EKSISTENSI PANITIA PENGAWAS PEMILU (PANWASLU) DALAM
PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PEMILUKADA) SERENTAK
(Studi Kasus Kota Depok Tahun 2015)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dah Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
FARID MUHAJIR
NIM : 1112048000042
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
EKSISTENSI PANITIA PENGAWAS PEMILU (pANWASLU) DALAMPEMILIHAN lJMUM KEPALA DAERAH (PEMILUKADA) SERENTAK
(Studi Kasus Kola Depok Tahun 2015)
Skripsi
Diajukao Kepada FakultasSyariah dab Hokum Untuk Memenubi
Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Satjana Hokum (SH)
Oleh:
FARID MUHAJIR
NIM: 111 2048000042
Pembimbing 1
Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum.
NIP. 19650908 199503 I 001
Pembimbing II
Dwi Putri Cahyawati, SH., MH.
-.
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUD! ILI\IU IIUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN IIUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF IIIDAYATULLA II
JAKARTA
14381112017 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul s EKSISTENSI PANITIA PE NGAW AS PEl\flLU(PANWASLU) DALAM PEl\flLfllAN UMUM KEPALA DAERAH(PEMILUKADA) SERENTAK (Stud! Kasus Kota Depok Tabun 2015) telahdiajukan dalam siding munaqasyab Fakultas Syariab dan Hukum Program Studi IImuHukum Universitas Islam Negeri Syari f Hidayatullab Jakarta pada tanggal 14 September2017. Skripsi ini telahditerima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SarjanaProgram Strata Satu (S I) pada Program Stud i IImu Hukum.
Jakarta, 14 September 20 17
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ase e udi Jahar MA.NIP. 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN M UNAQASYAH
-,
1. Ketua : Dr . As"J> Syarifuddin Hidayat. SH.. MH.NIP. 19691121 199403 I 00 1
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, SH.. M.Hum.NIP. 19650908 199503 1 00 1
3, Pembimb ing I : Drs. Abu Tamrin, SH.. M.Hum.NIP, 19650908 199503 1 00 1
4. Pembimbing II : Dwi Putri Cabyawati, SH.• MH.NIP.
5, Penguj i I : Dr . H. Supriyadi Ahmad. MA,NIP. 19581 128 199403 I 001
6, Penguji II : Drs. Sukadarto, SH., MM., MH .NIP. 195411 25 197602 I 00 1
II
( . ".~
(",,~,,)
(",,<:WtSf.)~e
( ..~
(,0 ..?:-bOI7.
S \(""" """ ." .j
-,
LEMBARPERNYATAAN••
Dengan ini sayamenyatakan bahwa:
I. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (SI )
di Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Semua Sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan merupakan hasil
karya saya atau merupakan tiruan hasil karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
SyarifHidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 September 20 17
iii
iv
ABSTRAK
Farid Muhajir. NIM 1112048000042. EKSISTENSI PANITIA
PENGAWAS PEMILU (PANWASLU) DALAM PEMILIHAN UMUM
KEPALA DAERAH (PEMILUKADA) SERENTAK (studi kasus Kota Depok
Tahun 2015). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan
Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2017 M. x+70 halaman.
Dalam menyusun skripsi ini, peneliti menggunakan metode penelitian
hukum empiris, dengan wawancara narasumber terkait yaitu ketua Panwaslu Kota
Depok. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan menganalisa
mekanisme penyelesaian sengketa pemilukada serentak oleh Panitia Pengawas
Pemilu Kota Depok pada pelaksanaan Pemilukada serentak tahun 2015. Peneliti
ingin mengetahui eksistensi Panitia Pengawas Pemilu dalam menjalankan tugas
dan fungsinya sebagai Lembaga Pengawas Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota.
Kenyataan yang ada dari hasil penelitian ini bahwa Panwaslu Kota Depok
belum memahami sepenuhnya tentang makanisme penyelesaian sengketa, kurang
adanya pembinaan dari tingkatan pengawas di atasnya, dan terbatasnya
kewenangan terhadap pelaksanaan pengawasan.
Kata Kunci : Eksistensi, Panwaslu, Sengketa Pemilukada, Kota Depok
Pembimbing : Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum.
Dwi Putri Cahyawati, SH., MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d. 2016
v
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah
dan nikmat dari-Nyalah peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Eksistensi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pemilukada) Serentak (Studi Kasus Kota Depok tahun 2015)” dapat
terselesaikan dengan baik. Ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan umatnya dari zaman
terdahulu hingga zaman sekarang ini.
Tidak mudah bagi peneliti untuk membuat karya seperti ini dikarenakan
berbagai keterbatasan yang dimiliki, namun hal ini peneliti jadikan sebagai
motivasi rangkaian pengalaman hidup yang berharga. Selesainya penelitian ini
tidak terlepas dari elaborasi keilmuan yang peneliti dapatkan dan kontribusi
banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti sampaikan setulus
hati ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
beserta jajaran Dekanat Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi
vi
Ilmu Hukum yang senantiasa memberikan luang waktu, bimbingan, saran
dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. dosen pembimbing I dan Dwi Putri
Cahyawati, S.H., M.H. dosen pembimbing II yang dengan sabar
memberikan arahan dan masukan serta bimbingan terhadap proses
penyusunan skripsi ini.
4. Orang tua yang sangat dicintai ayahanda Alm. H.Suherdi, S.Ag. dan
ibunda Hj. Robiah, S.Pd.I. beserta kakek dan nenek Alm. HM. Toyib,
Alm. H. Hasanudin, Hj. Ma’rifat, Alm. Eem Suhaemi, Umi Anis, yang
selalu mendoakan dan memberikan dukungan penuh sekaligus menjadi
inspirasi dalam kehidupan peneliti, juga untuk adik dan kakak penulis M.
Zaki Mubarok, Saidatul Awaliah, Salwa Syifa’u Rahmah, Lubna Kasyifani
Maulida, dan keluarga besar Alm. H. Hasanuddin dan Alm. HM.Toyib
yang telah menjadikan peneliti lebih mengerti arti persaudaraan.
5. Teman terbaik, Henny Mulyani yang selalu menemani dan memberikan
semangat penuh dalam penyusunan skripsi ini. Dan untuk teman rasa
keluarga, Ichwan Muttaqien, Eva Lathifah, Galih Yusuf, Syaiful Fahmi,
Arif Maulana, Dhenis Imam, Farhan Arif, Fajar Dwi, Faisal Majid,
Zulqohry Rizal, Syaiful Anwar, Farah Nidya, Difla Nabila yang tiada henti
memberikan motivasi dan menemani peneliti selama ini.
6. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum angkatan 2012, Said Agung,
Ansyori, Farhan Nazhiri, M. Yusuf, Agasti Prior, Dimas Anggri, Aghie
Zaki, Ade Kurniawan, Murtadlo, Khairul Atma, Sigit Ganda, Renaldi
vii
Hendryan, Ramawijaya, Muchtar Ramadhan, Baghdadi, M.Raziv Barokah,
Maulana Malik, Irvan Zidniy, Abdulatief, yang telah sama-sama berjuang,
saling membantu dan memotivasi untuk menyelesaikan studi demi meraih
cita-cita. Dan untuk teman-teman angkatan ke-5 Daar el-Qolam, KKN
RUN 2015, dan juga teman-teman My Trip Lillahita’ala, Murtadlo, Dzikri
Gousul, Adi, dan Fajar, yang selalu ada untuk menyelurkan hobi bersama.
Asatidz dan teman-teman Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an Ciputat dan
Pondok Pesantren Kaligrafi Zainun Lil Khottottiin Bogor, yang selalu
memberikan motivasi peneliti untuk bersama meraih cita-cita.
7. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesikan skripsi
ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan namanya satu persatu, semoga
Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas semua
kebaikan mereka.
Akhirul Kalam, semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk orang banyak khususnya
adik-adik kelas dan untuk setiap pembaca.
Jakarta, 14 September 2017
Peneliti,
FARID MUHAJIR
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................... 8
1. Pembatasan Masalah ................................................................ 8
2. Rumusan Masalah .................................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 9
1. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9
2. Manfaat Penelitian ................................................................... 9
D. Metode Penelitian........................................................................... 10
1. Jenis Penelitian ......................................................................... 10
2. Sumber Data ............................................................................. 11
3. Prosedur Pengumpulan Data .................................................... 12
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................... 13
ix
5. Metode Penulisan ..................................................................... 14
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu............................................. 14
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 17
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG DEMOKRASI, LEMBAGA
NEGARA, PEMILUKADA, DAN PENGAWASAN
A. Konsep Negara Demokrasi ............................................................ 19
B. Pengertian Lembaga Negara .......................................................... 24
C. Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak dan Landasan Yuridis
Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak ................................... 27
D. Teori Pengawasan .......................................................................... 32
1. Pengertian Pengawasan ............................................................ 32
2. Jenis-Jenis Pengawasan ............................................................ 34
BAB III TINJAUAN UMUM PANITIA PENGAWAS PEMILU
(PANWASLU)
A. Latar Belakang Terbentuknya ........................................................ 37
B. Visi dan Misi .................................................................................. 41
C. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban ................................................ 42
D. Landasan Yuridis .......................................................................... 45
E. Hubungannya dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah .............. 47
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN UMUM KEPALA
DAERAH (PEMILUKADA) SERENTAK KOTA DEPOK TAHUN 2015
x
A. Penyelesaian sengketa Pemilihan umum kepala daerah Serentak Kota
Depok tahun 2015 oleh Panwaslu .................................................. 50
B. Kinerja Panwaslu Kota Depok dalam mengatasi sengketa Pemilukada
serentak tahun 2015........................................................................ 56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 63
B. Saran ............................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemilu adalah wujud nyata dari demokrasi, meskipun demokrasi
tidak sama dengan pemilu, namun pemilu merupakan salah satu aspek
demokrasi yang sangat penting dan juga harus diselenggarakan secara
demokratis. Secara etimologi, asal kata demokrasi berasal dari bahasa
latin, yakni demos, yang artinya rakyat dan kratos, yang artinya
pemerintahan. Dapat diartikan bahwa demokrasi artinya pemerintahan
rakyat.1 Yang dimaksud adalah, suatu pemerintahan haruslah mandapatkan
pengakuan dari rakyat yang dilakukan melalui mekanisme pemilihan
umum. Suatu pemerintahan juga harus mengedepankan kepentingan rakyat
dan menyampingkan kepentingan pribadi. Jadi amanat yang didapatkan
oleh pemerintah harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat
yang menggunakan, sebab dengan demokrasi hak rakyat untuk
menentukan sendiri jalannya pemerintahan dapat terjamin.2 Proses
demokrasi terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih
wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.3
1 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD
1945, (Bandung; Fokusmedia, 2013), h. 34.
2 Moh. Mahfud MD, Demokrasi Konstitusi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1993), h. 95.
3 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta;
Sinar Grafika, 2012), h. 200.
2
Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan diri
sebagai negara demokrasi mentradisikan pemilu untuk memilih pejabat-
pejabat publik di bidang eksekutif maupun legislatif, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Karena dengan pemilu, kekuasaan politik rakyat
dipercayakan kepada pemerintah, dan pemerintah bertanggung jawab
besar kepada rakyat atas segala tindakan yang dilaksanakan. Secara ideal,
pemilu atau general election bertujuan agar terselenggara perubahan
kekuasaan pemerintah secara teratur dan damai sesuai dengan mekanisme
yang dijamin oleh konstisusi.4 Pemilu dalam sistem modern seperti
sekarang ini sesungguhnya adalah bagian dari perwujudan kedaulatan
rakyat karena rakyat diberikan kesempatan politik untuk memilih wakil-
wakilnya.5 Arbi sanit menyimpulkan bahwa pemilu pada dasarnya
memiliki empat fungsi utama yakni: 1) pembentukan legitimasi penguasa
dan pemerintah; 2) pembentukan perwakilan politik rakyat; 3) sirkulasi
elite penguasa; dan 4) pendidikan politik.6
Pemilu tidak hanya dikaitkan sebagai ajang perlombaan dalam
meraih kekuasaan saja, tetapi juga merupakan suatu sarana pembelajaran
bagi masyarakat untuk mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi. Adapun
4 Dede Mariana, Caroline Paskarina, Demokrasi & Politik Desentralisasi
(Yogyakarta; Graha Ilmu, 2008), h. 5
5 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam
prespektif fikih siyasah (Jakarta; Sinar Grafika, 2012), h. 156
6 Sodikin, Hukum Pemilu (pemilu sebagai praktek ketatanegaraan), (Bekasi:
Gramata Publishing, 2014), h. 7-8.
