PRESENTASI KASUS I
DBD STADIUM I
Dengan KEJANG DEMAM SEDERHANA
Disusun Oleh :
Pembimbing :Dr. Hot SH, SpA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAKPERIODE 13 JANUARI – 22 MARET 2014
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIHFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 2013
BAB I
LAPORAN KASUS
1
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS I
Nama Mahasiswa: Aqsha Tiara Viazelda Pembimbing : Dr. Hot SH, SpA
NIM : 030.08.035 Tanda tangan:
IDENTITAS PASIEN
Nama : Anak RPP Suku bangsa : Jawa
Jenis kelamin : Laki-laki Pendidikan : Belum Sekolah
Umur : 10 bulan Agama : Islam
Alamat : Jl. Asem Baris no.8 Rt.3 Rw.11, Kebon Baru, Tebet
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 4-3-2013
Orangtua/ Wali
Ayah Ibu
Nama : Tn. Y
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Pegawai swasta
Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat :
- Jl. Asem Baris no.8 Rt.3 Rw.11,
Kebon Baru, Tebet
Nama : Ny.T
Umur : 29 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat :
- Jl. Asem Baris no.8 Rt.3 Rw.11, Kebon
Baru, Tebet
2
I. ANAMNESIS
Lokasi : Bangsal 515 Timur
Tanggal / waktu : 15 Januari 2013/ 14.43 WIB
Tanggal masuk : 15 September 2013
Keluhan utama : Demam sejak 5 hari SMRS
Keluhan tambahan : Muntah
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh demam sejak 5 hari SMRS, demam terjadi mendadak, naik turun, badan
terasa panas tapi tidak diukur dengan termometer. Demam terasa lebih tinggi saat malam
hari. Pasien sempat mengalami kejang selama 10 detik saat demam pertama terjadi 5 hari
SMRS.
Sejak 1 hari SMRS, pasien mengalami batuk-batuk tidak berdahak. Pasien sempat
muntah satu kali, 1 hari SMRS. Isi muntahan berupa makanan. BAK lancar berwarna
kuning jernih, belum BAB sejak 1 hari SMRS. Nafsu makan dan minum pasien baik.
Riwayat sakit kuning (-) riwayat transfusi darah (-) konsumsi obat-obatan (-) gangguan
perdarahan (-).
Keluhan ini pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien tidak pernah dirawat
sebelumnya.
b. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)
Kesimpulan: Pasien tidak pernah mengalami hal serupa.
c. Riwayat Kehamilan/ Persalinan
KEHAMILAN
Morbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke Bidan 1 bulan sekali dan
sudah mendapat imunisasi vaksin TT 2 kali
KELAHIRAN
Tempat persalinan Rumah bersalin
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinanSpontan
Penyulit : -
Masa gestasi Cukup bulan
Keadaan bayi
Pasien anak pertama
Berat lahir : 2900 gr
Panjang lahir : 48 cm
Lingkar kepala : (tidak tahu)
Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
Kelainan bawaan : tidak ada
Kesimpulan : Kontrol kehamilan baik, persalinan spontan, langsung menangis. Nilai
cukup bulan, sesuai masa kehamilan.
d. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I : Umur 8 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap : Umur 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : Umur 8 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Umur 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Perkembangan pubertas
Belum pubertas.
Kesimpulan: Tidak terdapat gangguan perkembangan fisik maupun mental. Pasien belum
pubertas.
e. Riwayat Makanan
Umur
(bulan)ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0 – 2 ASI - - -
2 – 4 ASI - - -
4 – 6 ASI - - -
6 – 8 ASI + + -
8 – 10 ASI + + +
Kesimpulan: Tidak ada kesulitan makan pada pasien.
f. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar ( umur )
BCG 1 bulan - -
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan - -
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan
Pneumokokus - - -
Hib - - -
Kesimpulan: Imunisasi dasar lengkap.
g. Riwayat Keluarga
a. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. A Ny. T
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 28 tahun 27 tahun
Pendidikan terakhir SMA SMA
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Penyakit, bila ada - -
c. Riwayat Penyakit Keluarga: Ayah dari ibu pasien menderita hipertensi. Paman pasien
pernah menderita kejang demam diusia 5 tahun.
Kesimpulan riwayat keluarga: Tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat
penyakit serupa.
h. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di rumah kontrakan bersama kedua orangtuanya. Berdinding tembok,
berlantai keramik dengan atap genteng.Pasien masih tidur dengan kedua orangtuanya.
Ventilasi dan pencahayaan baik. Sumber air bersih dari PAM. Saluran pembuangan di
sekitar rumah tidak tersumbat.
Kesimpulan keadaan lingkungan: Keadaan lingkungan baik.
i. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai pegawai swasta dengan penghasilan Rp.2.000.000,-/bulan.
