HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN, KEBERSIHAN DIRI DAN
SOSIAL EKONOMI (PENDIDIKAN, STATUS PEKERJAN DAN PENDAPATAN) DENGAN STATUS GIZI BALITA
PADA PUSKESMAS MEUREUBO KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT
TAHUN 2012
SKRIPSI
OLEH
EVI SRI RAHAYU
NIM : 07C10104049
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH
2013
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan yang bertujuan
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan
kesehatan tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia baik
masyarakat, swasta, maupun pemeritah yang bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan yang optimal (Depkes RI, 2007).
Masalah gizi menimbulkan masalah pembangunan di masa yang akan datang.
Keterlambatan dalam memberikan pelayanan gizi akan berakibat kerusakan yang
sukar atau malahan tidak dapat ditolong. Karena itulah usaha-usaha peningkatan gizi
terutama harus ditujukan pada anak-anak balita dan ibu yang mengandung. Anak-
anak masa kini adalah pemimpin-pemimpin, cendikiawan, dan pekerja di masa yang
akan datang, mereka adalah harapan nusa dan bangsa (Suhardjo, 2003).
Dalam kehidupan, masa balita merupakan masa yang paling rawan bagi
kelangsungan kehidupan oleh karena kelompok usia balita merupakan kelompok
penduduk yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit dan infeksi yang akan
mengancam kelangsungan hidupnya. Disamping besarnya ancaman tersebut, masa
balita juga merupakan masa kritis bagi kelangsungan pertumbuhan dan
perkembangan, juga merupakan masa paling penting untuk meletakkan dasar-dasar
2
perkembangan motorik, kecerdasan dan kemampuan akademik serta perkembangan
kepribadian dan kemandirian pada seorang anak (Soetjiningsih, 2005).
Asupan gizi adalah indikator utama dalam tumbuh kembang anak, ditinjau
dari sudut tumbuh kembang anak masa balita merupakan kurun waktu pertumbuhan
paling pesat khususnya pertumbuhan dan perkembangan otak, oleh karena itu
pemberian nutrisi yang adekuat yang diberikan ibu memegang peranan penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak, karena gizi dibutuhkan sejak dalam
kandungan. Kebutuhan gizi sudah ada pembuktian bahwa gizi yang baik akan
menjadi modal besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut sampai
masa dewasanya kelak (Latief, 2006).
Secara umum, kurangnya asupan makanan dapat menyebabkan defisiensi gizi
balita sehingga dapat menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh akibat
kebersihan diri yang kurang. Gizi kurang dan infeksi kedua-duanya dapat bermula
dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk
(Sediaoetama, 2004).
Khusus untuk masalah Kurang Energi Protein (KEP) atau biasa dikenal
dengan gizi kurang atau yang sering ditemukan secara mendadak adalah gizi buruk
terutama pada anak balita, masih merupakan masalah yang sangat sulit sekali
ditanggulangi oleh pemerintah, walaupun penyebab kasus gizi itu sendiri pada
dasarnya sangat sederhana yaitu kurangnya intake (konsumsi) makanan terhadap
kebutuhan makan seseorang, namun tidak demikian oleh pemerintah dan masyarakat
karena masalah gizi buruk adalah masalah ketersediaan pangan ditingkat rumah
tangga, tetapi anehnya didaearah-daearah yang telah swasembada pangan bahkan
3
telah terdistribusi merata sampai ketingkat rumah tangga (misalnya program raskin),
masih sering ditemukan kasus gizi (Arsad, 2006).
Selain itu, masalah kekurangan gizi juga terjadi akibat kebersihan diri yang
kurang yang akan memicu beberapa penyakit infeksi seperti diare, kecacingan, dan
infeksi saluran pernafasan. Balita yang terkena penyakit infeksi tersebut potensial
menderita kekurangan gizi (Depkes RI, 2007).
Salah satu kondisi yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan rawan
kesehatan adalah anak balita sudah mulai main di tanah, dan sudah dapat main di luar
rumahnya sendiri, sehingga lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi
yang memungkinkan untuk terinfeksi dengan berbagai macam penyakit
(Notoatmodjo,2003).
Menurut Fadiana (2012) balita lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti
kecacingan atau diare dibandingkan orang dewasa, hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu anak-anak belum mempunyai kesadaran mengenai kesehatan dan
kebersihan dirinya sehingga masih tergantung dengan tanggungjawab ibu dalam
merawat kebersihan diri balitanya, balita belum mengerti konsekuensi apabila tidak
memiliki perilaku hidup bersih dan sehat, rasa ingin tahu yang tinggi yang biasanya
ingin mencoba makanan apa saja dan memasukkan jari tangan atau mainan
kemulutnya, serta balita belum dapat membedakan makanan yang bersih dan layak
dikonsumsi yang dapat diperparah dengan kebiasaan jajan di luar rumah.
Penyakit cacing dan diare sangat berpengaruh pada kondisi kesehatan balita
secara umum, selain itu penyakit infeksi tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan balita (Gandahusada, 2000).
4
Masalah gizi erat juga kaitannya dengan status sosial ekonomi yang
diakibatkan oleh kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan terbatasnya
lapangan pekerjaan yang menyebabkan rendahnya pendapatan masyarakat dalam
mencukupi kebutuhan sehari-hari (Depkes RI, 2007).
Soetjiningsih (2005) berpendapat bahwa pendidikan formal ibu akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu tentang gizi. Semakin tinggi tingkat
pendidikan ibu semakin tinggi kemampuan ibu untuk menyerap pengetahuan lebih
baik dan juga dari pendidikan non formal terutama melalui media massa.
Kemiskinan juga merupakan penyebab berkurangnya asupan makanan,
sehingga harus mendapat perhatian yang lebih serius karena faktor sosial ekonomi
sangat berpengaruh pada konsumsi pangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas,
besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya setidaknya
keanekaragaman jenis makanan yang diberikan pada balita kurang bisa dijamin,
karena dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan (Karjati, 2003).
Upah Minimum Regional (UMR) Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2012
adalah Rp. 1.400.000.- perbulan (BPS NAD, 2012). Ini menggambarkan bahwa
penghasilan keluarga minimal untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga di
Nanggroe Aceh Darussalam adalah Rp. 1.400.000.- perbulan. Bila penghasilan
keluarga tidak mencapai Rp. 1.400.000.- perbulan, maka akan sangat sulit untuk
memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Hasil sensus penduduk dan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2011,
dari jumlah balita di Indonesia sebanyak 26,7 juta tercatat sekitar 4,7 juta balita di
Indonesia kini menderita gizi kurang dan 1,3 juta lainnya mengalami gizi buruk.
5
Berdasarkan profil Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2011, di Provinsi Aceh
ditemukan Balita dengan gizi buruk 3.543 orang dan gizi kurang 18.457 orang.
Sedangkan di Kabupaten Aceh Barat dengan jumlah balita secara keseluruhan 14.275
balita, dari jumlah tersebut didapatkan 220 kasus gizi buruk (Profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh Barat tahun 2011).
Dalam wilayah kerja Puskesmas Meureubo dari 1.289 balita ditemukan 19
kasus gizi kurang dan 3 kasus gizi buruk (Laporan gizi Puskesmas tahun 2011).
