1
Dari Ibu Liem sampai John Lie:
Sumbangsih Tionghoa di Masa Revolusi Kemerdekaan Didi Kwartanada
Pengantar Redaksi
Nabil Forum ke-2 telah menampilkan tulisan Dr Bondan Kanumoyoso, „‟Tokoh-tokoh Tionghoa dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia”. Tulisan yang membahas peran tokoh-tokoh Tionghoa di dalam lembaga-lembaga nasional seperti BPUPKI dan KNIP tersebut mendapatkan perhatian yang luas dari sidang pembaca. Menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-66, Nabil Forum edisi ini menampilkan tulisan yang masih membicarakan sumbangsih Tionghoa di masa Revolusi Kemerdekaan, namun dari kacamata yang berbeda. Tulisan di bawah ini menyorot aktivitas Tionghoa dari berbagai daerah di Indonesia, di dalam ikut menegakkan Negara Republik Indonesia. Barangkali yang masih belum banyak diketahui adalah peran Tionghoa di dalam aksi-aksi kemiliteran, sehingga banyak diantaranya kemudian diangkat sebagai Veteran, beberapa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di berbagai pelosok Tanah Air. Salah satu dari mereka bahkan kemudian menjadi Pahlawan Nasional. Perlu digarisbawahi pula, bahwa kaum perempuan pun tidak ketinggalan ikut menjaga Proklamasi 17 Agustus 1945. Inilah kisah mereka dan semoga apa yang telah mereka sumbangkan bisa menjadi suri tauladan bagi kita bersama.
“Minoritas Perantara” dan Sikap Tionghoa yang Terpecah Periode 1942-1949, yang
merupakan masa pendudukan Jepang dan Revolusi Kemerdekaan, diabadikan oleh seorang
penulis peranakan Tionghoa sebagai masa “Indonesia dalem Api dan Bara” karena penuh
dengan pergolakan, kekerasan dan ketakutan.1 Pendudukan Jepang berlangsung singkat,
hanya tiga setengah tahun (Maret 1942-Agustus 1945), namun akibat yang ditimbulkannya
amat besar bagi etnis Tionghoa.2 Berakhirnya pendudukan Jepang diikuti dengan masa
Revolusi, yakni konflik Indonesia melawan Belanda, yang sering juga disebut “Jaman Bersiap”. Bagaimanakah sikap etnis Tionghoa dalam masa Revolusi Kemerdekaan? Sejarawan Mary
Somers-Heidhues memberikan analisisnya sebagai berikut. 3 Pertama, sebagian etnis
1“Tjamboek Berdoeri” (alias Kwee Thiam Tjing), Indonesia dalem Api dan Bara. Editor: Stanley dan Arief W. Djati. Jakarta:
Elkasa, 2004 (terbitan asli tahun 1947). 2 Kajian mengenai golongan Tionghoa dalam masa Jepang belum banyak dilakukan. Pengantar terbaik adalah tulisan Twang
Peck-yang, The Chinese Business É lite in Indonesia and the Transtition to Independence 1940-1950 (Kuala Lumpur:
Oxford, 1998) Untuk konteks Yogyakarta lihat tulisan-tulisan Didi Kwartanada, “Chinese Leadership and Organization in
Yogyakarta during the Japanese Occupation”, dalam Paul Kratoska (ed.), Southeast Asian Minorities in the Wartime
Japanese Empire (London: RoutledgeCurzon, 2002), h.65-80; “Competition, Patriotism and Collaboration: The Chinese
Businessmen in Yogyakarta between the 1930s and 1945”, Journal of Southeast Asian Studies, 33 (2002), 2, h. 257-277 3 Diringkas dari Mary Somers Heidhues, “Bystanders, Participants, Victims: The Chinese in Java and West Kalimantan,
1945-46”, paper pada konferensi “Changing Regimes and Shifting Loyalties: Identity and Violence in the Early Revolution
2
Tionghoa tidak ingin berpihak dalam konflik Indonesia-Belanda, karena mereka
berpendapat bahwa mereka bukanlah Belanda dan juga bukan Indonesia. Sikap “netral” ini
muncul sebagai produk divide et impera kolonial Belanda dan politik resinifikasi (pencinaan
kembali) penguasa Jepang.4 Walaupun posisi ini sering menuai kritik, namun di beberapa
daerah, ironisnya, justru sikap “netral” inilah yang diminta oleh golongan pejuang Indonesia
dari golongan Tionghoa. Satu contoh adalah pidato yang diucapkan di tahun 1946 oleh dr
Abu Hanifah, seorang pemimpin perjuangan di Sukabumi Hadirin yang saya hormati, saya percaya diantara hadirin sekalian banyak yang dilahirkan di
Tiongkok dan tetap mempertahankan kewarganegaraan Tiongkok. Kemudian ada grup lain yang
disebut kaula Hindia Belanda yang kini secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia. Mereka
dilahirkan di Indonesia dan ingin menjadi Warga Negara Indonesia. Kelompok ketiga adalah mereka
yang masih belum memutuskan posisi mana yang akan mereka ambil. Tentu saja Anda sekalian
memiliki kepentingan-kepentingan yang berlainan.