Sedangkan ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien penghasilan
tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Kesimpulan sosial ekonomi: Cukup baik.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Kesan Gizi : baik
Keadaan lain : anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 8 kg Lingkar Kepala : 45 cm
Berat Badan sebelum sakit : 8 kg Lingkar Lengan Atas : 15 cm
Tinggi Badan : 69 cm
Status Gizi
- BB / U = 8/ 9,6 x 100 % = 83 % (Gizi normal menurut kurva NCHS)
- TB / U = 69/ 73 x 100 % = 94 % (Tinggi normal menurut kurva NCHS)
- BB / TB = 8/ 8,4 x 100 % = 95 % (Gizi normal menurut kurva NCHS)
- LK = 45 cm (+1 SD Kurva Nellhaus)
- LILA = 15 cm (0 - +1 SD Kurva Pertumbuhan WHO)
Tanda Vital
Nadi : 156 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Pernapasan : 32 x/ menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 3
Suhu : 36,80o C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)
KEPALA : Deformitas (-), hematoma (-)
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, tipis
WAJAH : Wajah simetris, edema palpebra (-/-), luka atau jaringan parut (-)
MATA :
Visus : tidak dinilai Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjuntiva pucat : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : intak +/+
Serumen : +/+ Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : - / -
Sekret : -/- Deviasi septum : -
Mukosa hiperemis : -/-
BIBIR:
- Simetris saat diam, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT:
- Oral higiene baik, trismus (-), mukosa gusi dan pipi merah muda, ulkus (-), halitosis (-).
Lidah : normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-) massa (-)
TENGGOROKAN:
- Arkus faring simetris, hiperemis (+). Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, kripta tidak melebar,
detritus (-). Faring hiperemis, granula (-), ulkus (-), massa (-)
LEHER:
- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak tampak
deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di tengah
- Tiroid tidak teraba membesar
- JVP 5 + 1 cmH2O
THORAKS :
JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis terlihat pada ICS V 1cm medial linea midklavikularis sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS V linea midklavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi
- Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, pernapasan abdomino-torakal, pada sela iga tidak terlihat adanya retraksi,
tidak ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada.
Palpasi
- Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vokal fremitus sama
kuat kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler, reguler, ronkhi +/+, wheezing -/-
ABDOMEN :
Inspeksi
- Perut cembung, tidak dijumpai adanya efloresensi bermakna, benjolan (-), turgor baik
Palpasi
- Datar, supel, NT (-), hepar dan lien tidak teraba membesar.
- Ballotement -/-, Nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang perut, shifting dullness (+)
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 4 x / menit
ANOGENITALIA:
- Testis turun sempurna (+), edema skrotum (-), hipospadi (-), epispadi (-), fimosis (-),
parafimosis (-)
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : akral hangat ++/++
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain edema (-) edema (-)
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain edema (+) edema (+)
KULIT:
- Warna sawo matang merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit baik,
lembab, pengisian kapiler <2 detik
TULANG BELAKANG:
- Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)
TANDA RANGSANG MENINGEAL :
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (-) (-)
Brudzinski II (-) (-)
Laseq (-) (-)
Kerniq (-) (-)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium IGD RSUD Budhi Asih(15-01-2014)
Hematologi Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 7,9 g/ dL 10,5 – 12,9
Hematokrit 28% 35 – 43
Eritrosit 4,4 juta/ μL 3,6 – 5,2 juta
Leukosit 3.300/μL 6000 – 17.500
Trombosit 88.000/ μL 217 – 497 ribu
LED 15 mm/jam 0 – 10
MCV 64 fL 74 – 102
MCH 18 pg 23 – 31
MCHC 28,1 gr/dL 28 – 32
RDW 15,3 % <14
Basofil 0 % 0 – 1
Eosinofil 0 % 1 – 5
Neutrofil Batang 2 % 0 – 8
Neutrofil Segmen 41 % 17 – 60
Limfosit 48 % 20 – 70