3
peran masyarakat ialah ikut berpartisipasi dalam memilih para pemimpin
dan wakil-wakil rakyat, ikut mengawasi jalannya pemilu, dari mulai
tahapan awal sampai akhir dan juga memberikan laporan tentang dugaan-
dugaan pelanggaran pemilu sampai dengan keluarnya putusan penetapan
calon yang sah yang ditetapkan sebagai pemenang pemilu. Selain itu,
masyarakat juga berhak untuk memberikan aspirasi ataupun masukan
kepada pemerintah apabila terdapat suatu keputusan para wakil rakyat
yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional rakyat.
Kenyataan pada pelaksanaannya, pemilu bukan lagi
memperjuangkan nasib atau kepentingan rakyat pada umumnya, karena
dalam penyelenggaraan pemilu banyak sekali kepentingan yang terlibat,
apalagi secara jujur harus diakui, bahwa tingkat kesadaran berdemokrasi
masyarakat masih relatif rendah.7 Ini bukan saja terjadi di tingkat pusat
akan tetapi pada tingkat daerah seperti dalam pelaksanaan Pemilukada.
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak
baik pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati,
maupun walikota dan wakil walikota merupakan perwujudan
pengembalian hak-hak rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan
Pemilukada serentak tersebut, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan
7Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang lebih Berkualitas, (Jakarta;
RajaGrafindo Persada, 2009), h. 265.
4
untuk menentukan pemimpin secara langsung, bebas, rahasia, dan
otonom.8
Kebijakan desentralisasi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) adalah proses politik yang
sangat baik dalam penentuan pemimpin di tingkat lokal. Pemilukada
serentak juga merupakan instrumen politik yang sangat strategis untuk
mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan
kepala daerah. Pada saat inilah rakyat di tiap-tiap kabupaten/kota dan
provinsi memilih para calon pemimpin.9Landasan konstitusional pemilihan
umum kepala daerah termaktub pada Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun
1945 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis. Pemilukada langsung merupakan metode yang dipilih
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia untuk memaknai frasa “dipilih
secara demokratis”.
Pemilukada secara langsung ini merupakan proses pemilihan
pemimpin suatu daerah yang melibatkan publik atau rakyat secara
berkedaulatan. Pillkada juga merupakan suatu aktivitas dari proses
demokrasi yang memiliki output yakni pejabat politik (elected official)
8 A. Ubaedillan & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani (Jakarta; ICCE UIN Jakarta, 2003), h. 191.
9 Firman Subagyo, Menata Partai Politik (Dalam Arus Demokratisasi
Indonesia), cet. Pertama, (Jakarta: RMBOOKS, 2009), h. 128
5
bukan memilih pejabat administratif (appointed official).10
Pemilukada
merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah
kepemimpinan daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat
perhatian yang luas dari masyarakat maka penyelenggaraan Pemilukada
yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan
kepemimpinan sebuah daerah. Pemilukada memiliki fungsi utama untuk
menghasilkan pemimpin yang benar-benar mendekati kehendak rakyat.11
Pemilukada sebagai salah satu bentuk nyata perwujudan demokrasi
dalam pemerintahan di daerah, seyogyanya juga semakin mencerminkan
proses kematangan demokrasi. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan gubernur, bupati, dan
walikota menjadi Undang-Undang, maka dimulailah aturan Pemilukada
baru yakni Pemilukada serentak. Aturan ini diharapkan menjadi angin
segar dalam sejarah pemilihan umum kepala daerah di Indonesia dan
tentunya menjadi harapan baru agar lahir para pemimpin yang lebih baik.
Dalam mewujudkan pemilu yang demokratis dan sesuai dengan
apa yang dicita-citakan, tentu perlu adanya pengawasan terhadap setiap
tahapannya. Hal ini dikarenakan dalam setiap pelaksanaan pemilu tidak
10
Ari Pradhanawati, Pemilukada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal
(Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang, 2005), h. 144.
11
Achmadudin Rajab, Tinjauan Hukum Eksistensi dari Undang-Undang Nomor
8 tahun 2015 setelah 25 kali Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi pada
tahun 2015. Jurnal Hukum & Pembangunan tahun ke-47 no.3 Juli-September 2016.
6
dapat dipungkiri bahwa masih sering tejadi kecurangan-kecurangan baik
yang dilakukan oknum peyelenggara pemilu ataupun peserta pemilu.
Kecurangan-kecurangan yang terjadi baik ditingkat pusat dan daerah lebih
didominasi oleh politik uang (money politic), penggelembungan suara,
pemilih siluman dan oknum penyelenggara pemilu yang berpihak kepada
salah satu peserta. Untuk itu, maka fungsi pengawasan dalam pelaksanaan
pemilu harus ditingkatkan. pengawasan berarti suatu kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh
lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.12
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilu, fungsi pengawasan pemilu dilaksanakan oleh
badan pengawas pemilu (Bawaslu). Bawaslu pusat yang berkedudukan di
ibu kota, dan bawaslu provinsi yang berkedudukan di ibu kota provinsi
bersifat tetap. Adapun untuk pengawasan di tingkat daerah kabupaten/kota
sampai tingkat paling bawah, dilaksanakan oleh panitia pengawas pemilu
yang bersifat ad hoc atau sementara, karena panwaslu dibentuk pada
beberapa saat sebelum pelaksanaan pemilukada dimulai dan akan
dibubarkan setelah selesai semua rangkaian kegiatan penyelenggaraan
pemilukada.
Sifat ad hoc yang melekat pada panwaslu menjadi suatu tantangan
yang dihadapi karena pengawasan dilakukan bukan hanya secara
12 Sri Soemantri, dkk, Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik
Indonesia: 30 tahun kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, cet. I (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1993), h. 285
7
accidental atau ketika ada pelanggaran saja, tapi pengawasan harus
dilakukan secara berkala dan juga harus dicegah sebelum terjadinya
pelanggaran. Hal ini yang membedakan dengan mitra kerja panwaslu yaitu
KPUD, yang mana KPUD bersifat tetap. Tentunya ini menjadi tantangan
tersendiri bagi panwaslu beserta jajarannya untuk lebih teliti dalam
mengidentifikasi adanya peluang peluang pelanggaran yang akan terjadi
selama proses penyelenggaraan pemilukada berlangsung.
Pengawasan merupakan suatu fungsi dasar dari sebab dibentuknya
panwaslu. Pengawasan juga diharapkan menjadi faktor terselenggaranya
pemilu yang jujur dan adil. Walaupun bersifat ad hoc, namun panwaslu
memiliki perananan penting sebagai jalan masuk perkara baik yang
dilakukan oleh pasangan calon, tim sukses, maupun penyelenggara pemilu
itu sendiri.
Kehadiran panitia pengawas pemilu dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas pemilihan umum di tingkat daerah kabupaten/kota
sampai ke bawah, dan juga untuk menekan angka kecurangan yang terjadi
selama pemilu berlangsung. Namun jika berkaca kepada pelaksanaan
pemilu yang selalu menemukan permasalahan dan selalu merubah sistem
yang ada, maka dapat dikatakan bahwa pemilu di Indonesia belum
mencapai kepada proses yang dicita-citakan. Peranan lembaga
penyelenggara pemilu, khususnya lembaga yang mengawasi berjalannya
pemilu pun mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak.
8
Mengingat Pemilukada menjadi salah satu proses penting dalam
menciptakan demokrasi yang baik, maka berdasarkan pembahasan di atas,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hukum dengan judul:
“EKSISTENSI PANITIA PENGAWAS PEMILU (PANWASLU)
DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
(PEMILUKADA) SERENTAK (STUDI KASUS KOTA DEPOK
TAHUN 2015)”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti kemukakan di
atas, maka peneliti membatasi ruang lingkup dan pokok permasalahan
dalam penulisan skripsi ini hanya pada masalah yang menyangkut
kinerja panwaslu dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilukada
serentak oleh panwaslu Kota Depok yang terjadi antara bulan juni
sampai dengan desember tahun 2015.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan umum
kepala daerah serentak kota Depok tahun 2015 oleh Panwaslu?
b. Bagaimana kinerja panwaslu kota Depok dalam penyelenggaraan
pemilihan umum kepala daerah serentak tahun 2015?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang
permasalahan tersebut di atas, maka dalam penulisan skripsi ini
peneliti mempunyai tujuan antara lain :
a. Untuk menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa pemilihan
umum kepala daerah serentak Kota Depok tahun 2015 oleh
Panwaslu.
b. Untuk mengidentifikasi kinerja panwaslu Kota Depok dalam
penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah serentak tahun
2015.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat
secara teoritis maupun secara praktis.
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran mengenai peran dan fungsi serta kedudukan panwalu
Kota Depok, agar dapat dipahami menurut sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia sesuai dengan hierarki peraturan tertinggi yaitu
UUD 1945.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan bagi para penyelenggara pemilu khususnya dan bagi
10
praktisi lain yang ingin mendalami materi hukum pemilu dalam
bidang lembaga penyelenggara pemilu.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan
ilmu pengetahuan maupun teknologi. Yang mana penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten.13
Selain itu penelitian merupakan suatu sarana untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun
praktis, dan dipergunakan untuk memperkuat, membina, serta
mengembangkan ilmu pengetahuan.14
Penelitian hukum menurut Soerjono Soekanto merupakan suatu
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-
permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum adalah suatu proses
13 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Cet I, (Jakarta; CV. Rajawali, 1985) h. 1.
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet III, (Jakarta: UI-Press,
1986) h. 3.
11
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.15
Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun penelitian ini
adalah penelitian hukum empiris yaitu penelitian yang berpusat pada
telaah data primer berupa data langsung dari objek penelitian yang
mana mencari jawaban terhadap fenomena hukum yang terjadi antara
yang seharusnya dengan yang senyatanya. Metode penelitian hukum
ini digunakan juga untuk mencari keefektivitasan hukum. Penelitian
hukum tersebut akan dijelaskan dengan menggunakan penelitian
deskripsi, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan atau
mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap faktor-
faktor tertentu. Melalui jenis penelitian dalam penulisan ini akan
didapat pengetahuan yang jelas akan eksistensi dan kinerja panwaslu
dalam penyelesaian sengketa pemilukada.
2. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang merupakan
bahan hukum utama yang belum pernah diolah oleh orang lain.
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
pasca amandemen.
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet IV, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005) h. 35.
12
2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum.
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan gubernur, bupati, dan walikota
menjadi Undang-Undang.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua duplikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi hukum meliputi buku-buku hukum, jurnal hukum,
skripsi, dan pendapat-pendapat para ahli dan pakar hukum tata
negara serta hasil wawancara yang dilakukan di lapangan.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan
informasi lebih lanjut terhadap bahan-bahan primer dan sekunder
antara lain; Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus
hukum, majalah, koran, blog, dan lain sebagainya.
3. Prosedur Pengumpulan Data
Adapun bahan hukum baik bahan primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa,
sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis
untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara deduksi
13
yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum ke suatu permasalahan yang bersifat khusus atau yang lebih
konkrit.16
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan
hukum sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan
dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan
yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif
yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya
setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum
dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam mengenai
Pelaksanaan Pemilukada serentak Kota Depok tahun 2015.