Berdasarkan laporan tersebut, kasus gizi kurang pada balita yang terdapat di
kecamatan Meureubo termasuk tinggi bila dibandingkan pada wilayah kerja
Puskesmas Johan Pahlawan dengan kasus gizi kurang berjumlah 12 kasus dan 1
kasus gizi buruk dari 1.629 balita di kecamatan Johan Pahlawan (Profil Dinas
Kesehatan Kabupaten Aceh Barat tahun 2011).
Dari permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk mengambil masalah
tersebut dalam penelitian yang berjudul “Hubungan Asupan Makanan, Kebersihan
diri, dan Sosial Ekonomi dengan Status Gizi Balita Pada Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Tahun 2012”.
1.2. Rumusan Masalah
Adakah hubungan asupan makanan, kebersihan diri, dan sosial ekonomi
terhadap status gizi balita dalam wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan
Meureubo Kabupaten Aceh Barat tahun 2012.
6
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan asupan makanan, kebersihan diri, dan sosial
ekonomi dengan status gizi balita dalam wilayah kerja Puskesmas Meureubo
Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat tahun 2012.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan asupan makanan dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten
Aceh Barat.
2. Untuk mengetahui hubungan kebersihan diri dengan status gizi balita di
wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten
Aceh Barat.
3. Untuk mengetahui hubungan tingkat Sosial Ekonomi dengan status gizi
balita di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo
Kabupaten Aceh Barat.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Menambah pengetahuan serta wawasan bagi penulis tentang hubungan
antara faktor asupan makanan, sosial ekonomi, dan kebersihan diri dengan
status gizi balita.
7
2. Memberikan pengetahuan bagi masyarakat tentang hubungan faktor asupan
makanan, kebersihan diri, dan status sosial ekonomi dengan status gizi
balita.
1.4.2. Manfaat Aplikatif
1. Sebagai informasi atau masukan kepada Puskesmas dalam program
menurunkan kasus gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Meureubo.
2. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat dalam
membuat kebijakan-kebijakan kesehatan yang berhubungan dengan
peningkatan derajat kesehatan balita di Kabupaten Aceh Barat.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Gizi Balita
2.1.1. Pengertian
Status gizi balita adalah indikator kesehatan yang penting, karena anak usia di
bawah lima tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap kesehatan dan gizi (Depkes
RI, 2008).
Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan sebagai akibat keseimbangan
antara konsumsi, penyerapan zat gizi dan penggunaannya di dalam tubuh (Supariasa,
2002).
Status gizi balita adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh derajat
kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan
yang dampak fisiknya diukur secara antroppometri ( Suhardjo, 2003).
2.1.2. Penilaian Status Gizi Balita
Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok
masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal
dengan Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropomteri
disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel umur, berat badan,
tinggi badan dan lingkar lengan atas (Arsad, 2006).
Ada beberapa cara mengukur status gizi anak yaitu dengan pengukuran klinis,
biokimia, biofisik, dan antropometrik (Supariasa, 2002).
9
1. Pengukuran Klinis
Pengukuran klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi
masyarakat. Metode ini didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel
seperti kulit, mata, rambut, mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan
permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa, 2002)
2. Pengukuran Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji
secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh
yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja, hati, dan otot (Supariasa, 2002).
3. Pengukuran Biofisik
Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dan
jaringan.
4. Pengukuran Antropometrik
Dalam pengukuran antropometrik dapat dilakukan beberapa macam pengukuran
yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan sebagainya. Dari
beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas sesuai
dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei gizi (Soekirman, 2000).
Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau
TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang
dapat merupakan kombinasi dari ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna
sendiri-sendiri. Misalnya kombinasi BB dan umur membentuk indikator BB menurut
umur yang disimbolkan dengan ―BB/U‖. Kombinasi TB dan umur membentuk indikator
10
TB menurut umur yang disimbolkan dengan ―TB/U‖. Kombinasi BB dan TB membentuk
indikator BB menurut TB yang disimbolkan dengan ―BB/TB‖ (Soekirman, 2000).
a. Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Indikator BB/U berguna untuk mengukur status gizi saat ini. Berat badan
merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh
sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit
infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi.
Berat badan adalah parameter antroprometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal
dimana kesehatan baik, keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin maka
berat badan berkembang mengikuti pertumbuhan umur.
Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan
berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal.
Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur
digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat status gizi
seseorang saat ini (Supariasa, 2002).
1) Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan cara :
a) Timbang berat badan anak.
b) Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk indikator BB/U yang sesuai dengan jenis
kelamin anak.
c) Perhatikan kolom paling kiri untuk variabel perujuk yaitu umur.
d) Bandingkan hasil pengukuran dengan angka yang ada dalam tabel.
11
1. Tergolong gizi lebih jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada
kolom + 2 SD baku WHONCHS
2. Tergolong gizi baik jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada
kolom -2 SD dan lebih kecil dari + 2 SD baku WHO-NCHS
3. Tergolong gizi kurang jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka
pada kolom - 3 SD lebih kecil dari - 2 SD baku WHO-NCHS
4. Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada kolom -3 SD
baku WHO-NCHS
2) Kelebihan indikator BB/U
a) Mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum.
b) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis.
c) Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka pendek.
d) Dapat mendeteksi kegemukan
3) Kelemahan indikator BB/U
a) Interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat pembengkakan atau oedem
b) Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak tidak dilepas/dikoreksi dan
anak bergerak terus.
c) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah lima tahun.
d) Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orangtua untuk tidak mau
menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan.
b. Indikator Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Indikator TB/U berguna untuk mengambarkan status gizi masa lalu. Dalam
keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur.
12
Pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu
singkat. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam
waktu yang cukup lama. (Soekirman, 2000).
1) Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan cara :
a) Ukur tinggi badan anak.
b) Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS (World Health Organization-Nation
Center for Health Statistics) untuk indikator TB/U yang sesuai dengan jenis
kelamin anak.
c) Perhatikan kolom paling kiri untuk variabel perujuk yaitu umur.
d) Bandingkan hasil pengukuran dengan angka yang ada dalam tabel.
1. Tergolong normal jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada
kolom - 2 SD baku WHO-NCHS
2. Tergolong Stunted/pendek gizi baik jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada
kolom -2 SD baku WHO-NCHS
2) Kelebihan indikator TB/U
a) Dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa lampau.
b) Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.
3) Kekurangan indikator TB/U
a) Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkinh turun.
b) Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini.
c) Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak sehingga
diperlukan dua orang untuk melakukannya.
13
d) Ketepatan umur sulit didapat.
c. Indikator Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Merupakan pengukuran antropometrik yang terbaik. Ukuran ini dapat
menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif. Berat badan berkorelasi linear
dengan tinggi badan artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan
mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat
badan yang normal akan proposional dengan tinggi badannya (Soekirman 2000).
1) Cara Pengukuran
Pengukuran dilakukan dengan cara :
a) Timbang berat badan dan ukur tinggi badan anak
b) Siapkan tabel rujukan WHO-NCHS untuk indikator BB/TB yang sesuai dengan
jenis kelamin anak
c) Perhatikan kolom paling kiri untuk variabel perujuk yaitu Tinggi Badan
d) Bandingkan hasil pengukuran dengan angka yang ada dalam tabel.
(1) Tergolong gemuk lebih jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada
kolom + 2 SD baku WHO-NCHS
(2) Tergolong normal jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada kolom
-2 SD dan lebih kecil dari + 2 SD baku WHO-NCHS
(3) Tergolong kurus/wasted jika hasil ukur lebih besar atau sama dengan angka pada
kolom -3 SD lebih kecil dari - 2 SD baku WHO-NCHS
(4) Tergolong sangat kurus gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari angka pada
kolom -3 SD baku WHONCHS
2) Kelebihan pemakaian indikator BB/TB
14
a) Tidak memerlukan data umur.
b) Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, dan kurus).