Akan tetapi Anda semua kini berada di wilayah Republik dan selama Anda bersama dengan kami,
keamanan Anda akan dijamin. Tetapi kami mohon agar Anda tidak campur tangan dalam politik Indonesia. Kami menghendaki agar Anda bersikap netral, hanya netral. Kami bahkan tidak meminta Anda untuk menolong kami. Itu akan meminta terlalu banyak. Jadi kepentingan Anda dan kepentingan kami menuntut Anda semua untuk bersikap netral, dan jangan terlibat dalam politik
kami. 5
Kedua, disana-sini terdapat beberapa Tionghoa peranakan maupun totok yang bersimpati
dan berjuang di pihak Republik, Tokoh yang paling vokal barangkali adalah Liem Koen Hian
(1896-1952).6 Dirinya sudah menegaskan identitas keindonesiaannya ketika di tahun 1932
mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang tanpa henti menyerukan kepada
peranakan Tionghoa untuk memberikan loyalitas politiknya kepada Indonesia. Liem adalah
salah satu founding fathers Negara Republik Indonesia, sehubungan dengan partisipasinya
dalam BPUPKI. Dalam salah satu sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan, secara tegas
Liem memohon agar dalam negara Indonesia nanti, secara otomatis golongan Tionghoa
diberi kewarganegaraan Indonesia. Namun sayang, cita-citanya tidak terwujud. Seorang
of Indonesia”, Amsterdam, NIOD, 25-27 Juni 2003., h. 16. Terimakasih kepada Ibu Mary yang telah mengijinkan penulis
untuk mengutip makalah tersebut. 4 Paparan singkat mengenai politik resinifikasi Jepang, lihat dua tulisan Didi Kwartanada, „Minoritas Tionghoa dan Fasisme
Jepang; Jawa 1942-1945‟, dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa (Yogyakarta; Kanisius-Realino.
Cetakan ke-4, 2001), h..24-41; serta „The Road to Resinification: Education for the Chinese during the Japanese
Occupation‟, dalam Peter Post et al. (ed), Encyclopaedia of Indonesia in the Pacific War (Leiden: E.J. Brill, 2010), h.
327-333. 5 Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Sydney: Angus and Robertson, 1972), h. 209, terjemahan bebas dan garis miring dari
penulis. 6 Biografi Liem Koen Hian terlengkap saat ini ada dalam Leo Suryadinata, Tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia: dari Tjoe
Bou San sampai Yap Thiam Hien (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), h. 63-90. Perlu diingat, bahwa Liem adalah mentor
politik AR Baswedan, seorang tokoh pergerakan keturunan Arab, lihat juga tulisan Adaby Darban tentang hubungan
mereka berdua dalam Nabil Forum ini.
3
wartawan Amerika menambahkan aspek lain, terdapat juga sekelompok etnis Tionghoa
yang dekat pada Golongan Sosialis-nya Sutan Syahrir, yang merasa bahwa masa depan
etnis Tionghoa berada dalam Indonesia baru, dengan jalan asimilasi. 7 Ketiga, sikap
mayoritas etnis Tionghoa adalah mengharapkan perlindungan Republik Tiongkok, yang
selepas Perang Dunia II ikut menjadi salah satu anggota “The Big Five”, lima negara
pemenang perang. Dengan demikian, mayoritas etnis Tionghoa akhirnya memilih bersikap
netral dalam konflik Indonesia-Belanda. Sikap netral ini juga bisa diakibatkan karena
posisi historis mereka sebagai “minoritas perantara” (middleman minority), yang diuraikan
dalam ilmu sosial sebagai berikut: Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang terdapat kelompok-kelompok etnis tertentu
yang menduduki status perantara [middle status] diantara kelompok dominan yang berada di
puncak hirarki etnis dan kelompok subordinat yang berada di bawah. Kelompok tersebut disebut
“minoritas perantara” [middlemen minorities]… Minoritas perantara sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan kelompok
etnis subordinat. Mereka biasanya menduduki ceruk perantara [intermediate niche] dalam sistem
ekonomi. . .Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik
toko, pembunga uang [Jawa: mindring] dan profesional independen. Dengan demikian minoritas
perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat.