Didalamnya akan dibahas mengenai gambaran umum Pemilukada
serentak tahun 2015, panwaslu Kota Depok, landasan yuridis
Pemilukada serentak, landasan yuridis panwaslu, pelaksanaan tugas
dan wewenang Pemilukada serentak Kota Depok tahun 2015, dan
hambatan-hambatan yang dialami panwaslu untuk mengoptimalkan
pelaksanaan Pemilukada serentak Kota Depok tahun 2015.
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Cet VII, (Jakarta; Kencana, 2011), h. 42.
14
5. Metode Penulisan
Metode Penyusunan dalam skripsi ini berdasarkan pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2012.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Review atau kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa
penelitian yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi ataupun
penelitian lainnya yang pernah membahas mengenai Lembaga Pengawas
Pemilu.
1. Skripsi dengan judul “Ambiguitas Kewenangan Panitia
Pengawas Pemilu” (studi Kasus Sengketa Pemilukada
Tangerang Selatan) oleh Rhino Sofana P. Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2013. Peneliti
membahas tentang peran dan fungsi panwaslu dalam pemilukada
tangerang selatan, melihat bentuk ambiguitas kewenangan
panwaslu yang meliputi sejauh mana pemahaman para pihak
terkait wewenang panwaslu, tindakan panwaslu dalam mengatasi
pelanggaran dan sengketa yang diakibatkan oleh aparatur negara.
Adapun perbandingan dengan penelitian ini adalah, peneliti
membahas tentang peran dan fungsi panwaslu dalam
15
menyelesaikan sengketa Pemilukada serentak Kota Depok tahun
2015.
2. Skripsi dengan judul “Pengawasan dalam Penciptaan Pemilu
yang Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur dan Adil” oleh
Ade Nugroho Wicaksono, Konsentrasi Hukum Tata Negara,
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, tahun 2009. Peneliti dalam
skripsinya membahas tentang perbandingan Lembaga Pengawas
Pemilu ditinjau dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003
tentang Pemilu Legislatif pada umumnya dengan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Penelitian
ini menunjukan bahwa pada umumnya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 telah lebih baik dalam mengatur mengenai Lembaga
Pengawas Pemilu dibandingkan Undang-Undang yang ada
sebelumnya walaupun memiliki beberapa kekurangan, lebih baik
karena Lembaga Pengawas Pemilu sekarang lebih independen
dalam melaksanakan tugasnya karena sejajar kedudukannya
dengan KPU serta tidak bergantung dengan KPU, dan memiliki
wewenang untuk mengatur anggota KPU. Adapun perbandingan
dengan penelitian ini adalah dalam segi aturan yang digunakan,
peneliti membahas eksistensi Panwaslu Kota Depok dalam
naungan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2015.
3. Buku dengan judul “Politik Hukum Pemilukada Serentak” oleh
Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negri). Dalam buku tersebut
16
menuliskan harapan sekaligus kecemasan. Harapan akan tuntasnya
berbagai masalah yang selama ini mengganjal dalam pembengunan
daerah, mulai dari persoalan regenerasi kepemimpinan lokal,
pemerataan sumber daya, politik, dinasti, dan revitalisasi
pemerintahan daerah. Namun, terdapat pula kecemasan akan
ketidakmampuannya menjamin hasil yang akan memuaskan semua
pihak, spekulasi masalah keamanan, potensi munculnya
kecurangan, dan gugatan pihak-pihak yang tidak puas dengan
hasilnya. Dalam penelitian ini dibahas contoh sengketa yang terjadi
selama proses berjalannya Pemilukada Serentak Kota Depok tahun
2015 dan peran panwaslu dalam mengatasi sengketa tersebut.
4. Jurnal dengan judul “Evaluasi Pemilukada Serentak 2015” oleh
Titi Anggraini, Yayasan Perludem. Dalam jurnal tersebut
menjelaskan tentang evaluasi pada Pemilukada serentak 2015 yang
lebih menitik beratkan kepada evaluasi anggaran yang menurut
yayasan perludem dinilai membengkak dikarenakan adanya honor
penyelenggara yang harus dibayarkan pada waktu berbeda untuk
dua kali penyelenggaraan pemilu. Selain itu, dalam jurnal tersebut
menjelaskan adanya putusan mahkamah konstitusi tentang calon
tunggal dalam Pemilukada serentak 2015 dan juga maraknya
pelanggaran money politik yang terjadi sebelum
diselenggarakannya proses pemungutan suara. Perbandingan
dengan penelitian ini adalah hanya membahas mengenai eksistensi
17
panwaslu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai
lembaga pengawas pemilu Kota Depok.
Pada dasarnya penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-sama
mengkaji tentang pengawasan Pemilukada dan sengketa Pemilukada.
Namun hal yang menjadi pembanding antara penelitian di atas dengan
penelitian yang diteliti ini adalah bahwa penelitian di atas tidak secara
khusus dan detail menyinggung tentang tugas dan fungsi panwaslu dalam
penyelesaian sengketa di daerah Depok. Atas dasar inilah peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai Panwaslu Kota Depok, dalam hal
yang secara khusus membahas eksistensi Panwaslu Kota Depok, sebagai
Lembaga Pengawas Pemilu dalam Pemilukada serentak tahun 2015.
F. Sistematika Penulisan
Untuk dapat menuangkan hasil penelitian ke dalam bentuk
penulisan yang benar, tersistematis, dan teratur, maka skripsi ini disusun
dengan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab sebagai berikut :
BAB I : Bab satu menjelaskan tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian (Review) terdahulu, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab dua menjelaskan tentang landasan teori mengenai
konsep negara demokrasi, pengertian lembaga negara,
pemilihan umum kepala daerah serentak dan landasan
18
yuridis pemilihan umum kepala daerah serentak, dan teori
pengawasan.
BAB III : Bab tiga menjelaskan lebih dalam mengenai tinjauan umum
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) meliputi; latar
belakang terbentuknya Panwaslu, visi dan misi, susunan
organisasi, tugas, wewenang, dan kewajiban, serta
hubungan tata kerja Bawaslu, Panwaslu, dan KPU.
BAB IV : Bab empat menjelaskan tentang analisis eksistensi
panwaslu kota Depok sebagai lembaga pengawas pemilu
dalam Pemilukada serentak kota Depok tahun 2015 yang
meliputi; mekanisme penyelesaian sengketa
penyelenggaraan Pemilukada serentak, dan kinerja
panwaslu dalam penyelenggaraan Pemilukada serentak.
BAB V : Bab lima menjelaskan tentang kesimpulan dan saran
berdasarkan bab-bab sebelumnya.
19
BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG DEMOKRASI, LEMBAGA NEGARA,
PEMILUKADA, DAN PENGAWASAN
A. Konsep Negara Demokrasi
Secara etimologi, demokrasi berasal dari dua kata demos artinya
rakyat dan cratos/cratein berarti pemerintahan. Artinya adalah
pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat.1 Yang dimaksud adalah, suatu
pemerintahan haruslah mandapatkan pengakuan dari rakyat yang
dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum. Suatu pemerintahan juga
harus mengedepankan kepentingan rakyat dan menyampingkan
kepentingan pribadi. Jadi amanat yang didapatkan oleh pemerintah harus
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakan,
sebab dengan demokrasi hak rakyat untuk menentukan sendiri jalannya
pemerintahan dapat terjamin.2
Demokrasi merupakan suatu landasan dan mekanisme penerapan
kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.
Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang
kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada
1 Abu Tamrin dan Nurhabibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 70.
2 Moh. Mahfud MD, Demokrasi Konstitusi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1993), h. 95.
20
teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak dapat
dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-
sama.3
Demokrasi diwujudkan dengan adanya pemerintahan yang
bersendikan perwakilan rakyat, yang kekuasaan juga wewenangnya
berasal dari rakyat dan dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat serta
bertanggung jawab penuh kepada rakyat. Oleh karena itu demokrasi
mensyaratkan adanya pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat
yang harus diselenggarakan secara berkala dengan langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil.
Secara terminologi pengertian demokrasi sebagai berikut:
1. Menurut Josefh A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-
individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara
perjuangan kompetitif atas suara rakyat;
2. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasa;
3. Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi
merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai
tanggung jawab atas tindakan-tindakan meraka di wilayah publik oleh
3 Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, artikel diakses pada 05
Agustus 2013 dari http://jimly.com/makalah/namafile/2/DEMOKRASI_DAN
_HAK_ASASI_MANUSIA.doc., h. 2.
21
warga, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi
kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
Faham demokrasi tersebut sudah lahir sejak berpuluh-puluh tahun
sebelum Masehi hingga sekarang abad ke 21 dan selalu dipikirkan serta
dibicarakan orang, maka wajarlah melalui perjalanan waktu yang semakin
lama itu, demokrasi mengalami perkembangan pemikiran. Ternyata
setelah diuji dari zaman ke zaman, bahkan acapkali mengalami
peperangan-peperangan besar, faham demokrasi itu dapat diterima oleh
sebagian besar umat manusia.4
Dari pendapat para ahli di atas terdapat benang merah atau titik
singgung tentang pengertian demokrasi yaitu rakyat sebagai pemegang
kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap
pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh
rakyat atau mewakilinya melaui lembaga perwakilan. Karena itu negara
yang menganut sistem demokrasi diselenggarakan berdasarkan kehendak
dan kemauan rakyat mayoritas dan tidak mengesampingkan kaum
minoritas. Kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat menurut Moh.
Mahfud MD. Mengandung pengertian tiga hal penting. Pertama,
pemerintahan dari rakyat (government of the people), Kedua pemerintahan
4 Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, cet.II, (Malang: Bayu Media Publishing,
2005), h. 78.
22
oleh rakyat (government by people), Ketiga pemerintahan untuk rakyat
(government for people).5
Selanjutnya Wikipedia free encyclopedia menyebutkan bahwa
demokrasi modern setidaknya mempunyai delapan karakteritik pokok,
yaitu (1) ada konstitusi yang membatasi kekuasaan dan mengontrol
aktifitas pemerintah; (2) pemilihan untuk para pejabat publik yang
dilakukan secara bebas; (3) hak untuk memilih dan mencalonkan diri
dalam pemilihan; (4) kebebasan berekspresi; (5) kebebasan pers dan
adanya akses untuk sumber-sumber informasi alternatif; (6) kebebasan
berasosiasi; (7) adanya kesetaraan dalam hukum; (8) warga negara yang
terdidik yang terinformasi mengenai hak dan kewajibannya sebagai warga
negara.6
Mengingat sangat pentingnya demokrasi, maka perlu diketahui
faktor-faktor untuk menegakkan demokrasi itu sendiri, diantaranya :
1. Negara hukum (rechtsstaat dan rule of law)
Konsep rechsstaat adalah adanya perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagaian kekuasaan pada
lembaga negara, pemerintahan berdasarkan peraturan, dan adanya
peradilan administratif. Konsep rule of law yaitu adanya supremasi
aturan-aturan hukum, adanya kedudukan yang sama di muka hukum
5 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Demokrasi, HAM &
Masyarakat Madani, cet.III, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 162.
6 Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, (Yogyakarta: Medpress,
2007), h. 39.
23
(equality before the law), serta adanya jaminan perlindungan HAM.
Berdasarkan dua pandangan di atas, maka dapat ditarik suatu konsep
pokok dari negara hukum yaitu adanya jaminan perlindungan terhadap
HAM, adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara,
dan adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.
2. Masyarakat Madani
Masyarakat madani dapat diartikan sebagai masyarakat yang beradab
dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya.
Masayarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang terbuka yang
bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang
kritis dan berpartisipasi aktif, serta masyarakat yang egeliter.
Demokrasi yang terbentuk kemudian dapat dianggap sebagai hasil
dinamika masyarakat yang menghendaki adanya pertisipasi. Selain itu,
demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam kaitan
dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan pandangan,
adanya keragaman dan consensus.
