Departemen Lingkungan HidupBEM Kema Unpad 2020Kabinet Eksplorasi Makna
Sejarah Erupsi Gunung Api Anak Krakatau dan Beberapa Fakta di Belakangnya
Sejarah Erupsi Gunung Api Anak Krakatau dan Beberapa Fakta di Belakangnya
Oleh: Departemen Lingkungan Hidup BEM Kema Unpad 2020 & Departemen Kajian
Strategis BEM KM FTG Unpad 2020
Pendahuluan
Baru-baru ini tepatnya tanggal 10 dan 11 April telah terjadi erupsi Gunung Anak
Krakatau. Berita mengenai hal ini cukup menghebohkan masyarakat karena beberapa hal yang
menyertainya. Kita masih mengingat tsunami di Selat Sunda yang memakan korban hingga
mencapai 430 orang Meninggal Dunia, 150 orang dinyatakan hilang serta lebih dari 16.000
kehilangan tempat tinggalnya. Hal itu cukup menyisakan duka mendalam bagi Indonesia.
Namun ternyata bukan hanya hal tersebut yang dapat membuat berita ini begitu mencuat, ada
2 kali suara dentuman di sela-sela erupsi Gunung Api Gunung Anak Krakatau yang sampai
informasi ini diturunkan belum ada konfirmasi jelas mengenai asal suara tersebut, hal ini akan
dibahas kemudian di bagian pembahasan. Kami telah berusaha menghimpun beberapa
informasi penting mengenai erupsi pada tanggal 10-11 April 2020 lalu. Mulai dari berapa
amplitude maksimumnya, tinggi kolom abu, waktu durasi erupsi hingga status yang
disematkan pada Gunung Api Anak Krakatau kini.
Dan kamipun tertarik untuk mengorek secara lebih dalam mengenai Gunung Api Anak
Krakatau ini. Begitu banyak fakta-fakta menarik yang dapat diungkap dari sejarah Gunung Api
Anak Krakatau. Sejarah pembentukan Gunung Api Anak Krakatau ini sudah bagaikan
informasi umum yang mesti diketahui oleh seluruh masyarakat. Menjadi studi pembelajaran
bagi mahasiswa yang ingin mengetahui fase-fase pertumbuhan gunung api karena
pertumbuhannya yang sangat cepat sekitar 4 meter per tahunnya. Kemudian kami juga tidak
lupa mempelajari penyebab tsunami di Selat Sunda pada tahun 2018 lalu yang ada kaitannya
dengan erupsi Gunung Api Anak Krakatau, berbagai indikasi longsoran, kondisi geologis di
daerah sekitar tak luput menjadi pembahasan. Serta saran kami untuk berbagai pihak terkait
dalam menanggulangi bencana tsunami yang dikhawatirkan Kembali terjadi turut disertakan
dalam pembahasan. Terakhir, di samping dampak-dampak negatif yang ditimbulkan, kamipun
memaparkan beberapa dampak positif akibat erupsi Gunung Api Anak Krakatau yang
diantaranya adalah keragaman biodiversitas di sekitar Gunung Api Anak Krakatau.
Pembahasan
Edukasi Tingkat Status Aktivitas Gunung Api Sebagai Dasar Peringatan Dini Bencana
Aktif Normal atau Level I. Pada tingkatan ini kegiatan gunung berapi masih dalam
keadaan normal, tidak ada gejala aktifitas tekanan magma dan tidak memperlihatkan adanya
peningkatan kegiatan berdasarkan hasil pengamatan secara visual, maupun hasil penelitian
secara instrumental. Hal yang perlu dilakukan antara lain melakukan pengamatan rutin serta
melakukan survei dan penyelidikan mendalam terhadap aktivitas dari gunung berapi tersebut.
Waspada atau Level II. Pada tingkatan ini mulai terjadi peningkatan kegiatan berupa
kelainan yang dapat diamati secara visual dan/atau secara instrumental. Peningkatan aktivitas
berada di atas level normal dengan meningkatnya aktivitas seismik dan kejadian vulkanik, serta
terdapat perubahan aktivitas yang diakibatkan oleh aktivitas magma, tektonik dan hidrotermal.
Tindakan yang perlu dilakukan adalah penyuluhan/sosialisasi, penilaian bahaya, persiapan
sarana dan prasarana, serta melaksanakan piket terbatas.
Siaga atau Level III. Peningkatan kegiatan semakin nyata, yang teramati secara visual
dan/atau secara instrumental serta berdasarkan analisis perubahan kegiatan tersebut cenderung
diikuti letusan/erupsi. Hal tersebut menandakan gunung berapi yang sedang bergerak ke arah
letusan atau menimbulkan bencana, peningkatan intensif kegiatan seismik, semua data
menunjukkan aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat
menimbulkan bencana., dan jika tren peningkatan berlanjut, letusan dapat terjadi dalam waktu
2 minggu. Tindakan yang perlu dilakukan adalah sosialisasi pada wilayah yang terancam,
menyiapkan sarana prasarana darurat, meningkatkan kordinasi dan melaksanakan piket penuh.