Mereka melakukan tugas-tugas ekonomis yang bagi mereka yang berada di puncak (elit) dianggap
sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat . . .Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara
mereka, kelompok ini sangat rentan [vulnerable] terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya,
baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masa-masa tegang, mereka
adalah. . .kambing hitam yang alami [natural scapegoat]
Baik secara jumlah maupun secara politis, mereka tidak berdaya dan oleh karena itu harus
memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomis
mereka masih dibutuhkan 8
Dari uraian di atas, nampak jelas, bahwa golongan Tionghoa menempati posisi sebagai
“minoritas perantara”. Kedudukan ini bukan hanya dimulai dari masa kolonial, namun sejak
berkembangnya zaman kerajaan Islam di Nusantara, orang-orang Tionghoa sudah banyak
diberi kedudukan dengan hal-hal yang dekat dengan uang, misalnya selaku syahbandar atau
penarik pajak. Kolonial Belanda kemudian mengembangkan hal tersebut dan memperluas
bidang cakupan yang dipegang oleh pengusaha Tionghoa seperti pungutan pajak jalan tol
7 Arnold C. Brackman, Indonesian Communism: A History (New York: Praeger, 1963), h. 135.
8 Dikutip dari Martin N. Marger, Race and Ethnic Relations: American and Global Perspectives. Edisi Kedua (Belmont:
Wadsworth, 1994), h. 51-52. Terjemahan bebas dari penulis.
4
dan bisnis candu, dua hal yang sangat dibenci oleh orang pribumi. 9 Posisi sebagai
minoritas perantara yang membuat mereka selalu ingin berada di tengah, menghindari
kesulitan yang bakal muncul dari posisi mereka, walaupun ternyata pilihan ini bukannya
menyelesaikan masalah, bahkan justru makin banyak menimbulkan persoalan. Apabila
“lingkaran setan” sebagai middleman minority tidak diputuskan, maka dikhawatirkan dalam
tiap zaman kedudukan golongan Tionghoa akan selalu “serba salah”, seperti yang dilukiskan
dengan bagus oleh seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel
“…Orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan kegiatan politik. Jika mereka
terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa
waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga
oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka”.10
Tulisan ini mencoba memberikan deskripsi tentang hal-hal apa yang sudah disumbangkan
sebagian etnis Tionghoa untuk Republik Indonesia di masa Revolusi Kemederkaan. Bagian
pertama dan kedua berisikan contoh-contoh dari Yogyakarta, karena merupakan topik
penelitian yang pernah penulis lakukan sebelumnya. Bagian terakhir berisi fakta-fakta
sumbangsih Tionghoa di dalam perjuangan bersenjata di berbagai pelosok Ibu Pertiwi,
suatu topik yang belum banyak diulas.
Sumbangan Finansial
Twang Peck-Yang secara tegas menyatakan, dukungan yang pertama-tama diharapkan
pemerintah Republik Indonesia dari golongan Tionghoa adalah bantuan keuangan. Kondisi
finansial republik muda ini sangatlah buruk, berhubung dengan tingginya angka defisit
akibat pendudukan Jepang.11 Tidak mengherankan, jikalau harapan Pemerintah Republik
untuk memperbaiki kondisi perekonomian, pertama-tama tertuju kepada para pengusaha
Tionghoa. Di pihak lain, kelahiran Republik Indonesia dilihat oleh pedagang Tionghoa
sebagai suatu kesempatan. Negara yang masih amat muda ini memerlukan berbagai pasokan
barang untuk mempertahankan kedaulatannya, khususnya persenjataan, medis dan
logistik.12
9 Mengenai analisis teori „minoritas perantara‟ dan relevansinya bagi golongan Tionghoa di Indonesia lihat Didi Kwartanada,
„Perang Jawa (1825-1830) dan Implikasinya pada Hubungan Cina-Jawa‟, pengantar untuk buku Peter Carey, Orang Cina,
Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008) h.
ix-xxxii 10
Charles A.Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), h. 53. 11
Twang Peck-yang, The Chinese Business É lite, h. 150-51. 12
Karya terbaik untuk topik ini adalah Twang, The Chinese Business É lite, bab 5-7, yang memberikan banyak data tentang
hubungan dagang antara golongan Tionghoa dengan Pemerintah Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia.
5
Oleh karena Twang Peck-yang sudah menulis panjang lebar soal “kontribusi” Tionghoa
dalam revolusi Indonesia, maka penulis akan memberikan ilustrasi dari tingkat lokal dan
masih belum banyak diketahui, yakni Yogyakarta.13 Selaku ibukota RI sejak Januari 1946,
di Yogyakarta banyak ditemukan usaha-usaha mobilisasi dana dan tenaga dari golongan
Tionghoa demi Pemerintah Republik. Setelah terjadinya aksi militer Belanda I, Chung Hua Tsung Hui (CHTH) 14 Yogyakarta berusaha mengumpulkan dana untuk republik. Jumlah
sumbangan awal yang terkumpul sebanyak Rp. 250.000. 15 Selain itu mereka juga
mengumpulkan bahan pakaian untuk angkatan bersenjata Republik.16 Maka tidak heran jika
berbagai sumber menyebut CHTH Yogyakarta bersikap "pro republik". 17 Orang-orang
Tionghoa juga banyak menyumbang dalam "Fonds Nasional" yang diketuai oleh, Mr.