3. Infrastuktur
Infrastuktur politik yang dimaksud terdiri dari partai politik (parpol),
kelompok gerakan, dan kelompok kepentingan atau kelompok
penekan. Partai politik merupakan suatu wadah struktur kelembagaan
politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasim nilai, dan
cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik serta merebut
24
kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan-kebijakannya.
Kelompok gerakan lebih dikenal dengan organisasi masyarakat, yang
merupakan sekelompok orang yang berhimpun dalam suatu wadah
organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya. Kelompok
kepentingan atau penekan adalah sekumpulan orang dalam suatu
wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan
keilmuan tertentu. Dikaitkan dengan demokrasi, menurut Miriam
Budiarjo, parpol memiliki empat fungsi yaitu sebagai sarana
komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai
rekrutmen kader dan anggota politik, serta sebagai sarana pengatur
konflik. Keempat fungsi tersebut merupakan dasar dari nilai-nilai
demokrasi, yaitu adanya partisipasi serta kontrol rakyat melalui parpol.
Kelompok gerakan dan kelompok kepentingan merupakan perwujudan
adanya kebebasan berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat,
dan melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah.
B. Pengertian Lembaga Negara
Negara merupakan gejala kehidupan umat manusia disepanjang
sejarah umat manusia. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya
yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks di zaman
sekarang. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam
25
masyarakat, negara selalu menjadi pusat perhatian dan objek kajian
bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan umat manusia.7
Miriam Budiardjo mengartikan negara sebagai organisasi dalam
suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
rakyatnya. Negara mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-
hubungan manusia dalam masyarakat, menertibkan gejala-gejala
kekuasaan di dalam masyarakat, memaksakan kekuasaannya terhadap
semua golongan kekuasaan lainnya, dan menetapkan tujuan dari
kehidupan bersama.8
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah
organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-
hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala
kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam suatu
wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan
dari kehidupan bersama itu.9
Sejak ribuan tahun yang lalu para filosof yunani telah menyadari
bahwa institusi yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Abad
7 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet.V, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2009), h. 9.
8 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi, cet.IV, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 48 & 49.
9 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.VI, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005), h. 38.
26
19-an Max Weber mencoba mengkaji birokrasi dan institusi secara
sitematis. Weber melihat bahwa politik sebagai hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara. Dalam hal in, Max Weber merumuskan negara
sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan
paksaan fisik yang sah dalam hal tertentu.
Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing
kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam
rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunya dua tugas:
1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial,
yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi
antogonisme yang membahayakan;
2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan manusia dan
golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat
seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi-asosiasi
kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada
tujuan nasional.
Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya
diorganisasikan melauli dua pilihan cara, yaitu sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution
of power). Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan
dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-
lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and
27
balances). Pembagian kekuasaan bersifat vertical ke bawah kepada
lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan
rakyat.10
C. Pemilihan umum kepala daerah Serentak dan Landasan Yuridis
Pemilihan umum kepala daerah Serentak
1. Pemilihan umum kepala daerah Serentak
Pemilu hakikatnya merupakan sistem penjaringan pejabat publik
yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia dengan sistem
pemerintahan demokrasi. Bagi sejumlah negara yang menerapkan atau
mengklaim diri sebagai negara demokrasi (berkedaulatan rakyat),
pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolok ukur utama
dan pertama dari demokrasi. Artinya pelaksanaan dan hasil pemilu
merupakan refleksi dari suasana keterbukaan dan aplikasi dari nilai
dasar demokrasi, disamping perlu adanya kebebasan berpendapat dan
berserikat yang dianggap cerminan pendapat warga negara. Alasannya,
pemilu memang dianggap akan melahirkan suatu refresentatif aspirasi
rakyat yang tentu saja berhubungan erat dengan ligitimasi bagi
pemerintah.11
Melalui pemilu, demokrasi sebagai sistem yang menjamin
kebebasan warga negara terwujud melalui penyerapan suara sebagai
bentuk partisipasi publik secara luas. Dengan kata lain bahwa pemilu
10
Jimly Ashiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
dalam UUD 1945, cet.II, (Yogyakarta : FH UII Press, 2005), h. 35.
11
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 329-330.
28
merupakan simbol dari pada kedaulatan rakyat. Kedaulatan yang
dianut dalam UUD 1945 adalah kedaulatan rakyat sekaligus
kedaulatan hukum.12
Kedaulatan rakyat berarti rakyatlah yang
mempunyai kekuasaan yang tertinggi, rakyatlah yang menetukan corak
dan cara pemerintahan, dan rakyatlah yang menentukan tujuan apa
yang hendak dicapai.
Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, hadirlah sejarah baru
dalam mekanisme pelaksanaan pemilu kepala daerah yaitu dengan
mengadakan pemilihan umum kepala daerah serentak yang pertama
pada tahun 2015. Secara umum, Pemilukada serentak hadir sebagai
sarana menguatkan konsolidasi demokrasi lokal di Indonesia. Jauh dari
pada itu paling tidak terdapat tiga hal yang hendak dijawab dari
hadirnya Pemilukada serentak: pertama, untuk menciptakan
penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif. Kedua, untuk
memperkuat derajat keterwakilan antara masyarakat dengan kepala
daerahnya. Ketiga, menciptakan pemerintahan daerah yang efektif
serta efisien dalam rangka menegaskan sistem pemerintahan
presidensialisme. Selain itu, hadirnya Pemilukada serentak sebagai
sarana kepemimpinan daerah yang mulai berkembang dengan kreatif
dan memperlihatkan adanya peningkatan kinerja pembangunan daerah.
Dan juga tokoh-tokoh politisi muda dari daerah pun mulai
12
Janedri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta; Konstitusi Press, 2012), h.7.
29
bermunculan dan berkompetisi dalam Pemilukada langsung untuk
memimpin daerahnya.
Namun dalam perjalanan hadirnya Pemilukada serentak 2015
melalui berbagai dinamika politik yang terjadi. Hal ini dimulai dari
adanya inisiatif perubahan dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Pada tahun 2012, melalui Kementrian Dalam Negeri,
pemerintah mengusulkan inisiatif perubahan berupa draft naskah
akademik dan Rancangan Undang-Undang Pemilihan umum kepala
daerah (RUU Pemilukada) menjadi undang-undang sendiri yang
terpisah dari undang-undang induknya yaitu UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Satu hal yang sangat mengejutkan dari draft
RUU Pemilukada versi pemerintah tersebut adalah perubahan
pemilihan umum kepala daerah yang kembali dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sesuai tingkatannya. Hal ini
memustahilkan pemilu kepala daerah langsung seperti yang telah
diselenggarakan selama 10 tahun terakhir.13
Setelah melalui berbagai macam proses, maka lahirlah UU Nomor
22 Tahun 2014 tentang pemilihan umum kepala daerah. Undang-
Undang ini menandai kemunduran demokrasi di Indonesia dengan
mereduksi partisiapi politik masyarakat di daerah untuk memilih
langsung kepala daerahnya. Gerakan untuk mengembalikan
Pemilukada secara langsung dalam waktu yang singkat pun mencuat.
13
Yayasan Perludem, Evaluasi Pilkada Serentak 2015 Jurnal Pemilu & Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Perludem, 2016), h. 3.
30
Alhasil, gerakan tersebut berbuah manis dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang
membalikan pemilihan umum kepala daerah dari DPRD ke
Pemilukada langsung oleh rakyat dengan prinsip one man one vote.
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ini dikeluarkan dan disahkan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membatalkan UU Nomor
22 Tahun 2014 tentang pemilihan umum kepala daerah dan mengubah
sistem pemilihan umum kepala daerah yang semula diatur dalam UU
tersebut dipilih oleh DPRD menjadi tetap dipilih langsung oleh rakyat.
Setelah adanya pergeseran tampuk kepemimpinan DPR terpilih hasil
Pemilu 2014, mulai adanya perubahan sikap yang terjadi dan
dipengaruhi oleh koalisi partai politik, sehingga pada Rapat Paripurna
20 Januari 2015, akhirnya DPR secara resmi memberikan persetujuan
atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk
disahkan menjadi Undang-Undang. Pengesahan tersebut menegaskan
berlakunya kembali pemilihan umum kepala daerah secara langsung
oleh rakyat dan peluang untuk melakukan perbaikan dalam
penyelenggaraan Pemilukada langsung kembali terbuka. Namun, ada
sejumlah hal baru yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Misalnya pengenalan bakal calon secara publik, mengatur konflik
kepentingan calon dengan petahana, kampanye dialogis, politih uang
31
dalam pencalonan oleh partai politik, dan penyelenggaraan Pemilukada
secara serentak.
Dengan adanya Pemilukada secara serentak, diharapkan adanya
hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyatnya. Pemerintah
dalam hal ini menghadirkan pemimpin baru yang memiliki
koempetensi, agar pemimpin yang baru lebih memperhatikan
kebutuhan masyarakat di daerah yang dipimpinnya, dan agar
masyarakat pun lebih mengenal kepala daerahnya. Hal ini dikarnakan
salah satu tujuan dari demokrasi adalah suatu pemerintahan dari, oleh,
dan untuk rakyat.
2. Landasan Yuridis Pemilihan umum kepala daerah Serentak
Aturan mengenai Pemilihan umum kepala daerah Serentak terdapat
pada :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 18
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintahan Daerah Provinsi, kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.
2. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang.
Pasal 3
(1) Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara
serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 5
32
(1) Pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu
tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan.
(2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Perencanaan program dan anggaran;
b. Penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan;
c. Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan
tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan;
d. Pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e. Pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas
Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS;
f. Pemeberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan;
g. Penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih; dan
h. Pemutakhiran dan penyusunan daftar Pemilih.
(3) Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Dihapus
b. Dihapus
c. Pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur
dan Calon Wakil gubernur, pasangan Calon Bupati dan
Calon Wakil, Bupati, serta pasangan Calon Walikota
dan Calon Wakil Walikota;
d. Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil
gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil,
Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota;
e. Penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon
Wakil gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon
Wakil, Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota;
f. Penetapan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil
gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil,
Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota;
g. Pelaksanaan Kampanye;
h. Pelaksanaan pemungutan suara;
i. Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan
suara;
j. Penetapan calon terpilih;
k. Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan;
dan
l. Pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.
D. Teori Pengawasan
33
1. Pengertian Pengawasan
Menurut George R. Terry, yang mengatakan bahwa: “Dalam
rangka pencapaian tujuan suatu organisasi, negara sebagai organisasi
kekuasaan terbesar seyogyanya menjalankan fungsi-fungsi manajemen
yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian (organizing),
memberi dorongan (actuating), dan pengawasan (controlloing).”14
Pengawasan termasuk salah satu fungsi manajemen yang sangat
berkaitan erat dengan pencapaian tujuan organisasi, sehingga
pengawasan dalam organisasi apapun dari yang terkecil sampai yang
terbesar termasuk negara menjadi mutlak dilakukan.
Menurut Diana Halim koencoro15
, menyebutkan pengawasan
dalam perspektif hukum administrasi negara adalah mencegah
timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa
yang telah digariskan (preventif) dan menindak atau memperbaiki
penyimpangan yang terjadi (represif).
Pengawasan dalam arti lain merupakan suatu perbuatan/tindakan
pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah guna menghilangkan hal-
hal yang tidak diinginkan dan juga guna tercapainya tujuan yang
dicita-citakan. Pengawasan ini perlu dilakukan agar pelaksana pemilu,
peserta pemilu, dan semua elemen masyarakat benar-benar telah sesuai
14 George R. Terry,Penerjemah Winardi, Prinsip-prinsip Manajemen, (Jakarta :
Bumi Aksara, 1991) h. 15.
15
S.F.Marbun, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, (Yogjakarta: UII
Press ,2004) h. 267.