3) Kelemahan pemakaian indikator BB/TB
a) Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi
badan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena factor umur tidak
dipertimbangkan.
b) Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran
panjang/tinggi badan pada kelompok balita.
c) Membutuhkan dua macam alat ukur.
d) Pengukuran relatif lebih lama.
e) Membutuhkan dua orang untuk melakukannya.
f) Sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran, terutama bila
dilakukan oleh kelompok non-profesional.
d) Indikator Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LLA/U)
Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan
lapisan lemak bawah kulit.
1. Kelebihan Indeks LLA/U
a) Indikator yang baik untuk menilai KEP berat.
b) Alat ukur murah, sangat ringan dan dapat dibuat sendiri sendiri.
2. Kelemahan Indeks LLA/U
a) Hanya dapat mengidentifikasi anak dengan KEP berat.
b) Sulit menentukan ambang batas.
15
c) Sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak terutama anak usia 2 sampai 5
tahun yang perubahannya tidak nampak nyata.
Tabel 2.1. Penilaian Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks BB/U,TB/U,
BB/TB Standart Baku Antropometeri WHO-NCHS
No Indeks yang
dipakai
Batas
Pengelompokan
Sebutan Status
Gizi
1 BB/U < -3 SD Gizi buruk - 3 SD s/d <-2 SD Gizi kurang
- 2 SD s/d +2 SD Gizi baik > +2 SD Gizi lebih
2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek
- 3 SD s/d <-2 SD Pendek - 2 SD s/d +2 SD Normal > +2 SD Tinggi
3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus - 3 SD s/d <-2 SD Kurus - 2 SD s/d +2 SD Normal
> +2 SD Gemuk
Sumber : Depkes RI 2007.
Status Gizi adalah skor z dengan indeks BB/U dari anak balita diukur dengan
menggunakan baku rujukan WHO-NCHS yang dihitung secara manual. (Waterlow.et
al, dalam, Djuamadias, Abunain, 1990). Rumus untuk menghitung skor z:
Berat badan saat ini – Median Skor z =
SD (median -(-1SD)
Kegunaan penilaian atau deteksi tumbuh kembang untuk mengetahui
penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui secara dini, sehingga upaya
pencegahan, upaya stimulasi dan upaya penyembuhan serta pemulihan dapat
diberikan indikasi yang jelas sedini mungkin pada masa-masa kristis proses tumbuh
kembang, dimana upaya-upaya tersebut diberikan sesuai dengan umur perkembangan
16
anak, dengan demikian dapat tercapai kondisi tumbuh kembang yang optimal
(Khomsan dkk, 2006).
2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita
2.2.1. Faktor Asupan Makanan
Dengan asupan makanan yang sehat, kondisi fisik tubuh akan lebih terjamin sehingga
tubuh akan dapat melakukan aktifitasnya dengan baik pula. Dengan tubuh yang sehat,
orang akan lebih bersemangat untuk bekerja, berpikir dan akan lebih produktif.
Begitu pula halnya dengan anak-anak. Anak yang sehat akan tampak lebih lincah,
kreatif dan bersemangat belajar. Hal ini karena kebutuhan tubuh dapat dipenuhi
dengan baik sehingga organ-organ tubuh akan melakukan fungsinya dengan baik
pula. Sebaliknya, bila tubuh kekurangan suatu zat gizi tertentu, maka daya tahannya
juga akan menurun. Kemampuan kerjanya melemah. Dan bila berkelanjutan akan
dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya (Hardani, 2002).
Gizi makanan sangat mempengaruhi pertumbuhan termasuk pertumbuhan sel
otak sehingga dapat tumbuh optimal dan cerdas, untuk ini makanan perlu
diperhatikan keseimbangan gizinya sejak janin melalui makanan ibu hamil sebab
pertumbuhan sel otak akan berhenti pada usia 3-4 tahun (Suhardjo, 2003).
Usia balita merupakan masa peralihan makanan dari makanan pendamping
ASI ke makanan orang dewasa. Namun, pemberiannya juga masih bertahap
disesuaikan dengan kemampuan sistem pencernaan anak dan kebutuhan gizinya. Di
usia ini, saatnya memperkenalkan ragam makanan. Namun, yang harus diingat pilih
yang sehat dan alami karena akan menentukan pola makan anak selanjutnya.
17
Sesuai dengan kemampuan pencernaan dan kebutuhan gizi, balita dipilah
menjadi dua, yaitu batita (1—3 tahun) dan prasekolah (4—5 tahun). Batita
merupakan konsumen pasif, artinya dia masih menerima saja makanan yang
diberikan orang tuanya. Berikan makan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering
(7—8 kali) sehari, terdiri atas tiga kali makan pagi, siang, dan sore, 2—3 kali makan
selingan, dan 3—4 kali minum susu.Masing-masing usia ini memerlukan makanan
yang berbeda sesuai tahap perkembangan saluran pencernaannya dan kebutuhan
gizinya (Sutomo, 2007).
Berdasarkan Soekirman dalam materi Aksi Pangan dan Gizi Nasional
(Depkes, 2000), menjelaskan bahwa penyebab langsung balita mengalami kurang gizi
yaitu anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab gizi kurang
tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang
mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit kecacingan, diare, atau
demam yang disebabkan kebersihan diri dan lingkungan yang rendah dapat menderita
kekurangan gizi. Demikian pada anak yang asupan makannya tidak cukup baik maka
daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik
asupan makanan maupun penyakit dan kebersihan diri yang kurang secara bersama-
sama merupakan penyebab kurang gizi.
Jenis makanan selingan yang baik adalah yang mengandung zat gizi lengkap
yaitu sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, seperti nasi isi daging
sayuran, tahu isi daging sayuran, roti isi daging ayam dan sayuran, pizzza dan lain-
lain. Fungsi makanan selingan adalah:
18
1. Memperkenalkan aneka jenis makanan yang terdapat dalam bahan makanan
selingan.
2. Melengkapi zat-zat gizi yang mungkin kurang dalam makanan utamanya (pagi,
siang dan malam).
3. Mengisi kekurangan kalori akibat banyaknya aktivitas anak pada usia balita.
Makanan selingan yang baik dibuat sendiri di rumah sehingga sangat higienis
dibandingkan jika dibeli di luar rumah (Soetjiningsih, 2005).
Pengetahuan dasar tentang cara menyusun makanan sehari-sehari (menu) yang
seimbang sangat diperlukan guna mendapatkan fariasi dengan harga yang terjangkau
tapi memenuhi selera. Makanan sehari-hari harus memberikan semua zat gizi
essensial dalam jumlah yang adekuat. Susunan bahan makanan yang menghasilkan
komposisi cukup tersebut dikenal sebagai menu seimbang (Sulistijani, 2001).
Menurut Sulistijani (2001) ciri menu seimbang adalah sebagai berikut :
a. Menghasilkan cukup energi yang diperlukan tubuh.
b. Memenuhi kebutuhan protein untuk pertumbuhan, mekanisme pertahanan,
perbaikan jaringan yang rusak dan pemeliharaan.
c. Mengandung cukup lemak untuk memberikan asam lemak essensial dan
melarutkan vitamin yang larut dalam lemak.
d. Memberikan vitamin dan mineral dalam jumlah yang adekuat.