Monosit 9 % 1 – 11
Pemeriksaan laboratorium lantai V Timur Budhi Asih (16-01-2014)
Feces Rutin Hasil Nilai Normal
Makroskopik:
- Warna
- Konsistensi
- Lendir
- Darah
Coklat
Lunak
Negatif
Negatif
Coklat
Lunak
Negatif
Negatif
Mikroskopik:
- Leukosit
- Eritrosit
- Amoeba Coli
- Amoeba Histolitika
- Telur Cacing
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Pencernaan:
- Lemak
- Amilum
- Serat
- Sel Ragi
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Pemeriksaan laboratorium Lantai V Timur RSUD Budhi Asih(17-01-2014)
Hematologi Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 7,9 g/ dL 10,5 – 12,9
Hematokrit 25% 35 – 43
Eritrosit 4,3 juta/ μL 3,6 – 5,2 juta
Leukosit 14.800/μL 6000 – 17.500
Trombosit 82.000/ μL 217 – 497 ribu
MCV 59,6 fL 74 – 102
MCH 18,1 pg 23 – 31
MCHC 32,1 gr/dL 28 – 32
RDW 13,6 % <14
Gambaran Hasil Darah Tepi (17/1/2014)
Didapatkan hasil:
- Anemia mikrositik hipokrom
- Limfositosis relative
- Trombositopenia
Pemeriksaan laboratorium Lantai V Timur RSUD Budhi Asih(18-01-2014)
Hematologi Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 8,5 g/ dL 10,5 – 12,9
Hematokrit 27% 35 – 43
Eritrosit 4,6 juta/ μL 3,6 – 5,2 juta
Leukosit 13.900/μL 6000 – 17.500
Trombosit 101.000/ μL 217 – 497 ribu
MCV 59,4 fL 74 – 102
MCH 18,4 pg 23 – 31
MCHC 31 gr/dL 28 – 32
RDW 13,7 % <14
IV. RESUME
Pasien laki-laki usia 10 bulan dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam naik
turun dan meningkat pada malam hari. Pasien sempat mengalami kejang selama 10 detik saat
demam pertama terjadi. Batuk kering dan muntah 1x sejak 1 hari SMRS. Isi muntahan berupa
makanan. BAK lancar berwarna kuning jernih. Nafsu makan dan minum pasien baik. Pada
pemeriksaan didapatkan nadi: 156 x/menit, pernapasan: 32 x/menit, suhu 36,8 ºC. Pada
pemeriksaan paru, ronkhi (+/+). Hasil laboratorium menunjukkan terdapat leukopenia,
trombisitopenia, anemia mikrositik hipokrom.
V. DIAGNOSIS KERJA
DHF Grade I dengan Riwayat Kejang Demam Simpleks
VI. DIAGNOSIS BANDING
- Demam Tifoid
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Foto rontgen thoraks PA
VIII.TATALAKSANA
Non-medikamentosa
- Informasi dan edukasi mengenai keadaan dan penyakit pasien
- Observasi tanda vital
- Tirah baring
- IV line
Medikamentosa
- PCT 80 mg
IX. PROGNOSIS
- Ad Vitam : dubia ad bonam
- Ad Sanationam : bonam
- Ad Fungsionam : dubia ad bonam
X. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
16-01-2014 Demam (+)
Kejang (-)
M: tidak diukur
U: tidak ukur
KU/Kes: TSS/ CM
N: 148 x/ menit, S:
38oC, P: 60 x/ menit
Mata: cekung -/-,
Konjungtiva Pucat -/-
Hidung: nch -, sekret
-/-
Mulut: bibir kering (-),
faring hiperemis (-)
Thorax:
BJI-II reg, m (-), g (-).
- Susp. DHF
- Kejang
Demam
Simpleks
- IVFD Asering
3 cc/ kg/ jam
- PCT drop 80
mg bila T ≥38 oC
SN ves rh +/+, wh -/-
Abdomen:
Supel. BU (+), NT (-)
Ext: akral hangat ++/+
+, oedem --/--
17/01/14 Demam (+)
Kejang (-)
M= ASI + AP
500cc
U=
BAK 335 gr
BAB 180 gr
Campur 168 gr
KU/Kes: TSS/ CM
N: 154 x/ menit, S:
38,8oC, P: 56 x/ menit
Mata: cekung -/-,
Konjungtiva Pucat -/-
Hidung: nch -, sekret
-/-
Mulut: bibir kering (-),
faring hiperemis (-)
Thorax:
BJI-II reg, m (-), g (-).
SN ves rh +/+, wh -/-
Abdomen:
Supel. BU (+), NT (-)
Ext: akral hangat ++/+
+, oedem --/--
- DHF grade I
- Kejang
Demam
Simpleks
- IVFD Asering
3 cc/ kg/ jam
- PCT drop 80
mg
18/01/14 Demam (-)
Kejang (-)
Batuk (+)
Mencret (-)
M= ASI + AP
750 cc
U=
KU/Kes: TSS/ CM
N: 132 x/ menit, S:
36,8oC, P: 40 x/ menit
Mata: cekung -/-,
Konjungtiva Pucat -/-
Hidung: nch -, sekret
-/-
Mulut: bibir kering (-),
faring hiperemis (-)
Thorax:
BJI-II reg, m (-), g (-).
SN ves rh +/+, wh -/-
- DHF grade I
- Kejang
Demam
Simpleks
- IVFD Asering
3 cc/ kg/ jam
- PCT drop 80
mg
- Amoxicillin
3x1 cth
BAK 992 gr
BAB 80 gr
Campur 530 gr
Abdomen:
Supel. BU (+), NT (-)
Ext: akral hangat ++/+
+, oedem --/--
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DHF
DEFINISI
Demam berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit demam
akut terutama menyerang pada anak-anak, dan saat ini cenderung polanya berubah ke
orang dewasa. Gejala yang ditimbulkan dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi
menimbulkan shock yang dapat menimbulkan kematian1.