34
dengan aturan yang berlaku, dan juga sesuai dengan kebutuhan serta
kemanfaatan, sehingga dapat mengurangi kecurangan-kecurangan dan
penyelahgunaan wewenang dalam pelaksanaan pemilu.
Guna menghindari adanya penyelewengan atau penyalahgunaan
wewenang, pengawasan merupakan suatu yang mutlak harus ada,
dalam setiap penyelenggaran organisasi apapun terutama yang bersifat
publik seperti penyelenggaraan negara. Dalam hal pengawasan
Pemilihan umum kepala daerah yang ada di Indonesia, maka Panwaslu
yang berwenang menjalankan fungsi pengawasan dalam
penyelenggaraan Pemilihan umum kepala daerah. Hal ini dimaksudkan
agar proses pelaksanaan Pemilukada dapat berjalan dengan baik sesuai
tujuannya, dan juga sebagai tindakan preventif atas kecurangan-
kecurangan yang sering terjadi selama proses pelaksanaan Pemilukada
tersebut.
2. Jenis-jenis Pengawasan
Jenis-jenis pengawasan dapat dikategorikan beberapa jenis sesuai
dengan sudut pandang masing-masing. Ada jenis-jenis pengawasan
dari segi objek, sifat, waktu, dan ruang lingkupnya.
Jenis pengawasan jika dilihat dari objek dibagi menjadi 2 jenis16
yaitu pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung.
Pengawasan langsung didefinisikan sebagai Pengawasan yang
dilakukan oleh aparat pengawasan/pimpinan dalam suatu organisasi
16 Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1996), h. 14.
35
terhadap bawahannya secara langsung dalam melaksanakan pekerjaan
di tempat berlangsungnya pekerjaan tersebut (on the spot) seperti
Inspeksi mendadak. Sistem ini disebut pula sebagai built of control.
Pengawasan tidak langsung didefinisikan Sujamto sebagai Pengawasan
yang dilakukan oleh aparat/pimpinan organisasi tanpa mendatangi
objek yang diawasai/diperiksa. Lazimnya, aparat/pimpinan yang
melakukan pengawasan ini berdasarkan laporan yang diberikan
kepadanya dengan mempelajari dan menganalisa laporan atau
dokumen yang berhubungan dengan obyek yang diawasi.
Apabila dilihat berdasarkan sifat atau waktu, pengawasan
dibedakan menjadi pengawasan preventif dan pengawasan represif.17
Pengawasan preventif dilakukan sebelum terjadinya pelaksanaan
kegiatan. Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan
setelah pelaksanaan dan ditemukan adanya kesalahan.
Menurut Handayaningrat, jenis pengawasan menurut ruang
lingkupnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: “pengawasan dari
dalam (internal control) dan pengawasan dari luar (eksternal control).”
Menurutnya yang dimaksud pengawasan dari dalam berarti
pengawasan yang dilakukan oleh aparat atau unit pengawasan yang
terbentuk di dalam organisasi itu sendiri. Pengawasn dari luar adalah
17 M. Soebagin, Hukum Keuangan Negara, Cet II (Jakarta; Rajawali Press,
1991), h. 94.
36
pengawasan yang dilakukan oleh aparat atau unit pengawasan dari luar
organisasi.18
18 Soewarno Handayaningrat, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen
(Jakarta; CV. Hj Masagung, 1986 ), h. 144.
37
37
BAB III
TINJAUAN UMUM PANITIA PENGAWAS PEMILU (PANWASLU)
A. Latar belakang terbentuknya Panitia Pengawas Pemilu
Dalam penyelenggaraan Pemilu, sangat sulit dihindari terjadinya
pelanggaran dan sengketa, karena dalam penyelenggaraan pemilu banyak
sekali kepentingan yang terlibat, baik secara politis maupun secara
individual apalagi secara jujur harus kita akui bahwa tingkat kesadaran
berdemokrasi masyarakat kita masih relatif rendah.1 Maka dari itu,
pengawasan pemilu sangat diperlukan dalam pelaksanaan pemilu.
Pengawas pemilu, adalah lembaga ad hoc yang dibentuk sebelum tahapan
pertama pemilu (pendaftaran pemilih) dimulai dan dibubarkan setelah
calon yang terpilih dalam pemilu dilantik. Lembaga pengawas pemilu
adalah khas Indonesia.2
Keberadaan pengawas pemilu merupakan jawaban dari sebuah
kekhawatiran akan terjadinya kecurangan maupun pola electoral
malpractice lainnya dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Ini
dikarenakan dari beberapa kali pemilu khususnya pada masa Orde Baru,
pelaksanaan pemilu dianggap tidak independen dan tidak lepas dari
berbagai tindakan pelanggaran dan penyelewengan. Pelanggaran dan
penyelewengan ini tidak saja dilakukan oleh peserta pemilu akan tetapi
juga oleh penyelenggara pemilu itu sendiri. Bahkan dalam konteks lebih
1 Rozali Abdullah, Mewujudkan Pemilu yang lebih Berkualitas, (Jakarta;
RajaGrafindo Persada, 2009), h. 265.
2 www. Bawaslu-jabarprov.go.id/hal-sejarah-pengawasan-pemilu.html
38
jauh, pelanggaran dan penyelewengan justru dilakukan oleh pihak-pihak
yang ketika itu sedang berkuasa.
Panwaslu dituntut untuk dapat menjadi suatu lembaga yang bisa
mewujudkan pemilu yang jujur dan berkeadilan. Pemilu merupakan suatu
proses untuk meligitimasi kekuasaan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada
berkompetisi dalam ajang pemilu dalam rangka meraih dukungan
terbanyak., dengan modal dukungan masyarakat inilah kekuatan-kekuatan
politik pemenang pemilu ini menjalankan kekuasaannya. Oleh karena itu,
penting untuk mewujudkan suatu kontestasi antar kekuatan politik yang
jujur dan berkeadilan. Agar pemenang dalam kontestasi politik ini adalah
mereka yang benar-benar mendapatkan mandat dukungan dari rakyat.
Kehadiran pengawas pemilu bukanlah menjadi suatu hal baru
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, secara historis sudah ada suatu
badan pengawas pemilu pada pemilu-pemilu sebelumnya, hanya saja
bukan menggunakan nama badan pengawas pemilu (Bawaslu) tetapi
menggunakan nama panwaslak pemilu pada era pemilu 1982-an dan juga
menggunakan nama panwaslu pada era pemilu 1999-an. Kehadiran suatu
panitia pengawas pemilu di masa itu (panwaslak pemilu) dinilai hanya
untuk mengesankan bahwa pemilu berlangsung secara demokratis, namun
pada kenyataannya sering berat sebelah. Eksistensi panwaslak pemilu
berlanjut di era pemilu 1999 yang berganti nama menjadi panwaslu.
Panwaslu pada pemilu 1999 telah cukup banyak menyelesaikan berbagai
kasus pemilu, memberi teguran pada berbagai penyimpangan, dan telah
39
meneruskan banyak laporan ke berbagai instansi. Laporan yang
mengandung unsur pidana pemilu, misalnya telah diteruskan ke kepolisian
lebih dari 200 kasus. Sayangnya hanya 5 kasus tindak pidana pemilu saja
yang kemudian disidangkan.3
Kehadiran panwaslu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
pemilihan umum, namun jika berkaca kepada pelaksanaan pemilu yang
selalu menemukan permasalahan dan selalu merubah sistem yang ada,
maka dapat dikatakan bahwa pemilu di Indonesia belum mencapai kepada
proses yang dicita-citakan. Peranan lembaga penyelenggara pemilu
khususnya lembaga yang mengawasi berjalannnya pemilu pun mulai
dipertanyakan oleh berbagai pihak.
Panwaslu memiliki tugas mengawasi penyelenggaraan pemilu
dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran pemilu untuk
mewujudkan pemilu yang demokratis. Mengenai kewenangan, panwaslu
diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Terkait hal
hal tersebut, posisi panwaslu menjadi sangat dilematis. Di satu sisi
panwaslu dituntut untuk menjadi instrument dalam menegakkan pemilu
yang jujur dan berkeadilan melalui tugas dan kewenangannya, akan tetapi
di sisi lain jangkauan yang dimiliki oleh panwaslu sangat terbatas. Dengan
keterbatasan kewenangan yang dimilikinya, panwaslu tidak ubahnya
3 Topo Santoso & Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 65.
40
sebuah lembaga pos yang mengantarkan perkara kepada lembaga-lembaga
lain.
Seiring perkembangan waktu, pembenahan dan penguatan terhadap
lembaga pengawasan pemilu mulai ditegaskan guna terciptanya pemilu
yang adil, dan merdeka dari segala kecurangan sebagaimana yang selama
ini diharapkan. Perkembangan lembaga ini pun didasari oleh teori check
and balance, dimana setiap lembaga mengendalikan dan mengimbangi
kekuatan lembaga-lembaga yang lain. Dengan adanya perimbangan yang
saling mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat independen itu.4
Panwaslu kabupaten/kota yang beranggotakan 3 orang diangkat
dengan keputusan Bawaslu Provinsi melalui seleksi ketat dengan tidak
mencampuradukkan unsur politik didalamnya. Hal tersebut demi menjaga
keutuhan atau kemurnian Pemilukada. Dalam Pemilukada, penegakan
kedaulatan hukum dan konstitusi melalui adanya Panwaslu merupakan
suatu langkah konkrit yang tidak sia-sia karena bukan tidak mungkin
keseimbangan dan pengaturan dalam pelaksanaan Pemilukada mengalami
gangguan.5 Kehadiran panwaslu dewasa ini menjadi suatu harapan baru
dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, mengingat pemilu
merupakan salah satu mekanisme, sirkulasi, dan regenerasi kekuasaan.
4 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2010), h. 290.
5 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 108-
109.
41
Pemilu juga merupakan satu-satunya cara untuk menggantikan kekuasaan
lama tanpa melalui kekerasan (chaos) dan kudeta.
B. Visi dan Misi
Masa depan Pemilukada bukan hanya ditentukan oleh aparatur negara
dengan kewajiban maupun haknya tetapi ditentukan bagaimana visi dan
misi aparaturnya maupun lembaga negara yang menaunginya. Hal ini tentu
menentukan akan kemana sebuah lembaga berjalan, untuk itu diperlukan
yang namanya visi dan misi demi terbentuk rasa keadilan dan kejujuran
diantara semua pihak. Terlebih lembaga pengawas seperti Panwaslu yang
mempunyai peran signifikan. Visi dan Misi Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) diantaranya:
Visi:
Terwujudnya Pelaksaanaan Pengawasan Pemilihan Umum yang
professional dan modern serta memiliki kemampuan yang tangguh untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran demi terwujudnya demokrasi yang
jujur adil dan bersih.
Misi:
a. Mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu di wilayah
kabupaten/kota;
b. Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
42
c. Menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan
Pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana;
d. Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU kabupaten/kota
untuk ditindaklanjuti;
e. Meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi
kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f. Menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk
mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan
adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilu oleh penyelenggara Pemilu di
tingkat kabupaten/kota;
g. Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu
tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota
yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang
berlangsung;
h. Mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu;
i. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh
undang-undang.
C. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban
Pengawasan merupakan suatu fungsi dasar dari sebab dibentuknya
pengawas Pemilu, terlebih pengawasan yang dilakukan dalam pelaksanaan
pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pengawasan juga
43
diharapkan menjadi faktor pendukung terselenggaranya pemilu yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, demokratis, dan berkualitas.
Dalam menjalankan fungsi pengawasannya, Panwaslu Kabupaten/Kota
dilengkapi dengan tugas, wewenang, dan kewajiban yang termuat dalam
Pasal 77 dan 78 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum.