19
2.2.2. Faktor Kebersihan diri
Kurangnya kebersihan diri pada balita sering dihubungkan dengan penyakit,
seperti penyakit infeksi, dan parasit (cacing). Di Indonesia, penyakit infeksi masih
menghantui jiwa dan kesehatan anak- anak balita. Infeksi bisa berhubungan dengan
gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu dapat mempengaruhi nafsu makan, dapat
juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare/muntah-muntah, atau
mempengaruhi metabolisme makanan dan banyak cara lain lagi yang dapat
menurunkan kekebalan pada diri balita (Sulistijani, 2001).
Menurut Fadiana (2012) balita lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti
kecacingan atau diare dibandingkan orang dewasa, hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu anak-anak belum mempunyai kesadaran mengenai kesehatan dan
kebersihan dirinya sehingga masih tergantung dengan tanggungjawab ibu dalam
merawat kebersihan diri balitanya, balita belum mengerti konsekuensi apabila tidak
memiliki perilaku hidup bersih dan sehat, rasa ingin tahu yang tinggi yang biasanya
ingin mencoba makanan apa saja dan memasukkan jari tangan atau mainan
kemulutnya, serta balita belum dapat membedakan makanan yang bersih dan layak
dikonsumsi yang dapat diperparah dengan kebiasaan jajan di luar rumah.
Selain itu kondisi yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan rawan
kesehatan yaitu anak balita sudah mulai main di tanah, dan sudah dapat main di luar
rumahnya sendiri, sehingga lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi
yang memungkinkan untuk terinfeksi dengan berbagai macam penyakit
(Notoatmodjo,2003).
20
Kebersihan pada diri balita haruslah ditanam sejak dini, untuk mencegah
tingkat kesakitan yang lebih tinggi, seperti mencuci tangan sebelum makan,
menggosok gigi, mandi dan menggunting kuku (Kardjati, 2003).
a. Mencuci tangan
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan
membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk
menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Biasakan mencuci tangan pakai
sabun (CPTS) pada 5 waktu kritis, yaitu sebelum makan, sehabis buang air besar,
sebelum menyusui, sebelum menyiapkan makan, setelah menceboki balita, dan
setelah kontak dengan hewan (Depkes RI, 2011).
b. Mandi dan menggosok gigi
Mandi minimal 2 kali sehari dapat menghindari anak terserang penyakit yang
diakibatkan oleh bakteri dan kuman. Berikan pakaian yang bersih setelah mandi dan
menggosok gigi balita pada pagi hari setelah makan dan malam sebelum tidur (Nova,
2011).
c. Menggunting kuku
Pertumbuhan kuku pada balita biasanya lebih cepat dari pada orang dewasa,
maka perlu menggunting kukunya 1-2 kali dalam seminggu (Nova, 2011).
2.2.3. Faktor Sosial Ekonomi
a. Pengertian
Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat sedangkan ekonomi
adalah segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai
kemakmuran hidupnya serta pengaturan rumah tangganya (Pius dan Dahlan, 2001 ).
21
Sosial ekonomi adalah suatu konsep, dan untuk mengukur sosial ekonomi
keluarga harus melalui variabel-variabel pendapatan keluarga,tingkat pendidikan dan
pekerjaan (Notoatmodjo, 2005).
Keadaan sosial ekonomi yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan
berbagai masalah kesehatan yang dihadapi, hal ini disebabkankarena
ketidakmampuan dan ketidaktahuan dalam mengatasi berbagaimasalah tersebut
(Nasrul,1998)
b. Variabel yang diukur dalam sosial ekonomi keluarga
1. Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya,masyarakat, bangsa dan negara (UU RI No. 20 tahun 2003).
Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang
dapat saling melengkapi dan memperkaya. Tingkat pendidikan formal terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengahdan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar
merupakan tingkat pendidikan yang melandasi tingkat pendidikan menengah. Adapun
tingkat pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah merupakan lanjutan
pendidikan dasar. Adapun bentuk pendidikan menengah adalah Sekolah Menengah
Atas (SMA) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan tingkat
22
pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, sarjana,
magister, spesialis dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (UU RI
No. 20 tahun 2003).
Tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi karena dengan
meningkatnya pendidikan kemungkinan akan meningkatkan pendapatan sehingga
dapat meningkatkan daya beli makanan (FKM UI, 2007 ). Pendidikan diperlukan
untuk mendapatkan informasi, misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup.
2. Pekerjaan ibu
Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara
mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak. Bekerja umumnya
merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu- ibu akan mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan keluarga (Nursalam & S. Pariani, 2001).
Anak yang mendapatkanperhatian lebih, baik secara fisik maupun emosional,
selalu mendapat senyuman, mendapat makanan yang seimbang maka keadaan gizinya
lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapat perhatian
orang tua (Depkes RI, 2002).
3. Penghasilan keluarga
Menurut Emil Salim (Hartomo, 2004) bahwa kemiskinan adalah merupakan
suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dan
lain- lain.
23
Salah satu akibat dari kurangnya kesempatan kerja adalah rendahnya
pendapatan masyarakat. Kurangnya kesempatan kerja yang tersedia tidak lepas dari
struktur perekonomian Indonesia yang sebagian besar masih tergantung pada sektor
pertanian termasuk masyarakat pedesaan yang sebagian besar hidup dari hasil
pertaniaan (agraris) dan pekerjaan-pekerjaan yangbukan agraris hanya bersifat
sambilan sebagai pengisi waktu luang (Ahmadi Abu, 1997).
Tolok ukur yang umumnya digunakan untuk penggolongan seseorang atau
masyarakat dikatakan miskin adalah tingkat pendapatan (Ahmadi Abu, 1997).
Pendapatan merupakan nilai maksimal yang dapat dikonsumsi oleh seseorang
dalam satu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode
seperti semula (Rustam, 2002).
Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal itu karena
tingkat pendapatan merupakan faktor yangmenetukan kualitas dan kuantitas makanan
yang dikonsumsi. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan antara lain
tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan
terbatas kemungkinan besarakan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya
terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (FKM UI, 2007).
Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Orang dengan tingkat
ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan untuk
makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan berkurang belanja
untuk makanan (FKM UI, 2007 ). Hal ini akan berdampak terhadap status gizi balita
yang pada umumnya akan menurun (Depkes RI, 2000).
24
Pendidikan
2.3. Kerangka konsep Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka yang menjelaskan bahwa penyebab masalah gizi
balita diantaranya disebabkan oleh faktor asupan makanan, kebersihan diri, dan sosial
ekonomi yang meliputi pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan keluarga (Soekirman :
2000), Suhardjo : 2003, Sulistijani : 2001, dan Notoatmodjo : 2005).
Berdasarkan pemikiran di atas maka variabel penelitian dapat dilihat pada
skema di bawah ini:
Variabel Independen (Bebas)
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian
2.4. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara faktor asupan makanan terhadap status gizi balita pada
Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.
Asupan makanan
Kebersihan Diri
Status Gizi Balita
Pekerjaan
Penghasilan
Variabel Dependen (Terikat)
25
2. Ada hubungan antara faktor kebersihan diri terhadap status gizi balita pada
Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.
3. Ada hubungan antara faktor tingkat pendidikan ibu terhadap status gizi balita
pada Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.
4. Ada hubungan antara faktor pekerjaan orang tua dengan status gizi balita pada
Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.