Infeksi virus dengue dapat menyebabkan Demam Dengue (DD), Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF), dan Syndrom Shock Dengue (SSD). Infeksi dengue di
jumpai sepanjang tahun dan meningkat pada musim hujan. Demam berdarah dengue
merupakan penyakit infeksi yang masih menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini
masih disebabkan oleh karena tingginya angka morbiditas dan mortalitas1
ETIOLOGI
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus (Arthropod-borne viruses) artinya virus
yang di tularkan melalui gigitan arthropoda misalnya nyamuk aedes aegypti (betina).
Arthropoda akan menjadi sumber infeksi selama hidupnya sehingga selain menjadi
vektor virus dia juga menjadi hospes reservoir virus tersebut yang paling bertindak
menjadi vektor adalah nyamuk1
PATOGENESIS
Fenomena patologis utama yang menentukan berat penyakit DHF adalah
meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah (kapiler), yang mengakibatkan
terjadinya perembesan atau kebocoran plasma, peningkatan permeabilitas dinding
kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma yang otomatis jumlah trombosit
berkurang (trombositopenia), terjadinya hipotensi (tekanan darah rendah) yang
dikarenakan kekurangan haemoglobin, plasma merembes selama perjalanan penyakit
mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa terjadinya
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) bersamaan dengan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit
menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke
daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak2.
GEJALA KLINIS
Seperti pada infeksi virus yang lain, maka infeksi virus Dengue juga merupakan
suatu self limiting infectious disease yang akan berakhir sekitar 2-7 hari. Infeksi virus
Dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang bervariasi
antara penyakit yang paling ringan, dengue fever, dengue hemmorrhagic fever dan
dengue shock syndrom2.
a. Demam
Demam mendadak disertai dengan gejala klinis yang tidak spesifik seperti
anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang sendi dan kepala. Pada umumnya
gejala klinik ini tidak mengkhawatirkan. Demam berlangsung antara 2-7 hari
kemudian turun secara lysis.
b. Perdarahan
Umumnya muncul pada hari kedua sampai ketiga demam bentuk perdarahan dapat
berupa uji rumple leed positif, petechiae, purpura, echimosis, epistasis, perdarahan
gusi dan yang paling parah adalah melena.
c. Hepatomegali
Hati pada umumnya dapat diraba pada pemulaan demam, kadang kadang juga di
temukan nyeri, tetapi biasanya disertai ikterus.
d. Shock
Shock biasanya terjadi pada saat demam menurun yaitu hari ketiga dan ketujuh sakit.
Shock yang terjadi dalam periode demam biasanya mempunyai prognosa buruk.
Penderita DHF memperlihatkan kegagalan peredaran darah dimulai dengan kulit
yang terasa lembab dan dingin pada ujung hidung, jari dan kaki, sianosis sekitar
mulut dan akhirnya shock.
e. Trombositopenia
Trombositopenia adalah berkurangnya jumlah trombosit, apabila dibawah
150.000/mm3 biasanya di temukan di antara hari ketiga sampai ketujuh sakit.
f. Kenaikan Nilai Hematokrit
Meningkatnya nilai hematokrit merupakan indikator yang peka terhadap terjadinya
shock sehingga perlu di lakukan pemeriksaan secara periodik.
g. Gejala Klinik Lain
Gejala Klinik Lain yang dapat menyertai penderita adalah epigastrium, muntah-
muntah, diare dan kejang-kejang 1.
Derajat Beratnya Penyakit DHF
Sesuai dengan patokan dari WHO (1975) bahwa penderita DHF dalam perjalanan
penyakit terdapat derajat I dan IV, antara lain2 :
1. Derajat I (Ringan)
Demam mendadak 2 sampai 7 hari disertai gejala klinik lain, dengan manifestasi
perdarahan ringan. Yaitu uji tes “rumple leed’’ yang positif.
2. Derajat II (Sedang )
Golongan ini lebih berat daripada derajat pertama, oleh karena ditemukan
perdarahan spontan di kulit dan manifestasi perdarahan lain yaitu epitaksis
(mimisan), perdarahan gusi, hematemesis dan melena (muntah darah). Gangguan
aliran darah perifer ringan yaitu kulit yang teraba dingin dan lembab.
3. Derajat III ( Berat )
Penderita syok berat dengan gejala klinik ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu
nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi
disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita menjadi gelisah.