Soemanang. Partisipasi orang-orang Tionghoa tidak kalah besarnya dalam membantu
penyediaan konsumsi. Sejak November 1945 dapur umum Palang Merah Indonesia (PMI)
harus menyediakan makanan untuk ± 1.500 orang setiap harinya. Orang-orang Tionghoa
ternyata tidak ketinggalan ikut menyediakan makanan.18
Aksi-aksi Pro Republik Indonesia
Seorang pengacara, Mr. Ko Siok Hie, giat melakukan berbagai aktivitas pro-Republik.19
Ketika banyak gerilyawan Indonesia ditangkap dan diadili Belanda pada saat Yogyakarta
diduduki, Mr. Ko (bersama-sama dengan Mr. Soejoedi) menyelamatkan banyak jiwa mereka
dari hukuman Belanda secara cuma-cuma. Selaku pengacara, beliau juga membela orang-
orang yang tidak bersalah dari tuduhan Belanda, misalnya menyembunyikan senjata. Pada
saat yang lain, Mr.Ko bertindak selaku penghubung logistik antara pihak Indonesia dengan
Tionghoa. Dalam suatu kesempatan, dua pejabat Republik, Mr.Soemanang dan Mr.Soetopo
menghimbau kepada komunitas Tionghoa Yogyakarta supaya membantu penyediaan logistik
bagi para pemuda pejuang. Mr.Ko --selaku konseptornya-- lalu mempersiapkan "kue
keranjang", suatu jenis makanan tradisional Tionghoa yang bisa tahan lama. Di saat
13
Kecuali disebut dari sumber lain, bagian ini diambil dari Didi Kwartanada, “Kolaborasi dan Resinifikasi: Komunitas
Tionghoa Kota Yogyakarta pada Jaman Jepang 1942-1945” Skripsi Jurusan Sejarah, Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada, 1997. 14
Organisasi sentral Tionghoa yang didirikan pada tahun 1946, segera sesudah Jepang kalah. 15
Twang, The Chinese Business É lite , h.151, 182 catt 4. 16
Donald Earl Willmott, National Status of the Chinese in Indonesia 1900-1958. Edisi Revisi. (Ithaca: Cornell MIP, 1961), h.
21. 17
Charles Coppel, "Patterns of Chinese Political Activity in Indonesia", dalam J.A.C. Mackie (ed.), The Chinese in Indonesia:
Five Essays (Hongkong: Heinemann Educational Books, 1976), h. 40; W.D. Sukisman, Masalah Cina di Indonesia
(Jakarta: Yayasan Penelitian Masalah Asia, 1975), h. 55. 18
Muchamad Triyanto, "Peran Palang Merah Indonesia pada Masa Perang Kemerdekaan II di Yogyakarta (1948-1949)",
Skripsi Sarjana Sejarah, Fakultas Sastra UGM Yogyakarta: 1993, h. 26. 19
Bagian mengenai perjuangan Mr. Ko Siok Hie penulis ambil dari R.Hardjono, "Komuniti Tionghoa Jogjakarta", Skripsi
Sardjana Sedjarah, Jogjakarta: IKIP Sanata Dharma, 1970, h. 53-54. Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Bernie Liem
untuk sumber langka ini. Di masa kemerdekaan, Mr Ko menjadi guru besar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya.
6
pertama kali telah diproduksi sebanyak 10 kuintal "kue keranjang". Agen distribusinya
adalah anak-anak kecil.
Dr. Sim Ki Ay, yang merupakan salah satu tokoh utama Chung Hua Hui (kelompok elit
Tionghoa pro-Belanda) dari masa kolonial. Akan tetapi pada zaman revolusi beliau
bersimpati pada perjuangan Republik. Dr Sim terpilih untuk menjadi salah seorang
penasehat delegasi Republik Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag.20 Beliau juga dikenal sebagai dokter yang ikut memelihara kesehatan tokoh-tokoh
puncak Republik, seperti Sultan Hamengku Buwono IX dan Jenderal Sudirman. Dalam
kapasitasnya selaku dokter pribadi Sultan, beliau juga bertindak selaku penghubung antara
Sultan dengan komunitas Tionghoa.
Selain berbagai jenis bantuan tadi, tidak ketinggalan pula muncul dukungan sumber daya
manusia. Ketika dibuka pendaftaran anggota GEMPAR (Gerakan Untuk Makmurnya dan Patuhnya Rakyat) atas inisiatif pemerintah,21 pemuda-pemuda dari kalangan Tionghoa tidak
ketinggalan ikut pula mendaftarkan dirinya. Menurut penuturan seorang Tionghoa yang
pernah bergabung dengan GEMPAR, 22 ia dididik selama 40 hari di Gedung Agung
Yogyakarta. Beberapa mata pelajaran yang diberikan adalah: "Tata Negara" oleh Bung
Karno; "Ekonomi Nasional" oleh Bung Hatta dan "Penerangan" oleh Mr. Soemanang,
Kordinator pendidikan dipegang oleh Winoto Danuasmoro. Sebanyak 600 orang anggota
telah terdaftar, kemudian mereka dibagi ke dalam berbagai regu yang disebarkan ke
seluruh Jawa.
Sumbangsih di Bidang Kemiliteran
Di bidang kemiliteran 23 , beberapa orang Tionghoa ikut berperan aktif memberikan
sumbangsihnya, mulai dari bertempur, penyediaan logistik dan persenjataan, maupun
menjalankan dapur umum bagi prajurit TNI (lihat selengkapnya di Tabel 1). Di Kediri dan
di beberapa tempat lain di Jawa Timur, juga di Losarang (Jawa Barat) mantan anggota
Keibōtai (kesatuan semi militer Tionghoa yang dibentuk di masa Jepang) aktif memberikan
latihan kemiliteran pada laskar-laskar Indonesia.24 Di daerah Pemalang, muncul satu hal
20
Untuk riwayat singkat Dr Sim Kie Ay, lihat Leo Suryadinata, Prominent Indonesian Chinese Biographical Sketches. Edisi
Ketiga (Singapore: ISEAS, 1995), h., 151. 21
Hardjito, Risalah Gerakan Pemuda (Djakarta: Pustaka Antara, 1952), h. 93. 22
Bagian ini terutama didasarkan atas cerita Lie Djin Han, dalam J.B. Santoso, "Mereka Ikut Berjuang: Tjong Kie Liem dkk
Juga Anggota Veteran", Minggu Pagi (mingguan), 21 Agustus 1991 yang kemudian dicek silang dengan sumber pers
kontemporer. 23
Di sini penulis menggunakan kata “kemiliteran” dalam arti luas, tidak hanya mencakup soal prajurit yang berperang
dengan memegang senjata, namun juga soal logistik dan persenjataan, dapur umum, penyebaran doktrin perang gerilya
serta pengumpulan informasi. Bab mengenai kemiliteran ini nantinya akan menjadi salah satu bagian dari buku
“Tionghoa dan Kemiliteran di Nusantara, abad XIII sampai abad XXI”, yang sedang disusun oleh Yayasan Nabil 24
Wawancara The Djan Liong (Yogyakarta), 5-3-1994; Somers-Heidhues, “Bystanders”, h. 13-14.
7
yang cukup unik dalam revolusi Indonesia, yakni munculnya “Laskar Pemuda Tionghoa” (LPT),
yang sesuai dengan namanya, bertujuan mendukung kemerdekaan Indonesia. Tokohnya
adalah Tan Djiem Kwan, alumnus Sekolah Tionghoa (THHK) Tegal. Tokoh ini giat
memberikan kursus anti kolonialisme pada pemuda Tionghoa, mendorong pengibaran
bendera Merah Putih, dll. Laskar ini memainkan peran penting dalam melucuti balatentara
Jepang di Pemalang. 25 Di Surakarta tercatat pula “Barisan Pembrontak Tiong Hoa” (lihat
foto 2).
Keterlibatan orang Tionghoa dalam Batalyon Macan Putih, satu kesatuan gerilya yang aktif
di wilayah-wilayah sekitar lereng Gunung Muria (Tayu, Jepara, Kudus, Welahan), belum
banyak diungkapkan. 26 Orang Tionghoa di daerah-daerah tersebut mengumpulkan
perhiasan empat/lima kali untuk dibelikan senjata di Singapura. Mereka juga menyediakan
makanan bagi para pejuang yang dibungkus daun jati. Tio Ma Ay, seorang pedagang roti,
pura-pura berdagang roti keliling kampung, padahal dia mengirimkan roti kepada para
pejuang.
Orang Tionghoa totok yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan juga banyak ditemui.
Yang sering disebut misalnya Tong Djoe, yang kemudian menjadi seorang pengusaha
besar.27 Disertasi Marleen Dieleman dari Belanda, menunjukkan bahwa di masa revolusi,
Liem Sioe Liong menyembunyikan seorang buronan Belanda, selama setahun tanpa
mengetahui siapa orang yang disembunyikannya. Ternyata orang tersebut adalah Hasan Din,
seorang tokoh Muhammadiyah, ayahanda Fatmawati dan mertua Presiden Soekarno. Liem
yang nantinya berganti nama menjadi Soedono Salim, dikenal sebagai salah satu pengusaha
Tionghoa terbesar di masa Orde Baru. 28 Han Lim Kwang (Han Lian Kuang, 1911-1962),
kelahiran Pulau Hainan, Kwangtung yang sudah lama menetap di Makassar. Puteranya
mengenang Han sebagai seorang yang “bentji kepada kaum kolonialis Belanda, karena mereka menindas dan menghisap rakjat Indonesia.” 29 Han membuka warung kopi yang
ternyata dijadikan pusat pertemuan rahasia gerilyawan Makassar dari kesatuan “Harimau Republik”, dimana Han juga merupakan salah satu anggotanya. Han wafat di bulan
Desember 1962 dan jenasahnya mendapatkan kehormatan militer dari Korps Veteran
Makassar. Namun masih banyak lagi mereka yang belum diungkap jasanya.
25
Anton Lucas, One Soul, One Struggle: Region and Revolution in Indonesia (Sydney: Allen and Unwin, 1991), h. 85-87 26
Berdasarkan wawancara dengan Iwan “Ong” Santosa (wartawan Kompas), 8 Juli 2010 27
Lihat antara lain Twang, The Chinese Business É lite, h. 297-298 28
Marleen Dieleman, The Rhythm of Strategy: A Corporate Biography of the Salim Group of Indonesia (Amsterdam:
Amsterdam University Press, 2007), h. 42. Hasan Din kemudian menjadi salah satu pendiri Salim Group dan juga
menjadi direktur beberapa perusahaan Liem, Ibid., h. 43. Terimakasih kepada Dr Dieleman untuk informasi ini. 29
Disarikan dari Han Nan-tjou, “Renungan dari Djauh”, Tiongkok Rakjat: Menjambut Dwidasawarsa RI, no. 8 (1965): 35-37
(kutipan dari h.35).
8
Di Riau ada Tang Kim Teng, seorang Tionghoa totok yang bergabung dengan Resimen IV,
Divisi IX Banteng wilayah Sumatra Tengah pimpinan Hassan Basri (lihat foto 3). Kim Teng
bertugas mencari senjata, bahan peledak, uniform tentara, sepatu, obat-obatan dan
perbekalan lainnya di Singapura. Masih ada lagi orang-orang Tionghoa dalam Resimen IV
tersebut: Lie Ban Seng, Lie Chiang Tek, Kui Hok, Tji Seng, Tan Teng Hun, Lai Liong Ngip,
Chu Chai Hun dan Chia Tau Kiat. Tan Teng Hun disebutkan telah mengeluarkan sejumlah
besar uang untuk membeli senjata api dari Singapura, seragam tentara dan obat-obatan.
Sebagian dari mereka telah dianugerahi bintang jasa RI dan menjadi anggota Legiun
Veteran RI (lihat foto 4). 30
Sumbangan lain berupa doktrin perang gerilya. Pemaparan dr Abu Hanifah saat berjuang di
Sukabumi melawan Belanda, menunjukkan bahwa booklet perang gerilya karangan Mao Tse
Tung (Mao Zhedong) banyak digunakan sebagai “buku pegangan” (handbook) oleh pasukan
republik. Diperkirakan strategi tersebut diterjemahkan oleh seorang Tionghoa totok ke
dalam bahasa Indonesia. 31
Yang menarik, kaum perempuan Tionghoa pun tidak berpangku tangan dan mereka pun ikut
secara langsung membela Ibu Pertiwi. Salah satu contoh adalah Ibu Giam Lam Nio alias Ny
Liem Thiam Kwie (1901-1953), yang menyediakan makanan di dapur umum saat Revolusi di
Jawa Timur. Di kalangan prajurit TNI, beliau dikenal dengan panggilan akrab “Ibu Liem”.
Setelah pemakaman beliau dengan upacara militer dilakukan pada tanggal 5 Juli 1953, pers
melaporkan: Upacara pemakamannya yang dipimpin Kapten Soesilo dari Divisi Brawijaya dihadiri antara lain
oleh …Walikota Soetimbul, dan Kolonel Bambang Soegeng sebagai Kasad. Bagi tentara revolusi
1945 ia bukan seorang ibu biasa. Ia adalah ibu mereka yang dengan segala kasih sayang menyokong
perjuangan kemerdekaan dengan mengatur dapur umum siang malam dalam segala keadaan. Ibu
Liem senantiasa siap sedia diminta bantuan menyediakan makanan bagi patriot yang bertempur di
garis depan. Setelah penyerahan kedaulatan, Ibu Liem masih tetap membantu dengan mengurus
panti Perwira di Malang, Jawa Timur. Saat meninggal, petinya ditutup bendera merah putih dan
dimakamkan di pekuburan Tionghoa di Sepanjang, Surabaya. 32
Sumbangsih Tionghoa paling spektakuler dalam bidang militer terwujud dalam sosok Mayor
(AL) John Lie, yang menjadi penyelundup senjata bagi Republik Indonesia.33 Beliau dikenal
sebagai tokoh legendaris, yang banyak mendapat penghormatan dan rasa kagum dari para
pejuang Indonesia. Sebagai seorang nakhoda, John Lie dipercaya pemerintah Republik
30
Lihat Nyoto, Kim Teng Dari Pejuang Hingga Kedai Kopi (Pekanbaru: Unri Press, 2002) 31
Hanifah, Tales of a Revolution, h.196 32
Sam Setyautama, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: KPG, 2008), h. 58 33
Mengenai riwayat perjuangan John Lie, lihat M. Nursam, Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda
John Lie (Jakarta/Yogya: Yayasan Nabil/Ombak, 2008)
9
untuk menjual komoditas Indonesia untuk ditukar dengan persenjataan, peralatan
komunikasi dan obat-obatan yang amat dibutuhkan dalam melawan Belanda. Daerah
operasinya cukup luas, meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila dan New
Delhi. Saat Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda, John Lie berhasil menembus
kepungan itu dan mendapat julukan “Nakhoda Terakhir Republik”. 34 Beliau kemudian
pensiun sebagai Laksamana Muda dan berganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sejarawan Asvi Warman Adam,
di awal 2004 menominasikan John Lie sebagai pahlawan nasional atas jasa-jasanya kepada
Negara Republik Indonesia.35 Akhirnya John Lie, atas usulan Yayasan Nabil, diakui sebagai
Pahlawan Nasional pada tahun 2009, sebagai pengakuan Pemerintah RI atas jasa-jasanya
yang luar biasa. 36
Demikianlah sekelumit uraian mengenai peran serta orang-orang Tionghoa, peranakan dan
totok, di dalam menegakkan panji-panji kemerdekaan yang telah dikibarkan oleh Soekarno-
Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak diragukan, mereka telah ikut memberikan
andil dalam mengusir penjajah dan turut mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
bersama saudara-saudaranya dari berbagai suku bangsa. Apa yang tertulis di sini belumlah
lengkap dan semoga tulisan singkat ini akan mendorong berbagai pihak untuk ikut aktif
mengumpulkan bahan-bahan historis yang masih belum terungkap. Dalam hal inilah, sejarah
bisa berperan sebagai sarana integrasi nasional. 37
***Penulis adalah sejarawan dan Pemimpin Redaksi Nabil Forum. Buku terbarunya adalah The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War (Leiden: EJ. Brill, 2010), sebagai ko-editor dan
kontributor.
Tabel 1
Kontribusi Orang Tionghoa dari Berbagai Daerah dalam Perjuangan Bersenjata di Masa
Revolusi Kemerdekaan (1945-1950)
--disusun secara alfabetis--
Nama Aktivitas Daerah Perjuangan Keterangan
1. Cia Tau Kiat;
2. Lie Ching Tek;
3. Lai Liong Ngip
Tiga orang pejuang Riau Anggota Legiun Veteran
RI Riau
34
Rosihan Anwar, Musim Berganti Sekilas Sejarah Indonesia, 1925-1950 (Jakarta: Grafiti Pers, 1985). 35
Asvi Warman Adam, “Sekali Lagi Tentang John Lie”, Kompas, 21-1-2004, versi online lihat
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0401/21/opini/813358.htm (diakses 8 Mei 2005). 36
Perjalanan pengusulan John Lie sebagai Pahlawan Nasional oleh Yayasan Nabil bisa dibaca dalam “Perjalanan John Lie
menjadi Pahlawan Nasional Tahun 2009”, Nabil News Edisi Perdana, h. 16-23 37
Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional (Jakarta: UI Press, 1993), h. 50.
10
Gian Liam Nio (Ny
Liem Thiam Kwie)
(1901-1953)
Di kalangan prajurit
dikenal sebagai “Ibu
Liem” yang bergiat di
dapur umum.
Jawa Timur Ketika wafat, upacara
pemakamannya dilakukan
secara militer dan dihadiri
KASAD Kol Bambang
Sugeng dan Walikota
Malang.
Han Lian Kuang,
(1911-1962)
Membuka warung kopi
yang ternyata dijadikan
pusat pertemuan
rahasia gerilyawan dari
kesatuan “Harimau Republik”, dimana Han
juga merupakan salah
satu anggotanya dan
menyediakan senjata
Makassar, Sulawesi
Selatan
Dikebumikan dalam
upacara militer
Kwee Tjoa Kwang
(1912-….)
Asal Bagan Siapi-api, di
masa Revolusi
bergabung ke Laskar
Rakyat di Batalyon I,
Resimen II, Divisi II di
Jambi. Memasukkan
senjata untuk Laskar
Rakyat.
Jambi Di tahun 1950 tercatat
sebagai anggota angkatan
perang dengan pangkat
Letnan I dan mendapat
bintang jasa.
