 myriocarpus Burr Irian Jaya 105 nannosachys Burr Irian Jaya 106 nanus Burr Kalimantan 107 nematospadix Kalimantan

endemik Mawang

108 obscurus Warb Sulawesi batu 109 opacus Bl Sumatra 110 optimus Becc Kalimantan merenung,

buyung, selutup 111 optimus var mitis

Becc Kalimantan

112 ornatus Bl Sumatra, Jawa, Sulawesi

seuti, selian, kesur

113 ornatus var celebius Becc

Sulawesi batang, lambang

114 ornatus var sumatranus Becc

Sumatra tabu-tabu

115 orthostachys furt Sulawesi Sigisi,popini 116 oxleyanus Teysm et Sumatra manau-tikus

Page 129: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

110

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

Binn 117 oxleyanus var

obovatus Becc Sumatra manau gajah

118 pachystachys Warb Sulawesi 119 palembanicus

Becc Sumatra

120 panci jugus Becc Sulawesi tongka, daun-pinang, wulo

121 papuanus Becc Irian Jaya 122 paspalanthus Becc Kalimantan,

endemik Marau tunggal, sanjat

123 pedicellatus Becc Sulawesi samole, toromataha, wuta

124 penibukanesis furt Kalimantan 125 pigmaceus Becc Kalimantan 126 pilosellus Becc Kalimantan 127 pilosissimus Becc Irian Jaya 128 pisicarpus Bl Maluku bulu 129 plicatus Bl Sulawesi 130 poensis Becc Kalimantan 131 pogonacanthus Becc Kalimantan samuli 132 polycladus Burr Irian jaya 133 polystachys Becc Jawa,

Kalimantan, telang, uwi lelah, cincin, howe gelang

134 prattianus Becc Irian Jaya 135 pseudomolis Becc Sulawesi 136 pseudoulur Becc Kalimantan 137 pseudozebrianus

Burr Irian Jaya

138 ralumensis Warb Irian Jaya

Page 130: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

111

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

139 regularis Burr Kalimantan 140 reinwardtii Mart Jawa,

Kalimantan

141 reticulatus Burr Irian Jaya 142 retrophyllus Becc Sumatra,

kalimantan

143 robinsonsianus Becc Maluku 144 rhombiodeus Sumatra,

Jawa, Kalimantan

sampang, dudur

145 romboideus var cuberri Miq

Sumatra

146 rostratus Furt Kalimantan 147 rubiginosus Ridl Kalimantan 148 rugosus Becc Sumatra,

Kalimantan

149 rumphii Bl Maluku arasuli, holite (Amb)

150 ruvidus Becc Kalimantan lilin 151 rhytidomus Becc Kalimantan jelai–batu 152 srawalensis becc Kalimantan 153 scabrifolius Becc Kalimantan,

Sumatra inun, kikir, mengkekeran

154 scabristaphus Becc Irian Jaya 155 schleterianus Becc Irian Jaya 156 scrhristacanthus Bl Kalimantan dandan 157 schaeferianus Burr Sumatra 158 schristacanthus Bl Sumatra dandan 159 scipionum Burr Sumatra,

Kalimantan semambu

160 sclerecanthus Becc Sulawesi batu 161 semai Becc Kalimantan

Page 131: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

112

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

162 sepikensis Becc Irian jaya 163 serrulatuss Becc Irian Jaya 164 sessilifolius Burr Irian Jaya 165 setigerus Burr Irian Jaya 166 simphysipus Mart Sulawesi ombol, waka-

waka (Bugs) 167 slootenii Furt Kalimantan 168 sobensis Becc Kalimantan 169 spectabilis Bl Jawa 170 spectabilis var

sumatranus Sumatra uwi peledes

(Plbng) 171 sphaerieliferus Kalimantan 172 spinulinervis Becc Kalimantan 173 stramineus Furt Kalimantan 174 subinervis H wendl Kalimantan 175 sumbawaensis Burr Nusa Tenggra 176 tapa Becc Kalimantan 177 tamentosus Becc Kalimantan 178 tenenpokensis Furt Kalimantan 179 timorensis Becc Nusa

Tenggara

180 tolitoliensis Becc Sulawesi salompea, apek 181 trachicoleus Becc Kalimantan irit, jahab 182 ulur Becc Sumatra uwi sabu, ulur 183 unifarius H. wendl Sumatra, Jawa kesur, sege,uwi

kertas 184 vesticus Becc Irian Jaya 185 viminalis Wendl Jawa karokok, penjalin

glatik 186 viridispinus var

sumatranus Sumatra

Page 132: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

113

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

187 warbugii k. schum Irian Jaya suwai, sasami 188 wariwarensis Irian Jaya 189 winklerianus Becc Kalimantan tawangkis 190 zebrianus Becc Irian Jaya 191 zollingeri Becc Sulawesi batang, pondos

saisagan 192 zonatus Becc Kalimantan perdas 193 Ceratolobus concolor Bl Sumatra,

Jawa,Kalimantan

uwi tikus,mata pelanduk

194 discolor Becc Kalimantan 195 glaucescens Bl Jawa 196 hallieranus Becc Kalimantan lamayoh (dyk) 197 kingianus Becc Kalimantan 198 laevigatus Becc Sumatra,