5. Ada hubungan antara faktor tingkat penghasilan orang tua terhadap status gizi
balita pada Puskemas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh
Barat.
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian survey yang bersifat analitik yang
menggunakan desain cross-sectional untuk melihat hubungan faktor asupan
makanan, kebersihan diri, dan sosial ekonomi orang tua dengan status gizi balita pada
Puskesmas Meureubo Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kabupaten
Aceh Barat yang direncanakan pada tanggal 22 Juni sampai 03 juli 2012.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki balita di
wilayah kerja Puskesmas Meureubo tahun 2012 sebanyak 2659 orang (Laporan
Puskesmas Meureubo per Mei tahun 2012).
3.3.2. Sampel
Besar sampel diperoleh dengan menggunakan rumus Notoatmodjo (2005)
sebagai berikut :
27
N
n = 1 + N ( d )2
2659
n =
1 + 2659 ( 0,1 )2
2659 n =
1 + 26596 ( 0,01 )
2659
n = 1 + 26,59
2659 n =
27,59
n = 96,3 = 96
Keterangan :
n = Besarnya sampel
N = Besarnya populasi
d = Besarnya penyimpangan yang masih dapat ditolerir (0,1).
Maka besarnya sampel minimal yang diambil pada penelitian ini adalah
sebanyak 96 orang.
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dengan wawancara langsung dengan
responden, menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan.
28
3.4.2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari laporan tahunan Puskesmas
Meureubo dan Dinas kesehatan Kabupaten Kabupaten Aceh Barat, serta literatur-
literatur lainnya yang berhubungan dengan penelitian.
3.5. Definisi Operasional Variabel
Tabel 3.1. Varibel Penelitian
No Variabel Independen
1. Variabel : Asupan Makanan
Definisi : Pola makan dan jenis makanan yang diberikan ibu
kepada balita serta jajanan di luar rumah. Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner Hasil ukur : 1. Baik
2. Kurang Baik
Skala ukur : Ordinal
2. Variabel : Kebersihan Diri
Definisi : Rutinitas yang dilakukan ibu terhadap balita yang mencakup kebiasaan cuci tangan, gunting kuku, mandi,
buang air besar, menggunakan alas kaki dan kebiasaan menyikat gigi.
Cara ukur : Wawancara / Observasi. Alat ukur : Kuesioner Hasil ukur : 1. Baik
2. Kurang Baik Skala ukur : Ordinal
3. Variabel : Pendidikan
Definisi : Jenjang kelulusan yang di tempuh responden dengan
mendapatkan ijazah Cara ukur : Wawancara
Alat ukur : Kuesioner Hasil ukur : 1. Tinggi
2. Menengah
3. Rendah Skala ukur : Ordinal
29
4. Variabel : Pekerjaan
Definisi : kegiatan rutin yang dilakukan orangtua balita untuk memenuhi kebutuhan hidup
Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner Hasil ukur : 1. Tidak Bekerja
2. Bekerja Skala ukur : Nominal
5. Variabel : Penghasilan
Definisi : jumlah rata-rata pendapatan keluarga perbulan
Cara ukur : Wawancara Alat ukur : Kuesioner
Hasil ukur : 1. Tinggi ≥1.400.000/ bulan 2. Rendah <1.400.000/ bulan
Skala ukur : Ordinal
Variabel Dependen
6. Variabel : Status gizi balita
Definisi : keadaan kesehatan balita ditinjau dari pemenuhan kebutuhan gizi yang diukur dari BB/U.
Cara ukur : menghitung berat badan/umur (BB/U) balita Alat ukur : tabel baku rujukan WHO-NHCS yang dihitung secara
manual. Hasil ukur : 1. Baik 2. Kurang Baik
Skala ukur : Ordinal
3.6. Aspek pengukuran
3.6.1. Variabel Asupan Makanan
Penilaian variabel asupan makanan diukur dengan menggunakan skala Likert
(Sugiyono, 2002). Jumlah pertanyaan untuk mengukur variabel asupan makanan ada
6 pertanyaan dengan total nilai skor 18. Jika responden menjawab dengan tepat diberi
skor (3), jawaban yang kurang tepat diberi skor (2), dan jawaban tidak tepat diberi
skor (1).
30
Berdasarkan total skor 18 dari 6 pertanyaan yang diajukan, maka variabel
asupan makanan dikategorikan dalam 2 kategori:
a. Kategori baik jika nilai >50% (skor >10)
b. Kategori kurang baik jika nilai ≤50% (skor ≤10)
3.6.2. Variabel Kebersihan Diri
Penilaian variabel kebersihan diri diukur dengan menggunakan skala Likert
dengan total skor 21 dari 7 pertanyaan yang diajukan, maka variabel kebersihan diri
dikategorikan dalam 2 kategori:
a. Kategori baik jika nilai >50% (skor >14)
b. Kategori kurang jika nilai ≤50% (skor ≤14)
3.6.3. Variabel Pendidikan
a. Tinggi : Apabila ibu tamat pendidikan diploma, sarjana, spesialis, dan
doktor.
b. Menengah : Apabila ibu tamat pendidikan SMA, SMK, dan MA
c. Rendah : Apabila ibu hanya tamat pendidikan SD/MI/, SMP/MTs
3.6.4. Variabel Pekerjaan
1. Tidak bekerja : Tidak ada pekerjaan sehari-hari yang mendapatkan
gaji/upah.
2. Bekerja : Mempunyai pekerjaan atau kegiatan sehari-hari yang
menghasilkan pemasukan bagi ekonomi keluarga.
3.6.5. Variabel Penghasilan
31
1. Tinggi : Jika mempunyai pendapatan perbulan lebih dari atau sama
dengan Rp1.400.000,00 (Upah Minimum Regional Provinsi
Aceh tahun 2012).
2. Rendah : Jika mempunyai pendapatan perbulan kurang dari
Rp.1.400.000,00 (Upah Minimum Regional Provinsi Aceh
tahun 2012).
3.6.6. Variabel Status Gizi Balita
1. Baik : Dikategorikan dalam keadaan berat badan normal, yang
diukur menurut BB/U menggunakan baku rujukan WHO-
NCHS dengan rumus skor z (Tabel 2.1, hal 15)
2. Kurang Baik : Dikategorikan dalam keadaan berat badan kurang, buruk dan
lebih yang diukur menurut BB/U menggunakan baku
rujukan WHO-NCHS dengan rumus skor z (Tabel 2.1, hal
15)
3.7. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini sebagai berikut : setelah
peneliti mendapatkan rekomendasi dari institusi dan surat pengantar dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat, kemudian peneliti meminta ijin kepada Kepala Puskesmas
Meureubo untuk melakukan penelitian. Setelah itu, peneliti meminta data jumlah
populasi balita yang ada di wilayah kerja puskesmas Meureubo pada unit pelayanan
gizi puskesmas, kemudian peneliti memilih responden secara acak dari data populasi
balita secara proporsional perposyandu. Didapatkan jumlah balita hasil pemilihan
32
sebanyak 96 balita. Kemudian peneliti melakukan penelitian pada tanggal 22 Juni
sampai 03 Juli 2012. Sebelumnya peneliti meminta ijin untuk mewawancarai dan
menimbang balitanya kepada responden penelitian. Dan setelah berat badan dan umur
diketahui kemudian dibandingkan dengan tabel baku rujukan WHO-NCHS menurut
BB/U (Berat Badan/Umur) dengan melihat nilai Z-skore.