Pasal 77
(1) Tugas dan wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota adalah:
a. Mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah
kabupaten//kota yang meliputi:
1. Pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan
dan penetap daftar pemilih sementara dan daftar pemliih
tetap;
2. Pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara
pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dan pencalonan bupati/walikota;
3. Proses penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota dan calon bupati/walikota;
4. Penetapan calon bupati/walikota;
5. Pelaksanaan kampanye;
6. Pengadaan logistik Pemilu dan pendistribusiannya;
7. Pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara
hasil Pemilu;
8. Mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan
suara;
9. Pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;
10. Proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU
Kabupaten/Kota dari seluruh kecamatan;
11. Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang,
Pemilu Lanjutan, dan Pemilu susulan; dan
12. Proses penetapan hasil Pemilu Anggota Dewan Perwakilah
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan pemilihan
bupati/walikota;
b. Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilu;
c. Menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan
Pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana;
d. Menyempaikan temuan dan laporan kepada KPU
Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti;
44
e. Meneruskan temuan danlaporan yang bukan menjadi
kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f. Menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk
mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan
adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilu oleh Penyelenggara Pemilu di
tingkat kabupaten/kota;
g. Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu
tentang pengenaan sanksi kepada angota KPU Kabupaten/Kota,
sekretaris dan pegawai secretariat KPU kabupaten/kota yang
terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelanggaraan Pemilu yang sedang
berlangsung;
h. Mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu;
dan
i. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Panwaslu Kabupaten/Kota dapat:
a. Memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan
sementara dan/atau mengenakan sanksi administrative atas
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g;
b. Memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan
dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak
pidana Pemilu.
Pasal 78
Panwaslu Kabupaten/Kota berkewajiban:
a. Bersikap tindak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya;
b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas panwaslu pada tingkatan di bawahnya;
c. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan
dugaan adanya pelanggaran terhadapp pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilu;
d. Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu
Provinsi sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodic dan/atau
berdasarkan kebutuhan;
e. Menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu Provinsi
berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan
oleh KPU kabupaten/kota yang mengkibatkan terganggunya
penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat kabupaten/kota;
dan
f. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
45
D. Landasan Yuridis Panitia Pengawas Pemilu
Indonesia adalah negara hukum. Frasa ini dapat dimaknai bahwa
segala tindakan mengenai penyelenggaraan negara dan warga negara
diatur dengan undang-undang. Menurut Hans Kelsen, hukum adalah tata
aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku
manusia.6 Tata aturan tersebut bertujuan untuk membuat hidup manusia
menjadi lebih baik, tapi kadang dapat membuat sengsara. Salah satu tata
aturan tersebut terletak pada bagaimana menentukan pemimpin suatu
daerah tertentu.
Dalam penentuannya hukum menerapkan sistem untuk memilih
siapa yang pantas untuk menjadi pemimpin daerah lewat Pemilukada.
Untuk itulah panwaslu hadir sebagai icon penting yang mengawal jalannya
Pemilukada. Panwaslu dituntut untuk dapat menjadi suatu lembaga yang
bisa mewujudkan pemilu yang jujur dan berkeadilan. Pemilu merupakan
suatu proses untuk meligitimasi kekuasaan. Kekuatan-kekuatan politik
yang ada berkompetisi dalam ajang pemilu dalam rangka meraih dukungan
terbanyak. Dengan modal dukungan masyarakat inilah kekuatan-kekuatan
politik pemenang pemilu ini menjalankan kekuasaannya. Oleh karena itu,
penting untuk mewujudkan suatu kontestasi antar kekuasaan politik yang
jujur dan berkeadilan. Agar pemenang dalam kontestasi politik ini adalah
mereka yang benar-benar mendapatkan mandat dukungan dari rakyat.
6 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
(Jakarta: Sekretariat Jendral & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 13.
46
Untuk mewujudkan suatu pengawasan pemilu yang baik, maka
dibutuhkanlah aturan-aturan guna menjadikan panwaslu lebih baik.
Aturan-aturan yang mendasari pelaksanaan panwaslu diantaranya:
a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum;
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah;
c. Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas
Peraturan Bawaslu Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pengawasan
Pemilihan Umum;
d. Peraturan Bawaslu Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Perubahan
ketiga atas Peraturan Bawaslu Nomor 10 Tahun 2012 Tentang
pembentukan, pemberhentian, dan panggantian antar waktu Badan
pengawas pemilu provinsi, panitia pengawas pemilu
kabupaten/kota, panitia pengawas pemilu kecamatan, pengawas
pemilu lapangan, dan pengawas pemilu luar negeri.
e. Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2015 Tentang tata kerja dan
pola hubungan Badan pengawas pemilu, Badan pengawas pemilu
provinsi, dan panita pengawas pemilu kabupaten/kota, panitia
pengawas pemilu kecamatan, pengawas pemilu lapangan,
pengawas pemilu luar negeri, dan pengawas tempat pemungutan
suara.
47
E. Hubungan Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu
Komisi Pemilihan Umum merupakan suatu lembaga negara yang
berwenang menyelenggarakan pemilihan umum. Hal ini dilakukan karena
adanya tuntutan dinamika masyarakat, kehidupan politik, dan tuntutan
demokrasi. Pembentukan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri diharapkan dapat berlaku adil dalam
memfasilitasi pemilihan umum bagi seluruh peserta pemilu.
Penyelenggaraan pemilu yang bersifat mandiri yang tidak diletakkan di
bawah kekuasaan pemerintah, sehingga tidak menjadi kepentingan
pemerintan (kekuasaan) dan kepentingan institusi lainnya serta konflik
kepentingan dalam menyelenggarakan pemilu.
Latar belakang pendirian KPU didasarkan dalam pasal 22E ayat (5)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi; “Pemilihan
Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri”. Hal tersebut diatur lebih lanjut dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang penyelenggara pemilu.
KPU merupakan suatu lembaga otonom yang bersifat nasional, tetap, dan
menyelenggarakan pemilu tanpa pengaruh dari pihak manapun dalam hal
pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Secara teoritis pemilu dianggap
merupakan tahap paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan
48
ketatanegaraan yang demokratis, sehingga pemilu merupakan motor
penggerak mekanisme sistem politik demokrasi.7
Komisi pemilihan umum sudah sangat kental sebagai suatu
lembaga penyelenggara pemilu. Yang mana pemilu diharapkan menjadi
suatu alat untuk berdemokrasi dan untuk mencapai cita-cita negara ini,
khususnya pemilu kepala daerah. Hal ini dimaksudkan guna mendukung
dan mengembangkan potensi-potensi yang ada di daerah. Dalam sejarah
ketatanegaraan republik Indonesia, Pemilukada hampir dilaksanakan setiap
tahunnya di berbagai daerah di Indonesia, baik di tingkat provinsi maupun
tingkat kabupaten/kota. Sehingga pada akhir era pemerintahan presiden
Susilo Bambang Yudhoyono disahkan Pemilukada secara langsung dan
serentak.
Dalam perjalanan Pemilukada serentak, tentunya yang menjadi
harapan ialah terciptanya proses pelaksanaan pemilu yang semakin baik.
Namun tentu pelaksanaan ini tidak terlepas dari masalah-masalah yang
selalu ada. Komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara pemilu
tentunya memiliki tanggung jawab besar atas terlaksananya pemilu yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 22E ayat
(5) terdapat klausul yang menyebutkan ”suatu komisi pemilihan umum”.
Hal ini mempunyai tafsiran luas sesuai dengan Putusan Mahkamah
7 B. Hestu Cipto handoyo, Hukum Tata Negara, Menuju Konsolidasi Sistem
Demokrasi, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009), h. 228.
49
Konstitusi No. 11/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2007.
Klausul “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak
merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan
pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum
dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai satu kesatuan
fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri.8
Dari penafsiran di atas, maka KPU dan Bawaslu merupakan satu
kesatuan sebagai lembaga penyelenggara pemilu. KPU memiliki fungsi
pelaksanaan dan Bawaslu memiliki fungsi pengawasan. Bawaslu sebagai
lembaga pengawas pemilu yang pada tingkat daerah disebut panitia
pengawas pemilu (Panwaslu) merupakan lembaga ad hoc yang hadir
sebelum pelaksanaan pemilu dan berakhir setelah selesainya pelaksanaan
pemilu. Panwaslu merupakan mitra dari KPU Kabupaten/kota yang
memiliki peranan pengawasan yang sangat penting dalam membentuk
daerah melalui pengawalan terhadap pelaksanaan Pemilukada karena
daerah kabupaten/kota merupakan sentral kehidupan suatu bangsa.
8 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11/PUU-VIII/2010 tentang pengujian
Undang-Undang Nomo 22 Tahun 2007, h. 111-112.
50
50
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
(PEMILUKADA) SERENTAK KOTA DEPOK TAHUN 2015
A. Penyelesaian sengketa Pemilihan umum kepala daerah Serentak
Kota Depok tahun 2015 oleh Panwaslu
Pemilukada merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut
menentukan figure dan arah kepemimpinan daerah dalam periode tertentu.
Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat maka
penyelenggaraan Pemilukada yang demokratis menjadi syarat penting
dalam pembentukan kepemimpinan sebuah daerah. Pemilukada memiliki
fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar
mendekati kehendak rakyat.1
Dalam mewujudkan pemilu yang baik, tentunya faktor pengawasan
menjadi salah satu hal penting. Pengawasan termasuk salah satu fungsi
manajemen yang sangat berkaitan erat dengan pencapaian tujuan
organisasi, sehingga pengawasan dalam organisasi apapun dari yang
terkecil sampai yang terbesar termasuk negara menjadi mutlak dilakukan.
Panwaslu sebagai lembaga pengawas pemilu hendaknya menjadi lembaga
yang baik dan kuat dalam menjalankan fungsinya agar tercipta pemilu
yang jujur dan adil. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam surat An-
Nisa ayat 58:
1 Hasrul Harahap, Evaluasi Pelaksanaan Pemilukada Serentak Tahun 2015,
(Jurnal Reinaissance, 2016). h. 18.
51
واالماوات الى اه لها واذاحكمتم بيه الىاس ان تحكمىا بالعدل... )الىسآء: ان هللا يؤمركم أن تؤد
85)
Artinya: “sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan apabila diantara kamu
menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil… (Q.S. An-nisaa: 58).
Pengawasan di daerah dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan
tahapan pemilu, menerima laporan pengaduan, menangani kasus-kasus
pelanggaran administrasi, dan tindak pidana pemilu, serta menyelesaikan
sengketa dalam penyelenggaraan pemilu. Namun karna keterbatasannya
wewenang yang dimiliki, panwaslu dinilai tidak lebih dari sekedar
lembaga stempel. Karena panwaslu hanya berwenang memberikan
rekomendasi kepada KPU dan mengawal hasil rekomendasi tersebut.
Apabila ditemukan pelanggaran lainnya hanya diteruskan kepada lembaga
yang berwenang. Namun dilihat lebih jauh dari itu semua, tentunya
panwaslu sudah bekerja dengan semaksimal mungkin sesuai dengan
wewenang yang dimilikinya.
Panwaslu merupakan suatu lembaga penyelenggara pemilu yang
menjalankan fungsi pengawasan. Menurut Diana Halim koencoro2,
menyebutkan pengawasan dalam perspektif hukum administrasi negara
adalah mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas
pemerintahan dari apa yang telah digariskan (preventif) dan menindak atau
memperbaiki penyimpangan yang terjadi (represif). Pengawasan
2 S.F.Marbun, dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, (Yogjakarta:
UII Press ,2004) h. 267
52
merupakan suatu fungsi dasar dari sebab dibentuknya panwaslu.
Pengawasan juga diharapkan menjadi faktor terselenggaranya pemilu yang
jujur dan adil. Walaupun bersifat ad hoc, namun memiliki perananan
penting sebagai jalan masuk perkara baik yang dilakukan oleh pasangan
calon, tim sukses, maupun penyelenggara pemilu itu sendiri.
Dalam pasal 69 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
Tentang penyelenggara pemilu disebutkan bahwa “Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersifat ad hoc.” Pada pasal 71 ayat (3) dalam undang-undang yang sama
disebutkan “Panwaslu Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota.”