4. Derajat IV
Penderita syok berat (profound shock) dengan tensi yang tidak dapat diukur dan
nadi yang tidak dapat diraba.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosa Laboratorium
Setiap penderita dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan lengkap
darah, sangat penting karena pemeriksaan ini berfungsi untuk mengikuti perkembangan
dan diagnosa penyakit.
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian. Bagian cairan disebut
plasma dan bagian padat disebut sel darah. Volume dari darah secara keseluruhan
sekitar 5 liter, yaitu 55 % cairan dan 45 % sisanya terdiri dari sel darah yang dipadatkan
yang berkisar 40-47 % 3.
Sel darah meliputi sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) dan trombosit.
Eritrosit bentukya seperti cakram kecil bikonkaf, cekung pada sisinya. Jumlah eritrosit
pada darah normalnya 5.000.000/μl. Lekosit terdiri dari dua yaitu non granulosit dan
granulosit. Sel granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil, basofil. Sel non granulosit
terdiri dari limfosit dan monosit. Sel lekosit merupakan sel yang peka terhadap
masuknya agen asing dalam tubuh dan berfungsi sebagai sistim pertahanan tubuh.
Jumlah normal dalam darah 8.000 μl. Sel ini diproduksi di sumsum tulang belakang.
Trombosit ukurannya sepertiga ukuran sel darah merah. Jumlahnya sekitar
300.000/μl. Perannya penting dalam penggumpalan darah.
Adapun pemeriksaan yang dilakukan antara lain :
1. Pemeriksaan uji Tourniquet/Rumple leed
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah pada penderita
DHF. Uji rumpel leed merupakan salah satu pemeriksaan penyaring untuk
mendeteksi kelainan sistem vaskuler dan trombosit. Dinyatakan positif jika terdapat
lebih dari 10 ptechiae dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian depan
termasuk lipatan siku1.
Prinsip : Bila dinding kapiler rusak maka dengan pembendungan akan tampak
sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit yang di sebut Ptechiae4.
2. Pemeriksaan Hemoglobin
Kasus DHF terjadi peningkatan kadar hemoglobin dikarenakan terjadi
kebocoran /perembesan pembuluh darah sehingga cairan plasmanya akan keluar dan
menyebabkan terjadinya hemokonsentrasi. Kenaikan kadar hemoglobin >14 gr/100
ml. Pemeriksaan kadar hemaglobin dapat dilakukan dengan metode sahli dan
fotoelektrik (cianmeth hemoglobin), metode yang dilakukan adalah metode
fotoelektrik.
Prinsip : Metode fotoelektrik (cianmeth hemoglobin) Hemoglobin darah diubah
menjadi cianmeth hemoglobin dalam larutan yang berisi kalium
ferrisianida dan kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang
gelombang 540 nm/filter hijau4.
3. Pemeriksaan Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan terjadinya hemokonsentrasi,
yang merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Nilai peningkatan ini lebih
dari 20%. Pemeriksaan kadar hematokrit dapat dilakukan dengan metode makro dan
mikro.
Prinsip : Mikro metode yaitu menghitung volume semua eritrosit dalam 100 ml
darah dan disebut dengan % dari volume darah itu 4.
4. Pemeriksaan Trombosit
Pemeriksaan jumlah trombosit ini dilakukan pertama kali pada saat pasien
didiagnosa sebagai pasien DHF, Pemeriksaan trombosit perlu di lakukan
pengulangan sampai terbukti bahwa jumlah trombosit tersebut normal atau menurun.
Penurunan jumlah trombosit < 100.000 /μl atau kurang dari 1-2 trombosit/ lapang
pandang dengan rata-rata pemeriksaan 10 lapang pandang pada pemeriksaan
hapusan darah tepi.
Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang melisiskan semua
sel kecuali sel trombosit) dimaksudkan dalam bilik hitung dan dihitung
dengan menggunakan faktor konversi jumlah trombosit per μ/l darah4.
5. Pemeriksaan Lekosit
Kasus DHF ditemukan jumlah bervariasi mulai dari lekositosis ringan
sampai lekopenia ringan.
Prinsip : Darah diencerkan dengan larutan isotonis (larutan yang melisiskan
semua sel kecuali sel lekosit) dimasukkan bilik hitung dengan
menggunakan faktor konversi jumlah lekosit per μ/l darah4.
6. Pemeriksaan Bleding time (BT)
Pasien DHF pada masa berdarah, masa perdarahan lebih memanjang
menutup kebocoran dinding pembuluh darah tersebut, sehingga jumlah trombosit
dalam darah berkurang. Berkurangnya jumlah trombosit dalam darah akan
menyebabkan terjadinya gangguan hemostatis sehingga waktu perdarahan dan
pembekuan menjadi memanjang.
Prinsip : Waktu perdarahan adalah waktu dimana terjadinya perdarahan setelah
dilakukan penusukan pada kulit cuping telinga dan berhentinya
perdarahan tersebut secara spontan4.