3.8. Teknik Analisis Data
3.8.1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan atau menggambarkan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti dalam bentuk distribusi frekuensi
dari setiap variabel penelitian. Tujuannya adalah untuk melihat seberapa besar
proporsi variabel yang diteliti dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi.
Analisis ini juga digunakan untuk mendapatkan gambaran proporsi status gizi
balita berdasarkan asupan makanan, kebersihan diri, dan sosial-ekonomi (pendidikan,
pekerjaan, dan penghasilan).
3.8.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan satu variabel independen
dengan satu variabel dependen, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen dengan tanpa mempertimbangkan variabel
independen atau faktor- faktor lainnya. Analisis bivariat menggunakan uji kai kuadrat
(Chi-square ), karena semua data diukur dalam skala katagorik dikotomi (melihat
hubungan antara variabel katagorik dengan variabel katagorik). Jika ada sel yang
33
mempunyai nilai harapan dari (kurang dari 5) lebih dari 20% dari jumlah keseluruhan
sel, maka uji yang digunakan ”Fisher’ s Exact Test”.
Prinsip dasar uji kal kai kuadrat adalah membandingkan frekuensi yang terjadi
( observed ) dengan frekuensi harapan ( expected ). Uji statistik Chi-square juga
untuk melihat suatu hubungan (jika ada) antara dua variabel sehingga diperole h nilai
χ² dan kemaknaan statistik ( nilai p value ).
(o – E)
Rumus : χ² = ∑ E
df = (k – 1)(b-1)
α= 0,05
Keterangan : O = Frekuensi Observed
E = frekuensi Expected
df = degree of fredom (derajat kebebasan)
k = kolom
b = baris
Uji ini dipergunakan untuk membandingkan hasil perhitungan statistik χ² yang
didapat dengan ”critical value” yang ditemukan pada tabel Chi-square. Critical value
tersebut tergantung pada yang dipilih (dalam penelitian ini α = 0,05) dan nilai df nilai
χ² tersebut akan bermakna jika nilai χ² yang diperoleh dari hasil perhitungan melebihi
nilai critical value dan nilai p yang diperoleh lebih kecil dari 0,05 atau secara manual
dikatakan bermakna jika nilai χ² hitung lebih besar dari nilai χ² tabel (Sutanto,
2007).
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.Hasil Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum
UPTD Puskesmas Meureubo berdiri pada tahun 1992 dan
merupakan Unit Pelaksana Dinas dengan sistem pelayanan rawat jalan
yang beralamat dijalan Datoek Janggoet Meuh Desa Meureubo Kecamatan
Meureubo dengan luas wilayah kerja 199,43 Ha.
Unit pelayanan puskesmas induk debantu dengan lima puskesmas
pembantu, salah satu puskesmas pembantu daerah transmigrasi local SP VI
dan lima unit polindes atau poskesdes yang terdiri dari 71 tenaga
kesehatan dengan berbagai disiplin ilmu dan 4 bidan PTT.
1. Georafis
Secara geografis, wilayah kerja UPTD Puskesmas Meureubo terbagi
dalam dua wilayah, yaitu:
a. Wilayah pesisir terdiri dari 16 desa
b. Wilayah pegunungan sebanyak 11 desa
Adapun batas-batas wilayah kerja:
a. Utara : berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Peureumeu
Kecamatan Kaway XIV Kab. Aceh Barat
b. Selatan : berbatasan dengan samudra hindia
c. Timur : wilayah kerja puskesmas Padang Rubek Kecamatan Kuala
Pesisir Kabupaten Nagan Raya.
35
d. Barat : berbatasan dengan Wilayah Kerja Puskesmas Johan
Pahlawan Kec. Johan Pahlawan Kab. Aceh Barat.
2. Kependudukan
Penduduk kecamatan meureubo merupakan masyarakat yang hydrogen
baik dari social budaya, ekonomi dan adat istiadat. Konsentrasi
penduduk terbanyak berada di :
1. Desa Paya Peunaga : 3730 jiwa (15,81%)
2. Desa Ujong Tanoh Darat : 2060 ( 8,73%)
3. Desa Meureubo : 1962 jiwa (8,31%)
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kabupaten
Aceh Barat yang direncanakan pada tanggal 22 Juni sampai 03 juli 2012. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki balita di wilayah kerja
Puskesmas Meureubo tahun 2012 sebanyak 2659 orang (Laporan Puskesmas
Meureubo Bulan Mei 2012).
Setelah dilakukan pencarian sampel dengan menggunakan rumus
proposional sampling (Arikunto, 2006).
𝐵𝑎𝑦𝑖 (𝑑𝑒𝑠𝑎 )
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑦𝑖 (𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛 ) 𝑋 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙, di dapat jumlah sampel 96 dari
2659 balita dengan penjambaran sebagai berikut:
Tabel 4.1. Jumlah Sampel Balita di wilayah kerja Puskesmas Meureubo
Tahun 2012
No. Desa Populasi Sampel
1 Peunaga Cut Ujong 112 4
2 Gunong Kleng 179 6
3 Peunaga Pasi 32 1
4 Peunaga Rayeuk 150 5
5 Paya Peunaga 514 18
6 Langung 186 6
7 Meureubo 205 7
36
8 Ujong drien 114 4
9 pasi pinang 53 2
10 ujong tanjong 128 4
11 Bukit jaya 40 1
12 Buloh 18 1
13 Ranto panyang timur 63 2
14 Ranto panyang barat 56 2
15 Mesjid Tuha 62 2
16 Ujong Tanoh Darat 315 11
17 Ranub Dong 59 2
18 Pasi Mesjid 85 3
19 Pulo Tengoh 28 1
20 Balee 86 3
21 Sumber batu 22 1
22 Pasi Aceh Baroh 61 2
23 Pasi Aceh Tunong 48 2
24 Reudeup 20 1
25 Pucok Reudeup 8 4
26 Paya Baro 15 1
TOTAL 2659 96
4.1.2. Analisis Univariat
Sebelum dilakukannya analisis bivariat untuk melihat hubungan antar
variabel maka terlebih dahulu dibuat analisis univariat dengan table distribusi
frekuensi dari masing-masing variabel yang di teliti.
1. Status Gizi
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.
No Status Gizi Frekuensi %
1 Baik 72 75,0
2 Kurang baik 24 25,0
Total 96 100
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Berdasarkan tabel 4.2 dari 96 responden di dapat bahwa 75% balita
mengalami gizi dalam keadaan baik dan 24% nya dalam keadaan gizi yang kurang
baik.
37
2. Asupan Makanan
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asupan makanan
Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.
No Asupan Makanan Frekuensi %
1 Baik 68 70,8
2 Kurang baik 28 29,2
Total 96 100
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Berdasarkan tabel 4.3 dari 96 responden di dapat bahwa 70,8% balita
mendapakan asupan makanan dengan baik dan 29,2% nya mendapatkan asupan
makanan yang kurang baik.
3. Kebersihan Diri
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebersihan Diri
Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.
No Kebersihan Diri Frekuensi %
1 Baik 62 64,6
2 Kurang baik 34 35,4
Total 96 100
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Berdasarkan tabel 4.4 dari 96 responden di dapat bahwa 64,6% balita
kebersihan dirinya baik dan 35,4% kebersihan dirinya kurang baik.
4. Pendidikan
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.
No Pendidikan Frekuensi %
1 Tinggi 16 16,7
2
3
Menengah
Rendah
64
16
66,7
16,7
Total 96 100
38
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Berdasarkan tabel 4.5 dari 96 responden Ibu balita yang mengenyam
pendidikan di Tingkat Tinggi sebanyak 16,7%, di tingkat menengah 66,7% dan di
tingkat Rendah 16,7%.
5. Status Pekerjaan
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan
Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.
No Status Pekerjaan Frekuensi %
1 Tidak Bekerja 58 60,4
2 Bekerja 38 39,6
Total 96 100
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Berdasarkan tabel 4.6 dari 96 responden di dapat bahwa 60,4% ibu tidak
bekerja dan 39,6% ibu bekerja.
6. Pendapatan Keluarga
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendapatan
Keluarga Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo
Tahun 2012.
No Pendapatan Keluarga Frekuensi %
1 Tinggi 71 74,0
2 Rendah 25 26,0
Total 96 100
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Berdasarkan tabel 4.7 dari 96 responden di dapat bahwa 74% pendapatan
keluarga tinggi dan 26% pendapatan keluarga rendah.
4.1.3. Analisis Bivariat
39
Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen dan
dependen. Penguji ini menggunakan uji chi-square. Dikatakan ada hubungan yang
bermakna secara statistik jika diperoleh nilai p< 0,05.
1. Hubungan Asupan Makanan dengan Status Gizi
Tabel 4.8. Hubungan Antara Asupan Makanan dengan Status Gizi Pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Dari tabel di atas diketahui bahwa dari 68 balita yang mendapatkan asupan
makanan dengan baik diperoleh sebanyak 58 (85,3%) balita dalam keadaan status
gizi baik, sedangkan diantara balita yang mendapatkan asupan makanan yang
kurang baik, ada 14 (50,0%) dalam keadaan status gizi baik.
Dari hasil uji chi square di dapat hasik P value 0,001 dan ini lebih kecil
dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara
asupan makanan dengan status gizi pada balita.
Dari nilai OR 5,8000 dapat diinterprestasikan bahwa asupan makanan
yang baik memiliki peluang 5,8 kali untuk mendapakatkan gizi baik dibandingkan
dengan asupan makanan yang kurang baik.
2. Hubungan Kebersihan Diri dengan Status Gizi
Tabel 4.9. Hubungan Antara Kebersihan Diri dengan Status Gizi Pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.
Asupan
Makanan
Status Gizi
Total
p
Baik Kurang baik
N % n % N % OR
Baik 58 85,3 10 14,7 68 100 0,001 5,8000
Kurang Baik 14 50,0 14 50,0 28 100
Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100
Kebersihan
Diri
Status Gizi
Total
p
Baik Kurang baik
N % n % n % OR
40
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Dari tabel di atas diketahui bahwa dari 62 balita yang kebersihan dirinya
baik diperoleh sebanyak 53 (85,5%) balita dalam keadaan status gizi baik.
Sedangkan diantara balita yang kebersihan dirinya kurang baik, ada 19 (55,9%)
balita dalam keadaan status gizi baik.
Dari hasil uji chi square di dapat hasil P value 0,003 dan ini lebih kecil
dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara
kebersihan diri dengan status gizi pada balita.
Dari nilai OR 4,649 dapat diinterprestasikan bahwa kebersihan diri yang
baik memiliki peluang 4,6 kali untuk mendapakatkan gizi baik dibandingkan
dengan kebersihan diri yang kurang baik.
3. Hubungan Pendidikan dengan Status Gizi
Tabel 4.10. Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Dari tabel diatas diketahui bahwa dari 16 ibu balita yang memilki tingkat
pendidikan tinggi diperoleh sebanyak 14 (87,5%) balitanya dalam status gizi baik,
dan dari 64 ibu balita dengan tingkat pendidikan menengah diperoleh sebanyak 47
(73,4%) balitanya dalam keadaaan status gizi baik. Sedangkan dari 16 ibu balita
Baik 53 85,5 9 14,5 62 100 0,003 4,649
Kurang Baik 19 55,9 15 44,1 35 100
Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100
Pendidikan
Status Gizi
Total
p
Baik Kurang baik
N % n % n % OR
Tinggi 14 87,5 2 12,5 16 100 0,417 a
Menengah
Rendah
47
11
73,4
68,8
17
5
26,6
31,3
64
16
100
100
Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100
41
yang memilki tingkat pendidikan rendah, hanya ada 11 (68,8%) balitanya dalam
keadaan status gizi baik.
Dari hasil uji chi square di dapat hasil P value 0,417 dan ini lebih besar
dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya hubungan
antara pendidikan dengan status gizi pada balita.
4. Hubungan Status Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi
Tabel 4.11. Hubungan Antara Ibu yang Bekerja dengan Status Gizi Pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun 2012.
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Dari tabel di atas diketahui bahwa dari 58 ibu balita yang tidak bekerja
diperoleh 50 (86,2%) balitanya dalam keadaan status gizi baik, sedangkan
diantara ibu yang bekerja diperoleh sebanyak 22 (57,9%) balitanya dalam keadaan
status gizi baik.
Dari hasil uji chi square di dapat hasil P value 0,004 dan ini lebih kecil
dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara
Status Pekerjaan dengan status gizi pada balita.
Dari nilai OR 4,545 dapat diinterprestasikan bahwa ibu yang tidak bekerja
memiliki peluang 4,5 kali untuk mendapakatkan gizi baik dibandingkan dengan
ibu yang bekerja.
Status
Pekerjaan Ibu
Status Gizi
Total
p
Baik Kurang baik
N % n % n % OR
Tidak bekerja 50 86,2 8 13,8 58 100 0,004 4,545
Bekerja 22 57,9 16 42,1 38 100
Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100
42
5. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi
Tabel 4.12. Hubungan Antara Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi
Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo Tahun
2012.
Sumber: data primer (diolah tahun 2012)
Dari tabel di atas diketahui bahwa dari 71 keluarga yang bependapatan
tinggi, diperoleh sebanyak 59 (83,1%) balitanya dalam keadaan status gizi baik.
Sedangkan dari 25 keluarga yang memilki pendapatan rendah hanya 13 (52,0%)
balitanya dalam keadaan status gizi baik.
Dari hasil uji chi square di dapat hasil P value 0,005 dan ini lebih kecil
dari nilai α= 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara
pendapatan keluarga dengan status gizi pada balita.
Dari nilai OR 4,538 dapat diinterprestasikan bahwa keluarga yang
berpendapatan tinggi memiliki peluang 4,5 kali untuk mendapakatkan gizi baik
dibandingkan dengan keluarga yang berpendapatan rendah.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Hubungan Asupan Makanan dengan Status Gizi
Status gizi balita adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan
oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari
Pendapatan
Keluarga
Status Gizi
Total
p
Baik Kurang baik
N % n % n % OR
Tinggi 59 83,1 12 16,9 71 100 0,005 4,538
Rendah 13 52,0 12 48,0 25 100
Jumlah 72 75,0 24 25,0 96 100
43
pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antroppometri
(Suhardjo, 2003).
Gizi makanan sangat mempengaruhi pertumbuhan termasuk
pertumbuhan sel otak sehingga dapat tumbuh optimal dan cerdas, untuk ini
makanan perlu diperhatikan keseimbangan gizinya sejak janin melalui
makanan ibu hamil sebab pertumbuhan sel otak akan berhenti pada usia 3-
4 tahun (Suhardjo, 2003).