Menurut Andriansyah, kedudukan panwaslu Kota Depok sebagai
lembaga pengawas pemilu dalam Pemilukada serentak 2015 adalah
sebagai mitra dari KPUD, hanya saja panwaslu bersifat ad hoc. Sifat ini
memiliki pengertian bahwa Panwaslu Kota Depok akan dibentuk beberapa
waktu sebelum proses Pemilukada dan akan berakhir setelah proses
Pemilukada selesai. Sifat ini tentu berbeda dengan mitra kerja panwaslu
yaitu KPUD. Yang mana KPUD bersifat tetap dan akan dilakukan
pergantian setelah satu periode atau setara lima tahun. Dalam kaitannya
dengan kedudukannya tadi, ada kekosongan pengawasan selama tidak
dilakukannya proses Pemilukada. Padahal dalam waktu kekosongan
tersebut, kpud masih terdaftar sebagai lembaga aktif yang menjalankan
53
fungsinya. Hal ini memungkinkan adanya ketidakefisienan secara check
and balance, tidak adanya saling kontrol dan saling mengimbangi
dikarenakan salah satu fungsi yaitu fungsi pengawasan hanya berada
beberapa saat saja.3
Sengketa secara umum adalah sesuatu yang dapat menyebabkan
perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan.4 Pengertian sengketa
dalam pelaksanaan Pemilukada adalah perselisihan antara kedua pihak
atau lebih yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilukada. Pengertian
lainnya dari sengketa Pemilukada adalah benturan kepentingan yang
terjadi antara calon kepala daerah yang satu dengan kepala daerah yang
lain dalam peristiwa hukum (Pemilukada). Benturan kepentingan tersebut
secara khusus dapat berupa benturan antara kepentingan dengan kewajiban
hukum atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya,
seperti antara kepentingan masyarakat dengan penyelenggara seperti
panwaslu atau kpud. Unsur lainnya dalam sengketa yang berkaitan dengan
benturan kepentingan tersebut adalah adanya akibat hukum yang berlaku
bagi para pihak yang bersengketa.
Sengketa pemilihan menurut pasal 142 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3 Wawancara dengan Andriansyah, ketua panwaslu kota depok, 18 Mei 2017
4 Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 1315.
54
(perppu) Nomor 1 Tahun 2014 menjadi Undang-Undang disebutkan
bahwa:
Sengketa pemilihan terdiri atas:
a. Sengketa antar peserta pemilihan; dan
b. Sengketa antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan kpu provinsi dan kpu
kabupaten/kota.
Dalam Pemilukada serentak Kota Depok 2015 lalu, terdapat satu
laporan sengketa Pemilukada terkait pencalonan salah satu pasangan calon
yang dilaporkan oleh gabungan partai politik pengusung pasangan calon
Rudi H.M. Samin dan Jeanne Noveline terhadap kpud kota depok.
Laporan ini disebabkan pasangan calon yang diusung pelapor tidak
dinyatakan sebagai peserta Pemilukada kota depok tahun 2015
sebagaimana telah diterbitkan surat keputusan kpu No. 53/Kpts/KPU-
Kota-011.329181/2015.
Sebagai tindak lanjut atas laporan di atas, panwaslu menjalankan
wewenangnya yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 pasal 78 untuk menindaklanjuti dan menyelesaikan laporan tersebut
dengan mengeluarkan surat nomor 55/PanwasluDepok/Set/VIII/2015.
Surat tersebut menyatakan bahwa Permohonan pelapor tidak dapat
diterima dengan alasan kedudukan hukum pelapor tidak terpenuhi. Alasan
ini disebabkan karna pelapor dianggap tidak pernah mendaftarkan
pasangan calonnya kepada kpud kota depok pada masa pendaftaran.
55
Dari keputusan yang dikeluarkan panwaslu untuk menyelesaikan
sengketa tersebut dan dengan alasan bahwa pelapor (gabungan partai
politik pengusung salah satu pasangan calon) tidak pernah mendaftarkan
pasangan calonnya, itu bertentangan dengan Peraturan Bawaslu Nomor 8
Tahun 2015 Tentang tata cara penyelesaian sengketa pemilihan gubernur
dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil
walikota pasal 4, yang menyebutkan bahwa: permohonan sengketa
terhadap keputusan kpu provinsi atau keputusan kpu kabupaten/kota
mengenai penetapan pasangan calon peserta pemilihan dapat diajukan
oleh; a. pasangan calon yang mendaftarkan diri atau didaftarkan ke kpu
provinsi dan kpu kabupaten/kota; atau b. partai politik atau gabungan
partai politik pengusung pasangan calon.
Adapun akibat hukum dari dikeluarkannya surat keputusan
panwaslu nomor 55/PanwasluDepok/Set/VIII/2015 adalah digugatnya
putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Sebagaimana
diatur dalam pasal 94 dan 95 Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2015 yang
menyebutkan bahwa:
Pasal 94
Sengketa tata usaha negara pemilihan merupakan sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negera antara pasangan calon
dengan KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Provinsi/KIP Aceh
dan/atau KPU/KIP Kabupaten/Kota tentang penetapan pasangan
calon peserta pemilihan.
Pasal 95
(1) Penyelesaian sengketa tata usaha negara sebagaimana dimksud
dalam pasal 94 diselesaikan melalui upaya administrasi di
Bawaslu Provinsi atau panwas Kabupaten/Kota.
56
(2) Dalam hal masih terdapat keberatan atas putusan Bawaslu,
dapat diajukan gugatan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.
(3) Tata cara penyelesaian sengketa tata usaha negara sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang tentang pemilihan.
Upaya hukum yang digugat ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara adalah bukti ketidakpuasan penggugat atas penyelesaian masalah
di tingkat panwaslu kabupaten/kota, namun disisi lain, dengan melihat
kepada alasan yang dikeluarkan panwaslu dalam pertimbangan surat
keputusannya adalah bukti kurang pahamnya panwaslu terhadap
mekanisme penyelesaian sengketa yang menjadi tugas dan wewenangnya.
Salah satu faktornya adalah kurangnya pembinaan terhadap anggota
panwaslu yang memiliki waktu sangat singkat setelah terbentuk, itu
dikarenakan pembentukan panwaslu yang bersifat ad hoc ini hanya
beberapa saat sebelum proses pelaksanaan Pemilukada dimulai.
B. Kinerja Panwaslu Kota Depok dalam mengatasi sengketa Pemilukada
serentak tahun 2015
Pengawasan merupakan suatu perbuatan/tindakan pencegahan yang
dilakukan oleh pemerintah guna menghilangkan hal-hal yang tidak
diinginkan dan juga guna tercapainya tujuan yang dicita-citakan.
Pengawasan ini perlu dilakukan agar pelaksana pemilu, peserta pemilu,
dan semua elemen masyarakat benar-benar telah sesuai dengan aturan
yang berlaku, dan juga sesuai dengan kebutuhan serta kemanfaatan,
sehingga dapat mengurangi kecurangan-kecurangan dan penyelahgunaan
57
wewenang dalam pelaksanaan pemilu. Dan juga dapat mengaplikasikan
nilai-nilai demokrasi yang menjadi salah satu pilar di Indonesia.
Diantara tugas dan wewenang yang miliki oleh panwaslu adalah
memberikan rekomendasi kepada pihak terkait atas temuan maupun
laporan yang diterima tentang sengketa Pemilukada. Dan diantara salah
satu laporan yang diterima oleh panwaslu adalah pelanggaran administrasi
tentang pencalonan pasangan Dimas Oky Nugroho dan Babai Suhaemi
yang tidak dihadiri oleh sekretaris DPC PDIP sebagai salah satu partai
pengusung calon tersebut. Laporan ini dilandaskan atas ketentuan Pasal 38
ayat (5) Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Pencalonan
gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil
walikota.
Adapun tindaklanjut dari panwaslu atas laporan tersebut adalah
melakukan penelaahan dan kajian yang dituangkan dalam bentuk
rekomendasi panwaslu Kota Depok nomor: 02/LP/31/Juli/2015. Dan
dalam rekomendasinya menyatakan “Merekomendasikan kepada kpu kota
depok untuk melaksanakan ketentuan pasal 38 ayat (4) peraturan kpu
nomor 12 tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan kpu nomor 9 tahun
2015 tentang pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati
dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota yang menyatakan partai
politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib hadir pada saat pendaftaran.
58
(Halaman 13 Poin ke 2 rekomendasi panwaslu kota depok nomor :
02/LP/31/Juli/2015).
Dalam prosesnya, mekanisme penyelesaian sengketa oleh
panwaslu merujuk kepada peraturan yang ada, namun rekomendasi ini
tidak ditindak lanjuti oleh kpud dengan mengirim surat balasan dengan
nomor : 251/KPU-Kota-011.329181/VIII/2015 yang intinya menolak
menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan panwaslu tersebut. Hal ini
sangat disayangkan oleh panwaslu yang sudah berusaha maksimal
menjalankankan tugas dan fungsinya dalam pengawasan pelaksanaan
Pemilukada serentak Kota Depok 2015, ungkap andiransyah.5
Kemudian mekanisme yang dilakukan oleh panwaslu kota depok
dalam mengatasi sengketa Pemilukada serentak sudah dilakukan sesuai
dengan amanat undang-undang yang berlaku. Namun lagi-lagi, panwaslu
yang hanya berwenang memberikan rekomendasi terhadap laporan atau
temuan yang ditemukan di lapangan tidak bisa melakukan tindakan lain
diluar kewenangan yang diatur dalam undang-undang. Maka tak ayal
panwaslu hanya disebut sebagai lembaga stempel.
Evaluasi menuntut penerapan solusi yang nyata dan tepat guna
dalam mengawal jalannya sebuah pemerintahan. Melalui pilakda serentak
masyarakat menghendaki adanya kebersihan dan kejujuran dalam
pelaksanaan pemilu tersebut. Namun nyatanya selalu tidak sesuai harapan,
ada saja gangguan-gangguan yang menghalangi terbentuknya sistem
5 Wawancara dengan Andriansyah, ketua panwaslu kota depok, 18 Mei 2017
59
demokrasi yang jujur dan adil melalui ajang aspirasi yang diadakan lima
tahun sekali itu. Melihat hal tersebut, evaluasi panitia pengawas pemilu
sangatlah menentukan Pemilukada serentak 5 tahun kedepan dengan
mengandalkan data-data yang ada saat ini. Karena dengan evaluasi
tersebut panwaslu dituntut untuk memberi jawaban yang nyata dan
berdampak pasti terhadap psikologi masyarakat dalam pemilu. Akibat
suhu politik yang tinggi dalam Pemilukada serentak, kecurigaan-
kecurigaan antar masing-masing kubu calon kandidat diwarnai dengan
ajang saling tuduh, seperti di media-media yang ada. Hal tersebut
merupakan cermin dari kinerja para penyelenggara yang belum maksimal.
Terlebih panwaslu sebagai lembaga pengawas yang tentu tahu akan celah-
celah yang memungkinkan terjadinya pelanggaran.
Kurang maksimalnya kinerja yang dilakukan oleh panwaslu
tersebut juga dipicu oleh masa jabatan anggota panwaslu yang disematkan
hanya sampai Pemilukada serentak berakhir. Kaitannya dengan
kewenangan mengawasi seharusnya tidak dilakukan hanya secara
incidental semata akan tetapi berkala, artinya bahwa panwaslu bukan
hanya mengawasi pada saat berjalannya Pemilukada serentak melainkan
mengawasi juga peta perpolitikan daerah sebelum Pemilukada serentak
berlangsung. Hal ini dilakukan demi memberi jawaban yang pasti terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di setiap pelaksanaan Pemilukada
serentak.