Laksamana Muda
John Lie (Jahja Daniel Dharma)
(1911-1988)
Mengusahakan senjata
dan logistik di masa
revolusi kemerdekaan
melalui laut, di tengah
blokade ketat AL
Belanda
Aceh-Sumatra
Utara, Singapura,
Malaya, Asia
Tenggara
● Dimakamkan di TMP
Kalibata Jakarta (1988)
● Dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional serta
Bintang Mahaputera
Adipradana, 10 November
2009
Liem Ching Gie
(Abdul Malik)
(1911-1970)
Aktif dalam perjuangan
bersenjata ditangkap
dan dipenjara Belanda
tahun 1947-48.
Sulawesi Selatan
Oen Pei Hin
(1912-1996)
Aktif mendukung
logistik pasukan
Siliwangi
Jawa Barat Dimakamkan di TMP
Cikadut Bandung
Oey Eng Soe
(Ujeng Suwargana)
(1917-1979)
Pada masa revolusi
menjadi perwira
menengah sekaligus
komandan logistik
Jawa Barat Dikenal dekat dg Jendral
A.H. Nasution
11
Territorium III
Siliwangi.
Oeij Kim Bie (Erawan Gondaseputra) (1904- …)
Di masa revolusi
bergabung dngan Laskar
Pesindo melawan
Inggris dan merampas
obat-obatan untuk
tentara Republik di
Andir, Bandung
Jawa Barat ● Berjuang bersama kaum
nasionalis Indonesia sejak
tahun 1923, termasuk
beberapa kali masuk
penjara
● Pada tahun 1960
mendapat bintang dari
Legiun Veteran RI
Pembantu Letnan
Sho Bun Seng
(1911-2000)
Di masa Revolusi
berjuang di Padang dan
bergabung dengan
batalion Pagarruyung,
kemudian bertugas di
Jawa Barat dan
Kalimantan Barat.
Padang, Sumatra
Barat
Dimakamkan di TMP
Kalibata Jakarta (2000)
Ferry Sie King Lien
(1933-1949)
Tewas saat bergerilya
dengan Tentara Pelajar
di Surakarta (1949)
Surakarta, Jawa
Tengah
Dimakamkan di TMP Jurug,
Surakarta (satu-satunya
orang Tionghoa)
Tan Tjen Boen
(Mas Amien)
Informan Tentara
Keamanan Rakyat di
Jawa Barat.
Jawa Barat Mendapat bintang Veteran
RI
Tang Kim Teng Seorang Tionghoa totok
yang bergabung dengan
Resimen IV, Divisi IX
Banteng wilayah
Sumatra Tengah.
bertugas mencari
senjata, bahan peledak,
uniform tentara,
sepatu, obat-obatan dan
perbekalan lainnya di
Singapura.
Sumatra Tengah
(Riau)-Singapura
●Anggota Legiun Veteran
RI Riau
●Dianugerahi Satya
Lencana Perang
Kemerdekaan Kedua
Letnan Dua Dokter
Tjia Giok Thwan
(Basuki Hidayat)
Di masa mudanya Tjia
adalah anggota regu
pasukan penggempur
Pasukan 19 CDMT
(Corps Mahasiswa
Djawa Timur) dan aktif
bergerilya.
Jawa Timur Dimakamkan di TMP
Suropati (Malang) 1982
** Masih ada satu lagi
pejuang Tionghoa yang
akan dimakamkan di TMP
ini, namun keluarganya
menolak
12
Sumber:
Sam Setyautama, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2008)
Eddy Sadeli et al., Sumbangsih Warga Tionghoa untuk Tanah-Air Indonesia (Jakarta: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa di Indonesia, 2003).
Junus Jahja, Peranakan Idealis dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2002)
Nyoto, Kim Teng: Dari Pejuang Hingga Kedai Kopi (Pekanbaru: Unri Press, 2002)
Han Nan-tjou, “Renungan dari Djauh”, Tiongkok Rakjat: Menjambut Dwidasawarsa RI, no. 8 (1965),
h. 35-37
Foto 1. Pemuda Tionghoa di Jakarta ikut mendukung
perjuangan Pemuda Indonesia melalui penempelan
poster-poster di ruang publik. Sumber: Illustrations of the Revolution: Indonesia 1945-1950 (Djakarta:
Kementrian Penerangan, 1954), tanpa nomor halaman
Foto 2. Markas pejuang Tionghoa pendukung RI di Solo tahun
1949. Mereka dengan berani menyatakan identitasnya sebagai
“Barisan Pembrontak Tiong Hoa.” Sumber: AB Lapian (ed),
Semangat ‟45 dalam Rekaman Gambar Ipphos (Jakarta: Sinar
Harapan, 1985), h. 164.
13
Foto 3. Almarhum Tang Kim Teng, sosok pejuang Tionghoa dari Riau, dengan kostum
Legiun Veteran RI dengan bintang-bintang jasa. Sumber: cover buku Nyoto, Kim Teng (2002)
Foto 4. Para Veteran di Riau, termasuk didalamnya
beberapa orang Tionghoa. Sumber: Nyoto, Kim Teng (2002), h. 85.