7. Pemeriksaan Clothing time (CT )
Pemeriksaan ini juga memanjang dikarenakan terjadinya gangguan hemostatis.
Prinsip : Sejumlah darah tertentu segera setelah diambil diukur waktunya mulai
dari keluarnya darah sampai membeku4.
8. Pemeriksaan Limfosit Plasma Biru (LPB)
Pada pemeriksaan darah hapus ditemukan limfosit atipik atau limfosit plasma biru
≥ 4 % dengan berbagai macam bentuk : monositoid, plasmositoid dan blastoid.
Terdapat limfosit Monositoid mempunyai hubungan dengan DHF derajat
penyakit II dan IgG positif, dan limfosit non monositoid (plasmositoid dan
blastoid) dengan derajat penyakit I dan IgM positif5.
Prinsip: Menghitung jumlah limfosit plasma biru dalam 100 sel jenis-jenis
leukosit.
9. Pemeriksaan Imunoessei dot-blot
Hasil positif IgG menandakan adanya infeksi sekunder dengue, dan IgM positif
menandakan infeksi primer. Tes ini mempunyai kelemahan karena sensitifitas
pada infeksi sekunder lebih tinggi, tetapi pada infeksi primer lebih rendah, dan
harganya relatif lebih mahal.
Prinsip : Antibodi dengue baik IgM atau IgG dalam serum akan diikat oleh anti-
human IgM dan IgG yang dilapiskan pada dua garis silang di strip
nitrosellulosa2.
Limfosit Plasma Biru ( LPB )
Penderita DHF sering muncul limfosit plasma biru, hal ini disebabkan karena
limfosit merupakan satu-satunya sel tubuh yang mampu mengenal antigen secara spesifik dan
mampu membedakan penentu antigenik, sehingga respon imunnya bersifat spesifik. Respon
imun spesifik adalah reaksi tubuh terhadap antigen mencakup rangkain interaksi selluler yang
di ekspresikan dengan panyebaran produk-produk sel spesifik. Sel yang berperan dalam
respon imun spesifik adalah limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit yang normal
berukuran kecil, kira-kira sebesar eritrosit, berbentuk bulat dengan diameter 8-10 μ. Inti
limfosit penuh hampir mengisi sebagian besar dari ukuran sel, kromatin padat dan berwarna
biru, sitoplasma tidak mengandung granula 5.
Limfosit yang berstimulasi dengan antigen akan mengalami perubahan struktural
dan biokimia. Istilah yang biasa untuk menggambarkan perubahan morfologi tersebut antara
lain limfosit plasma biru, limfosit reaktif, limfosit atipik.
Limfosit Plasma Biru adalah mononucleus yang besar dengan kromatin nucleus
yang homogen dan halus dengan sitoplasma biru tua dan bervakuola, berdiameter 20μ.
Jumlah limfosit plasma biru yang ditemukan pada preparat darah hapus untuk penyakit DHF
biasanya ≥ 4 % dan apabila dilakukan pemeriksaan lmfosit plasma biru pada buffy coat akan
terlihat lebih banyak / meningkat 20% - 50%. Peningkatan jumlah limfosit atipik/limfosit
plasma biru ≥ 4 % di daerah darah tepi dan dijumpai pada hari sakit 3-7 2.
Limfosit plasma biru pada preparat darah tepi ada bermacam-macam. Macam-
macam limfosit plasma biru yang dapat kita lihat pada preparat darah hapus adalah bentuk
monositoid, plasmasitoid, dan bentuk blastoid. Bentuk monositoid cirinya yaitu set oval
besar, inti berbentuk oval atau melekuk kromatin inti menggumpal. Irregular pada sitoplasma
terdapat vakuolisasi. Bentuk plasmasitoid cirinya yaitu sitoplasma lebar dengan inti seperti
pada sel plasma sitoplasma biru muda/biru gelap dan ada daerah perinuklear yang jernih.
Bentuk blastoid cirinya yaitu sel bulat inti terdapat nucleoli sitoplasma biru gelap. Terdapat
limfosit plasma biru dalam bentuk monositoid dengan IgG positif berhubungan dengan DBD
derajat penyakit II, sedangkan bila ditemukan limfosit plasma biru dalam bentuk blastoid dan
plasmasitoid IgM positif berhubungan dengan DHF derajat penyakit I (Imam
Budiwiyono,2002). Selain ditemukannya peningkatan jumlah limfosit pada darah tepi juga
dapat dilakukan pemeriksaan lain yang juga menunjukkan kespesifikan daripada penyakit
DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)2.
TATALAKSANA
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan, tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi memerlukan perawatan intensif. Diagnosis dini dan edukasi
untuk segera dirawat merupakan hal penting untuk mengurangi waktu kematian2.
Cairan intravena diperlukan apabila, anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam
tinggi sehingga minuman oral tidak bisa diberikan sehingga ditakutkan mempercepat
terjadinya syok dan nilai hematokrit yang cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala2.
PROGNOSIS
Dengan diagnosis dini dan pemberian cairan, kematian karena DBD dapat dicegah, namun
kekambuhan DBD lebih ditekankan pada pemberantasan dengan upaya preventif dengan
penyemprotan missal sebelum musim penularan penyakit di kelurahan yang endemis DBD,
melakukan pembinaan pemberantasan sarang nyamuk, melakukan penanggulangan fokus
rumah pasien dan sekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa
(KLB) dan mengadakan penyuluhan pada berbagai media2.
II. KEJANG DEMAM
DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal diatas 38°C), kenaikan suhu tubuh tersebut disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-1 % dari populasi anak berumur 6 bulan – 5
tahun. Paling sering pada usia 17 – 23 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau
lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi SSP, epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Bila demam disebabkan
proses intrakranial, bukan disebut sebagai kejang demam. 6
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
kejang demam, tapi termasuk kedalam kejang neonatus.Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam.7 Bila kejang demam didahului diare hebat, jangan lupa kemungkinan bahwa kejang
bukan disebabkan demam melainkan karena gangguan metabolic misalnya hiponatremia,
hipernatremia, hipokalsemia, hipogikemia 8.
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan
perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernafasan akut, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu
yang paling tinggi, kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi sudah dapat
menyebabkan kejang. Bila kejang telah terjadi pada demam yang tidak tinggi, anak
mempunyai resiko tinggi untuk berulangnya kejang.6
KLASIFIKASI
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam kompleks
Kejang Demam Sederhana7
Terjadi pada anak-anak umur 6 bulan – 5 tahun.
Kejang ini menyeluruh dan berlangsung < 15 menit.
Dengan kata lain anak tersebut sehat tanpa defisit neurologist baik dari pemeriksaan
atau riwayat perkembangan.
Kejang dan demam tidak disebabkan oleh meningitis, ensefalitis atau penyakit lain
yang mempengaruhi otak.
Kejang ini dianggap sebagai kelainan genetic, namun bila lokus tertentu maupun
bentuk tertentu telah digambarkan. Bentuk ini bervariasi antara kelurga dan bias
multifaktorial.
Kejang Demam Kompleks7
Kejang berlangsung >15 menit
Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
Kejang ini berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Di Sub Bagian Saraf Bagian IKA FKUI-RSCM Jakarta, Kriteria Livingston (1970) yang
sudah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam
sederhana: 7
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali.
Klasifikasi Kejang Demam menurut konsensus kejang demam tahun 2006, yaitu:7
1. Kejang Demam Sederhana :
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umum tonik dan
atau klonik , umumnya akan berhenti sendiri,tanpa gerakal fokal atau berulang dalam
waktu 24 jam
2. Kejang Demam Kompleks
Kejang lama > 15 menit
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum di dahului kejang parsial
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang:
Usia ketika pertama kali terserang kejang demam (kurang dari 15 bulan)
Sering mengalami demam
Riwayat keluarga yang juga menderita kejang demam.
Jika kejang terjadi segera setelah demam atau jika suhu tubuh relatif rendah, maka
besar kemungkinannya akan terjadi kembali kejang demam.Dapat juga karena adanya
infeksi ekstrakranial misalnya campak (morbili).
PATOFISIOLOGI9
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolis otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler.
Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui ion Natrium (Na+)
dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (C1-). Akibat konsentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ rendah sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat
pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitamya.,
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan meta-
bolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak
berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan
orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion Kalium maupun ionNatrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya
lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmiter dan terjadilah kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlansung lama (lebih dari 15 menit) biasanya menyebabkan kerusakan neuron otak.
MANIFESTASI KLINIS10,11
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun
dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf.
Kejang dapat diikuti hemiparese sementara (hemiparese Todd) yang berlangsung
beberapa jam sampai beberapa hari. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering
terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang ditemukan pada 16% pasien.
Sesuai definisi kejang demam timbul ketika anak mengalami demam. Kejang
demam umumnya menyeluruh, dengan kata lain seluruh anggota tubuh terlihat.
Selama kejang berlangsung terdapat keadaan seperti :
Kekakuan seluruh tubuh
Kedutan tangan dan kaki
Kurangnya respon terhadap rangsangan apapun
Deviasi mata dan melotot
Trismus
Inkontinensia urine
Menegakkan Diagnosis
Dari Anamnesis :
Frekuensi dan lamanya kejang
Kapan terjadinya kejang
Kejang itu pertama kali atau sudah pernah sebelumnya
Bila sudah pernah umur berapa
Sifat kejang
Gejala penyerta ( demam, muntah, lumpuh, kemunduran kepandaian )
Kesadaran waktu kejang dan pasca kejang
Dari pemeriksaan fisik:
Secara neurologist dan perkembangan anak tersebut sehat serta yang paling penting
tidak ditemukan tanda-tanda meningitis dan ensefalitis (rangsang meningeal- )
Dari pemerikasaan penunjang :
- Pemeriksaan laboratorium :
Darah tepi lengkap
Elektrolit
Glukosa darah
Pungsi lumbal, dengan indikasi menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Bila pasti bukan meningitis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
PENATALAKSANAAN12
Pada tata laksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu :
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakain
yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan
nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur,
diberikan oksigen, kalau perlu intubasi. Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu,
tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh diturunkan dengan kompres air
dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama dengan pemberian secara
intravena atau intrarektal.
Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai mengalami
meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi
meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang
dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan.
Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab.
Pengobatan Profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu :
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien.
Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Hal yang
demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil
dengan fenobarbital intermittent. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik
karena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam inrarektal tiap 8 jam
sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk
pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukan suhu 38,50°C
atau lebih. Diazepam dapat pula dilakukan secara oral dengan dosis 0,5mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam ialah ataksia,
mengantuk dan hipotonia. Diazepam juga dapat menurunkan kejang demam ketika
diberikan pada masing-masing episode demam. Dengan meningkatkan aktifitas GABA
penghambat utama neurotransmitter, mendepresi susunan saraf pusat termasuk sistem
limbik dan formasio retikularis.
2. Profilaksis terus-menerus dengan anti konvulsan tiap hari
Pemberian fenobarbital 4-5 mg / kgBB/hari dengan kadar darah sebesar 16µg/ml
dalam darah menunjukan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang
demam. Efek samping fenobarbital berupa kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif,
pemarah dan agresif ditemukan pada 30-50% pasien. Efek samping dapat dikurangi
dengan menurunkan dosis fenobarbital.
Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam ialah asam valproat
yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan fenobaarbital tetapi kadang-kadang
menunjukkan efek samping hepatotoksik. Dosis valproat adalah 15-40 mg/kgBB/hari.
Valproat tidak menyebabkan kelainan watak. Fenitoin dan carbamazepin tidak
efektif untuk pencegahan kejang demam. Profilaksis terus menerus berguna untuk
mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak
tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang
terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Pemberian Obat Rumat.
Indikasi pemberian obat rumat.
Pengobatan rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukan ciri sebagai
berikut:
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retradasi mental,
hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
4. Pengobatan rumat dipeetimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
Kejang demam terjadi pada bayi < 12 bulan.
Kejang demam > 4 kali
Penjelasan:
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat.
Kelainan neurologist tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakan indikasi pengobatan rumat.
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menujukan bahwa anak mempunyai focus
organik.
PROGNOSIS13
Faktor resiko berulangnya kejang adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 14 bulan
3. Tingginya suhu badan sebelum kejang
4. Lamanya demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80%, sedangkan bila tidak
terdapat factor tersebut hanya 10-15% kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang
paling besar pada tahun pertama.
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilesi
adalah :
1. Perkembangan saraf terganggu
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi dalam keluarga
4. Lamanya demam
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai
4-6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10-15%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat
pada kejang demam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis dan Faktor Resiko. Available at: www.ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article/download/2951/2136. Accessed January 21, 2014.
2. Soedarmo S, Gama H, Hadinegoro SS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua: Bab 15. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2002.
3. Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi Paramedis. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 2002
4. Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat: Jakarta. 2007.
5. Sutarjo. Limfosit plasma biru. Arti diagnostik dan sufat imunologik pada infeksi dengue. Disertasi Universitas Gajah Mada: Yojyakarta. 1991.
6. Taslim,S.,Sofyan,I.Kejang Demam dalam buku ajar Neurologi anak, edisi ke 2, Ilmu Kesehatan Anak Indonesia Jakarta 2000:245-849
7. Husain, R., Alatas, H. Kejang Demam dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2 cetakan ketujuh, Jakarta; Staff pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1985; 847-54
8. Konsensus penanganan kejang demam , Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI, Saraf Anak PERDOSSI. Jakarta 2006.
9. Nelson KB, Ellenberg JH. Febrile seizure. Pediatric 15th edition.
10. Hay,Jr., William W., Current Pediatric Diagnosis & Treatment, 17th Edition, 1163-1165, Lange Medical Books, USA.
11. Mansjoer, Arif, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid Kedua, Bab 47, 417-418, 2000. Media Aesculapius, Jakarta
12. Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak FKUI, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2, Bab 21.
13. Wahab, A. Samik, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15, Vol. 2, Seksi 4, 1068-1071,1996, EGC, Jakarta
Recommended