Awas atau Level IV. Status ini menujukan bahaya. Peningkatan kegiatan gunungapi
mendekati/menjelang letusan utama yang diawali oleh letusan abu/asap. Setelah itu akan ada
letusan besar. Kemungkinan gunung berapi akan meletus akan berlangsung kurang lebih dalam
waktu 24 jam. Pada level ini yang perlu lebih awas adalah menandakan gunung berapi yang
segera atau sedang meletus atau ada keadaan kritis yang menimbulkan bencana, letusan
pembukaan dimulai dengan abu dan asap dan letusan berpeluang terjadi dalam waktu 24 jam.
Tindakan yang perlu dilakukan adalah meninggalkan wilayah yang terancam bahaya,
melakukan kordinasi secara intensif, dan melakukan piket penuh.
Data Seputar Erupsi Gn. Anak Krakatau Pada Jum’at (10/04/2020) Malam
Gambar 1. Pengamatan Visual Gunung Krakatau 10 April 2020, 15.08 WIB.
Pada 25 Maret 2019, terjadi perubahan status aktivitas Gunung Anak Krakatau karena
terjadinya penurunan aktivitas dari Gunung Anak Krakatau dari Siaga (Level III) menjadi
Waspada (Level II).
Pengamatan Visual
Januari Februari Maret April
Waktu Erupsi 1, 7, dan 15
Januari 2020
6 – 11 Februari
2020
18 Maret 2020 10 April 2020
Ketinggian
maksimal (dari
puncak
500 m 1000 m 300 m 500 m
Warna kolom abu Putih kelabu Putih kelabu
tebal
Putih kelabu Kelabu tebal
“Erupsi pada 10 April 2020 lalu terekam oleh seismogram dengan amplitude maksimum
40 mm, dan durasi 2284 detik.”, dikutip dari laman magma.esdm.go.id, Jumat (10/4/2020).
Maka Sepanjang tahun 2020 sudah terdapat 12 kali aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau.
Potensi Bahaya
Potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatai saat ini ialah lontaran material lava,
aliran lava, dan hujan abu lebat hingga sekitar kawah dalam radius 2 km dari kawah aktif.
Sementara itu hujan abu yang lebih tipis dapat terpapar hingga area yang lebih jauh namun
bergantung pada arah dan kecepatan angin.
Aktivitas vulkanik berupa erupsi tipe Strombolian saat ini, lontaran material pijar hanya
tersebar di sekitar kawah. Erupsi masih terus menerus berpoternsi terjadi namun tidak
terdeteksi adanya gejala vulkanik yang menuju kepada intensitas erupsi lebih besar.
Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wiayah Barat pada PVMBG, Dr. Nia Haerani
mengatakan “pengunjung atau wisatawan tidak beraktivitas dalam radius dua kilometer dari
kawah/puncak Gunung Anak Krakatau atau di sekitar kepulauan Anak Krakatau. Sedangkan
arena wisata Pantai Carita, Anyer, Pandeglang dan sekitarnya, serta wilayah Lampung Selatan
masih aman dari ancaman bahaya aktivitas Gunung Anak Krakatau.”
Status Gunung Anak Krakatau Saat Ini
Dr. Nia Haerani dalam siaran persnya mengatakan bahwa, “berdasarkan hasil pengamatan
visual dan instrumental serta potensi bahasa Gunung Anak Krakatau selama Januari hingga 10
April 2020, tidak ada peningkatan ancaman. Tingkat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau
masih tetap pada Level II (Waspada).”
Misteri Suara Dentuman
Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG) menyebut suara dentuman
tersebut bukan berasal dari erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. "Saya sudah
konfirmasi petugas pos pengamatan, mereka tidak mendengar karena letusannya juga kecil,"
kata Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Hendra Gunawan dihubungi di Jakarta, Sabtu
(11/4).
Menurut dia, erupsi gunung yang terletak di Selat Sunda dalam wilayah Kabupaten
Lampung Selatan, Provinsi Lampung itu hanya mengeluarkan semburan ketinggian berkisar
500 meter. Dia menyebut letusan yang terjadi pada Jumat (10/4) malam juga bukan
merupakan letusan eksplosif dan hanya semburan. "Biasanya dalam jarak dua kilometer,
kedengaran hanya suara desis saja," ujarnya pula.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika ( BMKG) menegaskan, suara detuman
yang terdengar di Jakarta dan sejumlah wilayah di Jawa Barat bukan berasal dari gempa
tektonik. "Tapi poinnya adalah bukan dari sumber gempa bumi tektonik itu tidak ada gempa
tektonik yang signifikan," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Sabtu (11/4/2020).
Dwikorita mengatakan pada Sabtu dini hari ada gempa Selat Sunda. Namun kekuatan gempa
yang hanya 2,4 Magnitudo itu seharusnya tak berdampak suara atau getaran. "Sejak tadi kami
cek data itu kan sejak jam 22.00 sekian jadi sudah kita cek ada gempa tapi kekuatannya
magnitudonya hanya dua, sekian itu tidak dirasakan oleh manusia," ujarnya. "Yang kuat saja
yang kekuataanya lebih besar saja tidak mengeluarkan dentuman," ucap Dwikorita.
Sejarah Terbentuknya Gunung Anak Krakatau
Gunung Anak Krakatau merupakan anak dari Gunung Krakatau yang pernah meletus
dahsyat pada tahun 1883. Gunung Api Anak Krakatau yang berlokasi di Selat Sunda, Lampung
ini tergabung dalam kompleks Krakatau yang terdiri dari empat pulau, yaitu Rakata, Sertung,
Panjang, dan Anak Krakatau. Ketiga pulau pertama merupakan sisa pembentukan kaldera
Gunung Krakatau purba, sedangkan Pulau Rakata adalah gunung api yang tumbuh bersamaan
dengan Gunung Api Danan dan Perbuatan sebelum terjadi letusan besar pada tahun 1883.
Krakatau merupakan kompleks gunung api sebagai hasil penghancuran dari letusan
Gunung Krakatau Purba. De Neve (1984) menyebutkan dalam catatan sejarah yang
dihimpunnya bahwa letusan besar (katastrofik) Krakatau Purba terjadi pada 416 M sehingga
menghasilkan runtuhan kaldera. Kaldera yang terbentuk mempunyai lebar sekitar 10 km dan
menyisakan empat pulau yaitu Rakata, Sertung, Panjang, dan Cupu (Stehn 1929; Williams,
1941; Willumsen, 1997). De Neve (1981) dalam catatannya menyebutkan sebelum letusan
pada 1883, terjadi beberapa kegiatan letusan kecil yaitu pada abad 3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan
17 yang kemudian diikuti munculnya tiga buah gunung api, yaitu Rakata, Danan, dan
Perbuwatan. Lalu kerucut andesitis Danan dan Perbuwatan menyatu dengan kerucut basaltis
Rakata membentuk sebuah pulau (Williams, 1941) yang nantinya disebut sebagai Gunung
Krakatau.
Gunung Krakatau terus tumbuh dan aktif mengeluarkan letusan-letusan kecil hingga
akhirnya berhenti pada tahun 1681. Setelah 200 tahun beristirahat dari kegiatannya, Gunung
Krakatau aktif kembali ditandai dengan adanya letusan dari Danan dan Perbuwatan pada Mei
1883 sebagai awal dari letusan dashyat Krakatau pada Agustus 1883. Letusan Krakatau
terdengar jelas di Singapura dan Australia bahkan suaranya terdengar hingga Pulau Rodriguez,
di sekitar Teluk Madagaskar, yang berjarak 5524 km dari Krakatau serta menimbulkan
gelombang tsunami dan aliran piroklastik. De Neve (1984) dalam Sutawidjaja (2006)
menyebutkan bahwa letusan Krakatau pada Agustus 1883 tersebut sebanding dengan 21.574
kali kekuatan bom atom dan menyebabkan perubahan iklim global. Bumi mengalami
kegelapan selama dua setengah hari akibat abu vulkanik yang menutupi atmosfer. Suhu udara
di beberapa wilayah bumi selama lebih dari satu tahun lebih dingin akibat sinar matahari
terhalang abu vulkanik. Selain itu, letusan ini menghancurkan Gunung Danan, Gunung
Perbuwatan dan sebagian Rakata yang membentuk Kaldera 1883 dengan diameter sekitar 7 km
(Williams, 1941).
Setelah melewati masa istirahat kedua (mulai 1884 sampai Desember 1927), kegiatan
gunung api ini kembali aktif ditandai dengan adanya letusan bawah laut pada 29 Desember
1927. Letusan tersebut menyemburkan air laut menyerupai air mancur yang terjadi secara
berkelanjutan sampai 15 Januari 1929 (Stehn, 1929). Lahirnya Gunung Anak Krakatau ditandai
dengan munculnya kerucut baru di atas permukaan air laut dan rangkaian letusan bawah laut.
Pulau Anak Krakatau tumbuh dengan bentuk menyerupai bulan sabit yang membuka ke arah
barat-barat daya dengan ketinggian mencapai 38 m serta panjang 275 m (Stehn, 1929). Peta
Batimetri Kompleks Krakatau menunjukkan bahwa Anak Krakatau tumbuh di tepi timur laut
Kaldera 1883 (Deplus, dkk., 1995)
Aktivitas Anak Krakatau diawali ketika adanya rangkaian erupsi yang berkomposisi
magma basa terlihat di Pusat Komplek Krakatau pada 29 Desember 1927 – 18 februari 1929,
sampai akhirnya pada 1929 dinyatakan sebagai kelahiran Gunung Anak Krakatau. Sejak
lahirnya Gunung Anak Krakatau tumbuh dengan cepat karena sering mengalami letusan yang
hampir setiap tahun terjadi. Masa istirahat letusannya berkisar antara 1 hingga 8 tahun dengan
rata-rata terjadi letusan 4 tahun sekali. Dari sejumlah letusan tersebut, pada umumnya titik
letusan selalu berpindah-pindah di sekitar tubuh kerucutnya. Secara umum pertumbuhan
Gunung Api Anak Krakatau adalah rata-rata 4 meter per tahunnya (Sutawidjaja, 1997).