Dengan asupan makanan yang sehat, kondisi fisik tubuh akan lebih
terjamin sehingga tubuh akan dapat melakukan aktifitasnya dengan baik
pula. Dengan tubuh yang sehat, orang akan lebih bersemangat untuk
bekerja, berpikir dan akan lebih produktif. Begitu pula halnya dengan
anak-anak. Anak yang sehat akan tampak lebih lincah, kreatif dan
bersemangat belajar. Hal ini karena kebutuhan tubuh dapat dipenuhi
dengan baik sehingga organ-organ tubuh akan melakukan fungsinya
dengan baik pula. Sebaliknya, bila tubuh kekurangan suatu zat gizi
tertentu, maka daya tahannya juga akan menurun. Kemampuan kerjanya
melemah. Dan bila berkelanjutan akan dapat menimbulkan penyakit yang
berbahaya (Hardani, 2002).
Penelitian yang di lakukan pada anak balita di wilayah kerja
Puskesmas Meureubo diketahui bahwa asupan makanan akan sangat
berpengaruh terhadap status gizi balita di mana di dapat dari 68 balita yang
mendapatkan asupan makanan dengan baik di ketahui bahwa 85,3% nya
dalam kedaan status gizi yang baik pula, sehingga asupan makanan
memiliki hubungan dengan status gizi balita seperti penelitian yang
44
dilakukan Amin (2010) di Desa Somakaton Kecamatan Somagede
Kabupaten Banyumas dimana asupan makanan memiliki hubungan
dengan status gizi balita yaitu P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu
(0,013).
4.2.2. Hubungan Kebersihan Diri dengan Status Gizi
Status gizi balita adalah indikator kesehatan yang penting, karena
anak usia di bawah lima tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap
kesehatan dan gizi (Depkes RI, 2008).
Menurut Fadiana (2012) balita lebih rentan terkena penyakit infeksi
seperti kecacingan atau diare dibandingkan orang dewasa, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu anak-anak belum mempunyai
kesadaran mengenai kesehatan dan kebersihan dirinya sehingga masih
tergantung dengan tanggungjawab ibu dalam merawat kebersihan diri
balitanya, balita belum mengerti konsekuensi apabila tidak memiliki
perilaku hidup bersih dan sehat, rasa ingin tahu yang tinggi yang biasanya
ingin mencoba makanan apa saja dan memasukkan jari tangan atau mainan
kemulutnya, serta balita belum dapat membedakan makanan yang bersih
dan layak dikonsumsi yang dapat diperparah dengan kebiasaan jajan di
luar rumah.
Selain itu kondisi yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan
rawan kesehatan yaitu anak balita sudah mulai main di tanah, dan sudah
dapat main di luar rumahnya sendiri, sehingga lebih terpapar dengan
lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk terinfeksi
dengan berbagai macam penyakit (Notoatmodjo,2003).
45
Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Meureubo bahwa kebersihan diri adalah salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita dimana dari 62
balita yang kebersihan dirinya baik 85,5% nya dalam keadaan status gizi
yang baik Sama halnya seperti penelitian Angelica (2008) Di desa
Cikarawang Bogor dimana 83,9% kebersihan dirinya baik dan keadaan
status gizinya juga baik.
Seperti pernyataan Kardjati (2003) Kebersihan pada diri balita
haruslah ditanam sejak dini, untuk mencegah tingkat kesakitan yang lebih
tinggi, seperti mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi, mandi
dan menggunting kuku dan hal ini akan sangat berpengaruh terhadap status
gizi pada balita anda.
4.2.3. Hubungan Pendidikan dengan Status Gizi
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat,
bangsa dan negara (UU RI No. 20 tahun 2003).
Semakin tingginya pendidikan seseorang maka akan semakin
banyak pula pengetahuan yang diketahuinya dan ini akan berpengaruh
terhadap perilakunya (Notoatmodjo, 2003)
Namun ini tidak sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan
pada ibu balita di wilayah kerja Puskesamas Meureubo dimana di dapat
46
ibu yang berpengetahuan rendah lebih banyak memiliki anak yang status
gizinya baik yaitu 68,8% sedangkan ibu yang berpengetahuan rendah
terhadap status gizi balita yang kurang baik hanya 31,3%. Diperkuat
dengan hasil uji chi square dimana nilai P value lebih besar dari nilai α=
0,05 yaitu 0,417 yang disimpulkan tidak adanya pengaruh pendidikan
terhadap status gizi balita. Ini di sebabkan ibu yang memiliki tingkat
pendidikan menengah dan rendah mendapatkan pendidikan gizi secara
informal dari posyandu setiap bulannya, dimana Puskesmas Meureubo
menurunkan analisis gizi untuk menyampaikan pendidikan gizi bali balita.
4.2.4. Hubungan Status Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi
Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih
banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan
banyak. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu.
Bekerja bagi ibu- ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
keluarga (Nursalam & S. Pariani, 2001).
Anak yang mendapatkanperhatian lebih, baik secara fisik maupun
emosional, selalu mendapat senyuman, mendapat makanan yang seimbang
maka keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya
yang kurang mendapat perhatian orang tua (Depkes RI, 2002).
Ini sejalan dengan penelitian bahwa ibu yang tidak bekerja akan
lebih banyak memiliki peluang untuk lebih bisa memperhatikan dan
merawat anaknya sehingga status gizi pad anak dalam keadaan baik, di
47
ketahui bahwa dari 58 ibu yang bekerja 86,2% status gizi anaknya dalam
keadaan baik.
4.2.5. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi
Pendapatan merupakan nilai maksimal yang dapat dikonsumsi oleh
seseorang dalam satu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama
pada akhir periode seperti semula (Rustam, 2002).
Terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan status gizi. Hal
itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yangmenetukan kualitas
dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Kemampuan keluarga untuk
membeli bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya
pendapatan keluarga. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan
besarakan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama
untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya (FKM UI, 2007).
Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Orang dengan
tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar
pendapatan untuk makanan, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi
tinggi akan berkurang belanja untuk makanan (FKM UI, 2007 ). Hal ini
akan berdampak terhadap status gizi balita yang pada umumnya akan
menurun (Depkes RI, 2000).
Dan ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan bahwa
pendapatan keluarga berpegangan penting dalam mendapatkan status gizi
48
pada balita dimana dari 71 keluarga yang berpendapatan tinggi 83,1% nya
balita dalam keadaan status gizi yan baik.
49
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Adanya hubungan antara asupan makanan dengan status gizi pada balita
dengan P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu 0,001.
2. Adanya hubungan antara kebersihan diri dengan status gizi pada balita
dengan P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu 0,003.
3. Tidak adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi pada
balita dengan P value lebih besar dari α=0,05 yaitu 0,417.
4. Adanya hubungan antara status pekerjaan ibu dengan status gizi pada
balita dengan P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu 0,004.
5. Adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi pada
balita dengan P value lebih kecil dari α=0,05 yaitu 0,005.
5.2. Saran
1. Bagi masyarakat, agar dapat lebih meningkatkan kesadaran terhadap
asupan makanan pada balitanya dan lebih memperhatikan buah hatinya
dalam hal perawatan, makanan, dan juga pola asuhnya agar gizi pada
balitanya tetap terjaga dengan baik dan tidak mengalami gizi dalam
keadaan yang kurang baik.
2. Bagi Puskesmas Meureubo, agar dapat lebih memperhatikan pada balita-
balita yang mengalami gizi dalam keadaan yang kurang baik dan lebih
lagi mengadakan penyuluhan dan pemberian informasi tentang kesehatan
balita pada masyarakat.