Kalimantan kulus (dyk)

199 rostratus Becc Sumatra, Kalimantan

200 Subangulatus (Miquel) Beccari

Kalimanatan, Sumatera

Rotan cakre, rotan halus

201 Cornera conirostris Becc (furt) Sumatra, Kalimantan

202 Demorops acamptostschys Becc Kalimantan 203 acantholoma Becc Kaliamntan 204 aruensis Becc Maluku 205 asteracanthus Becc Kalimantan 206 bakauensis Becc Sumatra 207 beguinii Burr Maluku kalapa (Amb),

hahulu 208 binaendijkii Becc Sumatra 209 calapparia Bl Maluku 210 calicarpa Mart Sumatra

Page 133: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

114

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

211 callarifera Becc Kalimantan 212 calothyrsa furt Kalimantan 213 confusa furt Sumatra 214 crinita Bl Sumatra,

Kalimantan

215 cristata Bl Kalimantan 216 depressiuscula Becc Sumatra 217 didymophylla Becc Sumatra,

Kalimantan, Jawa

Jerenang, hotang-hotang, tangkalang, awe ente

218 didymophylla var. cinnamonea Becc

Kalimantan

219 draco Bl Sumatra jernang 220 dracuncula Ridl Sumatra 221 florida Becc Kalimantan 222 formicaria Becc Kalimantan 223 fornesii Becc Sumatra gelong (Ranau/

Plbng) 224 gracilipes Miq.

(Becc) Sumatra

225 halleriana Becc Kalimantan 226 hystrix Mart Sumatra kalangsintangang

, sabut 227 hystrix (Grift) Mart Kalimantan Marucam, uwe

kalang, sintang, balam, jerenang

228 hystrix var. exielans Becc

Kalimantan

229 javanica Furt Jawa 230 korthalsii Bl Kalimantan 231 lamrolepis Becc Sulawesi lapa, lita,

Page 134: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

115

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

tambaelulu 232 lasopatha Furt Kalimantan 233 longipedunculata

Furt Kalimantan

234 longispatha Becc Kalimantan 235 longipes Mart

(Griff) Sumatra ompoy, duduk

(Mly), tanah 236 longispinosa Burr Sumatra 237 longistipes Burr Kalimantan 238 macroptera Becc Sulawesi kuyui, susu,

manuk,pondos valuku, pondos sarigase, pondos kukwi umbut

239 mattanensis Becc Kalimantan 240 megalocarpa Burr Sumatra 241 melanochaetes Becc Sumatra, Jawa seel, selang,

penjalin manis 242 melanochaetes var

D. macrocorpa Becc

Sumatra

243 melanochaetes var D. padangensis Becc

Sumatra

244 melanochaetes var macrocymbo Becc

Jawa

245 melanochaetes var microcarpa. T et B.

Jawa

246 microcarpha Burr Sumatra 247 microstachys Becc Kalimantan 248 migra (Rump) Bl Maluku

Page 135: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

116

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

249 mirabilis Mart Kalimantan bambulan 250 mirabilis var.

oligocyclis Becc Kalimantan

251 monticola (Grift) Mart

Kalimantan

252 motleyl Becc Kalimantan 253 neptilis (Wendl)

Becc Kalimantan

254 niger Bl Maluku itam (Mly), mete (Amb)

255 oblonga (Reinw) Bl Sumatra, Jawa pitik, trete 256 oxycarpa Becc Kalimantan 257 pachyrostris Becc Kalimantan 258 palembanica Bl Sumatra nangga, niyem

(Lmpng) 259 palembanica var.

bangkana Becc Sumatra

260 periacantha Miq Kalumantan, Sumatra

landak, pakak (Plbng)

261 plagiocyla Burr Sumatra 262 pleioclara Burr Kalimantan 263 propinque Becc Sulawesi 264 riedenliana (Miq)

Becc Sulawesi Pondos wasal

265 robusta Warb Sulawesi batang, pondos kuluwi

266 rubra (Reinw) Bl. Jawa, Sumatra pelah, sepet, bebuwar,leus-leus, selang, teretes, penjalin angin

267 sabensis Becc Kalimantan, Sumatra

tabutabu

Page 136: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

117

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

268 schlechteri Burr Sulawesi 269 scopigera Becc Kalimantan 270 serisinorum Warb Sulawesi benang, nako,

ngalum 271 singalana Becc Sumatra 272 sparsiflora Becc Kalimantan 273 spectabilis Becc Kalimantan 274 stenophylla Becc Sumatra 275 trichroa Miq Sumatra bungkus,

kelemuning (Kbu)

276 turbinata Becc Kalimantan 277 ursina Becc Kalimantan 278 uschdraweitiana

Burr Sumatra

279 verticilliaris (Grift) Mart

Kalimantan, Sumatra

gelang, semut, monok (Lpng)

280 Korthalsia rostrata Bl Kalimantan getah 281 brasii Burr Irian Jaya 282 cheb Becc Kalimantan 283 celebica Becc Sulawesi yaki, keis 284 conclor Burr Kalimantan 285 debilis Bl Sumatra,

Kalimantan dahanan

286 echinometra Becc Sumatra, Kalimantan

udang, siu, meiya, hurang, semut, dahan

287 ferox Becc Kalimantan endemik

Sampan, kapuas

288 flagellaris Miq Sumatra, Kalimantan

dahanan, andung

289 fulcata Becc Kalimantan

Page 137: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

118

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

290 halleriana Becc Kalimantan 291 hispida Becc Sumatra 292 horrida Becc Kalimantan 293 junghunii Miq Jawa sampang,

simpang, sampay

294 laciniosa Mart Sumatra uwi dahanan 295 macrocarpa Becc Kalimantan 296 mauleri Bl Kalimentan 297 paucijuga Becc Kalimantan 298 rigida Bl Sumatra,

Kalimantan, jawa

meladang (Bangka), dahan, wa guun

299 robusta Bl Sumatra pakrai (Klmtn)

300 rubiginosa Becc Kalimantan bidai (Bltung), dahanin

301 scaphigera Mart Sumatra, kalimantan

semut, semot, lalun (Dyk)

302 teysmanii Miq Sumatra, Jawa tangkurungan (Plbng)

303 wallichiaefolia Wendl

Sumatra bilah-kinjau (Lmpng)

304 zippelii Bl Irian Jaya kaprus, opka 305 Myrialepsis scortechnii Becc Sumatra sertung, kirtung

(Mly) 306 triqueter becc Kalimantan lapak 307 Plectocomia bilitonensis Becc Sumatra 308 elongata Becc Sumatra, Jawa bubuay, penjalin-

warak

309 griffithii Bl Jawa bubuay

Page 138: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

119

No. NAMA BOTANI DAERAH SEBARAN NAMA LOKAL

310 muelleri Bl Sumatra buwai (Bltng),langgane, sadak, sanggau

311 sumatrana Miq Sumatra 312 Plectocomiopsis corneri Furt Sumatra 313 germinimflorus Becc Sumatra,

Kalimantan loa (Bltng), poporan (Lmpng), buluh

314 Plectocomiopsis mira J.Dransf Sumatera, Kalimantan

Rotan marak, wi metai, samare

Sumber : Dransfield, 1974 ; Dali dan Sumarna, 1985 ; Hadikusumo, 1994 ; Jasni

et.al (2012) data diolah

Page 139: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

120

Lampiran 2. Jenis rotan komersial dan penyebarannya di Indonesia

No. Nama Lokal Nama Botani Daerah sebaran produksi

1. Arasuli Calamus rumphii Maluku, Irja 2. Balukbuk C. burckianus Sumatera, Jawa 3. Batang C. zolingeri/ D.

robustus Sulawesi, Maluku

4. Batu C. filiformis Bengkulu, Lampung, Kalteng

5. Bulu K. celebica Sulawesi, Maluku, Irja

6. Buluk C. hispidulus Sumsel, Riau, Bengkulu, Sumbar, Lampung

7. Buyung C. optimus Kaltim, Kalsel, Kalteng

8. Cacing C. cilliaris Sumatera, Jawa, Kalimantan

9. Dahan C. flagellaris Jambi, Riau, Bengkulu

10. Dandan C. schristacanthus Sumsel, Jambi, Lampung

11. Datu C. minahasae Maluku, Irja 12. Duduk D. longipes Bengkulu, Sumbar,

Sumsel, Lampung, Aceh, Jawa

13. Epek C. tolitoliensis NTB, Maluku, Sulawesi

14. Getah K. angustifolia NTB, Aceh, Sumbar, Jambi

15. Hoa C. didymocarpus Sulawesi, Maluku, Iraja

16. Inun C. scabrifolius Lampung, Jawa, Kalimantan

17. Irit C. trachicoleus Kalimantan

Page 140: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

121

No. Nama Lokal Nama Botani Daerah sebaran produksi

18. Jermasin C. leijocaulis Sulawesi, Maluku 19. Jernang C. draco Jambi, Sumbar, Riau 20. Kidang Calamus spp. Lampung, Jabar 21. Lacak C. crinitus Riau, jambi,

Lampung 22. Lambang Calamus sp. Sulawesi, Maluku 23. Leluo C. maximus Sulawesi 24. Leuleus C. melanoloma Lampung, Jabar 25. Lilin C. javensis Sumatra, Jawa,

Kalimantan 26. Lita D. lamprolepsis Kalteng, Kalbar 27. Manau C. manan Aceh, Sumut,

Sumbar, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan

28. Manau gajah C. marginatus Sumbar, Bengkulu 29. Manau tikus C. oxleyanus Jambi, Sumbar,

Bengkulu 30. Pelah D. rubra Sumatra, Jawa,

Kalimantan 31. Pulut C. impor Kaltim, Kalsel 32. Pulut putih Calamus sp. Kaltim, Kalsel 33. Rawa C. tenuis Jambi, Sumsel,

Lampung 34. Samuli C. picicarpus Sulawesi, Maluku 35. Seel D. melanoc Sumatra, Jawa,

Kalimantan 36. Sega C. caesius Aceh, Sumut,

Sumbar, Riau 37. Sega air C. axillaris Jambi, Sumsel,

Lampung

Page 141: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

122

No. Nama Lokal Nama Botani Daerah sebaran produksi

38. Sega batu C. heteroideus Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalsel, Kalsel, Kalteng

39. Selutup C. optimus Sumatra, Jawa 40. Semambu C. scipionum Sumbar, Bengkulu,

Lampung 41. Seuti C. ornatus Bengkulu, Lmpung,

Sumbar, Jawa 42. Suwai C. warburgii 43. Tarompu C. maricatus Sulawesi 44. telang C. polystachys Sumut, Aceh, Riau,

Jambi 45. Tohiti C. inops Sulawesi, Maluku 46. Tunggal C. mucronatus Sumatra 47. Tabu-tabu D. sabensis Sumbar, Bengkulu 48. Udang K. echinometra Sumbar, Bengkulu 49. Semut K. scaphigera Sumatra,

Kalimantan, Bengkulu, Lampung, Kalsel, Kaltim, Kalteng

50. Umbul C. symphysipus NTB, Sulawesi 51. Wilatung D. fuscus Kalimantan

Page 142: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

123

Lampiran 3. Jenis alternatif rotan penganti rotan komersial

No Nama Lokal Nama Botani Daerah sebarab produksi

1 Sigisi Calamus orthostachys Warburg ex Beccari

Sulawesi

2 Susu Daemonrops macroptera (Miquel) Beccari

Sulawesi, Maluku

3 Noko Calamus koordesianus Becc

Sulawesi

4 Buku Tinggi Calamus ornatus var celebicus Beccari

Sulawesi

5 Kapuas Korthlsia ferox Beccari Kalimantan

6 Marau Korthalsia rigida Blume. Jawa, Sumatera, Kalimantan

7 Marucam Daemonorops hystrix (Griffith)Matius

Sumatera, Kalimantan, Jawa

8 Tangkalang Demonorop didymophylla Beccari

Jawa, Sumatera, Kalimantan

9 Teretes Daemonorops oblonga Blume

Jawa, Sumatera

10 Cakre Ceratolobus subangulatus (Miquel)Beccari

Sumatera, Kalimantan

11 Paku Calamus exilis Griffith Jawa, Sumatera, Kalimantan

12 Mawang Calamus nemathospadix Beccari

Kalimantan

13 Sanjat Calamus pasparanthus Beccari

Kalimantan

14 Mata pelanduk Ceratolobus concolor Blume

Sumatera, Kalimantan

Sumber: Jasni et.al (2008, 2012 a, 2012 b.)

Page 143: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

124

Lampiran 4. Jenis-jenis rotan berdiameter besar (>18 mm) di Indonesia

No. Nama botanis Lokasi Prakiraan Potensi Grup Nama

daerah 1. Calamus burckianus Jw B C howe-

balukbuk, sepet

2. C. didymocarpus Warb Sl C t. siombo, lauro-sura, hoa, nona

3. Calamus sp Sl B tohiti 4. C. macrosphaeron Becc Sl tungka 5. C. manan Miq * Sm B C manau liki 6. C. manan Sm, Kl B C manu gajah 7. Calamus sp * Sl B C leluo 8. C. ornatus Bl * Sm, Jw,

Kl B C seuti,

batang, kesur

9. C. ornatus Bl var. celebica

Sl B minong, lambang

10. C. rumphii Ml B C 11. C. scipionum Burr * Sm, Jw,

Kl B C semambu,

seuti, tabutabu

12. C. sumbawaensis Burr Nt B 13. C. zolingeri Becc * Sl B C batang,

sasisagan 14. Daemonorops callarifera

Becc Kl

15. D. longipes (Griff.) Mart Sm B C ompoy, sarang-buaya

16. D. longispatha Becc Kl 17. D. macroptera Miq Sl B umbut 18. D. melanochaetes Becc Sm, Jw C seel, selang,

padang 19. D. oblonga Bl Sm, Jw B C pitik 20. D. robusta Warb * Sl, Ml B C batang asli

Page 144: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

125

21. Korthalsia ferrox Becc Kl B C sampang

22. K. fargellaris Miq Sm C 23. Myrialepsis scortechnii

Becc Sm C

24. Plectocmia elongata Bl Sm, Jw B bubay

25. Plectocomiopsis geminiflorus (Griff.) Becc

Sm

Keterangan: * = Jenis – jenis rotan yang telah dipilih untuk dikembangkan sebagai rotan tanaman; Sm = Sumatera; Jw = Jawa; Kl = Kalimantan; Sl = sulawesi; Ml = Maluku; Nt = Nusa Tenggara; B = Ditaksir cukup besar; C = Jenis komersil) Liemens et al, 1989)

Page 145: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

126

Lampiran 5. Jenis rotan dan hasil inventarisasi di Kalimantan Timur tahun 1981

Jenis Komersial Lokasi *) Jenis Non Komersial Lokasi *)

1 2 3 4 Sega 1,2,3,4,6 dan 7 Danan 1 Sako 1 Kotok 1,2 dan 3 Manau 1,2,3,4 dan 7 Getah 5,2,3 dan 5 Pulut merah 2 dan 3 Juwa 4,2,3 dan 4 pulut putih 2,3 dan 4 Dengki 2 dan 3 Jelayan 2,3 dan 5 Jempet 2 dan 3 Habang/Luwa 2 dan 3 Dahanan 2 dan 3 Sega batu 2,3 dan 4 Oros 2 dan 3 Semambu 2,3,5 dan 6 Tunggal 2, 3 dan 5 Bintang 2,3 dan 4 Jeruan 2 dan 3 Jahab 3 Penur 2 dan 3 Sega air 5 Jelapang 2 Sega merah 6 Pendas 3 Merah 3 dan 7 Lentong 3 Kotak air 3 Paku 3 Jerak bungkus 3 Kehes 3 Cit 3 Lontong 3 Lilin 3 dan 5 Keles 4 Jipeng 4 Binungan 4 Bungkulan 5 Tintangan 5 Buluh 5 Sabut 5 Limuru 5 Sangai 5 Lambir 5 Gelagan 5 Tulang Kiwa 5

Semule 6 Seringan 6

Page 146: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

127

Jenis Komersial Lokasi *) Jenis Non Komersial Lokasi *)

Lingan 7 Temberu 7 Hom 7 Butu aluh 7 Ecik 7 Tidak 7 Tik 7 Teceh 7 Mulih 7 Banat 7 Powa 7 Pak 7 Kanca 7 Ilum 7 Anying 7 Lancang 7

Jumlah : 14 Jumlah : 51 7 *) Lokasi/KPH :

1. Pasir 2. Mahakam Ilir 3. Mahakam Tengah 4. Mahakam Ulu 5. Berau 6. Bulungan Selatan 7. Bulungan Tengah

Page 147: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

128

Lampiran 6. Komposisi sel dan dimensi serat rotan

No. Nama Botani Nama Lokal Serat (%)

Pori (%)

Parenkim (%)

Dimensi Serat panjang (mm)

tebal ddg ( )

1. Calamus adpersus Wulu 33 33 28 1.190 3,19 2. C. amphybolus Tuni 38 25 41 1.450 4,37 3. C. burckianus balukbuk 41 19 36 1.186 4,41 4. C. hollrungii bakuakar 44 28 26 1.430 4,76 5. C. inops Tohiti 43 20 36 1.530 6,51 6. C. leiocaulis Hoa 39 26 35 1.180 2,79 7. C. manan manau 40 21 37 1.540 5,89 8. C. ornatus Seuti 29 19 50 1.428 5,56 9. C. pauchiyugus daunpinang 30 25 44 1.560 4,59 10. C. scipionum semambu 40 20 38 1.470 3,75 11. C. synphisipus alomanu 35 26 38 1.270 3,50 12. C. zolingeri batang 38 23 38 1.555 5,83 13. Calamus sp Galaka 33 23 43 1.432 6,06 14. Calamus sp Urujawa 36 21 42 1.870 4,27 15. Calamus sp Batu 47 24 28 1.150 3,62 16. Daemonorop beguinii Bulurusa 41 23 35 1.180 5,36 17. D. heteroides Tretes 28 12 69 1.172 4,90 18. D. sarasinorum Nalum 44 22 33 1.240 5,20 19. Daemonorop sp Nanga 42 23 34 1.180 4,94 20. Korthalsia tysmanii Sampang 43 15 40 1.398 5,85

Sumber : Rachman (1996); Hadikusumo (1994)

Page 148: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

129

Lampiran 7. Ukuran rata-rata struktur anatomi rotan (um)

No Nama lokal Nama botani

metasilim

protosilimPanjang

serat

Tebal diding serat

1 Cacing C. hetroideus 227 55 1.400 3 2 Jernang D. draco 192 86 2.110 2 3 Lacak C.crinita 268 77 1.773 2 4 Lambang C.ornatus var

celebicus 307 87 2.087 2

5 Marucam D.hystrix 247 63 2.865 2 6 Sabut D.sabut 163 44 1.196 3 7 Sega C.caesius 97 75 3.768 4 8 Teretes D.oblonga 229 81 2.318 2 9 Sigisi C.ortostachys 209 62 1.577 2,4 10 Udang K.echimotre 265 63 2.342 2,1 11 Langgane Plectocomia

muelleri 267 72 2.766 2,3

12 Samare Plectocomiopsis mira

320 92 2.370 2,4

13 Susu D.macroptera 266 76 2.038 2,2 14 Maldo

jormal Plectocomiopsis geminiflora

705 64 2.682 2,3

15 Pelah D.rubra 198 82 1.689 2,1 16 Kapuas K.ferox 333 66 1.802 2,2 17 Marau K.rigida 345 91 3.248 2,6 18 Sanjat C.paspalanthus 306 73 2.774 2,2 19 Noko C. koordesianus 200 62 1.577 2,0 20 Paku C.exilis 184 60 1.688 2,0 21 Mawang Calamus

nemathospadix 180 60 1.602 2,4

22 Sanjat Calamus pasapalanthus

190 73 2.774 2,2

23 Mata pelanduk

Ceratolobus concolor

209 62 1.577 2,4

24 Cincin Calamus polystachys

154 48 1.578 2,0

Sumber: Jasni et.al (2010, 2012 a, 2012 b)

Page 149: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

130

Lampiran 8. Komponen kimia utama penyusun rotan (%)

No. Nama botani Nama lokal Selulosa Lignin Silika Pati

1. C. amphybolus tuni, biau 55,68 24,97 1,722. C. burckianus Balukbuk 42,35 24,03 0,81 20,9 3. C. didimocarpus Hoa 48.23 34,00 8,004. C. hollrungii bukuakar 53,73 23,56 0,545. C. inops tohiti 43,28 21,34 0,88 18,6 6. C. manna manau 39,05 22,22 1,36 18,5 7. C. ornatus seuti 38,34 19,93 0,89 21,8 8. C. scipionum semambu 37,36 22,19 0,80 21,4 9. C. zolingeri batang 41,09 21,21 1,36 20,6 10. Calamus sp galaka 44,19 21,45 1,8211. Calamus sp batu 40,61 28,13 5,0112. Daemonorop beguinii bulurusa 50,86 22,39 1,5913. D. heteroides tretes 41,72 21,99 1,1414. D.sarasinorum nalum,nako 44,02 27,35 2,7815. Daemonorop sp nanga 55,46 25,46 1,6416. Korthalsia tysmanii sampang 41,42 23,47 1,4417. Calamus hetroideus Cacing 46,7 24,0 - 21,2 18. Daemonorops draco Jernang - - - 21,8 19. Calamus crinita Lacak 42,8 21,9 - -

20. Calamus ornatus var celebicus Lamban - 18 - 22,1

21. Daemonorops hystrix Marucam 42,1 22,0 - 21,4

22. Daemonorops malanocaetes Seel 44,4 27,2 - 19,1

23. Daemonorps oblonga Tetetes 50,8 24,4 - 20,5 24. Calamus orthostachys Sigisi 59,2 21,20 - 20,01 25. Korthalsia echinometra Udang 51,21 22,0 - 19,81 26. Plectocomia muelleri Langgane - 17,75 - 23,32 27. Plectocomiops imira Samare - - - 19,36

28. Daemonorops macroptera Susu 55,87 18,33 - 20,08

29. Plectocomiops geminiflora

Maldo jormal 61,85 21,94 - 21,85

30. \ Daemonorops rubra Pelah 50,44 24,62 - 20,68 31. Korthalsia ferox Kapuas 51,0 26,35 - 22,0

Page 150: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

131

32. Korthlsia rigida marau 49,0 22,15 - 20,36 33. Calamus paspalantus Sanjat 59,0 23,35 - 19,42 34. Calamus koordesianus Noko 62,0 21 - 21

35. Demonorop didymophylla Tangkalang 45,0 25,0 - 21,0

36. Ceratolobus subangulatus Cakre 59,0 24,0 - 20,0

37. Calamus exilis Paku 52,0 23,0 - 21,0

38. Calamus nemathospadix Mawang 60,0 24,0 - 20,0

39. Calamus pasapalanthus Sanjat 59,0 24,0 - 20,0

40. Ceratolobus concolor Mata pelanduk 59,0 19,0 - 20,0

41. Calamus polystachys Cincin 55,0 24,0 - 20,0

42. Daemonorops robusta Batang susu 50,9 22,4 1,6 -

43. Plectocomia elongata Bubuay 16,9 - 23,6

44. Calamus tumidus Manau tikus - 21,8 2,3 20,6

45. Korthalsia junghunii Sampang - 24,4 - 19,6 46.

Sumber : Rachman (1996); Hadikusumo (1994); Jasni et.al (2007, 2010, 2012 a, 2012 b)

Page 151: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

132

Lampiran 9. Sifat fisis dan mekanis rotan

No. Nama botani Nama lokal Dia-meter*

Berat Jenis

MOE (Kg/ Cm2)

MOR (kg/ Cm2)

Tekan //

(Kg/ Cm2)

1. Calamus adepersus Wulu K 0,65 34.283 764 374

2. C. aruensis Taka B 0,47 25.726 707 264 3. C. manan Manau B 0,59 29.382 579 282 4. C. pauchiyugus Wullo K 0,68 47.002 420 311 5. C. zolingeri batang B 0,49 29.422 580 184 6. Calamus sp umbulu B 0,53 21.842 428 212 7. Calamus sp sepet B 0,46 12.765 297 165 8. Calamus sp datumerah K 0,65 27.835 924 395 9. Calamus sp kou B 0,60 23.234 533 418 10. Calamus sp kunop K 0,52 43.357 783 344 11. Calamus sp taitika K 0,50 46.909 867 351

12. Daemonorops laemprolepsis tambelulu B 0,51 34.030 665 304

13. D. robusta Batang susu B 0,42 33.774 647 294

14. D. sarasinorum nalum, benang B 0,53 31.993 762 362

15. Daemorop sp manis B 0,46 20.555 543 197

16. Khortalsia tysmanii sampang B 0,53 21.669 585 -

17. Calamus hetroideus

Srimit, sega batu, K 0,40 13.629 442 -

18. Daemonorops draco jernang K 0,51 - - 257

19. Calamus crinita lacak K 0,66 26.954 880 -

20. Calamus ornatus var celebicus

lambang, buku tinggi B 0,45 34.943 679 -

21. Daemonorops hystrix

marucam, balam K 0,44 - - 366

22. Daemonorops sabut sabut K 0,48 - - 343

Page 152: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

133

23. Daemonorops malanochaetes Seel B 0,49 12.695 448 -

24. Calamus caesius sega K 0,48 - - 338

25. Daemonrops oblonga

teretes, pitik

B 0,44 12,899 395 -

26. Calamus orthostachys

Sigisi, popini

B 0,52 17.029 628 -

27. Korthalsia echinometra

udang,semut, dahan B 0,51 21.669 585 -

28. Plectocomia muleri langgane, sadak B 0,51 34.293 499 -

29. Daemonorops macroptera

Susu,lauro manu B 0,53 19.131 612 -

30. Plectocomiopsis geminiflora

maldo jormal, gilang

B 0,44 18.313 314 -

31. Daemonorops rubra

pelah, getah B 0,44 18.447 734 -

32. Korthalsia ferox kapuas K 0,49 - - 444

33. Korthlsia rigida marau, dane B 0,66 27.296 673 575

34. Calamus paspalanthus sanjat K 0,49 - - 19,42

35. Plectocomia elongata bubuay B - 30.098 350 -

36. Calamus tumidus Manau tikus B 0,45 - - -

37. Korthalsia junghunii Sampang B 0,58 22.000 834 -

38. C.scipionum Semambu B 0,44 20.500 611 - 39. C.orntus Seuti B 0,51 17.090 442 - 40. C.inops Tohiti K 0,56 54.000 456 -

Sumber : Rachman (1996) dan Hadikusumo (1994), Jasni et.al (2007, 2010, 2012 a,2012 b)

Keterangan: *) B = besar; K = kecil

Page 153: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

134

Lampiran 10. Sifat pelengkungan rotan

No Nama Botani Nama lokal Diameter (cm) BJ

Radius lengkung (cm)

A * B * 1 Calamus adpersus Bl. Wulu 1,63 - 24,9 16,1 2 C. ahlidurii Furtd. Btng merah 2,72 0,47 23,7 7,1 3 C.amphybolus Becc Tuni 1,90 0,58 11,5 2,5 4 C.aruensis Becc. Limbat madutu 1,45 0,52 11,5 6,1 5 C.didymocarpus Warb.

Ex Becc Hoa, laurosura 2,37 0,43 28,5 21,6

6 C.hollrungii Becc. Buku akar 1,11 0,55 4 2,2 7 C. inops Becc Tohiti halus 1,59 0,56 28,4 12 8 C. koordesianus Bcc. Beka, Boga 2,1 0,45 12,7 4,5 9 C.leiocaulis Becc. Hoa, Jermasin 2,35 0,62 23,3 10,7 10 C.macrosphaerion Becc Tohiti kasar 2,63 0,57 25,2 14,9 11 C. ornathus var celebicus

Becc. Lambang 1,90 0,45 23,0 6,5

12 C. pauciyugus Becc Daun pinang, tongka 1,75 0,49 13,6 5,2 13 C. pedicellatus Becc. Toromataha,Samole 0,93 0,64 9,7 3,1 14 C. symphysipus Becc. Alomanu, Ombol,

Laru 1,33 0,55 12,4 5,4

15 C. warbugii K.Schum. Suai, Sasami 1,21 0,55 20,1 4,2 16 C. zolingerii Becc. Batang, podos batang,

rotan air 3,21 0,41 26,9 21,7

17 Daemonorops lamprolepis Becc.

Tambaelulu, Lapa, Latea

1,73 0,51 21,2 8,2

18 D. robusta Warb. Noko, podos-kuluwi, batang

2,37 0,42 18,5 6,5

19 D. sasasinorum Warb. Benang, Nako, Ngalum

1,82 0,53 23,2 5,3

20 K. zippellii Bl. Kaprus 1,81 0,44 25,9 6,1 21 Daemonorps draco Jernang 1,5 0,51 - 7,5 22 Daemonorops

malanocaetes Seel 2,3 0,49 8,0

23 Daemonorops oblonga Teretes 1,9 0,44 - 5,5 24 Calamus orthostachys Sigisi 1,8 0,52 - 3,5 25 Daemonorops macroptera Susu 2,8 0,53 - 7,5 26 Korthlsia rigida Marau 1,7 0,66 - 9

Page 154: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

135

27 Demonorop didymophylla Tangkalang 1,8 0,51 - 7 28 C. burchianus Balubuk 2,5 0,50 - 4,9 29 Plectocomia elongata Bubuay 4,5 - - 14,7 30 Calamus manan manau 4,0 0,55 - 9 31 Korthalsia junghunii Sampang 1,6 0,58 - 4,7 32 Calamus scipionum semambu 2,8 0,44 - 4,5 33 Calamus ornatus Seuti 3,0 0,51 23,0 6,5

Sumber : Hadikusumo (1994), Jasni et.al 2007, 2010,2012 a, 2012 b Keterangan: *) A = Tanpa Steam ; B = Steam 15 menit

Page 155: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

136

Lampiran 11. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering (Dinoderus minutus Fabr.).

Jenis rotan Kehilangan berat (%)

Kelas awet

Sanjat (Calamus paspalanthus Becc.)

1,42 III

Mata pelanduk (Ceratolobus concolor Bl.)

1,41 III

Mawang (Calamus nematospadix)

1,92 III

Paku (Calamus exilis Griffith) 3,36 V Rus-rus (Calamus rostratus Furt) 0,61 I Maratam (Daemonorops hystrix (Griff.)Mart.)

2,07 III

Sega air (Calamus axillaris Becc.)

2,22 IV

Sega batu (Calamus diepenhorstii Mig.)

1,81 III

Sabut (Daemonorops sabut Becc.)

2,77 IV

Cacing (Calamus javensis Bl.) 3,51 V Hotang-hotang (Daemonorops didymophylla Becc)

0,74 I

Rotan labu (Daemonorops formicaria Becc)

0,99 II

Rotan bulu (Calamus hispidulus Becc.)

4,09 V

Rotan hotang pahu (Daemonorops sp)

0,65 I

Rotan pamano (Calamus didymocarpus (Mart.))

1,08 II

Lacak (Calamus crinita Bl) 1,30 II Sumber: Jasni dan Roliadi (2011)

Page 156: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

137

Lampiran 12. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvicnathus Holmgren).

Jenis rotan

Kehilangan berat (%)

Kelas awet

Balubuk (Camaus burchianus Becc) 42,14 IV Paku (Calamus exilis Griffith) 30,01 III Munduk (Calamus lobbianus Becc) 30,52 III Tohiti (Calamus inops Becc.ex Heyne) 23,64 II Manau (Calamus manan Miquel) 20,24 I Marau tunggal (Calamus marginatus (Bl) Mart)

37,32 IV

Tarumpu (Calamus muricatus Becc) 37,36 IV Seuti (Calamus ornatus Blume) 24,35 II Lambang (Calamus ornatus var celebicus Becc)

34,52 III

Batang, tohiti (Calamus orthostachyus Becc)

42,58 IV

Semambu (Calamus scipionum Loureiro) 21,58 I Janan (Calamus tumidus Furtado) 32,48 III Batang (Calamus zolingerii Becc) 36,51 III Jernang (Daemonorops draco (Willd.)Bl.) 39,51 IV Maratam (Daemonorops hystric (Griff.)Mart)

38,43 IV

Seel (Daemonorops malanocaetes BL) 34,63 III Batang merah (Daemonorops robusta Warb)

33,05 III

Tabu-tabu (Daemonorops sabensis Becc.ex Gibbs in J.Linn)

.34,50 III

Cabang (Korthalsia laciniosa Griff.ex.Mart)

47,90 V

Dahanan (Khorthalsia jala. J.Dransf) 20,56 I Sampang (Korthalsia junghunii Miq.) 29,06 II

Page 157: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

138

Marau (Khorthalsia cheb Becc) 17,41 I Bubuay (Plectocomia elongata Bl) 34,37 III Sadak (Plectocomia mulleri Bl) 44,97 IV Samarikik (Plectocomiaopsis mira. J. Dransf.)

48,04 V

Sumber: Jasni dan Roliadi (2010)

Page 158: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

139

Lampiran 13. Persentase susut berat dan volume pada tiap tahap proses pengolahan rotan besar

Tahap proses

Berat (%) Volume (%) Seuti Bubuay Seuti Bubuay

Panen 100 100 100 100 Tp-1 9 7 4 2 (91) (93) (96) (98) Tp-2 20 15 12 6 (72,8) (79,1) (84,5) (92,1) Tp-3 46 45 12 6 (39,9) (43,5) (74,4) (86,6) Tp-4,1 4 3 3 2 (37,3) (42,2) (72,2) (84,7) Tp-4,2 8 5 6 3 (34,3) (40,1) (67,9) (82,2)

Keterangan: Tp-1 = Transportasi kepenggorengan; Tp-2 = proses penggorengan;

Tp-3 = proses penjemuran; Tp-4.1 = proses polis kasar ; Tp-4.2 = proses polis halus; Angka dalam kurung adalah rendemen kumulatif.

Page 159: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

140

Lampiran 14. Persentase susut berat dan volume pada tiap tahap proses pengolahan rotan kecil.

Tahap proses

Berat (%) Volume (%) Seuti Bubuay Seuti Bubuay

Panen 100 100 100 100 Tp-1 9

(91) 8

(92) 6

(94) 6

(94) Tp-2 55

(41,0) 54

(42,3) 8

(86,5) 9

(85,5) Tp-3.1 74

(10,7) 62

(16,1)

Tp-3.2 31 (51,1)

38 (38,4)

Tp-4 (61,8) (54,4)

Keterangan: Tp-1 = tranportasi penjemuran; Tp-2 = proses penjemuran dan pengasapan; Tp-3.1 = proses pembuatan kulit; Tp-3.2 = proses pembuatan hati, bahan baku berasal dari nilai susut Tp-3.1 atau limbah pembuatan kulit; Tp-4 = rendemen total pembuatan kulit dan hati; Angka dalam kurung adalah rendemen kumulatif.

Page 160: ISBN 979-3132-17-5 Rotan

Osly

Rach

man

Jasn

i

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANANDAN PENGOLAHAN HASIL HUTANJl. Gunung Batu No. 5, BOGOR 16610Telp./Fax. (0251) 8633378/8633413website : www.pustekolah.orgE-mail : - [email protected] - [email protected]

ISBN 979-3132-17-5