Salah satu aspek yang diperhatikan adalah pertumbuhan dari Gunung Api Anak Krakatau
yang begitu cepat. Pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau yang sampai saat ini berlangsung
cepat dikarenakan seringkali terjadi letusan. Sejak 1931 hingga 1960, pusat letusan berasal dari
danau kawah, dan terjadi letusan sekitar 47 kali. Tahun 1961 sampai 1988 terjadi letusan
sebanyak 9 kali.
Pembelajaran Dari Tsunami di Selat Sunda Pada 2018 Lalu
Tsunami Selat Sunda (2018) dan Kaitannya Dengan Erupsi Gunung Anak Krakatau
1. Indikasi longsoran
Berdasarkan sejarah, di Selat Sunda telah berkali-kali terjadi bencana tsunami yang
tercatat dalam katalog tsunami. Tsunami yang terjadi ini disebabkan oleh beberapa fenomena
geologi, di antaranya erupsi gunung api bawah laut Krakatau yang terjadi tahun 416, 1883,
dan 1928; gempa bumi pada tahun 1722, 1852, dan 1958; dan penyebab lainnya yang diduga
kegagalan lahan berupa longsoran baik di kawasan pantai maupun di dasar laut pada tahun
1851, 1883, dan 1889.
Kondisi tektonik Selat Sunda sangat rumit, karena berada pada wilayah batas Lempeng
India-Australia dan Lempeng Eurasia, tempat terbentuknya sistem busur kepulauan yang unik
dengan asosiasi palung samudera, zona akresi, busur gunung api dan cekungan busur belakang.
Palung Sunda yang menjadi batas pertemuan lempeng merupakan wilayah yang paling
berpeluang menghasilkan gempa-gempa besar. Adanya kesenjangan kegiatan gempa besar di
sekitar Selat Sunda dapat menyebabkan terakumulasinya tegasan yang menyimpan energi, dan
kemudian dilepaskan setiap saat berupa gempa besar yang dapat menimbulkan tsunami.
Kondisi geologi dasar laut Selat Sunda yang labil, terutama disebabkan oleh
perkembangan struktur geologi aktif yang membentuk terban, juga berpotensi menimbulkan
bencana longsor apabila dipicu oleh gempa bumi. Sementara kondisi topografi pantai yang
relatif terjal dengan tingkat pelapukan yang tinggi di sekitar Teluk Semangko dan Teluk
Lampung, merupakan faktor lain yang dapat menimbulkan bencana longsor terutama apabila
dipicu oleh curah hujan yang tinggi antara bulan Desember hingga Februari. Lebih jauh lagi,
bahwa apabila material longsoran jatuh ke laut, meskipun sangat kecil dan bersifat lokal dapat
juga berpotensi mengakibatkan tsunami. Wilayah perairan Selat Sunda umumnya
memperlihatkan bentuk pantai berteluk seperti yang diperlihatkan oleh Teluk Semangko, Teluk
Lampung dan Teluk Banten. Morfologi sepanjang pantai memperlihatkan variasi yang relatif
landai hingga bergelombang. Wilayah sekitar Teluk Semangko merupakan wilayah yang
secara geomorfologis didominasi oleh perbukitan, mulai dari perbukitan landai hingga
perbukitan sangat terjal. Beberapa lokasi, seperti Kampung Ketapang dan Kampung Karang
Bolong merupakan pantai bertebing, sedangkan daerah pedataran sempit terdapat di beberapa
lokasi seperti di Way Nipah dan Limau.
Daerah sekitar Teluk Semangko yang dibentuk oleh perbukitan terjal dan didominasi oleh
litologi batuan vulkanik yang belum terkompaksi kuat, menyebabkan rawan terhadap bencana
longsor, terutama apabila ditunjang oleh curah hujan yang tinggi. Bahkan di daerah Kampung
Kekabu dan Betung Tangkai yang terletak di kedua sisi Teluk Semangko terbentuk perbukitan
yang disusun oleh litologi batuan vulkanik Kuarter memiliki tingkat pelapukan cukup tinggi,
yang dapat memicu terjadinya longsor.
Penampakan morfologi yang relatif curam sepanjang pesisir, yang dibentuk oleh sesar
aktif mendatar Semangko di daerah ini, merupakan salah satu faktor yang menunjang
kemungkinan terjadinya pergerakan kerak bumi (gempa bumi) yang dapat memicu lebih
seringnya terjadi longsoran. Karena posisinya yang berbatasan dengan laut, maka produk
longsoran yang dihasilkan berpotensi mengganggu kolom air laut dan menimbulkan tsunami
di perairan Selat Sunda dan sekitarnya, meskipun dalam skala kecil dan lokal. Faktor pemicu
lain yang dapat menghasilkan longsoran di daerah Teluk Lampung dan Teluk Semangko adalah
curah hujan yang tinggi pada periode Desember hingga Februari (BMG, 2008).
2. Penyebab tsunami dan kaitannya dengan erupsi
Tsunami yang diakibatkan oleh gunung api biasanya bukan hanya disebabkan oleh
erupsinya, melainkan juga sebagai akibat jatuhan produk gunung api yang dimuntahkan ke
laut atau runtuhan sebagian/seluruh tubuh gunung api ke dalam laut (White, 2007). Perairan
Selat Sunda memiliki gunung api bawah laut, yaitu Gunung Api Krakatau, yang
keberadaannya adalah konsekuensi dari pertemuan antara Lempeng India-Australia dengan
Lempeng Eurasia. Kompleks Gunung Api Krakatau ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Gunung ini terletak pada koordinat 6°06’05,8” LS dan
105°25’22,3”BT.
Data Seputar Erupsi Gunung Anak Krakatau Pada 2018 Lalu
Letusan gunung anak Krakatau pada tahun 2018 merupakan rangkaian panjang dari
aktivitas vulkanik gunung aktif mulai dari bulan Juni 2018. Letusan tersebut bertipe Stromboli
yang berupa letusan eksplosif yang memancarkan material baru ke udara . Puncak dari aktivitas
gunung anak Krakatau terjadi pada 22 Desember 2018. Status gunung Krakatau mulai dari
bulan juni ditetapkan sebagai waspada 1 namun memasuki fase puncak pada 22 - 28 desember
2018 statusnya meningkat menjadi siaga 3. Letusan ini berakibat fatal karena telatnya deteksi
dini dari badan pusat setempat terkait peringatan dini Tsunami sehingga menimbulkan banyak
korban jiwa. Tsunami tersebut diakibatkan runtuhnya kaldera yang terbentuk pada tahun 1883
ke laut, sehingga menimbulkan gelombang
pasang laut yang mencapai bibir pantai Banten
( anyer ) setinggi 3 meter. Tinggi dari kolom
abu yang di akibatkan oleh letusan gunung
anak Krakatau mencapai 300 – 1500 m,
amplitude overscale tercatat 58 mm.
Gambar 2. Ilustrasi longsoran penyebab Tsunami
Menurut juru bicara BNPB saat itu (alm.)
Sutopo Purwo Nughroho, korban jiwa yang
tercatat setidaknya mencapai 430 Meninggal Dunia, 150 orang dinyatakan hilang serta lebih
dari 16.000 kehilangan tempat tinggalnya. Seluruh korban jiwa merupakan akibat dari dampak
tidak langsung letusan gunung anak Krakatau yaitu Tsunami. Menurut ahli geologis asal
Perancis Raphaël Paris mengatakan bahwa “ Ada ketidakpastian besar pada stabilitas kerucut
gunung berapi sekarang, dan kemungkinan runtuh dan tsunami di masa depan mungkin tidak
ada. dapat diabaikan". berdasarkan laporan di lapangan, sebelum terjadinya Tsunami, sempat
berlangsung konser musik yang di hadiri oleh ratusan orang. Hal tersebut merupakan salah satu
alasan mengapa banyak jatuhnya korban jiwa dan korban yang cedera. Menindaklanjuti dari
permasalahan tersebut perlu adanya solusi seperti pengecekan ulang alarm Tsunami dan
Gempa di daerah tersebut, seperti yang diketahui alarm yang ada pada saat kejadian
berlangsung tidak berfungsi. Namun dibalik itu semua bencana bisa datang kapan saja dan ada
kehendak tuhan yang tidak dapat dilawan serta tidak dapat di ketahui. Selayaknya seorang
Manusia kita harus terus mawas diri dan memperkecil resiko akibat dari bencana alam tersebut.
Terlebih mengingat adanya aktivitas erupsi gunung Anak Krakatau pada 10-11 April 2020 lalu,
dan telah berubah statusnya menjadi waspada.
Gambar 3. Data kerugian dan daerah yang terdampak akibat Tsunami selat Sunda yang disebabkan Letusan
anak Krakatau
Saran Antisipasi Bencana Tsunami di Selat Sunda Kaitannya Dengan Erupsi Gunung
Anak Krakatau Guna Meminimalisir Korban
Untuk mengantisipasi bencana Tsunami yang dikhawatirkan kembali terjadi seperti di
tahun 2018 akibat adanya erupsi yang terjadi pada Gunung Anak Krakatau, maka terdapat
beberapa saran yang harus dipertimbangkan oleh pihak Pemerintah guna meminimalisir
korban, diantaranya :
1. Pencabutan Hak Kepemilikan Tanah yang Telah Terkena Abrasi
Pencabutan hak kepemilikkan tanah perlu dilakukan karena tanah yang terkena abrasi
ataupun bencana sudah tidak memiliki hak guna kembali untuk dikekola hal ini tercantum pada
UU Pokok Agararia. Maka untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Dan hal ini perlu dilakukan karena memberikan resiko yang tinggi bagi rakyat pemilik
tanah yang berada di dekat daerah rawan tsunami dan khususnya daerah pada selat sunda yang
pada tanggal 11 April 2020 mengalami erupsi yang dimana daerah tersebut merupakan zona
subduksi, dilansir suara.com, bahwa Peneliti Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen), Nuraini
Rahma menyebut potensi Megathrust Selat Sunda tidak terlalu berdampak besar ke wilayah
DKI Jakarta. Meski potensi tsunami akibat Megathrust di Selat Sunda bisa saja terjadi di
Jakarta. Nuraini menuturkan beberapa wilayah yang akan terdampak besar akibat Megathrust
Selat Sunda yakni wilayah yang berada di Selatan Jawa seperti Pangandaran, Cianjur,
Sukabumi, hingga Selatan Banten. Sedangkan, kata dia, Jakarta tidak akan terlalu terdampak
parah meski goncangan dan tsunami bisa pula terjadi akibat Megathrust Selat Sunda”
2. Pembenahan Peraturan Pengelolaan Daratan Sampai 12 Mil Agar Penanaman
Mangrove Dapat Terlaksana dengan Baik
Multifungsi mangrove merupakan daya tarik juga "tantangan" terhadap pengelolaan yang
kolaboratif. Kementerian LHK menargetkan penyusunan Peta Mangrove Nasional selesai pada
tahun 2019 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Kementerian Kehutanan
menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu 1) hutan konservasi, 2) hutan lindung dan
3) hutan produksi. Hutan mangrove merupakan hutan konservasi berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan
Kawasan Hutan. Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007, ruang lingkup pengaturan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi
kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai. UU nomor
27 juga menegaskan bahwa mangrove merupakan sumberdaya pesisir/Pasal 1(4).
Mangrove merupakan salah satu tanaman pantai yang dikenal sebagai penahan arus
gelombang laut untuk meminimalisir terjadinya abrasi yang tentu akan memberikan dampak
buruk bagi lingkungan sekitar pantai dan hal ini perlu diperhatikan pemerintah agar penanaman
mangrove sebaiknya dilakukan untuk mencegah adanya gelombang tsunami /arus laut yang
bisa membahayakan masyarakat sekitar
Wilayah pesisir serang yang menjadi pusat perhatian agar waspada akan adanya bencana
tsunami akibat adanya erupsi anak gunung krakatau dan untuk meminimalisirnya perlu
pembenahan peraturan pengelolaan daratan penanaman mangrove sejauh 12 mil.
3. Pemberian Informasi Secara Signifikan dan Terpercaya
Pemberian informasi akan bahaya terhadap bencana tsunami di sekitar Selat Sunda perlu
dilakukan para petugas kepada masyarakat dan hal ini akan menjadi fundamental saat ini
mengingat banyaknya pembaharuan atau sumber informsasi terbatu tentang sumber informasi
yang dipercaya oleh masyarakat, tentunya berbagai macam informasi sangat bermanfaat bagi
masyarakat sekitar. Terkait hal ini, maka hal berikut dapat dilakukan bersama oleh beberapa
pihak terkait:
• Memberikan informasi terkait perkembangan status gunung berapi
• Membuat peta rawan kebencanaan di titik tertentu
Dampak Lain Erupsi Gunung Anak Krakatau Pada Biodiversitas dan Tanah
Gunung Anak Krakatau, yang terletak di tengah lautan, merupakan lokasi penelitian yang
sangat menarik bagi para peneliti internasional. Area Anak Krakatau menjadi laboratorium
hidup dan saksi dimulainya proses kehidupan. Pertumbuhan gunung baru dan dimulainya
siklus flora dan fauna di sana menarik minat para peneliti botani, biologi, zoologi, geologi,
ekologi, dan pedologi (geologi tanah). Di balik dahsyatnya erupsi gunung, material yang
dikeluarkannya merupakan bahan induk dari tanah. Dari material vulkanis ini seiring dengan
waktu akan berkembang menjadi tanah yang subur. Erupsi Krakatau yang begitu dahsyat pada
1883 telah memusnahkan seluruh biodiversitas di Pulau Rakata, Panjang, Sertung, bahkan
Pulau Sibesi, Lampung, yang berada 19 kilometer di utara. Ini termasuk material vulkanis yang
menumpuk setinggi 40 meter di dasar laut. Terlempar dan jatuhnya kembali material vulkanis
ini menyebabkan tsunami di Selat Sunda pada masa itu.
• Kondisi Tanah
Gunung Anak Krakatau lahir pada 1930. Gunung tersebut mengalami siklus lahir, tumbuh,
hancur, tumbuh dan begitu seterusnya. Pada April 2015, para peneliti ilmu tanah dari
Universitas Andalas mengadakan survei di Pulau Rakata, Panjang, Anak Krakatau, dan Sibesi.
Di tiap lokasi, diambil tanah sampai kedalaman tertentu dan dianalisis tanahnya di
laboratorium. Ternyata kadar SiO2 (silika) dari sampel yang diambil berkisar antara 52-75%
dan kadar SiO2 tertinggi ditemukan pada sampel Rakata dan Sibesi. Silika termasuk unsur hara
mikro dan dibutuhkan untuk membantu metabolisme tanaman dan membantu tanaman
mengatasi keadaan kekeringan.
Kadar unsur hara makro yang diperlukan tananaman untuk tumbuh antara lain kalsium
(Ca), magnesium (Mg), kalium (K) dan fosfor (P). Kalsium dari sampel Anak Krakatau lebih
tinggi dibandingkan sampel lainnya mencapai 6,4%, Mg 5%, K 2% dan P 1%. Hal ini
memberikan indikasi material Anak Krakatau lebih baru dibandingkan dengan yang lainnya.
Tingginya kadar unsur hara makro esensial ini berarti kebutuhan tanaman tersedia secara alami
dan tidak diperlukan penambahan dengan pupuk anorganik. Sampel Anak Krakatau juga
memiliki indeks pelapukan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan sampel dari Panjang,
Rakata, dan Sibesi. Indeks pelapukan yang masih rendah memberikan indikasi proses
pelapukan mineral primer masih pada tahap awal dan masih banyak cadangan unsur hara makro
tersimpan pada tanah.
Material hasil erupsi merupakan material anorganik. Jika telah terjadi revegetasi
(tumbuhnya tanaman lagi) di lapisan abu vulkanis, maka bertambah material organik pada
material anorganik abu vulkanis yang dibutuhkan tanaman. Proses pengayakan unsur hara ini
berlangsung secara bertahap. Tanah di Kepuluauan Krakatau masih tergolong muda dan
termasuk ordo Entisols jika menggunakan sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff-
USDA). Entisols merupakan tanah yang baru terbentuk dan hanya memiliki lapisan tanah atas
berhumus yang tipis. Tekstur tanah masih kasar, didominasi butiran pasir, mempunyai
kandungan glas vulkan yang tinggi (>30%). Ini berarti tanah mempunyai cadangan mineral
primer yang tinggi dan ketika mineral primer melapuk akan dikeluarkan unsur hara yang
dibutuhkan tanaman.
• Kolonisasi dan Suksesi Biota
Terdapat perbedaan yang signifikan antara vegetasi yang dijumpai di Pulau Rakata,
Sertung, dan Panjang dari penelitian Tagawa dkk pada 1982. Hasil penelitian para ahli zoologi
dan botani E.R. Schmidt et al. pada 1993 menunjukkan ada pertambahan satu sampai tiga
spesies tanaman dari tahun 1982 yaitu 7 spesies di Rakata, di Sertung ada 3, di Panjang 4
(bertambah 3) dan di Anak Krakatau 4 (bertambah 3).
Bila letusan Krakatau pada 1883 menghanguskan seluruh keanekaragaman hayati di pulau
tersebut, dari manakah datangnya pepohonan itu? Pepohonan di Rakata, Panjang dan Sertung
dipercaya berasal dari benih tanaman yang ada di bawah tanah yang tertimbun abu vulkanis.
Ketika tebal abu vulkanis berkurang akibat tercuci air hujan, seiring waktu muncul tunas-tunas
baru dari beberapa tanaman yang sebelumnya dorman di bawah lapisan abu vulkanis. Siklus
vegetasi Anak Krakatau diyakini bermula dari awal yaitu tanaman satu sel seperti alga biru-
hijau, lumut kerak, rerumputan seperti yang kami temukan dalam riset pada percobaan dengan
abu vulkanis dari Gunung Talang Sumatra Barat.
Di Pulau Rakata ditemukan Timonius compressicaulis (pohon Binasi) dan Dysoxylum
caulostachyum (pohon Kedoya). Sedangkan Anak Krakatau masih didominasi oleh rerumputan
dan Casuarina atau cemara laut. Anggrek Cymbidium finlaysonianum, Spathoglottis plicata
dan Arundina graminifolia ditemukan tumbuh di dinding jurang terjal Pulau Panjang pada 1896
atau 13 tahun setelah erupsi 1883. Fauna yang ditemukan di Rakata, Sertung, dan Panjang pada
awal 1980 mencapai 109 spesies yang terdiri dari 47 jenis burung, 17 reptil, 19 jenis kelelawar
dan 6 mamalia daratan. Adapun fauna yang ditemukan para peneliti itu di Anak Krakatau
berupa burung dan kupu-kupu.
• Efek abu vulkanis ke laut
Abu vulkanis Anak Krakatau yang jatuh di laut mempunyai dampak terhadap ekosistem
laut. Sayangnya belum ditemukan laporan penelitian yang membahas tentang ini. Flaathen dan
Gislason, peneliti Islandia, melaporkan terjadi penambahan unsur hara untuk pertumbuhan
plankton yaitu besi (Fe) dan flour (F) pada air laut di sekitar Gunung Hekla Islandia ketika
erupsi pada 1991 dan 2000. Peneliti Jerman Svend Duggen dan koleganya melaporkan bahwa
terjadi peningkatan produktivitas biota laut setelah partikel abu vulkanis jatuh ke laut. Unsur
hara esensial seperti P (fosfor), Fe (besi), Zn (seng), Ni (nikel) dan tembaga (Cu) meningkat
setelah abu vulkanis berada di laut 1-2 jam. Unsur-unsur tersebut dibutuhkan oleh fitoplankton.
Fitoplankton merupakan makanan utama ikan yang ada di laut. Dalam konteks Anak Krakatau,
dibutuhkan riset tentang dampak abu vulkanis terhadap biota laut.
Penutup
Telah kita ketahui bersama bahwa pada tanggal 10 hingga 11 April 2020 terjadi erupsi pada
Gunung Api Anak Krakatau. Adanya peningkatan aktivitas erupsi dikhawatirkan akan
meningkatkan potensi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, hingga gunung meletus.
Selain itu juga erupsi Gunung Anak Krakatau dikhawatirkan menjadi penyebab dari suara
dentuman yang di dengan oleh mayarakat Jabodetabek pada 11 April 2020 dini hari, namun
setelah dikonfirmasi langsung oleh PVMBG suara dentuman bukanlah berasal dari Gunung
Anak Krakatau dan statusnya masih pada tingkat Waspada (Level II).
Tidak berubahnya status Gunung Anak Krakatau bukan berarti kita menjadi lengah, kita
tetap perlu ada tindakan antisipasi dari segala bencana yang kemungkinan terjadi diantaranya
adalah pencabutan hak kepemilikan tanah yang telah terkena abrasi, pembenahan peraturan
pengelolaan daratan sampai 12 Mil agar penanaman mangrove dapat terlaksana dengan baik
serta perlu adanya pemberian informasi secara signifikan dan terpercaya kepada masyarakat.
Kita sebagai masyarakat juga perlu lebih mengikuti berita dan informasi yang disampaikan
agar lebih paham dan tahu tindakan yang perlu dilakukan apabila sewaktu-waktu terjadi
peningkatan aktivitas.
Selain bencana yang perlu diantisipasi juga, kita harus memahami dan tetap melestarikan
alam salah satunya Gunung Anak Krakatau karena terdapat kekayaan biodiversity yang cukup
tinggi dan juga karena terletak di tengah lautan menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti
karena menjadi laboratorium hidup sekaligus saksi dimulainya kehidupan. Kadar unsur hara
yang tinggi dari hasil abu vulkanis juga menjadi sebuah kekayaan tertentu untuk dimanfaatkan
bagi kelangsungan hidup tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Ichsan Emrald. (2020, April 11). PVMBG: Tak Ada Peningkatan Ancaman Gunung
Anak Krakatau. Republika online. Diakses dari
https://republika.co.id/berita/q8lkt3349/pvmbg-tak-ada-peningkatan-ancaman-gunung-
anak-krakatau.
Fiantis, Dian. (2019, Januari 4). Dampak erupsi Gunung Anak Krakatau pada biodiversitas
dan tanah. The conversation online. Diakses dari https://theconversation.com/dampak-
erupsi-gunung-anak-krakatau-pada-biodiversitas-dan-tanah-109332
Hanna, Yomi (2017, November 27). Mengenal 4 Tingkatan Status Gunung Berapi di Indonesia.
Diakses dari https://bobo.grid.id/read/08679376/mengenal-4-tingkatan-status-gunung-
berapi-di-indonesia
Lesmana, Agung Sandy. (2019, Agustus 23). Potensi Megathrust Selat Sunda dan Ancaman
Tsunami di Jakarta. Suara online.
https://www.suara.com/news/2019/08/23/131356/potensi-megathrust-selat-sunda-dan-
ancaman-tsunami-di-jakarta
Martanto. (2018, Desember 27). Pers Rilis Peningkatan Status G. Anak Krakatau Kamis 27
Desember 2018. Diakses dari https://magma.vsi.esdm.go.id/press/view.php?id=172
Mineral, B. G. K. E. dan S. (2019). Dinamika Geologi Selat Sunda dalam Pembangunan
Berkelanjutan (Pertama; O. Oktariadi, D. A. Yuwana, & A. Kurnia, eds.). Bandung:
Badan Geologi.
NN. (2018, Desember 25). Indonesia tsunami: Death toll from Anak Krakatau volcano rises.
BBC Asia online. Diakses dari https://www.bbc.com/news/world-asia-46674490.
Planet, Rocky. (2019, Januari 1). Discover online. Diakses dari
https://www.discovermagazine.com/the-sciences/announcing-the-2018-volcanic-event-
of-the-year#.XDrWHlwzbb0.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi – Badan Geologi – Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral (2020, April 11). Press Release Aktivitas Gunung Api Krakatau,
11 April 2020. Diakses dari https://vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/aktivitas-
gunungapi/3038-press-release-aktivitas-gunungapi-anak-krakatau-11-april-2020
Sutawidjaja, I. (2006). Pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau setelah letusan katastrofis
1883. Indonesian Journal on Geoscience, 1(3), 143–153.
Syafitrianto, Irmawan. (2017, Juli 27). Mangrove Milik Siapa?. Kompasiana online. Diakses
dari
https://www.kompasiana.com/syafitrianto/59797686914a351a020890d2/mangrove-
milik-siapa.
Yudhicara. Budiono, K. 2008. Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian terhadap katalog
Tsunami Soloviev. Jurnal Geologi Indonesia: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, Badan Geologi (diakses dari:
https://www.researchgate.net/publication/307734849_Tsunamigenik_di_Selat_Sunda_
Kajian_terhadap_katalog_Tsunami_Soloviev)