60
Demokrasi merupakan sistem dengan peraturan-peraturan yang
menjamin setiap rakyatnya mendapatkan hak dengan semestinya. Dalam
Pemilukada hak tersebut diberikan oleh negara lewat kebebasan memilih.
Dalam memenuhi hak tersebut panwaslulah yang menjamin tersalurkannya
hak itu secara penuh dan utuh kepada setiap warga negara tanpa terkecuali.
Tantangan yang dihadapi oleh panwaslu dalam penyaluran hak warga
negara dalam Pemilukada sangatlah beragam dan memiliki karakteristik
yang berbeda di setiap pelaksanaannya.
Pemilukada merupakan sarana perpolitikan daerah yang memiliki
andil penting. Dalam perkembangannya peran serta masyarakat harus
ditunjang dengan pelaksanaan kaidah-kaidah hukum sehingga terukir masa
depan yang baik dan maju. Kenyataan yang terjadi di masa depan tidak
jarang menimbulkan kontroversi yang berkaitan dengan hak dan keadilan,
baik dari sistemnya maupun peraturan peraturan yang belum memenuhi
standar atau harapan.6 Hal tersebut juga kadang menimbulkan sikap-sikap
tidak harmonis antara kepentingan individual, kelompok tertentu, dan
masyarakat secara keseluruhan. Dasar dari kepentingan-kepentingan
tersebut adalah kekuasaan lebih dalam mengatur, adu popularitas, dan lain
sebagainya. Hal inilah yang memancing ketidakharmonisan antara para
pihak tersebut dan menyingkirkan kaidah-kaidah hukum yang semula ada.
Ketidakharmonisan ini kadang berujung pada tindakan anarkis dari
golongan tertentu terhadap golongan yang lain atau bahkan terhadap
6 Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amin, Pembangunan Hukum dalam Presfektif
Politik Hukum Nasional, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. X.
61
lembaga penyelenggara pemilu sekalipun. Dengan dalih atau alasan
bermacam-macam seperti demi menegakkan hak sebagai warga negara
yang wajib mendapat perhatian dan keadilan.
Diungkapkan oleh andriansyah7, tantangan panwaslu ada pada
keterbatasan wewenang yang dimilikinya. Diantaranya kewenangan
sosialisasi yang dimiliki kpud, keterbatasan anggaran yang tidak bisa
ditentukan sendiri oleh panwaslu, sehingga panwaslu hanya menerima
anggaran yang dianggarkan saja. Selain itu tantangan terbesar panwaslu
adalah kedudukan yang bersifat ad hoc. Dapat diamati bersama, panwaslu
kota depok dibentuk ketika kpud sedang membentuk kpu tingkat
kecamatan. Artinya ada beberapa proses pelaksanaan Pemilukada serentak
yang sudah dimulai namun tim pengawasnya sendiri belum dibentuk. Hal
ini mengakibatkan adanya kekosongan pengawasan dalam proses
pelaksanaan Pemilukada serentak.
Dalam menjawab tantangan yang diterima panwaslu dalam
melaksanakan peran dan fungsinya, panwaslu mengajak masyarakat untuk
sama sama peduli akan pengawasan Pemilukada demi terciptanya
Pemilukada yang aman, jujur, dan adil. Seperti dikutip dari
santananews.com bahwa panwaslu kota depok meminta bantuan
masyarakat untuk turut melakukan pengawasan proses pelaksanaan
Pemilihan umum kepala daerah serentak di kota depok. Pasalnya,
panwaslu kota depok memiliki sumber daya manusia yang sangat minim
7 Wawancara dengan Andriansyah, ketua panwaslu kota depok, 18 Mei 2017
62
untuk memantau seluruh tahapan pelaksanaan Pemilukada 9 Desember
2015. Kata Andriansyah, peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk
mengawasi pelaksanaan Pemilukada agar berjalan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku sangat dinanti. Selain itu, semakin banyak masyarakat yang
melakukan pemantauan pelaksanaan Pemilukada maka pelaksanaan
Pemilukada akan semakin baik. Karena kesempatan pihak tertentu untuk
melakukan kecurangan bisa diminimalisir, bahkan dicegah.
Dalam mewujudukan pelaksanaan pemilu yang aman, panwaslu
depok sudah menjalankan peran dan fungsi dengan sebaik mungkin sesuai
amanat undang-undang. Salah satu tindakan yang ditempuh dalam
mengantisipasi terjadinya sengketa pemilu adalah dengan mengawal
pelaksanaan sosialisasi yang dilakukan kpud. Mengawal dalam arti ikut
serta dalam menjalankan proses sosialisasi, walaupun sebenarnya
kewenangan sosialisasi itu ada pada kpud, namun panwaslu selalu
mencoba ikut serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat khususnya
dalam keadaan-keadaan tertentu. Sosialisasi menjadi langkah pemahaman
terhadap masyarakat luas, karena dengan pahamnya masyarakat akan
hadirnya panwaslu dan pemahaman akan tugas pokok dan fungsi
panwaslu, maka masyarakat akan lebih mudah melaporkan kejadian-
kejadian yang tidak sepatutnya terjadi saat pemilu. Selain itu adanya
deteksi dini dari panwaslu yang ditugaskan kepada panwas tps untuk
mengirimkan foto hasil perhitungan di masing-masing tps. Hal ini
63
dimaksudkan guna menjadi acuan panwaslu apabila terjadi pelanggaran
dalam bentuk penggelembungan suara di kpud, ungkap andriansyah.8
8 Wawancara dengan Andriansyah, ketua panwaslu kota depok, 18 Mei 2017.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasaran uraian bab I sampai bab IV di atas, pada akhirnya peneliti
menyimpulan :
1. Bahwa kekuatan wewenang yang diberikan kepada panwaslu dalam
undang-undang masih relatif lemah karna panwaslu tidak memiliki
wewenang lain ketika rekomendasinya tidak mendapat respon positif
dari KPUD, karena KPUD menolak menindaklanjuti rekomendasi
yang diberikan panwaslu, maka sangat disayangkan bahwa
rekomendasi panwaslu hanya dijadikan hiasan belaka dalam proses
penyelesaian sengketa.
2. Dalam menjalankan fungsi pengawasan mengenai mekanisme
penyelesaian sengketa, panwaslu masih kurang memahami mekanisme
penyelesaiannya. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya surat
panwaslu tentang permohonan tidak dapat diterima. Alasan atau
pertimbangan hukum yang digunakan panwaslu bertentangan dengan
Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2015. Hal ini disebabkan karna
kurang pahamnya panwaslu terhadap tugas dan wewenangnya dalam
proses penyelesaian sengketa. Hal ini mencerminkan bahwa
pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pengawas di atas panwaslu
tingkat kabupaten/kota belum berhasil.
64
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti ingin memberikan saran
bahwa :
1. Panwaslu sebagai lembaga pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota
seyogyanya memiliki kewenangan yang lebih khususnya dalam hal
penyelesaian sengketa. Mengingat seringnya laporan maupun temuan
yang diterima panwaslu atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Hal ini guna menyaring laporan atau temuan tersebut dan menjadikan
panwaslu lebih mandiri dalam menjalankan fungsi pengawasan.
2. Badan pengawas pemilu tingkat pusat maupun provinsi untuk lebih
mempersiapkan calon-calon anggota panwaslu di tingkat bawahnya
guna memantapkan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
sebagai lembaga pengawas pemilu. Mengingat waktu yang disediakan
oleh undang-undang yang sedikit, maka hendaknya pembinaan dan
pelatihan dilaksanakan semaksimal mungkin. Panwaslu pada tingkat
kabupaten/kota memiliki mitra kerja yaitu KPU kabupaten/kota yang
mana berbeda dalam sifatnya. Panwaslu bersifat ad hoc sedangkan
KPU bersifat tetap. Hal ini bisa mengakibatkan adanya kekosongan
pengawasan dalam beberapa proses ketika mendekati Pemilukada
maupun pemilu eksekutif dan legislatif. Terlebih kedepannya akan ada
badan peradilan khusus pemilu yang mana ini membutuhkan
pengawasan yang lebih baik lagi.
65
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Abdullah, Rozali. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009.
Alkostar, Artidjo dan M. Sholeh Amin. Pembangunan Hukum dalam Presfektif
Politik Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali, 1986.
Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press, 2005.
---------- Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009.
---------- Hukum tata negara & pilar-pilar demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika,
2012.
---------- Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. p. 2, 2013.
Bahasa, T. P. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik-edisi revisi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010.
Fadjar, Mukhtie. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayu Media Publishing, 2005.
Fuady, M. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat). Bandung: Refika Aditama,
2011.
Gaffar, Janedri M. Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
Handayaningrat, Soewarno. Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen.
Jakarta: CV. Hj. Masagung, 1986.
Handoyo, B. Hestu. Hukum Tata Negara, Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi.
Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009.
Hidayatullah, T. P. Demokrasi, HAM & Mayarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta
Press, 2000.
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta:
Sekretariat Jendral & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
M.D., M. Mahfud. Demokrasi Konstitusi di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1993.
Marbun, S.F. Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII
Press, 2004.
66
M.Soebagin. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Mariana, Dede. Demokrasi & politik desentralisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2008.
Marzuki, P. Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2011.
Pradhanawati, Ari. Pemilukada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal.
Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang, 2005.
Santoso, Topo & Didik Supriyanto. Mengawasi pemilu mengawal demokrasi.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.S.F.Marbun. (2004). Dimensi-Dimensi
Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press, 2004.
Sodikin. Hukum pemilu (Pemilu sebagai praktek ketatanegaraan). Bekasi:
Gramata Publishing, 2014.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986.
---------- dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu TInjauan Singkat).
Jakarta: Rajawali, 1985.
Subagyo, Firman. Menata Partai Politik (Dalam Arus Demokratisasi Indonesia).
Jakarta: RMBOOKS, 2009.
Sujamto. Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
Sukardja, Ahmad. Hukum tata negara & Hukum administrasi negara dalam
prespektif fikih siyasah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Tamrin, Abu dan Nurhabibi Ihya. Hukum Tata Negara. Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Terry, George R. Prinsip-Prinsip Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Tutik, T. Triwulan. Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2011.
Ubaedillah, Abdullah & Abdul Rozak. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta.Winarno, B. (2007).
Globalisasi dan Krisis Demokrasi. Yogyakarta: Medpress, 2003.
yuhana, Abdy. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945.
Bandung: Fokusmedia, 2013.
Winarno, Budi. Globalisasi dan Krisis Demokrasi. Yogyakarta: Medpress, 2007.
67
Jurnal:
Harahap, Hasrul. Evaluasi Pelaksanaan Pemilukada Serentak 2015. Jurnal
Reinaissance, 2015.
Rajab, Achmadudin. Tinjauan Hukum Eksistensi dari Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2015 setelah 25 kali Pengujian Undang-Undang di
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 2016.
Wulandari, Lia. Evaluasi Pilkada Serentak 2015. Jurnal Pemilu &
Demokrasi. 2015.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang penetapan peraturan pemerintah
pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang pemilihan
gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang penetapan peraturan pemerintah
pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang pemilihan
gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 Tentang
pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas
Peraturan Bawaslu Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pengawasan Pemilihan
Umum
Peraturan Bawaslu Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Perubahan ketiga atas
Peraturan Bawaslu Nomor 10 Tahun 2012 Tentang pembentukan,
pemberhentian, dan panggantian antar waktu Badan pengawas pemilu
provinsi, panitia pengawas pemilu kabupaten/kota, panitia pengawas
pemilu kecamatan, pengawas pemilu lapangan, dan pengawas pemilu luar
negeri
Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2015 Tentang tata kerja dan pola
hubungan Badan pengawas pemilu, Badan pengawas pemilu provinsi, dan
68
panitia pengawas pemilu kabupaten/kota, panitia pengawas pemilu
kecamatan, pengawas pemilu lapangan, pengawas pemilu luar negeri, dan
pengawas tempat pemungutan suara
Peratuan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Pencalonan Pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil
bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota.